Upload
marman
View
166
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
2. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi
Penelitian mengenai “Eksplorasi Potensi dan Fungsi Senyawa Bioaktif
Ascidian Didemnum molle sebagai Antifouling” dilaksanakan selama 4 bulan,
dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Pengambilan
sampel Didemnum molle dilakukan di Kepulauan Seribu, khususnya di sekitar
Pulau Pramuka. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biokimia dan
Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK-IPB;
Pusat Studi Biofarmaka-LPPM IPB; Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan,
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA-IPB.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu yang digunakan saat eksplorasi potensi stok alami dan eksplorasi
senyawa bioaktif. Daftar alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian
Tahapan Alat Bahan
eksplorasi potensi stok alami
1. Pengambilan data
Alat scuba diving (AmScud)
Rol meter 50 meter
Transek kuadrat 1m × 1m
Hand GPS Garmin
Kamera underwater
Sabak dan pensil
eksplorasi senyawa bioaktif
2. Pengambilan sampel
Alat scuba diving
Timbangan digital
Cool box
Es batu
Kamera underwater
Kertas label
11
Tahapan Alat Bahan
Ember Keranjang Jaring
Plastik Karet gelang
3. Ekstraksi dan evaporasi
Erlenmeyer Gelas ukur Orbital shaker Corong kaca Botol kaca Sudip Rotary vacuum evaporator
n-heksan Etil asetat Metanol Kertas saring Whatman
4. Uji fitokimia
Spot test Gelas ukur Kompor listrik Tabung reaksi Pipet Sudip Gegep Penangas air Cawan Vortek
Hasil ekstrak metanol Hasil ekstrak etil asetat Hasil ekstrak n-heksan NH3 Kloroform H2SO4 2M Pereaksi dragendroff Pereaksi meyer Pereaksi wagner Dietil eter H2SO4 pekat CH3COOH anhidrat Akuades
5. Uji aktivitas antifouling
Kuas Alat Dasar Selam Suntikan Tali tambang
Kamera underwater Bahan substrat kayu Bahan substrat besi Bahan substrat beton
Hasil ekstrak metanol Cat biasa Sabak dan pensil
3.3. Penentuan Stasiun Pengamatan dan Pengambilan Sampel
Penentuan stasiun pengamatan dan pengamblan sampel Didemnum molle
dilakukan berdasarkan sampel acak yang mewakili beberapa bagian wilayah di
sekitar Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Lokasi pengamatan dan pengambilan
sampel ascidian Didemnum molle tersebut disajikan pada Gambar 4.
12
Gambar 4. Lokasi Pengambilan Sampel dan Survei Potensi Stok Didemnum molle di Kepulauan Seribu
1
2
3
4
5
3.4. Pengambilan Data Potensi Stok Alami
Pengamatan potensi stok alami ini meliputi distribusi dan persentase tutupan
ascidian. Pada masing-masing stasiun pengamatan, dibentangkan rol meter yang
arahnya tegak lurus dengan garis pantai sebagai transek garis. Selanjutnya pada
transek tersebut ditentukan empat titik pengambilan data yang dibedakan
berdasarkan kedalaman, yakni pada kedalaman 3, 6, 9, dan 12 meter.
Pengambilan data ascidian dilakukan dengan metode kuadrat (Suharsono,
1995), yaitu menggunakan besi berdiameter 8 mm, ukuran 1m × 1m yang
diletakkan secara acak pada setiap titik sampling dan dilakukan sebanyak tiga
ulangan. Jenis ascidian yang ditemukan pada setiap kuadrat dicatat dan dihitung
serta diidentifikasi berdasarkan morfologi tubuh dan warna yang disesuaikan
dengan buku identifikasi yang berjudul Tropical Pacific Invertebrate (Colin dan
Arneson, 1995). Pengambilan data tersebut disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengambilan Data Potensi Stok Alami
Tegak lurus dengan garis pantai
Rol meter
Transek kuadrat 1m x 1m
3 m
6 m
9 m
12 m
14
3.5. Pengambilan Sampel dan Pembuatan Substrat
Sampel Didemnum molle diambil di perairan Kepulauan Seribu, khususnya
di sekitar Pulau Pramuka. Sampel tersebut kemudian disimpan di dalam coolbox
selama perjalanan untuk menjaga kesegarannya, dan disimpan dalam freezer
sampai akhirnya sampel tersebut akan diekstrak.
Selama menunggu hasil laboratorium untuk memperoleh senyawa bioaktif
dari Didemnum molle, dapat dilakukan pembuatan substrat untuk uji aktivitas
antifouling. Substrat yang dibuat sebanyak tiga jenis substrat dengan jumlah
masing-masing 18 kotak yang berukuran 10cm × 10cm. Adapun tiga jenis
substrat ini terdiri dari bahan beton yang merupakan tiruan dari jenis bangunan
pantai seperti dermaga dan pelabuhan; bahan besi yang merupakan tiruan dari
bahan kapal laut atau pipa bawah laut; bahan kayu sebagai tiruan dari kapal
nelayan atau bangunan pantai.
3.6. Ekstraksi dan Evaporasi Komponen Antifouling
Senyawa bioaktif dapat diperoleh dengan beberapa cara, salah satunya ialah
dengan metode ekstraksi. Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu
atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponen
tersebut. Komponen yang dipisahkan dengan ekstraksi dapat berupa padatan atau
cairan. Ada beberapa metode umum ekstraksi yang dapat dilakukan, namun
metode yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi menggunakan
pelarut.
Ekstraksi komponen antifouling dilakukan dengan menghasilkan ekstrak
kasar terlebih dahulu. Komponen antifouling ini diperoleh melalui ekstraksi
15
tunggal dengan menggunakan tiga jenis pelarut. Pelarut yang digunakan terdiri
dari pelarut polar (metanol) untuk mengekstrak senyawa polar, semi polar (etil
asetat) untuk mengekstrak senyawa semi polar, dan nonpolar (n-heksan) untuk
memisahkan lemak (lipid) atau melarutkan senyawa nonpolar. Pelarutan
menggunakan pelarut nonpolar hasil akhirnya lebih sedikit dibandingkan dengan
pelarut polar dikarenakan zat-zat bermuatan (polar) umumnya yang terlibat dalam
reaksi-reaksi untuk pemeriksaan kimia (Rivai, 1995).
Sampel segar Didemnum molle yang disimpan dalam freezer di-thawing
terlebih dahulu kemudian dipotong-potong dan dimaserasi menggunakan ketiga
pelarut tersebut dengan banyak sampel yang telah dipotong-potong 50 gram pada
masing-masing pelarut. Adapun banyaknya masing-masing pelarut yang
digunakan untuk maserasi ialah 200 ml. Sampel yang dimaserasi tersebut dikocok
menggunakan orbital shaker selama 24 jam. Hasil maserasi yang berupa larutan
disaring menggunakan kertas saring Whatman sehingga dihasilkan residu dan
filtrat. Diagram alir proses ekstraksi disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram Alir Proses Ekstraksi Tunggal
(Sumber: Quinn, 1988 in Safitri, 2010)
Pelarut PA
(Pro Analisis)
Evaporasi Filtrat Hasil
ekstrak
Maserasi dengan pelarut
selama 24 jam
Penyaringan
Sampel basah
50 gram
Pencacahan
Residu
16
Hasil ekstrak (filtrat) yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor,
yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran
partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan
perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel. Filtrat yang dihasilkan
kemudian dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan ekstraknya. Proses
evaporasi ini menggunakan rotary vacuum evaporator sehingga dihasilkan
ekstrak kasar. Ekstrak kasar ini kemudian dimasukkan ke dalam botol dan ditutup
rapat. Botol tersebut kemudian dilapisi alumunium foil agar tidak terjadi oksidasi
dikarenakan botol yang digunakan berupa botol bening. Hasil ekstrak ini pun siap
untuk diuji fitokimia dan uji aktivitas antifouling.
3.7. Uji Fitokimia
Uji fitokimia merupakan analisis kualitatif yang mencakup pada aneka
ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup
(Harborne, 1987). Pada penelitian ini dilakukan uji fitokimia untuk menentukan
komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar Didemnum molle masing-
masing pelarut. Identifikasi kandungan kimia tersebut terdiri dari uji alkaloid,
steroid/triterpenoid, fenolik, dan uji kuinon.
a. Uji Alkaloid
Alkaloid adalah golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme sekunder
yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait, 2007).
Senyawa alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
dua lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid yang
mengandung heterosiklik biasanya disebut alkaloid sejati, sedangkan yang tidak
17
mengandung heterosiklik biasanya disebut protoalkaloid. Keduanya merupakan
turunan dari asam amino (Harborne, 1987). Beberapa senyawa yang tergolong ke
dalam alkaloid berperan sebagai pengatur pertumbuhan dan pemikat serangga
(Suradikusumah, 1989).
Pengujian keberadaan alkaloid dilakukan dengan cara mengambil sampel
sebanyak 1 ml, kemudian diberi larutan NH3 1-3 tetes, dan dipanaskan beberapa
saat. Setelah itu, ditambahkan larutan kloroform 5 ml, kemudian ditambahkan
H2SO4 2M. Sampel dengan penambahan berbagai larutan kemudian
dihomogenisasi. Lapisan asam yang terbentuk kemudian diambil dan dibagi
menjadi tiga ke dalam spot test untuk diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu
pereaksi dragendroff, meyer, dan wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan
pereaksi dragendroff terbentuk endapan merah hingga jingga, endapan putih
dengan pereaksi meyer, dan endapan coklat dengan pereaksi wagner.
b. Uji Steroid/Triterpenoid
Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30
asiklik, yaitu skualena. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik
lebur yang tinggi, dan umumnya sulit dikarakterisasi karena secara kimia tidak
reaktif (Harborne, 1987).
Steroid merupakan triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidrofenantrena. Pada awalnya, steroid diduga merupakan
senyawa yang hanya terdapat pada hewan (sebagai hormon seks dan asam
empedu). Saat ini, senyawa tersebut telah ditemukan pada jaringan tumbuhan
yang dikenal dengan fitosterol (Sirait, 2007).
18
Pengujian keberadaan triterpenoid/steroid dilakukan dengan cara mengambil
sampel sebanyak 1 ml, kemudian diberi larutan dietil eter 1 ml, lalu dituangkan ke
dalam cawan dan ditambahkan larutan H2SO4 pekat dan larutan CH3COOH
anhidrat 1 tetes. Hasil uji dinyatakan positif dengan ditemukan kerak berwarna
merah atau ungu untuk triterpenoid dan kerak warna hijau untuk steroid.
c. Uji Fenolik
Uji fenolik pada penelitian ini terdiri dari tiga uji, yaitu uji flavonoid, uji
tanin, dan uji saponin. Flavonoid merupakan senyawa fenol terbanyak yang
ditemukan di alam, dapat larut dalam air, dan dapat terekstraksi dengan etanol
70% (Suradikusumah, 1989). Flavonoid memiliki banyak kegunaan baik bagi
tumbuhan maupun manusia. Flavonoid digunakan tumbuhan sebagai penarik
serangga dan binatang lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran
biji. Sedangkan bagi manusia, dalam dosis kecil flavon bekerja sebagai stimulan
pada jantung, dan flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai
antioksidan pada lemak (Sirait, 2007).
Tanin merupakan substansi yang tersebar luas dalam tanaman, seperti daun,
buah yang belum matang, batang dan kulit kayu. Pada buah yang belum matang,
tanin digunakan sebagai energi dalam proses metabolisme dalam bentuk oksidasi
tanin. Tanin juga sebagai sumber asam pada buah.
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam
lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan,
bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya
membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne, 1987). Saponin
bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah
19
yang menyebabkan saponin dapat dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin
yang beracun disebut sapotoksin (Sirait, 2007).
Adapun cara untuk menguji keberadaan flavonoid, tanin, dan saponin
dengan cara menyediakan sampel sebanyak 2 ml yang dimasukkan ke dalam
tabung reaksi kemudian ditambah akuades hingga 2 kali tinggi sampel. Setelah
itu, sampel tersebut dipanaskan beberapa saat dan dibagi menjadi tiga untuk
menguji keberadaan flavonoid, tanin, dan saponin.
Cara untuk menguji keberadaan flavonoid dengan cara menambahkan
sedikit serbuk magnesium, HCl pekat, dan amil alkohol ke dalam sampel.
Kemudian dihomgenisasi dan akan terlihat lapisan amil alkohol pada bagian atas.
Hasil uji positif sampel mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya
warna jingga atau kuning pada lapisan amil alkohol.
Cara untuk menguji keberadaan tanin dengan cara menambahkan 3 tetes
FeCl3 10% ke dalam sampel, kemudian dihomogenisasi. Hasil uji positif sampel
mengandung tanin ditunjukkan dengan terbentuknya warna hitam kehijauan.
Cara untuk menguji keberadaan saponin dengan cara mengocok kuat sampel
yang telah disiapkan sebelumnya. Hasil uji positif sampel mengandung saponin
ditunjukkan dengan terbentuknya busa atau buih yang stabil sekitar 15 menit dan
tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N.
d. Uji Kuinon
Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar.
Kuinon dapat diidentifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat kelompok,
yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga
kelompok pertama umumnya terhidroksilasi dan sering terdapat dalam sel sebagai
20
glikosida atau dalam bentuk kuinon tanpa warna, dan juga bentuk dimer.
Isoprenoid kuinon terlihat dalam respirasi sel (ubikuinon) dan fotosintesis
(plastokuinon) yang secara umum terdapat dalam tumbuhan (Suradikusumah,
1989).
Adapun cara untuk menguji keberadaan kuinon dengan cara mengambil
sampel sebanyak 1 ml, kemudian ditambahkan metanol 2 ml, dan dipanaskan
selama beberapa saat. Setelah itu, ditambahkan NaOH 10% 1 ml. Hasil uji
positif sampel mengandung kuinon ditunjukkan dengan terbentuknya warna
merah.
3.8. Uji Aktivitas Antifouling
Uji aktivitas antifouling dilakukan beberapa tahap. Tahap pertama ialah
percampuran cat dengan hasil ekstrak Didemnum molle yang terbaik dari hasil uji
fitokimia. Setelah dilakukan pencampuran, cat tersebut dioleskan pada substrat
yang telah disiapkan sebelumnya menggunakan kuas. Kemudian substrat tersebut
ditanam di perairan yang banyak dijumpai biota penempel (khususnya teritip),
salah satunya di area dermaga yang menjadi tempat singgahnya kapal. Lokasi
penanaman substrat pada penelitian ini ialah di tiang-tiang dermaga Pulau Karya,
dengan cara mengikatkan substrat buatan pada tiang-tiang tersebut. Pengamatan
aktivitas antifouling dilakukan selama 1 bulan dengan melihat berapa banyak
biota penempel dan apa saja yang menempel pada substrat setiap minggunya.
Semua jenis substrat yang telah dibuat mengalami 5 perlakuan yang
dibedakan dari komposisi bahan cat dan hasil ekstrak, yaitu 100% diolesi bahan
cat (P1); 75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak (P2); 50% bahan cat ditambah
21
50% hasil ekstrak (P3); 25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak (P4); 100%
diolesi hasil ekstrak (P5). Adapun yang menjadi kontrol dalam uji aktivitas
antifouling ini ialah substrat yang tidak mengalami perlakuan apapun. Rancangan
penanaman substrat buatan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Rancangan Penanaman Substrat Buatan
3.9. Analisis Data
3.9.1.Struktur Komunitas Ascidian
Pengambilan data jenis dan jumlah dari masing-masing spesies pada semua
stasiun ditujukan untuk mengetahui struktur komunitas ascidian pada stasiun
pengamatan. Data tersebut diolah sehingga dapat diketahui nilai Kepadatan,
Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dispersi
Morisita.
Kepadatan menyatakan perbandingan jumlah individu per satuan luas,
dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Brower et al., 1989):
22
Di = ................................................................................................................. (1)
Keterangan:
Di = Jumlah individu ke-i per satuan luas
Ni = Jumlah individu ke-i
A = Luas pengambilan data (m2)
Indeks Keanekaragaman (H’) digunakan untuk mendapatkan gambaran
komunitas organisme secara matematis agar mempermudah analisis informasi
jumlah individu masing-masing spesies dalam suatu komunitas (Odum, 1971).
Keanekaragaman jenis ini dihitung dengan indeks Shannon-Wiener dengan rumus
sebagai berikut:
H’ = ......................................................................................... (2)
Keterangan:
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
pi = Perbandingan antara jumlah individu spesies ke-i (ni) dengan jumlah
individu (N)
i = 1, 2, ... n
Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah sebagai berikut:
H’ < 1 = Keanekaragaman rendah
1 < H’ < 3 = Keanekaragaman sedang
H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi
Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar
spesies dalam suatu komunitas. Semakin merata penyebaran individu antar
spesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Indeks
keseragaman menggunakan rumus sebagai berikut:
23
E = ............................................................................................................ (3)
Keterangan:
E = Indeks Keseragaman
H’ = Indeks Keanekaragaman
H’ max = Indeks Keanekaragaman maksimum (log2 S)
S = Jumlah total spesies
Kategori nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1 dengan kategori
sebagai berikut:
0 < E < 0,4 = Keseragaman kecil, komunitas tertekan
0,4 < E < 0,6 = Keseragaman sedang, komunitas labil
0,6 < E < 1 = Keseragaman tinggi, komunitas stabil
Untuk mengetahui pola sebaran spesies Ascidian ditentukan dengan
menghitung indeks dispersi Morisita (Brower et al., 1989) dengan persamaan:
Id = ………………………………………………………….…..… (4)
Keterangan:
Id = Indeks Dispersi Morisita
n = Jumlah plot pengambilan contoh
N = Jumlah indvidu dalam n plot
X = Jumlah individu pada setiap plot
Pola dispersi ascidian ditentukan dengan menggunakan kriteria sebagai
berikut (Brower et al., 1989):
Id < 1 : Pola dispersi seragam
Id = 1 : Pola dispersi acak
Id > 1 : Pola dispersi mengelompok
24
3.9.2. Potensi Stok Alami Ascidian
Data potensi stok alami ascidian dianalisis berdasarkan kepadatan, frekuensi
kemunculan jenis yang ditemukan, dan dominansi yang selanjutnya menentukan
Indeks Nilai Penting (INP) jenis tersebut. INP digunakan untuk menghitung dan
menduga dari peranan satu spesies atau jenis di dalam suatu komunitas (Brower et
al., 1989). Semakin tinggi nilai INP suatu spesies relatif terhadap spesies lainnya,
maka semakin tinggi peranan spesies tersebut dalam komunitasnya (Fachrul,
2007). INP dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kepadatan Relatif (RDi),
Frekuensi Relatif (RFi), dan Dominansi Relatif (RCi)
(Soerianegara dan Indrawan, 2005).
RDi = ....................................................................................... (5)
Keterangan:
RDi = Kepadatan relatif
Ni = Jumlah individu
= Jumlah total individu seluruh spesies
Fi = ............................................................................................................ (6)
Keterangan:
Fi = Frekuensi jenis ke-i
Pi = Jumlah Kuadran pengamatan ditemukannya suatu jenis
= Jumlah seluruh kuadran pengamatan
25
RFi = ........................................................................................ (7)
Keterangan:
RFi = Frekuensi relatif
Fi = Frekuensi jenis ke-i
= Jumlah frekuensi seluruh jenis
Ci = .................................................................................................................. (8)
Keterangan:
Ci = Luas area yang tertutupi spesies ke-i
ai = Luas total penutupan spesies ke-i
A = Luas total pengambilan contoh
RCi = ....................................................................................... (9)
Keterangan:
RCi = Penutupan relatif
Ci = Luas area yang tertutupi spesies ke-i
= Penutupan seluruh spesies
INP = RDi + RFi + RCi …................................................................................. (10)
Keterangan:
INP = Indeks Nilai Penting
RDi = Kepadatan relatif
RFi = Frekuensi relatif
RCi = Penutupan relatif
3.9.3. Hasil Ekstrak Komponen Bioaktif Didemnum molle
Untuk mengetahui persentase dari sampel yang terekstraksi atau yang
dikenal dengan istilah rendemen ekstrak kasar pada suatu sampel digunakan
rumus sebagai berikut:
NRE = …........................................................................................ (11)
Keterangan:
NRE = Nilai rendemen ekstrak (%)
b1 = Bobot sampel awal
b2 = Bobot akhir (hasil ekstrak)
3.7.4. Uji Aktivitas Antifouling
Data yang diperoleh dari hasil uji aktivitas antifouling ialah berupa data
pertambahan macrofouling. Rancangan penelitian yang digunakan pada
penelitian ini ialah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial in
time. Faktor pertama adalah jenis substrat yang terdiri dari 3 taraf, yaitu kayu,
besi, dan beton. Faktor kedua adalah perlakuan dengan komposisi bahan cat dan
hasil ekstrak yang terdiri dari 6 taraf, yaitu Kontrol tanpa perlakuan apapun (K);
100% diolesi bahan cat (P1); 75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak (P2); 50%
bahan cat ditambah 50% hasil ekstrak (P3); 25% bahan cat ditambah 75% hasil
ekstrak ( P4); 100% diolesi hasil ekstrak (P5). Masing-masing kombinasi
perlakuan mendapat 3 ulangan. Model matematika rancangan tersebut menurut
Steel dan Torrie (1991):
Yijk = µ + Yj + Pyij + εij ...................................................................................... (12)
27
Keterangan:
Yijk = Variabel respon akibat pengaruh substrat ke-i dan perlakuan ke-j pada
ulangan ke-k
µ = Nilai tengah umum
Pi = Pengaruh substrat level ke-i
Yj = Pengaruh perlakuan level ke-j
Pyij = Pengaruh interaksi antara substrat ke-i dengan perlakuan ke-j
εij = Pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi
perlakuan ke-ij
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Analisis Ragam
(ANOVA) yang dioperasikan dengan bantuan software SAS. Jika hasil analisis
ragam berbeda nyata atau berpengaruh nyata, data tersebut akan diuji lanjut
dengan uji Duncan. Adapun peubah yang diamati adalah jumlah macrofouling
yang menempel pada substrat.
1
28