Upload
maya-shofia
View
297
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
MIOMA UTERI
1. Definisi
Mioma uteri atau juga dikenal dengan leiomioma uteri atau fibroid adalah
tumor jinak rahim yang paling sering didapatkan pada wanita. Leiomioma berasal
dari sel otot polos rahim dan pada beberapa kasus berasal dari otot polos
pembuluh darah rahim (Zhiey, 2010), komposisi umumnya terdiri dari jaringan
otot, kadang-kadang dapat dijumpai jaringan ikat. Angka kejadian yang pasti sulit
ditentukan karena hampir setengahnya tidak menimbulkan gejela dan tidak perlu
terapi (Yuska, 2009). Mioma tersebut muncul pada 20% wanita usia reproduksi
(usia subur) dan biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaaan rutin
(Zhiey, 2010). Hampir 10% dari kasus ginekologi adalah mioma uteri (Yuska,
2009). Leiomioma yang tidak bergejala terjadi sebanyak 40-50% pada wanita
usia > 35 tahun. Pada umumnya unilateral (satu) atau kadang-kadang multipel (>
1). Mioma bervariasi di dalam ukuran dan jumlah. Mioma sendiri juga dikatakan
sebagai penyebab infertilitas (gangguan kesuburan) sebesar 27% pada wanita.
Keguguran atau komplikasi dapat terjadi pada wanita dengan mioma dan salah
satu penyebab histerektomi (operasi pengambilan rahim) terbesar. Leiomioma
uteri dapat berlokasi di dinding rahim, menonjol melalui rongga endometrium
atau permukaan rahim, dan dikenal sebagai subserosa, intramukosa, dan
submukosa (Zhiey, 2010). Myoma Uteri umumnya terjadi pada usia lebih dari 35
tahun. Dikenal ada dua tempat asal myoma uteri yaitu pada serviks uteri (2 %) dan
pada korpus uteri (97%), belum pernah ditemukan myoma uteri terjadi sebelum
menarche (Lesmana, 2010).
1
2. Penyebab
Penyebab dari mioma pada rahim masih belum diketahui. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa masing-masing mioma muncul dari 1 sel neoplasma
soliter (satu sel ganas) yang berada diantara otot polos miometrium (otot polos di
dalam rahim) (Zhiey, 2010). Beberapa peneliti menduga mioma tumbuh dari sel
neoplastik tunggal (monoklonal) sel – sel otot yang normal, dari sel -sel otot
imatur dalam miometrium atau dari sel – sel embrional di dinding pembuluh darah
uterus (Yuska, 2009). Hasil penelitian Miller dan Lipschlutz dikatakan bahwa
myoma uteri terjadi tergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat pada “Cell
Nest” yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus oleh hormon estrogen.
(Lesmana, 2010). Selain itu didapatkan juga adanya faktor keturunan sebagai
penyebab mioma uteri (Zhiey, 2010). Faktor genetik mungkin turut
mempredisposisi terjadinya mioma uteri, karena sering dijumpai riwayat mioma
pada keluarga penderita mioma uteri. Mioma dijumpai 3 -9 kali lebih sering pada
ras negro dari pada kaukasia, dimana mioma banyak terjadi diantara mereka yang
sangat muda dan nullipara, sementara pada ras kaukasia dijumpai pada wanita –
wanita lebih tua dan multipara. Apakah hal ini mewakili faktor genetik atau akibat
prevalensi infeksi panggul yang tinggi diantara wanita – wanita berkulit hitam
yang mengiritasi miometrium, belum jelas (Yuska, 2009). Pertumbuhan dari
leiomioma berkaitan dengan adanya hormon estrogen. Tumor ini menunjukkan
pertumbuhan maksimal selama masa reproduksi, ketika pengeluaran estrogen
maksimal. Mioma uteri memiliki kecenderungan untuk membesar ketika hamil
dan mengecil ketika menopause berkaitan dengan produksi dari hormon estrogen.
Apabila pertumbuhan mioma semakin membesar setelah menopause maka
2
pertumbuhan mioma ke arah keganasan harus dipikirkan. Pertumbuhan mioma
tidak membesar dengan pemakaian pil kontrasepsi kombinasi karena preparat
progestin pada pil kombinasi memiliki efek antiestrogen pada pertumbuhannya.
Perubahan yang harus diawasi pada leiomioma adalah perubahan ke arah
keganasan yang berkisar sebesar 0,04% (Zhiey, 2010).
3. Lokasi myoma uteri
(Lesmana, 2010) (Zhiey, 2010)
1) Mioma intramural
Apabila tumor itu dalam pertumbuhannya tetap tinggal dalam dinding
uterus (Lesmana, 2010). Mioma terdapat didinding uterus diantara serabut
miometrium. Karena pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak
dan terbentuklah semacam simpai yang mengelilingi tumor. Bila didalam dinding
rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang
berbenjol – benjol dengan konsistensi yang, padat. Mioma yang terletak pada
didinding depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong
kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi (Yuska,
2009).
3
2) Mioma Submukosum
Mioma yang tumbuh ke arah kavum uteri dan menonjol dalam kavum itu
(Lesmana, 2010). Berada dibawah endometrium dan menonjol didalam rongga
uterus. Jenis ini dijumpai 5% dari seluruh kasus moima. Jenis ini sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma uteri jenis lain meskipun
besar belum memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma submukosa
umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu
kuret, dikenal sebagai “curette bump” dengan pemeriksaan histeroskopi dapat
diketahui posisi tangkai tumor. Mioma submukosa pedunkulata adalah jenis
mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga
rahim ke vagina, dikenal dengan nama “mioma geburt” atau mioma yang
dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan infark. Pada beberapa
kasus mioma penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses diatas
(Yuska, 2009).
3) Mioma Subserosum
Mioma yang tumbuh ke arah luar dan menonjol pada permukaan uterus
(Lesmana, 2010). Apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus diliputi oleh serosa. Moima subserosum dapat tumbuh diantara
kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter. Moima
subserosum dapat pula tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke
ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga
disebut “wondering / parasitic fibroid” (Yuska, 2009).
Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus.
Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam saluaran servik sehingga ostium
4
uteri eksternum berbentuk seperti bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka
tampak bahwa mioma terdiri dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang
tersusun seperti konde / pusaran air (whorl like pattern) dengan pseudokapsul
yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang
mioma ini (Yuska, 2009).
4. Tanda dan gejala
Pada umumnya wanita dengan leiomioma tidak mengalamai gejala. Gejala
yang terjadi berdasarkan ukuran dan lokasi dari leiomioma yaitu :
Menoragia (menstruasi dalam jumlah banyak)
Perut terasa penuh dan membesar
Nyeri panggul kronik (berkepanjangan)
Nyeri bisa terjadi saat menstruasi, setelah berhubungan seksual, atau ketika terjadi
penekanan pada panggul. Nyeri terjadi karena terpuntirnya mioma yang
bertangkai, pelebaran leher rahim akibat desakan mioma atau degenerasi
(kematian sel) dari mioma
Gejala gangguan berkemih akibat mioma yang besar dan menekan saluran
kemih menyebabkan gejala frekuensi (sering berkemih) dan hidronefrosis
(pembesaran ginjal)
Penekanan rektosigmoid (bagian terbawah usus besar) yang
mengakibatkan konstipasi (sulit BAB) atau sumbatan usus
Prolaps atau keluarnya mioma melalui leher rahim dengan gejala nyeri
hebat, luka, dan infeksi
Bendungan pembuluh darah vena daerah tungkai serta kemungkinan
tromboflebitis sekunder karena penekanan pelvis (rongga panggul)
5
Poilisitemia (salah satu penyakit kelainan darah)
Asites (penimbunan cairan di rongga perut) (Zhiey, 2010).
Gejala klinis tergantung letak mioma, besarnya, perubahan sekunder dan
komplikasi. Hanya 35% – 50% penderita, mioma uteri yang menimbulkan gejala
klinis. Kebanyakan secara kebetulan pada saat pemeriksaan genekologi. Keluhan
penderita mioma uteri umumnya adalah :
Perdarahan uterus abnormal.
Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore,
metroragia dan menoragia. Dijumpai pada sekitar 30% kasus. Beberapa faktor
yang menjadi penyebab perdarahan ini adalah:
a. Permukaan endrometrium menjadi lebih luas.
b. Disertai hiperplasia endometrium.
c. Atrofi endometrium diatas mioma submukosum.
d. Peningkatan vaskularisasi pada uterus.
Rasa nyeri
Nyeri terjadi bila ada gangguan sirkulasi darah seperti pada degenerasi
merah, terjadi peradangan dan nekrosis setempat, juga dapat terjadi akibat putaran
tangkai mioma subserosum ataupun akibat kontraksi uterus dalam upaya
mengeluarkan mioma dari kavum uteri.
Efek penekanan.
Gangguan ini tergantung dari besarnya dan tempat mioma uteri dan gejala
yang dapat ditimbulkan berupa retensi urin dan obstipasi.
Abortus Spontan.
Infertilitas.
6
Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars
interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosum juga memudahkan terjadinya
abortus oleh katena distorsi rongga uterus. Apabila penyebab lain infertilitas
sudah disingkirkan, dan mioma merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka
merupakan suatu indikasi untuk dilakukan miomektomi.
5. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :
1) Anamnesis
Terasa adanya benjolan baik diperut bagian bawah atau benjolan dijalan
lahir untuk moima geburt dan umumnya tanpa gejala. Namum dapat juga disertai
gejala berupa : perdarahan uterus abnormal, pembesaran pada uterus, rasa nyeri,
efek penekanan dan intertilitas.
2) Pemeriksaan fisik
Dilakukan dengan pemeriksaan bimanual dan palpasi. Pada mioma yang
besar dapat teraba perabdominal sedangkan pada mioma yang kecil ditemukan
pembesaran uterus yang irreguler pada pemeriksaan pelviks. Dengan
menggunakan spekulum, mioma geburt yang kecil dapat diketahui dengan mudah.
Pada pemeriksaan dalam dapat diperiksa dengan jelas adanya suatu tumor,
konsisten dan tangkai mioma. Vaginal Toucher : didapatkan perdarahan
pervaginam, teraba massa, konsistensi dan ukurannya.
3) Laboraturium
Hb rendah, albumin turun, lekosit turun/meningkat, eritrosit turun. Sitologi
untuk menentukan tingkat keganasan dari sel-sel neoplasma tersebut.
7
4) Pemeriksaan penunjang :
a. Ultrasonografi
Adanya kalsifikasi ditindai oleh fokus – fokus hiperekoik dengan bayangan
akustik. Degenerasi kistik ditandai dengan adanya daerah hipoekoik (Yuska,
2009). Terlihat massa pada daerah uterus (Lesmana, 2010), untuk mengetahui
ukuran dan lokasi mioma uteri (rahim) (Zhiey, 2010).
b. Laparoskopi
Dapat melihat secara langsung mioma uteri yang kecil
c. Histeroskopi
Dapat melihat mioma uteri submukosa, jika tumornya kecil serta bertangkai dan
dapat sekaligus mengangkat massa tumor
d. Urografi
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan lokasi ureter bila telah terjadi
penekanan oleh mioma uteri
e. Rontgen : untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada yang
dapat menghambat tindakan operasi.
f. ECG : Mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi, yang dapat
mempengaruhi tindakan operasi (Lesmana, 2010).
6. Terapi
Indikasi mioma uteri yang diangkat adalah mioma uteri subserosum
bertangkai. Pada mioma uteri yang masih kecil khususnya pada penderita yang
mendekati masa menopause tidak diperlukan pengobatan, cukup dilakukan
pemeriksaan pelvic secara rutin tiap tiga bulan atau enam bulan. Adapun cara
penanganan pada myoma uteri yang perlu diangkat adalah dengan pengobatan
8
operatif diantaranya yaitu dengan histerektomi dan umumnya dilakukan
histerektomi total abdominal. Tindakan histerektomi total tersebut dikenal dengan
nama Total Abdominal Histerektomy and Bilateral Salphingo Oophorectomy
(TAH-BSO). TAH–BSO adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat
uterus, serviks, kedua tuba falofii dan ovarium dengan melakukan insisi pada
dinding, perut pada malignan neoplasmatic desease, leymyoma dan chronic
endrometriosis (Tucker, Susan Martin, 1998).
Pilihan terapi untuk leiomioma adalah konservatif meliputi pemeriksaan
berkala dengan menggunakan USG, terapi hormonal, operasi, dan intervensi
radiologi.
1. Konservatif dengan pemeriksaan periodic
Tidak semua myoma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun
medikamentosa terutama bila myoma itu masih kecil dan tidak menimbulkan
gangguan atau keluhan. Walaupun demikian myoma uteri memerlukan
pemeriksaan setiap 3-6 bulan pada pelvic dan atau USG pelvic seharusnya diulang
(Hirata, 1993).
Pada wanita menopause, myoma biasanya tidak memberikan keluhan
Bahkan pertumbuhan myoma dapat terhenti pertumbuhannya. Estrogen harus
digunakan dengan dosis yang kecil pada wanita post menopause dengan myoma
atau mengontrol gejala-gejala dan ukuran myoma harus diperiksa dengan
pemerikaan pelvic dan USG pelvic setiap 6 bulan. Perlu diingat bahwa penderita
myoma uteri sering mengalami menopause yang terlambat. Bila didapatkan
pembesaran myoma pada masa post menopause, harus dicurigai kemungkinan
9
keganasan dan pilihan terapi dalam hal ini adalah histerektomi total (Hirata,
1993).
Terapi konservatif pada penderita dengan mioma yang kecil dan tanpa
gejala tidak memerlukan pengobatan, terutama pada usia perimenopause, dan
dievaluasi rutin setiap 3 – 6 bulan dengan USG serial. Pemberian GnRHa
(Buserelien asetat) selama 16 minggu menghasilkan generasi hialin di
miometrium, sehingga uterus mengecil, akan tetapi setelah pengobatan dihentikan,
mioma kembali membesar.
Faktor – faktor yang dipertimbangkan dalam memilih cara penanganan
mioma uteri adalah:
1) Ukuran, jumlah dan letak dari mioma
2) Umur penderita
3) Riwayat status Obstetri dan Ginekologi dari penderita
4) Berat ringannya gejala yang timbul
Pemeriksaan berkala
Tidak ada ukuran standar kapan mioma harus diterapi. Mioma besar tanpa
gejala dan tidak mengarah ke keganasan tidak perlu diterapi. Pemeriksaan fisik
dan USG harus diulangi setiap 6-8 minggu untuk mengawasi pertumbuhan baik
ukuran maupun jumlah. Apabila pertumbuhan stabil maka pasien diobservasi
setiap 3-4 bulan.
2. Terapi hormonal/ pengobatan Medikamentosa dengan GnRH
Dapat menggunakan preparat progestin atau Gonadotropin Releasing
Hormone (GnRH). Preparat tersebut memproduksi efek hipoestogen yang
memiliki hasil memuaskan untuk terapi mioma.
10
Pada umumnya, pengobatan mioma uterus dilakukan secara operatif
(miomektomi atau histerektomi), karena dahulu memang belum ditemukan
pengobatan medikamentosa yang efektif untuk myoma uterus. Seperti diketahui
bahwa pertumbuhan myoma dapat dipicu oleh estrogen, saat ini telah tersedia
jenis obat yang dapat menekan pertumbuhan serta mengurangi pembesaran
myoma. Obat tersebut adalah analog GnRH. Perlu ditekankan bahwa pemberian
GnRH bukan untuk menghilangkan myoma melainkan untuk mepermudah
tindakan operatif dan mengurangi histerektomi. Oleh karena itu GnRH diberikan
sebelum tindakan paliatif (Hirata, 1993).
Penelitian multisenter dilakukan pada 114 pasien dengan myoma uterus
yang diberikan GnRH leuprotein asetat selama 6 bulan, didapatkan data sebagai
berikut : selama penggunaan analog GnRH ditemukan pengurangan volume
uterus rata-rata 67% , pada 90 wanita didapatkan pengurangan volume myoma
uterus sebanyak 80%. Bila dilihat secara keseluruhan , maka rata-rata pengecilan
myoma uterus terjadi sebanyak 44% (Hirata, 1993).
Efek maksimal dari analog GnRH baru terlihat setelah 3 bulan. Pada 3
bulan berikutnya tidak terjadi pengurangan yang berarti. Setiap myoma
memberikan hasil yang berbeda-beda terhadap pemberian analog GnRH. Ada
myoma uterus yang sama sekali tidak memberikan respon terhadap analog GnRH.
Makin tinggi kadar reseptor estrogen suatu myoma, makin tinggi pula respon
terhadap analog GnRH. Pemberian analog GnRH menyebabkan perubahan
degeneratif dari myoma, sehingga sensitivitas steroid menurun. Setelah selesai
pemberian analog GnRH, maka sintesis steroid yang tadinya terhambat, akan
11
muncul kembali, sehingga 4 bulan setelah pengobatan, myoma membesar kembali
seperti semula (Hirata, 1993).
Myoma uterus yang kromosomnya menunjukkan penyimpangan dari yang
normal merupakan myoma yang paling tidak responsif terhadap pemberian GnRH
analog. Myoma subserosum merupakan myoma yang paling banyak mengalami
penyimpangan, sehingga myoma jenis ini paling tidak responsif terhadap
pemberian analog GnRH. Myoma submukosum dan intramural tidak banyak
mengalami aberasi kromosom (Hirata, 1993).
Keuntungan pemberian analog GnRH preoperasi adalah untuk :
1. Memudahkan pelepasan perlekatan myoma dengan jaringan sekitar
2. Pada pascaoperasi jarang ditemukan perlekatan (omentum,usus)
3. Mengurangi volume uterus dan volume myoma uterus
4. Mengurangi anemia akibat perdarahan
5. Mengurangi perdarahan pada saat operasi
6. Dengan mengecilnya myoma maka dapat dilakukan tindakan laparoskopi, atau
bila tidak mungkin melakukan tindakan laparoskopi, maka laparotomi dapat
dilakukan dengan sayatan pfannenstiel.
7. Pada pengangkatan myoma uterus tidak diperlukan insisi yang luas sehingga
kerusakan miometrium menjadi minimal
8. Mempermudah pengangkatan myoma submukosum dengan histeroskopi
9. Mempermudah melakukan vaginal histerektomi. Analog GnRH sebaiknya
diberikan pada myoma yang besarnya sesuai usia kehamilan 14 sampai 18
minggu. Bila besarnya melampaui 18 minggu, maka pemberian GnRH tidak
relevan lagi
12
10. Bila situasi pasien yang ada tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan
operatif, maka dapat dicoba lakukan pemberian analog GnRH jangka panjang
untuk sekedar menekan pertumbuhan myoma uterus lebih jauh. Untuk
mengatasi efek samping dari jangka panjang pemberian analog GnRH berupa
hipoestrogen, maka diberikan estrogen-progesteron sebagai addback theraphy.
Untuk mencegah osteoporosis dapat juga diberikan kalsium atau bifosfonat
(Hirata, 1993).
3. Terapi operasi
Miomektomi (operasi pengambilan mioma uteri)
Miomektomi adalah pengambilan myoma saja tanpa pengangkatan uterus .
Miomektomi dilakukan bila masih menginginkan keturunan dan syaratnya harus
dilakukan dilatasi kuretase dulu untuk menghilangkan kemungkinan keganasan.
Miomektomi cukup berhasil untuk mengontrol perdarahan kronik akibat myoma .
Tindakan miomektomi dapat dikerjakan misalnya dengan ekstirpasi melalui
vagina pada myom geburt. Perlu diingat untuk dilakukan pemeriksaan patologi
anatomi segera setelah dilatasi kuretase dan miomektomi untuk menyingkirkan
myosarcoma atau mixed mesodermal sarcoma.
Kerugian miomektomi adalah :
a. melemahkan dinding uterus – ruptura uteri pada waktu hamil
b. menyebabkan perlekatan
c. residif (Burton, 1989).
Dipertimbangkan apabila seorang wanita masih berusia muda atau masih
ingin memiliki anak lagi. Apabila miomektomi dikerjakan karena keinginan
memperoleh anak, maka kemungkinan terjadi kehamilan adalah 30 – 50%.
13
Setelah miomektomi, pasien disarankan untuk menunda kehamilan selama 4-6
bulan karena rahim masih dalam keadaan rapuh setelah dioperasi. Komplikasi dari
miomektomi berupa risiko perdarahan harus dipertimbangkan. Kemungkinan
untuk pertumbuhan mioma lagi setelah miomektomi berkisar 20-25% pasien.
Histerektomi
Histerektomi masih diperlukan oleh 25-35% penderita tersebut.
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya merupakan tindakan
terpilih. Histerektomi dapat dilaksanakan perabdominan atau per vaginam.
Histerektomi pervaginam sulit karena uterus harus lebih kecil dari telur angsa dan
tidak ada perlekatan dengan sekitarnya . Histerektomi pervaginam diperlukan bila
ada perbaikan cystocele, rectocele atau enterocele dan akan lebih mudah bila
disertai prolapsus uteri.
Histerektomi secara umum dilakukan pada myoma yang besar dan
multiple . Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah akan
timbulnya karsinoma servisis uteri. Histerektomi supra vaginal (sub total) hanya
dilakukan apabila terdapat kesukaran teknis dalam mengangkat uterus
keseluruhannya dan bila histerektomi supravaginal ini dilakukan maka
pemeriksaan paps smear harus dilakukan 1 tahun sekali (Burton, 1989).
Pengangkatan rahim keseluruhan yang dipertimbangkan pada wanita yang
sudah tidak menginginkan anak lagi, pertumbuhan mioma yang berulang setelah
miomektomi, dan nyeri hebat yang tidak sembuh dengan terapi konvensional.
Tindakan ini terbaik untuk wanita berumur > 40 tahun dan tidak menghendaki
anak lagi atau uterus lebih besar dari kehamilan 10 – 12 minggu disertai adanya
14
gangguan penekanan atau mioma yang berkembang cepat. Histerektomi dapat
dilakukan secara abdominal atau pervaginam.
Miolisis
Koagulasi laparaskopik mioma dilakukan menggunakan neodymium.
Mengalirkan gelombang elektromagnetik untuk menghancurkan mioma dan
jaringan pembuluh yang mendukung mioma.
Embolisasi arteri uteri ( Uterine Artery Embolization / UAE)
Sinonim dari uterine artery embolization dilakukan oleh ahli radiologi.
Terapi ini dilakukan dalam keadaan pasien sadar tetapi diberi sedatif dan anti
nyeri. Terapi ini tidak memerlukan anestesi umum.
Dilakukan dengan memasukan kateter ke dalam arteri femoralis. Dengan
gambaran imaging radiologis memasukan kateter ke dalam artery dan melepaskan
partikel ke dalam arteri yang memberi suplai darah kepada myoma uteri tersebut.
Hal tersebut dapat mmbuat myoma menjadi mengecil dan akhirnya mati
(Katsumori, 1999).
Disebut sebagai cara terbaru dalam mengatasi mioma. Cara kerjanya,
memberi suntikan untuk menghentikan suplai makanan ke jaringan mioma agar
mengecil. Caranya dengan menyumbat pembuluh darah menggunakan selang
kateter. Tujuan tindakan embolisasi ini untuk menghentikan suplai darah terhadap
mioma sehingga pertumbuhan mioma akan terhenti. Efek sampingnya bisa berupa
demam atau rasa sakit beberapa jam setelah terapi. Sumbatan pada pembuluh
darah arteri di rahim untuk menangani komplikasi perdarahan pada operasi
kebidanan dan kandungan (Zhiey, 2010).
15
Ekstirpasi
Biasanya dilakukan untuk mioma geburt
MRI ultrasound ablation
Penghancuran mioma dengan gelombang suara panas hingga
memusnahkan pula jaringan mioma di sekitarnya.
Ablasi endometri
Penghancuran mioma oleh laser, gelombang elektro, ataupun balon yang
dimasukkan ke dalam rahim.
Radioterapi
Tindakan ini bertujuan untuk agar ovarium tidak berfungsi lagi sehingga
penderita mengalami menopause dan diharapkan akan menghentikan perdarahan
nantinya.
Syarat-syarat dilakukan radioterapi adalah :
a. hanya dilakukan pada wanita yang tidak dapat dioperasi (bad risk patient)
b. uterus harus lebih kecil dari kehamilan 3 bulan
c. bukan jenis submucosa
d. tidak disertai radang pelvis atau penekanan pada rectum
e. tidak dilakukan pada wanita muda sebab dapat menyebabkan menopause
f. tidak ada keganasan uterus (Katsumori, 1999).
7. Komplikasi
1) Pertumbuhan leimiosarkoma.
2) Mioma dicurigai sebagai sarcoma bila selama beberapa tahun tidak
membesar, sekonyong – konyong menjadi besar apabila hal itu terjadi sesudah
menopause
16
3) Torsi (putaran tangkai)
4) Ada kalanya tangkai pada mioma uteri subserosum mengalami putaran.
Kalau proses ini terjadi mendadak, tumor akan mengalami gangguan sirkulasi
akut dengan nekrosis jaringan dan akan tampak gambaran klinik dari abdomen
akut.
5) Nekrosis dan Infeksi
6) Pada myoma subserosum yang menjadi polip, ujung tumor, kadang-
kadang dapat melalui kanalis servikalis dan dilahirkan dari vagina, dalam hal ini
kemungkinan gangguan situasi dengan akibat nekrosis dan infeksi sekunder
(Lesmana, 2010).
8. Diagnosa Banding
1) Kehamilan.
2) Inversio uteri.
3) Adenomiosis.
4) Koriokarsinoma.
5) Karsinoma korpus uteri.
6) Kista ovarium.
7) Sarkoma uteri.
17
MIOMA DAN KEHAMILAN
Efek kehamilan pada mioma
Meningkatnya vaskularisasi uterus ditambah dengan meningkatnya kadar
estrogen sirkulasi sering menyebabkan pembesaran dan pelunakan mioma. Mioma
tumbuh lebih cepat dalam kehamilan akibat hipertrofi dan edema, terutama dalam
bulan-bulan pertama, mungkin karena pengaruh hormonal. Setelah kehamilan 4
bulan mioma tidak bertambah besar lagi.
Jika pertumbuhan mioma terlalu cepat, akan melebihi suplai darahnya
sehingga terjadi perubahan degeneratif pada tumor ini. Hasil yang paling serius
adalah nekrobiosis (degenerasi merah). Perubahan ini menyebabkan rasa nyeri di
perut yang disertai gejala- gejala rangsangan peritoneum dan gejala-gejala
peradangan, walaupun dalam hal ini peradangan bersifat suci hama. Pasien dapat
mengeluh nyeri dan demam derajat rendah, biasanya pada kehamilan 10 minggu
kedua. Palpasi menunjukkan bahwa mioma sangat lunak. Terapinya adalah
memberikan analgetika. Nyeri akan hilang dalam beberapa hari dan kehamilan
berlanjut.
Mioma uteri subserosum yang bertangkai dapat mengalami torsi akibat
desakan uterus yang makin lama makin membesar. Torsi menyebabkan gangguan
sirkulasi yang nekrosis dan menimbulkan gambaran klinik acute abdomen.
Myoma uteri atau leiomioma sering dijumpai selama masa kehamilan. Rice
dkk (1989) mendapatkan bahwa 1,4 % dari lebih 6700 kehamilan mengalami
penyulit myoma. Katz dkk(1989) melaporkan bahwa 1 dari 500 wanita hamil
dirawat inap akibat penyulit yaitu myoma (Cuninnghamm, 2006).
Pengaruh mioma pada kehamilan dan persalinan
18
Efeknya tergantung pada besar dan posisi mioma. Jika mioma
menyebabkan distorsi rongga uterus, resiko abortus spontan menjadi dua kali lipat
dan kemungkinan persalinan prematur meningkat. Tumor besar pada miometrium
juga dapat mengakibatkan distorsi rongga uterus sehingga menyebabkan
malposisi atau malpresentasi janin. Tumor di bawah uterus dapat menimbulkan
obstruksi jalan lahir, sehingga menghambat persalinan pervaginam. Tumor besar
pada dapat menyebabkan gejala penekanan pada kandung kemih atau rektum.
Terdapatnya mioma uteri mungkin mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
1) Mengurangi wanita menjadi hamil, terutama pada mioma submukosum.
2) Kemungkinan abortus bertambah karena distorsi rongga uterus.
3) Kelainan letak janin dalam rahim, pada mioma yang besar dan subserosus.
4) Menghalangi jalan lahir bayi, terutama pada mioma yang letaknya di servix.
5) Inersi uteri dan atonia uteri, terutama pada mioma yang letaknya di dalam
dinding rahim atau apabila terdapat banyak mioma.
6) Mempersulit lepasnya plasenta, terutama pada mioma submukosum dan
intramural.
Penatalaksanaan myoma uteri pada wanita yang hamil
Pada kehamilan terapi miomektomi harus dibatasi pada myoma yang jelas
memiliki tangkai yang dapat dijepit dan diikat dengan mudah. Myoma tidak dapat
dipotong dengan mudah dari uterus selama masa kehamilan, karena dapat terjadi
perdarahan yang hebat dan kadang-kadang harus dilakukan histerektomi.
Walaupun dengan pendekatan agresif tidak akan meningkatkan kematian janin
dibandingkan dengan tindakan nonbedah, tetapi hal ini perlu dibuktikan. Biasanya
19
myoma mengalami involusi nyata setelah pelahiran, karena itu, miomektomi
harus ditunda hingga terjadi involusi (Cuninnghamm, 2006).
Kebanyakan tumor terletak pada uterus bagian atas, pada kebanyakan
pasien memungkinkan persalinan pervaginam. Sedikit wanita dengan mioma letak
rendah yang menimbulkan obstruksi jalan lahir memerlukan Seksio Caesaria.
Miomektomi tidak boleh dilakukan pada operasi yang sama karena bahaya
hemostasis dan infeksi.
Sedapat-dapatnya diambil sikap konservatif karena enukleasi mioma
dalam kehamilan sangat berbahaya karena menimbulkan perdarahan hebat dan
menimbulkan abortus. Operasi dilakukan jika ada penyulit-penyulit yang dapat
menimbulkan gejala-gejala akut atau karena mioma sangat besar.
20
PERDARAHAN POSTPARTUM
1. Definisi
Perdarahan postpartum adalah semua perdarahan yang terjadi setelah
kelahiran bayi, sebelum, selama dan sesudah keluarnya placenta lebih dari 500 ml.
Berdasarkan waktu terjadinya dibedakan menjadi early (primer) dan late
(sekunder) postpartum hemorrhage. Early postpartum hemorrhage bila perdarahan
terjadi pada 24 jam setelah kelahiran plasenta dan bila lebih dari 24 jam disebut
late post partum hemorrhage (Harry, 2010).
Pada kelahiran normal akan terjadi kehilangan darah kurang lebih 200 ml
dan 100 ml pada tindakan episiotomi. Kehilangan darah sebanyak 500 ml pada
wanita hamil yang sehat ketika melahirkan tidak mengakibatkan efek yang serius
oleh karena ketika hamil terjadi peningkatan jumlah darah dan cairan tetapi akan
mengakibatkan kondisi yang mengancam pada wanita hamil yang anemis (Harry,
2010).
2. Epidemiologi
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap
tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal.
Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan.
Di Inggris (2000), separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan disebabkan oleh
perdarahan post partum. (Cunningham, 2005).
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit,
sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post
partum terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan
umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi. Menurut
21
Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap 100.000
kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post
partum (Sheris, 2002).
3. Etiologi
Etiologi perdarahan postpartum primer disebabkan oleh atonia uteri,
laserasi jalan lahir, hematoma, sisa plasenta, retensio uteri dan inversio uteri.
Faktor predisposisi terjadinya atoni uteri adalah umur yang terlalu muda ataupun
tua, multipara, partus lama dan terlantar, uterus terlalu teregang dan besar misal
pada gemelli, hidromnion dan janin besar, kelainan pada uterus seperti mioma
uteri, uterus couveloair pada solusio plasenta. Laserasi jalan lahir atau robekan
perineum, vagina serviks, forniks dan rahim akan menimbulkan perdarahan yang
banyak apabila tidak segera di reparasi. Etiologi perdarahan postpartum lambat
disebabkan oleh tertinggalnya sebagian plasenta, subinvolusi di daerah insersi
plasenta dan luka bekas seksio sesaria (Wiknjosastro,2002).
Riwayat hemorraghe postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan
faktor resiko paling besar untuk terjadinya hemorraghe postpartum sehingga
segala upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya.
Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat menyebabkan terjadinya
hemorraghe postpartum adalah multipara, perpanjangan persalinan,
chorioamnionitis, kehamilan multiple, injeksi magnesium sulfatdan perpanjangan
pemberian oxytocin. (Alan, 2003)
4. Diagnosa
Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada
perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan
22
berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan syok. perdarahan postpartum
tidak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap
persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu
ada. (Wiknjosastro,2002).
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras
biasanya akan segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan
perdarahan yang merembes karena kurang nampak sering kali tidak mendapat
perhatian. Perdarahan yang bersifat merembes bila berlangsung lama akan
mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah
perdarahan, maka darah yang keluar setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat.
(Wiknjosastro,2002).
Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi
menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena
adanya kenaikan fundus uteri setelah uri keluar. Untuk menentukan etiologi dari
perdarahan postpartum diperlukan pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis,
pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan
dalam. (Wiknjosastro,2002).
Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi
abdomen uterus didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan
lahir uterus berkontraksi dengan baik sehingga pada palpasi teraba uterus yang
keras. Dengan pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan
pemeriksaan inspekulo. Dengan cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari
serviks, vagina, hematoma dan adanya sisa-sisa plasenta. (Wiknjosastro,2002).
23
Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan perdarahan
akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta
lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan
lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek dan membesar
jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk
mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir. (Williams, 2001).
Langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan postpartum
meliputi palpasi uterus guna mengetahui bagaimana kontraksi uterus dan tinggi
fundus uteri, memeriksa plasenta dan ketuban lengkap atau tidak, ekplorasi kavum
uteri untuk mencari sisa plasenta dan ketuban, robekan rahim dan plasenta
succenturiata, Inspekulountuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises
yang pecah dan pemeriksaan laboratorium bleeding time, Hb, clot observation test
dan lain-lain.(Rustam, 2002)
5. Pencegahan dan Penanganan
Perawatan masa kehamilan
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang
disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja
dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan
melakukan antenatal care yang baik. Menangani anemia dalam kehamilan adalah
penting, ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan
postpartum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. (Rustam, 2002).
Persiapan persalinan
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,
golongan darah, dan bila memungkinkan sediakan donor darah dan dititipkan di
24
bank darah. Pemasangan cateter intravena dengan lobang yang besar untuk
persiapan apabila diperlukan transfusi. Untuk pasien dengan anemia berat
sebaiknya langsung dilakukan transfusi. Sangat dianjurkan pada pasien dengan
resiko perdarahan postpartum untuk menabung darahnya sendiri dan digunakan
saat persalinan. (Alan, 2003).
Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular
atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik.
Massae yang berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama
ataupun sesudah lahirnya plasenta bisa mengganggu kontraksi normal
myometrium dan bahkan mempercepat kontraksi akan menyebabkan kehilangan
darah yang berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan postpartum. (Alan,
2003).
Kala tiga dan Kala empat
Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan. Study
memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada pasien yang
mendapat oxytocin setelah bahu depan dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan
insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati pada pasien
dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada USG untuk memastikan.
Pemberian oxytocin selama kala tiga terbukti mengurangi volume darah yang
hilang dan kejadian perdarahan postpartum sebesar 40%. (Alan, 2003).
Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit
setelah bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada untungnya justru
dapat menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus mulai
25
mengecil dan mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari vagina,
uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak keluar dari
vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan cara menarik tali pusat
secra hati-hati. (Alan, 2003).
Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau tidak. Untuk
“manual plasenta“ ada perbedaan pendapat waktu dilakukannya manual plasenta.
Apabila sekarang didapatkan perdarahan adalah tidak ada alas an untuk menunggu
pelepasan plasenta secara spontan dan manual plasenta harus dilakukan tanpa
ditunda lagi. Jika tidak didapatkan perdarahan, banyak yang menganjurkan
dilakukan manual plasenta 30 menit setelah bayi lahir. Apabila dalam
pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap, uterus terus di eksplorasi untuk
mencari bagian-bagian kecil dari sisa plasenta. (Alan, 2003).
Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan jalan
lahir yang dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan yang cukup. Luka
trauma ataupun episiotomi segera dijahit sesudah didapatkan uterus yang
mengeras dan berkontraksi dengan baik. (Alan, 2003).
Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum
adalah memimpin kala II dan kala III persalinan secara lega artis. Apabila
persalinan diawasi oleh seorang dokter spesialis obstetrik dan ginekologi ada yang
menganjurkan untuk memberikan suntikan ergometrin secara IV setelah anak
lahir, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi.
(Wiknjosastro,2002).
Manajemen Perdarahan Postpartum
26
Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum
adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat
mungkin.Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum terdapa 2 hal pokok
yaitu resusitasi dan mengatasi penyebab perdarahan. (Prawirohardjo, 2002).
Pasien dengan hemorraghe postpartum memerlukan penggantian cairan
dan pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ – organ penting. Pantau terus
perdarahan, kesadaran dan tanda-tanda vital pasien. Pastikan dua kateter intravena
ukuran besar (16) untuk memudahkan pemberian cairan dan darah secara
bersamaan apabila diperlukan resusitasi cairan cepat. berikan normal saline atau
ringer lactat dan tranfusi darah bisa berupa whole blood ataupun packed red cell
bila diperlukan. Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine
(dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc
atau lebih). (Prawirohardjo, 2002).
Pada hemorraghe postpartum oleh karena atonia uteri, periksa ukuran dan
tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus uteri dan lakukan massase
untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila terus teraba
lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan massase yang lebih
keras dan pemberian oxytocin. Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah
kontraksi uterus dan memudahkan tindakan selanjutnya.Lakukan kompres
bimanual apabila perdarahan masih berlanjut, letakkan satu tangan di belakang
fundus uteri dan tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan ditekankan
pada fornix anterior. Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah
pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan,
pilihan berikutnya adalah ergotamine. (Prawirohardjo, 2002).
27
Perdarahan postpartum dini dapat terjadi sebagai akibat tertinggalnya sisa
plasenta atau selaput janin. bila hal tersebut terjadi, harus dikeluarkan secara
manual atau di kuretase disusul dengan pemberian obat-obat uterotonika
intravena. Perlu dibedakan antara retensio plasenta dengan sisa plasenta (rest
placenta). Dimana retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir seluruhnya
dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta merupakan
tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus yang dapat menimbulkan perdarahan
post partum primer atau perdarahan post partum sekunder. (Alhamsyah, 2008).
Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka
uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan
perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus
berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang. (Alhamsyah, 2008).
Sebab-sebab plasenta belum lahir, bisa oleh karena:
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan, jika
lepas sebagian terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus bisa karena:
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus
desidua sampai miometrium.
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan tidak adanya usaha untuk melahirkan, atau salah penanganan kala tiga,
28
sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi
keluarnya plasenta. (Alhamsyah, 2008).
Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh sisa plasenta :
Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke
tempat bersalin dengan keluhan perdarahan
Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral
dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x
500mg oral.
Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretase
Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah
berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan
lahir untuk mencari perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup.
Lakukan reparasi penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan, pastikan
penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir dibawah dasar luka. Lakukan
evaluasi perdarahan setelah penjahitan selesai. Hematom jalan lahir bagian bawah
biasanya terjadi apabila terjadi laserasi pembuluh darah dibawah mukosa,
penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase. Apabila hematom sangat
29
besar curigai sumber hematom karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi
untuk menghentikan perdarahan. (Prawirohardjo, 2002)
Tindakan operatif kala uri
a. Perasat crede’
Perasat crede’ bermaksud melahirkan plasenta yang belum terlepas dengan
ekspresi dengan syarat uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria kosong.
Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari
terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan
permukaan belakang. setelah uterus dengan rangsangan tangan berkontraksi baik,
maka uterus ditekan ke arah jalan lahir. Gerakkan jari-jari seperti meremas jeruk.
perasat Crede’ tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena
dapat menimbulkan inversion uteri. Perasat Crede’ dapat dicoba sebelum
meningkat pada pelepasan plasenta secara manual. (Wiknjosastro,2002).
b. Manual plasenta
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan
pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan
uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah
persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan
dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus. (Wiknjosastro,2002)
Sebelum dikerjakan, penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum
penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat.
Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan memberikan suntikan
diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri.
Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah satu tangannya (tangan
30
kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain (tangan kanan) dengan jari-jari
dikuncupkan membentuk kerucut. (Wiknjosastro,2002)
Gambar 1. Meregang tali pusat dengan jari-jari membentuk kerucut
Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu
melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring),
ini dapat diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang
membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri
dari luar dinding perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah.
Setelah tangan yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya
ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada bagian
pinggir plasenta yang terlepas. (Wiknjosastro,2002)
31
Gambar 2. Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus
Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam
antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan
gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau
mungkin), sementara tangan yang di luar tetap menahan fundus uteri supaya
jangan ikut terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus
(perforasi) dapat dihindarkan. (Wiknjosastro,2002)
Gambar 3. Mengeluarkan plasenta
Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk mengetahui
kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian plasenta yang tersisa.
Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti yang baru. Setelah plasenta
32
keluar, gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, segera berikan uterotonik
(oksitosin) satu ampul intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan
inspeksi dengan spekulum untuk mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina
atau serviks dan apabila ditemukan segera di jahit (Wiknjosastro,2002).
c. Eksplorasi kavum uteri
Indikasi diduga tertinggalnya jaringan plasenta (plasenta lahir tidak lengkap),
setelah operasi vaginal yang sulit, dekapitasi, versi dan ekstraksi, perforasi dan
lain-lain, untuk menetukan apakah ada rupture uteri. Eksplosi juga dilakukan pada
pasien yang pernah mengalami seksio sesaria dan sekarang melahirkan
pervaginam (Wiknjosastro,2002).
Tangan masuk secara obstetric seperti pada pelepasan plasenta secara manual
dan mencari sisa plasenta yang seharusnya dilepaskan atau meraba apakah ada
kerusakan dinding uterus. untuk menentukan robekan dinding rahim eksplorasi
dapat dilakukan sebelum plasenta lahir dan sambil melepaskan plasenta secara
manual (Wiknjosastro,2002).
ABORTUS
33
1. Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan adalah kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan,
sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut abortus
provokatus. Abortus provokatus ini dibagi 2 kelompok yaitu abortus provokatus
medicinalis dan abortus provokatus kriminalis. Disebut medicinalis jika
didasarkan pada pertimbangan dokter untuk menyelamatkan ibu.
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus
banyak yang tidak dilaporkan, kecuali terjadi komplikasi.Abortus spontan yang
tidak jelas umur kehamilannya hanya sedikit memberikan gejala atau tanda
sehingga biasanya ibu tidak melapor atau berobat. Sementara itu, dari kejadian
yang diketahui 15-20%merupakan abortus spontan atau kehamilan ektopik.
Sekitar 5% dari pasangan yang mencoba hamil akan menagalami 2 keguguran
yang berurutan, dan sekitar 1% dari pasanagan mengalami 3 atau lebih keguguran
yang berurutan.
Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali secara
berturut-turut. Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan
bahwa setelah 1 kali abortus spontan, pasangan punya resiko 15% untuk
mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan
meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3
abortus berurutan adalah 30-45%
2. Etiologi
34
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering
diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Factor genetic. Translokasi parental keseimbangan genetic
Mendelian
Multifaktor
Robertsonian
Respirokal
b. Kelainan kongenital uterus
Anomali duktus mullerian
Septum uterus
Uterus bikornis
Inkompetensi serviks uterus
Mioma uteri
Sindroma Asherman
c. Autoimun
Aloimun
Mediasi imunitas humoral
Mediasi imunitas seluler
d. Defek fase luteal
Factor endokrin eksternal
Antibodi antitiroid hormone
Sintesis LH yang tinggi
e. Infeksi Hematologik
35
f. Lingkungan
g. Faktor hormonal
3. Macam-macam Abortus
1) Abortus Iminens
Abortus iminens merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai dengan
perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik
dalam kandungan.
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan
pervaginam Pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu penderita mengeluh
mules sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam.
Ostium uteri masih tertutup besarnya uterus masih sesuai dengan umur kehamilan
dan tes kehamilan urin masih positif. Untuk menentukan prognosis abortus
iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar hormone hCG pada urin dengan
cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan
pengenceran 1/10.Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka prognosisnya
adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negative maka prognosinya dubia ad
malam.
Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pada inform consent yang
diberikan. Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan tersebut maka pengelolaan
harus maksimal unuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG
diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetaui keadaan
plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri
janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT.
36
Denyut jantung janin dan gerakan janin diperhatikan disamping ada tidaknya
hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis.
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdaraha
berhenti, bisa diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi
tambahan hormone progesterone atau derivatnya untuk mencegah abortus.
Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus
tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.
2) Abortus insipiens
Abortus insipiens merupakan abortus yang sedang mengancam yang
ditandai dengan serviks teah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan
tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat,
perdarahannya bertambah sesuai pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan.
Besar uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin kehamilan
masih positif . pada pemeriksaan USG akan didapati pembesaran uterus yang
masih sesuai dengan umur kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janin masih
jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal, biasanya terlihat penipisan serviks
uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan plasenta dari
dinding uterus.
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan
perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan
evakuasi /pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan
banyak. Pada umur kehamilan diatas 12 minggu, uterus biasanya sudah melebihi
telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus hati-hati, kalau perlu dilakukan
37
evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan tindakan kuretase
sambil diberi uterotunika. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perforasi
pada dinding uterus. Pasca tindakan perlu perbaikan keadaan umum, pemberian
uterotunika dan antibitik profilaksis.
3) Abortus Complete
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat jann kurang dari 500 gram.
Semua ahsil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup,
uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai
dengan umur kehamilan. Peeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan
klinis sudah memadai. Pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7-
10 hari setelah abortus. Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus
ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi roborantia bila keadaan pasien
memerluka . Uterotonika tidak diberikan.
4) Abortus incomplete
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari cavum uteri. Batasan ini juga
masih terpancanag pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di daam
uterus dimanapada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan
teraba jaringan dalam cavum uteri atau menonjol pa ostium uteri eksternum.
Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit
bergantung pada jarinagan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental
site masih terbuka sehinga perdarahan berjalan terus.
38
Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau shock hemorragis sebelum
sisa jaringan konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali dengan
perhatian terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang
terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya
dilakukan bila kita ragu dengan diagnosis secara klinis. Besar uterus sudah lebih
kecil dari umur kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di dalam
kavum uteri tampak massa hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan.
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan
pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal
terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung
baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase,
tindakan kuretase harus dilakukan dengan hati-hati.sesuai dengan keadaan umum
ibu dan besarnya uterus. Tindakan yang dianjurkan adalah dengan karet vakum
menggunakan kanula dari plastic. Pasca tindakan perlu diberikan uterotonika
parenteral ataupun peroral dan antibiotika.
5) Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus yang telah meninggal
dalam kandungan sebelum usia kehamilan 20 minggi dan hasil konsepsi
seluruhnya masih tertahana dalam kandungan. Penderita misses abortion
umumnya tidak merasakan keluhan apapun kecuali merasakan pertumbuhan
kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan diatas 14 minggu
sampai 20 minggu penderita justru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan
tanda-tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang. Kadangkala
missed abortion juga diawali dengan abortus imminens yang kemudian merasa
39
sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada pemeriksaan tes urin kehamilan
biasanya negative setelah satu minggu setelah terhentinya pertumbuhan
kehamilan. Pada pemeriksaan USG didapatkan uterus yang mengecil, kantong
gestasi yang mengecil dan bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang
tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4 minggu harus diperhatikan
kemungkinan terjadinya gangguan penjendalan darah oleh karena
hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi
dan kuretase. Pengelolaan missed abortion perlu diutarakan kepada pasien dan
keluarganya secara baik karena risiko tindakan operasi dan kuretase ini dapat
menimbulkan komplikasi perdarahan atau tidak bersihnya evakuasi/kuretase
dalam sekali tindakan.
Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat
dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks
uterus memungkinkan. Bila umur kehamilan diatas 12 minggu atau kurang dari
20 minggu dengan keadaan serviks yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan
induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan kanalis
servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain dengan pemberian infus intra
vena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit dalam 500cc dekstrosa 5% tetesan
20tetes/menit dan dapat diulangi smapai total oksitosin 50 unit dengan tetesan
dipertahankan untuk mencegah terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil,
penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulangi biasanya
maksimal tiga kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil keluar dengan
induksi inidilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin.
40
Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan
prostaglandin atau sintesisnya untuk melakukan induksi pada missed abortion.
Salah satu cara yang banyak disebutkan adalah pemberian misoprostol secara
sublingual sebanyak 400 mg yang dapat diulang dengan jarak 6 jam. Dengan obat
ini akan terjadi pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi pembukaan ostium cerviks
sehingga tindakan evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan untuk mengosongkan
cavum uteri. Kemungkinan penyulit dalam tindakan missed abortion lebih besar
mengingat jaringan plasenta yang menempel pada dinding uterus biasanya sudah
lebih kuat. Apabila terdapat hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfusi darah
segar atau fibrinogen. Pasca tindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus intra
vena cairan oksitoksin dan cairan antibiotic.
6) Abortus habitualis
Abortus habitualis ialah abortus spontan ynag terjadi tiga kali atau lebih
berturut-turut. Penderita abortus habitualis biasanya tidak sulit untuk hamil
kembali, tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran atau abortus secara
berturut-turut. Penyebab abortus habitualis selain factor anatomis banyak yang
mengaitkannya dengan factor imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen
lymphocyte trophoblast (TLX) bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak
ada, maka akan terjadi abortus. Kelainan ini dapat diatasi dengan transfusi
leukosit atau heparinisasi. Akan tetapi, keadaan trakhir menyebutkan perlunya
mencari penyebab abortus ini secara lengkap sehingga dapat diobati sesuai dengan
penyebabnya.
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks
yaitu keadaan dimana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap
41
bertahan menutup setelah kehamilan melewati trimester pertama, dimana ostium
serviks akan membuka (inkompeten) tanpa diserta rasa mulas/kontraksi Rahim
dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh
trauma serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan usaha
pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas sehingga diameter
kanalis servikalis sudah melebar.
Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis yang
cermat. Dengan pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis
cervikalis dan didapati selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai
memasuki trimester kedua. Diameter ini melebihan 8 mm. Untuk itu, pengelolaan
penderita inkompetensia serviks dianjurkan untuk periksa hamil seawal mungkin
dan bila dicurigai adanya inkompetensia serviks harus dilakukan tindakan untuk
memberikan fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban dengan
berkembangnya umur kehamilan. Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12-14
minggu dengan cara SHIRODKAR atau McDONALD dengan melingkari kanalis
servikalis dengan benang sutra/MERSILENE yang tebal dan simpul baru dibuka
setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.
7) Abortus infeksiosus, abortus septic
Abortus infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genetalia.
Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran
darah tubuh atau peritoneum (septikemi atau peritonitis). Kejadian merupakan
salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering terjadi apalagi bila
dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis. Abortus infeksiosus dan
abortus septik perlu segera mendapatkan pengelolaan yang adekuat karena dapat
42
infeksi yang lebih luas selain disekitar alat genitalia juga ke rongga peritoneum,
bahkan dapat keseluruh tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh dalam keadaan
syok septik.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya
tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat
gejala dan tanda panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardi, perdarahan per
vagina yang berbau, uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada
laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan leukositosis. Bila sampai terjadi
sepis dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi, mengigil dan tekanan
darah turun.
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan
tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur
dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang
keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat diberika penicillin 4 kali 1,2 juta
unit atau ampicillin 4x1 gram ditambah gentamicin 2x80 mg dan metronidazole
2x1 gram. Selanjutnya antibiotic disesuaikan dengan hasil kultur.
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik
minimal 6 jam setelah antibiotic adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat
tindakan uterus dilindungi dengan uterotonika.Antibiotik dilanjutkan sampai 2
hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari pemberian tidak memberikan
respon harus diganti dengan antibiotic yang lebih sesuai. Apabila ditakutkan
terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis
vagina/uterus dengan larutan peroksida (H2O2) kalau perlu histerektomi total
secepatnya.
43
4. Teknik Bedah Untuk Aborsi
Dilatasi dan Kuretase
Abortus bedah dilakukan mula-mula dengan mendilatasi serviks dan
kemudian mengosongkan uterus dengan mengerok isi uterus (kuretase tajam)
secara mekanis, melakukan aspirasi vakum (kuretase isap), atau keduanya. Tehnik
untuk vakum manual dini baru-baru ini diulas oleh Maclsaac da Jones (2000).
Kemungkinan terjadinya penyulit termasuk perforasi uterus, laserasi serviks,
perdarahan, pengeluaran janin dan plasenta yang tidak lengkap, dan infeksi
meningkat setelah trimester pertama. Atas alasan ini, kuretase atau aspirasi vakum
seyogyanya dilakukan sebelum minggu ke 14.
Untuk usia gestasi di atas 16 minggu, dilakukan dilatasi dan evakuasi
(D&E) tindakan ini berupa dilatasi serviks lebar diikuti oleh destruksi dan
evakuasi mekanis bagian-bagian janin. Setelah janin seluruhnya dikeluarkan,
digunakan kuret vakum berlubang besar untuk mengeluarkan plasenta dan
jaringan yang tersisa. Dilatasi dan ekstraksi (D&X) serupa dengan D&E, kecuali
bahwa pada D&X bagian janin pertama kali diekstraksi melalui serviks yang telah
membuka untuk mempermudah tindakan.
Tanpa adanya penyakit sistemik pada ibu kehamilan biasanya diakhiri
dengan kuretase atau evakuasi /ekstraksi tanpa rawat inap. Apabila abortus tidak
dilakukan di lingkup RS perlu tersedia fasilitas dan kemampuan untuk resusitasi
jantung paru yang efektif dan akses segera ke rumah sakit.
44
DAFTAR PUSTAKA
Alhamsyah. Retensio Plasenta. Disitasi tanggal 22 September 2008dari : www.alhamsyah.com
Bagian Obstetri & Ginekologi FK. Unpad. 1993. Ginekologi. Elstar. Bandung
Burton,CA dkk, 1989, Surgical management of leiomyoma during pregnancy
Carpenito, Lynda Juall, 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom KD. Uterine Leiomyomas. In : Williams Obstetrics. 22ndedition. Mc Graw-Hill. New York : 2005.
Curren Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment, Ninth edition : Alan H. DeCherney and Lauren Nathan , 2003 by The McGraw-Hill Companies, Inc.
Galle, Danielle. Charette, Jane.2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. EGC. Jakarta
Hartono, Poedjo. 2000. Kanker Serviks/Leher Rahim & Masalah Skrining di Indonesia. Kursus Pra kongres KOGI XI Denpasar. Mimbar Vol.5 No.2 Mei 2001
Hirata, JD dkk, 1993, Pregnancy after medical therapy of adenomyosiswith
donadotropin-releasing hormone agonist, Fertil Steril 59-444
Katsumori, T dkk, 1999, Imaging of a uterine myoma after embolization, AJR
172:248
Lesmana, 2010, Asuhan Keperawatan Ibu Dengan Myoma Uteri, Diakses tanggal 13 Januari 2010, < http://wirawan-lesmana.blogspot.com/2010/09/asuhan-keperawatan-ibu-dengan-myoma.html>.
Prawirohardjo S. Perdarahan Paca Persalinan. Dalam : Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP. 2002.
Prof.Dr.Rustam Mochtar, MPH, Sinopsis Obstretis, edisi 2 jilid 1, Editor Dr. Delfi Lutan, SpOG
Saifidin, Abdul Bari,dkk. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo & JNKKR-POGI. Jakarta
Sarwono.2009. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.jakarta
45
Yuska, 2009, Mioma Uteri, Diakses 13 Januari 2010, < http://anandiayuska.com/?
p=110>.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Tindakan Operatif Dalam Kala Uri. Dalam : Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
Wiknjosastro H, Hanada . Perdarahan Pasca Persalinan. Disitasi tanggal 21 September 2008 dari :http://www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/cklobpt12 .html
Williams Obstretics 21 st Ed: F.Gary Cunningham (Editor), Norman F.Grant MD,Kenneth J,.,Md Leveno, Larry C.,Iii,Md Gilstrap,John C.,Md Hauth, Katherine D.,Clark,Katherine D.Wenstrom,by McGraw-Hill Profesional (April 27,2001)
Zhiey, 2010, Mioma Uteri, Diakses tanggal 13 Januari 2010, < http://obstetricauxetoiles.blogspot.com/>.
46