41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ-organ lain 12 Kusta memiliki dua macam tipe gejala klinis yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB). 1,12 Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat dunia terutama di Negara berkembang, dan Indonesia merupakan penyumbang penyakit kusta setelah India dan Brazil. 12 Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Leprae, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang intraseluler obligat. 2 Kusta bukan penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit menular. Penyakit menular ini pada umumnya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas. 1 Penularan kusta terjadi lewat droplet, dari hidung dan mulut, kontak yang lama dan sering pada klien yang tidak diobati. Manusia adalah satu-satunya yang diketahui merupakan sumber

Morbus Hansen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

morbus hansen

Citation preview

Page 1: Morbus Hansen

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi

menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae yang

secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ-organ lain12

Kusta memiliki dua macam tipe gejala klinis yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB).1,12

Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar

masyarakat dunia terutama di Negara berkembang, dan Indonesia merupakan penyumbang

penyakit kusta setelah India dan Brazil.12

Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Leprae, yang

pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas

bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Kusta adalah penyakit infeksi

yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang intraseluler obligat.2

Kusta bukan penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit menular. Penyakit menular

ini pada umumnya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi

klinis yang luas.1 Penularan kusta terjadi lewat droplet, dari hidung dan mulut, kontak yang lama

dan sering pada klien yang tidak diobati. Manusia adalah satu-satunya yang diketahui merupakan

sumber Mycobacterium leprae. Kusta menular dari penderita yang tidak diobati ke orang lainnya

melalui pernapasan dan kontak kulit. Kusta pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot,

tulang dan testis. Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium

leprae yang intraseluler obligat , demikian menurut Kosasih.2,5

Kusta bukan penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit menular. Penyakit menular

ini pada umumnya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi

klinis yang luas.1

Penularan kusta terjadi lewat droplet, dari hidung dan mulut, kontak yang lama dan

sering pada klien yang tidak diobati. Manusia adalah satu-satunya yang diketahui merupakan

sumber Mycobacterium leprae. Kusta menular dari penderita yang tidak diobati ke orang lainnya

melalui pernapasan dan kontak kulit.11 

Page 2: Morbus Hansen

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang dibahas dalam referat ini adalah :

1)      Apakah definisi spondilitis Morbus Hansen?

2)      Bagaimana epidemiologi Morbus Hansen?

3)      Apakah etiologi Morbus Hansen?

4)      Bagaimana bentuk-bentuk dan gejala morbus hansen?

5)      Bgaimana penularan penyakit morbus hansen ?

6)      Bagaimana patofisiologi morbus Hansen ?

7)      Bagaimana manifestasi klinis morbus hansen?

8)      Bagaimana pemeriksaan morbus hansen?

9)      Bagaimana penatalaksanaan morbus hansen?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penyusunan referat ini adalah :

1     Mengetahui definisi spondilitis Morbus Hansen?

2     Mengetahui epidemiologi Morbus Hansen?

3     Mengetahui etiologi Morbus Hansen?

4     Mengetahui bentuk-bentuk dan gejala morbus hansen?

5     Mengetahui penularan penyakit morbus hansen ?

6     Mengetahui patofisiologi morbus Hansen ?

7     Mengetahui manifestasi klinis morbus hansen?

8     Mengetahui pemeriksaan morbus hansen?

9     Mengetahui penatalaksanaan morbus hansen?

1.4  Manfaat

Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang morbus hansen dan

penatalaksanaannya.

Page 3: Morbus Hansen

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Definisi Penyakit Kusta

Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan

gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai

dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada

tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.

Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada

saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda

Page 4: Morbus Hansen

yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,

menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak

seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota

tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan

sering disamakan dengan kusta 2

Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan

organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota

tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius,

tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa

tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-

kanak. Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami

bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota

badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya

memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga

yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka

ditekan dengan jari tidak terasa sakit.

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah

endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang

tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV

yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih

tinggi dari wanita.2,5

Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah bilamana

ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan

bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak

pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi pada satu tempat, hasil

pemeriksaan bakteriologis negatif (-), Tipe kusta ini tidak menular.Sedangkan Kusta

tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak putih

kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan

dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat, kerusakan

banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe seperti ini sangat

mudah menular.1

Page 5: Morbus Hansen

2.2  Epidemiologi Penyakit Kusta

2.2.1        Epidemiologi Secara Global

Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus

terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham

penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.

2.2.2        Epidemiologi Kusta di Indonesia

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian

menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena

perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan

pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita

kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia

diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang

datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.

Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di

Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat

Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta

sesuai target yang ditetapkan oleh World Health Organisation yaitu tahun 2000.12

2.3  Etiologi

Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf

lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8

mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah

diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau

alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak

dan tidak berspora, dan dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok,

termasuk masa irreguler besar yang disebut globi. Micobakterium ini termasuk kuman

aerob. Kuman Mycobacterium leprae menular kepada manusia melalui kontak

langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah

dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima tahun,

tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit

Page 6: Morbus Hansen

mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak

berfungsi sebagaimana mestinya.4,6 Menurut Marwali Harahap (2000),

Mycobacterium leprae mempunyai 5 sifat, yakni : 1. Mycobacterium leprae

merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan.

2. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin. 3.

Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi

D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin). 4. Mycobacterium leprae adalah satu-satunya

spesies mikobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer.5. Ekstrak

terlarut dan preparat Mycobacterium leprae mengandung komponen antigenik yang

stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji kulit positif pada penderita

tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.7.9,10

2.4  Bentuk-bentuk dan Gejala Penyakit Kusta

2.4.1          Klasifikasi Penyakit Kusta 4.5.12

1)     Jenis klasifikasi yang umum

a.      Klasifikasi Internasional (1953)

1.    Indeterminate (I)

2.    Tuberkuloid (T)

3.    Borderline-Dimorphous (B)

4.    Lepromatosa (L)

b.     Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).

1.    Tuberkoloid (TT)

2.    Boderline tubercoloid (BT)

3.    Mid-berderline (BB)

4.    Borderline lepromatous (BL)

5.    Lepromatosa (LL)

c.      Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan

modifikasi WHO (1988)

1.    Pausibasilar (PB)

Page 7: Morbus Hansen

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif

menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi

Madrid.

2.    Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria

Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta

dengan BTA positif.

Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan sebagai

berikut : Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun

hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini. Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat

klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.

Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO

PB MB

1.      Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi,infiltrat, plak eritem, nodus)

2.      kerusakan saraf(menyebabkan hilangnya senasasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)

1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris

Hilangnya sensasi yang jelas

Hanya satu cabang saraf

> 5 lesi Distribusi

lebih simetris

Hilangnya sensasi kurang jelas

Banyak cabang saraf

Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan

menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi Mycobacterium

leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum penyakit kusta.

Tabel 2. Gambaran klinis tipe PB

Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate

Page 8: Morbus Hansen

(TT)tuberculoid

(BT)(I)

LesiTipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Sensibilitas

BTAPada lesi kulitTes lepromin

Makula dibatasi infiltrat

Satu atau beberapa

Terlokalisasi & asimetris

Kering, skuama

Hilang

NegatifPositif kuat (3+)

Makula dibatasi infiltrat saja

Satu dengan lesi satelit

Asimetris

Kering, skuama

Hilang

Negatif atau 1 +Positif (2 +)

Makula

Satu atau beberapa

Bervariasi

Dapat halus agak berkilat

Agak terganggu

Biasanya negatif

Meragukan (1 +)

Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB

KarakteristikLepromatosa

(LL)Borderline

lepromatosa (BL)

Mid-borderline

(BB)LesiTipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Sensibilitas

BTAPada lesi kulit

Pada hembusan

Makula, infiltrat difus, papul, nodus

Banyak, distribusi luas, praktis tidak ada kulit sehat

simetrisKering, skuama

Halus dan berkilap

Todak terganggu

Banyak (globi)Banyak (globi)

Makula, plak, papul

Banyak, tapi kulit sehat masih ada

Cenderung simetris

Halus dan berkilap

Sedikit berkurang

Banyak

Plak, lesi berbntuk kubah, lesi punched-outBeberapa, kulit sehat (+)

asimetris

sedikit berkilap, beberapa lesi kering

berkurang

Page 9: Morbus Hansen

hidungTes lepromin

NegativeBiasanya tidak ada

Negatif

agak banyaktidak ada

biasanya negatif, dapat juga (±)

Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat

kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang

penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan

penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,

histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik

dan untuk pemberantasan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :

1.    Tipe tuberkoloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau

beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat

ditemukan lesi yang regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik

dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea

sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan

otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman

merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman

kusta.

2.    Tipe borderline tubercoloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang

sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi

gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe

tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya

asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3.    Tipe mid borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum

penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai.

Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi

kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi

Page 10: Morbus Hansen

sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan

lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4.    Tipe borderline lepromatosa

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah

sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih

bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan

distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada

bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat

lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti

punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi,

berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan

dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.

5.    Tipe lepromatosa (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,

berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan

anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping

telinga. Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung

tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak

penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar

dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan

keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai

pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.

Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. Bila

penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama

menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer

mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan

pengecilan otot tangan dan kaki.

Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley

dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate

(I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di

sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau

Page 11: Morbus Hansen

muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf.

Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan histopatologik.

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau

tipe dari penyakit tersebut yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh

manusia, Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin

melebar dan banyak, Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,

medianus, aulicularis magnus serta peroneu, Kelenjar keringat kurang kerja

sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil kemerahan

(leproma, nodul) yang tersebar pada kulit, Alis rambut rontok, Muka berbenjol-

benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).

Gambar 1. Jenis Kusta Tipe Paucibacilary

Jenis Multibacillary

Page 12: Morbus Hansen

 

Gambar 2. Kusta Tipe Multibacilary

2.5  Penularan Leparae

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas

penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama

tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui

lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil

terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada

penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme

kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang

terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui

plasenta.2

Dua pintu keluar dari Mycobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan

adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa

menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum

dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.

Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel

deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan

bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan

adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar di lapisan keratin superfisialkulit

di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa

organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung

telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa

hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000

Page 13: Morbus Hansen

bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan

adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret

hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda

tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni

selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta

adalah : 1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang

sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam. 2. Kontak kulit dengan kulit.

Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik

mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler kepada

orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi

sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui

saluran pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah

dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :

1)   Faktor Kuman kusta

Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh (solid)

bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan dari pada orang yang

tidak utuh lagi Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, bermentuk batang

dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan

ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin.

Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari tergantung

suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja dapat

menimbulkan penularan.11.12

2)   Faktor Imunitas

Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil

penelitian menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 0rang yang tidak

menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini

belum lagi mempertimbangkan pengaruh pengobatan.11

3)   Keadaan Lingkungan

Page 14: Morbus Hansen

Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan,

merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan

meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor utama

mencegah munculnya kusta.

4)   Faktor Umur

Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini

meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan

kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan

puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.11

5)   Faktor Jenis Kelamin

Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita,

kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologis

seperti pubertas, monopause, Kehamilan, infeksi dan malnutrisi akan

mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta.11

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian

menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak

menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum

lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh

kuman Mycobacterium leprae menderita kusta.10

2.5.1        Masa inkubasi

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti

berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah

beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi

maksimum dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan

pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian

berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta

tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.

Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun;

meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun,

Page 15: Morbus Hansen

yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa

inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.3

2.5.2        Reservoir

Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan

sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar diketahui secara

alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang

dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi penularan dari

Armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada

monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.1.6

2.6  Patogenesis

Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum

diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering

ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui

mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium leprae terhadap kulit bergantung pada faktor

imunitas seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium leprae pada suhu tubuh yang

rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.7.9

Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama

terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel

Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh,

maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel

mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.2.3.4

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat

bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.11

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,

sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman

di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif

dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera

di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan

saraf dan jaringan disekitarnya.5,7

Page 16: Morbus Hansen

Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium lepare,

disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya

sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan,

kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf

berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.11

2.7  Manifestasi Klinis Penyakit Kusta

Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda tersangka kusta (Suspek) adalah

sebagai berikut : Tanda-tanda pada kulit, Bercak/kelainan kulit yang merah/putih

dibagian tubuh, Kulit mengkilat, Bercak yang tidak gatal, Adanya bagian-bagian yang

tidak berkeringat atau tidak berambut,     Lepuh tidak nyeri, Tanda-tanda pada syaraf,

Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan, Gangguan gerak

anggota badan/bagian muka, Adanya cacat (deformitas), Luka (ulkus) yang tidak mau

sembuh.

Gejala-gejala kerusakan saraf menurut A. Kosasih (2008), antara lain adalah : N.

fasialis : Lagoftalmus.    N. ulnaris : Anastesia pada ujung jari bagian anterior

kelingking dan jari manis, Clawing kelingking dan jari manis, Atrofi hipotenar dan

otot interoseus dorsalis pertama. N. medianus : Anastesia pada ujung jari bagian

anterior ibu jari, telunjuk dan jari tenga, Tidak mampu aduksi ibu jari, Clawing ibu

jari, telunjuk dan jari tengah, Ibu jari kontraktur. N. radialis : Anastesia dorsum

manus, Tangan gantung (wrist/hand drop), Tidak mampu ekstensi jari-jari atau

pergelangan tangan. N. poplitea lateralis : Kaki gantung (foot drop), N.tibialis

posterior, Anastesia telapak kaki, Clow toes. 6

2.8  Pemeriksaan Penderita Kusta

2.8.1        Anamnesis

Subyektif : Keluhan penderita, Kelainan kulit, Mati rasa, Gangguan fungsi

pada saraf.

Obyektif : Riwayat kontak dengan penderita, Latar belakang keluarga

misalnya Keadaan sosial ekonomi.

Page 17: Morbus Hansen

Evaluasi data : Untuk menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya,

Sebagai sumber acuan pengobatan MDT dan klasifikasi penyakit kusta.

2.8.2        Pemeriksaan fisik

Inspeksi : Inspeksi adalah suatu proses observasi yang dilaksanakan secara

sistematik. Observasi dilaksanakan dengan menggunakan indra

penglihatan, pendengaran, penciuman sebagai suatu alat untuk

mengumpulkan data. Inspeksi dimulai pada saat berinteraksi dengan

penderita dan dilanjutkan dengan pemeriksaan lebih lanjut. Ruangan

membutuhkan cahaya yang adekuat (terang) diperlukan agar petugas dapat

membedakan warna dan bentuk tubuh.

Palpasi : Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n.

auricularis magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n.

tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran,

konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka

pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.2

Saraf ulnaris - untuk memeriksa saraf ulnaris kiri, pegang lengan bawah

kiri penderita dengan tangan kiri Anda; raba di bawah siku penderita

dengan tangan kanan Anda. Anda akan menemukan saraf ulnaris di

cekungan pada sisi median (dalam). Lakukan sebaliknya untuk memeriksa

saraf ulnaris lengan kanan.2

Gambar 3.pemeriksaan saraf ulnaris

Saraf medianus - untuk memeriksa saraf medianus, pegang pergelangan

penderita dengan telapak tangannya menghadap ke atas; raba hati-hati di

Page 18: Morbus Hansen

tengah-tengah pergelangan. Saraf medianus mungkin tidak teraba, tapi ada

tidaknya nyeri tekan tetap dapat terdeteksi.2

Gambar 4 : Pemeriksaan Saraf Medianus

Saraf peroneus - untuk meraba saraf peroneus kanan, minta penderita

duduk di kursi dan kemudian Anda duduk atau berlutut di depannya.

Gunakan tangan kiri Anda untuk meraba saraf di sisi luar betis sedikit di

bawah lutut dan lekukan sekitar tulang di bawah lutut. Gunakan tangan

kanan Anda untuk memeriksa saraf Peroneus kiri.2

Gambar 5 : Pemeriksaan Saraf Perineus

Fungsi sensorik : Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada

telapak tangan, daerah yang sisarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada

daerah telapak kaki untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.2,4,5

Fungsi motoric : N.fasialis dengan memeriksa kekuatan penutupan bola

mata. N.ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis minimi.

N.medianus, dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis brevis.

N.radialis, dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan tangan.

N.peroneous, dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan kaki

baik pada arah eversi maupun inverse. N.tibialis posterior, dengan

Page 19: Morbus Hansen

memeriksa kekuatan otot truceps surae, tibialis posterior, flexor hallucis

longus dan flexor digitorum longus.2,4,5

Fungsi Otonom : Fungsi Otonom diperiksa dengan memegang tangan atau

kaki penderita untuk menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki

(fungsi kelenjar keringat). Pemeiksaan bersama dengan gerak Olah raga.2,4,5

Tanda pasti kusta adalah: a) kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan

mati rasa, b) penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa

dan kelemahan pada otot tangan , kaki, dan mata, c) pada pemeriksaan kerokan kulit

BTA positif. Klien dikatakan menderita kusta apabila ditemukan satu atau lebih dari

Cardinal Signs Kusta, pada waktu pemeriksaan klinis.11

2.9  Penanggulangan Penyakit Kusta

2.9.1        Pengobatan

Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy) dalam buku

Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya adalah sebagai berikut :4,7

1.      Pausibasiler

         Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis

supervisi)

         DSS 100 mg/hari

Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulam dan diselesaikan

dalam waktu maksimal 19 bulan. Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan

RFT (Release From Treatment)

2.      Multibasiler

         Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi.

         Lamprene 300 mg/hari, dosis supervisi.

Ditambahkan

         Lamprene 50 mg/hari

         DDS 100 mg/hari

Page 20: Morbus Hansen

Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan

deselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis

dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan BTA (+).

2.9.2        Rehabilitasi Medik

Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya cacat pada penyakit

kusta merupakan salah satu hal yang paling penting ditakuti. Dari hasil penelitian

pada bulan Maret 1996 di Rumah Sakit Kusta Sitanala, menunjukkan bahwa lebih

dari 73% pasien yang datang berobat di poliklinik telah disertai cacat kusta.

Walaupun dengan pengobatan yang benar dan teratur penyakit kusta dapat

disembuhkan, akan tetapi cacat yang telah timbul atau mungkin yang akan timbul

merupakan persoalan yang cukup kompleks. Bila hal ini tidak ditangani secara

benar, maka akan berlanjut semakin parah serta berakhir fatal. Makin berat keadaan

suatu cacat, maka makin cepat pula keadaan memburuk.4,7

Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang

baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara

terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah

rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya,

serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu

rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap

kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi

beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak

diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu

kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.

Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi

medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus

bekerjasama untuk mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang

perlu dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka,

pemilihan dan saat yang tepat untuk pemakaian modalitas terapi dan latihan.

Diagnosis dan terpai secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan

mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap reaksi lepra

mempunyai 4 tujuan, yaitu :4,7

Page 21: Morbus Hansen

a)      Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik,

paralisis, dan kontraktur.

b)      Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.

c)      Kontrol nyeri.

d)     Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan

penyakit.

Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan

kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan

handicap dan mempertahankan kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang

harus dilakukan oleh pasien adalah :

a)    Pemeliharaan kulit harian

1)   cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit sabun

(jangan detergen)

2)   Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin

3)   kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering

terlepas.

4)   kulit digosok dengan minyak.

5)   secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka dan

lain-lain)

b)   Proteksi tangan dan kaki

1)   Tangan :

a)           pakai sarung tangan waktu bekerja

b)          stop merokok

c)           jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung

d)          lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut

2)   Kaki

a)    selalu pakai alas kaki

b)   batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan

c)    meninggikan kaki bila berbaring

c)    Latihan fisioterapi

Tujuan latihan adalah :

Page 22: Morbus Hansen

1)   Cegah kontraktur

2)   Peningkatan fungsi gerak

3)   Peningkatan kekuatan otot

4)   Peningkatan daya tahan (endurance)

a)    Latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari

menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain.

Pertahankan 10 detik, lakukan 5 – 10 kali per hari untuk mencegah

kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk mencegah kontraktur.

Latihan lingkup gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah

gerak.

b)   Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri

c)    Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian belakang

dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati

tembok, sementara kaki tetap berpijak.

d)   Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk mempertahankan

elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan daya tahan.

d)   Bidai

Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan tangan agar tidak

terjadi deformitas. Bidai dipasang pada anggiota gerak fungsional saat timbul

reaksi penyakit. Bidai dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf.

Dianjurkan memakai bidai yang ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali

pada waktu latihan lingkup gerak sendi.4

e)    Program terapi okupasi merupakan program yang sangat penting untuk

mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong diri, tetapi perlu

diingat hal-hal yang harus diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya

pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat untuk kemudahan

bekerja, sesuai dengan deformitas pasien.4,7

1)   latihan redukasi motorik

a)    diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan latihan peregangan.

Page 23: Morbus Hansen

b)   Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan motorik tangan dan

jari-jari, sekaligus melatih koordinasi gerak dengan bagian ekstremitas

yang sehat.

c)    Gerak terampil tangan dan jari

d)   Latihan posisi dan postur pasif dan aktif.

2)   Latihan redukasi sensorik

a)    Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien, dan menolong

pasien untuk mencari alternatif lain untuk meningkatkan sensibilitas

sehingga kapasitas fungsional juga meningkat

b)   Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar, sampai halus, dingin

dan hangat.

c)    Latihan pengenalan bentuk berbagai benda.

3)   Latihan aktivitas menolong diri

4)   Latihan aktivitas rumah tangga

5)   Latihan aktivitas kerja

f)    Senam Kusta

suatu gerakan badan yang berfokus pada olah gerak motorik saraf

terpenting pada penderita kusta. Tujuan : Membantu mendeteksi kemunduran

saraf pada penderita kusta itu sendiri, Membantu latihan olah gerak badan yang

terganggu lebih lanjut, Menjadi acuan perawatan diri untuk mencegah cacat.7

Gerakan Senam Kusta

a.       Gerakan penghangat

Nafas (respirasi) Oksigen ke paru-paru menahan oksigen di paru-paru

mengeluarkan karbon dioksida dari paru-paru dengaan posisi kedua tangan

diangkat diatas diturunkan seperti semula, kedua kaki terbuka derakan dilakukan

dengan perlahan-lahan diulang dengan hitungan 8X3. Manfaat gerakan :

MenyuplaI oksigen ke paru-paru memberikan suplemen oksigen kesemua organ

tubuh terutama jantung, otak diteruskan ke system saraf tubuh untuk

memungkinkan motorik, sensorik dan otonom menahan oksigen di paru-paru

dan mengeluarkan karbon dioksida dari paru-paru untuk penghangatan tubuh.7

b.      Gerakan Fasialis Care

Page 24: Morbus Hansen

Melakukan buka tutup mata gerakan dilakukan perlahan-lahan di ulang

8X3 hitungan. Manfaat gerakan : Memberikan kekuatan otot-otot yang berfungsi

menutup mata meningkatkan reflek kedip mata, menanamkan (think blink) piker

kedip mata dan mengetahui secara dini kerusakan saraf fasialis mencegah

terjadinya lagophthalmos.7

c.       Gerakan Radialis Care

Melakukan kedua tangan kanan dan kiri diluruskan kedepan dengan

mengepal, kedua kepalan tangan digerakkan kearah atas dan kebawah posisi

(ekstensi dan fleksi) gerakan ini dihitung 8X3. Manfaat gerakan : Gerakan ini

menguatkan otot-otot pergelangan tangan yang disarapi oleh saraf radialis.7

d.      Gerakan Ulnaris Care

Kedua tangan diangkat sejajar dengan dada posisi tengada jari-jari kedua

tangan dirapatkan dengan melakukan bukak tutup jari kelingking kearah

samping menjauhkan (abduksi) kelingking dengan jari-jari lainnya dengan

hitungan 8X3. Manfaat gerakan : Menguatkan otot jari kelingking yang disarafi

oleh saraf ulnaris.7

e.       Gerakan Medianus Care

Kedua tangan diangkat sejajar dengan dada posisi tengada jari-jari kedua

tangan dirapatkan dengan ibu jari kedua tangan digerakkan tegak lurus ke atas

gerakan ini dihitung 8X3. Manfaat gerakan : Memberikan kekuatan otot ibu jari

yang disarafi oleh saraf medianus.7

f.       Gerakan Peroneus Care

Posisi kedua kaki merapat gerakan ujung jari diangkat (ekstensi

maksimal) dengan tumit sebagai tumpuhan gerakan ini dihitung 8X3. Manfaat

gerakan : Gerakan ini menguatkan otot-otot pergelangan kaki yang disarafi oleh

saraf peroneus.7

g.      Gerakan Penutup

Melakukan ambil nafas, menahan nafas, mengeluarkan nafas dengan

perlahan-lahan dihitung 8X3, 8 pertama nafas, 8 kedua tahan, 8 ketiga

keluarkan. Manfaat gerakan : Relaksasikan otot-otot yang digerakkan dan

pendinginan secara umum pada tubuh.7

Page 25: Morbus Hansen

h.      Gerakan Evaluasi Care

Gerakan ini dilakukan sendiri-sendiri oleh penderita memilih gerakan

(Evaluasi) yang tidak mampu dilakukan dengan optimal (gerakan 2,3,4,5,6).

Manfaat gerakan :    Menilai gangguan pada saraf, Menilai bila ada gerakan

berarti kuat, Menilai bila ada gerakan tapi lemah berarti sedang, Menilai bila

tidak ada gerakan berarti lumpuh, Mengacu perawatan diri lebih lanjut.7

BAB III

KESIMPULAN

1.      Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf

Page 26: Morbus Hansen

tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang

bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,

menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.

2.      Manefestasi klinis berupa Tanda-tanda pada kulit, Bercak/kelainan kulit yang

merah/putih dibagian tubuh, Kulit mengkilat, Bercak yang tidak gatal, Adanya

bagian-bagian yang tidak berkeringat atau tidak berambut,     Lepuh tidak nyeri,

Tanda-tanda pada syaraf, Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota

badan, Gangguan gerak anggota badan/bagian muka, Adanya cacat (deformitas),

Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.

3.      Penatalaksanaan morbus Hansen meliputi pengobatan dengan obat – obatan

farmakologi dan rehabiltasi medic. Rehabilitasi medic meliputi pelatihan untuk

mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis,

dan kontraktur.

DAFTAR PUSTAKA

1. CDC. (2003). Hansens's Disease (Leprosy), retrieved  December 2003 from

http://cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/hansen-a.htm.htm. Last update: February 11,

2004

2. Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta.

3. Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta.

4. Djuanda.A., Menaldi. SL., Wisesa.TW., dan Ashadi. LN. (1997). Kusta : diagnosis dan

Penatalaksanaan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Page 27: Morbus Hansen

5. Djuanda. A.,Djuanda. S., Hamzah. M., dan Aisah.A. (1993). Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. Jakarta: Balai Penrbit FKUI

6. Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.

7. Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit.

8. Barrett. TL., Wells. MJ., Libow.L., Quirk.C., and Elston DM. (2002). Leprosy, retrieved 

January 14, 2005 from http://emedicine.com/derm/byname/leprosy.htm. Last update:

April 10, 2002

9. Ditjen PPM & PL. (2000). Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas Puskesmas.

Jakarta : Sub Direktorat Kusta & Frambusia.

10. Dinkes Prop.Sumsel. (2003). Modul pemberantasan penyakit kusta. Palembang : tidak

diterbitkan.

11.  Leisinger, KM. (2005). Leprosy in the year 2005: Impressive success with the treatment

of a biblical disease http://novartisfoundatin.com/en/about/organization/board/klaus-

leisinger.htm

12. WHO. (2002). Elimination of Leprosy as a Public Health Problem. retrieved  January 14,

2005 from http://who.int.com/lep/stat2002/global02.htmLlast update: January 10, 2005