39
STATUS RESPONSI ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN Pembimbing : Dr. Nurrachmat Mulianto, SpKK, M.Sc Nama Mahasiswa : Itqan Ghazali NIM : G99142115 Morbus Hansen I. SINONIM Lepra,Morbus Hansen 1,5,6 II. DEFINISI Penyakit Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang pertama menyerang saraf perifer, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis,kecuali susunan saraf pusat. 4 Penyakit kusta juga dapat mengenai mukosa hidung, konka, nasofaring dan laring. 11 III. ETIOLOGI Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae ditemukan oleh G.A Hansen pada tahun 1873 yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar

Morbus Hansen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kasus morbus hansen

Citation preview

Page 1: Morbus Hansen

STATUS RESPONSI

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : Dr. Nurrachmat Mulianto, SpKK, M.Sc

Nama Mahasiswa : Itqan Ghazali

NIM : G99142115

Morbus Hansen

I. SINONIM

Lepra,Morbus Hansen1,5,6

II. DEFINISI

Penyakit Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh

Mycobacterium Leprae yang pertama menyerang saraf perifer, selanjutnya dapat

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial,

mata, otot, tulang dan testis,kecuali susunan saraf pusat.4

Penyakit kusta juga dapat mengenai mukosa hidung, konka, nasofaring dan

laring.11

III. ETIOLOGI

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae ditemukan oleh G.A

Hansen pada tahun 1873 yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media

artifisial. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar

0,2-0,5 biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel

terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.

Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada hewan Armadilo. Masa belah

diri kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain

yakni 12-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama yaitu 2-5 tahun.7

Page 2: Morbus Hansen

Mycobacterium leprae

IV. EPIDEMIOLOGI

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan karena cara penularannya

belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui

kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi,

sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab,

cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang

berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas dan kemungkinan

adanya reservoir luar manusia. Belum ditemukannya medium artifisial mempersulit

untuk mempelajari sifat-sifat Mycobacterium Leprae.5

Angka kejadian penyakit kusta di dunia dilaporkan mencapai 5.5 juta kasus,

kebanyakan penyakit menginfeksi penduduk yang hidup di daerah tropis dan sub tropis.

Secara keseluruhan 80 % kasus didapatkan di 5 negara, diantaranya India, Myanmar,

Indonesia, Brazil dan Nigeria.

Penyakit kusta jarang menyebabkan kematian, tatapi penyakit ini sering

menyebabkan kecacatan yang signifikan, pada penderita kusta tipe LL 70-75%

mengalami kecacatan pada mata, tangan dan kaki. Berdasarkan suatu penelitian angka

kejadian dari gangguan fungsi saraf pada daerah yang endemik tercatat 1,7 per 100

pasien pertahun pada kusta tipe paubasiler dan 12 per 100 pasien pada kusta tipe

multibasiler. Frekuensi angka kejadian lesi saraf baru selama penderita mendapatkan

pengobatan adalah 2% pada kusta tipe PB dan 11 % pada kusta tipe MB. Pada

penelitian secara luas komplikasi okular pada penyakit kusta ditemukan kebutaan

akibat penyakit kusta sekitar 10 % penderita.7

1

Page 3: Morbus Hansen

Kusta dapat terjadi pada semua ras di dunia, pada orang afrika dilaporkan

insiden kusta bentuk tuberkuloid lebih tinggi. Orang kulit putih dan penduduk cina

lebih sering terkena kusta tipe leprosa.2

Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun 13 %, tetapi anak

dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara

25-35 tahun. Faktor sosial ekonomi memegang peranan, makin rendah sosial

ekonominya makin subur penyakit kusta.7

V. PATOGENESIS

Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui

dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah

melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mucosa

nasal. Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,

kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang

lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.7

M. Leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada

sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel schwann di

jaringan saraf. Bila kuman M. Leprae masuk dalam tubuh dan bereaksi mengeluarkan

makrofag (berasal dari sel monosit darah,sel mononuclear, histiosit)4

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae, di samping

itu sel schwann berfungsi sebagai dieliminasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai

fagositosis. Jadi bila terjadi gannguan imunitas tubuh dalam sel schwann, kuman dapat

bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi

kerusakan yang progresif.7

VI. KLASIFIKASI

Jenis Klasifikasi yang umum

A. Klasifikasi Internasional : Klasifikasi Madrid (1953)

o Indeterminate ( I )

o Tuberkuloid ( T )

o Borderline – Dimorphous ( B )

o Lepromatosa ( L )

B. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley – Jopling (1962)

2

Page 4: Morbus Hansen

o Tuberkuloid ( TT )

o Borderlne Tuberkuloid ( BT )

o Mid- borderline ( BB )

o Borderlne Lepromatous ( BL )

o Lepromatosa ( LL )

C. Klasifikasi untuk kepentingan Program Kusta : Klasifikasi WHO (1981) dan

modifikasi WHO (1988)

o Paubasilar ( PB )

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut

Kriteri Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.

o Multibasiler ( MB )

Termasuk Kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut criteria Ridley

dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan

BTA positif.6

Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun hasil

pemeriksaan BTA nya saat ini.

2. Bila awalnya di diagnosis tipe MB harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan

gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.

Selain Klasifikasi diatas juga di dapatkan :

o Kusta tipe neural

Yaitu penyakit kusta yang ditandai oleh hilangnya fungsi sensoris pada daeerah

sepanjang distribusi sensoris batang saraf yang menebal (dapat disertai paralysis

motoris maupun tidak), tanpa ditemukannya bercak pada kulit.

o Kusta Histoid

Pada kusta Histoid didapatkan lesi kulit berupa nodula-nodula dengan kulit

sekitarnya normal, secara klinis didapatkan nodula-nodula licin berkilat,

padat,eritematosa, bentuk bulat atau oval dengan ukuran penampang bervariasi 1 –

20 mm.3

3

Page 5: Morbus Hansen

VII. MANIFESTASI KLINIS

Kusta Multibasiler

Sifat Lepromatosa

( LL)

Borderline

Lepromatosa

(BL)

Mid Borderline

( BB )

Lesi

Bentuk

Makula, Infiltrat

difus, papul, nodul

Macula, Plakat,

papul

Plakat, Dome-

shaped (kubah),

Punched-out

Jumlah Tak terhitung,

praktis tidak ada

kulit yang sehat

Sukar dihitung,

masih ada kulit

sehat

Dapat dihitung,

kulit sehat jelas

ada

Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,agak

berkilat

Batas Tak jelas Agak jelas Agak jelas

Anestesia Tak ada sampai

tak jelas

Tak jelas Lebih jelas

BTA

Lesi kulit

Sekret hidung

Banyak (ada

globus)

Banyak (ada

globus)

Banyak

Biasanya negatif

Agak banyak

Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Kusta Paubasiler

4

Page 6: Morbus Hansen

Perbedaan tipe PB dan MB

No Paubasiler (PB) Multibasiler (MB)

1. Bercak :

1. Jumlah

2. Ukuran

3. Batas

4. Permukaan

5. Mati rasa

6. Kehilangan

kemampuan

berkeringat, bulu

rontok

7. Distribusi

1-6

kecil dan besar

tegas

kering dan kasa

selalu ada dan jelas

biasanya ada

unilateral/bilateral,

asimetris

Banyak

Kecil

Tidak tegas

Halus dan berkilat

Biasanya tidak jelas

Biasanya tidak ada

Bilateral dan simetris

5

Sifat Borderline

Tuberkuloid

(BT)

Tuberkuloid

(TT)

Indeterminate (I)

Lesi

Bentuk

Makula dibatasi

infiltrat, infiltrat

saja

Makula saja,

makula dibatasi

infiltrat

Hanya macula

Jumlah Beberapa atau satu

dengan satelit

Satu dapat

beberapa

Satu atau beberapa

Distribusi Masih asimetris Asimetris Variasi

Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus agak

berkilat

Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau

dapat tidak jelas

Anesthesia Jelas Jelas Tak ada sampai

tak jelas

BTA Negatif atau + 1 Negatif Negative

Tes lepromin Positif lemah Positif kuat ( 3+) Dapat positif

lemah atau negatif

Page 7: Morbus Hansen

2. Infiltrat

1. Kulit

2. Mukosa (hidung

tersumbat, perdarahan

hidung)

Tidak ada, kadang ada

Tidak pernah ada

Ada, kadang tidak ada

Ada, kadang tidak ada

3. Nodulus Tidak ada Ada

4. Ciri-ciri khusus Penyembuhan di bag.

Tengah bercak (central

healing)

Ginekomastia,

madarosis, suara parau

5. Penebalan saraf Jumlah sedikit, unilateral,

lebih sering terjadi dini

Jumlah banyak,

bilateral, pada fase

lanjut

6. Deformitas (cacat) Biasanya terjadi dini,

asimetris

Pada fase lanjut,

simetris

7. Hapusan kulit BTA (-) BTA (+)

Ridley-Jopling

Gambaran Klinis organ tubuh lain yang dapat diserang :

1. Mata : Iritis, Iridosiklitis, gangguan visus sampai

kebutaan

2. Hidung : Epistaksis, hidung pelana.

3. Tulang dan sendi : Absorbsi, mutilasi, arthritis

4. Lidah : ulkus, nodus

5. Testis : ginekomastia,epididmis akut, orkitis, atrofi

6. Kelenjar Limfe : Limfadenitis

7. Rambut : Alopesia, Madarosis

8. Ginjal : Glomerulonefritis, amilodosis ginjal,

piolonefritis, nefritis interstisial

Predileksi Lesi Kulit

Bagian tubuh yang relatif lebih dingin, misalnya pada muka, hidung,

(mukosa), telinga, anggota tubuh dan bagian tubuh yang terbuka.4

Predileksi kerusakan Saraf tepi

6

Page 8: Morbus Hansen

Kuman ini lebih sering mengenai saraf tepi yang lebih superfisial dengan

suhu yang relatif lebih dingin. Saraf tepi yang terkena akan menunjukan

berbagai kelainan yaitu :

o N.Fasialis : Lagoftalmus,mulut mencong

o N.Trigeminus : anestesi kornea

o N. aurikularis magnus : anestesi daun telinga

o N. Radialis : Tangan lunglai (drop wrist)

o N. Ulnaris : Anestesi dan paresis/paralysis otot tangan jari V dan

sebagian jari IV. Kerusakan N. Ulnaris dan N. Medianus menyebabkan jari kiting

(claw Toes) dan tangan cakar (claw hand)

o N. Peroneus komunis : Kaki samper (droop foot)

o N. Tibialis posterior : Mati rasa telapak kaki dan jari kiting.

Manifestasi penyakit yang menunjukan bahwa penyakit kusta masih aktif adalah :

o Kulit: Lesi membesar, jumlah bertambah, ulserasi,

eritematosa, infiltrat atau nodus.

o Saraf : Nyeri, gangguan fungsi bertambah, jumlah

saraf yang terkena bertambah.

Tanda sisa penyakit kusta :

o Kulit: Atrofi, keriput, non-repigmentasi dan bulu hilang

o Saraf : Mati rasa persisten, paralysis, kontarktur dan

atrofi otot.7

VIII. DIAGNOSIS

Diagnosis Penyakit kusta di dasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda

utama), yaitu :

1. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopgmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak).

Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu,

rasa nyeri.

2. Penebalan Saraf Tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gannguan fungsi saraf

yang terkena, yaitu :

7

Page 9: Morbus Hansen

a. Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis

c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, tempat pertumbuhan

rambut terganggu

3. Ditemukan kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian

yang aktif. Kadang-kadang diperoleh dari biops di kulit atau saraf.9

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan

satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan maka kita hanya dapat

mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6

bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.7

Gejala prodormal penyakit kusta biasanya tidak terlihat dan penyakit ini tidak

dikenali sampai didapatkan erupsi pada kulit. Pada 90% pasien menunjukan gejala

kehilangan sensasi rasa beberapa tahun lebih dulu sebelum lesi pada kulit tampak.

Rangsang suhu adalah sensasi yang pertama hilang, pasien sulit memebedakan rasa

panas dan dingin, selanjutnya pasien baru kehilangan sensasi raba dan nyeri.

Kehilangan sensasi ini terutama pada tangan dan kaki.3

IX. PEMERIKSAAN PASIEN

1. Anamnesis

a. Keluhan pasien

b. Riwayat kontak dengan pasien

c. Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi

2. Inspeksi

Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan

kulit.

3. Palpasi

a. Kelainan kulit : nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan

dan kaki

b. Kelainan saraf : Pemeriksaan saraf dengan teliti, N. Aurikularis magnus,

N.Ulnaris dan N.Peroneus. Harus dicatat adanya nyeri tekan dan penebalan saraf,

pemeriksaan harus simetris .

Pemeriksaan saraf tepi :

o Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan

8

Page 10: Morbus Hansen

o Membesar atau tidak

o Pembesaran regular (smooth) atau irreguler, bergumpal

o Perabaan keras atau kenyal

o Nyeri atau tidak

4. Tes fungsi saraf

a. Tes Sensoris, dengan menggunakan kapas, jarum serta tabung reaksi berisi air

hangat dan dingin.

b. Tes otonom, berdasarkan adnya gangguan berkeringat di makula anestesi.

o Tes dengan pensil tinta (tes Gunawan)

Pensil tinta digoriskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus

sampai kedaerah kulit normal.

o Tes Pilocarpin

Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntikan pilokarpin subkutan

setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan

daerah lesi tetap kering.

c. Tes motoris

o Voluntary Muscle Test ( VMT )

5. Mencari komplikasi7

X. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Pemeriksaan Bakterioskopis (sayatan kulit)

Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. Tempat yang paling sering

diambil adalah cuping telinga, lengan, pungung, bokong dan paha atau bisa juga dari

sekret hidung. Dengan cara membuat kerokan pada kulit dengan menggunakan skapel

kemudian hasil kerokan diletakan pada gelas obyek, dapat dibuat beberapa apusan

dari tempat yang berbeda. Preparat apusan dipulas dengan Ziehl-nielsen atau

modifikasi dengan Kinyoun menurut prosedurnya.5

Indeks Bakteri ( IB ) :

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP

2+ Bila 1-10 BTA dalam 10 LP

3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

9

Page 11: Morbus Hansen

6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Indeks Morfologi (IM)

Indeks morfologi dikalkulasi dengan menghitung kuman batang yang solid pada

pewarnaan tahan asam, basil lepra yang diwarnai dengan karbol fuchsin yang solid

merupakan bakteri yang viabel, basil yang terwarna irreguler mungkin karena mati

dan berdegenerasi.3

2. Biopsi Kulit

Biopsi kulit dapat digunakan untuk menunjukan indeks morfologi, yang berguna

untuk evaluasi pengobatan pasien yaitu jumlah bakteri yang viabel per 100 bakteri

pada jaringan lepra.3

3. Tes Lepromin

Lepromin adalah suspensi yang berisi M.Lepra yang dimatikan diambil dari manusia

yang terinfeksi dan jaringan Armadillo. Setelah terjadi inokulasi intradermal, akan

timbul reaksi cepat (48 jam, reaksi Fernandez) juga reaksi lambat (3-4 minggu, reaksi

mitsuda). Reaksi Mitsuda merupakan respon granulomatosis terhadap antigen adalah

lebih tepat. Pasien-pasien dengan kusta tipe TT atau BT mempunyai respon positif

kuat (> 5 mm) akan tetapi pasien dengan tipe LL tidak ada respon. Tes ini merupakan

petunjuk untuk mengetahui fungsi sistem imunitas seluler seseorang. Respon imunitas

seluler terhadap M.Leprae juga dapat dilihat dengan menggunakan Lymphocite

Transformation Test (LTT) dan Lymphocyte Migration Inhibition Test (LMIT). Dasar

test ini adalah untuk mendeteksi antibodi atau antigen M.Leprae.3

4. Tes-tes Serologis

Tes serologi mayor meliputi Fluorescent Antibody absorbtion test (FLA-ABS),

Radioimunoassay (RIA), ELISA, Passive Hemaglutination Assay (PHA), Serum

Antibody Compettion Test (SACT) dan Particle agglutination assay (PAA).

5. Analisa Polymerase Chain Reaction (PCR)

o PCR bisa untuk mendeteksi dan mengidentifikasi M.Leprae.

o Tehnik ini sering digunakan ketika basil tahan asam telah ditemukan

tetapi gambaran klinis atau gambaran histopatologinya atipikal. Test ini tidak

berguna saat basil tahan asam tidak ditemukan dengan mikrosakop cahaya.3

6. Pemeriksaan Histopatologi

o Pada tipe TT didapatkan bangunan epiteloid granuloma dalam papiladermis,

di sekitarnya di dapatkan struktur neovaskuler. Granuloma tertangkap oleh

10

Page 12: Morbus Hansen

Limfosit yang meluas ke epidermis dan kadang terbentuk sel datia langhans.

Nervus pada dermal dihancurkan atau mengalami pembengkakan karena adanya

granuloma, tidak didapatkan basil tahan asam.

o Pada tipe LL epidermis normal, daerah yang tidak patologik memisahkan

epidermis dari reaksi granulomatous difus dengan makrofag, sel busa histiosit

yang besar (Virchow atau sel lepra) dan didapatkan banyak basil tahan asam yang

bergabung membentuk globi. Sel epiteloid dan sel datia tidak ditemukan.

Granuloma banyak terdapat di sekitar pembuluh darah, saraf dan kulit kadang

ditemukan banyak sel plasma. Saraf kulit dapat terlihat dengan mudah.

o Tipe BT, Granuloma terdiri dari epiteloid dan limfosit, saraf pada kulit

kebanyakan sudah rusak, basil mungkin ditemukan atau tidak ada.

o Tipe BB, granuloma terdiri dari epiteloid, saraf kulit mungkin masih ada dan

basil terlihat lebih banyak dari tipe BT.

o Tipe BL, granuloma dibangun oleh histiosit, saraf kulit masih ada dan basil

ditemukan lebih banyak dari tipe lainya.2

XI. KOMPLIKASI

Reaksi Kusta

Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengenai

berbagai gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta,yang dapat dianggap

sebagai kelaziman pada perjalanan penyakit atau bagian komplikasi penyakit kusta.

Seluruh komplikasi penyakit kusta yang dimaksud meliputi :

o Komplikasi jaringan akibat invasi massif M.leprae

o Komplikasi akibat reaksi

o Komplikasi akibat imunitas yang menurun

o Komplikasi akibat kerusakan saraf

o Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat antikusta

Penyebab pasti dari reaksi kusta belum diketahui dengan pasti, kemungkinan

reaksi ini menggambarkan reaksi hipersensitifitas akut terhadap antigen basil yang

menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.

Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara

lain :

o Setelah pengobatan antikusta yang intensif

o Infeksi rekuren

11

Page 13: Morbus Hansen

o Pembedahan

o Stress fisik

o Imunisasi

o Kehamilan

o Saat-saat setelah melahirkan

Ada 2 tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya, yaitu:

1. Reaksi lepra tipe 1, yang disebabkan oleh hipersensitivitas seluler

2. Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral

3. Fenomene Lucio atau reaksi kusta tipe 3, yang merupakan lanjutan dari reaksi

tipe 2.7

Raksi Kusta tipe I

Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 adalah delayed hypersensitivity reaction.

Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T

disertai perubahan sistem imunitas seluler yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi

kusta tipe 1 ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas seluler dan

basil maka hasil akhir reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal apabila

menuju ke arah tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading apabila

menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS).2

Secara garis besar manifestasi dari reaksi kusta tipe 1 dapat digolongkan

sebagai berikut :

Organ yang

diserang

Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Lesi kulit yang telah ada

menjadi lepromatosa

Lesi yang telah ada menjadi

eritematosa. Timbul lesi baru

kadang-kadang disertai panas dan

malaise.

Saraf Membesar tidak nyeri

fungsi tidak terganggu.

lesi kurang dari 6 minggu

Mrmbesar, nyeri, fungsi terganggu

berlangsung lebih dari 6 minggu

Kulit dan

saraf

bersama-

Lesi yang telah ada

menjadi lebih

eritematosa, nyeri saraf

Lesi kulilt yang eritematosa disertai

ulserasi atau edema pada

tangan/kaki dan fungsinya

12

Page 14: Morbus Hansen

sama berlangsung kurang dari

6 minggu

terganggu, berlangsung > 6 mg

Reaksi Kusta tipe II

Reaksi kusta tipe 2 ini dikenal dengan nama Eritema Nodusum Leprosum

(ENL). Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut comb dan

Gell, antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan

antibody membentuk kompleks Ag-Ab yang mengaktivasi komplemen sehingga

terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi

sindrom komplek imun. Terutama terjadi pada bentuk LL dan kadang-kadang pada

bentuk BL, biasanya terjadi gejala sistemik.

Baik Reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungannya dengan pemberian

pengobatan antikusta hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi pada 6 bulan

pertama pengobatan, tetapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah

menjadi granular. Selain itu pada reaksi ini tidak terlihat gambaran perubahan lesi

kusta.

Manifestasi reaksi lepra tipe 2 dapat sebagai berikut :

Organ yang

diserang

Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Timbul sedikit nodus yang

beberapa diantaranya terjadi

ulserasi. Disertai demam

ringan dan malaise

banyak nodus yang nyeri dan

mengalami ulserasi disertai

demam tinggi dan malaise

Saraf Saraf membesar tetapi nyeri

dan fungsinya tidak

terganggu

Saraf membesar ,nyeri dan

fungsinya terganggu.

Mata Tidak ada gangguan Nyeri, penurunan visus dan

merah di sekitar limbus

Testis Lunak,tidak nyeri Lunak, nyeri dan membesar

Kulit, saraf,

mata dan testis

bersama-sama

Gejalanya seperti tersebut

diatas

Gejalanya seperti tersebut diatas

disertai keadaan sakit yang

keras dan nyeri yang sangat.

13

Page 15: Morbus Hansen

Fenomena Lucio

Lucio leprosy (diffuse non-nodular type of leprosy ) yang ditetapkan pertama

kali oleh Lucio dan Alvarado pada tahun 1852 di mexico adalah salah satu tipe dari

kusta dengan gambaran klinik kusta tipe muiltibasiler. Gambaran klinis lcio leprosy

umumnya status generalis tidak ditemukan kelainan, kulit terlihat eritem yang

menebal dan mengkilat, kerontokan rambut, penebalan kelopak mata sehingga

penderita terlihat mengantuk dan melankolik. Penurunan sensoris terjadi biasanya

setelah kelainan kulit menghilang. Sama seperti pada kusta tipe lepromatosa dapat

terjadi edema dan ulkus pada kedua tungkai.

Ulserasi juga dapat terjadi pada mukosa hidung menyebabkan gejala-gejala

hidung dan epistaksis, mengenai laring sehingga suara menjadi serak dan iktiosis

pada fase lanjut. Namun demikian tidak terdapat nodul, kelemahan motorik,

kontraksi jari-jari dan kerusakan mata.

Pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan anemia normokrom normositer

ringan dan pada pemeriksaan bubur jaringan kulit dengan pewarnaan Zeihl Neelsen

ditemukan banyak basil tahan asam. Kerusakan akibat kusta dapat menyebabkan

ulserasi, selulitis, skar da destruksi tulang. Kerusakan pada mata dapat terjadi

lagoftalmus, ectropion dan entropion.10

Klasifikasi Cacat

Cacat pada tangan dan kaki

Tingkat 0:

Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang

terlihat

Tingkat 1:

Ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat

Tingkat 2:

Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

Tingkat 0 :

Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gannguan penglihatan

Tingkat 1 :

Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan

14

Page 16: Morbus Hansen

Tingkat 2 :

Gangguan penglihatan berat (visus < 6/60;tidak dapat menghitung jari pada jarak

6 meter

XII. DIAGNOSIS BANDING

Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding :

o Ada macula hipopigmentasi

o Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam

o Ada daerah anestesi

o Ada pembengkaan saraf tepi atau cabang-cabangnya.

Tipe I ( Makula hipopigmentasi ) :

o Tinea versikolor

o Vitiligo

o Ptiriasis Rosea

o Dermatitis seboroika

o Liken simplek kronik

Tipe TT ( Makula eritematosa dengan pinggir meninggi )

o Tinea Corporis

o Psoriasis

o Lupus eritematosus tipe discoid

o Ptiriasis rosea

Tipe BT, BB, BL (Infiltrat merah tak berbatas tegas)

o Selulitis

o Erisipelas

o Psoriasis

Tipe LL ( Bentuk nodula )

o Lupus eritematosis sistemik

o Dermatomiositis

o Erupsi obat

15

Page 17: Morbus Hansen

XIII. PENATALAKSANAAN

Tujuan farmakoterapi pada penderita kusta adalah untuk mengurangi

morbiditas, mencegah komplikasi dan menghilangkan penyakit ini nantinya.7

Manajemen paenatalaksanaan penderita mencakup terapi medikamentosa

diantaranya kemoterapi untuk menghentikan proses infeksi, penatalaksanaan untuk

meminimalkan deformitas berupa rehabilitasi fisik, sosial dan psikologi. Deformitas

potensial dapat dicegah dengan memberi edukasi pada pasien tentang adanya

kerusakan saraf dengan perawatan diri untuk mengurangi kerusakan yang lain.

Mengetahui perjalanan penyakit pasien sangat penting untuk mengetahui

kepatuhan pasien dalam berobat, memonitor resistensi terhadap obat dan reaksi yang

timbul akibat obat.

A. MEDIKAMENTOSA

Progaram Multi Drug Terapi (MDT) dimulai pada tahun 1981 yaitu ketika

kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan

kusta dengan kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO.

Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obatan Dapson, Rifampisin dan klofasimin.

Kombinasi obat-obatan ini dapat membunuh bakteri patogen dan menyembuhkan

pasien.

MDT adalah suatu terapi yang aman, efektif dan mudah didapatkan oleh

penderita yang kurang mampu.

Obat-obat pada rejimen MDT-WHO

1. Dapson (DDS, 4,4 diamino difenil sulfon). Obat ini bersifat bakteriostatik

dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Jadi tidak sperti pada kuman

lain, dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Resistensi terhadap dapson

timbul sebagai akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman

kusta. Dapson biasanya diberikan dalam dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari

untuk dewasa atau 2 mg/kg BB untuk anak-anak. Indeks morfologi kuman pada

penderita LL yang diobati dengan dapson biasanya menjadi 0 setelah 5 sampai 6

bulan. Obat sangat murah, efektif dan relatif aman. Efek samping yang mungkin

timbul antara lain : erupsi obat, Anemia hemolitik, leukopenia, insomnia

16

Page 18: Morbus Hansen

neuropati, nekrosis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Namun

efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.

2. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta dan bersifat

bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja dengan menghambat

enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Dosis tunggal 600

mg/hari (atau 5-15 mg/kg bb) mampu membunuh kuman kira-kira 99,9 % dalam

waktu beberapa hari. Pemberian seminggu sekali dengan dosis tinggi ( 900-1200

mg) dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like syndrom. Pemberian 600 mg

atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik. Efek samping yang harus

diperhatikan adalah : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi

kulit. Obat ini harganya mahal dan saat ini telah dilaporkan adanya resistensi.

3. Klofazimin (lamprene –CIBA GEIGY : B-663). Obat ini merupakan turunan

zat warna iminofenazine dan mempunyai efek bakteriostatik sama dengan

dapson. Bekerjanya mungkin melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Di

samping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk

pengobatan reaksi kusta khususnya : ENL. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari

atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1mg/kg BB/hari. Selain itu

dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe 1

dan 2. Kekurangan obat ini harganya mahal di samping itu menyebabkan

pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan penderita. Efek

sampingnya hanya terjadi pada dosis tinggi,berupa gangguan gastrointestinal

(Nyeri abdomen, diare, anoreksi dan vomitus).

4. Etionamid dan protionamid, Kedua obat ini merupakan obat antituberkulosis

dan hanya sedikit dipakai pada kusta. Dahulu dipakai sebagai pengganti

klofazimin, pada kasus-kasus yang keberatan karena pigmentasinya obat ini

bekerja bakteriostatik tetapi karena cepat tiombul resistensi, lebih toksik

harganya mahal serta efek hepatotoksiknya, maka sekarang tidak dianjurkan lagi

pada rejimen pengobatan kusta.

Skema Rejimen MDT-WHO

Rejimemen MDT-WHO baku terdiri atas kombinasi obat-obatan dapson, Rifampisin

dan klofazimin dengan skema menurut WHO sebagai berikut :

17

Page 19: Morbus Hansen

1. Rejimen PB untuk kusta PB, terdiri atas Rifampisin 600 mg sebulan

sekali, di bawah pengawasan ditambah dapson 100 mg/hr (1-2

mg/kgBB) selama 6 bulan

2. Rejimen MB untuk kusta MB, terdiri atas kombinasi Rifampisisn 600

mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg/hari swakelola,

ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari

swakelola. Lama pengobatan minimal 2 tahun dan juga mungkin sampai

BTA negatif. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa untuk anak-anak

disesuaikan dengan berat badan

Obat dan dosis Rejimen MDT-PB

Obat Dewasa Anak

BB< 35 kg BB > 35 kg 10-14 tahun

Rifampisin 450 mg/bln

(diawasi)

600 mg/bln

(diawasi)

450 mg/bln

(diawasi)

Dapson (swakelola) 50 mg/hr (1-2 mg/kg BB/hr) 100mg/hr 50 mg/hr

1-2 mg/kgBB/hari)

Obat kusta dalam Rejimen MDT MB

Obat Dewasa Anak

BB<35 kg BB . 35 kg 10-14 tahun

Rifampisin 450mg/bln (diawasi) 600mg/bulan (diawasi) 450 mg/bln

(12-15 mg/kgBB/bl)

(diawsi

Klofazimin 300 mg/bln diawasi dan

diteruskan 50 mg/hr

swakelola

200 mg/bln diawasi

diteruskan 50 mg

selang sehari

Dapson swakelola 50 mg/hr

(1-2 mg/kg BB/hari)

100mg/hari 50 mg/hari

Obat Kusta baru

Dalam pelaksanaanya program MDT WHO masih ada beberapa masalah yang

timbul, yaitu adanya persisten, resistensi, rifampisin dan lamanya pengobatan

terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB rejimen MDT-PB juga masih

menimbulkan beberapa masalah antara lain: masih menetapnya lesi kulit setelah 6

bulan pengobatan dan late reversal Reaction yang timbul setelah MDT. Oleh karena

itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan

18

Page 20: Morbus Hansen

obat-obat rejimen MDT saat ini, obat-obat kusta baru yang ideal memiliki syarat

antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M.Leprae, tidak antagonis dengan obat

yang sudah ada aman dan akseptabilitas penderita baik dapat di berikan per oral dan

sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Obat-obatan yang dipakai yaitu :

1. Ofloksasin 400 mg/hari diberikan bersama rifampisin 600mg/hari selama 1 bulan

baik untuk penderita kusta MB atau PB

2. Minosiklin 100 mg/hari

3. Klaritromisin 500 mg/hari untuk penderita kusta tipe MB.2

B. NON MEDIKAMENTOSA

Edukasi :

- Pasien harus diberi penjelasan tentang diagnosis dan prognosis

penyakitnya.

- Pasien harus diberitahu bagaimana tentang hilangnya sensasi rasa yang

terjadi, pasien harus berhati-hati dan mencegah terjadinya trauma dengan

menggunakan alas kaki.

- Mengetahui kapan terjadinya anestesi pada anggota tubuh dan

kelemahanya serta kerusakan pada matanya.

- Pasien harus mempelajari bagaimana mengenal timbulnya reaksi kusta

dan ia harus mendapatkan pengobatan secepatnya jika hal ini terjadi.

- Deforrmitas yang potensial kemungkinan biasa dicegah jika penderita

dapat mengatasi kerusakan saraf sejak dini dan berlatih untuk mengurangi

kerusakan lebih lanjut.

- Kemungkinan pasien membutuhkan konsultasi psikologi dalam

menghadapi penyakitnya untuk mengatasi stigma yang beredar di masyarakat.

- Fisio terapi dan terapi okupasi dibutuhkan sebagai rehabilitasi.

- Penggunaan obat sesuai aturan dan memperhatikan cara pemakaian,

jangan terlalu berlebihan karena dapat menyebabkan iritasi.7

19

Page 21: Morbus Hansen

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr.dr. H. Muh. Dali Amiruddin. Penyakit Kusta. Dalam : Marwali Harahap, Prof.,

Dr.(Ed), Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates, Jakarta. 2000 : 260-76

2. WHO Media Centre. Leprosy. Available from: http//www. whoint.co.id

3. Sidharta. What is Leprosy ?. Available from : http//www.medline.com

4. Rea, L Modlin. Leprosy. In : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th ed. Vol.

I, Mc Graw Hill, New York, 2003 : 1962-1972

5. Djuanda A. Kusta. Dalam : Kosasih, I made Wisnu, Syamsoe- Daili, Menaldi. Penyakit

Kulit dan Kelamin. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2002 ; 173-80.

6. Siregar RS. Kusta. Dalam : Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC. Jakarta. 1996.

Hal : 179-186.

20

Page 22: Morbus Hansen

7. Djuanda A. Kusta Diagnosis dan Penatalaksanaan.Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. 1997.

8. Graham R, Tony Burns. Infeksi Bakteri dan Virus. Dalam : Lecture Notes Dermatology.

EMS. Edisi Kedelapan. Balai Penerbit Erlangga. Jakarta. 2002. Hal : 23-25

9. Riddley S. The Pathogenesis Of A Skin Lession. In : Skin Biopsy in Leprosy Histological

interpretation and Clinical Application. Second Edition 1985. CIBA-GEIGY Limited,

Basle (Switzerland).Pp: 17-22

10. A.Haris L.,dkk.Lucio Leprosy .Dalam :Perkembangan penyakit kulit kelamin di

Indonesia menjelang Abad 21.Erlangga University Pers.Surabaya.1999

STATUS RESPONSI

I. ANAMNESIS

A. Identitas

Nama : Tn. S

Umur : 24 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pedagang

Status : Menikah

Alamat : Boyolali

Tanggal Periksa : Senin, 8 Juni 2015

No rekam medik : 009111xx

B. Keluhan utama

Muncul bentol – bentol berwarna merah di tangan dan kaki yang terasa nyeri dan

panas.

C. Riwayat penyakit sekarang

21

Page 23: Morbus Hansen

Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Moewardi dengan keluhan muncul

bentol – bentol berwarna merah yang tersebar di tangan dan kaki. Keluhan dirasakan

sejak 5 hari yang lalu. Bentol terasa panas, nyeri terus menerus namun tidak gatal dan

tidak mati rasa. Keluhan ini cukup mengganggu aktifitas pasien, keluhan semakin berat

apabila pasien sedang berada di lingkungan bersuhu tinggi ataupun rendah, dan berkurang

apabila pasien sedang beristirahat.

Sejak enam tahun yang lalu pasien pernah didiagnosis dengan Morbus Hansen

Multibaciller, pasien sudah menjalani pengobatan selama dua belas bulan dan dinyatakan

sembuh. Namun setelah pengobatan selesai timbul bentol – bentol di seluruh tubuh yang

terasa nyeri disertai demam. Kemudian pasien periksa ke RS dan didiagnosis sebagai

reaksi kusta, lalu pasien diberikan terapi kortikosteroid sistemik, pasien sudah merasa

membaik namun kadang tetap kambuh. Kurang lebih enam bulan terakhir keluhan lebih

sering kambuh, pasien kontrol rutin namun keluhan belum berkurang sehingga terapi

diganti dengan Thalidomide dan Triamsinolon sejak empat bulan yang lalu. Sejak tiga

minggu lalu terapi Triamsinolon diberhentikan sedangkan Thalidomide tetap diminum

dengan dosis dua hari sekali, namun lima hari terakhir muncul keluhan yang

menyebabkan pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Moewardi

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat keluhan serupa : (+)

Riwayat hipertensi : Disangkal

Riwayat alergi : Disangkal

Riwayat DM : Disangkal

E. Riwayat Kebiasaan

Riwayat tempat tinggal : Selama hidupnya pasien tinggal di Boyolali

Riwayat merokok : Disangkal

Riwayat alkohol : Disangkal

F. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa : (+), ibu pasien menderita penyakit serupa

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Status gizi :

22

Page 24: Morbus Hansen

Berat badan :60 Kg

Tinggi badan :178 cm

IMT :18,84

Kesan : Gizi normal

Vital Sign :

Tekanan darah : 110/70mmHg

Respiratory rate : 20 x/menit

Heart rate : 72x/menit

Suhu : 36,4º C

Kepala : Normocephal

Mata : Dalam batas normal

Mulut : Dalam batas normal

Telinga : Dalam batas normal

Wajah : Lihat status dermatologis

Abdomen : Dalam batas normal

Ektremitas Atas : Dalam batas normal

Ektremitas Bawah : Dalam batas normal

B. Status Dermatologis

Regio Brachii et Antebrachii: Nodul eritem multiple diskret

23

Page 25: Morbus Hansen

Regio Cruris : Nodul eritem multiple diskret

C. Pemeriksaan Penunjang BTA :

IB : +2

IM : 0%

III. DIAGNOSIS BANDING

Morbus Hansen dengan reaksi ENL berulang

Erythem Nodusum Non Leprosum

IV. DIAGNOSIS

Morbus Hansen tipe Multibasiller (MB) – RFT 6 Tahun, Reaksi Erythem Nodusum

Leprosum Berulang

V. Terapi

Non medikamentosa

Penjelasan tentang diagnosis dan prognosis penyakitnya.

24

Page 26: Morbus Hansen

Pasien harus berhati-hati dan mencegah terjadinya trauma dengan menggunakan alas

kaki karena terjadi hilangnya sensasi rasa

Mengetahui kapan terjadinya anestesi pada anggota tubuh dan kelemahanya serta

kerusakan pada matanya.

Mengenal timbulnya reaksi kusta dan pasien mendapatkan pengobatan secepatnya

jika hal ini terjadi.

Deforrmitas yang potensial kemungkinan biasa dicegah jika penderita dapat

mengatasi kerusakan saraf sejak dini dan berlatih untuk mengurangi kerusakan lebih

lanjut.

Kemungkinan pasien membutuhkan konsultasi psikologi dalam menghadapi

penyakitnya untuk mengatasi stigma yang beredar di masyarakat.

Fisioterapi dan terapi okupasi dibutuhkan sebagai rehabilitasi.

Penggunaan obat sesuai aturan dan memperhatikan cara pemakaian, jangan terlalu

berlebihan karena dapat menyebabkan iritasi

Medikamentosa

R/ Thalidomide tab mg 50 No. XXVIII

∫ 1 dd tab II

R/ Nervaplus tab No. XIV

∫ 1 dd tab I

R/ Meloxicam tab mg 7,5 No. XXVIII

∫ 2 dd tab I bila nyeri

Pro: Tn. Siswanto (24 Tahun)

VI. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad sanam : bonam

Ad fungsionam : bonam

Ad kosmetikam : bonam

25