42
Laboratorium Ilmu Kulit dan Kelamin Tutorial Kasus Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Morbus Hansen Tipe Multi Basiler (MB) Oleh : Rahayu Asmarani Suryanti Suwardi Syahidah Amaniyya Ramadhan Pembimbing : dr. H. M. Darwis Toena, Sp. KK

morbus hansen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tutorial kulit

Citation preview

Page 1: morbus hansen

Laboratorium Ilmu Kulit dan Kelamin Tutorial Kasus

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

Morbus Hansen Tipe Multi Basiler (MB)

Oleh :

Rahayu Asmarani

Suryanti Suwardi

Syahidah Amaniyya Ramadhan

Pembimbing :

dr. H. M. Darwis Toena, Sp. KK

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Laboratorium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

2015

Page 2: morbus hansen

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB 2 LAPORAN KASUS.....................................................................................2

1.1 ANAMNESIS............................................................................................2

1.2 PEMERIKSAAN FISIK............................................................................3

1.3 DIAGNOSIS BANDING..........................................................................4

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG..............................................................4

1.5 DIAGNOSIS KERJA................................................................................4

1.6 PENATALAKSANAAN..........................................................................5

1.7 PROGNOSIS.............................................................................................5

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6

BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................................20

BAB 5 KESIMPULAN..........................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

2

Page 3: morbus hansen

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau Morbus Hansen adalah salah satu penyakit menular

yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud

bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi,

budaya, keamanan dan ketahanan nasional.

Setiap tahunnya tercatat ratusan ribu kasus Morbus Hansen baru diseluruh

dunia. Menurut kalkulasi WHO, pada tahun 2007 saja terdapat 254.525 kasus

baru. Di Indonesia sendiri, tiap tahunnya terdapat 20.000 kasus baru, dan

merupakan Negara ketiga terbanyak setelah India dan Brazil (1). Di Indonesia

penderita Morbus Hansen terdapat hampir diseluruh daerah dengan penyebaran

yang tidak merata. Suatu kenyataan, di Indonesia bagian Timur terdapat angka

kesakitan kusta yang lebih tinggi. Penderita kusta 90% tinggal diantara keluarga

mereka dan hanya beberapa persen saja yang tinggal dirumah sakit kusta, koloni

penampungan atau perkampungan kusta.

Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, termasuk

sebagian petugas kesehatan karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi,dan deformitas.

Penderita penyakit ini bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga

karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Dampak social terhadapa penyakit ini

sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam.

Tidak hanya penderita sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan Negara.

Masih banyak yang menganggap bahwa penyakit Morbus Hansen merupakan

penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, dan menyebabkan

kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita Morbus Hansen merasa

putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat (2; 3).

3

Page 4: morbus hansen

BAB 2

LAPORAN KASUS

1.1 ANAMNESIS

1.1.1 Identitas

Nama : Tn. A

Umur : 50 tahun

Alamat : Jl. Durian I No. 59 RT. 64

Pekerjaan : Guru SMK (PNS)

Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesis. Anamnesis dan pemeriksaan

fisik dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2015 di Poliklinik Kulit dan Kelamin

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

1.1.2 Keluhan Utama

Wajah dan badan terasa kebas.

1.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Wajah dan badan terasa kebas sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu,

awalnya muncul bercak- bercak putih di badan yang tidak terasa gatal, sehingga

pasien tidak menghiraukannya. Lalu kurang lebih 1 tahun kemudian, bercak-

bercak juga muncul di tangan dan kakinya, bercak tersebut semakin meluas

hingga ke telapak tangan dan wajah, tepinya menebal, dan mati rasa. Selain itu,

pasien juga merasakan tangan dan kakinya mulai terasa keram, dan lama

kelamaan menjadi terasa kebas. Pasien juga mengaku telapak tangannya sering

melepuh bila terkena panas misalnya saat mengendarai motor, dan beberapa kuku

jari tangannya menghitam dan seperti akan terlepas. Selain itu pasien juga

mengeluhkan nyeri pada telapak tangannya karena luka bakar saat memegang

piring berisi nasi panas, dan tanpa di sadari beberapa jam kemudian tangannya

melepuh. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun terakhir, dan rutin

minum obat.

4

Page 5: morbus hansen

1.1.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa, namun saat

pasien tinggal di Manado 15 tahun yang lalu, ada tetangga pasien yang menderita

kusta.

1.2 PEMERIKSAAN FISIK

1.2.1 Status Generalisata

Keadaan umum : tampak sakit ringan

Kesadaran : komposmentis

Kepala : normosefali

LeherDada/Punggung/Perut : dalam batas normal

Ekstremitas : dalam batas normal

Pembesaran Kelenjar : tidak dilakukan pemeriksaan

1.2.2 Status Dermatologis

Lokalisasi Ekstremitas Superior

a) Regio Generalisata

Efloresensi : makula dengan tepi yang meninggi dan eritema

ukuran plakat, berbatas tegas dengan penyebaran

generalisata, dengan erosi di bagian plantar

manus sinistra

Fungsi Sensorik : anastesi (+) pada lesi

Fungsi Motorik :paresis (-)

Fungsi Otonom : edema digiti (-), kulit kering (-)

Deformitas : kuku seperti mau terlepas

5

Page 6: morbus hansen

1.2.3 Foto Klinis

6

Page 7: morbus hansen

7

Page 8: morbus hansen

1.3 DIAGNOSIS BANDING

Morbus Hansen tipe Multi Basiler

Tinea Versikolor

Pitiriasis Rosea

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan BTA pada cuping telinga kanan, kiri dan bokong: (-)

1.5 DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen tipe Multi Basiler

1.6 PENATALAKSANAAN

Farmakologi:

Diberikan pengobatan MDT-MB selama 12 bulan

- Rifampisin 600 mg/bulan

- Klofazimin 300 mb/bulan (diawasi petugas) dan dilanjutkan besok 50

mg/hari

- Dapson 100 mg/hari

Non Farmakologi:

Memberikan edukasi, yaitu :

Lama pengobatan dan cara minum obat

Efek samping yang dapat timbul karena obat

Kusta dapat disembuhkan, bila minum obat teratur dan lengkap

Bahaya yang terjadi bila minum obat tidak teratur yaitu dapat

menularkan kepada keluarga dan orang lain, dan juga dapat menjadi

cacat.

Bila ada keluhan selama masa pengobatan diminta segera periksa ke

Puskesmas.

Bila penderita kehilangan rasa raba atau sakit, menjelaskan bagaimana

perawatan diri untuk mencegah cacat

8

Page 9: morbus hansen

1.7 PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad sanationam : bonam

Quo ad kosmetika : bonam

9

Page 10: morbus hansen

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi dan Sinonim

Kusta atau lepra adalah penyakit infeksi yang kronik yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, yang menyerang saraf

tepi dan kemudian menimbulkan suatu kelainan kulit (2).

Kuman penyebab penyakit Kusta, ditemukan pertama kali oleh sarjana

dari Norwegia Gerhard Hendrik Armauer Hansen pada tahun 1873, maka dari itu

Kusta dikenal juga dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu kuman

penyebab kusta tersebut. Kata lepra disebut dalam kitab injil, terjemahan dari

bahasa Hebrew zaraath (2).

3.2 Epidemiologi

Penyebaran penyakit Morbus Hansen dari suatu tempat ke tempat lain

sampai tersebar di seluruh dunia disebabkan oleh perpindahan penduduk yang

terinfeksi penyakit tersebut. Penderita kusta tersebar di seluruh dunia, walaupun

terbanyak di daerah tropik dan subtropik. Penyebarannya terutama di benua

Afrika, Asia, Amerika Latin serta masyarakat yang social ekonominya rendah (2; 4).

Morbus Hansen dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan

daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun

didapatkan ± 13%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi

tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun (2).

Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan

perkembangan penyakit Morbus Hansen hanya tergantung dari dua hal yakni

jumlah atau keganasan Micobaterium leprae dan daya tahan tubuh penderita.

Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah (3):

Usia: Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa, insidens rate 10-20

tahun; puncak prevalensi 30-50 tahun.

Jenis kelamin: laki-laki lebih banyak yang terjangkit

Ras: bangsa Asia dan Afrika lebih banyak terjangkit

10

Page 11: morbus hansen

Kesadaran social: Umumnya Negara-negara endemis adalah Negara-

negara tingkat sosial ekonomi rendah

Lingkungan: fisik, biologi, sosial,yang kurang sehat.

Demografi: penyakit yang berkembang di seluruh dunia; 600.000 kasus

baru per tahun; 1,5-8 juta total kasus di seluruh dunia. Lebih dari 80%

kasus terdapat di India, China, Myanmar, Indonesia, Brazil, Nigeria (5).

3.3 Etiologi

Penyebab Morbus hansen adalah Mycobacterium leprae, yang ditemukan

oleh warga negara Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873 dan sampai

sekarang belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Kuman Mycobacterium

leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan alkohol

serta bersifat Gram positif. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan

mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (sel Schwan) dan sistem retikulo

endotelial (2).

3.4 Patogenesis

Spektrum klinis dari Morbus Hansen tergantung pada variasi batasan

imunologi host untuk mengembangkan Cell mediated Imunity yang efektif

terhadap Mycobacterium leprae. Organisme dapat menginvasi dan bereplikasi

pada syaraf tepi dan menginfeksi endotel dan sel fagosit pada banyak organ (2).

Bila basil M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala

klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Masa inkubasi yaitu 20-40 tahun

(kebanyakan 5-7 tahun). Bakteri ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang

selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,

sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf

pusat. Morbus Hansen merupakan penyakit menahun jangka panjang yang dapat

menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana

mestinya (2).

Cara-cara penularan penyakit Morbus Hansen sampai saat ini masih

merupakan tanda tanya. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit

ini adalah:

11

Page 12: morbus hansen

Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita

yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24 jam.

Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15

tahun, keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis,

dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.

M. leprae mempunyai patogenitas yang rendah, sebab penderita yang

mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang

lebih berat bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat

infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain karena respon imun yang

berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau

menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu

penyakit ini dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya

lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitasnya

infeksi (2).

3.5 Gejala Klinis

Manifestasi klinis dari lepra sangat beragam, namun terutama mengenai

kulit, saraf, dan membran mukosa. Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada

multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae, respon imun penderita terhadap

kuman M. Leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.

Adapun gejala-gejala khas Morbus Hansen adalah (3):

Muncul gambaran kulit yang lebih putih (hipopigmentasi) bersisik, yang

tidak gatal dan lama-lama meluas.

Pada lesi tersebut terjadi anastesi. Hal ini menandakan bahwa bakteri telah

menyerang saraf tepi.

Gejala yang berat mencakup kerontokan rambut, kekakuan sendi, putusnya

jari-jari sampai timbulnya luka-luka (ulkus) akibat kusta.

Apabila terdapat gejala yang mengarah ke kusta, maka perlu dilakukan

pemeriksaan untuk mencari mikobakterium tersebut dengan suatu

pengecatan basil tahan asam.

12

Page 13: morbus hansen

Dapat pula disertai pembengkakan saraf tepi maupun cabang-cabang saraf

tepi terutama pada saraf ulnaris, medianus, aurikularis magnus serta

peroneus.

Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan

mengkilat.

Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit

Alis rambut rontok

Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut fasies leomina (muka

singa).

3.6 Klasifikasi

Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan

penatalaksanaan dan penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan

klasifikasi sebagai berikut (2):

1. Klasifikasi Madrid

Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana

yang ditentukan atas dasar kriteria klinik, bakteriologik, dan

histopatologik. Ini sesuai dengan rekomendasi Internasional Leprosy

Association di Madrid tahun 1953. Klasifikasi Madrid tersebut

memutuskan bahwa penyakit kusta dibagi atas : tipe indeterminate (I), tipe

tuberkuloid (T), tipe borderline-dimorphous (B) dan tipe lepromatosa (L).

2. Klasifikasi Ridley & Jopling

Klasifikasi penyakit kusta ini lebih dikaitkan dengan spektrum klinik

kusta yang sangat lebar rentangnya. Bisa dari kekebalan paling rendah

seorang penderita sampai pada kekebalan yang tinggi. Maka klasifikasi ini

didasarkan gejala klinik, bakteriologik, histopatologik, dan imunologik.

Menurut klasifikasi ini terdapat 5 (lima) tipe klinik penyakit kusta yang

erat hubungannya dengan sistem kekebalan yaitu:

Tipe I: makula hipopigmentasi berbatas tegass, anastesi dan anhidrasi,

pemeriksaan bakteriologik (-), tes lepromin (+).

13

Page 14: morbus hansen

Tipe TT (polar tuberkuloid): makula eritomatosa bulat atau lonjong,

permukaan kering, batas tegas, bagian tengah sembuh, bakteriologik

(-), tes lepromin positif kuat.

Tipe BT (borderline tuberkuloid): makula eritematosa tidak teratur,

batas tak tegas, kering. Mula-mula ada tanda kontraktur, anastesi,

pemeriksaan bakteriologik (+/-), tes Lepromin (+/-).

Tipe BB (midborderline): makula eritematosa, menonjol, bentuk tidak

teratur, kasar, ada lesi satelit, penebalan syaraf dan kontraktur,

pemeriksaan bakteriologik (+), tes Lepromin (-).

Tipe BL (borderline Lepromatous): makula infiltrat merah mengkilat,

tak teratur, batas tak tegas, pembengkakan saraf, pemeriksaan

bakteriologik ditemukan banyak basil, tes Lepromin (-).

Tipe LL (lepromatous): infiltrat difus berupa nodula simetris,

permukaan mengkilat, saraf terasa sakit, anastesi. Pemeriksaan

bakteriologis positif kuat, tes Lepromin (-) (Sjamsoe, 2007).

Konsep ini dapat digunakan untuk menentukan keadaan imunitas

yang stabil dan keadaan imunitas yang labil, dimana pada tipe polar

tuberkuloid dan polar lepromatosa merupakan keadaan imunitas yang

stabil sedangkan tipe borderline lepromatosa, mide lepromatosa dan

bordeline tuberkuloid merupakan keadaan imunitas yang lebih.

3. Klasifikasi WHO

Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh

dunia oleh WHO dengan memperkenalkan MDT, maka klasifikasi kusta

perlu ada standarisasi dengan lebih disederhanakan, oleh karena itu WHO

menyepakati untuk membagi menjadi 2 (dua) tipe yaitu (2):

14

Page 15: morbus hansen

Tabel 1. Klasifikasi kusta berdasarkan WHO

PB MB

Lesi Kulit - 1-5 lesi

- Hipopigmentasi/eritema

- Distribusi tidak simetris

- Hilangnya sensasi yang

jelas

- > 5 lesi

- Distribusi lebih simetris

- Hilangnya sensasi kurang

jelas

Kerusakan

saraf

Hanya satu cabang Banyak cabang saraf

3.7 Kusta Reaktif

Reaksi kusta termasuk dalam pembahasan imun patologik, yaitu terjadi

gangguan pada Cell Mediated Immunity dan terjadi peningkatan aktivitas

makrofag, Natural Killer Cell, peran komplemen juga berpengaruh, sebetulnya

reaksi imun itu dapat menguntungkan, tetapi bisa juga merugikan seperti kusta

reaktif (2).

Kusta reaktif adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan

penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologiknya belum jelas,

terminologi dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Mengenai

patofisiologisnya yang belum jelas itu akan diterangkan secara imunologik (2).

Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang

disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya

dalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam-macam itu, yang tampaknya paling

banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu (2):

Tipe 1 : Reaksi Reversal, ini merupakan contoh imunopatologi reaksi

hipersensitivitas tipe IV.

Gejala klinik reversal umumnya terdapat rasa nyeri dan

terderness pada saraf, adanya neuritis dan inflamasi yang begitu cepat pada

kulit. Keadaan yang dulunya hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema

makin menjadi eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, yang infiltrat

makin infiltratif dan lesi lama makin bertambah luas.

15

Page 16: morbus hansen

Secara histologi ditemukan epiteloid dari sel granuloma, dan sel

limfosit yang banyak, ditemukannya basil lepra yang banyak, epiteloid

mensekresi TNF.

Tipe 2 : Eritema Nodusum Leprosum (ENL), ini merupakan

hipersensivitas humoral yaitu peran IgM, IgG, dan komplomen,

suatu contoh imunopatologi hipersensitivitas tipe III.

ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula

pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilnya makin besar

kemungkinan timbulnya ENL. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang

berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan

tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti

iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang

akut dengan adanya proteinuria (disertai non pitting oedema). ENL dapat

berkembang menjadi perbaikan setelah mendapatkan kontrikosteroid,

secara histologi ditemukannya foamy histiocyte, dan limfosit tidak banyak.

Fenomena Lucio: merupakan reaksi kusta bentuk lain, yang

sebetulnya merupakan reaksi kusta tipe 2 yang sangat berat. Kusta tipe ini

terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga

dijumpai di negeri lain dengan prevalensi rendah. Gambaran klinis dapat

berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk tak teratur

dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstrimitas, kemudian meluas ke seluruh

tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura, dan

bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri.

Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Titer

kompleks imun yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua

penderita.

Reasi kusta reversal muncul umumnya 6 (enam) bulan setelah pengobatan

dengan obat anti kusta, sedangkan obat lain seperti progesterone, vitamin A,

Mycobacterium leprae yang mati dan hancur menjadi banyak fragmen artinya

banyak sekali antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodinya serta

mengaktifkan sistem komplemen membentuk kompleks imun. Potassium idide

16

Page 17: morbus hansen

merupakan faktor presipitasi, pada tipe ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan

tahun kedua (6).

Kompleks imun terus beredar di dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat

bersarang diberbagai organ seperti kulit dan timbul gejala klinis yang berupa

nodul, eritema dan nyeri dengan predileksi di lengan dan tungkai. Pada organ

mata akan menimbulkan gejala iridosiklitis, pada saraf perifer gejala neuritis akut,

pada kelenjar getah bening gejala limfadenitis, pada sendi nefritid yang akut

dengan adanya protein urin (6).

Tipe reversal dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan destruksi saraf

yang bersifat irreversibel, sehingga mengalami ketidakmampuan dalam fungsi

organ normal, kondisi diperberat dengan cell mediated immunity gagal

menghadapi antigen Mycobacterium leprae (6).

3.8 Komplikasi

Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat akibat kusta adalah (6; 7):

Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang

bersifat psikologik, fisiologik atau anatomic, misalnya leproma,

ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus dan absorbs jari.

Disability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat

impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang

normal bagi manusia. Diassability ini merupakan objektivitas impairment,

yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk ketidakmampuan dalam

aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda atau memakai baju

sendiri.

Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau

diability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal

yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya. Handicap ini

merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan

budaya.

Deformity: kelainan struktur anatomis.

17

Page 18: morbus hansen

Dehabilitation: keadaan/proses pasien kusta (handicap) kehilangan status

sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-

temannya.

Destution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari

seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter).

3.9 Pemeriksaaan Penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan

diagnosa Morbus Hansen antara lain (6):

Pemeriksaan anastesi dengan jarum atau air dingin/air panas

Tes keringat dengan pensil tinta: pada lesi akan hilang, sedangkan pada

kulit normal ada bekas tinta (tes Gunawan)

Pemeriksaan histopatologi diperlukan untuk klasifikasi penyakit

Tes lepromin digunakan untuk klasifikasi penyakit

Pemeriksaan bakteriologik untuk menentukan indeks bakteriologik (IB)

dan indeks morfologi (IM). Pemeriksaan ini penting untuk menilai hasil

pengobatan dan menentukan adanya resistensi pengobatan.

3.10 Diagnosis

Diagnosis penyakit Morbus Hansen didasarkan gambaran klinis,

bakterioskopis, dan histopatologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah

yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakteriologis memerlukan waktu

paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari (2).

Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau

biopsi dari cuping telinga, dibuat sediaan mikroskopis pada gelas alas dan

diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal

memberikan gambaran histologis yang khas (3).

3.11 Diagnosis Banding

Diagnosa banding untuk Morbus Hansen yaitu hipopigmentasi dengan

granuloma, sarcoides, leishmaniasis, lupus vulgaris, lymphoma, granuloma

annulare (5).

18

Page 19: morbus hansen

3.12 Pengobatan

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien

kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari

pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan

insiden penyakit (8).

Regimen pengobatan kusta di Indonesia disesuaikan dengan rekomendasi

WHO (1995), yaitu program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi obat

medikamentosa utama yang terdiri dari Rifampisin, Klofazimin (Lamprene) dan

DDS (Dapson/4,4-diamino-difenil-sulfon) yang telah diterapkan sejak tahun 1981 (8).

Gambar 1. Regimen MDT (Obat Kombinasi) Kusta

19

Page 20: morbus hansen

Regimen MDT (Obat Kombinasi) yang dianjurkan oleh WHO adalah:

a. Penderita Kusta Pausibasiler (PB)

Dewasa:

Pengobatan bulanan: Hari pertama (dosis yang diminum di depan

petugas) 2 kapsul Rifampisin dan 1 tablet Dapsone.

Pengobatan harian: Hari ke 2 sampai hari ke 28 (dibawa pulang) 1

tablet Dapsone. Penderita akan memperoleh obat MDT dari

Puskesmas sebanyak 6 blister untuk diminum selama 6-9 bulan.

Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-PB

Obat & Dosis

MDT-Kusta

PB

Dewasa Anak

BB < 35 Kg BB > 35 kg 10-14 tahun

Rifampisin

(diawasi

petugas)

450 mg/bulan600

mg/bulan

450 mg/bulan

(12-15

mg/kgBB/bulan)

Dapsone

(swakelola)

50 mg/hari

(1-2

mg/kgBB/hr)

100 mg/hr50 mg/hr

(1-2 mg/kgBB/hr)

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis

minimal yang diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6

dosis maka dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum

obat kusta meskipun secara klinis lesinya masih aktif). Menurut WHO

(1995) tidak lagi dinyatakan RFT teetapi menggunakan istilah Completion

of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

20

Page 21: morbus hansen

b. Penderita Kusta Multibasiler (MB)

Dewasa:

Pengobatan bulanan: Hari pertama (dosis yang diminum didepan

petugas) 2 kapsul Rifampisin, 3 kapsul Lampren (Klofazimin), dan 1

tablet Dapsone.

Pengobatan harian hari ke 2-28: 1 tablet Lampren dan 1 tablet

Dapsone diminum setiap hari. Setiap penderita kusta tipe MB akan

mendapatkan 12 blister obat MDT dari Puskesmas untuk diminum

selama 12 bulan.

Tabel 3. Obat dan Dosis regimen MDT-MB

Obat & Dosis

MDT-Kusta MB

Dewasa Anak

BB < 35 Kg BB > 35 kg 10-14 tahun

Rifampisin

(diawasi

petugas)

450 mg/bulan600

mg/bulan

450 mg/bulan

(12-15

mg/kgBB/bulan)

Klofazimin

300 mb/bulan (diawasi petugas)

dan dilanjutkan esok 50 mg/hari

(swakelola)

200 mg/bulan

(diawasi) dan

dilanjutkan esok

50 mg/hari

(swakelola)

Dapsone

(swakelola)

50 mg/hari

(1-2

mg/kgBB/hr)

100 mg/hr50 mg/hr

(1-2 mg/kgBB/hr)

Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis

yang diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai

minum 24 dosis maka dinyatakan RFT meskpun klinis lesinya masih aktif

dan pemeriksaan bakteri BTA positif. Menurut WHO (1998) pengobatan

MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan

pasien langsung dinyatakan RFT.

21

Page 22: morbus hansen

Namun dibalik program MDT, ternyata masih terdapat efek samping

yang ditimbulkan MDT yang dilaporkan. Berikut ini tindak lanjut terhadap

efek samping MDT yang mungkin terjadi (Rekomendasi UPK Kusta

Depkes RI dan WHO, tahun 2000), yaitu sebagai berikut:

Tabel 4. Efek samping MDT dan tindak lanjut

Regimen

MDTEfek Samping Tindak Lanjut

Obat

Substitusi

RifampisinUrin, tinja, keringat

berwarna merah

Obat MDT

dapat diteruskan-

Klofazimin

Warna kulit menjadi

hitam

(hiperpigmentasi)

Obat MDT

dapat diteruskan

Etionamid dan

Protionamid

(Tidak

dianjurkan, RS

hepatotoksik)

Dapsone

Gatal, merah pada

kulit. Bila berat kulit

kepala dan seluruh

tubuh dapat terkelupas

Stop dapsone

dan segera

rujuk penderita

ke RS

-

Setelah minum obat tersebut diatas maka penderita dinyatakan: Release

From Treatment (RFT/Sembuh).

Terdapat beberapa hal yang perlu disampaikan sehingga penderita

mendapat penjelasan sebelum diberikan pengobatan MDT, antara lain (6):

1. Lama pengobatan

2. Cara minum obat

3. Kusta dapat disembuhkan, bila minum obat teratur dan lengkap

4. Bahaya yang terjadi bila minum obat tidak teratur yaitu dapat menularkan

kepada keluarga dan orang lain, dan juga dapat menjadi cacat.

5. Bila ada keluhan selama masa pengobatan diminta segera periksa ke

Puskesmas.

22

Page 23: morbus hansen

6. Bila penderita kehilangan rasa raba atau sakit, jelaskan pentingnya

perawatan diri untuk mencegah cacat

7. Penderita yang sudah cacat fisik tidak akan kembali normal, tetapi

perawatan diri tetap diperlukan supaya cacat tidak berlanjut.

Walaupun saat ini terdapat pengobatan MDT terbaru dengan sistem ROM

(Rifampicin-Ofloksasin-Minosiklin) dan pengembangan obat alternatif

(Klaritromisin, Eritromisin, Roksitromisin dan sebagainya), tetapi tetap masih

dianjurkan regimen MDT-WHO (1995) dengan Rifampisin-Klofazimin-DDS

sebagai terapi medikamentosa utama dari penatalaksanaan Kusta di Indonesia.

23

Page 24: morbus hansen

BAB 4

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini kami melaporkan pasien Tn. A usia 50 tahun

dengan keluhan utama wajah dan badan terasa kebas sejak 5 tahun sebelum pasien

datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD AWS, awalnya muncul bercak-

bercak putih di badan yang tidak terasa gatal. Selain itu pasien juga mengeluhkan

nyeri pada telapak tangannya karena luka bakar saat memegang piring berisi nasi

panas, dan tanpa di sadari beberapa jam kemudian tangannya melepuh. Diagnosis

pada pasien ini yaitu Morbus Hansen tipe Multibasiler yang didasarkan pada

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan data identitas yang didapatkan dari anamnesis, pasien adalah

seorang laki-laki usia 50 tahun. Hal tersebut sesuai dengan literatur yang ada,

yaitu secara epidemiologi, Morbus Hansen lebih banyak menyerang laki-laki

daripada perempuan dengan usia puncak prevalensi yaitu 30-50 tahun (6).

Kemudian dari data anamnesis, yaitu keluhan muncul bercak putih yang

dialami pasien tersebut mati rasa sejak 5 tahun yang lalu. Hal tersebut telah

dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik melalui pemeriksaan sensorik pada regio

wajah, antebrachii anterior sinistra, dorsum manus, dan palmar manus, plantar dan

dorsum pedis dekstra et sinistra maka didapatkan tanda positif hipoanestesi

terhadap rangsang taktil dan nyeri pada tempat lesi daripada kulit normal. Hal

tersebut menandakan bahwa bakteri telah menyerang saraf tepi (6). Sedangkan

waktu lamanya pasien mengalami keluhan mati rasa selama 5 tahun tersebut

menunjukkan onset penyakit yang dialami yang terjadi perlahan-lahan.

Pada pemeriksaan fisik status dermatologis didapatkan adanya makula

hipopigmentasi dengan tepi eritema, sebanyak lebih dari 5 lesi, batas tegas dengan

central clearing, anestesi jelas dan distribusi lesi simetris yaitu pada kedua lengan,

pada badan, punggung, wajah yaitu pipi kanan dan kiri mengarahkan pada kondisi

Morbus Hansen tipe Multibasiler. Selain itu, tidak ditemukan adanya mati rasa

pada daerah distal keempat ekstremitas, sehingga dapat disingkirkan bahwa mati

rasa tidak berkaitan dengan riwayat diabetes yang dialami pasien sejak 5 tahun

terakhir tersebut.

24

Page 25: morbus hansen

Pada pemeriksaan fisik status dermatologis didapatkan adanya makula

eritematosa ukuran plakat batas tegas dengan penyebaran generalisata, tampak

erosi. makula eritematosa, makula hipopigmentasi dengan predileksi pada kedua

ekstremitas, tubuh dan wajah. Oleh karena itu diagnosis banding pada pasien ini

yaitu Tinea Versikolor, dan Pitiriasis Rosea. Tinea Versikolor biasanya tampak

makula soliter dan biasanya koalesen dan tertutup oleh skuama dengan lokasi lesi

pada wajah, leher, dada, punggung, ekstremitas, maupun selangkangan. Namun

biasanya disertai dengan gambaran klinis khas yaitu gatal bila berkeringat (3).

Pitiriasis Rosea dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama

halus, umumnya di badan, solitar, berbentuk oval dan anular, dengan diameter

kira-kira 3 cm. Selanjutnya lesi akan memberikan gambaran yang khas dengan

susunan yang sejajar dengan costa hingga menyerupai pohon cemara terbalik.

Tempat predileksi di badan, lengan atas bagian proksimal, dan paha atas(5,6).

Jadi dapat disimpulkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang bahwa diagnosis pada pasien ini yaitu Morbus Hansen

tipe Mulltibasiler. Diagnosis ini didasarkan pada penemuan 1 dari 3 tanda

kardinal, yaitu bercak kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang mati rasa, dan

tidak ditemukannya M. lepra sebagai BTA pada pemeriksaan laboratorium (6).

25

Gambar 2.1. Pitiriasis Rosea

Page 26: morbus hansen

Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang

diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis

maka dinyatakan RFT meskpun klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri

BTA positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis

yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

Regimen pengobatan untuk penderita kusta tipe Multibasiler dewasa yaitu:

Pengobatan bulanan: Hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas)

2 kapsul Rifampisin, 3 kapsul Lampren (Klofazimin), dan 1 tablet

Dapsone.

Pengobatan harian hari ke 2-28: 1 tablet Lampren dan 1 tablet Dapsone

diminum setiap hari. Setiap penderita kusta tipe MB akan mendapatkan 12

blister obat MDT dari Puskesmas untuk diminum selama 12 bulan.

Beberapa hal yang perlu disampaikan sebelum pemberian MDT yaitu lama

pengobatan, cara minum obat, efek samping obat yang dapat timbul,

kemungkinan sembuhnya penyakit kusta bila meminum obat teratur dan lengkap,

bahaya yang terjadi bila minum obat tidak teratur yaitu dapat menularkan kepada

keluarga dan orang lain, dan juga dapat menjadi cacat, bagaimana bila selama

pengobatan muncul efek samping. Bila penderita kehilangan rasa raba atau sakit,

dijelaskan pentingnya perawatan diri untuk mencegah cacat (6).

Pada pasien ini telah terjadi gangguan fungsi sensoris, sehingga

pengobatan terhadap penyakitnya harus segera mungkin dilakukan agar tidak

terjadi komplikasi berupa kecacatan. Kecacatan dapat terjadi apabila penderita

kusta tersebut terlambat didiagnosis dan tidak mendapatkan MDT pada riwayat

sebelumnya. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya

sensibilitas, dan berkurangnya kekuatan otot. WHO Expert Committee on Leprosy

membuat klasifikasi cacat pada tangan dan kaki, serta mata bagi penderita kusta (6).

Cacat Pada Tangan dan Kaki

Ting

kat 0

Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau

deformitas yang terlihat.

Ting

kat 1

Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang

terlihat.

26

Page 27: morbus hansen

Ting

kat 2

Terdapat kerusakan atau deformitas

Catatan : kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk

ulserasi, absorpsi, mutilasi, dan kontraktur.

Prognosis pada pasien ini baik pada sisi vitam, sanasionam dan

kosmetikam, karena jika benar mendapatkan terapi yang sesuai, maka kondisi

pasien akan menjadi baik.

27

Page 28: morbus hansen

BAB 5

KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus Morbus Hansen tipe multibasiler pada laki-laki

berusia 50 tahun, dimana dari anamnesis didapatkan keluhan wajah dan badan

terasa kebas sejak 5 tahun sebelum pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin

RSUD AWS, awalnya muncul bercak- bercak putih di badan yang tidak terasa

gatal. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri pada telapak tangannya karena

luka bakar saat memegang piring berisi nasi panas, dan tanpa di sadari beberapa

jam kemudian tangannya melepuh. Kemudian dari pemeriksaan fisik ditemukan

makula dengan tepi yang meninggi dan eritema dengan ukuran plakat, berbatas

tegas dengan penyebaran generalisata, dengan erosi di bagian plantar manus

sinistra. Diagnosis banding pasien ini adalah Tinea Versikolor, dan Pitiriasis

Rosea. Penatalaksanaan pada pasien ini dengan program Multi Drug Therapy

(MDT) dengan kombinasi obat medikamentosa yang digunakan terdiri dari

Rifampisin, Klofazimin dan Dapson selama 12 bulan.

28

Page 29: morbus hansen

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Guide to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem. First Edition.

World Health Organization. USA. 2000. [Online] Januari 4, 2014.

http://www.who.int/lep/resources/Guide_Int_E.pdf .

2. Kokasih, I Made Wisnu, E. Sjamsoe Daili, S. L. Menaldi. Kusta. [book

auth.] M. Hamzah, S. Aisah Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007, pp. 73-88.

3. Zulkifli. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. 2003. [Online]

2003. [Cited: Februari 9, 2014.] http://library.usu.ac.id/download/fkm-

zulkifli2.pdf.

4. Harahap, Mawardi. Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates, 2000.

5. Wolff, K. Goldsmith, L. A. Katz, S. I. Gilchrest, B. A. Paller, A. S. Leffel,

D. J. editors. [book auth.] McGraw-Hill. Fitzpatrick's Color Atlas and

Synopsis of Clinical Dermatology. Sixth Edition. New York : s.n., 2009, pp.

665-671.

6. Daili, Emmy S. Sjamsoe et all. Kusta. Jakarta : Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2003.

7. D., Sofianty. Memahami Seluk Beluk Penyakit Kusta. [Online] 2009. [Cited:

Februari 4, 2014.]

http://www.surabaya-ehealth/org/administrator/berita/memahami-seluk-beluk-

penyakit-kusta..

8. Pramesemara. Penatalaksanaan Kusta di Indonesia. [Online] 2009. [Cited:

Februari 4, 2014.]

http://pramareola14.wordpress.com/2009/12/09.penatalaksanaan-kusta-di-

indonesia/.

29