49
REFERAT MORBUS HANSEN Disusun oleh : Sitti Monica Astrilia Ambon (030.09.239) Pembimbing : dr. Dewi Anggreni, Sp.KK dr. Iwan Trihapsoro, Sp.KK, Sp.KP, FINSDV, FAADV dr. A.A. Sri Budhyani KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN RSAU DR.ESNAWAN ANTARIKSA UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 2 JUNI 2014 – 5 JULI 2014, JAKARTA 0

Morbus Hansen Referat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referatMH

Citation preview

Page 1: Morbus Hansen Referat

REFERAT

MORBUS HANSEN

Disusun oleh :Sitti Monica Astrilia Ambon (030.09.239)

Pembimbing :dr. Dewi Anggreni, Sp.KK

dr. Iwan Trihapsoro, Sp.KK, Sp.KP, FINSDV, FAADVdr. A.A. Sri Budhyani

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMINRSAU DR.ESNAWAN ANTARIKSA

UNIVERSITAS TRISAKTIPERIODE 2 JUNI 2014 – 5 JULI 2014, JAKARTA

MORBUS HANSEN0

Page 2: Morbus Hansen Referat

I. PENDAHULUAN

Morbus Hansen yang disebut juga Lepra adalah infeksi kronik yang

disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang merupakan mikroorganisme

yang menyerang kulit dan saraf. Meskipun tidak fatal, lepra merupakan salah

satu penyebab paling sering neuropati perifer di seluruh dunia. Penyakit ini

telah ada di dunia sejak lama. DNA yang diambil dari mayat di kota

Jerusalem menunjukkan bahwa Ia merupakan manusia pertama yang

menderita lepra. Penyakit ini kemungkinan berasal dari Mesir dan Negara

Timur Tengah lainnya pada awal 2400 SM. Kurangnya pengetahuan di masa

itu mengenai penyakit tersebut menyebabkan penyakit tersebut menyebar ke

seluruh penjuru dunia. Mycobacterium leprae, penyebab dari lepra

ditemukan oleh G.H Armauer Hansen di Norway pada tahun 1873. Lebih dari

20 tahun , imlementasi WHO terhadap kasus MDT (Multi Drugs Resistance)

telah membuat prevalensi infeksi lepra menurun sekitar 90 % di Negara

endemic dengan kurang dari satu kasus dalam 10.000 populasi. Walaupun,

pada Negara-negara seperti Brazil, Congo, Madagascar, Mozambique,

Nepal, dan Tanzania.1,11

II. EPIDEMIOLOGI

Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin,

daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya

rendah. Makin rendah sosial ekonomi rendah makin berat penyakitnya,

sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan.

Pada tahun 1991 World Heath Assembly membuat resolusi tentang eliminasi

kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan

menurunkan prevalensi kusta menjadi dibawah 1 kasus per 10.000

penduduk. Di indonesia dikenal dengan Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT

2000). 2

Peyakit ini masih teteap menjadi endemik di Negara seperti Afrika dan

Negara-negara Asia Tenggara.Variasi geografi pada tahun 2009

menunjukkan dari 141 negara yang melaporkan, hanya 7 negara yang

terdeteksi 85 % kasusnya dalah kasus baru. Contohnya pada tahun 2009 di

1

Page 3: Morbus Hansen Referat

India terdapat 94 % kasus lepra baru dari 79 % populasi saat itu. Pada tahun

2005 – 2007 di Brasil 17 % dari populasi berkontribusi pada 53 % kasus

baru. Untuk Indonesia sendiri pada tahun 2007, 14 dari 33 provinsi terdapat

83 % kasus baru. Sedangkan China pada tahun 2009, 3 dari 31 provinsi

mempunyai 54, 5 % kasus baru. 3

III. ETIOLOGI

Mycobacterium leprae belum berhasil dibiakan secara in vitro.

Mycobacterium leprae berkembang biak pada suhu 30 - 33°C dalam waktu

12 hari. Mikroorganisme ini merupakan mikroorganisme yang kuat yang

dapat bertahan hidup di lingkungan selama 10 hari.4 Kuman ini ditemukan

oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae merupakan

kuman Gram positif yang berbentuk basil dengan ukuran 3 – 8 Um x 0,5 Um,

yang mempunyai komponen antigenik kompleks yang terdiri dari lipid,

karohidrat dan protein, sehingga kuman ini tahan asam dan alkohol.2,4

IV. PATOGENESIS

Faktor risiko untuk terjadinya lepra adalah lahir atau tinggal di area

yang diketahui sebagai daerah endemic, ada keluarga yang menderita lepra,

mempunyai genetic, terpapar dari lingkungan sekitar, dan kemiskinan.

Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui

dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang

tersering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu

dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit

bergantung pada faktor imunitas seseorang. Oleh karena itu penyakit kusta

dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya sebanding

dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.4,13

Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama

kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar,

salah satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem

fagositosis yang diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang

ditangkap akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk

mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh M.

2

Page 4: Morbus Hansen Referat

leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja.

Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan

bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel

imunokompeten oleh stimulasi antigen M. leprae.5

Bila basil M. leprae masuk ke dalan tubuh seseorang, dapat timbul

gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis

bergantung kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik

akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah

memberikan gambaran lepromatosa. Makrofag dalam jaringan yang berasal

dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama lain sel Kupffer di

hati, sel alveolar di paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut

histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau

ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya

tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke

tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor

kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus

difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang

berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel. Apabila SIS rendah

atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada

di dalamanya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel

Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagi alat pengangkut

penyebarluasan.5,6

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman

dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.

Kelainan kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang

infiltratis dan plak. Kelainan saraf dapat simetris. 5,6,7

3

Page 5: Morbus Hansen Referat

Gambar 1. Imunitas terhadap bakteri

Sumber : Playfair JHL, Chain BM. Immunity to bacteria.

Immunology at a Glance

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,

sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah

semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid

yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia

Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebahan

dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan

sekitarnya. Tipe ini biasanya menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi

kulit terbatas dengan kulit kering dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya

asimetris. 7

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae

sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya,

cacat. Pengikatan M. leprae ke sel Schwann menyebabkan demielinisasi

dan hilangnya konduktansi aksonal. M. leprae memiliki bagian G domain of

extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel

4

Page 6: Morbus Hansen Referat

schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II

setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2

dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal

memakan M. leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di

dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja

terus menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi.

Sitokin dan GF tidak mengenai bagian self atau nonself sehingga akan

merusak saraf dan saraf yag rusak akan diganti dengan jaringan fibrous

sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.7

V. GAMBARAN KLINIS

Sebelum membahas mengenai gambaran klinis akan dibahas

mengenai klasifikasi terlebih dahulu. Ridley dan Jopling memperkenalkan

istilah spectrum determinate pada penyakit lepra yang terdiri atas berbagai

tipe, yaitu:

IL : Indeterminate leprosy

TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

BT : Borderline tuberculoid

BB : Mid borderline

BL : Borderline lepromatous bentuk yang labil

LLs : Lepromatous subpolar

LLp : lepromatosa polar, bentuk yang stabil

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang

stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LLp adalah tipe

lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara BT dan

LLs disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara

tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan

50% lepromatosa. BT lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan LLs lebih

banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti

dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LLp.7 Indeterminate leprosy tidak

termasuk dalam spektrum.2

5

Page 7: Morbus Hansen Referat

Tabel 1. Klasifikasi Ridley-Jopling

Sumber : Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy

according to immunity: a five-group system. Int J Leprosy 1966; 54 :

255-73

6

Page 8: Morbus Hansen Referat

Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan

pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan

indeks biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LLp, BL, dan BB

pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil

dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping.2

Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan.

Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada

pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi

Ridley-Jopling. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,

BL, LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati

dengan rejimen MDT-MB.2,14

Zona spectrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah:2

Klasifikasi Zona spectrum kusta

Ridley&Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas PB MB

Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset

terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai

sistem saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren

tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi

kulit berupa macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem

saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan

kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak

dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90% pasien biasanya mengalami

keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu

sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya,

sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga

7

Page 9: Morbus Hansen Referat

dapat terjadi komplikasi ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal

tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang

dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan

lutut.2 Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) Pembesaran saraf

tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus,

(2) Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa

tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta

kontraktur (4) Kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral

distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta

nyeri dan raba).4

1. Indeterminate Leprosy (IL)

IL merupakan bentuk lepra yang sering sekali tidak didagnosis

sebagai lepra. Gambaran klinis berupa dua atau tiga patch yang

datar dan hipopigmentasi. Gejala saraf perifer ringan atau bahkan

tidak ada. Karakteristik khas yang biasa didapatkan pada biopsi

kulit lepra tidak didapatkan pada IL.9 Biasanya muncul pada wajah,

bagian ekstensor dari ekstremitas, pantat atau dada.

8

Page 10: Morbus Hansen Referat

Gambar 2. Indeterminate Leprosy

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

2. Tuberculoid Leprosy (TT)

TT merupakan bentuk lepra yang paling ringan. Imunitas host

biasanya masih baik, dapat sembuh spontan dan masih mampu

melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas.

Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,

dapat berupa makula atau plak, dan pada bagian tengah dapat

ditemukan lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi

dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai

penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif

merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap

kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi

menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya.

Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran

hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT.

Gangguan saraf tidak berat dan asimetris. 9

9

Page 11: Morbus Hansen Referat

Gambar 3. Tuberculoid Leprosy

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

3. Lepromatous Leprosy (LL)

Manifestasi klinis awal yang muncul biasanya di kulit (karena gejala

saraf biasanya masih asimptomatik pada awal penyakit), namun

biasanya tidak terlalu diperhatikan oleh pasien, mereka lebih sering

mengeluhkan keluhan seperti keluhan hidung tersumbat disertai

adanya sekret dan epistaksis. Untuk daerah kulit sendiri jumlah lesi

sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris, permukaan

10

Page 12: Morbus Hansen Referat

halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada

stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan

juga lesi Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem.

Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,

cuping telinga. Lesi pada mukosa oral berupa papul pada bibir dan

nodul pada palatum, uvula, lidah dan gusi. Mukosa nasal juga

menjadi hiperemis dan ulserasi sehingga gampang terjadi

epistaksis. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang

progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf

menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.9

Gambar 4. Lepromatous Leprosy

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

11

Page 13: Morbus Hansen Referat

Gambar 5. Fasies Leonine

Sumber : Gawkrodger DJ. Tropical Infections & Infestations.

Dermatology Illustrated Colour Text

Gambar 6. Hidung pelana dan infiltrasi pada lidah

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

12

Page 14: Morbus Hansen Referat

Gambar 7. Nodul pada septum nasi dan perdarahan

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

Gambar 8. Multiple dermatofibroma-like pada LL

Sumber : Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine

4. Borderline Leprosy (BT, BB, BL)

Pada tipe borderline, merupakan tipe yang paling tidak stabil,

disebut juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid

dan lepromatous. Terdiri dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi

kurang tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung

simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas

pada tipe ini. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya

keringat. Pada BT lesi biasanya lebih sedikit dan lebih kering,

kerontokan rambut, anhidrosis, dan jumlah bacil yang ditemukan

13

Page 15: Morbus Hansen Referat

dalam smear dan biopsy lebih sedikit. Dibandingkan dengan BL

dimana tingkatannya mendekati LL sehingga lesi kulitnya juga lebih

mengarah pada tipe LL. Borderline leprosy adalah tipe yang paling

sering terjadi dan karena tipe ini bersifat tidak stabil maka sewaktu-

waktu dapat mengalami down-grades menjadi LL (apalagi bila tidak

diobati), atau mengalami upgrades menjadi TT.4

Gambar 9. Borderline Tuberculoid (BT)

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

14

Page 16: Morbus Hansen Referat

Gambar 10. Borderline Leprosy (BL)

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

Gambar 11. Borderline (BB)

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai dengan

patofisiologinya ada dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer

sebagai akibat langsung granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap

M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit,

mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas

sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas

diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.4,7,9

Gejala kerusakan saraf pada N.ulnaris adalah anestesia pada ujung

jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan

atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada

N. Medianus adalah anestesi pada ujung jari bagian anterior ibu jari,

15

Page 17: Morbus Hansen Referat

telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,

telunjuk dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan

kedua otot lumbrikalis lateral. Pada N. Radialis adalah anestesi dorsum

manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan

tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. Pada N. Poplitea

lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis,

kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N. Tibialis

posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes dan paralisis otot intrinsik

kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan

zigomatik menyebabkan lagoftallmus dan cabang bukal, mandibular serta

servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan

mengatupkan bibir. Pada N. Trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea

dan konjungtiva mata. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan

sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata

(madarosis), juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder

disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang menyebabkan paralisis

orbikularis okuli sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang

selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mat alainnya. Secara

sendirian atau bersama-sama menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma

ke dalam adneksa kulit yang teriri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan

folikel rambut dapat menyebabkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe

lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat ganggguan keseimbangan

hormonal dan oleh karena infiltasi granuloma pada tubulus semineferus

testis.2,9

Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan

penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun dapat

menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun

patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya.

Reaksi reversal atau reaksi upgrading / type 1

Reaksi ini dapat terjadi pada tipe borderline (LLs, BL, BB, BT) sehingga

disebut juga sebagai reaksi borderline. Yang memegang peran utama dalam

16

Page 18: Morbus Hansen Referat

terjadi hal ini adalah SIS. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat

basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada

pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan

saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera

yang memadai. Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak

bebas ke arah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap

perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi

reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan

SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Gejala klinis reaksi

reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada

bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat. Artinya lesi

hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi

makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat menjadi makin infiltratif dan lesi lama

menjadi bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan,

karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid. 4,10,12

Gambar 12. Reaksi tipe 1

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

17

Page 19: Morbus Hansen Referat

Eritema nodosum leprosum (E.N.L.) / type 2

ENL timbul terutama pada tipe LL dan BL. Secara imunopatologis, ENL

termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat

reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (IgM, IgG) + komplemen

kompleks imun. Hal ini terjadi karena pada tipe lepromatosa jumlah basil jauh

lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada tahun

kedua pengobatan karena banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti

banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, mengaktifkan

sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi

darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. 2,12

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan

nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ

lain dapat menyebabkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis,

arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat

disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.2,4,10

Gambar 13. ENL

18

Page 20: Morbus Hansen Referat

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

Fenomena Lucio

Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang

terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama

ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di

negeri lain dengan prevalensi rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak

atau infiltrate difus, berwarna merah muda, bentuk tak teratur dan terasa

nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi

yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura, dan bula kemudian

dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat

menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.2

Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik

dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi

endothelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae

di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrate PMN seperti pada

ENL, namun dengan imunofuorosensi tampak deposit immunoglobulin dan

komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang

beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita. 2

19

Page 21: Morbus Hansen Referat

Gambar 14. Fenomena Lucio

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of

Dermatology

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Bakterioskopik

Sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung

yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSEN. Pertama

– tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat

oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang

diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin

sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian

bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling

eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa

menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena

pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.2

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada

sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan

nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100

lapangan pandang (LP).2

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid

dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid.

IM= Jumlah solid x 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap

lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk

mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai

20

Page 22: Morbus Hansen Referat

10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100

lapangan. 2

2. Pemeriksaan Histopatologi

Gambaran histopatologi tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit

dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal

( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah

epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel

virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat

campuran unsur – unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang

dijadikan M. leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai

alat pengangkut penyebarluasan. 2

3. Pemeriksaan Serologik

Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang

terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML

dipstick, PCR. 2

4. Tes Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis

lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan

sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin

dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.

Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2 hari (reaksi Fernandez) atau 3 –

4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat

indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi

terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti

mantoux test (PPD) pada tuberculosis.2,15

Reaksi Mitsuda bernilai :

0        Papul berdiameter 3 mm atau kurang

+ 1     Papul berdiameter 4 – 6 mm

+ 2     Papul berdiameter 7 – 10 mm

+ 3     papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulsera

21

Page 23: Morbus Hansen Referat

VII. DIAGNOSIS

Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest imitator karena

memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis

penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign),

yaitu :8

1. Bercak kulit yang mati rasa

Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan lesi di

bagian tubuh yang lain, biasanya lesi dengan bercak

hipopigmentasi atau eritematous, mendatar (makula) atau

meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian

saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri. 8

2. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau

tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu : 8

Gangguan fungsi sensoris : hipostesi atau anestesi

Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis

Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema,

pertumbuhan rambut yang terganggu.

3. Ditemukan kuman tahan asam

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus

ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat

ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta

dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3 – 6 bulan

sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan. 8

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pada kusta tergantung dari bentuk efloresensinya.

Pada lesi berbentuk makula maka diagnosis bandingnya adalah : 8

Vitiligo

Lesi pada vitiligo mengalami depigmentasi, pada lepra

depigmentasi yang terjadi tidak pernah total atau komplit seperti

pada vitiligo.

Pityriasis alba

22

Page 24: Morbus Hansen Referat

Pada pityriasis alba terdapat hipopigmentasi yang seringkali sulit

dibedakan dengan lepra, namun pada pityriasis alba permukaannya

biasanya bersisik dan tidak ada AFB (Acid Fast Bacillus).

Pityriasis versikolor

Pada pityriasis versikolor tidak selalu bersisik, dan daerah

distribusinya pada punggung dan dada serta gambaran makulanya

berbeda dengan pada lepra.

Tinea Korporis

Pada tinea korporis lesi dirasakan sangan gatal dan bisa terdapat

vesikel pada pinggirannya dan pada kerok kulit didapatkan jamur.

Pada lesi berbentuk plak dan annular, diagnosis bandingnya adalah

granuloma multiform, sarkoidosis, dan kutaneus tuberkulosis yang mungkin

mirip dengan lepra tipe TT. Namun, pada penyakit-penyakit diatas tidak

ditemukan adanya kelaianan saraf perifer seperti anestesi pada lesi.

Pada lesi berbentuk nodul, diagnosis bandingnya adalah kutaneus

leishmaniasis dimana pada penyakit tersebut teradapat nodul juga, disertai

krusta dan ulserasi setelah beberapa minggu atau bulan. Di daerah Afrika

Timur penyakit ini sulit dibedakan dengan lepra tipe LL karena lesinya yang

mirip. Dibedakan dari dilakukannya slit-skin smears dan leishmanin test yang

positive pada kutaneus leishmaniasis. 4

Untuk lesi pada Nerves nya perlu dipikirkan pula beberapa diagnosis

banding seperti diabetes melitus, amyloidosis, infeksi HIV dan keracunan

logam berat.4

IX. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk

menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,

mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi

pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.3

23

Page 25: Morbus Hansen Referat

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu

mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan

antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah

penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari

dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit

kepala, dan vertigo.3

Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat

menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel

dan transpor dari NA/K ATPase. Efek sampingnya adalah warna kulit bisa

menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat

tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.3

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja

dengan cara menghambat DNA-dependent RNA polymerase pada sel

bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah

hepatotoksik, dan nefrotoksik.3

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas

Ferrosus untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita

kusta dgn kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin

untuk penderita kusta tipe PB I.3

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang

direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta

disederhanakan menjadi:

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT (Multi Drug Treatment).

Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin

meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat,

menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan

dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI), PB dengan lesi

tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat

sekali saja langsung RFT (Release From Treatment). Obat diminum di depan

petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM.3

24

Page 26: Morbus Hansen Referat

Tabel 2. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM)

menurut WHO/DEPKES RI

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa

(50-70 kg)

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

(5-14 th)

300 mg 200 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 – 5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan

selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release

From Treatment) yaitu berhenti minum obat. 3

Tabel 3. Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hr diminum di rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

50 mg/hari diminum di rumah

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5. Lama pengobatan 12 dosis ini bisa

diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,

dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat. Masa

25

Page 27: Morbus Hansen Referat

pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe PB selama 2

tahun dan tipe MB selama 5 tahun. 3

Tabel 4. Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan

diminum di depan

petugas

kesehatan

100 mg/hari

diminum di rumah

300 mg/bulan diminum

di depan petugas

kesehatan dilanjutkan

dgn 50 mg/hari diminum

di rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

diminum di depan

petugas

50 mg/hari diminum

di rumah

150 mg/bulan diminum

di depan petugas

kesehatan dilanjutkan

dg 50 mg selang sehari

diminum di rumah

Obat Kusta Baru

Pada penatalaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang

timbul yaitu adanya resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya

pengobatan terutama pada kusta MB.11 Pada penderita kusta PB timbul

masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan

Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru setelah selesai MDT.3,11

Maka diperlukan obat-obat baru yang memenuhi syarat antara lain : bersifat

bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak antagonis terhadap obat yang

sudah ada, aman, dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral,

dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali. Obat-obat yang sudah

terbukti efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin. 3

a. Ofloksasin

26

Page 28: Morbus Hansen Referat

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif

terhadap M. leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg.

Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna

lainnya, berbagai gangguan SSP termasuk insomnia, nyeri kepala,

dizziness. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan

menyusui harus hati-hati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan

levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru,

jadi lebih efektif.

b. Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi

daripada klarirotmisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis

standar harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi

bayi dan anak-anak, kadang dapat menyebabkan hiperpigmentasi

kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan

SSP termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak

dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.

c. Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas

bakterisidal terhadap M. leprae. Pada penderita kusta lepromatosa,

dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28

hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah

nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat

ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

Pengobatan Pada Situasi Khusus

a. Penderita yang tidak dapat makan rifampisin

Situasi ini mungkin disebabkan karena alergi, hepatitis kronis atau

resisten terhadap obat ini.

Tabel 5. Regimen untuk penderita yang tidak dapat makan rifampisin

Lama pengobatan Jenis obat Dosis

6 bulan Klofazimin

Ofloksasin

50 mg/hari

400 mg/hari

27

Page 29: Morbus Hansen Referat

Minosiklin 100 mg/hari

Diikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan

ofloksasin atau

minosiklin

50 mg/hari

400 mg/hari

100 mg/hari

b. Penderita yang menolak klofazimin

Situasi ini disebabkan pasien yang khawatir akan pewarnaan kulit.

Pengibatan diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan

atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.

Pengobatan Kusta selama Kehamilan dan Menyusui

Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil oleh sebab itu obat MDT

harus tetap diberikan. WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai

selama kehamilan dan menyusui, bagi ibu dan bayinya, sehingga tidak

perlu mengubah dosis. Obat dapat keluar melalui ASI dalam jumlah kecil

tetapi tidak ada laporan efek samping obat pada bayi kecuali pewarnaan

kulit akibat klofazimin. Obat dosis tunggal bagi bercak tunggal ditunggu

pemakaiannya sampai bayinya lahir. 3

Pengobatan Reaksi Kusta

Prinsip penanganan reaksi kusta: 3

1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan

menjadi paralisis atau kontraktur.

2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan.

3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas.

4. Mengatasi rasa nyeri.

Pengobatan ENL:

Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain

prednisone, Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya

prednisone 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih, Sesuai dengan

perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti

28

Page 30: Morbus Hansen Referat

sama sekali. Obat lain dianggap sebagai pilihan utama adalah thalidomide,

tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik jadi tidak

boleh diberikan kepada ibu hamil atau masa subur. Di Indonesia sudah

tidak diproduksi lagi. 3

Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai

anti-reaksi ENL tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung

pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya

antara 200-300 mg sehari. Keuntungan klofazimin dapat dipakai sebagai

usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek

samping yang tidak diinginkan adalah kulit menjadi berwarna merah

kecoklatan terutama pada pemberian dosis tinggi. 3

Pengobatan reaksi reversal:

Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab

kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau

ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya

disesuaikan dengab berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan

prednisone 40-60 mg sehari lalu diturunkan secara perlahan. Anggota

gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik dan sedative

kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang

efektif, oleh karena itu jarang dipakai, atau tidak pernah dipakai. 3

Rehabilitasi Medik

Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan

yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi

medic secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi,

perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septic, pemberian alas kaki,

protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula

diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial agar mantan

pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya

membangun negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan

terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan.

29

Page 31: Morbus Hansen Referat

Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan kesatuan kegiatan

yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.

Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan

kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada

pencegahan handicap dan mempertahankan kemampuan fungsi yang

tersisa. 3

Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah:

a. Pemeliharaan kulit harian

Cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan

sedikit sabun (jangan detergen).

Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin.

Kalau kulit sudah lembut, gosok kaki dengan karet busa agar

kulit kering terlepas.

Kulit digosok dengan minyak.

Secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot,

nyeri, luka, dan lain-lain).

b. Proteksi tangan dan kaki

1. Tangan:

Pakai sarung tangan waktu bekerja.

Stop merokok.

Jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung.

Lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut.

2. Kaki

Selalu pakai alas kaki.

Batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan.

Meninggikan kaki bila berbaring.

c. Latihan fisioterapi

Tujuannya adalah : cegah kontraktur, peningkatan fungsi gerak,

peningkatan kekuatan otot, peningkatan daya tahan (endurance). 3

1. Latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari

menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain.

30

Page 32: Morbus Hansen Referat

Pertahankan 10 detik, lakukan 5-10 kali per hari untuk mencegah

kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk mencegah kontraktur.

Latihan lingkup gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh

arah gerak.

2. Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri.

3. Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian

belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh

mendekati tembok, sementara kaki tetap berpijak.

4. Program latihan dapat ditungkatkan secara umum untuk

mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan daya

tahan.

X. KOMPLIKASI

Lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan

infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun

ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. fenomena lucio

yang ditandai dengan artritis, terbatas pada pasien lepromatosus difus,

infiltrative dan non noduler. kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis

nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. amyloidosis

sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama pada

ENL kronik.4,15

XI. PROGNOSIS

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.

Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap

pengobatan. Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan

kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.2,4,7

XII. KESIMPULAN

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya

Mycobacterium leprae, yang bersifat intraselular obligats. Insidensi puncak

pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun. Kusta terdapat dimana-mana,

terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropis, serta

31

Page 33: Morbus Hansen Referat

masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Berdasarkan Ridley aand

Jopling kusta dibagai menjadi TT, BT, BB, BL ,LL, dan menurut WHO

dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta dilakukan

berdasarkan pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis.

Penatalaksanaan kusta dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai

diterapkan untuk mencegah kemungkinan timbul resistensi. Dengan

pelaksanaan MDT, kusta sekarang jauh lebih mudah untuk dikontrol.

Deteksi dini dan pengobatan penyakit, reaksi, dan kekambuhan merupakan

kunci untuk mencegah kecacatan dan memungkinkan pasien untuk

menjalani kehidupan yang relatif normal.

32

Page 34: Morbus Hansen Referat

DAFTAR PUSTAKA

1. Bhat RM, Prakash C. Leprosy : An Overview of Pathophysiology. India :

Hindawi Publishing Corporation. Published July 25th , 2012.

2. Kosasih A, Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In : Djuanda A, Hamzah

M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p.73-88.

3. Al-Qubati YA, de Oliveira MLW, Caldas MDP, et al. WHO Expert

Committee on Leprosy. Geneva : World Health Organization; 2012.p. 1-3,

17-28.

4. Lockwood DNJ. Leprosy. In : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,

editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. UK : Wiley-Blackwell;

2010. p. 32.1 – 32. 20.

5. Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology. 2nd ed. Philadelphia :

Elsevier ; 2004.p.21-33.

6. Playfair JHL, Chain BM. Immunology at a Glance. 10 th ed. UK : Wiley-

Blackwell; 2013.p.10-1, 66-7.

7. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In

General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2012. p.

2253-62.

8. WHO, editor. Diagnosis of Leprosy. Available at :

http://www.who.int/lep/diagnosis/en/. Accessed on June 10th, 2014.

9. Vital RT, Illaramendi X, Nascimento O, et al. Progression of Leprosy

Neuropathy. Brazil : Departement of Neurology. Published January 6th ,

2012.

33

Page 35: Morbus Hansen Referat

10.Nascimento O, de Freitas MRG, Escada T. Leprosy Late-onset Neuropathy

: an Uncommon Presentation of leprosy. Brazil : Department on Neurology.

Published January 1st, 2012.

11.Girao RJS, Soares NLR, Pinheiro JV, et al. Leprosy Treatment Dropout : a

Systematic Review. Brazil : International Archives of Medicine. Published

August 30th, 2013.

12.Cardoso FDM, De Freitas MRG, Escada TM, et al. Late Onset Neuropathy

in Leprosy Patients Released from Treatment : not all due to reactions ?

Brazil : Neuromuscular Disease Service. Published May 31st , 2013.

13. CDC, editor. Hansen’s Disease : Risk of Exsposure. Available at :

http://www.cdc.gov/leprosy/exposure/index.html. Accessed on June 11th,

2014.

14. Doerr S, Davis CP, editor. Leprosy Symptoms and Signs. Available at :

http://www.emedicinehealth.com/leprosy/page3_em.htm. Accessed on

June 11th, 2014.

15.Donohue M, Krucik G, editor. Leprosy. Available at :

http://www.healthline.com/health/leprosy#Overview1. Accessed on June

11th, 2014.

34