37
1 BAB I PENDAHULUAN Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae)yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India, kustha, yang sudah dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra juga disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian tersebar melalui perpindahan penduduk di beberapa belahan dunia, penyebaran penyakit tersebut umumnya dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas negara. Sedangkan kusta masuk ke Indonesia ini melalui pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang india Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat 249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang.

Morbus Hansen-Referat FITRI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Morbus Hansen-Referat FITRI

1

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae)yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot,

tulang dan testis.

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India, kustha, yang sudah

dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra juga disebut dalam kitab Injil, terjemahan

dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya.

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian tersebar melalui

perpindahan penduduk di beberapa belahan dunia, penyebaran penyakit tersebut

umumnya dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas negara. Sedangkan kusta masuk ke

Indonesia ini melalui pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang india

Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal

dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat 249.007. Di Indonesia

jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun

2008 sebesar 16.668 orang.

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti karena dapat terjadi ulserasi,

mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga

karena dikucilkan masyarakat sekitarnya.

Page 2: Morbus Hansen-Referat FITRI

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KULIT

Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup

manusia. Luas kulit orang dewasa 2m2 dengan berat kira-kira 16% berat badan. Kulit merupakan

organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga

sangan kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras,

dan juga bergantung pada lokasi tubuh6.

Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan

jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian

medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung,

bahu . Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis

yang merupakan lapisan epitel berasal dari ektoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari

mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.

Gambar 2.1 anatomi kulit (Sumber: Fitzpatrick’s; 44)

Page 3: Morbus Hansen-Referat FITRI

3

2.1.1 EPIDERMIS

Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis

gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-

beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan

epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu.

Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) :1

1. Stratum Korneum. Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.

2. Stratum Lusidum Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak

kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.

3. Stratum Granulosum. Ditandai oleh 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang intinya

ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula

keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans.

4. Stratum Spinosum. Terdapat berkas-berkas filamen yang dinamakan tonofibril,

dianggap faktor-filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan

kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus

mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak

tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi.

Terdapat sel Langerhans.

5. Stratum Basale (Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan

bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis

diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia

dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit.

Page 4: Morbus Hansen-Referat FITRI

4

Gambar 2.2 Epidermis dan lapisan-lapisannya (Sumber: Rooks; 60)

Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin,

pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel

Langerhans).1

2.1.2 DERMIS

Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai “True

Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan

jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm.1

Dermis terdiri dari dua lapisan :

- Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang.

- Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.

Page 5: Morbus Hansen-Referat FITRI

5

Gambar 2.3 Dermis (Sumber: Rook’s; 54)

Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan bertambahnya

usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia

meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan

dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan

kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput. Dermis mempunyai banyak jaringan

pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,

kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat

epidermis di dalam dermis. Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai

nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi. 2

2.1.3 SUBKUTIS

Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak.

Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di

Page 6: Morbus Hansen-Referat FITRI

6

bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi

individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.

Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori,

kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber. 2

2.1.4 VASKULARISASI KULIT

Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak dibagian atas dermis

(pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksus yang didermis

bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang di subkutis dan di pars

retikulare juga mengadakan anastomosis, dibagian ini pembuluh darah berukuran besar.

Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah bening5.

2.2 FISIOLOGI KULIT

1. Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanik,

misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimia misalnya zat-zat kimia terutama yang

bersifat panas, misalnya radiasi, sengatan sinar ultra violet, gangguan infeksi luar terutama

kuman/bakteri maupun jamur5.

Hal diatas dimungkinkan karena adanya bantalan lemak yang berperan sebagai pelindung

terhadap gangguan fisik. Melanosit turut berperan dalam melindungi kulit terhadap pajanan

sinar matahari dengan mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena

sifat stratum korneum yang impermeabel terhadap berbagai zat kimia dan air, disamping itu

terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat-zat kimia dengan kulit. Lapisan

keasaman kulit ini mungkin terbentuk dari hasi ekskresi keringat dan sebum, keasaman kulit

menyebabkan pH kulit berkisar pada pH 5-6,5 sehingga merupakan perlindungan kimiawi

terhadap infeksi bakteri maupun jamur. Proses keratinisasi juga berperanan sebagai sawar

(barrier) mekanis karena sel-sel mati melepaskan diri secara teratur5.

2. Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat tetapi

cairan yang mudah menguap lebih mudah di serap, begitupun yang larut lemak.

Page 7: Morbus Hansen-Referat FITRI

7

Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil

bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya

kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum5.

3. Fungsi eskresi, kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi dan sisa

metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat dan ammonia5.

4. Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.

Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap

dingin diperankan oleh badan Krause yang terletak di dermis. Badan taktil Meissner terletak

di papilla dermis berperan terhadap rabaan. Demikian pula badan Merkel Ranvier yang

terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di

epidermis5.

5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), kulit melakukan peranan ini dengan cara

mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit5.

6. Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak dilapisan basal5.

7. Fungsi keratinisasi, lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama yaitu keratinosit,

sel Langerhans, melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, sel

basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin

keatas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti

menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung terus

menerus seumur hidup5.

8. Fungsi pembentukan vit D, dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan

bantuan sinar matahari.

Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah,

kelenjar keringat dan otot-otot dibawah kulit5.

2.3 MORBUS HANSEN

2.3.1 DEFINISI

Morbus hansen atau yang kita kenal sebagai lepra atau kusta merupakan penyakit infeksi

yang kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang intraselular obligat. Saraf perifer

Page 8: Morbus Hansen-Referat FITRI

8

sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudain dapat

ke organ lain kecuali susunan saraf pusat5.

2.3.2 EPIDEMIOLOGI

Penyebaran kusta dari satu tempat ke tampat lainnya sampai ke seluruh dunia diduga

disebabkan karena perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Distribusi penyakit

ini di tiap-tiap negara maupun dalam satu negara sendiri ternyata berbeda-beda, faktor yang perlu

dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularannya, varian genetik yang

berhubungan dengan kerentanan, imunitas, dan keadaan sosial ekonomi. 5

2.3.3 ETIOLOGI

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A HANSEN

pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm,

tahan asam dan alkohol, gram positif. 4

Bereproduksi maksimal pada suhu 27°C – 30°C, tidak dapat dikultur secara in vitro,

menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin

(kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas,

kaki dan testis) dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah

punggung). 3,4

2.3.4 KLASIFIKASI

Klasifikasi menurut Madrid pada tahun 1953, lepra dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :

- Intermediate (I)

- Tuberkuloid (T)

- Borderline (B)

- Lepromatose (L)

Page 9: Morbus Hansen-Referat FITRI

9

Klasifikasi menurut Ridley-Jopling7:

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai kulit dan saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa

makula atau plakat, batas tegas dan pada bagian tengah di temukan lesi regresi atau

central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan

dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan

saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Adanya

infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda respon imun yang

adekuat terhadap kusta.

2. Tipe Borderline Tuberculoid (BT)

Lesi tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering

disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran

hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya

gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit

biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit

kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi

dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi mengkilap, batas lesi kurang jelas

dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Bisa di dapatkan

lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)

Secara klasik lesi diawali dengan makula yang main lama makin menyebar

keseluruh badan. Dapat di temukan papul dan nodul dengan distribusi yang hampir

simetris. Lesi pada bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir dalam

infiltrat lebih jelas di bandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak

seperti punched out. Kerusakan saraf di tandai dengan hilangnya sensasi,

hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut, dimana ini lebih cepat

muncul di bandingkan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada predileksi.

5. Tipe Lepromatosa (LL)

Page 10: Morbus Hansen-Referat FITRI

10

Pada tipe ini di temukan jumlah lesi lebih banyak, simetris, permukaan halus,

lebih eritem, berkilap, batas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan

anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu,

cuping telinga. Pada bagian badan mengenai bagian badan yang dingin, lengan,

pungung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut

tampak penebalan kulit yag progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi

kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan

keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat di jumpai

pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang lama kelamaan menjadi atrofi testis.

Kerusakan saraf yang luas akan menyebabkan stocking & gloves anaestesia. Bila

penyakit ini progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi

plakat dan nodus.

Klasifikasi WHO (1981) dibagi menjadi:

1. Multibasilar

Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi

Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+

2. Pausibasilar

Yang termasuk pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+

Pada tahun 1987 terjadi perubahan:

1. Pausibasilar: kusta dengan BTA negative pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit

(tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling).

2. Multibasilar: semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi

klinik dengan BTA +.

Page 11: Morbus Hansen-Referat FITRI

11

Tabel 2.1 Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi3

Klasifikasi Zona Spektrum Kusta

Ridley &

Jopling

TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas PB MB

2.3.5 PATOGENESIS

Cara masuk M. leprae ke dalam tubuh belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan

anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat, atau inhalasi

M.leprae. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang.

Patogenesis dan gejala klinik tergambar dari 4 prinsip kerusakan jaringan, diantaranya: 3,4

1. Derajat keaktifan CMI.

Pada tipe LL terjadi kegagalan cell-mediated immunity (CMI) terhadap M.leprae dengan

resultan multiplikasi basilar, penyebaran dan akumulasi antigen di dalam jaringan yang

terinfeksi. Ketidakhadiran dari limfosit yang teraktivasi dan makrofag berarti bahwa kerusakan

saraf terjadi secara perlahan dan gradual. Pada tipe tuberkuloid, CMI terekspresi kuat maka dari

itu terjadi pembatasan infeksi hanya pada satu atau sebagian kecil kulit dan saraf tepi. Infiltrasi

limfosit yang terjadi terus-menerus menyebabkan kerusakan saraf. Antara kedua tipe polar

Page 12: Morbus Hansen-Referat FITRI

12

tersebut terdapat tipe Borderline yang memiliki keseimbangan antara ekspresi CMI dan jumlah

basilar.

2. Luasnya multiplikasi dan penyebaran basil.

Pada kusta tipe LL penyebaran basil secara hematogen terjadi pada bagian tubuh yang

dingin, bagian superfisial seperti mata, mukosa traktus respiratorius bagian atas, testis, otot polos

dan tulang lengan, tungkai dan muka, dan tentunya sistem saraf tepi dan kulit. Pada tipe

tuberkuloid multiplikasi dan penyebaran basil terbatas pada sebagain kecil tempat dan tidak

ditemukan basil.

3. Gambaran kerusakan jaringan dan komplikasi imunologi.

Reaksi lepra. Pasien tipe borderline (Borderline Tuberkuloid; BT, Borderline; BB,

Borderline Lepromatosa; BL) merupakan tipe yang tidak stabil dan memiliki risiko terhadap

peningkatan mediasi imun. Reaksi hipersensitivitas tipe I terjadi sebagai akibat peningkatan

pengenalan antigen M.leprae pada kulit dan sistem saraf. Reaksi hipersensitivitas tipe II, eritema

nodosum leprosum (ENL) biasanya disebabkan oleh deposisi kompleks imun dan terjadi pada

pasien tipe BL dan LL yang memproduksi antibodi dan antigen dalam jumlah besar.

4. Perkembangan kerusakan saraf dan komplikasinya.

Kerusakan saraf terjadi dalam 2 mekanisme, pada lesi kulit dan saraf tepi. Pada lesi kulit,

serabut saraf sensorik dan otonom yang mempersarafi dermis dan struktur subkutan menjadi

rusak , menyebabkan hilangnya sensorik lokal, dan hilangnya kemampuan kulit untuk

menghasilkan keringat. Pada sistem saraf tepi yang terletak superfisial atau di dalam terowongan

fibro-osseus menjadi rentan, pada titik ini sebuah peningkatan diameter serabut saraf akan

menyebabkan tekanan intraneural meningkat, dengan konsekuensi terjadinya kompresi saraf dan

iskemik. Kerusakan sistem saraf tepi menyebabkan timbulnya tanda-tanda karakteristik

hilangnya sensorik dermatomal dan disfungsi otot.

Page 13: Morbus Hansen-Referat FITRI

13

2.3.6 GEJALA KLINIK

Tabel 2.2 Gejala klinik kusta tipe Pausibasiler (PB)5

Sifat Tuberkuloid (TT) Borderline Tuberkuloid (BT)

Indeterminate (I)

Lesi Bentuk Makula saja, dibatasi

infiltrate.Makula dibatasi infiltrate, infiltrate saja.

Hanya macula

Jumlah Satu Beberapa atau satu Satu atau beberapaDistribusi Asimetris Masih asimetris Variasi Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilatBatas Jelas Jelas Dapat jelas atau tidak

jelasAnestesi Jelas Jelas Tak ada sampai tak

jelasBTALesi kulit Hampir selalu negatif Negative atau hanya

1+Biasanya negative

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau negative

Tabel 2.3 Gejala klinik kusta tipe Multibasiler (MB)5

Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL)

Mid Borderline (BB)

Lesi Bentuk Makula, infiltrate

difus,papul, nodusMakula, palakt, papul. Plakat, dome-shaped

(kubah), punched-outJumlah Tidak terhitung,

praktis tidak ada kulit sehat

Sukar dihitung, masih ada kulit sehat

Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada

Distribusi Simetris Hampir simetris AsimetrisPermukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak

berkilatBatas Tidak jelas Agak jelas Agak jelasAnestesi Tidak ada sampai

tidak jelas Tak jelas Lebih jelas

BTALesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyakSekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negative NegativeTes lepromin Negative Negative Biasanya negatif

Page 14: Morbus Hansen-Referat FITRI

14

2.3.7 KECACATAN KUSTA

Kecacatan kusta dibagi dalam cacat primer dan cacat sekunder. Cacat primer terjadi

akibat langsung dari granuloma yang terbentuk terhadap reaksi M.leprae yang merusak dan

mendesak jaringan sekitarnya. Cacat sekunder terjadi akibat adanya deformitaas primer, terutama

kerusakan saraf.

1. Disabilitas okuler: terjadi karena banyak faktor, termasuk diantaranya mata yang

kering, kornea yang tidak sensitif, dan lagoftalmus. Keratitis dan lesi pada bilik mata

depan, (paling sering adalah iritis) dapat berakhir dengan kebutaan.

2. Disabilitas pada tangan dan kaki: kelemahan otot terjadi karena hilangnya persarafan,

merupakan suatu keadaan yang menyebabkan disabilitas. Saat pasien tidak mampu

lagi merasakan sensasi panas dan tajam maka saraf telah cedera. Cedera tersebut

menyebabkan mudah terjadinya infeksi, karena pasien tidak dapat merasakan nyeri,

infeksi mudah menjadi luas, berulang, merupakan sumber dari kerusakan jaringan

yang parah pada kusta. Kontraktur terjadi karena kelemahan otot dan dapat pula

terjadi luka yang menghasilkan deformitas lanjut. Insufisiensi vena dapat

mengakibatkan terjadinya dermatitis stasis. 4

3.

Tabel 2.4 Klasifikasi cacat menurut WHO5

Cacat pada tangan dan kaki

Tingkat 0 :tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat

Tingkat 1 :ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat

Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

Tingkat 0 :tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus)

Tingkat 1 :ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang

Tingkat 2 :ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmus, iritis, kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu

Page 15: Morbus Hansen-Referat FITRI

15

2.3.8 DIAGNOSIS

Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan 2 dari 3 temuan klinis. Terdapat tanda

kardinal diantaranya: 3,4

1. Anestesi dari lesi kulit, atau dalam distribusi saraf perifer, atau pada permukaan

dorsal tangan dan kaki,

2. Penebalan saraf, terutama tempat predileksi,

3. Ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada jaringan.

Pemeriksaan klinis:5

a) Pemeriksaan kulit:

- inspeksi: dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan, apakah

terdapat kelainan kulit berupa nodus, infiltrat, jaringan parut, ulcus terutama pada

tangan dan kaki

- palpasi: pemeriksaan rasa raba pd kelainan kulit berupa: anestesi,

suhu/temperatur, nyeri/sakit

b) Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya:

Dilakukan palpasi untuk memeriksa kelainan saraf apakah ada penebalan atau nyeri

tekan. Saat memeriksa nyeri tekan, harus diperhatikan raut wajah pasien apakah ia kesakitan atau

tidak, bukan di tanyakan.

Saraf-saraf yang dikenai:5

- N. Auricularis magnus

- N. Facialis

- N. Trigeminus

- N. Radialis

- N. Ulnaris

- N. Medianus

Page 16: Morbus Hansen-Referat FITRI

16

- N. Peroneus communis

- N. Tibialis posterior

Untuk test fungsi saraf, selain dilakukan test untuk rasa raba, rasa nyeri, rasa suhu seperti

yang diatas tadi dgn menggunakan kapas, jarum dan tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

c) Pemeriksaan Bakteriologis

Tujuannya adalah:

1. Membantu menegakan diagnosis penyakit kusta

2. Menentukan klasifikasi tipe kusta

3. Membantu menilai hasil pengobatan

Pewarnaan yang dipakai:

1. Ziehl Nielsen

2. Modifikasi Ziehl Nielsen

Bentuk-bentuk kuman kusta dilihat di bawah mikroskop:

1. Bentuk utuh/solid

- Dinding sel tidak putus

- Zat warna secara merata

- Panjang kuman 4x lebarnya

2. Bentuk pecah-pecah/fragmented

- Dinding sel terputus sebagian atau seluruhnya

- Zat warna tidak merata

3. Bentuk granular/granulated

- Menyerupai titik-titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok

4. Bentuk Globus

- Beberapa bentuk utuh atau Fragmented atau granulated mengadakan ikatan atau

kelompok-kelompok:

Page 17: Morbus Hansen-Referat FITRI

17

kelompok kecil 40-60 BTA

kelompok besar 200-300 BTA

5. Bentuk Clumps

- Beberapa bentuk granular membentuk pulau-pulau tersendiri (lebih dari 500

BTA).

INDEKS BAKTERI (IB)

Merupakan pengukuran semi kwantitatif kepadatan BTA di dalam sediaan hapus

gunanya:4,5

1. Membantu menentukan tipe Lepra

2. Menilai hasil pengobatan

Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY,mulai dari nol sampai dengan

positif enam.

1+ = 1-10 BTA/ 100 LP

2+ = 1-10 BTA/ 10 LP

3+ = 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

4+ = 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+ = 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

6+ = > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

INDEKS MORFOLOGI (IM)

Merupakan presentase basil lepra bentuk utuh (solid) terhadap seluruh BTA

IM = jumla h BTA yangutuh

jumlah seluru h BTAx100 %

Page 18: Morbus Hansen-Referat FITRI

18

Tujuannya adalah:4,5

1. Mengetahui daya penularan kuman

2. Menilai hasil pengobatan

3. Menentukan resistensi terhadap obat

Tes Lepromin

Tes lepromin merupakan tes non-spesifik untuk membantu diagnosis dan

mengklasifikasikan kasus kusta. Tes lepromin positif kuat pada TT, positif lemah pada tipe BT,

negatif pada tipe BB, BL, dan LL. Lepromin 0,1 ml disuntikkan intradermal, dan reaksi dibaca

pada 48 jam (reaksi Fernandez) atau 3-4 minggu (reaksi Mitsuda). Respon Fernandez

menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap komponen larut lepromin. Respon

Mitsuda merupakan respon granulomatosa.4

2.3.9 DIAGNOSIS BANDING

1. Lesi makular: dapat didiagnosis banding dengan vitiligo, namun pada vitiligo terjadi

depigmentasi, sedangkan pada kusta makula hipopigmentasi, dapat juga di diagnosis

banding dengan pitiriasis versikolor, meski terdapat makula hipopigmentasi dan tidak

selalu bersisik tetapi distribusi nya sentral pada batang tubuh. Pada tinea korporis

pasien merasa gatal.4

2. Plak dan lesi anular: granuloma multiforme, sarkoidosis, tuberkulosis kutis memiliki

gejala yang sama, namun yang membedakan tidak terdapat anestesi. Dapat pula

terjadi pembesaran saraf tepi pada sarkoidosis.4

3. Saraf: penebalan saraf tepi sangat jarang terdapat selain pada kusta.4

Page 19: Morbus Hansen-Referat FITRI

19

2.3.10 PENATALAKSANAAN

Terdapat lima prinsip utama dalam perawatan, diantaranya: 5

1. menghentikan infeksi dengan kemoterapi

2. mengobati reaksi dan mengurangi resiko kerusakan saraf lebih lanjut

3. mendidik pasien untuk mengatasi kerusakan saraf yang terjadi

4. mencegah komplikasi kerusakan saraf

5. rehabilitasi pasien secara sosial dan psikologis

Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan kerjasama pasien dengan tenaga medis. Sedapat

mungkin hal ini harus dilakukan melalui klinik rawat jalan. Pasien akan sering membutuhkan

beberapa konsultasi segera setelah diagnosis untuk mengatasi ketakutan mereka dan membangun

kepercayaan mereka.5

Tabel 2.5 PB (lesi dengan BTA-) dengan lesi tunggal diberikan Rifampisin, Ofloksasin,

Minosiklin. 5

Rifampisin Ofloksasin Minosiklin

Dewasa600 mg 400 mg 100 mg

(50-70 kg)

Anak 300 mg 200 mg 50 mg

a) Pemberian obat sekali saja (Release From Treatment)

b) Obat diminum didepan petugas

c) Anak-anak < 5 tahun dan Ibu hamil tidak di berikan

d) Bila obat belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5)

e) Bila lesi tunggal dengan pembesaran saraf diberikan regimen pengobatan PB lesi (2-5)

Page 20: Morbus Hansen-Referat FITRI

20

Tabel 2.6 Tipe PB dengan lesi 2 sampai 5 5

Rifampisin Dapson

Dewasa

600 mg/bulan100 mg/hr diminum

di

Diminum di depan petugas kesehatan

Rumah

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari

(10-14th)Diminum di depan petugas kesehatan

Diminum di rumah

Lama pengobatan 6 dosis ini diselesaikan selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini

dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.5

Tabel 2.7 Tipe MB (lesi dengan BTA+ ditemukan satu atau lebih pada sediaan apus ataupun

bipsi) dengan lesi kulit > 5 5

  Rifampisin Dapson Lamprene

Dewasa 600mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan

100mg/hari diminum di rumah

300mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan dengan 50mg/hari diminum di rumah

Anak-anak (10-14tahun)

450mg/bulan diminum di depan petugas

50mg/hari diminum di rumah

150mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari diminum di rumah

Lama pengobatan 12 dosis ini dapat diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah RFT

dilakukan tindak lanjut berupa follow up secara klinis dan bakterioskopis setiap tahun selama

Page 21: Morbus Hansen-Referat FITRI

21

lima tahun . Kalau bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ditemukan lesi baru, maka

dinyatakan bebas dari pengamatan Release From Control (RFC). 5

2.3.11 PENCEGAHAN

Dermatologis sekarang memainkan peranan kunci dalam mendiagnosis dan mengobati

penderita kusta. Strategi WHO saat ini menekankan pentingnya kualitas pelayanan yang dapat di

akses, terpusat, memberikan pengobatan gratis dengan MDT, melakukan pencegahan kecacatan

sesuai prosedur, dan merujuk pasien untuk mengelola komplikasi. Pentingnya melatih tenaga

ahli untuk mengenali kusta. 4

Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang

sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiloginya belum jelas betul. Reaksi imun dapat

menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi

kusta ini tergolong didalamnya.5 Diantaranya:

- Reaksi tipe 1 terjadi pada kusta tipe borderline dengan karakteristik neuritis akut

dan/atau lesi inflamasi kulit akut. Lesi kulit menjadi eritem atau edematous dapat pula terjadi

deskuamasi atau ulkus namun jarang (Gambar 2.4).4

Page 22: Morbus Hansen-Referat FITRI

22

Gambar 2.4 Reaksi tipe 1 (Sumber: Rooks’s; 1480)

Kadang-kadang dapat terjadi edema wajah, tangan, atau kaki dapat terjadi, namun tidak

lazim.

- Reaksi tipe 2 (ENL) reaksi ini terjadi pada pasien dengan kusta tipe multibasiler (LL

dan BL). Terjadi spontan (lepra roseolar) atau terjadi sementara saat pengobatan. 50% dari tipe

LL, dan 15% dari tipe BL pasien mungkin saja mengalami reaksi ENL. Serangan dapat akut

pada awalnya, namun dapat berkepanjangan atau berulang selama beberapa tahun dan akhirnya

tenang namun berbahaya, terutama menyerang mata. ENL bermanifestasi sebagai nodul merah,

nyeri, pada wajah dan permukaan ekstensor tungkai. Lesi mungkin terletak superficial, atau

dalam, bernanah (Gambar 2.21), ulkus (Gambar 2.22). Lesi akut dan deskuamasi akan memudar

dalam beberapa hari (Gambar 2.22). ENL adalah gangguan sistemik yang mengakibatkan febris,

malese, dan dapat pula disertai uveitis, daktilitis, arthritis, neuritis, limfadenitis, miositis, dan

orkhitis. Komplikasi ENL yang paling serius adalah neuritis saraf perifer, dan uveitis akibat

komplikasi sinekia, katarak, dan glaukoma.4

Page 23: Morbus Hansen-Referat FITRI

23

Gambar 2.5 Nodul merah pada ENL (Sumber: Rooks’s; 1481)

Page 24: Morbus Hansen-Referat FITRI

24

Gambar 2.6 Ulkus pada ENL (Sumber: Rooks’s; 1481)

Fenomena Lusio

Fenomena lusio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe

lepromatosa non-nodular difus.4

Fenomena ini hanya terjadi pada pasien dengan kusta Lusio. Hal ini terjadi karena infark

pada vaskulitis, dan menyebabkan munculnya patch eritematosa dengan bentuk tidak teratur

yang lama kelamaan menjadi gelap dan menyembuh, atau dapat juga berbentuk bula yang

berubah jadi ulkus dalam yang nyeri dan penyembuhannya lambat (Gambar 2.23).4

Page 25: Morbus Hansen-Referat FITRI

25

Gambar 2.7 Fenomena Lusio (Sumber: Rooks’s; 1481)

Penatalaksanaan

1. Pengobatan reaksi tipe 2 (ENL)

Obat yang paling sering dipakai adalah kortikosteroid, yaitu prednison dengan dosis

15 – 30 mg perhari. Makin berat reaksi makin tinggi dosisnya, bila reaksi terlalu

ringan tidak perlu diberikan. Jika terjadi perbaikan reaksi dosis diturunkan secara

bertahap. Terdapat kemungkinan timbulnya ketergantungan terhadap kortikosteroid,

sehingga ENL timbul jika obat dihentikan dan penderita harus mendapatkan

kortikosteroid terus menerus. Obat yang dianggap sebagai pilihan pertama adalah

talidomid tapi harus berhati-hati karena teratogenik tidak boleh diberikan kepada

orang hamil dan masa subur. Klofazimin dapat diberikan sebagai anti reaksi ENL

dengan dosis yang lebih tinggi biasanya 200-300 mg perhari. Selama penaggulangan

ENL obat anti kusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa pengurangan dosis.5

Page 26: Morbus Hansen-Referat FITRI

26

2. Pengobatan reaksi tipe 1 (reversal)

Perhatikan disertai dengan neuritis atau tidak, jika tanpa neuritis akut tidak perlu

diberi pengobatan tambahan. Jika ada neuritis akut dapat diberikan prednison 40mg

sehari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan dilakukan secepat-cepatnya dengan

dosis adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak.

Analgetik dan sedativa diberikan jika diperlukan.klofazimin untuk reaksi reversal

kurang efektif.5

Tabel 2.8 Penatalaksanaan reaksi kusta 3

2.3.12 PROGNOSIS

Pengobatan dengan antibiotik saat ini sangat efektif, namun harus di lakukan secara rutin

selama berbulan-bulan. Jika pasien tidak patuh, pasien akan jatuh pada keadaan “downgrade”.

Pada pasien dengan tipe borderline dapat terjadi reaksi kusta tipe I yang dapat menyebabkan

kerusakan saraf, prognosis menjadi buruk jika terjadi kerusakan saraf yang mengenai ekstremitas

terutama jika sudah mengenai ke empat anggota gerak.4

Page 27: Morbus Hansen-Referat FITRI

27

BAB III

KESIMPULAN

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae

yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, disusul kulit, mukosa

traktus respiratorius, lalu ke organ lain (kecuali susunan saraf pusat).

Distribusi penyakit ini di tiap-tiap negara maupun dalam satu negara sendiri ternyata berbeda-beda, faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularannya, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, imunitas, dan keadaan sosial ekonomi.

Diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan

bakteriologis dan histopatologis. Prognosis di tentukan oleh derajat penyakit, luas lesi dan

kepatuhan pasien terhadap pengobatan

Strategi WHO saat ini menekankan pentingnya kualitas pelayanan yang dapat di akses,

terpusat, memberikan pengobatan gratis dengan MDT, melakukan pencegahan kecacatan sesuai

prosedur, dan merujuk pasien untuk mengelola komplikasi. Pentingnya melatih tenaga ahli untuk

mengenali kusta

Pengobatan dengan antibiotik saat ini sangat efektif, namun harus di lakukan secara rutin

selama berbulan-bulan. Jika pasien tidak patuh, pasien akan jatuh pada keadaan “downgrade”

Page 28: Morbus Hansen-Referat FITRI

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Junqueira LC. Histology dasar. Ed 10. Jakarta : EGC ; 2007.

2. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:

EGC.

3. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick  . Fitzpatrick's Color

Atlasand Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed . USA: McGraw-Hill. 2007. P 665-671

4. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffits C. Rook’s Textbook of Dermatology 8 th ed. USA:

McGraw-Hill. 2010. P1469-1487.

5 Adhi D., Mochtar H., Siti A. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta :

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

6 Gerard J. Tortora, Bryan H. Derrickson. 2011. Principles of anatomy and physiology. 13 th ed. Asia: John Wiley and Sons.

7 Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to immunity: a five group

system. Int J Lep 1996; 34: 255-77.