23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra) Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki. B. Epidemiologi Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Penyakit kusta

morbus hunsen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

morbus hunsen

Citation preview

Page 1: morbus hunsen

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra)

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi,

selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas,

sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf

pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun

sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk

menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.

B. Epidemiologi

Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui

secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah

tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada

kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki

daripada wanita dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati

urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.

Page 2: morbus hunsen

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan

pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000

Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun

tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta

baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak

17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah

Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih

besar dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus

baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk

sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia

dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.

C. Etiologi

Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH

Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini

bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar

0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,

hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat

dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi

sistemik pada binatang armadilo.

Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :

A. Kapsul

Page 3: morbus hunsen

Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan

berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk

M.leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua lipid,

phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan protektif

pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula

hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol pada lemak

(phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan sifat

antigenik yang spesifik terhadap M. leprae

B. Dinding sel

Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:

a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung

lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang

diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip dengan yang

ditemukan pada Mycobacteria lainnya.

b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang

dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-

amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini

terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen diagnostik.

C. Membran

Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran

yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar

organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar

berupa enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk

kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk ‘antigen protein

Page 4: morbus hunsen

permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang sudah

terganggu dan dianalisa secara luas.

D. Sitoplasma

Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material

genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan

protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA

berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari

mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa

M. leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan M.

tuberculosis dan M. scrofulaceum.

D. Diagnosis

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama

atau tanda kardinal, yaitu:

A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.

Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan

(hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa

(anaesthesia).

B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis

pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf

tepi berupa:

a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.

Page 5: morbus hunsen

b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan

(paralise).

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.

C. Membran

Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran

yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar

organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar

berupa enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk

kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk ‘antigen protein

permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang sudah

terganggu dan dianalisa secara luas.

C. Sitoplasma

Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material

genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan

protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA

berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari

mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa

M. leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan M.

tuberculosis dan M. scrofulaceum.

E. Klasifikasi

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap

selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat

Page 6: morbus hunsen

diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf

yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan

histopatologi dan pemeriksaan imunologi.

Klasifikasi bertujuan untuk:

A. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.

B. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang

menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai

target utama pengobatan.

C. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.

Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe

Tuberculoid (T).

Klasfikasi menurut WHO

Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan

pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya

dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB).

Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut

WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini

berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.

Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta

menurut WHO (1982)

Page 7: morbus hunsen

Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

Bercak kusta. Jumlah 1 sampai dengan

5

Jumlah lebih dari 5

Penebalan saraf tepi

yang disertai dengan

gangguan fungsi

(gangguan fungsi bisa

berupa kurang/mati rasa

atau kelemahan otot

yang dipersarafi oleh

saraf yang

bersangkutan.

Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf

Pemeriksaan

bakteriologi.

Tidak dijumpai basil

tahan asam (BTA

negatif)

Tidak dijumpai basil

tahan asam (BTA

negatif)

Dijumpai basil tahan

asam (BTA positif)

*dikutip dari kepustakaan no.2 sesuai aslinya

Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi

menurut WHO (1982) pada penderita kusta*

Kelainan kulit dan

hasil pemeriksaan

Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

Page 8: morbus hunsen

1. Bercak (makula) mati rasa

a. Ukuran

Kecil dan besar Kecil-kecil

b. Distribusi

Unilateral atau

bilateral asimetris

Bilateral simetris

c. Konsistensi

Kering dan kasar Halus, berkilat

d. Batas

Kecil dan besar

e. Kehilangan rasa pada

bercak

Unilateral atau

bilateral asimetris

Kurang tegas

f. Kehilangan

kemampuan

berkeringat, rambut

rontok pada bercak

Kering dan kasar Biasanya tidak jelas, jika

ada, terjadi pada yang

sudah lanjut

Page 9: morbus hunsen

2. Infiltrat

a. Kulit

Tidak ada Ada, kadang-kadang

tidak ada

b. Membran mukosa

Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang

tidak ada

d. Nodulus

Central healing

- Punched out lession

- Madarosis

- Ginekomasti

- Hidung pelana

- Suara sengau

e. Deformitas

Tidak ada Kadang-kadang ada

Terjadi dini Biasanya asimetris

*dikutip dari kepustakaan no.2 sesuai aslinya

F. Antigen M. leprae

Unsur kimia utama dari M. leprae bersifat antigenik, tetapi M. leprae

mengandung antigen yang relatif sedikit (sekitar 20) yang dikenali

antibodi di dalam serum pasien penderita lepra dibandingkan dengan BCG

Page 10: morbus hunsen

(sekitar 100), dan banyak diantaranya yang bersifat antigenik lemah.

Hingga tahun 1981, saat Brennan melaporkan phenolic glikolipid dan

menunjukkan bahwa phenolic glikolipid bersifat spesifik pada M. leprae,

semua antigen yang diidentifikasi sampai sejauh ini umumnya bereaksi-

silang dengan Mycobacteria lainnya, walaupun ada sebagian kecil

molekul, suatu epitope, yang spesifik pada M. leprae. Spesifisitas epitope

memungkinkan tes antibodi spesifik bisa ditetapkan dengan menggunakan

serum yang telah diabsorbsi dengan spesies Mycobacteria lainnya.

Antigenisitas dari M. leprae didominasi oleh antigen yang mengandung

karbohidrat, yang stabil secara fisik-kimia.

A. Phenolic Glicolipid (PGL)

Terdapat varian-varian kecil pada struktur ditandai dengan I, II dan III.

PGL-1 mengandung suatu kelompok glikosilasi fenol dengan

karakteristik trisakarida yang hanya dijumpai pada M.leprae. PGL-1

berbeda dengan PGL-2 dan PGL-3 dalam pola residu gula. Trisakarida

terminal pada PGL-1 memberikan spesifisitas antigenik pada M.leprae.

Trisakarida ini telah berhasil disintesis dan dapat berikatan dengan

sample carrier protein yang digunakan pada seroepidemiologik pada

beberapa penelitian.

Antigen PGL-1 dapat menstimulasi produksi antibodi IgM. Antigen ini

ditemukan pada semua jaringan yang terinfeksi dengan M. leprae dan

tetap bertahan dalam waktu yang lama bahkan setelah organisme mati.

Page 11: morbus hunsen

Individu dengan indeks bakteri yang tinggi umumnya menunjukkan

titer antibodi IgM anti PGL-1 yang tinggi.

Kecenderungan kadar antibodi IgM anti PGL-1 yang rendah untuk

tetap positif mungkin berhubungan dengan persistensi basiler. Antigen

PGL-1 itu sendiri tidak larut dalam air dan dapat menetap di jaringan

dalam jangka waktu yang lama, menstimulasi respon antibodi yang

rendah tanpa adanya basil yang hidup. Respon antibodi anti PGL-1

terutama pada kelas IgM mengindikasikan bahwa sifat IgM tidak

tergantung oleh respon sel T terhadap antigen glikolipid ini, berbeda

dengan respon IgG yang predominan terhadap antigen karbohidrat

utama lipoarabinomannan (LAM).

B. Lipoarabinomannan (LAM)

Ini merupakan komponen utama dari dinding sel M. leprae; komponen

ini stabil dan tidak bisa dicerna. Komponen ini bereaksi-silang dengan

Mycobacteria lainnya, tetapi mengandung epitope spesifik yang

dikenali oleh serum yang terabsorbsi, dan memicu antibodi IgG.

C. Antigen protein

Ada banyak antigen protein pada M. leprae, di mana lima di antaranya

sangat menarik perhatian karena antibodi monoklonal tikus

menunjukkan bahwa antigen protein ini mengandung epitope spesifik

M. leprae. Protein yang bisa larut yang diekstraksi dari M. leprae

terbukti berguna meskipun bukan merupakan antigen yang sangat

spesifik untuk uji kulit. Beberapa antigen protein berhasil diperbanyak

Page 12: morbus hunsen

G. Pemeriksaan Serologi

Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak

dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit

kusta, tes serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae

sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk

menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah.

Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul

manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit

sedini mungkin.

Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak

manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah

endemik. Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada

keadaan yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak

jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta

maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada

seseorang maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh

M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya

penyakit kusta namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik

terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi.

H. Pemeriksaan Serologi

Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak

dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit

Page 13: morbus hunsen

kusta, tes serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae

sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk

menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah.

Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul

manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit

sedini mungkin.

Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak

manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah

endemik. Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada

keadaan yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak

jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta

maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada

seseorang maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh

M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya

penyakit kusta namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik

terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi.

Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara

lain:

A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)

Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah

dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas

yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi

silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.

Page 14: morbus hunsen

B. Radio Immunoassay (RIA)

Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam

tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif. 34

C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)

Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1

dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis

untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus

seropositif.

D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa

M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan

sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah

suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler terhadap

M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma

pada pasien kusta dan kontak.

E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)

Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk

menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu

sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu

enzim yang berfungsi sebagai penanda.

Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji

kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen

dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga

dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar

Page 15: morbus hunsen

antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa

spektrofotometer.

Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi

yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan

tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan

spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini

umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi.

Terdapat tiga metode ELISA, antara lain:

A. Direct ELISA

Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi

dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian

ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat

diukur dengan spektrofotometer.

Pada penelitian ini akan menggunakan metode indirect ELISA

untuk mengukur kadar antibodi IgM anti PGL-1 pada penderita

kusta. Salah satu keuntungan dari uji ELISA adalah sensitif karena

dapat mendeteksi dari level 0,01 μg/ml.