Upload
wirda-elya-sari
View
12
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
morbus hunsen
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra)
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas,
sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf
pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun
sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk
menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.
B. Epidemiologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui
secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah
tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada
kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki
daripada wanita dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati
urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan
pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000
Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta
baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak
17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah
Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih
besar dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus
baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk
sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia
dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.
C. Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH
Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini
bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar
0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat
dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi
sistemik pada binatang armadilo.
Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :
A. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan
berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk
M.leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua lipid,
phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan protektif
pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula
hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol pada lemak
(phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan sifat
antigenik yang spesifik terhadap M. leprae
B. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung
lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang
diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip dengan yang
ditemukan pada Mycobacteria lainnya.
b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang
dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-
amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini
terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen diagnostik.
C. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran
yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar
organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar
berupa enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk
kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk ‘antigen protein
permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang sudah
terganggu dan dianalisa secara luas.
D. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material
genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan
protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA
berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari
mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa
M. leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan M.
tuberculosis dan M. scrofulaceum.
D. Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama
atau tanda kardinal, yaitu:
A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan
(hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesia).
B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis
pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf
tepi berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
(paralise).
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.
C. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran
yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar
organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar
berupa enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk
kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk ‘antigen protein
permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang sudah
terganggu dan dianalisa secara luas.
C. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material
genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan
protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA
berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari
mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa
M. leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan M.
tuberculosis dan M. scrofulaceum.
E. Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap
selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat
diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf
yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan
histopatologi dan pemeriksaan imunologi.
Klasifikasi bertujuan untuk:
A. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.
B. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang
menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai
target utama pengobatan.
C. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe
Tuberculoid (T).
Klasfikasi menurut WHO
Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan
pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya
dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB).
Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut
WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini
berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.
Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta
menurut WHO (1982)
Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Bercak kusta. Jumlah 1 sampai dengan
5
Jumlah lebih dari 5
Penebalan saraf tepi
yang disertai dengan
gangguan fungsi
(gangguan fungsi bisa
berupa kurang/mati rasa
atau kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang
bersangkutan.
Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
Pemeriksaan
bakteriologi.
Tidak dijumpai basil
tahan asam (BTA
negatif)
Tidak dijumpai basil
tahan asam (BTA
negatif)
Dijumpai basil tahan
asam (BTA positif)
*dikutip dari kepustakaan no.2 sesuai aslinya
Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi
menurut WHO (1982) pada penderita kusta*
Kelainan kulit dan
hasil pemeriksaan
Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
1. Bercak (makula) mati rasa
a. Ukuran
Kecil dan besar Kecil-kecil
b. Distribusi
Unilateral atau
bilateral asimetris
Bilateral simetris
c. Konsistensi
Kering dan kasar Halus, berkilat
d. Batas
Kecil dan besar
e. Kehilangan rasa pada
bercak
Unilateral atau
bilateral asimetris
Kurang tegas
f. Kehilangan
kemampuan
berkeringat, rambut
rontok pada bercak
Kering dan kasar Biasanya tidak jelas, jika
ada, terjadi pada yang
sudah lanjut
2. Infiltrat
a. Kulit
Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
b. Membran mukosa
Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
d. Nodulus
Central healing
- Punched out lession
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau
e. Deformitas
Tidak ada Kadang-kadang ada
Terjadi dini Biasanya asimetris
*dikutip dari kepustakaan no.2 sesuai aslinya
F. Antigen M. leprae
Unsur kimia utama dari M. leprae bersifat antigenik, tetapi M. leprae
mengandung antigen yang relatif sedikit (sekitar 20) yang dikenali
antibodi di dalam serum pasien penderita lepra dibandingkan dengan BCG
(sekitar 100), dan banyak diantaranya yang bersifat antigenik lemah.
Hingga tahun 1981, saat Brennan melaporkan phenolic glikolipid dan
menunjukkan bahwa phenolic glikolipid bersifat spesifik pada M. leprae,
semua antigen yang diidentifikasi sampai sejauh ini umumnya bereaksi-
silang dengan Mycobacteria lainnya, walaupun ada sebagian kecil
molekul, suatu epitope, yang spesifik pada M. leprae. Spesifisitas epitope
memungkinkan tes antibodi spesifik bisa ditetapkan dengan menggunakan
serum yang telah diabsorbsi dengan spesies Mycobacteria lainnya.
Antigenisitas dari M. leprae didominasi oleh antigen yang mengandung
karbohidrat, yang stabil secara fisik-kimia.
A. Phenolic Glicolipid (PGL)
Terdapat varian-varian kecil pada struktur ditandai dengan I, II dan III.
PGL-1 mengandung suatu kelompok glikosilasi fenol dengan
karakteristik trisakarida yang hanya dijumpai pada M.leprae. PGL-1
berbeda dengan PGL-2 dan PGL-3 dalam pola residu gula. Trisakarida
terminal pada PGL-1 memberikan spesifisitas antigenik pada M.leprae.
Trisakarida ini telah berhasil disintesis dan dapat berikatan dengan
sample carrier protein yang digunakan pada seroepidemiologik pada
beberapa penelitian.
Antigen PGL-1 dapat menstimulasi produksi antibodi IgM. Antigen ini
ditemukan pada semua jaringan yang terinfeksi dengan M. leprae dan
tetap bertahan dalam waktu yang lama bahkan setelah organisme mati.
Individu dengan indeks bakteri yang tinggi umumnya menunjukkan
titer antibodi IgM anti PGL-1 yang tinggi.
Kecenderungan kadar antibodi IgM anti PGL-1 yang rendah untuk
tetap positif mungkin berhubungan dengan persistensi basiler. Antigen
PGL-1 itu sendiri tidak larut dalam air dan dapat menetap di jaringan
dalam jangka waktu yang lama, menstimulasi respon antibodi yang
rendah tanpa adanya basil yang hidup. Respon antibodi anti PGL-1
terutama pada kelas IgM mengindikasikan bahwa sifat IgM tidak
tergantung oleh respon sel T terhadap antigen glikolipid ini, berbeda
dengan respon IgG yang predominan terhadap antigen karbohidrat
utama lipoarabinomannan (LAM).
B. Lipoarabinomannan (LAM)
Ini merupakan komponen utama dari dinding sel M. leprae; komponen
ini stabil dan tidak bisa dicerna. Komponen ini bereaksi-silang dengan
Mycobacteria lainnya, tetapi mengandung epitope spesifik yang
dikenali oleh serum yang terabsorbsi, dan memicu antibodi IgG.
C. Antigen protein
Ada banyak antigen protein pada M. leprae, di mana lima di antaranya
sangat menarik perhatian karena antibodi monoklonal tikus
menunjukkan bahwa antigen protein ini mengandung epitope spesifik
M. leprae. Protein yang bisa larut yang diekstraksi dari M. leprae
terbukti berguna meskipun bukan merupakan antigen yang sangat
spesifik untuk uji kulit. Beberapa antigen protein berhasil diperbanyak
G. Pemeriksaan Serologi
Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak
dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit
kusta, tes serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae
sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk
menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah.
Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul
manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit
sedini mungkin.
Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak
manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah
endemik. Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada
keadaan yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak
jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta
maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada
seseorang maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh
M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya
penyakit kusta namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik
terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi.
H. Pemeriksaan Serologi
Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak
dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit
kusta, tes serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae
sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk
menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah.
Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul
manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit
sedini mungkin.
Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak
manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah
endemik. Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada
keadaan yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak
jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta
maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada
seseorang maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh
M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya
penyakit kusta namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik
terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi.
Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara
lain:
A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah
dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas
yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi
silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.
B. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam
tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif. 34
C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1
dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis
untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus
seropositif.
D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa
M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan
sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah
suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler terhadap
M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma
pada pasien kusta dan kontak.
E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk
menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu
sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu
enzim yang berfungsi sebagai penanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji
kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen
dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga
dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar
antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa
spektrofotometer.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi
yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan
tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan
spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini
umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi.
Terdapat tiga metode ELISA, antara lain:
A. Direct ELISA
Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi
dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian
ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat
diukur dengan spektrofotometer.
Pada penelitian ini akan menggunakan metode indirect ELISA
untuk mengukur kadar antibodi IgM anti PGL-1 pada penderita
kusta. Salah satu keuntungan dari uji ELISA adalah sensitif karena
dapat mendeteksi dari level 0,01 μg/ml.