Museum Benteng Vredeburg

Embed Size (px)

Citation preview

Museum Benteng Vredeburg adalah sebuah benteng yang dibangun tahun 1765 oleh VOC di Yogyakarta selama masa kolonial VOC. Gedung bersejarah ini terletak di depan Gedung Agung (satu dari tujuh istana kepresidenan di Indonesia) dan Istana Sultan YogyakartaHadiningrat yang dinamakan Kraton. Benteng ini dibangun oleh VOC sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan gubernur Belanda kala itu. Benteng ini dikelilingi oleh sebuah parit yang masih bisa terlihat sampai sekarang. Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau di keempat sudutnya. Di masa lalu, tentara VOC dan juga Belanda sering berpatroli mengelilingi dindingnya. Sekarang, benteng ini menjadi sebuah museum. Di sejumlah bangunan di dalam benteng ini terdapat diorama mengenai sejarah Indonesia.

SejarahBenteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berrhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu. Nama Perjanjian Giyanti, karena traktat tersebut disepakati di Desa Giyanti, suatu desa yang terletak di dekat Surakarta. Perjanjian yang berhasil dikeluarkan karena campur tangan VOC selalu mempunyai tujuan akhir memecah belah dan mengadu domba pihak-pihak yang bersangkutan. Demikian pula dengan perjanjian Giyanti. Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti tersebut adalah Nicolaas Harting, yang menjabat Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouverneur en Directeur van Javas noordkust) sejak bulan Maret 1754. Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I. Sedang Kasunanan Surakarta diperintah oleh Paku Buwono III. Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titahnya Sultan segera memerintahkan membuka hutan Beringan yang terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengumumkan bahwa wilyah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan ibukota Ngayogyakarta. Pemilihan nama ini dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan yang pada j=zaman almarhum Sri Susuhunan Amangkurat

Jawi (Amangkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. Di dalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan Garjitowati. Kemudian pada zaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri. Hutan kecil ini mula-mula adalah tempat peristirahatan Sunan Pakubuwono II dengan nama Pesanggrahan Garjitowati. Untuk selanjutnya beliau menggantinya dengan nama Ayogya (atau Ngayogya). Nama Ngayogyakarta ditafsirkan dari kata Ayuda dan kata Karta. Kata a berarti tidak dan yuda berarti perang. Jadi Ayuda mengandung pengertian tidak ada perang atau damai. Sedangkan Karta berarti aman dan tentram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai Kota yang aman dan tenteram. Disamping sebagai seorang panglima perang yang tangguh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah pula seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang Gamping, kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 meski belum selesai dengan sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di saat raja dan keluarganya menempati kraton ditandai dengan candra sangkala Dwi Naga Rasa Tunggal. Dalam tahun jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756. Setelah kraton mulai ditempati kemudian segera disusul berdiri pula bangunan-bangunan pendukung lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Di dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1756. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1761 dan 1762. Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikianlah kraton Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu. Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Sehingga pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng stragi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda untuk membangun benteng, dikabulkan. Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).

Menurut penuturan Nicolas Harting seorang Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa di Semarang, bahwa benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap ilalang.Dalam perkembangan selanjutnya sewaktu W.H. Ossenberch menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, tahun 1765 mengusulkan kepada Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Menurut rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang bersedia mengadakan han dan tenaga dalam pembangunan benteng, sedang disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta, sehingga bahan dan tenaga yang dijanjikan lebih banyak teralokasi dalam pembangun kraton. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Rustenburg yang berarti Benteng Peristirahatan. Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti Benteng Perdamaian. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu. Bentuk benteng tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan para medis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.Sejalan dengan perkembangan politik yang berjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg. Secara kronologis perkembangan status tanah dan bangunan Benteng Vredeburg sejak awal dibangunnya (1760) sampai dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda (1942) adalah sebagai berikut : [sunting]Tahun

1760 1765

Pada awal pembangunannya tahun 1760 status tanah merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC) dibawah pengawasan Nicolaas Harting, Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa. [sunting]Tahun

1765 1788

Secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan tetapi secara de facto penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda. Usul Gubernur W.H. Van Ossenberg (pengganti Nicolaas Hartingh) agar bangunan benteng lebih disempurnakan, dilaksanakan tahun 1767. Periode ini merupakan periode penyempurnaan Benteng yang lebih terarah pada satu bentuk benteng pertahanan. [sunting]Tahun

1788 1799

Pada periode ini status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, secara de facto dikuasai Belanda. Periode ini merupakan saat digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda

(VOC). Bangkrutnya VOC tahun 1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga secara de facto menjadi milik pemerintah kerajaan Belanda. [sunting]Tahun

1799 1807

Status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataafsche Republik (Pemerintah Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg. Benteng tetap difungsikan sebagai markas pertahanan. [sunting]Tahun

1807 1811

Pada periode ini benteng diambil alih pengelolaannya oleh Koninklijk Holland. Maka secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah Gubernur Daendels. [sunting]Tahun

1811 1816

Ketika Inggris berkuasa di Indonesia 1811 1816, untuk sementara benteng dikuasai Inggris dibawah Gubernur Jenderal Rafles. Namun dalam waktu singkat Belanda dapat mengambil alih. Secara yuridis formal benteng tetap milik kasultanan. [sunting]Tahun

1816 1942

Status tanah benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda maka pihak kasultanan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi masalah penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang dengan ditandai dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat. [sunting]Masa

Jepang

Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang, membuat kedudukan pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai daerahdaerah penghasil minyak bumi di Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau Bunyu dan Balikpapan. Penguasaan daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang pasukan Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang kemudian menyerang Sumatera yaitu Dumai, Pakan Baru dan Palembang. Terakhir baru Jepang menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu dan Banyuwangi. Dalam waktu singkat berhasil menduduki tempat strategis di Pulau Jawa. Hingga akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia. Masa pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka segera menempati gedung-gedung pemerintah yang semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan. Dengan semboyan Tiga A (Nipon Cahaya Asia, Nipon Pemimpin Asia dan Nipon Pelindung Asia), mereka melakukan pawai dengan jalan kaki dan bersepeda bergerak menuju pusat kota Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat Yogyakarta. Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga di pusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam.

Disamping itu benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan menentang Jepang. Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan terlebih dulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah disaat terjadi perang secara mendadak. Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan. Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bangunan benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang. [sunting]Masa

Kemerdekaan

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 telah berkumandang di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita tersebut sampai ke Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta (sekarang Perpustakaan Daerah, Jl. Malioboro Yogyakarta). Kepala kantor berita Domei Cabang Yogyakarta waktu itu adalah orang Jepang. Sedangkan kepala bagian radio adalah Warsono, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga lainnya, yaitu Soeparto, Soetjipto, Abdullah dan Umar Sanusi. Pada siang hari itu, berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas berdirinya negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat semakin berapi-api. Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata Jepang. Masih kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta, menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun vasilitas lain milik Jepang, benteng Vredeburg juga menjadi salah satu sasaran aksi. Setelah Benteng dikuasai oleh pihak RI untuk selanjutnya penanganannya diserahkan kepada Instansi Militer yang kemudian dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam pasukan dengan kode Staf Q dibawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang bertugas mengurusi perbekalan militer. Sehingga tidak mustahil bila pada periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai markas juga sebagai gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu dll. Pada tahun 1946 di dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan Rumah Sakit Tentara untuk melayani korban pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani tentara beserta keluarganya. Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan disaat perbedaan persepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi, maka meletuslah peristiwa yang dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946, yaitu percobaan Kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg. Pada masa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) Benteng Vredeburg yang waktu itu dijadikan markas militer RI menjadi sasaran pengeboman pesawat-pesawat Belanda. Kantor TKR yang berada di dalamnya hancur. Setelah menguasai lapangan terbang Maguwo, tentara Belanda yang tergabung

dalam Brigade T pimpinan Kolonel Van Langen berhasil menguasai kota Yogyakarta, termasuk Benteng Vredeburg. Selanjutnya Benteng Vredeburg dipergunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam IVG (Informatie Voor Geheimen), yaitu dinas rahasia tentara Belanda. Disamping itu Benteng Vredeburg juga difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan juga dipakai untuk menyimpan senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan militer lainnya. Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI bersama dengan TNI masih ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu sasaran di antara bangunan-bangunan lain yang dikuasai Belanda seperti Kantor Pos, Stasiun Kereta Api, Hotel Toegoe, Gedung Agung, dan Tangsi Kotabaru. Kurang lebih 6 (enam) jam kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI beserta rakyat pejuang. Baru setelah bala bantuan Tentara Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan gerilya. Meski mampu menduduki kota Yogyakarta hanya sekitar 6 jam, namun secara politis serangan tersebut mempunyai arti yang luar biasa. Kebohongan Belanda yang selama ini ditutup-tutupi akhirnya terbongkar, dan terbukalah mata dunia internasional. Sehingga berawal dari persetujuan Roem Royen (7 Mei 1949), akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda terpaksa mengakui Kedaulatan RIS setelah sebelumnya harus melalui proses yang panjang di KMB (Koferensi Meja Bundar) yang berlangsung pada tanggal 23 Agustus 2 Nopember 1949. Proses itu tidak dapat dipisahkan dengan peran besar pemancar radio gerilya di Banaran, Playen, Gunung Kidul, yaitu Radio AURI PC-2. Setelah Belanda meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Kemudian pengelolaan benteng diserahkan kepada Militer Akademi Yogyakarta. Pada waktu itu Ki Hadjar Dewantara pernah mengemukakan gagasannya agar Benteng Vredeburg dimanfaatkan sebagai ajang kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu terhenti karena terjadi peristiwa Tragedi Nasional Pemberontakan G 30 S / PKI tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng Vredeburg digunakan sebagai tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G 30 S / PKI yang langsung berada dibawah pengawasan HANKAM. Rencana pelestarian bangunan Benteng Vredeburg mulai lebih terlihat nyata setelah tahun 1976 diadakan studi kelayakan bangunan benteng yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah diadakan penelitian maka usaha kearah pemugaran bangunan bekas Benteng Vredeburg pun segera dimulai. Tanggal 9 Agustus 1980 dilakukan penandatanganan piagam perjanjian antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pihak I dan Dr. Daud Jusuf (Mendikbud) sebagai pihak II tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg. Dengan pertimbangan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg tersebut merupakan bangunan bersejarah yang sangat besar artinya maka pada tahun 1981 bangunan bekas Benteng Vredeburg di tetapkan sebagai benda cagar budaya berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981. Tentang pemanfaatan bangunan Benteng Vredeburg, dipertegas lagi oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Mendikbud RI) tanggal 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum Perjuangan Nasional yang pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sesuai dengan Piagam Perjanjian serta surat Sri Sultan Hamengku Buwono IX Nomor 359/HB/85 tanggal 16 April 1985 menyebutkan bahwa perubahan-perubahan tata ruang bagi gedung-gedung di dalam komplek benteng Vredeburg diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum. Untuk selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan bekas benteng dan kemudian dijadikan museum. Tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum. Pada tanggal 23 November 1992 bangunan bekas Benteng Vredeburg secara resmi menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (ketika itu Prof. Dr. Fuad Hasan) Nomor 0475/O/1992 dengan nama Museum Benteng Yogyakarta. Selanjutnya Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mempunyai Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi yaitu sebagai museum khusus merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan bimbingan edukatif cultural mengenai benda dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di wilayah Yogyakarta. Secara kronologis perkembangan status tanah dan pemanfaatan benteng Vredeburg sejak Proklamasi Kemerdekaan (1945) sampai dengan dimanfaatkan sebagai museum khusus sejarah perjuangan sebagai berikut : [sunting]Tahun 1945 1977 Status tanah benteng masih tetap milik kasultanan Yogyakarta. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan RI tahun 1945, benteng diambil alih oleh instansi militer RI. Tahun 1948 benteng sempat sementara diambil alih oleh Belanda pada waktu agresi militernya yang kedua (19 Desember 1948). Waktu Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk sesaat TNI berhasil menguasai daerah sekitar Benteng Vredeburg. Tetapi tidak lama kemudian berhasil dikuasai kembali oleh Belanda sampai dengan Penarikan Belanda dari Yogyakarta sebagai hasil persetujuan Roem-Royen (7 Mei 1949). Selanjutnya Benteng Vredeburg dibawah pengelolaan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). [sunting]Tahun 1977 1992 Dalam periode ini status penguasaan dan pengelolaan benteng pernah diserahkan dari pihak HANKAM kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta. Tanggal 9 Agustus 1980 diadakan penandatanganan piagam perjanjian tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg oleh Sri Sultan HB IX (pihak I) dan Mendibud Dr. Daud Jusuf (pihak II). Kemudian dikuatkan dengan pernyataan Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto tanggal 5 November 1984, bahwa bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai sebuah museum. Tahun 1985 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengijinkan diadakannya perubahan bangunan sesuai dengan kebutuhannya. Tahun 1987 museum dapat dikunjungi oleh umum. Pada periode ini Benteng Vredeburg pernah dipergunakan sebagai ajang Jambore Seni (26 28 Agustus 1978), Pendidikan dan latihan Dodiklat POLRI. Juga pernah dipergunakan sebagai markas Garnizun 072 serta markas TNI AD Batalyon 403. Meski demikian secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan. [sunting]Tahun 1992 sampai sekarang Melalui Surat Keputusan Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hasan nomor 0475/O/1992 tanggal 23 November 1992 secara resmi Benteng Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Yogyakarta. Untuk meningkatkan fungsionalisasi museum ini maka mulai tanggal 5 September 1997 mendapat limpahan untuk mengelola Museum Perjuangan Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta, dari Museum Negeri Propinsi DIY Sonobudoyo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala.

-

Benteng yang dibangun pada tahun 1765 oleh Pemerintah Belanda ini digunakan untuk menahan serangan dari Kraton Yogyakarta. Dengan parit yang mengelilinginya, benteng yang berbentuk segi empat ini memiliki menara pengawas di ke-empat sudutnya dan kubu yang memungkinkan tentara Belanda untuk berjalan berkeliling sambil berjaga-jaga dan melepaskan tembakan jika diperlukan. Pada dasar meriam di kubu bagian selatan, Kraton Yogyakarta dan beberapa bangunan bersejarah lainnya termasuk kepadatan lalulintas di sekitarnya terlihat dengan jelas. Dibangun pada tahun 1765 oleh Belanda, Museum dengan luas kurang lebih 2100 meter persegi ini mempunyai beberapa koleksi antara lain: - Bangunan-bangunan peninggalan Belanda, yang dipugar sesuai bentuk aslinya. - Diorama-diorama yang menggambarkan perjuangan sebelum Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan masa Orde Baru. - Koleksi benda-benda bersejarah, foto-foto, dan lukisan tentang perjuangan nasional dalam merintis, mencapai, mempertahankan, serta mengisi kemerdekaan Indonesia. SEJARAH Museum Benteng Yogyakarta, semula bernama "Benteng Rustenburg" yang mempunyai arti "Benteng Peristirahatan" , dibangun oleh Belanda pada tahun 1760 di atas tanah Keraton. Berkat izin Sri Sultan Hamengku Buwono I, sekitar tahun 1765 1788 bangunan disempurnakan dan selanjutnya diganti namanya menjadi "Benteng Vredeburg" yang mempunyai arti Benteng Perdamaian. Secara historis bangunan ini sejak berdiri sampai sekarang telah mengalami berbagai perubahan fungsi yaitu pada tahun 1760 - 1830 berfungsi sebagai benteng pertahanan, pada tahun 1830 -1945 berfungsi sebagai markas militer Belanda dan Jepang, dan pada tahun 1945 1977 berfungsi sebagai markas militer RI. Setelah tahun 1977 pihak Hankam mengembalikan kepada pemerintah. Oleh pemerintah melalui Mendikbud yang saat itu dijabat Bapak Daoed Yoesoep atas persetujuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku pemilik, ditetapkan sebagai pusat informasi dan pengembangan budaya nusantara pada tanggal 9 Agustus 1980. Pada tanggal 16 April 1985 dipugar menjadi Museum Perjuangan dan dibuka untuk umum pada tahun 1987. Kemudian pada tanggal 23 November 1992 resmi menjadi "Museum Khusus Perjuangan Nasional" dengan nama "Museum Benteng Yogyakarta". Bangunan bekas Benteng Vredeburg dipugar dan dilestarikan. Dalam pemugaran pada bentuk luar masih tetap dipertahankan, sedang pada bentuk bagian dalamnya dipugar dan disesuaikan dengan fungsinya yang baru sebagai ruang museum.

JAM BUKA Selasa - Jumat: 08.00 - 16.00 WIB Jumat - Sabtu: 08.00 - 17.00 WIB ntuk hari Senin dan hari libur nasional, tutup. TIKET MASUK

Dewasa: Rp 750.00 Anak-anak: Rp 250.00 Asing: Rp 750.00 FASILITAS - Perpustakaan - Ruang Pertunjukan - Ruang Seminar, Diskusi, Pelatihan dan Pertemuan - Audio Visual & Ruang Belajar Kelompok - Hotspot gratis - Pemandu - Ruang Tamu - Mushola - Kamar mandi KEGIATAN Dialog, diskusi, pelatihan dan pertemuan. ACARA SPESIAL Pameran, pertunjukan, dan festival. TIP & TRIK Perhatikan barang bawaan Anda dan tetaplah bersama-sama dengan rombongan karena pihak museum tidak menyediakan alat pengeras suara untuk memanggil salah satu rombongan Anda. Bila membawa kendaraan bermotor, pastikan Anda meninggalkannya dalam keadaan terkunci karena pihak keamanan dari museum tidak hanya berjaga di lokasi parkir tetapi juga bertugas untuk menjaga kompleks museum.

Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengat lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwono I) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri Raja-raja Jawa pada waktu itu. Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti adalah Nicolaas Harting yang menjabat sebagai Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouveurneur en Directuer van Java? noordkust) sejak bulan s Maret 1754. Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasuhunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono Senopati

Ing Alogo Abdul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatullah I. Sedangkan Kasuhunan Surakarta diperintah oleh Paku Buwono III. Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan HB I adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titah tersebut segera dibuka hutan beringin dimana ditempat tersebut sudah terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan HB I mengumumkan bahwa wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta. Selain sebagai Panglima Perang yang tangguh Sri Sultan HB I adalah juga seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755 dan pada hari Kamis Pahing 7 Oktober 1756 meski belum selesai secara sempurna Sultan dan keluarganya berkenan untuk menempatinya. Setelah Kraton mulai ditempati kemudian beridiri pula bangunan-bangunan pendukung lainnya, misalnya bangunan kediaman Sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1756. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran yang selesai pada tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai pada tahun 1761 dan 1762. Masjid Agung didirikan pada tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai pada tahun 1777. Dan akhirnya Bangsal Kencana selesai pada tahun 1792.

Melihat kemajuan yang sangat pesat akan pembangunan kraton yang didirikan Sri Sultan HB I menimbulkan rasa kekhawatiran pada pihak Belanda sehingga diajukanlah usul untuk membangun sebuah benteng disekitar wilayah kraton. Dalih yang digunakan adalah agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi maksud sesungguhnya Belanda adalah untuk memudahkan melakukan kontrol perkembangan yang terjadi di kraton. Hal ini bisa dilihat dari letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya menghadap ke jalan utama menuju kraton merupakan indikasi utama bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa beridirinya benteng

tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakanakan menjadi ? kekuatan? yang sulit dilawan oleh pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda termasuk Sri Sultan HB I, oleh karena itu usulan pembangunan benteng dikabulkan. Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang, pada tahun 1760, atas permintaan Belanda, Sri Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut sebagai seleka atau bastion yang menyerupai bentuk kura-kura dengan keempat kakinya. Oleh Sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaning (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara). Menurut Nicolas Harting, benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Temboknya terbuat dari tanah yang diperkuat dengan tiangtiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren, sedangkan bangunan didalamnya terdiri atas bambu dan kaui dengan atap ilalang. Ketika Nicolas Harting digantikan oleh W.H Ossenberch pada tahun 1765, diusulkan kepada Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin keamanan. Usul tersebut dikabulkan dan selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Konstruksi[navigasi.n et] Tempat Bersejarah - Benteng Vredeburg Teras luar dari barak perwira nya menggunakan semen merah, gamping, pasir dan batu bata. Menurut rencana pembangunannya akan selesai pada tahun itu juga tetapi pada kenyataannya proses pembangunan berjalan sangat lambat dan baru selesai pada tahun 1787, hal ini karena pada masa tersebut Sultan juga sedang giat-giatnya melakukan pembangunan Kraton Yogyakarta sehingga bahan dan tenaga yang dijanjikan lebih banyak teralokasi untuk pembangunan kraton. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Benteng Rustenburg yang berarti ? Benteng Peristirahatan? . Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merubuhkan bangunanbangunan antara lain Gedung Residen, Tugu Pal Putih dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan lain. Seluruh bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Untuk Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai dibangun kembali, nama Benteng Rustenburg berganti menjadi ? Benteng Vredeburg? yang artinya ? Benteng Perdamaian? Nama ini diambil sebagai . manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dan Belanda yang tidak saling menyerang pada waktu itu. Bentuk benteng tetap seperti awal dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut ? seleka? atau ? bastion? Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh . parit. Didalamnya terdapat bangunan-bangunan seperti rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Penghuni benteng sendiri pada waktu itu mencapai 500 orang prajurit termasuk petugas medis dan para medis. Pada masa pemerintahan Belanda, benteng ini juga memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta karena kantor residen letaknya berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg. Seiring dengan perkembangan politik di Indonesia maka status kepemilikan Benteng Vredeburg juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada awal berdirinya benteng ini adalah milik Kraton walaupun dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC). Kebangkrutan VOC pada periode 1788-1799 menyebabkan

penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda) dibawah Gubernur Van Den Burg sampai ke pemerintahan Gubernur Daendels. Ketika Inggris berkuasa maka benteng dibawah penguasaan Gubernur Jenderal Raffles. Status benteng sempat kembali ke pemerintahan Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang di bulan Maret 1942. Pada tanggal 9 Agustus 1980 dengan persetujuan Sri Sultan HB IX Benteng Vredeburg dijadikan sebagai Pusat Informasi dan Pengembangan Budaya Nusantara dan pada tanggal 16 April 1985 dilakukan pemugaran untuk dijadikan Museum Perjuangan. Museum ini dibuka untuk umum pada tahun 1987. Tanggap 23 November 1992 Benteng Vredeburg resmi menjadi ? Museum Perjuangan Nasional? dengan nama ? Museum Benteng Vredeburg? Karena telah difungsikan sebagai museum modern, Benteng Vredeburg memiliki koleksi lengkap meliputi koleksi bangunan, koleksi realia, koleksi foto termasuk miniatur dan replika serta koleksi lukisan. Selain itu terdapat pula 4 ruang pameran minirama sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

[navigasi.n et] Tempat Bersejarah - Benteng Vredeburg Maket benteng vredeburg yang menyerupai bentuk kura-kura dengan keempat kakinya

Dengan penuturan pemandu yang jelas dan tidak membosankan niscaya keinginan anda untuk disegarkan kembali tentang perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan akan terpenuhi tanpa ? lagi-lagi- merasa digurui. Museum Benteng Vredeburg ini memiliki jam buka sebagai berikut : Selasa-Kamis jam 08.30 Jumat jam 08.30 ? Sabtu ? Minggu jam 08.30 Harga tanda masuk untuk dewasa Rp 750, anak-anak Rp 250 dan orang asing Rp 750. 13.30 11.00 12.00

?

sumber: Pemandu wisata Benteng Vredeburg Bpk Seno dan Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg

MUSEUM BENTENG VREDEBURG WISATA SEJARAHMuseum Benteng Vredeburgadalah sebuah benteng yang pada awalnya merupakan tansi militer bala tentara pemerintahan Belanda. Benteng Vredeburg dibangun oleh VOC pada tahun 1765 pada waktu masa penjajahan Belanda.Benteng Vreburg terletak di depan bangunan Gedung Agung Yogyakarta, tepatnya di ujung sebelah selatan Jalan Malioboro. Kali ini penulis akan berbagi informasi tentang pengalaman wisata bersejarah di daerah Kota Yogyakarta.

Benteng Vredeburg dibangun untuk menahan serangan dari Keraton Yogyakarta. Dengan parit yang

mengelilinginya benteng vredeburg yag berbentuk segi empat ini memiliki menara pengawas di keempat sudutnya dan kubu yang memungkinkan tentara Belanda berjalan berkeliling untuk berjagajaga dan melepaskan tembakan jika diperlukan. Sebelumnya Benteng Vredeburg memiliki nama Benteng Rustenburgyang berarti Benteng Peristirahatan. Setelah itu di rumah menjadiBenteng Vredeburg yang berarti Benteng Perdamaian dan dijadikan museum setelah direnovasi sesuai aslinya. Benteng Vredeburg menyimpan berbagai koleksi seperti diorama perjuangan dan benda-benda berejarah serta foto dan lukisan tentang perjuangan nasional ketika merintis, mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, serta dalam mengisi kemerdekaan Indonesia.

Sebagai salah satu tempat peninggalan bersejarah Benteng Vredeburgsampai sat ini dijaga dan dirawat dengan baik. Benteng Vredeburgsangat mudah dikunjungi di darah Kota Yogyakarta. bila kita melakukan wisata sejarah di sini, maka kita tidak perlu khawatir dengan jajanan makan dan minuman, dikarenakan benteng vredeburg letak lokasinya berdekatan dengan tempat keramaian dekat dengan pasar Beringharjo.

Museum Benteng Vredeburg, Jogjakarta13:30 MIMIN 1 COMMENT

Foto : Gerbang Museum Benteng Vredeburg Jogjakarta, kota yang merupakan salah satu kota tujuan wisata yang terkenal di Indonesia. Mustahil rasanya kalau ada orang yang gak kenal dengan Jogjakarta. Nama Jogjakarta tersohor kemana-mana, bahkan ke manca negara sekalipun.Terbukti Jogjakarta selalu ramai dikunjungi baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Kota Jogja menyuguhkan berbagai jobjek wisata seperti wisata budaya, wisata sejarah, wisata pendidikan dan wisata alam. Kali ini saya ingin sedikit bercerita tentang salah satu objek wisata sejarah di Jogjakarta yang bernama Museum Benteng Vredeburg. Museum Benteng Vredeburg dulunya merupakan sebuah benteng yang didirikan pada masa kolonial VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di Indonesia. Benteng Vredeburg

didirikan VOC pada tahun 1765 sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan gubernur Belanda. Museum Benteng Vredeburg berada di pusat kota Jogjakarta, hanya berjarak beberapa puluh meter dari titik 0 km Jogja atau perempatan Kantor Pos Besar. Lokasi museum tepatnya berada di timur Jln. Jendral A. Yani, jalan yang berada di utara perempatan Kantor Pos Besar. Biasanya orang lebih mengenal Jalan itu dengan Jln. Malioboro karena berdekatan dengan kawasan Malioboro. Malioboro adalah sentra penjualan cendra mata khas Jogja, pasti udah tahu kan,hehe. Mencari lokasinya sangat mudah berdiri dekat titik 0 km, alih kan pandangan ke arah timur laut (antara utara dan timur) disana akan terlihat Monumen Serangan Umum 1 maret. Di belakang Monumen itu lah Museum Benteng Vredeburg berada. Dari kawasan Malioboro juga tidak terlalu jauh bisa berjalan kaki, ikuti aja jalan Malioboro ke selatan, Museum benteng Vredeburg berada di timur jalan di seberang Gedung Agung (satu dar itujuh istana kepresidenan Indonesia).

Foto : Gerbang Museum Benteng Vredeburg Benteng Vredeburg berbentuk persegi, di kelilingi tembok yang tinggi. Ada beberapa tangga semen berguna untuk naik ke tembok tersebut. Dahulunya tentara kolonial berpatroli di mengelilingi tembok. Dari menara pantau yang berada di keempat penjuru, mereka mengawasi situasi sekeliling benteng. Lokasi benteng yang berdekatan dengan pusat pemerintahan kota Jogja yaitu Keraton (tempat tinggal dan memerintahnya Sultan Jogjakarta), sehingga rentan jadi sasaran penyerangan. Benteng dikelilingi parit, sekarang parit tersebut masih bisa dilihat. Seperti yang di jelasin sebelumnya selain benteng pertahanan, Benteng Vredeburg juga di gunakan untuk kegiatan pemerintahan. Di dalam benteng, disisi utara dan selatan, berjejer beberapa bangunan tempat kegiatan pemerintahan itu.

Foto:

Bangunan

yang

Berada

di

Museum

Benteng

Vredeburg

Foto:

Bangunan

di

Museum

Benteng

Vredeburg

Foto : Patung Pahlawan di Museum Benteng Vredeburg Sekarang Benteng Vredeburg beralih fungsi menjadi sebuah museum. Dalam bangunan yang ada di benteng terdapat Diorama-diorama (minatur 3 dimensi). Diorama mengenai perjuangan bangsa semasa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan. Diorama tersebut dilengkapi penjelasan yang tertulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa inggris, dan juga ada penjelasan dengan audio.

Foto : Ruangan di Museum Benteng Vredeburg

Foto : Ruangan di Museum Vredeburg

Foto:Diorama di Museum Benteng Vredeburg

Foto :Diorama di Museum Benteng Vredeburg Suasana Museum Benteng Vredeburg sangat asri karena ada banyak pohon yang menaunginya. Meskipun tidak terlalu rimbun tapi sudah bisa membuat udara menjadi bersih dan menyegarkan. Jika sudah puas belajar tentang sejarah di Diorama, kita bisa melihat seluruh benteng dari tembok benteng yang berada disisi timur. Dari sini kita bisa melihat seluruh benteng karena tidak ada penghalang, bagian belakang/sisi timur benteng berupa lapangan terbuka. Duduk di tembok benteng, menikmati semilir angin dan melihat suasana benteng nan asri pastinya dapat menenangkan pikiran.

Foto : Bangunan Museum Benteng Vredeburg dilihat dari atas tembok benteng sisi timur Kita juga bisa mengelilingi benteng dengan melewati tembok benteng. Jangan membayangkan bakalan susah untuk menaiki tembok benteng, coz tersedia tangga yang bisa digunakan. Tembok kokoh dan lebar, sehingga bisa di lewati banyak orang. Diatas tembok malahan ada tersedia tempat duduk buat bersantaisantai.

Foto : Jalan di atas Tembok Benteng

Foto : Kawasan Perempatan kantor Pos Besar dilihat dari Tembok Benteng Vredeburg Tiket masuk terbilang cukup murah hanya Rp. 2000,00. Bagi yang ingin merasakan naik sepeda orang jaman dahulu, ada tersedia penyewaan sepeda ontel perjamnya Rp. 5000,00. Dalam benteng ada penjual makanan ringan, minuman dan juga sofenir, begi yang ingin berbelanja bisa di sini.

"...Museum Benteng Vrederburg Yang Kini Menjadi Museum Perjuangan Rakyat Yogyakarta..."

NRMnews YOGYAKARTA, Museum Benteng Vrederburg ini merupakan museum perjuangan kemerdekaan masyarakat Yogyakarta. Museum ini dibangun di bekas benteng Belanda di kota Yogyakarta. Cukup mudah menemukan museum ini jika Anda berjalanjalan di Yogyakarta. Sebab, museum ini terletak di kawasan paling strategis bagi para wisatawan Yogyakarta, yaitu jalanMalioboro. Seberang museum ini terdapat Gedung Agung, yaitu Istana Negara yang berada di Yogyakarta. Museum ini pun letaknya cukup berdekatan dengan Pasar Beringharjo. Benteng Vrederburg sendiri merupakan benteng yang dibangun pada 1765. Saat awal berdiri, nama bangunan ini adalah Rustenburg, bukan Vrederburg seperti kita kenal sekarang. Nama Vrederburg yang berarti perdamaian, baru disandang bangunan ini pada 1867 setelah bangunan ini direnovasi akibat gempa dahsyat yang mengguncang Yogyakarta kala itu. Benteng berbentuk persegi ini dibangun dengan jarak yang cukup dekat dengan Keraton Yogyakarta, jaraknya sepelemparan meriam saja, terang Sri Ediningsih, Kepala Museum Benteng Vrederburg. Oleh karena itulah, pihak keraton mulai curiga bahwa benteng ini digunakan untuk memata-matai Keraton Yogyakarta.

"...Salah Satu Bangunan di Museum Benteng Vrederburg..."

Apalagi letak benteng ini berada di jalan utama menuju Keraton Yogyakarta Hadiningrat, posisi yang cukup strategis untuk membendung pasukan Keraton. Selain itu, benteng ini juga mempunyai menara pantau di keempat sudutnya serta dikelilingi parit di sekitar benteng, sehingga berubahlah fungsi benteng dari benteng perdamaian menjadi benteng pertahanan. Apalagi, residen-residen yang bertugas di Yogyakarta juga menjadikan benteng ini sebagai tempat perlindungan mereka. Bagian dalam benteng, terdiri dari beberapa bangunan yang dulu digunakan sebagai rumah perwira, asrama prajurit, gudang

logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan para medis. Saat ini bangunan yang ada, digunakan sebagai ruang diorama perjuangan rakyat Yogyakarta. Menurut Muri Kurniawati, Humas dari Museum Benteng Vrederburg, kisah perjuangan tersebut diceritakan secara kronologis yang dibagi dalam empat ruangan berbeda. Ruang diorama pertama bercerita soal perjuangan Pangeran Diponegoro hingga masa penjajahan Jepang. Lanjut ke ruang diorama dua yang bercerita perjuangan di masa proklamasi hingga Agresi Militer Belanda I. Pada agresi militer inilah sebuah pesawat milik negara dengan lambang palang merah di badan pesawat ditembak jatuh oleh pihak Belanda.

"...Patung Jenderal Soedirman Terpampang di Pintu Masuk Museum Benteng Vrederburg..."

Pesawat ini sejatinya membawa obat-obatan dari Singapura pemberian dari Palang Merah Malaya. Jatuhnya pesawat ini menewaskan Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh, dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo. Sementara bangunan diorama tiga menceritakan sejak Perjanjian Renville hingga terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada masa inilah Yogyakarta memegang peranan penting, karena berdasarkan perjanjian Renville, Belanda hanya mengakui wilayah Republik Indonesia yang terdiri dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra. Sehingga, ibukota RI pun dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Diorama empat menceritakan perjalanan kembali RIS menjadi RI. Ruang-ruang diorama ini nantinya akan dilengkapi juga dengan kelengkapan lain, seperti penjelasan tentang sejarah diorama, pemutaran film di ruang pengenalan, dan sebagainya, agar suasana kunjungan ke museum bisa lebih menarik, jelas Sri menutup perbincangan.