15
29 RANAH INFORMAL, PATRON-KLIEN, DAN KEKUASAAN DI KALANGAN JAWARA BANTEN 1 INFORMAL SPHERE, PATRON-CLIENT, AND POWER AMONG JAWARA BANTEN Herman Hendrik Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Komplek Kemendikbud Gd. E Lt. 19, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, Indonesia E-mail: [email protected] Naskah diterima: 25 Februari 2017; direvisi: 10 April 2017; disetujui: 18 Juli 2017 Abstract This article explains the roles of jawara Banten in the informal sphere, patron-client relationships that they have, and the correlation of those factors with the sustainability of jawara’s power in Banten. The question is, how is jawara obtain, maintain and expand their power? The aim of this article is to explain the correlation among the three, especially to expose how the former two contribute to the later. The uniqueness of this article compared to other studies on jawara Banten is that the informants of the study are small jawara or jawara kampung, not big jawara often disscussed in many studies. The data for this article were resulted from a field research conducted with qualitative method, especially life-history method, in a region in Serang Regency, Banten. The findings of the research show that the sustainability of jawara’s power is backed up by the important roles they play in Banten society and their patron-client relationships with many parties, either jawara or non-jawara. Keywords : jawara, power, patron-client, informal sphere, Banten Abstrak Tulisan ini menjelaskan tentang peranan para jawara dalam ranah informal di Banten, hubungan patron-klien yang mereka miliki, dan kaitannya dengan kelanggengan kekuasaan mereka di Banten. Pertanyaannya adalah bagaimanakah para jawara mendapatkan, mempertahankan, dan memperbesar kekuasaan mereka? Tujuan dari tulisan ini adalah menjelaskan keterkaitan antara hal-hal tersebut di atas, terutama memaparkan tentang bagaimana peranan sosial para jawara dan hubungan patron-klien yang mereka jalani berkontribusi terhadap kelanggengan kekuasaan mereka. Kekhasan tulisan ini dibandingkan dengan tulisan lain tentang jawara adalah bahwa informan dalam penelitiannya merupakan para jawara kecil atau jawara kampung, bukan jawara besar yang sudah banyak dibicarakan dalam berbagai tulisan. Data untuk tulisan ini dihasilkan dari sebuah penelitian lapangan dengan metode kualitatif, khususnya metode life history, yang dilakukan di sebuah daerah di Kabupaten Serang, Banten. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kelanggengan kekuasaan para jawara ditopang oleh peranan penting mereka dalam kehidupan masyarakat Banten dan hubungan patron-klien yang mereka miliki dengan berbagai pihak, baik jawara maupun bukan jawara. Kata Kunci: jawara, kekuasaan, patron-klien, ranah informal, Banten. 1 Tulisan ini merupakan pengembangan dari skripsi penulis pada Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, yang berjudul “Jawara Leutik: Studi mengenai Keragaman Fenomena Ke- Jawara-an dalam Masyarakat Banten”.

Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

29

RANAH INFORMAL, PATRON-KLIEN, DAN KEKUASAAN DIKALANGAN JAWARA BANTEN 1

INFORMAL SPHERE, PATRON-CLIENT, AND POWER AMONGJAWARA BANTEN

Herman HendrikPusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan KebudayaanKomplek Kemendikbud Gd. E Lt. 19, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima: 25 Februari 2017; direvisi: 10 April 2017; disetujui: 18 Juli 2017

AbstractThis article explains the roles of jawara Banten in the informal sphere, patron-clientrelationships that they have, and the correlation of those factors with the sustainability ofjawara’s power in Banten. The question is, how is jawara obtain, maintain and expand theirpower? The aim of this article is to explain the correlation among the three, especially toexpose how the former two contribute to the later. The uniqueness of this article comparedto other studies on jawara Banten is that the informants of the study are small jawaraor jawara kampung, not big jawara often disscussed in many studies. The data for thisarticle were resulted from a field research conducted with qualitative method, especiallylife-history method, in a region in Serang Regency, Banten. The findings of the researchshow that the sustainability of jawara’s power is backed up by the important roles they playin Banten society and their patron-client relationships with many parties, either jawara ornon-jawara.

Keywords: jawara, power, patron-client, informal sphere, Banten

AbstrakTulisan ini menjelaskan tentang peranan para jawara dalam ranah informal di Banten, hubunganpatron-klien yang mereka miliki, dan kaitannya dengan kelanggengan kekuasaan mereka diBanten. Pertanyaannya adalah bagaimanakah para jawara mendapatkan, mempertahankan,dan memperbesar kekuasaan mereka? Tujuan dari tulisan ini adalah menjelaskan keterkaitanantara hal-hal tersebut di atas, terutama memaparkan tentang bagaimana peranan sosial parajawara dan hubungan patron-klien yang mereka jalani berkontribusi terhadap kelanggengankekuasaan mereka. Kekhasan tulisan ini dibandingkan dengan tulisan lain tentang jawaraadalah bahwa informan dalam penelitiannya merupakan para jawara kecil atau jawara kampung,bukan jawara besar yang sudah banyak dibicarakan dalam berbagai tulisan. Data untuktulisan ini dihasilkan dari sebuah penelitian lapangan dengan metode kualitatif, khususnyametode life history, yang dilakukan di sebuah daerah di Kabupaten Serang, Banten. Temuanpenelitian menunjukkan bahwa kelanggengan kekuasaan para jawara ditopang oleh perananpenting mereka dalam kehidupan masyarakat Banten dan hubungan patron-klien yang merekamiliki dengan berbagai pihak, baik jawara maupun bukan jawara.

Kata Kunci: jawara, kekuasaan, patron-klien, ranah informal, Banten.

1 Tulisan ini merupakan pengembangan dari skripsi penulis pada Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial danIlmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, yang berjudul “Jawara Leutik: Studi mengenai Keragaman Fenomena Ke-Jawara-an dalam Masyarakat Banten”.

Page 2: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

A. PENDAHULUAN

Jawara merupakan salah satu elemen utamadalam kehidupan sosial masyarakat Banten.Sejumlah literatur yang membahas masyarakatBanten mengemukakan pentingnya peran parajawara dalam kehidupan masyarakat Banten(lihat misalnya Hudaeri, 2003; dan Lubis, 2003).Pentingnya peran mereka terutama terkaitdengan proses-proses politik, ekonomi, sosial,dan budaya di Banten2.

Para jawara banyak terlibat dalam proses-proses ekonomi, sosial, politik, dan budayadalam masyarakat Banten (Hudaeri dkk, 2003).Keterlibatan tersebut baik dalam proses-prosesyang sifatnya formal maupun informal. Merekamembentuk struktur informal yang sangatpenting dalam proses-proses formal ekonomi,sosial, politik, dan budaya. Struktur informalyang dimaksud adalah struktur yang ada diluar ranah formal ekonomi, politik, sosial, danbudaya. Contohnya adalah para petani, pedagang,dan pengemudi angkutan umum. Di sisi lain,struktur formal adalah struktur yang ada dalamranah formal seperti para pegawai pemerintahtermasuk para pejabat publik, pegawai swasta,dan anggota lembaga non-profit. Dengan katalain, para jawara itu di samping menjadi aktoraktif dalam pertarungan politik, misalnya,seperti menjadi anggota DPRD, mereka jugabermain dalam ranah informal, seperti menjadipendukung politik bagi para pemimpin formal.

Status dan kekuasaan yang disandang parajawara telah melewati perjalanan sejarah yangpanjang. Dalam perjalanan sejarah Banten,para jawara sempat memperoleh simpati darirakyat yang merasa bahwa para jawara adalahpembela bagi mereka, yaitu ketika para jawaraterlibat dalam perlawanan terhadap penjajahBelanda. Lebih jauh, kaum jawara munculsebagai pemimpin-pemimpin tradisional setelahKesultanan Banten dihapuskan pada masapemerintahan Daendels (Lubis, 2003). Hal itutidak berarti bahwa para jawara merupakangolongan sosial yang terpisah sendiri dan

2 Pilkada Banten. http://kompas.com/ver1/PilkadaBanten/ 0610/03/142240.htm, diunduh tanggal 17 Juni2007, pukul 20.00 WIB

berbeda secara mencolok dengan anggotamasyarakat kebanyakan. Para jawara bisa sajaberprofesi sebagai petani, penjaga keamanan,dan sebagainya. Singkatnya, para jawara tidakterikat mata pencaharian tertentu.

Uraian di atas telah menunjukkan bahwapara jawara merupakan sosok yang memilikikekuasaan (power) dalam masyarakat Banten.Mereka menempati posisi-posisi yang sangatvariatif dan sangat berpengaruh dalamkehidupan sosial, politik, ekonomi, sosial, danbudaya masyarakat Banten. Kekuasaan itu tetaplanggeng melewati era demi era. Bagaimanakahpara jawara mendapatkan, mempertahankan, danmemperbesar kekuasaan mereka?

Tulisan ini menjelaskan tentang hubunganpatron-klien dan kekuasaan di kalangan parajawara Banten. Hubungan patron-klien parajawara dilatarbelakangi oleh peranan jawaradalam kehidupan masyarakat Banten. Perananpara jawara yang penting dalam masyarakatnyaterkait dengan akses terhadap sumber dayatertentu yang tidak dapat diakses oleh sembarangorang. Monopoli akses sumber daya itu membuatsebagian orang menjadi tergantung kepadasebagian orang yang lain. Ketergantunganini kemudian melahirkan ikatan hutang yangselanjutnya mendasari hubungan patron-klien.

B. KAJIAN LITERATUR

Pembahasan mengenai sosok jawara telahbanyak dilakukan. Salah satu perintis kajianjawara adalah Tihami (1992), yang membicarakanmengenai aspek magi dan kepemimpinan jawara.Beberapa usaha lain misalnya dilakukan olehAbrori (2003), Hamid (2004), Karomah (2005),dan Romli (2007). Abrori membicarakanperilaku politik jawara, Hamid membicarakanperan jawara dalam proses-proses politik diBanten, Karomah membahas tentang kekerasanyang melekat pada citra seorang jawara, sertaRomli yang memandang tokoh jawara sebagaibos lokal yang berkuasa atas politik di Banten.Adapun penelitian ini membahas hubunganpatron-klien serta kekuasaan yang ada dalamkehidupan jawara. Tidak seperti empat penelitian

Page 3: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

lain yang memfokuskan pada jawara besar danterkenal, penelitian ini menggali informasitentang kehidupan jawara leutik (kecil) yangjarang dibahas oleh para ahli.

Telah banyak peneliti yang mengemukakanpendapat mereka tentang sosok jawara. Tihami(1992: 200) mengemukakan bahwa “jawaramerupakan penggolongan atas seseorang atausekelompok orang yang memiliki ciri-ciri ke-jawara-an yang berupa kemampuan ilmu bela diridan ilmu kebatinan serta penggunaan kekerasandalam berbagai aktivitasnya.” Sementara itu,Hudaeri dkk. (2003: 2) berpendapat bahwa“jawara dikenal sebagai seseorang yang memilikikeunggulan dalam hal kekuatan fisik, misalnyadengan penguasaan pencak silat, serta kekuatansupranatural, seperti melalui kepemilikan jimat.Sosok jawara adalah pribadi yang memilikikeberanian, agresif, sompral (perkataan yangtegas dan terkesan sombong), dan terbuka (blak-blakan).” Berdasarkan dua pendapat di atas,dapat dikatakan secara umum sosok jawaraidentik dengan kemahiran bela diri, memilikikekuatan fisik, ilmu kebatinan atau supranatural,keberanian, dan kekerasan.

Jawara dimaknai secara positif sekaligusnegatif oleh para pengamat dan masyarakat,baik terkait dengan sosok seorang jawara sebagaiindividu maupun dilihat dari arti kata “jawara”.Pelabelan negatif terhadap sosok jawara tampakpada anggapan bahwa kata “jawara” adalahsingkatan dari “ jalma wani rahul” (orangyang berani berbohong/ menipu) atau “jalmawani rampog” (orang yang berani merampok).Sementara itu, pemaknaan kata “jawara” secarapositif misalnya seperti yang dikemukakan olehH. Embay, seorang tokoh jawara-pengusaha.Menurutnya, kata “jawara” sebetulnya berasaldari kata bahasa Arab, yaitu “jauharo”, yangberarti permata, dan “waro’i”, yang artinyaorang-orang yang bersih (Hamid, 2004: 31, dan2006: 46-48).

Ada pula upaya yang mengelompokkanjawara menjadi dua golongan, yaitu “jawaraulama” dan “jawara hideung”. “Jawara ulama”adalah jawara yang berpegang teguh pada ajaran

agama Islam. Sementara “jawara hideung” adalahjawara yang menggunakan elmu hideung (ilmuhitam) atau elmu rawayan, yang tidak didasarkanpada ajaran agama Islam (Lubis, 2003: 127).Pada perkembangan selanjutnya, di masyarakatmuncul lagi kategorisasi-kategorisasi yang lainmengenai jawara, misalnya “jawara pengusaha”yang merujuk pada jawara yang berprofesisebagai pengusaha atau wiraswasta. Ada pulayang membedakan istilah “jawara ulama” dan“ulama jawara”. “Jawara ulama” adalah jawarayang juga seorang ahli agama Islam atau seorangkyai sedangkan “ulama jawara” adalah ulamayang memiliki karakter ke-jawara-an (Hamid,2004).

Hamid (2004) membuat kategorisasijawara berdasarkan aktivitasnya. Ia membuattiga kategori jawara. Pertama, jawara tulen.Jawara ini memiliki semua ciri-ciri jawara,yaitu berdarah jawara, memiliki kekuatan fisik,memiliki kekebalan, jago silat, berani, populer,dan penggunaan kekerasan untuk membela diri.Dalam kehidupan sehari-hari, mereka fokus padakegiatan mengajar ilmu bela diri dan menjadipemimpin informal di masyarakat.Kedua, jawarapengusaha. Jawara ini memiliki darah jawaradan memiliki kemampuan bela diri namun dalamkeseharian mereka itu adalah pebisnis. Ketiga,jawara preman. Jawara ini hidup dalam duniakejahatan.

Pengertian “jawara” menjadi kabur ketikamelihat begitu banyak variasi yang ada padakarakteristik kehidupan, termasuk peranan dankedudukan sosial mereka. Mereka itu dalamkenyataannya tidak melulu adalah para penjahat.Di antara mereka ada yang tidak menikmatikedudukan yang tinggi. Sebagian dari merekamenjadi besar karena keuletannya berusaha dalambidang ekonomi, bukan karena memanfaatkankekerasan. Salah satu upaya untuk memberikanpengertian yang tegas mengenai jawara adalahyang diungkapkan oleh Hamid. Hamid (2006:47-48) mengatakan bahwa “karakter khas jawaraadalah penggunaan kekerasan dalam berbagaiaktivitas, termasuk pekerjaan.” Pendapat Hamidtersebut relevan dengan keragaman karakterjawara yang ada. Setiap orang yang disebut

Page 4: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

32

sebagai jawara pasti adalah orang yang cenderungmengandalkan kekuatan fisik atau kekerasannamun hal itu tidak berarti seorang jawara adalahorang yang jahat.

Sementara itu, Hendrik (2008) mengusulkankategorisasi yang berasal dari pandanganmasyarakat, yaitu, pertama, jawara gede (besar).Mereka adalah elit jawara yang kiprahnya sudahmencapai level provinsi. Jawara gede misalnyaH. Tb. Abah dan H. Hasan Maksudi3. Kedua,jawara leutik (kecil). Mereka adalah jawarakampung yang namanya dikenal hanya di tingkatdesa atau kecamatan. Para jawara leutik biasanyahanyamenjadi tukang pukul dari para jawara elit.

Mengenai hubungan patron-klien, Wolf(2001 dan 1966) menyatakan bahwa hubunganpatron-klien terjadi pada titik ketika hubunganinstrumental friendship4 mencapai titikketidakseimbangan maksimum. Hal tersebutberarti salah seorang menjadi superior terhadaplainnya. Orang-orang yang terlibat dalamhubungan patron-klien tidak bertukar barangdan jasa secara ekuivalen. Patron memberikanmanfaat yang kasat mata, seperti bantuanekonomi dan perlindungan, sementara klienmemberikan manfaat yang lebih tak kasat mata,seperti kesetiaan dan dukungan.

Sementara itu, Scott (1972 dan 1977 dalamSuparlan, 2005: 259-260) mengemukakan bahwahubungan patron-klien memiliki ciri-ciri khususyang membedakannya dari hubungan-hubungansosial lainnya. Ciri-ciri khusus tersebut adalah:(1) interaksi tatap muka di antara para pelaku;(2) adanya pertukaran-pertukaran barang danjasa yang relatif tetap berlangsung di antarapara pelaku; (3) adanya ketidaksamaan danketidakseimbangan dalam pertukaran barangdan jasa tersebut; dan (4) ketidakseimbangantersebut menghasilkan kategori patron dan klien3 Lihat Hamid (2006).4 Pertemanan ada duamacam, yaitu emotional friendship

dan instrumental friendship. Emotional friendshipmenekankan pada pemenuhan kebutuhan emosionaldi antara orang-orang yang terlibat. Sebaliknya,instrumental friendship menekankan pada sifat salingmemanfaatkan di antara orang-orang yang terlibatuntuk menjadi penghubung yang potensial kepadasumber daya lain di luar hubungan pertemanan (Wolf,2001: 179-181 dan 1966: 16-18)

yang menunjukkan adanya saling ketergantungandan ikatan yang bersifat meluas dan melentur diantara dua pihak tersebut.

Ilmuwan sosial lainnya yaitu Eisenstadt(1984) membahas mengenai karakteristikhubungan patrón-klien, yaitu sebagai berikut: (1)hubungan patron-klien biasanya bersifat khususdanmenyebar; (2) hubungan patron-klien didasarioleh interaksi yang melibatkan pertukaranberbagai macam sumber daya yang terus-menerus; (3) pertukaran sumber daya tersebutdisusun dalam suatu kesepakatan tertentu; (4)secara ideal, tidak ada syarat dan mengandunghutang jangka panjang; (5) adanya kewajibaninterpersonal; (7) tidak bersifat legal dan tidakberdasarkan perjanjian; (8) adanya kesukarelaan;(9) hubungan ini bersifat vertikal antara individu-individu atau kelompok-kelompok; dan (10)adanya ketidaksetaraan dan perbedaan dalam halkekuasaan antara patron dan klien.

Pendapat ketiga ilmuwan di atas memilikikesamaan dalam hal adanya ketidakseimbangandan ketidaksetaraan status serta adanyapertukaran sumber daya (barang dan/ataujasa) dalam hubungan-hubungan patron-klien.Ketidaksetaraan dalam hubungan patron-klien mencerminkan ketidaksetaraan status.Ketidaksetaraan status ini memungkinkanterjadinya aliran kekuasaan. Oleh karena itu,hubungan patron-klien berkaitan dengan relasikekuasaan.

Mengenai kekuasaan, Leach (1982)mengemukakan bahwa kekuasaan adalah suatuaspek dalam hubungan antara dua mahluk sosialdalam hierarki. Jadi, jika ‘A’ menggunakankekuasaan atas ‘B’, maka status ‘A’ adalahsuperordinat dan ‘B’ adalah subordinat. Haltersebut berarti bahwa ‘A’ dapat memerintah ‘B’dan ‘B’ mematuhinya. Leach mengemukakanbahwa kekuasaan hadir karena ada perbedaanstatus yang dilandasi perasaan berhutang(indebtedness) di antara pihak-pihakyang terlibat.

Berdasarkan pendapat Leach dan Wolfmengenai kekuasaan, dapat dilihat bahwaperwujudan kekuasaan adalah kemampuanuntuk mempengaruhi tindakan orang lain.

Page 5: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

33

Oleh karena itu, tulisan ini menyederhanakanpengertian kekuasaan sebagai kemampuan untukmempengaruhi tindakan orang lain. Pengertiankekuasaan yang seperti ini diharapkan dapatmenyimpulkan beragam pandangan mengenaikekuasaan. Penggunaan pengertian kekuasaanseperti ini juga sesuai dengan studi yangdilakukan oleh Romli (2007).

Mengenai sumber-sumber kekuasaan,Budiardjo (1984) berpendapat bahwa sumber-sumber kekuasaan adalah, pertama, kedudukan.Budiardjo memberi contoh kedudukankomandan terhadap anak buahnya atau seorangmenteri terhadap pegawainya. Kedua, kekayaan.Contohnya adalah seorang kaya yang berkuasaatas politikus yang berhutang kepadanya. Ketiga,kepercayaan atau agama. Contohnya adalahkekuasaan yang dimiliki oleh para pemukaagama. Keempat, kepandaian atau keterampilan.Budiardjo tidak memberikan contoh mengenaisumber yang keempat ini tetapi dapat dipahamibahwa kepandaian atau keterampilan yangdimaksud di sini terkait dengan kemampuan-kemampuan tertentu yang dimiliki oleh seorangaktor yang menimbulkan kekuasaan bagi sipemilik.

Peranan jawara hadir dalam strukturinformal, yang merupakan “lapak” para jawara.Terkait dengan hal tersebut, Wolf (2001 dan1966) mengemukakan bahwa hubungan sosialinformal sangat vital perannya dalam prosesmetabolisme yang dibutuhkan untuk menjagaagar suatu institusi formal tetap beroperasi. Lebihjauh, Wolf menjelaskan bahwa struktur informalhadir untuk mengelola sumber daya yang terlalumakan biaya atau terlalu sulit untuk dikendalikansecara langsung oleh struktur formal.

C. METODE

Tulisan ini didasarkan pada penelitian denganpendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatifbertujuan untuk menemukan pemahaman(Creswell, 2002). Pemahaman mengenaipemaknaan yang diberikan oleh para aktor danoleh warga masyarakat Banten digali melaluimetode life history. Metode ini digunakan untuk

memahami kehidupan seorang aktor sebagaimanadipersepsikan dan diinterpretasikan oleh aktortersebut (Handel, 2000). Melalui life history, dapatdiungkapkan bagaimana keputusan-keputusanyang diambil oleh seorang aktor adalah masukakal bagi dirinya.

Teknik pengumpulan data yang diterapkanadalah wawancara, pengamatan, serta studipustaka. Pengumpulan data dilakukandi Kabupaten Serang, Banten, dari bulanDesember 2007 hingga Maret 2008. Informandalam penelitian ini adalah tiga orang jawaradan beberapa orang yang bukan jawara, yangmemiliki hubungan atau pernah berurusandengan para jawara.5 Para informan tersebutdipilih berdasarkan informasi awal dari kontakpenulis di lokasi penelitian.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

D. 1. Profil Singkat Tiga Jawara6

Informan kunci pertama dalam penelitianini adalah seorang jawara bernama Surin. Surinlahir pada tahun 1960 di Kabupaten Serang,Banten. Surin berasal dari keluarga yang sangatsederhana. Ia tidak menamatkan Sekolah Dasar,hanya sampai kelas dua. Di samping masalahbiaya, ia dikeluarkan dari sekolah juga karenasering berkelahi. Masa kanak-kanak ia habiskanuntuk membantu orang tuanya mencari nafkahdengan cara berkebun serta bekerja pada orangkaya di kampungnya. Ia sering meratapi nasibkarena banyak orang melihatnya begitu hina danrendah hanya karena ia orang miskin. Dalambenak Surin terpatri sebuah niat bahwa ia harusmemiliki sesuatu agar ia dihormati orang-orang. Niat itu ia tunaikan dengan berguru ilmukebatinan (guguru).

Surin memiliki kelebihan setelah guguru,sehingga orang tidak lagi berani bertindak

5 Nama-nama informan dan tempat spesifik dalamtulisan ini telah disamarkan demi alasan keamanandan privasi mereka dan juga penulis. Hal ini dilakukanmengingat banyak hal yang dibicarakan dalam tulisanadalah hal yang sensitif.

6 Uraian lebih rinci tentang life history para jawara yangmenjadi informan kunci dalam penelitian ini dapatdilihat dalam Hendrik (2008).

Page 6: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

34

sembarangan kepadanya. Surin disegani olehorang-orang di sekitarnya. Rekam jejaknyasebagai jawara terkenal di wilayah Cikemas dansekitarnya.

Ke-jawara-an Surin mendatangkan rejeki.Pekerjaan awal yang Surin jalani adalahpekerjaan serabutan, di samping bertani danberkebun. Pekerjaan serabutan itu di antaranyaadalah menjadi kuli dan menjadi penyediajasa keamanan. Surin pernah menjadi kulidi beberapa tempat. Sebagai penyedia jasakeamanan, Surin menjadi anggota tim suksesbagi orang yang mencalonkan diri menjadikepala desa. Pada dasarnya, pekerjaan sampinganSurin itu lebih mengandalkan ke-jawara-andibandingkan keterampilan atau tenaga. Sebagaiseorang jawara, Surin menjadi semacam simbolkekuatan bagi orang yang mempekerjakannya.Ia juga sering dimintai bantuan untuk menjadijago atau jawara oleh kelompok tertentu untukkepentingan mereka. Contohnya ia seringdimintai pertolongan untuk menjadi juru bicaramewakili suatu kelompok., dengan tujuan agarorang segan karena kehadiran Surin.

Dalam perkembangan kemudian, Surin tidakmau lagi bermain-main dengan kekerasan sepertisebelumnya. Ia tidak mau lagi menjadi kuliyang bisa disuruh merebut lapak atau menjadipembunuh bayaran. Ia lebih senang bermainpolitik kecil-kecilan, dengan menjadi tim sukses,seperti yang ia jalani kemudian.

Informan kunci yang kedua adalah jawarabernama Kacung, yang merupakan seorangpetugas “keamanan”7 pasar Cikemas. Iamemanfaatkan ke-jawara-annya untuk mencarinafkah dengan jalan nyalar (menarik uang iuranjasa keamanan) dari para pedagang di pasar. Matapencaharian tersebut telah dijalaninya selamabelasan tahun. Perjalanan hidup Kacung di masakecil telah membawanya demikian dekat dengankehidupan pasar sehingga ia menggantungkanhidupnya dari pasar.

7 Istilah “keamanan” biasa digunakan oleh masyarakatsetempat untuk merujuk kepada profesi petugaskeamanan baik petugas keamanan yang resmi, sepertisatpam atau hansip, maupun yang tidak resmi, sepertitukang pukul atau preman pemegang lapak.

Kacung dilahirkan pada tahun 1972 diKabupaten Serang. Keluarga Kacung termasukberkecukupan dalam hal pemenuhan kebutuhansandang, pangan, dan papan. Anak-anak dikeluarga mereka pun dapat bersekolah meskipunbeberapa di antaranya hanya sampai sekolahdasar. Di samping itu, beberapa anggota keluargabesar Kacung adalah orang-orang yang dianggapsukses.

KacungKecil sering berkelahi, dan kenakalanmasa kecil seperti itu membawa pengaruh besarbagi perjalanan Kacung selanjutnya. Kacungdikeluarkan dari sekolah ketika ia duduk dibangku kelas duaSLTP (SekolahLanjutanTingkatPertama) karena berkelahi dengan temannya.Kacung menjadi lebih sering menghabiskanwaktu di sekitar pasar dan bergaul dengan orang-orang yang bergelut dengan kehidupan pasarsetelah dikeluarkan dari sekolah.

Masa-masa seperti itulah yang semakinmendekatkan Kacung pada kehidupan pasar danorang-orang yang terlibat di dalamnya, termasukjawara yang “memegang” pasar tersebut. Padamasa itu, yang “memegang” pasar adalahseseorang yang bernama Bahrudin. Kedekatandengan orang-orang seperti itu membuat Kacungsemakin terbiasa dengan kekerasan. Di sampingitu, pada masa-masa itu Kacung dekat dengansebuah keluarga jawara, yaitu keluarga H. Majid,yang sudah tentu sangat dekat dengan duniakekerasan.

Suatu hari H. Majid meminta Kacunguntuk menemani anaknya yang bernama Arifuntuk belajar di pesantren di Caringin. Selamadua tahun itu Kacung belajar ilmu agama dankebatinan pada seorang kyai yang bernama H.Jakar sekaligus menjadi semacam pelayan pribadibagi Arif. Kepemilikan ilmu kebatinan kemudianmenjadikan Kacung semakin percaya diri untukmenggeluti dunia jawara. Dengan modal itulahkemudian Kacung menguasai Pasar Cikemas.

Informan kunci yang ketiga adalah seorangjawara bernama H. Tus. Ia lahir di Serang padatahun 1955 di Kabupaten Serang. Tus Kecilmenjalani hidup yang tidak mudah. Kondisiekonomi keluarga yang serba kekurangan

Page 7: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

35

menyebabkan Tus Kecil harus sering menahanlapar. Ia tidak menyelesaikan sekolah dasarkarena orang tuanya yang buruh tani tidakmampumembiayai.

Ketika usianya 12 tahun, Tus Kecilmemutuskan untuk merantau. Ia melanglangbuana menyusuri hampir seluruh wilayah baratdan tengah Indonesia. Ia menjelajahi Jawa,Kalimantan, dan Sumatera. Kota pertama yangdikunjunginya pada waktu ia mengadu nasibadalah Jakarta.

H. Tus tiba kembali ke Serang sekitar tahun1980-an. Pada waktu itu ia berkomplot dengandua orang temannya untuk merebut lapak dipertokoan Citari. Orang yang “memegang”lapak Citari pada waktu itu adalah orangCina yang bernama Budi Motor. H. Tus punbertarung dengan Budi Motor hingga ia berhasilmembunuh Budi Motor, akibatnya ia harusmendekam di penjara selama tujuh tahun untukmempertanggungjawabkan perbuatannya.

H. Tus tidak memiliki pekerjaan setelahkeluar dari penjara. Ia pun kembali ke lapakyang telah direbutnya, daerah pertokoan Citari.Sejak saat itu ia menarik uang keamanan daripara pedagang dan pemilik toko di kawasantersebut. Pada masa itulah H. Tus berkenalan dankemudian menjadi dekat dengan H. Iskandar,seorang pengusaha jasa transportasi dan pemiliksebuah apotek yang ada di kawasan Citari. H.Iskandar tertarik dengan pribadi H. Tus. Olehkarena itu,H. IskandarkemudianmempekerjakanH. Tus sebagai petugas “keamanan” plus kurirdi perusahaan jasa transportasi dan apotekmiliknya.

Pada akhir tahun 1999 Tus menunaikanibadah haji, ia memutuskan untuk berangkatke Mekah karena dia mulai berpikir bahwa“jalan” yang ia cari sebenarnya sedang ia tapaki.Maksudnya Tus sadar bahwa dia telah dapatmemenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Halyang dibutuhkan olehnya pada saat itu adalahbersyukur, dan berniat untuk benar-benarbertobat, tidak mau membunuh lagi. H. Tus punmelanjutkan hidup dengan mengabdi kepada H.Iskandar dan keluarganya.

B. 2. Ranah Informal: “Lapak” Para Jawara

Banten merupakan salah satu provinsidengan indeks kesejahteraan yang relatif rendah.Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginyaangka pengangguran, kemiskinan, dan tingkatpendidikan yang rendah. Pengangguran diBanten per Agustus 2007 mencapai angka 15%dari jumlah angkatan kerjanya atau sekitar632.762 orang pengangguran dari 4.016.423orang angkatan kerja8. Berdasarkan data tahun2005, 28% dari orang-orang yang bekerjaitu pun bekerja pada sektor informal. Haltersebut artinya sebagian masyarakat Bantentidak mengandalkan pendidikan formal untukmeningkatkan kesejahteraannya. Pada tahun2004, jumlah keluarga miskin mencapai 481.497keluarga (24,39%) dan jumlah penduduk miskinmencapai angka 779.200 penduduk (8.58%).Kenyataan itu menempatkan Banten pada posisike-17 dalam daftar indeks kemiskinan provinsi diIndonesia.9

Rendahnya kesejahteraan tersebutberimplikasi pada sedikitnya pilihan kehidupanbagi masyarakat Banten. Lebih jauh, sedikitnyapilihan mendorong pada ketergantungan terhadapsektor informal. Para pemuda yang tidakmemiliki modal untuk mendirikan usaha dantidak memiliki keterampilan kerja akan memilihuntuk mencari nafkah dengan mengandalkankekuatan fisik dan/ atau keberanian. Apabilatidak mau bertani, mereka akan menjadikuli pelabuhan, kondektur, calo, atau tukangparkir. Dalam konteks seperti itu, para jawaramemainkan peran-peran penting karena masihbanyak anggota masyarakat tergantung padasektor informal, yang merupakan “lapak” parajawara.

Ketergantungan terhadap sektor informalseperti itulah yang membuat peranan jawarasangat penting bagi sebagian masyarakat Banten.Ranah informal tidak memiliki aturan mainyang jelas. Tidak ada standarisasi keterampilandan jenjang pendidikan untuk bergelut dalam

8 Radar Banten, 3 Januari 2008, berdasarkan data dariBadan Pusat Statistik Banten.

9 Http://www.banten.go.id/?link=dtl&id=726, diunduhtanggal 21 Februari 2008, pukul 15.00 WIB.

Page 8: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

36

ranah tersebut. Kedekatan atau keakrabandengan orang-orang tertentu dan tahu sama tahuadalah faktor utama yang berlaku dalam strukturinformal. Para jawara bisa menjadi tokoh pentingdalam ranah informal karena mereka memilikiakses terhadap struktur informal tersebut.

Keterlibatan para jawara dalam ranahinformal juga didasari oleh sangat terbatasnyapilihan hidup yang mereka miliki. Surin dan H.Tus tidak tamat sekolah dasar sedangkan Kacunghanya menyelesaikan SLTP. Surin dan H. Tuspun mengaku bahwa faktor yang membuatmereka putus sekolah adalah kenakalan mereka,selain karena tidak cukup biaya. Kenakalan dimasa kecil membuat mereka terbiasa dengankekerasan. Hal tersebut membuat mereka tidaksegan untuk terjun dalam ranah informal yangmengandalkan kekerasan.

Lengketnya ke-jawara-an dengan strukturinformal bukanhanyadalamhalmata pencahariantetapi juga mencakup peranan lainnya. Perananpenting para jawara yang penulis temukan dalampenelitian adalah, pertama, menjadi penengahdalam konflik. Salah satu contoh kasus adalahperanan Surin ketika ia harusmenengahi sengketatanah antara para warga pendatang dengan wargasetempat. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun2005. Pada waktu itu, Surin dimintai pertolonganoleh beberapa orang warga pendatang (asal Tasikdan Cianjur) yang tinggal di suatu kampungdi Kecamatan Padarincang. Warga ingin agarSurin mewakili mereka dalam musyawarahterkait sengketa tanah dengan harapan para elitdesa tidak akan berbuat semena-mena terhadapmereka.

Kedua, kasus yang menunjukkan perananjawara adalah keterlibatan mereka dalam proses-proses politik di tingkat desa. Surin, misalnya,biasa dimintai pertolongan untuk menjadi bagiandari tim sukses dari calon kepala desa tertentu.Salah satu contoh peranan Surin ini adalahperistiwa pemilihan kepala desa Pondokhaurpada awal tahun 2008. Pada kesempatan ituSurin mendukung salah satu calon yang bernamaAde. Tugas Surin sebagai bagian dari tim suksesadalah mempromosikan calon yang didukungnya

secara verbal artinya dari mulut ke mulut danmemastikan bahwa tidak ada kecurangan yangdilakukan oleh pihak lain.

Kacung juga biasa terlibat dalam proses-proses politik di desanya. Keterlibatan Kacungjuga sebagai tim sukses dari salah satu calon.Contohnya adalah ketika Kacung menjadi timsukses seseorang bernama Lulu pada PemillihanKepala Desa Sukadana periode 2007–2012. Padawaktu itu, tugas Kacung adalah berkampanyedari mulut ke mulut.

Hal yang penting dari peranan jawaradalam politik desa adalah bahwa mereka, selainmendukung calon, juga dapat menjadi pengawaspara calon itu apabila mereka terpilih. Mereka,biasanya, tidak tinggal diam ketika kepala desaberbuat tidak sesuai dengan harapan masyarakat.Surin, misalnya, menerima keluhan dari wargakarena jembatan di kampung mereka berlubangsehingga tidak bisa dilewati kendaraan rodaempat. Atas dasar keluhan tersebut, Surinmenghadap Kepala Desa dan menyampaikanaspirasi warga itu.

Contoh lain adalah sikap antipati yangditunjukkan oleh Kacung ketika ia tidak setujudengan perilaku Lulu yang menikah lagi denganseorang janda muda tidak lama setelah ia terpilihsebagai kepala desa. Kacung menyatakanketidaksetujuannya dengan menjelek-jelekkanLulu, bahwa Lulu tidak kompeten dalammemimpin desa hanya mengumbar nafsu birahisaja.

H. Tus tidak berperan dalam kehidupanpolitik praktis karena ia menganggap bahwapolitik itu kotor. Akan tetapi, hal itu tidakmenjadikan H. Tus jauh dari para elit politik danpemerintahan. H. Tus tetap memiliki hubunganbaik dengan beberapa tokoh penting di tingkatKabupaten Serang.

Peranan H. Tus dalam menyampaikanaspirasi masyarakat sekitarnya, misalnya tampakdalam kasus pendirian sekolah di Cikeusik.Peristiwa itu terjadi pada akhir tahun 2007.Seseorang yang bernama H. Yahya meminta H.Tus menggunakan pengaruhnya dan berbicarakepada para elit di Dinas Pendidikan Kabupaten

Page 9: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

37

Serang agar pendirian sekolah di KampungCikeusik memperhatikan aspirasi wargasetempat, karena lokasi yang diusulkan Dinastidak tepat dengan alasan jauh dari pemukimanwarga yang kebanyakan berada di pedalaman.

Ketiga, peranan jawara adalah membantuorang-orang di sekitarnya untuk mendapatkanpekerjaan. Jaringan jawara yang luas denganorang-orang dari berbagai lapisan membuat parajawara tidak sulit untuk mendapatkan pekerjaan.Pekerjaan-pekerjaan yang ditawarkan adalahpekerjaan dalam ranah informal yang kebanyakanmengandalkan kemampuan fisik dan ke-jawara-an. Juru parkir, “petugas keamanan” tempathiburan atau pusat perbelanjaan, dan tukangpukul adalah contoh pekerjaan yang ditawarkandalam dunia ke-jawara-an.

Pekerjaan-pekerjaan itu dapat diberikansecara langsung oleh sang jawara karena sangjawara memiliki sumber daya yang dimaksud,yaitu lapangan pekerjaan, atau dapat pula berasaldari orang-orang lain yang termasuk dalamjaringan sang jawara. H. Tus dan Kacung adalahcontoh jawara yang dapat memberikan pekerjaansecara langsung karena mereka memiliki lapaksendiri. H. Tus adalah penguasa kawasanpertokoan Citari dan Kacung memegang“keamanan” di Pasar Cikemas. Di lapak H. Tus,terdapat beberapa anak buah H. Tus. Kacungyang bekerja sebagai tukang parkir. Kacungmembagikan jatah lapaknya di Pasar Cikemaskepada beberapa orang, yaitu urusan keamanan dibagian luar pasar dan parkiran yang ia serahkankepada seseorang bernama Udin dan urusankebersihan yang ia serahkan kepada seseorangbernama Harto.

Peranan jawara berkaitan dengan pengaruhmereka dalam ranah informal, digambarkanmelalui kasus-kasus di atas hingga tercerminbahwa peranan para jawara masih sangatdiharapkan karena pihak-pihak yang seharusnyaberperan tidak menjalankan tugasnya. Sepertidikemukakan oleh Wolf (2001 dan 1966) bahwasumber daya tertentu terlalu makan biaya atauterlalu sulit untuk ditangani secara formalsehingga terciptalah mekanisme informal.

Dalam hal ini, ketidaktersediaan atau tidakbekerjanya mekanisme formal dalam menjawabpermasalahanmasyarakat.

Struktur informal tersebut memiliki tugaspenting dalam kelangsungan hidup strukturformal. Peranan Surin dan Kacung dalammenyuarakan aspirasi masyarakat sangat berartidalam proses-proses politik karena strukturformal pemerintahan desa tidak dapat menyerapaspirasi masyarakat itu dengan baik. Strukturformal kepengurusan Pasar Cikemas tidak dapatberjalan dengan baik karena akan banyak datanggangguan dari para pemuda setempat yangkebanyakan pengangguran apabila Kacung tidakmenanganikeamanandi tempat itu.Terkait denganhal ini, Wolf (2001 dan 1966) menyatakan bahwakerangka formal kekuatan politik dan ekonomihadir bercampur baur dengan bermacam-macamstruktur informal. Struktur informal itu memilikifungsi yang penting bagi struktur formal, bahkandalam konteks tertentu struktur informal ituselalu melekat dengan struktur formal karenafungsinya yang amat vital.

B.3.HubunganPatron-KliendalamKehidupanPara Jawara

Untuk menunjang peranan sosial mereka,para jawara membangun dan menjalanihubungan patron-klien. Di satu sisi, seorangjawara membutuhkan klien yang memberikankesetiaan dan dukungan. Di sisi lain, seorangjawara membutuhkan patron yang memberinyaperlindungan serta bantuan materil dan imateril.Hubungan patron-klien tersebut dapat terjadidengan sesama jawara maupun dengan orang-orang yang bukan jawara. Orang yang bukanjawara namun menjadi patron seorang jawarabiasanya adalah orang penting atau orangberpengaruh seperti pejabat, pengusaha, danulama atau kyai.

Terkait dengan hal tersebut, Wolf (2001 dan1966) menyatakan bahwa orang-orang yangterlibat dalam hubungan patron-klien tidakbertukar barang dan jasa secara ekuivalen. Patronmemberikan manfaat yang kasat mata, sepertibantuan ekonomi dan perlindungan, sedangkan

Page 10: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

38

klien memberikan manfaat yang lebih tak kasatmata, seperti kesetiaan dan dukungan.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwapara patron tidak selalu memberikan sesuatu yangkonkret atau kasat mata dan klien tidak selalumemberikan sesuatu yang abstrak atau tak kasatmata. Tidak jarang Surin justru mendapatkansesuatu yang konkret, misalnya beras, darikliennya. Dalam hal ini, sebagai patron, Surin,Kacung, dan H. Tus justru banyak memberikansesuatu yang tak kasat mata kepada kliennya,yaitu perlindungan dan perwakilan.

Para jawara menjadi patron dari orang-orang tertentu dan pada saat bersamaan merekajuga adalah klien dari orang-orang yang lain.Surin, misalnya, menjadi patron bagi beberapatetangganya di kampung. Sebagai contoh ialahketika ia memberikan perlindungan kepadawarga pendatang di Kampung Ciapit yang merasaterancam oleh orang-orang yang menggugattanah mereka. Ia juga pernah mewakili seorangtetangganya, yang anaknya berurusan denganpolisi karena mencuri, untuk menyelesaikanmasalah secara kekeluargaan sehingga sanganak tidak masuk penjara. Timbal balik yangSurin dapatkan adalah dukungan dan kesetiaan.Dukungan dan kesetiaan itu tampak pada perananSurin yang besar dalam pengambilan keputusandi lingkungan tempat tinggalnya.

Pendapat dan pandangan Surin sangatdiperhitungkan oleh orang-orang di sekitarnya.Salah satu contohnya adalah peristiwamusyawarah untuk menentukan calon kepalaDesa Sukaberas yang dianggap dapat mewakiliKampung Galugur. Pada waktu itu, sekitar awaltahun 2008, Surin, dalam sebuah musyawarahdesa, mengusulkan agar Kampung Galugurmengorbitkan satu calon saja dan tidak usahterpaku pada asal atau tempat tinggal calon itu.Alasan Surin adalah agar suara masyarakat tidakpecah dan persatuan tetap terjaga.Menurut Surin,orang yang dekat baik secara genealogis maupunteritorial belum tentu membela masyarakatsecara habis-habisan. Oleh karena itu, hal yangperlu dilakukan adalah mencari orang yang baikdan berniat baik. Usulan Surin itu kemudian

menjadi kesepakatan.

Surin termasuk orang yang dipatuhi ataumenjadi panutan warga di sekitar tempattinggalnya. Para pemuda dan teman sejawatnyasangat mudah dimobilisasi oleh Surin. Contohkasusnya adalah ketika Surin tidak dapatmenghadiri undangan untuk menjadi tim suksesseorang calon dalam suatu pemilihan kepaladesa di Kabupaten Pandeglang, Surin mengutustemannya yang bernama Ipin. Contoh lainadalah ketika Surin harus berpatroli pada malamsebelum pencoblosan pada pemilihan kepaladesa sedangkan wilayah yang harus dikelilingisangat luas, Surin meminta bantuan para pemudadi kampungnya. Itulah timbal balik yang Surinterima sebagai seorang patron.

Kacung juga menjadi patron bagi beberapaorang di sekitarnya. Contohnya seorang pemudabernama Aan adalah salah satu klien Kacung.Aan mengenyam pendidikan hingga SLTAakan tetapi tidak bisa mendapatkan pekerjaanyang layak. Aan kadang-kadang menggantikanKacung untuk menarik uang iuran jasa keamanandi pasar. Sebagai anak buah dari seorang jawara,Aan sangat disegani oleh teman-temannya. Jadi,keuntungan yang Aan dapat dari hubungannyadengan Kacung adalah mendapatkan jatahmenarik iuran keamanan di pasar danpenghargaan dari orang lain. Di sisi lain, Kacungmendapatkan timbal balik berupa kesediaan Aanuntuk mengikuti setiap langkah Kacung tanpabanyak bertanya apalagi protes. Apabila Kacungmendukung seorang calon kepala desa, Aanmembantu Kacung menyukseskan calon tersebut.Aan juga menjadi semacam mata-mata Kacunguntuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinangangguan keamanan di pasar.

H. Tus juga adalah seorang patron bagisebagian orang di sekitarnya. Lapak H. Tus diCitari merupakan sumber penghidupan bagibanyak orang. Mereka dapat mengakses matapencaharian di lokasi itu tentu saja karenamemiliki hubungan dengan H. Tus. Mereka,di samping mendapatkan pekerjaan, tentu sajamendapatkan perlindungan. Mereka dapatmenjalankan pekerjaannya tanpa gangguan dari

Page 11: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

39

pihak lain, misalnya dari preman atau aparatyang berwenang.

Contoh lain, misalnya, pada peristiwarencana pendirian sekolah di daerah Cikeusik. H.Yahya meminta tolong agar H. Tus menggunakanpengaruh dan hubungan baiknya dengan parapejabat untuk menyampaikan bahwa masyarakatmenghendaki pendirian sekolah di lokasiyang dekat dengan pemukiman warga. Timbalbalik yang H. Tus terima adalah kesetiaan dandukungan dari orang-orang tersebut. RumahH. Tus sering didatangi oleh orang-orang untuksekedar bersilaturahmi. Rumahnya juga tidakpernah sepi, selalu ada pemuda, anak buah H.Tus, yang menjaga rumahnya. Para pemuda itujuga kadang-kadang tinggal serta makan danminum di rumah H. Tus.

Seorang jawara juga dapat menjadi kliendari orang lain, baik klien dari jawara lainatau klien dari orang yang bukan jawara. Surinsedari muda telah mengabdikan dirinya pada KiSurya, seorang ulama asal Kampung Galugur.Sekuat apapun kedudukan, Surin tetap patuhpada Ki Surya. Posisi Ki Surya yang memangcukup berada membuatnya mampu memberikanbantuan materi kepada Surin. Surin juga, dalamkadar tertentu, dihormati karena ia dekat denganKi Surya yang memang terpandang di Cikemasdan sekitarnya.

Kacung adalah klien dari H. Majid, seorangjawara di Cikemas. Nama Kacung mengorbitkarena pengaruh H. Majid. Kacung dekat denganH. Majid dan keluarganya semenjak remaja.Setelah dewasa, Kacung ditempatkan di PasarCikemas. Sebagai klien, Kacung sangat loyalkepada H. Majid dan keluarganya. Suatu kali,pada masa pemilihan bupati Serang, Kacungharus melawan kata hatinya demi kesetiaannyakepada sang patron dengan cara mendukungcalon yang tidak sesuai pilihannya.

Sementara itu, H. Tus merupakan kliendari seseorang bernama H. Iskandar. Iamelepaskan keberingasannya dan meninggalkanpekerjaannya sebagai pembunuh bayaran setelahH. Iskandar memberinya pekerjaan tetap sebagai“petugas keamanan” dan kurir di perusahaan

dan apotek miliknya. H. Iskandar membuat H.Tus “bersih” namanya karena dengan pekerjaantetap itu H. Tus dapat membina hubungandengan orang lain tanpa kekerasan. H. Iskandardan keluarganya juga sangat banyak membantuH. Tus secara ekonomi. Oleh karena itu, H. Tussangat menghormati dan mematuhi H. Iskandar.Ia mendedikasikan dirinya dua puluh empatjam sehari dan tujuh hari seminggu untuk H.Iskandar. Di samping hal-hal tersebut, H. Tustentu saja siap pasang badan untuk membela H.Iskandar beserta keluarganya termasuk semuaaset perusahaannya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa parajawara memiliki sumber daya atau aksesterhadap sumber daya sehingga mereka dapatmenjadi patron bagi banyak pihak. Hal ini sesuaidengan pendapat Scott (1977 dalam Suparlan,2005) yang mengemukakan bahwa patron harusmemiliki sejumlah sumber daya agar senantiasaeksis dan dapat mengembangkan kekuatansosialnya. Sumber daya yang dimaksud adalah:(1) pengetahuan dan keahlian; (2) sumber dayaekonomi dan sosial; dan (3) kekuasaan terhadaporang lain yang dikontrol secara langsung. Dalamhal ini, Surin adalah patron yang kurang mampusecara ekonomi tetapi ia menonjol dalam halpengetahuan dan keahlian tertentu serta memilikikekuasaan langsung terhadap orang lain. Surinmengajarkan ilmu kebatinan dan biasa dimintadoanya oleh orang-orang yang membutuhkan.Lain halnya dengan Kacung dan H. Tus, dapatdikatakan ia memiliki ketiga aspek sumber dayayang dibutuhkan untuk menjadi seorang patron.

B.4. Kekuasaan Jawara: Sumber danPerwujudannya

Sebagai sosok yang menonjol dan berperanpenting dalam masyarakat, jawara memilikisumber-sumber kekuasaan. Berdasarkan jenis-jenis sumber kekuasaan yang dikemukakan olehBudiardjo (1984), para jawara pada dasarnyamemiliki sumber kekuasaan yang berupakedudukan dan kepandaian atau keterampilan.Seorang jawara adalah sosok yang menempatikedudukan yang relatif tinggi di masyarakatnya.

Page 12: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

Tingginya kedudukan itu terkait dengan perananmereka di masyarakat, seperti telah diuraikandi atas. Kedudukan yang tinggi itu membuatjawara didengar pendapatnya, itu berarti merekaberpengaruh dalam menentukan tindakan oranglain. Seorang jawara juga memiliki kepandaiandan keterampilan yang dapat mempertahankankekuasaan, yaitu bela diri dan ilmu kebatinan.Ilmu bela diri dan ilmu kebatinanmenjadi sumberkekuasaan karena dengan dua hal tersebutseorang jawara dapat mempengaruhi tindakanorang lain.

Terkait dengan perwujudan kekuasaan,Gramsci (1991)mengemukakan bahwa kekuasaandipraktikkan dengan dua cara, yaitu dengan caradominasi dan dengan cara hegemoni. Dominasidilakukan dengan cara-cara kekerasan danrepresi sedangkan hegemoni dilakukan melaluikepemimpinan moral dan intelektual. Dalamhal ini, jawara mengoperasikan kekuasaannyadengan dua cara tersebut sesuai dengan konteksyang dihadapi. Surin, Kacung, dan H. Tusmewujudkan kekuasaan mereka dengan jalankekerasan jika diperlukan. Mereka menempuhjalan tersebut pada masa awal mereka merintisjalan hidup sebagai jawara. Pada masa tersebutmereka harus menunjukkan ilmu kedigdayaanmereka, yang merupakan sumber kekuasaan yangmereka andalkan. Pada masa awal ke-jawara-an,Surin adalah seorang pembunuh bayaran danterkenal dengan kemampuannya memanggilmusuh. Kacung juga dekat dengan kekerasan,olehsebab itu ia berpengalamanmenjadi debt collectordan pernah dipenjara karena kasus kekerasan. H.Tus bahkan sangat terkenal sebagai pembunuhbayaran. Ia menguasai lapak di Citari karena iabisa merebutnya dari Budi Motor yang ia bunuh.Namun, ketiga jawara itu tidak lagimengandalkankekerasan dalam menjalankan kekuasaan merekasetelah mereka menemukan “jalan”. Cara merekalebih banyak menebar kebaikan dengan jalanmembantu orang-orang di sekitarnya. Merekamemperbanyak hubungan dengan orang lain, baikorang yang berpengaruh maupun orang biasa.Mereka menggunakan kedudukan mereka yangtinggi untuk menonjolkan sisi kepemimpinanmereka sehingga masyarakat melihat mereka

sebagai sosok yang layak untuk dihormati.Dengan jalan seperti itulah mereka mewujudkandan merawat kekuasaan mereka.

B.5. Ranah Informal, Hubungan Patron-Klien, dan Kekuasaan Jawara

Lestarinya hubungan patron-klien antara parajawara dengan pihak-pihak lain terkait denganketergantungan masyarakat terhadap strukturinformal, kebanyakan didominasi oleh parajawara. Ketergantungan itu kemudian melahirkanperbedaan status di antara pihak-pihak yangterlibat. Dengan kata lain, ketergantungan itumenyebabkan adanya ikatan hak dan kewajiban diantara para pelaku.

Sintesis dari pendapat yang dikemukakan olehLeach (1982), Scott (1977 dalam Suparlan, 2005),dan Wolf (2001 dan 1966) mengenai hubunganpatron-klien adalah bahwa elemen-elemenketidakseimbangan, perasaan berhutang, danketergantungan sangat penting dalam hubunganpatron-klien. Ketiga hal tersebut juga berperandalam memungkinkan adanya aliran kekuasaandari satu pihak ke pihak yang lain. Dengankata lain, hubungan patron-klien menyiratkanperbedaan status, yang memungkinkan terjadinyaaliran kekuasaan. Dengan demikian, seorangpatron mendapatkan tambahan kekuasaan denganbertambahnya klien karena klien merupakansumber daya. Semakin banyak klien makasemakin banyak dukungan dan kesetiaan.

Seorang jawara menjadi semakin berkuasadengan banyaknya orang yang menjadi klien bagidirinya. Para klien itu berada dalam kuasa sangjawara karena para klien itu berada dalam posisiyang inferior. Hal itu kemudian memungkinkankekuasaan mengalir dari sang jawara ke arah paraklien. Lebih jauh lagi, relasi kekuasaan seperti ituhadir karena sang jawara, yang menjadi patron,memegang monopoli atas sumber daya tertentusehingga terjadi ketergantungan terhadapnya.Dengan demikian, sang jawara dengan mudahmendapatkan pembenaran atas tindakan yang ialakukan atau keputusan yang ia buat.

Terkait dengan institusionalisasi kekuasaanmelalui hubungan patron-klien, Barnes (1986)

Page 13: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

mengungkapkan adanya hubungan antara patrón-klien dan kekuasaan. Menurut Barnes, hubunganpatron-klien dapat memperkokoh kekuasaan dariorang-orang yang terlibat. Hubungan patron-klien membuat struktur kekuasaan berkembangdan menjadi stabil. Hal yang membuat hubunganpatron-klien berperan dalam mendapatkan,mengembangkan dan memperkokoh kekuasaandari pihak-pihak yang terlibat adalah, pertama,bahwa hubungan patron-klien memperluaskesempatan sosial. Hubungan patron-klienmembebaskan individu dari kungkunganpenggolongan askriptif seperti etnisitas sertapenggolongan lainnya. Kedua, hubungan patron-klien mengorganisir orang-orang. Hubunganpatron-klien mengintegrasikan populasi yangberagam serta blok-blok kekuasaan yang adadalam masyarakat. Ketiga, hubungan patron-klienadalah saranauntukmencapai kepentinganpolitik.

Para jawara mendapatkan, mengembangkan,dan memperkokoh kekuasaan mereka melaluihubungan patron-klien. Sebagai patron, merekamendapatkan dukungan dan kesetiaan yang berartitambahan bagi kekuasaan mereka. Sebagai klien,mereka mendapatkan perlindungan dan bantuanmateri yang tentu saja membuat mereka aman darigangguan dan kerentanan di masa sulit.

Kelanggengan hubungan patron-klien dankekuasaan para jawara itu berlangsung dalamkonteks dominannya struktur informal dalammasyarakat Banten. Seperti telah diungkapkanoleh Wolf (2001 dan 1966) bahwa strukturinformal hadir untuk mengelola sumber dayayang terlalu makan biaya atau terlalu sulit untukdikendalikan secara langsung oleh strukturformal. Hal tersebut berarti ketika akses terhadapsumber daya tidak diatur secara formal makayang tumbuh adalah struktur informal, yang salahsatunya mengejewantah dalam hubungan patron-klien.

E. PENUTUP

E.1. Kesimpulan

Para jawara memiliki peranan yang menonjoldalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan

ekonomi masyarakat Banten, dan senantiasadiharapkan oleh sebagian masyarakat Bantenkarenapranata-pranata sosial laindanmekanisme-mekanisme formal dalam masyarakat Bantenbelum dapat memenuhi kebutuhan warganya.Keterbelakangan dalam hal pendidikan danrendahnya kesejahteraan masyarakat membuatmereka sangat tergantung terhadap ranahinformal. Pada konteks masyarakat Banten yangseperti inilah para jawara memiliki kekuasaan.

Dalam rangka memperoleh, memperkuat,dan melanggengkan kekuasaan mereka, parajawara melakukan banyak hal yang menimbulkanperasaan berhutang bagi orang-orang yangterhubung denganmereka. Strategi ini merupakaninvestasi kepentingan para jawara terhadap orangyang berhutang padanya.

Perasaan berhutang itu mendorongterwujudnya pola hubungan sosial patron-kliendi antara pihak-pihak yang terlibat. Perasaanberhutang yang mewujud dalam hubunganpatron-klien tersebut kemudian menimbulkanaliran kekuasaan di antara mereka, jawara denganjawara atau jawara dengan orang bukan jawara.Hubungan patron-klien antar jawara biasanyaterjadi antara jawara gede dengan jawara leutiksehingga aliran kekuasaan mengalir di antarakeduanya. Aliran kekuasaan itu dipeliharakarena hal tersebut merupakan strategi merekauntuk mempertahankan posisi mereka sebagaipatron. Hubungan patron-klien mendatangkan,memperkuat, dan melanggengkan kekuasaanpara jawara. Semua hal itu lestari dalam konteksdominasi struktur informal dalam masyarakatBanten. Dalam konteks seperti itu, jawara leutikbanyak berperan dalam kehidupan masyarakatBanten.

E.2. Saran

Berdasarkan diskusi tentang jawara dalamtulisan ini, disarankan hal-hal sebagai berikut.Pertama, aparat keamanan dan pemerintahsecara umum perlu mengidentifikasi setiap tokohpenting dalam suatu ranah informal. Tokoh-tokohitu biasa diistilahkan sebagai pemimpin informal,para jawara adalah contohnya. Komunikasi dan

Page 14: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

42

koordinasi dengan para jawara sangat bermanfaatdalam mengawasi dan mengendalikan kondisikeamanan suatu kawasan.

Kedua, aparat keamanan dan pemerintahsecara umum perlu membuat pemetaan jaringanpatron-klien di antara para tokoh jawara. Hal inibermanfaat untuk mengendalikan kerawanansosial dan potensi gangguan keamanan. Jika adaseorang jawara membuat masalah, maka perlu“dikendalikan” melalui patronnya.

Ketiga, jawara sebagai pemimpin informaldapat dilibatkan dalam menyukseskan program-program pemerintah. Sebagai contoh, merekadapat dilibatkan dalam sosialisasi atau kampanyepilkada damai. Hal ini juga bermanfaat dalammencegahmereka berbuat hal-hal yangmelanggarhukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abrori, Ahmad. 2003. “Perilaku Politik JawaraBanten dalam Proses Politik di Banten”. TesisS-2 pada Program Pascasarjana SosiologiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Indonesia, Depok.

Barnes, Sandra T. 1986. Patrons and Power:Creating A Political Community inMetropolitan Lagos. Manchester: ManchesterUniversity Press.

Budiardjo, Miriam. 1984. “Konsep kekuasaan:Tinjauan kepustakaan”, dalam MiriamBudiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentangKuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan.Hlm. 9-29.

Creswell, John W. 2002. Research design:Qualitative, quantitative, and mixed methodapproaches (2nd edition). London: SagePublications.

Eisenstadt, Shmuel N. 1984. Patrons, Clients andFriends: Interpersonal Relations and TheStructure of Trust in Society. Cambridge:Cambridge University Press.

Gramsci, Antonio. 1991. Selection from PrisonNotebooks. London: Lawrence & Wishart.

Hamid, Abdul. 2004. “Peran jawara kelompok

Rawu terhadap kemenangan pasangan“Djoko-Atut” dalam pemilihan gubernurdan wakil gubernur Banten periode 2001-2006”. Skripsi S-1 pada Departemen IlmuPolitik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Indonesia, Depok.

_________. 2006. “Jawara dan PenguasaanPolitik Lokal di Banten”, dalam OkamotoMasaaki dan Abdur Rozaki (ed.), KelompokKekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi.Yogyakarta: IRE Press. Hlm. 67-90.

Handel, Gerald. 2000.Making A Life in Yorkville:Experience and Meaning in The Life- CourseNarrative of An Urban Working Class Man.London: Greenwood Press.

Hendrik, Herman. 2008. “Jawara Leutik: StudiMengenai Keragaman Fenomena Ke-jawara-an dalam Masyarakat Banten”. Skripsi S-1pada Departemen Antropologi Fakultas IlmuSosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,Depok.

Hudaeri, Mohamad, dkk. 2003. “Tasbih danGolok: Studi tentang Kharisma Kyai danJawara di Banten”. Jurnal Istiqro’, 2 (1), 1–21.

Karomah, Atu. 2003. “Jawara dan BudayaKekerasan pada Masyarakat Banten”. TesisS-2 pada Program Pascasarjana KriminologiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Indonesia, Depok.

Leach, Edmund. 1982. Social anthropology.Oxford: Oxford University Press.

Lubis, Nina Herlina. 2003. Banten dalamPergumulan Sejarah. Jakarta: LP3ES.

Romli, Lili. 2003. Potret Otonomi Daerah danWakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

_________. 2007. “Jawara dan PenguasaanPolitik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006).” Ringkasan Disertasi S-3 padaProgram Pascasarjana Ilmu Politik FakultasIlmu Sosial dan Ilmu Politik UniversitasIndonesia, Depok.

Scott, James C. 1972. “Patront-client Politicsand Political Change in Southeast Asia”. The

Page 15: Naskahditerima:25Februari2017;direvisi:10April2017

43

American Political Review, 66 (1), 91-113.

Suparlan, Parsudi. 2003. Suku Bangsa danHubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:Yayasan Pengembangan Kajian IlmuKepolisian (YPKIK) Press.

Tihami, M. A. 1992. “Kyai dan jawara diBanten: Studi tentang agama, magi, dankepemimpinan di Desa Pasanggrahan,Banten”. Tesis S-2 pada Fakultas Ilmu Sosialdan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,Depok.

Wolf, Eric. 1966. “Kinship, Friendship, andPatron-Client Relations in ComplexSocieties”, dalam Michael Banton (ed.), TheSocial Anthropology of Complex Societies.London: Routledge. Hlm. 1–23.

_________. 1990. “Distinguish Lecture:Facing Power-Old Insights, New Questions”.American Anthropologist, 92 (3), 587–596.

_________. 2001. Pathways of Power: BuildingAn Anthropology of The Modern World.Berkeley: University of California Press.