39
Acara I FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI ` Disusun oleh: Nama: Shannon Novia Sungkar NIM: 11.70.0016 Kelompok: E2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

Nata de Coco_Shannon_11.70.0016_E2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporan praktikum nata de coco kloter E kelompok 2. laporan ini meliputi proses pembuatan nata de coco dengan metode fermentasi dan dilakukan uji sensori karakteristiknya yaitu aroma, warna, kekenyalan dan rasa.

Citation preview

FERMENTASI SUBSTRAT CAIRFERMENTASI NATA DE COCO

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI

`Disusun oleh:Nama: Shannon Novia SungkarNIM: 11.70.0016Kelompok: E2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

Acara I201517

Contact us|Universities|History|Testimonies|Press|About us|Sitemap|Help|Essay help|RSS|Log in Plagiarism Report For 'lap fermen nata de coco.docx'How does Viper work.....?[+] Read more..LocationTitleWords MatchedMatch (%)Unique Words MatchedUnique Match (%)

Documents found to be plagiarised

000000

Matching Content:No Plagiarised Text FoundMaster Document TextFERMENTASI SUBSTRAT CAIRFERMENTASI NATA DE COCOLAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI`Disusun oleh:Nama: Shannon Novia SungkarNIM: 11.70.0016Kelompok: E2PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG2015HASIL PENGAMATANHasil pengamatan praktikum pembuatan nata de coco kloter C dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.Tabel 1.Hasil Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de Coco Yang DihasilkanKelTinggi MediaAwal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata07140714E12,800,40,4014,2914,29E22,600,50,4019,2315,38E31,300,50,8038,4661,54E4300,40,6013,3320E52,500,30,301212Berdasarkan tabel 1. Hasil Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de Coco yang dihasilkan dapat dilihat pada H-14 tinggi ketebalan nata tertinggi di hasilkan oleh kelompok E3 dengan tinggi 0,8 cm, tinggi ketebalan nata kedua dihasilkan oleh kelompok E4 dengan tinggi 0,6 cm. Tinggi ketebalan nata terendah dihasilkan oleh E5 dengan tinggi hanya 0,3 cm. Jika dilihat berdasarkan persen lapisan nata, maka E3 yang menghasilkan persen lapisan nata yang tertinggi yaitu 60,54%, dan E4 menghasilkan persen lapisan nata sebesar 20%. Sisa kelompok lainnya menghasilkan persen lapisan nata dibawah 20%Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de CocoKelompokAromaWarnaTeksturRasaE1++--E2++--E3++++++++-E4++--E5++--Keterangan:Aroma Warna TeksturRasa++++ : tidak asam++++ : putih ++++ : sangat kenyal++++ : sangat manis+++ : agak asam+++ : putih bening +++ : kenyal+++ : manis++ : asam++ : putih agak bening ++ : agak kenyal++ : agak manis+ : sangat asam+: bening + : tidak kenyal++ : tidak manisPada tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco dihasilkan minim data, hal ini dikarenakan hanya 1 kelompok saja yaitu E3 yang berhasil terbentuk nata yang sempurna dan tidak kontaminan. Nata yang dihasilkan E3 memiliki aroma yang tidak asam, warna yang bening, dan tekstur yang kenyal. Sedangkan pada percobaan nata ini untuk sensori rasa tidak diujikan pada nata yang terbentuk. Kelompok E1, E2, E4 dan E5 tidak ada nata yang terbentuk dan hanya bisa diamati aroma serta warnanya saja. Semua nata yang tidak jadi memiliki aroma yang sangat asam dan warnanya tetap bening, sedangkan untuk kekenyalan tidak dapat diuji sensorikan.PEMBAHASANPada praktikum kali ini dilakukan pembuatan nata de coco dengan menggunakan limbah air kelapa dengan metode fermentasi menggunakan starter nata de coco. Nata tergolong selulosa dengan bentuk padat, memiliki karakteristik warna putih dan transparan dan memiliki tekstur yang kenyal (Anastasia & Afrianto, 2008). Pada air kelapa terkandung nutrisi yang tinggi seperti air sebesar 91,23%, protein sebesar 0,29%, lemak sebesar 0,15%, karbohidrat sebesar 7,27%, abu sebesar 1,06%. Selain itu, juga mengandung asam pantotenat 0,52 mg, asam niotinat 0,01 mg, biotin 0,02 mg, riboflavin 0,01 mg, dan asam folat 0,003 mg/l (Palungkun, 1996). Pembuatannya, bahan baku yang dipilih harus memiliki komponen gula, mineral, protein dan karbohidrat yang tinggi yang dapat dipenuhi pada sari kedelai (untuk menghasilkan nata de soya), air kelapa (untuk menghasilkan nata de coco), pada sari dari buah nanas (untuk produksi nata de pina) dan pada sari buah dari mangga (untuk menghasilkan nata de mango) (Pambayun, 2002). Oleh sebab itu, pemilihan bahan baku pembuatan nata de coco sudah tepat sebab telah sesuai dengan teori yang ada. Hal ini juga diperkuat oleh Palungkun (1996) bahwa komponen gizi air kelapa yaitu sukrosa, fruktosa, dekstrosa, dan juga vitamin B kompleks. Komponen tersebut akan membantu pertumbuhan mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi, bakteri Acetobacter xylinum.Kandungan air di nata tergolong tinggi. Produk nata ini sering sekali dikonsumsi oleh masyarakat terutama sebagai produk makanan ringan (Anastasia & Afrianto, 2008). Nata de coco ini termasuk produk pangan yang diproduksi melalui fermentasi melalui Acetobacter xylinum menggunakan media substrat cair yaitu air kelapa (Santosa et al, 2012). Keunggulan menggunakan air kelapa sebagai substrat adalah keefisienannya (tidak butuh terlalu banyak tempat karena media cair), harga air kelapa tergolong murah, melimpah dan mudah ditemukan sehingga kontinuitas (keberlanjutannya) lebih terjamin, dan penyebab kontaminasi dapat dikurangi sebab produk ini termasuk produk alami dan bukan termasuk produk samping atau sisa dari suatu proses produksi. Sedangkan untuk kelemahannya, air kelapa yang digunakan ini dapat menjadi salah satu penyebab lingkungan menjadi rusak sebab merupakan isolat dalam fermentasi (Rahman, 1992).Pertama - tama pada proses pembuatan nata de coco ini adalah dengan pembuatan media. Langkah pertama, yaitu air kelapa disaring terlebih dahulu yang berfungsi sebagai tahapan penghasil media bersih, steril, dan bebas terutama dari kontaminan dan kotoran sehingga nantinya nata yang dihasilkan dapat memiliki karakteristik yang baik (Pato & Dwiloka, 1994). Tahapan selanjutnya adalah 10% gula pasir dari air kelapa yang digunakan kemudian dimasukkan ke dalam air kelapa tersebut dan diaduk sampai gula tersebut larut sambil dipanaskan. Konsentrasi 10% gula yang digunakan agar dapat menyediakan karbon bagi sumber unsur yang dibutuhkan yaitu karbon organik untuk Acetobacter xylinum. Sehingga, tenunan selulosa akan dapat dihasilkan (Awang, 1991). Acetobacter xylinum sehingga fermentasi berlangsung dengan baik. Dalam fermentasi, umumnya digunakan sumber karbon dari golongan monosakarida dan disakarida (yang paling banyak ditemui adalah sukrosa). Sukrosa yang banyak ditemui adalah yang dalam bentuk gula pasir (Pambayun, 2002). Oleh karena itu, pemilihan gula pasir sebagai sumber unsur organik yaitu karbon telah sesuai dengan teori. Pada percobaan digunakan gula pasir sebanyak 10% sebab pada konentrasi sekian, Acetobacter xylinum akan memberikan hasil lapisan nata tebal sehingga konsentrasi ini termasuk konsentrasi optimum gula jika ingin memproduksi nata de coco. Jika jumlah gula pasir lebih sedikit atau bahkan melebihi konsentrasi 10% maka tidak akan dimanfaatkan maksimal oleh Acetobacter xylinum (Sunarso, 1982). Selain berpengaruh kepada ketebalan nata, gula pasir ini juga turut menentukan karakteristik nata seperti penampakan, tekstur, flavor, dan pengawet (Hayati, 2003).Lalu, ammonium sulfat sebesar 0,5% ditambahkan, bertujuan agar kebutuhan sumber organik nitrogen dapat dipenuhi sehingga pertumbuhan mikroorganisme yaitu Acetobacter xylinum dapat mengalami fermentasi dengan baik (Awang, 1991). Sumber nitrogen untuk memproduksi nata de coco bisa diperoleh dari ammonium sulfat seperti yang digunakan saat praktikum, protein, ekstrak dari yeast, urea atau bisa juga dari ammonium fostat (ZA) (Pambayun, 2002). Tahap selanjutnya, asam cuka glasial ditambahkan agar dicapai pH 4 sampai 5. Menurut teori yang disampaikan oleh Pambayun (2002), asam asetat glacial dapat membantu menciptakan kondisi pH pada media agar diperoleh kondisi yang optimal. Selain itu, juga untuk mendapatkan suasana yang asam. Kondisi yang asam penting dalam mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum yang tumbuh di pH 4-4,5. Teori ini kemdian diperkuat oleh Anastasia & Afrianto (2008), untuk mendapatkan pH pada media untuk menghasilkan nata de coco perlu dilakukan penambahan asam atau sering disebut sebagai acidulan sehingga kondisi yang baik bagi Acetobacter xylinum dapat tercapai di mana pH yang diinginkan yaitu sekitar 4 sampai 5 untuk pertumbuhan optimal. Terakhir, air kelapa dipanaskan hingga gulanya larut kemudian disaring untuk memisahkan partikel-partikel besar yang masih tertinggal di air kelapa dan mengurangi kontaminasi serta kotoran sehingga fermentasi dapat berjalan baik (Pato & Dwiloka, 1994). Awang (1991) mengatakan bahwa Acetobacter xylinum mempunyai sifat khusus dan spesifik karena mampu menghasilkan selaput tebal yang terdapat di permukaan substrat yang cair seperti air kelapa sehingga diperoleh selulosa. Acetobacter xylinum termasuk bakteri yang tidak akan mampu untuk tumbuh pada pH rendah. Jika berada di pH rendah, Acetobacter xylinum akan mengeluarkan energi yang besar agar dapat menghindari stress. Akibatnya, aktivitas proses fermentasi akan terhenti karena energi sudah habis digunakan (Atlas, 1984).Nata de coco dapat dihasilkan sebab selama fermentasi glukosa akan diambil oleh Acetobacter xylinum yang kemudian akan menyatu bersama asam lemak. Setelah itu, akan dibentuk prekursor yang menjadi penciri nata di membran sel dari bakteri penghasil nata di mana akan dikeluarkan secara ekskresi. Dengan bantuan enzim terutama yang dapat mempolimerisasikan glukosa, glukosa tersebut akan dikonversi menjadi komponen-komponen selulosa (Palungkun, 1996). Teori ini juga dikatakan oleh Rahayu et al (1993) yaitu jika pada substrat dengan kandungan gula diberikan kultur Acetobacter xylinum untuk tumbuh, maka gula dalam substrat akan dibentuk menjadi selulosa. Komponen ini akan terakumulasi ekstraseluler ke bentuk pelikel-pelikel. Selain teori-teori di atas, ada juga teori yang mengatakan bahwa dengan fermentasi pembuatan nata, kandungan gula pada substrat akan dipecah oleh Acetobacter xylinum sehingga diperoleh polisakarida yaitu selulosa. Acetobacter xylinum akan terus menghasilkan benang serat yang banyak dan berlangsung kontinyu sehingga semakin lama akan makin tebal dan menghasilkan jaringan yang kuat. Jaringan inilah yang pada akhirnya disebut sebagai pelikel nata (Rahman, 1992).Tersebut adalah proses pembuatan media nata. Tahap ini penting sebab media yang dibuat akan membantu pertumbuhan bakteri nata dengan menyediakan nutrisi yang dibutuhkan. Bakteri yang didukung terutama adalah bakteri Acetobacter xylinum yang digunakan dalam praktikum ini. Volk & Wheeler (1993) mendukung bahwa media yang dibuat akan menyediakan makanan sehingga biakan dapat tumbuh subur, agar dapat memperoleh biakan murni. Selain itu, untuk menunjang kondisi lingkungan agar kelangsungan hidup mikroorganisme yang jumlahnya banyak lebih terjamin. Nata de coco adalah salah satu produk pangan yang memiliki potensi sebagai sumber selulosa murni (Halib et al., 2012 di dalam jurnal physicochemical properties and characterization of nata de coco from local food industries as a source of cellulose).Mesomya et al. (2006) menyampaikan dalam effects of health food from cereal and nata de coco on serum lipids in human bahwa sesungguhnya nata de coco ini sangat baik dan aman untuk dikonsumsi sebab dapat membantu mengontrol berat badan dan juga membantu dalam pencegahan kanker seperti kolon dan rektum dengan kandungan selulosa yang tinggi, kandungan lemak dan kalori rendah serta tidak mengandung kolesterol. Teori lainnya yang mengatakan bahwa produk ini sehat adalah Hernaman (2007) di dalam Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolisme Lemak serta Penyerapan Mineral. Beliau mengatakan bahwa nata mempunyai serat pangan. Komponen ini sangat baik sebab tidak akan mengganggu lemak dan mineral yang akan diserap tubuh dan baik untuk diet. Setelah proses pembuatan media selesai, dilanjutkan proses fermentasi dengan mengambil 100 ml media yang tadi dibuat dan media tersebut dimasukkan ke wadah dari plastic yang sebelumnya telah disemprotkan dengan alkohol. Lalu, ditambahkan ke media tersebut biang nata (starter) dengan konsentrasi 10% dari media yang digunakan secara aseptis. Pato & Dwiloka (1994) menyampaikan bahwa jumlah starter untuk memproduksi nata idealnya 4-10%. Jika jumlah starter tidak sesuai akan menyebabkan karakteristik nata tidak sesuai dengan standar yang ada. Teori ini juga diperkuat oleh Misgiyarta (2007) bahwa substrat air kelapa untuk menghasilkan nata de coco sebaiknya diinokulasi menggunakan starter dengan jumlah 10% (v/v).Kemudian, diaduk secara perlahan agar homogen dan ditutup menggunakan kertas coklat. Tujuan dari penutupan menggunakan kertas dan tidak menggunakan tutup tolpes adalah agar tidak terlalu tertutup sehingga oksigen masih bisa masuk sebab Acetobacter xylinum tergolong bakteri aerob yang membutuhkan oksigen dalam proses pertumbuhannya. Selain itu, juga untuk mengurangi resiko kontaminasi dari lingkungan sekitar sehingga dapat diperoleh nata dengan karakteristik yang baik (Pambayun, 2002).Selanjutnya adalah tahap inkubasi. Tahap ini dilakukan selama 2 minggu di suhu ruang dan tidak terpapar cahaya. Selama tahap inkubasi, wadah plastik tidak boleh terangkat atau tergoyang yang bertujuan agar nata (lapisannya) tidak terpisah saat terbentuk nanti.Pambayun (2002) menyampaikan bahwa Acetobacter xylinum untuk inkubasinya membutuhkan suhu ruang sehingga pertumbuhanya dapat optimal. Jika diletakkan pada suhu di atas 40C akan menyebabkan Acetobacter xylinum mati. Jika terlalu rendah, pertumbuhannya akan sangat terhambat. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa agar nata menghasilkan ketebalan paling optimum, fermentasi dapat dilakukan 10-14 hari di suhu ruang atau 28-32C (Rahayu et al., 1993). Jika ada gangguan terutama saat inkubasi (fermentasi), berupa goyangan atau gangguan lainnya, lapisan nata yang mulai terbentuk dapat turun ke bawah bahkan lapisan tersebut bisa pecah (Palungkun, 1996). Oleh sebab itu, cara kerja yang dilakukan pada praktikum ini telah sesuai dengan teori yang disampaikan.Pengamatan dilakukan saat hari ke - 0 dengan mengukur tinggi media dan juga pada mulainya terbentuk lapisan di cairan permukaan, pada hari ke-7 dan ke -14. Pada praktikum, persentase kenaikan pada ketebalan nata yang dihasilkan dihitung menggunakan formulasi:Parameter yang menunjukkan kapan fermentasi yang dilakukan telah selesai dan tingkat keberhasilannya adalah dengan adanya lapisan putih di permukaan (Rahman, 1992). Gunsalus & Staines (1962) menyampaikan bahwa pada tahap fermentasi bisa dihasilkan lapisan nata sebab adanya selulosa dari pembentukan miofibril dengan memanfaatkan glukosa dalam media. Nata yang baik akan terangkat ke atas cairan sebab dihasilkan gas CO2. Mekanisme terbentuk lapisan nata yang baik sesuai Hamad et al (2011) di dalam Pengaruh Penambahan Sumber Karbon pada Kondisi Fisik Nata De Coco yaitu glukosa (Glukokinase) akan diuraikan menjadi glukosa-6-fosfat (Fosfoglukomutase). Selanjutnya, akan dipecah menjadi glukosa-1-fosfat (UDP-Glukosa Pirofosforilase) dan UDP-Glukosa. Komponen inilah yang akan melakukan proses penghasilan selulosa.Untuk pengamatan mengenai ketebalan nata yang dihasilkan, dapat diketahui bahwa pada kelompok E1, dengan ketebalan media awal 2,8 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,4 cm pada hari ke-7 dan 0,4 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 14,29% dan 14,29%. Pada kelompok E2, dengan ketebalan media awal 2,6 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,5 cm pada hari ke-7 dan 0,4 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 19,23% dan 15,38%. Pada kelompok E3, dengan ketebalan media awal 1,3 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,5 cm pada hari ke-7 dan 0,8 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 38,46% dan 61,54%. Pada kelompok E4, dengan ketebalan media awal 3 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,4 cm pada hari ke-7 dan 0,6 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 13,33% dan 20%. Pada kelompok E5, dengan ketebalan media awal 2,5 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,3 cm pada hari ke-7 dan 0,3 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 12% dan 12%. Dari data yang diperoleh dapat kita lihat bahwa ketinggian nata tertinggi dicapai oleh kelompok E3 dengan persentasi lapisan nata pada hari ke 14 adalah 61,54% dan hanya kelompok E3 yang jadi menghasilkan nata, sedangkan kelompok lain nata tidak dapat dihasilkan hal ini dikarenakan adanya kontaminan dari mikroorganisme lain sehingga nata tidak dapat terbentuk.Pada kelompok E2, nata yang dihasilkan mengalami penurunan ketebalan pada hari ke 14. Hasil yang diperoleh ini tidak sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Lapuz et al (1967) bahwa jika waktu untuk inkubasi atau fermentasi makin lama, akan menyebabkan nata yang dihasilkan semakin tebal dan persentasenya meningkat. Setelah inkubasi melewati 24 jam, biasanya media menjadi keruh karena adanya pertumbuhan Acetobacter xylinum. Pembentukan lapisan yang transparan di permukaan substrat akan mulai tampak dan semakin kompak mulai waktu 36-48 jam. Pada saat ini, tidak boleh ada gangguan sebab akan menyebabkan lapisan tenggelam. Selain itu, lapisan-lapisan baru masih bisa terbentuk. Teori ini diperkuat Anastasia & Afrianto (2008) juga bahwa Acetobacter xylinum akan terus melakukan pemecahan gula pada media menjadi selulosa. Oleh sebab itulah lapisan nata mengalami peningkatan.Pada kelompok E2, hasil yang diperoleh memang tidak sesuai dengan teori yang disebutkan di atas. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor seperti kandungan gula dalam media telah diurai seluruhnya oleh Acetobacter xylinum sehingga pada hari ke-14 akan menghasilkan ketebalan nata yang menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahman (1992) bahwa kandungan gula, pH dan suhu sangat menentukan karakteristik nata de coco yang dihasilkan. Walaupun digunakan media dengan ukuran yang sama, namun ternyata nata de coco yang dihasilkan memiliki ketinggian yang berbeda antarkelompok. Hal ini dapat disebabkan karena wadah juga berbeda. Ketinggian media awal yang ada pada wadah akan mempengaruhi ketebalan sebab wadah ini berbeda dalam ketinggian dan luas permukaan. Jika dibuat di wadah permukaan luas dan dangkal, nata yang dihasilkan juga akan memiliki ketebalan tinggi sebab jika wadah yang sempit luas permukaannya (walaupun dalam) akan menyulitkan dalam persediaan oksigen. Akibatnya, nata akan memiliki ketebalan rendah (Mashudi, 1993).Pada praktikum pembuatan nata de coco kali ini, pada hari ke - 14 hanya ada 1 kelompok yang berhasil membuat nata de coco yaitu E3 dan kelompok sisanya mengalami kontaminan sehingga nata yang terbentuk tidak jadi. Karena itulah uji sensori tidak dapat seluruhnya diujikan pada nata. Uji sensori yang dapat dilakukan pada seluruh kelompok adalah karakteristik aroma dan warna, sedangkan untuk kelompok E3 karena nata yang terbantuk jadi maka ditambahkan karakteristik kekenyalan yang diujikan. Untuk karakteristik rasa, tidak diujikan pada seluruh kelompok. Karakteristik aroma pada pengamatan nata kali ini adalah seluruh kelompok kecuali E3 menghasilkan nata yang memiliki aroma yang sangat asam dan untuk kelompok E3 nata yang dihasilkan memiliki aroma tidak asam. Menurut pendapat yang disampaikan Astawan & Astawan (1991) Aroma asam juga mengindikasikan proses fermentasi telah berlangsung. Pernyataan ini disampaikan oleh Anastasia & Afrianto (2008). Halib et al. (2012) juga mengatakan bahwa Acetobacter xylinum dapat mengubah gula menjadi selulosa dan asam asetat sehingga dapat menimbulkan aroma yang asam. Namun, aroma nata yang baik seharusnya tidak beraroma asam.Selanjutnya, untuk analisis sensori warna, semua kelompok memiliki warna bening. Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa nata de coco memiliki bentuk yang padat, kuat, kokoh, dan memiliki warna yang bening (Santosa et al, 2012). Warna pada nata yang seharusnya dihasilkan memang tidak bening melainkan sedikit keruh sebab pada air kelapa yang ditumbuhi Acetobacter xylinum dapat memberikan warna sedikit keruh akibat fermentasi, gula dan kandungan asam (Astawan & Astawan, 1991). Acetobacter xylinum dapat memberikan kekeruhan karena dapat membentuk endapan dengan mendegradasi substrat. Selain itu, gula yang beraksi dengan nitrogen juga dapat menentukan kekeruhan (Rahman, 1992). Kesalahan ini mungkin terjadi karena pengamatan dilakukan pada wadah yang digunakan untuk fermentasi bukan pada saat nata setelah dimasak, sehingga nata yang dihasilkan masih terlihat bening.Untuk pengamatan karakteristik tekstur hanya dilakukan pada kelompok E3 karena berhasil membentuk nata, sedangkan untuk kelompok lainnya tidak dilakukan uji untuk tekstur ini. Hasil yang diperoleh kelompok E3 ini adalah sangat kenyal. Hasil ini menunjukkan bahwa tekstur nata yang dihasilkan sangat kenyal sehingga telah sesuai dengan pendapat Santosa et al., (2012) bahwa nata de coco memiliki bentuk yang padat, kuat, kokoh, warna dan kenyal. Menurut Arsatmodjo (1996), kekenyalan nata ditentukan komponen serat atau selulosa di mana jika semakin banyak selulosa, nata akan meingkat kekenyalannya dan ketebalannya ikut meningkat. Jika selulosa semakin tebal, maka air yang menuju rongga-rongga selulosa semakin banyak juga. Akibatnya, kekenyalan semakin tinggi dan kekenyalan ini akan berbanding dengan lurus terhadap ketebalan seperti yang diungkapkan oleh Anastasia & Afrianto (2008). Pada pembuatan nata kali ini dikarenakan setiap kelompok nata yang dibentuk tidak terbentuk secara sempurna maka untuk uji sensori rasa tidak dilakukan untuk semua kelompok maupun untuk kelompok E3 yang notabene nata yang dibuat terbentuk, tetapi kurang sempurna.Dalam proses pembuatan nata di praktikum ini terutama dalam pembuatan media telah sesuai dengan teori Jagannath et al (2008). Beliau mencantumkan dalam jurnalnya yaitu the effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum bahwa dalam memproduksi nata de coco, sukrosa yang digunakan sebaiknya memiliki konsentrasi 10%. Selain itu, untuk sumber nitrogen dapat digunakan ammonium sulfat 0,5 %. Untuk kondisi pH yang terbaik yaitu tercapainya pH 4. Sedangkan pada praktikum, kondisi pH berkisar antara 4 hingga 5. Menurut teori yang disampaikan Czaja et al. (2004), untuk menghasilkan selulosa bisa dengan dua cara, yaitu kultur stasioner di mana selulosa akan terkumpul di permukaan medium (yang digunakan saat praktikum) dan kultur teragitasi di mana jaringan selulosa akan disintesis di media dengan berbentuk suspensi berserat, massa tidak beraturan atau pelet.KESIMPULANAir kelapa menjadi substrat tepat untuk Acetobacter xylinum karena mengandung karbohidrat, protein, mineral, vitamin, dan nutrisi lainnya.Acetobacter xylinum dapat menghasilkan jaringan selulosa yang menebal (nata) saat difermentasi. Konsentrasi gula sukrosa 10%, ammonium sulfat 0,5%, dan pH 4 dapat memberi kondisi optimal bagi Acetobacter xylinum. Gula pasir berfungsi sebagai sumber karbon dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen bagi Acetobacter xylinum.Starter nata yang baik untuk ditambahkan berjumlah 4-10%.Adanya gula dan asam dapat menyebabkan warna nata menjadi keruh.Jika waktu untuk inkubasi (fermentasi) lama, maka nata akan makin tebal.Pembuatan nata de coco dilakukan dengan fermentasi air kelapa menggunakan Acetobacter xylinum.Nata yang baik seharusnya tidak beraroma asam.Pemasakan nata dengan menggunakan gula agar dapat menghasilkan nata dengan rasa yang manis.Jika gula ditambahkan semakin banyak, maka rasa akan semakin manis juga.Fermentasi nata akan memproduksi selulosa dan juga asam asetat yang dapat mempengaruhi karakteristik nata.Wadah yang digunakan akan mempengaruhi ketebalan nata yang dihasilkan di mana jika wadah luas permukaannya, nata yang dihasilkan akan lebih tinggi atau tebal.Semarang, 9 Juli 2015Asisten dosen:Wulan AprilianaNies Mayangsari Shannon Novia Sungkar 11.70.0016DAFTAR PUSTAKAAnastasia, N. dan Afrianto, E. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.Arsatmodjo, E. (1996). Formulasi Pembuatan Nata de Pina. IPB. Bogor.[Skripsi]Astawan, M. dan M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.Atlas, R.M. (1984). Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.Awang, S.A. (1991). Kelapa: Kajian Sosial-Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004). Structural Investigations Of Microbial Cellulose Produced In Stationary And Agitated Culture. Cellulose 11: 403-411.Gunsalus, I.C. and Staines, R.Y. (1962). The Bacteria A Treatise On Structure & Function. Academic Press. New York.Halib, N.; Mohd, C.I.M.A. and Ishak, A. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana Journal 41(2)(2012): 205-211Hamad, A.; Andriyani, N.A.; Wibisono, H. dan Sutopo, H. (2011). Pengaruh Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata De Coco. Jurnal Teknik Kimia Vol 12 (2): 74-77.Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.Hernaman, I.; Kamil, K.A.; Mayasari, N. dan Salim, M.A. (2007). Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolism Lemak dan Penyerapan Mineral. Jurnal Peternakan Universitas Padjadjaran Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati. Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The Effect Of pH, Sucrose And Ammonium Sulphate Concentrations On The Production Of Bacterial Cellulose (Nata-De-Coco) By Acetobacter xylinum.World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:2593 - 2599.Lapuz, M.M.; Gallardo, E.G. and Palo, M.A. (1967). The Nata Organism Cultural. Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science Vol 96.Mashudi. (1993). Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Struktur Gel Nata de coco. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi, Fateta. IPB. Bogor.[ Skripsi]Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.; Duangchan, H.; Pramote, T. and Plernchai, T. (2006). Effects of Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human. Journal Science Technology 28(Suppl. 1): 23-28.Misgiyarta. (2007). Teknologi Pembuatan Nata de Coco. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.Pato, U. dan Dwiloka, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 - 77.Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.Santosa, B.; Ahmad, K.; and Domingus, T. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE) Vol. 1:6-11.Soekarto. (1985). Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara. Jakarta.Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. UGM. Yogyakarta.[ Skripsi]Volk, W.A. and M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.LAMPIRAN PerhitunganRumus:Persentase Lapisan Nata = Kelompok E1H7 Persentase Lapisan Nata = = 14,29 %H14 Persentase Lapisan Nata = = 14,29 %Kelompok E2H7 Persentase Lapisan Nata = = 19,23 %H14 Persentase Lapisan Nata = = 15,38 %Kelompok E3H7 Persentase Lapisan Nata = = 38,46 %H14 Persentase Lapisan Nata = = 61,54 %Kelompok E4H7 Persentase Lapisan Nata = = 13,33 %H14 Persentase Lapisan Nata = = 20 %Kelompok E5H7 Persentase Lapisan Nata = = 12%H14 Persentase Lapisan Nata = = 12% Laporan Sementara Abstrak Jurnal15Acara I16 Plagiarism Detection Software Plagiarism Test Plagiarism Detector Detect Plagiarism Essay Checker|Free Check for Plagiarism Lesson plans Avoid Plagiarism Plagiarism Check Plagiarism Prevention Turnitin|Check for Plagiarism Free Editing Services Coursework writingCopyright 2012 All Rights Reserved.Scan My Essay- Free Plagiarism Scanner, Checker and Detection Tool. Viper and ScanMyEssay.com are trading names of Angel Business Limited, a Company registered in England and Wales with Company Registration No: 07344835, The Loft, 3 Plumptre Street, The Lace Market, Nottingham NG1 1JL |Warning - Viper Keygen / Viper CrackPlease note that by using ScanMyEssay.com, VIPER and any other software or resources on the ScanMyEssay Website, you are signifying your agreement to ourterms and conditions, and ourprivacy policy|XML sitemap|ROR|TXT|HTML|PHP||Verificador de plagio gratuito|Dtecteur de plagiat gratuit|Viper ...

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan praktikum pembuatan nata de coco kloter C dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1.Hasil Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de Coco Yang Dihasilkan

KelTinggi MediaAwal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata

07140714

E12,800,40,4014,2914,29

E22,600,50,4019,2315,38

E31,300,50,8038,4661,54

E4300,40,6013,3320

E52,500,30,301212

Berdasarkan tabel 1. Hasil Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de Coco yang dihasilkan dapat dilihat pada H-14 tinggi ketebalan nata tertinggi di hasilkan oleh kelompok E3 dengan tinggi 0,8 cm, tinggi ketebalan nata kedua dihasilkan oleh kelompok E4 dengan tinggi 0,6 cm. Tinggi ketebalan nata terendah dihasilkan oleh E5 dengan tinggi hanya 0,3 cm. Jika dilihat berdasarkan persen lapisan nata, maka E3 yang menghasilkan persen lapisan nata yang tertinggi yaitu 60,54%, dan E4 menghasilkan persen lapisan nata sebesar 20%. Sisa kelompok lainnya menghasilkan persen lapisan nata dibawah 20%

Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco

KelompokAromaWarnaTeksturRasa

E1++--

E2++--

E3++++++++-

E4++--

E5++--

Keterangan:Aroma Warna TeksturRasa++++ : tidak asam++++ : putih ++++ : sangat kenyal++++ : sangat manis+++ : agak asam+++ : putih bening +++ : kenyal+++ : manis++ : asam++ : putih agak bening ++ : agak kenyal++ : agak manis+ : sangat asam+ : bening + : tidak kenyal++ : tidak manis

Pada tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco dihasilkan minim data, hal ini dikarenakan hanya 1 kelompok saja yaitu E3 yang berhasil terbentuk nata yang sempurna dan tidak kontaminan. Nata yang dihasilkan E3 memiliki aroma yang tidak asam, warna yang bening, dan tekstur yang kenyal. Sedangkan pada percobaan nata ini untuk sensori rasa tidak diujikan pada nata yang terbentuk. Kelompok E1, E2, E4 dan E5 tidak ada nata yang terbentuk dan hanya bisa diamati aroma serta warnanya saja. Semua nata yang tidak jadi memiliki aroma yang sangat asam dan warnanya tetap bening, sedangkan untuk kekenyalan tidak dapat diuji sensorikan.

16

2. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan nata de coco dengan menggunakan limbah air kelapa dengan metode fermentasi menggunakan starter nata de coco. Nata tergolong selulosa dengan bentuk padat, memiliki karakteristik warna putih dan transparan dan memiliki tekstur yang kenyal (Anastasia & Afrianto, 2008). Pada air kelapa terkandung nutrisi yang tinggi seperti air sebesar 91,23%, protein sebesar 0,29%, lemak sebesar 0,15%, karbohidrat sebesar 7,27%, abu sebesar 1,06%. Selain itu, juga mengandung asam pantotenat 0,52 mg, asam niotinat 0,01 mg, biotin 0,02 mg, riboflavin 0,01 mg, dan asam folat 0,003 mg/l (Palungkun, 1996). Pembuatannya, bahan baku yang dipilih harus memiliki komponen gula, mineral, protein dan karbohidrat yang tinggi yang dapat dipenuhi pada sari kedelai (untuk menghasilkan nata de soya), air kelapa (untuk menghasilkan nata de coco), pada sari dari buah nanas (untuk produksi nata de pina) dan pada sari buah dari mangga (untuk menghasilkan nata de mango) (Pambayun, 2002). Oleh sebab itu, pemilihan bahan baku pembuatan nata de coco sudah tepat sebab telah sesuai dengan teori yang ada. Hal ini juga diperkuat oleh Palungkun (1996) bahwa komponen gizi air kelapa yaitu sukrosa, fruktosa, dekstrosa, dan juga vitamin B kompleks. Komponen tersebut akan membantu pertumbuhan mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi, bakteri Acetobacter xylinum.

Kandungan air di nata tergolong tinggi. Produk nata ini sering sekali dikonsumsi oleh masyarakat terutama sebagai produk makanan ringan (Anastasia & Afrianto, 2008). Nata de coco ini termasuk produk pangan yang diproduksi melalui fermentasi melalui Acetobacter xylinum menggunakan media substrat cair yaitu air kelapa (Santosa et al, 2012). Keunggulan menggunakan air kelapa sebagai substrat adalah keefisienannya (tidak butuh terlalu banyak tempat karena media cair), harga air kelapa tergolong murah, melimpah dan mudah ditemukan sehingga kontinuitas (keberlanjutannya) lebih terjamin, dan penyebab kontaminasi dapat dikurangi sebab produk ini termasuk produk alami dan bukan termasuk produk samping atau sisa dari suatu proses produksi. Sedangkan untuk kelemahannya, air kelapa yang digunakan ini dapat menjadi salah satu penyebab lingkungan menjadi rusak sebab merupakan isolat dalam fermentasi (Rahman, 1992).Pertama tama pada proses pembuatan nata de coco ini adalah dengan pembuatan media. Langkah pertama, yaitu air kelapa disaring terlebih dahulu yang berfungsi sebagai tahapan penghasil media bersih, steril, dan bebas terutama dari kontaminan dan kotoran sehingga nantinya nata yang dihasilkan dapat memiliki karakteristik yang baik (Pato & Dwiloka, 1994) (gambar 1). Tahapan selanjutnya adalah 10% gula pasir dari air kelapa yang digunakan kemudian dimasukkan ke dalam air kelapa tersebut dan diaduk sampai gula tersebut larut sambil dipanaskan. Konsentrasi 10% gula yang digunakan agar dapat menyediakan karbon bagi sumber unsur yang dibutuhkan yaitu karbon organik untuk Acetobacter xylinum. Sehingga, tenunan selulosa akan dapat dihasilkan (Awang, 1991). Acetobacter xylinum sehingga fermentasi berlangsung dengan baik. Dalam fermentasi, umumnya digunakan sumber karbon dari golongan monosakarida dan disakarida (yang paling banyak ditemui adalah sukrosa). Sukrosa yang banyak ditemui adalah yang dalam bentuk gula pasir (Pambayun, 2002). Oleh karena itu, pemilihan gula pasir sebagai sumber unsur organik yaitu karbon telah sesuai dengan teori. Pada percobaan digunakan gula pasir sebanyak 10% sebab pada konentrasi sekian, Acetobacter xylinum akan memberikan hasil lapisan nata tebal sehingga konsentrasi ini termasuk konsentrasi optimum gula jika ingin memproduksi nata de coco. Jika jumlah gula pasir lebih sedikit atau bahkan melebihi konsentrasi 10% maka tidak akan dimanfaatkan maksimal oleh Acetobacter xylinum (Sunarso, 1982). Selain berpengaruh kepada ketebalan nata, gula pasir ini juga turut menentukan karakteristik nata seperti penampakan, tekstur, flavor, dan pengawet (Hayati, 2003).

Gambar 1. Proses penyaringan air kelapa

Lalu, ammonium sulfat sebesar 0,5% ditambahkan, bertujuan agar kebutuhan sumber organik nitrogen dapat dipenuhi sehingga pertumbuhan mikroorganisme yaitu Acetobacter xylinum dapat mengalami fermentasi dengan baik (Awang, 1991). Sumber nitrogen untuk memproduksi nata de coco bisa diperoleh dari ammonium sulfat seperti yang digunakan saat praktikum, protein, ekstrak dari yeast, urea atau bisa juga dari ammonium fostat (ZA) (Pambayun, 2002). Tahap selanjutnya, asam cuka glasial ditambahkan agar dicapai pH 4 sampai 5. Menurut teori yang disampaikan oleh Pambayun (2002), asam asetat glacial dapat membantu menciptakan kondisi pH pada media agar diperoleh kondisi yang optimal. Selain itu, juga untuk mendapatkan suasana yang asam. Kondisi yang asam penting dalam mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum yang tumbuh di pH 4-4,5. Teori ini kemdian diperkuat oleh Anastasia & Afrianto (2008), untuk mendapatkan pH pada media untuk menghasilkan nata de coco perlu dilakukan penambahan asam atau sering disebut sebagai acidulan sehingga kondisi yang baik bagi Acetobacter xylinum dapat tercapai di mana pH yang diinginkan yaitu sekitar 4 sampai 5 untuk pertumbuhan optimal. Terakhir, air kelapa dipanaskan hingga gulanya larut kemudian disaring untuk memisahkan partikel-partikel besar yang masih tertinggal di air kelapa dan mengurangi kontaminasi serta kotoran sehingga fermentasi dapat berjalan baik (Pato & Dwiloka, 1994). Proses pada gambar 2.

Gambar 2. Penambahan Ammonium sulfat agar mencapai pH yang sesuai

Awang (1991) mengatakan bahwa Acetobacter xylinum mempunyai sifat khusus dan spesifik karena mampu menghasilkan selaput tebal yang terdapat di permukaan substrat yang cair seperti air kelapa sehingga diperoleh selulosa. Acetobacter xylinum termasuk bakteri yang tidak akan mampu untuk tumbuh pada pH rendah. Jika berada di pH rendah, Acetobacter xylinum akan mengeluarkan energi yang besar agar dapat menghindari stress. Akibatnya, aktivitas proses fermentasi akan terhenti karena energi sudah habis digunakan (Atlas, 1984).

Nata de coco dapat dihasilkan sebab selama fermentasi glukosa akan diambil oleh Acetobacter xylinum yang kemudian akan menyatu bersama asam lemak. Setelah itu, akan dibentuk prekursor yang menjadi penciri nata di membran sel dari bakteri penghasil nata di mana akan dikeluarkan secara ekskresi. Dengan bantuan enzim terutama yang dapat mempolimerisasikan glukosa, glukosa tersebut akan dikonversi menjadi komponen-komponen selulosa (Palungkun, 1996). Teori ini juga dikatakan oleh Rahayu et al (1993) yaitu jika pada substrat dengan kandungan gula diberikan kultur Acetobacter xylinum untuk tumbuh, maka gula dalam substrat akan dibentuk menjadi selulosa. Komponen ini akan terakumulasi ekstraseluler ke bentuk pelikel-pelikel. Selain teori-teori di atas, ada juga teori yang mengatakan bahwa dengan fermentasi pembuatan nata, kandungan gula pada substrat akan dipecah oleh Acetobacter xylinum sehingga diperoleh polisakarida yaitu selulosa. Acetobacter xylinum akan terus menghasilkan benang serat yang banyak dan berlangsung kontinyu sehingga semakin lama akan makin tebal dan menghasilkan jaringan yang kuat. Jaringan inilah yang pada akhirnya disebut sebagai pelikel nata (Rahman, 1992).

Tersebut adalah proses pembuatan media nata. Tahap ini penting sebab media yang dibuat akan membantu pertumbuhan bakteri nata dengan menyediakan nutrisi yang dibutuhkan. Bakteri yang didukung terutama adalah bakteri Acetobacter xylinum yang digunakan dalam praktikum ini. Volk & Wheeler (1993) mendukung bahwa media yang dibuat akan menyediakan makanan sehingga biakan dapat tumbuh subur, agar dapat memperoleh biakan murni. Selain itu, untuk menunjang kondisi lingkungan agar kelangsungan hidup mikroorganisme yang jumlahnya banyak lebih terjamin. Nata de coco adalah salah satu produk pangan yang memiliki potensi sebagai sumber selulosa murni (Halib et al., 2012 di dalam jurnal physicochemical properties and characterization of nata de coco from local food industries as a source of cellulose).

Mesomya et al. (2006) menyampaikan dalam effects of health food from cereal and nata de coco on serum lipids in human bahwa sesungguhnya nata de coco ini sangat baik dan aman untuk dikonsumsi sebab dapat membantu mengontrol berat badan dan juga membantu dalam pencegahan kanker seperti kolon dan rektum dengan kandungan selulosa yang tinggi, kandungan lemak dan kalori rendah serta tidak mengandung kolesterol. Teori lainnya yang mengatakan bahwa produk ini sehat adalah Hernaman (2007) di dalam Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolisme Lemak serta Penyerapan Mineral. Beliau mengatakan bahwa nata mempunyai serat pangan. Komponen ini sangat baik sebab tidak akan mengganggu lemak dan mineral yang akan diserap tubuh dan baik untuk diet.

Setelah proses pembuatan media selesai, dilanjutkan proses fermentasi dengan mengambil 100 ml media yang tadi dibuat dan media tersebut dimasukkan ke wadah dari plastic yang sebelumnya telah disemprotkan dengan alkohol (gambar 3). Lalu, ditambahkan ke media tersebut biang nata (starter) dengan konsentrasi 10% dari media yang digunakan secara aseptis. Pato & Dwiloka (1994) menyampaikan bahwa jumlah starter untuk memproduksi nata idealnya 4-10%. Jika jumlah starter tidak sesuai akan menyebabkan karakteristik nata tidak sesuai dengan standar yang ada. Teori ini juga diperkuat oleh Misgiyarta (2007) bahwa substrat air kelapa untuk menghasilkan nata de coco sebaiknya diinokulasi menggunakan starter dengan jumlah 10% (v/v). Proses penambahan starter pada gambar 4.

Gambar 3. Proses menaruh media pada wadah yang telah disterilkan

Gambar 4. Proses penambahan starterKemudian, diaduk secara perlahan agar homogen dan ditutup menggunakan kertas coklat (Gambar 5). Tujuan dari penutupan menggunakan kertas dan tidak menggunakan tutup tolpes adalah agar tidak terlalu tertutup sehingga oksigen masih bisa masuk sebab Acetobacter xylinum tergolong bakteri aerob yang membutuhkan oksigen dalam proses pertumbuhannya. Selain itu, juga untuk mengurangi resiko kontaminasi dari lingkungan sekitar sehingga dapat diperoleh nata dengan karakteristik yang baik (Pambayun, 2002).

Gambar 5. Penutupan wadah menggunakan kertas coklat

Selanjutnya adalah tahap inkubasi. Tahap ini dilakukan selama 2 minggu di suhu ruang dan tidak terpapar cahaya. Selama tahap inkubasi, wadah plastik tidak boleh terangkat atau tergoyang yang bertujuan agar nata (lapisannya) tidak terpisah saat terbentuk nanti.Pambayun (2002) menyampaikan bahwa Acetobacter xylinum untuk inkubasinya membutuhkan suhu ruang sehingga pertumbuhanya dapat optimal. Jika diletakkan pada suhu di atas 40C akan menyebabkan Acetobacter xylinum mati. Jika terlalu rendah, pertumbuhannya akan sangat terhambat. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa agar nata menghasilkan ketebalan paling optimum, fermentasi dapat dilakukan 10-14 hari di suhu ruang atau 28-32C (Rahayu et al., 1993). Jika ada gangguan terutama saat inkubasi (fermentasi), berupa goyangan atau gangguan lainnya, lapisan nata yang mulai terbentuk dapat turun ke bawah bahkan lapisan tersebut bisa pecah (Palungkun, 1996). Oleh sebab itu, cara kerja yang dilakukan pada praktikum ini telah sesuai dengan teori yang disampaikan.

Pengamatan dilakukan saat hari ke 0 dengan mengukur tinggi media dan juga pada mulainya terbentuk lapisan di cairan permukaan, pada hari ke-7 dan ke -14. Pada praktikum, persentase kenaikan pada ketebalan nata yang dihasilkan dihitung menggunakan formulasi:

Parameter yang menunjukkan kapan fermentasi yang dilakukan telah selesai dan tingkat keberhasilannya adalah dengan adanya lapisan putih di permukaan (Rahman, 1992). Gunsalus & Staines (1962) menyampaikan bahwa pada tahap fermentasi bisa dihasilkan lapisan nata sebab adanya selulosa dari pembentukan miofibril dengan memanfaatkan glukosa dalam media. Nata yang baik akan terangkat ke atas cairan sebab dihasilkan gas CO2. Mekanisme terbentuk lapisan nata yang baik sesuai Hamad et al (2011) di dalam Pengaruh Penambahan Sumber Karbon pada Kondisi Fisik Nata De Coco yaitu glukosa (Glukokinase) akan diuraikan menjadi glukosa-6-fosfat (Fosfoglukomutase). Selanjutnya, akan dipecah menjadi glukosa-1-fosfat (UDP-Glukosa Pirofosforilase) dan UDP-Glukosa. Komponen inilah yang akan melakukan proses penghasilan selulosa.

Untuk pengamatan mengenai ketebalan nata yang dihasilkan (Gambar 6), dapat diketahui bahwa pada kelompok E1, dengan ketebalan media awal 2,8 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,4 cm pada hari ke-7 dan 0,4 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 14,29% dan 14,29%. Pada kelompok E2, dengan ketebalan media awal 2,6 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,5 cm pada hari ke-7 dan 0,4 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 19,23% dan 15,38%. Pada kelompok E3, dengan ketebalan media awal 1,3 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,5 cm pada hari ke-7 dan 0,8 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 38,46% dan 61,54%. Pada kelompok E4, dengan ketebalan media awal 3 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,4 cm pada hari ke-7 dan 0,6 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 13,33% dan 20%. Pada kelompok E5, dengan ketebalan media awal 2,5 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,3 cm pada hari ke-7 dan 0,3 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 12% dan 12%. Dari data yang diperoleh dapat kita lihat bahwa ketinggian nata tertinggi dicapai oleh kelompok E3 dengan persentasi lapisan nata pada hari ke 14 adalah 61,54% dan hanya kelompok E3 yang jadi menghasilkan nata, sedangkan kelompok lain nata tidak dapat dihasilkan hal ini dikarenakan adanya kontaminan dari mikroorganisme lain sehingga nata tidak dapat terbentuk.

Gambar 6. Salah satu contoh pengamatan pada nata de coco

Pada kelompok E2, nata yang dihasilkan mengalami penurunan ketebalan pada hari ke 14. Hasil yang diperoleh ini tidak sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Lapuz et al (1967) bahwa jika waktu untuk inkubasi atau fermentasi makin lama, akan menyebabkan nata yang dihasilkan semakin tebal dan persentasenya meningkat. Setelah inkubasi melewati 24 jam, biasanya media menjadi keruh karena adanya pertumbuhan Acetobacter xylinum. Pembentukan lapisan yang transparan di permukaan substrat akan mulai tampak dan semakin kompak mulai waktu 36-48 jam. Pada saat ini, tidak boleh ada gangguan sebab akan menyebabkan lapisan tenggelam. Selain itu, lapisan-lapisan baru masih bisa terbentuk. Teori ini diperkuat Anastasia & Afrianto (2008) juga bahwa Acetobacter xylinum akan terus melakukan pemecahan gula pada media menjadi selulosa. Oleh sebab itulah lapisan nata mengalami peningkatan.

Pada kelompok E2, hasil yang diperoleh memang tidak sesuai dengan teori yang disebutkan di atas. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor seperti kandungan gula dalam media telah diurai seluruhnya oleh Acetobacter xylinum sehingga pada hari ke-14 akan menghasilkan ketebalan nata yang menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahman (1992) bahwa kandungan gula, pH dan suhu sangat menentukan karakteristik nata de coco yang dihasilkan. Walaupun digunakan media dengan ukuran yang sama, namun ternyata nata de coco yang dihasilkan memiliki ketinggian yang berbeda antarkelompok. Hal ini dapat disebabkan karena wadah juga berbeda. Ketinggian media awal yang ada pada wadah akan mempengaruhi ketebalan sebab wadah ini berbeda dalam ketinggian dan luas permukaan. Jika dibuat di wadah permukaan luas dan dangkal, nata yang dihasilkan juga akan memiliki ketebalan tinggi sebab jika wadah yang sempit luas permukaannya (walaupun dalam) akan menyulitkan dalam persediaan oksigen. Akibatnya, nata akan memiliki ketebalan rendah (Mashudi, 1993).

Pada praktikum pembuatan nata de coco kali ini, pada hari ke 14 hanya ada 1 kelompok yang berhasil membuat nata de coco yaitu E3 dan kelompok sisanya mengalami kontaminan sehingga nata yang terbentuk tidak jadi. Karena itulah uji sensori tidak dapat seluruhnya diujikan pada nata. Uji sensori yang dapat dilakukan pada seluruh kelompok adalah karakteristik aroma dan warna, sedangkan untuk kelompok E3 karena nata yang terbantuk jadi maka ditambahkan karakteristik kekenyalan yang diujikan. Untuk karakteristik rasa, tidak diujikan pada seluruh kelompok. Karakteristik aroma pada pengamatan nata kali ini adalah seluruh kelompok kecuali E3 menghasilkan nata yang memiliki aroma yang sangat asam dan untuk kelompok E3 nata yang dihasilkan memiliki aroma tidak asam. Menurut pendapat yang disampaikan Astawan & Astawan (1991) Aroma asam juga mengindikasikan proses fermentasi telah berlangsung. Pernyataan ini disampaikan oleh Anastasia & Afrianto (2008). Halib et al. (2012) juga mengatakan bahwa Acetobacter xylinum dapat mengubah gula menjadi selulosa dan asam asetat sehingga dapat menimbulkan aroma yang asam. Namun, aroma nata yang baik seharusnya tidak beraroma asam.

Selanjutnya, untuk analisis sensori warna, semua kelompok memiliki warna bening. Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa nata de coco memiliki bentuk yang padat, kuat, kokoh, dan memiliki warna yang bening (Santosa et al, 2012). Warna pada nata yang seharusnya dihasilkan memang tidak bening melainkan sedikit keruh sebab pada air kelapa yang ditumbuhi Acetobacter xylinum dapat memberikan warna sedikit keruh akibat fermentasi, gula dan kandungan asam (Astawan & Astawan, 1991). Acetobacter xylinum dapat memberikan kekeruhan karena dapat membentuk endapan dengan mendegradasi substrat. Selain itu, gula yang beraksi dengan nitrogen juga dapat menentukan kekeruhan (Rahman, 1992). Kesalahan ini mungkin terjadi karena pengamatan dilakukan pada wadah yang digunakan untuk fermentasi bukan pada saat nata setelah dimasak, sehingga nata yang dihasilkan masih terlihat bening.

Untuk pengamatan karakteristik tekstur hanya dilakukan pada kelompok E3 karena berhasil membentuk nata, sedangkan untuk kelompok lainnya tidak dilakukan uji untuk tekstur ini. Hasil yang diperoleh kelompok E3 ini adalah sangat kenyal. Hasil ini menunjukkan bahwa tekstur nata yang dihasilkan sangat kenyal sehingga telah sesuai dengan pendapat Santosa et al., (2012) bahwa nata de coco memiliki bentuk yang padat, kuat, kokoh, warna dan kenyal. Menurut Arsatmodjo (1996), kekenyalan nata ditentukan komponen serat atau selulosa di mana jika semakin banyak selulosa, nata akan meingkat kekenyalannya dan ketebalannya ikut meningkat. Jika selulosa semakin tebal, maka air yang menuju rongga-rongga selulosa semakin banyak juga. Akibatnya, kekenyalan semakin tinggi dan kekenyalan ini akan berbanding dengan lurus terhadap ketebalan seperti yang diungkapkan oleh Anastasia & Afrianto (2008). Pada pembuatan nata kali ini dikarenakan setiap kelompok nata yang dibentuk tidak terbentuk secara sempurna maka untuk uji sensori rasa tidak dilakukan untuk semua kelompok maupun untuk kelompok E3 yang notabene nata yang dibuat terbentuk, tetapi kurang sempurna.

Dalam proses pembuatan nata di praktikum ini terutama dalam pembuatan media telah sesuai dengan teori Jagannath et al (2008). Beliau mencantumkan dalam jurnalnya yaitu the effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum bahwa dalam memproduksi nata de coco, sukrosa yang digunakan sebaiknya memiliki konsentrasi 10%. Selain itu, untuk sumber nitrogen dapat digunakan ammonium sulfat 0,5 %. Untuk kondisi pH yang terbaik yaitu tercapainya pH 4. Sedangkan pada praktikum, kondisi pH berkisar antara 4 hingga 5. Menurut teori yang disampaikan Czaja et al. (2004), untuk menghasilkan selulosa bisa dengan dua cara, yaitu kultur stasioner di mana selulosa akan terkumpul di permukaan medium (yang digunakan saat praktikum) dan kultur teragitasi di mana jaringan selulosa akan disintesis di media dengan berbentuk suspensi berserat, massa tidak beraturan atau pelet.

3. KESIMPULAN

Air kelapa menjadi substrat tepat untuk Acetobacter xylinum karena mengandung karbohidrat, protein, mineral, vitamin, dan nutrisi lainnya. Acetobacter xylinum dapat menghasilkan jaringan selulosa yang menebal (nata) saat difermentasi. Konsentrasi gula sukrosa 10%, ammonium sulfat 0,5%, dan pH 4 dapat memberi kondisi optimal bagi Acetobacter xylinum. Gula pasir berfungsi sebagai sumber karbon dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen bagi Acetobacter xylinum. Starter nata yang baik untuk ditambahkan berjumlah 4-10%. Adanya gula dan asam dapat menyebabkan warna nata menjadi keruh. Jika waktu untuk inkubasi (fermentasi) lama, maka nata akan makin tebal. Pembuatan nata de coco dilakukan dengan fermentasi air kelapa menggunakan Acetobacter xylinum. Nata yang baik seharusnya tidak beraroma asam. Pemasakan nata dengan menggunakan gula agar dapat menghasilkan nata dengan rasa yang manis. Jika gula ditambahkan semakin banyak, maka rasa akan semakin manis juga. Fermentasi nata akan memproduksi selulosa dan juga asam asetat yang dapat mempengaruhi karakteristik nata. Wadah yang digunakan akan mempengaruhi ketebalan nata yang dihasilkan di mana jika wadah luas permukaannya, nata yang dihasilkan akan lebih tinggi atau tebal.

Semarang, 9 Juli 2015Asisten dosen: Wulan Apriliana Nies Mayangsari

Shannon Novia Sungkar 11.70.00164. DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, N. dan Afrianto, E. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.

Arsatmodjo, E. (1996). Formulasi Pembuatan Nata de Pina. IPB. Bogor.[Skripsi]

Astawan, M. dan M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R.M. (1984). Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Awang, S.A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004). Structural Investigations Of Microbial Cellulose Produced In Stationary And Agitated Culture. Cellulose 11: 403-411.

Gunsalus, I.C. and Staines, R.Y. (1962). The Bacteria A Treatise On Structure & Function. Academic Press. New York.

Halib, N.; Mohd, C.I.M.A. and Ishak, A. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana Journal 41(2)(2012): 205211

Hamad, A.; Andriyani, N.A.; Wibisono, H. dan Sutopo, H. (2011). Pengaruh Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata De Coco. Jurnal Teknik Kimia Vol 12 (2): 74-77.

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Hernaman, I.; Kamil, K.A.; Mayasari, N. dan Salim, M.A. (2007). Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolism Lemak dan Penyerapan Mineral. Jurnal Peternakan Universitas Padjadjaran Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.

Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The Effect Of pH, Sucrose And Ammonium Sulphate Concentrations On The Production Of Bacterial Cellulose (Nata-De-Coco) By Acetobacter xylinum.World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:2593 2599.

Lapuz, M.M.; Gallardo, E.G. and Palo, M.A. (1967). The Nata Organism Cultural. Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science Vol 96.

Mashudi. (1993). Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Struktur Gel Nata de coco. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi, Fateta. IPB. Bogor.[ Skripsi]

Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.; Duangchan, H.; Pramote, T. and Plernchai, T. (2006). Effects of Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human. Journal Science Technology 28(Suppl. 1): 23-28.

Misgiyarta. (2007). Teknologi Pembuatan Nata de Coco. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. dan Dwiloka, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.

Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santosa, B.; Ahmad, K.; and Domingus, T. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE) Vol. 1:6-11.

Soekarto. (1985). Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara. Jakarta.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. UGM. Yogyakarta.[ Skripsi]

Volk, W.A. and M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus:

Persentase Lapisan Nata =

Kelompok E1

H7 Persentase Lapisan Nata = = 14,29 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 14,29 % Kelompok E2

H7 Persentase Lapisan Nata = = 19,23 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 15,38 % Kelompok E3

H7 Persentase Lapisan Nata = = 38,46 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 61,54 % Kelompok E4

H7 Persentase Lapisan Nata = = 13,33 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 20 % Kelompok E5

H7 Persentase Lapisan Nata = = 12%

H14 Persentase Lapisan Nata = = 12%

5.2. Laporan Sementara5.3. Abstrak Jurnal