12

Ngublek-ublek Lemah Komposisi Musik dan Teater Komunitas Pembuat Batu-bata

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Potret kehidupan masyarakat kecil di sebuah desa dengan segala ketidakberdayaan yang disimbolkan pada tanah sebagai ide penciptaan karya.

Citation preview

81

Whayan Christiana, Ngublek-ublek Lemah, 81-89

Whayan Christiana

Kata Kunci: Kesederhanaan

Abstrak:Karya yang berjudul “Nyithak Bata” ini adalah gambaran kehidupan komunitas pembuat batu bata di Desa Trangkil, Pati, Jawa Tengah, yang merupakan gambaran umum masyarakat kecil yang ada di Indonesia. Karya ini disajikan dalam bentuk komposisi musik dan teater. Kesederhanaan menjadi aspek utama yang ditonjolkan dalam penciptaan karya ini.

Pengantar

Di jaman modern seperti ini, kehidupan rakyat kecil di Negara Indonesia benar-benar tertindas. Mereka tidak pernah merasakan keadilan dalam berbagai hal. Seakan-akan hidup

mereka tertindas oleh kehidupan era modernisasi saat ini. Keadaan ekonomi masyarakat kecil yang tidak menentu membuat mereka harus bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup. Susahnya mencari lapangan pekerjaan disebabkan karena semakin ketatnya persaingan dan padatnya penduduk di Negara ini, mau tidak mau masyarakat harus memutar otak bagaimana caranya untuk bisa bekerja agar mampu untuk terus melangsungkan kehidupan sehari-hari. Ada berbagai macam jalan untuk mendapatkan penghasilan,

Ngublek-ublek LemahKOMPOSISI MUSIK DAN TEATER KOMUNITAS PEMBUAT BATU BARA

82

dari yang benar-benar berusaha yang memulainya dari bawah hingga ada yang menempuh jalan pintas seperti tindak kriminalitas atau menghalalkan segala cara untuk mendapatkan penghasilan. Di Pati (Jawa Tengah), tepatnya di desa Trangkil, rata-rata masyarakat kecil bermata pencaharian sebagai pembuat batu bata. Sejak tahun 1950-an usaha ini sudah mulai ada dan semakin meluas, hingga saat ini dapat dikatakan bahwa desa Trangkil adalah ikon desa batu bata. Usaha pembuatan batu bata ini biasanya dimiliki oleh perseorangan dan banyak melibatkan masyarakat sekitarnya sebagai pekerja, yang dalam istilah setempat disebut mocok. Tradisi membuat batu bata ini turun temurun dari orang tua mereka. Penghasilan mereka bekerja sebagai pembuat batu bata bisa dikatakan cukup rendah, sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Upah mereka tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan untuk membuat ratusan sampai ribuan batu bata tiap harinya. Harga pasaran batu bata pun tidak ada patokan, terkadang bisa naik dan terkadang bisa turun sesuai dengan kualitas hasilnya. Kualitas batu bata di antaranya tergantung pada proses pengeringan dengan sinar matahari. Semakin kering batu bata akan semakin baik kualitasnya. Oleh karena itu pada musim hujan proses pengeringannya tidak baik, sehingga kualitas batu batanya juga kurang baik. Pekerjaan sebagai pembuat batu bata sudah mereka jalani selama bertahun-tahun hanya untuk mempertahankan hidup, atau cukup untuk makan seadanya saja. Sikap bekerja keras dan kepasrahan hati kepada Yang Maha Esa inilah yang melekat erat dalam diri mereka, sehingga mereka melakukan pekerjaan ini dengan senang hati dan penuh keikhlasan. Fenomena kehidupan para pembuat batu bata di atas sangat menarik untuk diangkat dalam sebuah karya. Banyak pelajaran kehidupan yang dapat diambil dari kesederhanaan, sikap kerja keras, kepasrahan dan keikhlasan hati mereka dalam menjalani pekerjaan dan kehidupan. Tujuan pembuatan karya komposisi musik dan teater yang berjudul Ngublek-ublek Lemah ini adalah untuk mengungkapkan fenomena sosial masyarakat miskin pembuat batu bata yang ada di desa Trangkil ke dalam bentuk komposisi musik dan teater. Sangat diharapkan karya ini mampu berbicara terhadap masyarakat pada umumnya tentang keadaan ekonomi masyarakat kecil, sehingga diharapkan akan adanya suatu perhatian dan tindak lanjut oleh pihak-pihak yang dirasa cukup mampu atau masyarakat kalangan atas untuk lebih memperhatikan mereka yang dari segi ekonomi berada di bawah garis kemiskinan. Semoga fenomena ini dapat menjadi penyadaran bagi kita semua untuk saling membantu dan menghargai antar sesama. Di samping itu, tujuan utama pembuatan karya ini adalah sebagai pertanggungjawaban moral terhadap bidang keilmuan yang pernah dipelajari. Selain itu, pembuatan karya ini juga merupakan suatu bentuk eksperimen yang melibatkan para pembuat batu bata dengan

Whayan Christiana, Ngublek-ublek Lemah, 81-89

83

Whayan Christiana, Ngublek-ublek Lemah, 81-89

mengekspose sumber-sumber bunyi yang berkaitan dengan proses pembuatan batu bata. Manfaat yang dapat diambil dari karya ini adalah • Mengingat dan menumbuhkan kembali kebiasaan gotong

royong kerja bakti, musyawarah, toleransi sesama warga desa yang masih berjalan sangat baik di lingkungan kerja agar tetap terjaga, sebagai usaha mempertahankan nilai-nilai tradisi yang ada.

• Memberikan sebuah apresiasi seni terhadap masyarakat desa khususnya dan para pelaku seni pada umumnya.

• Menambah pengalaman dalam berkesenian untuk pencipta karya dan masyarakat desa.

• Memberikan sedikit kontribusi tentang gambaran kebiasaan-kebiasaan hidup bersosial yang terjadi di masyarakat agar tetap terjaga yang dikemas dalam bentuk komposisi musik dan teater.

Pendekatan dan Cara Penelitian

Dalam karya ini, observasi dilakukan langsung di lapangan dengan pendekatan kepada komunitas pembuat batu bata dengan mengamati bagaimana keseharian mereka dalam proses pembuatan batu bata ini sekaligus ikut serta berproses dalam pembuatan batu bata dari awal hingga akhirnya menjadi batu bata yang sudah matang dan siap untuk dijual. Hasil yang diperoleh dari observasi ini adalah pengetahuan tentang cara mencampur tanah dengan brambut, cara mengerik sisi-sisi batu bata yang mentah untuk dihaluskan dan cara menjemur batu bata, yaitu dengan membuat gawangan batu bata supaya cepat kering terkena angin. Hasil observasi tersebut menjadi dasar ide-ide kreatif dalam penciptaan musik dan alur cerita pada karya ini. Karya ini diciptakan karena adanya ketertarikan kepada kehidupan bermasyarakat yang dijalani oleh komunitas ini. Hidup dengan kesederhanaan dan bisa dikatakan hidup dibawah garis kemiskinan merupakan makanan keseharian mereka. Dalam proses pembuatan batu bata ini mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya proses ini mempunyai kekuatan sumber bunyi terutama sumber bunyi yang bersifat ritme. Dari instrumen-instrumen inilah muncul ide garapan untuk membuat sebuah komposisi tentang komunitas ini dengan menggunakan beberapa sumber bunyi yang ada. Selain itu, ada yang menarik juga tentang gaya bahasa atau dialek yang sangat khas masyarakat lokal tersebut, sehingga komposisi ini nantinya berbentuk semi teatrikal yang menonjolkan bahasa setempat. Dalam proses penyusunan karya ini, beberapa hambatan yang dialami antara lain, sulitnya memadukan beragam sumber bunyi yang bersifat ritmis untuk membuat komposisi yang tidak monoton. Selain itu juga penulis mengalami kesulitan jika memberikan ritmis-ritmis tertentu kepada para komunitas ini, karena penggunaan ritmis-ritmis yang sederhana akan membuat komposisi ini tampak monoton. Selain

84

itu, kemampuan mereka dari segi musikal tidak merata, ada yang bisa tanggap, ada juga yang sama sekali susah untuk memainkan beberapa ritmis yang sederhana. Belum juga untuk menentukan jadwal latihan, dalam hal ini susah sekali karena jadwal masing-masing orang berbeda-beda, sehingga harus mencari hari dan waktu yang tepat untuk jadwal latihan sehingga tidak menyita waktu mereka untuk bekerja. Solusi untuk kesemuanya itu adalah secara perlahan-lahan mengajak mereka berproses sampai mereka memahami konsep-konsep yang diinginkan. Selain itu, diajak juga beberapa teman yang berbasic musik untuk ikut bermain, karena hal ini untuk dapat memancing kreativitas komunitas tersebut. Untuk jadwal latihanpun akhirnya hanya bisa dilakukan sore hari sekitar pukul 16.30 WIB, ketika para komunitas ini sudah mulai selesai bekerja. Satu hal yang harus diingat adalah kita tidak bisa memaksa kemampuan mereka (pembuat batu bata) untuk menuruti konsep-konsep yang kita inginkan, melainkan kita harus memaksimalkan kemampuan yang ada pada diri mereka.

Pembahasan

Gagasan: Musik merupakan sesuatu yang multi tafsir; sebuah media bunyi yang bisa dieksplorasi dan juga sebagai bahan bereksperimen bagi para seniman. Tetapi perkawinan berbagai instrumen didalam sebuah penggarapan komposisi musik memang membutuhkan perhatian, perhitungan dan kerja keras, terutama menyangkut idiom atau vocabuler dari musik itu sendiri. Isi komposisi ini adalah kesederhanaan, ketidakberdayaan, kesabaran, dan kepasrahan hati kepada Tuhan yang diangkat dari kehidupan masyarakat pembuat batu bata di desa Trangkil yang umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Keberadaan komunitas pembuat batu bata ini melibatkan sisi psikologis yang terbagi dalam beberapa fase dan peristiwa. Suasana kesedihan muncul karena beban ekonomi yang harus ditanggung oleh para pekerja batu bata ini. Kondisi ketidakpastian dalam hal ekonomi ini membuat para pekerja batu bata ini pasrah dengan keadaan. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang individu yang bersangkutan, yang rata-rata berpendidikan rendah karena keterbatasan biaya. Kesabaran, kerja keras dan kepasrahan diri kepada Tuhan menjadi kunci pokok para pekerja batu bata ini untuk terus bisa bertahan di tengah-tengah masalah perekonomian yang semakin tidak jelas ini. Dengan kata lain, mereka merasa bahagia dengan apa yang mereka jalani dan mereka kerjakan.

Garapan: Keseluruhan eksplorasi atau pengolahan karya komposisi musik

Whayan Christiana, Ngublek-ublek Lemah, 81-89

85

dan teater Nyithak Bata ini dikembangkan dari sumber-sumber bunyi yang terdapat dalam proses pembuatan batu bata beserta perangkat-perangkatnya. Beberapa alat atau sumber bunyi yang di gunakan antara lain adalah tanah, cangkul, air, plastik, batu bata mentah dan matang, bambu, pisau, drum kaleng minyak (biasa dipakai untuk mengisi air), dan senandung vokal. Keseluruhan sumber bunyi tersebut diolah menjadi suatu bentuk ansambel perkusi tanpa menghilangkan kesan natural sebagaimana kehidupan keseharian mereka. Dalam komposisi ini secara keseluruhan di selingi percakapan-percakapan dengan gaya dialek lokal keseharian mereka yang sangat khas yang bercerita tentang kehidupan jaman sekarang yang semakin susah. Bentuk: Komposisi ini berdurasi sekitar 60 menit, dan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama komposisi ini, menggambarkan suasana kerja keras, gotong royong dan gembira yang diekspresikan melalui berbagai sumber bunyi yang ada, dimainkan dengan pola-pola ritmis yang sederhana tetapi kompak. Bentuk komposisi ini sebagai ungkapan tentang kesederhanaan hidup mereka. Dengan kesederhanaan, mereka masih bisa bersatu menjalin kekompakan satu dengan yang lainnya. Pada bagian ke dua diawali dengan suasana khidmat untuk mengantarkan rasa syukur kepada Tuhan, dalam wujud doa sebelum mulai membakar batu bata. Rasa syukur ini di akhiri oleh suasana suka cita oleh semua komunitas ini dengan permainan perkusi secara bersama-sama yang diselingi oleh beberapa efek bunyi dari proses pembakaran batu bata.

Media: Media atau alat yang digunakan dalam komposisi ini sangat sederhana. Semua benda yang ada di lokasi pembuatan batu bata ini, yang dapat menghasilkan bunyi dijadikan sebagai bahan instrumen. Penggunaan alat yang sederhana ini merupakan suatu simbol kehidupan masyarakat kecil yang serba kekurangan dan hidup dengan penuh kesederhanaan.

Deskripsi Sajian

Karya ini akan dipentaskan di tempat terbuka di tempat batu bata ini dibuat, dan dimainkan oleh 10 orang. Komposisi yang berdurasi kurang lebih 60 menit ini dibagi menjadi tujuh babak. Berikut urut-urutan pertunjukannya : Pembukaan pertunjukan ini ditandai dengan ditabuhnya bedug.

Gambar 1. Foto beberapa media yang digunakan untuk menghasilkan bunyi

Whayan Christiana, Ngublek-ublek Lemah, 81-89

86

Babak I

Bagian ini menceritakan tentang proses tawar menawar harga tanah antara pembuat batu bata dengan mandor. Tanah tersebut akan digunakan untuk membuat batu bata.

Babak II Bagian ini menceritakan tentang para pekerja batu bata yang membersihkan pelataran secara bersama-sama untuk tempat penampungan tanah yang

sudah dipesan. Aktivitas ini diawali dengan salah satu pekerja menyapu seorang diri dengan ritme sebagai berikut:

Kemudian semua pekerja ikut membantu menyapu dengan memegang masing-masing satu sapu lidi, lalu membentuk sebuah lingkaran dan mulai memainkan sebuah ritme dari sapu lidi tersebut. Bersamaan dengan ritme tersebut dinyanyikan pula lagu jawa yang berjudul ìLir-ilirî. Ritme yang digunakan adalah:

o : sapu lidi dipukulkan ke tanahx : sapu lidi digesekkan ke tanah seperti orang menyapu

Babak III Bagian ini menceritakan tentang pesanan tanah yang tiba di tempat pembuatan batu bata dan segera diturunkan oleh para pekerja batu bata. Tanah tersebut diangkut oleh truk. Anak-anak setempat pun ikut naik ke dalam truk untuk bermain-main. Bunyi yang dimunculkan adalah eksplorasi dari bunyi-bunyi saat proses penurunan tanah dari truk, diantaranya dari suara cangkul yang membentur bak truk, suara pisau saat digunakan untuk membersihkan cangkul dan suara gesekan sapu lidi dengan bak truk.

Babak IV

Bagian ini menceritakan proses ngidak dan nyithak. Seluruh pekerja batu bata mengeksplorasi bunyi yang berasal dari tanah basah yang diinjak-injak, dicangkul dan saat dicetak dengan tangan.

Gambar 2. Foto Adegan Nyithak

Gambar 2. Foto adegan tawar menawar tanah

Whayan Christiana, Ngublek-ublek Lemah, 81-89

87

Babak V

Bagian ini menceritakan proses ngerik batu bata. Bunyi yang dimunculkan adalah hasil eksplorasi suara batu bata matang dan setengah matang yang dikerik dengan pisau. Proses ngerik ini dilakukan oleh 6 orang. Ritme yang dimainkan adalah :

/ : ngerik batu bata dengan pisau.V : ngerik batu bata dengan pisau, menggunakan bambu sebagai alasnya.D : ngerik batu bata dengan pisau, menggunakan kayu sebagai alasnya.^ : ngerik batu bata dengan pisau, dengan posisi batu bata tanpa menggunakan alas (mengambang).O: bambu panjang yang dipukulkan ke tanah.

Tembang-tembang yang digunakan dalam bagian ini adalah Nyidam Sari dan Caping Gunung. Bagian ini juga terjadi proses tawar menawar harga batu bata jadi antara pemesan dengan penjual batu bata. Bagian akhir babak ini, semua pekerja batu bata mulai memindahkan batu bata yang sudah kering untuk segera di tata di tempat pembakaran batu bata. Dalam menutupi batu bata yang masih basah dengan plastik, terjadi eksplorasi efek bunyi dari suara plastik yang di kibas-kibaskan dengan keras.

Babak VI

Bagian ini menceritakan tentang proses persiapan pembakaran batu bata. Semua pekerja mulai mengangkut dan menata batu bata setengah matang untuk siap di bakar. Dalam proses mengangkut dan menata ini semua pekerja menyanyikan lagu Tombo Ati. Lagu ini menceritakan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam kehidupan ini.

Babak VII

Bagian ini menceritakan tentang proses pembakaran batu bata (warga setempat menyebutnya proses obong) beserta dengan ritual doa sebagai wujud syukur atas apa yang telah diselesaikan dalam pekerjaannya. Ritual doa ini dilakukan di tempat pembakaran batu bata, mengawali proses pembakaran batu bata. Ritual doa ini diikuti semua pekerja dan dipimpin oleh sesepuh setempat. Biasanya mereka

Gambar 3. Foto Adegan Ngerik

Whayan Christiana, Ngublek-ublek Lemah, 81-89

88

membagikan sesaji berupa jajanan pasar kepada anak-anak sekitar lokasi pembuatan batu bata tersebut. Jajan pasar tersebut diletakkan dalam nyiru (tampah). Setelah itu, mulailah proses pembakaran batu bata. Dalam bagian ini, efek bunyi yang ditimbulkan antara lain suara bambu kering yang terbakar, ranting-ranting pohon yang kering, percikan garam, korek api, petasan bambu. Pada akhirnya semua pekerja mulai bermain ritme dan menyanyikan beberapa lagu daerah pada lokasi pembakaran sebagai tanda suka cita dengan instrumen yang ada disekitar lokasi, diantaranya bambu, sapu lidi, drum plastik yang biasanya digunakan untuk tempat ikan dengan ditutup karet di lubangnya. Pada bagian penutupan ini, para pekerja menyanyikan tembang “Prahu Layar” dan “Gundhul-Gundhul Pacul”.

Deskripsi Lokasi

Lokasi yang akan digunakan dalam pementasan karya ini berada di Desa Trangkil, jalan Flamboyan Kampung Anyar RT 07 RW IV Pati Jawa Tengah. Tempat ini merupakan lokasi tempat pembuatan batu bata. Setting lokasi pertunjukan ini dibagi menjadi 4 bagian, seperti pada gambar di bawah ini:

Keterangan Gambar:X: jalan masuk trukIa: tempat menurunkan tanah dari trukIb: tempat ngidakIc: tempat nyithakIIa: tempat ngerikIIb: tempat ngidakIII: tempat menjemur batu bataIV: tempat ngobong

Penataan Pentas

Karya ini berada di ruang terbuka dan menggunakan instrumen-instrumen alami. Untuk itu harus memaksimalkan dinamika suara masing-masing pemain tanpa menggunakan alat bantu atau sound system. Sistem pencahayaan menggunakan sinar matahari sore dan obor. Obor digunakan pada saat adegan ritual, di tempat yang relatif gelap untuk memperoleh kesan magis.

Whayan Christiana, Ngublek-ublek Lemah, 81-89

89

Penutup

Kehidupan komunitas pembuat batu bata di Desa Trangkil, Pati, Jawa Tengah merupakan perwakilan gambaran dari kehidupan masyarakat kecil di Indonesia. Pola kehidupan yang sederhana, penuh rasa keikhlasan dalam menjalani kehidupan, penuh perjuangan untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari dan senantiasa diwarnai dengan semangat kegotongroyongan menjadi sangat menarik untuk diangkat menjadi sebuah karya komposisi musik dan teater. Alur cerita karya tersebut yang disajikan dengan latar belakang kehidupan sehari-hari komunitas pembuat batu bata diharapkan memberikan wacana kepada pemerintah dan masyarakat tentang kehidupan masyarakat kecil yang perlu mendapat perhatian khusus. Penciptaan karya ini melibatkan komunitas pembuat batu bata, yang tidak memiliki pengalaman berkesenian. Peristiwa ini merupakan sebuah pembelajaran dan pengalaman baru bagi mereka dalam berkesenian. Oleh karena itu, proses pembuatan karya ini menggunakan metode yang sederhana, baik dari segi musik dan dialog. Dengan metode yang sederhana tersebut, maka para pembuat batu bata akan lebih mudah untuk memahami dan melakukan setiap perannya dalam karya ini. Karya “Nyithak Bata” ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi seniman-seniman lokal untuk lebih bisa mengembangkan karya-karya yang sudah ada atau menciptakan karya-karya baru demi pengembangan dunia kesenian.

Daftar Acuan

Janutama, Herman Sinung, Pisowan Alit. Yogyakarta: Mitra Media Pustaka, 2009.

Whayan Christiana, Ngublek-ublek Lemah, 81-89