Upload
mastasi
View
466
Download
53
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Islam Ideologi
Citation preview
Untold History of Pangeran Diponegoro (1) – Edisi Rev
Share on facebook Share on twitter Share on email Share on
print More Sharing Services 30
Redaksi 1 – Minggu, 9 Desember 2012 13:17 WIB
BERITA TERKAIT
Kisah Da’i Pedalaman : Ustadz Mawardi Mendadak Haji
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (4) : Saya Yakin Bahwa Tuhan
Pasti Ada
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (3) : I Want to be a Muslimah
Today!
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (2) : Tertarik Islam Karena
Senang Membaca
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (1) : Tertarik Islam Karena Hijab
Muslimah
CATATAN PENULIS***)Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton
Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira.
Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur.
Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama. Persis sama… []
Dengan penuh hormat dan kebanggaan,
kupersembahkan kepada anak keturunan
dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,
semoga kemuliaan perjuangan Beliau
menginspirasi hidup kita semua…PROLOGPlered, Jawa Tengah, 1647
APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh membuat Dyah
Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini tidak berani bertanya macam-macam.
Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan panci panas itu.
Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.
Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.
Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo memerintahkan agar sang pesakitan
dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.
Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa Arab.
Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu ke kepala sang pesakitan.
“Allahu Akbar!!!”
Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‘Topi besi panas’ itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.
Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak ada kerumunan orang. Dia ternyata
sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa pekan lalu.
Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai tergelincir ke barat.
Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan dirinya.
“Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!”
Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit kraton.
Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?
“Cepat keluar! Atau kami dobrak!”
Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira-adik satu-satunya yang
masih berusia sepuluh tahun-sudah berada di antara pasukan itu dengan pengawalan ketat.
“Siapa lagi yang ada di dalam!” hardik salah seorang prajurit. Tangan kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.
“Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian…,” jawab Dyah pelan. Ketakutan segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.
“Dia benar. Tak ada lagi orang…”
Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.
Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto, lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang memindahkan
pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.
Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton baru ini lebih mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata dan semen, dengan tinggi lima sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu setengah meter. Sebuah parit buatan yang terhubung dengan Kali Opak dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat ini, sehingga pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah pulau di kelilingi daratan luas.
Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan istana dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat prajurit kraton. Model keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model istana-benteng raja-raja Eropa.
Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi bertingkat-tingkat.
Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung Ludhira, dan Ki Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton. Di sisi kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari tanah yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat sampai lima meteran. Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan tombak berdiri dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.
“Ada apa gerangan, Nduk?” bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang duduk di belakangnya mengapit Wulung.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku ndak tahu, Pak. Tapi perasaanku ndak enak.”
“Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa.”
Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa membohongi anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja lalim ini semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia amat berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga dengan adik-adiknya. (bersambung/rz)
***) Para netters tercinta…Dengan sengaja redaksi tampilkan kembali seri novel Untold History of Pangeran Diponegoro, karena pada tampilan yang lalu kami masih gunakan frame work temporary yang kurang optimal dan baik. Dengan sistem IT kami yang hampir stabil, mohon maaf kami masukkan kembali serial tersebut agar kisah novel ini dapat dinikmati oleh lebih banyak netters..semoga saja kisah ini banyak diambil ibrah untuk tingkatkan keimanan, terimakasih…Redaksi
Di awal kekuasaannya, Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap loyalis ayahnya sendiri yang berada di dalam lingkungan kraton maupun di luar. Mereka dibunuh dengan cara yang sangat keji. Jumlahnya mencapai tiga ribuan.
Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I memiliki kegemaran yang tidak lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan terhadap perempuan-perempuan muda, raja ini juga gemar menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja menciptakan sendiri cara-cara penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-orang yang dicurigai hendak melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala Amangkurat I di antaranya adalah:
Pertama, dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok kepalanya terlihat. Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan meninggal dunia. Namun ada pula yang masih bisa bertahan hidup walau kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat menyakitkan.Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah kepala, ditaruh panci panas berukuran besar berisi minyak yang mendidih. Kemudian, kepala orang itu dicelupkan ke dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut dan kulit kepalanya mengelupas. Semua yang
mengalami siksaan jenis ini menemui ajal karena sakit yang tak terperikan.Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum diperintahkan untuk mengenakan topi besi yang tebal yang telah dipanaskan hingga menjadi merah membara. Rambut akan hangus, kulit kepala terkelupas dan gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada yang selamat dari jenis siksaan seperti ini.
Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah Jayengsari mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga berdatangan—mengalir bagai air bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta seluruh keluarganya, yang seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke alun-alun. Semuanya dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah putih.
Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa kecuali, disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di mana sebuah bukit yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang itu, besar dan kecil, tua dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh para prajurit.
Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan tombak mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya Amangkurat I memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-
alun dengan rapat, hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.
Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya dilarang untuk menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam, siapa pun yang ketahuan mengerjakan sholat, akan langsung ditebas lehenya. Beberapa ulama tidak mengindahkan ancaman itu dan tetap mengerjakan sholat, walau sambil duduk. Celakanya, hal itu diketahui para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali karena para prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan melakukan hal yang sama jika ada yang berani berteriak atau membuat ribut.
Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke arah pintu gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun yang tanpak bercahaya. Dari gapura batu kali setinggi enam meteran, serombongan orang dengan membawa tiang obor keluar dari dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang anggota Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas, terlihat menyandang pedang dan tombak. Di bawah cahaya ratusan obor, pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.
“Trisat Kenya…,” ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi air minum sejak berada di alun-alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil di tenggorokannya terus bergerak-gerak tak pernah berhenti.
Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya merupakan pasukan khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang semuanya terdiri dari para perawan cantik yang dibekali olah kanjuragan tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan pengawal khusus karena tugas seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga kewibawaan dan melindungi rahasia sang raja dalam hal yang paling pribadi sekali pun.
Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam. Adalah Kanjeng Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-sungguh paham jika sejak kecil Amangkurat I yang memiliki perangai buruk, memang punya banyak musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya menyesal dan meratapi keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan Amangkurat I, yang bersifat kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran Alit.
Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan memiliki kegemaran yang tidak masuk
akal dan tidak terpuaskan terhadap perempuan. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, Raden Mas Sayidin sudah terlibat dalam skandal memalukan yang melibatkan isteri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Tumenggung kepercayaan Sultan Agung ini melaporkan hal itu kepada Sultan Agung. Akibatnya Raden Mas Sayidin dihukum. Untuk beberapa lama, dia dibuang ke hutan larangan.
Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera mahkota tersebut, sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah menjadi Susuhunan Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh pengikutnya.
Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang anak, dia tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau nyawanya sendiri jadi taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang berinisiatif membentuk pasukan khusus pengawal raja.
Awalnya, Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung Upasanta yang merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru Martani—menginginkan sang raja dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat I sendiri menolaknya dan mengatakan dia tidak bisa mempercayai laki-laki sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh anggota pasukan pengawal
khususnya hanya terdiri dari para perempuan muda, masih perawan, dan tentu saja harus cantik.
“Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata, dan juga harus dibekali olah kanuragan yang mumpuni,” ujar Amangkurat I kepada Kanjeng Ratu Ibu. “…dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya hanya akan berakhir manakala mereka dihadiahkan kepada para adipati atau bawahanku.”
Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana pun adalah sabda pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah pasukan Trisat Kenya yang seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap menaiki bukit di timur alun-alun.Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah pembuka jalan. Di belakangnya, sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang dada tanpa dibekali senjata, menggotong tandu besar berisi kursi raja yang terbuat dari jati yang berat, lengkap dengan atapnya yang berumbai sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja, tigapuluh anggota Trisat Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak, dan juga tulup, sejenis sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya beracun. Masing-masing Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam penggunaan senjata dan juga ilmu kanuragannya.Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan. Beberapa lelaki tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak berada paling depan
membuka jalan. Di bagian paling belakang juga ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang tiang obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para abdi dalem laki-laki semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian pula dengan yang membawa obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang duduk dengan pongahnya di atas singgasana, dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya lengkap dengan senjatanya.Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa menit itu sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas bukit, menanti apa yang hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang raja. Untuk beberapa lama sang raja hanya duduk diam di atas singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati lautan jubah putih yang memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa yang ada di dalam benaknya ketika itu.
Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang masih duduk di alun-alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I mulai bergerak turun dari singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang.
Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih berkacak pinggang. Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh areal alun-alun kratonnya. Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot matanya yang dipenuhi dendam kesumat berbinar-
binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan kanan masih berkacak pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi. Sebuah perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang sedari sore telah siap dengan senjatanya.(bersambung)
“Habisi !!!” teriak para komandan regu dengan suara
yang menggelegar
Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan
pedang terhunus ke tengah-tengah lapangan yang
dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat
ganas, pasukan Mataram itu menyabetkan pedangnya
ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang ada
di dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua,
perempuan, bahkan anak kecil. Jerit tangis, lolong
kesakitan, dan kumandang doa memenuhi angkasa
alun-alun kraton malam itu. Namun tak ada yang
sanggup menghentikan kegilaan yang tengah
dipertontonkan pasukan Mataram
yang notabene kebanyakan juga sudah memeluk agama
Islam.
Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak pinggang
menyaksikan pembantaian besar yang dilakukan
prajuritnya terhadap enam ribuan ulama, santri, dan
seluruh keluarganya. Kepalanya mengangguk-angguk
puas. Sesekali jemarinya memilin kumisnya yang tebal
melintang. Dia benar-benar menikmati pemandangan di
bawahnya. Betapa ribuan orang yang tengah menanti
ajal itu sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi.
Musuh-musuhnya akan semakin sedikit. Dan dia akan
bisa berkuasa dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa
pun.
Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di atas bukit.
Di sekelilingnya berdiri dengan kewaspadaan penuh
puluhan Trisat Kenya.
Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang
dengan kepala terpisah dari jasadnya. Tanah alun-alun
yang begitu luas seketika berubah menjadi lautan darah.
Dari cahaya ratusan tiang obor yang menyala di
sekeliling alun-alun, terlihat pasukan Mataram yang
sudah belepotan darah itu masih saja bergerak buas
membunuh ke sana-kemari tanpa perlawanan. Pasukan
yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di Batavia
semasa kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik
menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.
Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung
tidak sampai setengah jam!
Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali
yang ditiup para pimpinan regu pasukan. Penyembelihan
telah berakhir. Semua orang yang ada di dalam daftar
berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat
peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi.
Buang semua mayat itu ke parit!
Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang
terhunus berjajar satu lapis dalam jarak tiap lima tombak
mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka
belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut
datangnya gerobak-gerobak dorong yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Gerobak-gerobak itu segera
saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala dan kepala
tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh,
prajurit yang membawa gerobak itu mendorongnya ke
arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam
parit yang berair deras menuju ke Kali Opak. Berkali-kali
mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai kereta
maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.
Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah
menjadi kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium
di mana-mana.
Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah
sepuluh tahun adik dari Dyah Jayengsari, ternyata masih
hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh mayat-mayat
tanpa kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya.
Anak yang sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu
menggigil ketakutan. Ayah dan kakak satu-satunya
sudah meninggal dengan cara yang sangat mengerikan.
Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat
oleh kengerian yang teramat sangat. Bocah itu hanya
bisa diam tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas
dan juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya
basah oleh darah kental yang membanjir di sekitarnya.
Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut
digotong dan dilempar ke dalam gerobak bersama
belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja menjadi
satu. Bocah itu sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya
tidak bisa bergerak. Dia nyaris tidak bisa bernafas.Tapi
itu malah menyelamatkan nyawanya.
Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik
dengan kasar oleh sejumlah prajurit. Roda-rodanya yang
terbuat kayu dilapis karet hitam berderak-derak
sebentar, lalu berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan
gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat
tanpa kepala dan kepala tanpa jasad yang masih hangat
itu pun langsung meluncur bebas ke dalam parit yang
deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah
dipenuhi mayat.
Walau pandai berenang, namun bocah itu kesulitan
menggerakkan tubuhnya disebabkan mayat dan kepala
ada di mana-mana. Dengan menahan kengerian yang
teramat sangat, dia berpegangan pada salah satu kaki
jasad yang mengambang. Bocah kecil itu terus mengikut
kemana air membawanya.
Pekatnya malam membuatnya tak terlihat oleh
pasukannya Amangkurat I yang masih sibuk
membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan.
Semua kejadian malam itu menguras seluruh tenaga
dan perasaannya. Akhirnya Wulung Ludhira pingsan.
Dia terus hanyut dibawa air hingga jauh dari alun-alun.
Hingga tubuhnya tersangkut akar beringin yang menjulur
ke Kali Opak, beberapa kilometer ke selatan Kraton
Plered.
Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan
diri. Ketika siuman, matahari sudah berada di atas
kepalanya. Bocah kecil itu mendapati dirinya masih
tersangkut suluran akar beringin yang tumbuh di pinggir
kali. Sebagian badannya masih terendam di bawah air
kali. Di beberapa tempat, jasad tanpa kepala dan kepala
tanpa badan juga tersangkut. Kengerian yang teramat
sangat kembali menyergapnya. Walau seluruh tubuhnya
sakit, dan juga lelah, dengan sisa-sisa tenaga bocah
kecil itu berusaha merangkak naik ke pinggir kali, hingga
dia tergeletak di atas rerumputan, satu meter dari air kali.
Entah kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Tidak ada rumah barang
satu pun. Yang ada hanya hamparan rumput dengan
tiga pohon beringin besar yang tumbuh di dekat dirinya.
Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan perdu.
Anak kecil itu tidak tahu nama tempat ini. Perutnya yang
tidak terisi sejak kemarin terasa perih. Tubuhnya dirasa
makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu
akhirnya tak sadarkan diri kembali. Dia tergeletak begitu
saja di atas rerumputan, dinaungi pohon beringin besar
yang ada didekatnya.
Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang
dada, dengan kepala ditutupi caping yang sudah kusam,
mendekati bocah itu dengan hati-hati. Ketika mendapati
ada bocah kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki
tua itu mengusap kepala Wulung Ludhira dengan
lembut. Bibirnya yang sudah sedikit keriput tersenyum
tulus. Dengan penuh hati-hati akhirnya dia
menggendong bocah itu dan bergegas pergi menghilang
begitu saja ke arah barat… []
178 tahun kemudian…
Gua Selarong, Yogyakarta, 1825
NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK! Walau
malam ini gelap gulita, tak ada bulan dan bintang yang
menggantung di atas langit, namun Ki Singalodra tidak
perduli. Lelaki kekar dengan wajah berewokan itu terus
memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki
kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu yang
ditinggalkannya membentuk tabir pekat yang tak tembus
pandang. Semua hewan malam menyingkir dari jalan
jika tak ingin tergilas kegilaan kuda dan penunggangnya
itu.
Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang
hanya dengan sebelah tangan. Tangan yang satunya
lagi memeluk seorang bocah kecil yang tubuhnya
berlumuran darah. Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh
mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang
terus berlari dengan amat cepat bagai terbang di atas
tanah.
Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar
amarah. Setengah jam lalu dusunnya dibakar Belanda.
Celakanya, saat itu dia tengah berada di dusun
tetangga. Mendengar kabar mengejutkan itu, dia
langsung pulang untuk menyelamatkan isteri dan
anaknya. Namun terlambat. Gubuknya sudah terbakar
habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap masih
mengepul. Bara masih menyala merah di mana-mana.
Dengan histeris tanpa memperdulikan bara yang terinjak
kaki dan hawa panas yang masih menyengat kulit, lelaki
itu terus mencari isteri dan anak semata wayangnya itu.
Tapi nasi sudah jadi bubur. Isterinya ditemukan
tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan
yang sangat dicintainya itu terlihat sedang memeluk
anaknya yang nyaris seluruh tubuhnya terbakar.
Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan
sekaligus kemarahan yang amat sangat, lelaki itu
berteriak histeris.
Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya.
Setelah mencium kening isterinya untuk yang terakhir
kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda
hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat pergi
meninggalkan dusunnya.
Londo anjing!!!
Belanda telah menggali kapak peperangan dengan
dirinya! Sia-sia saja selama ini dia mengabdi pada
mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti
ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam
ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan
bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran
Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk
memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.
Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti
Kanjeng Pangeran!
Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki
Singalodra sudah tak asing lagi. Sejak pulang dari
bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan
gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke
dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan
di sana. Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga
berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan para
jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan
Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan dan
menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun
kecerdikan dan kenekatannya membuat dirinya keluar
sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi sosok
yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting
gadis idaman hatinya, bunga Dusun Ngampilan, yang
sejak kecil telah mencuri perhatiannya.
Ketenaran namanya didengar langsung Residen
Yogyakarta. Pejabat Belanda ini akhirnya
memerintahkan kepala pasukan setempat untuk
merekrutnya. Tetapi karena Ki Singalodra tidak mau
ditempatkan sebagai kepala regu pasukan reguler yang
harus bekerja tiap hari dan wajib memiliki disiplin tinggi,
akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.
Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka.
Pengabdiannya yang total selama ini kepada Belanda,
ternyata dibalas dengan sangat menyakitkan.
Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.
Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan
mengubah haluan hidupnya seratus delapan puluh
derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus
dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti nyawa.
Kedua matanya merah menyala-nyala.
Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton
cecunguk asing itu sekarang menjadi musuh terbesarku!
Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi
melotot garang. Dadanya sesak oleh amarah dan
dendam.
Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai
menanjak lurus. Sebentar lagi dia akan tiba di pelataran
menuju Gua Selarong, di mana Kanjeng Pangeran
tengah berada. Mengingat sosok Pangeran Diponegoro,
hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara semangat
yang membara dan kerinduan yang teramat sangat.
Inilah jalanku!
Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua
kakinya tinggi-tinggi. Ringkikannya memecah
keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki Singalodra
terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia
segera merapatkan tubuhnya dengan leher kuda
sehingga keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah
tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya. Tak
jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan
baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga hitam
mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus.
Salah satunya membawa obor di tangannya.
“Berhenti!” teriak mereka.
“Hendak kemanakah kisanak dan siapa yang digendong
itu!” teriak salah satunya. Dengan penuh kewaspadaan,
lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi
kanan. Sedangkan yang satunya lagi bergerak
menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya
masih berdiri menghadang dengan senjata terhunus.
Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan
jelas, wajah yang tak asing lagi dan sangat ditakuti
orang-orang kampung, nyalinya agak bergetar. Namun
bayangan sosok Kanjeng Pangeran Diponegoro yang
setiap waktu memberinya nasehat keagamaan membuat
dirinya kuat dan berani.
“Takutlah kalian hanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala,
bukan kepada mahluk-Nya. Allah Maha Kuat, sedang
mahluknya sangatlah lemah…”
Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya
pada gagang pedangnya, “Ternyata kau Singalodra.
Hendak kemana engkau malam ini dan siapa lagi itu
yang kau bunuh!”
Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, “Ini
anakku! Minggir kalian semua! Isteri dan anakku mati
malam ini dibunuh Belanda! Aku mau menghadap Gusti
Kanjeng Pangeran!”
Keempat lelaki yang menghadangnya tak percaya.
“Apa katamu? Bukankah engkau pelayan kafir Belanda!
Janganlah berdusta. Pulanglah sekarang. Kembalilah
kepada tuanmu itu sebelum kami membunuhmu!”
“Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin
menghadap Gusti Kanjeng Pangeran. Aku mau
bergabung dengan kalian. Jika kalian masih saja
menghadangku, maka terpaksa tanganku ini yang akan
berbicara!” bentak Ki Singalodra dengan suara
mengguntur. Semua orang tahu, Ki Singalodra memiliki
ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat
mematikan. Bahkan korbannya bisa hangus terkena
pukulan itu.
Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu
bergerak mundur sesaat, namun mereka masih
mengepung Ki Singalodra dengan penuh kewaspadaan.
Pedang dan tombak masih terhunus. Masing-masing
terdiam sejenak dalam situasi saling menunggu. Namun
tiba-tiba suara derap kuda terdengar mendekat dari arah
Gua Selarong.
“Tunggu! Berhenti! Siapa itu!”
Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra,
keempat prajurit itu menoleh ke arah datangnya suara.
Dari pekatnya malam, muncul seorang penunggang
kuda dengan wajah yang sangat berwibawa. Sorot
matanya tajam dengan kumis melintang. Ki Singalodra
tahu, lelaki ini pastilah Ki Guntur Wisesa, seorang ulama
yang juga pendekar dari lereng utara Gunung Merapi
yang telah bergabung dengan barisan perlawanan
Kanjeng Pangeran Diponegoro sejak dua tahun lalu. Dia
belum pernah bertanding dengan orang ini karena Ki
Guntur selalu saja menghindar dan sama sekali tidak
tertarik untuk melakukan uji kesaktian melawannya.
(Bersambung)
Ketika melihat Ki Singalodra yang berkuda sambil
menggendong seorang bocah yang berlumuran darah,
Ki Guntur Wisesa menyapanya lembut,
“Assalamu’alaikummusalam warahmatullahi
wabarakatuh, wahai Singalodra. Apa gerangan yang
membawamu ke sini! Anak siapa yang kau bawa itu?”
Ketika mendengar sapaan yang lembut, hati Ki
Singalodra yang tadinya panas mendadak sejuk, bagai
bara api tersiram air pegunungan.
“Wa’alaikumusalam… Aku ingin bergabung dengan
barisan Kanjeng Gusti Pangeran, wahai Ki Guntur
Wisesa. Ini anakku, Surya Mandriga. Dia mati dibunuh
Belanda tadi malam, juga isteriku… Izinkan aku
menghadap Kanjeng Gusti Pangeran sekarang juga.”
Ki Guntur Wisesa bergerak meminggirkan kudanya,
memberi jalan pada tamunya.
“Silakan Kisanak. Kami akan mengawal Kisanak sampai
di atas sana…”
“Terima kasih, Ki Guntur…”
Ki Singalodra mengangguk takzim pada ulama-pendekar
itu dan kembali memacu kudanya, namun tidak
sekencang tadi. Kuda Ki Guntur Wisesa berjalan di
depan. Sedangkan keempat anak buahnya mengapit di
kiri kanan dan belakangnya. Mereka beriringan melintasi
jalan utama yang terus menanjak menuju Gua Selarong
yang berada di bawah sebuah bukit batu yang besar.
Setibanya mereka di pelataran yang landai di mana di
hadapan mereka terbentang batu karang yang besar
dengan sebuah tangga batu menuju ke atas, Ki Guntur
Wisesa memberi aba-aba dengan sebelah tangannya
yang diangkat ke atas.
“Ya, kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan
kaki ke atas sana.”
Ki Guntur yang mengenakan pakaian serba putih
melompat dari kuda dan menambatkannya pada salah
satu pokok pohon yang ada di pinggir pelataran. Ki
Singalodra juga melompat turun dari kudanya sambil
masih menggendong Surya Mandriga.
“Mari Kisanak, ikut aku,” ajak Ki Guntur Wisesa. Dia
menghampiri Ki Singalodra dan menawarkan diri untuk
membantu menggendongkan anaknya. Namun Ki
Singalodra menolaknya.
“Biar aku saja… Tolong tunjukkan saja jalannya.”
Kemudian Ki Guntur memerintahkan seorang anak
buahnya berlari terlebih dahulu ke atas untuk
memberitahukan kedatangan Ki Singalodra kepada
Kanjeng Pangeran Diponegoro. Anak buah itu segera
berlari ke atas.
“Sekarang kita tunggu dulu disini, Kisanak…,” ujar Ki
Guntur.
Ki Singalodra menganggukkan kepala dan tetap berdiri
dengan tegap di ujung bawah susunan bebatuan yang
membentuk anak tangga menuju ke gua yang ada di
atasnya.
Tak lama kemudian, anak buah yang tadi ke atas
tampak berlompatan menuruni anak tangga yang sama.
Dia langsung melapor kepada Ki Guntur yang berdiri di
sisi kanan Ki Singalodra.
“Kanjeng Gusti Pangeran siap menerimanya….”
Anak buah itu kemudian bergerak menggeserkan
badannya ke samping, memberi jalan kepada Ki Guntur
dan Ki Singalodra. Keduanya lalu berlompatan bagai
Kijang Kencana menaiki tangga batu yang cukup curam.
Hanya dengan beberapa kali hentakan loncatan, badan
mereka sudah melambung ke atas dengan cepat.
Keempat prajurit muda yang melihatnya hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub.
Mereka segera menyusul kedua orang itu dengan berlari
menaiki tangga.
Setibanya di atas, Ki Singalodra tampak sedang diterima
Pangeran Diponegoro. Ustadz Muhammad Taftayani,
Pangeran Ngabehi Jayakusuma alias Pangeran Bei[1],
Ki Guntur Wisesa, dan beberapa alim-ulama lainnya
yang seluruhnya berpakaian putih-putih tampak
mendampinginya.
Semuanya menyandang senjata. Ada yang menyelipkan
keris di pinggang, ada pula yang memegang pedang.
Sebagaimana kawulo-alit yang bertemu dengan rajanya,
sambil terus memeluk jasad anaknya, Ki Singalodra
segera berlutut. Dengan kepala menunduk, lelaki
dengan janggut dan cambang yang lebat ini berkata
pelan, “Kanjeng Gusti Pangeran, hamba….”
Belum selesai lelaki itu mengucapkan perkataannya,
Pangeran Diponegoro yang mengenakan jubah serba
putih lengkap dengan surban hijau lembut yang
menutupi sebagian kepalanya menyapa dengan lembut,
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai
Ki Singalodra… Semoga Allah Subhana wa ta’alaselalu
melindungi, merahmati, dan memberkati Kisanak…”
Badan Ki Singalodra menggigil mendengar suara yang
sangat berwibawa itu. Entah mengapa, mendengar
salam dari orang-orang berjubah itu dia merasakan satu
getaran yang aneh di dalam dirinya. Getaran yang tidak
pernah dia rasakan sebelumnya. Ki Singalodra tidak
berani mengangkat wajahnya dari tanah. Dia tidak
menjawab apa pun. Bibirnya yang juga bergetar
bagaikan terkunci rapat.
“Bangunlah saudaraku. Tidak perlu berlutut seperti itu.
Kita adalah sama. Semua manusia itu sederajat. Yang
membedakan di antara manusia bukanlah keturunan,
pangkat, atau jabatan, melainkan ketakwaannya kepada
Allah subhana wa ta’ala…,” ujar Diponegoro lagi.
Lelaki dengan pakaian serba hitam itu perlahan bangun
dan berdiri. Tangannya tetap memeluk jasad anaknya
dengan erat. Ki Singalodra masih saja tidak berani
menatap langsung wajah Diponegoro. Dia hanya melihat
ke bawah.
“Gerangan apa yang membuatmu ke sini Kisanak?”
“Maafkan saya Kanjeng Gusti Pangeran… Saya ingin
bergabung dengan Kanjeng Gusti Pangeran…”
Diponegoro tersenyum. Ustadz Muhammad Taftayani
yang berdiri di samping Diponegoro membisikkan
sesuatu ke telinga anak didiknya itu, “Sebaiknya kita
urus dahulu jenazah anak itu…”
Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua
pengawalnya untuk mengurus jenazah anak dari Ki
Singalodra itu.
“Maafkan saya Kisanak. Sebaiknya jenazah
anak Kisanak diurus terlebih dahulu dengan baik.
Sebagai Muslim, kita wajib memperlakukan jenazah
dengan layak. Serahkan saja pada kita…”
Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro.
Dengan hati-hati dan berlinang airmata dia menyerahkan
jenazah puteranya itu kepada dua orang pengawal yang
segera menyambutnya.
Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro
berkata kembali, “Nah, apakah seorang Ki Singalodra
sungguh-sungguh ingin berjihad di sisi kami dalam
menegakkan kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir
kaum kafir Belanda dari negeri ini?”
Dengan mantap lelaki itu mengangguk, “Ya, Kanjeng
Gusti Pangeran. Saya bersungguh-sungguh.”
“Apakah Kisanak mengetahui apa yang sedang kami
perjuangkan disini?”
“Melawan Belanda…?”
“Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua.
Belanda bukanlah musuh kami. Sebagaimana kami tidak
memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami
adalah kekufuran dan kezaliman. Itu yang kami perangi.
Kami tidak memerangi orang, tapi kami memerangi
sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi
sistem thagut.”
“Thagut…?”
“Ya. Sebelum bergabung dengan kami,
sebaiknya Kisanak bisa memahami dengan benar apa
yang harus diperjuangkan oleh kita semua, kaum
Muslimin, di dalam hidupnya. Untuk itu, jika tidak
keberatan,Kisanak terlebih dahulu akan mengikuti
pengajian yang akan disampaikan Ki Guntur atau Ustadz
Taftayani. Beliaulah yang akan menerangkan kepada
kita semua tentang apa dan bagaimana seharusnya
berperang di dalam Islam. Saya pun saat ini masih
selalu belajar memperdalam ilmu agama. Mari kita
sama-sama belajar mendalami ilmu, karena itu adalah
perintah agama.”
“Berperang di dalam Islam..?”
“Ya. Itu benar, Kisanak. Jihad fi sabilillah namanya.
Semuanya nanti akan diterangkan oleh ustadz-ustadz
yang ada di sini. Dan satu lagi…”
Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar
tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan perang
dalam Islam. Baginya perang adalah membunuh musuh
sebanyak-banyaknya, mengalahkannya, hingga musuh
takluk. Itu saja.
Pangeran Diponegoro melanjutkan kalimatnya, “…
semua yang ada disini harus memperbaharui akidahnya.
Jika Kisanak bersedia, silakan mengikuti perkataan saya
sekarang. Bagaimana?”
Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, “Baik
Kanjeng Gusti Pangeran, saya bersedia.”
“Nah, sekarang ikuti perkataan saya...”
Di depan gua yang gelap pekat tanpa penerangan obor,
dengan perlahan namun jelas, Pangeran Diponegoro
berjalan mendekati Ki Singalodra yang masih berdiri
mematung. Tanpa ragu Diponegoro mengangkat kedua
tangannya memegang kedua bahu lelaki itu. Kemudian
dia mulai mengucapkan dua kalimah syahadah yang
diikuti kata demi kata oleh Ki Singalodra.
“Asyhadu ala Ilaha Ilallah… wa asyhadu alla Muhammad
ar-Rasulullahu... Saya bersaksi, tiada tuhan yang patut
disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi
Muhammad adalah Rasul utusan Allah…”
Dengan terbata-bata, jagoan dari Dusun Ngampilan
yang jika mendengar namanya saja orang kebanyakan
bisa gemetar itu mengucapkan dua kalimah syahadat. Ki
Singalodra cukup cerdas. Sekali saja Diponegoro
menuntunnya, dia sudah bisa mengikutinya. Setelah
selesai, semuanya mengucapkan syukur.
“Alhamdulillahi Rabb al’Amien…“
Pangeran Diponegoro kemudian langsung memeluk Ki
Singalodra dengan hangat. Bagai pelukan seorang
kekasih yang lama tak berjumpa. Sama sekali tidak ada
kecanggungan tampak di sana. Diponegoro, sang putera
Sultan Hamengku Buwono III, dengan sangat akrab dan
hangat memeluk erat seorang jagoan yang tangannya
banyak berlumur darah orang lain. Hal ini langsung
membuat hati Ki Singalodra luluh. Lelaki ini lumer dan
menangis terisak.
“Dosa-dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran…
Apakah ada cara untuk menebusnya agar nanti saya
bisa berkumpul dengan anak dan isteriku di surga?”
Pangeran Diponegoro masih memegang kedua bahu Ki
Singalodra. Kedua matanya yang tajam tapi
menyejukkan menatap langsung ke dalam mata lelaki
itu.
“Saudaraku, Allah Maha Pengampun dan Penyayang.
Semua dosa umat-Nya akan diampuni asalkan kita mau
bersungguh-sungguh bertobat, terkecuali dosa syirik,
yaitu dosa karena menyekutukan Allah dengan sesuatu.
Dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni.”
“Bagaimana caranya agar saya bisa kembali berkumpul
nanti dengan keluargaku di surga?” ulang Ki Singalodra.
“Berjihadlah dengan ikhlas, semata-mata demi tegaknya
tauhid. Li ila kalimatillah. Asal kita tidak berhutang pada
orang lain, setiap orang yang menemui kematian di jalan
jihad, syahid fi sabilillah, dijamin Allah langsung masuk
surga…tanpa dihisab.”
Kedua mata Ki Singalodra berbinar. Wajahnya menjadi
cerah. “Terima kasih, Kanjeng Gusti Pangeran. Terima
kasih. Saya akan berjihad disamping Paduka.”
Ustadz Taftayani maju ke depan. Dia kemudian
menyalami dan juga memeluk Ki Singalodra. Setelah itu
salah seorang guru dari Pangeran Diponegoro ini berdiri
dan memberikan sambutannya, “Dahulu ketika
menghadapi kaum musyrikin Quraisy, Allah subhana wa
ta’ala mengirimkan seorang Hamzah bin Abdul Muthalib,
untuk memperkuat barisan kaum Muslimin. Hamzah
adalah Singa Allah dan Rasul-Nya. Dialah yang menjadi
pahlawan Perang Badr dan Uhud. Dan sekarang,
Allah subhana wa ta’ala mengirimkan bagi kita seorang
Ki Singalodra yang gagah berani. Insya Allah, dengan
izin Allah, dengan bergabungnya Ki Singalodra, barisa
kita akan bertambah kuat. Cahaya kemenangan semakin
dekat. Saya yakin, Ki Singalodra adalah Hamzah yang
dikirimkan Allah kepada kita. Allahu akbar!”
“Amien ya Rabb! Allahu akbar!” teriak semua yang ada
disitu. [] (Bersambung)
Bab 2
ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU
DENGANTHAGUT, sebagaimana air yang tidak pernah
bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak akan
pernah berdamai dengan kebathilan. Ustadz Muhammad
Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam ini di
dalam setiap pengajiannya. Seperti juga malam ini,
digelar ‘taklim dadakan’ yang hanya diikuti tujuh orang
anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam
orang lainnya yang di antaranya para senopati terpilih
yang sengaja dikirim oleh Raja Surakarta, Kanjeng
Susuhunan Paku Buwono VI[1] yang juga merupakan
keponakan Diponegoro. Hal ini dilakukan Paku Buwono
VI untuk membantu persiapan perjuangannya pamannya
itu.
Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku
Buwono VI juga mengirimkan pasukan-pasukan kraton
terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.
Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di
sudut belakang, terhalang tiga gundukan batu yang
besar, Ustadz Taftayani duduk bersila di atas batu datar
menghadap ke bagian pintu gua. Dari tempat bersilanya,
ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di
Tegalredjo tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang
berjaga di pintu masuk gua. Walau hanya duduk, tidak
berdiri seperti layaknya orang yang tengah berjaga,
namun mereka tetap waspada.
Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam
barisan Mujahidin, beserta sejumlah orang baru, Ustadz
Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang
bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang
perjuangan yang tengah dipersiapkan melawan kafir
Belanda dan antek-anteknya. Semua anggota pasukan
Diponegoro harus memiliki persepsi yang sama di
dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota
baru yang bergabung, maka dia setidaknya harus
melewati tiga tahapan penting: bertobat dan
memperbaharui syahadatnya, serta memiliki
pemahaman yang lurus dan benar tentang makna jihad
di Jalan Allah.
Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji
Syahadatain. Salah satu bagiannya mengupas
tentang Thagut atau ‘tuhan yang lain’.
Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani
menerangkan, “…Thaghut merupakan tuhan selain Allah
subhana wa ta’ala. Segala pandangan hidup, keyakinan,
hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang
tidak berasal dari hukum Allah, atau malah bertentangan
dengan syariat dan akidah Allah, maka itulah Thagut…
Apakah ada yang ingin bertanya?”
Ki Singalodra mengacungkan tangannya, “Ustadz,
apakah bea kerig-aji[2]juga bisa dianggap
sebagaiThagut?”
“Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng[3],
bea pangawang-awang[4], bea pajigar[5], bea wikah-
welit[6], bea pajongket[7], bea bekti[8], bea jalan, bea
pertunjukan[9], bea penimbangan[10], dan banyak lagi
yang lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari
banyak sekali jenis-jenis pajak yang dibebankan
penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil. Jika tidak
salah, sekarang ini ada lebih dari 34 jenis pajak yang
harus dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir
Belanda. Berbagai pajak ini amat menyusahkan rakyat
kecil yang memang hidupnya melarat. Kezaliman ini
tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem
kekuasaan seperti ini, dimana rakyatnya hidup susah,
namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah, jelas
merupakan sistem Thagut. Sistem ini harus diakhiri,
dihancurkan, dan diganti dengan sistem yang adil….”
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” Tiba-
tiba Pangeran Diponegoro sudah berada di dalam gua
bergabung dengan mereka.
“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh...,”
jawab Ustadz Taftayani dan seluruh yang hadir. Sang
Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki
Singalodra. Ketika menyadari siapa yang duduk di
belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser untuk
memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar
tidak enak hati jika harus duduk membelakangi Kanjeng
Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah
menahannya.
“Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap di situ…,”
bisiknya sambil tersenyum.
Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap
duduk pada tempatnya semula. Walau hatinya merasa
teramat sungkan.
“Pangeran,” ujar Taftayani. “… kita disini sedang
membahas pajak dan Thagut. Apakah ada yang ingin
ditambahkan?”
“Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung,
Ustadz?”
“Sedikit. Silakan paparkan…”
Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu.
Mungkin kalimat pembuka. Dia kemudian mulai
berbicara. Suaranya terdengar halus, namun
mengandung kekuatan.
“Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk
mengisi pundi-pundi kas suatu negeri, agar negeri
tersebut dapat mengelola dan membangun wilayahnya,
termasuk rakyatnya…,” paparnya.
Kemudian dia melanjutkan, “…Keberadaan pajak sangat
penting, jika suatu negeri memang tidak punya sumber
lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau
kekayaan alam. Namun tidak di Tanah Jawa, tidak juga
di Nusantara. Allah subhana wa ta’ala telah menitipkan
sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini.
Tanah ini sangat subur. Emas permata ada di mana-
mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya, baik yang ada
di darat, laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan
baik, negeri ini bisa memakmurkan rakyatnya tanpa
memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di negeri
yang kaya seperti di Tanah Jawa ini adalah haram
hukumnya…”
Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun
mendengar kalimat yang disampaikan Pangeran
Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.
“Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita
seperti sekarang? Bahkan orang-orangnya Patih
Danuredjo juga memusuhi rakyatnya sendiri…” tanya
Pangeran Diponegoro. Kemudian dia sendiri yang
menjawabnya, “Karena kafir Belanda adalah penjajah
bagi bangsa ini. Penjajah selalu melakukan perampokan
terhadap bangsa yang dijajahnya. Baik perampokan
yang dilakukan terang-terangan, juga perampokan yang
dilakukan secara diam-diam, atau berkedok macam-
macam, ya seperti pajak yang sekarang ada. Pajak
sekarang ini sudah menjadi sumber bagi pejabat untuk
memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Para pejabat
di negeri ini kian hari kian rakus dengan kelezatan dunia.
Kegilaan mereka ini tidak pernah terpuaskan. Yang
menjadi korban adalah rakyat kebanyakan…”
“Apakah sebab itu kita harus memerangi mereka?
Bagaimana berperang atau jihad fisabilillah itu?” tanya
salah seorang senopati yang kemarin baru dikirim Paku
Buwono VI.
Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz
Taftayani. Namun ustadz itu malah mempersilakan
Diponegoro untuk menanggapinya, “Silakan
Pangeran…”
“Perang di dalam Islam bersifat membebaskan,” jawab
Diponegoro, “…sebab itu, jika suatu kota atau negeri
telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka istilahnya
bukanlah penaklukan, kalah, dan sebagainya,
tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang berarti
‘pembebasan’ atau ‘membebaskan’. Membebaskan dari
apa? Yaitu membebaskan manusia dari penghambaan
kepada selain Allah subhana wa ta’ala, baik itu
ketundukan kepada hukum yang zalim, sistem yang
salah, penguasa yang korup, dan sebagainya. Itulah
esensi perang di dalam Islam, membebaskan manusia
dari kebathilan dan kezaliman…”
Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia
benar-benar menyayangi murid yang satu ini. Ulama
rendah hati dari tanah seberang ini tahu jika Pangeran
Diponegoro, yang terlahir dengan nama Bendoro Raden
Mas Mustahar, yang kemudian dikenal sebagai Bendoro
Raden Mas Ontowiryo, pada 11 November 1785 di
Kraton Yogyakarta ini memiliki banyak keistimewaan.
Diponegoro[11] adalah anak tertua dari Sultan
Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati.
Ketika melihat dan memangku bayi Diponegoro, Sultan
Hamengku Buwono I haqul yaqin jika suatu hari nanti
Diponegoro akan tumbuh menjadi pembebas rakyat dari
kezaliman dan kesengsaraan.
“Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang
besar untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa.
Dia akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar
pada kafir Belanda. Dia akan menjelma menjadi orang
besar yang dicintai rakyatnya, melebihi diriku,” tegas
Sultan Hamengku Buwono I yang juga kakek buyut dari
Diponegoro. Sebab itu, Sultan secara khusus
mengamanahkan agar bayi Diponegoro kelak diasuh
dan dididik permaisurinya sendiri, Ratu Ageng.
(Bersambung)
[1] Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di
Surakarta, 26 April 1807 dan meninggal dalam
pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni
1849. Nama aslinya Raden Mas Sapardan. Beliau naik
tahta dalam usia 16 tahun dan setahun kemudian, dalam
usia 17 tahun, beliau telah menjadi pendukung
perjuangan Pangeran Diponegoro yang loyal walau
terikat perjanjian dengan Belanda. Pakubuwana VI
meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849.
Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal
karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari
Ambon ke Astana Imogiri, kompleks makam keluarga
raja Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan
bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di
bagian dahi. Menurut analisis Jenderal TNI Pangeran
Haryo Jatikusumo (putera Pakubuwana X), lubang
tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau
dari letak lubang, kematian Pakubuwana VI jelas
ditembak pada bagian dahi, bukan kecelakaan.
[2] Pajak atas kepala atau pajak yang dikenakan pada
setiap orang, besar dan kecil tanpa perkecualian.
[3] Pajak atas pintu rumah.
[4] Pajak atas pekarangan rumah.
[5] Pajak atas hewan ternak.
[6] Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah,
walau luasnya hanya sedikit.
[7] Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah.
[8] Pajak jika seseorang bertukar tuan tanah atau
majikan.
[9] Pajak pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah
kepada warga desa jika ada pertunjukkan kesenian atau
hiburan lainnya. Namun nyatanya, walau tidak pernah
ada pertunjukkan hiburan, rakyat tetap diharuskan
membayar jenis pajak ini.
[10] Pajak penimbangan padi dilakukan ketika panen.
Tapi faktanya, seperti juga pajak pertunjukkan, padi-padi
hasil panen para petani tidak pernah ditimbang, namun
tetap dikenakan pajak. Bahkan banyak petani miskin
diwajibkan kerja di lahan pertanian milik bupati tanpa
dibayar sepeser pun.
[11] Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas
(BRM) Mustahar. Lahir di keraton Jogyakarta, pada
Jum’at Wage, 7 Muharram Tahun Be (11 Nopember
1785). Tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya
menjadi Bendoro Raden Mas (BRM) Ontowiryo. Adapun
nama Diponegoro dan gelar Pangeran baru
disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik
takhta.
Di masa itu, perempuan-perempuan dan laki-laki Jawa-
termasuk di kalangan bangsawan kraton-lazim menikah
di usia yang masih relatif sangat muda. Ketika
Diponegoro dilahirkan, Raden Ayu Mangkarawati, sang
ibu, masih berusia 14 tahun, dan ayahnya 16 tahun[1].
Dan sudah menjadi kelaziman jika sang anak kemudian
diasuh oleh nenek atau buyutnya. Hal ini merupakan
tradisi leluhur agar sang anak mendapatkan pendidikan
dan pengasuhan yang benar dari seseorang kerabat
yang jauh lebih matang dan dewasa. Suatu konversi
budaya yang saat ini sudah punah.
Sesuai amanah khusus dari Hamengku Buwono I, bayi
Diponegoro diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng.
Ratu Ageng dikenal sebagai seorang permaisuri yang
sangat taat pada agama dan luas ilmunya. Sampai
tahun 1792, ketika suaminya masih berkuasa, Ratu
Ageng mengasuh Diponegoro di kraton dan kemudian
meneruskannya di Puri Tegalredjo setelah suaminya
wafat.
Selain seorang pendidik, Ratu Ageng juga merupakan
Panglima Bregada Langen Kesuma-kesatuan pasukan
elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya
Trisat Kenya di zaman Amangkurat I-pada masa
kekuasaan Mangkubumi.
Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus
pengawal raja yang sangat tangguh. Walau semua
anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini
dilengkapi dengan senjata api laras panjang dan
pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula, dan lain
sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata
dan olah kanuragan jangan diragukan lagi.
Ada sebuah kisah yang terjadi pada bulan Juli 1809.
Ketika itu Marshall Hermann Wilhelm Daendels
berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dalam salah satu jamuan penyambutan, diperlihatkan
atraksi dari Bregada Langen Kesuma dan dia terkagum-
kagum melihat atraksi pasukan khusus perempuan ini.
Sejarawan Carey mengatakan jika Langen Kesuma
merupakan satu-satunya kesatuan militer pribumi yang
mampu membuat Daendels berdecak kagum ketika
melihatnya.
Selain Daendels, J. Greeve bersama Residen Surakarta
Hartsinch juga pernah menyaksikan Bregada Langen
Kesuma ini. Mereka disambut dengan salvo senapan
dan meriam yang dipergilirkan dengan amat sempurna.
Markas dari kesatuan istimewa ini berada di
Pesanggrahan Madyaketawang. Lapangan latihan
menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun
Pungkuran, di selatan kraton. Serat Rerenggan Karaton,
Pupuh XXII, Sinom, menyebutkan:
“Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati,
pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit,
tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya
munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di,
angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.”
Artinya lebih kurang sebagai: “Di Pesanggrahan
Madyaketawang, dan datanglah Sri Bupati (maksudnya
Sri Sultan) untuk menyaksikan mereka, seorang
perempuan yang menjadi pemimpin pasukan Langen
Kesuma, penampilannya mirip prajurit lelaki, dilihat dari
jauh, tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua
naik kuda, menuju tempat latihan di ibukota, yaitu di
Alun-alun Pungkuran.”
Selain menempa pasukan khusus perempuannya
dengan ilmu perang dan kanuragan, Ratu Ageng juga
membekali mereka dengan ilmu agama sehingga
pakaian pasukan ini terbilang sangat sopan, dengan
tetap mengedepankan kebebasan gerak untuk
berperang. Ratu Ageng sebagai pengasuh Pangeran
Diponegoro adalah panglima pasukan khusus ini. Bukan
hanya sebagai panglima, Ratu Ageng juga merupakan
seorang permaisuri raja yang sangat peduli dengan nilai-
nilai keislaman. Sebab itulah, selain menempa seorang
Diponegoro dengan cara-cara seorang ksatria, Ratu
Ageng juga membekali cicit kesayangannya ini dengan
ilmu agama yang cukup dalam.
Namun berbeda sikapnya dengan Diponegoro, terhadap
anak kandungnya sendiri Ratu Ageng malah tidak akur.
Ini disebabkan karena Raden Mas Sundoro dianggap
tidak taat dalam menjalankan perintah agama, walau
Raden Mas Sundoro sendiri dikenal sangat anti terhadap
penjajah Belanda.
Sebab itulah, ketika Hamengku Buwono I turun tahta
dan digantikan oleh Raden Mas Sundoro yang kemudian
dikenal sebagai Hamengku Buwono II di tahun 1792,
Ratu Ageng memilih untuk keluar dari lingkungan kraton
yang dianggapnya sudah cemar oleh tradisi kafir
Belanda. Ratu Ageng lebih memilih tinggal di sebuah
dusun terpencil yang kelak dikenal sebagai Tegalredjo,
berjarak sekira tiga kilometer barat kraton. Diponegoro
ikut diboyong keluar dari kraton dan tinggal di dusun di
tengah-tengah rakyatnya sendiri.
Dari Kraton, Puri Tegalredjo tepat berada di arah barat
laut, arah yang dijadikan kiblat bagi umat Islam di
Nusantara untuk sholat. Di dalam kompleks puri, Ratu
Ageng juga membangun sebuah masjid di sebelah barat
laut bangunan utama puri yang berupa pendopo utama.
Karena dibesarkan dalam lingkungan kawulo alit atau
rakyat kecil, maka dalam jiwa seorang Diponegoro
tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada
orang-orang kecil. Apalagi sejak kecil Diponegoro
melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa seorang
Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa
rendah ketika harus bergaul dengan kawulo alit. Bahkan
Ratu Ageng ikut terjun langsung bercocok tanam di
sawah dengan kaki dan tangan penuh lumpur. Ratu
Ageng harus bekerja, karena dia harus menghidupi
keluarganya sendiri disebabkan dia menolak bantuan
keuangan dari kraton yang dianggapnya sudah dikotori
oleh kemaksiatan dan kezaliman.
“Akan jauh lebih mulia di hadapan Allah jika aku bekerja
dengan tangan dan kakiku sendiri, ketimbang hidup
dengan bertumpu pada uang kotor yang berasal dari
memeras keringat dan darah rakyat!” tegasnya.
Diponegoro juga melihat betapa Ratu Ageng
sangat gandrung pada literatur-literatur keagamaan,
sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang
sederhana di Tegalredjo bagaikan sebuah perpustakaan
kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng
tidak memiliki minat yang besar. Dia hanya memiliki
barang-barang primer yang memang dibutuhkan dalam
rumah tangga seperti kebanyakan orang.
Semua pengajaran yang diberikan Ratu Ageng dan para
ulama yang dipanggil maupun yang didatangi langsung
oleh Diponegoro muda menyebabkan Pangeran
Diponegoro menjadi seorang pemuda yang bersahaya.
Seluruh kehidupannya diusahakan dengan keras
mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dia sering
menyamar sebagai orang kebanyakan, mengenakan ikat
kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Diam-diam
dia sering membaur bersama para santri di pondok-
pondok pesantren di pedesaan dengan menggunakan
nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya
hampir terbongkar, dia akan segera pindah ke pondok
pesantren yang lain. Selain itu, Diponegoro juga senang
mengembara, keluar masuk hutan, tinggal di gua-gua
untuk menyendiri, dan menatap lama-lama deburan
ombak dan langit Laut Kidul.
Pangeran Diponegoro tahu betul, kehidupan para
pembesar kraton yang sebagian besar masih
kerabatnya, kian hari malah kian jauh dari tuntunan
agama. Para pejabat kraton yang notabene sudah
memeluk Islam, semakin hari malah semakin mesra
dengan kafir Belanda. Islam bagi mereka hanyalah
identitas formal, sedangkan kelakuannya sudah tidak
ada beda lagi dengan kelakuan kaum kafir Belanda yang
menyukai dansa-dansi sampai pagi, minum-minuman
keras, gila harta dan judi dengan taruhan gadis-gadis
penari.
Martabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang
tadinya begitu tinggi dan mulia kini sudah cemar, dikotori
kafir Belanda dan sebagian besar pembesar kraton
sendiri yang sudah lupa dengan jatidirinya.
Sebab itu, ketika Hamengku Buwono III, ayah
kandungnya, hendak menobatkannya sebagai putera
mahkota-walau Diponegoro bukan berasal dari
permaisuri, namun selir-dengan tegas dia menolaknya.
Ustadz Taftayani tahu, penolakan Diponegoro lebih
disebabkan ketidaksukaannya terhadap campur tangan
Belanda dalam kekuasaan kraton. Bahkan
pengangkatan seorang raja pun harus disetujui Belanda
dan Residen Belanda-lah yang melantik seorang raja.
Diponegoro amat muak dengan semua ini. Itulah yang
melatarbelakangi penolakannya untuk menjadi raja di
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dengan penuh keikhlasan, dia menunjuk adiknya yang
masih belia, Raden Mas Jarot, untuk menerima posisi
sebagai putera mahkota. Dihadapan orang-orang
terdekatnya, Diponegoro ketika itu mengatakan,
“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya,
kalau-kalau saya lupa, tolong ingatkan pada saya,
bahwa saya bertekad tidak mau dijadikan pangeran
mahkota, walau pun seterusnya akan diangkat menjadi
raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin
itu terjadi. Cukuplah saya menjadi seperti apa yang ada
sekarang, dekat dengan Gusti Allah dan rakyatku. Saya
bertobat kepada Allah Yang Maha Besar. Hidup di dunia
tiada akan lama dan saya tidak ingin hidup saya ini
nantinya dikotori oleh kafir Belanda. Saya tidak ingin
hidup dengan menanggung dosa…”[2]
Bagi Diponegoro, kehidupan penuh glamor di dalam
kraton sama sekali tidak menarik hatinya. Baginya kraton
adalah tempat yang penuh dengan dosa, dan dia tidak
mau ikut terkotori. Diponegoro lebih menyukai hidup dan
berada di tempat yang sepi, untuk mencari kesejatian
dan makna hidup, menggali ilmu agama, dan
pengetahuan yang bermanfaat.
Seorang Diponegoro lebih menyukai menjalin silaturahim
dengan para alim-ulama dan rakyat biasa, ketimbang
berdekat-dekatan dengan penguasa. Sejumlah ulama
besar yang dekat dengan Diponegoro antara lain Kiai
Muhammad Bahwi, penghulu utama kraton, lalu Haji
Baharudin yang menjadi Komandan Pasukan Suronatan,
Kiai Kasongan, Kiai Papringan, juga dengan Kiai
Baderan ayah dari Kiai Mojo, dan lain-lain. Dan seorang
Ustadz Muhammad Taftayani merasa bersyukur bisa
menjadi salah satu guru bagi orang yang berhati mulia
ini.
“Ustadz… silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak
keluar dahulu,” ujar Pangeran Diponegoro membuyarkan
semua ingatan Muhammad Taftayani[3] tentang murid
kesayangannya itu.
“Astaghfirullah.. saya melamun. Silakan Pangeran. Dan
karena hari sudah semakin malam, pengajian kali ini kita
cukupkan sampai disini dahulu. Mudah-mudahan iman
Islam yang kita miliki mampu untuk mengikat hati kita
semua dalam perjuangan yang sebentar lagi akan
mendatangi kita. Cepat atau lambat, semuanya akan
diuji oleh perjuangan ini. Saya berdoa agar
Allah subhana wa ta’ala nanti memasukkan dan
mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya. Amien
ya Rabb. Apakah kisanak semua masih ada
pertanyaan?”
Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz
Taftayani saling berpandangan dan kemudian
menggelengkan kepala.
“Baiklah. Nanti kita akan berkumpul kembali dalam
pengajian berikutnya. Untuk saat ini saya
cukupkan.Wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.“
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,”
jawab semuanya.
Pengajian telah berakhir malam itu. Para prajurit ada
yang beristirahat, ada pula yang bertugas jaga.
Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh, dan
pimpinan pasukan lainnya bergabung di sebuah rumah
yang cukup besar di bagian bawah Gua Selarong.
Seperti yang dilakukan setiap malam, semuanya akan
mendengar pemaparan perkembangan terakhir situasi
Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandiatau
mata-mata yang dikirim ke berbagai tempat. Pangeran
Diponegoro akan langsung memimpin pertemuan
tersebut. [] (Bersambung)
[1] Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden
Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro dilahirkan 11
November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo atau yang
kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono III
dilahirkan pada 20 Februari 1769.
[2] Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini
tertulis di dalam Babad Diponegoro jilid I hal.39-40.
[3] Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805,
Ustadz Taftayani yang berasal dari Sumatera Barat itu
mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa
dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta,
pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta,
Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim
karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini
mengindikasikan, Pangeran Diponegoro belajar Islam
dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984,
“Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke
19″, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta hal. 29).
Bab 3
SUROMENGGOLO BERSAMA TIGA LELAKI LAINNYA
sudah duduk bersila di ruangan agak besar berdinding
bambu yang tidak dilabur dengan kapur, sehingga bilik-
biliki bambu yang mengikat dengan saling-silang itu
menampakkan keasliannya. Sebuah pelita kecil sengaja
diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas
ruangan. Keempat orang itu merupakan bagian dari
pasukantelik sandi yang sengaja dikirim Diponegoro ke
daerah-daerah musuh untuk menggali informasi
sebanyak-banyaknya tentang berbagai hal.
Di luar, suara hewan malam terdengar bersahut-
sahutan. Sesekali di kejauhan, lenguhan monyet
menimpali. Suaranya begitu memilukan, bagai
meneriakkan nasib rakyat pribumi yang terus-menerus
menderita di bawah kekejaman Belanda dan antek-
anteknya.
Suromenggolo sungguh-sungguh kagum dengan
Susuhunan Paku Buwono IV. Keponakan dari Pangeran
Diponegoro inilah-bersama Pangeran Mangkubumi[1]-
yang menganjurkan agar pamannya memilih Gua
Selarong sebagai basis perlawanan gerilya. Wilayah
Selarong dengan beberapa guanya memang sangat
strategis. Tempatnya berada di ketinggian sebuah bukit,
dikelilingi hutan yang masih lebat walau tidak luas. Jalan
dari dan menuju gua hanya satu dan itu pun kecil
sehingga sulit dilalui kereta yang ditarik kuda. Walau
berada di ketinggian, namun Gua Selarong yang berada
di selatan Yogyakarta ini tak begitu jauh dengan dengan
garis pantai Laut Kidul, tempat yang disukai Diponegoro
untuk tafakur .
Di bawah Gua Selarong terdapat perkampungan yang
sudah ramai oleh rumah penduduk. Walau demikian,
kontur daerah ini memang menjadikannya sangat cocok
untuk dijadikan markas komando dalam kacamata
militer.
Setelah menyimak dan menimbang saran dari Paku
Buwono VI, Pangeran Diponegoro akhirnya mengakui
jika usul keponakannya tersebut memang tepat. Gua
Selarong memang sebuah benteng alami yang cukup
tangguh.
Sebagai seseorang yang dididik dan dibesarkan
panglima pasukan khusus pengawal raja, Pangeran
Diponegoro tahu banyak soal strategi perang. Ratu
Ageng tidak hanya memberinya pengetahuan
keagamaan, tetapi juga membekalinya dengan dasar-
dasar kepemimpinan dan kemiliteran, pengetahuan
tentang taktik perang, penggunaan senjata, manajemen
pasukan, dan lain sebagainya.
Sebab itulah, walau tidak dilakukan tiap malam, selepas
pengajian dan di saat yang lain sudah beristirahat atau
kembali berjaga di posnya masing-masing, Pangeran
Diponegoro selalu mengadakan pertemuan terbatas
dengan para telik sandi terpilih untuk memantau
perkembangan di luar sana.
Pangeran Diponegoro percaya dengan informasi yang
disampaikan para telik sandinya. Di sisi lain, tanpa
sepengetahuan para telik sandinya, Diponegoro juga
membentuk unit kontra intelijen yang mengawasi dan
mengecek semua informasi yang diterima dari
bawahannya. Yang terakhir ini direkrut dari orang-orang
yang sangat dipercayainya, walau pun jumlahnya tidak
banyak. Ustadz Taftayani sendiri yang telah membaiat
mereka dengan kitab suci al-Qur’an di atas kepala.
Tiba-tiba pintu bilik yang bagian luarnya terbuat dari
bambu bergerak terbuka. Deritnya terdengar pelan. Dari
pintu yang terbuka tampak Ki Guntur Wisesa yang
pertama memasuki ruangan, diikuti Pangeran
Diponegoro, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, seorang
pengawal khusus, dan kemudian barulah beberapa
orang sesepuh dan para senopati. Salam pun
ditebarkan, dijawab kembali dengan salam saling
mendoakan kebaikan bagi semuanya. Mereka duduk
melingkar di tengah ruangan, diterangi temaram satu-
satunya pelita kecil yang diikat di atas dekat wuwungan.
Tidak ada yang bersuara hingga Ustadz Taftayani
membuka pertemuan.
“Bagaimana laporanmu Suromenggolo?” bisiknya
langsung ke pokok pertemuan.
Lelaki yang disapa Suromenggolo mengangguk pelan.
Murid sekaligus orang kepercayaan Kiai Mojo, ulama
kharismatik dari Desa Mojo yang berada di utara
Surakarta, ini tidak segera menjawab. Dia mengedarkan
terlebih dahulu pandangannya ke sekeliling ruangan.
Walau nyaris gelap, namun dia bisa merasakan jika
seluruh pimpinan pasukan jihad fi sabilillah Kanjeng
Gusti Pangeran berkumpul di sini.
Setelah mengedarkan pandangannya ke seluruh
ruangan, masih sambil duduk bersila, Suromenggolo
membungkukkan badan dan mulai mengeluarkan
suaranya. Terdengar seperti orang berbisik, namun bisa
didengar dengan jelas.
“Alhamdulillah. Semakin banyak ulama dan para
pendekar yang menyatakan dengan tegas jika mereka
akan bergabung dengan kita….”
Pangeran Diponegoro dan semua yang ada di dalam
ruangan tersebut juga mengucapkan hamdallahtanda
syukur kepada Allah subhana wa ta’ala. Beberapa tahun
lalu, Pengeran Diponegoro dan yang lainnya memang
bergerak di segenap penjuru negeri untuk menggalang
kekuatan untuk memerangi dan mengusir Belanda.
Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai
Abdani dan Kiai Anom di Bayat, Klaten. Kedua kiai ini
tidak saja menyatakan dengan tegas kesanggupannya
untuk bergabung namun juga memberi Diponegoro
tambahan ilmu bela diri. Dari Bayat, Diponegoro
bersama Pangeran Mangkubumi melanjutkan perjalanan
ke Sawit, Boyolali, untuk menemui Kiai Modjo, seorang
Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI.
Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran
Diponegoro. Lalu dengan diantar Kiai Modjo, Pangeran
Diponegoro menemui Tumenggung Prawirodigdoyo di
Gagatan. Tumenggung ini adalah orang kepercayaan
Susuhunan Paku Buwono VI.
Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan
inilah, Pangeran Diponegoro pun menemui Paku
Buwono VI, keponakan Diponegoro sendiri.
“Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi,
Dieng, Merbabu, Kulon Progo, dan lainnya, semua siap
bergabung dengan Kanjeng Pangeran. Bukan saja para
ulama, namun juga para pendekar dan jagoan-jagoan
setempat. Mereka sudah muak dengan Belanda. Mereka
hanya tinggal menunggu perintah dari Kanjeng
Pangeran.”
Ustadz Taftayani mengangguk-angguk. “Alhamdulillah,
ini perkembangan yang baik. Namun ketahuilah, jika
perang yang akan kita lakukan ini adalah perang
sabil, Jihad fi sabilillah. Perang yang semata-mata
bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan
menghapuskan segala kezaliman. Sebab itu, kita harus
mengaktifkan pengajian-pengajian di seluruh negeri,
agar semua yang nantinya bergabung dengan kita
memahami apa tujuan dan hakikat perang ini.
Bagaimana Pangeran?”
“Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan
memetik kemenangan. Tidak ada sedikit pun rasa takut
dan cemas menghadapi hari esok bagi orang-orang
beriman. Kematian adalah kepastian. Dan hanya orang-
orang beriman dan tawakal yang kematiannya akan
benar-benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang
lainnya, para senopati dan para ulama, mulai besok kita
akan menggencarkan pengajian kepada semua orang
yang bersedia bergabung dalam kafilah tauhid ini. Insya
Allah..,” ujar Diponegoro.
“Lantas, bagaimana dengan Danuredjo, Kisanak?” tanya
Ustadz Taftayani kembali kepada Suromenggolo.
“Danurejo makin tak terkendali, Ustadz. Tadi pagi
seorang ibu yang sedang hamil tua bersama dua orang
anak kecil yang dibawanya dilarang lewat jembatan di
Desa Jotawang, hanya karena uang yang dimiliki sang
ibu tadi untuk bayar pajak jalannya kurang. Danurejo
ada di sana. Dia tengah menginspeksi pos-pos jalan
utama. Dia sendiri yang kemudian memerintahkan ibu itu
dan anak-anaknya untuk menyeberangi Kali Code yang
berbatu-batu yang ada di bawah jembatan. Akhirnya ibu
dan anak-anaknya itu pun terpaksa menyeberangi kali.
Dan celaka, mereka jatuh dan terbawa hanyut air kali
yang deras. Tidak ada yang berani menolongnya karena
Danurejo dan pasukannya melarang semua orang yang
ada di situ untuk menolong mereka….”
“Astaghfirullah al-adziem....,” desis semua yang ada di
sana.
“Dasar anjing Belanda!” umpat Ki Singalodra geram.
Giginya sampai terdengar bergemeletuk saking
marahnya.
“Teruskan Kisanak…,” ujar Ustadz Taftayani.
(Bersambung)
[1] Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Sultan
Hamengku Buwono II atau yang lebih populer disebut
sebagai Sultan Sepuh. Sultan Hamengku Buwono II ini
sangat anti penjajah Belanda. Sikap ini diwariskan oleh
Pangeran Mangkubumi. Pangeran Diponegoro sendiri
lebih dekat kepada Sultan Sepuh ketimbang terhadap
ayahnya sendiri, Sultan Hamengkubu Buwono III yang
tidak begitu tegas, bahkan beberapa kali dengan jelas
mendukung Belanda.
Suromenggolo melanjutkan paparannya, “Danurejo juga
telah memerintahkan dua orang kepercayaannya,
Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Ponular untuk
menaikkan tarif pajak di beberapa ruas jalan yang makin
ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar, dilarang
melintas di jalan itu…”
Pangeran Diponegoro bergumam, “Murdaningrat dan
Ponular, jahat benar mereka…”
Suromenggolo mendengar gumamannya, “Ya, benar
Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka berdua telah benar-
benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir
Belanda. Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng
Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng Gusti
Mangkubumi di dewan perwalian?”
Diponegoro mengangguk. “Ya, mereka yang
menggantikanku dan
Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.”
Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di
ruangan itu tahu benar jika sesungguhnya Dewan
Perwalian Kraton hanyalah alat bagi kepentingan
Belanda untuk menipu rakyat.
Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III
wafat pada tahun 1814. Saat itu Raden Mas Jarot, adik
dari Pangeran Diponegoro, baru berusia sepuluh tahun.
Rakyat menginginkan agar Diponegoro yang menjadi
raja. Namun Diponegoro sejak awal menolak. Dan
Belanda pun tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau
tunduk pada kepentingannya. Akhirnya Raden Mas Jarot
pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku Buwono IV
dalam usia belia. Belanda menunjuk Paku Alam I
sebagai wali pemerintahannya.
Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku
Buwono IV sudah hampir berusia enambelas tahun,
Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja.
Namun pemerintahan mandiri Hamengku Buwono IV
hanya berjalan selama dua tahun, karena pada tanggal
6 Desember 1822 tengah hari, ketika baru saja
sepulangnya dari tamasya, dia meninggal dunia. Sebab
itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan
Seda ing Pesiyar, Sultan yang meninggal dunia ketika
tengah tamasya.
Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi
sebab kematiannya. Namun banyak orang yang
percaya, jika Belanda atau orang-orangnya telah
meracuni Sultan. Belanda berbuat itu agar kekuasaan
Patih Danuredjo IV bisa lebih besar.[1] Patih Danuredjo
IV, yang berasal dari keluarga Danurejan yang memang
sejak lama menjadi kaki tangan Belanda, kemudian
menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-
jabatan penting di kraton. Dengan meninggalnya
Hamengku Buwono IV, maka otomatis, Raden Mas
Gatot Menol, anaknya yang baru berusia tiga tahun akan
naik tahta. Dengan adanya raja balita ini, maka Patih
Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai seluruh
kraton. Dan kepentingan Belanda pun akan terjamin
dalam waktu yang lama.
Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol
yang baru berusia tiga tahun pun diangkat menjadi
Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi raja
kecil ini, Belanda bersama Patih Danuredjo IV
membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri dari
orang-orang terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk
salah satunya untuk menghilangkan kecurigaan rakyat
banyak soal sebab kematian Hamengku Buwono IV.
Dengan adanya Dewan Perwalian, maka Patih
Danuredjo bisa berlindung di balik dewan ini atas semua
tindak-tanduknya.
Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku
Buwono V dan dibentuknya Dewan Perwalian Kraton
menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang Pangeran
Diponegoro. Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian
hanyalah hasil akal-akalan dari seorang Danuredjo.
Karena keputusan final pemerintahan tetap berada di
tangan Patih Danuredjo IV bersama-sama dengan
Residen Belanda.
Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka
kraton akan sepenuhnya dikuasai Danuredjo dan para
penjilat kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup
lama di Parangkusumo, dengan mengucapkan Bismillah,
maka Pangeran Diponegoro pun memilih untuk mau
bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama
dengan Mangkubumi, pamannya yang sangat dihormati
Diponegoro. Diponegoro berharap dengan
bergabungnya dia dan Mangkubumi di dalam Dewan
Perwalian Kraton, maka mereka bisa mewarnai kraton
agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa
kafir Belanda.
Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat
demi rapat berlangsung, memutuskan ini dan itu terkait
kebijakan kraton terhadap berbagai macam masalah
menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan
Dewan Perwalian ternyata tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak
sejalan dengan hasil musyawarah atau rekomendasi dari
Dewan Perwalian. Patih Danuredjo yang sangat licin dan
mahir berbicara ini. bahkan dengan menyitir banyak ayat
Qur’an, hadits, dan juga siroh Rasul, selalu menelikung
semua keputusan Dewan ini. Sehingga keberadaan
Dewan seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai
panggung sandiwara. Danuredjo bisa dengan mudah
dan leluasa memutuskan segala hal walau itu
bertentangan dengan hasil musyawarah Dewan
Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih berkuasa
ketimbang Dewan Perwalian itu sendiri. Dewan yang
berfungsi sebagaimana layaknya Dewan Syuro ini tidak
memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak
lain.
Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah
muak. Maka dengan tegas, Diponegoro-bersama
Mangkubumi-menyatakan keluar dari dewan ini dan
bersama-sama umat berjuang dari luar lingkaran
kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo sendiri
mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak
kepada Diponegoro, namun Sang Pangeran tidak goyah
dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton
sepenuhnya.
Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo
melaporkan semua informasi yang diterimanya di
lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan
Belanda dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang
diambil oleh Patih Danuredjo yang kian menyusahkan
rakyat.
Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan
anggota pasukan telik sandi-nya bersepakat jika
perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak
mungkin Belanda dan Danuredjo akan mengambil suatu
langkah untuk memprovokasi Pangeran Diponegoro
untuk memulai perang.
“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “…saat
ini Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di sini harap
lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi
yang kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika
Belanda dan Patih Danuredjo tengah menyusun siasat
agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan
mereka secara terbuka terlebih dahulu. Semua ini agar
mereka memiliki alasan untuk menangkap dan
membunuh kita semua di sini…” [] (Bersambung)
[1] Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince
Dipanagara and the end of an old order in Java 1785-
1855 (2007) menulis, “…bagaimana dia wafat sangat
mengerikan-tampaknya ia mendadak kena serangan
penyakit ketika sedang makan-dan tubuhnya langsung
membengkak, suatu pertanda menurut dugaan
beberapa orang masa itu, bahwa dia telah diracuni…
Kematian itu datang dengan tiba-tiba setelah Hamengku
Buwono IV menerima nasi dan makanan Jawa dari Patih
Danuredja IV.”
Bab 4
Pertengahan Juli 1825
MALAM TELAH TURUN MENYELIMUTI LANGIT Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Di aula kraton, musik Ratu
Wilhelmina terdengar mendayu-dayu dari piringan hitam
yang diputar. Gelak tawa para pembesar Belanda dan
para pejabat kraton yang tengah dimabuk whisky dan
Brandy dalam pesta jamuan makan malam yang mewah
terdengar kencang. Diseling cekikikan genit para Noni
Belanda dan perempuan-perempuan muda yang
didatangkan orang-orangnya Patih Danuredjo entah dari
mana.
Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem
Danuredjo IV tampak duduk semeja dengan Anthonie
Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta. Penggila
pesta dan minuman keras itu, dan tentu saja juga
wanita, merupakan Residen Belanda ke-18 untuk
Yogyakarta. Sejak bertugas tahun 1823, hampir tiap
pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi dan
minuman keras dengan mengundang koleganya,
termasuk para pembesar kraton seperti halnya Patih
Danuredjo IV dan sebagian pangeran serta pejabat
lainnya.
Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan
beberapa botol Whisky yang sudah berkurang isinya,
Patih Danuredjo tengah berembug dengan residen itu
untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para
pengikutnya yang makin lama makin mencemaskan
mereka.
Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga
kraton, mereka mendapatkan keterangan jika kian hari
kian banyak saja orang yang bergabung dengan
Diponegoro. Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat
kediaman Diponegoro dan Ratu Ageng, sudah lama
tercium adanya pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi
pribumi yang dipimpin oleh sejumlah ulama pendekar
dan para jagoan yang menyatakan setia kepada
Diponegoro. Pelatihan itu tidak saja dilakukan dengan
tangan kosong, namun juga menggunakan berbagai
macam senjata.
“Patih, Kowe musti bisa bikin cara supaya Diponegoro itu
bisa segera ditangkap!”
Patih Danuredjo tersenyum. Dengan suaranya yang
lembut dan kalimat yang teratur rapi, dia menjawab,
“Insya Allah, Tuan Residen tenang saja. Saya dan anak
buah saya sedang mencari jalan supaya dia bisa
sesegera mungkin ditangkap.”
“Kapan? Kowe tidak bisa berlama-lama begitu! Apa mau
tunggu sampai pengikutnya banyak? Jadi susah kita
nantinya!” sergah Smissaert sambil menenggak sebotol
Whisky dari botolnya langsung. Jakunnya yang besar
terlihat bergerak naik turun di lehernya. Dia kemudian
menopangkan sebelah kakinya yang pendek naik di atas
meja ke atas kaki yang lain. Tapak sepatu lars Smissaert
kini menghadap lurus ke wajah Danuredjo. Patih
Danuredjo benar-benar direndahkan olehnya. Tapi patih
itu hanya berdiam diri sambil tetap tersenyum, walau
hatinya serasa panas diperlakukan seperti itu.
Melihat Danuredjo yang belum juga menjawab
pertanyaannya, dengan tidak sabaran lelaki kecil
berwajah bulat dengan rambut tipis berwarna putih
keperakan dan bermata biru itu berkata, “Aah, jangan-
jangan kowe berkomplot dengan Diponegoro hah!”
Danuredjo yang ikut minum Whisky, hanya saja dia
meminumnya dari sloki, tersedak. Airnya sampai tumpah
membasahi pakaiannya.
“Tidak, bukan begitu, Tuan. Tuan salah besar jika
sampai menduga hal itu. Saya sebenarnya sejak
beberapa hari lalu berpikir jika kita sebenarnya punya
cara yang bagus untuk menangkap Diponegoro itu…”
“Kenapa kowe dari tadi diam saja?” ketus Smissaert
dengan sinis. Bekas Residen Rembang yang ditunjuk
Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada 3 Januari
1823 menjadi Residen Yogyakarta ini, walau bertubuh
kecil dan kikuk, namun sikapnya sangat percaya diri.
“Saya baru mau cerita, Tuan…”
“Ya, cepatlah cerita!”
Danuredjo membetulkan posisi duduknya. Kini
punggungnya ditegakkan tanpa bersandar ke bagian
sandaran kursi rotan yang tinggi. Setelah terbatuk-batuk
kecil sebentar dia mulai memaparkan rencana bulusnya.
“Tuan Residen, Tuan pasti tahu proyek jalan lurus dari
Yogyakarta ke Magelang yang sedang kita kerjakan
bukan?”
Smissaert mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya,
saya tentu tahu. Ada apa dengan proyek itu?”
Wajah Danuredjo mendadak cerah. Dia memang selalu
begitu jika sedang merencanakan sesuatu. Raut
wajahnya yang sedemikian licik mengingatkan Smissaert
pada salah satu tokoh penasehat Kurawa dalam epik
Bharata Yudha yang pernah dibacanya semasa masih
kecil di Bataaf, kampung kelahirannya.
Ya, orang ini mirip sekali dengan Patih Sasngkuni!
“Tuan Residen, bagaimana jika jalan yang tadinya dibuat
lurus itu, melewati Muntilan, dibelokkan sedikit ke barat,
melewati Tegalredjo. Jalan itu kita buat sengaja
menerabas tanah makam leluhur Diponegoro dan juga
kebun miliknya. Kita tancapkan saja patok-patok proyek
jalan di sana. Jika kita melakukan itu, Diponegoro pasti
akan marah….”
Residen Smissaert menurunkan kedua kakinya dari atas
meja. Wajahnya ikutan cerah. Kedua matanya yang biru
terlihat berbinar-binar. “Ha! Ini baru namanya Patih
Danuredjo! Tak sia-sia Belanda punya orang seperti
kowe! Ayo, ayo, teruskan ceritamu!”
Disanjung demikian, Danuredjo tersenyum lebar.
Dengan sikap yang dibuat-buat dia merendahkan diri
dengan mengatakan jika dirinya biasa saja dan hanya
bekerja semaksimal mungkin demi kemuliaan ratu
Belanda.
“Tuan pasti sudah bisa menebak kemana arahnya.
Kalau Diponegoro marah, dia pasti akan mengirim
utusannya kesini untuk mengajukan protes. Kita
acuhkan saja protesnya dan tetap mematoki tanah itu
untuk dibuat jalan. Bahkan kita kirim saja para kuli ke
Tegalredjo dan mulai mengerjakan proyek ini.
Diponegoro pasti akan marah besar. Dia akan
kehilangan akal sehatnya. Bisa jadi dia akan menyerang
kuli-kuli kita itu. Atau bisa jadi pula dia akan menyerang
langsung kita di sini. Kalau itu sampai terjadi, kita tinggal
menangkapnya. Kita katakan saja jika Diponegoro mau
memberontak terhadap pemerintah. Bukankah itu
mudah?”
Smissaert tersenyum lebar, kedua matanya yang besar
menyipit, “Ha..ha..ha.. betul. Betul itu. Nah, belokan saja
jalan itu menuju tanah leluhurnya Diponegoro!”
“Kapan rencana kita bisa dilaksanakan, Tuan?”
“Secepatnya. Malam ini saja. Biar kita bisa cepat
menangkap orang itu!”
“Baik, Tuan!”
Patih Danuredjo kemudian berdiri dari tempat duduknya.
“Sebentar, Tuan. Saya akan panggil orang proyek jalan
itu sekarang.”
“Ya, kowe harus bergerak cepat!”
Danuredjo membungkuk takzim pada Smissaert,
kemudian dia keluar ruangan diiringi pandangan puas
dari Smissaert. Dengan langkah agak limbung karena
pengaruh minuman keras, Danuredjo pergi memanggil
salah seorang anak buahnya yang sudah duduk
menunggu di teras dekat dengan ruangan pertemuannya
dengan Tuan Residen. Agaknya Danuredjo sudah
mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Melihat
Patih Danuredjo datang, lelaki yang duduk menunggu itu
segera bangkit dan menyongsong tuannya.
“Joko!” panggil Danuredjo dari pintu ruangan.
“Dalem, Kanjeng Patih!” ujar lelaki yang dipanggil Joko
seraya bergegas menghampiri Danuredjo sambil
terbungkuk-bungkuk. Lelaki itu berhenti tepat dua meter
di hadapan Danuredjo dengan sikap tubuh masih sedikit
membungkuk dengan kedua tangannya ditangkupkan ke
bawah perut.
“Tuan Residen sudah setuju dengan rencana kita.
Bagaimana kalau malam ini juga rencana itu dilakukan?”
“Inggih, Kanjeng Patih. Saya siap…”
“Bagus. Kerjakan segera dan lapor setiap
perkembangan yang ada padaku.”
“Inggih, Kanjeng Patih. Perintah segera saya
laksanakan.”
Patih Danuredjo segera kembali ke dalam ruangan di
mana Smissaert tengah asyik menenggak whisky-nya.
Dia segera bergabung dengan orang Belanda nomor
satu di Yogyakarta tersebut dan tenggelam dalam pesta
minuman keras.
“Patih…, kowe sudah panggil itu Sari?” tanya Smissaert
menyebut salah satu penari kraton dari Pacitan yang
terkenal kecantikannya. Smissaert agaknya jatuh hati
pada gadis yang usianya belum genap delapanbelas
tahun itu. Danuredjo tersenyum lebar penuh arti ketika
Smissaert menanyakan Sari. (Bersambung)
“Pasti, Tuan. Semuanya sudah saya siapkan, termasuk
Sari.”
“Bagus, bagus. Tolong untuk perempuan
itu kowe jangan suruh menari lama-lama. Nanti
diakecapekan. Aku tidak mau kalau dia nanti
cepat capek. Untukmu sendiri pasti sudah juga kan?”
Danuredjo tertawa keras sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya. Smissaert juga ikut tertawa.
“Sriayu lagi…?” goda Smissaert.
Patih itu menggelengkan kepalanya, “Untuk malam ini
yang lain saja. Bosan kalau makan sayur asem terus,
biar malam ini saya makan sayur lodeh…”
Smissaert sekarang yang tertawa keras. Danuredjo pun
demikian. Keduanya memang penggila perempuan.
Bahkan di dalam urusan keputusan pengadilan pun,
Patih Danuredjo akan memenangkan pihak yang
memberikan hadiah berupa perempuan muda dan cantik
kepadanya. Hanya Wakil Residen Chevallier yang
mampu menandingi mereka dalam urusan perempuan.
Wakil Smissaert ini memiliki banyak kisah asmara,
termasuk dengan puteri-puteri kraton.
Di luar ruangan, musik Ratu Wihelmina masih mengalun
dari phonograph, alat pemutar piringan hitam dengan
corong besar berwarna hitam. Botol minuman keras
berserakan di mana-mana. Laki-laki dan perempuan
masih berpelukan di lantai mengikut alunan suara musik.
Yang lain duduk rapat menikmati Whisky sambil tertawa
cekikikan. Aula kraton malam itu tak ubahnya seperti bar
atau rumah bordil. Aroma alkohol menyeruak sampai
menembus ke luar dinding tebal kraton.[]
Bab 5
Puri Tegalredjo, 04.50 wib
ADZAN SUBUH BERKUMANDANG MEMENUHI
ANGKASA pagi. Suaranya terdengar mendayu-dayu
diteriakkan dari berbagai mushola dan masjid, besar dan
kecil, yang tersebar di seantero dusun di lembah dan
gunung di kaki Merapi. Ayam jantan pun berkokok
bersahut-sahutan.
Masjid yang berada di pojok barat laut kompleks Puri
Tegalredjo masih sunyi. Sejumlah lampu teplok yang
biasanya menyala saat waktu Maghrib dan Isya, juga
saat-saat pengajian diadakan, juga sudah padam. Di
dalam masjid yang belum sepenuhnya rampung
dibangun ini, walau sudah difungsikan sebagaimana
masjid lainnya, sesosok lelaki berjubah putih dengan
surban hijau pupus tengah asyik terpekur dalam zikirnya.
Dia benar-benar menikmati suasana dini hari yang
hening sendirian. Baginya malam adalah waktu yang
tepat untuk berdialog dengan Sang Maha. Malam adalah
selimut bagi jiwa-jiwa yang sepi. Dan malam adalah
wahana untuk mengantarkan ruhani yang dahaga akan
keabadian.
Suara derit pintu masjid berbunyi pelan. Seorang anak
muda dengan jubah dan songkok putih melangkahkan
kakinya masuk ke dalam masjid. Dia lalu berdiri tidak
jauh dari lelaki itu yang masih saja asyik dengan
zikirnya. Anak muda itu kemudian bertakbir dan mulai
menunaikan sholat tahiyatul masjid, dua rakaat.
Lelaki yang duduk bersila pun menghentikan zikirnya.
Dia ikut berdiri, kemudian melaksanakan sholat sunnah
dua rakaat. Tak lama kemudian, beberapa orang lelaki
berpakaian putih-putih tampak mendatangi masjid.
Mereka adalah warga sekitar Puri Tegalredjo yang
sering ikut pengajian pekanan. Tak sampai lima menit
masjid kecil itu sudah dipenuhi jamaah sholat subuh
yang nyaris seluruhnya mengenakan baju wulung atau
jubah putih.
Lelaki yang tadi berzikir dan menunaikan sholat sunnah
dua rakaat kemudian berdiri paling depan di mihrab
imam. Dia mempersilakan anak muda yang tadi
bersamanya untuk segera mengumandangkaniqamah.
Dengan suara yang elok, tidak terlalu keras dan juga
tidak pelan, anak muda tadi menangkupkan tangan ke
sebelah telinganya dan mulai meneriakkan iqamah,
tanda sholat subuh berjamaah akan segera didirikan.
Selesai iqamah, lelaki yang berdiri di mihrab untuk
sesaat berdiam diri. Lalu dia mengangkat kedua
tangannya sebatas telinga. Dengan penuh
kekhusyukkan dia mengucapkan takbir, “Allahu Akbar!”
Semua yang ada di belakangnya serentak mengikuti
takbir sang imam.
Pada rakaat pertama, Pangeran Diponegoro yang
menjadi imam sholat membaca surat Al-Ikhlas. Surat ini
merupakan surat ke-112, termasuk surat al-Makiyah.
Surat Al-Ikhlas berisi tentang kemurnian tauhid.
Pangeran Diponegoro selalu mengawali sholat subuh
dengan membaca surat ini. Seorang Muslim wajib
memulai hari dengan tauhid yang benar agar semua
ibadah di hari itu mendapatkan keridhaan Allahsubhana
wa ta’ala. Itu salah satu prinsip Pangeran Diponegoro.
Di rakaat kedua, Diponegoro membaca surat At-
Takaatsur yang merupakan surat ke-102 yang
menceritakan soal tabiat manusia kebanyakan yang
sering lalai disebabkan kecintaannya pada kemegahan
dan kelezatan dunia yang sesungguhnya menipu.
Dengan suara yang lembut dan merdu, Diponegoro
membaca delapan ayat surat tersebut. Banyak dari
jamaahnya yang terisak menangis mendengar suara
Sang Pangeran yang begitu menyayat hati.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
Sampai kamu masuk ke liang kubur,
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,
Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan
pengetahuan yang yakin,
Niscaya kamu akan sungguh-sungguh menyaksikan
neraka jahim,
Dan sesungguhnya kamu akan sungguh-sungguh akan
melihatnya dengan yakin seyakin-yakinnya,
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)
…”
Usai sholat, seperti biasanya, Pangeran Diponegoro
mengisi tausiyah[1] subuh yang berisi soal penguatan
akidah dan sebagainya. Dia juga tak segan-segan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan
warga desa. Pagi ini, Diponegoro memberikan tausiyah
soal “Islam dan Negara”.
“…di dalam sirohnya[2], Rasulullah shallallahu wa allaihi
wa salam memang tidak secara eksplisit menyebut
istilah Negara Islam. Inilah yang dijadikan senjata oleh
orang-orang kafir dan para pengikutnya yang
menyatakan jika tidak pernah ada Negara Islam di dunia
ini, hatta di zaman Rasulullah hidup atau di masa
kekuasaan para sahabiyah pun tidak. Semua ini salah
kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah,
lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia
dalam semua sisi kehidupan, pribadi maupun sosial.
Nah, sekarang apakah yang disebut suatu negara itu?
Ada yang tahu?”
Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk
bersila menghadap dirinya. Seorang anak muda jebolan
sekolah madrasah di Surakarta mengangkat tangannya.
“Ya, silakan jawab anak muda…”
“Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang
dimaksudkan dengan istilah negara adalah kumpulan
manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki aturan
atau hukum yang disepakati semuanya. Maafkan saya
kalau salah…”
Diponegoro tersenyum bangga, “Kisanak tidak salah.
Jawaban Kisanak betul. Nah, jika kita semua, umat
Islam, berkumpul di suatu tempat, di suatu wilayah yang
kita miliki, dan di wilayah itu kita dengan kesadaran
sendiri menerapkan hukum-hukum Islam, hukum-hukum
tauhid, maka itu sudah bisa disebut sebagai Negara
Islam. Walau wilayah yang kita diami atau miliki itu tidak
luas. Inilah Daulah Islamiyah.”
Semua yang hadir di masjid itu mengangguk-anggukan
kepalanya.
“Ada lagi yang ingin bertanya?”
Seorang lelaki tua mengangkat tangan.
“Ya, silakan Pak,” ujar Diponegoro.
“Dalem, Kanjeng Pangeran. Saya mau tanya bagaimana
jika… apa itu… Daulah Islamiyah itu… belum ada… Apa
yang harus kita lakukan?”
“Matur nuwun bapak… Iya, Daulah Islamiyah namanya.
Atau Negara Islam. Jika Daulah Islamiyah belum tercipta
seperti yang kita inginkan bersama, maka mulailah
dengan menegakkan Daulah Islamiyah itu di dalam dada
kita. Setelah itu tegakkanlah Daulah Islamiyah itu di
dalam keluarga kita, rumah tangga kita. Lalu setelah itu
sebarkanlah dengan damai, menyebar ke tetangga kita,
dusun kita, kampung, desa, dan terus menyebar dan
meluas. Dengan sendirinya akan tercipta suatu Daulah
Islamiyah itu, walau mungkin tidak menamakan diri
sebagai Negara Islam.”
“Maaf, Kanjeng Pangeran, bagaimana jika kita hidup
seperti sekarang, dimana kaum kafir yang berkuasa dan
dengan kekuatan senjata pula. Dan bagaimana dengan
orang-orang Islam sendiri yang malah bersekutu dengan
kafir Belanda itu?”
“Sekarang ini kita hidup di bawah paksaan
hukum thagut. Thagut adalah hukum, sistem kekuasaan,
atau penguasa, yang aturan atau tindak-tanduknya
bertentangan dengan kalimat tauhid, bertentangan
dengan perintah dan larangan Allah subhana wa
ta’ala. Thagut adalah musuh Allah. Thagut adalah
sekutu iblis. Sebab itu, orang yang Islamnya benar,
maka dia wajib memusuhi dan memerangi thagut
sebagaimana dia juga wajib memerangi iblis, dan bukan
malah bersekutu dengannya dengan alasan atau dalih
apa pun. Orang Islam yang bersekutu
dengan thagut adalah orang yang mengkhianati
perjanjiannya dengan Allah subhana wa ta’ala. Pasti ada
balasan dari Allah terhadap orang-orang seperti itu.
Apakah sudah jelas sampai bagian ini..?” (Bersambung)
[1] (Bahasa Arab): Nasehat.
[2] (Bahasa Arab): Sejarah.
Para jamaah menganggukkan kepalanya.
“Nah…,” lanjut Diponegoro, “…bagaimana dengan kita
sekarang? Apa yang harus kita lakukan sekarang ini?
Jawabannya adalah: Pertama, kita harus paham
terhadap Islam yang benar, yang haq, yang sesuai
dengan al-Qur’an dan hadits yang shahih, bukan hadits
palsu. Kita tegakkan Islam itu di dalam dada kita. Biarlah
Islam menjadi satu-satunya hukum yang mengatur
kehidupan kita dan keluarga kita. Kedua, tancapkan
kuat-kuat cita-cita untuk bisa hidup di dalam
kedamaian Daulah Islamiyah. Ketiga, untuk menggapai
cita-cita itu, maka thagut dan seluruh pengikutnya harus
kita perangi, kita lawan, dan kita hancurkan. Bukan
malah bersekutu atau menjadi perpanjangan tangan
dari thagut itu.
Seperti halnya perang yang akan kita lakukan di hari-hari
ke depannya melawan kafir Belanda, maka bukan orang
Belanda-nya yang kita musuhi, namun sistem thagut-nya
yang kita perangi. Yang akan kita lakukan adalah perang
sabil, perang di jalan Allah atau jihad fi sabilillah. Semua
yang berjihad di jalan Allah tidak akan rugi. Jika kita mati
maka pintu surga telah menanti, dan jika kita menang,
maka kita akan hidup bahagia di dalam suatu negara
yang penuh dengan kedamaian dan kemakmuran…”
“Tapi kafir Belanda pasti tidak akan menyerah…”
“Benar itu. Allah subhana wa ta’ala sendiri di dalam surat
al-Baqarah ayat 120 berfirman, “Wa lan tardho ankal
Yahudu wa Nasharo, hatta tata bi’an milatahum…” yang
artinya, “Tidak akan pernah rela, tidak akan pernah sudi,
tidak akan pernah mau, orang-orang Yahudi dan Nasrani
kepada kalian wahai umat Islam, hingga kalian semua
akan tunduk mengikuti, mematuhi, dan melaksanakan
keyakinan mereka.
Kaum penjajah kafir tidak akan pernah mau pergi
dengan sukarela dari tanah Islam ini. Sebab itu kita
harus menghimpun segenap kekuatan untuk memerangi
dan mengusir mereka dari tanah kita sendiri.
Tanah Yogyakarta, Tanah Jawa, adalah tanah milik kita
yang diwariskan nenek moyang kita. Bukan tanah
mereka. Tanah mereka ada di seberang samudera, nun
jauh di Eropa sana. Sebab itu kita wajib mengembalikan
mereka ke tanah mereka, ke kampung halaman mereka.
Ini perang untuk menegakkan keadilan. Nanti setelah
mereka kembali ke negerinya, maka kita akan bisa
menciptakan satu negeri yang berkeadilan bagi semua
rakyatnya berdasarkan tauhid. Inilah hakikat dari Daulah
Islamiyah…”
Tiba-tiba dari arah alun-alun depan terlihat seorang
pemuda berlari mendekati masjid sambil berteriak-teriak,
“Kanjeng Gusti Pangeran! Kanjeng Gusti Pangeran..!”
Pangeran Diponegoro dan seluruh jamaah masjid
langsung melihat pemuda itu. Diponegoro mengenalinya
sebagai salah seorang anggota pasukan Laskar Ki
Joyosuto yang berasal dari Winongo.
Diponegoro bertanya, “Ada apa Kisanak berlari-lari
seperti itu?”
“Kanjeng Pangeran! Mereka mematoki tanah makam!”
“Ambil nafas dan hembuskan pelan-pelan. Tenangkan
dirimu dulu. Jika sudah tenang, ceritakan dengan
jelas…”
Pemuda itu menuruti apa yang dikatakan Pangeran
Diponegoro. Setelah menenangkan diri, walau nafasnya
masih tersengal-sengal, dia mulai bercerita, “Tanah
makam leluhur dan kebun Kanjeng Pangeran dipatoki
Belanda. Mereka ingin membuat jalan dengan
menerabas tanah itu Kanjeng Pangeran…”
Wajah Diponegoro seketika berubah menjadi kencang.
Lelaki yang biasanya lemah lembut itu tidak bisa
menyembunyikan kemarahannya.
“Pasti ini kerjaan Danuredjo!” desisnya.
“Apa yang harus kami lakukan Kanjeng Pangeran?” ujar
salah seorang pemuda yang lain.
“Berikan perintah kepada kami Kanjeng Pangeran, kami
sudah siap bergerak!” pekik yang lain.
Suasana mendadak gaduh. Bahkan ada yang bertakbir.
Pangeran Diponegoro segera mengangkat kedua
tangannya ke atas, berusaha untuk menenangkan
semua pengikutnya.
“Saudara-saudara, tenang! Harap tenang! Pengajian
pagi ini kita sudahi dulu. Sekarang, dengan barisan
teratur dan tetap tenang, kita akan bersama-sama
menuju ke tanah makam. Kita akan lihat langsung apa
yang diperbuat kafir Belanda itu kepada leluhur kita,
orangtua-orangtua kita. Saya sendiri akan berangkat
memimpin barisan ini!”
Seorang pemuda segera keluar dari masjid dan berlari
mengambil Kiai Gentayu-nama dari kuda hitam dengan
warna putih di ujung keempat kakinya-beserta Kiai
Ompyang, sebuah nama keris dengan 21 lekukan yang
berasal dari Demak, dan menyerahkannya kepada
Pangeran Diponegoro. Setelah mengambil keris dan
menyelipkan di pinggang, dengan tangkas Sang
Pangeran melompat naik ke atas Kiai Gentayu.
Sejumlah pengikutnya juga mengambil kudanya masing-
masing dan mengikuti Sang Pangeran.
Dari Puri Tegalredjo, letak tanah makam leluhur tidak
terlalu jauh. Tidak sampai sepuluh menit tibalah mereka
di areal pemakaman yang dipenuhi batu-batu nisan.
Betapa geram hati Diponegoro melihat patok-patok kayu
yang biasa dipergunakan sebagai penanda batas proyek
jalan raya, tertancap begitu saja di antara nisan-nisan
makam leluhurnya. Bahkan ada sejumlah patok yang
ditancapkan pas di bagian tengah makam, seakan
sengaja dibenamkan ke perut leluhur yang ada di dalam
tanahnya.
Pangeran Diponegoro melompat turun dari kuda, diikuti
seluruh pengikutnya yang menyandang berbagai jenis
senjata seperti keris, pedang, dan trisula. Sang
Pangeran itu kemudian berlutut di depan kompleks
malam. Tubuhnya bergetar menahan kemarahan yang
teramat sangat. Walau demikian dia mencoba untuk
tetap tenang. Bibirnya komat-kamit berzikir. Diponegoro
tampak berusaha keras menguasai dirinya dari
kemarahan yang tiba-tiba menyengat hatinya. Harga
dirinya serasa diinjak-injak.
Ki Guntur Wisesa mendampingi Sang Pangeran. Dia ikut
berlutut di sampingnya. Walau demikian, kedua matanya
mengawasi keadaan sekitar dengan sikap sangat
waspada. Sedangkan Pangeran Ngabehi tetap berdiri di
dekat mereka berdua.
“Ki Guntur…,” bisik Diponegoro pelan.
“Dalem, Kanjeng Pangeran…”
“Ini sudah keterlaluan! Apa yang harus kita lakukan?”
“Istighfar, Kanjeng Pangeran. Walau marah tapi kita
harus tetap berkepala dingin. Sebaiknya sekarang kita
kembali saja ke Puri…”
Pangeran Diponegoro tidak segera menjawab. Dia
memanjatkan doa barang sebentar. Kepalanya tertunduk
ke tanah. Kemudian Diponegoro mengangguk pelan,
“Baiklah Ki Guntur. Kita kembali saja ke Puri. Tolong
kumpulkan para sesepuh dan senopati di masjid
sekarang juga.”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan!”
Pangeran Diponegoro bangkit dan berdiri dengan tegar.
Di hadapan para pengikutnya yang kian bertambah
banyak sehingga membentuk satu pasukan berkuda
yang cukup besar, bagaikan satu kompi kavaleri, dia
berteriak lantang,
“Saudara-saudaraku semua, astaghfirullah al-adzim!
Tanah makam leluhur kita telah dinodai. Harga diri kita
telah dicederai. Mereka tidak saja menindas dan
menyiksa saudara-saudara kita yang masih hidup. Para
leluhur kita yang sudah mati pun mereka cemari.
Sekarang juga, kita akan cabut semua patok-patok ini!
Kita bakar! Kita ganti patok-patok itu dengan tombak di
sekeliling tanah makam ini. Kita akan menyampaikan
protes keras kepada kafir Belanda itu! Kita tunjukkan jika
kita tidak pernah takut kepada orang-orang kafir
itu. Allahu Akbar!”
Pekik takbir Diponegoro disambut para pengikutnya
dengan gegap gempita. Langit Tegalredjo pagi itu
membahana dengan teriakan takbir. Cahaya matahari
yang baru saja menyorot ujung-ujung dedaunan kalah
panas dengan dendam amarah yang memenuhi seluruh
rongga dada.
“Sekarang kita semua bersiap! Bersiagalah! Siapa pun
yang mencintai Islam sebagai agamanya, yang
mencintai saya sebagai hamba dari Sang Khaliq,
Allah subhana wa ta’ala, bergabunglah dalam barisan
jihad ini. Mereka telah menantang kita, dan haram bagi
kita untuk takut terhadap tantangan kafir Belanda itu!
Bersiagalah. Tunggu perintah dariku. Siapkan
perbekalan, urus isteri dan anak-anak. Ungsikan mereka
ke tempat yang aman. Semuanya bisa saja terjadi kapan
pun. Allah bersama kita!”
“Allahu akbar!” Pekik takbir membahana sekali lagi.
“Aku akan kembali ke Puri Tegalredjo. Siapkanlah diri
kalian semuanya. Bismillah! Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh!“
Setelah mengucapkan salam, Pangeran Diponegoro
memacu Kiai Gentayu kembali ke dalam puri diikuti Ki
Guntur Wisesa dan ratusan pengikutnya. Debu
membumbung tinggi dari kaki ratusan kuda yang
meninggalkan tanah makam. Suaranya benar-benar
menakutkan.
Ratusan pengikut Diponegoro yang lain tetap tinggal di
tanah makam. Mereka bekerja cepat mencabuti patok-
patok kayu tersebut dan menggantinya dengan tombak
yang mengelilingi tanah makam. Patok-patok kayu
Belanda yang jumlahnya ratusan itu kemudian dibakar
hingga habis menjadi abu. [] (Bersambung)
Bab 6
TIDAK SAMPAI SATU JAM KEMUDIAN masjid dan
Paseban[1] Puri Tegalredjo telah dipenuhi para sesepuh
dan senopati pasukan pengikut Diponegoro. Sejumlah
laskar juga sudah berdatangan. Semuanya kebanyakan
berjubah putih. Mereka menutupi kepalanya dengan
sorban yang juga berwarna putih, juga warna lainnya. Di
dalam masjid, Pangeran Diponegoro sedang menggelar
pertemuan terbatas dengan sejumlah sesepuh dan
pimpinan pasukan.
“Bagaimana menurutmu, Paman?” tanya Diponegoro
kepada Pangeran Mangkubumi yang baru saja datang
dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Ya, firasatku juga mengatakan demikian. Mereka telah
terang-terangan menantang kita dengan menodai tanah
makam leluhur. Kita harus mempercepat persiapan
pasukan dan segala sesuatunya.”
“Apakah basis sudah dipersiapkan juga?” selidik
Diponegoro. Basis adalah nama sandi bagi Gua
Selarong, wilayah yang akan dijadikan markas komando
utama jika Puri Tegalredjo tidak bisa dipertahankan.
Mangkubumi dan Susuhunan Paku Buwono VI-lah yang
mengusulkan lokasi perbukitan yang sangat strategis
tersebut. Dan Diponegoro mengakui jika Gua Selarong
memang pilihan yang tepat.
Pangeran Bei yang diberi amanah sebagai
Generalismus[2] Laskar Diponegoro menjawab, “Insya
Allah Selarong sudah siap. Bukankah begitu Ki Guntur
Wisesa?”
Ki Guntur Wisesa yang bertanggungjawab penuh
terhadap Gua Selarong tersenyum dan menganggukkan
kepalanya, “Insya Allah siap. Demikian pula dengan
jalur, sudah kita amankan…”
“Paman dan semuanya, mulai sekarang kita aktifkan
penjagaan duapuluh empat jam, tidak saja di lingkar tiga,
namun juga lingkar dua, dan satu.”
Pangeran Bei dan Mangkubumi mengangguk, juga yang
lainnya. Sebagai pemuda yang sejak kecil digembleng
banyak hal oleh Ratu Ageng, termasuk dasar-dasar
kemiliteran, Pangeran Diponegoro sejak jauh hari sudah
mempersiapkan sistem pertahanan menghadapi
pasukan Belanda jika sewaktu-waktu perang meletus
dengan Puri Tegalredjo sebagai poros utamanya. Hal itu
telah ditetapkan Diponegoro tiga tahun lalu ketika dia
masih bergabung di dalam Dewan Perwalian Kraton
bersama Pangeran Mangkubumi.
Sistem pengaman dibuat seperti gelang-gelang dengan
radius yang berbeda. Gelang terluar berjarak empat
kilometer dari Puri Tegalredjo yang disebut sebagai
lingkar tiga, gelang kedua berjarak dua sampai dua
setengah kilometer dari Puri dengan sandi lingkar dua.
Dan lingkar satu sejauh satu setengah kilometer dari
poros utama. Masing-masing lingkar dijaga oleh
pasukan-pasukan terlatih yang saling berkoordinasi satu
dengan yang lainnya. Dari satu lingkar ke lingkar lainnya
dihubungkan dengan jalur komunikasi dan juga logistik,
sehingga memudahkan jika terjadi sesuatu.
Di luar pasukan reguler, Diponegoro juga memiliki
pasukan telik sandi atau mata-mata yang terdiri dari laki-
laki dan juga perempuan dari berbagai macam usia.
Pasukan telik sandi ini dikirim berpencar ke seluruh
penjuru mata angin mengepung Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Beberapa dari pasukan ini sengaja ditanam
di pihak musuh.
“Firasatku mengatakan perang besar melawan kafir
Belanda tidak akan lama lagi meletus. Tolong
perempuan dan anak-anak diamankan dahulu,
keluarkan mereka dari Tegalredjo. Namun itu harus
dilakukan dengan diam-diam. Saya tidak ingin mereka
menjadi korban kebuasan pasukan kafir Belanda dan
juga pasukannya Danuredjo. Sedikit demi sedikit para
perempuan dan anak-anak harus dikeluarkan dari desa
ini,” ujar Diponegoro kepada Joyokirno, seorang
senopati yang bertanggungjawab terhadap keamanan
sebelah Lor[3] Desa Tegalredjo.
Joyokirno mengangguk pelan, “Inggih, Kanjeng
Pangeran. Segera saya laksanakan.”
“Lakukan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit
supaya pergerakan ini tidak menimbulkan kecurigaan di
pihak musuh. Tolong sampaikan pada para senopati
yang lain,” ujar Diponegoro lagi sambil menepuk-nepuk
bahu Joyokirno.
“Inggih, Kanjeng Pangeran…”
“Baiklah. Sekarang pergilah kembali ke pasukanmu…”
Joyokirno segera memeluk Diponegoro. Setelah pamit,
dia segera melompat ke atas kudanya dan melesat
meninggalkan Puri Tegalredjo untuk kembali ke
pasukannya yang berjaga tigaratusan meter setelah
pintu desa di sebelah utara.
“Ustadz…,” panggil Diponegoro kepada Ustadz
Taftayani yang sedang meneliti peta sederhana kota
Yogyakarta yang dihamparkan di atas lantai masjid.
Ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di dekat
Tegalredjo itu mendekat.
“Ustadz, bagaimana dengan Kiai Modjo dan yang
lainnya?”
Taftayani mengangguk dan balas berbisik, “Insya Allah
mereka juga sudah siap. Bahkan saya dengar jika Kiai
Modjo juga tengah mengadakan konsolidasi dengan
pasukan-pasukannya. Dan beliau juga telah mengontak
para alim-ulama dan sesepuh desa ke berbagai daerah
di sekitar Surakarta dan Yogya hingga Magelang untuk
bergabung dengan kita.”
Pangeran Diponegoro mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Apakah kita akan tetap dengan formasi
sepuluh komandemen untuk Yogyakarta, Ustadz?”
Mendengar pertanyaan itu, Ustadz Taftayani tidak
segera menjawab. Diponegoro memang telah membagi
wilayah Yogyakarta ke dalam sepuluh daerah
komandemen, yang masing-masing daerah dipimpin
oleh seorang komandan. Khusus Madiun, wilayah ini
dibagi menjadi tiga komandemen. Diponegoro telah
berhitung, satu daerah komandemen memiliki lebih
kurang 10.000 keluarga. Dari jumlah ini, diharapkan bisa
disiapkan sekira seribuan orang prajurit, lengkap dengan
senjata. Mereka harus menjadi pasukan yang mandiri
dan terlatih dengan baik, walau tongkat komando tetap
berada di tangan Pangeran Diponegoro. “Bagaimana,
Ustadz?” tanya Diponegoro lagi.
“Menurut hemat saya, Pangeran, pembagian itu sudah
cukup. Nanti kita lihat perkembangannya kemudian.
Bukankah dalam peperangan organisasi hanyalah suatu
ikatan yang teramat lentur? Semuanya tergantung pada
improvisasi para pemimpin di lapangan dan kecepatan
dalam bertindak tepat. Itu yang penting.”
“Ya, itu benar. Dan bagaimana pandangan Ustadz soal
perang yang sebentar lagi akan meletus?”
“Kanjeng Pangeran, sebaiknya kita menahan diri.
Jangan sampai kita dituding sebagai pihak yang
memulai perang. Kita bertahan saja dahulu. Tentang
pancingan atau mungkin jebakan yang dilakukan
Belanda dan Patih Danuredjo, yang menancapkan
patok-patok di tanah makam, sebaiknya Pangeran
mengirim nota protes kepada Residen Smissaert…”
“Ya, itu saya setuju, Ustadz. Saya akan mengirim nota
protes dan minta agar kafir Belanda menghentikan
proyek itu atau mengubah arah jalan yang akan dibuat
sehingga tanah leluhur aman. Dan yang kedua, saya
minta agar residen kafir itu segera memecat Danuredjo.”
“Ya, itu bagus. Saya setuju…”
“Tolong panggilkan Ahmad Prawiro, Ustadz. Saya akan
siapkan surat sekarang juga untuk diantar ke residen
kafir itu.”
Ahmad Prawiro merupakan salah satu kurir andalan
Diponegoro. Pemuda keturunan Cina ini asli Pekalongan
yang telah bergabung dengan Diponegoro sejak awal
perekrutan pasukan pertama di sekitar tahun 1820-an.
Ustadz Taftayani mengangguk. Dia bergegas keluar
masjid untuk memanggil pemuda yang dimaksud. Tak
lama kemudian guru ngaji itu datang bersama seorang
pemuda berkacamata bulat yang mengenakan baju koko
dan songkok putih.
“Ahmad…,” ujar Diponegoro setelah menjawab salam
pemuda itu, “…Saya akan tulis surat. Nanti tolong
antarkan langsung ke Residen Smissaert. Pastikan dia
yang menerimanya…”
“Inggih, Kanjeng Gusti Pangeran.”
“Tunggu sebentar disini.” (Bersambung)
[1] Bahasa Jawa: Tanah atau Lapangan yang cukup
luas.
[2] Panglima Besar.
[3] Bahasa Jawa: Utara.