141
Untold History of Pangeran Diponegoro (1) – Edisi Rev Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print More Sharing Services 30 Redaksi 1 – Minggu, 9 Desember 2012 13:17 WIB BERITA TERKAIT Kisah Da’i Pedalaman : Ustadz Mawardi Mendadak Haji Muallaf Krakow Berbagi Kisah (4) : Saya Yakin Bahwa Tuhan Pasti Ada Muallaf Krakow Berbagi Kisah (3) : I Want to be a Muslimah Today! Muallaf Krakow Berbagi Kisah (2) : Tertarik Islam Karena Senang Membaca Muallaf Krakow Berbagi Kisah (1) : Tertarik Islam Karena Hijab Muslimah CATATAN PENULIS***)

Novel Pangeran Diponegoro

  • Upload
    mastasi

  • View
    466

  • Download
    53

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Islam Ideologi

Citation preview

Page 1: Novel Pangeran Diponegoro

Untold History of Pangeran Diponegoro (1) – Edisi Rev

Share on facebook Share on twitter Share on email Share on

print More Sharing Services 30

Redaksi 1 – Minggu, 9 Desember 2012 13:17 WIB

BERITA TERKAIT

Kisah Da’i Pedalaman : Ustadz Mawardi Mendadak Haji

Muallaf Krakow Berbagi Kisah (4) : Saya Yakin Bahwa Tuhan

Pasti Ada

Muallaf Krakow Berbagi Kisah (3) : I Want to be a Muslimah

Today!

Muallaf Krakow Berbagi Kisah (2) : Tertarik Islam Karena

Senang Membaca

Muallaf Krakow Berbagi Kisah (1) : Tertarik Islam Karena Hijab

Muslimah

CATATAN PENULIS***)Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton

Page 2: Novel Pangeran Diponegoro

Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira.

Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur.

Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama. Persis sama… []

 

Dengan penuh hormat dan kebanggaan,

kupersembahkan kepada anak keturunan

dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,

semoga kemuliaan perjuangan Beliau

menginspirasi hidup kita semua…PROLOGPlered, Jawa Tengah, 1647

APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh membuat Dyah

Page 3: Novel Pangeran Diponegoro

Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini tidak berani bertanya macam-macam.

Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan panci panas itu.

Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.

Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.

Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo memerintahkan agar sang pesakitan

Page 4: Novel Pangeran Diponegoro

dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.

Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa Arab.

Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu ke kepala sang pesakitan.

“Allahu Akbar!!!”

Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‘Topi besi panas’ itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak ada kerumunan orang. Dia ternyata

Page 5: Novel Pangeran Diponegoro

sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa pekan lalu.

Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai tergelincir ke barat.

Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan dirinya.

“Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!”

Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit kraton.

Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?

“Cepat keluar! Atau kami dobrak!”

Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira-adik satu-satunya yang

Page 6: Novel Pangeran Diponegoro

masih berusia sepuluh tahun-sudah berada di antara pasukan itu dengan pengawalan ketat.

“Siapa lagi yang ada di dalam!” hardik salah seorang prajurit. Tangan kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.

“Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian…,” jawab Dyah pelan. Ketakutan segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.

“Dia benar. Tak ada lagi orang…”

Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.

Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto, lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang memindahkan

Page 7: Novel Pangeran Diponegoro

pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.

Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton baru ini lebih mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata dan semen, dengan tinggi lima sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu setengah meter. Sebuah parit buatan yang terhubung dengan Kali Opak dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat ini, sehingga pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah pulau di kelilingi daratan luas.

Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan istana dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat prajurit kraton. Model keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model istana-benteng raja-raja Eropa.

Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi bertingkat-tingkat.

Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung Ludhira, dan Ki Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton. Di sisi kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari tanah yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat sampai lima meteran. Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan tombak berdiri dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.

Page 8: Novel Pangeran Diponegoro

“Ada apa gerangan, Nduk?” bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang duduk di belakangnya mengapit Wulung.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku ndak tahu, Pak. Tapi perasaanku ndak enak.”

“Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa.”

Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa membohongi anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja lalim ini semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia amat berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga dengan adik-adiknya. (bersambung/rz)

 

***) Para netters tercinta…Dengan sengaja redaksi tampilkan kembali seri novel Untold History of Pangeran Diponegoro, karena pada tampilan yang lalu kami masih gunakan frame work temporary yang kurang optimal dan baik. Dengan sistem IT kami yang hampir stabil, mohon maaf kami masukkan kembali serial tersebut agar kisah novel ini dapat dinikmati oleh lebih banyak netters..semoga saja kisah ini banyak diambil ibrah untuk tingkatkan keimanan, terimakasih…Redaksi

Page 9: Novel Pangeran Diponegoro

Di awal kekuasaannya, Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap loyalis ayahnya sendiri yang berada di dalam lingkungan kraton maupun di luar. Mereka dibunuh dengan cara yang sangat keji. Jumlahnya mencapai tiga ribuan.

Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I memiliki kegemaran yang tidak lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan terhadap perempuan-perempuan muda, raja ini juga gemar menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja menciptakan sendiri cara-cara penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-orang yang dicurigai hendak melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala Amangkurat I di antaranya adalah:

 

Pertama, dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok kepalanya terlihat. Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan meninggal dunia. Namun ada pula yang masih bisa bertahan hidup walau kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat menyakitkan.Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah kepala, ditaruh panci panas berukuran besar berisi minyak yang mendidih. Kemudian, kepala orang itu dicelupkan ke dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut dan kulit kepalanya mengelupas. Semua yang

Page 10: Novel Pangeran Diponegoro

mengalami siksaan jenis ini menemui ajal karena sakit yang tak terperikan.Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum diperintahkan untuk mengenakan topi besi yang tebal yang telah dipanaskan hingga menjadi merah membara. Rambut akan hangus, kulit kepala terkelupas dan gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada yang selamat dari jenis siksaan seperti ini. 

Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah Jayengsari mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga berdatangan—mengalir bagai air bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta seluruh keluarganya, yang seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke alun-alun. Semuanya dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah putih.

Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa kecuali, disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di mana sebuah bukit yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang itu, besar dan kecil, tua dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh para prajurit.

Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan tombak mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya Amangkurat I memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-

Page 11: Novel Pangeran Diponegoro

alun dengan rapat, hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.

Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya dilarang untuk menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam, siapa pun yang ketahuan mengerjakan sholat, akan langsung ditebas lehenya. Beberapa ulama tidak mengindahkan ancaman itu dan tetap mengerjakan sholat, walau sambil duduk. Celakanya, hal itu diketahui para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali karena para prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan melakukan hal yang sama jika ada yang berani berteriak atau membuat ribut.

Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke arah pintu gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun yang tanpak bercahaya. Dari gapura batu kali setinggi enam meteran, serombongan orang dengan membawa tiang obor keluar dari dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang anggota Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas, terlihat menyandang pedang dan tombak. Di bawah cahaya ratusan obor, pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.

Page 12: Novel Pangeran Diponegoro

“Trisat Kenya…,” ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi air minum sejak berada di alun-alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil di tenggorokannya terus bergerak-gerak tak pernah berhenti.

Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya merupakan pasukan khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang semuanya terdiri dari para perawan cantik yang dibekali olah kanjuragan tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan pengawal khusus karena tugas seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga kewibawaan dan melindungi rahasia sang raja dalam hal yang paling pribadi sekali pun.

Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam. Adalah Kanjeng Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-sungguh paham jika sejak kecil Amangkurat I yang memiliki perangai buruk, memang punya banyak musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya menyesal dan meratapi keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan Amangkurat I, yang bersifat kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran Alit.

Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan memiliki kegemaran yang tidak masuk

Page 13: Novel Pangeran Diponegoro

akal dan tidak terpuaskan terhadap perempuan. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, Raden Mas Sayidin sudah terlibat dalam skandal memalukan yang melibatkan isteri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Tumenggung kepercayaan Sultan Agung ini melaporkan hal itu kepada Sultan Agung. Akibatnya Raden Mas Sayidin dihukum. Untuk beberapa lama, dia dibuang ke hutan larangan.

Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera mahkota tersebut, sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah menjadi Susuhunan Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh pengikutnya.

Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang anak, dia tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau nyawanya sendiri jadi taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang berinisiatif membentuk pasukan khusus pengawal raja.

Awalnya, Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung Upasanta yang merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru Martani—menginginkan sang raja dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat I sendiri menolaknya dan mengatakan dia tidak bisa mempercayai laki-laki sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh anggota pasukan pengawal

Page 14: Novel Pangeran Diponegoro

khususnya hanya terdiri dari para perempuan muda, masih perawan, dan tentu saja harus cantik.

“Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata, dan juga harus dibekali olah kanuragan yang mumpuni,” ujar Amangkurat I kepada Kanjeng Ratu Ibu. “…dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya hanya akan berakhir manakala mereka dihadiahkan kepada para adipati atau bawahanku.”

Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana pun adalah sabda pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah pasukan Trisat Kenya yang seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap menaiki bukit di timur alun-alun.Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah pembuka jalan. Di belakangnya, sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang dada tanpa dibekali senjata, menggotong tandu besar berisi kursi raja yang terbuat dari jati yang berat, lengkap dengan atapnya yang berumbai sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja, tigapuluh anggota Trisat Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak, dan juga tulup, sejenis sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya beracun. Masing-masing Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam penggunaan senjata dan juga ilmu kanuragannya.Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan. Beberapa lelaki tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak berada paling depan

Page 15: Novel Pangeran Diponegoro

membuka jalan. Di bagian paling belakang juga ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang tiang obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para abdi dalem laki-laki semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian pula dengan yang membawa obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang duduk dengan pongahnya di atas singgasana, dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya lengkap dengan senjatanya.Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa menit itu sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas bukit, menanti apa yang hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang raja. Untuk beberapa lama sang raja hanya duduk diam di atas singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati lautan jubah putih yang memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa yang ada di dalam benaknya ketika itu.

Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang masih duduk di alun-alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I mulai bergerak turun dari singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang.

Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih berkacak pinggang. Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh areal alun-alun kratonnya. Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot matanya yang dipenuhi dendam kesumat berbinar-

Page 16: Novel Pangeran Diponegoro

binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan kanan masih berkacak pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi. Sebuah perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang sedari sore telah siap dengan senjatanya.(bersambung)

“Habisi !!!” teriak para komandan regu dengan suara

yang menggelegar

Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan

pedang terhunus ke tengah-tengah lapangan yang

dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat

ganas, pasukan Mataram itu menyabetkan pedangnya

ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang ada

di dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua,

perempuan, bahkan anak kecil. Jerit tangis, lolong

kesakitan, dan kumandang doa memenuhi angkasa

alun-alun kraton malam itu. Namun tak ada yang

sanggup menghentikan kegilaan yang tengah

dipertontonkan pasukan Mataram

yang notabene kebanyakan juga sudah memeluk agama

Islam.

Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak pinggang

menyaksikan pembantaian besar yang dilakukan

prajuritnya terhadap enam ribuan ulama, santri, dan

Page 17: Novel Pangeran Diponegoro

seluruh keluarganya. Kepalanya mengangguk-angguk

puas. Sesekali jemarinya memilin kumisnya yang tebal

melintang. Dia benar-benar menikmati pemandangan di

bawahnya. Betapa ribuan orang yang tengah menanti

ajal itu sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi.

Musuh-musuhnya akan semakin sedikit. Dan dia akan

bisa berkuasa dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa

pun.

Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di atas bukit.

Di sekelilingnya berdiri dengan kewaspadaan penuh

puluhan Trisat Kenya.

Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang

dengan kepala terpisah dari jasadnya. Tanah alun-alun

yang begitu luas seketika berubah menjadi lautan darah.

Dari cahaya ratusan tiang obor yang menyala di

sekeliling alun-alun, terlihat pasukan Mataram yang

sudah belepotan darah itu masih saja bergerak buas

membunuh ke sana-kemari tanpa perlawanan. Pasukan

yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di Batavia

semasa kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik

menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.

Page 18: Novel Pangeran Diponegoro

Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung

tidak sampai setengah jam!

Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali

yang ditiup para pimpinan regu pasukan. Penyembelihan

telah berakhir. Semua orang yang ada di dalam daftar

berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat

peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan kanannya

tinggi-tinggi.

Buang semua mayat itu ke parit!

Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang

terhunus berjajar satu lapis dalam jarak tiap lima tombak

mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka

belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut

datangnya gerobak-gerobak dorong yang sudah

dipersiapkan sebelumnya. Gerobak-gerobak itu segera

saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala dan kepala

tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh,

prajurit yang membawa gerobak itu mendorongnya ke

arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam

parit yang berair deras menuju ke Kali Opak. Berkali-kali

mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai kereta

maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.

Page 19: Novel Pangeran Diponegoro

Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah

menjadi kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium

di mana-mana.

Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah

sepuluh tahun adik dari Dyah Jayengsari, ternyata masih

hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh mayat-mayat

tanpa kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya.

Anak yang sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu

menggigil ketakutan. Ayah dan kakak satu-satunya

sudah meninggal dengan cara yang sangat mengerikan.

Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat

oleh kengerian yang teramat sangat. Bocah itu hanya

bisa diam tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas

dan juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya

basah oleh darah kental yang membanjir di sekitarnya.

Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut

digotong dan dilempar ke dalam gerobak bersama

belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja menjadi

satu. Bocah itu sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya

tidak bisa bergerak. Dia nyaris tidak bisa bernafas.Tapi

itu malah menyelamatkan nyawanya.

Page 20: Novel Pangeran Diponegoro

Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik

dengan kasar oleh sejumlah prajurit. Roda-rodanya yang

terbuat kayu dilapis karet hitam berderak-derak

sebentar, lalu berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan

gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat

tanpa kepala dan kepala tanpa jasad yang masih hangat

itu pun langsung meluncur bebas ke dalam parit yang

deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah

dipenuhi mayat.

Walau pandai berenang, namun bocah itu kesulitan

menggerakkan tubuhnya disebabkan mayat dan kepala

ada di mana-mana. Dengan menahan kengerian yang

teramat sangat, dia berpegangan pada salah satu kaki

jasad yang mengambang. Bocah kecil itu terus mengikut

kemana air membawanya.

Pekatnya malam membuatnya tak terlihat oleh

pasukannya Amangkurat I yang masih sibuk

membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan.

Semua kejadian malam itu menguras seluruh tenaga

dan perasaannya. Akhirnya Wulung Ludhira pingsan.

Dia terus hanyut dibawa air hingga jauh dari alun-alun.

Hingga tubuhnya tersangkut akar beringin yang menjulur

Page 21: Novel Pangeran Diponegoro

ke Kali Opak, beberapa kilometer ke selatan Kraton

Plered.

 

Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan

diri. Ketika siuman, matahari sudah berada di atas

kepalanya. Bocah kecil itu mendapati dirinya masih

tersangkut suluran akar beringin yang tumbuh di pinggir

kali. Sebagian badannya masih terendam di bawah air

kali. Di beberapa tempat, jasad tanpa kepala dan kepala

tanpa badan juga tersangkut. Kengerian yang teramat

sangat kembali menyergapnya. Walau seluruh tubuhnya

sakit, dan juga lelah, dengan sisa-sisa tenaga bocah

kecil itu berusaha merangkak naik ke pinggir kali, hingga

dia tergeletak di atas rerumputan, satu meter dari air kali.

Entah kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan

pandangannya ke sekeliling. Tidak ada rumah barang

satu pun. Yang ada hanya hamparan rumput dengan

tiga pohon beringin besar yang tumbuh di dekat dirinya.

Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan perdu.

Anak kecil itu tidak tahu nama tempat ini. Perutnya yang

tidak terisi sejak kemarin terasa perih. Tubuhnya dirasa

makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu

Page 22: Novel Pangeran Diponegoro

akhirnya tak sadarkan diri kembali. Dia tergeletak begitu

saja di atas rerumputan, dinaungi pohon beringin besar

yang ada didekatnya.

Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang

dada, dengan kepala ditutupi caping yang sudah kusam,

mendekati bocah itu dengan hati-hati. Ketika mendapati

ada bocah kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki

tua itu mengusap kepala Wulung Ludhira dengan

lembut. Bibirnya yang sudah sedikit keriput tersenyum

tulus. Dengan penuh hati-hati akhirnya dia

menggendong bocah itu dan bergegas pergi menghilang

begitu saja ke arah barat… []

178 tahun kemudian…

Gua Selarong, Yogyakarta, 1825

NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK! Walau

malam ini gelap gulita, tak ada bulan dan bintang yang

menggantung di atas langit, namun Ki Singalodra tidak

perduli. Lelaki kekar dengan wajah berewokan itu terus

memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki

kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu yang

ditinggalkannya membentuk tabir pekat yang tak tembus

pandang. Semua hewan malam menyingkir dari jalan

Page 23: Novel Pangeran Diponegoro

jika tak ingin tergilas kegilaan kuda dan penunggangnya

itu.

Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang

hanya dengan sebelah tangan. Tangan yang satunya

lagi memeluk seorang bocah kecil yang tubuhnya

berlumuran darah. Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh

mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang

terus berlari dengan amat cepat bagai terbang di atas

tanah.

Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar

amarah. Setengah jam lalu dusunnya dibakar Belanda.

Celakanya, saat itu dia tengah berada di dusun

tetangga. Mendengar kabar mengejutkan itu, dia

langsung pulang untuk menyelamatkan isteri dan

anaknya. Namun terlambat. Gubuknya sudah terbakar

habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap masih

mengepul. Bara masih menyala merah di mana-mana.

Dengan histeris tanpa memperdulikan bara yang terinjak

kaki dan hawa panas yang masih menyengat kulit, lelaki

itu terus mencari isteri dan anak semata wayangnya itu.

Tapi nasi sudah jadi bubur. Isterinya ditemukan

tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan

Page 24: Novel Pangeran Diponegoro

yang sangat dicintainya itu terlihat sedang memeluk

anaknya yang nyaris seluruh tubuhnya terbakar.

Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan

sekaligus kemarahan yang amat sangat, lelaki itu

berteriak histeris.

Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya.

Setelah mencium kening isterinya untuk yang terakhir

kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda

hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat pergi

meninggalkan dusunnya.

Londo anjing!!!

Belanda telah menggali kapak peperangan dengan

dirinya! Sia-sia saja selama ini dia mengabdi pada

mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti

ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam

ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan

bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran

Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk

memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.

Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti

Kanjeng Pangeran!

Page 25: Novel Pangeran Diponegoro

Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki

Singalodra sudah tak asing lagi. Sejak pulang dari

bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan

gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke

dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan

di sana. Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga

berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan para

jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan

Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan dan

menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun

kecerdikan dan kenekatannya membuat dirinya keluar

sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi sosok

yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting

gadis idaman hatinya, bunga Dusun Ngampilan, yang

sejak kecil telah mencuri perhatiannya.

Ketenaran namanya didengar langsung Residen

Yogyakarta. Pejabat Belanda ini akhirnya

memerintahkan kepala pasukan setempat untuk

merekrutnya. Tetapi karena Ki Singalodra tidak mau

ditempatkan sebagai kepala regu pasukan reguler yang

harus bekerja tiap hari dan wajib memiliki disiplin tinggi,

akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.

Page 26: Novel Pangeran Diponegoro

Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka.

Pengabdiannya yang total selama ini kepada Belanda,

ternyata dibalas dengan sangat menyakitkan.

Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.

Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan

mengubah haluan hidupnya seratus delapan puluh

derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus

dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti nyawa.

Kedua matanya merah menyala-nyala.

Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton

cecunguk asing itu sekarang menjadi musuh terbesarku!

Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi

melotot garang. Dadanya sesak oleh amarah dan

dendam.

Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai

menanjak lurus. Sebentar lagi dia akan tiba di pelataran

menuju Gua Selarong, di mana Kanjeng Pangeran

tengah berada. Mengingat sosok Pangeran Diponegoro,

hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara semangat

yang membara dan kerinduan yang teramat sangat.

Inilah jalanku!

Page 27: Novel Pangeran Diponegoro

Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua

kakinya tinggi-tinggi. Ringkikannya memecah

keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki Singalodra

terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia

segera merapatkan tubuhnya dengan leher kuda

sehingga keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah

tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya. Tak

jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan

baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga hitam

mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus.

Salah satunya membawa obor di tangannya.

“Berhenti!” teriak mereka.

“Hendak kemanakah kisanak dan siapa yang digendong

itu!” teriak salah satunya. Dengan penuh kewaspadaan,

lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi

kanan. Sedangkan yang satunya lagi bergerak

menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya

masih berdiri menghadang dengan senjata terhunus.

Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan

jelas, wajah yang tak asing lagi dan sangat ditakuti

orang-orang kampung, nyalinya agak bergetar. Namun

bayangan sosok Kanjeng Pangeran Diponegoro yang

Page 28: Novel Pangeran Diponegoro

setiap waktu memberinya nasehat keagamaan membuat

dirinya kuat dan berani.

“Takutlah kalian hanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala,

bukan kepada mahluk-Nya. Allah Maha Kuat, sedang

mahluknya sangatlah lemah…”

Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya

pada gagang pedangnya, “Ternyata kau Singalodra.

Hendak kemana engkau malam ini dan siapa lagi itu

yang kau bunuh!”

Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, “Ini

anakku! Minggir kalian semua! Isteri dan anakku mati

malam ini dibunuh Belanda! Aku mau menghadap Gusti

Kanjeng Pangeran!”

Keempat lelaki yang menghadangnya tak percaya.

“Apa katamu? Bukankah engkau pelayan kafir Belanda!

Janganlah berdusta. Pulanglah sekarang. Kembalilah

kepada tuanmu itu sebelum kami membunuhmu!”

“Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin

menghadap Gusti Kanjeng Pangeran. Aku mau

bergabung dengan kalian. Jika kalian masih saja

menghadangku, maka terpaksa tanganku ini yang akan

Page 29: Novel Pangeran Diponegoro

berbicara!” bentak Ki Singalodra dengan suara

mengguntur. Semua orang tahu, Ki Singalodra memiliki

ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat

mematikan. Bahkan korbannya bisa hangus terkena

pukulan itu.

Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu

bergerak mundur sesaat, namun mereka masih

mengepung Ki Singalodra dengan penuh kewaspadaan.

Pedang dan tombak masih terhunus. Masing-masing

terdiam sejenak dalam situasi saling menunggu. Namun

tiba-tiba suara derap kuda terdengar mendekat dari arah

Gua Selarong.

“Tunggu! Berhenti! Siapa itu!”

Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra,

keempat prajurit itu menoleh ke arah datangnya suara.

Dari pekatnya malam, muncul seorang penunggang

kuda dengan wajah yang sangat berwibawa. Sorot

matanya tajam dengan kumis melintang. Ki Singalodra

tahu, lelaki ini pastilah Ki Guntur Wisesa, seorang ulama

yang juga pendekar dari lereng utara Gunung Merapi

yang telah bergabung dengan barisan perlawanan

Kanjeng Pangeran Diponegoro sejak dua tahun lalu. Dia

Page 30: Novel Pangeran Diponegoro

belum pernah bertanding dengan orang ini karena Ki

Guntur selalu saja menghindar dan sama sekali tidak

tertarik untuk melakukan uji kesaktian melawannya.

(Bersambung)

Ketika melihat Ki Singalodra yang berkuda sambil

menggendong seorang bocah yang berlumuran darah,

Ki Guntur Wisesa menyapanya lembut,

“Assalamu’alaikummusalam warahmatullahi

wabarakatuh, wahai Singalodra. Apa gerangan yang

membawamu ke sini! Anak siapa yang kau bawa itu?”

Ketika mendengar sapaan yang lembut, hati Ki

Singalodra yang tadinya panas mendadak sejuk, bagai

bara api tersiram air pegunungan.

“Wa’alaikumusalam… Aku ingin bergabung dengan

barisan Kanjeng Gusti Pangeran, wahai Ki Guntur

Wisesa. Ini anakku, Surya Mandriga. Dia mati dibunuh

Belanda tadi malam, juga isteriku… Izinkan aku

menghadap Kanjeng Gusti Pangeran sekarang juga.”

Ki Guntur Wisesa bergerak meminggirkan kudanya,

memberi jalan pada tamunya.

“Silakan Kisanak. Kami akan mengawal Kisanak sampai

di atas sana…”

Page 31: Novel Pangeran Diponegoro

“Terima kasih, Ki Guntur…”

Ki Singalodra mengangguk takzim pada ulama-pendekar

itu dan kembali memacu kudanya, namun tidak

sekencang tadi. Kuda Ki Guntur Wisesa berjalan di

depan. Sedangkan keempat anak buahnya mengapit di

kiri kanan dan belakangnya. Mereka beriringan melintasi

jalan utama yang terus menanjak menuju Gua Selarong

yang berada di bawah sebuah bukit batu yang besar.

Setibanya mereka di pelataran yang landai di mana di

hadapan mereka terbentang batu karang yang besar

dengan sebuah tangga batu menuju ke atas, Ki Guntur

Wisesa memberi aba-aba dengan sebelah tangannya

yang diangkat ke atas.

“Ya, kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan

kaki ke atas sana.”

Ki Guntur yang mengenakan pakaian serba putih

melompat dari kuda dan menambatkannya pada salah

satu pokok pohon yang ada di pinggir pelataran. Ki

Singalodra juga melompat turun dari kudanya sambil

masih menggendong Surya Mandriga.

Page 32: Novel Pangeran Diponegoro

“Mari Kisanak, ikut aku,” ajak Ki Guntur Wisesa. Dia

menghampiri Ki Singalodra dan menawarkan diri untuk

membantu menggendongkan anaknya. Namun Ki

Singalodra menolaknya.

“Biar aku saja… Tolong tunjukkan saja jalannya.”

Kemudian Ki Guntur memerintahkan seorang anak

buahnya berlari terlebih dahulu ke atas untuk

memberitahukan kedatangan Ki Singalodra kepada

Kanjeng Pangeran Diponegoro. Anak buah itu segera

berlari ke atas.

“Sekarang kita tunggu dulu disini, Kisanak…,” ujar Ki

Guntur.

Ki Singalodra menganggukkan kepala dan tetap berdiri

dengan tegap di ujung bawah susunan bebatuan yang

membentuk anak tangga menuju ke gua yang ada di

atasnya.

Tak lama kemudian, anak buah yang tadi ke atas

tampak berlompatan menuruni anak tangga yang sama.

Dia langsung melapor kepada Ki Guntur yang berdiri di

sisi kanan Ki Singalodra.

“Kanjeng Gusti Pangeran siap menerimanya….”

Page 33: Novel Pangeran Diponegoro

Anak buah itu kemudian bergerak menggeserkan

badannya ke samping, memberi jalan kepada Ki Guntur

dan Ki Singalodra. Keduanya lalu berlompatan bagai

Kijang Kencana menaiki tangga batu yang cukup curam.

Hanya dengan beberapa kali hentakan loncatan, badan

mereka sudah melambung ke atas dengan cepat.

Keempat prajurit muda yang melihatnya hanya

menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub.

Mereka segera menyusul kedua orang itu dengan berlari

menaiki tangga.

Setibanya di atas, Ki Singalodra tampak sedang diterima

Pangeran Diponegoro. Ustadz Muhammad Taftayani,

Pangeran Ngabehi Jayakusuma alias Pangeran Bei[1],

Ki Guntur Wisesa, dan beberapa alim-ulama lainnya

yang seluruhnya berpakaian putih-putih tampak

mendampinginya.

Semuanya menyandang senjata. Ada yang menyelipkan

keris di pinggang, ada pula yang memegang pedang.

Sebagaimana kawulo-alit yang bertemu dengan rajanya,

sambil terus memeluk jasad anaknya, Ki Singalodra

segera berlutut. Dengan kepala menunduk, lelaki

Page 34: Novel Pangeran Diponegoro

dengan janggut dan cambang yang lebat ini berkata

pelan, “Kanjeng Gusti Pangeran, hamba….”

Belum selesai lelaki itu mengucapkan perkataannya,

Pangeran Diponegoro yang mengenakan jubah serba

putih lengkap dengan surban hijau lembut yang

menutupi sebagian kepalanya menyapa dengan lembut,

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai

Ki Singalodra… Semoga Allah Subhana wa ta’alaselalu

melindungi, merahmati, dan memberkati Kisanak…”

Badan Ki Singalodra menggigil mendengar suara yang

sangat berwibawa itu. Entah mengapa, mendengar

salam dari orang-orang berjubah itu dia merasakan satu

getaran yang aneh di dalam dirinya. Getaran yang tidak

pernah dia rasakan sebelumnya. Ki Singalodra tidak

berani mengangkat wajahnya dari tanah. Dia tidak

menjawab apa pun. Bibirnya yang juga bergetar

bagaikan terkunci rapat.

“Bangunlah saudaraku. Tidak perlu berlutut seperti itu.

Kita adalah sama. Semua manusia itu sederajat. Yang

membedakan di antara manusia bukanlah keturunan,

pangkat, atau jabatan, melainkan ketakwaannya kepada

Allah subhana wa ta’ala…,” ujar Diponegoro lagi.

Page 35: Novel Pangeran Diponegoro

Lelaki dengan pakaian serba hitam itu perlahan bangun

dan berdiri. Tangannya tetap memeluk jasad anaknya

dengan erat. Ki Singalodra masih saja tidak berani

menatap langsung wajah Diponegoro. Dia hanya melihat

ke bawah.

“Gerangan apa yang membuatmu ke sini Kisanak?”

“Maafkan saya Kanjeng Gusti Pangeran… Saya ingin

bergabung dengan Kanjeng Gusti Pangeran…”

Diponegoro tersenyum. Ustadz Muhammad Taftayani

yang berdiri di samping Diponegoro membisikkan

sesuatu ke telinga anak didiknya itu, “Sebaiknya kita

urus dahulu jenazah anak itu…”

Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua

pengawalnya untuk mengurus jenazah anak dari Ki

Singalodra itu.

“Maafkan saya Kisanak. Sebaiknya jenazah

anak Kisanak diurus terlebih dahulu dengan baik.

Sebagai Muslim, kita wajib memperlakukan jenazah

dengan layak. Serahkan saja pada kita…”

Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro.

Dengan hati-hati dan berlinang airmata dia menyerahkan

Page 36: Novel Pangeran Diponegoro

jenazah puteranya itu kepada dua orang pengawal yang

segera menyambutnya.

Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro

berkata kembali, “Nah, apakah seorang Ki Singalodra

sungguh-sungguh ingin berjihad di sisi kami dalam

menegakkan kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir

kaum kafir Belanda dari negeri ini?”

Dengan mantap lelaki itu mengangguk, “Ya, Kanjeng

Gusti Pangeran. Saya bersungguh-sungguh.”

“Apakah Kisanak mengetahui apa yang sedang kami

perjuangkan disini?”

“Melawan Belanda…?”

“Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua.

Belanda bukanlah musuh kami. Sebagaimana kami tidak

memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami

adalah kekufuran dan kezaliman. Itu yang kami perangi.

Kami tidak memerangi orang, tapi kami memerangi

sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi

sistem thagut.”

“Thagut…?”

Page 37: Novel Pangeran Diponegoro

“Ya. Sebelum bergabung dengan kami,

sebaiknya Kisanak bisa memahami dengan benar apa

yang harus diperjuangkan oleh kita semua, kaum

Muslimin, di dalam hidupnya. Untuk itu, jika tidak

keberatan,Kisanak terlebih dahulu akan mengikuti

pengajian yang akan disampaikan Ki Guntur atau Ustadz

Taftayani. Beliaulah yang akan menerangkan kepada

kita semua tentang apa dan bagaimana seharusnya

berperang di dalam Islam. Saya pun saat ini masih

selalu belajar memperdalam ilmu agama. Mari kita

sama-sama belajar mendalami ilmu, karena itu adalah

perintah agama.”

“Berperang di dalam Islam..?”

“Ya. Itu benar, Kisanak. Jihad fi sabilillah namanya.

Semuanya nanti akan diterangkan oleh ustadz-ustadz

yang ada di sini. Dan satu lagi…”

Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar

tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan perang

dalam Islam. Baginya perang adalah membunuh musuh

sebanyak-banyaknya, mengalahkannya, hingga musuh

takluk. Itu saja.

Page 38: Novel Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro melanjutkan kalimatnya, “…

semua yang ada disini harus memperbaharui akidahnya.

Jika Kisanak bersedia, silakan mengikuti perkataan saya

sekarang. Bagaimana?”

Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, “Baik

Kanjeng Gusti Pangeran, saya bersedia.”

“Nah, sekarang ikuti perkataan saya...”

Di depan gua yang gelap pekat tanpa penerangan obor,

dengan perlahan namun jelas, Pangeran Diponegoro

berjalan mendekati Ki Singalodra yang masih berdiri

mematung. Tanpa ragu Diponegoro mengangkat kedua

tangannya memegang kedua bahu lelaki itu. Kemudian

dia mulai mengucapkan dua kalimah syahadah yang

diikuti kata demi kata oleh Ki Singalodra.

“Asyhadu ala Ilaha Ilallah… wa asyhadu alla Muhammad

ar-Rasulullahu... Saya bersaksi, tiada tuhan yang patut

disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi

Muhammad adalah Rasul utusan Allah…”

 

Dengan terbata-bata, jagoan dari Dusun Ngampilan

yang jika mendengar namanya saja orang kebanyakan

bisa gemetar itu mengucapkan dua kalimah syahadat. Ki

Page 39: Novel Pangeran Diponegoro

Singalodra cukup cerdas. Sekali saja Diponegoro

menuntunnya, dia sudah bisa mengikutinya. Setelah

selesai, semuanya mengucapkan syukur.

“Alhamdulillahi Rabb al’Amien…“

Pangeran Diponegoro kemudian langsung memeluk Ki

Singalodra dengan hangat. Bagai pelukan seorang

kekasih yang lama tak berjumpa. Sama sekali tidak ada

kecanggungan tampak di sana. Diponegoro, sang putera

Sultan Hamengku Buwono III, dengan sangat akrab dan

hangat memeluk erat seorang jagoan yang tangannya

banyak berlumur darah orang lain. Hal ini langsung

membuat hati Ki Singalodra luluh. Lelaki ini lumer dan

menangis terisak.

“Dosa-dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran…

Apakah ada cara untuk menebusnya agar nanti saya

bisa berkumpul dengan anak dan isteriku di surga?”

Pangeran Diponegoro masih memegang kedua bahu Ki

Singalodra. Kedua matanya yang tajam tapi

menyejukkan menatap langsung ke dalam mata lelaki

itu.

Page 40: Novel Pangeran Diponegoro

“Saudaraku, Allah Maha Pengampun dan Penyayang.

Semua dosa umat-Nya akan diampuni asalkan kita mau

bersungguh-sungguh bertobat, terkecuali dosa syirik,

yaitu dosa karena menyekutukan Allah dengan sesuatu.

Dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni.”

“Bagaimana caranya agar saya bisa kembali berkumpul

nanti dengan keluargaku di surga?” ulang Ki Singalodra.

“Berjihadlah dengan ikhlas, semata-mata demi tegaknya

tauhid. Li ila kalimatillah. Asal kita tidak berhutang pada

orang lain, setiap orang yang menemui kematian di jalan

jihad, syahid fi sabilillah, dijamin Allah langsung masuk

surga…tanpa dihisab.”

Kedua mata Ki Singalodra berbinar. Wajahnya menjadi

cerah. “Terima kasih, Kanjeng Gusti Pangeran. Terima

kasih. Saya akan berjihad disamping Paduka.”

Ustadz Taftayani maju ke depan. Dia kemudian

menyalami dan juga memeluk Ki Singalodra. Setelah itu

salah seorang guru dari Pangeran Diponegoro ini berdiri

dan memberikan sambutannya, “Dahulu ketika

menghadapi kaum musyrikin Quraisy, Allah subhana wa

ta’ala mengirimkan seorang Hamzah bin Abdul Muthalib,

untuk memperkuat barisan kaum Muslimin. Hamzah

Page 41: Novel Pangeran Diponegoro

adalah Singa Allah dan Rasul-Nya. Dialah yang menjadi

pahlawan Perang Badr dan Uhud. Dan sekarang,

Allah subhana wa ta’ala mengirimkan bagi kita seorang

Ki Singalodra yang gagah berani. Insya Allah, dengan

izin Allah, dengan bergabungnya Ki Singalodra, barisa

kita akan bertambah kuat. Cahaya kemenangan semakin

dekat. Saya yakin, Ki Singalodra adalah Hamzah yang

dikirimkan Allah kepada kita. Allahu akbar!”

“Amien ya Rabb! Allahu akbar!” teriak semua yang ada

disitu. [] (Bersambung)

Bab 2

ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU

DENGANTHAGUT, sebagaimana air yang tidak pernah

bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak akan

pernah berdamai dengan kebathilan. Ustadz Muhammad

Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam ini di

dalam setiap pengajiannya. Seperti juga malam ini,

digelar ‘taklim dadakan’ yang hanya diikuti tujuh orang

anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam

orang lainnya yang di antaranya para senopati terpilih

yang sengaja dikirim oleh Raja Surakarta, Kanjeng

Susuhunan Paku Buwono VI[1] yang juga merupakan

keponakan Diponegoro. Hal ini dilakukan Paku Buwono

Page 42: Novel Pangeran Diponegoro

VI untuk membantu persiapan perjuangannya pamannya

itu.

Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku

Buwono VI juga mengirimkan pasukan-pasukan kraton

terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.

Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di

sudut belakang, terhalang tiga gundukan batu yang

besar, Ustadz Taftayani duduk bersila di atas batu datar

menghadap ke bagian pintu gua. Dari tempat bersilanya,

ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di

Tegalredjo tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang

berjaga di pintu masuk gua. Walau hanya duduk, tidak

berdiri seperti layaknya orang yang tengah berjaga,

namun mereka tetap waspada.

Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam

barisan Mujahidin, beserta sejumlah orang baru, Ustadz

Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang

bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang

perjuangan yang tengah dipersiapkan melawan kafir

Belanda dan antek-anteknya. Semua anggota pasukan

Diponegoro harus memiliki persepsi yang sama di

dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota

Page 43: Novel Pangeran Diponegoro

baru yang bergabung, maka dia setidaknya harus

melewati tiga tahapan penting: bertobat dan

memperbaharui syahadatnya, serta memiliki

pemahaman yang lurus dan benar tentang makna jihad

di Jalan Allah.

Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji

Syahadatain. Salah satu bagiannya mengupas

tentang Thagut atau ‘tuhan yang lain’.

Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani

menerangkan, “…Thaghut merupakan tuhan selain Allah

subhana wa ta’ala. Segala pandangan hidup, keyakinan,

hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang

tidak berasal dari hukum Allah, atau malah bertentangan

dengan syariat dan akidah Allah, maka itulah Thagut…

Apakah ada yang ingin bertanya?”

Ki Singalodra mengacungkan tangannya, “Ustadz,

apakah bea kerig-aji[2]juga bisa dianggap

sebagaiThagut?”

“Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng[3],

bea pangawang-awang[4], bea pajigar[5], bea wikah-

welit[6], bea pajongket[7], bea bekti[8], bea jalan, bea

pertunjukan[9], bea penimbangan[10], dan banyak lagi

yang lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari

Page 44: Novel Pangeran Diponegoro

banyak sekali jenis-jenis pajak yang dibebankan

penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil. Jika tidak

salah, sekarang ini ada lebih dari 34 jenis pajak yang

harus dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir

Belanda. Berbagai pajak ini amat menyusahkan rakyat

kecil yang memang hidupnya melarat. Kezaliman ini

tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem

kekuasaan seperti ini, dimana rakyatnya hidup susah,

namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah, jelas

merupakan sistem Thagut. Sistem ini harus diakhiri,

dihancurkan, dan diganti dengan sistem yang adil….”

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” Tiba-

tiba Pangeran Diponegoro sudah berada di dalam gua

bergabung dengan mereka.

“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh...,”

jawab Ustadz Taftayani dan seluruh yang hadir. Sang

Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki

Singalodra. Ketika menyadari siapa yang duduk di

belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser untuk

memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar

tidak enak hati jika harus duduk membelakangi Kanjeng

Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah

menahannya.

Page 45: Novel Pangeran Diponegoro

“Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap di situ…,”

bisiknya sambil tersenyum.

Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap

duduk pada tempatnya semula. Walau hatinya merasa

teramat sungkan.

“Pangeran,” ujar Taftayani. “… kita disini sedang

membahas pajak dan Thagut. Apakah ada yang ingin

ditambahkan?”

“Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung,

Ustadz?”

“Sedikit. Silakan paparkan…”

Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu.

Mungkin kalimat pembuka. Dia kemudian mulai

berbicara. Suaranya terdengar halus, namun

mengandung kekuatan.

“Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk

mengisi pundi-pundi kas suatu negeri, agar negeri

tersebut dapat mengelola dan membangun wilayahnya,

termasuk rakyatnya…,” paparnya.

Kemudian dia melanjutkan, “…Keberadaan pajak sangat

penting, jika suatu negeri memang tidak punya sumber

Page 46: Novel Pangeran Diponegoro

lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau

kekayaan alam. Namun tidak di Tanah Jawa, tidak juga

di Nusantara. Allah subhana wa ta’ala telah menitipkan

sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini.

Tanah ini sangat subur. Emas permata ada di mana-

mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya, baik yang ada

di darat, laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan

baik, negeri ini bisa memakmurkan rakyatnya tanpa

memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di negeri

yang kaya seperti di Tanah Jawa ini adalah haram

hukumnya…”

Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun

mendengar kalimat yang disampaikan Pangeran

Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.

“Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita

seperti sekarang? Bahkan orang-orangnya Patih

Danuredjo juga memusuhi rakyatnya sendiri…” tanya

Pangeran Diponegoro. Kemudian dia sendiri yang

menjawabnya, “Karena kafir Belanda adalah penjajah

bagi bangsa ini. Penjajah selalu melakukan perampokan

terhadap bangsa yang dijajahnya. Baik perampokan

yang dilakukan terang-terangan, juga perampokan yang

dilakukan secara diam-diam, atau berkedok macam-

Page 47: Novel Pangeran Diponegoro

macam, ya seperti pajak yang sekarang ada. Pajak

sekarang ini sudah menjadi sumber bagi pejabat untuk

memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Para pejabat

di negeri ini kian hari kian rakus dengan kelezatan dunia.

Kegilaan mereka ini tidak pernah terpuaskan. Yang

menjadi korban adalah rakyat kebanyakan…”

“Apakah sebab itu kita harus memerangi mereka?

Bagaimana berperang atau jihad fisabilillah itu?” tanya

salah seorang senopati yang kemarin baru dikirim Paku

Buwono VI.

Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz

Taftayani. Namun ustadz itu malah mempersilakan

Diponegoro untuk menanggapinya, “Silakan

Pangeran…”

“Perang di dalam Islam bersifat membebaskan,” jawab

Diponegoro, “…sebab itu, jika suatu kota atau negeri

telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka istilahnya

bukanlah penaklukan, kalah, dan sebagainya,

tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang berarti

‘pembebasan’ atau ‘membebaskan’. Membebaskan dari

apa? Yaitu membebaskan manusia dari penghambaan

kepada selain Allah subhana wa ta’ala, baik itu

Page 48: Novel Pangeran Diponegoro

ketundukan kepada hukum yang zalim, sistem yang

salah, penguasa yang korup, dan sebagainya. Itulah

esensi perang di dalam Islam, membebaskan manusia

dari kebathilan dan kezaliman…”

Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia

benar-benar menyayangi murid yang satu ini. Ulama

rendah hati dari tanah seberang ini tahu jika Pangeran

Diponegoro, yang terlahir dengan nama Bendoro Raden

Mas Mustahar, yang kemudian dikenal sebagai Bendoro

Raden Mas Ontowiryo, pada 11 November 1785 di

Kraton Yogyakarta ini memiliki banyak keistimewaan.

 

Diponegoro[11] adalah anak tertua dari Sultan

Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati.

Ketika melihat dan memangku bayi Diponegoro, Sultan

Hamengku Buwono I haqul yaqin jika suatu hari nanti

Diponegoro akan tumbuh menjadi pembebas rakyat dari

kezaliman dan kesengsaraan.

“Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang

besar untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa.

Dia akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar

pada kafir Belanda. Dia akan menjelma menjadi orang

Page 49: Novel Pangeran Diponegoro

besar yang dicintai rakyatnya, melebihi diriku,” tegas

Sultan Hamengku Buwono I yang juga kakek buyut dari

Diponegoro. Sebab itu, Sultan secara khusus

mengamanahkan agar bayi Diponegoro kelak diasuh

dan dididik permaisurinya sendiri, Ratu Ageng.

(Bersambung)

[1] Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di

Surakarta, 26 April 1807 dan meninggal dalam

pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni

1849. Nama aslinya Raden Mas Sapardan. Beliau naik

tahta dalam usia 16 tahun dan setahun kemudian, dalam

usia 17 tahun, beliau telah menjadi pendukung

perjuangan Pangeran Diponegoro yang loyal walau

terikat perjanjian dengan Belanda. Pakubuwana VI

meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849.

Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal

karena kecelakaan saat berpesiar di laut.

Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari

Ambon ke Astana Imogiri, kompleks makam keluarga

raja Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan

bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di

bagian dahi. Menurut analisis Jenderal TNI Pangeran

Page 50: Novel Pangeran Diponegoro

Haryo Jatikusumo (putera Pakubuwana X), lubang

tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau

dari letak lubang, kematian Pakubuwana VI jelas

ditembak pada bagian dahi, bukan kecelakaan.

[2] Pajak atas kepala atau pajak yang dikenakan pada

setiap orang, besar dan kecil tanpa perkecualian.

[3] Pajak atas pintu rumah.

[4] Pajak atas pekarangan rumah.

[5] Pajak atas hewan ternak.

[6] Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah,

walau luasnya hanya sedikit.

[7] Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah.

[8] Pajak jika seseorang bertukar tuan tanah atau

majikan.

[9] Pajak pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah

kepada warga desa jika ada pertunjukkan kesenian atau

hiburan lainnya. Namun nyatanya, walau tidak pernah

ada pertunjukkan hiburan, rakyat tetap diharuskan

membayar jenis pajak ini.

Page 51: Novel Pangeran Diponegoro

[10] Pajak penimbangan padi dilakukan ketika panen.

Tapi faktanya, seperti juga pajak pertunjukkan, padi-padi

hasil panen para petani tidak pernah ditimbang, namun

tetap dikenakan pajak. Bahkan banyak petani miskin

diwajibkan kerja di lahan pertanian milik bupati tanpa

dibayar sepeser pun.

[11] Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas

(BRM) Mustahar. Lahir di keraton Jogyakarta, pada

Jum’at Wage, 7 Muharram Tahun Be (11 Nopember

1785). Tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya

menjadi Bendoro Raden Mas (BRM) Ontowiryo. Adapun

nama Diponegoro dan gelar Pangeran baru

disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik

takhta.

Di masa itu, perempuan-perempuan dan laki-laki Jawa-

termasuk di kalangan bangsawan kraton-lazim menikah

di usia yang masih relatif sangat muda. Ketika

Diponegoro dilahirkan, Raden Ayu Mangkarawati, sang

ibu, masih berusia 14 tahun, dan ayahnya 16 tahun[1].

Dan sudah menjadi kelaziman jika sang anak kemudian

diasuh oleh nenek atau buyutnya. Hal ini merupakan

tradisi leluhur agar sang anak mendapatkan pendidikan

Page 52: Novel Pangeran Diponegoro

dan pengasuhan yang benar dari seseorang kerabat

yang jauh lebih matang dan dewasa. Suatu konversi

budaya yang saat ini sudah punah.

Sesuai amanah khusus dari Hamengku Buwono I, bayi

Diponegoro diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng.

Ratu Ageng dikenal sebagai seorang permaisuri yang

sangat taat pada agama dan luas ilmunya. Sampai

tahun 1792, ketika suaminya masih berkuasa, Ratu

Ageng mengasuh Diponegoro di kraton dan kemudian

meneruskannya di Puri Tegalredjo setelah suaminya

wafat.

Selain seorang pendidik, Ratu Ageng juga merupakan

Panglima Bregada Langen Kesuma-kesatuan pasukan

elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya

Trisat Kenya di zaman Amangkurat I-pada masa

kekuasaan Mangkubumi.

Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus

pengawal raja yang sangat tangguh. Walau semua

anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini

dilengkapi dengan senjata api laras panjang dan

pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula, dan lain

Page 53: Novel Pangeran Diponegoro

sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata

dan olah kanuragan jangan diragukan lagi.

Ada sebuah kisah yang terjadi pada bulan Juli 1809.

Ketika itu Marshall Hermann Wilhelm Daendels

berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dalam salah satu jamuan penyambutan, diperlihatkan

atraksi dari Bregada Langen Kesuma dan dia terkagum-

kagum melihat atraksi pasukan khusus perempuan ini.

Sejarawan Carey mengatakan jika Langen Kesuma

merupakan satu-satunya kesatuan militer pribumi yang

mampu membuat Daendels berdecak kagum ketika

melihatnya.

Selain Daendels, J. Greeve bersama Residen Surakarta

Hartsinch juga pernah menyaksikan Bregada Langen

Kesuma ini. Mereka disambut dengan salvo senapan

dan meriam yang dipergilirkan dengan amat sempurna.

Markas dari kesatuan istimewa ini berada di

Pesanggrahan Madyaketawang. Lapangan latihan

menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun

Pungkuran, di selatan kraton. Serat Rerenggan Karaton,

Pupuh XXII, Sinom, menyebutkan:

Page 54: Novel Pangeran Diponegoro

 

“Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati,

pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit,

tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya

munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di,

angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.”

 

Artinya lebih kurang sebagai: “Di Pesanggrahan

Madyaketawang, dan datanglah Sri Bupati (maksudnya

Sri Sultan) untuk menyaksikan mereka, seorang

perempuan yang menjadi pemimpin pasukan Langen

Kesuma, penampilannya mirip prajurit lelaki, dilihat dari

jauh, tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua

naik kuda, menuju tempat latihan di ibukota, yaitu di

Alun-alun Pungkuran.”

Selain menempa pasukan khusus perempuannya

dengan ilmu perang dan kanuragan, Ratu Ageng juga

membekali mereka dengan ilmu agama sehingga

pakaian pasukan ini terbilang sangat sopan, dengan

tetap mengedepankan kebebasan gerak untuk

berperang. Ratu Ageng sebagai pengasuh Pangeran

Diponegoro adalah panglima pasukan khusus ini. Bukan

Page 55: Novel Pangeran Diponegoro

hanya sebagai panglima, Ratu Ageng juga merupakan

seorang permaisuri raja yang sangat peduli dengan nilai-

nilai keislaman. Sebab itulah, selain menempa seorang

Diponegoro dengan cara-cara seorang ksatria, Ratu

Ageng juga membekali cicit kesayangannya ini dengan

ilmu agama yang cukup dalam.

Namun berbeda sikapnya dengan Diponegoro, terhadap

anak kandungnya sendiri Ratu Ageng malah tidak akur.

Ini disebabkan karena Raden Mas Sundoro dianggap

tidak taat dalam menjalankan perintah agama, walau

Raden Mas Sundoro sendiri dikenal sangat anti terhadap

penjajah Belanda.

Sebab itulah, ketika Hamengku Buwono I turun tahta

dan digantikan oleh Raden Mas Sundoro yang kemudian

dikenal sebagai Hamengku Buwono II di tahun 1792,

Ratu Ageng memilih untuk keluar dari lingkungan kraton

yang dianggapnya sudah cemar oleh tradisi kafir

Belanda. Ratu Ageng lebih memilih tinggal di sebuah

dusun terpencil yang kelak dikenal sebagai Tegalredjo,

berjarak sekira tiga kilometer barat kraton. Diponegoro

ikut diboyong keluar dari kraton dan tinggal di dusun di

tengah-tengah rakyatnya sendiri.

Page 56: Novel Pangeran Diponegoro

Dari Kraton, Puri Tegalredjo tepat berada di arah barat

laut, arah yang dijadikan kiblat bagi umat Islam di

Nusantara untuk sholat. Di dalam kompleks puri, Ratu

Ageng juga membangun sebuah masjid di sebelah barat

laut bangunan utama puri yang berupa pendopo utama.

Karena dibesarkan dalam lingkungan kawulo alit atau

rakyat kecil, maka dalam jiwa seorang Diponegoro

tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada

orang-orang kecil. Apalagi sejak kecil Diponegoro

melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa seorang

Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa

rendah ketika harus bergaul dengan kawulo alit. Bahkan

Ratu Ageng ikut terjun langsung bercocok tanam di

sawah dengan kaki dan tangan penuh lumpur. Ratu

Ageng harus bekerja, karena dia harus menghidupi

keluarganya sendiri disebabkan dia menolak bantuan

keuangan dari kraton yang dianggapnya sudah dikotori

oleh kemaksiatan dan kezaliman.

“Akan jauh lebih mulia di hadapan Allah jika aku bekerja

dengan tangan dan kakiku sendiri, ketimbang hidup

dengan bertumpu pada uang kotor yang berasal dari

memeras keringat dan darah rakyat!” tegasnya.

Page 57: Novel Pangeran Diponegoro

Diponegoro juga melihat betapa Ratu Ageng

sangat gandrung pada literatur-literatur keagamaan,

sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang

sederhana di Tegalredjo bagaikan sebuah perpustakaan

kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng

tidak memiliki minat yang besar. Dia hanya memiliki

barang-barang primer yang memang dibutuhkan dalam

rumah tangga seperti kebanyakan orang.

Semua pengajaran yang diberikan Ratu Ageng dan para

ulama yang dipanggil maupun yang didatangi langsung

oleh Diponegoro muda menyebabkan Pangeran

Diponegoro menjadi seorang pemuda yang bersahaya.

Seluruh kehidupannya diusahakan dengan keras

mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dia sering

menyamar sebagai orang kebanyakan, mengenakan ikat

kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Diam-diam

dia sering membaur bersama para santri di pondok-

pondok pesantren di pedesaan dengan menggunakan

nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya

hampir terbongkar, dia akan segera pindah ke pondok

pesantren yang lain. Selain itu, Diponegoro juga senang

mengembara, keluar masuk hutan, tinggal di gua-gua

Page 58: Novel Pangeran Diponegoro

untuk menyendiri, dan menatap lama-lama deburan

ombak dan langit Laut Kidul.

 

Pangeran Diponegoro tahu betul, kehidupan para

pembesar kraton yang sebagian besar masih

kerabatnya, kian hari malah kian jauh dari tuntunan

agama. Para pejabat kraton yang notabene sudah

memeluk Islam, semakin hari malah semakin mesra

dengan kafir Belanda. Islam bagi mereka hanyalah

identitas formal, sedangkan kelakuannya sudah tidak

ada beda lagi dengan kelakuan kaum kafir Belanda yang

menyukai dansa-dansi sampai pagi, minum-minuman

keras, gila harta dan judi dengan taruhan gadis-gadis

penari.

Martabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang

tadinya begitu tinggi dan mulia kini sudah cemar, dikotori

kafir Belanda dan sebagian besar pembesar kraton

sendiri yang sudah lupa dengan jatidirinya.

Sebab itu, ketika Hamengku Buwono III, ayah

kandungnya, hendak menobatkannya sebagai putera

mahkota-walau Diponegoro bukan berasal dari

permaisuri, namun selir-dengan tegas dia menolaknya.

Page 59: Novel Pangeran Diponegoro

Ustadz Taftayani tahu, penolakan Diponegoro lebih

disebabkan ketidaksukaannya terhadap campur tangan

Belanda dalam kekuasaan kraton. Bahkan

pengangkatan seorang raja pun harus disetujui Belanda

dan Residen Belanda-lah yang melantik seorang raja.

Diponegoro amat muak dengan semua ini. Itulah yang

melatarbelakangi penolakannya untuk menjadi raja di

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dengan penuh keikhlasan, dia menunjuk adiknya yang

masih belia, Raden Mas Jarot, untuk menerima posisi

sebagai putera mahkota. Dihadapan orang-orang

terdekatnya, Diponegoro ketika itu mengatakan,

“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya,

kalau-kalau saya lupa, tolong ingatkan pada saya,

bahwa saya bertekad tidak mau dijadikan pangeran

mahkota, walau pun seterusnya akan diangkat menjadi

raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin

itu terjadi. Cukuplah saya menjadi seperti apa yang ada

sekarang, dekat dengan Gusti Allah dan rakyatku. Saya

bertobat kepada Allah Yang Maha Besar. Hidup di dunia

tiada akan lama dan saya tidak ingin hidup saya ini

Page 60: Novel Pangeran Diponegoro

nantinya dikotori oleh kafir Belanda. Saya tidak ingin

hidup dengan menanggung dosa…”[2]

Bagi Diponegoro, kehidupan penuh glamor di dalam

kraton sama sekali tidak menarik hatinya. Baginya kraton

adalah tempat yang penuh dengan dosa, dan dia tidak

mau ikut terkotori. Diponegoro lebih menyukai hidup dan

berada di tempat yang sepi, untuk mencari kesejatian

dan makna hidup, menggali ilmu agama, dan

pengetahuan yang bermanfaat.

Seorang Diponegoro lebih menyukai menjalin silaturahim

dengan para alim-ulama dan rakyat biasa, ketimbang

berdekat-dekatan dengan penguasa. Sejumlah ulama

besar yang dekat dengan Diponegoro antara lain Kiai

Muhammad Bahwi, penghulu utama kraton, lalu Haji

Baharudin yang menjadi Komandan Pasukan Suronatan,

Kiai Kasongan, Kiai Papringan, juga dengan Kiai

Baderan ayah dari Kiai Mojo, dan lain-lain. Dan seorang

Ustadz Muhammad Taftayani merasa bersyukur bisa

menjadi salah satu guru bagi orang yang berhati mulia

ini.

 

Page 61: Novel Pangeran Diponegoro

“Ustadz… silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak

keluar dahulu,” ujar Pangeran Diponegoro membuyarkan

semua ingatan Muhammad Taftayani[3] tentang murid

kesayangannya itu.

“Astaghfirullah.. saya melamun. Silakan Pangeran. Dan

karena hari sudah semakin malam, pengajian kali ini kita

cukupkan sampai disini dahulu. Mudah-mudahan iman

Islam yang kita miliki mampu untuk mengikat hati kita

semua dalam perjuangan yang sebentar lagi akan

mendatangi kita. Cepat atau lambat, semuanya akan

diuji oleh perjuangan ini. Saya berdoa agar

Allah subhana wa ta’ala nanti memasukkan dan

mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya. Amien

ya Rabb. Apakah kisanak semua masih ada

pertanyaan?”

Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz

Taftayani saling berpandangan dan kemudian

menggelengkan kepala.

“Baiklah. Nanti kita akan berkumpul kembali dalam

pengajian berikutnya. Untuk saat ini saya

cukupkan.Wassalamu’alaikum warahmatullahi

wabarakatuh.“

Page 62: Novel Pangeran Diponegoro

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,”

jawab semuanya.

Pengajian telah berakhir malam itu. Para prajurit ada

yang beristirahat, ada pula yang bertugas jaga.

Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh, dan

pimpinan pasukan lainnya bergabung di sebuah rumah

yang cukup besar di bagian bawah Gua Selarong.

Seperti yang dilakukan setiap malam, semuanya akan

mendengar pemaparan perkembangan terakhir situasi

Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandiatau

mata-mata yang dikirim ke berbagai tempat. Pangeran

Diponegoro akan langsung memimpin pertemuan

tersebut. [] (Bersambung)

[1] Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden

Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro dilahirkan 11

November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo atau yang

kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono III

dilahirkan pada 20 Februari 1769.

[2] Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini

tertulis di dalam Babad Diponegoro jilid I hal.39-40.

[3] Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805,

Ustadz Taftayani yang berasal dari Sumatera Barat itu

Page 63: Novel Pangeran Diponegoro

mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa

dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta,

pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta,

Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim

karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini

mengindikasikan, Pangeran Diponegoro belajar Islam

dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984,

“Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke

19″, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta hal. 29).

Bab 3

SUROMENGGOLO BERSAMA TIGA LELAKI LAINNYA

sudah duduk bersila di ruangan agak besar berdinding

bambu yang tidak dilabur dengan kapur, sehingga bilik-

biliki bambu yang mengikat dengan saling-silang itu

menampakkan keasliannya. Sebuah pelita kecil sengaja

diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas

ruangan. Keempat orang itu merupakan bagian dari

pasukantelik sandi yang sengaja dikirim Diponegoro ke

daerah-daerah musuh untuk menggali informasi

sebanyak-banyaknya tentang berbagai hal.

Di luar, suara hewan malam terdengar bersahut-

sahutan. Sesekali di kejauhan, lenguhan monyet

menimpali. Suaranya begitu memilukan, bagai

Page 64: Novel Pangeran Diponegoro

meneriakkan nasib rakyat pribumi yang terus-menerus

menderita di bawah kekejaman Belanda dan antek-

anteknya.

Suromenggolo sungguh-sungguh kagum dengan

Susuhunan Paku Buwono IV. Keponakan dari Pangeran

Diponegoro inilah-bersama Pangeran Mangkubumi[1]-

yang menganjurkan agar pamannya memilih Gua

Selarong sebagai basis perlawanan gerilya. Wilayah

Selarong dengan beberapa guanya memang sangat

strategis. Tempatnya berada di ketinggian sebuah bukit,

dikelilingi hutan yang masih lebat walau tidak luas. Jalan

dari dan menuju gua hanya satu dan itu pun kecil

sehingga sulit dilalui kereta yang ditarik kuda. Walau

berada di ketinggian, namun Gua Selarong yang berada

di selatan Yogyakarta ini tak begitu jauh dengan dengan

garis pantai Laut Kidul, tempat yang disukai Diponegoro

untuk tafakur .

Di bawah Gua Selarong terdapat perkampungan yang

sudah ramai oleh rumah penduduk. Walau demikian,

kontur daerah ini memang menjadikannya sangat cocok

untuk dijadikan markas komando dalam kacamata

militer.

Page 65: Novel Pangeran Diponegoro

Setelah menyimak dan menimbang saran dari Paku

Buwono VI, Pangeran Diponegoro akhirnya mengakui

jika usul keponakannya tersebut memang tepat. Gua

Selarong memang sebuah benteng alami yang cukup

tangguh.

Sebagai seseorang yang dididik dan dibesarkan

panglima pasukan khusus pengawal raja, Pangeran

Diponegoro tahu banyak soal strategi perang. Ratu

Ageng tidak hanya memberinya pengetahuan

keagamaan, tetapi juga membekalinya dengan dasar-

dasar kepemimpinan dan kemiliteran, pengetahuan

tentang taktik perang, penggunaan senjata, manajemen

pasukan, dan lain sebagainya.

Sebab itulah, walau tidak dilakukan tiap malam, selepas

pengajian dan di saat yang lain sudah beristirahat atau

kembali berjaga di posnya masing-masing, Pangeran

Diponegoro selalu mengadakan pertemuan terbatas

dengan para telik sandi terpilih untuk memantau

perkembangan di luar sana.

Pangeran Diponegoro percaya dengan informasi yang

disampaikan para telik sandinya. Di sisi lain, tanpa

sepengetahuan para telik sandinya, Diponegoro juga

Page 66: Novel Pangeran Diponegoro

membentuk unit kontra intelijen yang mengawasi dan

mengecek semua informasi yang diterima dari

bawahannya. Yang terakhir ini direkrut dari orang-orang

yang sangat dipercayainya, walau pun jumlahnya tidak

banyak. Ustadz Taftayani sendiri yang telah membaiat

mereka dengan kitab suci al-Qur’an di atas kepala.

Tiba-tiba pintu bilik yang bagian luarnya terbuat dari

bambu bergerak terbuka. Deritnya terdengar pelan. Dari

pintu yang terbuka tampak Ki Guntur Wisesa yang

pertama memasuki ruangan, diikuti Pangeran

Diponegoro, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, seorang

pengawal khusus, dan kemudian barulah beberapa

orang sesepuh dan para senopati. Salam pun

ditebarkan, dijawab kembali dengan salam saling

mendoakan kebaikan bagi semuanya. Mereka duduk

melingkar di tengah ruangan, diterangi temaram satu-

satunya pelita kecil yang diikat di atas dekat wuwungan.

Tidak ada yang bersuara hingga Ustadz Taftayani

membuka pertemuan.

“Bagaimana laporanmu Suromenggolo?” bisiknya

langsung ke pokok pertemuan.

Page 67: Novel Pangeran Diponegoro

Lelaki yang disapa Suromenggolo mengangguk pelan.

Murid sekaligus orang kepercayaan Kiai Mojo, ulama

kharismatik dari Desa Mojo yang berada di utara

Surakarta, ini tidak segera menjawab. Dia mengedarkan

terlebih dahulu pandangannya ke sekeliling ruangan.

Walau nyaris gelap, namun dia bisa merasakan jika

seluruh pimpinan pasukan jihad fi sabilillah Kanjeng

Gusti Pangeran berkumpul di sini.

Setelah mengedarkan pandangannya ke seluruh

ruangan, masih sambil duduk bersila, Suromenggolo

membungkukkan badan dan mulai mengeluarkan

suaranya. Terdengar seperti orang berbisik, namun bisa

didengar dengan jelas.

“Alhamdulillah. Semakin banyak ulama dan para

pendekar yang menyatakan dengan tegas jika mereka

akan bergabung dengan kita….”

Pangeran Diponegoro dan semua yang ada di dalam

ruangan tersebut juga mengucapkan hamdallahtanda

syukur kepada Allah subhana wa ta’ala. Beberapa tahun

lalu, Pengeran Diponegoro dan yang lainnya memang

bergerak di segenap penjuru negeri untuk menggalang

kekuatan untuk memerangi dan mengusir Belanda.

Page 68: Novel Pangeran Diponegoro

Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai

Abdani dan Kiai Anom di Bayat, Klaten. Kedua kiai ini

tidak saja menyatakan dengan tegas kesanggupannya

untuk bergabung namun juga memberi Diponegoro

tambahan ilmu bela diri. Dari Bayat, Diponegoro

bersama Pangeran Mangkubumi melanjutkan perjalanan

ke Sawit, Boyolali, untuk menemui Kiai Modjo, seorang

Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI.

Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran

Diponegoro. Lalu dengan diantar Kiai Modjo, Pangeran

Diponegoro menemui Tumenggung Prawirodigdoyo di

Gagatan. Tumenggung ini adalah orang kepercayaan

Susuhunan Paku Buwono VI.

Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan

inilah, Pangeran Diponegoro pun menemui Paku

Buwono VI, keponakan Diponegoro sendiri.

“Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi,

Dieng, Merbabu, Kulon Progo, dan lainnya, semua siap

bergabung dengan Kanjeng Pangeran. Bukan saja para

ulama, namun juga para pendekar dan jagoan-jagoan

setempat. Mereka sudah muak dengan Belanda. Mereka

Page 69: Novel Pangeran Diponegoro

hanya tinggal menunggu perintah dari Kanjeng

Pangeran.”

Ustadz Taftayani mengangguk-angguk. “Alhamdulillah,

ini perkembangan yang baik. Namun ketahuilah, jika

perang yang akan kita lakukan ini adalah perang

sabil, Jihad fi sabilillah. Perang yang semata-mata

bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan

menghapuskan segala kezaliman. Sebab itu, kita harus

mengaktifkan pengajian-pengajian di seluruh negeri,

agar semua yang nantinya bergabung dengan kita

memahami apa tujuan dan hakikat perang ini.

Bagaimana Pangeran?”

“Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan

memetik kemenangan. Tidak ada sedikit pun rasa takut

dan cemas menghadapi hari esok bagi orang-orang

beriman. Kematian adalah kepastian. Dan hanya orang-

orang beriman dan tawakal yang kematiannya akan

benar-benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang

lainnya, para senopati dan para ulama, mulai besok kita

akan menggencarkan pengajian kepada semua orang

yang bersedia bergabung dalam kafilah tauhid ini. Insya

Allah..,” ujar Diponegoro.

Page 70: Novel Pangeran Diponegoro

“Lantas, bagaimana dengan Danuredjo, Kisanak?” tanya

Ustadz Taftayani kembali kepada Suromenggolo.

“Danurejo makin tak terkendali, Ustadz. Tadi pagi

seorang ibu yang sedang hamil tua bersama dua orang

anak kecil yang dibawanya dilarang lewat jembatan di

Desa Jotawang, hanya karena uang yang dimiliki sang

ibu tadi untuk bayar pajak jalannya kurang. Danurejo

ada di sana. Dia tengah menginspeksi pos-pos jalan

utama. Dia sendiri yang kemudian memerintahkan ibu itu

dan anak-anaknya untuk menyeberangi Kali Code yang

berbatu-batu yang ada di bawah jembatan. Akhirnya ibu

dan anak-anaknya itu pun terpaksa menyeberangi kali.

Dan celaka, mereka jatuh dan terbawa hanyut air kali

yang deras. Tidak ada yang berani menolongnya karena

Danurejo dan pasukannya melarang semua orang yang

ada di situ untuk menolong mereka….”

“Astaghfirullah al-adziem....,” desis semua yang ada di

sana.

“Dasar anjing Belanda!” umpat Ki Singalodra geram.

Giginya sampai terdengar bergemeletuk saking

marahnya.

Page 71: Novel Pangeran Diponegoro

“Teruskan Kisanak…,” ujar Ustadz Taftayani.

(Bersambung)

[1] Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Sultan

Hamengku Buwono II atau yang lebih populer disebut

sebagai Sultan Sepuh. Sultan Hamengku Buwono II ini

sangat anti penjajah Belanda. Sikap ini diwariskan oleh

Pangeran Mangkubumi. Pangeran Diponegoro sendiri

lebih dekat kepada Sultan Sepuh ketimbang terhadap

ayahnya sendiri, Sultan Hamengkubu Buwono III yang

tidak begitu tegas, bahkan beberapa kali dengan jelas

mendukung Belanda.

Suromenggolo melanjutkan paparannya, “Danurejo juga

telah memerintahkan dua orang kepercayaannya,

Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Ponular untuk

menaikkan tarif pajak di beberapa ruas jalan yang makin

ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar, dilarang

melintas di jalan itu…”

 

Pangeran Diponegoro bergumam, “Murdaningrat dan

Ponular, jahat benar mereka…”

 

Page 72: Novel Pangeran Diponegoro

Suromenggolo mendengar gumamannya, “Ya, benar

Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka berdua telah benar-

benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir

Belanda. Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng

Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng Gusti

Mangkubumi di dewan perwalian?”

 

Diponegoro mengangguk. “Ya, mereka yang

menggantikanku dan

Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.”

 

Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di

ruangan itu tahu benar jika sesungguhnya Dewan

Perwalian Kraton hanyalah alat bagi kepentingan

Belanda untuk menipu rakyat.

Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III

wafat pada tahun 1814. Saat itu Raden Mas Jarot, adik

dari Pangeran Diponegoro, baru berusia sepuluh tahun.

Rakyat menginginkan agar Diponegoro yang menjadi

raja. Namun Diponegoro sejak awal menolak. Dan

Belanda pun tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau

Page 73: Novel Pangeran Diponegoro

tunduk pada kepentingannya. Akhirnya Raden Mas Jarot

pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku Buwono IV

dalam usia belia. Belanda menunjuk Paku Alam I

sebagai wali pemerintahannya.

 

Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku

Buwono IV sudah hampir berusia enambelas tahun,

Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja.

Namun pemerintahan mandiri Hamengku Buwono IV

hanya berjalan selama dua tahun, karena pada tanggal

6 Desember 1822 tengah hari, ketika baru saja

sepulangnya dari tamasya, dia meninggal dunia. Sebab

itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan

Seda ing Pesiyar, Sultan yang meninggal dunia ketika

tengah tamasya.

Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi

sebab kematiannya. Namun banyak orang yang

percaya, jika Belanda atau orang-orangnya telah

meracuni Sultan. Belanda berbuat itu agar kekuasaan

Patih Danuredjo IV bisa lebih besar.[1] Patih Danuredjo

IV, yang berasal dari keluarga Danurejan yang memang

sejak lama menjadi kaki tangan Belanda, kemudian

Page 74: Novel Pangeran Diponegoro

menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-

jabatan penting di kraton. Dengan meninggalnya

Hamengku Buwono IV, maka otomatis, Raden Mas

Gatot Menol, anaknya yang baru berusia tiga tahun akan

naik tahta. Dengan adanya raja balita ini, maka Patih

Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai seluruh

kraton. Dan kepentingan Belanda pun akan terjamin

dalam waktu yang lama.

 

Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol

yang baru berusia tiga tahun pun diangkat menjadi

Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi raja

kecil ini, Belanda bersama Patih Danuredjo IV

membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri dari

orang-orang terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk

salah satunya untuk menghilangkan kecurigaan rakyat

banyak soal sebab kematian Hamengku Buwono IV.

Dengan adanya Dewan Perwalian, maka Patih

Danuredjo bisa berlindung di balik dewan ini atas semua

tindak-tanduknya.

 

Page 75: Novel Pangeran Diponegoro

Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku

Buwono V dan dibentuknya Dewan Perwalian Kraton

menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang Pangeran

Diponegoro. Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian

hanyalah hasil akal-akalan dari seorang Danuredjo.

Karena keputusan final pemerintahan tetap berada di

tangan Patih Danuredjo IV bersama-sama dengan

Residen Belanda.

 

Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka

kraton akan sepenuhnya dikuasai Danuredjo dan para

penjilat kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup

lama di Parangkusumo, dengan mengucapkan Bismillah,

maka Pangeran Diponegoro pun memilih untuk mau

bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama

dengan Mangkubumi, pamannya yang sangat dihormati

Diponegoro. Diponegoro berharap dengan

bergabungnya dia dan Mangkubumi di dalam Dewan

Perwalian Kraton, maka mereka bisa mewarnai kraton

agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa

kafir Belanda.

 

Page 76: Novel Pangeran Diponegoro

Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat

demi rapat berlangsung, memutuskan ini dan itu terkait

kebijakan kraton terhadap berbagai macam masalah

menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan

Dewan Perwalian ternyata tidak berjalan sebagaimana

mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak

sejalan dengan hasil musyawarah atau rekomendasi dari

Dewan Perwalian. Patih Danuredjo yang sangat licin dan

mahir berbicara ini. bahkan dengan menyitir banyak ayat

Qur’an, hadits, dan juga siroh Rasul, selalu menelikung

semua keputusan Dewan ini. Sehingga keberadaan

Dewan seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai

panggung sandiwara. Danuredjo bisa dengan mudah

dan leluasa memutuskan segala hal walau itu

bertentangan dengan hasil musyawarah Dewan

Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih berkuasa

ketimbang Dewan Perwalian itu sendiri. Dewan yang

berfungsi sebagaimana layaknya Dewan Syuro ini tidak

memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak

lain.

 

Page 77: Novel Pangeran Diponegoro

Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah

muak. Maka dengan tegas, Diponegoro-bersama

Mangkubumi-menyatakan keluar dari dewan ini dan

bersama-sama umat berjuang dari luar lingkaran

kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo sendiri

mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak

kepada Diponegoro, namun Sang Pangeran tidak goyah

dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton

sepenuhnya.

Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo

melaporkan semua informasi yang diterimanya di

lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan

Belanda dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang

diambil oleh Patih Danuredjo yang kian menyusahkan

rakyat.

 

Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan

anggota pasukan telik sandi-nya bersepakat jika

perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak

mungkin Belanda dan Danuredjo akan mengambil suatu

langkah untuk memprovokasi Pangeran Diponegoro

untuk memulai perang.

Page 78: Novel Pangeran Diponegoro

 

“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “…saat

ini Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di sini harap

lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi

yang kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika

Belanda dan Patih Danuredjo tengah menyusun siasat

agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan

mereka secara terbuka terlebih dahulu. Semua ini agar

mereka memiliki alasan untuk menangkap dan

membunuh kita semua di sini…” [] (Bersambung)

[1] Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince

Dipanagara and the end of an old order in Java 1785-

1855 (2007) menulis, “…bagaimana dia wafat sangat

mengerikan-tampaknya ia mendadak kena serangan

penyakit ketika sedang makan-dan tubuhnya langsung

membengkak, suatu pertanda menurut dugaan

beberapa orang masa itu, bahwa dia telah diracuni…

Kematian itu datang dengan tiba-tiba setelah Hamengku

Buwono IV menerima nasi dan makanan Jawa dari Patih

Danuredja IV.”

Bab 4

 

Page 79: Novel Pangeran Diponegoro

Pertengahan Juli 1825

 

MALAM TELAH TURUN MENYELIMUTI LANGIT Kraton

Ngayogyakarta Hadiningrat. Di aula kraton, musik Ratu

Wilhelmina terdengar mendayu-dayu dari piringan hitam

yang diputar. Gelak tawa para pembesar Belanda dan

para pejabat kraton yang tengah dimabuk whisky dan

Brandy dalam pesta jamuan makan malam yang mewah

terdengar kencang. Diseling cekikikan genit para Noni

Belanda dan perempuan-perempuan muda yang

didatangkan orang-orangnya Patih Danuredjo entah dari

mana.

Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem

Danuredjo IV tampak duduk semeja dengan Anthonie

Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta. Penggila

pesta dan minuman keras itu, dan tentu saja juga

wanita, merupakan Residen Belanda ke-18 untuk

Yogyakarta. Sejak bertugas tahun 1823, hampir tiap

pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi dan

minuman keras dengan mengundang koleganya,

termasuk para pembesar kraton seperti halnya Patih

Page 80: Novel Pangeran Diponegoro

Danuredjo IV dan sebagian pangeran serta pejabat

lainnya.

Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan

beberapa botol Whisky yang sudah berkurang isinya,

Patih Danuredjo tengah berembug dengan residen itu

untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para

pengikutnya yang makin lama makin mencemaskan

mereka.

Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga

kraton, mereka mendapatkan keterangan jika kian hari

kian banyak saja orang yang bergabung dengan

Diponegoro. Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat

kediaman Diponegoro dan Ratu Ageng, sudah lama

tercium adanya pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi

pribumi yang dipimpin oleh sejumlah ulama pendekar

dan para jagoan yang menyatakan setia kepada

Diponegoro. Pelatihan itu tidak saja dilakukan dengan

tangan kosong, namun juga menggunakan berbagai

macam senjata.

“Patih, Kowe musti bisa bikin cara supaya Diponegoro itu

bisa segera ditangkap!”

Page 81: Novel Pangeran Diponegoro

Patih Danuredjo tersenyum. Dengan suaranya yang

lembut dan kalimat yang teratur rapi, dia menjawab,

“Insya Allah, Tuan Residen tenang saja. Saya dan anak

buah saya sedang mencari jalan supaya dia bisa

sesegera mungkin ditangkap.”

“Kapan? Kowe tidak bisa berlama-lama begitu! Apa mau

tunggu sampai pengikutnya banyak? Jadi susah kita

nantinya!” sergah Smissaert sambil menenggak sebotol

Whisky dari botolnya langsung. Jakunnya yang besar

terlihat bergerak naik turun di lehernya. Dia kemudian

menopangkan sebelah kakinya yang pendek naik di atas

meja ke atas kaki yang lain. Tapak sepatu lars Smissaert

kini menghadap lurus ke wajah Danuredjo. Patih

Danuredjo benar-benar direndahkan olehnya. Tapi patih

itu hanya berdiam diri sambil tetap tersenyum, walau

hatinya serasa panas diperlakukan seperti itu.

Melihat Danuredjo yang belum juga menjawab

pertanyaannya, dengan tidak sabaran lelaki kecil

berwajah bulat dengan rambut tipis berwarna putih

keperakan dan bermata biru itu berkata, “Aah, jangan-

jangan kowe berkomplot dengan Diponegoro hah!”

Page 82: Novel Pangeran Diponegoro

Danuredjo yang ikut minum Whisky, hanya saja dia

meminumnya dari sloki, tersedak. Airnya sampai tumpah

membasahi pakaiannya.

“Tidak, bukan begitu, Tuan. Tuan salah besar jika

sampai menduga hal itu. Saya sebenarnya sejak

beberapa hari lalu berpikir jika kita sebenarnya punya

cara yang bagus untuk menangkap Diponegoro itu…”

“Kenapa kowe dari tadi diam saja?” ketus Smissaert

dengan sinis. Bekas Residen Rembang yang ditunjuk

Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada 3 Januari

1823 menjadi Residen Yogyakarta ini, walau bertubuh

kecil dan kikuk, namun sikapnya sangat percaya diri.

“Saya baru mau cerita, Tuan…”

“Ya, cepatlah cerita!”

Danuredjo membetulkan posisi duduknya. Kini

punggungnya ditegakkan tanpa bersandar ke bagian

sandaran kursi rotan yang tinggi. Setelah terbatuk-batuk

kecil sebentar dia mulai memaparkan rencana bulusnya.

“Tuan Residen, Tuan pasti tahu proyek jalan lurus dari

Yogyakarta ke Magelang yang sedang kita kerjakan

bukan?”

Page 83: Novel Pangeran Diponegoro

Smissaert mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya,

saya tentu tahu. Ada apa dengan proyek itu?”

Wajah Danuredjo mendadak cerah. Dia memang selalu

begitu jika sedang merencanakan sesuatu. Raut

wajahnya yang sedemikian licik mengingatkan Smissaert

pada salah satu tokoh penasehat Kurawa dalam epik

Bharata Yudha yang pernah dibacanya semasa masih

kecil di Bataaf, kampung kelahirannya.

Ya, orang ini mirip sekali dengan Patih Sasngkuni!

“Tuan Residen, bagaimana jika jalan yang tadinya dibuat

lurus itu, melewati Muntilan, dibelokkan sedikit ke barat,

melewati Tegalredjo. Jalan itu kita buat sengaja

menerabas tanah makam leluhur Diponegoro dan juga

kebun miliknya. Kita tancapkan saja patok-patok proyek

jalan di sana. Jika kita melakukan itu, Diponegoro pasti

akan marah….”

Residen Smissaert menurunkan kedua kakinya dari atas

meja. Wajahnya ikutan cerah. Kedua matanya yang biru

terlihat berbinar-binar. “Ha! Ini baru namanya Patih

Danuredjo! Tak sia-sia Belanda punya orang seperti

kowe! Ayo, ayo, teruskan ceritamu!”

Page 84: Novel Pangeran Diponegoro

Disanjung demikian, Danuredjo tersenyum lebar.

Dengan sikap yang dibuat-buat dia merendahkan diri

dengan mengatakan jika dirinya biasa saja dan hanya

bekerja semaksimal mungkin demi kemuliaan ratu

Belanda.

“Tuan pasti sudah bisa menebak kemana arahnya.

Kalau Diponegoro marah, dia pasti akan mengirim

utusannya kesini untuk mengajukan protes. Kita

acuhkan saja protesnya dan tetap mematoki tanah itu

untuk dibuat jalan. Bahkan kita kirim saja para kuli ke

Tegalredjo dan mulai mengerjakan proyek ini.

Diponegoro pasti akan marah besar. Dia akan

kehilangan akal sehatnya. Bisa jadi dia akan menyerang

kuli-kuli kita itu. Atau bisa jadi pula dia akan menyerang

langsung kita di sini. Kalau itu sampai terjadi, kita tinggal

menangkapnya. Kita katakan saja jika Diponegoro mau

memberontak terhadap pemerintah. Bukankah itu

mudah?”

Smissaert tersenyum lebar, kedua matanya yang besar

menyipit, “Ha..ha..ha.. betul. Betul itu. Nah, belokan saja

jalan itu menuju tanah leluhurnya Diponegoro!”

“Kapan rencana kita bisa dilaksanakan, Tuan?”

Page 85: Novel Pangeran Diponegoro

“Secepatnya. Malam ini saja. Biar kita bisa cepat

menangkap orang itu!”

“Baik, Tuan!”

Patih Danuredjo kemudian berdiri dari tempat duduknya.

“Sebentar, Tuan. Saya akan panggil orang proyek jalan

itu sekarang.”

“Ya, kowe harus bergerak cepat!”

Danuredjo membungkuk takzim pada Smissaert,

kemudian dia keluar ruangan diiringi pandangan puas

dari Smissaert. Dengan langkah agak limbung karena

pengaruh minuman keras, Danuredjo pergi memanggil

salah seorang anak buahnya yang sudah duduk

menunggu di teras dekat dengan ruangan pertemuannya

dengan Tuan Residen. Agaknya Danuredjo sudah

mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Melihat

Patih Danuredjo datang, lelaki yang duduk menunggu itu

segera bangkit dan menyongsong tuannya.

“Joko!” panggil Danuredjo dari pintu ruangan.

“Dalem, Kanjeng Patih!” ujar lelaki yang dipanggil Joko

seraya bergegas menghampiri Danuredjo sambil

terbungkuk-bungkuk. Lelaki itu berhenti tepat dua meter

Page 86: Novel Pangeran Diponegoro

di hadapan Danuredjo dengan sikap tubuh masih sedikit

membungkuk dengan kedua tangannya ditangkupkan ke

bawah perut.

“Tuan Residen sudah setuju dengan rencana kita.

Bagaimana kalau malam ini juga rencana itu dilakukan?”

“Inggih, Kanjeng Patih. Saya siap…”

“Bagus. Kerjakan segera dan lapor setiap

perkembangan yang ada padaku.”

“Inggih, Kanjeng Patih. Perintah segera saya

laksanakan.”

Patih Danuredjo segera kembali ke dalam ruangan di

mana Smissaert tengah asyik menenggak whisky-nya.

Dia segera bergabung dengan orang Belanda nomor

satu di Yogyakarta tersebut dan tenggelam dalam pesta

minuman keras.

“Patih…, kowe sudah panggil itu Sari?” tanya Smissaert

menyebut salah satu penari kraton dari Pacitan yang

terkenal kecantikannya. Smissaert agaknya jatuh hati

pada gadis yang usianya belum genap delapanbelas

tahun itu. Danuredjo tersenyum lebar penuh arti ketika

Smissaert menanyakan Sari. (Bersambung)

Page 87: Novel Pangeran Diponegoro

“Pasti, Tuan. Semuanya sudah saya siapkan, termasuk

Sari.”

 

“Bagus, bagus. Tolong untuk perempuan

itu kowe jangan suruh menari lama-lama. Nanti

diakecapekan. Aku tidak mau kalau dia nanti

cepat capek. Untukmu sendiri pasti sudah juga kan?”

 

Danuredjo tertawa keras sambil mengangguk-

anggukkan kepalanya. Smissaert juga ikut tertawa.

 

“Sriayu lagi…?” goda Smissaert.

 

Patih itu menggelengkan kepalanya, “Untuk malam ini

yang lain saja. Bosan kalau makan sayur asem terus,

biar malam ini saya makan sayur lodeh…”

 

Smissaert sekarang yang tertawa keras. Danuredjo pun

demikian. Keduanya memang penggila perempuan.

Page 88: Novel Pangeran Diponegoro

Bahkan di dalam urusan keputusan pengadilan pun,

Patih Danuredjo akan memenangkan pihak yang

memberikan hadiah berupa perempuan muda dan cantik

kepadanya. Hanya Wakil Residen Chevallier yang

mampu menandingi mereka dalam urusan perempuan.

Wakil Smissaert ini memiliki banyak kisah asmara,

termasuk dengan puteri-puteri kraton.

 

Di luar ruangan, musik Ratu Wihelmina masih mengalun

dari phonograph, alat pemutar piringan hitam dengan

corong besar berwarna hitam. Botol minuman keras

berserakan di mana-mana. Laki-laki dan perempuan

masih berpelukan di lantai mengikut alunan suara musik.

Yang lain duduk rapat menikmati Whisky sambil tertawa

cekikikan. Aula kraton malam itu tak ubahnya seperti bar

atau rumah bordil. Aroma alkohol menyeruak sampai

menembus ke luar dinding tebal kraton.[]

Bab 5

Puri Tegalredjo, 04.50 wib

ADZAN SUBUH BERKUMANDANG MEMENUHI

ANGKASA pagi. Suaranya terdengar mendayu-dayu

diteriakkan dari berbagai mushola dan masjid, besar dan

Page 89: Novel Pangeran Diponegoro

kecil, yang tersebar di seantero dusun di lembah dan

gunung di kaki Merapi. Ayam jantan pun berkokok

bersahut-sahutan.

 

Masjid yang berada di pojok barat laut kompleks Puri

Tegalredjo masih sunyi. Sejumlah lampu teplok yang

biasanya menyala saat waktu Maghrib dan Isya, juga

saat-saat pengajian diadakan, juga sudah padam. Di

dalam masjid yang belum sepenuhnya rampung

dibangun ini, walau sudah difungsikan sebagaimana

masjid lainnya, sesosok lelaki berjubah putih dengan

surban hijau pupus tengah asyik terpekur dalam zikirnya.

Dia benar-benar menikmati suasana dini hari yang

hening sendirian. Baginya malam adalah waktu yang

tepat untuk berdialog dengan Sang Maha. Malam adalah

selimut bagi jiwa-jiwa yang sepi. Dan malam adalah

wahana untuk mengantarkan ruhani yang dahaga akan

keabadian.

 

Suara derit pintu masjid berbunyi pelan. Seorang anak

muda dengan jubah dan songkok putih melangkahkan

Page 90: Novel Pangeran Diponegoro

kakinya masuk ke dalam masjid. Dia lalu berdiri tidak

jauh dari lelaki itu yang masih saja asyik dengan

zikirnya. Anak muda itu kemudian bertakbir dan mulai

menunaikan sholat tahiyatul masjid, dua rakaat.

 

Lelaki yang duduk bersila pun menghentikan zikirnya.

Dia ikut berdiri, kemudian melaksanakan sholat sunnah

dua rakaat. Tak lama kemudian, beberapa orang lelaki

berpakaian putih-putih tampak mendatangi masjid.

Mereka adalah warga sekitar Puri Tegalredjo yang

sering ikut pengajian pekanan. Tak sampai lima menit

masjid kecil itu sudah dipenuhi jamaah sholat subuh

yang nyaris seluruhnya mengenakan baju wulung atau

jubah putih.

 

Lelaki yang tadi berzikir dan menunaikan sholat sunnah

dua rakaat kemudian berdiri paling depan di mihrab

imam. Dia mempersilakan anak muda yang tadi

bersamanya untuk segera mengumandangkaniqamah.

 

Page 91: Novel Pangeran Diponegoro

Dengan suara yang elok, tidak terlalu keras dan juga

tidak pelan, anak muda tadi menangkupkan tangan ke

sebelah telinganya dan mulai meneriakkan iqamah,

tanda sholat subuh berjamaah akan segera didirikan.

Selesai iqamah, lelaki yang berdiri di mihrab untuk

sesaat berdiam diri. Lalu dia mengangkat kedua

tangannya sebatas telinga. Dengan penuh

kekhusyukkan dia mengucapkan takbir, “Allahu Akbar!”

Semua yang ada di belakangnya serentak mengikuti

takbir sang imam.

 

Pada rakaat pertama, Pangeran Diponegoro yang

menjadi imam sholat membaca surat Al-Ikhlas. Surat ini

merupakan surat ke-112, termasuk surat al-Makiyah.

Surat Al-Ikhlas berisi tentang kemurnian tauhid.

Pangeran Diponegoro selalu mengawali sholat subuh

dengan membaca surat ini. Seorang Muslim wajib

memulai hari dengan tauhid yang benar agar semua

ibadah di hari itu mendapatkan keridhaan Allahsubhana

wa ta’ala. Itu salah satu prinsip Pangeran Diponegoro.

 

Page 92: Novel Pangeran Diponegoro

Di rakaat kedua, Diponegoro membaca surat At-

Takaatsur yang merupakan surat ke-102 yang

menceritakan soal tabiat manusia kebanyakan yang

sering lalai disebabkan kecintaannya pada kemegahan

dan kelezatan dunia yang sesungguhnya menipu.

Dengan suara yang lembut dan merdu, Diponegoro

membaca delapan ayat surat tersebut. Banyak dari

jamaahnya yang terisak menangis mendengar suara

Sang Pangeran yang begitu menyayat hati.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

Sampai kamu masuk ke liang kubur,

Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,

Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,

Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan

pengetahuan yang yakin,

Niscaya kamu akan sungguh-sungguh menyaksikan

neraka jahim,

Dan sesungguhnya kamu akan sungguh-sungguh akan

melihatnya dengan yakin seyakin-yakinnya,

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang

kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)

…”

Page 93: Novel Pangeran Diponegoro

Usai sholat, seperti biasanya, Pangeran Diponegoro

mengisi tausiyah[1] subuh yang berisi soal penguatan

akidah dan sebagainya. Dia juga tak segan-segan

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan

warga desa. Pagi ini, Diponegoro memberikan tausiyah

soal “Islam dan Negara”.

 

“…di dalam sirohnya[2], Rasulullah shallallahu wa allaihi

wa salam memang tidak secara eksplisit menyebut

istilah Negara Islam. Inilah yang dijadikan senjata oleh

orang-orang kafir dan para pengikutnya yang

menyatakan jika tidak pernah ada Negara Islam di dunia

ini, hatta di zaman Rasulullah hidup atau di masa

kekuasaan para sahabiyah pun tidak. Semua ini salah

kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah,

lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia

dalam semua sisi kehidupan, pribadi maupun sosial.

Nah, sekarang apakah yang disebut suatu negara itu?

Ada yang tahu?”

 

Page 94: Novel Pangeran Diponegoro

Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk

bersila menghadap dirinya. Seorang anak muda jebolan

sekolah madrasah di Surakarta mengangkat tangannya.

 

“Ya, silakan jawab anak muda…”

 

“Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang

dimaksudkan dengan istilah negara adalah kumpulan

manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki aturan

atau hukum yang disepakati semuanya. Maafkan saya

kalau salah…”

 

Diponegoro tersenyum bangga, “Kisanak tidak salah.

Jawaban Kisanak betul. Nah, jika kita semua, umat

Islam, berkumpul di suatu tempat, di suatu wilayah yang

kita miliki, dan di wilayah itu kita dengan kesadaran

sendiri menerapkan hukum-hukum Islam, hukum-hukum

tauhid, maka itu sudah bisa disebut sebagai Negara

Islam. Walau wilayah yang kita diami atau miliki itu tidak

luas. Inilah Daulah Islamiyah.”

 

Page 95: Novel Pangeran Diponegoro

Semua yang hadir di masjid itu mengangguk-anggukan

kepalanya.

 

“Ada lagi yang ingin bertanya?”

 

Seorang lelaki tua mengangkat tangan.

 

“Ya, silakan Pak,” ujar Diponegoro.

 

“Dalem, Kanjeng Pangeran. Saya mau tanya bagaimana

jika… apa itu… Daulah Islamiyah itu… belum ada… Apa

yang harus kita lakukan?”

 

“Matur nuwun bapak… Iya, Daulah Islamiyah namanya.

Atau Negara Islam. Jika Daulah Islamiyah belum tercipta

seperti yang kita inginkan bersama, maka mulailah

dengan menegakkan Daulah Islamiyah itu di dalam dada

kita. Setelah itu tegakkanlah Daulah Islamiyah itu di

dalam keluarga kita, rumah tangga kita. Lalu setelah itu

Page 96: Novel Pangeran Diponegoro

sebarkanlah dengan damai, menyebar ke tetangga kita,

dusun kita, kampung, desa, dan terus menyebar dan

meluas. Dengan sendirinya akan tercipta suatu Daulah

Islamiyah itu, walau mungkin tidak menamakan diri

sebagai Negara Islam.”

 

“Maaf, Kanjeng Pangeran, bagaimana jika kita hidup

seperti sekarang, dimana kaum kafir yang berkuasa dan

dengan kekuatan senjata pula. Dan bagaimana dengan

orang-orang Islam sendiri yang malah bersekutu dengan

kafir Belanda itu?”

 

“Sekarang ini kita hidup di bawah paksaan

hukum thagut. Thagut adalah hukum, sistem kekuasaan,

atau penguasa, yang aturan atau tindak-tanduknya

bertentangan dengan kalimat tauhid, bertentangan

dengan perintah dan larangan Allah subhana wa

ta’ala. Thagut adalah musuh Allah. Thagut adalah

sekutu iblis. Sebab itu, orang yang Islamnya benar,

maka dia wajib memusuhi dan memerangi thagut

sebagaimana dia juga wajib memerangi iblis, dan bukan

malah bersekutu dengannya dengan alasan atau dalih

Page 97: Novel Pangeran Diponegoro

apa pun. Orang Islam yang bersekutu

dengan thagut adalah orang yang mengkhianati

perjanjiannya dengan Allah subhana wa ta’ala. Pasti ada

balasan dari Allah terhadap orang-orang seperti itu.

Apakah sudah jelas sampai bagian ini..?” (Bersambung)

 

[1] (Bahasa Arab): Nasehat.

[2] (Bahasa Arab): Sejarah.

Para jamaah menganggukkan kepalanya.

“Nah…,” lanjut Diponegoro, “…bagaimana dengan kita

sekarang? Apa yang harus kita lakukan sekarang ini?

Jawabannya adalah: Pertama, kita harus paham

terhadap Islam yang benar, yang haq, yang sesuai

dengan al-Qur’an dan hadits yang shahih, bukan hadits

palsu. Kita tegakkan Islam itu di dalam dada kita. Biarlah

Islam menjadi satu-satunya hukum yang mengatur

kehidupan kita dan keluarga kita. Kedua, tancapkan

kuat-kuat cita-cita untuk bisa hidup di dalam

kedamaian Daulah Islamiyah. Ketiga, untuk menggapai

cita-cita itu, maka thagut dan seluruh pengikutnya harus

kita perangi, kita lawan, dan kita hancurkan. Bukan

Page 98: Novel Pangeran Diponegoro

malah bersekutu atau menjadi perpanjangan tangan

dari thagut itu.

Seperti halnya perang yang akan kita lakukan di hari-hari

ke depannya melawan kafir Belanda, maka bukan orang

Belanda-nya yang kita musuhi, namun sistem thagut-nya

yang kita perangi. Yang akan kita lakukan adalah perang

sabil, perang di jalan Allah atau jihad fi sabilillah. Semua

yang berjihad di jalan Allah tidak akan rugi. Jika kita mati

maka pintu surga telah menanti, dan jika kita menang,

maka kita akan hidup bahagia di dalam suatu negara

yang penuh dengan kedamaian dan kemakmuran…”

“Tapi kafir Belanda pasti tidak akan menyerah…”

“Benar itu. Allah subhana wa ta’ala sendiri di dalam surat

al-Baqarah ayat 120 berfirman, “Wa lan tardho ankal

Yahudu wa Nasharo, hatta tata bi’an milatahum…” yang

artinya, “Tidak akan pernah rela, tidak akan pernah sudi,

tidak akan pernah mau, orang-orang Yahudi dan Nasrani

kepada kalian wahai umat Islam, hingga kalian semua

akan tunduk mengikuti, mematuhi, dan melaksanakan

keyakinan mereka.

Kaum penjajah kafir tidak akan pernah mau pergi

dengan sukarela dari tanah Islam ini. Sebab itu kita

Page 99: Novel Pangeran Diponegoro

harus menghimpun segenap kekuatan untuk memerangi

dan mengusir mereka dari tanah kita sendiri.

Tanah Yogyakarta, Tanah Jawa, adalah tanah milik kita

yang diwariskan nenek moyang kita. Bukan tanah

mereka. Tanah mereka ada di seberang samudera, nun

jauh di Eropa sana. Sebab itu kita wajib mengembalikan

mereka ke tanah mereka, ke kampung halaman mereka.

Ini perang untuk menegakkan keadilan. Nanti setelah

mereka kembali ke negerinya, maka kita akan bisa

menciptakan satu negeri yang berkeadilan bagi semua

rakyatnya berdasarkan tauhid. Inilah hakikat dari Daulah

Islamiyah…”

Tiba-tiba dari arah alun-alun depan terlihat seorang

pemuda berlari mendekati masjid sambil berteriak-teriak,

“Kanjeng Gusti Pangeran! Kanjeng Gusti Pangeran..!”

Pangeran Diponegoro dan seluruh jamaah masjid

langsung melihat pemuda itu. Diponegoro mengenalinya

sebagai salah seorang anggota pasukan Laskar Ki

Joyosuto yang berasal dari Winongo.

Diponegoro bertanya, “Ada apa Kisanak berlari-lari

seperti itu?”

“Kanjeng Pangeran! Mereka mematoki tanah makam!”

Page 100: Novel Pangeran Diponegoro

“Ambil nafas dan hembuskan pelan-pelan. Tenangkan

dirimu dulu. Jika sudah tenang, ceritakan dengan

jelas…”

Pemuda itu menuruti apa yang dikatakan Pangeran

Diponegoro. Setelah menenangkan diri, walau nafasnya

masih tersengal-sengal, dia mulai bercerita, “Tanah

makam leluhur dan kebun Kanjeng Pangeran dipatoki

Belanda. Mereka ingin membuat jalan dengan

menerabas tanah itu Kanjeng Pangeran…”

Wajah Diponegoro seketika berubah menjadi kencang.

Lelaki yang biasanya lemah lembut itu tidak bisa

menyembunyikan kemarahannya.

“Pasti ini kerjaan Danuredjo!” desisnya.

“Apa yang harus kami lakukan Kanjeng Pangeran?” ujar

salah seorang pemuda yang lain.

“Berikan perintah kepada kami Kanjeng Pangeran, kami

sudah siap bergerak!” pekik yang lain.

Suasana mendadak gaduh. Bahkan ada yang bertakbir.

Pangeran Diponegoro segera mengangkat kedua

tangannya ke atas, berusaha untuk menenangkan

semua pengikutnya.

Page 101: Novel Pangeran Diponegoro

“Saudara-saudara, tenang! Harap tenang! Pengajian

pagi ini kita sudahi dulu. Sekarang, dengan barisan

teratur dan tetap tenang, kita akan bersama-sama

menuju ke tanah makam. Kita akan lihat langsung apa

yang diperbuat kafir Belanda itu kepada leluhur kita,

orangtua-orangtua kita. Saya sendiri akan berangkat

memimpin barisan ini!”

Seorang pemuda segera keluar dari masjid dan berlari

mengambil Kiai Gentayu-nama dari kuda hitam dengan

warna putih di ujung keempat kakinya-beserta Kiai

Ompyang, sebuah nama keris dengan 21 lekukan yang

berasal dari Demak, dan menyerahkannya kepada

Pangeran Diponegoro. Setelah mengambil keris dan

menyelipkan di pinggang, dengan tangkas Sang

Pangeran melompat naik ke atas Kiai Gentayu.

Sejumlah pengikutnya juga mengambil kudanya masing-

masing dan mengikuti Sang Pangeran.

Dari Puri Tegalredjo, letak tanah makam leluhur tidak

terlalu jauh. Tidak sampai sepuluh menit tibalah mereka

di areal pemakaman yang dipenuhi batu-batu nisan.

Betapa geram hati Diponegoro melihat patok-patok kayu

yang biasa dipergunakan sebagai penanda batas proyek

Page 102: Novel Pangeran Diponegoro

jalan raya, tertancap begitu saja di antara nisan-nisan

makam leluhurnya. Bahkan ada sejumlah patok yang

ditancapkan pas di bagian tengah makam, seakan

sengaja dibenamkan ke perut leluhur yang ada di dalam

tanahnya.

Pangeran Diponegoro melompat turun dari kuda, diikuti

seluruh pengikutnya yang menyandang berbagai jenis

senjata seperti keris, pedang, dan trisula. Sang

Pangeran itu kemudian berlutut di depan kompleks

malam. Tubuhnya bergetar menahan kemarahan yang

teramat sangat. Walau demikian dia mencoba untuk

tetap tenang. Bibirnya komat-kamit berzikir. Diponegoro

tampak berusaha keras menguasai dirinya dari

kemarahan yang tiba-tiba menyengat hatinya. Harga

dirinya serasa diinjak-injak.

Ki Guntur Wisesa mendampingi Sang Pangeran. Dia ikut

berlutut di sampingnya. Walau demikian, kedua matanya

mengawasi keadaan sekitar dengan sikap sangat

waspada. Sedangkan Pangeran Ngabehi tetap berdiri di

dekat mereka berdua.

“Ki Guntur…,” bisik Diponegoro pelan.

Page 103: Novel Pangeran Diponegoro

“Dalem, Kanjeng Pangeran…”

“Ini sudah keterlaluan! Apa yang harus kita lakukan?”

“Istighfar, Kanjeng Pangeran. Walau marah tapi kita

harus tetap berkepala dingin. Sebaiknya sekarang kita

kembali saja ke Puri…”

Pangeran Diponegoro tidak segera menjawab. Dia

memanjatkan doa barang sebentar. Kepalanya tertunduk

ke tanah. Kemudian Diponegoro mengangguk pelan,

“Baiklah Ki Guntur. Kita kembali saja ke Puri. Tolong

kumpulkan para sesepuh dan senopati di masjid

sekarang juga.”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan!”

Pangeran Diponegoro bangkit dan berdiri dengan tegar.

Di hadapan para pengikutnya yang kian bertambah

banyak sehingga membentuk satu pasukan berkuda

yang cukup besar, bagaikan satu kompi kavaleri, dia

berteriak lantang,

“Saudara-saudaraku semua, astaghfirullah al-adzim!

Tanah makam leluhur kita telah dinodai. Harga diri kita

telah dicederai. Mereka tidak saja menindas dan

menyiksa saudara-saudara kita yang masih hidup. Para

leluhur kita yang sudah mati pun mereka cemari.

Page 104: Novel Pangeran Diponegoro

Sekarang juga, kita akan cabut semua patok-patok ini!

Kita bakar! Kita ganti patok-patok itu dengan tombak di

sekeliling tanah makam ini. Kita akan menyampaikan

protes keras kepada kafir Belanda itu! Kita tunjukkan jika

kita tidak pernah takut kepada orang-orang kafir

itu. Allahu Akbar!”

Pekik takbir Diponegoro disambut para pengikutnya

dengan gegap gempita. Langit Tegalredjo pagi itu

membahana dengan teriakan takbir. Cahaya matahari

yang baru saja menyorot ujung-ujung dedaunan kalah

panas dengan dendam amarah yang memenuhi seluruh

rongga dada.

“Sekarang kita semua bersiap! Bersiagalah! Siapa pun

yang mencintai Islam sebagai agamanya, yang

mencintai saya sebagai hamba dari Sang Khaliq,

Allah subhana wa ta’ala, bergabunglah dalam barisan

jihad ini. Mereka telah menantang kita, dan haram bagi

kita untuk takut terhadap tantangan kafir Belanda itu!

Bersiagalah. Tunggu perintah dariku. Siapkan

perbekalan, urus isteri dan anak-anak. Ungsikan mereka

ke tempat yang aman. Semuanya bisa saja terjadi kapan

pun. Allah bersama kita!”

“Allahu akbar!” Pekik takbir membahana sekali lagi.

Page 105: Novel Pangeran Diponegoro

“Aku akan kembali ke Puri Tegalredjo. Siapkanlah diri

kalian semuanya. Bismillah! Assalamu’alaikum

warahmatullahi wabarakatuh!“

Setelah mengucapkan salam, Pangeran Diponegoro

memacu Kiai Gentayu kembali ke dalam puri diikuti Ki

Guntur Wisesa dan ratusan pengikutnya. Debu

membumbung tinggi dari kaki ratusan kuda yang

meninggalkan tanah makam. Suaranya benar-benar

menakutkan.

Ratusan pengikut Diponegoro yang lain tetap tinggal di

tanah makam. Mereka bekerja cepat mencabuti patok-

patok kayu tersebut dan menggantinya dengan tombak

yang mengelilingi tanah makam. Patok-patok kayu

Belanda yang jumlahnya ratusan itu kemudian dibakar

hingga habis menjadi abu. [] (Bersambung)

Bab 6

TIDAK SAMPAI SATU JAM KEMUDIAN masjid dan

Paseban[1] Puri Tegalredjo telah dipenuhi para sesepuh

dan senopati pasukan pengikut Diponegoro. Sejumlah

laskar juga sudah berdatangan. Semuanya kebanyakan

berjubah putih. Mereka menutupi kepalanya dengan

sorban yang juga berwarna putih, juga warna lainnya. Di

Page 106: Novel Pangeran Diponegoro

dalam masjid, Pangeran Diponegoro sedang menggelar

pertemuan terbatas dengan sejumlah sesepuh dan

pimpinan pasukan.

“Bagaimana menurutmu, Paman?” tanya Diponegoro

kepada Pangeran Mangkubumi yang baru saja datang

dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Ya, firasatku juga mengatakan demikian. Mereka telah

terang-terangan menantang kita dengan menodai tanah

makam leluhur. Kita harus mempercepat persiapan

pasukan dan segala sesuatunya.”

“Apakah basis sudah dipersiapkan juga?” selidik

Diponegoro. Basis adalah nama sandi bagi Gua

Selarong, wilayah yang akan dijadikan markas komando

utama jika Puri Tegalredjo tidak bisa dipertahankan.

Mangkubumi dan Susuhunan Paku Buwono VI-lah yang

mengusulkan lokasi perbukitan yang sangat strategis

tersebut. Dan Diponegoro mengakui jika Gua Selarong

memang pilihan yang tepat.

Pangeran Bei yang diberi amanah sebagai

Generalismus[2] Laskar Diponegoro menjawab, “Insya

Page 107: Novel Pangeran Diponegoro

Allah Selarong sudah siap. Bukankah begitu Ki Guntur

Wisesa?”

Ki Guntur Wisesa yang bertanggungjawab penuh

terhadap Gua Selarong tersenyum dan menganggukkan

kepalanya, “Insya Allah siap. Demikian pula dengan

jalur, sudah kita amankan…”

“Paman dan semuanya, mulai sekarang kita aktifkan

penjagaan duapuluh empat jam, tidak saja di lingkar tiga,

namun juga lingkar dua, dan satu.”

Pangeran Bei dan Mangkubumi mengangguk, juga yang

lainnya. Sebagai pemuda yang sejak kecil digembleng

banyak hal oleh Ratu Ageng, termasuk dasar-dasar

kemiliteran, Pangeran Diponegoro sejak jauh hari sudah

mempersiapkan sistem pertahanan menghadapi

pasukan Belanda jika sewaktu-waktu perang meletus

dengan Puri Tegalredjo sebagai poros utamanya. Hal itu

telah ditetapkan Diponegoro tiga tahun lalu ketika dia

masih bergabung di dalam Dewan Perwalian Kraton

bersama Pangeran Mangkubumi.

Sistem pengaman dibuat seperti gelang-gelang dengan

radius yang berbeda. Gelang terluar berjarak empat

Page 108: Novel Pangeran Diponegoro

kilometer dari Puri Tegalredjo yang disebut sebagai

lingkar tiga, gelang kedua berjarak dua sampai dua

setengah kilometer dari Puri dengan sandi lingkar dua.

Dan lingkar satu sejauh satu setengah kilometer dari

poros utama. Masing-masing lingkar dijaga oleh

pasukan-pasukan terlatih yang saling berkoordinasi satu

dengan yang lainnya. Dari satu lingkar ke lingkar lainnya

dihubungkan dengan jalur komunikasi dan juga logistik,

sehingga memudahkan jika terjadi sesuatu.

Di luar pasukan reguler, Diponegoro juga memiliki

pasukan telik sandi atau mata-mata yang terdiri dari laki-

laki dan juga perempuan dari berbagai macam usia.

Pasukan telik sandi ini dikirim berpencar ke seluruh

penjuru mata angin mengepung Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat. Beberapa dari pasukan ini sengaja ditanam

di pihak musuh.

“Firasatku mengatakan perang besar melawan kafir

Belanda tidak akan lama lagi meletus. Tolong

perempuan dan anak-anak diamankan dahulu,

keluarkan mereka dari Tegalredjo. Namun itu harus

dilakukan dengan diam-diam. Saya tidak ingin mereka

menjadi korban kebuasan pasukan kafir Belanda dan

Page 109: Novel Pangeran Diponegoro

juga pasukannya Danuredjo. Sedikit demi sedikit para

perempuan dan anak-anak harus dikeluarkan dari desa

ini,” ujar Diponegoro kepada Joyokirno, seorang

senopati yang bertanggungjawab terhadap keamanan

sebelah Lor[3] Desa Tegalredjo.

Joyokirno mengangguk pelan, “Inggih, Kanjeng

Pangeran. Segera saya laksanakan.”

“Lakukan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit

supaya pergerakan ini tidak menimbulkan kecurigaan di

pihak musuh. Tolong sampaikan pada para senopati

yang lain,” ujar Diponegoro lagi sambil menepuk-nepuk

bahu Joyokirno.

“Inggih, Kanjeng Pangeran…”

“Baiklah. Sekarang pergilah kembali ke pasukanmu…”

Joyokirno segera memeluk Diponegoro. Setelah pamit,

dia segera melompat ke atas kudanya dan melesat

meninggalkan Puri Tegalredjo untuk kembali ke

pasukannya yang berjaga tigaratusan meter setelah

pintu desa di sebelah utara.

“Ustadz…,” panggil Diponegoro kepada Ustadz

Taftayani yang sedang meneliti peta sederhana kota

Page 110: Novel Pangeran Diponegoro

Yogyakarta yang dihamparkan di atas lantai masjid.

Ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di dekat

Tegalredjo itu mendekat.

“Ustadz, bagaimana dengan Kiai Modjo dan yang

lainnya?”

Taftayani mengangguk dan balas berbisik, “Insya Allah

mereka juga sudah siap. Bahkan saya dengar jika Kiai

Modjo juga tengah mengadakan konsolidasi dengan

pasukan-pasukannya. Dan beliau juga telah mengontak

para alim-ulama dan sesepuh desa ke berbagai daerah

di sekitar Surakarta dan Yogya hingga Magelang untuk

bergabung dengan kita.”

Pangeran Diponegoro mengangguk-anggukkan

kepalanya, “Apakah kita akan tetap dengan formasi

sepuluh komandemen untuk Yogyakarta, Ustadz?”

Mendengar pertanyaan itu, Ustadz Taftayani tidak

segera menjawab. Diponegoro memang telah membagi

wilayah Yogyakarta ke dalam sepuluh daerah

komandemen, yang masing-masing daerah dipimpin

oleh seorang komandan. Khusus Madiun, wilayah ini

dibagi menjadi tiga komandemen. Diponegoro telah

Page 111: Novel Pangeran Diponegoro

berhitung, satu daerah komandemen memiliki lebih

kurang 10.000 keluarga. Dari jumlah ini, diharapkan bisa

disiapkan sekira seribuan orang prajurit, lengkap dengan

senjata. Mereka harus menjadi pasukan yang mandiri

dan terlatih dengan baik, walau tongkat komando tetap

berada di tangan Pangeran Diponegoro. “Bagaimana,

Ustadz?” tanya Diponegoro lagi.

“Menurut hemat saya, Pangeran, pembagian itu sudah

cukup. Nanti kita lihat perkembangannya kemudian.

Bukankah dalam peperangan organisasi hanyalah suatu

ikatan yang teramat lentur? Semuanya tergantung pada

improvisasi para pemimpin di lapangan dan kecepatan

dalam bertindak tepat. Itu yang penting.”

“Ya, itu benar. Dan bagaimana pandangan Ustadz soal

perang yang sebentar lagi akan meletus?”

“Kanjeng Pangeran, sebaiknya kita menahan diri.

Jangan sampai kita dituding sebagai pihak yang

memulai perang. Kita bertahan saja dahulu. Tentang

pancingan atau mungkin jebakan yang dilakukan

Belanda dan Patih Danuredjo, yang menancapkan

patok-patok di tanah makam, sebaiknya Pangeran

mengirim nota protes kepada Residen Smissaert…”

Page 112: Novel Pangeran Diponegoro

“Ya, itu saya setuju, Ustadz. Saya akan mengirim nota

protes dan minta agar kafir Belanda menghentikan

proyek itu atau mengubah arah jalan yang akan dibuat

sehingga tanah leluhur aman. Dan yang kedua, saya

minta agar residen kafir itu segera memecat Danuredjo.”

“Ya, itu bagus. Saya setuju…”

“Tolong panggilkan Ahmad Prawiro, Ustadz. Saya akan

siapkan surat sekarang juga untuk diantar ke residen

kafir itu.”

Ahmad Prawiro merupakan salah satu kurir andalan

Diponegoro. Pemuda keturunan Cina ini asli Pekalongan

yang telah bergabung dengan Diponegoro sejak awal

perekrutan pasukan pertama di sekitar tahun 1820-an.

Ustadz Taftayani mengangguk. Dia bergegas keluar

masjid untuk memanggil pemuda yang dimaksud. Tak

lama kemudian guru ngaji itu datang bersama seorang

pemuda berkacamata bulat yang mengenakan baju koko

dan songkok putih.

“Ahmad…,” ujar Diponegoro setelah menjawab salam

pemuda itu, “…Saya akan tulis surat. Nanti tolong

Page 113: Novel Pangeran Diponegoro

antarkan langsung ke Residen Smissaert. Pastikan dia

yang menerimanya…”

“Inggih, Kanjeng Gusti Pangeran.”

“Tunggu sebentar disini.” (Bersambung)

[1] Bahasa Jawa: Tanah atau Lapangan yang cukup

luas.

[2] Panglima Besar.

[3] Bahasa Jawa: Utara.