33
A. Tinjauan Pustaka 1. Kompleks Kobalt(II) Suatu senyawa kompleks akan terbentuk apabila terjadi ikatan kovalen koordinasi antara suatu atom atau ion logam dengan beberapa molekul netral atau ion donor elektron. Ikatan yang terjadi pada senyawa kompleks adalah ikatan kovalen koordinasi. Senyawa koordinasi merupakan interaksi asam basa (Miessler and Tarr : 1991). Atom pusat berperan sebagai asam Lewis, sedangkan ligan berperan sebagai basa Lewis (Day and Selbin : 1985). Atom pusat biasanya ion – ion logam transisi yang berfungsi sebagai penerima pasangan elektron bebas dari ligan (Cotton, Wilkinson, and Gauss : 1995). Kemampuan suatu ion logam untuk berikatan dengan sejumlah ligan dinyatakan oleh bilangan koordinasinya (Sielberg : 2000). Esther R., Faure, Illan-Cabeza, Jimenez-Pulido, Moreno-Carretero and Quiroz-Olozabal (2003) telah mensintesis kompleks kobalt(II) dengan 1,6,7-trimethyllumazine(MLMD) dengan perbandingan mol logam : ligan = 1: 1 dalam asetonitril, endapan kompleks terbentuk setelah didiamkan beberapa hari. Mohamadou, Jubert, and Barbier (2006) mensintesis kompleks [Co(pydado)](ClO 4 ) 2 .H 2 O, dengan pydado = N,O [1,12-bis(2-pyridyl)- 5,8-dioxa-2,11-diazadodecane dengan perbandingan mol logam : ligan 1:1 dalam etanol, endapan kompleks berwarna kecoklatan terbentuk setelah didiamkan beberapa hari.

Orbital Molekul.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Orbital Molekul.docx

A. Tinjauan Pustaka

1. Kompleks Kobalt(II)

Suatu senyawa kompleks akan terbentuk apabila terjadi ikatan kovalen koordinasi antara suatu

atom atau ion logam dengan beberapa molekul netral atau ion donor elektron. Ikatan yang terjadi

pada senyawa kompleks adalah ikatan kovalen koordinasi. Senyawa koordinasi merupakan

interaksi asam basa (Miessler and Tarr : 1991). Atom pusat berperan sebagai asam Lewis,

sedangkan ligan berperan sebagai basa Lewis (Day and Selbin : 1985). Atom pusat biasanya ion

– ion logam transisi yang berfungsi sebagai penerima pasangan elektron bebas dari ligan (Cotton,

Wilkinson, and Gauss : 1995). Kemampuan suatu ion logam untuk berikatan dengan sejumlah

ligan dinyatakan oleh bilangan koordinasinya (Sielberg : 2000).

Esther R., Faure, Illan-Cabeza, Jimenez-Pulido, Moreno-Carretero and Quiroz-Olozabal (2003)

telah mensintesis kompleks kobalt(II) dengan 1,6,7-trimethyllumazine(MLMD) dengan

perbandingan mol logam : ligan = 1: 1 dalam asetonitril, endapan kompleks terbentuk setelah

didiamkan beberapa hari.

Mohamadou, Jubert, and Barbier (2006) mensintesis kompleks [Co(pydado)](ClO4)2.H2O,

dengan pydado = N,O [1,12-bis(2-pyridyl)-5,8-dioxa-2,11-diazadodecane dengan perbandingan

mol logam : ligan 1:1 dalam etanol, endapan kompleks berwarna kecoklatan terbentuk setelah

didiamkan beberapa hari.

Ion pusat dalam kompleks kobalt(II) adalah Co2+. Kobalt adalah logam transisi golongan VIII B

dan terletak pada periode ke empat dalam sistem periodik unsur. Kobalt memiliki bilangan

oksidasi tertinggi IV, sedangkan kobalt(II) paling stabil di antara bilangan oksidasi lainnya

(Cotton and Wilkinson : 1988).

Kobalt bernomor atom 27 dengan konfigurasi elektron [Ar]d7, kompleks Co(II) kebanyakan

terletak pada spin tinggi. Kompleks Co(II) yang paling umum adalah oktahedral atau tetrahedral,

namun juga dijumpai segi empat datar dan trigonal bipiramid (Cotton, Wilkinson, and Gauss :

1995). Kompleks [Co(pydado)](ClO4)2.H2O, dengan pydado = N,O [1,12-bis(2-pyridyl)-5,8-

Page 2: Orbital Molekul.docx

dioxa-2,11-diazadodecane memiliki struktur oktahedral terdistorsi, seperti ditunjukkan oleh

Gambar 2 (Mohamadou, Jubert, and Barbier : 2006).

Gambar 2. Struktur kompleks [Co(pydado)](ClO4)2.H2O (Mohamadou, Jubert, and

Barbier : 2006)

Ion pusat Co2+ terkoordinasi dengan enam atom ligan, masing – masing dua nitrogen

aromatik (N1 dan N4), dua nitrogen amina sekunder (N2 dan N3), dan dua sulfur (S1 dan S2)

dengan dua gugus pyridil pada posisi trans.

Fryzuk, Leznoff, Thompson, and Rettig (1998) mensintetis kompleks

CoCl[N(SiMe2CH2PPh2 )2] yang bergeometri tetrahedral spin tinggi seperti ditunjukkan oleh

Gambar 3.

Page 3: Orbital Molekul.docx

Gambar 3. Struktur kompleks CoCl[N(SiMe2CH2PPh2 )2] (Fryzuk, Leznoff, Thompson, and Rettig (1998)

2. Teori Pembentukan Kompleks

Ada tiga teori yang menjelaskan mengenai terbentuknya senyawa koordinasi kompleks,

yaitu :

a. Teori Ikatan Valensi

Menurut Pauling, ikatan kovalen terjadi karena adanya tumpang tindih antara orbital

kosong logam dengan orbital ligan yang berupa molekul atau ion yang mempunyai pasangan

elektron bebas. Ikatan yang terjadi disebut ikatan kovalen koordinasi (Day and Selbin : 1985).

Sebagai contoh pembentukan ikatan pada kompleks [Co(NH3)6]3+ yang berbentuk

oktahedral seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4. Bentuk oktahedral kompleks [Co(NH3)6]3+

Bentuk oktahedral terjadi karena adanya pembauran/hibridisasi d2sp3. Pada kompleks

[Co(NH3)6]3+, enam ligan NH3 masing - masing menempati dua orbital d, satu orbital s, dan tiga

Page 4: Orbital Molekul.docx

orbital p pada ion kobalt(III) menghasilkan hibrida d2sp3. Dalam kompleks tersebut bilangan

koordinasi Co(III) enam, bersifat diamagnetik/spin rendah, yang berarti semua elektronnya

berpasangan (Huheey and Keither : 1993). Ilustrasi pembentukan ikatan pada kompleks

[Co(NH3)6]3+ ditunjukkan oleh Gambar 5.

Gambar 5 . Ikatan pada kompleks [Co(NH3)6]3+ (Huheey and Keither : 1993)

Menurut teori ikatan valensi, hibridisasi akan terbentuk jika orbital - orbital atom dari

atom yang sama saling bergabung membentuk orbital hibrida yang dapat bertumpang tindih

dengan orbital atom dari atom yang lain untuk membentuk ikatan hibrida yang lebih kuat (Lee :

1994). Hibridisasi dapat diperkirakan dari bentuk geometri molekul atau senyawa hasil

eksperimen. Geometri hasil hibridisasi beberapa orbital lain ditunjukkan oleh Tabel 1 (Sharpe :

1992).

Page 5: Orbital Molekul.docx

Tabel 1 . Orbital Hibrida Beberapa Konfigurasi Geometri

Bilangan koordinasi

Bentuk geometri Konfigurasi orbital Contoh Ion kompleks

2

3

4

4

5

5

6

6

linier

trigonal planar

tetrahedral

square planar

trigonalbipyramida

square pyramid

trigonal prismatic

Octahedral

sp

sp2

sp3

dsp2

dsp3

dsp3

d2sp3

d2sp3

Ag[(NH3)4] 2+

[HgI3]-

Ni(CO)4

Ni(CN)4 2-

[CuCl5] 3-

Ni(CN)5 3-

Mo(S2C2Ph2)3

[Co(NH3)6] 3+

b. Teori Medan Kristal

Teori medan kristal menyatakan bahwa ikatan dalam senyawa kompleks terjadi karena

adanya interaksi elektrostatik antara ligan dan ion logam, dimana ligan diasumsikan bermuatan

negatif dan ion logam bermuatan positif (Huheey and Keither : 1993). Teori ini digunakan untuk

menggambarkan adanya split atau pemecahan pada energi orbital d atom logam. Selain itu teori

ini juga menggambarkan tingkat energi elektronik yang menentukan spektra ultraviolet dan

visible (Miessler and Tarr : 1991).

Menurut teori medan kristal, tidak ada interaksi antara orbital logam dan orbital ligan.

Dalam keadaan ion logam bebas, kelima orbital d (dxy, dxz, dyz, dx2-dy

2, dan dz2 ) seperti

ditunjukkan oleh Gambar 6 memiliki energi yang sama (terdegenerasi). Jika terdapat ligan di

sekitar ion logam, muatan negatif ligan menyebabkan energi orbital meningkat namun tetap

terdegenerasi, saat kompleks terbentuk maka orbital terpecah menjadi dua bagian. Hal ini karena

Page 6: Orbital Molekul.docx

adanya tolak menolak antara medan negatif dari ligan dengan elektron pada ion logam (Lee :

1994).

Gambar 6. Kontur orbital d (Huheey and Keither : 1993)

Pada kebanyakan kompleks logam transisi, enam atau empat ligan mengelilingi logam

membentuk struktur oktahedral dan tetrahedral.

1. Kompleks Oktahedral

Pada kompleks oktahedral logam berada pada pusat oktahedron dan ligan - ligan berada

di enam sudut oktahedron. Arah sumbu x, y, dan z terhadap tiga titik yang berdekatan pada

oktahedron ditunjukkan oleh Gambar 7.

Page 7: Orbital Molekul.docx

Gambar 7. Arah sumbu x, y, dan z pada kompleks oktahedral (Lee : 1994)

Seluruh orbital d akan mengalami kenaikan energi akibat adanya tolakan dengan muatan

negatif dari ligan. Orbital dz2 dan dx

2-dy2 akan menolak lebih kuat daripada orbital dxy, dxz, dan dyz.

Akibatnya orbital d akan terpecah menjadi dua bagian, yaitu orbital dz2 dan dx

2-dy2 (orbital eg)

pada tingkat energi yang lebih tinggi dan orbital dxy, dxz, dan dyz (orbital t2g) pada tingkat energi

lebih rendah (Huheey and Keither : 1993).

Pada kompleks oktahedral, pengisian orbital t2g menurunkan energi kompleks, yang akan

membuatnya lebih stabil, sebesar -0,4∆0 per elektron. Sementara pengisian orbital eg menaikkan

energi sebesar 0,6∆0 per elektron. Total Crystal Field Stabilization Energi (CFSE) atau energi

yang terstabilkan oleh medan kristal adalah

CFSEoctahedral = -0,4n(t2g) + 0,6n(eg)

dimana n(t2g) dan n(eg) berturut – turut adalah jumlah elektron yang mengisi orbital t2g dan eg. Nilai

CFSE konfigurasi d0 dan d10 adalah nol baik di medan ligan kuat maupun lemah. Nilai

konfigurasi d5 juga nol pada medan ligan lemah (Lee : 1994). Diagram pemisahan orbital d pada

medan oktahedral ditunjukkan oleh Gambar 8.

Page 8: Orbital Molekul.docx

Gambar 8. Diagram pemisahan orbital d medan oktahedral (Huheey and Keither : 1993)

2. Kompleks Tetrahedral

Koordinasi tetrahedral memiliki kesamaan dengan koordinasi kubus. Pada sistem kubus

empat ligan tidak secara langsung mendekati orbital – orbital d dari logam, akan tetapi ligan –

ligan ini lebih mendekat pada orbital – orbital yang berada searah dengan sisi kubus (dxy, dxz, dan

dyz (orbital t2g)) daripada orbital yang searah dengan pusat kubus (dz2 dan dx

2-dy2 (orbital eg)).

Orbital t2g akan berada pada tingkat energi yang lebih tinggi sementara orbital eg akan stabil pada

tingkat energi di bawahnya, sehingga akan membentuk diagram energi yang berkebalikan

dengan medan oktahedral (Huheey and Keither : 1993). Diagram pemisahan orbital d dan bidang

kubik orbital d medan tetrahedral ditunjukkan oleh Gambar 9.

Gambar 9. Diagram pemisahan orbital d dan bidang kubik medan tetrahedral

Page 9: Orbital Molekul.docx

(Huheey and Keither : 1993)

Pemisahan (spliting) orbital d7 pada ion kobalt(II) menghasilkan tingkat energi 4P dan 4F.

Elektron yang terdapat pada satu tingkat energi membutuhkan sejumlah energi untuk mencapai

tingkat energi yang lebih tinggi. Besarnya energi yang dibutuhkan ditunjukkan oleh spektra

absorpsi. Elektron yang terdapat pada satu tingkat energi juga dapat melepaskan sejumlah energi

untuk kembali ke tingkat dasar. Perkiraan jumlah pita absorpsi yang terjadi ditunjukkan oleh

diagram Orgel pada Gambar 10.

Gambar 10. Diagram orgel kobalt(II) dalam medan tetrahedral (kiri) dan medan oktahedral (kanan) (Huheey and Keither : 1993)

c. Teori Orbital Molekul

Dalam teori orbital molekul elektron valensi dianggap bergabung dengan seluruh inti dari

molekul. Sehingga orbital - orbital atom dari atom yang berbeda bergabung membentuk orbital

molekul (Lee : 1994).

Adanya senyawa kompleks stabil dimana atom logam dan ligannya tidak bermuatan

memberikan bukti adanya sifat kovalen pada pembentukan kompleks. Sifat ikatan kovalen pada

Page 10: Orbital Molekul.docx

kompleks dapat dijelaskan dengan teori orbital molekul. Seperti halnya pembentukan orbital

molekul pada molekul - molekul sederhana, pada kompleks juga terbentuk orbital molekul

bonding dan orbital molekul anti bonding (Sharpe : 1991).

Pada kompleks kobalt oktahedral, orbital ligan yang bersesuaian simetrinya akan

mengalami tumpang tindih (overlapping) dengan orbital logam dan membentuk orbital molekul

bonding dan orbital molekul antibonding. Orbital nonbonding yang tidak terlibat pembentukan

ikatan adalah tiga orbital d logam t2g ( dxy, dxz, dyz ). Sedangkan tiga orbital p membentuk orbital

molekul bonding t1u dan orbital molekul antibonding t1u* . Orbital molekul bonding e1g dan orbital

molekul antibonding e1g* dibentuk oleh orbital dx

2-y2 dan dz

2. Orbital s membentuk orbital

molekul bonding a1g dan orbital molekul antibonding a1g* (Cotton and Wilkinson : 1995).

Diagram tingkat energi orbital molekul kompleks oktahedral ditunjukkan oleh Gambar 11.

Page 11: Orbital Molekul.docx

Gambar 11. Diagram tingkat energi orbital molekul kompleks kobalt oktahedral (Sharpe : 1992)

Sedangkan pada kompleks tetrahedral, orbital dx2-y

2 dan dz2 merupakan orbital

nonbonding. Empat orbital ligan yang bersesuaian simetrinya akan mengalami tumpang tindih

dengan orbital logam membentuk orbital molekul bonding dan orbital molekul antibonding.

Diagram tingkat energi orbital molekul kompleks tetrahedral ditunjukkan oleh Gambar 12.

Gambar 12. Diagram tingkat energi orbital molekul kompleks tetrahedral (Huheey and Keither : 1993)

Page 12: Orbital Molekul.docx

Kelebihan dari teori ini dibandingkan teori medan kristal adalah bahwa teori ini menjelaskan

adanya ikatan π yang terjadi antara ligan dan atom pusat. Ikatan π dapat menjelaskan posisi ligan

dalam deret spektrokimia.

Kelemahan dari teori orbital molekul adalah teori ini tidak dapat digunakan untuk

menghitung entalpi pembentukan kompleks dan energi ikatan (Lee : 1994).

3. Spektra Elektronik Kompleks Kobalt (II)

Spektra elektronik ion logam transisi dan kompleks diamati pada daerah sinar tampak dan

ultra violet (UV-VIS). Spektra akan timbul saat elektron berpromosi dari tingkat energi yang

lebih rendah menuju tingkat energi di atasnya (Lee : 1994). Transisi elektronik yang terjadi pada

senyawa kompleks adalah akibat dari pembelahan tingkat energi pada orbital – orbital d oleh

suatu medan ligan.

Kompleks Co (II) dengan konfigurasi d7 menghasilkan spektra tiga puncak absorpsi yang

menandakan terjadinya tiga transisi, yaitu 4T1g → 4T2g, 4T1g → 4A2g, dan 4T1g → 4T1g(P). Sebagai

contoh spektra d7 adalah spektra elektronik [Co(Cl)4]2- pada Gambar 13.

Pada kompleks [Co(Cl)4]2-] terdapat 3 transisi yang mungkin terjadi. Energi transisi dan

panjang gelombang maksimum (λmaks) serapan yang terjadi pada [Co(Cl)4]2-] ditunjukkan oleh

Tabel 2 (Lee : 1994) :

Tabel 2. Energi Transisi dan Panjang Gelombang Maksimum [Co(Cl)4]2-] (Lee : 1994)

Page 13: Orbital Molekul.docx

Transisi Energi Frekuensi (cm-1) λmaks(nm)

4A2 → 4T2 υ1 3.300 3030,30

4A2 → 4T1(F) υ2 5.800 1724,14

4A2 → 4T1(P) υ3 15.000 666,67

4. Sifat Magnetik

Sifat magnetik kompleks dibedakan menjadi dua yaitu sifat paramagnetik dan

diamagnetik. Kompleks dengan medan ligan lemah menghasilkan pemisahan orbital d yang tidak

terlalu besar, sehingga setelah elektron memenuhi orbital d energi rendah elektron berikutnya

akan mengisi orbital d energi tinggi, sehingga elektron cenderung tidak berpasangan. Keadaan

ini dinamakan spin tinggi. Kompleks dengan medan ligan kuat menghasilkan pemisahan orbital

d yang cukup besar, sehingga elektron cenderung berpasangan. Keadaan ini dinamakan spin

rendah yang menimbulkan sifat diamagnetik (Lee : 1994).

Adanya elektron yang tidak berpasangan akan menyebabkan sifat paramagnetik pada

senyawa kompleks. Gerakan spin elektron dari orbital d tersebut menimbulkan momen magnet

permanen yang bergerak searah dengan medan magnet luar dan menghasilkan nilai kerentanan

magnet (Jolly : 1991).

Pada pengukuran dengan neraca kerentanan magnetik, diperoleh harga kerentanan

magnetik per gram (Xg), hubungannya dengan kerentanan magnetik molar (XM) ditunjukkan oleh

persamaan ...(1) (Szafran, Pie, and Singh : 1991). Harga XM dikoreksi terhadap faktor

diamagnetik (XL) ion logam dan ligan, sehingga diperoleh harga kerentanan magnetik terkoreksi

(XA), yang ditunjukkan oleh persamaan ...(2)

XM = Xg x Mr .......................................................................(1)

XA = XM - XL ........................................................................(2)

Harga faktor koreksi diamagnetik dari beberapa ion dan molekul ditunjukkan oleh Tabel 3.

Page 14: Orbital Molekul.docx

Tabel 3. Faktor koreksi diamagnetik untuk beberapa ion dan molekul (Porterfield : 1984)

No Kation/ Anion/Atom Netral/Molekul

Faktor Koreksi (10-6 cgs)

1 Cu2+ -15,00

2 SO42- -38,00

3 H2O -13,00

4 C -6,00

5 H -2,93

6 N (dalam lingkar lima/enam) -4,61

7 O (dalam eter/alkohol) -4,61

Hubungan harga momen magnet efektif (μeff) dengan kerentanan magnetik terkoreksi (χA)

ditunjukkan oleh persamaan ...(3) (Szafran, Pie, and Singh : 1991).

= 2.828 (XA. T)1/2 BM ( bohr magneton) ...........................................(3)

keterangan :

= momen magnet (BM)

T = suhu (K)

Momen magnet logam transisi adalah perpaduan antara momen spin dengan momen orbital,

namun momen magnet dapat dihitung dari momen spin saja karena pada kebanyakan kompleks

kontribusi momen orbital hampir dapat diabaikan. Hubungan nilai momen magnetik spin µs

suatu senyawa dengan banyaknya elektron yang tidak berpasangan dinyatakan dalam

persamaan ...(4):

µs = [n(n + 2)]1/2 BM ...............................................................(4)

Page 15: Orbital Molekul.docx

keterangan :

µs = momen magnetik yang ditimbulkan oleh spin elektron

n = jumlah elektron yang tidak berpasangan

(Jolly : 1991)

Terlihat dari persamaan (4) bahwa nilai momen magnetik bergantung pada jumlah elektron yang

tidak berpasangan.

Pada kompleks kobalt oktahedral (d7) momen magnetik spin elektron saja memiliki harga

yang lebih kecil dari momen magnetik terukur atau hasil eksperimen. Faktor yang menyebabkan

perbedaan harga momen magnetik adalah adanya kopling atau rangkaian spin-orbital.

Berdasarkan persamaan...(5) :

μ = μs ..................................................................(5)

keterangan :

μ = momen magnetik terukur atau hasil eksperimen

μs = momen magnetik spin elektron saja

α = konstanta keadaan dasar

λ = konstanta kopling spin-orbital

Δ0 = energi pemisahan orbital d

ion d7 memiliki harga λ negatif sehingga akan memperbesar harga μ terukur.

Kompleks kobalt oktahedral spin tinggi mempunyai momen magnetik terukur 4,3 - 5,2

BM, angka ini lebih besar dibanding dengan hanya melibatkan spin elektron saja yaitu 3,87 BM.

Kompleks kobalt oktahedral spin rendah mempunyai momen magnetik sebesar 2,0 - 2,7 BM,

Page 16: Orbital Molekul.docx

angka ini lebih besar dibanding dengan hanya melibatkan spin elektron saja yaitu 1,73 BM.

(Sharpe : 1992).

5. Spektroskopi Infra Merah

Atom - atom dalam molekul tidak hanya diam di tempat, melainkan mengalami getaran (vibrasi)

relatif satu sama lain. Apabila getaran atom - atom tersebut menghasilkan perubahan momen

dwikutub, akan terjadi penyerapan radiasi infra merah pada frekuensi yang sama dengan

frekuensi vibrasi alamiah molekul tersebut (Pudjaatmaka : 1989).

Energi yang diemisikan pada daerah infra merah cukup untuk mengubah tingkat vibrasi ikatan

dalam suatu molekul. Daerah yang paling banyak digunakan untuk keperluan praktis dalam

penentuan struktur senyawa organik adalah 4000 – 690 cm-1 (Szafran, Pie, and Singh : 1991).

Molekul - molekul diatom memperlihatkan dua jenis vibrasi yaitu ulur (stretching) dan

vibrasi tekuk (bending). Vibrasi stretching ada dua yaitu simetri dan asimetri. Vibrasi asimetri

terdiri dari scissoring, rocking, wagging, dan twisting. Makin rumit struktur suatu molekul

semakin banyak bentuk - bentuk vibrasi yang mungkin terjadi, akibatnya akan terlihat banyak

pita - pita absorbsi yang diperoleh pada spektrum infra merah. Spektrum infra merah suatu

molekul poliatom sangat rumit untuk dianalisis, setiap absorbsi gugus fungsional suatu molekul

tampak pada daerah yang agak spesifik (Hendayana, Kadahromah, Sumarna, dan Supriatna :

1994). Frekuensi vibrasi antara dua atom dan ikatan yang menghubungkannya dapat dihitung

berdasarkan hukum Hooke yang ditunjukkan oleh persamaan ... (6) (Kemp : 1987) :

.................................................................(6)

keterangan :

υ = bilangan gelombang (cm-1)

c = kecepatan cahaya (cm.det-1)

Page 17: Orbital Molekul.docx

k = tetapan gaya ikatan (N.m-1)

m1 dan m2 = massa dua atom (g)

Dari persamaan ...(6) terlihat bahwa bilangan gelombang υ berbanding lurus dengan

kekuatan ikatan dua atom k. Sebaliknya bilangan gelombang υ berbanding terbalik dengan massa

tereduksi μ, dimana :

...................................................................(7)

keterangan :

μ = massa tereduksi (g)

m1 dan m2 = massa dua atom (g)

Semakin besar harga bilangan gelombang υ, maka kekuatan ikatan dua atom semakin kuat dan

panjang ikatan semakin pendek. Pergeseran bilangan gelombang ke arah yang lebih besar akan

menambah kuat ikat dua atom dalam satu molekul yang bervibrasi. Pergeseran bilangan

gelombang ke arah yang lebih kecil akan memperlemah ikatan dua atom dalam satu molekul

yang bervibrasi.

Gugus fungsi tertentu yang dapat menyerap sinar infra merah antara lain :

1). Nitrogen – Hidrogen pada Amina

a. Getaran ulur N- H

Amina primer memperlihatkan dua pita serapan lemah, satu di dekat 3500 cm-1 dan lainnya

di dekat 3400 cm-1. Pita - pita ini menyatakan jenis vibrasi ulur N-H simetri dan asimetri. Amina

sekunder menunjukkan serapan lemah di daerah 3350 - 3310 cm-1.

b. Getaran tekuk N-H

Page 18: Orbital Molekul.docx

Getaran tekuk N-H amina primer teramati di daerah spektrum 1650 – 1580 cm-1

( Hartono dan Purba : 1986).

2). Nitrogen -Hidrogen pada Sulfonamid

Sulfonamid primer memperlihatkan pita ulur N-H yang kuat pada daerah 3390 - 3330 cm-

1 dan 3300 - 3247 cm-1 dalam fase padat, sedangkan sulfonamid sekunder menyerap pada daerah

3265 cm-1 (Hartono dan Purba : 1986).

3). Sulfur - Oksigen pada Sulfonamid

Gugus SO2 pada sulfonamid menunjukkan serapan tajam pada daerah sekitar 1360 - 1320

cm-1 yang disebabkan vibrasi ulur asimetri, sedangkan vibrasi ulur simetri SO2 terletak pada

daerah 1180 - 1140 cm-1 ( Alzuet, Cassanova, Gracia-Granda, Guiterrez-Rodriquez, Supuran :

1998).

4). Sulfur - Nitrogen pada Sulfonamid

Ikatan S-N pada sulfonamid menunjukkan serapan pada derah sekitar 940 - 910 cm-1 (Alzuet,

Cassanova, Gracia-Granda, Guiterrez-Rodriquez, Supuran : 1998).

5). Karbon - Nitrogen pada Rantai Siklik

Ikatan rangkap dua pada gugus C=N dalam rantai siklik memperlihatkan serapan pada

daerah 1580 - 1570 cm-1 (Alzuet, Cassanova, Gracia-Granda, Guiterrez-Rodriquez, Supuran :

1998).

6). Karbon - karbon pada Cincin Aromatik

Vibrasi ikatan rangkap C=C aromatik terkonjugasi menunjukkan serapan pada daerah 1650

- 1600 cm-1 (Hartono dan Purba : 1986).

Pembentukan senyawa kompleks menghasilkan perubahan kekuatan ikatan antar atom pada

molekul. Sehingga senyawa kompleks memiliki serapan gugus fungsi yang berbeda dari ligan

bebasnya. Pada senyawa kompleks tembaga (II)-benzolamid, gugus SO2 yang terikat pada atom

Page 19: Orbital Molekul.docx

N terkoordinasi memiliki serapan ulur pada 1320 cm-1, sedang benzolamid bebas memiliki

serapan ulur SO2 pada 1270 cm-1 (Alzuet, Cassanova, Gracia-Granda, Guiterrez-Rodriquez,

Supuran : 1998).

6. Daya Hantar Listrik

Daya hantar listrik ( konduktifitas ) merupakan ukuran kekuatan larutan dapat

menghantarkan listrik. Molekul – molekul elektrolit akan terdisosiasi menjadi ion yang dapat

menghantarkan arus listrik bila dilarutkan dalam suatu pelarut (Bird : 1993).

Konsentrasi elektrolit sangat menentukan besarnya konduktifitas suatu larutan, oleh

karena itu ukuran konduktifitas sendiri tidak dapat digunakan untuk suatu larutan untuk itu

digunakan ukuran yang lebih spesifik yaitu konduktifitas molar (m). Konduktifitas molar adalah

konduktifitas suatu larutan apabila konsentrasi larutan sebesar satu molar (Harrizul Rivai : 1995).

Daya hantar listrik larutan elektrolit disebut juga daya hantar molar (molar conductivity), yang

didefinisikan sebagai daya hantar listrik yang ditimbulkan oleh satu mol zat, sesuai persamaan...

(8) (Kartohadiprodjo : 1999).

..........................................................................................(8)

keterangan :

Λ = daya hantar molar (S.cm2.mol-1)

к = daya hantar listrik spesifik larutan elektrolit (S.cm-1)

C = konsentrasi (mol.cm-3)

Apabila satuan Λ adalah S.cm2.mol-1 dan satuan konsentrasi adalah mol.L-1 maka

persamaan ... (8) menjadi :

m = ................................................................................(9)

Page 20: Orbital Molekul.docx

dimana = daya hantar molar(S.cm2.mol-1)

к = daya hantar listrik spesifik larutan elektrolit (S.cm-1)

C = konsentrasi elektrolit (mol.L-1)

Apabila daya hantar spesifik larutan merupakan daya hantar yang sudah terkoreksi (к*)

dalam satuan μS.cm-1 maka daya hantar molar larutan elektrolit dapat ditulis sesuai persamaan ...

(10).

m = ....................................................................................(10)

keterangan :

Λm = daya hantar molar (S.cm2.mol-1)

к* = daya hantar listrik spesifik terkoreksi (μS.cm-1)

= к - к pelarut

C = konsentrasi elektrolit (mol.L-1)

Jumlah ion yang terdapat dalam kompleks logam transisi dapat diketahui dengan

mengukur konduktifitas larutannya, pengukuran ini memberikan informasi jumlah ion (kation

dan anion) yang terdapat dalam kompleks, sehingga pengukuran daya hantar listrik dapat

digunakan untuk merumuskan senyawa kompleks yang terbentuk ( Szafran, Pie, and Singh :

1991).

7. Differential Thermal Analysis (DTA)

Analisis termal adalah pengukuran sifat fisika dan kimia sebagai fungsi temperatur.

Teknik yang sering digunakan dalam analisis termal ini adalah Differential Thermal Analysis

(DTA) yang mengukur perbedaan temperatur antara sampel dan materi pembanding inert sebagai

fungsi temperatur, jika temperatur keduanya dinaikkan dengan kecepatan sama dan konstan.

Proses yang terjadi dalam sampel adalah eksoterm dan endoterm, yang ditampilkan dalam

Page 21: Orbital Molekul.docx

bentuk termogram differensial (Skoog, Holler, and Niemann : 1998). Salah satu contoh bentuk

termogram differensial adalah termogram CaC2O4.H2O dengan laju kenaikan temperatur 8°C/min

seperti ditunjukkan oleh Gambar 14.

Gambar 14. Termogram differensial CaC2O4.H2O dengan keberadaan O2 (Skoog, Holler, and Niemann : 1998)

Pada Gambar 14 tampak adanya dua puncak minimum yang menunjukkan terjadinya reaksi

endoterm dengan persamaan reaksi seperti ditunjukkan oleh persamaan di bawah puncak

minimum. Sebagai konsekuensinya, sampel menjadi bersuhu lebh rendah daripada material inert

pembandingnya. Satu puncak maksimum menunjukkan oksidasi kalsium oksalat menjadi

kalsium karbonat dan karbon dioksida. Reaksi yang terjadi adalah reaksi eksoterm (Skoog,

Holler, and Niemann : 1998).

8. Sulfadiazin dan Sulfamerazin

Sebagian besar sulfonamid merupakan senyawa amfoter, sifat asam didasarkan atas gugus

sulfonamid. Adanya substituen pada gugus ini yang bersifat menarik elektron akan memperkuat

keasaman. Sifat basa didasarkan pada gugus amino aromatik yang merupakan basa lemah.

Senyawa - senyawa sulfonamid netral dianggap sebagai ligan lemah karena adanya

penarikan densitas elektron dari atom nitrogen ke atom oksigen yang elektronegatif. Tetapi jika

Page 22: Orbital Molekul.docx

pada atom N sulfonamid terdapat atom hidrogen yang mudah terdisosiasi, maka efek penarikan

densitas elektron akan menambah sifat keasamannya. Sebaliknya jika terdeprotonasi akan

membentuk anion sulfonamid yang merupakan ligan donor σ yang efektif (Otter, Couchman,

Jeffrey, Mann, Psillakis, Ward : 1998).

a. Sulfadiazin

Sulfadiazin termasuk senyawa sulfonamid dengan massa molekul 250,28 g/mol, pKa

sebesar 6,3, berbentuk serbuk kristal putih, tidak berbau dan sedikit larut dalam alkohol dan

aseton (Wilson dan Gisvold : 1982).

b. Sulfamerazin

Sulfamerazin memiliki massa molekul 264,32 g/mol, pKa sebesar 7,1, berbentuk kristal

putih, dan sedikit larut dalam alkohol (Wilson dan Gisvold : 1982). Struktur sulfadiazin dan

sulfamerazin ditunjukkan oleh Gambar 15.

Gambar 15. Struktur sulfadiazin dan sulfamerazin (Wilson dan Gisvold : 1982).

Macias, Villa, Gracia, Castineiras, Borras, Marin (2003) melaporkan pembentukan kompleks

[Cu(N-quinolin-8-yl-naftalenesulfonamide)] dimana N sekunder dan N tersier pada siklis

terkoordinasi pada Cu(II). Kompleks bergeometri tetrahedral.

B. Kerangka Pemikiran

Formula kompleks yang terbentuk tergantung jumlah ligan yang terkoordinasi pada atom

pusat. Sulfadiazin dan sulfamerazin merupakan ligan polidentat karena mempunyai atom donor

elektron lebih dari satu, sehingga dapat membentuk ikatan koordinasi dengan Co2+ dalam

Page 23: Orbital Molekul.docx

berbagai kemungkinan. Atom donor elektron tersebut adalah O pada SO2, N pada NH2 primer, N

sekunder, dan N tersier pada rantai siklik. Ligan dapat terkoordinasi pada Co(II) secara

monodentat dengan N primer seperti pada kompleks Cu(II) dengan benzolamid dimana N primer

dari benzolamid terkoordinasi pada Cu(II) (Alzuet, Cassanova, Gracia-Granda, Guiterrez-

Rodriquez, Supuran : 1998) atau sebagai bidentat dengan N sekunder dan N tersier yang

terkoordinasi pada Co(II) seperti kompleks [Cu(N-quinolin-8-yl-naftalenesulfonamide)](Macias,

Villa, Gracia, Castineiras, Borras, Marin : 2003). Dengan demikian terdapat beberapa

kemungkinan atom donor yang terkoordinasi pada atom pusat. Kemungkinan tersebut

ditunjukkan oleh Gambar 16.

a. Atom donor N pada NH2 (N primer)

sulfadiazin sulfamerazin

b. Atom donor N pada NH (N sekunder)

sulfadiazin sulfamerazin

c. Atom donor N pada N siklik (N tersier)

Page 24: Orbital Molekul.docx

sulfadiazin sulfamerazin

d. Atom donor N pada N sekunder dan N tersier

sulfadiazin sulfamerazin

Gambar 16. Beberapa kemungkinan atom donor yang terkoordinasi pada atom pusat

Efek sterik yang ditimbulkan N primer lebih kecil daripada efek sterik NH sekunder dan N

tersier, sehingga kemungkinan terkoordinasinya N primer pada ion pusat lebih besar daripada N

sekunder dan N tersier. Berdasarkan penelitian Hapsari A.W.(2004), ligan sulfonamid

merupakan ligan lemah. Sulfadiazin dan sulfamerazin merupakan ligan turunan sulfonamid

sehingga diperkirakan termasuk ligan lemah, sehingga akan cenderung membentuk spin tinggi

dan menjadikan 3 elektron pada Co2+ tidak berpasangan dengan harga µeff pada kisaran 4,2 – 5,3

BM dan bersifat paramagnetik.

Struktur kompleks Co2+ pada umumnya oktahedral, namun tidak tertutup kemungkinan

terbentuknya struktur lain seperti tetrahedral, segi empat datar, dan trigonal bipiramid. Kekuatan

ligan yang terkoordinasi pada atom pusat dan pelarut yang digunakan dapat mempengaruhi

struktur kompleks yang terbentuk. Kompleks Co2+ dengan ligan lemah pada umumnya

berstruktur oktahedral.

Page 25: Orbital Molekul.docx

Spektrum elektronik untuk ion Co2+ atau d7 dalam medan oktahedral ditandai dengan 3

puncak, namun 1 puncak tidak bisa teramati karena berada di luar jangkauan spektrofotometer

UV-Vis. Dua puncak yang teramati berada dalam jarak yang berdekatan dan saling tumpang

tindih sehingga seakan hanya ada satu puncak yang teramati.