22
Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta : Berbasis Kultural Sejarah Yogyakarta Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan. Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta : Berbasis

Kultural

Sejarah Yogyakarta

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13

Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur

Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara

Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi

menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi

diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan

Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta),

Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu;

Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung,

Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang

bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di

dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di

Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang

disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana

terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono

II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas

diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad

hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati

pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya

pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau

selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Page 2: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru

sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama

utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang

ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru.

Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756. Kota Yogyakarta dibangun pada tahun

1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan

Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai

Code dimana lokasi tersebut nampak strategis menurut segi pertahanan keamanan pada waktu

itu.

Yogyakarta Paska Proklamasi

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa

Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki

status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman

sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai

cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara

bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis

(Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda

(Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran

Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh

Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik

berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan

pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung

hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI

sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.

Tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemederkaan RI, Sultan HB IX

dan Sri Paduka Paku Alam VIII segera mengirim ucapan selamat dan dukungan kepada

proklamator Soekarno-Hatta dan kepada ketua BPUPKI, DR KRT Rajiman Wedyodiningrat.

Soekarno segera menanggapi dukungan Sultan HB IX dengan mengirimkan Piagam

Penetapan Kedudukan Jogjakarta. Ditanda-tangani oleh Soekarno selaku presiden RI di

Jakarta, pada 19 Agustus 1945. Intinya, piagam itu menetapkan Sultan HB IX pada

kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sultan HB IX akan mencurahkan segala pikiran,

tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Jogjakarta sebagai bagian NKRI.

Page 3: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI

membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam

UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari

Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom,

dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul

tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan

yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan

sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan

keguncangan.

Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian

Negara , Otto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat

sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan

menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta,

Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai

dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga

Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan

Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September

1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.

Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)

Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada

hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan

BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar

Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap

Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan

Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam

Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII

pada hari yang sama.

Berikut ini catatan lengkap bunyi amanat Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku

Alam yang ditandatangani pada 5 September 1945.

Page 4: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

AMANAT SRIPADUKA KANGDJENG SULTAN JOGJAKARTA

Kami HAMENGKU BUWONO IX, Sultan Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat

menjatakan:

1. Bahwa Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat jang bersifat Keradjaan adalah daerah

istimewa dari Negara Republik Indonesia.

2. Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri

Ngajogjokarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa

ini, segala urusan pemerintahan Dalam Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mulai saat

ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.

3. Bahwa, perhubungan antara Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat dengan Pemerintah

Pusat Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung-djawab atas negeri

kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjokarto

Hadiningrat mengindahkan amanat Kami ini.

Ngajogjokarto Hadiningrat, 28 Puasa, Ehe 1976 (5 September 1945).

HAMENGKU BUWONO IX1

AMANAT

SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM

Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat

menjatakan:

1.  Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari

Negara Republik Indonesia.

2.  Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri

Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan

pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada di tangan Kami dan

kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.

3.  Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara

Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami

langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

1 http://regional.kompas.com/read/2010/12/06/11115737/Amanat.Lengkap.Sultan.Hamengku.Buwono.IX

Page 5: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan

Amanat Kami ini.

Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-19452

Ketika Badan Komite Nasional Daerah Jogjakarta terbentuk pada 29 Oktober 1945,

sehari berikutnya Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII yang menyadari pentingnya kesatuan

dan persatuan kembali mengukuhkan integrasi Jogjakarta kepada NKRI dengan membuat

secara bersama-sama, Maklumat 30 Oktober 1945. Keistimewaan Jogjakarta pun semakin

dipertegas dengan Maklumat No 6/1948 dan Maklumat No 10/1948, yang menyatakan daerah

Istimewa Jogjakarta sebagai bekas daerah swapraja sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Keistimewaan DIY juga kian diperkuat lagi dengan UU No 3/1950 tentang

Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta dan jabatan gubernur yang bersifat melekat pada

Sultan yang bertahta. Keistimewaan DIJ dengan berbagai landasan yuridis tersebut, bukan

sekedar penghargaan kosong tanpa peran. Sejarah di awal terbentuknya NKRI sungguh

menampakkan peran besar Sultan HB IX dan rakyatnya dalam mempertahankan keutuhan

NKRI.

Latar Belakang Tuntutan Keistimewaan Yogyakarta

Yogyakarta sebagai bentuk daerah istimewa dengan identitasnya yang membedakan terhadap

daerah lain. Yogyakarta sendiri mempunyai sejarah dan budaya yang kuat yang dipahami sebagai

pondasi dalam upaya mempertahankan dan menjalankan daerahnya sendiri. Dalam perjalanannya, jika

melihat sejarah yang ada bahwa Yogyakarta menyatakan mulai bergabung dengan Republik Indonesia

yang tercantum dan diakui (diterima) oleh presiden pertama Ir. Soekarno dalam naskah Amanat 5

September 1945. Naskah tersebut berisikan pernyataan Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman untuk

bergabung ke Republik Indonesia dengan beberapa poin tertentu yang menjelaskan posisi Yogyakarta

terhadap pemerintah pusat. Berdasarkan kesepakatan itulah, semua yang ada di Yogyakarta dikelola

dan dikuasai oleh Kesultanan Yogya dan Pakualaman baik urusan pemerintahan, pertanahan dan lain-

lain namun bertanggung jawab langsung terhadap pemerintah pusat. Posisi Gubernur dan Wakil

Gubernur selama ini dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur dan Sultan Pakualam

menjabat sebagai Wakil Gubernur.

2 http://ngada.org/maklumat5.9-1945.htm

Page 6: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Setelah sekian lama sejak Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia, muncul wacana

tentang status keistimewaan yang kemudian akan diatur dalam rancangan Undang-undang

Keistimewaan Yogyakarta pada tahun 1999 setelah runtuhnya rezim soeharto. Pembahasan mengenai

RUU Keistimewaan Yogyakarta pun molor hingga saat ini karena terkendala di draf undang-undang

yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu salah satunya mengenai sistem pemilihan langsung atas

posisi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta. Hal inilah yang membuat masyarakat Yogyakarta

resah dan segera menuntut penetepan atas RUU Keistimewaan Yogyakarta dengan format Sultan

Hamengku Buwono sebagai Gubernur dan Sultan Pakualam sebagai Wakil Gubernur. Masyarakat

Yogyakarta dibuat resah setelah sekian lama wacana pembahasan RUU Keistimewaan belum juga

selesai dan ditambah dengan berbagai tanggapan dari berbagai tokoh bahkan oleh Presiden SBY yang

seakan menambah kisruh pembahasan RUU ini.

Pemerintahan DIY di Era Otonomi Daerah

Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I. Yogyakarta) merupakan daerah yang memiliki

struktur pemerintahan khas yang disebut istimewa. Keistimewaan tersebut timbul diantaranya

dari latar belakang historis dan asal usul daerah. Salah satu keistimewaan yang paling pokok

sampai saat ini adalah dalam hal rekrutmen Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilakukan

dengan penetapan bukan dengan pemilihan sebagaimana Daerah-daerah lain.

Secara yuridis konstitusional, Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

dibentuk secara legal formal berdasarkan UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan DI

Jogjakarta. Kemudian dari UU No 3 Tahun 1950 dilakukan perubahan ke dalam Undang-

Undang No 19 Tahun 1950 Tentang Perubahan Perubahan Pembentukan DI Jogjakarta yang

selanjutnya diberlakukan mulai tanggal 15 Agustus 1950 dengan Peraturan Pemerintah (PP)

No 31 Tahun 1950. UU No 3 Tahun 1950 berisikan 7 pasal dan sebuah lampiran daftar

kewenangan otonomi yang secara keseluruhan mengatur wilayah, ibukota daerah, jumlah

anggota DPRD, jenis kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, dan aturan-aturan yang

sifatnya peralihan. Kemudian muncul UU No 19 Tahun 1950 yang merevisi UU No 3 Tahun

1950 dengan penambahan kewenangan bagi DI Yogyakarta.3

Mengenai pembagian wilayah administratif berupa kabupaten dan kota selanjutnya di atur

dalam UU No 15 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam

Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta dan UU No 16 Tahun 1950 Tentang Pembentukan

Daerah-Daerah Besar Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,

dan DI Yogyakarta (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 45). Kedua undang-undang ini

3 http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta diakses tanggal 10 Maret 2011

Page 7: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

diberlakukan melalui PP No 32 Tahun 1950. Di dalamnya mengatur wilayah administratif DI

Yogyakarta yang terdiri atas:

1. Kabupaten Bantul dengan ibukota Bantul

2. Kabupaten Sleman dengan ibukota Sleman

3. Kabupaten Gunung Kidul dengan ibukota Wonosari

4. Kabupaten Kulon Progo dengan ibukota Sentolo

5. Kabupaten Adikarto dengan ibukota Wates

6. Kota Besar Yogyakarta sebagai ibukota DI Yogyakarta.

Dengan pertimbangan untuk mengefektifikan pelaksanaan pemerintahan, maka pada

tahun 1951 dilakukan penyatuan Kabupaten Adikarto dengan Kabupaten Kulon Progo yang

semula beribukota di Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo yang beribukota di Wates.

Penggabungan kedua daerah kabupaten ini dilandasi dengan UU No 18 Tahun 1951.

Keseluruhan undang-undang yang membentuk DI Yogyakarta dan daerah kabupaten dan kota

di dalam lingkungannya didasarkan UU Pokok Tentang Pemerintahan Daerah, yaitu UU No

22 Tahun 1948.

Perampingan dan pengefektifan wilayah masih terus dilakukan oleh Pemerintah DI

Yogyakarta. Sesuai dengan Mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta

Nomor 6 Tahun 1952 yang bertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave seperti

Imogiri, Kotagede, dan Ngawen dilepaskan dari Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Ketiga

wilayah tadi kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Pemerintahan Daerah Istimewa

Yogyakarta. Penyatuan enclave tersebut didukung melalui UU Darurat Nomor 5 Tahun 1957

yang selanjutnya dijadikan UU No 14 Tahun 1958 .

Perubahan pada tatanan pemerintahan daerah kembali dilakukan untuk

mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan tujuan pembangunan nasional melalui

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada undang-undang

desentralisasi fiskal ini, dilakukan perubahan atas struktur dan wewenang pemerintahan

daerah. Istilah pemerintahan Daerah Tingkat (Dati) I diganti dengan Pemerintahan Daerah

Propinsi. Pemerintahan Daerah Tingkat (Dati) II diganti dengan Pemerintahan Daerah

Kabupatan atau Kota. Berdasarkan ketentuan tersebut, istilah Kotamadya Yogyakarta diganti

Page 8: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

dengan Kota Yogyakarta. Dalam hal ini, pemerintahan Kota Yogyakarta memiliki wewenang

penuh dalam mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan sasaran otonomi dalam

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang sekarang menjadi UU No. 32/ 2004.

Sampai saai ini, pemerintah Propinsi darah Istimewa Yogyakarta tetap menjalankan

secara penuh roda pemerintahan sebagaimana amanat UU No. 32/ 2004, kecuali ketentuan

pasal 58 tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak dapat

dilaksanakan. Pasal ini tidak bisa dilaksanakan tanpa ada peraturan perundangan lebih lanjut

dari pemerintah pusat karena akan berbenturan dengan UU No. 3/1950 tentang Pembentukan

dan Asal-Usul Daerah Istimewa Yogyakarta.4

Rancangan Undang-Undang Keistimewaan

Polemik Keistimewaan Yogyakarta bukanlah sesuatu yang baru, mulai 1998, 2003

dan 2008 penuh dengan ketegangan politik. Polarisasi pemaknaan terhadap keistimewaan

sampai pada posisi dikotomis, antara penetapan dan pemilihan. Permasalahan RUUK ini

semakin menghangat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan “tidak ada

monarki di dalam negara ini”. Beberapa draf terkait RUUK pun telah dilayangkan. Draf

pertama, mendukung status quo. Draf kedua, mengetengahkan sebuah model “monarki

konstitusional” di mana Sultan diposisikan di atas Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

selaku “Pengageng.” Sementara draf ketiga, mengadopsi sejumlah aspek “monarki-

konstitusional” yang ditawarkan UGM, di mana Sultan diposisikan sebagai “Parardhya.”

Namun, sampai saat ini draf RUUK yang telah masuk ke DPR pada 16 Desember 2010

belum memperoleh hasil, karena belum sampai pada tahap pembahasan oleh DPR.

Berdasarkan data yang kelompok kami peroleh, terdapat enam substansi

keistimewaan dalam draf RUU ini. Lima poin antara lain terkait soal kultural, pengelolaan

tanah, adat, tata ruang, dan keuangan sudah disepakati, hanya tinggal satu yakni terkait posisi

Gubernur yang ditetapkan atau dipilih. Secara keseluruhan tentu saja RUUK ini terdapat

kekurangan maupun kelebihannya, yang akan dibahas sebagai berikut.

Bila kita memperhatikan masing-masing poin yang terdapat dalam Draf RUUK

tersebut, terdapat beberapa keganjilan yang bisa kita sebut sebagai kekurangan yakni pada:

4 Wahyukismoyo, Heru. 2008. Merajut kembali Pemikiran Sri Sultan HB IX. Dharmakaryadhika: Yogyakarta. ( Hal.80)

Page 9: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Bagian Penetapan terhadap: UU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta

Pada bagian tersebut secara tidak langsung tersirat bahwa penggunaan kata 'provinsi DI

Yogyakarta' tidak sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1950 tentang pembentukan DI

Yogyakarta yang menyebutkan daerah ini setingkat provinsi. Menurut Sultan, DIY tidak

sama dengan provinsi lainnya. Oleh karena itu, penulisan judul RUU seharusnya cukup

dengan 'RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta' dan tidak menggunakan kata

provinsi.

Penyebutan Kedudukan Sultan sebagai Gubernur Utama

Penyebutan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 di pasal 18 yang menyebutkan

bahwa provinsi atau daerah istimewa dipimpin gubernur. Prinsip gubernur dan wakil

gubernur utama dinilai melanggar prinsip negara hukum. Penggunaan istilah ini dinilai

sama saja kekuasaannya makin dipersempit. Juga dinilai mengandung resiko hukum yang

besar bagi eksistensi DI Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta diperkirakan bisa hilang

saat ada pihak yang mengajukan uji materiil terhadap UU ini dan dikabulkan oleh

Mahkamah Konstitusi nantinya.

Pada Bab II, Pasal 2, ayat 1b, tentang Batas dan Pembagian Wilayah

Sebelah timur dengan Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Dalam draf disebutkan

batas wilayah di timur dengan Kabupaten Klaten, padahal secara rill dengan Kabupaten

Sukoharjo dan Wonogiri.

Bila diamati pasal per pasal demikianlah kekurangan yang kelompok kami temukan.

Namun, disisi lain pembahaasan mengenai RUUK ini sesungguhnya juga membawa beberapa

kelebihan diantaranya, adalah :

1. Niat pemerintah untuk menutup celah perpecahan atau pemberontakan yang mungkin

terjadi untuk melepaskan diri dari NKRI

2. Spesifikasi tugas antara pemimpin struktur pemerintahan dengan pemimpin adat

derah Yogyakarta (Sultan)

3. Membuka peluang untuk masyarakat luas masuk dalam pemerintahan serta partisipasi

dalam pemilihan gubernur Yogyakarta

Page 10: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Respon Masyarakat Terhadap Polemik RUUK

Seperti dilansir dalam media online www.kompas.com mengenai respon masyarakat

Yogyakarta , mayoritas mengatakan kecewa dengan langkah pemerintah, berikut adalah hasil

penelusuran kami terhadap artikel media online tersebut mengenai kekecewaan masyarakat.

Kekecewaan masyarakat Yogyakarta karena daerah yang mereka banggakan dengan segala

adat dan peraturan yang mereka taati justru dianggap sebagai daerah yang menganut paham

monarki absolut karena gubernur tidak dipilih melalui pemilihan umum melainkan dipilih

berdasarkan keturunan, oleh pernyataan Presiden SBY beberapa saat lalu. Sebagai ekspresi

kekecewaan terhadap presiden, rakyat Jogja menggelar Kongres Rakyat untuk menetapkan

Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur yang

merupakan suatu bentuk tindakan atas mencuatnya masalah keistimewaan Jogjakarta.

Masyarakat menyatakan tidak akan mengikuti alias memboikot pemilihan gubernur

dan wakil gubernur, jika pemilihan itu diadakan. Masyarakat juga mendesak DPRD agar

tidak menganggarkan biaya pemilihan kepala daerah. Masyarakat sudah sepakat

mempertahankan keistimewaan, bagaimana tidak, keistimewaan yang diberikan kepada

daerah Yogyakarta jelas sudah mendapatkan tandatangan dari Ir.soekarno sewaktu dulu.

Begitu pula pemilihan adalah bentuk demokrasi, namun demikian demokrasi jangan

dipaksakan karena yang melaksanakannya adalah rakyat DIY.

Sejarah juga telah membuktikan bahwa peranan Kesultanan Yogya dalam perjuangan

kemerdekaan sangatlah jelas. Siapa lagi kalau bukan Sultan Yogya yang memberi tempat

perlindungan kepada para pemimpin republik dan memberi wilayah Yogyakarta sebagai ibu

kota perjuangan Republik Indonesia ketika perang kemerdekaan berlangsung. Sehingga tak

heran, jika pada 15 Agustus 1950 pemerintah RI memberikan keistimewaan Yogyakarta

karena dukungan penuh kepada Republik yang masih muda itu dan Undang-undang No.03

Tahun 1950 menjadi dasar pembentukan provinsi DIY.

Selain itu, jika kita simak Sultan Hamengkubuwono X sebagai Kepala Daerah

Propinsi DIY selalu menjalankan tugas, peran, dan fungsinya sama dengan beberapa kepala

darerah lainnya di propinsi yang ada di Indonesia. Bahkan perangkat pemerintahan Yogya

juga sama sekali tidak berbeda dengan  tatanan fungsi daerah lainnya seperti; sekda, kepala

dinas, dan tatanan pemerintahan lainnya.

Dalam hal kewenangan terkait keistimewaan diatur dalam Pasal 6 ayat (2).  Dalam

draft tersebut tertulis bahwa kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud

mencakup penetapan fungsi dan tugas dan wewenang gubernur  utama dan wakil gubernur

Page 11: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

utama, penetapan kelembagaan pemda provinsi, kebudayaan dan pertanahan dan penataan

ruang.

Dalam ayat selanjutnya, diatur juga bahwa kewenangan dalam urusan istimewa

didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan pada rakyat. Pengaturan lebih

lanjut kewenangan dalam urusan-urusan istimewa didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal

dan keberpihakan kepada rakyat dan pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan

istimewa diatur dalam perda.

Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Gandung

Pardiman menilai aspirasi sejumlah kalangan yang menginginkan penghapusan keistimewaan

DIY sebagai pandangan historis.5 Masyarakat menilai bahwa orang-orang yang memiliki

pandangan seperti itu sebenarnya tidak mengerti sejarah tentang DIY, sehingga mereka

dipastikan tidak paham masalah keistimewaan daerah ini.

Berdasarkan Survei yang dilakukan Kompas dalam periode 2008-2010, hasilnya

menunjukkan bahwa 79 Persen Warga DIY Tolak Pemilihan.6 Data survei yang menjadi

pegangan Kementerian Dalam Negeri bertolak belakang dengan hasil jajak pendapat Kompas

yang dilakukan sejak tahun 2008 hingga 2010. Faktanya ketika ditanya apakah sebaiknya

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih langsung oleh rakyat atau penetapan, sebagian

besar masyarakat Yogyakarta menginginkan penetapan. Angkanya mencapai antara 53,5

persen dan 79,9 persen (Kompas, 2/12/2010).

Selain itu, respon juga ditunjukkan dengan adanya berbagai golongan simpatisan yang

kerap berdemo dengan kirab budaya maupun memasang tulisan-tulisan gerakan pro

keistimewaan, maka tidak lazim bila sering kita jumpai gambar-gambar dibawah ini.

5 Dikutip dari http://regional.kompasiana.com pada 22 Februari 20116 Data berdasarkan survey yang diambil dari www.kompas.com pada 22 Februari 2011

Page 12: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Gambar diambil di salah satu sudut jalan Alun-Alun Selatan

Berkenaan dengan masalah demokrasi yang merupakan akar masalah munculnya

polemic keistimewaan Jogja ini, masyarakat menilai Demokrasi secara substansi memang

baik. Namun kalau demokrasi hanya kulit, ini yang mengkhawatirkan.  Politik saat ini lebih

mengedepankan bungkus atau kulit. Jadi betapa pun terdengar baik, isinya tidak berkualitas.

Betapapun terkesan indah, kualitasnya ternyata mengecewakan.

Bagaimana dengan pemerintah dan aparat negara lainnya yang dipilih secara

demokratis? Di beberapa daerah, pemerintah yang menjalankan demokrasi, tidak berhasil

melindungi hak-hak beribadah sebagian rakyatnya. Di beberapa daerah, pemerintah yang

menjalankan demokrasi tidak berhasil menciptakan lapangan kerja, juga pendidikan yang

berkualitas untuk rakyatnya. Bahkan, untuk mengatur secara fisik daerah istimewa Jakarta

dalam hal lalu lintas dan mengurangi bencana banjir, pemerintah yang menjalankan

demokrasi masih jauh dari keberhasilan. Di situ vulgar terlihat, demokrasi masih berupa

bungkus.

Bandingkan dengan Yogya yang (katanya) monarki. Saat bencana Merapi terjadi,

rakyatnya bahu-membahu membantu. Ada beberapa rumah tangga yang secara spontan

menyiapkan lima bungkus nasi; ada dukuh yang segera mengumpulkan baju layak pakai satu

jam setelah letusan besar 30 Oktober 2010 terjadi; ada warga yang dengan inisiatif sendiri

menyiramkan air ke kaca-kaca mobil yang tertutup abu merapi.

Seorang pedagang kaki lima dan seorang pedagang angkringan dengan bangga

mengungkapkan keunikan Yogya, yang menurut mereka memiliki solidaritas sosial yang kuat

dan membuat sebagian besar korban Merapi mampu menghadapi bencana besar itu.

Page 13: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Lihat juga tata kota Yogya. Sepanjang jalan Solo dan jalan-jalan utama, terlihat

pohon-pohon yang tertata rapi, terawat subur dan indah. Tidak salah kalau pemerintah daerah

memasang tulisan: ”Jalan raya adalah taman terpanjang.” Yogya juga memiliki tata kelola air

yang sejauh ini berhasil menghindarkan rakyatnya dari banjir. Walaupun jumlah kendaraan

sangat banyak, tetapi Yogya relatif berhasil mengatasi kemacetan. Salah satunya, karena

kedisiplinan polisi menegakkan aturan lalu lintas.

Dari sisi ekonomi, barang-barang di Yogya relatif lebih murah di banding daerah

lainnya. Tingkat korupsi pemerintah Yogya juga sangat rendah. Kerukunan antarkelompok

masyarakat juga sangat terjaga. Orang dengan berbagai latar belakang suku dan agama bisa

hidup berdampingan dengan harmonis di Yogyakarta. Situasi yang jarang kita temukan di

daerah lainnya.

Indikator-indikator sederhana itu menunjukan, walau Yogya tidak demokratis, isinya

relatif lebih dekat dengan arti demokrasi sesungguhnya, dibanding beberapa daerah yang

menjalankan (bungkus) demokrasi. Jika arti demokrasi yaitu: pemerintah dipegang oleh

rakyat dan untuk rakyat, maka silakan juga tanya warga Yogya. Sejauh ini rasa-rasanya,

penetapan gubernur dalam diri Sri Sultan dan wakilnya adalah aspirasi mayoritas warga

Yogya.

Tentu, indikator-indikator tersebut bukan hanya karena prestasi Sri Sultan sebagai

kepala daerah Yogyakarta, ini juga disebabkan pengaruh nilai dan budaya Yogya yang masih

kuat dipegang rakyatnya. Nilai-nilai seperti harmoni, rasa malu yang positif, juga introspeksi

diri saat menghadapi hal buruk, mendasari cara rakyat Yogya berpikir dan bertindak.

Kesimpulan

Secara tatanan otonomi daerah selama ini seluruh fungsional dan operasional sistem

pemerintahan di Yogyakarta sama dengan daerah lainnya kecuali jabatan Gubernur yang

dilakukan penetapan. Bila melihat secara regulasi hal ini memang bertentangan dengan azas

pemilihan yang membolehkan semua warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi

pejabat publik. Dalam UUD 1945 pasal 28 (Amandemen) tersebutkan bahwa Gubernur, wali

kota, bupati, harus diplih secara langsung, sementara di DIY jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur ditetapkan langsung.Namun bila dilihat secara historis, Yogyakarta memiliki

sejarah panjang yang mendasari mengapa kebijkan itu dibuat dan dijalankan, sejarah panjang

ini tidak bisa diabaikan oleh warga Yogyakarta. Keterkaitan emosional pada sosok Sultan dan

Page 14: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

Kraton membuat Yogyakarta merasa perlu dilakukan suatu tatanan khusus bagi sistem

pemerintahan di DIY.

Selama ini pembahasan mengenai RUUk masih berkutat pada konflik kepentingan

berbagai pihak, aspirasi dari masyarakat yang begitu nyata belum tersentuh. Diseminasi perlu

dilakukan untuk mendengar aspirasi masyarakat yaitu dengan mengembalikan draf RUUK

kepada masyarakat Yogyakarta dan membiarkan masyarakat yang memilih. Secara tatanan

pemerintahan pula seorang Gubernur di Indonesia bagaikan kepala dari kepala daerah yang

tidak mempunyai kuasa wilayah administratif, karena kabupaten dan kota lah yang memiliki

wilayah. Sesungguhnya pemerintah tak perlu kuatir keistimewaan ini akan berdamapak

negatif pada kesatuan Republik Indonesia, karena sejarah lagi-lagi membuktikan betapa setia

nya Yogyakarta pada RI.

Pada dasarnya Keistimewaan Yogyakarta bukanlah hal yang harus dibesar-besarkan

karena terkesan mencuri perhatian publik, sementara masih banyak lagi hal lain yang harus

diselesaikan oleh negara dan pemerintah kita ini. Terlebih setelah melihat keadaan

Yogyakarta dalam kurun waktu yang tidak singkat, menentukan siapa yang menjadi

Gubernur atau pemimpin bagi masyarakat DIY adalah Sultan dan Paku Alam. Bukankah

seyogyanya yang menjadi harapan suatu bangsa adalah ketentraman masyarakat yang

dipimpinnya, dan senyatanya Yogyakarta tidak pernah mengalami konflik terhadap

kedudukan Sultan sebagai Gubernur (pemimpin) di Yogyakarta, jadi mengapa harus terus

dipermasalahkan.

Sumber Referensi :

Wahyukismoyo, Heru. 2008. Merajut kembali Pemikiran Sri Sultan HB IX.

Dharmakaryadhika: Yogyakarta. ( Hal.80)

http://regional.kompas.com/read/2010/12/06/11115737/

Amanat.Lengkap.Sultan.Hamengku.Buwono.IX , diakses pada tanggal 14 Maret 2010,

pukul 13.24)

http://ngada.org/maklumat5.9-1945.htm , diakses pada tanggal 14 Maret 2010, pukul

13.24)

Page 15: Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta

http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta diakses tanggal 10 Maret

2011

http://regional.kompasiana.com diakses pada 22 Februari 2011

www.kompas.com diakses pada 22 Februari 2011