21
` 1. PENDAHULUAN Kota sebagai tempat yang paling diminati masyarakat untuk bermukim kini kondisinya sudah padat, hal ini ditandai dengan perkembangan kota yang nyatanya banyak sekali masyarakat dari kota-kota kecil dan desa menuju kota dengan harapan dapat membuka kemungkinan akan tingkat kehidupan yang lebih baik, sehingga mengakibatkan kawasan perkotaan menjadi padat dan terbatas. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang seperti itu akan mengakibatkan kota-kota terasa semakin sempit apabila dikaitkan dengan ruang dan semakin turunnya tingkat kenyamanan apabila dikaitkan dengan jasa-jasa perkotaan. Salah satu jasa perkotaan adalah perumahan, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (Zulfan,1990;1). Rumah merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga, secara fisik merupakan bangunan tempat tinggal, secara fungsional merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga dilingkungan sehat, aman, serasi dan selaras. Pertumbuhan perkotaan yang pesat menyebabkan permasalahan perkotaan menjadi kompleks dan berkembang cepat. Salah satu permasalahan utama adalah penyediaan permukiman. Penyediaan perumahan terkait dengan masalah lain yaitu prasarana perumahan yang mahal serta daya dukung lahan yang cenderung tidak mampu lagi memenuhi aktivitas permukimannya. Semua hal yang terkait diatas mengakibatkan tumbuh dan meluasnya

Paper Backlog

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Paper Backlog

`

1. PENDAHULUAN

Kota sebagai tempat yang paling diminati masyarakat untuk bermukim kini

kondisinya sudah padat, hal ini ditandai dengan perkembangan kota yang nyatanya banyak

sekali masyarakat dari kota-kota kecil dan desa menuju kota dengan harapan dapat membuka

kemungkinan akan tingkat kehidupan yang lebih baik, sehingga mengakibatkan kawasan

perkotaan menjadi padat dan terbatas.

Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang seperti itu akan mengakibatkan kota-

kota terasa semakin sempit apabila dikaitkan dengan ruang dan semakin turunnya tingkat

kenyamanan apabila dikaitkan dengan jasa-jasa perkotaan. Salah satu jasa perkotaan adalah

perumahan, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (Zulfan,1990;1).

Rumah merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana

pembinaan keluarga, secara fisik merupakan bangunan tempat tinggal, secara fungsional

merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga dilingkungan

sehat, aman, serasi dan selaras.

Pertumbuhan perkotaan yang pesat menyebabkan permasalahan perkotaan menjadi

kompleks dan berkembang cepat. Salah satu permasalahan utama adalah penyediaan

permukiman. Penyediaan perumahan terkait dengan masalah lain yaitu prasarana perumahan

yang mahal serta daya dukung lahan yang cenderung tidak mampu lagi memenuhi aktivitas

permukimannya. Semua hal yang terkait diatas mengakibatkan tumbuh dan meluasnya

permukiman-permukiman ilegal dan permukiman dengan kondisi hunian yang merosot

menjadi permukiman kumuh (slum).

Tantangan yang paling besar yang harus dihadapi kota dalam bidang perumahan di

Indonesia sekarang ini adalah bagaimana mengatasi masalah perumahan masyarakat miskin,

terutama di kota-kota besar yang merupakan mayoritas. Tuntutan kebutuhan akan pengadaan

perumahan sangat besar dan selalu meningkat, sedangkan lingkungan perumahan yang sudah

ada dinilai kurang layak huni. Di samping itu kemampuan ekonomi mereka sangat terbatas,

sulit untuk mengangkat sendiri tanpa bantuan pihak lain (Budiharjo, 1997:57)

Sejak awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian kepada

penyediaan rumah bagi masyarakat, sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar

manusia. Selain berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan alam dan makhluk lainnya

Page 2: Paper Backlog

`

rumah juga memiliki peran sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya,

penyiapan generasi muda dan sebagai manifestasi diri (KSNPP, 2002).

Pengembangan perumahan dan permukiman di Indonesia diprogramkan sebagai

tanggung jawab masyarakat bersama dengan stakeholder lainnya. Meskipun pemenuhan

kebutuhan perumahan dan permukiman adalah tanggung jawab masyarakat sendiri, namun

penyelenggaraannya dilakukan secara multi sektoral dengan menempatkan masyarakat

sebagai pelaku utama, dan pemerintah sebagai pendorong dan fasilitator dalam upaya

memberdayakan masyarakat dan meningkatkan peran aktif dunia usaha.

Dari sisi investasi, pembangunan perumahan di Indonesia masih tertinggal

dibandingkan negara lain, yaitu hanya 1,4% dari PDB pada tahun 2002. Sementara itu,

investasi pembangunan perumahan di negara tetangga Malaysia mencapai sekitar 27,7% dan

bahkan Amerika Serikat mencapai 45,3%.

Menurut Komarudin (1997), permasalahan dalam penyediaan dan pembangunan

perumahan di Indonesia meliputi, antara lain, perencanaan tata ruang yang belum antisipatif

terhadap kebijaksanaan perumahan dan permukiman; rendahnya keterjangkauan masyarakat

membeli rumah; belum mantapnya koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan sektoral; belum

kuatnya peran Pemda dalam pembangunan perumahan; belum memadainya pendanaan dan

pembiayaan; sulitnya memperoleh tanah bagi pembangunan perumahan; belum

mendukungnya peraturan perundang-undangan; serta belum efisiennya pembangunan

perumahan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret dari semua pihak yang

terlibat dalam pembangunan perumahan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan

tersebut apabila ingin menyediakan perumahan bagi masyarakat secara efektif dan efisien.

Melihat fakta-fakta yang terjadi saat ini, banyak wilayah perkotaan yang jumlah

backlognya semakin meningkat tiap tahunnya yang disebabkan oleh beberapa hal. Untuk itu,

Tulisan paper ini akan mengkaji mengenai kebijakan pemerintah dalam memenuhi pelayanan

publik, yaitu penyediaan perumahan serta melihat bagaimana kondisi perumahan yang terjadi

di Indonesia khususnya yang akan disorot dalam paper ini adalah backlog yang terjadi di

Kota Jakarta.

Page 3: Paper Backlog

`

2. PEMBAHASAN

Perkembangan pembangunan perumahan di Indonesia dicirikan oleh masih

banyaknya keluarga yang belum memiliki rumah yang layak (housing backlog). Data Susenas

2004, seperti dikutip dalam Renstra Kementerian Negara Perumahan Rakyat Tahun 2005-

2008, menyebutkan bahwa terdapat 5,9 juta keluarga atau sekitar 10% dari jumlah keluarga

di Indonesia yang mencapai 55 juta yang belum memiliki rumah. Sementara itu, penambahan

kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru rata-rata sekitar 820.000 unit rumah.

Dengan demikian, masih terdapat sekitar 3,1 juta keluarga atau 12,5 juta jiwa yang menghuni

rumah dalam kondisi yang tidak layak. Disisi lain, terdapat pula 17,2 juta jiwa yang tinggal di

10.065 lokasi kawasan kumuh dengan luasan mencapai 54.000 Ha. Kondisi di atas

menunjukan beratnya tantangan yang dihadapi dalam pembangunan perumahan rakyat.

A. Kondisi Perumahan dan Permukiman DKI Jakarta

1. Landed House

1.1 Perumahan (planned)

Gambar 1Perumahan oleh Pengembang

(Sumber: Kompas.com)

Pengembangan perumahan DKI Jakarta sebagian besar dikendalikan oleh

pengembang, dengan menawarkan berbagai macam konsep hunian tinggal,

kawasan perumahan yang dibuat ini lebih ditujukan untuk masyarakat

berpenghasilan menengah ke atas.

1.2 Kampung (Organik)

Perkampungan organik, kemunculannya diprakarsai oleh masyarakat sendiri

secara swadaya, tumbuh dan berkembang tersebar di bagian-bagian kota, baik

di pusat kota maupun di pinggiran kota. Permukiman ini tumbuh secara alami

Page 4: Paper Backlog

`

mengikuti jaringan jalan baru maupun perkembangan wilayah-wilayah

potensial kota.

Gambar 2Kondisi Kampung (Organik)

(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)

1.3 Slum

Permukiman kumuh berada di daerah legal yang memang diperuntukkan

sebagai kawasan permukiman, permukiman ini pada awalnya memang

berbentuk permukiman organik, tetapi karena pertumbuhan penduduk yang

pesat di kawasan ini menjadikan kawasan semakin padat serta tidak bisa

menampung jumlah penduduk yang selalu bertambah yang berakibat pada

menurunnya fungsi pelayanan kawasan hunian.

Gambar 3Slum Area

Page 5: Paper Backlog

`

(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)1.4 Squatter (permukiman liar)

Permukiman liar (Squatter) menempati lahan di daerah-daerah yang tidak

diperkenankan untuk didirikan bangunan khususnya bangunan untuk tempat

tinggal karena selain dinilai membahayakan bagi penghuninya juga akan

mengganggu program-program penataan kota.

Gambar 4Kondisi Permukiman Liar

(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)

2. Rumah Susun

2.1 Rumah Susun Sederhana

Rumah susun sederhana baik sewa maupun sewa-milik (strata title)

dibangun oleh pemerintah maupun pihak penyelenggara lainnya (swasta,

yayasan, BUMD) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berpenghasilan

rendah akan perumahan murah di pusat kota.

Page 6: Paper Backlog

`

Gambar 5

Kondisi Rumah Susun(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)

2.2 Apartemen

Apartemen yang dibangun oleh pihak pengembang yang diperuntukkan

bagi masyarakat DKI Jakarta golongan ekonomi menengah ke atas.

Apatemen ini dilengkapi dengan fasilitas penunjang seperti mall pusat

perbelanjaan.

Gambar 6Apartemen

(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)

B. Kebutuhan Perumahan dan Permukiman DKI Jakarta

Peningkatan kebutuhan perumahan di DKI Jakarta sangat dipengaruhi oleh

tingginya kegiatan urbanisasi di kota ini, sehingga berdampak pada terjadinya

pertumbuhan penduduk. Peningkatan jumlah penduduk secara cepat dari 8,8 juta

pada tahun 1990 dan diperkirakan menjadi 13,8 juta pada akhir tahun 2010 karena

setiap tahun diperkirakan 200.000 hingga 250.000 migran baru dari luar daerah

memasuki metropolitan. Kondisi ini tentu diikuti dengan peningkatan kebutuhan

rumah yang cukup besar di DKI Jakarta. Dan idealnya peningkatan kebutuhan

Page 7: Paper Backlog

`

rumah seyogyanya juga diikuti dengan peningkatan upaya pembangunan rumah

oleh para stakeholder penyedia perumahan (pemerintah, swasta, dan masyarakat).

Tetapi dengan banyaknya kendala yang dihadapi oleh para stakeholder tersebut

dalam memenuhi kebutuhan rumah menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan

antara jumlah kebutuhan rumah dengan jumlah rumah yang mampu disediakan

oleh para stakeholder tersebut. Dengan jumlah kebutuhan rumah yang jauh lebih

besar dibandingkan dengan jumlah rumah yang mampu disediakan oleh para

stakeholder sehingga terjadilah kekurangan unit rumah (backlog) dalam jumlah

yang relatif besar di DKI Jakarta. Berikut ini ditampilkan data backlog di tiap

wilayah DKI Jakarta.

Tabel 1

Jumlah Backlog Tiap Wilayah DKI Jakarta

No Kotmadya Kebutuhan

Ketersediaan BacklogTermasuk Temporer

Tanpa Temporer

Termasuk Temporer

Tanpa Temporer

1. Jakarta Pusat 179.381 19.136 17.643 160.245 1.4932. Jakarta Barat 341.784 355.880 296.707 -41.096 18.0773. Jakarta Timur 420.707 406.459 369.828 14.248 50.8794. Jakarta

Selatan339.856 309.613 286.743 30.243 53.113

5. Jakarta Utara 316.667 248.723 214.653 67.952 102.0226. Kepulauan

Seribu3.869 3.693 2.409 176 1.460

DKI Jakarta 1.575.272 1.343.504 1.187.983 231.768 227.044Sumber: Data BPS DKI Jakarta, 2004

Keterbatasan sebagian besar masyarakat golongan ekonomi lemah untuk

memenuhi kebutuhan akan rumah, memaksa mereka memenuhinya sesuai dengan

kemampuannya, diantaranya dengan menempati kawasan permukiman kumuh dan

kawasan terlarang (negative list).

Page 8: Paper Backlog

`

Gambar 7Peta Kawasan Kumuh DKI Jakarta

Prosentase luas kawasan permukiman kumuh terhadap luas wilayah DKI Jakarta, dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2Luas Kawasan Permukiman Kumuh di Tiap Wilayah DKI Jakarta

No. Kotamadya Prosentase (%)1. Jakarta Utara 4,702. Jakarta Selatan 2,193. Jakarta Barat 4,534. Jakarta Timur 3,275. Jakarta Pusat 4,33

Sumber: Paper Upaya Pemenuhan kebutuhan PerumahanDi DKI Jakarta,Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman Departement Permukiman dan Prasarana Wilayah

Page 9: Paper Backlog

`

C. Penyediaan Perumahan dan Permukiman di DKI Jakarta

Menurut Chander (1979) dalam Komarudin (1997), lima komponen kebutuhan

rumah adalah:

1. Jumlah unit rumah yang dibutuhkan untuk menurunkan kepadatan (backlog)

2. Rumah yang harus segera diganti (immediate replacement)

3. Rumah yang harus segera diganti sesuai dengan perencanaan (normal

replacement)

4. Rumah yang dibutuhkan karena pertambahan penduduk (new households)

5. Kebutuhan rumah untuk menutupi kekurangan rumah sejak tahun-tahun

sebelumnya (fulfilment of housing deficit)

Dari kelima komponen yang dikemukakan oleh Chander di atas, oleh Pemerintah Daerah

DKI Jakarta dapat dijabarkan dengan dua pendekatan dalam pembangunan perumahan dan

permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah di DKI Jakarta yaitu dengan:

Pembangunan baru yang mengacu pada point 1, 4, dan 5 dari teori

Chander, yang diterjemahkan dengan pembangunan kawasan perumahan-

permukiman baru dengan pola horisontal dan vertikal.

Penataan lingkungan permukiman mengacu pada point 2 dan 3 dari teori

Chander dengan meningkatkan kualitas lingkungan permukiman yang

dinilai sudah menurun menjadi kawasan hunian baru yang lebih baik

dengan cara pelaksanaan program MHT maupun dengan peremajaan

melalui pembangunan rumah susun sederhana.

Dalam menindaklanjuti strategi penyediaan perumahan dan permukiman, Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta telah membuat kebijakan pembangunan rumah bagi warganya dengan

rincian sebagai berikut:

Gambar 8Strategi Pemerintahan Daerah dalam Pembangunan Perumahan dan

Permukiman(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)

Page 10: Paper Backlog

`

Kelangkaan lahan di kota Jakarta ini telah mendorong pemerintah daerah dan swasta untuk

menyediakan hunian warga DKI Jakarta dalam bentuk rumah susun. Proporsi pembangunan

rumah susun oleh pemerintah daerah dan swasta dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Ru

mah

Su

sun

Klasifikasi PEMDA Badan Usaha/

Developer

Jumlah

Mewah 20%* 0 5.600

Menengah 40* 0 11.200

Bawah 40* 3.360 11.200

Jumlah 100* 3.360 28.200

Sumber: *Survey Sosial Ekonomi Nasional Tahun 1990,1993,1996,1999 BPS

D. Kebijakan Terkait Penyediaan Perumahan

Menindaklanjuti pemenuhan perumahan untuk golongan Masyarakat Berpenghasilan

Rendah/Bawah ada baiknya dilakukan program KPRS subsidi dengan model perumahan

berupa RSH. Masalah perumahan dan permukiman, terutama bagi masyarakat berpendapatan

rendah (MBR) dapat dikurangi dengan cara melakukan penguatan swadaya masyarakat dalam

pembangunan rumah melalui pemberian fasilitas kredit mikro bersubsidi perumahan,

fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat, dan bantuan teknis kepada kelompok masyarakat

yang berswadaya dengan melibatkan Lembaga Keuangan Mikro termasuk koperasi.  Secara

empiris dan faktual terdapat beberapa koperasi yang dinilai berhasil dalam mengelola skim

pembiayaan melalui KPRS/KPRS mikro bersubsidi baik pola konvensional maupun pola

syariah.

Sumber pembiayaan formal lainnya yang tersedia antara lain meliputi sektor publik,

kredit mikro untuk perumahan serta dana komunitas. Keuangan sektor publik biasanya

disubsidi dan ditujukan untuk pegawai negeri sipil. Tapi ternyata pada realisasinya, hal

tersebut tidak dapat dijangkau oleh sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan rendah

yang menghuni permukiman informal. Apabila kredit mikro perumahan berorientasi pada

individu, dana komunitas didasarkan pada tabungan oleh grup komunitas. Pentingnya

tabungan dalam dana komunitas tidak dapat dipandang sebelah mata karena pinjaman

diberikan kepada anggota yang memiliki tabungan reguler (Sheuya, 2007).

Page 11: Paper Backlog

`

Untuk menjembatani permasalahan keterbatasan akses MBR terhadap sumber

pembiayaan formal di atas, pemerintah telah membentuk Secondary Mortgage Facility

(SMF) yang berperan dalam menyediakan sumber dana jangka panjang. Sistem ini jauh lebih

efisien dibandingkan dengan sistem pembiayaan bank umum, dikarenakan sistem ini mampu

menghubungkan pasar pembiayaan perumahan dengan pasar modal yang memiliki sumber

dana yang tidak terbatas. Diharapkan sistem pembiayaan perumahan ini nantinya mampu

memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat, termasuk MBR, untuk

memperoleh KPR yang murah. Jika sistem ini telah berjalan dengan baik, di mana pasar

sekunder pembiayaan perumahan Indonesia telah tercipta, maka pasar primer juga otomatis

akan menjadi sangat efisien. Harga rumah menjadi lebih murah dan terjangkau karena

pasokan meningkat. KPR menjadi murah karena tersedia sumber dana yang besar dan

berkelanjutan (sustainable) dari pasar modal. Selain itu, dalam sistem ini dimungkinkan

munculnya lembagalembaga pembiayaan perumahan nonbank (mortgage broker dan

mortgage company) yang dapat bertindak sebagai penyalur (originator) KPR sehingga

masyarakat lebih leluasa melakukan pilihan (Murbaintoro, 2004).

Rully Indrawan (2008) menjelaskan bahwa system dan pola pembiayaan perumahan swadaya

bagi MBR dapat  bersumber dari Lembaga perbankan, lembaga Keuangan Non Bank, Lembaga

Keuangan Mikro di dalamnya termasuk Koperasi, Pemerintah Pusat,Pemerintah Daerah, dan dana

CSR dari BUMS. Di satu sisi pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Perumahan Rakyat sudah

memiliki skim bantuan pembiayaan pembangunan perumahan yang dikelompokkan kedalam 3 (tiga)

skim yaitu skim pembiayaan perumahan formal, perumahan swadaya, dan skim pembiayaan

Rusunami.

Skim pembiayaan perumahan formal untuk pemilikan rumah, Pemerintah menyediakan

fasilitas kredit/pembiayaan KPR bersubsidi konvensional dan KPR Syariah Bersubsidi.  Skim

pembiayaan untuk pemilikan sarusuna Rusunami juga pemerintah memberikan fasilitas KPR

Sarusuna bersubsidi dan KPR Sarusuna syariah bersubsidi. Sedangkan skim pembiayaan untuk

perumahan swadaya pembangunan rumah baru atau perbaikan rumah bagi kelompok MBR adalah

KPRS/KPRS mikro bersubsidi konvensional dan KPRS/KPRS mikro syariah bersubsidi. Realisasi

penerbitan KPRSH bersubsidi berdasarkan jenis pelaksanaan program perumahan formal secara

akumulasi dari tahun 2004 sampai dengan Oktober 2008 berjumlah  425.221 unit, sedangkan untuk

perumahan swadaya dalam periode yang sama berjumlah 65.083 unit.

Melalui program KPRS mikro bersubsidi yang melibatkan LKNB/koperasi.

Pelayanan terhadap kelompok sasaran berhasil diperluas. Tidak hanya melayani masyarakat

berpenghasilan rendah (MBR) disektor formal. Tetapi juga MBR yang bekerja di sektor

informal. Biasanya mereka tidak memiliki akses kredit karena berpenghasilan tidak pasti,

Page 12: Paper Backlog

`

tidak mempunyai slip gaji dan bahkan kebanyakan tidak memiliki tanah bersertifikat sehinga

dipandang nonbankeble.

Bentuk bantuan yang diberikan berupa dana untuk membangun yang penyalurannya

dilakukan melalui lembaga keuangan mikro (LKM) atau LKNB/koperasi setempat. Dana

tersebut merupakan hibah dari pemerintah yang apabila disepakati bersama oleh para pihak

dapat digulirkan sehingga mungkin membantu masyarakat secara bergiliran. Potensi lembaga

pebiayaan tersebut khususnya BPR dan LKNB/koperasi dalam. Pembiayaan pembangunan

perumahan secara swadaya sangat besar. Selain keberadaannya yang sangat dekat dengan

masyarakat, juga fokus bisnisnya yang cenderung membantu sebagian pembiayaan

pembangunan/perbaikan rumah yang dilakukan secara swadaya.

Penyediaan KPR membutuhkan dana yang besar dan bersifat jangka panjang (5 s/d 20

tahun). Penyediaan sumber dana KPR ini masih mengandalkan dana jangka pendek yaitu

giro, tabungan dan deposito. Bagi masyarakat mampu, membeli rumah dapat dilakukan

secara tunai. Namun bagi kebanyakan orang, pembelian rumah dilakukan secara angsuran

setelah membayar uang muka. Untuk keperluan pembelian secara angsuran ini, telah

dikembangan fasilitas KPR. KPR adalah kredit berjangka panjang yakni 5-20 tahun,

sementara sumber dana yang ada seperti: giro, tabungan, deposito dan obligasi pada

umumnya berjangka waktu pendek dan menengah. Bank yang membiayai KPR dengan

mengandalkan sumber-sumber dana jangka pendek tersebut dengan demikian berpotensi

mengalami permasalahan maturity mismatch antara sumber dan penggunaan dana.

Khusus untuk membantu memenuhi kebutuhan RSH yang layak huni dan terjangkau

oleh MBR, Pemerintah melaksanakan program KPR bersubsidi. KPR bersubsidi dirintis

tahun 1976 dan terus dilaksanakan sampai saat ini. Melalui program ini, telah lebih dari 1,76

juta keluarga mempunyai rumah sedehana. Pemberian subsidi merupakan salah satu upaya

agar masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah bisa memiliki rumah yang layak.

Di negara maju subsidi perumahan tetap disediakan. Dahulu dana KPR bersubsidi berasal

APBN, kredit BI, pinjaman luar negeri, dan rekening dana investasi yang disediakan oleh

Pemerintah kepada bank pelaksana KPR bersubsidi. Oleh bank pelaksana KPR bersubsidi

dana-dana tersebut dicampur dengan dana pihak ke tiga dengan komposisi sesuai dengan

ketentuan Pemerintah. Sejak tahun 2002, karena keterbatasan kemampuan keuangan,

Pemerintah mengganti pola KPR bersubsidi dengan pola subsidi selisih bunga. Pada pola ini,

Pemerintah memberikan subsidi bunga senilai selisih antara angsuran bunga pasar dengan

angsuran bunga subsidi yang diberikan kepada peminjam dalam jangka waktu tertentu (4 s/d

10 tahun). Dana yang digunakan untuk pembiayaan KPR bersubsidi dengan pola ini

Page 13: Paper Backlog

`

merupakan dana yang dicari sendiri oleh bank pelaksana di pasar dengan suku bunga pasar,

seperti penghimpunan dana pihak ketiga (giro, tabungan dan deposito) dan dana dari pasar

modal (obligasi, dll).

Berdasarkan data Bank Indonesia, kredit perbankan yang dikucurkan untuk

membiayai properti selama tahun 2000-2004 adalah sekitar Rp. 30,7 Triliun, yang terdiri dari

kredit konstruksi Rp. 6,6 Triliun, kredit real estate Rp. 3,7 Triliun dan KPR Rp. 20,3 Triliun.

Terhadap total kredit yang dikucurkan perbankan, kredit untuk properti hanya 27% saja,

sisanya dari masyarakat tanpa melalui perbankan, antara lain dari keluarga, majikan,

koperasi, atau sumber-sumber lain. Secara keseluruhan persentase kredit untuk perumahan di

Indonesia masih rendah, sedang di negara maju kredit perumahan merupakan bagian terbesar

dari total kredit yang diberikan perbankan.

Page 14: Paper Backlog

`

DAFTAR PUSTAKA

Darwanto, Herry. 2007, “PermasalahanPenyediaan Perumahan Sederhana Sehat”,

http://hdarwanto.blogspot.com/2007/09/permasalahan-penyediaan-rumah-

sederhana.html [online], Diakses Tanggal: 14 April 2011

Dhenov, 2008, “Permukiman Masyarakat Berpenghasilan Rendah Di Indonesia”,

http://dhenov.blogspot.com/2008/01/permukiman-masyarakat-berpenghasilan.html

[online], Diakses Tanggal: 13 April 2011

Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta.2010. Kondisi Perumahan dan Permukiman di

Jakarta. Diakses 12 April 2011.<http://www.scribd.com/doc/36918683/perumahan-

permukiman-di-DKI-Jakarta>

Gustan, Edy, 2009, “Pemda Harus Aktif Cari Dana Pembangunan Rumah”, Vivanews, Maret,

http://nasional.vivanews.com/news/read/41032-

pemda_harus_aktif_cari_dana_pembangunan_rumah [online], Diakses Tanggal: 13

April 2011

Indrapinusgenerasi, 2011, “Faktor Determinanterhadap Keberhasilan Pembangunan

Perumahan Swadayamelalui Koperasi”,

http://indranurhayat.wordpress.com/2011/01/18/faktor-determinan-terhadap-

keberhasilan-pembangunan-perumahan-swadaya-melalui-koperasi/ [online], Diakses

Tanggal: 14 April 2011

Jenggoten. 2009, Definisi Rumah dan Perumahan,

http://jenggoten.blogspot.com/2009/10/definisi-perumahan-dan-rumah.html [online],

diakses tanggal 13 April 2011.

Pikiran rakyat, 2009, Stamina ekstra menghadapi Baclog,

http://klipingut.wordpress.com/2009/11/30/stamina-ekstra-mengatasi-backlog/

[online]. Diakses Tanggal: 13 April 2011.

Rangkuti, Yulita R. 2009, “ Penghuni Perumahan Veertikal”, PROSES, Edisi 2, Tahun 2009,

hal 11-16

Setyawan, Budhi. 2006. “Penanganan Perumahan dan Permukiman Liar Di Wilayah Kota

Bekasi”, http://digilib.its.ac.id/detil.php?id=272 [online], Diakses Tanggal: 14 April

2011

Page 15: Paper Backlog

`

Suherlan, Dhani. 2009, “Angka-angka Panangian Simanungkalit”, PROSES, Edisi 1, Tahun

2009, hal 3-4

Zulfan,1990;1

Budiharjo, 1997:57

KSNPP, 2002