9
'l'rosicfillg Terte11l11all Ifmiali Talilillall 2016 l'usat Te~llo{ogi nadloisotoy cfan 1\adlofarma~a (TT1{1\), 'BAT.J't:N Tangerang Se{atall, 3 Novem6er 2016 ISSN : 2087 : 9652 PELABELAN ISOTOP 32p DAN 3H UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS PENY AKIT AKIBAT INFEKSI MIKROORGANISME Mukh Syaifudin dan Zubaidah Alatas Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, BA TAN Kawasan Nuklir Pasar Jumat-Jakarta Email: [email protected] ABSTRAK PELABELAN ISOTOP 32p DAN 3H UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBA T INFEKSI MIKROORGANISME. Diagnosis yang akurat merupakan langkah penting dalam pengendalian penyakit infeksi seperti tuberkulosis (TB) dan malaria, dimana keduanya akibat infeksi mikroorganisme yang menyebabkan tingginya jumlah kematian. Pada kasus TB resistensi bakteri terhadap obat dapat menyebabkan penanganan pasien yang lebih berat, sedangkan pada kasus malaria kesalahan diagnosis mikroskopis dapat mengarah ke akibat yang fatal. Karena itu adalah penting bahwa metode yang tepat dan cepat untuk diagnosis dikembangkan seperti pelabelan isotopik dengan 32p dan 3H. Dalam penelitian ini 15 sampel sputum dari pasien terduga TB dan 20 darah malaria terinfeksi P. falciparum telah diuji. Penelitian menunjukkan bahwa pelabelan DNA M. tuberculosis dengan 32p pada metode single strand conformational polymorphism (SSCP) untuk mengkaji resistensi berbasis perubahan mobilitas pita DNA pada gel poliakrilamid sangat membantu memperoleh diagnosis yang relatif lebih akurat. Di lain pihak inkorporasi hipoksantin berlabel 3H pada parasit dalam kultur in vitro pada penentuan persentase infeksi eritrosit pasca iradiasi dengan metode low scintillation counter (LSC) juga membantu mendapatkan diagnosis yang lebih baik. Kami menyimpulkan bahwa meskipun memiliki beberapa keterbatasan metode pelabelan memiliki peran khusus dalam menegakkan diagnosis. Kata kunci : Pe/abelan, 32p, 3B, lliberklilosis, malaria, diagnosis ABSTRACT 32p DAN 3H ISOTOPIC LABELING TO SUPPORT THE DIAGNOSIS OF DISEASES CAUSED BY MICROORGANISMS INFECTION. An accurate diagnosis is an important tool in the effective control of infectious diseases such as tuberculossi (TB) and malaria, both of which are caused by microorganisms infection that lead to high number of deaths. In case of TB the resistance of bacteria to the drugs may have caused the harder management of the patients, whereas in case of malaria the microscopic misdiagnosis may have led to fatal consequences. Due to these limitations, it is important that a reliable and rapid method for diagnosis is developed such as isotopic labeling with 32p and 3H. In our research 15 samples of sputum of TB suspected patients and 20 P. falciparum infected blood of malaria were tested. Research showed that the 32p labeling of DNA of M. tuberculosis in single strand conformational polymorphism (SSCP) method to assess the resistance based on the mobility shift of DNA band on acrylamide gel helped to obtain relatively more accurate diagnosis. On other hand 3H labeled hypoxanthine incorporation to parasites in in vitro culture in the determination of percentage of erythrocyte infection post irradiation using low scintillation counter (LSC) method also have helped to obtain more accurate diagnosis. We Mukh Syaifudin, dkk. 137

PELABELAN ISOTOP 32p DAN UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS …

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PELABELAN ISOTOP 32p DAN UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS …

'l'rosicfillg Terte11l11allIfmiali Talilillall 2016

l'usat Te~llo{ogi nadloisotoy cfan 1\adlofarma~a (TT1{1\), 'BAT.J't:NTangerang Se{atall, 3 Novem6er 2016

ISSN : 2087 : 9652

PELABELAN ISOTOP 32p DAN 3H UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS PENY AKITAKIBAT INFEKSI MIKROORGANISME

Mukh Syaifudin dan Zubaidah Alatas

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, BA TANKawasan Nuklir Pasar Jumat-Jakarta

Email: [email protected]

ABSTRAK

PELABELAN ISOTOP 32p DAN 3H UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS PENYAKIT

AKIBA T INFEKSI MIKROORGANISME. Diagnosis yang akurat merupakan langkah pentingdalam pengendalian penyakit infeksi seperti tuberkulosis (TB) dan malaria, dimanakeduanya akibat infeksi mikroorganisme yang menyebabkan tingginya jumlah kematian.Pada kasus TB resistensi bakteri terhadap obat dapat menyebabkan penanganan pasienyang lebih berat, sedangkan pada kasus malaria kesalahan diagnosis mikroskopis dapatmengarah ke akibat yang fatal. Karena itu adalah penting bahwa metode yang tepat dancepat untuk diagnosis dikembangkan seperti pelabelan isotopik dengan 32p dan 3H. Dalampenelitian ini 15 sampel sputum dari pasien terduga TB dan 20 darah malaria terinfeksi P.falciparum telah diuji. Penelitian menunjukkan bahwa pelabelan DNA M. tuberculosis

dengan 32p pada metode single strand conformational polymorphism (SSCP) untuk mengkajiresistensi berbasis perubahan mobilitas pita DNA pada gel poliakrilamid sangat membantumemperoleh diagnosis yang relatif lebih akurat. Di lain pihak inkorporasi hipoksantin berlabel3H pada parasit dalam kultur in vitro pada penentuan persentase infeksi eritrosit pascairadiasi dengan metode low scintillation counter (LSC) juga membantu mendapatkandiagnosis yang lebih baik. Kami menyimpulkan bahwa meskipun memiliki beberapaketerbatasan metode pelabelan memiliki peran khusus dalam menegakkan diagnosis.

Kata kunci : Pe/abelan, 32p, 3B, lliberklilosis, malaria, diagnosis

ABSTRACT

32p DAN 3H ISOTOPIC LABELING TO SUPPORT THE DIAGNOSIS OF DISEASESCAUSED BY MICROORGANISMS INFECTION. An accurate diagnosis is an important toolin the effective control of infectious diseases such as tuberculossi (TB) and malaria, both ofwhich are caused by microorganisms infection that lead to high number of deaths. In case ofTB the resistance of bacteria to the drugs may have caused the harder management of thepatients, whereas in case of malaria the microscopic misdiagnosis may have led to fatalconsequences. Due to these limitations, it is important that a reliable and rapid method fordiagnosis is developed such as isotopic labeling with 32p and 3H. In our research 15 samplesof sputum of TB suspected patients and 20 P. falciparum infected blood of malaria weretested. Research showed that the 32p labeling of DNA of M. tuberculosis in single strandconformational polymorphism (SSCP) method to assess the resistance based on the mobilityshift of DNA band on acrylamide gel helped to obtain relatively more accurate diagnosis. Onother hand 3H labeled hypoxanthine incorporation to parasites in in vitro culture in thedetermination of percentage of erythrocyte infection post irradiation using low scintillationcounter (LSC) method also have helped to obtain more accurate diagnosis. We

Mukh Syaifudin, dkk. 137

Page 2: PELABELAN ISOTOP 32p DAN UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS …

'ProsidilJg TertemllalJ Hmiafi Tafillnan 2016

'Pusat Tefmo[ogi 1\adloisotoy dan 1\adiofarma/.ia (l'T1\1Z),'BATA.NTangerang Se[atal1,3 Novemver 2016

ISSN : 2087 : 9652

conclude that even though has some limitations the labeling method has a special role in theuphold of diagnosis.

Key words: Labeling, 32p, 3H, tuberculosis, malaria, diagnosis

PENDAHULUAN

T uberkulosis (TB) merupakan tantanganutama di bidang kesehatan masyarakatglobal. Di tahun 2014, sebanyak 6,3 juta

kasus TB dicatat oleh Badan Kesehatan Dunia(World Health Organization) [1,2]. Indonesiamerupakan salah satu negara denganprevalensi TB tertinggi, dengan 430.000 kasusbaru tercatat setiap tahun, dan diperkirakan1,9% diantara kasus baru diketahui resisten(kebal) terhadap beberapa obat (multi-drugresistance, MDR) [3,4]. Resistensi ini dapatdisebabkan oleh pengobatan yang tidak tepat,ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat,adanya infeksi human immunodeficiency virus[5] dan secara genetika disebabkan karenamutasi gen atau akuisisi dari gen lain [6,7].Namun kematian TB telah menurun 47% sejak1990 setelah penerapan semua usahaperbaikan dalam penanganan penyakit sejak2000, dan ketika Millennium Development Goals(MDG) diterapkan dimana diagnosis danpengobatan yang efektif telah menyelamatkansekitar 43 juta penderita antara tahun 2000 dan2014 [8,9].

Di lain pihak malaria akibat infeksiterutama oleh parasit P. falciparum merupakansalah satu masalah kesehatan paling besardengan sekitar 1 miliar kasus yangmenyebabkan 1-3 juta kematian per tahun [10].Di Indonesia, malaria termasuk masalahkesehatan masyarakat utama dengan jumlahkematian sekitar 700 setiap tahun. Jumlahkasus paling tinggi berada di propinsi-propinsitimur Indonesia khususnya Papua [11].Pemerintah dengan berbagai upayamenargetkan Indonesia bebas malaria pada2030 antara lain dengan menerapkan diagnosisyang baik [12,13].

Berbagai cara telah dilakukan untukmenanggulangi penyakit infeksi antara laindengan survey kesehatan rumah tangga,vaksinasi, peningkatan mutu pelayanan, danpenyehatan lingkungan. Salah satu usaha untukmeningkatkan mutu pelayanan penderita sepertidi rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainadalah dengan cara menegakkan diagnosis

Mukh Syaifudin, dkk.

sedini/secepat mungkin terhadap penyakit agardapat dilakukan pengobatan penderita secaracepat sehingga kematian dapat dicegah [14].Untuk ujildiagnosis resistensi konvensionalbakteri TB terhadap obat yang memerlukanwaktu sekitar 3-4 minggu dapat diganti denganmetode molekuler seperti SSCP [15] untukmengetahui mutasi gen seperti rpoB, katG, inhA,ahpC, kasA terkait obat rifampin dan isoniazidyang ditunjukkan oleh perubahan mobilitas pitaasam deoksiribonukleat pada gel poliakrilamiddibandingkan dengan kontrol [16]. Metodemolekuler memerlukan waktu lebih pendek yakni2-3 hari. Metode ini dapat dipertinggi kualitasnyaantara lain dengan pelabelan asamdeoksiribonukleat (DNA) menggunakan isotopseperti 32p dan dilanjutkan dengan teknikautoradiografi [17,18]. Sementara itupemeriksaan mikroskopis apusan tipis malariayang diwarnai Giemsa masih merupakandiagnosis pilihan (gold standard) karena mudahdan murah, tetapi risikonya dapat terjadikesalahan diagnosis karena kurangnyaketerampilan dan pengalaman pemeriksa[19,20]. Oleh karena itu perlu dikembangkanmetode pemonitoran perkembangan parasitsecara in vitro antara lain berbasis inkorporasihipoksantin yang dilabel 3H oleh parasit untukbioaktivitasnya [21-23].

Radioaktivitas dapat digunakan dalamilmu biologi (life, sciences) sebagai suaturadiolabel untuk memvisualisasi komponen ataumolekul sasaran dalam suatu sistem biologi.Beberapa radionuklida dibuat dalam pemercepatpartikel dan memiliki waktu pendek (sepertipospor-32) yang membuat aktivitas spesifiknyamaksimum. Hal ini memperpendek waktudeteksi dibandingkan dengan radionuklidaberumur lebih panjang seperti karbon-14. Dalampenelitian ini disajikan hasil pemanfaatansenyawa (dCTP berlabel 32p dan hipoksantinberlabel 3H) berlabel radionuklida untukmendukung diagnosis penyakit infeksi TB danmalaria. Struktur kedua senyawa diperlihatkanpada Gambar 1.

138

Page 3: PELABELAN ISOTOP 32p DAN UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS …

1'rosidl11g 1'ertemuan lfinia/1 Ta/1unan 2016

1'usat TeRno{ogi nadioisotoy aannadlofarmaRa (1'Tnn), BYtT.ANTangerang Se{atan, 3 November 2016

ISSN : 2087 : 9652

o

HlN

Gambar 1. Struktur molekul dCTP berlabel 32p (atas)dan hipoksantin berlabel 3H (bawah).

METODOLOGI

Uji resistensi M. tuberkulosis dengan SSCPradioaktif

Sampel klinis dan isolasi DNALima belas sam pel sputum diperoleh

dari pasien rawat jalan yang menjalanipemeriksaan TB berdasarkan hasil diagnosisbasil tahan asam positif dengan pewarnaanZiehl-Neelsen. Isolasi DNA dari spesimen klinisdilakukan.dengan prosedur seperti telah ditinjausebelumnya [24,25]. Lima ratus mikrolitersputum dicampur dengan volume sama larutanN-acetyl L-cysteine NaOH-Na-sitrat dalamtabung mikrosentrifus streril, dikocok denganhorizontal gyrotary shaker selama 20 menitpada 420 rpm, kemudian disentrifus selama 10menit pada 12.000 rpm. Setelah dicuci denganakuades steril dua kali, pada pelet ditambahkan100 IJI larutan Tris-EDT A (TE), 900 IJI larutanpelisis dan 20 IJI Diatom kemudian dikocokkembali dengan shaker selama 10 menit pada100 rpm dan disentrifus selama 2 menit pada12.000 rpm. Setelah dicuci 2 kali dengan bufferpencuci dan etanol 70% dingin dan satu kalidengan aseton, pelet dikeringkan pada 56°C. Kedalam pelet, ditambahkan 50 IJI larutan TE

Mukh Syaifudin, dkk.

kemudian diinkubasi pada 56°C selama10 menit. Setelah disentrifus, supernatan yangdiperoleh digunakan sebagai template DNA.Seluruh prosedur inokulasi dan ekstraksi DNAdilakukan dalam Biological Safety Cabinet(BSC) class II.

Amplifikasi DNA M. tuberculosis denganPCR dengan primer MF-MR.

Sepasang primer oligonukleotida yangmengamplifikasi fragmen DNA berukuran 342bp yakni MF: 5'-CGA CCA CTT CGG CAA CCG­3'; dan MR: 5'-TCG ATC GGG CAC ATC CGG­3' (Genotech Corporation Korea). Amplifikasidilakukan dengan mencampur 3-5 IJI templateDNA dengan 20 pmol masing-masing primer kedalam tabung PCR-Premix (AccuPower PCR;Bioneer, Chungbuk, Korea). Kontrol positifadalah DNA dari strain standard M. tuberculosis

(H37Rv) dan kontrol negatif adalah akuadest.Siklus amplifikasi dilakukan pad a automatedthermal cycler (Bio Rad). Ditambahkan 1 IJL(0,1 IJCi) [gamma-32P] dCTP (AmershamInternational) ditambahkan ke dalam campuranreaksi serta dilakukan PCR dengan profil siklusmeliputi denaturasi awal 95°C selama 5 menitdiikuti 30 siklus yang terdiri dari denaturasi pada95°C selama 30 detik, annealing pada 60°Cselama 30 detik, dan ekstensi primer pada nocselama 45 detik dan ekstensi akhir pada nocselama 5 menit. Pendeteksian ada tidaknyaamplifikasi DNA dilakukan dengan elektroforesispada 1,5% agarose (Sigma) yang dilarutkandalam 1,OX Tris-Acetate-EDTA (TAE)mengandung etidium bromida (0,5 IJg/ml) dandivisualisasi pada panjang gelombang 260 nmUV transilluminator.

Analisis mutasi gen dengan SSCP radioaktif.Enam mikroliter produk PCR berlabel

32p radioaktif hasil amplifikasi PCR dicampur"dengan 2 IJI SSCP loading dye dan 4 IJIformam ide 95% (Biorad) yang mengandungdena-turant urea (Biorad) dalam tabungmikrosentrifus 1,5 mL. Sam pel dipanaskandalam air mendidih (95°C) selama 4-5 menit,kemudian diletakkan diatas es serta di-Ioadpada gel 0.5X Mutation Detection Enhance-ment(MDE) (BMA, Rockland, ME, USA).Elektroforesis dilakukan dengan sistem proteksiradiasi pad a 110V suhu kamar selama 2 jam.Gel MDE diambil dengan menempelkan kertaspenyaring Whatman, ditutup dengan plastik

139

Page 4: PELABELAN ISOTOP 32p DAN UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS …

1)rosiaing 1)ertemua11 Ifmiafi Tafiu11an 2016Pusat TeR11o{ogi1{adloisot(!p aan 1{aaiofarmaRa (PTR1{), BATANTangerang Se{ata11, 3 November 2016

ISSN : 2087: 9652

saran wrap dan selanjutnya dikeringkan denganvakum-panas (Rapid Dry, AHo, Japan) selama 1jam. Gel diletakkan dalam kaset khusus (Fuji,Japan), di atasnya diletakkan film sinar-X(Kodak) kemudian disimpan pad a suhu -80°Cselama 24 jam atau sampai 2 hari. Film dicetakdengan Fuji Medical Processor.

Uji perkembangan parasit malaria denganinkorporasi 3H-hipoksantin

Kultur in vitro P. falciparumP. falciparum strain 3D7 (diperoleh dari

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta)dikultur sesuai prosedur standard pad a cawanpetri atau tabung kultur Nunc 50 ml [24]. Parasitditumbuhkan dengan aliquot suspensi eritrosit 4ml 10% medium RPMI 1640 yang diperkayadengan natrium bikarbonat 21 mM, bufferHEPES 25 mM dan serum manusia 5% dandiinkubasi pada 37°C. Medium diganti setiap 24jam sekali dan jika parasitemia mencapai 6­10%, kultur diencerkan hingga sekitarparasitemia 0,2% dengan suspensi eritrositmanusia dan dialiquot untuk diiradiasi gammadosis tertentu dan dikultur kembali, sebagiankultur yang tidak diiradiasi disimpan dalamnitrogen cair sebagai stok.

Uji inkorporasi 3H-hipoksantinKultur parasit non sinkron pada kondisi

parasitemia awal 0.5-1.1 % diletakkan dalamwadah (cawan) dan diiradiasi sinar gamma(sumber 60CO) pada Fasilitas Iradiasi PAIRBAT AN dosis 0, 150, 175 dan 200 Gy (Iajudosis 380 Gy/jam). Setelah 2 !-ICi of 3H­hypoxanthine (Amersham Biosciences, France)ditambahkan ke dalam medium, 100 !-IL kulturdiambil pada jam-jam ke 2-170 pasca awalkultur, dan kemudian dicampur dengan 10 mLlarutan cocktail (LLT Ultima Gold™, PE) dandicacah dengan Low Scintillation Counter (LSC,1220 Ultralow Level, Perkin Elmer) selama 1jam untuk menentukan aktivitas tritium yangterinkorporasi pad a parasit. Pencacahandilakukan bersama larutan standard dan blanko.Sebagai larutan standard adalah larutan cocktail(LL T Ultima Gold™, PE) yang ditambah 2 !-ICi3H-hypoxanthine dan sebagai blangko adalahlarutan air. Kultur juga diambil untuk dibuatapusan tipis, diwarnai Giemsa dan ditentukanparasitemianya secara mikroskopis. Ditentukanpersentase sel eritrosit yang terinfeksi parasit diantara 4000-5000 sel yang dihitung.

Mukh Syaifudin, dkk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deteksi resistensi M. tuberculosisBukti genotipik yang diduga

menyebabkan resistensi M. tuberculosisterhadap obat rifampin diperoleh denganmembandingkan mobilitas pita untai tunggalDNA pada gel akrilamid dengan pita kontrol.Dalam penelitian ini untuk pewarnaan EtBr (nonradioaktif) terlihat adanya perubahan pita pad a 2(20%) dari 10 sam pel hasil PCR positif yangdiuji dan diduga mengandung mutasi gen rpoBpenyebab resistensi RIF (nomor 9 dan 10)berbasis primer MF-MR (Gambar 2). Pita untukkontrol (positive control, PC) masih terlalu tebaldibandingkan dengan sam pel yang diuji.

Hasil analisis mutasi dengan SSCPradioaktif yang menunjukkan perubahanmobilitas pita DNA dengan pita DNA kontrolpositif yang jauh lebih jelas seperti ditunjukkandalam Gambar 3. Namun pita DNA hasil autora­diografi ini masih terlalu tebal dan smeared,sehingga perlu ditentukan konsentrasi templateDNA, atau volume dCTP berlabel yangditambahkan, maupun waktu pemaparan film,sehingga hasil ini masih dikatakan relatif lebihbaik dibandingkan lainnya. Pada sam pel nomor9 terlihat pita yang sangat tebal yang didugakarena kandungan DNA hasil amplifikasi PCRyang tinggi. Oleh karena itu penting untukmengukur konsentrasi DNA amplikon sebelumdianalisis SSCP.

Dari seluruh sampel yang dianalisis, duasam pel diduga mengandung mikobakteriresisten terhadap rifampisin. Namun hal ini perludianalisis lebih lanjut dengan sekuensing untukmemastikan jenis mutasinya (perubahan basayang terjadi). Di samping itu perlu dikemukakanbahwa sam pel yang positif tersebut belum tentutidak memiliki mutasi gen rpoB pada kodon lain,karena kontrol positif yang digunakan hanyamenunjukkan mutasi pad a kodon' 526 yangmungkin ukuran produk PCR-nya sama denganproduk ini.

140

Page 5: PELABELAN ISOTOP 32p DAN UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS …

'Prosidlng Pertenlllall Jlilliafi 'Tafiunan 2016

l'usat 'TeRno(ogi Radloisotoy aan 'RaaiofarmaRa (P'T1{R), 13.J'\'T..AJV

'Tangerang Se(atan, 3 November 2016

JSSN : 2087 : 9652

5 9 10 11 14 17 20 25 27 29 PCUji inkorporasi 3H-hipoksantin

Untuk uji inkorporasi hipoksantinberlabel 3H pada parasit dalam kultur in vitropada penentuan persentase infeksi denganmetode

4

Gambar 2. Hasil visualisasi gel SSCP non radioaktif(diwarnai dengan EtBr) yang menunjukkan pita-pitaDNA. Nomor 5-29 adalah nomor sampel, PC: kontrolpositif.

5 9 10 11 14 17 20 25 27 29 PC

­!I'I

~ 3.5x:2 3a..e. 2.5E 2:::I

~ 1.5•..~ 1•..:~ 0.5

~ 0

~OGy

_150 Gy175 Gy

~200Gy

2 3 20 24 116 143 170

Pasca penambahan >H-hypoxanthine (jam)

Gambar 3. Hasil autoradiografi gel SSCP radioaktif(dengan pelabelan isotopik) yang menunjukkan pita­pita DNA. Nomor 5-29 adalah nomor sampel, PC:kontrol positif.

Resistensi M. tuberculosis terhadapobat sangat mempengaruhi penyebaran TB.Penanganan kasus yang kurang baik terutamaprosedur diagnosis standard khususnya untukuji resistensi dan pengobatan seringkali tidakdiikuti dengan baik, disamping penggunaanmetode konvensional yang- perlu waktu lama dibeberapa laboratorium dengan fasilitas yangmasih terbatas. Implementasi metode molekuleryang handal untuk uji resistensi ini dapatmembantu survei dan mendeteksi resistensiobat, serta mengidentifikasi pasien resisten obatganda (multi-drug resistance TB) dengan lebihcepat dan sensitif/spesifik [1-3]. Oleh karenaitulah PTKMR BATAN telah mengembangkanmetode berbasis teknik nuklir (SSCP radioaktif)untuk membantu menangani permasalahanbesar ini yang ternyata lebih sensitif, sehinggasangat membantu memperoleh diagnosis yanglebih akurat. Peneliti lain juga mengembangkanmetode SSCP-radioaktif untuk uji resistensibakteri TB [24].

Mukh Syaifudin, dkk.

Gambar 4. Persentase parasitemia yang ditunjukkanoleh aktivitas tritium pada waktu-waktu Uam) pascapenambahan 3H-hipoksantin pada kultur in vitro P.fa/ciparum 307 yang diiradiasi gamma dosis 0(kontrol), 150, 175 dan 200 Gy.

LSC setelah parasit diiradiasi gamma untukbahan vaksin juga membantu mendapatkandiagnosis yang lebih baik. Hasilnya disajikanpada Gambar 4 dimana terlihat bahwa parasityang diiradiasi gamma dosis 150 Gy palinglambat pertumbuhannya (persentasenya palingrendah selama waktu-waktu pengamatan) yangditunjukkan oleh rendahnya aktivitas tritium [26].Hasil iradiasi optimal 150 Gy ini sesuai denganmetode non isotopik atau berdasarkanpengamatan mikrokopik apusan darah tipis.

Isotop dapat dimanfaatkan sebagaiperunut (tracer) yang merupakan suatu teknikyang digunakan untuk mendapatkan informasiperilaku dari obyek dengan cara menandaiobyek tersebut dengan suatu bahan tertentu.Dalam penelitian ini digunakan isotop 32p yangmemiliki waktu paruh 14 hari yangmemungkinkan untuk melabel DNA denganaktivitas spesifik sangat tinggi. Ini berarti bahwasejumlah kecil produk berlabel akanmenghasilkan sejumlah besar disintegrasiradioaktif per menit. Satu keunggulan dari 32padalah isotop ini akan menghasilkan berkaspenetrasi partikel beta (elektron) yangmemunculkan pita yang lebih lebar padalembaran film [27].

141

Page 6: PELABELAN ISOTOP 32p DAN UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS …

1'rosiaing 1'ertelJlllan I{jniafi Tafiu11a11 20161'usat TeRnO(ogi 1{adloisotoy aan 1{£1aiofarmaRa (1'T1{1{), B.JlT.Jl.NTangerang Se(atan. 3 .Novenlber 2016

ISS.N : 2087 : 9652

Sensitivitas dan spesifisitas merupakanhal yang mendesak dalam identifikasimikroorganisme karena hasil negatif salah (falsenegative) akan menyebabkan tidak perlunyapengobatan yang mungkin berakibat fatal dansebaliknya hasH positif salah (false positive)akan menyebabkan pasien mengkonsumsi obatyang tidak perlu dengan risiko efek sam ping dantingginya biaya. Kesalahan diagnosis dapatberakibat fatal [28]. Oleh karena itu diperlukanmetode yang efektif dan efisien seperti deteksiantigen, uji berbasis fluoresen danmemungkinkan identifikasi lebih cepat dan lebihdekat dengan pasien [29]. Metode berbasis PCRtelah terbukti memiliki nilai klinis pada beberapasituasi tertentu [30]. Kesalahan negatif palsudalam diagnosis penyakit akibat infeksi malariadapat menyebabkan risiko penularan yangterus-menerus, penderita akan beresiko menjadimalaria berat, dan akan kehilangan pendapatanselama sakit serta pengeluaran biaya yang terusmeningkat untuk pengobatan. Begitu pulahalnya jika terjadi salah identifikasi infeksi gandamenjadi satu spesies.

Banyak metode berbasis radioisotoptelah digunakan untuk riset dan diagnosispenyakit pada manusia dan hewan. Meskipunbanyak metode alternatif lain, radioisotop tetapdidedikasikan oleh penggunanya dan dapatmemberikan hasil yang lebih baik, karenabeberapa hal yakni sensitivitas, spesifitas, danbiaya. Karena sensitivitasnya, teknik radioisotopdimungkinkan untuk mendeteksi konsentrasiserendah 0,1 pikogram (pg) DNA target, probe(pelacak DNA)yang dilabel dengan isotopseperti 32p berperan penting dalam hibridisasiDNA, suatu .teknik biologi molekuler yangdipakai secara meluas. Produk berlabel isotopdapat memberikan hingga kira-kira 125 kali lebihtinggi dalam sensitivitas dibanding pewarnaandengan etidium bromida, dengan maksimum625 kali sensitivitasnya jika dipaparkan selama 3hari. Sensitivitas probe berlabel radioisotopmenunjukkan 10 kali hingga 50 kali lebih tinggidaripada probe berlabel biotin; dan 100 kali lebihtinggi daripada probe berlabel alkalin-pospatase.Perbedaan ini memberikan kelebihan yangkrusial jika hanya sangat sedikit jumlah kopiDNA yang harus dideteksi dengan teknik sepertihibridisasi in situ [27].

Pelabelan isotopik juga memberikanrasio signal to noise yang lebih baik danspesifisitasnya lebih tinggi daripada pelabelanfluoresen atau enzimatik. Sinyal yang kuat dan

Mukh Syaifudin, dkk.

unik yang diemisikan senyawa berlabelradioisotop lebih menonjol dibandingkan latar(background), sedangkan sinyal dari pelacakfluoresent merupakan foton spektrum yangterlihat (visible), yang dapat memunculkaninterferan yang non-spesifik. Lebih jauh, jikaradioisotop dikaitkan dalam teknik seperti ujimobilitas, mereka akan mempertinggikedapatbacaan (readability) dan interpretasihasil. Teknik lain seperti pewarnaan perak yangdigunakan untuk teknik single strandconformational polymorphism (SSCP) dalampenelitian onkologi, juga mempunyai kendalaberupa hasil warna latar yang kurang baik.Analisis biaya juga menunjukkan bahwa untukhibridisasi radioisotopik lebih murahdibandingkan dengan metode berbasis pelacak(probe) non-radioisotopik. Juga membran nilondapat dipakai ulang untuk hibridisasi. Probedapat diambil lagi dari membrane setelahautoradiografi, dan re-probing dilakukan denganprobe label radioisotop yang lain. Jadi berbagaimacam metode telah digunakan untuk diagnosispengobatan TB antara lain seperti sistem BactecMGIT 960 [31], rela-time PCR [32], pewarnaanAgN03 [33], PCR-RFLP [34], dan lainsebagainya, yang masing-masing memilikikelebihan dan kekurangan.

Dalam penelitian Inl digunakanradioisotop yang pelaksanaannya memilikikelemahan atau kekurangan yakni adanya risikoterkena paparan baik eksterna maupun internayakni bahaya inheren. Untuk 32p yangmerupakan isotop pengarah tulang (boneseeker), maka perhatian khusus harus dilakukanuntuk meminimalkan masuknya senyawatersebut ke dalam tubuh. Di sam ping itukontaminasi udara yang dihasilkan akibat prosespemanasan atau pengeringan, pendidihan atautercecernya larutan dari alat suntik atau tipspipet, pemonitoran radiasi personil diperlukanjika menangani isotop dengan aktivitas melebihi1 mCi. Sangat disarankan untuk menggunakanperalatan proteksi yang mamadai. perisaiberdensitas rendah (nomor atom rendah) danmenekan munculnya sinar-X Bremsstrahlungseperti plexiglass, akrilik, lusit, plastik, kayu,atau air [35].

KESIMPULAN

Disimpulkan bahwa pelabelan isotopikpad a diagnosis penyakit infeksi TB dan malariayakni uji resistensi M. tuberculosis terhadap obat

142

Page 7: PELABELAN ISOTOP 32p DAN UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS …

'1'rosiding 1'ertellluan Ifmiafi Tafiunan 2016

'1'usat TeRl1o[ogi Radioisotoy aan RaaiofannaRa ('1"TRR). 'B.J1.T.J1.NTangerang Se[atan, 3 Novem6er 2016

ISSN : 2087 : 9652

dan uji inkorporasi pada perkembangan parasitmalaria pasca pelemahan dengan radiasigamma sangat membantu menegakkandiagnosis penyakit tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampailkan kepada stafBidang TNKBR yang telah membantu penelitianini dan DIPA PTKMR BATAN untuk biayapenelitian.

DAFTAR PUSTAKA

1. WORLD HEALTH ORGANIZATION(WHO). Global tuberculosis report 2015.2015. Geneva:http://www.who.inUtb/publications/globaUeporUen/ (accessed June 30,2016).

2. T.G. EVANS, M.J. BRENNAN, L.BARKER, J. THOLE, (2013), "Preventivevaccines for tuberculosis", Vaccine,Volume 31S, B223- B226.

3. WORLD HEALTH ORGANIZATIONS(2003), PPM DOTS in Indonesia; Astrategy for action, Geneva, Switzerland.

4. WORLD HEALTH ORGANIZATION,(2014), Global Tuberculosis Report 2014,Geneva, Switzerland, pp. 54-60.

5. M.A. ESPINAL, S.J. KIM, P.G. SUAREZ,K.M. KAM, A.G. KHOMENKO, G.B.MIGLIORI, et al. (2000), Standard short­course chemotherapy for drug resistanttuberculosis: treatment outcome in sixcountries, The Journal of the AmericanMedical Association, Volume 283, 2537­2545.

6. S.D. AHUJA, D. ASHKIN, M.AVENDANO, R. BANERJEE, M. BAUER,J.N. BAYONA, et al. (2012), "Multidrugresistant pulmonary tuberculosis treatmentregimens and patients outcomes", PloSMed., Volume 9, p. e1001300.

7. D.F. WARNER and V. MIZRAHI (2013),"Complex genetics of drug resistance inMycobacterium tuberculosis", NatureGenetics, Volume 45, 1107-1108.

8. C. NAWANGSIH, V. WIWING, A.WIDYSANTO, N. PRATAMA, H. LUGITO,(2015), "Mycobacterium tuberculosisresistance pattern against first-line drugsin patients from urban area", InternationalJournal of Mycobacteriology, Volume 4,No.4, 302-305.

Mukh Syaifudin, dkk.

9. M.J. VAN DER WERF and M.W.LANGENDAM, (2012), "Multidrugresistance after inappropriate tuberculosistreatment: a meta-analysis", EuropeanRespiratory Journal, Volume 39, 1511­1519

10. WORLD HEALTH ORGANIZATION,(2001), Roll Back Malaria, Malaria earlywarning systems - concept, indicators andpartners, A framework for field research inAfrica, Geneva: The organization.

11. I.R.F. ELYAZAR, S.1. HAY, and J.K.BAIRD, (2011), "Malaria distribution,prevalence, drug resistance and control inIndonesia", Advance Parasitology, Volume74,41-175.

12. DIREKTORAT JENDERALPENGENDALI-AN PENYAKIT DANPENYEHATAN LlNGKUNGAN, Malaria(http://www.pppl.depkes.go.id/im ages_data/MALARIA.pdf.2012).Retrieved Nopember 2013.

13. M.T. MAKLER, C.J. PALMER, A.L.AGER, (1998), "A review of practicaltechniques for the diagnosis of malaria",Annual Tropical Medicine andParasitology, Volume 92, 419-433.

14. N.M. SHAH, W.R. BRIEGER, D.H.PETERS (2011), "Can interventionsimprove health services from informalprivate providers in low and middle­income countries? A comprehensivereview of the literature". Health PolicyPlanning, Volume 26, 275-287.

15. I.F.A. All, F. BABAK, M.S. FAZLOLLAH,and J.J. NEMATOLLAH, (2014), "Rapiddetection of MDR-Mycobacteriumtuberculosis using modified PCR-SSCPfrom clinical specimens", Asian PacificJournal of Tropical Biomedicine, Volume4, (SuppI1), S165-S170.

16. M. SYAIFUDIN, (2010), "Molecularidentification of Mycobacteriumtuberculosis and analysis of its resistanceto rifampin in sputa from tuberculosissuspected patients", Journal AtomIndonesia, Volume 36, No.2, 51-58.

17. M. SYAIFUDIN dan D. SEPTIANI (2011),"Analisis resistensi M. tuberculosisterhadap fluoroquinolon dan penerapanteknik biomolekuler berbasis nuklir",Majalah Farmasi Indonesia, Volume 22,No.2, 120-127.

143

Page 8: PELABELAN ISOTOP 32p DAN UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS …

'Prosicrillg 1'ertCI1lllall J(I1lU7fi Tafillllall 2016

'PlIsat Tekllo{ogi 1w.crioisotoy crall Radlofarl1laka (1'T'RR), B.J\T.:ANTangerallg Sefatall, 3 NovcI1l6er 2016

ISSN : 2087 : 9652

18. A. TELENTI, P. IMBODEN, F.MARCHESI, T. SCHIDHEINI, T.BODMER, (1993), "Direct, automateddetection of Rifampin-resistantMycobacterium tuberculosis bypolymerase chain reaction and simple­strand conformation polymophismanalysis", Antimicrobial Agents andChemotherapy, Volume 37, 2054-2058.

19. W.R. PRESCOTT, R.G. JORDAN, M.P.GROBUSCH, V.M. CHINCHILLI, I.KLEINSCHMIDT, J. BOROVSKY, et al.(2012), "Performance of a malariamicroscopy image analysis slide readingdevice", Malaria Journal, Volume 11 (155),1-21.

20. NURHAYATI, HASMIWATI, SELFIRENITA RUSJDIi, (2014), "Uji reliabilitasdiagnosis mikroskopis malaria tenagalaboratorium Puskesmas di daerahendemik kota Sawahlunto, SumateraBarat", Jurnal MKA, Volume 37, No.1, 19­25.

21. C. DE COZAR, I. CABALLERO, G.COLMENAREJO, L. SANZ, M.ALVAREZ-RUIZ, E. GAMO, F.J. CID,(2016), "Development of a novel highdensity [3H]-hypoxanthine scintillationproximity assay to assess Plasmodiumfalciparum growth", Antimicrobial agentsand Chemotherapy, Volume 60, No. 10,5949-5956.

22. P. BRASSEUR, S. LECOUBLET, N.KAPEL, L. FAVENNEC, J.J. BALLET,(1998), "In vitro evaluation of drugsusceptibilities of Babesia divergensisolates", Antimicrobial Agents andChemotherapy, Volume 42, No.4, 818­820.

23. L.M SANZ, B. CRESPO, C. DE COZAR,X.C. DING, J.L. LLERGO, J.N.BURROWS, (2012), "P. falciparum in vitrokilling rates allow to discriminate betweendifferent antimalarial mode-of-action",PLoS ONE, Volume 7, No.2, e30949.

24. B.J. KIM, S.K. HONG, K.H. LEE, Y.J.YUN, E.C. KIM, Y.G. PARK, G.H. BAI,Y.H. KOOK, (2004), "Differentialidentification of Mycobacteriumtuberculosis complex and nontuberculousMycobacteria by duplex PCR assay usingthe RNA polymerase gene (rpoB)",Journal of Clinical Microbiology, Volume42, No.3, 1308-1312.

Mukh Syaifudin, dkk.

25. L.G. DAVIS, W.M. KUEHL, and J.F.BATTEY, (1994), "Basic Methods inMolecular Biology", Edisi kedua, Appletonand Lange, USA.

26. H.N.E.SURYANTORO, DARLlNA, S.NURHAYATI, D. TETRIANA, M.SYAIFUDIN, (2016), "Gamma rayirradiation inhibits Plasmodium falciparummultiplication in in vitro culturesupplemented with tritium labeledhypoxanthine", Nusantara Bioscience,Volume 8, No.1, 8-13.

27. M.R. GREEN and J. SAMBROOK,(2012), "Molecular Cloning: A laboratorymanual", Cold Spring Harbor Laboratory,4-th edition.

28. M. AMEXO, R TOLHURST, G.BARNISH, I. BATES, (2004), "Malariamisdiagnosis: effects on the poor andvulnerable", Lancet, Volume 364, 1896­1898.

29. D. BELL and R.W. PEELING, (2006),"Evaluation of rapid diagnostic tests:malaria", Nature Review Microbiology,Volume 4, S34-S38.

30. A. JAIN, V. TIWARI, RS. GULERIA, RK.VERMA, (2002), "Qualitative evaluation ofMycobacterial DNA extraction protocolsfor polymerase chain reaction", MolecularBiology Today, Volume 3, 43-50.

31. S. SIDDIQI, A. AHMED, S. ASIF, D.BEHERA, M. JAVAID, J. JANI, et aI.,(2012), "Direct drug susceptibility testingof Mycobacterium tuberculosis for rapiddetection of multidrug resistance using theBactec MGIT 960 system: a multicenterstudy", Journal of Clinical Microbiology,50(2), 435-440.

32. C. DROSTEN, M. PANNING and S.KRAMME, (2003), "Detection ofMycobacterium tuberculosis by real1timePCR using Pan1Mycobacterial primersand a pair of fluorescence resonanceenergy transfer probes specific for the M.tuberculosis complex", Clinical Chemistry,Volume 49, 1659-1661.

33. L.K. GRUTZMACHER, E.M.DALMARCO, S.L. BLATT, C.M.CORDOVA, (2012), "Drug resistance ofMycobacterium tuberculosis strains insouthern Brazil", Rev. Soc. Bras. Med.Trop., Volume 45, No.1, 95-99.

34. P. TAHMASEBI, P. FARNIA, F.SHEIKHOLSLAMI, A.A. VELAYATI.,

144

Page 9: PELABELAN ISOTOP 32p DAN UNTUK MENUNJANG DIAGNOSIS …

1'rosiaill!:7 1'erlelllllall I(illiafi 'Tafillllan 2016

'I'llSat Te~llofi.)!:7iRad!oisotoy aall Raaiofanlla~a (TTRR), 'B.JtT.JtNTallgera IIg Sefatan, 3 Novelll6er 2016

(2012), "Rapid identification of extensivelyand extremely drug resistant tuberculosisfrom multidrug resistant strains; usingPCR-RFLP and PCR-SSCP", IranianJournal of Microbiology, Volume 4, No.4,165-170.

35. BEVELACQUA, (1995), "Nuclide SafetyData Sheet - Phosphorous-32", Journal ofContemporary Health Physics, New York;John Wiley & Sons, p. 282.

Mukh Syaifudin, dkk.

ISS:N : 2087 : 9652

145