Upload
vuthu
View
218
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1
PEMANFAATAN BIOMASSA ECENG GONDOK SISA
PENGOLAHAN LIMBAH TEKSTIL PENCELUPAN BENANG
SEBAGAI PENGHASIL BIOGAS
THE USE OF WATER HYACINTH BIOMASS FROM THREAD
DYING TEXTILE INDUSTRY WASTEWATER TREATMENT
FACILITY FOR BIOGAS PRODUCTION
Rina Yani L1) dan Yulinah Trihadiningrum1)
1)Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS
Email : [email protected]
ABSTRAK
Bioreaktor eceng gondok yang memiliki COD 31.311 mg/L dan BOD 23.358 mg/L, serta COD 23.800 mg/L
dan BOD 19.725 mg/L tidak menghasilkan gas metana. Pada bioreaktor yang ditambah dengan seeding 1,25 g kotoran
sapi maupun usus bekicot tidak dapat menghasilkan gas metana. Bioreaktor dari substrat eceng gondok yang
dihidrolisis asam terlebih dahulu mampu menghasilkan gas metana sebesar 7 mL CH4/50 g biomass dengan nilai COD
awal sebesar 21.520 mg/L dan BOD 14.234 mg/L. Sedangkan pada bioreaktor yang telah dihirolisis asam dan
ditambah 1,25 g seeding kotoran sapi dapat menghasilkan gas metana sebesar 17 mL dengan nilai COD sebesar
23.752 mg/L dan BOD 22.389 mg/L.
Gas metana yang dihasilkan paling maksimum yaitu sebesar 1003 mL CH4/50 g didapatkan pada bioreaktor
eceng gondok yang memiliki COD awal sebesar 85.634 mg/L serta dengan penambahan seeding kotoran sapi sebanyak
50 g/50 g biomassa.
Kata kunci : biomass, eceng gondok, gas metana, anaerobic digestion.
ABSTRACT
Water hyacinth bioreactor with COD = 31,311 mg/L and BOD 23,358 mg/L, and that of COD = 23,800 mg/L
and BOD 19,725 mg/L didn’t produce methane at all. Bioreactor which applied cow manure and snail intestines of 1.25
g didn’t produce methane either. Water hyacinth bioreactor with COD = 21,520 mg/L and BOD = 14,234 mg/L, which
was pretreated with acid hydrolysis could produce methane only 7 mL CH4/50 g biomass. Water hyacinth bioreactor
with COD = 23,752 mg/L and BOD 22,389 mg/L, which applied acid hydrolysis and cow manure of 1.25 g could
produce 17 mL CH4/50 g biomass.
2
Maximum methane production of 1,003 mL CH4/50 g biomass was observed in water hyacinth bioreactor with
COD of 85,634 mg/L and cow manure of 50 g/50 g biomass.
Key word : biomass, water hyacinth, methane gas, anaerobic digestion
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dengan adanya kelan`gkaan sumber energi dari bahan baku fosil, maka sudah selayaknya
sumber energi alternatif dituntut untuk direalisasikan, terutama untuk sumber energi yang dapat
diperbaharui (renewable energy).
Salah satu sumber energi alternatif yang dapat digunakan adalah biogas, terutama gas metana
yang dihasilkan dari proses anaerobik.. Dalam pembuatan biogas, syarat yang paling utama adalah
adanya materi yang berasal bahan organik. Bahan organik tersebutlah yang nantinya akan
didegradasi oleh bakteri anaerob untuk menghasilkan gas bio. Bahan organik yang biasanya lazim
digunakan diantaranya adalah kotoran hewan, kotoran manusia, sampah, serta biomass. Pada
penelitian ini, materi yang akan digunakan adalah biomass dari tanaman air yaitu eceng gondok,
dimana eceng gondok yang digunakan untuk biogas, terlebih dahulu digunakan untuk pengolahan
limbah industri pencelupan benang.
Eceng gondok memiliki kemampuan dalam mengabsorpsi nutrien, logam dan zat toksik lain
yang terkandung dalam air limbah. Tanaman ini dapat bertahan hidup dengan lama serta tumbuh
dengan baik untuk berbagai wetland dengan jenis limbah tertentu (Epstein, 1993 dalam Malik,
2007). Tanaman ini juga memiliki banyak kandungan materi yang dapat berfermentasi dan mampu
menghasilkan biogas (Chanakya et al. dalam Gunnarsson dan Petersen, 2007). Kandungan yang
paling berperan tersebut adalah hemiselulosa dan selulosa. Menurut Patel et al. (1993) pada eceng
gondok memiliki 43% untuk hemiselulosa dan selulosa sebesar 17%. Hemiselulosa tersebut
merupakan jenis polisakarida kompleks yang menjadi penyusun struktur organik dan merupakan
bahan utama yang dapat dikonversi menjadi biogas (Ghosh dan Henry, 1985).
Menurut Qaisar et al. (2005) limbah tekstil dapat memberikan pengaruh terhadap anatomi
dari eceng gondok terutama ukuran sel dari daun, akar dan juga batang. Pengaruh tersebut
diantaranya perubahan terhadap ukuran dari sel yang membentuk daun. Selain itu, kandungan zat
toksik yang terdapat pada tanaman sisa pengolahan limbah yang kemudian akan dimanfaatkan
sebagai penghasil gas metana, dapat mempengaruhi besarnya potensial biogas yang terbentuk (Patel
et al., 1993).
3
1.2. Limbah Industri Tekstil Pencelupan Benang
Eceng gondok yang akan dimanfaatkan sebagai biogas dalam penelitian ini adalah eceng
gondok yang telah digunakan terlebih dahulu untuk pengolahan limbah industri tekstil.
Menurut Feitkenhauer dalam Chen et al. (2007), senyawa-senyawa yang terkandung dalam
limbah tekstil diantaranya surfaktan, kloroform, serta beberapa tambahan zat pencelup
(polyacryates, phosponates). Zat-zat tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu inhibitor bagi
proses anaerobik
1.3. Anaerobic Digestion
Anaerobic digestion merupakan proses penguraian bahan organik oleh mikroba anaerobik
tanpa adanya kehadiran oksigen. Proses yang berlangsung pada teknologi ini cenderung sederhana
dan cocok dikembangkan pada negara berkembang. Salah satu produk dari proses anaerobik adalah
biogas, yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.
1.4. Prinsip Dasar Anaerobic Digestion
Prinsip dasar dari proses anaerobik adalah :
1. Hidrolisis : Merupakan tahap awal dari proses anaerobik. Pada tahap inin terjadi proses
penguraian organik kompleks yang tidak mudah terurai menjadi bahan organik
yang mudah terurai.
2. Asidogenik : Merupakan tahapan penguraian zat organik hasil produk dari tahap hidrolisis
menjadi asam lemak volatil serta CO2.
3. Asetogenik : Proses penguraian asam lemek volatil menjadi asam asetat dan H2
4. Metanogenik : Proses penguraian asam asetat, CO2, dan H2 menjadi gas metana.
1.5. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Anaerobic Digestion
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerobik, antara lain :
1. Suhu
Suhu berpengaruh pada kecepatan pembentukan gas. Yadvika et al. (2003) membagi
temperatur untuk dekomposisi anaerobik dalam 3 jenis :
1. psikofilik (< 30oC)
2. mesofilik ( 30o- 40oC)
3. termofilik ( 50o- 60oC)
2. pH dan Alkalinitas
pH optimum yang tepat untuk proses anaerobik dalam reaktor berkisar antara 5,5-8,5,
sedangkan pH optimum untuk proses pembentukkan metan adalah 7,2-8,2. menjaga nilai pH.
Alkalinitas didasarkan pada kapasitas untuk menetralkan asam yang berhubungan dengam garam
4
dan asam lemak. Menurut Lunden (2003), nilai alkalinitas dalam reaktor minimal adalah 1000 mg/L
CaCO3. Alkalinitas berasal dari penguraian senyawa
3. Rasio C/N
Rasio C/N yang optimum adalah 20-30. Rasio C/N untuk eceng gondok adalah 25.
4. Organic Loading dan Hydraulic Retention Time
Organic Loading dinyatakan dalam kg COD atau VS/m3-hari. Tingginya Organic Loading
merupakan hasil produksi asam lemak volatil yang berlebih dalam reaktor yang mengakibatkan
turunnya pH dan mengganggu bakteri metana.
5. Bahan Toksik
Bahan-bahan toksik yang dapat mengakibatkan kegagalan dalam proses anaerobik adalah
kalsium, magnesium, potassium, tembaga, cadmium, nikel, dan lain-lain.
6. Pengadukan
Proses percampuran bertujuan untuk memberikan kontak yang lebih baik antar bakteri dengan
bahan organik, sehingga dapat meningkatkankemampuan populasi bakteri dalam menyerap nutrisi
7. Kadar Air
Kadar air juga turut mempengaruhi optimumnya proses anaerobik. Hal ini dikarenakan
mikroorganisme yang berperan dalam proses degradasi melakukan aktivitas metabolime di selaput
air pada permukaan bahan.
1.6. Gas Metana
CH4 merupakan gas yang dihasilkan dalam proses anaerobik, gas ini merupakan gas yang
sangat diperlukan karena memiliki kandungan kalor yang cukup tinggi. Dengan kandungan kalor
yang tinggi, maka gas ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pengembangan energi
alternatif.
1.7. Hidrolisis dengan Pengasaman
Berdasarkan Lunden (2003) proses anaerobik memiliki 4 tahap, dimana pada tahap pertama
yaitu tahap hidrolisis yang merupakan tahap dimana senyawa organik kompleks diuraikan menjadi
senyawa yang lebih sederhana.
Tahap hidrolisis dalam proses anaerobik, dapat dipercepat dengan bantuan pengasaman serta
pemanasan Pengasaman ini dapat dilakukan dengan menggunakan asam seperti H2SO4. Menurut
Lavarack, Griffin dan Rodman (2002), penggunaan asam kuat dapat memecah senyawa kompleks
pada biomass seperti bagasse menjadi xylose, arabinose, glukosa dimana merupakan senyawa yang
5
lebih sederhana. Pemberian asam sampai mencapai pH 1,22 dan pemanasan selama 90 menit
mampu memproduksi xylose sebesar 90% (Lloyd dan Wyman, 2005).
2. Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium dengan menggunakan reaktor erlenmeyer yang
berkapasitas 250 mL, serta gelas ukur yang berfunsi untuk pemantauan penurunan gas yang terjadi,
dan selang plastik yang berfungsi sebagai penyalur gas antara bioreaktor dan gelas ukur. Limbah
industri yang digunakan berasal dari home industry tekstil pencelupan benang yang terletak di Jalan
Jenggolo, Sidoarjo.
Setelah 2 minggu, eceng gondok yang telah ditanam selanjutnya dipanen dan seluruh bagian
eceng gondok (akar, batang, dan daun) digunakan dalam penelitian ini. Eceng gondok dicacah
hingga berukuran kecil-kecil lalu diblending dengan blender. Hasil blending dapat dilihat pada
Variabel 1 pada penelitian ini adalah pembagian bioreakor berdasarkan konsentrasi COD
yang dimiliki bioreaktor. COD yang akan digunakan pada penelitian ini berkisar antara 20.000
mg/L – 30.000 mg/L. Selain itu bioreaktor juga akan diberi seeding kotoran sapi sebesar 1,25 g atau
2,5% dari 50 g berat eceng gondok.
Variabel ke-2 dari penelitian ini adalah penggunaan seeding usus bekicot seagai biostarter.
Seeding usus bekicot yang digunakan disamakan dengan penggunaan seeding kotoran sapi yaitu
sebesar 1,25 g. Variabel ke-3 adalah perlakuan hidrolisis asam terlebih dahulu terhadap substrat
eceng gondok. Variabel selanjutnya yang dilakukan adalah penambahan kotoran sapi sebagai
seeding menjadi 50 g atau memiliki perbandingan 1:1 terhadap substrat eceng gondok. Pada
variabel ini kotoran sapi sebanyak 50 g di perlakukan sebagai control.
Pengoperasian reaktor direncanakan selama 1bulan tiap bioreaktor. Dilakukan pemantauan
secara rutin setiap hari terhadap gas metana yang terbentuk berdasarkan penurunan volume yang
terjadi dari larutan Ca(OH)2 pada gelas ukur. Parameter lain yang dianalisis antara lain :
a) Analisis pH
pH menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan. Analisis dilakukan dengan
mengambil sampel menggunakan pipet volumetrik sesuai dengan kebutuhan, lalu dianalisis
dengan menggunakan alat pH meter (Alaerts dan Santika, 1987).
b). COD (Chemical Oxygen Demand)
Pada penelitian ini pengukuran COD ditentukan dengan metode titrasi dengan larutan fero
amonium sulfat (Alaerts dan Santika, 1987).
c). BOD (Biologycal Oxygen Demand)
29
6
Waktu yang dibutuhkan untuk pengukuran BOD yaitu 5 hari (BOD5) pada suhu 20oC
(Alaerts dan Santika, 1987).
Pengukuran parameter BOD, COD, VS hanya dilakukan pada awal dan akhir proses agar
proses anaaerob berlangsung optimal.
3. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil Penelitian Pendahuluan
Hasil analisis karakteristik awal dari ceng gondok sisa pengolahan limbah tekstil dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik Awal Eceng Gondok
Parameter Satuan Hasil Analisis
Total Solid % 6,36
VS % 76,62
Norganik % 0,65
C % 42,57
Rasio C/N - 65,49
3.2. Penggunaan Variabel Berdasarkan Konsentrasi COD yang Dimiliki Bioreaktor
Pada penelitian ini bioreaktor dibagi menjadi 2 jenis yaitu bioreaktor yang memiliki COD
sebesar 30.000 mg/L dan 20.000 mg/L dengan pengaturan komposisi sebagai berikut :
• Komposisi 1 (kontrol) � Bioreaktor A
50 g eceng + 100 mL air
• Komposisi 2 (seeding) � Bioreaktor B
50 g eceng + 100 mL air + 1,25 g kotoran
sapi
• Komposisi 3 (kontrol) � Bioreaktor C
50 g eceng + 150 mL air
• Komposisi 4 (seeding) � Bioreaktor D
50 g eceng + 150 mL air + 1,25 g kotoran
sapi
Hasil analisis tiap parameter dari tiap bioreaktor dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil analisis Parameter Hari ke 0
Hasil Analisis Parameter Hari ke 0
Bioreaktor pH
COD
(mg/L)
BOD5
(mg/L) VS %
A 6,8 31.311 23.358 74,96
B 6,7 33.052 29.845 76,03
C 6,9 23.800 19.725 65
D 6,8 23.900 21.854 63,69
7
Dari hasil pengamatan, pada bioreaktor A, B, C, dan D tidak menghasilkan gas metana
dengan masa operasi 21 hari.
3.3. Penggunaan Usus Bekicot sebagai Seeding pada Bioreaktor
Pada penelitian dengan variabel sebelumya, didapatkan pada bioreaktor substrat eceng
gondok dengan penambahan kotoran sapi, gas metana tidak dihasilkan. Mikroba yang berasal dari
kotoran sapi kemungkinan tidak mampu menguraikan selulosa dan hemiselulosa yang dimiliki oleh
eceng gondok sisa pengolahan limbah tekstil.
Pada variabel ini, seeding yang digunakan berasal dari usus bekicot. Penggunaan usus bekicot
sebagai seeding karena usus bekicot memiliki bakteri selulolitik yang diketahui dapat menguraikan
bahan selulosa dan hemiselulosa. Komposisi yang digunakan pada bioreaktor ini adalah komposisi
4, namun seeding kotoran sapi diganti dengan usus bekicot. Penggunaan komposisi 4 ini bertujuan
untuk mencapai COD 20.000 mg/L. Bioreaktor dengan penambahan seeding usus bekicot ini diberi
nama bioreaktor E dan hasil analisis COD yang didapatkan adalah 22.490 mg/L.
Dari hasil pengamatan pada bioreaktor E, gas metana juga tidak dapat dihasilkan. Hal ini
menandakan bahwa seeding usus bekicot tidak cocok digunakan sebagai biostarter untuk
penguraian biomassa eceng gondok.
Karena pada penelitian Saputri (2009) bioreaktor dengan seeding kotoran sapi dapat
menghasilkan gas metana, maka pada bioreaktor selanjutnya untuk penelitian ini, seeding tersebut
akan digunakan sebagai sumber mikroba.
3.4. Penggunaan Hidrolisis Asam pada Substrat Eceng Gondok
Dilakukannya hidrolisis pengasaman bertujuan untuk membantu kerja mikroba dalam proses
anaerobik, dimana tahap hidrolisis dipercepat dengan bantuan berupa larutan asam kuat. Disini
asam yang ditambahkan berfungsi memecah senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih
sederhana seperti hemiselulosa menjadi glukosa.
Pengoperasian Bioreaktor Anaerobik berupa bioreaktor F yang diperlakukan sebagai
bioreaktor kontrol dan bioreaktor G sebagai bioreaktor yang ditambahkan dengan seeding kotoran
sapi sebanyak 1,25 g. Tiap bioreaktor selanjutnya dianalisis nilai dari COD, BOD5, VS dan pH.
Hasil dari analisis dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis Parameter Hari ke 0
Hasil Analisis Parameter Hari ke 0 Bioreaktor
pH COD (mg/L) BOD5 (mg/L) VS ( %)
F 6,9 21.520 14.234 77,08
G 7,1 23.752 22.389 78,5
8
Hasil monitoring pembentukan gas metana terhadap bioreaktor dengan perlakuan hidrolisis
asam dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1
Produksi Gas Metana pada Bioreaktor dengan Perlakuan Hirolisis Asam
Pada Gambar 1, gas metana yang dihasilkan pada bioreaktor F sebesar 7 mL dan hanya
berlangsung dalam masa operasi 4 hari. Sedangkan gas metana yang dihasilkan pada bioreaktor G
sebesar 17 mL dan berlangsung selama 6 hari.
3.5. Penambahan Seeding Kotoran Sapi dari 1,25 g Menjadi 50 g pada Substrat Eceng
Gondok
Pada variabel ini, penambahan jumlah seeding kotoran sapi yang semula hanya 2,5 % dari
berat eceng gondok diubah menjadi penambahan dengan rasio 1 : 1 terhadap 50 g substrat eceng
gondok atau sebanyak 50 g. Komposisi dari bioreaktor ini adalah 50 g eceng gondok + 150 mL air
+ 50 g kotoran sapi. Bioreaktor ini diberi nama biorektor A1. Bioreaktor yang berperan sebagai
kontrol merupakan bioreaktor yang berasal dari 50 g kotoran sapi.
Bioreaktor A1 dan bioreaktor kontrol kotoran sapi dianalisis parameter COD, BOD5, VS dan
pH. Hasil dari analisis dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Analisis Parameter Hari ke 0
Hasil Analisis Parameter Hari ke 0 Bioreaktor
pH COD (mg/L) BOD5 (mg/L) VS (%)
Kotoran sapi 6,8 107.435 - 79,7
Bioreaktor A1 6,9 85.643 59.448 83,61
Grafik Pembentukan Gas Metana
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32
Pengamatan hari ke-
Vol
ume
Pem
bent
ukka
n Gas
(ml)
Bioreaktor Kontrol (F)
Bioreaktor dengan 1,25 gram Seeding Kotoran Sapi (G)
9
Hasil dari pengamatan pembentukan gas metana dapat dilihat pada Gambar 2
Kurva Pembentukan Gas Metana
0
200
400
600
800
1000
1200
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Hari ke
Vo
lum
e P
emb
entu
kan
Gas
M
etan
a (m
l)
Bioreaktor A1
Bioreaktor Kotoran Sapi
Gambar 2
Hasil Pengamatan dari Bioreaktor Kotoran Sapi dan Bioreaktor A1
Pada Gambar 2, gas metana yang dihasilkan dari bioreaktor A1 selama masa pengoperasian
60 hari adalah 1003 mL CH4/50 g biomass eceng gondok, sedangkan pada bioreaktor kontrol
kotoran sapi 50 g hanya mampu menghasilkan gas metana sebesar 49 mL selama 6 hari.
3.6. Degradasi Bahan Organik yang Terukur dalam Nilai BOD, COD dan VS pada
Bioreaktor
Bioreaktor yang telah dioperasikan kemudian dianalisis besarnya efisiensi degradasi bahan
organik yang terkonversi menjadi gas metana. Bahan organic yang terkonversi tersebut dapat
dianalisis dengan parameter COD, BOD dan VS. Efisiensi degradasi dari bahan organic dari tiap
parameter dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
COD BOD Vs
Parameter yang Dianalisis
Efi
sien
si (
%)
Bioreaktor F= Bioreaktor kontrol pengasamanBioreaktor G= Bioreaktor pengasaman dengan penambahan seeding
Gambar 3
Efisiensi Degradasi Bahan Organik yang Terukur dari Tiap
Parameter pada Bioreaktor F dan G
10
05
1015202530354045
COD Vs BOD Parameter yang Dianalisis
Efi
sien
si (
%)
Bioreaktor A1= Bioreaktor dengan perbandingan 1 : 1
Bioreaktor Kotoran Sapi
Gambar 4
Efisiensi Degradasi Bahan Organik yang Terukur dari
Tiap Parameter pada Bioreaktor A1 dan Kotoran Sapi
Pada Gambar 4.3 dan 4.4 terlihat bahwa dari ke-4 bioreaktor yang ada, bioreaktor A1
merupakan bioreaktor dengan nilai efisiensi degradasi bahan organik yang terbesar. Disusul
kemudian bioreaktor kotoran sapi, G dan F.
4.6. Konversi Bahan Organik menjadi Gas Metana yang terukur dalam Nilai VS pada
Bioreaktor
Bahan organik yang terukur dalam nilai volatile solid merupakan materi yang dapat
dikonversi menjadi gas metana. Besarnya konversi VS menjadi gas metana dapat dilihat pada
Gambar 5.
F = Bioreaktor Kontrol PengasamanG = Bioreaktor Pengasaman dengan Penambahan SeedingKot.sapi = Bioreaktor Kotoran SapiA1 = Bioreaktor dengan perbandingan 1:1
0
2
4
6
8
10
12
14
16
F G Kot.Sapi A1Bioreaktor
ml C
H4/
g V
S
Gambar 5
Produksi metana per g VS dari tiap bioreaktor
11
Berdasarkan Gambar 5, bioreaktor A1 merupakan bioreaktor dengan produksi metana
terbesar yaitu 13,52 mL/g VS dan terpaut jauh apabila dibandingkan dengan ke-3 bioreaktor
lainnya.
4.7. Konversi Bahan Organik menjadi Gas Metana yang Terukur dalam Nilai COD pada
Bioreaktor
Bahan organik yang terukur dalam nilai COD dan terkonversi menjadi gas metana juga
dianalisis besarnya konversi yang terjadi pada bioreaktor. Perhitungan dari konversi bahan organik
pada bioreaktor dapat dilihat pada Gambar 6
F = Bioreaktor Kontrol Pengasaman G = Bioreaktor Pengasaman dengan Penambahan SeedingKot.sapi = Bioreaktor Kotoran SapiA1 = Bioreaktor dengan Perbandingan 1 : 1
0
2
4
6
8
10
12
14
F G Kot.Sapi A1Bioreaktor
ml C
H4/
gCO
D
Gambar 6
Produksi metana per g COD pada tiap bioreaktor
Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 6, hasil produksi CH4/g COD memberikan hasil
yang tidak jauh berbeda dengan produksi gas metana per g VS. Produksi CH4/g COD pada
bioreaktor A1 masih merupakan bioreaktor dengan penghasil terbanyak yaitu sebanyak 11,6 mL/g
COD.
Dari keseluruhan hasil pembahasan yang telah dilakukan maka secara umum didapatkan
bahwa proses anaerobic digestion yang menghasilkan gas metana terbesar terjadi pada bioreaktor
A1 yang menghasilkan gas metana sebesar 1003 mL/50 g biomass atau 20,06 L/kg biomass eceng
gondok selama masa pengoperasian 60 hari. Kemudian disusul dengan bioreaktor G sebesar 17 mL
CH4/50 g biomass. Bioreaktor F hanya mampu menghasilkan 7 mL CH4/50 g. Sedangkan
bioreaktor yang berisi substrat eceng gondok dengan penambahan seeding dari kotoran sapi dan
usus bekicot sebanyak 1,25 g tidak mampu menghasilkan gas metana. Minimnya gas metan yang
dihasilkan kemnungkin deisebabkan adanya kehadiran zat toksik sisa limbah tektil pencelupan
benang.
12
Bioreaktor A1 juga merupakan bioreaktor yang menghasilkan produksi gas metana per g VS
dan per g COD paling besar yaitu sebanyak 13,52 mL CH4/g VS dan 11,6 mL/g COD.
44.. KKeessiimmppuullaann
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan :
1. Bioreaktor dari substrat eceng gondok sisa pengolahan limbah tekstil pencelupan benang
yang memiliki COD = 31.311 mg/L dan BOD = 23.358 mg/L, serta COD = 23.800 mg/L
dan BOD = 19.725 mg/L tidak menghasilkan gas metana selama masa operasi 21 hari.
2. Bioreaktor dari substrat eceng gondok sisa pengolahan limbah tekstil pencelupan benang
yang diberi tambahan seeding berupa 1,25 gram dari kotoran sapi maupun usus bekicot juga
tidak menghasilkan gas metana selama masa operasi 21 hari.
3. Bioreaktor dari substrat eceng gondok yang telah dihidrolisis asam menghasilkan gas
metana sebesar 7 mL CH4/50 gram biomasa, dengan COD = 21.520 mg/L dan BOD =
14.234 mg/L selama masa operasi 21 hari. Sedangkan pada bioreaktor yang telah dihirolisis
asam dan ditambah 1,25 gram seeding kotoran sapi menghasilkan gas metana sebesar 17 mL
selama masa operasi 21 hari dan nilai COD sebesar 23.752 mg/L dan BOD sebesar 22.389
mg/L.
4. Peningkatan jumlah seeding kotoran sapi sebagai biostarter dari 1,25 gram menjadi 50 gram
pada bioreaktor dapat menghasilkan gas metana sebesar 1003 mL/50 gram biomass eceng
gondok, dengan masa operasi 60 hari dan COD awal sebesar 85.634 mg/L.
DAFTAR PUSTAKA
Chen, Y., Cheng, J.J., Creamer (2007). Inhibition of anaerobic Digestión Process: A Review.
Bioresource Technology No.99, hal.4044-4064. Elsevier Ltd.
Gunnarsson, C.C. dan Petersen, C.M. (2007). Water Hyacinths as A Resource in Agriculture and
Energy Production: A Literature Review. Waste Management No.27, hal.117–129. Elsevier
Ltd.
Ghosh, S. dan Henry, M.P. (1985). Hemicellulose Conversion by Anaerobic Digestion. Biomass
No.6, hal. 257-269. Elservier Ltd.
Lavarack, B.P., Griffin, G.J. dan Rodman, D. (2002). The Acid Hydrolysis of sugarcane Bagasse
Hemicellulose to Produce Xylose, Arabinose, Glucose and Other Products. Biomass and
Bioenergy No.23, hal.367-380. Elsevier Ltd.
Lloyd, T.A. dan Wyman, C.E. (2005). Combined Sugar Yields for Dilute Sulfuric acid Pretreatment
of Corn Stover Followed by Enzymatic Hydrolysis of The remaining Solids. Bioresource
technology No.96, hal 1967-1977. Elsevier Ltd.
13
Lunden, A. (2003). Biogas Production Anaerobic Digestion of Grains Diluted in Process Water
from a Wastewater Treatment Plant. Master of Science Thesis. Environmental Science
Programme. Linkopings Universitet. Swedia.
Malik, A. (2007). Environmental Challenge Vis a Vis Opportunity: The Case of Water Hyacinth.
Environment International No.33, hal. 122-138. Elsevier Ltd.
Patel, V.B., Patel, A.R., Patel, M.C. dan Madamwar, D.B. (1993). Effect of Metals on Anaerobic
Digestion of Water Hyacinth-Cattle Dung. Biochemistry and Biotechnology No.43, hal.45–50.
Elsevier Ltd
Qaisar, M., Ping, Z., Rehan, M.S., Ul, I.E., Rashid, A.M., dan Yousaf, H. (2005). Anatomical
Studies on Water Hyacinth (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms) under The Influence of
Textile Wastewater.
http://biblioteca.universia.net/html_bura/ficha/params/id/18346627.html. Waktu akses : 6
januari 2008, pukul 20.10.
Yadvika, Santosh,Sreekrishnan T.R., Kohli, S., dan Rana, V. (2004). Enhancement of Biogas
Production from Solid Substrates using Different Techniques-A Review. Bioresource
Technology No. 95, Hal.1-10. Elsevier Ltd.