Upload
kenzie
View
32
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
gratis
Citation preview
PEMANFAATAN JAMUR LAPUK PUTIH (Phanerochaete
chrysosporium) DALAM PENGOLAHAN LIMBAH TEKSTIL
(SUATU STUDI PENDAHULUAN TERHADAP LIMBAH
PENCELUPAN BENANG DI BANJAR GROMBONG,
DESA SAMPALAN, KABUPATEN KLUNGKUNG)
OLEH:
PANDE MIRAH DWI ANGGRENI 9407
NI LUH PUTU EKA JULIARI 9457
HENDRA SETIAWAN 9977
PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 SEMARAPURA
TAHUN AJARAN 2010/2011
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
ABSTRAKSI ..................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
1.5 Ruang Lingkup ........................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Air Limbah dan Permasalahannya ............................................. 7
2.2 Mengenal Jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) . 12
2.3 Kerangka Berpikir ...................................................................... 14
2.4 Hipotesis Penelitian .................................................................... 15
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 16
3.2 Rancangan Penelitian ................................................................. 16
3.3 Subyek dan Obyek Penelitian ..................................................... 16
3.4 Alat dan Bahan .......................................................................... 17
3.4.1 Alat .................................................................................... 17
3.4.2 Bahan ................................................................................ 17
3.5 Metode Pengumpulan Data ........................................................ 17
3.6 Metode Pengolahan Data ............................................................ 18
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ........................................................................... 19
v
v
4.1.1 Potensi Jamur Lapuk Putih untuk Menetralkan
Limbah Pencelupan Benang .............................................. 19
4.1.2 Konsentrasi Jamur Lapuk Putih yang Optimal
untuk Menetralkan Limbah Pencelupan Benang .............. 19
4.1.3 Waktu Perendaman yang Tepat untuk Menetralkan
Limbah Pencelupan Benang .............................................. 20
4.1.4 Potensi Jamur Lapuk Putih untuk Menjernihkan
Limbah Pencelupan Benang .............................................. 20
4.1.5 Potensi Jamur Lapuk Putih untuk Mengurangi Kadar
Racun pada Limbah Pencelupan Benang .......................... 21
4.2 Pembahasan ................................................................................ 22
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ................................................................................. 26
5.2 Saran ........................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIODATA PESERTA
vi
vi
Pemanfaatan Jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium)
dalam Pengolahan Limbah Tekstil (Suatu Studi Pendahuluan Terhadap Limbah Pencelupan Benang
di Banjar Grombong, Desa Sampalan, Kabupaten Klungkung)
A B S T R A K S I
Pande Mirah Dwi Anggreni, Ni Luh Putu Eka Juliari,
Hendra Setiawan, 2011, 27 Halaman.
Selama ini jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) jarang
dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal tersebut menyebabkan jamur Lapuk Putih
(Phanerochaete chrysosporium) kurang bernilai ekonomis. Sedangkan jamur ini
memiliki manfaat untuk menetralkan limbah pencelupan benang. Dibandingkan
dengan penetral limbah yang lain, bahan ini lebih ekonomis dan ramah
lingkungan sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut untuk pengolahan limbah
cair. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan jamur Lapuk Putih
(Phanerochaete chrysosporium) untuk menetralkan air limbah pencelupan benang
di banjar Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung. Penelitian ini
tergolong penelitian eksperimental, dengan subjek penelitian yaitu air limbah
industri pencelupan benang di banjar Grombong, desa Sampalan, kabupaten
Klungkung. Obyek dalam penelitian ini yaitu warna, kadar racun, dan pH hasil
olahan limbah industri yang sudah dicampur dengan jamur Lapuk Putih
(Phanerochaete chrysosporium). Data dalam penelitian ini diolah secara
deskriptif kuantitatif yang diawali dengan proses persiapan alat dan bahan hingga
mendapat hasil penelitian berupa perubahan warna, kadar racun, dan pH dari air
limbah pencelupan benang yang telah dicampur jamur Lapuk Putih
(Phanerochaete chrysosporium). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
rentang pengamatan yang dilakukan, konsentrasi jamur Lapuk Putih
(Phanerochaete chrysosporium) yang optimal untuk menetralkan air limbah
pencelupan benang adalah 7 gram/100 ml dengan lama perendaman selama 33
jam. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan
terjadinya penurunan pH limbah pencelupan benang dari 9,4 menjadi 7,3 dan juga
dibuktikan dengan adanya perubahan warna dari warna orange menjadi lebih
jernih. Selain itu, terjadi penurunan kadar racun dalam air limbah yang
dibuktikan dengan daya tahan ikan di dalam air limbah yang sudah diolah dengan
menggunakan jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) lebih baik
dibandingkan dengan dengan daya tahan ikan di dalam air limbah yang belum
diolah. Mengingat penelitian ini tergolong studi pendahuluan maka hasil dari
penelitian ini belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut
dengan menggunakan konsentrasi jamur yang bervariasi.
Kata kunci : Limbah pencelupan benang, jamur lapuk putih (Phanerochaete
chrysosporium), kadar warna, kadar racun, dan Ph limbah
pencelupan benang.
vii
vii
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Halaman
2.1 Skema pengelompokan bahan yang terkandung di dalam air limbah … 8
2.2 Marasmius sp. ………………………………………………………… 13
2.3 Phanerochaete chrysosporium ………………………………………... 13
2.4 Trametes versicolor …………………………………………………... 14
4.1 Pengurangan pH Limbah Berdasarkan Massa ……………………….. 23
4.2 Kenaikan pH Limbah Berdasarkan Massa …………………………… 23
viii
viii
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
3.1 Hasil Pengukuran pH Limbah ................................................................ 18
3.2 Hasil Pengamatan Warna Limbah .......................................................... 18
4.1 Hasil Pengukuran pH Limbah dengan Variasi Massa Jamur
Lapuk Putih ............................................................................................ 19
4.2 Penentuan Konsentrasi Jamur Lapuk Putih ............................................ 20
4.3 Hasil Pengamatan Waktu Perendaman Jamur Lapuk Putih ................... 20
4.4 Hasil Pengamatan Warna Limbah .......................................................... 21
4.5 Perbandingan Daya Tahan Hidup Ikan Jali pada Limbah yang
Sudah dan Belum Diolah ....................................................................... 21
4.6 Perbandingan Pengurangan pH Awal dan pH Akhir ............................. 22
4.7 Kenaikan pH Limbah yang Terjadi Setelah 33 Jam ............................... 22
4.8 Perbandingan Perubahan Warna Awal dan Akhir ................................. 24
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industri tekstil merupakan salah satu industri terpenting dalam suatu
negara. Tak heran jika industri tekstil adalah salah satu industri yang
berkembang dengan pesat. Di Indonesia, industri tekstil mengalami
perkembangan sebesar 0,85% per tahun. Perkembangan yang terjadi
membawa manfaat yang baik bagi kehidupan masyarakat. Namun, seperti
halnya perkembangan industri lainnya, perkembangan industri tekstil
meningkatkan pula risiko kerusakan lingkungan jika limbah yang dihasilkan
tidak diolah dengan baik (Guswandhi dkk., 2007).
Salah satu masalah yang paling mengganggu dari limbah industri tekstil
adalah kandungan zat warna. Dalam industri tekstil, zat warna merupakan
salah satu bahan baku utama. Sekitar 10-15% dari zat warna yang sudah
digunakan tidak dapat dipakai ulang dan harus dibuang. Zat warna yang
dikandung limbah industri tekstil dapat mengganggu kesehatan, misalnya
iritasi kulit dan iritasi mata hingga menyebabkan kanker. Selain itu, zat
warna juga dapat menyebabkan terjadinya mutagen (Mathur, 2005).
Zat warna ini memiliki struktur kimia berupa gugus kromofor dan
terbuat dari beraneka bahan sintetis, yang membuatnya resisten terhadap
degradasi saat nantinya sudah memasuki perairan. Meningkatnya kekeruhan
air karena adanya polusi zat warna, nantinya akan menghalangi masuknya
cahaya matahari ke dasar perairan dan mengganggu keseimbangan proses
fotosintesis, ditambah lagi adanya efek mutagenik dan karsinogen dari zat
warna tersebut, membuatnya menjadi masalah yang serius.
Alam memiliki kemampuan dalam menetralisir pencemaran yang
terjadi apabila jumlahnya kecil, akan tetapi apabila dalam jumlah yang cukup
banyak akan menimbulkan dampak negatif terhadap alam karena dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan sehingga
limbah tersebut dikatakan telah mencemari lingkungan. Hal tersebut dapat
dicegah dengan mengolah limbah yang dihasilkan industri sebelum dibuang
2
ke badan air. Limbah yang dibuang ke sungai harus memenuhi baku mutu
yang telah ditetapkan, karena sungai merupakan salah satu sumber air bersih
bagi masyarakat, sehingga diharapkan tidak tercemar dan bisa digunakan
untuk keperluan lainnya (Junaidi, 2006).
Khususnya di kabupaten Klungkung, sektor industri merupakan salah
satu sektor sekunder yang memegang peranan penting baik dalam hal
penyerapan tenaga kerja maupun kontribusinya terhadap Produk Domestik
Regional Bruto. Perkembangan sektor industri dari tahun ke tahun secara
gradual mengalami peningkatan. Tahun 2007 sektor ini mampu menyerap
tenaga kerja sekitar 12 persen dari total angkatan kerja dan meningkat 10
persen lebih selama tiga 3 tahun terakhir. Sedangkan kontribusinya terhadap
Produk Domestik Regional Bruto mengalami peningkatan 4,04%.
Di kabupaten Klungkung terdapat industri sedang sebanyak 23 buah
dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 745 orang, yang tersebar di tiga 3
kecamatan yaitu 8 buah di kecamatan Klungkung, 11 buah di kecamatan
Dawan serta 4 buah di kecamatan Banjarangkan. Industri tesktil, pakaian jadi
dan kulit menyerap tenaga kerja lebih dari 45 persen (Adnyana, 2008).
Dengan demikian jelaslah bahwa keberadaan industri tekstil pakaian jadi
memiliki posisi strategis bagi perkembangan sektor industri khususnya dan
perekonomian umumnya.
Terlepas dari peranannya sebagai komoditi ekspor yang diandalkan,
ternyata industri tekstil di kabupaten Klungkung ini menimbulkan masalah
yang serius bagi lingkungan terutama masalah yang diakibatkan oleh limbah
cair yang dihasilkan. Limbah tekstil ini dihasilkan oleh beberapa industri
kecil pencelupan benang di banjar Grombong, desa Sampalan, kabupaten
Klungkung yang beroperasi di pinggir sungai. Setiap hari limbah yang
dihasilkan beraneka warna seperti merah, biru, hijau, kuning, hitam dan
sebagainya.
Berdasarkan informasi dari pelaku usaha setempat, pewarna yang
digunakan dalam pewarnaan benang adalah soda, picanol dan porsion untuk
memberikan warna orange pada benang. Limbah hasil pencelupan benang
tersebut tidak diolah dahulu oleh para pelaku usaha tekstil tetapi membuang
3
limbah tersebut ke sungai. Kalau pun ada yang melakukan pengolahan,
langkah yang diambil terbatas pada pembuatan lubang atau bak untuk
menampung limbah tanpa ada tindakan lainnya.
Limbah pencelupan benang yang dihasilkan industri tersebut sangat
merusak keindahan lingkungan. Limbah dialirkan begitu saja ke sungai
sehingga dapat membahayakan penduduk sekitar yang memanfaatkan air
sungai untuk MCK dan irigasi karena sifatnya yang basa, dengan pH limbah
mencapai 9,3. Organisme perairan juga tidak dapat bertahan hidup akibat
limbah yang beracun. Fenomena tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan
kerusakan ekosistem air sungai Kali Unda.
Dampak lebih jauh adalah kelangkaan sumber daya air di masa
mendatang dan kepunahan ekosistem perairan tidak pelak lagi dapat terjadi
apabila warga masyarakat tidak peduli terhadap permasalahan tersebut. Oleh
karena itu, perlu dilakukan pengolahan limbah cair sebelum dibuang ke
sungai. Pada umumnya, tujuan dari pengolahan limbah cair industri tekstil
adalah mengurangi tingkat polutan organik, logam berat, padatan tersuspensi
dan warna sebelum dibuang ke badan air.
Pada saat ini polutan di Indonesia tidak memasukkan warna sebagai
parameter yang diatur. Walaupun demikian, limbah yang mengandung warna
seringkali menimbulkan kesulitan dalam penggunaan selanjutnya dalam
masalah estetika. Dewasa ini, telah banyak penelitian yang dilakukan
mengenai penghilangan warna dan senyawa organik yang ada dalam limbah
cair industri tekstil, misalnya dengan cara kimia menggunakan koagulan,
secara fisika dengan sedimentasi, adsorpsi dan lain-lain. Pengolahan limbah
cair dengan menggunakan proses biologi juga banyak diterapkan untuk
mereduksi senyawa organik dari limbah cair industri tekstil. Namun efisiensi
penghilangan warna melalui proses biologi ini seringkali tidak memuaskan,
karena zat warna mempunyai sifat tahan terhadap degradasi biologi
(recalcitrance).
Penghilangan warna secara kimia menggunakan koagulan akan
menghasilkan lumpur (sludge) dalam jumlah yang relatif besar. Lumpur yang
dihasilkan ini akhirnya akan menimbulkan masalah baru bagi unit
4
pengolahan limbah. Menurut Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1994,
lumpur yang dihasilkan industri tekstil diklasifikasikan sebagai limbah B3,
sehingga membutuhkan pengolahan limbah lebih lanjut terhadap lumpur
yang terbentuk. Dengan adanya penanganan lanjutan ini akan menaikkan
biaya operasional unit pengolahan limbah. Sedangkan penggunaan karbon
aktif untuk menghilangkan warna juga memerlukan biaya yang cukup tinggi
karena harga karbon aktif relatif mahal.
Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan altematif baru untuk
mengolah limbah cair indutri tekstil yang efektif dan efisien dalam
menurunkan polutan organik dan zat warna (Manurung, 2004). Pengolahan
secara alamiah diharapkan dapat lebih dikembangkan karena pengolahan
jenis ini relatif lebih ekonomis dengan tujuan memanfaatkan potensi alam
setempat. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan jamur lapuk putih
(Phanerochaete chrysosporium). Terkait dengan latar belakang di atas maka
pada karya tulis ini akan diteliti mengenai pemanfaatan jamur lapuk putih
(Phanerochaete chrysosporium) untuk menetralkan limbah pencelupan
benang di banjar Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait dengan latar belakang di atas yaitu
sebagai berikut:
1. Apakah jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) dapat
digunakan untuk menetralkan limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung?
2. Berapa konsentrasi jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium)
yang optimal untuk menetralkan limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung?
3. Berapa lama perendaman jamur Lapuk Putih (Phanerochaete
chrysosporium) dalam menetralkan limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung ?
5
4. Apakah jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) dapat
digunakan untuk menjernihkan limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung ?
5. Apakah jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) dapat
mengurangi kadar racun dalam limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan dalam karya tulis ini yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui manfaat jamur Lapuk Putih (Phanerochaete
chrysosporium) untuk menetralkan limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung.
2. Untuk mengetahui konsentrasi jamur Lapuk Putih (Phanerochaete
chrysosporium) yang optimal untuk menetralkan limbah pencelupan
benang di banjar Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung.
3. Untuk mengetahui lama perendaman jamur Lapuk Putih (Phanerochaete
chrysosporium) dalam menetralkan limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung.
4. Untuk mengetahui jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium)
dapat digunakan untuk menjernihkan limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung.
5. Untuk mengetahui jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium)
dapat mengurangi kadar racun dalam limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
berbagai pihak antara lain sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah, untuk membuat peraturan dan memberi sanksi yang
tegas kepada masyarakat yang mencemari lingkungan sungai.
6
2. Bagi pengusaha tekstil, sebagai masukan untuk mengolah limbah sebelum
dibuang ke aliran sungai sehingga air tidak terkontaminasi dengan zat-zat
yang berbahaya dari limbah pencelupan tekstil.
3. Bagi masyarakat, untuk memotivasi supaya tidak melakukan tindakan
yang dapat mencemari lingkungan sungai sehingga tidak merusak
ekosistem air.
4. Bagi penulis, dapat dijadikan referensi untuk menambah pengetahuan
mengenai pemanfaatan jamur Lapuk Putih untuk mengadsorbsi limbah
pencelupan benang di banjar Grombong, desa Sampalan, kabupaten
Klungkung.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium. Bahan-bahan yang
digunakan antara lain jamur Lapuk Putih serta air limbah pencelupan benang.
Volume sampel limbah yang digunakan sebanyak 100 ml. Limbah tersebut
berasal limbah cair industri pencelupan benang di banjar Grombong, desa
Sampalan, kabupaten Klungkung.
Penetralan limbah yang dimaksud dalam penelitian ini ditinjau dari
perubahan warna dan pH limbah pencelupan benang di banjar Grombong,
desa Sampalan, kabupaten Klungkung. Penetralan limbah yang dimaksud
dalam penelitian ini ditinjau dari dua segi yaitu warna dan derajat keasaman
(pH). Limbah disebut netral jika berwarna jernih dan pH-nya berada dalam
rentangan 6,8 – 7,2.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Air Limbah dan Permasalahannya
Menurut Metcalf dan Eddy (1979) yang dimaksud air limbah (waste
water) adalah kombinasi dari cairan dan sampah-sampah (air yang berasal
dari daerah permukiman, perdagangan, perkantoran, dan industri) bersama-
sama dengan air tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada.
Sedangkan menurut Ehlers and Steel (1979), limbah merupakan cairan yang
dibawa oleh saluran air buangan. Secara umum dapat dikemukakan air
buangan adalah cairan buangan yang berasal dari rumah tangga, industri
maupun tempat-tempat umum lainnya, dan biasanya mengandung bahan-
bahan atau zat yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta
mengganggu kelestarian hidup.
Limbah dapat diklasifikasikan sebagai berikut, 1) Limbah mudah
meledak adalah limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas
dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak
lingkungan. 2) Limbah mudah terbakar yaitu limbah yang bila berdekatan
dengan api, percikan api, gesekan atau sumber nyala lain akan mudah
menyala atau terbakar dan bila sudah menyala akan terus terbakar hebat
dalam waktu yang lama. 3) Limbah reaktif adalah limbah yang menyebabkan
kebakaran karena melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik
peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi. 4) Limbah beracun adalah
limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan
lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk
kedalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut. 5) Limbah yang
menyebabkan infeksi yaitu limbah laboratorium yang terinfeksi penyakit atau
limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia
yang diamputasi dan cairan tubuh manusia yang terkena infeksi. 6) Limbah
yang bersifat korosif adalah limbah yang menyebabkan iritasi pada kulit atau
mengkorositkan baja, yaitu memiliki pH asam atau kurang dari 2,0 untuk
limbah yang bersifat asam dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
8
Sesuai dengan sumber asalnya, maka air limbah mempunyai komposisi
yang sangat bervariasi dari setiap tempat dan setiap saat. Akan tetapi, secara
garis besar zat-zat yang terdapat di dalam air limbah dapat dikelompokkan
seperti pada skema berikut ini.
Gambar 2.1 Skema pengelompokan bahan yang terkandung di dalam air limbah.
(Sugiharto, 2005)
Air limbah sebagai sumber pencemar dapat berasal dari berbagai
sumber yang pada umumnya karena hasil perbuatan manusia dan kemajuan
teknologi. Sumber-sumber air limbah tersebut oleh Kusnoputranto (1986)
dibedakan menjadi 3, yaitu, 1) Air limbah rumah tangga (domestic wasted
water), air limbah dari permukiman ini umumnya mempunyai komposisi
yang terdiri atas ekskreta (tinja dan urin), air bekas cucian dapur dan kamar
mandi, dimana sebagian besar merupakan bahan organik. 2) Air limbah
kotapraja (municipal wastes water), air limbah ini umumnya berasal dari
daerah perkotaan, perdagangan, sekolah, tempat–tempat ibadah dan tempat–
tempat umum lainnya seperti hotel, restoran, dan lain-lain. 3) Air limbah
industri (industrial wastes water), air limbah yang berasal dari berbagai jenis
industri akibat proses produksi ini pada umumnya lebih sulit dalam
pengolahannya serta mempunyai variasi yang luas.
Sesuai dengan sumber air limbah yang merupakan benda sisa, maka
sudah barang tentu bahwa air limbah merupakan benda yang sudah tidak
dipergunakan lagi. Akan tetapi tidak berarti bahwa air limbah tersebut tidak
Air Limbah
Air
(99,9%)
Bahan padat
(0,1%)
Organik
Protein (65%)
Karbohidrat
(25%)
Lemak (10%)
Anorganik
Butiran
Garam
Metal
9
perlu dilakukan pengelolaan, karena apabila limbah tersebut tidak dikelola
secara baik akan dapat menimbulkan gangguan, baik terhadap lingkungan
maupun terhadap kehidupan yang ada (Azwar, 1995). Air limbah sangat
berbahaya terhadap kesehatan manusia mengingat bahwa banyak penyakit
yang dapat ditularkan melalui air limbah. Air limbah ini ada yang hanya
berfungsi sebagai media pembawa saja seperti penyakit kolera, radang usus,
hepatitis infektiosa, serta schitosomiasis. Selain sebagai pembawa penyakit di
dalam air limbah itu sendiri banyak terdapat bakteri patogen penyebab
penyakit, seperti virus, Vibrio Cholera, Salmonella Typhosa, Salmonella Sp,
Shigella Sp, Basillus Antraksis, Brusella Sp, Mycobacterium Tuberculosa,
Leptospira, Entamuba Histolitika, Schistosoma Sp, dan Taenia Sp.
Selain sebagai pembawa dan kandungan kuman penyakit, air limbah
juga dapat mengandung bahan-bahan beracun, penyebab iritasi, bau dan
bahkan suhu yang tinggi serta bahan-bahan lainnya yang mudah terbakar.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh sumber asal air limbah. Kasus yang
terjadi di Teluk Minamata pada tahun 1953 adalah contoh yang nyata di
mana para nelayan dan keluarganya mengalami gejala penyempitan ruang
pandang, kelumpuhan, kulit terasa menebal dan bahkan dapat menyebabkan
kematian. Kejadian yang demikian adalah sebagai akibat termakannya ikan
oleh nelayan, sedangkan ikan tersebut telah mengandung air raksa sebagai
akibat termakannya kandungan air raksa yang ada di dalam teluk. Air raksa
ini berasal dari air limbah yang tercemar oleh adanya pabrik yang
menghasilkan air raksa pada buangan limbanya. Selain air raksa masih
banyak lagi racun lainnya yang dapat membahayakan kesehatan manusia.
Dengan banyaknya zat pencemar yang ada di dalam air limbah, maka
akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut di dalam air
limbah. Dengan demikian akan menyebabkan kehidupan di dalam air yang
membutuhkan oksigen akan terganggu, dalam hal ini akan mengurangi
perkembangannya. Selain kematian kehidupan di dalam air disebabkan
karena kurangnya oksigen di dalam air dapat juga karena adanya zat beracun
yang berada di dalam air limbah tersebut. Selain matinya ikan dan bakteri-
bakteri di dalam air juga dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman atau
10
tumbuhan air. Sebagai akibat matinya bakteri-bakteri, maka proses
penjernihan sendiri yang seharusnya bisa terjadi pada air limbah menjadi
terhambat. Sebagai akibat selanjutnya adalah air limbah akan sulit untuk
diuraikan. Selain bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu kehidupan di
dalam air, maka kehidupan di dalam air juga dapat terganggu dengan adanya
pengaruh fisik seperti adanya tempertur tinggi yang dikeluarkan oleh industri
yang memerlukan proses pendinginan.
Panasnya air limbah dapat mematikan semua organisme apabila tidak
dilakukan pendinginan terlebih dahulu sebelum dibuang ke dalam saluran air
limbah (Azwar, 1995). Apabila air limbah mengandung gas karbondioksida
yang agresif, maka mau tidak mau akan mempercepat proses terjadinya karat
pada benda yang terbuat dari besi. Selain karbon dioksida agresif, maka tidak
kalah pentingnya apabila air limbah itu adalah air limbah yang berkadar pH
rendah atau bersifat asam maupun pH tinggi yang bersifat basa. Melalui pH
yang rendah maupun pH yang tinggi mengkibatkan timbulnya kerusakan
pada benda-benda yang dilaluinya. Lemak yang merupakan sebagian dari
komponen air limbah mempunyai sifat yang menggumpal pada suhu udara
normal, dan akan berubah menjadi cair apabila berada pada suhu yang lebih
panas.
Lemak yang merupakan benda cair pada saat dibuang ke saluran air
limbah akan menumpuk secara kumulatif pada saluran air limbah karena
mengalami pendinginan dan lemak ini akan menempel pada dinding saluran
air limbah yang pada akhirnya akan dapat menyumbat aliran air limbah.
Selain penyumbatan akan dapat juga terjadi kerusakan pada tempat dimana
lemak tersebut menempel yang bisa berakibat timbulnya bocor
(Notoatmodjo, 1997). Air limbah dapat mengganggu aktivitas masyarakat
dan mengganggu ekosistem di lingkungan sekitar sehingga diperlukan
pengolahan. Hal ini ditujukan untuk menurunkan kadar BOD (Biological
Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), zat-zat tersuspensi,
organisme-organisme patogen dan untuk menghilangkan atau untuk
mengurangi nutrien bahan-bahan beracun zat terlarut serta zat lainnya yang
sukar dibiodegradasi.
11
Sedangkan menurut Unus Suriawiria, tujuan pengolahan air limbah
antara lain, ditinjau dari segi kelangsungan kehidupan di dalam air, segi
kesehatan dan segi estetika. Pada umumnya pengolahan air limbah
dikelompokkan kedalam pengolahan tahap pertama (primary treatment),
pengolahan tahap kedua (secondary treatment), pengolahan tahap ketiga
(tertiary treatment) dan pembuangan lumpur (sludge disposal). Pengolahan
tahap pertama dimaksudkan untuk menghilangkan zat-zat padat tersuspensi
dengan cara pengendapan dan pengapungan, pada tahap ini dilakukan
sedimentasi, penambahan koagulan, dan bahan-bahan untuk penetralan.
Pengolahan tahap kedua biasanya mencakup proses biologis untuk
menghilangkan bahan-bahan organik melalui oksidasi biokimiawi. Termasuk
dalam pengolahan kedua ini adalah trickling filter, proses lumpur aktif, dan
kolam stabilisasi atau modifikasi sejenisnya. Pengolahan tahap ketiga antara
lain proses penyaringan, adsorbs karbon aktif, proses pertukaran ion dan
proses desinfeksi dengan menggunakan khlor atau ozon untuk
menghilangkan organisme patogen.
Di Indonesia, pengelolaan limbah merupakan suatu kewajiban,
sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) UU No. 23/1997 dimana
disebutkan bahwa : “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan,
wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
Ketentuan yang mengatur masalah perizinan pembuangan limbah dimuat
dalam pasal 20 ayat (1) yang menyebutkan bahwa : “Tanpa suatu keputusan
izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media
lingkungan hidup”.
Sehubungan dengan hal tersebut pengelolaan limbah B3 apabila tidak
dilakukan secara baik dan benar sifatnya akan mengakibatkan pencemaran
atau kerusakan yang berat terhadap lingkungan hidup sehingga pada
gilirannya akan meresahkan masyarakat, disinilah letak pentingnya hukum
pidana dalam UU No. 23/1997, yakni di satu sisi sebagai upaya antisipasi dan
di sisi lain sebagai upaya represif (Abidin, 2006). Hal ini harus benar-benar
dipahami dan didasari oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan, khususnya dalam
12
hal ini pihak pengelola industri kain endek di Sampalan sebagai pihak yang
berkompeten.
Karakteristik utama dari air limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan adalah tingginya kandungan zat warna sintetik
yang apabila dibuang ke lingkungan tentunya akan membahayakan ekosistem
perairan. Limbah ini memiliki pH 10, yangmana dapat digolongkan bersifat
basa. Zat warna ini memiliki struktur kimia yang berupa gugus kromofor dan
terbuat dari beraneka bahan sintetis yang membuatnya resisten terhadap
degradasi saat nantinya sudah memasuki perairan. Meningkatnya kekeruhan
air karena adanya polusi zat warna, nantinya akan menghalangi masuknya
cahaya matahari ke dasar perairan dan mengganggu keseimbangan proses
fotosintetis, ditambah lagi dengan adanya efek mutagenik dan karsinogen
dari zat warna tersebut, membuatnya menjadi masalah yang serius.
Berdasarkan karakteristiknya, air limbah pencelupan benang di banjar
Grombong ini termasuk dalam kategori limbah beracun, yangmana limbah ini
dapat menimbulkan kerusakan ekosistem karena pembuangannya yang
langsung dibawa ke sungai. Selain itu limbah ini lebih sulit dalam
pengolahannya serta mempunyai variasi yang luas karena merupakan hasil
proses produksi berupa pencelupan benang untuk pembuatan kain endek.
Sehingga menurut sumbernya, air limbah ini dapat diklasifikasikan sebagai
air limbah industri (industrial wastes water).
2.2 Mengenal Jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium)
Jamur lapuk putih adalah sejenis jamur yang tumbuh pada tunggul kayu
yang telah mati, di musim hujan terkadang ditumbuhi jamur putih yang
penampilannya besar dan liat. Tidak dapat dijadikan sumber pangan, dan
malah membuat kayu rumah menjadi lapuk, seringkali orang hanya
melihatnya sambil lalu dan menganggapnya tidak berguna. Ternyata jamur
tersebut memiliki manfaat lain, yaitu sebagai pendegradasi zat warna di
dalam limbah Pencucian jeans (Christian, 2007). Jamur ini merupakan jamur
dari jenis Basidiomycetes, yang berarti memiliki tubuh buah yang seringkali
berbentuk seperti payung (disebut basidium).
13
Dinamakan jamur lapuk putih karena jamur ini mampu mendegradasi
substrat kayu yang berwarna kecoklatan (lignin) menjadi materi selulosa
yang berwarna putih. Pada penelitian yang telah dilakukan Couto, dkk (2004)
terhadap jamur lapuk putih, diketahui bahwa jamur lapuk putih memiliki
enzim lakase yang berperan cukup signifikan pada proses penghilangan zat
warna. Beberapa gambar jamur lapuk putih dapat dilihat pada gambar 2, 3,
dan 4 di bawah ini:
Gambar 2.2 Marasmius sp.
(Darnianti, 2008)
Phanerochaete chrysosporium termasuk jenis Corticiaceae. Tubuh
buahnya membentuk suatu kerak terletak di bagian bawah dari batang kayu.
Gambar 2.3 Phanerochaete chrysosporium
(Darnianti, 2008)
14
Trametes versicolor digolongkan ke dalam Basidiomycetes. Trametes
versicolor luas atau lebarnya 10 cm, berbentuk setengah lingkaran (Christian,
2007).
Gambar 2.4 Trametes versicolor
(Darnianti, 2008)
2.4 Kerangka Berpikir
Jamur Lapuk Putih memproduksi enzim-enzim pendegradasi lignin
yang nonspesifik, yang dapat mendegradasi berbagai jenis zat pengotor
organik, termasuk zat warna pencucian jeans. Jamur Lapuk Putih
(Phanerochaete chrysosporium) dapat menetralkan limbah, khususnya
limbah berupa zat cair karena Jamur Lapuk Putih mengeluarkan berbagai
enzim ekstraseluler.
Selain itu, jamur lapuk putih mengeluarkan enzim lakase yang
berperan cukup signifikan pada proses penghilangan zat warna. Metode ini
sangat murah apabila ditinjau dari kelayakan ekonomi, dan yang paling
penting, molekul zat warna dalam limbah dapat direduksi secara efektif
menjadi komponen yang tidak berbahaya, karena enzim merupakan protein,
yang di alam dapat dengan mudah diuraikan menjadi asam amino.
15
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas, dapat ditarik
hipotesis sebagai berikut:
1. Jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) dapat digunakan
untuk menetralkan, menjernihkan, dan mengurangi kadar racun air limbah
pencelupan benang di banjar Grombong, desa Sampalan, kabupaten
Klungkung.
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di salah satu rumah peneliti yaitu di
Perumahan Dewi Sartika No. 5, Semarapura, Bali. Penelitian ini dilakukan
selama 7 hari yaitu tanggal 19 April 2011 sampai 25 April 2011.
3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian pendahuluan yang akan
menjadi dasar bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Berdasarkan tujuannya,
penelitian ini tergolong penelitian eksperimental. Penelitian eksperimental ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh jamur Lapuk Putih (Phanerochaete
chrysosporium) dalam menetralkan air limbah industri pencelupan benang di
banjar Grombong, desa Sampalan, kecamatan Dawan, kabupaten Klungkung.
Lebih lanjut melalui eksperimen juga akan dicari konsentrasi jamur dan
waktu perendaman yang optimal untuk menetralkan limbah. Variabel-
variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi :
1. Konsentrasi jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) : 1000,
2000, 3000, 4000, 5000, 6000, 7000, dan 8000 (mg/100 ml)
2. Variasi waktu pengendapan : 11, 22, 33, dan 44 (jam).
Parameter penelitian dalam karya tulis ini adalah perubahan warna,
kadar racun dan pH limbah pencelupan benang di banjar Grombong, desa
Sampalan, kecamatan Dawan, kabupaten Klungkung.
3.3 Subyek dan Obyek Penelitian
Adapun subyek dalam penelitian ini adalah air limbah industri
pencelupan benang di banjar Grombong, desa Sampalan, kecamatan Dawan,
kabupaten Klungkung. Sedangkan obyek dalam penelitian ini yaitu warna,
kadar racun dan pH hasil olahan limbah industri yang sudah dicampur dengan
jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium).
17
3.4 Alat dan Bahan
3.4.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Gelas plastik
2. Neraca lengan
3. Gelas ukur
4. Pipet tetes
5. pH meter
6. Stop watch
3.4.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah air limbah industri
pencelupan benang sebanyak 1,6 liter dengan warna orange, jamur
Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium), ikan jali, dan air sungai.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui
observasi dalam eksperimen dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menyiapkan alat dan bahan. Air limbah diambil dari industri pencelupan
benang yang ada di banjar Grombong, desa Sampalan, kecamatan Dawan,
kabupaten Klungkung. Bahan tersebut dimasukkan dalam 16 aqua gelas
masing-masing sebanyak 100 ml.
2. Menyiapkan jamur Lapuk Putih dengan massa 1 gram sampai 8 gram.
Jamur yang sudah ditimbang massanya di masukkan ke dalam gelas yang
sudah berisi limbah.
3. Mengukur perubahan pH, perubahan warna yang terjadi dari campuran
tersebut setiap 11 jam.
4. Limbah yang sudah dicampur jamur dengan pH mendekati 7, kemudian
diuji kadar racunnya dengan menempatkan ikan jali yang sudah disiapkan
di gelas aqua yang berisi 100 ml air sungai. Ikan jali digunakan dalam
penelitian ini karena mudah didapat dan habitatnya berada di sungai,
dimana limbah pencelupan benang tersebut dialirkan ke sungai.
5. Semua hasil penelitian dicatat ke dalam tabel sebagai berikut :
18
Tabel 3.1 Hasil Pengukuran pH Limbah
No Waktu Massa (Gram) / pH
1 2 3 4 5 6 7 8
1
2
3
4
5
Tabel 3.2 Hasil Pengamatan Warna Limbah
No Waktu Massa (Gram) / Perubahan Warna
1 2 3 4 5 6 7 8
1
2
3
4
5
3.6 Metode Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul tidak ada gunanya jika tidak diolah.
Pengolahan data merupakan bagian yang amat penting dalam penelitian
karena dengan pengolahan data, data tersebut dapat diberi arti dan makna
yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Data dalam penelitian
ini diolah secara deskriptif kuantitatif yaitu melalui warna limbah yang telah
diisi jamur. Limbah dikatakan telah menjadi netral jika berwarna jernih
dengan pH dalam rentangan 6,8 – 7,2.
19
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Potensi Jamur Lapuk Putih untuk Menetralkan Limbah
Pencelupan Benang
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel 4.1
Hasil Pengukuran pH Limbah dengan Variasi
Massa Jamur Lapuk Putih
No Waktu Massa (Gram) / pH
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Awal 9,2 9,2 9,3 9,3 9,3 9,4 9,4 9,4
2 11 jam 9,5 9,2 9,2 9,2 9,1 9,1 9,0 8,7
3 22 jam 9,0 8,9 8,6 8,7 8,2 7,8 7,9 7,8
4 33 jam 8,5 8,4 8,3 8,1 7,6 7,4 7,3 7,3
5 44 jam 9,4 9,3 9,4 9,2 8,5 8,5 8,4 8,5
Berdasarkan tabel tampak bahwa setelah pengamatan selama 33
jam pH limbah mencapai kondisi netral untuk limbah yang dicampur
dengan jamur bermassa 5, 6, 7, dan 8 gram. Untuk limbah yang
dicampur jamur bermassa 1 - 4 gram, pH limbah menunjukkan
penurunan dari kondisi awalnya. Sehingga secara umum hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa penambahan jamur Lapuk Putih pada limbah
dapat menurunkan pH limbah hingga mendekati netral, dimana
perubahan pH yang terjadi sangat bervariasi bergantung pada massa
jamur Lapuk Putih yang ditambahkan.
4.1.2 Konsentrasi Jamur Lapuk Putih yang Optimal untuk Menetralkan
Limbah Pencelupan Benang
Dalam menentukan konsentrasi jamur Lapuk Putih yang optimal
untuk menetralkan limbah pencelupan benang, maka massa jamur
Lapuk Putih yang digunakan perlu dihitung dahulu konsentrasinya
seperti tabel 4.2.
20
Tabel 4.2
Penentuan Konsentrasi Jamur Lapuk Putih
No Massa Vol. Limbah Konsentrasi
1.
2.
3.
4.
5.
1 gr
2 gr
3 gr
4 gr
5 gr
100 ml
100 ml
100 ml
100 ml
100 ml
1 gr/100 ml
2 gr/100 ml
3 gr/100 ml
4 gr/100 ml
5 gr/100 ml
4.1.3 Waktu Perendaman yang Tepat untuk Menetralkan Limbah
Pencelupan Benang
Untuk mempermudah dalam penentuan waktu yang tepat untuk
menetralkan limbah, maka diadakan modifikasi tabel 4.1 dimana data
pH diintrepretasi dalam tingkat asam, basa, dan netral. Hasilnya
disajikan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3
Hasil Pengamatan Waktu Perendaman Jamur Lapuk Putih
No Massa Waktu
0 jam 11 jam 22 jam 33 jam 44 jam
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1 gr
2 gr
3 gr
4 gr
5 gr
6 gr
7 gr
8 gr
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Netral
Netral
Netral
Netral
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Basa
Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa massa jamur Lapuk
Putih 5 – 8 gram dapat menetralkan limbah secara optimal 33 jam
setelah dicampurkan pada limbah. Sedangkan setelah 44 jam limbah
yang dicampur jamur Lapuk Putih kembali bersifat basa.
4.1.4 Potensi Jamur Lapuk Putih untuk Menjernihkan Limbah
Pencelupan Benang
Pada penelitian ini, potensi jamur Lapuk Putih untuk menjernihkan
limbah ditentukan dengan mengamati perubahan warna limbah setelah
dicampur dengan massa jamur Lapuk Putih yang berbeda. Data hasil
pengamatan warna limbah disajikan pada tabel 4.4
21
Tabel 4.4
Hasil Pengamatan Warna Limbah
No Waktu Massa (Gram) / Perubahan Warna
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Awal Orange Orange Orange Orange Orange Orange Orange Orange
2 11 jam Coklat
muda
Coklat
muda
Coklat
muda
Coklat Coklat
tua
Coklat
tua
Coklat Coklat
3 22 jam Coklat
tua
Coklat
tua
Coklat
tua
Coklat
muda
Coklat
tua
Coklat Coklat Coklat
4 33 jam Merah Merah Merah Coklat Coklat Coklat Jernih Jernih
5 44 jam Merah
tua
Orange
tua
Merah
tua
Coklat Coklat
keputihan
Coklat
keputihan Coklat
muda
Coklat
muda
Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa limbah yang dicampur
dengan jamur Lapuk Putih sebanyak 7 gram dan 8 gram berwarna
jernih setelah direndam selama 33 jam.
4.1.5 Potensi Jamur Lapuk Putih untuk Mengurangi Kadar Racun pada
Limbah Pencelupan Benang
Kadar racun yang ada pada limbah dapat mengurangi jumlah
organism air yang hidup di dalamnya. Oleh karena itu pada penelitian
ini digunakan ikan jail untuk mengukur ada atau tidaknya penurunan
kadar racun pada limbah. Berdasarkan data hasil penelitian pada tabel
4.1, 4.2, 4.3, dan 4.4 tampak bahwa massa jamur Lapuk Putih yang
potensial untuk menetralkan limbah adalah 7 gram/100 ml limbah dan
waktu potensial untuk merendam jamur adalah 33 jam. Oleh karena itu,
peneliti memasukkan 1 ekor ikan jali pada limbah yang telah diolah
tersebut. Sebagai kontrol, peneliti juga memasukkan 1 ekor ikan jali
pada limbah yang belum diolah namun sudah didiamkan selama 33 jam.
Hasilnya dapat disajikan pada tabel 4.5 sebagai berikut:
Tabel 4.5
Perbandingan Daya Tahan Hidup Ikan Jali pada Limbah
yang Sudah dan Belum Diolah
Keadaan Limbah Daya Tahan Hidup
Belum diolah 3 jam 45 menit
Sudah diolah 5 jam 30 menit
Berdasarkan tabel 4.5 tampak bahwa ikan jali lebih bertahan hidup
pada limbah yang sudah diolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
22
jamur Lapuk Putih dapat menurunkan kadar racun pada limbah industri
tekstil.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat diungkapkan potensi
jamur Lapuk Putih dalam menetralkan, menjernihkan dan mengurangi kadar
racun dalam limbah. Terkait dengan potensi jamur Lapuk Putih dalam
menetralkan limbah tampak bahwa variasi massa jamur Lapuk Putih yang
dicampur pada limbah menimbulkan pengurangan pH yang bervariasi pula.
Adapun perbandingan pengurangan pH limbah setelah ditambahkan
jamur Lapuk Putih selama 33 jam dapat disajikan pada Tabel 4.6. Kenaikan
pH limbah yang terjadi setelah 33 jam disajikan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.6
Perbandingan Pengurangan pH Awal dan pH Akhir
Massa Waktu
Pengurangan pH 0 Jam 33 Jam
1
2
3
4
5
6
7
8
9,2
9,2
9,3
9,3
9,3
9,4
9,4
9,4
8,5
8,4
8,3
8,1
7,6
7,4
7,3
7,3
0,7
0,8
1,0
1,2
1,7
2,0
2,1
2,1
Tabel 4.7
Kenaikan pH Limbah yang Terjadi Setelah 33 Jam
Massa Waktu
Kenaikan pH 33 Jam 44 Jam
1
2
3
4
5
6
7
8
8,5
8,4
8,3
8,1
7,6
7,4
7,3
7,3
9,4
9,3
9,4
9,2
8,5
8,5
8,4
8,5
0,9
0,9
1,1
1,1
0,9
0,9
1,1
1,2
23
Profil perbandingan pH awal dan pH akhir selama 33 jam dapat
disajikan pada gambar 4.1. Sedangkan kenaikan pH limbah yang terjadi
setelah 33 jam dapat dilihat pada gambar 4.2.
Gambar 4.1 Pengurangan pH Limbah Berdasarkan Massa
Gambar 4.2 Kenaikan pH Limbah Berdasarkan Massa
Dari gambar 4.1 tampak bahwa jamur Lapuk Putih dapat menetralkan
limbah terbukti dengan pengurangan pH yang terjadi pada setiap variasi
massa, setelah jamur direndam selama 33 jam. Konsentrasi jamur yang paling
tepat untuk menetralkan limbah adalah 7 gr/100 ml, karena pada konsentrasi
24
tersebut, setelah 33 jam pH limbah menjadi 7,3 dan setelah 44 jam pH limbah
naik sebesar 1,1 menjadi 8,4.
Jika dibandingkan dengan konsentrasi 8 gr/100 ml, pH limbah
mengalami kenaikan yang lebih besar yakni sebesar 1,2. Terkait dengan
potensi jamur Lapuk Putih dalam menjernihkan limbah dapat dibandingkan
warna limbah sebelum dan sesudah perlakuan selama 33 jam, pada Tabel 4.8
sebagai berikut:
Tabel 4.8
Perbandingan Perubahan Warna Awal dan Akhir
Massa Warna
0 Jam 33 Jam
1
2
3
4
5
6
7
8
Orange
Orange
Orange
Orange
Orange
Orange
Orange
Orange
Merah Tua
Orange Tua
Merah Tua
Coklat
Coklat Keputihan
Coklat Keputihan
Coklat Muda
Coklat Muda
Berdasarkan data tersebut tampak bahwa massa jamur Lapuk Putih
yang tepat untuk ditambahkan dalam menjernihkan limbah adalah 7 gram dan
8 gram. Sesuai dengan analisis data sebelumnya, konsentrasi jamur Lapuk
Putih yang tepat dalam menetralkan limbah adalah 7 gr/100 ml, maka agar
kombinasi yang dilakukan memberikan hasil terbaik, massa jamur Lapuk
Putih 7 gram dianggap penjernih limbah yang paling tepat.
7 gram jamur Lapuk Putih yang direndam selama 33 jam pada 100 ml
limbah tekstil ternyata juga dapat menurunkan kadar racun pada limbah. Ikan
jali dapat lebih bertahan hidup pada limbah yang telah diolah tersebut. Hal ini
dapat disebabkan oleh tumbuhan yang bernafas mengeluarkan O2, jamur
Lapuk Putih meningkatkan jumlah O2 yang terlarut (BOD) dalam limbah
sehingga membantu pernapasan ikan.
Secara biologis, potensi jamur Lapuk Putih dalam menetralkan dan
menjernihkan limbah didukung oleh potensinya yang secara alami
memproduksi enzim-enzim pendegradasi lignin yang nonspesifik, yang dapat
mendegradasi berbagai jenis zat pengotor organik, termasuk zat warna
25
pencelupan benang. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian yang
dilakukan oleh Darmiati yang menyatakan bahwa kitosan dan jamur Lapuk
Putih dapat digunakan sebagai koagulan untuk menurunkan TSS (Total
Suspended Solid), turbiditas, kadar warna dan COD (Chemical Oxygen
Demand) pada waktu pengendapan 60 menit dan pH netral 6-7.
Jamur Lapuk Putih mampu menyisihkan kekeruhan sebesar 95.06%,
TSS (Total Suspended Solid) sebesar 80.49 % dan COD (Chemical Oxygen
Demand) sebesar 91.23%, Kitosan dengan jamur lapuk putih yang optimum
adalah rasio 3:2 (600 :400 mg/L) penyisihan kekeruhan 95.67%, TSS (Total
Suspended Solid) sebesar 87.72% dan COD (Chemical Oxygen Demand)
sebesar 86,68% dan kitosan 94.69% turbidits, TSS 85.73 dan COD
(Chemical Oxygen Demand) 91.37%. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka
hipotesis penelitian dapat diterima. Mengingat penelitian ini tergolong studi
pendahuluan maka hasil dari penelitian ini belum optimal. Oleh karena itu,
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan konsentrasi jamur
yang bervariasi.
26
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) dapat digunakan
untuk menetralkan limbah pencelupan benang di banjar Grombong, desa
Sampalan, kabupaten Klungkung.
2. Konsentrasi jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) yang
optimal untuk digunakan sebagai penetral limbah pencelupan benang di
banjar Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung adalah 7
gram/100 ml.
3. Lama perendaman jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium)
yang optimal untuk menetralkan limbah pencelupan benang di banjar
Grombong, desa Sampalan, kabupaten Klungkung adalah 33 jam.
4. Jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) dapat digunakan
untuk menjernihkan limbah pencelupan benang di banjar Grombong, desa
Sampalan, kabupaten Klungkung.
5. Jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) dapat mengurangi
kadar racun dalam limbah pencelupan benang di banjar Grombong, desa
Sampalan, kabupaten Klungkung. Hal ini dibuktikan dengan daya tahan
ikan di dalam air limbah yang sudah diolah dengan menggunakan jamur
Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) lebih baik dibandingkan
dengan dengan daya tahan ikan di dalam air limbah yang belum diolah.
5.2 Saran
Melalui karya tulis ini dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. Kepada pihak pengelola industri tekstil diharapkan untuk mencoba
memanfaatkan jamur Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) untuk
menetralkan, menjernihkan, dan mengurangi racun pada limbah dengan
cara mencampur limbah melalui jamur Lapuk Putih (Phanerochaete
chrysosporium) dengan konsentrasi 7 gr/100 ml dan direndam dalam bak
27
penampungan limbah selama 33 jam. Setelah itu, barulah limbah dialirkan
ke sungai atau saluran pembuangan lainnya.
2. Industri pencelupan benang khususnya di banjar Grombong diharapkan
agar membudidayakan jamur Lapuk Putih di tempat terdekat dengan
pembuangan limbah karena berdasarkan penelitian yang dilakukan, jamur
Lapuk Putih (Phanerochaete chrysosporium) berkhasiat untuk menetralisir
kandungan zat-zat kimia berbahaya dari limbah pencelupan benang.
Disamping ekonomis, penggunaan jamur Lapuk Putih (Phanerochaete
chrysosporium) juga lebih ramah lingkungan, sehingga usaha yang
dikembangkan lebih eco-friendly.
3. Perlunya penelitian lebih lanjut dengan variasi konsentrasi jamur Lapuk
Putih (Phanerochaete chrysosporium) yang berbeda serta penggunaan
jamur jenis lain agar hasil pengolahan lebih optimal serta memerlukan
waktu yang lebih singkat sehingga dapat dibuang dengan aman dan tidak
merusak ekosistem sungai.
4. Perlunya diadakan sosialisasi kepada masyarakat luas terutama pengelola
industri terkait mengenai manfaat jamur Lapuk Putih (Phanerochaete
chrysosporium) dalam mengolah limbah.
5. Diperlukannya peran serta masyarakat, individu yang terlibat dalam
industri, dan pemerintah sebagai pihak yang berkompeten untuk mengatur
pelaksanaan pengolahan limbah sekaligus sebagai upaya untuk
merealisasikan lingkungan hidup yang baik dan sehat.