PEMANFAATAN KULIT JENGKOL (Pithecellobium jiringa) SEBAGAI

  • Upload
    ihsai

  • View
    2.968

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

1

PEMANFAATAN KULIT JENGKOL (Pithecellobium jiringa) SEBAGAI BIOHERBISIDA GULMA DAN BIOLARVASIDA Aedes aegepty

DituIis Untuk Memenuhi Persyaratan Lomba Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tahun 2010

OLEH ENI SUSANTI NIM : 061244410019

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2010

2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Gulma adalah tanaman penggangu yang tumbuh di sekitar tanaman yang dibudidayakan, apabila tidak dikendalikan, gulma akan menimbulkan persaingan dengan tanaman pokok yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan tanaman padi. Penurunan hasil padi sawah karena persaingan dengan gulma berkisar 25-50% Sundaru et al. (1976). Untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan gulma, maka perlu dilakukan pengendalian sebelum menimbulkan persaingan dengan padi. Ada beberapa cara pengendalian gulma, namun yang biasa dilakukan pada lahan padi sawah adalah secara manual dan kimiawi dengan herbisida sintetis. Pengendalian gulma secara manual membutuh waktu kurang lebih 15 hari kerja untuk luasan satu hektar. Perkembangan terakhir menunjukkan upah buruh tani semakin mahal menyebabkan pengendalian gulma dengan penyiangan kurang efisien; ini mendorong petani untuk menggunakan herbisida sintetis (Rahayu, 2001). Herbisida sintetis walaupun dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk menekan pertumbuhan gulma tetapi banyak masalah yang ditimbulkan. Selain harganya mahal, herbisida sintetis dapat menimbulkan pencemaran, menurunkan sifat fisik tanah, dapat menyebabkan keracunan pada tanaman dan membunuh organisme bukan sasaran serta meninggalkan residu pada produk yang dikonsumsi manusia (Rahayu, 2001). Menurut Subha-Rao (1995) residu herbisida dapat bertahan di dalam tanah mulai 1 bulan sampai 18 bulan; ini dapat berpengaruh terhadap tanaman dan manusia. Adanya kerugian akibat herbisida sintetis, kiranya perlu digali potensi penggunaan herbisida alami (bioherbisida) untuk padi sawah seperti penggunaan kulit buah jengkol, selama ini pemanfaatan jengkol terbatas pada pengguanaan bijinya sebagai bahan makanan. Memang dalam biji jengkol terkandung berbagai senyawa yang dibuthkan oleh tubuh selain rasanya yang memang lezat, namun

3

ternyata dalam kulit jengkol yang terbuang dan tidak memiliki nilai jual tersebut terkandung senyawa-senyawa yang dapat dijadikan berbagai bahan yang berguna bagi manusia dan ramah lingkungan. Menurut Enni dan Kripinus (1998) kulit buah jengkol mengandung senyawa penghambat dari berbagai asam lemak rantai panjang dan asam fenolat. Dua golongan senyawa ini merupakan dua di antara 19 senyawa pertumbuhan tanaman lain (Einheling, 1995). Dalam kulit jengkol bahkan terkandung alkaloid, terpenoid, saponin dan asam fenolat. Asam fenolat ini di dalamnya termasuk flavonoid dan tanin. Tanin ini terdapat pada berbagai tumbuhan berkayu dan herba, berperan sebagai pertahanan tumbuhan dengan cara menghalangi serangga dalam mencerna makanan. Serangga yang memakan tumbuhan dengan kandungan tanin tinggi akan memperoleh sedikit makanan, akibatnya akan terjadi penurunan pertumbuhan (Howe & Westley; 1988) Pada prinsipnya kulit buah jengkol bisa digunakan sebagai herbisida alami untuk mengendalikan gulma melalui pemanfaatan mekanisme alelopati secara tidak langsung. Selain masalah gulma saat ini daerah tropis dan subtropics merupakan kawasan yang rawan terserang demam dengue, demam berdarah dengue dan chikungunya. WHO memperkirakan lebih dari 500.000 dari 50 juta kasus dengue memerlukan perawatan di rumah sakit dan lebih dari 40 % penduduk dunia hidup di daerah endemis demam dengue. Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue tiap tahun. Hal ini di sebabkan karena curah hujan di asia yang sangat tinggi terutama di Asia timur dan selatan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang tidak bagus (Anonim, 2009). Virus dengue dan chikungunya di tularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue (Tim dosen,2008). Karena vector pembawa virus demam tersebut adalah nyamuk, maka yang harus dicegah perkembangannya adalah nyamuk. Pemberantasan nyamuk dapat dilakukan dengan gerakan 3M (menguras, menutup dan menimbun) serta dengan menggunakan anti nyamuk kimia. Namun anti-nyamuk kimia tersebut mengandung senyawa-senyawa kimia yang berbahaya bagi penggunanya, seperti

4

organofosfat

dan

karbamat

yang

dapat

menghambat

kerja

enzim

acetylcholinesterase (AChE) yaitu enzim yang bekerja sebagai system sawar otak dan dapat memacu transfer sinyal pada saraf manusia, selain itu kebanyakan antinyamuk mengandung bahan kimia aktif golongan pyrethroid diantaranya allethrin, bioallathrin dan transfulthrin (Solahudin. G, 2008). Mengingat kandungan saponin, alkaloid, fenolik dan terpenoid pada kulit jengkol, maka kulit jenggkol dapat kita jadikan sebagai alternative pembasmi nyamuk namun tidak dalam bentuk nyamuk dewasanya melainkan dalam tahap larva.

1.2 Ruang Lingkup Penulisan Selama ini pemberantasan gulma dan larva nyamuk menggunakan bahan kimia buatan pabrik yang notabene mengandung senyawa-senyawa berbahya bagi kesehatan penggunanya. Berdasarkan hasil penelitian terbaru dan artikel-artikel terbaru ditemukan tanaman alternatif yang dapat digunakan sebagai herbisida dan larvasida alami, yaitu kulit jengkol. Dalam karya tullis ini penulis mencoba menjelaskan pemanfaatan kulit jengkol sebagai bioherbisida dan biolarvasida.

1.3 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah cara memanfaatkan kulit jengkol sebagai bioherbisida gulma? 2. Bagaimanakah cara memanfaatkan kulit jengkol sebagai bioherbisida larva nyamuk?

1.4 Tujuan Penulisan 1. Menjelaskan pemanfaatan kulit jengkol sebagai bioherbisida gulma. 2. Menjelaskan pemanfaatan kulit jengkol sebagai bioherbisida larva nyamuk.

5

1.5 Manfaat Penulisan 1. Bagi masyarakat ilmiah dapat dijadikan sebagai rujukan penelitian lanjutan tentang kegunaan kulit jengkol. 2. Dapat memberikan manfaat kepada masyarakat umum dan usaha-usaaha kecil menengah untuk memanfaatkan kullit jengkol sebagai bioherbisida dan biolarvasida. 3. Membantu pemerintah mewujudkan Indonesia sehat 2010 dengan mengurangi penyakit yang mewabah di masyarkat.

6

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Tanaman Jengkol (Pithcelobium jiringa) Jengkol adalah tanaman yang di kenal luas di kalangan masyarakat indonesia, berikut ini klasifikasi tanaman jengkol : Divisi Sub divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledoneae : Resales : Leguminosae : Pithecollobium : Pithecollobium lobatum Benth.

Gambar 1 : Biji dan kulit jengkol Sumber : Rumah Cerdas Kreatif

Saat ini jengkol telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan, adapun kandungan gizi Semur Jengkol (hal. 208), dalam satu porsi mengandung Energi 106 kkal, Protein 3,0 g, Lemak 4,4 g, Karbohidrat 14,6 g, Kalsium 38,5 mg, Fosfor 49,5 mg, Besi 0,5 mg, Vitamin C 2,0 mg, Vitamin B1 0,1 mg, dan air

7

26,4 mg. Sedangkan Jengkol yang hanya direbus saja untuk lalapan, mengandung Kalori 20 kal, Protein 3,5 g, Lemak 0,1 g, Karbohidrat 3,1 g, Kalsium 21 mg, Fosfor 25 mg, Besi 0,7 mg, Vitamin A 240 S.I, Vitamin B1 0,1 mg dan Vitamin C 12 mg (Adimiharja, 2005). Namun pemanfaatan biji jengkol tersebut masih belum dibarengi dengan pemanfaan kulitnya. Akibatnya, limbah kulit jengkol masih terbuang percuma padahal di dalam kulit jengkol tersebut terkandung berbagai senyawa asam rantai panjang dan asam fenolat (Enni dan Kripinus, 1998). Dua golongan senyawa ini merupakan dua di antara 19 senyawa penghambat pertumbuhan tanaman lain (Einheling, 1995)

2.2 Pemanfaatan Kulit Jengkol sebagai Bioherbisida Gulma Gulma adalah tumbuhan yang kehadirannya tidak diinginkan pada lahan pertanian karena menurunkan hasil yang bisa dicapai oleh tanaman produksi. Batasan gulma bersifat teknis dan plastis. Teknis, karena berkait dengan proses produksi suatu tanaman pertanian. Keberadaan gulma menurunkan hasil karena mengganggu pertumbuhan tanaman produksi melalui kompetisi. Plastis, karena batasan ini tidak mengikat suatu spesies tumbuhan. Pada tingkat tertentu, tanaman berguna dapat menjadi gulma. Sebaliknya, tumbuhan yang biasanya dianggap gulma dapat pula dianggap tidak mengganggu. Contoh, kedelai yang tumbuh di sela-sela pertanaman monokultur jagung dapat dianggap sebagai gulma, namun pada sistem tumpang sari keduanya merupakan tanaman utama. Meskipun demikian, beberapa jenis tumbuhan dikenal sebagai gulma utama, seperti teki dan alang-alang (Anonim II, 2009). Pengendalian gulma secara manual membutuh waktu kurang lebih 15 hari kerja untuk luasan satu hektar. Perkembangan terakhir menunjukkan upah buruh tani semakin mahal menyebabkan pengendalian gulma dengan penyiangan kurang efisien; ini mendorong petani untuk menggunakan herbisida sintetis (Rahayu, 2001). Herbisida sintetis walaupun dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk menekan pertumbuhan gulma tetapi banyak masalah yang ditimbulkan.

8

Selain harganya mahal, herbisida sintetis dapat menimbulkan pencemaran, menurunkan sifat fisik tanah, dapat menyebabkan keracunan pada tanaman dan membunuh organisme bukan sasaran serta meninggalkan residu pada produk yang dikonsumsi manusia (Rahayu, 2001). Menurut Subha-Rao (1995) residu herbisida dapat bertahan di dalam tanah mulai 1 bulan sampai 18 bulan; ini dapat berpengaruh terhadap tanaman dan manusia. Adanya kerugian akibat herbisida sintetis, kiranya perlu digali potensi penggunaan herbisida alami (bioherbisida) untuk padi sawah seperti penggunaan kulit buah jengkol. Menurut Enni dan Kripinus (1998) kulit buah jengkol mengandung senyawa penghambat dari berbagai asam lemak rantai panjang dan asam fenolat. Dua golongan senyawa ini merupakan dua di antara 19 senyawa penghambat pertumbuhan tanaman lain (Einheling, 1995). Pada prinsipnya kulit buah jengkol bisa digunakan sebagai herbisida alami untuk mengendalikan gulma melalui pemanfaatan mekanisme alelopati secara tidak langsung. Aplikasi kulit buah jengkol setelah tanam lebih baik dalam menekan pertumbuhan gulma padi sawah dibandingkan dengan aplikasi saat tanam dan sebelum tanam. Sedangkan aplikaksi saat tanam lebih baik daripada aplikasi sebelum tanam (Nujanah, dkk. 2007). Adapun cara pemanfaatan kulit jengkol sebagai herbisida alami cukup mudah, yaitu dengan mencacahnya menjadi potongan-potongan kecil atau dengan menggilinggnya kemudian menyebarkan potongan-potongan atau hasil penggilingan tersebut di sekitar tanaman pokok dan membiarkan potonganpotongan tersebut membusuk serta mengeluarkan allelopatinya (Ikhsan, dkk. 2009).Kulit jengkol dicuci hingga bersih

dipotong-potong/Digiling hingga membentuk suatu simplisia

Simplisia disebarkan di atas gulma

9

2.3 Pemanfaatan Kulit Jengkol sebagai Biolarvasida 2.3.1 Nyamuk Aedes aegypty Nyamuk Aedes aegypti merupakan vector pembawa virus dengue. Aedes aegypti berasal dari ordo dipteral, adapun taksonominya adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Arthropoda : Insecta : Diptera : Dipteridae : Aedes : Aedes aegypti (Tim dosen, 2008)

Gambar 2 : Nyamuk Aedes aegypti Sumber : http://yahya-nyamuk.com

10

Gambar 3 : Siklus hidup Nyamuk Aedes aegypti Sumber : http://yahya-nyamuk.com Proses perkembangan nyamuk meliputi stadium telur, larva, kepompong dan nyamuk dewasa. Nyamuk betina menaruh telurnya, yang diberi makan berupa darah agar dapat tumbuh dan berkembang, pada dedaunan lembab atau kolam-kolam yang tidak berair. Telur yang panjangnya kurang dari1 mm ini diletakkan secara teratur membentuk sebuah barisan. Beberapa koloni telur ini ada yang terdiri dari 300 buah telur. Telur-telur yang Berwarna putih ini kemudian berubah warna menjadi hitam gelap. Warna gelap ini berfungsi untuk melindungi telur-telur tersebut agar tidak terlihat oleh serangga maupun burung pemangsa. Sejumlah larva-larva yang lain juga berubah warna, menyesuaikan dengan warna tempat dimana mereka berada, hal ini berfungsi sebagai kamuflase agar tidak mudah terlihat oleh pemangsa. Selanjutnya larva akan berubah kembali menjadi kepompong dan kepompong berubah lagi menjadi nyamuk dewasa. Waktu yang diperlukan untuk satu kali sikulus hidup dari telur nyamuk sampai menjadi nyamuk dewasa + 2 minggu (Yahya. H, 1999).

11

Dengan waktu yang demikian singkat dapat dibayangkan betapa besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk tersebut jika tidak ditanggulangi.

2.3.2 Bahaya Penggunaan Anti Nyamuk Kimia Anti Nyamuk Semprot Biasanya disebut juga dengan obat nyamuk cair yang penggunaannya disemprotkan. Meski bentuknya berubah saat digunakan, tetapi zat aktifnya tidak hilang atau menyatu dengan oksigen karena zat aktif yang disemprotkan lebih berat dari oksigen. Setelah disemprotkan, zat aktif anti nyamuk ini akan berjatuhan di setiap tempat dan benda yang ada di ruangan tersebut lalu menjadi media penghantarnya masuk ke dalam tubuh. Anti Nyamuk Bakar Jenis ini mengandung zat sintetik aktif, yang sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga mampu dihantarkan asap untuk membunuh nyamuk dan serangga lainnya. Karena dipanaskan tidak menutup kemungkinan bahan aktif tersebut terurai menjadi senyawa-senyawa lain yang justru lebih reaktif dari sebelumnya. Lebih menyedihkan lagi anti-nyamuk bakar sering digunakan dalam ruangan tertutup. Alasannya, menjadi percuma jika digunakan di tempat terbuka. Padahal jika seperti ini, tentu senyawa aktif dan senyawa baru yang terbentuk dari proses pembakaran berada dalam jangkauan pernapsan kita. Jadinya tidak menutup kemungkinan jika kita memasang anti nyamuk ini semalaman selama itu pula kita memasukkan zat berbahaya ke dalam tubuh kita. Itu baru satu antinyamuk dalam satu malam. Apa jadinya bila kita menggunakan selama bertahuntahun. Anti Nyamuk Listrik Bentuk anti-nyamuk ini tidak berbeda jauh dari anti-nyamuk bakar. Menghirup uap yang cukup lama dapat menimbulakan gangguan saluran pernapasan. Keracunan inhibitor koliteranase menyebabkab gejala seperti peningkatan aliran darah kepada hidung, diare/mencret, sesak napas dan gangguan metabolism lainnya.

12

Anti Nyamuk Lotion Anti-nyamuk ini menggunakan campuran yang memudahkan meresap ke

dalam kulit. Mediator anti-nyamuk jenis ini adalah kulit kita sendiri, bukan dibakar, dipanaskan atau disemprot. Ini yang harus diwaspadai, karena pastinya bahan campuran itu bisa dengan mudah meresap dan kuat menempel di kulit padahal bahan kimia sintetik tidak aman untuk kesehatan. Bahan dalam anti nyamuk lotion menyebabkan rasa tidak nyaman jika dipakai dalam waktu yang lama. Efek beracun bisa terjadi sebagai akibat penyerapan oleh kulit. Bagian yang terkena mungkin menyebabkan keluarnya keringat dan kekejangan otot. Reaksi mungkin tertunda untuk beberapa jam (Brian, 2008).

2.3.3 Kulit Jengkol sebagai Biolarvasida Nyamuk Dari hasil penelitian Rahayu dan Pukan (1998) diungkapkan kalau kandungan senyawa kimia dalam kulit jengkol yaitu: alkaloid, terpenoid, saponin dan asam fenolat. Asam fenolat ini di dalamnya termasuk flavonoid dan tanin. Tanin ini terdapat pada berbagai tumbuhan berkayu dan herba, berperan sebagai pertahanan tumbuhan dengan cara menghalangi serangga dalam mencerna makanan. Serangga yang memakan tumbuhan dengan kandungan tanin tinggi akan memperoleh sedikit makanan, akibatnya akan terjadi penurunan

pertumbuhan (Howe & Westley; 1988). Untuk senyawa saponin, termasuk dalam golongan triterpenoid. Golongan ini terdapat pada berbagai jenis tumbuhan, dan bersama-sama dengan subtansi sekunder tumbuhan lainnya berperan sebagai pertahanan diri dari serangan serangga, karena saponin yang terdapat pada makanan yang dikonsumsi serangga dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerap makanan (Applebaum; 1979, Ishaaya; 1986). Sementara itu, Smith (1989) menyatakan bahwa alkaloid, terpenoid, dan flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksik. Terkait dengan itu, Nurchasanah (2004) membagi insektisida berdasarkan cara masuknya ke dalam tubuh serangga menjadi tiga kelompok, yaitu: racun

13

perut, racun kontak, dan racun pernapasan. Menurut Tarumingkeng (1992), racun perut ini menyerang organ utama pencernaan serangga, yaitu bagian ventrikulus. Ventrikulus merupakan bagian saluran makanan sebagai tempat penyerapan sarisari makanan. Insektisida yang terserap bersama sari-sari makanan selanjutnya akan diedarkan ke seluruh bagian tubuh serangga oleh haemolimfe. Bahan aktif dari kulit jengkol seperti alkaloid, terpenoid, saponin, dan asam fenolat dapat digunakan sebagai larvasida dengan cara mengekstrak kulit jengkol. Kulit jengkol digiling sampai berupa simplisia. Lalu, simplisia direbus dan dimaserasi selama tiga hari. Hasil maserasi disaring digunakan sebagai larutan ekstrak air kulit jengkol (Harborne; 1987). Dalam hal ini, pelarut yang dipakai adalah menggunakan air biasa, karena dapat dengan mudah diperoleh dan mudah untuk pembuatan ekstrak. Hasilnya, kemampuan ekstrak air kulit jengkol dalam mengendalikan populasi Aedes aegypti dapat diamati melalui kemampuannya menurunkan indeks pertumbuhan jentik Aedes aegypti. Di sini, pengukuran indeks pertumbuhan dilakukan dengan mengamati pengaruh air kulit jengkol yang diujikan terhadap pertumbuhan hewan uji dari instar I sampai pupa. Zhang, et.al. (1993) mendefinisikan pertumbuhan serangga dalam stadium jentik sebagai suatu kemampuan untuk berganti kulit dan berkembang menjadi instar selanjutnya. Jumlah pergantian kulit menunjukkan perkembangan, dan jika seekor serangga tidak mengalami pergantian kulit, maka diasumsikan bahwa serangga tersebut tidak tumbuh. Dengan kata lain, indeks pertumbuhan (growth indeks/GI) didefinisikan sebagai jumlah stadium yang dicapai oleh individu di bawah kondisi eksperimen dibagi dengan jumlah stadium tertinggi yang akan dicapai oleh populasi control. Di sini, Zhang, et.al., menyatakan apabila nilai GI = 1, berarti semua jentik berhasil menjadi pupa, tetapi bila GI = 0, berarti semua jentik mati pada instar awal. Namun, apabila nilai GI terletak antara 0 dan 1, berarti ada jentik yang berhasil menjadi pupa. Arti lainnya, sebagian dapat tumbuh tetapi belum menjadi pupa, dan sebagian lagi ada yang mati pada setiap instar. Semakin banyak yang mati pada instar awal, maka nilai GI semakin kecil dan sebaliknya.

14

Atasi pertumbuhan jentik Dari hasil penelitian yang dilakukan mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Diah Prastiwi Tanjung (2007) di Laboratorium Entomologi Loka Litbang P2B2 Ciamis, tentang Indeks pertumbuhan larva nyamuk Aedes aegypti yang terdedah dalam ekstrak air kulit jengkol didapat data bahwa indeks pertumbuhan yang diperoleh berkisar antara 0 dan 1 terdapat pada semua konsentrasi, yaitu: 0%, 9%, 18%, dan 36%. Hal ini berarti bahwa apabila jentik atau larva nyamuk Aedes aegypti ini didedahkan dalam ekstrak air kulit jengkol dengan konsentrasi tersebut, maka terdapat sebagian jentik menjadi pupa, sebagian tumbuh tetapi belum menjadi pupa, dan sebagian lagi ada yang mati pada instar awal. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak air kulit jengkol berpengaruh terhadap pertumbuhan jentik Aedes aegypti. Di sini, kalau kita telaah lebih lanjut, kematian jentik Aedes aegypti yang terdedah dalam ekstrak air kulit jengkol, maka kemungkinan disebabkan oleh senyawa yang terkandung dalam ekstrak air kulit jengkol tersebut. Hal ini didasarkan pada data analisis fitokimia yang dilakukan oleh Ambarningrum, dkk. (2006), yang menyebutkan bahwa ekstrak air kulit jengkol ini mengandung senyawa alkaloid, tanin, saponin, flavonoid, dan terpenoid. Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat anti makan dan juga bersifat toksik. Tanin dan flavonoid merupakan senyawa yang termasuk dalam kelompok fenol. Kalau kita perhatikan, dari aktivitas tanin ini dapat menurunkan kemampuan mencernakan makanan pada serangga dengan cara menurunkan aktivitas enzim pencernaan (protease dan amilase). Tanin juga mampu mengganggu aktivitas protein pada dinding usus. Respon jentik terhadap senyawa ini adalah menurunnya laju pertumbuhan dan gangguan nutrisi (Howe and Westle; 1990). Sementara untuk saponin merupakan kelompok triterpenoid yang termasuk dalam senyawa terpenoid. Aktivitas saponin ini, ternyata dapat mengikat sterol bebas dalam pencernaan makanan, di mana sterol berperan sebagai prekusor hormon ekdison, sehingga dengan menurunya jumlah sterol bebas akan mengganggu proses pergantian kulit pada serangga (moulting). Sedangkan untuk

15

senyawa saponin ini, apabila dikocok dengan air maka akan menghasilkan buih dan bila dihidrolisis akan menghasilkan gula dan sapogenin (Mulyana; 2002). Kaitannya dengan proses masuknya toksin dalam tubuh jentik, menurut Keilin dan Clement, seperti dikutip Muhaeni (2007), ekstrak air kulit jengkol masuk ke dalam tubuh jentik nyamuk bersama dengan makanan dan air yang masuk melalui mulut. Penetrasi racun terjadi di daerah usus tengah di mana daerah tersebut terdapat aktivitas absorpsi makanan melalui jaringan epithelium dan hasilnya akan diedarkan ke seluruh tubuh oleh haemolimfe. Adapun mekanisme keracunannya berupa kerusakan pada jaringan epithelium pada usus tengah yang mengabsorpsi makanan. Kegagalan absorpsi tersebut mengakibatkan malnutrisi, sehingga pertumbuhan jentik terhambat dan akhirnya terjadi kematian jentik. Dalam bahasa Siswowijoto (1988), gejala yang muncul bila hewan mengalami keracunan adalah melalui empat fase. Yaitu perangsangan, kejangkejang, kelumpuhan, dan diakhiri dengan kematian. Periode perangsangan ditunjukkan oleh gejala perubahan tabiat dari tingkah laku hewan dari keadaan biasa, kemudian menjalar sampai tingkat antena dan bagian mulut. Gejala ini dilanjutkan pada tingkat kelumpuhan dan berlanjut pada organ respirasi, akhirnya mengalami kematian. Jadi, ekstrak air kulit jengkol ini dapat berpengaruh terhadap indeks pertumbuhan jentik Aedes aegypti, dan langkah ini tentu dapat diaplikasikan dalam program pemberantasan jentik Aedes aegypti di daerah endemis DBD. Hasilnya, DBD kabur karena jentiknya tidak berkembang, dan lingkungan pun tidak tercemar berkat ekstrak kulit jengkol.

Pembuatan Biolarvasida Nyamuk Pembuatan biolarvasida dari kulit jenekol cukup mudah dan tidak memerlukan peralatan yang rumit. Hampir sama dengan pembuatan bioherbisida, kulit jengkol cukup dicincang atau digiling sampai menjadi simplisia. Jika langsung digunakan maka simplisia ini cukup disebarkan pada daerah yang mengandung banyak jentik-jentik nyamuk. Namun jika akan disimpan, simplisia

16

tadi dijemur hingga kering dan digiling dengan mesin penggiling sampai menjadi bubuk. Jika akan digunakan, bubuk ini cukup ditaburkan pada got-got, saluran air, atau kolam-kolam yang menjadi tempat perkembangbiakan larva nyamuk (ikhsan, dkk. 2009).

Pembuatan LarvasidaKulit jengkol dicuci hingga bersih

dipotong-potong/Digiling hingga membentuk suatu simplisia

Simplisia di haluskan menggunakan alu

Jika langsung digunakan

Hasil dari proses penglusan di ayak untuk menghasilkan yang lebih halus

Di simpan dan siap di gunakan selanjutnya

Direbus, kemudian dimaserasi selama 3 hari

Hasil maserasi digunakan sebagai larutan larvasida jika diletakkan di habitat jentik dan menjadi herbisida jika di semprot pada tanaman pada berumur 6 - 9 MST

Jika disimpan terlebih dahulu

17

Penggunaan biolarvasida ini disarankan pada air yang tidak dikonsumsi karena hingga saat ini belum ada penelitian yang merujuk pada keamanan pemakaian serbuk jengkol sebagai biolarvasida dalam bak-bak mandi atau sumber air minum karena keamanan kandungannya belum diteliti. Sebagai informasi tambahan penggunaan bioherbisida dan biolarvasida kulit jengkol ini pernah penulis praktekan di desa Bandar Setia Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara dalam rangka PKMM, dan hasilnya menunjukkan hal yang sesuai dengan yang telah penulis paparkan di depan.

18

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan Penggunaan sebagai bioherbisida dilakukan dengan mencincang atau menggiling kulit jengkol sampai menjadi simplisia kemudian disebarkan setelah masa tanam tanaman pokok, karena hasilnya lebih baik jiika dibandingkan dengan perlakuan sebelum masa tanam. Kulit jengkol yang digunakan sebagai biolarvasida dapat langsung digunakan dalam bentuk simplisia atau jika ingin disimpan lama simplisia dihaluskan hingga berbentuk serbuk, kemudian serbuk ini ditaburkan pada got, saluran air, kolam, atau tempat berair lainnya di luar rumah. Biolarvasida dari kulit jengkol disarankan untuk pemakaian luar rumah (got, saluran air, kolam ) dan bukan sebagai larvasida dalam bak-bak mandi atau sumber air minum karena keamanan kandungannya belum diteliti sehingga dikhawatirkan dapat menggangu metabolism

penggunanya.

3.2 Saran Penggunaan bioherbisida gulma dan biolarvasida nyamuk perlu

disosialisasikan kepada masyarakat karena memberikan alternatif yang murah dan ramah lingkungan. Perlu dilakukan penelitian tentang keamanan bahan-bahan yang

terkandung dalam kulit jengkol sehingga limbah kulit jengkol ini dapat diolah lebih lanjut menjadi antinyamuk bakar, semprot, lotion, ataupun antinyamuk listrik.

19

Perlu

dilakukan

penyuluhan

oleh

pemerintah

agar

masyarakat

menggunakan bahan-bahan alami sebagai upaya pelestarian lingkungan serta usaha menjaga kesehatan masyarakat Indonesia.

20

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, Kusnaka. 2005. Makanan dalam Khazanah Budaya. Jawa Barat : UPT Intrik. Agus Kardiman; 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Ahmad Abdullah dan Soedarmanto; 1979. Budidaya Tembakau. Jakarta: C.V. Yasaguna. Anonym I, 2009. Demam Berdarah. http://medisiana.com/viewtopic.php?p=433#433 (29 April 2009). Anonym II. 2009. Gulma. http://medisiana-gulma.php?k=435 (1 Mei 2010). Brian. 2008. http://homosapienteam.wordpress.com/ ( 30 April 2009). Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah; 2004. Prosedur Tetap Penanggulangan KLB dan Bencana Propinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Ditjen. PPM dan PLP; 1993. Malaria Entomologi 10. Jakarta: Depkes. R.I. Ditjen. PPM dan PLP; 1993. Malaria Tindakan Anti Larva 5. Jakarta: Depkes. R.I. Dwi Sarwani; 2007. Materi Kuliah P2M Pemberantasan Vektor Malaria. Purwokerto: Jurusan Kesehatan Lingkungan Purwokerto. Einhellig, F.A. 1995. Mechanism of action of Allelochemicals in Allelopathy. In Inderjit, K.M.M. Dakshini and F.A. Einhelling (Eds). Allelopathy: Organisms, Processes and Aplication. American Chemical Society, Washington D.C. Eni, S.R. dan R.P. Krispinus. 1998. Kandungan senyawa allelokimia kulit buah j engkol dan pengaruhnya terhadap beberapa gulma padi. Laporan penelitian, Lembaga penelitian IKIP, Semarang. H. Adang Iskandar, dkk.; 1985. Pedoman Bidang Studi Pemberantasan Serangga dan Binatang Pengganggu Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi (APK-TS). Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes. R.I. Ikhsan, Eni S, Widia N. Khairani H, Nurul H. Pelatihan Pemanfaatan Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa) Menjadi Herbisida dan Larvasida Aedes

21

aegepty di Daerah Bandar Setia Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara (PKMM). Medan: Universitas Negeri Medan; 2009. Novizan; 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Jakarta: Agro Media Pustaka. Panut Djojosumarto; 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Rahayu, E.S. 2001a. Kulit buah jengkol sebagai herbisida alami pada pertanaman padi sawah. Hasil Pengembangan dan Penerapan Teknologi (P & PT) 2 (4): 254-260. Rudi C Tarumingkeng; 1992. Insektisida, Sifat, Mekanisme dan Dampak Penggunaannya. Jakarta: Ukrida. Rumah cerdas kreatif. 2010. Jengkol. http://www.rumahcerdaskreatif.com/content/blogsection/14/49/ (3 Mei 2010) Subba Rao, N.S. 1995. Soil Microorganisms and Plant Growth. Third Edt. Sciense Publishers, Inc. United States of America. Subiyakto Sudarmo; 1991. Pestisida. Yogyakarta: Kanisius Tim Dosen. 2008. Entomologi. Medan : FMIPA UNIMED. Yahya, H. 1999. Nyamuk. http://yahya-nyamuk.com (22 Maret 2010).