11
Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan Nilai-Nilai Profetik dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa 1 oleh: HINDUN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA [email protected] ABSTRAK Pembelajaran mendongeng tentulah sarat dengan pesan serta muatan hikmah yang bisa dipetik dari cerita yang dihadirkan. Mendongeng bukan sekedar menghibur atau pengantar tidur. Dalam Kurikulum, bidang studi Bahasa Indonesia lah yang tepat memasukkan dongeng sebagai sebuah pembelajaran yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai profetik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dongeng yang tersebar di nusantara menjadi harta karun yang dapat digali untuk memperkaya pengembangan nilai-nilai profetik tersebut. Sebagaimana cerita rakyat yang terus hidup di tengah-tengah masyarakat. Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang dari mulut ke mulut hingga di lingkungan tertentu atau komunitas wilayah itu menjadi dikenal oleh anggota masyarakatnya. Terdapat dua jenis cerita rakyat yakni yang berbentuk puisi dan prosa. Cerita rakyat yang berbentuk prosa terdiri dari dongeng, legenda, dan mite. Hasil penelitian terhadap para guru Sekolah Menengah Pertama (SLTP/MTs) di lingkungan MGMP Pangkal Pinang Bangka menunjukkan bahwa mereka menyajikan tiga judul saja dari ketersediaan waktu yang terdapat dalam kurikulum untuk pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Kenyataan itu pun berdasarkan hasil sebaran angket kepada guru-guru tersebut yang realitanya hanya enambelas guru paham dan benar-benar menerapkan bahwa materi cerita rakyat sebagai pembelajaran mendongeng bisa dikemas untuk mengembangkan nilai-nilai profetik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga judul tersebut yakni Pak Udak, Bujang Katak dan Batu Rusa. Kata kunci: pembelajaran mendongeng, cerita rakyat dari Bangka, hasil penelitian para guru di MGMP Pangkal Pinang Bangka BAB I. PENDAHULUAN Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai profetik adalah salah satu alternatif untuk memecahkan persoalan berdasarkan nilai-nilai kenabian yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan yang mengandung tiga elemen dominan yaitu liberalisasi, humanisasi, dan transendensi. Liberalisasi yang dimaksud yakni membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan kesadaran palsu. Humanisasi yang berarti memanusiakan manusia, sehingga melewati pemikiran yang bertumpu pada kebendaan atau menilai sesuatu dari satu sudut pandang saja yakni berupa materi/ nominal hingga menghilangkan jati diri kemanusiaan. Selanjutnya transendensi hendak menjadikan nilai-nilai keimanan sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. 1 Disampaikan oleh Dra. Hindun, M.Pd. (Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarata) pada Seminar Internasional di Univ. Muhamadiyah Malang (17-18 November 2015) di Auditorium Basement Dome, Jl. Raya Tlogomas no. 246 Malang

Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter

Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan Nilai-Nilai

Profetik dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa1

oleh: HINDUN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

[email protected]

ABSTRAK

Pembelajaran mendongeng tentulah sarat dengan pesan serta muatan hikmah yang bisa

dipetik dari cerita yang dihadirkan. Mendongeng bukan sekedar menghibur atau pengantar

tidur. Dalam Kurikulum, bidang studi Bahasa Indonesia lah yang tepat memasukkan dongeng

sebagai sebuah pembelajaran yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai profetik untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dongeng yang tersebar di nusantara menjadi harta karun yang dapat digali untuk

memperkaya pengembangan nilai-nilai profetik tersebut. Sebagaimana cerita rakyat yang terus

hidup di tengah-tengah masyarakat. Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat

dan berkembang dari mulut ke mulut hingga di lingkungan tertentu atau komunitas wilayah itu

menjadi dikenal oleh anggota masyarakatnya. Terdapat dua jenis cerita rakyat yakni yang

berbentuk puisi dan prosa. Cerita rakyat yang berbentuk prosa terdiri dari dongeng, legenda,

dan mite.

Hasil penelitian terhadap para guru Sekolah Menengah Pertama (SLTP/MTs) di

lingkungan MGMP Pangkal Pinang Bangka menunjukkan bahwa mereka menyajikan tiga

judul saja dari ketersediaan waktu yang terdapat dalam kurikulum untuk pembelajaran Bahasa

Indonesia di kelas. Kenyataan itu pun berdasarkan hasil sebaran angket kepada guru-guru

tersebut yang realitanya hanya enambelas guru paham dan benar-benar menerapkan bahwa

materi cerita rakyat sebagai pembelajaran mendongeng bisa dikemas untuk mengembangkan

nilai-nilai profetik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga judul tersebut yakni Pak

Udak, Bujang Katak dan Batu Rusa.

Kata kunci: pembelajaran mendongeng, cerita rakyat dari Bangka, hasil penelitian

para guru di MGMP Pangkal Pinang Bangka

BAB I. PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai profetik adalah salah satu alternatif untuk

memecahkan persoalan berdasarkan nilai-nilai kenabian yang dapat diterapkan dalam berbagai

aspek kehidupan yang mengandung tiga elemen dominan yaitu liberalisasi, humanisasi, dan

transendensi. Liberalisasi yang dimaksud yakni membebaskan manusia dari kebodohan,

kemiskinan, dan kesadaran palsu. Humanisasi yang berarti memanusiakan manusia, sehingga

melewati pemikiran yang bertumpu pada kebendaan atau menilai sesuatu dari satu sudut

pandang saja yakni berupa materi/ nominal hingga menghilangkan jati diri kemanusiaan.

Selanjutnya transendensi hendak menjadikan nilai-nilai keimanan sebagai bagian penting dari

proses membangun peradaban.

1 Disampaikan oleh Dra. Hindun, M.Pd. (Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif

Hidayatullah Jakarata) pada Seminar Internasional di Univ. Muhamadiyah Malang (17-18 November 2015) di

Auditorium Basement Dome, Jl. Raya Tlogomas no. 246 Malang

Page 2: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter

Peradaban sebuah bangsa tidaklah terlepas dari upaya para warga negara atau manusia

yang menempati wilayah negara tersebut. Sejauh mana peran dan kegigihan individu-individu

di dalamnya mengembangkan bahasa yang membawa nilai-nilai tertentu hingga terakumulasi

menjadi sebuah karakteristik bangsa tersebut. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan

negeri ini menjadi bermartabat apabila masyarakatnya bangga menggunakan bahasa tersebut,

dan dalam lembaga pendidikan formal lah pemerintah memasukkan mata pelajaran atau bidang

studi bahasa Indonesia sebagai suatu hal yang wajib digunakan / dipelajari guna memperkokoh

kedudukan bahasa Indonesia dan mempertegas citra diri bangsa ini melalui penanaman dan

pembiasaan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bercerita atau mendongeng tentulah menggunakan bahasa. Para guru melaksanakan

pembelajaran mendongeng di kelas dengan menggunakan bahasa Indonesia, meskipun

dongeng tersebut berasal dari berbagai daerah yang terdapat di Indonesia.

Sebenarnya cerita rakyat yang berasal dari wilayah Bangka ada banyak sekali, akan

tetapi yang telah dikenal sekitar sembilan judul dan sempat dibukukan oleh Rina Hendra Salam

dan Seno Budiharto dengan penerbit Grasindo berjudul Cerita Rakyat dari Bangka.

BAB II. KAJIAN TEORETIK

Dongeng merupakan bagian dari jenis karya fiksi yang di dalamnya terdapat unsur

imajinasi pengarang. Sebagai salah satu bentuk dari sastra lama, dongeng pun terbagi lagi

menjadi jenis fabel (dongeng binatang), legenda (cerita rakyat), mythe (cerita yang

mengandung unsur kepercayaan terhadap sesuatu atau mitos), sage (cerita kepahlawanan).

Dongeng biasanya diceritakan dengan alur yang sederhana. Penulisan dongeng ditulis

dalam alur cerita yang singkat dan bergerak cepat. Saat menceritakan atau menulis dongeng

biasanya karakter tokoh tidak diceritakan secara rinci. Dongeng biasanya ditulis seperti gaya

penceritaan secara lisan. Serta pendahuluan dalam cerita sangat singkat dan langsung pada

topik yang ingin diceritakan.”2

Unsur intrinsik dalam dongeng biasanya terdiri dari lima unsur intrinsik yaitu tema, alur,

penokohan, latar, amanat. Tema merupakan ide pokok dari cerita dan merupakan patokan untuk

membangun suatu cerita. Alur merupakan jalan cerita yang diurutkan besarkan sebab-akibat

atau pun besarkan urutan waktu. Penokohan merupakan proses penampilan tokoh dengan

pemberian watak, dan sifat. Latar merupakan salah satu unsur pembentuk cerita yang

menunjukan dimana, dan kapan rangkaian-rangkaian cerita itu terjadi. Amanat merupakan

pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui cerita yang dibuatnya.

Ada beberapa macam model bercerita yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Model

yang dimaksud yakni: “model bercerita tanpa alat peraga, model bercerita dengan alat peraga

langsung, model bercerita dengan gambar, model bercerita dengan papan flanel, model

bercerita dengan story reading.”3

Model bercerita tanpa alat peraga merupakan kegiatan bercerita yang biasanya dialami

anak-anak ketika di rumah, dilakukan pada saat menjelang tidur, baik diberikan oleh ibu, ayah

atau kakek dan nenek. Meskipun ceritanya penuh daya khayal atau fantasi, akan tetapi keahlian

pencerita mampu membuat alur cerita menjadi menarik. Pencerita dapat menunjukkan mimik

muka, gerakan-gerakan kaki dan tangan, serta suara yang dapat membantu fantasi anak-anak

dalam mengikuti isi dan alur cerita yang disampaikan.

Dalam menggunakan model bercerita ini, terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yaitu:

2 Hindun, Pembelajaran Apresiasi Bahasa & Kreasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Mazhab Ciputat, Juli 2014),

h.118 3 Diane Philips, Sarah Burwood dan Helen Dunford, Project with Young Learners (New York: Oxford Univ.

Press, 1999), p. 72-76

Page 3: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter

1. Mimik muka, gerakan-gerakan tangan dan kaki serta suara mencerminkan penghayatan

yang sungguh-sungguh terhadap isi dan alur yang disampaikan;

2. Menggunakan bahasa yang jelas, komunikatif dan mudah dimengerti anak-anak;

3. Mengatur posisi penyimak dan posisi pencerita. Jika penyimaknya anak-anak,

tempatkan anak-anak yang tidak dapat diam dekat pencerita;

4. Menghindari teguran-teguran pada anak-anak selama penceritaan, dan;

5. Mengusahakan adanya kontak mata antara pencerita dan anak-anak.

Model bercerita dengan alat peraga langsung maksudnya yakni bahwa alat peraga

langsung dalam pengertian ini adalah beberapa jenis binatang atau benda-benda sebenarnya,

bukan tiruan atau bukan gambar/foto. Hewan yang biasa digunakan dalam kegiatan ini adalah

hewan peliharaan, misalnya kucing, kelinci, burung dan sebagainya. Dapat juga hewan-hewan

kecil yang tidak berbahaya, seperti kupu-kupu, katak atau serangga.

Model bercerita dengan gambar yakni gambar digunakan sebagai alat bantu dalam

bercerita. Dengan menggunakan jenis gambar berseri (tanpa tulisan), buku bergambar atau

gambar yang dibuat sendiri oleh pencerita, maka keberadaan model bercerita seperti ini sangat

signifikan bagi pelaksanaan pembelajaran sastra anak. Hal terpenting dalam gambar tersebut

adalah isi dan gambar itu bagi anak-anak. Gambar yang dipilih hendaknya sesuai dengan tahap

perkembangan anak-anak, isinya menarik, mudah dimengerti dan membawa pesan, baik dalam

hal pembentukan perilaku positif maupun pengembangan kemampuan dasar. Terdapat “empat

hal yang perlu diperhatikan dalam bercerita dengan gambar.”4 Keempat hal yang dimaksud

yaitu:

1. Kejelasan gambar (tidak terlalu kecil dan mudah dipahami);

2. Pewarnaan yang menarik;

3. Cara memperlihatkan gambar (tidak terlalu tinggi dan harus terlihat oleh semua anak);

4. Teknik penggunaan gambar saat penceritaan (gambar ditutup setiap kali pencerita

mulai bercerita kembali, ini harus dilakukan selancar mungkin agar siswa tidak merasa bahwa

ceritanya diputus-putus).

Model bercerita dengan menggunakan papan flanel maksudnya adalah alat yang

digunakan berupa papan flanel dan guntingan-guntingan gambar berwarna yang menarik.

Guntingan tersebut melukiskan (orang, benda, atau binatang) yang akan muncul dalam cerita.

Sambil bercerita, pencerita meletakkan gambar-gambar tersebut pada papan flanel dalam

susunan yang menjelaskan isi cerita berupa adegan-adegan. Gambar yang tidak diperlukan lagi

dapat dilepas dan diganti gambar lain yang sesuai dengan jalan cerita.

Model bercerita dengan membacakan cerita (story reading) dari sebuah buku cerita

yang kini banyak diterbitkan dalam aneka warna (full colour). Model seperti ini dimaksudkan

agar minat anak-anak terhadap buku dibangkitkan, dipupuk dan dikembangkan. Dalam buku-

buku bacaan anak tersebut kadangkala terdapat kata-kata sukar atau tulisan yang sulit dipahami

anak, tugas penceritalah saat menyampaikan kepada anak-anak dengan intonasi dan gaya

bercerita yang dapat dipahami anak-anak dituntut dalam hal ini. Pencerita tidak perlu mengeja,

sebab dengan model bercerita ini pencerita dapat membantu kematangan belajar membaca

siswa. Buku yang akan digunakan dalam story reading harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Kertasnya cukup tebal;

2. Ukuran buku cukup besar (minimal 20X25 cm);

3. Gambar-gambar berwarna menarik dan cukup besar;

4. Ceritanya tidak terlalu panjang dan bahasanya sederhana.

Proses bercerita yang melibatkan peran aktif pencerita dan pendengar cerita melibatkan

dua proses bersastra yaitu kegiatan berekspresi sastra bagi pencerita dan kegiatan berapresiasi

4 Subyantoro, Model Bercerita untuk Meningkatkan Kepekaan Emosi dalam Berapresiasi Sastra bagi Siswa SD, (disertasi mahasiswa program Pascasarjana UNJ Rawamangun)

Page 4: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter

sastra bagi pendengar cerita. Seorang pencerita hendaknya mampu meningkatkan keterampilan

berapresiasi sastra pendengarnya sampai pada tingkatan yang maksimal.

BAB III. METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi (content

analysis) terhadap dongeng yang digunakan oleh para guru se-MGMP Pangkalpinang dalam

pembelajaran di kelas mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan and Taylor yang

dikutip oleh Mungin menegaskan bahwa “pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari

subjek itu sendiri.”5

Sumber data primer penelitian ini adalah isi dongeng yang digunakan oleh para guru

se-MGMP Pangkalpinang Bangka. Dongeng yang dimaksud berjudul “Bujang Katak”, “Pak

Udak”, dan “Batu Rusa”. Adapun data sekundernya adalah berupa pendeskripsian tentang

nilai-nilai profetik yang terkandung dalam ketiga judul dongeng tersebut yang diambil dari

hasil sebaran angket terhadap para guru itu.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

“Mendengarkan cerita lebih mudah dan lebih mengasyikan bagi siswa tingkat dasar

daripada membacanya sendiri. Apalagi jika guru menyampaikannya dengan baik.”6 Dalam

penelitian ini, para guru lefel sekolah lanjutan tingkat pertama, baik SMP maupun Tsanawiyah

masih menggantungkan pada buku pegangan siswa. Dengan kata lain dari banyak pilihan

dongeng yang tersebar di wilayah Bangka maka dongeng yang tersaji dalam buku pelajaran

peserta didiklah yang dikupas dalam pembelajaran di kelas. Dongeng tersebut berjudul

“Bujang Katak”, “Pak Udak”, dan “Batu Rusa”. Berikut ini peneliti hadirkan salah satu dari ketiga dongeng dari wilayah Bangka yang

digunakan oleh para guru se-MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Bahasa Indonesia di

Pangkal Pinang Bangka dengan judul “Bujang Katak”.

Bujang Katak, begitulah ia biasa dipanggil, karena ia memang menyerupai katak. Kulitnya licin

dan berwarna kehijauan, Iehernya pun pendek seperti katak. Bujang Katak adalah anak tunggal

wanita tua yang miskin. Dulu, wanita itu rajin berdoa agar Tuhan mengaruniakan seorang anak

padanya. Tanpa sengaja, ia berkata bahwa meskipun anak yang diberikan menyerupai katak,

ia akan tetap mencintainya. Rupanya Tuhan mengabulkan doanya, dan lahirlah si Bujang

Katak. 5 B. Mungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer,

(Jakarta: RajaGrafindo,2001) 6 Hindun, Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter di Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar, (Depok: Nufa

Citra Mandiri, Januari 2013), h. 47

Page 5: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter

Bujang Katak rajin membantu ibunya di ladang. Para penduduk desa pun menyukai Bujang

Katak karena sikapnya yang ramah dan suka membantu. Akhir-akhir ini, Bujang Katak tampak

murung. Ia sering duduk melamun. Ibunya yang heran melihat perubahan sikapnya pun

bertanya, "Apa yang kau pikirkan, Nak? Seharian kau hanya duduk melamun."

Bujang Katak menghela napas, "Aku sekarang sudah dewasa Bu, sudah saatnya aku menikah."

Ibunya tersenyum, "Ah, rupanya kau sedang jatuh cinta. Katakan pada Ibu siapa wanita itu dan

Ibu akan segera melamarnya."

"Putri Raja, Bu. Aku dengar Raja memiliki tujuh putri yang cantik-cantik. Maukah Ibu

melamar salah satu dari mereka untukku?"

Ibunya sangat terkejut, "Mana mungkin seorang putri raja sudi menikah dengan anakku,"

pikirnya dalam hati. Namun karena sangat menyayangi anaknya, ibu itu pun mengiyakan.

Esok harinya, si Ibu berangkat ke istana. Tak lupa ia membawa sedikit buah tangan untuk Raja.

Sesampainya di istana, Raja segera menanyakan maksud kedatangannya.

"Ampun Baginda. Maafkan hamba jika lancang. Maksud kedatangan hamba adalah untuk

melamar salah satu putri Baginda untuk putra hamba," kata Ibu dengan sedikit cemas.

Raja mengernyit. Dipandangnya ibu itu dari atas sampai ke bawah.

"Wanita miskin ini rupanya salah tujuan. Mana mau putri-putriku bersuamikan orang miskin?"

pikirnya dalam hati. Meski berpikir demikian, karena sang Raja merupakan Raja yang

bijaksana, Raja tak mau mengecilkan hati ibu Bujang Katak. Beliau lalu memanggil ketujuh

putrinya untuk menemui ibu tersebut.

"Putri-putriku, apakah ada dari kalian yang bersedia menikah dengan putra wanita tua ini?"

tanya Raja. Serempak putri-putri itu tertawa mengejek. "Hai wanita tua, anakmu mimpi di siang

bolong, ya?"

Mereka lalu masuk kembali ke istana dan tak menghiraukan ibu Bujang Katak. Hanya putri

bungsu raja yang tetap tinggal. Ia menghampiri ibu Bujang Katak dan berkata, "Pulanglah.

Katakan pada putramu untuk datang sendiri melamarku."

"Bungsu, apakah kau benar-benar ingin menikah dengan Bujang Katak? Ia hanya pemuda

miskin dan rupanya seperti katak," kata Raja panik. Lebih dari itu Putri bungsu merupakan

putri yang paling cantik dan putri yang paling baik hati diantara ketujuh putrinya. Sang Rajapun

sebenarnya paling sayang dengan Putri Bungsu karena selain cerdas, putri bungsu juga anak

yang bijaksana.

"Jika Ayahanda mengizinkan, aku bersedia menikah dengan Bujang Katak. Aku mendengar

bahwa Bujang Katak adalah pria yang baik. Bukankah aku harus mencari suami yang baik?"

jawab Putri Bungsu. Raja tak bisa menjawab. Ibu Bujang Katak pun segera pulang untuk

memberitahu kabar gembira ini pada Bujang Katak.

Keesokan harinya, Bujang Katak pergi ke istana. "Hai Bujang Katak, kau boleh memperistri

putri bungsuku, tapi ada syaratnya," kata Raja saat Bujang Katak menghadap. Sang Raja

Page 6: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter

sengaja akan memberi suatu syarat yang sangat sulit sehingga tidak mungkin dapat terwujud.

Hal ini sebenarnya untuk menolak lamaran Bujang Katak secara halus.

"Apa pun syaratnya, hamba akan berusaha memenuhinya," jawab Bujang Katak mantap.

"Aku ingin kau membangun jembatan emas di atas sungai yang menghubungkan istana ini

dengan desamu. Suatu saat jika aku ingin mengunjungi putriku di desamu, aku tak perlu

menyeberang sungai dengan perahu. Cukup dengan melewati jembatan emas itu. Apakah kau

mampu memenuhinya?" tanya Raja.

"Siap Baginda. Hamba akan segera membangun jembatan itu,” kata Bujang Katak dengan nada

yakin dan mantap.

"Ingat Bujang Katak! Jembatan itu harus siap dalam waktu satu minggu, Kalau tidak, jangan

harap kau bisa menikahi putriku!" kata Raja menambahkan syarat yand diajukan pada Bujang

Katak.

Bujang Katak kembali ke rumahnya. Ia menceritakan permintaan Raja kepada ibunga. "Tapi

anakku... kita ini hanya orang miskin. Mana mampu kita membeli emas untuk membangun

jembatan itu?" Ucap Ibu Bujang Katak, memelas.

"Bu, dengan pertolongan Tuhan, apa pun bisa kita lakukan. Aku akan memohon pada Tuhan

untuk memberi jalan kepadaku," sahut Bujang Katak mantap. Malam itu, Bujang Katak terus

berdoa dan berdoa. Ia yakin Tuhan akan menolongnya.

Pagi-pagi, seperti biasa Bujang Katak bangun dan bersiap pergi ke ladang. Ketika ia mandi,

keajaiban pun terjadi. Kulitnya yang tebal dan licin terkelupas. Tiap kali ia mengguyurkan air

ke tubuhnya, kulitnya rontok. Perlahan-lahan, seluruh kulit tubuhnya terkelupas. Bujang Katak

heran. Ia menatap onggokan kulitnya yang terkelupas. Ia segera masuk rumah untuk bercermin.

Alangkah kagetnya ia, di hadapannya tampak sosok pemuda tampan dengan kulit kecokelatan!

Bukan lagi pemuda yang menyerupai katak. Tak percaya, Bujang Katak terus meraba

wajahnya. "Ibu... Ibu... cepat kemari... lihatlah diriku, Bu!" teriak Bujang Katak. Ibunya

tergopoh-gopoh menghampiringa. "Ya Tuhan, sungguh besar cintaMu pada anakku ini," seru

Ibu sambil memeluk Bujang Katak.

Bujang Katak kembali ke sumur untuk meneruskan mandinya. Sekali lagi, keajaiban terjadi.

Onggokan kulit yang tebal itu telah berubah menjadi emas! Bujang Katak berteriak-teriak

kegirangan, "Terima kasih Tuhan, terima kasih... Kau sudah memberikan jalan keluar

untukku."

Bujang Katak menunjukkan emas itu pada ibunya. "Bu, sekarang aku sudah bisa membangun

jembatan emas. Doakan aku, agar bisa menyeIesaikannya tepat waktu. Bujang Katak mulai

bekerja, siang dan malam tiada henti.

Hari yang ditentukan telah tiba. Bujang Katak dan ibunya menghadap Raja. Saat itu, Raja dan

para putrinya sedang berkumpul. Mereka semua heran melihat sosok pemuda yang datang

menghadap Raja.

"Hai wanita tua, mana putramu yang seperti katak itu? Siapa pemuda ini?" tanya Sang Raja

kebingungan.

Page 7: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter

"Ampun Baginda, pemuda ini adalah Bujang Katak. Tuhan telah mengubah wujudnya menjadi

pemuda yang tampan," jawab ibu Bujang Katak. Mareka saling berpandangan. Putri Bungsu

pun tersenyum bahagia.

"Hei anak muda, meskipun kau sudah menjadi pemuda yang tampan, kau tetap harus

memenuhi syaratku. Apakah jembatan emas itu sudah jadi?" tanya Sang Raja.

"Tentu saja Baginda. Mari hamba antar Baginda untuk melihatnya," jawab Bujang Katak.

Pada pagi hari, jembatan emas itu sungguh indah. Warna keemasan memantul dari setiap

bagian jembatan. Raja senang melihat tekad dan usaha Bujang Katak untuk menikahi putri

bungsunga. "Rupanya pilihan Putri Bungsu memang tepat. Pemuda ini mau bekerja keras demi

mencapai cita-citanya," pikir Raja. "Baiklah Bujang Katak. Mari kita kembali ke istana dan

membicarakan pesta pernikahanmu dengan Putri Bungsu," ajak Raja. Bujang Katak pun

mengangguk setuju. Ia mengulurkan tangannya pada Putri Bungsu. Dengan malu-malu, Putri

Bungsu mengambut uluran tangan calon suaminya.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Bangka Belitung yang berjudul “Bujang Katak” adalah

jangan menilai orang dari penampilan fisiknya saja. Usaha, kerja keras, dan doa akan

menjadikan seseorang sukses. Dengan kata lain mengandung nilai humanisasi yang berarti

memanusiakan manusia, sehingga melewati pemikiran yang bertumpu pada kebendaan atau

menilai sesuatu dari satu sudut pandang saja yakni berupa materi/ nominal hingga

menghilangkan jati diri kemanusiaan.

Dalam cerita tersebut sangat jelas bahwa dari ketujuh putri sang raja, terdapat satu putri

yakni yang paling terakhir atau putri bungsu yang bersedia menikah dengan bujang katak.

Sampai sang raja pun berseloroh: "Bungsu, apakah kau benar-benar ingin menikah dengan

Bujang Katak? Ia hanya pemuda miskin dan rupanya seperti katak," kata Raja panik.

Kepanikan sang raja ditepis oleh sikap tegas sang bungsu yang tidak ragu-ragu memilih dan

memberi jawaban kepada ibu si bujang katak: Ia menghampiri ibu Bujang Katak dan berkata,

"Pulanglah. Katakan pada putramu untuk datang sendiri melamarku." Persoalan lamar melamar

yang dihadapi sang ayah mampu dipecahkan oleh putri bungsunya dengan menerapkan nilai

humanisme yang berarti juga secara keyakinan tidak sedikitpun menjadikan kemiskinan

sebagai suatu hambatan, justru sikap berusaha keras, berjuang yang tampak pada diri si bujang

katak lah yang menjadi titik penentu kemantapan hatinya memilih. Adapun tampilan fisik atau

performance yang bisa dilihat sesaat bukanlah menjadi ukuran bagi si bungsu dalam

menentukan pilihannya. Sebuah keyakinan yang merupakan cermin dari transendensi moral

guna mengaktualisasikan nilai-nilai profetik dalam kehidupan.

Setiap manusia yang sadar tentunya senantiasa belajar banyak hal dalam kehidupan ini.

Demikian pula peserta didik, “semasa kecil anak-anak membentuk kepribadiannya melalui

masukan dari lingkungan primernya (keluarga). Sampai usia 5-8 tahun ia masih menerima

masukan-masukan (tahap formatif). Menjelang remaja (usia ABG) ia mulai memberontak dan

mencari jati dirinya dan akan semakin menajam ketika ia remaja sehingga masa itu disebut

masa pancaroba.”7 Peserta didik di lefel SLTP tergolong dalam masa menjelang remaja atau

sebagian ada yang sudah menjadi remaja. Mereka tidak lagi hanya mendengarkan kata orang

tua, mungkin sering membantah karena banyak contoh di luar yang tidak sama dengan apa-apa

7 Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung: Refika Aditama, cet. ke-2,

2010), h.16

Page 8: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter

yang ia dapatkan dari orang tuanya, sehingga perbenturan nilai pun terjadi. Oleh karena itu,

“masa pancaroba dalam diri individu itu akan lebih sulit mencapai kemantapan dan

kematangan jika kondisi di dunia luar juga pancaroba terus.”8 Peran guru lah sebagai pendidik

yang mampu menghadirkan dongeng dalam pembelajaran di kelas guna menanamkan nilai-

nilai profetik tersebut sehingga peserta didik tidak kehilangan jati dirinya.

BAB V. SIMPULAN

1. Para guru melaksanakan pembelajaran mendongeng di kelas dengan menggunakan bahasa

Indonesia, meskipun dongeng tersebut berasal dari wilayah Bangka yang menggunakan

aksentuasi berbeda-beda.

2. Hasil sebaran angket kepada guru-guru se-MGMP Pangkalpinang, realitanya hanya

enambelas guru paham dan benar-benar menerapkan bahwa materi cerita rakyat sebagai

pembelajaran mendongeng bisa dikemas untuk mengembangkan nilai-nilai profetik dalam

mencerdaskan kehidupan bangsa.

3. Dongeng yang digunakan dalam pembelajaran di kelas oleh para guru MTs /SMP se-MGMP Pangkalpinang yakni berjudul “Bujang Katak”, “Pak Udak”, dan “Batu Rusa”.

BAB VI. DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah, Nanang dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, Bandung: Refika

Aditama, cet. ke-2, 2010

Hindun, Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter di Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar,

Depok: Nufa Citra Mandiri, Januari 2013

Hindun, Pembelajaran Apresiasi Bahasa & Kreasi Sastra Indonesia, Jakarta: Mazhab Ciputat,

Juli 2014

Kosasih, E. Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Nobel Edumedia, 2008

Mungin, B. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian

Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo, 2001

Philips, Diane, Sarah Burwood dan Helen Dunford, Project with Young Learners, New York:

Oxford Univ. Press, 1999

LAMPIRAN

Berikut ini peneliti lampirkan sebagian dari identitas responden dengan hasil

angketnya.

8 Ibid, h. 17

Page 9: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter
Page 10: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter
Page 11: Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter