16
Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 109 BAB 5 KOLABORASI KELEMBAGAAN DAN S SH HA AR RE E L LE EA AR RN NI IN NG G UNTUK PENGELOLAAN HUTAN DI DISTRIK CHIVI, ZIMBABWE Nontokozo Nemarundwe

Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ... · an di sini digunakan untuk merujuk pada organisasi atau otoritas pengelolaan sumberdaya. Dalam bab ini, organisasi atau

  • Upload
    trandan

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untukPengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 109

BBAABB 55

KKOOLLAABBOORRAASSII KKEELLEEMMBBAAGGAAAANN DDAANNSSHHAARREE LLEEAARRNNIINNGG UUNNTTUUKK PPEENNGGEELLOOLLAAAANN HHUUTTAANN DDII DDIISSTTRRIIKK CCHHIIVVII,, ZZIIMMBBAABBWWEE

Nontokozo Nemarundwe

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 111

KKOOLLAABBOORRAASSII KKEELLEEMMBBAAGGAAAANNDDAANN SSHHAARREE LLEEAARRNNIINNGG UUNNTTUUKK

PPEENNGGEELLOOLLAAAANN HHUUTTAANN DDII DDIISSTTRRIIKK CCHHIIVVII,, ZZIIMMBBAABBWWEE

Nontokozo Nemarundwe

AbstrakBab ini menjelaskan proses-proses kolaborasi di antara lembaga-

lembaga yang bekerja dengan pengelolaan hutan komunitas padatingkat lokal di Zimbabwe dan mengkaji bagaimana proses-proses inimempengaruhi pemanfaatan sumberdaya secara lestari. Saya mem-bahas bagaimana lembaga-lembaga itu beradaptasi dengan peruba-han kondisi sosial dan lingkungan. Berdasar bukti-bukti pada studikasus, saya berpendapat bahwa pengelolaan sumberdaya alamberbasis komunitas bisa berjalan dengan baik dalam kontekskolaborasi kelembagaan dan pembelajaran bersama. Saya meng -identifikasi adanya tiga persyaratan untuk kolaborasi: perlu fasilitasipembelajar an dari eksperimen yang efektif, kekuasaan yang setaradalam proses pembelajaran tersebut dan kesediaan untuk aktif dalamproses multi tahap yang bisa menjadi sangat mahal.

Nontokozo Nemarundwe110

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 113

Orstrom, karena teori tersebut memberi pengetahuan mengenaibagaimana lembaga lokal dapat beradaptasi dengan perubahansepanjang waktu.

Berdasar studi kasus dari Romwe di lahan komunal Chivi,Zimbabwe selatan, bab ini berpendapat bahwa pengelolaan sumber-daya alam dapat berjalan dengan sangat baik dalam kontekskolaborasi lembaga lokal dan pembelajaran bersama. Sayamenggambarkan perubahan dalam kolaborasi tingkat lokal dan pem-belajaran yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kutu-raya, suatu alat percobaan partisipatif (Chuma et al 1997; Hudson1981). Kasus tersebut menunjukkan bahwa belajar sambil bekerjamerupakan kunci untuk pengelolaan secara kolaboratif. Olehkarena nya, fokus pengelolaan kolaboratif semestinya bukan padapengembangan kelembagaan yang bertahan lama, namun padapengembangan kelembagaan yang mampu beradaptasi.

LATAR BELAKANGKerangka kerja konseptual

Ada dua wacana yang bertentangan yang mendominasi per-masalahan pengelolaan sumberdaya bersama (Common PropertyResources, CPR). Yang pertama berpendapat bahwa pemanfaatansumberdaya alam secara kolektif tidak akan memberikan insentifpada investasi untuk pengelolaan yang baik. Pandangan ini meng -anggap bahwa kekayaan bersama-sama dengan pengaturan pe -nguasaan terhadap akses yang terbuka, dan oleh karenanyamasyarakat hanya punya sedikit insentif bekerja untuk hasil produk-tivitas atau lingkungan jangka panjang. Teori Hardin (1968) tentang‘Tragedy of the Commons’, ‘tragedi yang terjadi, karena pemanfaatanbersama atas sumberdaya dengan akses tak terbatas’ sangat ber -pengaruh pada popularitas pandangan ini.

Kelompok-kelompok pengguna yang saling terkait dari satusumber daya bersama dianggap memiliki kepentingan yang kuat dalampengelolaan sumberdaya itu secara kolektif (McCay dan Acheson 1987;Orstrom 1990; Lawry 1989). Pandangan ini menegaskan visi yangdemokratis untuk pengelolaan sumberdaya alam secara lestari,khususnya yang ada di kawasan-kawasan pedesaan di negara-negara

Nontokozo Nemarundwe112

PENDAHULUANKegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam

secara berkelanjutan disebabkan oleh fokus pengelolaan yang tanpamempertimbangkan kerangka kelembagaan di lokasi pengelolaantersebut (Ostrom 1990; Sithole 1997). Dalam bab ini, saya mengujibisa tidaknya penerapan teori pengelolaan sumberdaya yang menja-di milik umum dan pengelolaan adaptif pada permasalahan ke lembaga -an dalam pengelolaan sumberdaya hutan komunal di kabupatenChivi, Zimbabwe. Saya mengkaji dua aspek dari tumbuhnya literaturmengenai kelembagaan lokal untuk pengelolaan sumberdaya alam.Pertama, saya membahas proses-proses kolaborasi di antara lembaga-lembaga pengelolaan hutan pada tingkat lokal dan lahan-lahankomunal. Banyak penulis semakin berminat dalam memahami konflikatas pemanfaatan sumberdaya dilihat dari hubungan pusat – lokal(Fisher dan Jackson 1998; Matose 1994; Matzke 1993; Moore 1993).Meskipun hubungan ini sangat penting, akan lebih mudahmengabaikan bagaimana lembaga-lembaga yang bekerja pada levellokal berkolaborasi sebelum dan sesudah mereka berinteraksi den-gan pihak-pihak luar. Akibat dari pengabaian ini dijelaskan dengansangat baik dalam kasus-kasus di mana pihak luar mencoba untukmengembangkan kelembagaan lokal yang baru, yang seringmengikuti prinsip-prinsip Orstrom dan lainnya, tanpa memahamipotensi hubungan antara lembaga-lembaga ini dan lainnya, lembaga-lembaga lokal yang sudah ada sebelumnya seperti pengurus adat.

Kedua, saya membahas bagaimana lembaga-lembaga lokalberadaptasi dengan perubahan kondisi sosial dan lingkungan.Orstrom (1990, 1998) berfokus pada lembaga-lembaga lokal dalamprinsip-prinsip rancangannya yang sangat jelas dengan sifat-sifatlembaga yang bertahan lama. Namun, prinsip-prinsip rancangannyatidak jelas dalam hal bagaimana lembaga-lembaga itu dapatberadaptasi dengan perubahan lingkungan yang terus terjadi.Meskipun Orstrom berbicara mengenai perubahan konstitusionalsebagai jalan dalam merespons perubahan, tidak ada petunjuk yangjelas mengenai bagaimana perubahan ini bisa berlangsung. Dalamhal ini, teori pembelajaran sosial (Röling dan Wagemakers 1998)dapat diadopsi untuk melengkapi kerangka kerja konseptual

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 115

sebagian besar literatur CPR memperlakukan masalah kelembagaansebagai perspektif yang statis dan bukan merupakan kegiatan yanghidup. Mandondo (1997, 1998) juga mempermasalahkan kurangnyadinamika dalam literatur mengenai kelembagaan lokal. Dia ber -

Nontokozo Nemarundwe114

berkembang di mana kekuasaan atas lahan dan sumberdaya alamtelah ada dalam tangan negara atau aparatnya (Mandondo 1997).

Dalam literatur mengenai kekayaan bersama (common property),kelembagaan dianggap membentuk perilaku manusia dalamhubungan nya dengan pemanfaatan sumberdaya. Istilah kelembaga -an di sini digunakan untuk merujuk pada organisasi atau otoritaspengelolaan sumberdaya. Dalam bab ini, organisasi atau otoritasdidefinisikan, dengan mengikuti North (1990) sebagai struktur tatakelola yang dikembangkan untuk mengelola interaksi manusia.Aturan main dan peraturan diperlakukan sebagai penyusunankelembagaan. Penyusunan kelembagaan sering membentuk dasar-dasar untuk memandu kegiatan organisasi, meskipun bisa jadi sifat-nya informal, dan tidak berhubungan dengan organisasi tertentu.Aturan main dan peraturan yang digunakan oleh masyarakatmenentukan siapa yang memiliki akses pada sumberdaya bersamaitu, berapa ukuran penggunaan yang dapat dikonsumsi olehmasyarakat yang berhak, kapan dan siapa yang akan memonitor danmenegakkan aturan ini (Orstrom 1998). Studi ini mencakupkelembanga an formal dan informal serta penyusunan kelembagaan.

Namun literatur-literatur CPR tersebut sedikit sekali mem -perhati kan kolaborasi antar-kelembagaan lokal. Namun di seluruhAfrika, berbagai lembaga tradisional memiliki pengaruh dalampengambilan keputusan pada tingkat lokal (Berry 1989). Lembaga-lembaga lokal tersebut juga saling berdampingan dengan lembagayang baru dibentuk. Dengan memahami kondisi di mana lembaga-lembaga lokal ini berkolaborasi atau berkompetisi satu sama lain dandengan lembaga baru yang bekerja pada tingkat lokal akanmeningkatkan peluang untuk terjadinya pengelolaan hutan yangberkelanjutan di daerah-daerah di mana lembaga-lembaga tersebutberbagi tanggungjawab.

Salah satu kondisi kolaborasi seperti ini bisa berupa pendekatanbersama untuk belajar dan adaptasi. Meskipun banyak literatur CPRmemberikan pengetahuan mengenai bagaimana lembaga lokal dapatdisusun dan dipertahankan, namun tidak jelas mengenai bagaimanamereka dapat beradaptasi dengan situasi yang baru (McCay danAcheson 1987; Orstrom 1990). Sebagaimana pendapat Cleaver (1999) Gambar 5.1. Lokasi Daerah Aliran sungai Romwe, Zimbabwe

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 117Nontokozo Nemarundwe116

pendapat bahwa masalah kelayakan kelembagaan terlihat sudah di -setir oleh misi untuk memperoleh lembaga yang mampu bertahanlama. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa ‘dalam konteks keragamandan sumberdaya yang senantiasa berubah, akan lebih bermanfaatuntuk membangun lembaga yang bisa beradaptasi daripada lembagayang hanya bisa bertahan’ (1998:18).

Teori pembelajaran sosial menjadi relevan dalam konteks ini,karena dapat memperkaya pendekatan CPR pada analisis ke -lembaga annya. Teori ini memberikan pandangan mengenai bagai -mana lembaga-lembaga dapat berkembang untuk menanganiperubah an situasi (baik sosial atau lingkungan). Pembelajaran sosialmerupakan ‘kerangka kerja untuk berpikir mengenai proses-prosespengetahuan yang mendasari adaptasi dan inovasi sosial’ (Woodhilldan Röling 1998:64). Jika kelompok kepentingan saling bergantungdan peluang lingkungan hidup tidak pasti, maka segala akibat daribentuk pengelolaan menjadi tidak bisa diprediksi untuk semuakelompok yang bersangkutan. Pendekatan adaptif atau pembelajar -an memampukan pendekatan yang berulang untuk berhubungandengan ketidakpastian yang mengurangi resiko dengan caramenyesuai kan tindakan dengan informasi yang tersedia. Kerangkakerja pembelajaran sosial menyoroti pentingnya pembelajarankelompok un tuk pengelola an sumber daya alam secara kolaboratif.Interaksi dan komunikasi yang ber arti antara individu dan kelompok(termasuk lembaga lokal yang berbeda) sangat penting dalam prosespembelajaran sosial.

Wilayah StudiStudi ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai Romwe di

Kabupaten Chivi, Zimbabwe Selatan (lihat Gambar 5.1). Luaskawasan tersebut 4.5 km² dan menjadi tempat tinggal bagi 50rumahtangga. Kabupaten Chivi dicirikan dengan rendahnya curahhujan, tanah yang gersang untuk produksi pertanian dan seringmengalami kekeringan musiman. Karena sangat kering, lokasitersebut tidak kondusif untuk produksi pertanian, yang men -ciptakan persaingan dalam pemanfaatan hutan seperti buah-buah -an, madu dan kayu untuk ukiran. Ketidakpastian dalam pemanfaat -

Lembaga

Sabuku/Kepala

Penasehat/VIDCO

LayananKesehatan

CAREInternasional

Gereja

Guru

Agritek

Peneliti

DNR Jengetavhu

Serikat Petani

Zimbabwe

Urutan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

Alasan pengurutan

Menyusun aturan yang menjadi pedoman bagi masyarakat untukpemanfaatan sumberdaya; mereka biasanya dihormati; merekamelakukan alokasi lahan; menyelesaikan perselisihan agarmasyarakat hidup dengan rukun; pemilik lahan

Memimpin pembangunan dengan cara mengajukan permintaananggota desa kepada Rural District Council (dewan kabupatenuntuk urusan pedesaan)

Memberikan pengobatan, pelayanan ibu-ibu dan imunisasi,meskipun masyarakat harus membayar beberapa pelayanan inikhususnya jika di rumah sakit; pelayanan kesehatan disediakansepanjang tahun

Memberikan alat-alat untuk merehabilitasi waduk melalui pro-gram pangan untuk bekerja - hal ini membawa keuntungan bagimasyarakat dan meningkatkan cadangan air untuk peternakan;mereka tinggal di luar desa, namun sering datang ke desa

Mengajar masyarakat dengan moral yang baik; menjaga keluar-ga agar tetap bersatu; memberikan semangat saat sakit dansaat kematian terjadi pada masyarakat

Memberikan pendidikan untuk anak-anak

Mereka selalu ada pada daerah itu; mereka membantu di lapan-gan dan kebun; memiliki penyuluhan yang efektif; bekerja baikdengan masyarakat; bekerja di lapangan; memiliki interaksiyang terbuka dengan masyarakat dan mencakup kawasan yangluas

Melaksanakan penelitian di kawasan kecil; berhubungan denganbeberapa orang misalnya untuk uji coba di lapangan; mem-berikan pengangkutan bagi masyarakat

Memiliki perwakilan lokal yang seharusnya bekerja denganmasyarakat desa, jarang memberlakukan denda misal untukmemulai pembakaran lahan yang dianggap pelanggaran serius didesa itu

Tidak terkenal di daerah itu; datang hanya pada musim tanam;menjual benih - hanya sedikit orang yang diuntungkan; iurananggota harus dibayar

Kunjungan ke ZINATA1 harus dirahasiakan; mereka tidak terbu-ka; membuat klaim yang tidak dapat dibuktikan misalnya, mere-ka bisa mengobati AIDS, hanya sedikit orang yang masih men-gandalkan tabib.

Tabel 5.1 Urutan tingkat kepentingan lembaga yang beroperasi pada daerah aliransungai Romwe menurut kaum perempuan

1) Singkatan dari Zimbabwe National Traditional Healers Association (Asosiasi Tabib TradisionalZimbabwe)

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 119Nontokozo Nemarundwe118

an sumberdaya ini menunjukkan adanya kebutuhan akan pen-dekatan yang fleksibel dan adaptif untuk pengelolaannya.

Perubahan jumlah populasi dan tekanan pada lahan me -nambah kompleksitas pada pengelolaan sumberdaya berbasis rakyatdan kelembagaan pengelolaan sumberdaya lokal yang bersangkutan.Kabupaten tersebut merupakan lokasi untuk imigrasi wajib padaawal 1950-an sebagai hasil penunjukan beberapa lahan untukkawasan pertanian komersial. Penduduk yang ada sekarang terdiridari masyarakat yang berbahasa Shona dan Ndebele dengan latarbelakang etnis yang berbeda. Kelompok etnis yang berbeda tersebutmemiliki sistem agama dan pola pemanfaatan sumberdaya yangberbeda. In-migrasi dan keragaman etnis menimbulkan tantanganpada pengelolaan sumberdaya secara kolaboratif pada tingkat lokal,dan menunjukkan kebutuhan akan kelembagaan yang dapatberadaptasi dengan kondisi sosial yang sedang berubah.

Secara administratif, daerah aliran sungai ini terletak padaWards 23 dan 25 dari Kabupaten Chivi. Otoritas administrasi, adat,dan batas-batas pemanfaatan sumberdaya sering tidak sesuai satusama lain. Ada tiga desa (kraalheads) yang ada pada daerah aliransungai Romwe ini, yaitu Dobhani (Ward 25), Sihambe (Ward 23) danTamwa (Ward 23). Dua dari desa tersebut (kraals) hanya sebagianyang terletak di dalam daerah aliran sungai ini: Sihambe, yang ter-letak di sebelah utara dan Dobhani yang terletak di sebelah selatan.Tumpang-tindih administratif ini menunjukkan adanya kesulitansekaligus perlunya kolaborasi yang efektif di antara lembaga-lembaga lokal (Tabel 5.1).

Pada tingkat lokal, terdapat berbagai lembaga yang terlibatdalam pengelolaan hutan. Lembaga ini meliputi lembaga penyuluhanyang didukung oleh pemerintah atau parastatal, strukturpemerintah an lokal dan otoritas adat. Organisasi-organisasi ORNOPdan kelompok penelitian juga diidentifikasi oleh masyarakat sebagaikelembagaan yang relevan. Berbagai peran dan tanggungjawab darilembaga-lembaga ini telah berkembang menurut waktu. Gambar 5.2menggambarkan hubungan antara lembaga-lembaga pengelolaanhutan yang beroperasi di kawasan studi.

Keberadaan berbagai lembaga untuk pengelolaan hutan mem- Gambar 5.2 Keran

gka

kerja kelem

bag

aan untuk pen

gelolaa

n hutan di ka

wasan

Rom

we

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 121

Orstrom untuk lembaga-lembaga yang dapat bertahan2. Lembaga-lembaga ini harus memiliki peluang yang baik untuk mengelola hutanyang menjadi kekayaan bersama dalam daerah itu. Pengurus adat,VIDCO dan WADCO memiliki batas-batas yang jelas, meskipun batas-batas ini bukan batas yang sama untuk lembaga yang ber beda.Meskipun distribusi biaya dan keuntungan dari pengelolaan hutanpada masing-masing lembaga tidak sempurna, namun sangat wajardibandingkan dengan lembaga lokal lain yang dibahas dalam literaturtersebut (Dzingirayi 1997). Pengurus adat, VIDCO dan WADCO memi-liki semua mekanisme monitoring dan mekanisme re solusi konflikyang berjalan, dan juga metode-metode untuk mem buat pilihan-pili-han kolektif mengenai cara-cara pengelolaan. Pengurus adat tidakmemiliki posisi dalam struktur pemerintahan yang lebih luas sebagai -mana VIDCO dan WADCO, namun lembaga adat itu diakui oleh peme -rintah. Meskipun struktur VIDCO dan WADCO serta kepe mim pinanlokal, khususnya sabuku (kraalhead), memenuhi semua prinsip-prinsip perancangan Orstrom, upaya-upaya pengelolaan sumberdayapada tingkat lokal tidak akan berhasil jika tidak ada kolaborasi.

Pengelolaan yang gagal: Kasus pemukiman di kawasan peng -gembalaan di Romwe

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, tiga lembaga adat yangmeng urus pengelolaan sumberdaya adalah: sabuku dari sukuNdebele dan Shona, kepala desa Shona dan ketua3 Shona. Ketigapengurus adat ini biasanya sangat efektif dalam distribusi sumber-daya. Misalnya, lahan dan dalam menyelesaikan sengketa sepertiperselisihan mengenai batas yang terjadi pada tingkat rumahtangga.Pengurus adat ini biasanya juga mengurus pemanfaatan dan pe -ngelolaan hutan. Menurut masyarakat lokal, kasus-kasus pelanggar -an norma sangat terbatas. Meskipun pengurus adat memiliki inter-aksi dengan pekerja penyuluhan dan pengurus kabupaten, mereka

Nontokozo Nemarundwe120

buat kolaborasi pada tingkat lokal menjadi sulit. Berubahnya mandat,minat dan kepentingan serta kekuatan untuk mempengaruhi pe -ngelolaan sumberdaya juga menunjukkan bahwa tidak satupunbentuk kolaborasi yang dianggap praktis dalam waktu yang lama.Dibutuhkan mekanisme untuk memampukan proses kolaborasi itusendiri menjadi fleksibel.

STUDI KASUS DAERAH ALIRAN SUNGAI ROMWESaya mengikuti proses-proses yang digambarkan di bawah ini

sebagai seorang peneliti, dengan minat pada metode-metode peneliti -an partisipatif dan teknik-teknik pengelolaan sumberdaya alamsecara partisipatif. Saya telah bekerja di kawasan ini selama satutahun dan saya bergabung dengan Lembaga Studi LingkunganHidup, suatu organisasi penelitian yang memiliki komitmen jangkapanjang pada Daerah aliran sungai Romwe. Saya bekerja dengansatu tim yang terdiri dari empat peneliti, dengan metode-metodepengumpulan data seperti review literatur, wawancara denganinforman kunci dan teknik-teknik penilaian desa secara cepat. Studiini dilakukan dari bulan Juli 1998 hingga Juli 1999.

Bagian ini menyajikan kasus dari Romwe untuk menggambark -an upaya-upaya pada pengelolaan kolaboratif antara pusat dan lokalyang berhasil dan yang tidak berhasil. Saya akan memberikan alasanmengapa berhasil dan mengapa tidak. Kasus ini menunjukkanbahwa tidak adanya kolaborasi di antara lembaga lokal akanmenyebab kan ketidaklestarian. Bahkan di lokasi-lokasi denganlembaga-lembaga lokal (baik yang sudah ada maupun yang barudibentuk) yang menganut prinsip-prinsip sebagaimana yang di -gambarkan oleh Orstrom (1998, 1999), kasus Romwe menunjukkanbahwa pendekatan pembelajaran sosial untuk pengelolaanmerupakan satu cara dalam mengatasi perbedaan yang adamengenai prioritas lembaga, sumber dukungan bagi lembaga,legitimasi dan budaya. Selain itu pembelajaran sosial juga digunakanuntuk mendorong kolaborasi yang efektif.

Di Romwe, lembaga adat dan lembaga yang baru dibentuk, yaituKomite Pembangunan Desa (VIDCO) dan Komite PembangunanKabupated (WADCO) sangat sesuai dengan sebagian besar kriteria

2) Kriteria Orstrom adalah: i) harus ada batas-batas pemanfaatan sumberdaya yang terdefinisidengan jelas; ii) kesetaraan - distribusi yang adil untuk keuntungan dan biaya; iii) penyusunanpilihan kolektif; iv) monitoring; v) sanksi bertahap; vi) mekanisme resolusi konflik; vii) pen-gakuan minimum atas hak untuk berorganisasi dan untuk CPR yang menjadi bagian dari sistemyang lebih besar; viii) perusahaan-perusahaan yang berkepentingan (Orstrom, 1990).

3) Struktur pengurus adat terdiri dari sabuku (kraalhead) yang merupakan posisi terendah dalamhirarki tersebut. Sabuku melaporkan pada kepala desa yang gilirannya akan melaporkan padaketua (yang menduduki puncak dari hirarki tersebut)

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 123

penggembalaan. Pada kenyataannya, banyak para pelanggar yangmengabaikan peraturan konversi hutan oleh VIDCO/WADCO karenamereka, namun mereka lebih menghormati pengurus adat.

Dengan adanya berbagai pengurus lokal, sering terjadi konflikmengenai pemanfaatan lahan umum. Kotak 5.1 menggambarkansebuah kasus privatisasi sumberdaya lahan umum oleh individuyang dulunya dimanfaatkan oleh anggota masyarakat untuk produk-produk seperti kayu bakar, pancang untuk bahan bangunan, buah-buahan dan serat. Privatisasi ini terjadi sebagian karena adanyatumpang-tindih kepengurusan dari lembaga-lembaga pengelolaansumberdaya alam.

Nontokozo Nemarundwe122

memiliki otonomi pada tingkat lokal. Hal ini mengurangi kejadianadanya pelanggar, karena sistem kontrol didefinisikan dengan sangatjelas. Banyak penduduk desa, misalnya, menyatakan bahwa padasaat itu setiap orang menghormati kawasan-kawasan keramat diShona, bahkan orang-orang yang berbicara bahasa Ndebelen jugamenghormatinya meskipun bagi mereka tempat-tempat keramatseperti itu tidak penting dalam budaya mereka.

Pada puncak perang kemerdekaan pada tahun 1970-an tidakada lembaga satupun yang memiliki kontrol terhadap sumberdaya ke -cuali para pejuang. Pengurus adat menjadi lemah saat itu. Ketiadaankontrol yang ketat terhadap sumberdaya seperti hutan dan kawasanpenggembalaan mendorong beberapa masyarakat untuk menge m -bang kan kawasan penggembalaan. Para penyuluh tidak bekerja dikawasan ini selama masa itu. Masa setelah ke merdeka an merupakanmasa yang disebut masyarakat lokal sebagai masa untuk diri merekasendiri (mazvakemasvake). Selama masa ini, tidak ada lembaga yangmengurus pemanfaatan sumberdaya hutan. Banyak deforestasi terja-di, yang mendorong pemerintah untuk menciptakan pengurus ke hu -tan an pusat dan membuat peraturan-peratur an yang mendukungnya.

Namun, sebagai bagian dari proses desentralisasi pemerintahkemudian, dan dalam upaya untuk mengontrol pemanfaatan hutanyang lebih baik, dibuatlah struktur pemerintah lokal pada tahun1982. Struktur ini yang kemudian terkenal dengan pemilihan komitepembangunan desa (VIDCO) dan komite pembangunan ward(WADCO), yang secara legal memiliki mandat untuk memonitorpemanfaatan sumberdaya. Anggota penyuluh kehutanan danpertani an, misalnya, harus berkonsultasi dengan komite ini untukmenyelesaikan masalah konversi hutan menjadi lahan pertanian.Namun di lapangan, para pimpinan adat masih lebih dihormati olehanggota masyarakat dan memiliki aturan dan peraturan merekasendiri meskipun tidak tertulis. Meskipun pengurus adat menjadilemah pada saat perang, dan berlanjut dengan tidak adanya peng -akuan secara hukum, mereka masih memiliki legitimasi setelahkemerdekaan (Pemerintah Zimbabwe 1994; Mandondo 1998).Mereka tetap memiliki pengaruh pada pengelolaan sumberdaya, ter-masuk masalah-masalah seperti konversi hutan menjadi ladang

Kotak 5.1 Kasus Bapak Jonasi Dube4

Ayah saya tinggal di kawasan ini pada tahun 1963 ketika lahan itu masihsangat banyak. Ketika saya menikah pada tahun 1989, dia memberikan sebagianlahan pangannya. Tanah tersebut sudah sering dikerjakan dan sangat tidak subur,sehingga saya merasa saya tidak dapat hidup dengan tanah yang tidak subur ini.Saya pergi bekerja di Afrika Selatan sebagai pekerja migran dan ketika saya kem-bali pada tahun 1995 saya meminta sabuku untuk mengalokasikan sebidangtanah yang bisa ditanami. Sabuku itu merujuk saya kepada ketua VIDCO, yangmemberikan ijin pada saya untuk menebang habis sebagian bukit Barura sebagaisawah. Kawasan tersebut berbatu dan miring, sehingga tahun lalu saya kembalikepada Sabuku untuk meminta lahan yang lebih baik untuk mengembangkankebun sayur pada daerah penggembalaan dan menjelaskan padanya bahwa ketuaVIDCO telah memberikan lahan yang tidak subur kepada saya. Sabuku itu kemu-dian berkata jika memang untuk kesejahteraan keluarga saya, silakan saja. Jadisaya membuat pagar pada lahan kecil dalam daerah penggembalaan yang sedangdigunakan sebagai jalan kereta. Saya membuka jalan alternatif untuk kereta disekitar kebun saya. Saya menggali sumur di tengah-tengah kebun itu, sehinggasaya memiliki sumber air yang dapat diandalkan sepanjang tahun. Pada saat ini(Juli 1998), sumur itu sekarang dalamnya 5 meter dan menghasilkan sekitar 400liter air setiap dua hari. Penduduk desa yang lain tidak bisa mengambil air darisumur saya. Saya ingin menggunakannya untuk menanam sayur yang saya jualkepada swalayan besar di Masvingo. Penduduk desa yang lain mengeluh, karenasaya memagari kawasan itu yang dulunya mereka gunakan dan mereka tidak bisamendapatkan air dari sumur saya. Kasus ini dilaporkan pada sabuku, tetapi diabilang bahwa penasehatlah yang akan menyelesaikan permasalahan seperti ini.Tidak ada sesuatu yang dilakukan dan saya tetap mengerjakan kebun saya.

4) Bukan nama sebenarnya untuk menjaga kerahasiaan

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 125

pada tahun 1994, untuk mengakui perlunya melibatkan pengurusadat dalam inisiatif-inisiatif pengelolaan sumberdaya alam dan untukmempelajari kelemahan mereka. Jika para penyuluh dan pejabatpemerintah tersebut telah mengembangkan sebuah sistem untukmembantu mereka belajar dan merefleksikan aksi-aksi mereka,mereka mungkin akan lebih mampu mengakui pengaruh pengurusadat lebih awal dan mungkin dapat menghindari konversi kawasanhutan yang tidak teratur yang berlangsung bertahun-tahun itu.

Pengelolaan yang berhasil: Menggunakan pendekatan kuturaya(percobaan)

Dalam konteks inilah pada tahun 1999, penduduk desa dariRomwe, bersama dengan pimpinan adat, VIDCO dan pekerjapenyuluh, mengadopsi pendekatan percobaan untuk penanamanpohon dan rumput dalam rangka merehabilitasi sebuah kawasanyang secara adat digunakan sebagai sumberdaya hutan. Pendekatanini diambil setelah sebuah kelompok melihat dan mempelajari dalamkunjungan ke desa tetangga, di mana pendekatan percobaan padakonservasi tanah dan air, yang dikenal sebagai kuturaya, telahdiadopsi.

Kuturaya merupakan istilah dalam bahasa Shona yang berarti‘menguji-coba’. Pendekatan ini merupakan penelitian partisipatif danpendekatan percobaan yang diperkenalkan di Kabupaten Chivi, Ward25 oleh pekerja penyuluhan setelah menyadari bahwa metodepenyuluh an biasa tidak efektif (Chuma et al. 1997; Chuma et al.1998). Istilah ini bekerja dengan falsafah bahwa para petani perlumemahami dan berbagi pandangan mereka mengenai dinamikalingkungan mereka dan proses-proses biofisika di tempat kerja, agarmereka memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk menghasilkansolusi-solusi budidaya lahan. Para petani harus memiliki akses padaberbagai ide-ide dan pilihan-pilihan teknis, sehingga mereka dapatmencoba-coba dan mengidentifikasi strategi yang paling sesuaiuntuk konteks mereka sendiri.

Unsur-unsur kunci dari pendekatan kuturaya meliputi: 1) Meningkatkan kreativitas dan kapasitas mereka untuk meng-gunakan prinsip-prinsip teknis, unsur-unsur dan ide-ide

Nontokozo Nemarundwe124

Kasus ini merupakan salah satu dari banyak kasus di managenerasi muda pencari lahan berinteraksi dengan salah satu darilembaga lokal untuk mendapatkan lahan meskipun tidak adakonsensus antar lembaga-lembaga tersebut. Meskipun terjadi prosesperambahan yang lambat pada lahan umum sejak kemerdekaan(1980), kejadian seperti ini meningkat secara dramatis pada tahun1993-1994. Peningkatan ini mungkin disebabkan oleh turunnyatenaga kerja perkotaan setelah banyak perusahaan bangkrut akibatkesulitan ekonomi, karena adanya penyesuaian struktur ekonomi.Konversi hutan tingkat tinggi terjadi sebagai hasil dari pengembang -an pemukiman pada kawasan penggembalaan dan kurangnyakontrol terhadap penggembalaan. Ketersediaan berbagai produkhutan menurun drastis. Adanya pengurus adat (ketua dan sabuku)dan lembaga menurut undang-undang (VIDCO dan WADCO) tanpamandat yang jelas dan proses-proses artikulasi, dan ketergantunganmereka pada sumber-sumber legitimasi yang bertentangan (adat vsnegara) telah menyebabkan konflik yang telah mengabaikan ruanglingkup untuk mengkoordinasikan keputusan tentang tata gunalahan. Konflik-konflik seperti ini selalu ada sepanjang waktu, yangmenunjukkan bahwa VIDCO dan WADCO tidak belajar secara efek-tif mengenai bagaimana bekerja dengan lembaga-lembaga lokal yanglain. Konflik lahan yang diidentifikasi oleh penduduk desa sebagaihasil dari kurangnya kolaborasi lembaga meliputi budidayakawasan-kawasan kritis seperti tepi sungai dan kurangnya rasahormat pada kawasan-kawasan keramat yang secara adat berfungsiuntuk melindungi berbagai spesies pohon.

Oleh karenanya proses desentralisasi kekurangan mekanismeuntuk mengijinkan lembaga pemerintah untuk mempelajari danberkoordinasi dengan lembaga-lembaga kunci yang ada sekarangpada tingkat lokal, yaitu sabuku. Meskipun mereka mengakuiadanya sabuku, lembaga pemerintah dan penyuluh tidak memilikimekanisme atau insentif pada saat melibatkan sabuku dalamperencana an, aksi, monitoring dan evaluasi yang diperlukan untukpembelajaran kelompok (Gilmour dan Fisher 1997). Para penyuluhdan pemerintah lokal perlu waktu lebih dari sepuluh tahun, dariawal kemerdekaan hingga penetapan Komisi Penguasaan Lahan

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 127

kolaborasi dengan lembaga-lembaga lain.Penggunaan metafora dan cerita rakyat. Satu ciri utama dari

budaya Shona dan Ndebele adalah penggunaan bahasa-bahasatokoh dan cerita rakyat. Khususnya pimpinan-pimpinan adat me -nemukan metafor-metafor dan cerita rakyat sangat bermanfaatdalam pertemuan-pertemuan analisis bersama untuk mengkomu-nikasikan konsep ‘belajar sambil bekerja’. Seorang sabuku men -cerita kan dongeng berikut ini: ‘Suatu hari, ada seorang ibu tua dariChivi. Selama satu tahun kelaparan, ibu tua itu mencari buah-buah -an, binatang buruan dan umbi-umbian, namun tidak menemukansatupun. Akhirnya dia memutuskan untuk memasak batu, yangmungkin bisa dimakan. Setelah memasaknya, jadilah sup yangnikmat bagi ibu tua itu’ (Chuma et al. 1998:31). Cerita ini digunakansebagai gambaran ide bahwa mencoba sesuatu yang kelihatannyatidak mungkin bukan merupakan konsep baru, namun sudah di -ketahui dan didorong dalam masyarakat adat mereka sejak jamandulu. Pelajaran ini telah memotivasi para penduduk desa Romweuntuk berpartisipasi dalam percobaan dengan penanaman pohondan rumput di bagian kawasan penggembalaan yang paling rusak.Metafora dan cerita-cerita lain juga digunakan untuk menciptakanpemahaman bersama di antara kelompok kepentingan yang berbedamengenai pentingnya akses untuk kayu bakar, buah-buahan,pakan, madu dan tanaman-tanaman obat yang ditemukan dikawasan hutan, dan bagaimana berbagai kegiatan pengelolaan itumempengaruhi kelompok kepentingan yang berbeda.

Kunjungan kelompok untuk melihat dan belajar. Woodhill danRöling (1998) berpendapat bahwa interaksi dari desa ke desa merupa -kan platform untuk belajar bagi penduduk desa yang me ningkatkanpeluang adanya kolaborasi tingkat lokal. Pembelajaran antarmasyarakat juga dapat memampukan lembaga-lembaga itu ber -adaptasi terhadap perubahan. Kunjungan kelompok di Romwe yangdigambarkan di bawah ini mendukung pendapat Woodlhill danRöling.

Kunjungan untuk melihat dan belajar ini merupakan kegiatanke satu lokasi oleh perwakilan dari berbagai lembaga lokal yanguntuk bertukar ide dengan lembaga lokal lain yang menghadapi

Nontokozo Nemarundwe126

untuk sampai pada solusi yang sesuai dengan situasitersebut.

2) Mengurangi ketergantungan petani pada pengetahuan parapenyuluh dan mempromosikan penyebaran informasi.

3) Mendorong petani untuk belajar sambil bekerja dengan caraterlibat dalam aksi dan debat. Masyarakat menjadi belajarlebih banyak dalam proses aksi, refleksi, evaluasi diri danaksi baru.

4) Mendorong berbagai kelompok kepentingan untuk meng -analisis situasi mereka bersama-sama.

5) Dengan memanfaatkan seorang fasilitator, khususnya se -lama tahap-tahap awal proyek.

Berbagai strategi telah digunakan untuk mendorong proses-proses pembelajaran sosial dalam kelompok tersebut. Strategi-strategi ini meliputi:

Percobaan pengelolaan sumberdaya. Pada kasus kuturaya, parapetani aktif dalam percobaan-percobaan mengenai konservasi tanahdan air. Satu contohnya adalah percobaan rancangan yang sederhanauntuk tujuan perbandingan (Chuma et al. 1998). Dalam hal ini,praktek konvensional dan ide-ide baru dibandingkan denganmelakukan kedua praktek tersebut di tempat yang bersebelahan.Kedua lokasi tersebut dimonitor dan para petani menganalisis apayang mereka lihat. Hal ini membuat mereka memahami proses-prosesdan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja teknologi dan dirujukoleh Chuma et al. (1998:33) sebagai belajar dengan melakukan per-cobaan.

Lokakarya masyarakat. Kesadaran konservasi diangkat melaluidebat dan analisis bersama dari perubahan-perubahan selamalokakarya. Proses pembelajaran sosial menciptakan visi bersamayang dirumuskan oleh kelompok tersebut dan membuat rencanauntuk bekerja menuju visi ini. Bentuk pembelajaran ini padadasarnya berfokus pada pengevaluasian dampat dari praktek pe -ngelolaan pada sumberdaya yang sedang dikelola. Lokakaryamasyarakat juga meningkatkan interaksi antara berbagai kelompokkepentingan, namun demikian, juga membantu lembaga untukmembangun kepercayaan dan untuk mempelajari bagaimana ber -

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 129

Selama kunjungan tersebut, diskusi diselenggarakan denganpara petani yang berpartisipasi dalam kuturaya yang berbagi peng -alaman mereka dengan proses-proses percobaan. Mereka meng -gambarkan keberhasilan dan permasalahan yang mereka alami selamaproses tersebut (lihat Kotak 5.2). Kunjungan lapangan memiliki

Nontokozo Nemarundwe128

masalah yang mirip dalam pengelolaan sumberdaya. Kunjungan-kunjungan ini dapat memberikan pengetahuan mengenai solusiteknis spesifik untuk permasalahan pengelolaan, namun mungkinsangat bermanfaat sebagai platform untuk pembelajaran ‘loop ganda’(Maarleveld dan Dangbégnon 1998). Pembelajaran loop ganda terjadi,ketika lembaga mengubah tidak saja aksi mereka, namun jugaasumsi mereka yang menjadi dasar praktek mereka, sebagai hasildari beberapa mekanisme umpan-balik (Maarleveld dan Dangbégnon1998:5; Datta, buku ini). Menciptakan platform seperti ini untukpembelajaran loop ganda dapat membantu lembaga lokal ber -adaptasi terhadap perubahan kondisi dengan cara menfasilitasievaluasi berkala yang sistematis terhadap prinsip-prinsip mendasardan kebiasaan bekerja. Kunjungan ini dapat berfungsi sebagai plat-form seperti ini dengan memperlihatkan lembaga kepada lembagalain yang bekerja dengan asumsi dan strategi yang berbeda.

Mencoba pendekatan kuturaya di Romwe: Penanaman pohondan rumput pada kawasan penggembalaan yang rusak

Sebagaimana yang digambarkan di atas, pemukiman yang acakpada kawasan penggembalaan dan penggembalaan yang tidak ter -koordinasi menyebabkan kerusakan kawasan tersebut yang secaralokal digunakan sebagai sumber produk-produk hutan, dan untukpenggembalaan terkendali. Upaya-upaya awal oleh penyuluh untukmencegah kerusakan tersebut tidak berhasil. Setelah melihat kasuskuturaya di desa tetangga, penyuluh dan beberapa peneliti me -nyelenggarakan kunjungan untuk melihat dan belajar ke proyektersebut bagi perwakilan Romwe pada awal 1999. Tujuannya adalahuntuk membantu mereka dalam memikirkan bagaimana me -nyelesaikan masalah lingkungan mereka sendiri, khususnya dalamkawasan penggembalaan. Kelompok yang mengunjungi proyektersebut meliputi pejabat adat (diwakili oleh para sabuku), ketuaVIDCO, penasihat dari pemerintah, pekerja Agritex, perwakilan NRBdan beberapa peneliti dari Universitas.

Kotak 5.2 Keberhasilan dan Tantangan pada proyek Kuturaya

Proyek kuturaya pada dasarnya dianggap berhasil. Namun pendekatan per-cobaan itu telah menciptakan tantangan baru bagi masyarakat yang terlibat,khususnya para penduduk desa, sehubungan dengan input waktu dan tenagakerja mereka untuk percobaan tersebut dan untuk mengelola informasi mengenaiproyek di dalam masyarakat. Berikut ini adalah kutipan pembicaraan dari BapakIsaac Siziba5. ‘Sebelum kemerdekaan, kita dipaksa membangun pegununganberkontur. Kita dibilang bahwa bangunan ini akan mencegah tanah longsor dilahan kami. Kita tidak begitu memahami mengapa kita harus menggali kontur danini makan banyak tenaga kerja juga. Saat kemerdekaan sebagian orang secarasengaja merusak bukit berkontur itu, karena kita melihat ini sebagai salah satubentuk penindasan. Pada pertengahan 1980-an, kita diajar oleh penyuluh pertan-ian tentang metode penanaman, seperti penanaman dalam bentuk garis yangmereka jamin akan memberikan hasil yang baik. Kita tidak memahami ini dan kitajuga ragu untuk menerapkan metode itu. Sekarang, setelah aktif dalam prosespercobaan, bersama dengan petugas penyuluhan, kita menemukan cara untukmelestarikan tanah kita, kita mendapatkan hasil yang lebih tinggi daripadasebelumnya dan kita memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai lingkunganhidup kita. Kita menemukan bahwa membangun waduk pada jalur denganmeninggalkan rumput akan menciptakan tanggul kecil untuk mencegah aliran daribukit itu lebih efektif dibandingkan dengan rancangan mekanis standar sepertibukit berkontur itu. Kita sekarang memahami dengan lebih baik sebab dan akibatdari erosi tanah dan kita mampu memonitor sendiri percobaan itu. Hal ini jugamemberikan kesempatan bagi kita untuk berinteraksi dengan masyarakat dariseluruh dunia ketika mereka mengunjungi proyek kita.

Meskipun demikian kita juga menghadapi tantangan di sana-sini. Sayaingat pertama kali kita membuat tanggul kecil untuk mencegah aliran dari bukit,tanggul itu terlalu kecil dan mudah tersapu oleh hujan deras. Kita harus memban-gunnya kembali dan makan waktu banyak, tenaga kerja yang besar dankesabaran yang tinggi. Meskipun kunjungan orang yang datang ke proyek kitamerupakan hal yang baik, namun juga makan banyak waktu karena kita harusbersama mereka. Kecemburuan juga akan muncul, misalnya ketika beberapaorang merasa bahwa petugas eksternal berinteraksi lebih banyak dengan perwak-ilan masyarakat. Kita mencoba menjaga hal ini dengan menjadi terbuka dan ser-ing mengadakan pertemuan sehingga masyarakat selalu mendapatkan informasi.

5) Bukan nama sebenarnya untuk menjaga kerahasiaan

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 131

Kunjungan untuk melihat dan belajar yang dilaksanakan keproyek kuturaya membantu masyarakat dan lembaga-lembaga yangbekerja dalam kawasan tersebut untuk berkolaborasi dapat pe -ngelola an sumberdaya berdasar pengalaman dan proses percobaantersebut. Partisipasi bersama dalam lokakarya masyarakat, kunjun-gan lapangan serta kunjungan untuk melihat dan belajar membantumembangun kepercayaan di antara lembaga tersebut dan untukmembangun pemahaman bersama mengenai masalah-masalah yang

dihadapi oleh kelompok kepentin-gan yang berbeda itu. Pendekatanpercobaan tersebut juga membantumembentuk dasar untuk monitoringdan evaluasi bersama dari jenis-jenis pengelolaan yang berbeda, dandapat membawa pada pengambilankeputusan yang lebih kolaboratif.Meskipun pendekatan itu masihbaru, dampak pada membaiknyakolaborasi sudah dapat dirasakan.

Adopsi kuturaya menggam-barkan pentingnya interaksi yangterorganisir untuk pembelajaran

kelompok. Proses kuturaya telah berlangsung selama lebih dari limatahun sekarang di desa dekat kawasan Romwe. Para individu dariRomwe sebelumnya telah memiliki interaksi dengan para petani yangterlibat dalam kuturaya tanpa mengadopsi pendekatan tersebut. Barudari kunjungan untuk melihatdan belajarlah lembaga-lemgaRomwe benar-benar belajar darikuturaya itu. Seandainya pen-dekatan pembelajaran kolaboratifitu diadopsi lebih awal, mungkinbanyak kerusakan hutan Romwedapat dihindari.

Nontokozo Nemarundwe130

dampak visual pada para pengunjung. Kelompok Romwe meng -ungkapkan keterkejutannya pada kemajuan yang telah dibuat olehpetani kuturaya. Mereka termotivasi dan berkeinginan kuat untukmemiliki proses percobaan yang mirip dalam konteks pengelolaanhutan dan penggembalaan.

Setelah kembali ke desa itu, mereka menyelenggarakan sebuahpertemuan dan perwakilan yang mengunjungi kuturaya membagipengalamannya. Setelah diskusi panjang, masyarakat memutuskanbahwa anggotanya harus mulai mencoba dengan menanam pohondan rumput vetiver pada satu kawasan yang rusak dalam desa itu(Gambar 5.3, 5.4, 5.5). Beberapa masyarakat telah memilih me -monitoring untuk menjamin bahwa ternak mereka tidak akanmerusak bibit. Sejak proyek tersebut dalam tahap-tahap awal, tidakada rencana monitoring dan evaluasi yang diformalkan yang sudahdijalankan. Oleh karena itu, ada kebutuhan akan adanya pihakinternal dan eksternal untuk mengembangkan alat-alat dan teknikmonitoring dan untuk perwakilan masyarakat melakukannya. Saatini proses tersebut difasilitasi oleh para penyuluh dan peneliti dariUniversitas Zimbabwe. Lembaga-lembaga lain yang terlibat meliputipengurus adat, VIDCO dan WADCO, anggota masyarakat dan CAREinternasional. Beberapa alat dan teknik yang digunakan dalamproyek kuturaya tersebut, seperti lokakarya masyarakat, pengguna -an metafora, cerita rakyat dan sandiwara, hari-hari lapangan, kun-jungan untuk melihat dan belajar dan alat-alat pengelolaan sumber-daya partisipatif lainnya akan diadopsi sebagaimana baiknya.

Gambar 5.3 Gully yang rusak yang akan diambil-alih kembaliGambar 5.5 Upaya-upaya untuk meng -ambil-alih gully dengan rumput vetiver

Gambar 5.4 Rumput yang disumbangkan setelah kunjungan ke proyek kuturaya

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 133

lembaga-lembaga ini memang tidak pernah netral dan tidak selalumencerminkan prioritas desa lokal. Menurut waktu lembaga-lembaga lokal mungkin ingin mengembangkan kapasitas untukmemfasilitasi proses itu sendiri melalui penyediaan pelatihan. Olehkarena itu, fasilitator eksternal yang ada sekarang perlu menularkankeahlian fasilitasi dan koordinasi kepada lembaga-lembaga lokal.

Proses fasilitasi itu juga harus bertujuan untuk mengumpulkanberbagai lembaga pengelolaan sumberdaya yang terlibat karenayurisdiksi mereka tidak bersesuaian dengan batas-batas pemanfaat -an sumberdaya, yang menimbulkan tantangan besar terhadap ter-jadinya kolaborasi kelembagaan itu. Sangat penting dicatat bahwamodel pengelolaan sumberdaya oleh rakyat saat ini di Zimbabwecenderung fokus pada titik-temu antara pusat dan lokal.Tantangannya sekarang adalah bagaimana mengembangkan danmempromosikan inisiatif yang mirip dalam konteks lahan komunal,yang perlu perhatian dari berbagai kelompok kepentingan.

Karena pembelajaran sosial merupakan proses multi-tahap(Korten 1984; Kemmis dan McTaggart 1998) dan melibatkaninvestasi tenaga dan waktu sepanjang periode yang lama, makaproses itu bisa menjadi mahal. Proses percobaan kuturaya meng -gambarkan proses multi-tahap yang digunakan. Para petani,bersama dengan pihak-pihak eksternal, menyepakati permasalahanpengelolaan yang dihadapi, membahas dan menyetujui beberapapendekatan pengelolaan untuk diuji, membuat rencana aksi,melaksana kan rencana tersebut, meninjaunya kembali danmerefleksi kan dengan hasil yang dicapai dan menggunakan hasilyang dicapai ini sebagai dasar untuk perencanaan dan aksi berikut-nya. Kebutuhan akan kesepakatan pada tiap tahap membutuhkankonsultasi yang sering di antara kelompok kepentingan dan inputyang signifikan dan pengelolaan informasi, yang kesemuanya sangatmahal. Juga, dalam pendekatan percobaan kolaboratif, kesalahanmenjadi wajar, seperti yang dapat dilihat dalam tantangan yangdihadapi oleh proyek kuturaya yang digambarkan dalam Kotak 5.2,yang input sumberdaya uang dan manusianya sangat tinggi.

Pada awal proses, sebagaimana yang diketahui dari tahap-tahap awal dari studi kasus Romwe di atas, penting untuk meng -

Nontokozo Nemarundwe132

KESIMPULANBab ini berpendapat bahwa dalam konteks penggunaan

sumber daya hutan yang terus berubah, mungkin akan lebih meng -untungkan bagi program-program pengelolaan sumberdaya berbasisrakyat untuk menggunakan lembaga-lembaga pengelolaan sumber-daya yang adaptif daripada sekedar lembaga-lembaga yang mampu‘bertahan’. Konsep ‘bertahan’ menunjukkan konotasi akan situasiyang statis, namun tidak ada lembaga yang permanen (Berry 1993).Bab ini juga menyoroti kebutuhan untuk mengembangkanpembelajar an kelompok dan proses-proses percobaan dan untukmeningkatkan kolaborasi lembaga pada tingkat lokal, supaya pe -ngelolaan sumberdaya alam secara partisipatif itu dapat berhasil.

Sejumlah permasalahan kunci muncul dari kasus Romwe.Beberapa isu ini berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaantentang bagaimana menghasilkan suatu pembelajaran sosial yangefektif. Saya fokus pada tiga aspek kolaborasi dan pembelajarankelompok: pentingnya fasilitasi yang baik, kekuasaan yang setaradalam proses pembelajaran tersebut dan kenyataan bahwapembelajar an sosial merupakan proses multi tahap yang mungkinbisa jadi mahal, suatu kenyataan yang perlu dipertimbangkan dalamtahap-tahap perencanaan.

Telah dinyatakan bahwa pembelajaran sosial kolaboratifmungkin terasa sulit dilaksanakan, karena pendekatan ini mem -butuh kan dukungan teknis (khususnya untuk fasilitasi) dan keuan-gan (Chuma et al. 1998; Röling dan Jiggins 1998). Fasilitasipembelajar an yang efektif akan perlu membuat sesuatu menjadi ter-lihat dan membantu masyarakat merekonstruksi kenyataan merekamelalui percobaan, pengamatan dan pengalaman yang berarti(Woodhill dan Röling 1998:68). Berdasar pendekatan kuturaya, sayaberpendapat bahwa kunci menuju sukses dari pendekatan belajarsambil bekerja merupakan fasilitasi yang baik, khususnya selamatahap-tahap awal dari proses percobaan itu. Dalam kasus ini,fasilitasi dilakukan secara bersama-sama oleh penyuluh dan penelitidari Universitas Zimbabwe.

Meskipun peran fasilitasi diambil oleh pihak-pihak eksternalseperti penyuluh atau personil dari organisasi ORNOP, awalnya

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 135

BAHAN RUJUKANBerry, S. 1989. “Social institutions and access to resources.” Africa 59(1): 41-55. Berry, S. 1993. No condition is permanent: The social dynamics of agrarian change

in Sub-Saharan Africa. University of Wisconsin Press, Madison.Chuma, E., Chiduza, C. and Utete D. 1997. “Training Manual: Soil Fertility manage-

ment for smallholder farmers in Zimbabwe.” IES Report Series, Paper number 4.Harare.

Chuma, E., Hagmann, J. and Gundani, O. 1998. “Supporting farmers’ land literacy:tools for learning about soil and water conservation.” The Zimbabwe Science News.32(2/3, April/September: 30-34.

Cleaver, F. 1999. “Moral ecological rationality, institutions an the management ofcommon property resources.” Paper presented at the African environments conference,5-7 July 1999, St Anthony’s College, Oxford, UK. (forthcoming in Development andChange)

Datta, R. This volume, 2001. “Seva Mandir: A learning organisation.” In:Wollenberg,E., Edmunds, D., Buck, L., Fox, J. and Brodt, S. (eds.) Social Learning in CommunityForests, pp.65-84. CIFOR and East West Center, Indonesia.

Dzingirayi, V. 1997. “Take back your CAMPFIRE: A case study of the communal areasmanagement programme for indigeneous resources in Binga District, Zimbabwe –CASS, Harare.”

Fisher, R.J. and Jackson, W.J. 1998. “Action research for collaborative managementof rotected areas.” Paper presented at the workshop on Collaborative Management ofProtected Areas in the Asian region. Sauhara, Nepal, 25-28 May 1998.

Gilmour, D and Fisher, B. 1997. “A project or a process?” In: Borrini-Feyerabend, G.(ed.) Beyond social fences: seeking social sustainability in conservation, 103—106.Volume 2: A resource book. IUCN, Gland, Switzerland.

Government of Zimbabwe. 1994. Report of the commission of inquiry into appropri-ate agricultural land tenure systems. Government Printers, Harare.

Grimble, R., Chan, M.K. Aglionby, J, and Quan, J. 1995. Trees and trade-offs: astakeholder approach to natural resource management. Gatekeeper Series No. 52.International Institute for Environment and Development, London.

Hardin, G. 1968. “The tragedy of the Commons.” Science 162: 1243-1248.Hudson, N.W. 1981. “Social, Political and Economic aspects of soil conservation,” In:

Morgan, R.P.C. (ed.) Soil Conservation: Problems and Prospects, 45-54. Wiley,Chichester.

Kemmis, S. and McTaggart, R. 1998. “Introduction: The nature of action research.”In Kemmis, S. and McTaggart, R. (eds.) The action research planner, 1-13. DeakinUniversity, Victoria, Australia.

Korten, D.C. 1984. “Rural development programming: the learning processapproach.” In: Korten, D.C. and Klauss, R. (eds.) People-centered development: con-tributions toward theory and planning frameworks, 176-188. Kumarian Press, WestHartford, Connecticut.

Lawry, S. 1989. Tenure, policy and natural resource management in Sahelian WestAfrica. Land Tenure Centre, University of Wisconsin, Madison, Wisconsin.

Maarleveld, M. and Dangbégnon, C. 1998. “Managing natural resources in face ofevolving conditions: A social learning perspective.” Paper presented at the seventhconference of the International Association for the Study of Common Property.Vancouver, Canada, 10-14 June, 1998.

Mandondo, A. 1997. “Trees and spaces as emotion- and norm-laden components oflocal ecosystems in Nyamaropa communal land, Nyanga District, Zimbabwe.”Agriculture and Human Values 14: 353-372.

Mandondo, A. 1998. The concept of territoriality in local natural resource manage-

Nontokozo Nemarundwe134

identifikasi semua lembaga-lembaga kunci yang perlu dilibatkan.Grimble et al. (1995) mencatat bahwa setelah mengidentifikasi ber -bagai kelompok kepentingan, proses verifikasi diperlukan untukmenegaskan bahwa semua kelompok itu terwakili. Setelah lembaga-lembaga itu diidentifikasi, mereka semua harus dilibatkansedemikian sehingga mereka merasakan kepemilikan dan kekuasaanyang setara dalam proses pembelajaran tersebut. Dalam kasusRomwe, sebagai contoh, lembaga-lembaga kunci seperti pengurusadat, struktur pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah,peneliti dan penyuluh perlu dilibatkan secara adil dalam proses pem-belajaran tersebut. Jika beberapa lembaga tidak merasa bahwa merekaterwakili secara adil, maka masalah-masalah yang mirip dengan per-masalahan yang digambarkan dalam Kotak 5.1 bisa muncul.

Pendekatan pembelajaran sosial membantu kita mengatasi duakendala prinsip dari teori-teori yang ada sekarang mengenai lembagalokal. Pertama, pendekatan tersebut semakin menekankan padapentingnya kolaborasi di antara lembaga-lembaga lokal yang ber -beda. Kedua, pendekatan tersebut memberikan pengetahuanmengenai bagaimana lembaga lokal dapat beradaptasi denganberubahnya lingkungan dan sosial. Dengan demikian, jika sebagianbesar tantangan di atas dapat diatasi, maka pendekatan pembelajar -an sosial memiliki potensi untuk mempromosikan kolaborasi yangefektif di antara lembaga-lembaga lokal, dan akhirnya, juga mem -promosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

UCAPAN TERIMA KASIHDana untuk penelitian ini disediakan oleh CIFOR dan Proyek

Pengelolaan Daerah aliran sungai Mikro yang didanai oleh DfID.Petunjuk selama kerja di lapangan diberikan oleh Bruce Campbelldari Lembaga Studi Lingkungan, Universitas Zimbabwe dan Will deJong dari CIFOR. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih ataskomentar yang sangat membangun dari David Edmunds dari CIFOR.East-West Center memberikan suasana yang luar biasa untukmenulis. Akhir tetapi bukan yang paling akhir, kepada WitnessKozanayi untuk bantuan penelitian profesionalnya.

Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe 137Nontokozo Nemarundwe136

ment, and its implications on livelihood in Nyamaropa communal land. WWFProgramme Office, Harare.

Matose, F. 1994. “Local people’s uses and perceptions of forest resources: an analy-sis of a state property regime in Zimbabwe.” Unpublished MSc thesis. Department ofRural Economy, University of Alberta, Edmonton, Alberta.

Matzke, G. 1993. “Resource Sharing Schemes for stated owned land in Zimbabwe:A discussion of conceptual issues needing consideration in the development and plan-ning of co-management regimes.” CASS, University of Zimbabwe. Occasional PaperSeries number 54/93. Harare

McCay, B. J. and Acheson, J. M. 1987. “Human ecology of the commons.” In: McCay,B. J. and Acheson, J. M. (eds.) The question of the commons: the culture and ecologyof communal resources, 1-34. University of Arizona Press, Tucson.

Moore, D. 1993. “Contesting the terrain in Zimbabwe’s Eastern Highlands: politicalecology, ethnography and peasant ersource struggles.” Economic Geography 69(4):380-401.

Murphree, M. W. 1991. Communities as institutions for resource management.Centre for Applied Social Sciences, University of Zimbabwe, Harare.

North, D.C. 1990. Institutions, institutional change and economic performance.Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: the evolution of institutions for collec-tive action. Cambridge University Press. New York.

Ostrom, E. 1998. “The institutional analysis and development approach.” In:Loehman, E. T. amd Kilgour, D. M. (eds.) Designing institutions for environmental andresource management, 68-90. Edward Elgar, Cheltenham.

Ostrom, E. 1999. “Self-governance and forest resources.” Occasional Paper no. 20.Centre for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.

Röling, N.G. and Wagemakers, M.A.E. (eds.) 1998. Facilitating sustainable agricul-ture: participatory learning and adaptive management in times of environmentaluncertainty. Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Röling, N. G. and Jiggins, J. 1998. “The ecological knowledge system.” In: Röling, N.G. and Wagemakers, M. A. E. (eds.) Facilitating Sustainable Agriculture: participatorylearning and adaptive management in times of environmental uncertainty. CambridgeUniversity Press, Cambridge, UK.

Sithole, B. 1997. The institutional frameworks for the management and use of nat-ural resources in communal areas of Zimbabwe: village cases of access to and use ofdambos from Mutoko and Chiduku. CASS, University of Zimbabwe, Harare.

Woodhill, J. and Röling, N. G. 1998. “The second wing of the eagle: the humandimension in learning our way to more sustainable futures.” In: Röling, N. G. andWagemakers, M. A. E. (eds.) Facilitating Sustainable Agriculture: participatory learn-ing and adaptive management in times of environmental uncertainty, 46-71.Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Nontokozo Nemarundwe138