Upload
others
View
41
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMETAAN KAWASAN EKOWISATA BAHARI
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (STUDI KASUS DI PULAU TEGAL, KABUPATEN PESAWARAN)
(Skripsi)
Oleh
SANDY KUSUMA DEWA
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
ABSTRAK
PEMETAAN KAWASAN EKOWISATA BAHARI
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
(STUDI KASUS DI PULAU TEGAL, KABUPATEN PESAWARAN)
Oleh
SANDY KUSUMA DEWA
Pulau Tegal memiliki potensi dan keanekaragaman wisata bahari yang menjadi
daya tarik bagi wisatawan. Namun, belum tersedia informasi yang dapat membantu
wisatawan dalam mengetahui objek dan kawasan wisata yang terdapat di Pulau
Tegal. Penelitian ini menyajikan informasi wisata yang ada di Pulau Tegal ke
dalam bentuk peta Sistem Informasi Geografis (SIG). Metode pemetaan yang
dilakukan menggunakan perangkat lunak Quantum GIS dengan bantuan plugin
QuickMapServices (QMS) untuk menampilkan citra Google Earth dan plugin
qgis2web untuk mengkonversi file QGIS (.qgz) menjadi peta web (WebGIS) serta
adanya input indeks wisata. Hasil pemetaan didapatkan digitasi dari setiap objek
dan fasilitas wisata di Pulau Tegal ke dalam bentuk shapefile (.shp) serta informasi
ditampilkan pada attribute table layer. WebGIS digunakan sebagai media penyaji
peta SIG yang mudah diakses dan disesuaikan tampilannya dengan library
JavaScript Leaflet (open source). Peta SIG memberikan kemudahan bagi
masyarakat dalam menyampaikan dan mencari informasi wisata di Pulau Tegal.
Kata Kunci: Ekowisata, Indeks Kesesuaian Wisata, Daya Dukung Kawasan, Sistem
Informasi Geografis, Pulau Tegal
ABSTRACT
MAPPING OF MARINE ECOTOURISM AREA
USING GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS)
(CASE STUDY IN TEGAL ISLAND, PESAWARAN DISTRICT)
By
SANDY KUSUMA DEWA
Tegal Island has the potential and diversity of marine tourism which became
attraction for tourists. However, the information that could help tourists knowing
the objects and tourist areas contained in Tegal Island is not yet available. This
research presents tourism information in Tegal Island in the form of a Geographic
Information System map. The mapping method was done using Quantum GIS
software with QuickMapServices (QMS) plugin to display Google Earth imagery
and the qgis2web plugin to convert QGIS files (.qgz) into web maps (WebGIS) and
the presence of tourist index input. Each mapping results obtained digitization for
each tourist objects and facilities on Tegal Island in the form of shapefiles (.shp) as
well as information displayed on the attribute table layer. WebGIS is used as a
media for GIS map renderers which is easily accessed and adjusted according to the
JavaScript Leaflet library (open source). Map of Geographic Information System
made it easier for people to convey and search for tourist information on Tegal
Island.
Keywords: Ecotourism, Tourism Suitability Index, Regional Carrying Capacity,
Geographic Information System, Tegal Island
PEMETAAN KAWASAN EKOWISATA BAHARI
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (STUDI KASUS DI PULAU TEGAL, KABUPATEN PESAWARAN)
Oleh
SANDY KUSUMA DEWA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA TEKNIK
Pada
Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Lampung
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 12 Juli 1997.
Merupakan anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan
Bapak Irwan dan Ibu Hartini. Penulis memiliki kakak
bernama Anggi Kusuma Dewi dan tiga orang adik bernama
Gandhi Kusuma Dewa, Nila Kurmila Dewa dan Novia
Kusuma Anggraini.
Penulis memulai jenjang pendidikan dari Taman Kanak-kanak Xaverius I Bandar
Lampung pada tahun 2002, pada tahun 2003 memasuki Sekolah Dasar Xaverius I
Bandar Lampung, kemudian pada tahun 2009 melanjutkan jenjang pendidikan di
SMP Xaverius I Bandar Lampung dan SMA Fransiskus Bandar Lampung pada
tahun 2012 dan lulus pada tahun 2015.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil,
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN) pada tahun 2015. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di
organisasi Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil FT UNILA. Pada tahun 2018
penulis melakukan Kerja Praktik pada proyek Gedung Rumah Sakit PTN UNILA
selama 3 bulan. Penulis juga telah melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa
Terang Makmur, Kec. Gubung Terang, Kab. Tulang Bawang Barat selama 32 hari
pada periode Juli-Agustus 2018.
LEMBAR PERSEMBAHAN
Rasa syukur yang tiada henti kuucapkan pada Allah SWT,
atas segala nikmat dan karunia yang telah Engkau berikan.
Dengan penuh rasa cinta, kupersembahkan karya ini
kepada
Ibunda, Ayahanda dan Kakak-Adik tersayang
yang senantiasa mencurahkan kasih dan sayang di setiap langkah, melantunkan
harapan dalam setiap doa,
mendukung sepenuhnya baik moril maupun materil demi sebuah cita-cita di masa
depan.
Juga untuk saudara, keluarga, serta teman-temanku
yang senantiasa mendukung keberhasilanku
dan
Almamater Tercinta.
MOTTO
Dan barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu
untuk dirinya sendiri.
(QS Al Ankabut ayat 6)
Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran
kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(QS Al Baqarah ayat 282)
SANWACANA
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
nikmat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Pemetaan Kawasan Ekowisata Bahari Menggunakan Sistem
Informasi Geografis (SIG) (Studi Kasus di Pulau Tegal, Kabupaten
Pesawaran)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik pada Fakultas Teknik, Universitas Lampung.
Dalam penulisan skripsi ini Penulis banyak mendapatkan ilmu, pengetahuan,
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Ahmad Herison, S.T., M.T., selaku Dosen Pembimbing I, atas
bantuan, bimbingan, motivasi dan kesediaannya dalam meluangkan waktu
selama membimbing Penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.
2. Ibu Hj. Yuda Romdania, S.T., M.T., selaku Dosen Pembimbing II, atas
bantuan, bimbingan, motivasi dan kesediaannya dalam meluangkan waktu
selama membimbing Penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.
3. Bapak Ir. Ahmad Zakaria, M.T., Ph.D., selaku Dosen Penguji, atas bantuan,
bimbingan, motivasi dan kesediaannya dalam meluangkan waktu selama
Penulis menyelesaikan tugas akhir.
4. Bapak Dr. Endro Prasetyo Wahono, S.T., M.Sc., selaku Pembimbing
Akademik, atas arahan, bimbingan dan dukungan yang diberikan kepada
Penulis selama masa perkuliahan.
5. Bapak Gatot Eko Susilo, S.T., M.Sc., Ph.D., selaku Ketua Jurusan Teknik
Sipil, Universitas Lampung, beserta seluruh dosen Teknik Sipil, Fakultas
Teknik, Universitas Lampung.
6. Bapak Prof. Dr. Suharno, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Teknik, Universitas
Lampung.
7. Kedua orang tuaku, Bapak Irwan dan Ibu Hartini yang senantiasa
memberikan curahan kasih dan saying, doa yang tiada henti serta dukungan
moril maupun materil dalam mencapai cita-cita di masa depan.
8. Kakak Anggi Kusuma Dewi dan adik-adikku tersayang Gandhi Kusuma
Dewa, Nila Kurmila Dewa, Novia Kusuma Anggraini yang senantiasa
menjadi semangat, memotivasi dan mendoakan Penulis.
9. Teman-teman seperjuangan skripsi ekowisata di Pulau Tegal, Wica
Ramadhanti Lestari, Andi Marcelino yang telah bersama meluangkan waktu,
tenaga, dukungan dan berjuang selama masa-masa penelitian.
10. Teman-teman Volunteer, Eria Zundi Rahmadani, Fitri Indah Sari, Revi
Melianita dan teman-teman lain yang senantiasa membantu Penulis dalam
mempersiapkan seminar.
11. Teman-teman pendukung, Ella Gita Silviana, S.Si., Adji Pangestu, S. Kom
yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan tugas akhir ini.
12. Teman-teman Jurusan Teknik Sipil Unila Angkatan 2015 dan teman-teman
mahasiswa lain yang tidak mungkin Penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberi dukungan dalam pengerjaan laporan.
Penulis mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan balasan
kebaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu, semoga skripsi ini
dapat bermanfaat dalam menambah ilmu dan pengetahuan bagi siapa saja yang
menggunakannya. Aamiin.
Bandar Lampung, 26 Agustus 2019
Penulis,
Sandy Kusuma Dewa
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
DAFTAR GRAFIK ...................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 6
C. Batasan Masalah .............................................................................. 6
D. Tujuan Penelitian ............................................................................. 6
E. Kerangka Pikir Penelitian ................................................................ 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 8
A. Penelitian Terdahulu (State of The Art) ........................................... 8
B. Ekowisata Bahari ............................................................................. 11
1. Mangrove ................................................................................... 13
2. Lamun ........................................................................................ 24
3. Terumbu Karang ......................................................................... 29
C. Sistem Informasi Geografis ............................................................. 34
D. Peta SHP .......................................................................................... 40
E. Indeks Kesesuaian Wisata ................................................................ 41
F. Daya Dukung Kawasan .................................................................... 48
III. METODE PENELITIAN ..................................................................... 50
A. Lokasi Penelitian .............................................................................. 50
B. Data .................................................................................................. 51
1. Data primer ................................................................................ 51
2. Data sekunder ............................................................................ 52
C. Alat dan Bahan ................................................................................. 52
D. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 54
E. Analisis Data .................................................................................... 56
1. Analisis Potensi Objek Wisata .................................................... 57
2. Analisis Indeks Kesesuian Wisata ............................................. 58
3. Analisis Kawasan Ekowisata Bahari Menggunakan SIG ........... 69
F. Metode Penyajian Data .................................................................... 70
G. Diagram Alir Penelitian ................................................................... 71
ii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 72
A. Potensi Daya Tarik Ekowisata ......................................................... 73
B. Perhitungan Potensi Objek Wisata ................................................... 79
C. Perhitungan IKW Kategori Rekreasi Pantai .................................... 82
D. Perhitungan IKW Kategori Wisata Mangrove ................................. 84
E. Perhitungan IKW Kategori Wisata Lamun ...................................... 86
F. Perhitungan IKW Kategori Wisata Selam ....................................... 88
G. Perhitungan IKW Kategori Wisata Snorkeling ................................ 90
H. Perhitungan Daya Dukung Kawasan ............................................... 92
I. Pemetaan dengan Sistem Informasi Geografis ................................ 94
J. Visualisasi dengan Pesawat Drone .................................................. 108
K. Analisis Hasil Penelitian .................................................................. 112
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 127
A. Simpulan .......................................................................................... 127
B. Saran ................................................................................................ 128
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 129
LAMPIRAN .................................................................................................. 136
Lampiran A (Peta Web SIG Pulau Tegal Kabupaten Pesawaran) .................. 136
Lampiran B (Lembar Asistensi) ..................................................................... 147
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Penelitian terdahulu (State of The Art) .................................................. 9
2. Penilaian penutupan lamun dalam kotak kecil penyusun kuadrat ......... 28
3. Faktor penilai potensi objek wisata ....................................................... 42
4. Matriks IKW kategori rekreasi pantai ................................................... 45
5. Matriks IKW kategori wisata mangrove ................................................ 46
6. Matriks IKW kategori wisata lamun ...................................................... 46
7. Matriks IKW kategori wisata selam ...................................................... 47
8. Matriks IKW kategori wisata snorkeling ............................................... 47
9. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) ............... 48
10. Prediksi waktu yang diperlukan pada setiap kegiatan wisata ................ 49
11. Data-data primer .................................................................................... 52
12. Data-data sekunder ................................................................................ 53
13. Peralatan penelitian ................................................................................ 53
14. Analisis data penelitian .......................................................................... 56
15. Kategori kelas potensi objek wisata ...................................................... 58
16. Metode penyajian data ........................................................................... 70
17. Karakteristik wilayah di Pulau Tegal .................................................... 73
18. Informasi Pulau Tegal ............................................................................ 78
19. Pengelolaan pariwisata .......................................................................... 79
iv
20. Potensi objek wisata Pulau Tegal .......................................................... 80
21. Indeks kesesuaian wisata kategori rekreasi pantai ................................. 83
22. Indeks kesesuaian wisata kategori wisata mangrove ............................. 85
23. Indeks kesesuaian wisata kategori wisata lamun ................................... 87
24. Indeks kesesuaian wisata kategori wisata selam ................................... 89
25. Indeks kesesuaian wisata kategori wisata snorkeling ............................ 91
26. Perhitungan daya dukung kawasan objek wisata ................................... 93
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Jenis-Jenis Ekowisata ............................................................................ 2
2. Kerangka Pikir Penelitian ...................................................................... 7
3. Mangrove ............................................................................................... 13
4. Mangrove Avicennia .............................................................................. 16
5. Mangrove Bruguiera ............................................................................. 16
6. Mangrove Ceriops ................................................................................. 17
7. Mangrove Rhizopora ............................................................................. 18
8. Mangrove Sonneratia ............................................................................ 18
9. Zonasi Pohon Mangrove ........................................................................ 19
10. Posisi Pengukuran Lingkar Batang Pohon Mangrove ........................... 20
11. Ilustrasi Metode Hemisperichal Photography ....................................... 21
12. Titik Pengambilan Foto Mangrove ........................................................ 22
13. Lamun .................................................................................................... 24
14. Skema Transek Kuadrat Lamun ............................................................ 26
15. Nomor Kotak Kuadrat ........................................................................... 28
16. Terumbu Karang .................................................................................... 29
17. Arah Penarikan Garis Transek ............................................................... 32
18. Ilustrasi Metode LIT .............................................................................. 33
19. Pemetaan dengan SIG ............................................................................ 34
vi
20. Tabel Quarry Data ................................................................................. 36
21. Proses Interaksi SIG Berbasis Website .................................................. 37
22. Tampilan Antarmuka OpenStreetMap ................................................... 38
23. Peta SHP Provinsi Lampung ................................................................. 40
24. Peta Foto Udara Pulau Tegal ................................................................. 51
25. Flowchart Proses Pengumpulan Data .................................................... 55
26. Ilustrasi Pengukuran Kemiringan Pantai ............................................... 60
27. Ilustrasi Pengukuran Kecerahan Perairan .............................................. 61
28. Ilustrasi Pengukuran Ketebalan Mangrove ............................................ 63
29. Ilustrasi Kerapatan Mangrove ................................................................ 64
30. Diagram Alir Penelitian ......................................................................... 71
31. Gapura Pantai Sari Ringgung ................................................................ 74
32. Kondisi Akses Jalan Masuk ................................................................... 74
33. Dermaga Tegal Mas ............................................................................... 75
34. Pintu Masuk Pulau Tegal ....................................................................... 75
35. Loket Tiket Masuk ................................................................................. 76
36. Toilet ...................................................................................................... 77
37. Gazebo ................................................................................................... 77
38. Cottage ................................................................................................... 77
39. Lombok Apung ...................................................................................... 77
40. Villa Mas ................................................................................................ 77
41. Restoran ................................................................................................. 77
42. Masjid Apung ........................................................................................ 78
43. Citra Google Earth QMS ....................................................................... 95
vii
44. Menyesuaikan Kebutuhan Layer Baru .................................................. 96
45. Membuat Layer Baru ............................................................................. 97
46. Membuat Atribut Informasi Layer ......................................................... 98
47. Hasil Digitasi Fasilitas Wisata ............................................................... 99
48. Tampilan Informasi Objek Wisata ......................................................... 100
49. Menyesuaikan Tampilan Objek Peta ..................................................... 100
50. Menginstall Plugin qgis2web ................................................................ 101
51. Mengatur Layer Map Website ............................................................... 102
52. Membuat Domain Name Website .......................................................... 103
53. Tampilan Peta Digital Website .............................................................. 104
54. Melakukan Pengaturan Website ............................................................. 105
55. Meng-upload Data Website ................................................................... 106
56. Mengekstrak File Website ..................................................................... 106
57. Tampilan Akhir Website Peta Digital SIG ............................................. 107
58. Tampak Utara Pulau Tegal 1 ................................................................. 108
59. Tampak Utara Pulau Tegal 2 ................................................................. 109
60. Tampak Udara Lombok Mas ................................................................. 109
61. Tampak Udara Lombok Apung ............................................................. 109
62. Tampak Udara Masjid ........................................................................... 110
63. Tampak Udara Dermaga ........................................................................ 110
64. Tampak Timur Pulau Tegal ................................................................... 110
65. Tampak Udara Mangrove Timur ........................................................... 111
66. Tampak Udara Mangrove Barat ............................................................ 111
67. Tampak Selatan Pulau Tegal ................................................................. 111
viii
68. Hubungan antara Objek Wisata dan Indikator Analisa ......................... 112
69. Potensi Objek Wisata Kelas S1 ............................................................. 115
70. Tampak Atas Kawasan Objek Wisata ................................................... 116
71. Tampilan Pemetaan dan Informasi Ekowisata Bahari ........................... 117
72. Tampak Atas Kawasan Mangrove Titik Timur ..................................... 119
73. Tampilan Pemetaan dan Informasi Wisata Mangrove Timur ................ 120
74. Pemetaan dan Informasi Wisata Software GIS ...................................... 124
75. Tampilan dan Informasi WebGIS Kawasan Pulau Tegal ...................... 136
76. Tampilan dan Informasi WebGIS Rekreasi Pantai ................................ 137
77. Tampilan dan Informasi WebGIS Wisata Mangrove ............................. 138
78. Tampilan dan Informasi WebGIS Wisata Lamun .................................. 139
79. Tampilan dan Informasi WebGIS Wisata Terumbu Karang .................. 140
80. Tampilan dan Informasi WebGIS Fasilitas Penginapan ........................ 141
81. Tampilan dan Informasi WebGIS Fasilitas Restoran ............................. 142
82. Tampilan dan Informasi WebGIS Fasilitas Toilet .................................. 143
83. Tampilan dan Informasi WebGIS Fasilitas Masjid ................................ 144
84. Tampilan dan Informasi WebGIS Fasilitas Dermaga ............................ 145
85. Tampilan dan Informasi WebGIS Fasilitas Gazebo ............................... 146
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
1. Hasil Perhitungan IKW .......................................................................... 113
2. Hasil Perhitungan DDK ......................................................................... 121
3. Hubungan antara IKW dan DDK .......................................................... 122
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan berdasarkan waktu.
Definisi ekowisata pertama kali dikemukakan oleh organisasi The
International Ecotourism Society sebagai suatu kegiatan perjalanan wisata
ke kawasan alami yang bertujuan untuk mengkonservasi lingkungan,
melestarikan kehidupan dan memajukan kesejahteraan penduduk setempat.
Adanya aspek pendidikan yang ditawarkan melalui kegiatan ekowisata juga
merubah pengertian ekowisata di beberapa negara, sehingga ekowisata
dapat diartikan sebagai wisata yang berdasarkan pada kawasan alami
dengan menambahkan aspek pendidikan, proses komunikasi terhadap
kawasan alam serta budaya masyarakat sekitar yang dikelola untuk menjaga
kelestarian ekologis (Bricker, 2017). Berdasarkan pengertian tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat empat unsur penting yang terkandung
dalam ekowisata, yaitu pendidikan, sosial, ekonomi dan kegiatan konservasi
alam.
Terdapat tiga konsep dasar mengenai ekowisata, yaitu: Pertama, merupakan
perjalanan di luar ruangan dan di kawasan alami yang tidak berdampak pada
kerusakan lingkungan. Kedua, mengutamakan pada penggunaan fasilitas-
2
fasilitas yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat sekitar. Ketiga,
memberikan perhatian yang besar terhadap lingkungan alam dan kearifan
budaya lokal (Nafi, Supriyadi and Roedjinandari, 2017). Dalam hal
pengembangan ekowisata, konsep keberlanjutan merupakan faktor utama
yang harus diperhatikan (Haryanto, 2016). Dimana ekowisata dapat
dikelola menjadi sumber pendapatan masyarakat yang berkesinambungan,
sekaligus sebagai upaya untuk melestarikan budaya masyarakat dan potensi
sumber daya alam yang ada. Adapun jenis-jenis ekowisata yang
ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Jenis-Jenis Ekowisata.
(Sumber: Yulius et al., 2018)
Jenis-Jenis Ekowisata
Alam
Objek-objek alam (pantai, air terjun, terumbu karang, gunung dan danau)
Flora (hutan, tumbuhan langka, tumbuhan obat-obatan, taman bunga dan cagar alam)
Fauna (hewan langka & endemik, suaka margasatwa dan taman nasional)
Perkebunan (teh, kopi, cokelat, tebu dan tembakau)
Kegiatan alam bebas (lintas alam, berselancar, snorkeling, diving dan tracking)
Ekstrim (mendaki gunung, paralayang, arung jeram, raftingdan panjat tebing)
Budaya
Suku terasing (orang Rimba, orang Kanekes, suku Baduy, suku Mentawai dan suku Bajo)
Kerajinan tangan (batik, ukiran, gerabah, wayang kulit dan kain tenun)
Peninggalan bersejarah (candi, batu bertulis, benteng kolonial, bangunan bersejarah dan cadas)
3
Pengembangan ekowisata yang sangat berpotensi di Indonesia salah satunya
adalah ekowisata bahari (Abdillah, 2016). Ekowisata bahari merupakan
wisata yang memiliki objek dan berdaya tarik yang berasal dari potensi
bentang laut (seascape) dan bentang darat pantai (coastal landscape).
Wisata yang berasal dari potensi bentang laut adalah aktifitas wisata yang
mengutamakan pada kekayaan sumber daya bawah laut dan dinamika air
laut, sedangkan wisata bentang darat pantai adalah aktifitas wisata yang
berdasarkan pada sumber daya di daerah pantai dan budaya masyarakat
sekitar, seperti olahraga, rekreasi dan menikmati panorama pantai
(Yulianda, 2007).
Indonesia memiliki luas daratan sebesar 1.922.570 km2 dan luas perairan
sebesar 3.257.483 km2 (Subdirektorat Publikasi dan Kompilasi Statistik,
2018). Dengan besarnya luas perairan tersebut, Indonesia menyimpan
potensi yang sangat besar terhadap ekowisata bahari di daerah pantai. Hal
ini sangat didukung dengan kondisi negara Indonesia yang sebagian besar
wilayahnya terdiri atas lautan dan pulau-pulau kecil (Lasabuda, 2013).
Pengembangan kawasan bahari sebagai objek wisata berkembang pesat di
Indonesia (Koroy, Yulianda and Butet, 2017). Adanya kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat sekitar dalam mengelola objek wisata saling
memberikan manfaat satu sama lain. Berbagai macam kegiatan dapat
dilakukan oleh wisatawan di kawasan wisata bahari, seperti menaiki perahu,
menyelam, berselancar, memancing, berfoto, snorkeling, berenang, bermain
pasir dan yang lainnya.
4
Ekowisata bahari yang terdapat di Provinsi Lampung salah satunya berada
di Pulau Tegal, Desa Gebang, Kabupaten Pesawaran. Pulau seluas ±140 Ha
ini dihuni oleh sekitar 20 kepala keluarga (Anggraini, Damai and Hasani,
2018). Pulau ini memiliki kondisi topografi berupa pantai dengan pasir
putih yang landai (bagian barat, selatan, timur dan utara) dan pantai yang
berbatu (bagian barat daya, barat laut, tenggara dan timur laut). Wilayah
daratannya berupa dataran hingga lereng bukit. Akses untuk menuju pulau
ini menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh ±15 menit dari Pantai
Sari Ringgung (Titaheluw and Ira, 2012). Adanya ekosistem mangrove,
padang lamun dan terumbu karang menambah daya tarik wisatawan untuk
mengunjungi pulau ini (Pratiwi, 2010). Terdapat beberapa fasilitas
pendukung seperti penginapan, toilet umum, masjid dan restoran yang
disediakan oleh pengembang setempat. Kegiatan wisata yang dapat
dilakukan diantaranya snorkeling, menyelam dan bermain perahu.
Informasi terkait objek wisata di pulau ini disajikan melalui sosial media
yang ada dengan sangat baik.
Tersedianya informasi mengenai suatu kawasan objek wisata, dapat
mendorong peningkatan jumlah pengunjung. Tidak hanya dalam lingkup
nasional, apabila digunakan media yang mudah untuk digunakan dan
diakses oleh banyak orang, maka dapat menjadi alternatif pengunjung dari
luar negeri sebagai tempat wisata (Yusendra, 2015). Meningkatnya jumlah
pengunjung berpengaruh terhadap keuntungan yang dihasilkan oleh
pengembang. Sehingga dapat dilakukan penambahan fasilitas-fasilitas dan
dilakukan pengelolaan kawasan ekowisata bahari secara berkelanjutan.
5
Dengan menggunakan suatu teknologi informasi kawasan seperti Sistem
Informasi Geografis, maka dapat disajikan informasi lengkap mengenai
objek dan fasilitas wisata yang terdapat di Pulau Tegal, Desa Gebang,
Kabupaten Pesawaran, Lampung dan disajikan dalam bentuk peta digital.
Sehingga suatu kawasan objek wisata dapat dipromosikan dalam suatu
media informasi yang lengkap dan lebih menarik (Soyusiawaty, Umar and
Mantofani, 2007). Penyajian peta sistem informasi geografis ini juga dapat
digunakan oleh pemerintah setempat untuk mengambil kebijakan dalam
pengembangan kawasan di pulau tersebut dan dapat memberikan hasil yang
bermanfaat dalam segi ekonomi maupun sosial. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa manfaat yang dapat diperoleh adalah memajukan
pendapatan masyarakat, membuka lapangan pekerjaan baru dan juga
memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah (Rahmayanti and
Pinasti, 2013).
Dengan mempertimbangkan permasalahan mengenai pengembangan
kawasan dan kebutuhan informasi wisata di Pulau Tegal Lampung sebagai
objek ekowisata bahari, maka perlu adanya penelitian mengenai data
informasi tersebut. Melalui penelitian ini, akan dikumpulkan informasi-
informasi mengenai objek dan fasilitas wisata di Pulau Tegal Lampung yang
disajikan ke dalam bentuk peta Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan
menggunakan alat bantu GPS dan drone. Sehingga dapat memudahkan
wisatawan dalam mencari informasi dan menambah daya tarik wisata ke
Pulau Tegal.
6
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pemetaan objek dan fasilitas wisata yang terdapat di Pulau Tegal
Lampung dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG)?
C. Batasan Masalah
Pada penelitian ini dilakukan pembatasan terhadap masalah-masalah yang
ada, yaitu:
1. Lokasi penelitian atau wilayah pengambilan data hanya di lingkup Pulau
Tegal, Desa Gebang, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran,
Lampung.
2. Metode yang digunakan adalah metode skoring dan analisis deskriptif
dengan alat bantu drone, GPS dan perangkat lunak Quantum GIS.
3. Penelitian dilakukan dalam satu tim yang terdiri dari beberapa orang,
dimana pengumpulan data lapangan (primer) dilakukan secara bersama.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyajikan informasi wisata yang berupa
peta sistem informasi geografis terkait objek dan kawasan wisata di Pulau
Tegal, Desa Gebang, Kabupaten Pesawaran, Lampung.
7
E. Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian.
Lokasi penelitian berada di Pulau
Tegal, Desa Gebang, Kabupaten
Pesawaran, Lampung.
Memahami kondisi Pulau Tegal
yang memiliki potensi ekowisata
bahari.
Sudah adanya penyebaran
informasi mengenai kegiatan
wisata di pulau tersebut melalui
sosial media yang ada, sehingga
dapat diketahui oleh masyarakat
luas.
Namun, belum adanya kajian
mengenai kesesuaian wisata dan
pemetaan terhadap objek wisata
beserta sarana prasarana yang
ada di Pulau Tegal.
Diperlukan kajian mengenai
kesesuaian wisata dan pemetaan
terhadap objek wisata beserta
sarana prasarana yang ada di
Pulau Tegal.
Perancangan peta digital berisi
informasi aktual kawasan
ekowisata bahari di Pulau Tegal
menggunakan software Sistem
Informasi Geografis (SIG).
Hasil dari penelitian berupa peta
digital yang memuat mengenai
informasi-informasi objek wisata
di Pulau Tegal.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu (State of The Art)
Ekowisata merupakan suatu kegiatan wisata alam pada daerah alami yang
bertanggung jawab, kegiatan ini memperhatikan unsur-unsur pemahaman,
pendidikan, peningkatan pendapatan masyarakat sekitar dan dukungan pada
upaya-upaya konservasi sumber daya alam yang ada (Permendagri No. 33
Tahun 2009). Mengingat wilayah Indonesia yang memiliki karakteristik
wilayah berupa negara kepulauan, maka ekowisata bahari dirasa sangat
sesuai apabila dapat dikembangkan dan diterapkan secara langsung di
Indonesia. Berkembangnya suatu kawasan ekowisata ditentukan oleh
banyak faktor, seperti kendala suplai (product driven), kurangnya
pemahaman pada pasar (market driven), sedikitnya dukungan kebijakan
oleh pemerintah dan adanya permasalahan dalam lembaga (Asmin, 2017).
Untuk itu perlu dilakukan suatu pemetaan kawasan ekowisata bahari yang
berupa peta digital sistem informasi geografis (SIG) dan selanjutnya dapat
digunakan oleh pemerintah dalam turut serta mengambil kebijakan
pengembangan kawasan tersebut.
Penelitian mengenai analisis indeks kesesuaian wisata bahari telah banyak
dilakukan oleh para peneliti terdahulu, namun untuk pemetaan SIG kawasan
9
wisata bahari yang memuat informasi dari indeks kesesuaian wisata di
dalamnya masih sangat terbatas. Kebanyakan dari penelitian terdahulu
melakukan pemetaan terhadap kawasan hutan konservasi ataupun suatu
daerah yang lebih luas, namun hanya untuk objek tertentu (pasar, sekolah
dan wisata kuliner). Dalam penelitian ini, dilakukan pemetaan digital
terhadap kawasan ekowisata bahari secara engineering yang berbasis pada
teknologi dan nilai-nilai ekologi.
Pembelajaran untuk peneliti dari para peneliti terdahulu dalam hal pemetaan
wilayah geografis seperti Chhetri and Arrowsmith, 2008; Chen, Li and
Wang, 2009; Saputra and Yulmaini, 2012; Nahuelhual et al., 2013; Riyanto,
Hamzari and Golar, 2014; Silaban, 2018; Azhari, 2018; Saputra, 2018 dan
Ferdiansyah, 2019. Berikut disajikan beberapa peneliti terdahulu melalui
jurnal mereka.
Tabel 1. Penelitian terdahulu (State of The Art)
Sumber Judul Jurnal /
Penelitian
Objek
yang
ditinjau
Pokok Bahasan Lokasi
Penelitian
Prem Chhetri
dan Colin
Arrowsmith,
2008
Pemodelan
berbasis SIG pada
rekreasi potensi
tujuan wisata
berbasis alam
Hutan dan
Pantai
Pemetaan objek-
objek wisata
alam
menggunakan
GIS
Victoria
Barat,
Australia
Nengwang
Chen,
Huancheng Li
dan Lihong
Wang, 2009
Sebuah pendekatan
berbasis SIG untuk
pemetaan
penggunaan
langsung nilai jasa
ekosistem pada
skala daerah:
implikasi
Manajemen
Hutan
Konservasi
Zonasi sebaran
ekosistem di
kawasan hutan
konservasi
dengan GIS
Zhejiang,
China
Selatan
10
Tabel 1. (lanjutan)
Sumber Judul Jurnal /
Penelitian
Objek
yang
ditinjau
Pokok Bahasan Lokasi
Penelitian
Ardi Dwi
Saputra I. S.
dan Yulmaini,
2012
Perancangan
Sistem Informasi
Geografis (SIG)
Pariwisata di
Provinsi Lampung
Wisata
pantai
Penggunaan
SIG untuk
mendata semua
pariwisata di
lingkup provinsi
Lampung,
Indonesia
Laura
Nahuelhual,
Alejandra
Carmona, Paola
Lozada,
Amerindia
Jaramillo, 2013
Pemetaan rekreasi
dan ekowisata
sebagai layanan
ekosistem budaya:
aplikasi pada
tingkat lokal di
selatan Chili
Hutan dan
Pantai
Pemetaan zona
kawasan wisata
budaya
masyarakat di
tingkat kota
Chili
Selatan,
Amerika
Riyanto,
Hamzari dan
Golar, 2014
Analisis
Pembangunan
Ekowisata di
Kawasan Taman
Hutan Raya
Berbasis SIG
Hutan
Konservasi
Analisis
pembangunan
ekowisata yang
dimodelkan
dalam program
GIS
Palu,
Sulawesi
Tengah
Willy Brilliant
Yosua Silaban,
2018
Analisis Zonasi
Ekowisata Bahari
Berbasis Sistem
Informasi
Geografis
Pantai Analisis dan
pemetaan zona
ekowisata
menggunakan
GIS
Pesisir
Barat,
Lampung
Kgs Fajar
Parningotan
Azhari, 2018
Analisis Indeks
Kesesuaian
Ekowisata Bahari
Pantai Analisis IKW
dan pemetaan
pantai tingkat
kecamatan
dengan GIS
Kecamatan
Rajabasa,
Kabupaten
Lampung
Selatan
Fazario
Adhitya
Saputra, 2018
Analisis
Pemanfaatan dan
Pembangunan
Ekowisata Bahari
Berbasis SIG dan
Drone
Pantai Analisis IKW
dan pemetaan
pantai tingkat
kecamatan
dengan GIS
Kecamatan
Bakauheni,
Kabupaten
Lampung
Selatan
Dipo Akbar
Ferdiansyah,
2018
Konsep
Pengembangan
Ekowisata Bahari
Secara Terpadu
Berbasis Sistem
Informasi
Geografis dan
Drone
Mangrove
dan Pantai
Analisis IKW,
DDK dan
pemetaan pantai
tingkat
kabupaten
dengan GIS
Kabupaten
Lampung
Selatan
11
B. Ekowisata Bahari
Ekowisata bahari adalah suatu konsep pemanfaatan yang berkelanjutan
terhadap sumber daya daerah pesisir, menggunakan sistem layanan jasa
lingkungan yang ada dengan mengunggulkan sumber daya alam daerah
pesisir sebagai objek layanan utama (Hawkins & Roberts, 1993). Kemudian
menurut Direktorat Jenderal Pariwisata (1998), wisata bahari merupakan
aktivitas wisata yang berhubungan secara langsung dengan sumber daya
laut, baik yang berada di atas maupun di bawah permukaan air laut. Konsep
ekowisata bahari berdasarkan pada pemandangan, karakteristik ekosistem,
keunikan alam dan seni budaya masyarakat sekitar (Salim & Purbani, 2015).
Wilayah pesisir yang menjadi objek dari ekowisata bahari memiliki banyak
potensi dari segi kelengkapan ekosistemnya, hal ini mendorong
meningkatnya keberadaan biota-biota yang ada sebagai objek pengamatan
wisatawan. Berdasarkan letaknya, aktivitas wisata yang dapat dilakukan di
atas permukaan laut yaitu seperti olahraga, panjat tebing, bersepeda,
penelurusan gua di pantai, memancing, berenang, bersampan (berdayung
atau berlayar) dan berselancar. Sedangkan aktivitas wisata yang dapat
dilakukan di bawah permukaan laut yaitu snorkeling dan wisata selam
(Djou, 2013).
Pengembangan ekowisata bahari memiliki manfaat yang sangat penting,
baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, hal ini
mendukung tindakan konservasi lingkungan terhadap ekosistem laut.
Secara ekonomis, pengembangan ekowisata bahari dapat meningkatkan
12
pendapatan devisa negara dan naiknya perekonomian masyarakat sekitar
(Yustinaningrum, 2017). Konsep ekowisata diperlukan sebagai dasar dari
upaya pengembangan ekowisata bahari, dimana konsep keberlanjutan yang
memiliki karakteristik berupa pelestarian sumber daya (bentang alam),
menjaga ketersediaan sumber daya untuk masa mendatang (konservasi) dan
kesejahteraan masyarakat (pengelolaan budaya). Sebelum suatu kawasan
ekowisata dikembangkan, terdapat beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi, seperti persyaratan kelayakan sosial ekonomi, ekologis dan
ketersediaan sarana prasarana sehingga dapat menjadi kawasan wisata yang
menarik (Soebiyantoro, 2009).
Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara dua wilayah yang berbeda,
yaitu wilayah lautan dan daratan. Ekosistem yang hidup di kawasan pesisir
memiliki keunikan sendiri dan sangat kompleks, mulai dari yang berada di
garis pantai, di kedalaman laut, hingga yang berada di antaranya.
Keberadaan ekosistem di kawasan pesisir menambah kelestarian dan
keragaman jenis biota yang ada di sekitarnya, selain itu mampu memberikan
manfaat bagi lingkungan seperti meredam gelombang laut. Faktor
lingkungan dan kondisi geografis dari suatu kawasan mendukung jumlah
atau kualitas dari ekosistem di kawasan pesisir. Menurut Dahuri et al.
(2008), terdapat beberapa ekosistem di daerah pesisir memiliki potensi yang
dapat dikembangkan sehingga dapat menambah daya tarik wisata di
kawasan tersebut, yaitu:
13
1. Mangrove
Gambar 3. Mangrove.
Mangrove atau bakau adalah suatu ekosistem hutan yang dapat hidup di
daerah pasang surut (muara sungai, laguna dan pantai) yang tergenang
oleh air laut pasang dan bebas air saat terjadi surut, juga mangrove
mempunyai toleransi terhadap kandungan garam air laut (salinity).
Hutan mangrove terletak di daerah garis pantai dan sangat dipengaruhi
oleh keadaan pasang dan surut air laut, oleh karena itu hutan ini perlu
tergenang air. Mangrove terletak mulai dari permukaan rata-rata daerah
pantai yang terlindung sampai pada pasang air laut yang tinggi (Utomo,
Budiastuty, & Muryani, 2018) dan merupakan ekosistem pendukung
dari berbagai ekosistem lain di sepanjang daerah pantai pada iklim
tropis (Donato et al., 2012).
Ekosistem mangrove memiliki fungsi fisik, ekonomis dan ekologis.
Fungsi fisik dari ekosistem mangrove yaitu meredam gelombang atau
angin yang datang, menguraikan limbah organik dan memperluas lahan
(substrat). Oleh karena itu, sering dilakukan upaya perlindungan garis
pantai terhadap abrasi dengan cara menanam pohon mangrove di garis
14
pantai. Fungsi ekonominya adalah menghasilkan bibit, keperluan
rumah tangga dan industri. Fungsi ekologisnya yaitu mencegah
perembesan air laut, tempat tinggal ikan dan biota lainnya (feeding,
nursery dan spawning ground), sarang burung, sumber plasma nutfah,
mengatur iklim mikro dan melindungi garis pantai (Djohan, 2007).
Penanaman mangrove adalah upaya mitigasi bencana seperti abrasi,
gelombang pasang air laut serta menetralisir pencemaran perairan
karena sifatnya yang meredam gelombang (Lasibani & Kamal, 2009).
Indonesia sendiri merupakan negara dengan luas mangrove terbesar di
dunia, dimana luasannya mencapai 3.244.018 ha atau 19% dari luas
seluruh mangrove di dunia (Ghufrona et al., 2015). Ekosistem
mangrove dapat dijadikan sebagai objek wisata alam dan ekowisata
(Sawitri et al., 2013). Ekowisata mangrove dapat dijadikan sebagai
objek wisata yang berwawasan pada lingkungan alami, dimana wisata
tersebut menawarkan keindahan alami dari ekosistem mangrove dan
biota perairan yang ada di sekitarnya tanpa perlu merusak ekosistem
tersebut agar dapat lebih menarik pengunjung. Hal ini disebabkan
karena hutan mangrove memiliki ciri khas khusus yaitu banyaknya flora
dan fauna yang hidup di sekitarnya (Bustaman, 2014). Ekowisata hutan
mangrove memiliki sinergi dengan upaya konservasi ekosistem hutan
secara langsung (Binawati et al., 2015), sehingga dalam pengembangan
di lapangan harus dikelola untuk menghindari dampak buruk dan resiko
bagi lingkungan, seperti dengan melihat daya dukung dan aspek
kesesuaian lingkungannya (Trigantiarsyah & Mulyadi, 2012).
15
Indonesia memiliki 202 spesies tumbuhan mangrove, yang terbagi
menjadi 89 jenis pohon, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, 19 jenis
pemanjat, 5 jenis palma dan 1 jenis paku. Dari 89 jenis pohon, 43
diantaranya merupakan jenis mangrove sejati, sementara 46 lainnya
merupakan mangrove ikutan. Menurut Noor et al. (2006), spesies
mangrove yang tergolong dalam kategori tersebut yaitu:
1. Mangrove sejati : merupakan tumbuhan yang tumbuh pada
pasang surut, membentuk tegakan murni dan jarang bergabung
dengan tanaman darat. Terdiri dari: Acanthus, Avicenia,
Bruguiera, Ceriops, Deris, Dolichandron, Lumnitzera, Kandelia,
Nypa, Rhizopora, Sorenatia dan Xylocarpus.
2. Mangrove ikutan : merupakan tumbuhan yang tidak pernah
tumbuh di komunitas mangrove sejati dan biasanya tumbuh
bergabung dengan tumbuhan daratan. Terdiri dari: Acrosticum,
Cerbera, Exoecaria, Heritiera dan Hibiscus.
Menurut Noor et al. (2006) dalam buku Pengenalan Mangrove di
Indonesia, di wilayah Indonesia sendiri terdapat 5 genus mangrove yang
paling umum ditemui, yaitu:
1. Avicennia
Avicennia di Indonesia dikenal dengan nama api-api, dimana
dicirikan dengan perakaran yang berbentuk pensil yang menonjol
dari permukaan air yang berfungsi sebagai akar nafas. Zona
Avicennia terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove,
dengan kondisi tanah berlumpur lembek dan berkadar garam
16
tinggi. Di Indonesia dikenal 5 jenis api-api, yaitu A. alba, A.
eucalyptifolia, A. lanata, A. marina dan A. officinalis.
Gambar 4. Mangrove Avicennia.
2. Bruguiera
Tanaman Bruguiera dicirikan dengan akar lutut. Genus ini
terdapat di kondisi tanah berlumpur agak keras, dimana perakaran
tanaman lebih peka dan hanya terendam pasang naik dua kali
sebulan. Di Indonesia dikenal 6 jenis tanaman ini, yaitu B.
cylindryca, B. exaristata, B. gymnorrhiza, B. haenessii, B.
parviflora dan B. sexangula.
Gambar 5. Mangrove Bruguiera.
(Sumber: Noor et al., 2006)
17
3. Ceriops
Ceriops merupakan vegetasi mangrove yang dicirikan dengan
akar pensil dengan buah memanjang, dimana di Indonesia sering
dijumpai 2 jenis yaitu C. decandra dan C. tagal. Terletak pada
zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini
sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar yang
mengalir (sungai) ke laut.
Gambar 6. Mangrove Ceriops.
(Sumber: Noor et al., 2006)
4. Rhizopora
Jenis ini sangat dicirikan dengan bentuk perakaran yang
menghunjam ke tanah atau dikenal dengan akar tunjang (still
root). Genus ini terletak pada tanah berlumpur lembek dengan
kadar garam lebih rendah, dimana perakaran tanaman tetap
terendam selama air laut pasang. Sering dijumpai 3 jenis dari
Rhizophora di ekosistem mangrove di Indonesia, yaitu R.
apiculata, R. mucronata dan R. stylosa.
18
Gambar 7. Mangrove Rhizopora.
5. Sonneratia
Sonneratia dikenal umum dengan nama pedada dengan sistem
perakaran umumnya berbentuk pensil (pneumatophora) dan
dibedakan dari Avicennia dari bentuk bunga, buah dan bentuk
daun. Genus ini terletak pada zona terjadinya penimbunan
sedimen tanah sebagai hasil dari cengkeraman perakaran
tumbuhan genus ini. Di Indonesia umum dijumpai 3 jenis, yaitu
S. alba, S. caseolaris dan S. ovata.
Gambar 8. Mangrove Sonneratia.
(Sumber: Noor et al., 2006)
19
Ket
eran
gan
: A
a
- A
vice
nnia
alb
a
Dh
-
Der
ris
het
erop
hyl
la
Ac
- A
egic
eras
corn
icula
tum
R
a -
Rhiz
opo
ra a
pic
ula
ta
Bc
- B
rug
uie
ra c
ylin
dri
ca
Rm
- R
. m
ucr
onata
Bg
- B
. g
ymn
orr
hiz
a
Sb
-
Sarc
olo
bu
s ba
nks
ii
Ct
- C
erio
ps
taga
l X
g
- X
ylo
carp
us
gra
na
tum
Gam
bar
9.
Zon
asi
Pohon M
angro
ve.
(Sum
ber
: N
oor
et a
l., 20
06)
20
Menurut Dharmawan & Pramudji (2014) dalam buku Panduan
Monitoring Status Ekosistem Mangrove, pengukuran dilakukan untuk
mengetahui nilai kerapatan dan tutupan dari mangrove. Berikut
merupakan langkah-langkah pengukuran data lapangan yang dilakukan:
1. Dalam setiap plot 10 m × 10 m, dilakukan pengukuran diameter
batang pohon mangrove dengan menggunakan meteran pada
variasi letak pengukuran yang ditampilkan pada Gambar 10.
2. Pengukuran dilakukan pada seluruh pohon yang berada di setiap
plot dan melakukan identifikasi jenis pohon mangrove.
3. Apabila terjadi keraguan dalam identifikasi, perlu dilakukan
pemotretan bagian tanaman tersebut, yaitu akar, batang, daun,
pembungaan dan buah serta lakukan pengambilan sampel untuk
diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium dengan bantuan literatur
atau dengan bantuan pakar identifikasi mangrove.
4. Setiap data yang diperoleh dicatat dalam data sheet yang telah
disiapkan pada kertas tahan air.
Gambar 10. Posisi Pengukuran Lingkar Batang Pohon Mangrove.
(Sumber: Dharmawan & Pramudji, 2014)
21
Persentase tutupan mangrove dihitung dengan menggunakan metode
hemisperichal photography (Gambar 11), dibutuhkan kamera dengan
lensa fish eye dengan sudut pandang 180o pada satu titik pengambilan
foto. Teknik ini masih cukup baru digunakan di Indonesia pada hutan
mangrove, penerapannya mudah dan menghasilkan data yang lebih
akurat. Teknis pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Setiap plot 10 × 10 m dibagi menjadi empat plot kecil yang
berukuran 5 × 5 m.
2. Titik pengambilan foto, ditempatkan di sekitar pusat plot kecil,
harus berada di antara satu pohon dengan pohon lainnya serta
hindarkan pemotretan tepat disamping batang satu pohon.
Gambar 11. Ilustrasi Metode Hemisperichal Photography.
(Sumber: Dharmawan & Pramudji, 2014)
3. Dalam setiap stratifikasi, minimal dilakukan pengambilan foto
sebanyak 12 titik dimana setiap plot 10 × 10 m diambil 4 titik
pemotretan (Gambar 12).
22
4. Posisi kamera disejajarkan dengan tinggi dada peneliti/tim
pengambil foto, serta tegak lurus/menghadap lurus ke langit.
5. Dicatat nomor foto pada form data sheet untuk mempermudah
dan mempercepat analisis data.
6. Hindarkan pengambilan foto ganda pada setiap titik untuk
mencegah kebingungan dalam analisis data.
Gambar 12. Titik Pengambilan Foto Mangrove.
(Sumber: Dharmawan & Pramudji, 2014)
Onrizal (2008), dalam situasi tertentu dimana plot transek kuadrat tidak
dapat digunakan (luasan mangrove sangat kecil), maka pengambilan
data mangrove dilakukan secara sensus, yaitu seluruh individu
tumbuhan mangrove pada lokasi penelitian diidentifikasi, dihitung
jumlahnya dan khusus untuk tingkat pohon diukur diamater pohon,
tinggi bebas cabang dan tinggi total pohon. Diameter pohon yang
diukur adalah diameter batang pada ketinggian 1,3 m dari atas
permukaan tanah atau 10 cm di atas banir (untuk pohon-pohon dari
marga Bruguiera) atau akar tunjang (untuk pohon-pohon dari marga
Rhizophora) apabila banir atau akar tunjang tertinggi terletak pada
ketinggian 1,3 m atau lebih. Perhitungan besarnya nilai kuantitif
23
parameter vegetasi, khususnya dalam penentuan indeks nilai penting,
dilakukan dengan formula berikut ini:
a. Kerapatan suatu jenis (K) (ind/ha)
K = ∑ individu suatu jenis
Luas petak contoh
b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR) (%)
KR = K suatu jenis
K seluruh jenis×100%
c. Frekuensi suatu jenis (F)
F = ∑ sub-petak ditemukan suatu jenis
∑ seluruh sub-petak contoh
d. Frekuensi relatif suatu jenis (FR) (%)
FR = F suatu jenis
F seluruh jenis×100%
e. Dominansi suatu jenis (D) (m2/ha)
D = Luas bidang dasar suatu jenis
Luas petak contoh
f. Dominansi relatif suatu jenis (DR) (%)
DR = D suatu jenis
D seluruh jenis×100%
g. Indeks Nilai Penting (INP) (%)
Untuk tingkat pohon, INP = KR + FR + DR
Untuk tingkat semai dan pancang, INP = KR + FR
24
2. Lamun
Gambar 13. Lamun.
Lamun atau seagrass merupakan tumbuhan berbunga yang tumbuh
pada daerah laut dangkal (Latuconsina & Dawar, 2012). Karakteristik
dari lamun yaitu tumbuhan monokotil yang memiliki akar, daun, buah
dan bunga seperti pada tumbuhan berpembuluh di darat (Tomlinson,
1974). Lamun tumbuh pada suatu kawasan membentuk hamparan yang
di dalamnya bisa terdapat satu atau lebih dari satu spesies lamun,
hamparan ini yang disebut sebagai padang lamun. Ekosistem lamun
adalah suatu ekosistem di wilayah pesisir yang di dalamnya terdapat
keanekaragaman hayati yang tinggi dan ikut menyumbang nutrisi yang
sangat potensial terhadap kesuburan perairan di sekitarnya (Muhammad
Husni Azkab, 1999; Hutomo & Azkab, 1987). Padang lamun
merupakan habitat bagi biota laut sebagai tempat mencari makan
(feeding ground), pembesaran (nursery ground) dan pemijahan
(spawning ground) (Latuconsina, 2011). Pada perairan laut dangkal,
lamun berperan sebagai produsen, pendaur ulang zat hara dan
25
menangkap sedimen (R. M. Lestari, 2010). Sama seperti tumbuhan
lainnya, lamun memiliki klorofil sehingga mampu berfotosintesis.
Pada umumnya, ekosistem di daerah pesisir terdiri dari 3 komponen,
yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang. Ketiga komponen
ekosistem tersebut menjadikan wilayah pesisir sebagai daerah yang
subur dan produktif, dimana kaya akan biota perairannya. Berdasarkan
letaknya, lamun berada di antara ekosistem terumbu karang dan
ekosistem mangrove. Ekosistem lamun merupakan ekosistem yang
sangat kompleks, dimana ekosistem ini memiliki fungsi dan manfaat
yang penting untuk perairan di wilayah pesisir (Tangke, 2010). Jenis
dan pola penyebaran dari lamun dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan seperti turbiditas, pola pasang surut, suhu perairan dan
salinitas. Adaptasi vegetasi lamun pada perubahan lingkungan yang
cukup baik dan pertumbuhannya yang relatif cepat (Azkab, 2006).
Komponen ekowisata padang lamun terdiri dari vegetasi lamun dan
biota-biota bawah laut yang saling berinteraksi menjadi padang lamun.
Salah satu manfaat dari ekowisata padang lamun adalah sebagai wisata
edukasi atau pendidikan, misalnya untuk melihat ekologi padang lamun
beserta biota-biotanya (teripang, bulu babi, bintang laut, kerang dan
ikan). Selain itu ekowisata padang lamun juga kaya akan
keanekaragaman biota bawah laut dikarenakan ekosistem padang lamun
merupakan penghubung antara ekosistem mangrove dengan ekosistem
terumbu karang (Riniatsih & Munasik, 2017).
26
Menurut Rahmawati et al. (2014) dalam buku Panduan Monitoring
Padang Lamun, pengukuran data lamun di lapangan guna untuk
memperoleh nilai tutupan dari lamun. Pengambilan data dilakukan
pada tiga transek dengan panjang masing-masing 100 m dan jarak
antara satu transek dengan yang lain adalah 50 m, sehingga total
luasannya 100 × 100 m2. Frame kuadrat diletakkan di sisi kanan
transek dengan jarak antara kuadrat satu dengan yang lainnya adalah 10
m (Gambar 14). Titik awal transek diletakkan pada jarak 5-10 m dari
kali pertama lamun dijumpai (dari arah pantai).
Gambar 14. Skema Transek Kuadrat Lamun.
(Sumber: Rahmawati et al., 2014)
Adapun langkah-langkah kerja yang harus dilakukan, yaitu:
1. Cek waktu pasang surut sebelum menentukan waktu ke lapangan
atau cari informasi mengenai pasang surut dari penduduk
lokal/nelayan di lokasi monitoring. Pelaksanaan monitoring
umumnya lebih mudah dan aman dilakukan pada saat surut.
27
2. Isi lembar kerja lapangan yang terdiri dari nama pengamat, lokasi
(nama pantai dan nama daerah/kabupaten) dan kode stasiun,
tanggal dan waktu pengamatan, nomor transek, serta informasi
umum (kedalaman air, kejernihan air, ada/tidaknya pelabuhan,
ada/tidaknya sungai, dsb) dan informasi lain yang bermanfaat.
3. Tentukan posisi transek dan catat koordinat (Latitude dan
Longitude) serta kode di GPS pada lembar kerja lapangan. Titik
ini merupakan titik awal transek nomor 1 dan meter ke-0.
4. Tandai titik awal transek dengan tanda permanen seperti patok
besi yang dipasangi pelampung kecil, serta keramik putih agar
mudah menemukan titik awal transek pada monitoring tahun
selanjutnya.
5. Buat transek dengan menarik roll meter sepanjang 100 meter ke
arah tubir. Pengamat yang lain mengamati pembuatan transek
agar transek lurus.
6. Tempatkan kuadrat 50 × 50 cm2 pada titik 0 m, disebelah kanan
transek. Pengamat berjalan disebelah kiri agar tidak merusak
lamun yang akan diamati.
7. Tentukan nilai persentase tutupan lamun pada setiap kotak kecil
dalam frame kuadrat (Gambar 15), berdasarkan penilaian pada
Tabel 2 dan catat pada lembar kerja lapangan.
8. Pada setiap kotak kecil, dapat dicatat komposisi jenis lamun yang
ada dan penutupan setiap jenis lamun.
28
Gambar 15. Nomor Kotak Kuadrat.
(Sumber: Rahmawati et al., 2014)
Tabel 2. Penilaian penutupan lamun dalam kotak kecil penyusun kuadrat
Kategori Nilai Penutupan Lamun (%)
Tutupan penuh 100
Tutupan 3/4 kotak kecil 75
Tutupan 1/2 kotak kecil 50
Tutupan 1/4 kotak kecil 25
Kosong 0
(Sumber: Rahmawati et al., 2014)
9. Amati karakteristik substrat secara visual dan dengan memilinnya
menggunakan tangan, lalu catat. Karakteristik substrat dibagi
menjadi: berlumpur, berpasir dan Rubble (pecahan karang).
10. Setelah itu, bergerak 10 meter ke arah tubir dan ulangi tahap 6-9.
11. Pengamatan dilakukan setiap 10 meter sampai meter ke-100 (0 m,
10 m, 20 m, 30m, dst) atau sampai batas lamun, apabila luasan
padang lamun kurang dari 100 m.
12. Pasang patok dan penanda pada titik terakhir.
13. Tandai posisi titik terakhir dengan GPS dan catat koordinat
(Latitude dan Longitude) pada lembar kerja lapangan.
29
3. Terumbu Karang
Gambar 16. Terumbu Karang.
Terumbu karang atau coral reef adalah suatu ekosistem di bawah
permukaan laut yang tersusun atas kumpulan binatang karang dan
membentuk suatu struktur kalsium karbonat (sejenis batu gamping atau
kapur). Terumbu karang merupakan rumah bagi berbagai biota laut,
karena dapat menjadi tempat peneluran, pemijahan dan pembesaran
ikan. Terumbu karang menyediakan suplai makanan untuk ikan-ikan
kecil, serta menjadi tempat berlindung dari ikan predator. Struktur
terumbu karang dapat melindungi ekosistem laut dari pengaruh
gelombang dan juga melindungi daerah pantai dari gelombang arus
yang kuat (Burke et al., 2012). Beberapa faktor yang mempengaruhi
keberadaan terumbu karang yaitu salinitas, kecerahan perairan, sirkulasi
air, kecepatan arus, suhu dan sedimentasi. Untuk memperoleh tingkat
pertembuhan yang maksimum, lokasi dari perairan terumbu karang
harus memiliki suhu yang hangat, kondisi air jernih, terhindar dari
sedimentasi dan sirkulasi air yang lancar.
30
Indonesia adalah negara yang memiliki terumbu karang terluas di bumi.
Dimana luas dari terumbu karangnya diperkirakan seluas 75.000 km2
atau 14% dari luasan terumbu karang yang berada di bumi (Arini,
2013). Terumbu karang memberikan manfaat dan keuntungan baik
secara ekologi, ekonomi dan sosial bagi masyarakat pesisir (Yuliani et
al., 2016). Secara ekologis, terumbu karang bermanfaat dalam
melindungi daerah pantai terhadap pengaruh arus dan ombak, serta
habitat biota perairan (feeding, nursery and spawning ground). Secara
ekonomis, terumbu karang berfungsi sebagai lokasi penangkapan ikan
hias, bahan obat dan kawasan wisata yang menarik. Secara sosial,
ekosistem terumbu karang dapat dikelola dan difungsikan sebagai objek
wisata oleh masyarakat sekitar yang mampu menambah pendapatan.
Terumbu karang memiliki kepekaan yang tinggi dan sangat sensitif
terhadap lingkungan sekitarnya. Merusak terumbu karang secara tidak
langsung dapat mengganggu keutuhan dari ekosistem tersebut, dimana
di dalamnya ada hubungan saling ketergantungan antara biota ataupun
mahkluk hidup yang berada di sekitarnya (Arini, 2013). Proses
pembentukan terumbu karang memakan waktu yang lama, diperkirakan
bahwa terumbu karang utuh yang ada di Indonesia mulai terbentuk dari
450 tahun lalu. Apabila faktor lingkungan dan karakteristik habitat
terumbu karang terjaga dengan baik, maka terumbu karang mampu
memperbaiki bagiannya yang rusak atau patah. Seperti ekosistem
lainnya, terumbu karang tidak memerlukan campur tangan oleh
manusia untuk keberlangsungan hidupnya (Dahuri et al., 2008).
31
Menurut Giyanto et al. (2014) dalam buku Panduan Monitoring
Kesehatan Terumbu Karang, pengukuran transek pada terumbu karang
dilakukan untuk dapat mengetahui penutupan terumbu karang, jenis
ikan karang dan megabenthos. Metode umum yang dilakukan yaitu
metode LIT (Line Intercept Transect), yaitu sebagai berikut:
1. Jika merupakan lokasi baru, beri nama stasiunnya dan catat posisi
koordinatnya dengan GPS. Jika merupakan lokasi lama (lokasi
ulangan untuk monitoring), pastikan posisi transek di lokasi
penelitian sesuai dengan koordinat posisi transek pengamatan
yang tercatat sebelumnya.
2. Setelah yakin posisinya merupakan lokasi stasiun transek
permanen yang akan diambil datanya, sebelum turun ke bawah air
(menyelam), maka tulis di papan (slate) nama stasiun tersebut
yang akan segera dilakukan pengambilan datanya.
3. Selanjutnya penyelam yang bertugas menarik garis transek mulai
menyelam dan mencari titik awal transek yang ditandai oleh
adanya patok besi sebanyak 2 buah (untuk posisi transek
permanen yang datanya pernah diambil di tahun sebelumnya).
Jika lokasi tersebut merupakan lokasi baru, tentukan titik awal
transek, dan jangan lupa memberi tanda titik awal tersebut dengan
memberi patok besi sejumlah 2 buah.
4. Setelah tanda titik awal ditemukan/ditentukan, penyelam
memasang pelampung hingga timbul ke permukaan air sehingga
pengamat dapat mengetahui titik awal transek.
32
5. Setelah melihat pelampung timbul ke permukaan air, penyelam
yang bertugas menarik garis transek mulai meletakkan garis
transek dengan menggunakan roll meter (pita berskala) sepanjang
40 meter pada kedalaman sekitar 5 m dan sejajar garis pantai,
dimulai dari titik awal sebagai meter ke-0. Untuk keseragaman
dalam penarikan garis transek, posisi pulau berada di sebelah kiri
garis transek. Ilustrasi penarikan garis transek ditampilkan pada
Gambar 17.
Gambar 17. Arah Penarikan Garis Transek.
6. Selanjutnya penyelam melakukan penelusuran di sepanjang garis
transek dengan melakukan pencatatan terhadap keberadaan
lifeform yaitu identifikasi jenis lifeform yang ada dan mencatat
pada jarak ke berapa lifeform dijumpai dan berakhir. Dalam
pengidentifikasian diperlukan pengetahuan dalam mencatat jenis
lifeform, oleh karena itu untuk mempermudah dapat dilakukan
pengambilan foto untuk identifikasi di darat. Ilustrasi
pengambilan data terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 18.
33
Gambar 18. Ilustrasi Metode LIT.
(Sumber: Giyanto et al., 2014)
7. Pencatatan jarak terumbu karang dilakukan dalam ketelitian senti
meter (cm), dan hanya dilakukan pada jenis karang hidup.
8. Pengukuran data dilakukan saat kondisi perairan tenang untuk
meminimalkan pengaruh dari gelombang air laut serta kecerahan
perairan yang baik.
9. Selama melakukan pencatatan terhadap tutupan terumbu karang,
dapat dilakukan juga identifikasi jenis ikan karang yang terdapat
di sepanjang karang.
34
C. Sistem Informasi Geografis
Gambar 19. Pemetaan dengan SIG.
(Sumber: Azhari, 2018)
Sistem informasi geografis atau SIG merupakan suatu teknologi pemetaan
yang berfungsi untuk menganalis, mengelola dan menyebarkan informasi
mengenai geografis yang terkait pada ketataruangan dan informasi di
dalamnya (Hidayat & Tarmuji, 2013). Berdasarkan istilahnya, sistem
informasi geografis merupakan perpaduan dari tiga ilmu pokok, yaitu sistem
(teknologi), informasi (data-data) dan geografi (pemetaan). Manfaat dari
teknologi ini adalah dapat memberikan layanan informasi kepada pengguna
atau pengambil keputusan untuk menentukan peraturan mengenai suatu
wilayah, umumnya terkait dengan tata ruang.
Sistem informasi geografis (SIG) mulai digunakan di Indonesia sejak tahun
1980 untuk digunakan oleh berbagai instansi pemerintahan. Teknologi ini
membantu dalam penyebaran informasi mengenai suatu daerah dalam
bentuk peta yang mudah digunakan. SIG menggunakan software Quantum
GIS agar pengguna dapat melakukan proses visualisasi, memuat informasi
35
dan melakukan analisis. Melalui perkembangannya, kebutuhan mengenai
informasi wisata dan lokasinya menjadi sangat perlu. Perlunya informasi
tersebut tidak hanya untuk kebutuhan bagi beberapa masyarakat tertentu,
namun menjadi kebutuhan masyarakat secara luas.
Apabila dikaitkan dengan ekowisata bahari, maka sistem informasi
geografis akan menyajikan lokasi dari suatu wisata dan informasi yang
terkandung pada wisata tersebut. Perubahan data terhadap suatu informasi
geografis yang ada, baik berupa penambahan maupun pengurangan data
dapat dilakukan tanpa perlu membuat peta baru.
Menurut Susanto et al. (2016), SIG memiliki ciri sebagai berikut:
A. Memiliki sub-sistem pelaporan yang dapat menampilkan sebagian
atau seluruh dari data, menjadi bentuk peta, grafis dan tabel.
B. Mempunyai sub-sistem analisis data dan manipulasi yang
menampilkan fungsi permodelan, hambatan, estimasi parameter,
pemisahan dan pengelompokan, serta tipe data.
C. Memiliki sub-sistem yang dapat membuka dan menyimpan data,
sehingga memungkinkan data yang tersimpan untuk dibuka, diedit dan
disesuaikan kembali. Dapat dilihat pada Gambar 20.
D. Mempunyai sub-sistem pengisian data yang dapat mengolah dan
menampung data spasial dari sumber mana saja. Sub-sistem tersebut
juga berisi perubahan data spasial yang berbeda tipenya (kontur peta
menjadi elevasi ketinggian).
36
Gambar 20. Tabel Quarry Data.
(Sumber: Hasil Screenshot Software QGIS)
Peta digital sistem informasi geografis menyajikan data spasial dan
informasi yang berkaitan dengan suatu wilayah. Dalam pengembangannya,
peta digital SIG tidak hanya dapat diakses melalui software yang mampu
menampilkan data shapefile, namun dapat dikelola agar dapat ditampilkan
melalui website sehingga dapat diakses oleh banyak kalangan. Pembuatan
peta digital SIG ke dalam bentuk website dibantu dengan adanya plugin di
software Quantum GIS, yaitu:
1. QuickMapServices (QMS) : berfungsi untuk menampilkan peta citra
Google Sattelite, sehingga tidak perlu membuat peta daerah.
2. qgis2web : berfungsi untuk menggabungkan beberapa file shapefile
menjadi bentuk webgis yang selanjutnya dapat diunggah ke web
hosting yang digunakan.
37
Web mapping menggunakan fungsi interaksi yang ada di software SIG ke
dalam bentuk webgis. Bentuk umum interaksi berbasis peta di website
dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Proses Interaksi SIG Berbasis Website.
Pada Gambar 21, interaksi antara pengguna (user) dengan server
berdasarkan pada request dan respond. Dimana web browser pada
pengguna mengirimkan request ke internet (web server), yang mengambil
data peta dari hosting yang telah di input oleh admin. Adapun pengertian
dari domain dan hosting yaitu:
1. Domain : merupakan nama website yang digunakan agar dapat
mengakses website yang telah dibuat. Ekstensi dari nama domain
bermacam-macam tergantung pada jenis website, diantaranya yaitu
.com, .ac.id, .net, .co.id, dsb.
2. Hosting : merupakan wadah yang menampung data-data yang
diperlukan oleh website, sehingga dapat diakses dengan internet.
Dimana data dapat berupa email, gambar, file atau database.
User Internet Domain
Hosting Admin
akses
input
38
QuickMapServices (QMS) adalah sebuah plugin untuk memuat dan
menampilkan informasi dalam bentuk peta digital. Siapapun dapat
berkontribusi untuk QMS dan ribuan orang dapat menambahkan proyek
QMS setiap harinya (Suryadi, 2015). Plugin ini mampu menampilkan peta
dari berbagai sumber, seperti Google Maps, Bing, Landsat, OSM,
MapSurfer dan NASA. Adapun tampilan citra Google Earth pada
QuickMapServices (QMS) dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Tampilan Citra Google Earth.
(Sumber: Hasil Screenshot Software QGIS)
Untuk dapat mengakses, pengunjung situs atau pengguna terlebih dahulu
harus terhubung dengan koneksi internet. Berbeda dengan proses editing
data spasial dan atribut di situs web OpenStreetMap (OSM) atau JOSM
(Java OpenStreetMap), pengunjung situs yang ingin melakukan akses tidak
diharuskan memiliki akun pada situs web OSM. Situs web OSM sendiri
dapat diakses melalui perangkat lunak internet browser apapun (Mozilla
Firefox, Google Chrome, Safari, Opera, dan lain-lain).
39
Tampilan antarmuka sistem tentu saja sama dan merupakan tampilan situs
web OpenStreetMap itu sendiri (karena menggunakan sistem yang
sama/sistem yang sudah ada). Situs web OpenStreetMap menampilkan
antarmuka slippy yang dibangun dengan pustaka javascript. Slippy secara
umum berarti sebuah istilah yang mengacu pada peta web modern yang
memungkinkan pengguna peta melakukan zoom in, zoom out dan
menjelajah peta (peta akan bergeser mengikuti arah pointer mouse jika
pengguna menyeret/menarik (drag) layer peta dengan mouse). Situs web
OpenStreetMap sendiri sebenarnya adalah sebuah media untuk
menampilkan hasil render data OpenStreetMap. Dalam pembangunan
webgis berbasis OSM ini, tahapan proses dari mulai editing/adding data
sampai menampilkannya pada situs web OpenStreetMap kurang lebih
adalah seperti berikut:
1. Data diunduh dan di-edit atau ditambahkan melalui perangkat lunak
JOSM yang berformat vektor dan kemudian setelah melalui proses
pengunggahan tersimpan di database OpenStreetMap.
2. Ketika kita mengakses pada browser, terdapat sebuah proses rendering
dimana javascript berjalan di dalam browser yang secara dinamis
meminta (request) peta dari server di dalam background browser (tanpa
mengisi kembali (reloading) seluruh halaman HTML) untuk
memberikan pengalaman browsing peta slippy yang lembut (smooth).
3. Peta ditampilkan pada halaman HTML browser dalam bentuk image
(raster) beserta perubahan yang ditambahkan sebelumnya.
40
D. Peta SHP
Gambar 23. Peta SHP Provinsi Lampung.
(Sumber: Hasil Screenshot Software QGIS)
Peta shapefile adalah peta dasar dari suatu wilayah dengan format file
berupa shapefile (.shp). Shapefile merupakan format file yang digunakan
untuk menyimpan data spasial (ruang) non-topologis berbasis vektor (Riadi,
Syafi’i, & Widodo, 2011). Shapefile dapat digunakan untuk menyimpan
data peta digital pada sistem informasi geografis (SIG). Environmental
Systems Research Institute (ESRI) merupakan pengembang dari format file
tersebut. Format file ini dapat menyimpan data spasial seperti bidang (pulau
atau wilayah suatu provinsi), garis (jalan dan sungai), titik (lokasi kota dan
bangunan) dan informasi mengenai ketiga data spasial tersebut (jenis suatu
jalan, nama suatu kota, dll) (Lestari, 2014). Format file ini menggunakan
vektor, sehingga data spasial seperti titik, garis dan bidang disimpan dalam
bentuk kumpulan titik. Untuk data garis, disimpan titik-titik sudutnya.
Sedangkan untuk bidang, juga disimpan titik-titik sudutnya.
41
E. Indeks Kesesuaian Wisata
Pemanfaatan dari suatu kegiatan yang sedang atau akan dikembangkan
seharusnya telah disesuaikan dengan peruntukan dan potensi sumber
dayanya. Sebab itu diperlukan analisis indeks kesesuaian wisata (IKW),
yaitu analisis yang dilakukan pada potensi sumber daya yang dikembangkan
sebagai tujuan ekowisata bahari dimana setiap objek wisata memiliki
lingkungan dan persyaratan sumber daya yang memiliki kesesuaian dengan
objek wisata yang akan dikembangkan (Yulianda, 2007). Nilai kesesuaian
kawasan merupakan nilai kecocokan suatu kawasan sebagai tujuan kawasan
tertentu, melalui pola tata guna kawasan yang terarah, adanya kegiatan
pemelihaaan ekosistem serta penentuan nilai dari suatu kawasan (Bibin,
Vitner, & Imran, 2017). Pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan
optimal membutuhkan adanya pengelolaan tata ruang yang matang.
Analisis indeks kesesuaian wisata (IKW) menggunakan matriks kesesuaian
yang telah tersusun sesuai dengan kepentingan setiap parameternya agar
dapat mendukung kegiatan yang dilakukan pada suatu kawasan (Domo,
Zulkarnaini, & Yoswaty, 2017). Persamaan yang digunakan untuk
menghitung kesesuaian wisata merujuk pada Yulianda (2007), yaitu:
IKW = ∑ (Ni
Nmaks
) × 100%
Keterangan:
IKW : Indeks Kesesuaian Wisata
Ni : Nilai pada parameter ke-i (skor × bobot)
Nmaks : Nilai maksimum dari matriks kesesuaian
42
Hasil yang didapatkan melalui matriks kesesuaian selanjutnya dikategorikan
ke dalam 4 kategori, yaitu:
S1 : Sangat sesuai (75-100%)
S2 : Sesuai (50-74%)
S3 : Sesuai bersyarat (25-49%)
N : Tidak sesuai (<25%)
Perhitungan nilai kesesuaian dapat dilakukan pada objek wisata yang
mengacu pada PUSPAR UGM (2005) mengenai ketersediaan infrastruktur
penunjang dan ekosistem pesisir yang mengacu pada Yulianda (2007).
Faktor penentu penilaian potensi objek wisata dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Faktor penilai potensi objek wisata
No. Faktor Penilai
Potensi Variabel Kriteria Skor
1 Kualitas objek
wisata
a. Keunikan objek
wisata dan fungsi
sebagai kawasan
lindung
• Bila objek banyak
ditemukan di tempat
lain
• Bila objek banyak
ditemukan di tempat
lain dan memiliki
fungsi lindung
• Bila objek jarang
ditemukan di tempat
lain dan memiliki
fungsi lindung
1
2
3
b. Keragaman atraksi
pendukung
• Belum memiliki atraksi
• Memiliki 1-2 atraksi
pendukung
• Memiliki >2 atraksi
pendukung
1
2
3
2 Kondisi objek
wisata
c. Kebersihan
lingkungan objek wisata
dan ketersediaan lahan
untuk pengembangan
• Objek wisata kurang
bersih dan tidak
memiliki lahan untuk
pengembangan
• Objek wisata bersih
tetapi tidak memiliki
lahan untuk
pengembangan atau
sebaliknya
• Objek wisata bersih dan
memiliki lahan
pengembangan
1
2
3
43
Tabel 3. (lanjutan)
No. Faktor Penilai
Potensi Variabel Kriteria Skor
3 Daya saing
ekonomi objek
wisata
d. Jumlah wisatawan • Jumlah wisatawan
rendah
• Jumlah wisatawan
sedang
• Jumlah wisatawan
tinggi
1
2
3
e. Harga tiket • Harga tiket mahal
• Harga tiket sedang
• Harga tiket murah
1
2
3
4 Aksesibilitas f. Prasarana jalan
menuju lokasi objek
wisata
• Tersedia prasarana
jalan motor dan mobil
• Tersedia prasarana
jalan yang dapat dilalui
motor dan mobil,
terdapat jalan alternatif
yang bisa
dikembangkan, kondisi
buruk
• Tersedia prasarana
jalan motor dan mobil,
terdapat jalan alternatif
yang bisa
dikembangkan, kondisi
baik
1
2
3
g. Waktu tempuh
wisatawan menuju suatu
objek wisata dari ibu
kota
• Waktu tempuh >2 jam
dari ibu kota
• Waktu tempuh 1-2 jam
dari ibu kota
• Waktu tempuh <2 jam
dari ibu kota
1
2
3
h. Ketersediaan
angkutan umum untuk
menuju lokasi objek
wisata
• Tidak tersedia angkutan
umum
• Tersedia angkutan
umum, tidak reguler
• Tersedia angkutan
umum, reguler
1
2
3
5 Dukungan
pengembangan
objek wisata
i. Dukungan
pengembangan objek
• Tidak ada pengelola
• Hanya dikelola secara
sederhana
• Objek wisata dikelola
oleh pemerintah dan
masyarakat/swasta
secara profesional
1
2
3
44
Tabel 3. (lanjutan)
No. Faktor Penilai
Potensi Variabel Kriteria Skor
j. Pengembangan dan
promosi objek wisata
• Objek wisata belum
dikembangkan dan
belum terpublikasikan
• Objek wisata sudah
dikembangkan tetapi
belum dipublikasikan
• Objek wisata sudah
dikembangkan dan
terpublikasi
1
2
3
6 Fasilitas penunjang
objek wisata
k. Ketersediaan fasilitas
pemenuhan kebutuhan
fisik dan sosial warga
• Tidak tersedia
• Tersedia 1-2 jenis
fasilitas sederhana
• Tersedia >2 jenis
fasilitas eksklusif
1
2
3
7 Fasilitas pelengkap l. Ketersediaan fasilitas
pelengkap (tempat
parkir, toilet/WC, pusat
informasi)
• Tidak tersedia
• Tersedia 1-2 jenis
fasilitas
• Tersedia >2 jenis
fasilitas
1
2
3
8 Keamanan dan
kenyamanan
m. Keamanan wilayah
sekitar objek wisata
• Sering terjadi tindak
kejahatan di sekitar area
objek wisata
• Jarang terjadi tindak
kejahatan di sekitar area
objek wisata
• Tidak pernah terjadi
tindak kejahatan di
sekitar area objek
wisata
1
2
3
(Sumber: PUSPAR UGM, 2005)
Menurut Yulianda (2007), indeks kesesuaian wisata pantai terdiri dari dua
kategori, yaitu kategori rekreasi dan wisata mangrove. Kesesuaian wisata
pantai kategori rekreasi mempertimbangkan 10 parameter dengan empat
klasifikasi penilaian (S1, S2, S3 dan N). Matriks IKW rekreasi pantai dapat
dilihat pada Tabel 4.
45
Tabel 4. Matriks IKW kategori rekreasi pantai
No Parameter
Bo
bot
Kategori
S1 Sk
or Kategori
S2 Sk
or Kategori
S3 Sk
or Kategori
N Sk
or
1 Kedalaman
pantai (m) 5 0-3 3 >3-6 2 >6-10 1 >10 0
2 Tipe pantai 5 Pasir
putih 3
Pasir
putih,
sedikit
karang
2
Pasir
hitam,
berkarang,
sedikit
terjal
1
Lumpur,
berbatu,
terjal
0
3 Lebar pantai
(m) 5 >15 3 10-15 2 3-<10 1 <3 0
4
Material
dasar
perairan
3 Pasir 3 Karang
berpasir 2
Pasir
berlumpur 1 Lumpur 0
5 Kecepatan
arus (m/s) 3 0-0,17 3 0,17-0,34 2 0,34-0,51 1 >0,51 0
6 Kemiringan
pantai (o) 3 <10 3 10-25 2 >25-45 1 >45 0
7 Kecerahan
perairan (%) 1 100 3 50-<100 2 30-<50 1 <30 0
8 Penutupan
lahan pantai 1
Kelapa,
lahan
terbuka
3
Semak,
belukar,
rendah,
savana
2 Belukar
tinggi 1
Hutan bakau,
pemukiman,
pelabuhan
0
9 Biota
berbahaya 1
Tidak
ada 3 Bulu babi 2
Bulu babi,
ikan pari 1
Bulu babi,
ikan pari,
lepu, hiu
0
10
Ketersediaan
air tawar
(km)
1 <0,5 3 >0,5-1 2 >1-2 1 >2 0
Sumber: Yulianda (2007)
Kawasan ekowisata bahari umumnya memiliki tiga komponen ekosistem
pendukung di wilayah pesisir, yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang.
Keberadaan ekosistem tersebut dihitung nilai kesesuaiannya berdasarkan
parameter yang ada. Matriks kesesuaian untuk ketiga ekosistem tersebut
mengacu pada Yulianda (2007), yang dapat dilihat pada Tabel 5 - Tabel 8.
46
Tabel 5. Matriks IKW kategori wisata mangrove
No Parameter
Bo
bot
Kategori
S1 Sk
or Kategori
S2 Sk
or Kategori
S3 Sk
or Kategori
N Sk
or
1
Ketebalan
mangrove
(m)
5 >500 3 >200-500 2 50-200 1 <50 0
2
Kerapatan
mangrove
(100 m2)
3 >15-20 3 >10-15,
>20 2 5-10 1 <5 0
3 Jenis
mangrove 3 >5 3 3-5 2 1-2 1 0 0
4 Pasang
surut (m) 1 0-1 3 >1-2 2 >2-5 1 >5 0
5 Obyek biota 1
Ikan, udang,
kepiting,
moluska,
reptil,
burung.
3
Ikan,
udang,
kepiting,
moluska.
2 Ikan,
moluska. 1
Salah
satu biota
air.
0
Sumber: Yulianda (2007)
Tabel 6. Matriks IKW kategori wisata lamun
No Parameter
Bo
bot
Kategori
S1 Sk
or Kategori
S2 Sk
or Kategori
S3 Sk
or Kategori
N Sk
or
1 Tutupan
lamun (%) 5 >75 3 >50-75 2 25-50 1 <25 0
2
Kecerahan
perairan
(%)
3 >75 3 >50-75 2 25-50 1 <25 0
3 Jenis ikan 3 >10 3 6-10 2 3-5 1 <3 0
4 Jenis lamun 3
Cymodocea
Halodule
Halophila
3
Syringo-
dium
Thalasso-
dendron
2 Thallasia 1 Enhalus 0
5 Jenis
substrat 1
Pasir
berkarang 3 Pasir 2
Pasir
berlumpur 1 Berlumpur 0
6 Kecepatan
arus (cm/s) 1 0-15 3 15-30 2 30-50 1 >50 0
7 Kedalaman
lamun (m) 1 1-3 3 >3-6 2 >6-10 1 >10, <1 0
Sumber: Yulianda (2007)
47
Tabel 7. Matriks IKW kategori wisata selam
No Parameter
Bo
bo
t
Kategori
S1 Sk
or Kategori
S2 Sk
or Kategori
S3 Sk
or Kategori
N Sk
or
1 Kecerahan
perairan (%) 5 >80 3 50-80 2 20-<50 1 <20 0
2
Tutupan
komunitas
karang (%)
5 >75 3 >50-75 2 25-50 1 <25 0
3 Jenis life
form 3 >12 3 <7-12 2 4-7 1 <4 0
4 Jenis ikan
karang 3 >100 3 50-100 2 20-<50 1 <20 0
5 Kecepatan
arus (cm/s) 1 0-15 3 >15-30 2 >30-50 1 >50 0
6
Kedalaman
terumbu
karang (m)
1 6-15 3 >15-20
3-<6 2 >20-30 1
>30
<3 0
Sumber: Yulianda (2007)
Tabel 8. Matriks IKW kategori wisata snorkeling
No Parameter
Bo
bo
t
Kategori
S1 Sk
or Kategori
S2 Sk
or Kategori
S3 Sk
or Kategori
N Sk
or
1 Kecerahan
perairan (%) 5 >80 3 50-80 2 20-<50 1 <20 0
2
Tutupan
komunitas
karang (%)
5 >75 3 >50-75 2 25-50 1 <25 0
3 Jenis life
form 3 >12 3 <7-12 2 4-7 1 <4 0
4 Jenis ikan
karang 3 >50 3 30-50 2 10-<30 1 <10 0
5 Kecepatan
arus (cm/s) 1 0-15 3 >15-30 2 >30-50 1 >50 0
6
Kedalaman
terumbu
karang (m)
1 1-3 3 >3-6 2 >6-10 1 >10
<1 0
7
Lebar
hamparan
datar karang
(m)
1 >500 3 >100-
500 2 20-100 1 <20 0
Sumber: Yulianda (2007)
48
F. Daya Dukung Kawasan
Perhitungan nilai daya dukung kawasan diperlukan untuk mengetahui
kapasistas maksimum pengunjung yang secara fisik mampu ditampung pada
kawasan yang ada pada waktu tertentu tanpa menyebabkan timbulnya
gangguan, baik pada alam maupun manusia (Domo et al., 2017). Pada
penelitian ini, nilai daya dukung kawasan wisata serta parameternya
mengacu pada persamaan Yulianda (2007), yaitu:
DDK = K × Lp
Lt ×
Wt
Wp
Keterangan :
DDK : Daya dukung kawasan
K : Potensi ekologis pengunjung per satuan unit luas
Lp : Luas atau panjang daerah yang digunakan
Lt : Luas unit daerah untuk suatu kegiatan wisata
Wt : Waktu yang disediakan oleh kawasan dalam satu hari
Wp : Waktu yang dibutuhkan pengunjung untuk kegiatan wisata
Tabel 9. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt)
No Jenis Kegiatan K
(∑ Pengunjung)
Lt
(Unit Area) Keterangan
1 Selam 2 2000 m2 2 orang dalam 200 m × 10 m
2 Snorkeling 1 500 m2 1 orang dalam 100 m × 5 m
3 Wisata lamun 1 250 m2 1 orang dalam 50 m × 5 m
4 Wisata mangrove 1 50 m 1 orang setiap 50 m panjang track
5 Rekreasi pantai 1 50 m 1 orang setiap 50 m panjang pantai
6 Memancing 1 25 m 1 orang setiap 25 m
7 Perahu 1 500 m 1 jam dengan jarak 500 m
8 Wisata olahraga 1 50 m 1 orang setiap 50 m
Sumber: Yulianda (2007)
49
Waktu kegiatan wisata pengunjung (Wp) didapatkan melalui total waktu
yang diperlukan oleh pengunjung dalam melakukan kegiatan tertentu.
Dimana waktu tersebut diperhitungkan melalui pertimbangan terhadap
waktu yang diberikan oleh kawasan (Wt), yaitu merupakan panjang waktu
area wisata dibuka dalam satu hari, umumnya rata-rata waktu kerja yaitu
selama 10 jam (07.00 s.d 17.00). Nilai prediksi waktu yang diperlukan pada
setiap kegiatan wisata dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Prediksi waktu yang diperlukan pada setiap kegiatan wisata
No Jenis Kegiatan Waktu yang dibutuhkan
Wp (jam)
Total waktu 1 hari
Wt (jam)
1 Selam 2 8
2 Snorkeling 3 6
3 Wisata lamun 2 4
4 Wisata mangrove 2 8
5 Rekreasi pantai 3 6
6 Memancing 3 6
7 Berperahu 1 8
8 Olahraga air 2 4
Sumber: Yulianda (2007)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Pulau Tegal, Desa Gebang, Kecamatan Padang
Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Secara geografis pulau
ini terletak pada koordinat 05o34’00” LS dan 105o16’29” BT (Oriana et al.,
2017). Akses menuju pulau ini dapat menggunakan perahu motor dari
Pantai Sari Ringgung, dengan jarak tempuh 2,8 km atau waktu perjalanan
selama 15 menit. Pulau Tegal memiliki keliling pantai dengan panjang 5,8
km dan wilayah daratan seluas ±140 Ha yang terletak di perairan Teluk
Lampung (Arief, 2013). Mayoritas penduduk di pulau ini bermata
pencaharian sebagai petani, nelayan dan pegawai keramba jaring apung
(KJA) yang merupakan usaha dari beberapa investor.
Pulau Tegal menyimpan potensi untuk dikembangkan menjadi suatu
kawasan ekowisata bahari. Hal ini didukung tersedianya ekosistem pesisir
seperti mangrove, lamun dan terumbu karang yang menjadi daya tarik
ekowisata. Karena memiliki penginapan terapung dan keeksotisan alam,
pulau ini sering disebut mirip dengan Pulau Maladewa. Tidak hanya
wisatawan domestik yang mengunjungi pulau ini, bahkan Pulau Tegal saat
51
ini telah dikunjungi oleh turis dari berbagai negara. Adapun peta foto udara
dari lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Peta Foto Udara Pulau Tegal.
B. Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder, yaitu:
1. Data primer
Data primer adalah data yang didapatkan langsung di lokasi penelitian
sesuai dengan kebutuhan data penelitian. Data primer didapatkan dari
pengumpulan data yang bersifat kuantitatif, baik melalui wawancara
dengan informan terkait maupun pengamatan langsung. Pada penelitian
ini, data primer yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 11.
Prov. Lampung
52
Tabel 11. Data-data primer
No Data Primer Kegunaan Data
1 Peta sketsa
kawasan
Merupakan peta gambaran kasar yang digunakan untuk
mendata objek wisata yang ada (jumlah dan letak).
2 Data GPS
(tracking dan
marking)
Pengukuran secara langsung pada lokasi penelitian yang
meliputi tracking dan marking yang digunakan sebagai objek
digitasi peta sistem informasi geografis.
3 Observasi
kawasan pantai
Terdiri dari kedalaman, tipe, lebar, material dasar perairan,
kecepatan arus, kemiringan, kecerahan perairan, penutupan
lahan, biota berbahaya dan ketersediaan air tawar yang
digunakan untuk menghitung IKW kategori rekreasi pantai.
4 Observasi hutan
mangrove
Terdiri dari ketebalan, kerapatan, jenis, pasang surut dan
objek biota yang digunakan untuk menghitung IKW kategori
wisata mangrove.
5 Observasi
padang lamun
Terdiri dari tutupan, kecerahan perairan, jenis, tipe substrat,
kecepatan arus dan kedalaman yang digunakan untuk
menghitung IKW kategori wisata lamun.
6 Observasi
terumbu karang
Terdiri dari kecerahan perairan, tutupan, jenis lifeform,
keceparan arus, kedalaman dan lebar hamparan yang
digunakan untuk menghitung IKW kategori wisata selam dan
snorkeling.
7 Dokumentasi Pengambilan data yang berupa video atau foto sangat
diperlukan sebagai gambaran visual untuk memperkuat fakta
mengenai karakteristik Pulau Tegal.
8 Visualisasi udara
melalui drone
Pesawat drone diperlukan untuk melakukan pengambilan
dokumentasi dari udara, sehingga didapatkan gambaran
visual yang detail untuk objek ekowisata bahari.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak didapatkan secara langsung dari
lokasi penelitian, akan tetapi data ini dikumpulkan dari instansi-instansi
yang ada ataupun melalui studi literatur yang sesuai dengan penelitian.
Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 12.
53
Tabel 12. Data-data sekunder
No Data Sekunder Kegunaan Data
1 Peta shapefile
Pulau Tegal
Merupakan peta dasar kawasan dengan format shapefile
sebagai data awal dalam pembuatan peta digital SIG.
2 Studi
pustaka/literatur
Studi pustaka atau literatur dalam penelitian yang berkaitan
dengan indeks kesesuaian wisata (IKW), daya dukung
kawasan (DDK), pemetaan menggunakan SIG dan
informasi mengenai kawasan ekowisata bahari didapatkan
melalui kajian pada artikel dan jurnal yang terkait.
3 Jenis ikan lamun
Diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Lampung yang akan digunakan untuk menghitung IKW
untuk kategori wisata lamun, selam dan snorkeling. 4 Jenis ikan terumbu
karang
5 Jenis lifeform
Diperoleh dari Developer Pulau Tegal Mas Kabupaten
Pesawaran yang akan digunakan untuk menghitung IKW
untuk kategori wisata selam dan snorkeling. 6 Persentase tutupan
terumbu karang
C. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk mengambil data dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Peralatan penelitian
No Peralatan Fungsi
1 GPS (Global Positioning
System)
Melakukan penyimpanan koordinat suatu
titik (waypoint) atau rute (track) suatu objek
penelitian tertentu.
2 Kamera Mengambil dokumentasi data penelitian,
berupa gambar atau video.
3 Laptop Melakukan kompilasi data yang telah
didapatkan dan diolah menggunakan program
Quantum GIS.
4 Pesawat drone Memperoleh dokumentasi suatu objek
penelitian dari ketinggian tertentu.
5 Roll meter Mengukur panjang maupun ketinggian.
6 Secchi disk Mengukur tingkat kecerahan perairan.
54
Tabel 13. (lanjutan)
No Peralatan Fungsi
7 Kuadrat ukuran 50 × 50 cm Menghitung tutupan lamun menggunakan
metode transek kuadrat.
8 Botol pelampung dan stopwatch Menghitung kecepatan arus.
9 Tongkat kayu dan selang
waterpass
Mengukur kemiringan pantai.
10 Patok kayu Memberikan tanda batas pasang surut air
laut.
11 Kacamata snorkeling Membantu pengamatan yang dilakukan di
bawah air.
D. Metode Pengumpulan Data
Secara garis besar, teknik pengumpulan data yang berkaitan dengan
pemetaan dilakukan tracking dan marking dengan GPS pada seluruh
kawasan di Pulau Tegal, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung baik
untuk infrastruktur maupun wilayah. Data primer berupa pengukuran dan
pengamatan secara langsung yang dapat dilakukan menggunakan alat bantu
yang ada, sementara data sekunder berupa dokumentasi, jenis dan sebaran
suatu ekosistem didapatkan melalui instansi terkait. Juga dilakukan
pengambilan data visual berupa foto dan video menggunakan pesawat drone
untuk menghasilkan gambaran yang lebih luas. Adapun bagan alir atau
flowchart dalam proses pengumpulan data yang dapat dilihat melalui
Gambar 25.
55
Gam
bar
25. F
low
chart
Pro
ses
Pen
gum
pula
n D
ata.
56
E. Analisis Data
Hasil dari pengolahan data yang telah didapatkan dapat dibagi menjadi dua
kategori analisis yang dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Analisis data penelitian
No Tahapan Keterangan
1 Analisis Potensi Objek
Wisata (Sarana Prasarana)
Bersumber pada PUSPAR UGM (2005), terdapat 8
parameter yang disesuaikan untuk menilai potensi
dari suatu kawasan objek wisata yang memenuhi
kelengkapan sarana dan prasarana. Terdiri dari
kualitas objek wisata, kondisi objek wisata, daya
saing ekonomi objek wisata, aksesibilitas,
dukungan pengembangan objek wisata, fasilitas
penunjang objek wisata, fasilitas pelengkap serta
keamanan dan kenyamanan.
2 Analisis Indeks
Kesesuaian Wisata (Objek
Wisata dan Ekosistem)
Bersumber pada Yulianda (2007), dalam
pengelolaan ekowisata bahari terdapat aspek-aspek
wisata yang diperlukan dalam menunjang kegiatan
ekowisata. Masing-masing aspek dihitung nilai
kesesuainnya berdasarkan parameter yang tersedia
dan ditentukan kelas kesesuaiannya. Adapun
masing-masing aspek yang dinilai kesesuaiannya
yaitu:
Rekreasi Pantai Terdapat 10 parameter yang terdiri dari: kedalaman
pantai, tipe pantai, lebar pantai, material dasar
perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai,
kecerahan perairan, penutupan lahan pantai, biota
berbahaya dan ketersediaan air tawar.
Wisata Mangrove Terdapat 5 parameter yang terdiri dari: ketebalan
mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove,
pasang surut dan objek biota.
Wisata Lamun Terdapat 7 parameter yang terdiri dari: tutupan
lamun, kecerahan perairan, jenis ikan, jenis lamun,
jenis substrat, kecepatan arus dan kedalaman
lamun.
Wisata Selam Terdapat 6 parameter yang terdiri dari: kecerahan
perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifeform,
jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman
terumbu karang.
57
Tabel 14. (lanjutan)
No Tahapan Keterangan
Wisata Snorkeling Terdapat 7 parameter yang terdiri dari: kecerahan
perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifeform,
jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman
terumbu karang dan lebar hamparan karang datar.
Daya Dukung Kawasan Menghitung kapasistas pengunjung setiap objek
wisata dalam satuan orang/hari. Terdapat 8 jenis
objek wisata yang dapat dihitung nilai daya
dukungnya, yaitu selam, snorkeling, wisata lamun,
wisata mangrove, rekreasi pantai, memancing,
berperahu dan wisata olahraga.
3 Analisis Kawasan
Ekowisata Bahari
Menggunakan Sistem
Informasi Geografis
Berdasarkan hasil yang telah didapatkan pada
analisis potensi objek wisata dan analisis indeks
kesesuaian wisata, menggabungkan pemetaan
kawasan yang menggunakan software Quantum
GIS pada kawasan tersebut dengan informasi-
informasi terkait objek wisata.
Adapun rincian dari masing-masing tahapan analisis data, yaitu:
1. Analisis Potensi Objek Wisata
Dalam mengetahui nilai kesesuaian dari suatu kawasan wisata secara
keseluruhan, terutama dalam hal pengadaan sarana dan prasarana yang
tersedia di suatu kawasan objek wisata, diperlukan adanya analisis
potensi objek wisata. Dalam menilai seluruh parameter secara
keseluruhan, digunakan metode skoring, dimana melalui setiap
parameternya sudah disediakan nilai-nilai yang disesuaikan terhadap
parameter yang ada. Parameter yang ada berdasarkan PUSPAR UGM
(2005), sementara persamaan yang digunakan dalam menghitung sama
halnya dengan Yulianda (2007). Adapun kategori kelas potensi objek
wisata yang didapatkan dapat dilihat pada Tabel 15.
58
Tabel 15. Kategori kelas potensi objek wisata
No. Skor Keterangan
1 ≥77 - 100% Sesuai
2 ≥55 - 76% Cukup sesuai
3 <55% Kurang sesuai
(Sumber: PUSPAR UGM, 2005)
2. Analisis Indeks Kesesuaian Wisata
Dalam suatu kawasan objek wisata, terdapat banyak wisata yang
terkandung dalam kawasan tersebut. Setiap wisata dapat dilakukan
perhitungan nilai kesesuaiannya menurut Yulianda (2007). Dimana
kegiatan wisata yang akan dikembangkan harus sesuai dengan potensi
sumber daya dan peruntukannya. Penentuan kesesuaian berdasarkan
perkalian skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter.
Kesesuaian kawasan dilihat dari tingkat persentase kesesuaian yang
diperoleh dengan menjumlah nilai dari seluruh parameter. Adapun
wisata yang diperhitungkan nilai IKW nya yaitu rekreasi pantai, wisata
mangrove, wisata selam, wisata snorkeling dan wisata lamun.
a. Analisis IKW Kategori Rekreasi Pantai
Indeks kesesuaian wisata untuk kategori rekreasi pantai memiliki
10 parameter di dalamnya yang mengacu pada Yulianda (2007).
Nilai Nmaks dari keseluruhan parameter yaitu 84. Matriks
kesesuaian wisata kategori rekreasi pantai dapat dilihat pada Tabel
4. Adapun keterangan dari masing-masing parameternya yaitu:
59
1) Kedalaman pantai
Kedalaman pantai yang diukur adalah kedalaman yang
berjarak 10 m dari garis pantai yang umumnya dijadikan
sebagai kawasan rekreasi pantai (Yulisa et al., 2016). Alat
yang digunakan yaitu tongkat dan roll meter.
2) Tipe pantai
Melakukan pengamatan secara langsung pada material dasar
pantai yang ada di lokasi stasiun penelitian.
3) Lebar pantai
Melakukan pengukuran yang dimulai dari batas terakhir
vegetasi yang ada sampai dengan batas pasang tertinggi laut.
Alat yang digunakan yaitu roll meter.
4) Material dasar perairan
Melakukan pengamatan secara langsung pada material dasar di
wilayah perairan. Untuk kategori kawasan rekreasi pantai,
material dasar pasir putih lebih baik dibandingkan dengan
lumpur. Hal ini dikarenakan material berlumpur
mempengaruhi tingkat kejernihan perairan di pantai
(Ramadhan et al., 2014).
5) Kecepatan arus
Nilai kecepatan arus permukaan diperoleh menggunakan
pelampung (botol) yang diikat menggunaskan tali sepanjang 5
meter. Kemudian pelampung diapungkan di atas permukaan
air dan dihitung menggunakan stopwatch waktu yang
60
dibutuhkan agar tali menegang. Percobaan dilakukan
sebanyak 3 kali. Selanjutnya dihitung dengan persamaan
berikut:
Varus = panjang tali (meter)
waktu (detik)
6) Kemiringan pantai
Tingkat kemiringan pantai diukur secara tegak lurus terhadap
garis pantai, dimulai dari batas vegetasi terakhir sampai
dengan batas air laut. Alat yang digunakan yaitu roll meter,
tongkat dan selang waterpass untuk menjaga pengukuran
dalam keadaan sehorizontal mungkin. Kemiringan pantai yang
sesuai untuk kawasan rekreasi pantai memiliki nilai 10-20o
atau landai (Yulianda, 2007). Pengukuran kemiringan pantai
dilakukan setiap jarak 3 m.
Kemiringan pantai = tan-1 = v
h
Gambar 26. Ilustrasi Pengukuran Kemiringan Pantai.
v
h
x
61
7) Kecerahan perairan
Nilai kecerahan perairan diperlukan dalam mengetahui tingkat
visibility saat melakukan kegiatan wisata di dalam air, seperti
snorkeling dan selam. Alat yang digunakan yaitu secchi disk
dan roll meter. Untuk kedalaman 1,5-5 m maka digunakan
ukuran secchi disk dengan diameter 200 mm. Pertama-tama,
secchi disk ditenggelamkan hingga tidak tampak dari
permukaan, tandai tali pada batas air dan catat sebagai D1.
Kemudian secara perlahan angkat kembali hingga tampak dari
permukaan, catat sebagai D2. Percobaan dilakukan sebanyak 3
kali. Selanjutnya nilai kecerahan dapat dihitung dengan rumus
berikut:
Kecerahan = D2
D1 × 100%
Gambar 27. Ilustrasi Pengukuran Kecerahan Perairan.
8) Penutupan lahan pantai
Penutupan lahan pantai yang dimaksud adalah penutupan oleh
vegetasi yang ada. Untuk rekreasi pantai, maka jenis vegetasi
D1
D2
62
yang ada bukan yang dapat mengganggu aktifitas wisata yang
dilakukan oleh pengunjung. Vegetasi pesisir seperti pohon
kelapa merupakan vegetasi yang paling cocok sebagai kawasan
rekreasi pantai. Selain itu, dengan adanya vegetasi pohon
kelapa maka semakin memperindah pemandangan di kawasan
objek wisata.
9) Biota berbahaya
Melakukan pengamatan secara langsung dengan snorkeling
pada wilayah pantai dan melakukan wawancara dengan
kelompok selam yang ada di Pulau Tegal. Hal ini untuk
mengetahui macam-macam biota berbahaya yang ada,
terutama yang berbahaya bagi wisata.
10) Ketersediaan air tawar
Melakukan pengukuran jarak dari lokasi penelitian ke sumber
air tawar yang ada. Dalam pengembangan wisata daerah
pantai, ketersediaan air tawar sangat berpengaruh dalam
mendukung aktifitas pengunjung. Air tawar digunakan untuk
kegiatan bilas, mandi, cuci dan sebagainya. Alat yang
digunakan yaitu GPS.
b. Analisis IKW Kategori Wisata Mangrove
Indeks kesesuaian wisata untuk kategori wisata mangrove memiliki
5 parameter di dalamnya yang mengacu pada Yulianda (2007).
Nilai Nmaks dari keseluruhan parameter yaitu 39. Matriks
63
kesesuaian wisata kategori wisata mangrove dapat dilihat pada
Tabel 5. Adapun keterangan dari setiap parameter yaitu:
1) Ketebalan mangrove
Melakukan pengukuran secara tegak lurus dari batas terluar
mangrove (ke arah daratan) hingga ke batas air laut atau
pasang tertinggi air laut. Alat yang digunakan yaitu roll meter
dan patok kayu.
Gambar 28. Ilustrasi Pengukuran Ketebalan Mangrove.
2) Kerapatan mangrove
Untuk menghitung nilai kerapatan dari mangrove yang ada di
Pulau Tegal, digunakan metode Sensus. Metode ini digunakan
untuk menghitung jumlah atau individu dari mangrove secara
keseluruhan karena luasannya yang kecil, sehingga didapatkan
satuan dari data yang diperoleh yaitu individu/luasan (Onrizal,
2008). Umumnya luasan yang digunakan untuk menghitung
kerapatan dalam suatu petak contoh yaitu 10 m x 10 m.
Namun dalam kondisi yang tidak memungkinkan dapat dipakai
luasan hutan mangrove yang ada sebagai satu petak contoh.
x
64
Gambar 29. Ilustrasi Kerapatan Mangrove.
3) Jenis mangrove
Melakukan pengamatan secara langsung dan dokumentasi
berupa foto terhadap jenis-jenis mangrove yang ada di lokasi
penelitian. Alat yang digunakan yaitu kamera.
4) Pasang surut
Melakukan pengukuran selisih dari elevasi muka air laut pada
kondisi pasang dan surut. Alat yang digunakan yaitu roll
meter dan patok kayu. Cara pengukuran perbedaan elevasi
serupa dengan cara mengukur kemiringan pantai.
5) Obyek biota
Melakukan pengamatan secara langsung pada kawasan hutan
mangrove untuk mengamati biota-biota yang ada, selain itu
juga dilakukan wawancara terhadap masyarakat sekitar.
c. Analisis IKW Kategori Wisata Lamun
Indeks kesesuaian wisata untuk kategori wisata lamun memiliki 7
parameter di dalamnya yang mengacu pada Yulianda (2007). Nilai
Nmaks dari keseluruhan parameter yaitu 51. Matriks kesesuaian
Laut
Darat Individu Mangrove
65
wisata kategori wisata lamun dapat dilihat pada Tabel 6. Adapun
keterangan dari masing-masing parameternya yaitu:
1) Tutupan lamun
Pengukuran nilai tutupan lamun diperoleh menggunakan
metode transek kuadrat. Digunakan tiga garis transek
sepanjang 100 m, dengan jarak antara garis transek yaitu 50 m,
sehingga total luasannya yaitu 100 × 100 m. Transek dimulai
di titik awal vegetasi lamun ditemukan dan tegak lurus dengan
garis pantai. Skema transek kuadrat untuk menghitung tutupan
lamun dapat dilihat pada Gambar 14 dan kuadrat transek dapat
dilihat pada Gambar 15. Kemudian dilakukan perhitungan
tutupan lamun dengan rumus berikut:
Tutupan = Jumlah tutupan lamun seluruh transek
Jumlah kuadrat seluruh transek×100%
2) Kecerahan perairan
Alat yang digunakan yaitu secchi disk dan roll meter. Untuk
kedalaman 1,5-5 m maka digunakan ukuran secchi disk dengan
diameter 200 mm. Lakukan percobaan sebanyak 3 kali.
Lamun merupakan tumbuhan yang berfotosintesis, oleh karena
itu lamun umumnya tumbuh di perairan yang cerah dan
dangkal, sehingga kebutuhan akan sinar matahari dapat
diperoleh.
66
3) Jenis ikan
Melakukan pengamatan secara langsung pada kawasan lamun
untuk mengamati biota-biota yang ada, melakukan wawancara
terhadap kelompok selam dan Dinas yang berkaitan.
4) Jenis lamun
Melakukan pengamatan secara langsung dan dokumentasi
berupa foto terhadap jenis-jenis lamun yang ada di lokasi
penelitian. Alat yang digunakan yaitu kamera.
5) Jenis substrat
Melakukan pengamatan secara langsung pada jenis substrat di
sekitar lamun. Tipe substrat mempengaruhi kecerahan
perairan yang ada, sehingga dapat berdampak pada keberadaan
vegetasi padang lamun.
6) Kecepatan arus
Nilai kecepatan arus diperoleh menggunakan pelampung
(botol) yang diikat menggunakan tali sepanjang 5 meter.
Kemudian pelampung diapungkan di atas permukaan air dan
dihitung menggunakan stopwatch waktu yang dibutuhkan agar
tali menegang.
7) Kedalaman lamun
Melakukan pengukuran kedalaman perairan di tempat vegetasi
padang lamun berada, yaitu pada titik awal lamun ditemukan
dari garis pantai. Umumnya vegetasi padang lamun berada
pada perairan yang dangkal. Pengukuran dilakukan pada batas
67
awal vegetasi lamun dijumpai. Alat yang digunakan yaitu
tongkat kayu dan roll meter.
d. Analisis IKW Kategori Wisata Selam dan Snorkeling
Indeks kesesuaian untuk objek wisata terumbu karang dibagi ke
dalam dua jenis wisata, yaitu selam dan snorkeling yang mengacu
pada Yulianda (2007). Wisata selam memiliki 6 parameter dengan
nilai Nmaks sebesar 54, sementara wisata snorkeling memiliki 7
parameter dengan nilai Nmaks sebesar 57. Matriks kesesuaian
wisata kategori wisata selam dan snorkeling dapat dilihat pada
Tabel 7-8. Adapun keterangan dari setiap parameter yaitu:
1) Kecerahan perairan
Alat yang digunakan yaitu secchi disk dan roll meter. Untuk
kedalaman 1,5-5 m maka digunakan ukuran secchi disk dengan
diameter 200 mm. Lakukan percobaan sebanyak 3 kali.
2) Tutupan komunitas karang
Menggunakan metode Line Intersect Transect (LIT), dimana
digunakan tali sepanjang 50 m di sepanjang hamparan karang,
kemudian memberikan tanda pada tali yang mewakili dari
keberadaan terumbu karang tersebut. Selanjutnya diukur
panjang dari tali yang mewakili terumbu karang (D1) dan
panjang tali yang tidak ada terumbu karang (D2). Persentase
tutupan komunitas karang dihitung dengan persamaan berikut:
Tutupan Komunitas Karang = D1
D2 × 100%
68
3) Jenis lifeform
Lifeform merupakan ekosistem terumbu karang yang
membentuk suatu koloni, umumnya dalam satu koloni hanya
terdapat 1 jenis karang dikarenakan setiap karang memiliki
karakteristik pertumbuhan yang berbeda. Bentuk lifeform
dapat dipengaruhi oleh kondisi perairan yang ada, baik arus
dan kecerahan perairan. Jenis lifeform didapatkan melalui
pengamatan secara langsung di lokasi terumbu karang dan
wawancara terhadap kelompok selam.
4) Jenis ikan karang
Melakukan pengamatan secara langsung secara snorkeling
pada terumbu karang di sepanjang garis transek metode LIT,
yaitu sepanjang 50 m. Selain itu juga dilakukan wawancara
terhadap kelompok selam yang ada di Pulau Tegal dan Dinas
terkait untuk memperoleh data ikan karang yang lebih lengkap.
5) Kecepatan arus
Nilai kecepatan arus diperoleh menggunakan pelampung
(botol) yang diikat menggunakan tali sepanjang 5 meter.
Kemudian pelampung diapungkan di atas permukaan air dan
dihitung menggunakan stopwatch waktu yang dibutuhkan agar
tali menegang.
6) Kedalaman
Melakukan pengukuran kedalaman perairan di lokasi terumbu
karang berada. Kedalaman terumbu karang diukur di titik awal
69
terumbu karang ditemukan dari garis pantai. Alat yang
digunakan yaitu roll meter dan pemberat.
7) Lebar hamparan karang
Melakukan pengukuran lebar terumbu karang yang ada
menggunakan alat bantu GPS. Lebar hamparan karang
merupakan lebar garis karang yang sejajar dengan garis pantai.
Semakin lebar hamparan terumbu karang, maka semakin tinggi
kesesuaian kawasan tersebut untuk dijadikan sebagai objek
wisata terumbu karang (snorkeling atau diving).
3. Analisis Kawasan Ekowisata Bahari Menggunakan SIG
Pengembangan kawasan ekowisata bahari berbasis pada ilmu Teknik
Sipil merupakan cara untuk mengembangkan produktivitas objek wisata
bahari sekaligus sebagai upaya untuk meminimalisir kerugian yang
terjadi. Hal ini berkaitan dengan pembangunan konstruksi pada
kawasan pesisir dan aktivitas manusia yang berdampak buruk bagi
keanekaragaman hayati maupun secara fisik terhadap lingkungan di
sekitarnya (Azhari, 2018). Sejalan dengan prinsip ekowisata bahari
yaitu pengembangan yang dilakukan secara berkelanjutan,
pembangunan kawasan dilakukan dilakukan terus menerus dengan
memperhatikan aturan-aturan terdahulu.
Kesesuaian kawasan ekowisata menentukan pelaksanaan dari suatu
fasilitas, objek wisata maupun aktivitas yang akan dilakukan. Melalui
hasil dari pemetaan yang dilakukan diharapkan mampu membantu
70
dalam hal pengembangan kawasan ekowisata dengan konsep
keberlanjutan. Dalam menentukan kategori kesesuaian wisata yang ada
di Pulau Tegal, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung sangat
dipengaruhi oleh keadaan fisik kawasan. Data-data yang diperoleh
berdasarkan parameter kesesuaian digunakan sebagai pelengkap
informasi dalam pemetaan. Kemudian dilakukan digitasi menggunakan
software Quantum GIS dan didapatkan hasil akhir berupa peta digital
kawasan ekowisata bahari di Pulau Tegal, Kabupaten Pesawaran,
Provinsi Lampung.
F. Metode Penyajian Data
Penyajian data yang didapatkan dalam penelitian ini selanjutnya akan diolah
dan diinformasikan ke dalam bentuk peta digital sistem informasi geografis.
Adapun metode penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Metode penyajian data
No Bentuk Data Keterangan
1 Grafik Digunakan untuk menunjukkan tingkatan atau kondisi sebuah
perkembangan yang memiliki nilai sehingga diketahui
perkembangan sebuah kondisi atau proporsi sebuah kondisi yang
dapat ditampilkan dalam diagram yang memiliki nilai.
2 Peta digital Digunakan untuk menunjukkan sebuah kondisi secara spasial
sehingga jelas batasan wilayah yang diambil. Data-data yang dapat
dipetakan memuat informasi-informasi mengenai ekowisata bahari.
3 Tabel Digunakan untuk menunjukkan data-data yang sifatnya tabular
seperti data statistik.
71
G. Diagram Alir Penelitian
Gambar 30. Diagram Alir Penelitian.
127
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kawasan ekowisata
bahari di Pulau Tegal, Kabupaten Pesawaran dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemetaan objek dan kawasan wisata di Pulau Tegal telah berhasil
dilakukan menggunakan perangkat lunak Quantum GIS yang dapat
diakses pada website https://tegalmas.000webhostapp.com. Adapun
tampilan peta SIG Pulau Tegal ditunjukkan pada Gambar 57.
2. Objek yang didigitasi dalam website peta SIG Pulau Tegal terdiri dari
pantai, mangrove, lamun, terumbu karang, penginapan
(villa/cottage/lombok), gazebo, warung, toilet, restoran, masjid,
dermaga, jalan akses dan rumah warga.
3. Informasi yang disajikan dalam website peta SIG yaitu parameter
kesesuaian, indeks kesesuaian wisata, daya dukung kawasan dan foto
objek wisata.
128
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kawasan ekowisata
bahari di Pulau Tegal, Kabupaten Pesawaran maka dapat direkomendasikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Penyediaan sarana dan prasarana wisata harus memperhatikan aspek-
aspek lingkungan yang ada, dimana masih terdapat beberapa bangunan
yang dibangun dekat dengan garis pantai. Hal ini perlu dilakukan
dalam mencegah kerusakan kawasan sekitar akibat pembangunan dan
mengurangi kerusakan bangunan akibat pengaruh air laut.
2. Diperlukan penataan kawasan ekowisata bahari dengan melakukan
pembagian zona kawasan seperti zona inti, zona khusus, zona
penyangga dan zona pemanfaatan. Hal ini diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan alam yang ada.
3. Perlu adanya kegiatan penanaman dan konservasi kawasan hidup
mangrove mengingat jumlah mangrove yang ada relatif sedikit di
beberapa titik yang ditemukan.
4. Disarankan adanya penelitian lanjutan mengenai perhitungan nilai
indeks kesesuaian objek wisata menggunakan metode yang berbeda.
Sehingga dapat dibandingkan hasil penelitian melalui parameter
kesesuaian yang beragam.
5. Dilakukan pengembangan terhadap tampilan antarmuka pengguna (user
interface) website sehingga menjadi lebih menarik dan informatif.
129
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, D. 2016. Pengembangan Wisata Bahari di Pesisir Pantai Teluk
Lampung. Jurnal Destinasi Kepariwisataan Indonesia. 1:45–65.
Anggraini, D. R., Damai, A. A., dan Hasani, Q. 2018. Analisis Kesesuaian
Perairan untuk Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) di
Perairan Pulau Tegal Teluk Lampung. E-Jurnal Rekayasa dan Teknologi
Budidaya Perairan. 6:719–728. https://doi.org/10.23960/jrtbp.v6i2.p719-
728
Arief, M. 2013. Metode Deteksi Terumbu Karang dengan Menggunakan Data
Satelit Spot dan Pengukuran Spektrofotometer Studi Kasus: Perairan Pantai
Ringgung, Kabupaten Pesawaran. Jurnal Penginderaan Jauh. 10:71–82.
Arini, D. I. D. 2013. Potensi Terumbu Karang Indonesia “Tantangan dan Upaya
Konservasinya.” INFO BPK Manado. 3:147–173.
Asmin, F. 2017. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan : Dimulai dari
Konsep Sederhana. Padang. 66 hlm.
Azhari, K. F. P. 2018. Analisis Indeks Kesesuaian Ekowisata Bahari (Studi Kasus
di Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan) (Skripsi). Universitas
Lampung. Bandar Lampung. 121 hlm.
Azkab, M. H. 2006. Ada Apa Dengan Lamun. Oseana. 31:45–55.
Azkab, M. H. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana. 24:1–16.
Bibin, M., Vitner, Y., dan Imran, Z. 2017. Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung
Wisata Kawasan Pantai Labombo Kota Palopo. Jurnal Pariwisata. 4:94–102.
Binawati, D. K., Widsyastuty, A. A. S. A., Widyastuti, S., dan Nurhayati, I. 2015.
Konservasi Hutan Mangrove untuk Meningkatkan Perekonomian Masyarakat
Kawasan Pesisir di Pulau Mengare Kec. Bungah Kab. Gresik Propinsi Jawa
Timur. Prosiding Seminar Nasional. 1:311–319.
Bricker, K. 2017. Travel and Tourism Research Association: Advancing Tourism
Research Globally. The International Ecotourism Society. 1:1–10.
130
Burke, L., Reytar, K., Spalding, M., dan Perry, A. 2012. Menengok Kembali
Terumbu Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang. World
Resources Institute, Washington DC. 76 hlm.
Bustaman, J. P. 2014. Keanekaragaman Fauna Vertikal pada Mangrove Kawasan
Suaka Margasatwa Mampie Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali
Mandar (Skripsi). Universitas Hasanuddin. Makassar. 80 hlm.
Chen, N., Li, H., and Wang, L. 2009. A GIS-based Approach for Mapping Direct
Use Value of Ecosystem Services at a County Scale: Management
Implications. Ecological Economics. 68:2768–2776.
https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2008.12.001
Chhetri, P., and Arrowsmith, C. 2008. GIS-based Modelling of Recreational
Potential of Nature-Based Tourist Destinations. Tourism Geographies.
10:233–257. https://doi.org/10.1080/14616680802000089
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P., dan Sitepo, M. I. 2008. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita,
Jakarta. 328 hlm.
Dharmawan, I. W. E., dan Pramudji. 2014. Panduan Monitoring Status Ekosistem
Mangrove. PT. Sarana Komunikasi Utama, Jakarta. 35 hlm.
Direktorat Jenderal Pariwisata, Depparsenibud RI. 1998. Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Nasional 1998 (Laporan Akhir). Direktorat
Jenderal Pariwisata - Euro Asia Management. 1.
Djohan, T. S. 2007. Distribusi Hutan Bakau di Laguna Pantai Selatan Yogyakarta.
Jurnal Manusia dan Lingkungan. 14:15–25.
Djou, J. A. G. 2013. Pengembangan 24 Destinasi Wisata Bahari Kabupaten Ende.
Kawistara. 3:1–116. https://doi.org/10.1016/S0375-9601(97)00922-5
Domo, A. M., Zulkarnaini, dan Yoswaty, D. 2017. Analisis Kesesuaian dan Daya
Dukung Kawasan Wisata Pantai (Studi Pantai Indah Sergang Laut di Pulau
Singkep). Dinamika Lingkungan Indonesia. 4:109–116.
Donato, D. C., Kauffman, J. B., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M., dan
Kanninen, M. 2012. Mangrove adalah Salah Satu Hutan Terkaya Karbon di
Kawasan Tropis. CIFOR Brief. 13:1-12.
Ferdiansyah, D. A. 2019. Studi Pengembangan Ekowisata Bahari Secara Terpadu
Berbasis Sistem Informasi Geografis dan Drone (Studi Kasus di Kabupaten
Lampung Selatan) (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 140
hlm.
Ghufrona, R. R., Kusmana, C., dan Rusdiana, O. 2015. Komposisi Jenis dan
Struktur Hutan Mangrove di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan. Jurnal
Silvikultur Tropika. 6:15–26.
131
Giyanto, Manuputty, A. E.W., M., Abrar, M., Siringoringo, R. M., Suharti S. R.,
Wibowo, K., Edrus, I. N., Arbi, U. Y., Cappenberg, H. A. W., Sihaloho, H.
F., Tuti, Y., dan Zulfianita, D. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan
Terumbu Karang. PT. Sarana Komunikasi Utama, Jakarta. 31 hlm.
Haryanto, J. T. 2016. Model Pengembangan Ekowisata dalam Mendukung
Kemandirian Ekonomi Daerah Studi Kasus Provinsi DIY. Jurnal Kawistara.
4:225–330. https://doi.org/10.22146/kawistara.6383
Hawkins, J. P., and Roberts, C. M. 1993. Effects of Recreational Scuba Diving on
Coral Reefs: Trampling on Reef-Flat Communiti. The Journal of Applied
Ecology. 30:25–30. https://doi.org/10.2307/2404267
Hidayat, T., dan Tarmuji, A. 2013. Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan
Lokasi TK Aisyiyah Bustanul Athfal di Aisyiyah DIY. Jurnal Sarjana
Teknik Informatika. 1:457–464.
Hutomo, M., dan Azkab, M. H. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut
Dangkal. Oseana. 12:13–23.
Kementerian Dalam Negeri. 2009. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.33 Tahun
2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah. Kementerian
Dalam Negeri, Jakarta.
Koroy, K., Yulianda, F., dan Butet, N. A. 2017. Pengembangan Ekowisata Bahari
Berbasis Sumberdaya Pulau- Pulau Kecil di Pulau Sayafi dan Liwo,
Kabupaten Halmahera Tengah. Jurnal Teknologi Perikanan Dan Kelautan.
8:1–17.
Lasabuda, R. 2013. Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan Dalam Perspektif
Negara Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax. 1:92–101.
Lasibani, S. M., dan Kamal, E. 2009. Pola Penyebaran Pertumbuhan “Progaul”
Mangrove Rhizophoraceae di Kawasan Pesisir Sumatera Barat. Jurnal
Mangrove dan Pesisir. 10:33–38.
Latuconsina, H. 2011. Kompoisi Jenis dan Struktur Komunitas Ikan Padang
Lamun di Perairan Pantai Lateri Teluk Ambon Dalam. Jurnal Ilmiah
Agribisnis dan Perikanan. 4:30–36.
Latuconsina, H., dan Dawar, L. 2012. Telaah Ekologi Komunitas Lamun
(Seagrass) Perairan Pulau Osi Teluk Kotania Kabupaten Seram Bagian
Barat. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 5:12–19.
Lestari, M. 2014. Perancangan Sistem Informasi Geografis Goa-Goa di Indonesia.
Faktor Exacta. 7:98–112.
Lestari, R. M. 2010. Fungsi Lamun (Seagrass) sebagai Nursery Ground dalam
Menunjang Stok Sumberdaya Ikan di Pulau Harapan dan Pulau Kelapa Dua,
Kepulauan Seribu, Jakarta. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 68 hlm.
132
Nafi, M., Supriyadi, B., dan Roedjinandari, N. 2017. Pengembangan Ekowisata
Daerah. Buku Bunga Rampai. 1:38–45.
Nahuelhual, L., Carmona, A., Lozada, P., Jaramillo, A., and Aguayo, M. 2013.
Mapping Recreation and Ecotourism as a Cultural Ecosystem Service: An
Application at the Local Level in Southern Chile. Applied Geography.
40:71–82. https://doi.org/10.1016/j.apgeog.2012.12.004
Noor, Y. R., Khazali, M., dan Suryadiputra, I. N. N. 2006. Pengenalan Mangrove
di Indonesia. Green Coast, Bogor. 220 hlm.
Onrizal. 2008. Panduan Pengenalan dan Analisis Vegetasi Hutan Mangrove.
Universitas Sumatera Utara. Medan. 19 hlm.
Oriana, N., Nurruhwati, I., Riyantini, I., dan Yuliadi, L. P. S. 2017. Kelimpahan
Foraminifera Bentik Berdasarkan Komposisi Dinding Cangkang di Perairan
Pulau Tegal, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Jurnal Perikanan
Dan Kelautan. 8:1–8.
Pratiwi, R. 2010. Asosiasi Krustasea di Ekosistem Padang Lamun Perairan Teluk
Lampung. Ilmu Kelautan. 15:66–76.
Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada (PUSPAR UGM). 2005. Potensi
Objek Wisata (Online) https://puspar.ugm.ac.id/category/publikasi/. Diakses
pada 30 April 2019.
Rahmawati, S., Irawan, A., Supriyadi, I. H., & Azkab, M. H. 2014. Panduan
Monitoring Padang Lamun (Malikusworo Hutomo & A. Nontji, Eds.).
Jakarta: PT. Sarana Komunikasi Utama.
Rahmayanti, Y. D., dan Pinasti, V. I. S. 2013. Dampak Keberadaan Objek Wisata
Waduk Sermo Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Di Sermo,
Kulon, Progo, Daerah Istemewa Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Sosiologi.
1:1–15.
Ramadhan, S., Patana, P., dan Harahap, Z. A. 2014. Analisis Kesesuaian dan
Daya Dukung Kawasan Wisata Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai.
Jurnal Aquacoastmarine. 5:31–43. https://doi.org/10.7498/aps/62.010302
Riadi, B., Syafi’i, A., dan Widodo, H. M. 2011. Pembangunan Sistem Informasi
Spasial: Studi Kasus Kabupaten Pidiejaya, Provinsi Aceh. Jurnal Globe.
13:69–76.
Riniatsih, I., dan Munasik, M. 2017. Keanekaragaman Megabentos yang
Berasosiasi di Ekosistem Padang Lamun Perairan Wailiti, Maumere
Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Kelautan Tropis. 20:55–59.
https://doi.org/10.14710/jkt.v20il.1357
133
Riyanto, Hamzari, dan Golar. 2014. Analisis Pembangunan Ekowisata di
Kawasan Taman Hutan Raya Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi
Kasus Pada Blok Pembangunan Wisata Ngata Baru Kabupaten Sigi). Warta
Rimba. 2:153–163.
Salim, H. L. dan Purbani, D. 2015. Pengembangan Pariwisata Bahari Berbasis
Masyarakat di Pulau Kaledupa, kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi
Tenggara. Jurnal Manusia Dan Lingkungan. 22:380–387.
Saputra, A. D. dan Yulmaini. 2012. Perancangan Sistem Informasi Geografis
(SIG) Pariwisata di Provinsi Lampung. Jurnal Informatika. 12:136–145.
Saputra, F. A. 2018. Analisis Pemanfaatan dan Pembangunan Ekowisata Bahari
Berbasis Sistem Informasi Geografis dan Drone (Studi Kasus Kecamatan
Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan) (Skripsi). Universitas Lampung.
Bandar Lampung. 108 hlm.
Sawitri, R., Bismark, M. dan Karlina, E. 2013. Ekosistem Mangrove sebagai
Obyek Wisata Alam di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan di
Kota Tarakan. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam. 10:297–314.
Silaban, W. B. Y. 2018. Analisis Zonasi Ekowisata Bahari Berbasis Sistem
Informasi Geografis (Studi Kasus di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung).
Universitas Lampung. Bandar Lampung. 150 hlm.
Soebiyantoro, U. 2009. Pengaruh Ketersediaan Sarana Prasarana, Sarana
Transportasi Terhadap Kepuasan Wisatawan. Jurnal Manajemen Pemasaran.
4:16–22. https://doi.org/10.9744/pemasaran.4.1.pp.
Soyusiawaty, D., Umar, R. dan Mantofani, R. 2007. Sistem Informasi Geografis
Objek Wisata Propinsi Kepulauan Bangka Belitung Berbasis Web. Seminar
Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. 1:17–22.
Subdirektorat Publikasi dan Kompilasi Statistik. 2018. Statistik Indonesia 2018.
Badan Pusat Statistik, Jakarta. 719 hlm.
Suryadi, L. 2015. Rancang Bangun Sistem Informasi Monitoring Pelaksanaan
Pekerjaan Studi Kasus : Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Kota
Administrasi Jakarta Selatan dengan Metodologi Berorientasi Obyek.
Prosiding SENTIA 2015. 7:1-5.
Susanto, A., Kharis, A. dan Khotimah, T. 2016. Sistem Informasi Geografis
Pemetaan Lahan Pertanian dan Komoditi Hasil Panen Kabupaten Kudus.
Jurnal Informatika. 10:1233–1243. https://doi.org/10.26555/jifo.v10i2.a5065
Tangke, U. 2010. Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi dan Rehabilitasi).
Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 3:9–29.
134
Titaheluw, S. S. dan Ira. 2012. Status Terumbu Karang dan Ikan Karang di
Perairan Sidodadi dan Pulau Tegal Provinsi Lampung. Jurnal Aqua Hayati.
9:1–11. https://doi.org/10.29239/j.agrikan.10.1.27-33
TIES (The International Ecotourism Society). 2015. The Definition (Online)
http://www.ecotourism.org/what-is-ecotourism. Diakses pada 25 April 2019.
Tomlinson, P. B. 1974. Vegetative Morphology and Meristem Dependence - The
foundation of Productivity in Seagrasses. Aquaculture. 4:107–130.
https://doi.org/10.1016/0044-8486(74)90027-1
Trigantiarsyah, R. dan Mulyadi, H. 2012. Pengembangan Produk Wisata dengan
Menggunakan Teknik Tourism Opportunity Spectrum Terhadap Keputusan
Berkunjung (Survei Pada Pengunjung Cukang Taneuh/Green Canyon
Kabupaten Ciamis). Tourism and Hospitality Essentials (THE) Journal.
2:157–178.
Utomo, B., Budiastuty, S. dan Muryani, C. 2018. Strategi Pengelolaan Hutan
Mangrove di Desa Tanggul Tlare Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara.
Jurnal Ilmu Lingkungan. 15:117–123. https://doi.org/10.14710/jil.15.2.117-
123
World Tourism Organization. 2018. Ecotourism and protected areas (Online)
http://sdt.unwto.org/content/ecotourism-and-protected-areas. Diakses pada
20 April 2019.
Yulianda, F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya
Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sain Departemen MSP FPIK IPB. 1:1-
27.
Yuliani, W., Ali S., M. dan Saputri, M. 2016. Pengelolaan Ekosistem Terumbu
Karang oleh Masyarakat di Kawasan Lhokseudu Kecamatan Leupung
Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Biologi. 1:1–9.
https://doi.org/10.3929/ethz-b-000238666
Yulisa, E. N., Johan, Y. dan Hartono, D. 2016. Analisis Kesesuaian dan Daya
Dukung Ekowisata Pantai Kategori Rekreasi Pantai Laguna Desa Merpas
Kabupaten Kaur. Jurnal Enggano. 1:97–111.
https://doi.org/10.31186/jenggano.1.1.97-111
Yulius, Rahmania, R., Kadarwati, U. R., Ramdhan, M., Khairunnisa, T.,
Saepuloh, D., Subandrio, J. dan Tussadiah, A. 2018. Panduan Buku (Kriteria
Penetapan Zona Ekowisata Bahari). PT Penerbit IPB Press, Bogor. 95 hlm.
https://doi.org/10.5281/zenodo.1412165
Yusendra, M. A. E. 2015. Kajian Strategis Destinasi Wisata Pantai Sari Ringgung
Pesawaran Lampung dengan Analisis SWOT. Jurnal Manajemen dan Bisnis.
5:133–152.
135
Yustinaningrum, D. 2017. Pengembangan Wisata Bahari di Taman Wisata
Perairan Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya. Jurnal Ilmu Pertanian Agrika.
11:96–111.