18
PEMETAAN KERAWANAN BANJIR DI DAS LOJOHAN, KABUPATEN BATANG, JAWA TENGAH BERBASIS KONDISI FISIK WILAYAH 1) Slamet Suprayogi, 2) Hendy Fatchurohman, 3) Adziky Samaawa, 4) Nur Wiryanti Sih A 1),3),4) Jurusan Geografi Lingkungan Universitas Gadjah Mada, 2) Master Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Email: 1) [email protected] 2) [email protected] Berkembangnya industri perkapalan di sekitar muara Sungai Sambong, Kabupaten Batang, Jawa Tengah menyebabkan beberapa masalah. Saluran sungai yang menjadi outlet utama DAS Lojohan menjadi terganggu dan memicu terjadinya genangan. Meningkatnya laju perubahan penggunaan lahan di daerah hulu meningkatkan aliran permukaan dan mempercepat waktu konsentrasi banjir puncak. Kondisi tersebut menjadi penyebab utama banjir pada hilir Sungai Sambong yang menimbulkan genangan sehingga mengganggu beberapa aktivitas warga. Tingginya curah hujan juga menyebabkan genangan di beberapa tempat. Penelitian ini dilakukan di DAS Lojohan, Kabupaten Batang, Jawa Tengah dengan tujuan : (1) mengidentifikasi karakter fisik dan jenis bahaya banjir yang terdapat di DAS Lojohan dan (2) memetakan tingkat kerawanan bencana banjir secara spasial di DAS Lojohan. Metode penelitian mencakup beberapa tahap mulai dari pengumpulan data, pemrosesan, hingga hasil akhir dalam penentuan daerah rawan bencana. Analisis tingkat kerawanan bencana banjir dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) melalui pengharkatan beberapa parameter yang berpengaruh terhadap bencana tersebut. Hasil skoring parameter fisik menghasilkan tiga kelas kerawanan banjir yaitu rendah, sedang dan tinggi. Daerah yang masuk pada kelas kerawanan tinggi terkonsentrasi di daerah hilir Sungai Sambong. Daerah dataran fluviomarin yang seluruhnya berada di lowland area menjadi daerah yang paling rawan terhadap bencana banjir. Kata kunci : kerawanan banjir, karakter fisik wilayah, DAS Lojohan

PEMETAAN KERAWANAN BANJIR DI DAS LOJOHAN, KABUPATEN BATANG, JAWA TENGAH BERBASIS KONDISI FISIK WILAYAH

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hibah Penelitian Dosen dan Mahasiswa

Citation preview

PEMETAAN KERAWANAN BANJIR DI DAS LOJOHAN, KABUPATEN BATANG, JAWA TENGAH BERBASIS KONDISI FISIK WILAYAH1)Slamet Suprayogi, 2)Hendy Fatchurohman, 3)Adziky Samaawa,4) Nur Wiryanti Sih A

1),3),4) Jurusan Geografi Lingkungan Universitas Gadjah Mada, 2) Master Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai, Fakultas Geografi Universitas Gadjah MadaEmail: 1) [email protected] 2) [email protected]

Berkembangnya industri perkapalan di sekitar muara Sungai Sambong, Kabupaten Batang, Jawa Tengah menyebabkan beberapa masalah. Saluran sungai yang menjadi outlet utama DAS Lojohan menjadi terganggu dan memicu terjadinya genangan. Meningkatnya laju perubahan penggunaan lahan di daerah hulu meningkatkan aliran permukaan dan mempercepat waktu konsentrasi banjir puncak. Kondisi tersebut menjadi penyebab utama banjir pada hilir Sungai Sambong yang menimbulkan genangan sehingga mengganggu beberapa aktivitas warga. Tingginya curah hujan juga menyebabkan genangan di beberapa tempat. Penelitian ini dilakukan di DAS Lojohan, Kabupaten Batang, Jawa Tengah dengan tujuan : (1) mengidentifikasi karakter fisik dan jenis bahaya banjir yang terdapat di DAS Lojohan dan (2) memetakan tingkat kerawanan bencana banjir secara spasial di DAS Lojohan. Metode penelitian mencakup beberapa tahap mulai dari pengumpulan data, pemrosesan, hingga hasil akhir dalam penentuan daerah rawan bencana. Analisis tingkat kerawanan bencana banjir dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) melalui pengharkatan beberapa parameter yang berpengaruh terhadap bencana tersebut. Hasil skoring parameter fisik menghasilkan tiga kelas kerawanan banjir yaitu rendah, sedang dan tinggi. Daerah yang masuk pada kelas kerawanan tinggi terkonsentrasi di daerah hilir Sungai Sambong. Daerah dataran fluviomarin yang seluruhnya berada di lowland area menjadi daerah yang paling rawan terhadap bencana banjir.

Kata kunci : kerawanan banjir, karakter fisik wilayah, DAS Lojohan

PENDAHALUANKabupaten Batang secara geografis terletak di wilayah kepesisiran utara Pulau Jawa dan berbatasan secara administratif dengan Kabupaten Pekalongan di sebelah Barat, Kabupaten Kendal di sebelah Timur, dan Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo di bagaian selatan. Sedangkan di sebelah utara berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Secara geografis, Kabupaten Batang sangat rawan terhadap berbagai macam bencana, antara lain banjir, longsorlahan, erosi pantai, dan rob. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa bencana (disaster) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Beberapa istilah yang sering digunakan terkait dengan bencana diantaranya risiko (risk), kerentanan (vulnerability), kerawanan (susceptibility) dan bahaya (hazard), namun demikian penelitian ini hanya dibatasi untuk membahas tentang kerawanan bencana banjir. Kerawanan adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).Lokasi rawan bencana di Kabupaten Batang meliputi beberapa wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Batang, Kecamatan Tulis, Kecamatan Subah, Kecamatan Gringsing, Kecamatan Bandar, Kecamatan Wonotunggal, Kecamatan Warungasem, Kecamatan Limpung, dan Kecamatan Blado. Kejadian bencana di Kabupaten Batang memiliki frekuensi yang relatif sama antara kejadian banjir dan longsorlahan pada kejadian 5 tahun terakhir. Bencana dengan korban cukup besar terjadi pada Kecamatan Batang, Kecamatan Tulis dan Kecamatan Subah yang mana sampai menimbulkan adanya korban jiwa. Konsep kerawanan bencana dijelaskan dalam UU No 24 Tahun 2007 yang berbunyi:

Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis,biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan,dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentuBerdasarkan kriteria tersebut maka dapat dikatakan bahwa sebagian wilayah Kabupaten Batang rawan terhadap bencana banjir karena beberapa karakteristik yang telah disebutkan. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, terutama memfokuskan hasil penelitian pada DAS Lojohan. DAS Lojohan terletak di bagian barat Kabupaten Batang dengan Sungai Sambong sebagai sungai utamanya. Kejadian banjir merupakan debit aliran air sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya/kondisi normal sebagai akibat dari hujan yang turun secara terus-menerus di wilayah hulu atau di tempat tertentu, sehingga tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada (Asdak,2007). Kondisi tersebut mengakibatkan air melimpah keluar dan menggenangi daerah di sekitarnya. Kejadian banjir di Kabupaten Batang disebabkan karena banjir kiriman yang dipengaruhi oleh kondisi lereng yang curam serta konversi lahan di bagian hulu. Kondisi tersebut dapat memicu banjir meskipun curah hujan tidak terlalu tinggi. Sebagai contoh, kondisi biofisik Kecamatan Batang mempunyai bentuklahan berupa dataran dan dataran alluvial, jenis tanah alluvial, latosol dan regosol, penggunaan lahan dominan sawah dan pemukiman, dengan tingkat kelerengan landai (0 8%) sampai agak curam (16 25%) dan curah hujan 2000 3500 mm/tahun. Pada awal tahun 2014 terjadi banjir kota dan luapan sungai yang cukup besar di Kecamatan Batang seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 berikut : Gambar 1. Banjir yang terjadi di jalan gajag Mada,Batang(http://www.grupbatang.org/2014/01/banjir-besar-melanda-kabupaten-batang.html)Pada dasarnya hubungan antara curah hujan dengan tingginya limpasan permukaan tidaklah langsung. Seyhan (1990) menyebutkan bahwa beberapa faktor berperan diantara kedua proses tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain evaporasi, intersepsi, serta beberapa karakter geomorfologi seperti kemiringan, elevasi, geologi DAS, penggunaan lahan, dan beberapa faktor lain. Raharjo (2008) juga menyebutkan bahwa terdapat faktor-faktor fisik lahan yang berpengaruh terhadap kerawanan banjir di suatu daerah selain pengaruh hujan sebagai input utama. Dalam hal ini lebih ditekankan pada perbedaan bentuklahan yang memiliki kemampuan dan tingkat pemanfaatan berbeda. Bentuklahan merupakan salah satu wahana berlangsungnya siklus hidrologi sehingga memiliki keterkaitan dengan proses-proses yang terlibat di dalamnya. Parameter yang digunakan dalam penentuan kelas kerawanan tersebut didasarkan oleh karakter fisik lahan. Debit sungai diabaikan karena kontribusinya terhadap banjir genangan di Kabupaten Batang rendah jika dibandingkan dengan banjir genangan. Genangan yang terjadi di Kabupaten Batang cenderung dipengaruhi oleh saluran drainase dan kondisi fisik wilayah. Sebagai contoh, daerah dataran banjir yang berada di pinggir sungai dengan lereng yang datar menjadi rawan terhadap genangan. Daerah ini akan selalu tergenang saat terjadi banjir sungai. Kondisi daerah yang datar juga berpotensi menahan genangan karana saluran drainase yang buruk (Gambar 2).Selain kondisi bentuklahan, peranan penggunaan lahan terhadap terjadinya bencana banjir juga cukup besar. Penggunaan lahan merupakan parameter yang mempengaruhi kemampuan air untuk dapat mengalir pada permukaan dan meresap ke dalam tanah. Penggunaan lahan yang kaya akan vegetasi dapat menampung air hujan yang jatuh pada tajuk-tajuknya dan mampu meresapkan air ke dalam tanah dengan baik. Sedangkan penggunaan lahan permukiman mengakibatkan air hujan yang jatuh mengalir sebagai aliran permukaan karena permukaan tanah telah tertutup oleh bangunan dan kondisi tanah yang telah memadat sehingga sangat kecil air hujan yang mampu meresap ke dalam tanah (Asdak, 2007; Dewanto dkk, 2013).

Gambar 2. Salah satu dataran banjir yang cenderung mudah tergenang.

METODE PENELITIANPenyusunan metode pengukuran terhadap kerawanan bencana banjir dilakukan dalam beberapa tahap. Identifikasi karakter fisik dan jenis bahaya banjir perlu dilakukan untuk menentukan tingkat kerawanan bencana secara spasial. Analisis kerawanan bencana banjir tidak bisa dilakukan dalam unit analisis yang dibatasi secara administratif. Unit analisis yang akan digunakan adalah satuan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang masuk ke dalam batas administratif Kabupaten Batang. Sebelum menentukan skenario kerawanan bencana banjir, hal yang pertama dilakukan adalah membatasi DAS Lojohan. Batas DAS memang tidak selalu sesuai dengan batas administratif, sehingga memungkinkan terjadinya overlap penentuan batas DAS yang memotong batas administratif. Langkah selanjutnya adalah delineasi batas-batas bentuklahan yang berbeda. Parameter bentuklahan sangat penting karena akan memberi kontribusi yang signifikan terhadap genangan banjir. Sebagai contoh daerah dengan lereng datar akan lebih berpotensi tergenang daripada daerah yang memiliki lereng yang lebih curam. Pemetaan bentuklahan juga akan mempermudah pemberian harkat pada masing-masing parameter banjir genangan.Pemetaan kerawanan bahaya banjir genangan dilakukan dengan metode pengharkatan. Pemetaan dengan metode pengharkatan dilakukan dengan memberikan nilai untuk masing-masing parameter yang berpengaruh terhadap kerawanan bencana banjir. Berikut langkah yang dilakukan dalam penentuan kerawanan bencana banjir yang dikembangkan oleh Meijerink (1970) dalam Dibyosaputro (1998) :Memetakan kelas parameter yang berpengaruh dan memberikan harkat berdasarkan masing-masing parameter tersebut. Nilai harkat yang kecil menunjukkan bahwa parameter tersebut merupakan parameter yang paling berpengaruh. Nilai harkat untuk masing-masing parameter dijelaskan dalam Tabel 1 Tabel.4 berikutTabel1. Kemiringan LerengNoKemiringan (%)Kelas LerengHarkat

10-2Datar3

22-8Landai hingga agak miring2

3> 8Miring hingga sangat terjal1

Tabel 2. Kondisi DrainaseNoKondisi DrainaseKelas DrainaseHarkat

1Air permukaan tidak mudah kering, daerah tergenang, dalam jangka lama-terus menerusJelek3

2Air permukaan agak lambat mengering, daerah sering tergenang dalam waktu pendekSedang2

3Air permukaan cepat kering, tidak pernah tergenangBaik1

Tabel 3. Kelas BanjirNoFrekuensi BanjirKelas BanjirHarkat

1< 5 tahun sekaliSangat sering4

25-10 tahun sekaliAgak sering3

310-25 tahun sekaliJarang2

4> 25 tahun sekaliSangat jarang - tidak pernah banjir1

Tabel 4. Lama Genangan BanjirNoLama Genangan BanjirKriteriaHarkat

1>15 hariSangat lama5

27-15 hariLama4

32-6 hariCukup lama3

41-2 hariAgak lama2

5< 1 hariSebentar - tidak pernah tergenang1

Berdasarkan pemberian harkat pada masing-masing parameter di atas maka dirumuskan:Jumlah parameter = 4,Jumlah nilai terendah (Htr) = 4,Jumlah nilai tertinggi (Htt) = 15, dan Jumlah kelas yang diinginkan (K) = 3.Dengan menggunakan rumus interval kelas = (Htt Htr) / K, maka diperoleh nilai interval 4. Oleh karena itu, kelas kerawanan banjir dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kelas Kerawanan BanjirNoKelasJumlah SkorKeterangan

1Tidak rawan4-7Daerah tidak pernah banjir dan apabila banjir kurang dari 1 hari dan cepat kering

2Kerawanan sedang8-11Daerah dengan banjir secara periodik (5 -25 tahun sekali), dengan lama waktu genangan antara 2 15 hari

3Kerawanan tinggi12-15Daerah dengan banjir secara terus menerus pada setiap musim hujan dengan frekuensi banjir < 5 tahun sekali dan lama genangan > 15 hari, dan bahkan terjadi genangan permanen

Meijerink(1970) dalam Dibyosaputro (1998)HASIL DAN PEMBAHASANBanjir genangan yang terjadi di DAS Lojohan merupakan banjir yang disebabkan oleh terganggunya sistem drainase dan kondisi daerah yang berada di lereng yang datar hingga landai. Curah hujan yang jatuh tidak bisa sepenuhnya masuk menjadi infiltrasi atau masuk ke dalam saluran sehingga meluap menjadi genangan. Terdapat beberapa lokasi yang menjadi konsentrasi genangan banjir kota. Berdasarkan hasil survei dan skoring terhadap beberapa parameter banjir seperti lereng, bentuklahan, lama genangan, kondisi drainase, dan frekuensi banjir maka dibuat peta kerawanan bencana banjir di DAS Lojohan.Hasil Skoring ParameterParameter yang pertama digunakan adalah parameter lereng. Skor lereng yang digunakan dibedakan menjadi 3 kelas. Kelas lereng pertama 0 - 2%, kelas kedua 3 - 8%, serta kelas ketiga > 8%. Kemiringan lereng permukaan / gradien sungai berpengaruh langsung pada kecepatan aliran peremukaan, sehingga semakin miring lereng maka tenaga erosi semakin tinggi, tanah tererosi, pasokan sedimen ke dalam sungai tinggi, pendangkalan alur sungai intensif dan mengakibatkan banjir. Parameter lereng memberikan pengaruh cukup signifikan dalam pemetaan kerawanan banjir. Berdasarkan hasil skoring parameter lereng, lereng dengan kelas datar (0 - 2%) memberikan kontribusi cukup besar terhadap peta kelas kerawanan yang dihasilkan. Lereng yang datar menjadi salah satu penyebab utama kelas kerawanan banjir genangan tinggi. Kelas kerawanan tinggi akibat lereng yang datar terdapat di beberapa lokasi di Kecamatan Batang seperti Desa Denasri Wetan, Denasri Kulon dan Kasepuhan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta lereng di DAS Lojohan

Parameter kedua yang digunakan adalah kondisi drainase. Apabila air permukaan tidak mudah kering dan kondisinya sering tergenang dalam waktu yang lama maka skor banjir akan lebih tinggi. Pemberian skor pada kondisi drainase ini didasarkan atas parameter bentuklahan. Hampir seluruh daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi berada pada bentuklahan dataran aluvial. Kondisi tersebut terjadi karena dataran aluvial berada pada daerah retensi banjir. Proses-proses geomorfologi dan hidrologi pada bentuklahan dataran aluvial juga memberikan kontribusi terhadap banjir genangan yang terjadi di perkotaan. Kondisi drainase yang buruk dapat dilihat di beberapa daerah di sekitar pesisir Sigandu (Gambar 4).Buruknya kondisi drainase tersebut menyebabkan air hujan yang jatuh dan menjadi limpasan permukaan tidak dapat ditampung dalam saluran sehingga menjadi genangan. Kondisi tersebut diperparah dengan lereng datar yang mencakup area sangat luas di bagian utara Kabupaten Batang. Beberapa daerah yang sering tergenang akibat buruknya saluran drainase adalah Desa Karangasem Utara. Konsentrasi genangan akibat saluran yang buruk terkonsentrasi di Kecamatan Batang. Aktivitas perkotaan yang intensif di sebagian Kecamatan Batang menghasilkan limbah yang tidak sedikit tentunya. Saluran pembuangan yang ada tidak bisa menampung dan mengalirkan air buangan maupaun air hujan sehingga terjadi genangan. Pada beberapa saluran di Karangasem bahkan selalu tergenang meskipun tidak ada hujan yang jatuh dalam waktu dekat.

Gambar 4. Kondisi Drainase yang Buruk di Pesisir Sigandu.

Parameter ketiga yang digunakan adalah frekuensi banjir . Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui tingkat frekuensi banjir juga berdasarkan bentuklahan. Selain pendekatan bentuklahan, pengumpulan data di lapangan berdasarkan hasil wawancara juga dilakukan. Dataran aluvial masih memberikan kontribusi terbesar terhadap lamanya frekuensi banjir yang terjadi. Dataran aluvial memiliki skor frekuensi banjir 4, dengan kriteria sangat sering tergenang, yaitu kurang dari 5 tahun sekali. Kondisi ini sangat wajar dengan lokasi daerah yang berada pada dataran aluvial. Pada skala yang lebih besar, bentukalahan dataran aluvial tersusun atas beberapa bentuklahan yang lebih kecil seperti teras sungai,tanggul alam, dataran banjir, rawa belakang, gosong sungai, dll. Bentuklahan seperti dataran banjir memang menjadi daerah yang selalu tergenang saat terjadi banjir. Parameter keempat yang digunakan adalah lama genangan banjir. Sebagian daerah yang sudah teridentifikasi menjadi daerah genangan berdasarkan data sekunder yang didapatkan (Cipta Karya Kab. Batang, 2011) maka dilakukan pengumpulan informasi dengan wawancara pada daerah yang dipetakan mengalami genangan. Konsentrasi genangan yang terjadi masih berada di Kecamatan Batang. Lagi-lagi dataran aluvial dengan proses hidrologis dan geomorfologisnya memberikan kontribusi terbesar terhadap skor lama genangan banjir. Sungai Sambong memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap hasil pembobotan parameter. Proses fluvial yang bekerja pada Sungai Sambong, mulai dari hulu sampai ke hilir memberikan pengaruh yang signifikan pada delineasi beberapa parameter yang digunakan untuk proses skoring. Pada kenyataannya, berdasarkan hasil wawancara dari beberapa sumber (SKPD dan masyarakat), Sungai Sambong bagian hilir dan beberapa saluran drainase atau orde sungai yang lebih kecil yang masuk ke dalamnya memberikan andil yang cukup besar pada genangan kota yang terjadi. Meskipun luapan sungai akibat banjir tidak terlalu besar, tetapi sistem drainase yang tidak bekerja dengan baik memberikan pengaruh cukup besar. Peta Kerawanan BanjirBerdasarkan hasil skoring beberapa parameter maka diperoleh peta kerawanan bahaya banjir dengan skala 1:100.000 (Gambar 5). Peta kerawanan bahaya banjir sangat diperlukan terkait salah satu upaya mitigasi bencana dalam rangka manajemen kebencanaan. Pemetaan banjir yang dilakukan didasarkan pada kondisi fisik lahan. Selain hujan yang berperan sebagai input, bentuklahan sebagai penciri fisik suatu daerah berperan besar dalam penentuan kerawanan bahaya banjir. Masing-masing bentuklahan akan memberikan ciri dan karakter yang berbeda tergantung dengan proses yang berlangsung di dalamnya (Raharjo, 2009).

Gambar 5. Peta kerawanan banjir genangan di DAS Lojohan.

Berdasarkan hasil pemetaan kerawanan banjir, bentuklahan dataran aluvial berpengaruh besar dalam menyumbang lokasi yang rawan genangan. Proses fluvial pada dataran aluvial banyak berpengaruh terhadap keberadaan genangan seperti yag sudah disampaikan sebelumnya. Kecamatan Batang yang merupakan ibukota kabupaten perlu mendapat perhatian lebih karena menjadi konsentrasi genangan. Kawasan kota dan pesisir Pantai Sigandu yang menjadi pusat pembuatan galangan kapal menjadi titik rawan banjir genangan.Berdasarkan hasil wawancara, Desa Karangasem, sebagai akses utama menuju pantai Sigandu sering mengalami genangan setelah hujan lebat, bahkan hingga mencapai ketinggian 1 meter. Kedalaman genangan juga bervariasi di tempat yang lain misalnya di Jl. R.E. Martadinata yang mencapai 20 cm, atau Gang Tuna di Karangasem Utara yang mencapai 1 meter. Kondisi selokan di pinggir jalan yang penuh dengan genangan menyebabkan air hujan tidak bisa tertampung dan menjadi genangan (Gambar 6).

Gambar 6. Bekas genangan banjir berdasarkan hasil wawancara (garis merah).

Berdasarkan hasil skoring parameter penyusun kerawanan banjir, maka didapatkan sebaran spasial daerah yang rawan terhadap bahaya banjir genangan. Distribusi spasial ini penting diketahui sebagai dasar penanganan dan pengelolaan kawasan rawan banjir. Terdapat beberapa daerah yang berada pada zona merah sehingga perlu diberikan perhatian lebih. Daerah-daerah tersebut dibagi dalam tiga tingkat kerawawanan yang berbeda, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.Beberapa daerah yang masuk dalam kategori tingkat kerawanan rendah berlokasi di daerah dengan lereng yang bergelombang hingga bergunung. Daerah ini hampir tidak pernah mengalami genaangan apabila terjadi hujan dalam waktu yang lama. Kemiringan medan yang cukup tinggi dengan vegetasi yang lebih lebat menyebabkan aliran permukaan lebih sedikit dibandingkan dengan daerah terbangun dengan lereng yang lebih datar. Beberapa kecamatan yang berada di sebelah selatan Kabupaten Batang masuk dalam kategori rendah. Beberapa kecamatan tersebut diantaranya Kecamatan Limpung, Tersono, Bandar, Blado, dan Bawang.Daerah dengan tingkat kerawanan sedang berada pada lereng yang datar hingga landai. Kondisi bentuklahan yang masih dipengaruhi proses fluvial dengan endapan aluvium memberikan pengaruh cukup besar terhadap keberadaan genangan. Material aluvium di daerah hilir yang didominasi endapan material yang halus menyebabkan tingkat infiltrasi rendah, sehingga potensi genangan lebih besar. Beberapa daerah yang masuk dalam kategori tingkat kerawanan sedang antara lain Kecamatan Kandeman, sebagian Kecamatan Tulis, sebagian Kecamatan Batang, Subah, Gringsing, dan Bnayuputih. Kecamatan yang sudah disebutkan di atas kebanyakan merupakan kecamatan yang masuk dalam kategori kawasan pesisir. Proses fluviomarin yang terjadi di kawasan pesisir Kabupaten Batang menyebabkan endapan material halus yang memungkinkan meningkatnya potensi genangan. Daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi memiliki kriteria yang mirip dengan daerah dengan tingkat kerawanan rendah. Parameter yang membedakan hanyalah kondisi saluran drainase. Daerah yang masuk dalam kerawanan tinggi kebanyakan terletak di perkotaan, sekitar Kecamatan Batang. Aktivitas perkotaan yang cukup kompleks tidak diiringi kapasitas dan kualitas saluran drainase yang baik. Daerah yang berada pada tingkat kerawanan tinggi berada di Kecamatan Batang dan sebagian kecil Kecamatan Kandeman. Sebaran paling banyak terdapat di Kecamatan Batang diantaranya di Desa Danasr Kulon, Danasri Wetan, Karangasem Utara, Karangasem Selatan, Klidang Lor, Proyonanggan Utara, dan Kasepuhan. Penanganan banjir genangan agak berbeda dengan penanganan banjir yang disebabkan oleh luapan sungai. Banjir akibat genangan hujan lebih banyak disebabkan oleh tingginya limpasan permukaan dan buruknya saluran drainase. Penanganan terhadap genangan lebih baik dilakukan pada faktor-faktor penyebab tersebut. Perbaikan saluran drainase dengan meningkatkan kapasitas dan kualitasnya direkomendasikan agar dapat meminimalisir genangan. Hal lain yang dapat dilakukan diantaranya pemompaan pada daerah yang menjadi akumulasi genangan, namun tindakan ini hanya mengurangi genangan dalam periode waktu yang singkat, tidak akan berarti apabila saluran drainase tidak diperbaiki.Banjir genangan diperparah dengan adanya luapan pada muara Sungai Sambong. Sungai sambong merupakan salah satu sungai terpanjang di Kabupaten Batang dan bermuara di Pantai Sigandu. Sungai Sambong membelah Kota Batang dan memberikan kontribusi terhadap genangan yang terjadi di kota. Beberapa aktivitas penambangan batu kali di hulu Sungai Sambong menyebabkan waktu tempuh ke hilir menjadi semakin cepat (Gambar 7). Akibatnya, akumulasi aliran yang ada di hilir akan semakin banyak karena waktu tunda menjadi pendek. Disamping itu berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi atas meningkatnya debit banjir. Pada daerah permukiman dimana telah padat dengan bangunan sehingga tingkat resapan air kedalam tanah berkurang, jika terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi sebagian besar air akan menjadi aliran air permukaan yang langsung masuk kedalam sistem pengaliran air sehingga kapasitasnya terlampaui dan mengakibatkan banjir. Penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan (catchment area) juga menyebabkan peningkatan debit banjir karena debit/pasokan air yang masuk ke dalam sistem aliran menjadi tinggi sehingga melampaui kapasitas pengaliran dan menjadi pemicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan terjadinya sedimentasi di sistem pengaliran air dan wadah air lainnya. (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).

Gambar 7. Aktivitas Penambangan di Hulu Sungai SambongLuapan yang ada di hilir Sungai Sambong diperparah dengan adanya aktivitas pembuatan kapal yang menghalangi aliran ke arah muara sungai (Gambar 8). Apabila keadaan ini terus dibiarkan maka akan meningkatkan genangan karena aliran dari atas akan kesulitan mencapai muara dan akan mencari jalan keluar sehingga meluap ke samping. Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan mengingat aktivitas penambangan di hulu menyebabkan bebit puncak meningkat dan waktu konsentrasi menjadi lebih cepat.

Gambar 8. Kondisi hilir Sungai Sambong yang digunakan untuk pembuatan dan bengkel kapalBentuk DAS Lojohan yang memanjang sebenarnya tidak menghasilkan hidrograf banjir dengan puncak yang ekstrem. DAS yang tidak terlalu luas menyebabkan akumulasi aliran dari orde sungai yang lebih kecil tidak terlalu banyak. Waktu tempuh dari daerah hulu hingga ke muara sungai utama juga cenderung lama pada DAS yang berbentuk memanjang. Dengan asumsi hujan jatuh merata pada seluruh DAS maka hidrograf banjir yang dihasilkan pada DAS yang berbentuk memanjang tidak akan terlalu curam. Ilustrasi mengenai bentuk DAS dan hidrograf disajikan dalam gambar 9 berikut: Qt

Gambar 9. Bentuk DAS memanjang dan Hidrograf yang Dihasilkannya. (Diadaptasi dari Seyhan,1990)Hujan di daerah hulu yang cukup tinggi juga menjadi pemicu terjadinya banjir sungai dan genangan. Bentuk DAS Sambong yang memanjang sebenarnya menyebabkan hidrograf banjir yang dihasilkan tidak terlalu besar. Adanya beberapa aktivitas seperti penambangan dan pembuatan galangan kapal menyebabkan akumulasi aliran berubah menjadu luapan dan genangan di muara sungai. KESIMPULAN SARANSelain faktor hujan yang menjadi input terjadinya banjir, faktor fisik lahan juga berpengaruh terhadap kerawanan banjir di DAS Lojohan. Faktor lereng dan bentuklahan berpengaruh besar terhadap hasil skoring parameter kerawanan banjir. Intervensi kegiatan manusia di sekitar muara juga mengganggu proses hidrologis Sungai Sambong sebagai sungai utama DAS Lojohan. Konversi penggunaan lahan menjadi di daerah tangkapan juga berkontribusi dalam meningkatkan aliran permukaan. Hasil skoring menunjukkan daerah dengan tingkat kerawanan tinggi sebagian besar berada di dataran fluviomarin yang seluruhnya terletak di lowland area. Hasil dari penelitian ini hanya berdasarkan pemberian skor untuk masing-masing parameter yang telah ditentukan. Curah hujan dan debit sungai diabaikan dalam penelitian in karena menekankan pada kondisi fisik wilayah. Untuk Studi lebih jauh mengenai banjir sungai dan perkotaan diperlukan data-data yang lebih lengkap terkait parameter hidrologis, klimatologis dan juga kondisi fisik lahan.UCAPAN TERIMAKASIHSyukur alhamdulillah pertama kali penulis haturkan kepada Allah Subhanahu Wa Taala yang dengan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Fakultas Geografi UGM yang telah memberikan hibah dana penelitian dosen Fakultas Geografi 2014, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Penulis juga kemudian menghaturkan terima kasih kepada Program Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga dapat melanjutkan studi master di program Master Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai Fakultas Geografi UGM. DAFTAR PUSTAKAAsdak, Chay., 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. JogjakartaCipta Karya. 2011. Data Genangan Kecamatan Batang. UnpublishedDewanto, W. K., M. Azis M., dan Sunaryo. 2013. Rancang Bangun Model Potensi Banjir pada Jalan Arteri si Kota Malang Menggunakan Logika Fuzzy. Jurnal EECCIS Vol. 7, No. 1, Hal : 53-58.Dibyosaputro . 1998. Geomorfologi dasar . Fakultas Geografi UGM : YogyakartaKodoatie, J.R dan Sugiyanto, 2002. Banjir, Beberapa Masalah dan Metode Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Raharjo, Puguh D. 2008. Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan KOndisi FIsik Lahan Secara Umum Pulau Jawa.Jurnal Kebencanaan Indonesia Vol 1, Hal 383-400 Raharjo, Puguh D. 2009 .Identifikasi Daerah Rawan Banjir Di Sebagian Wilayah Surakarta Menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi) . Jurnal Limnotek Perairan Darat Tropis di Indonesia. Pusat Penelitian Limnologi LIPI. ISSN 0854-8390, Volume XVI Nomor 1 Tahun 2009, Halaman 1 9,Seyhan, Ersin.1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press:YogyakartaSri Harto Br. 1993. Analisis Hidrologi. Yogyakarta : Penerbit Gramedia.Zuidam, R. and Zuidam-Cancelado, F. 1979. Terrain analysis and classification using aerial photographs. 1st ed. Enschede, the Netherlands: International Institute for Aerial Survey and Earth Sciences (ITC).www.grupbatang.org/2014/01/banjir-besar-melanda-kabupaten-batang.html