Upload
vothuy
View
242
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
PEMIKIRAN PENDIDIKAN AKHLAK DALAM
PERSPEKTIF MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
(Studi Analisis Buku Yang Hilang Dari Kita Akhlak)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh
NURUL ANIFAH
NIM 111 13 294
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2017
2
3
4
5
6
MOTTO
Budi pekerti adalah „juru bicara‟ hati yang bersih (Gus Mus)
vi
7
PERSEMBAHAN
Atas rahmat dan ridho Allah Swt. skripsi sederhana ini penulis persembahkan
untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Sarbini dan Ibu Juwarti yang selalu
memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa untuk kelancaran urusanku,.
Keempat kakakku (Umi, Ahmad, Siti, dan Maslikhan) serta seluruh
keluarga besarku yang selalu memberikan dukungan sehingga saya dapat
sampai pada titik ini.
2. Sahabat-sahabatku di mana pun berada yang tak jenuh mendengarkan
keluh kesahku dan memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan
skripsi ini.
3. Saudara seperjuangan angkatan 2013 terkhusus kelas PAI. H, teman-teman
PPL, KKN, dan teman lainnya di IAIN SALATIGA yang telah
memberikan motivasi, inspirasi, hiburan, dan pengalaman baru sehingga
lebih bersemangat dalam belajar.
4. Seluruh dosen IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmu wawasan serta
doa, khususnya untuk Bpk. Rasimin, M.Pd. selaku dosen pembimbing
skripsi saya ucapkan terimakasih untuk kesabaran, nasihat dan
dukungannya selama ini.
5. Almamaterku tercinta IAIN Salatiga.
vii
8
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyanyang. Segala puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Swt.
yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Sholawat serta salam
penulis sanjungkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad Saw. yang
telah menuntun umatnya ke jalan kebenaran dan keadilan, sehingga penyusunan
skripsi yang berjudul: “PEMIKIRAN PENDIDIKAN AKHLAK
PERSPEKTIF MUHAMMAD QURAISH SHIHAB (Studi Analisis Buku
Yang Hilang Dari Kita Akhlak) dapat terlesaikan.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah
memberikan dukungan moril maupun meteriil. Dengan penuh kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati M.Ag. selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga.
4. Bapak Rasimin, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa
memberikan bimbingan, motivasi dan arahan sehingga skripsi ini dapat
terselaikan dengan baik.
5. Bapak M. Yusuf Khummaini, M.HI. selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang selalu memotivasi penulis dalam belajar.
viii
9
6. Para dosen pengajar di lingkungan IAIN Salatiga, yang telah membekali
pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Keluarga, saudara, sahabat semua yang telah memberikan dukungan dalam
penyelesaikan skripsi ini
8. Berbagai pihak secara langsung dan tidak langsung yang telah membantu
baik moril maupun materiil dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga amal mereka diterima sebagai amal ibadah oleh Allah SWT serta
mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Penulis menyadari dan mengakui
bahwa dalam penulisan ini jauh dari kesempurnaan, semua itu dikarenakan
keterbatasan, kemampuan dan pengetahuan penulis. Sehingga masih banyak
kekurangan yang perlu untuk diperbaiki dalam skripsi ini.
Dengan kerendahan hati penulis mohon saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada khususnya maupun pembaca pada umumnya dan
memberikan sumbangan bagi pengetahuan dalam dunia pendidikan.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Salatiga, 28 Juli 2017
Nurul Anifah
NIM: 11113294
ix
10
ABSTRAK
Anifah, Nurul. 2017. Pemikiran Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Muhammad
Quraish Shihab (Studi Analisis Buku Yang Hilang Dari Kita Akhlak).
Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam.
Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Rasimin, M.Pd.
Kata kunci: Pendidikan, Akhlak
Muhammad Quraish Shihab adalah seorang mufassir ternama di indonesia.
Salah satu bukunya adalah Yang Hilang Dari Kita Akhlak, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana pendidikan akhlak dalam pandangan M. Quraish
Shihab dalam buku yang khusus membahas tentang akhlak itu. Pertanyaan yang
ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana pendidikan menurut
M. Quraish Shihab dalam buku Yang Hilang Dari Kita Akhlak (2) Bagaimana
Relevansi relevansi pemikiran M. Quraish Shihab tentang pendidikan akhlak
terhadap pendidikan di Indonesia saat ini.
Metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research).
Data yang diperoleh bersumber dari literature. Sumber data primer adalah buku
Yang Hilang Dari Kita Akhlak, sumber sekundernya adalah buku-buku lain yang
berkaitan dan relevan dengan tema penelitian ini. Adapun teknik analisis data
menggunakan metode deskriptif, deduksi, dan induksi.
Temuan penelitian ini, pemikiran pendidikan akhlak menurut M. Quraish
Shihab penulis kelompokkan ke dalam lima poin yaitu: (1) Pembagian akhlak, (2)
Pandangan tentang baik dan buruk, (3) Mengenal empat potensi diri yaitu potensi
ilmu, amarah, keinginan, syahwat, dan adil, (4) Cakupan adab sopan santun dan
(5) Cara membentuk akhlak. Adapun relevansi pendidikan akhlak menurut M.
Quraish Shihab dengan pendidikan Islam di Indonesia saat ini adalah kesamaan
dasar pemikiran yaitu Al-Qur‟an dan Hadis. Pendidikan akhlak menurut M.
Quraish Shihab telah mewakili pendidikan akhlak di Indonesia, akan tetapi
menurutnya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berhasil dalam
membentuk akhlak mulia (luhur). Akhlak dinyatakan telah hilang dari individu
secara umum umat Islam di Indonesia dibuktikan dengan banyaknya perilaku
yang jauh dari nilai islami. Kegagalan ilmu akhlak dalam mewujudkan akhlak
luhur, ada dua kemungkinan yaitu dikarenakan kesalahan cara mengajarkannya
ataupin karena mereka tidak memahaminya dengan baik, serta apabila sudah
memahaminya mereka tidak menggunakannya sebagai sebuah kebiasaan.
x
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN LOGO ...................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. iii
PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...................................................... v
MOTTO.......................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN .......................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
ABSTRAK ..................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
E. Metode Penelitian ........................................................................ 5
F. Penegasan Istilah ......................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan................................................................... 11
BAB II. BIOGRAFI MUHAMMAD QURAISH SHIHAB………………… 11
A. Setting Sosial ................................................................................ 12
B. Karya-karya.......................................................................... ........ 21
xi
12
C. Sekilas Tentang Buku.................................................................. 22
D. Corak Pemikiran........................................................................... 23
BAB III. PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG PENDIDIKAN
AKHLAK……………………………………………………… 26
A. Pendidikan Akhlak............................................................... ........ 26
1. Pengertian Pendidikan .............................................................. 26
2. Pengertian Akhlak.............................................................. ...... 27
B. Pendidikan Akhlak Menurut Quraish Shihab .............................. 29
1. Baik dan Buruk........................................................................ 30
2. Akhlak Luhur.................................................................... ...... 32
3. Cara Membentuk Akhlak.................................................... .... 40
BAB IV. ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT M. QURAISH
SHIHAB DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN
AKHLAK DI INDONESIA…………………………………….. 44
A. Analisis Pendidikan Akhlak Menurut M. Quraish Shihab ........... . 44
B. Relevansi Pendidikan Akhlak menurut M. Quraish Shihab
dengan Pendidikan Akhlak di Indonesia.................................... 54
BAB V. PENUTUP………………………………………………………...... 66
A. Kesimpulan............................................................................ .. 66
B. Saran-saran ................................................................................... .. 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam datang sebagai pencerahan atas gelapnya zaman yang
melanda kehidupan manusia. Jahiliyah merupakan sebutan bagi zaman
yang mengalami kebobrokan akhlak dan perilaku sosial lainnya. Allah
swt. mengutus Nabi Muhammad saw. untuk membawa risalah kenabian
yang mana satu pokok tujuan risalahnya adalah perihal akhlak. Beliau
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) semata-mata untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR. Al-Bukhari, al-
Hakim dan al-Baihaqi)
Pendidikan merupakan sebuah jembatan bagi manusia untuk
mengetahui segala sesuatu, mengidentifikasi antara yang haq dan bathil.
Proses mencari tahu dan memberitahu merupakan hakikat manusia sebagai
makhluk Allah swt. yang dikaruniai akal. Mencari tahu dari diri sendiri,
orang lain dan alam sekitar. Menurut Sadulloh (2014:3-4) pendidikan
memiliki arti khusus dan arti luas. Dalam arti khusus pendidikan hanya
dibatasi sebagai usaha orang dewasa dalam membimbing anak yang belum
dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Sedangkan dalam arti luas
2
pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan
hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat.
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia.
Karena hal ini potensi dididik dan mendidik (Daradjat,1996:16). Urgensi
pendidikan bagi manusia sudah tidak dapat dielakkan lagi. Selain sebagai
pelaku pendidikan, manusia juga sebagai sasaran pendidikan. Hal itu
dikarenakan manusia adalah makhluk istimewa yang memiliki
komplektifitas tinggi sehingga perlu untuk dipelajari. Adapun fokus utama
pendidikan agama islam adalah membentuk manusia yang berakhlak
mulia.
Para pakar Muslim menyatakan bahwa akhlak adalah sifat dasar
yang telah terpendam di dalam diri dan tampak ke permukaan melalui
kehendak dan terlaksana tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain sebab
(Shihab,2016:4). Akhlak merupakan sifat yang dekat dengan iman. Baik
buruknya akhlak menjadi salah satu syarat sempurna atau tidaknya
keimanan seseorang. Orang yang beriman kepada Allah akan
membenarkan dengan seyakin-yakinnya akan ke-Esa-an Allah, meyakini
bahwa Allah mempunyai sifat sempurna dan tidak memiliki sifat kurang,
atau menyerupai sifat-sifat makhluq ciptan-Nya (Siroj,2004:3).
Untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat berakhlak terpuji
atau tercela, Imam al-Ghazali mengemukakan gagasan bahwa,”Bila
kondisi kejiwaan itu baik dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang dinilai
baik oleh akal dan agama baik, pemiliknya dinilai memiliki akhlak mulia.
3
Sebaliknya pun demikian”.(Shihab:2016,5). Begitu istimewanya sebuah
akhlak bahkan menjadi lambang kualitas manusia terkhusus seorang
muslim. Hal ini patut menjadi renungan, bahwa manusia hendaklah
membangun akhlak pribadi semaksimal mungkin untuk mencapai
kesempurnaan sebagai makhluk sebagaimana tuntunan yang telah
diuswahkan oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam buku yang berjudul “Yang Hilang dari Kita Akhlak”, M.
Quraish Shihab mengupas tuntas tentang makna akhlak hingga akhlak
dinyatakan telah hilang dari dalam diri seorang muslim. Bahkan akhlak-
akhlak islami terlihat di Negara-negara yang mayoritas penduduknya
adalah pemeluk Non-Islam (Shihab,2016:xiii). Tidak jarang kita
mendengar dari orang Barat bahwa apa yang mereka baca tentang islam
jauh berbeda dengan apa yang dipraktikkan oleh yang “mewakili” Islam.
Demikian terlihat bahwa memang ada yang hilang dari kita atau tidak
banyak lagi dari kita yang mengamalkan Islam (Shihab,2016:xiv-xv).
Dengan pandangan yang sangat menarik ini, penulis terdorong
untuk mengangkat judul “Pemikiran Pendidikan Akhlak Menurut
Muhammad Quraish Shihab (Studi Analisis Buku Yang Hilang Dari
Kita Akhlak)”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut M. Quraish Shihab ?
4
2. Bagaimana relevansi pemikiran M. Quraish Shihab tentang pendidikan
akhlak terhadap pendidikan di Indonesia saat ini?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut M.
Quraish Shihab.
2. Untuk mengetahui bagaimana relevansi pemikiran M. Quraish Shihab
tentang pendidikan akhlak terhadap pendidikan di Indonesia saat ini.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu:
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif
bagi dunia pada umumnya dan pengembangan nilai-nilai pendidikan
akhlak islamiyah pada khususnya. Serta menambah wawasan tentang
pemikiran M. Quraish Shihab tentang pendidikan akhlak.
2. Praktis
Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan terutama pendidikan islam. Diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk diterapkan dalam dunia
pendidikan. Serta menambah wawasan bagi penulis untuk mengetahui
konsep pendidikan akhlak menurut M. Quraish Shihab.
5
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal pokok yang mendasari
penelitian, yaitu: jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data
dan analisis data.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat literer yang berfokus pada referensi buku
dan sumber-sumber yang relevan karena yang dijadikan objek kajian
adalah hasil pemikiran. Penelitian literer lebih difokuskan kepada studi
kepustakaan (Amirin,1995:135). Penelitian dilakukan dengan
mencermati sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku,
artikel atau yang lainnya yang berkaitan dengan pendidikan akhlak.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data
dapat diperoleh. (Arikunto,1997:107) Sedangkan data-data tersebut
dibagi menjadi dua bagian, yaitu primer dan sekunder.
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama
digunakan dan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Adapun sumber data primer adalah buku “yang hilang dari kita
AKHLAK” karya M.Quraish Shihab.
b. Sumber Data Sekunder
6
Sumber data sekunder didapatkan dari sumber-sumber
bacaan lain seperti Akhlak yang Mulia karya Humaidi
Tatapangarsa, dan buku-buku pendidikan akhlak lainnya dan
informasi lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan meode/teknik pengumpulan data
pustaka yaitu membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari
berbagai buku dan karya ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini.
Akan tetapi tetap mengutamakan data primer
4. Analisis Data
Untuk menganalisis data penulis menggunakan beberapa metode,
yaitu:
a. Metode Deskriptif
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti
status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang. Menurut Whitney yang dikutip oleh Nazir (1985:63)
metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat. Peneliti melakukan analisis data dengan deskriptif yang
menggambarkan pemikiran M. Quraish Shihab tentang pendidikan
akhlak.
b. Metode Analisis
7
Metode analisis yaitu penanganan terhadap suati objek-
objek penelitian yang satu dengan pengertian yang lain
(Suryabrata,1983:31). Dalam proses ini penulis menggunakan dua
cara yang saling bergantian, yaitu:
1) Proses Analisa Deduksi, yaitu analisa dari pengertian yang
umum kemudian dibuat eksplisitasi dan penerapan lebih
khusus. Yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dalam
permasalahan umum kemudian mengerucut pada proses
pengambilan permasalahan-permasalahan yang bersifat khusus.
2) Proses Analisa Induksi, yaitu dari khusus ke umum. Induksi
pada umumnya disebut generalisasi, yaitu dengan cara
mengumpulkan data-data dalam jumlah tertentu, dan atas dasar
data itu menyusun suatu ucapan umum.
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman pembaca dalam menafsirkan
istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian, maka penulis perlu
untuk memberikan sebuah penegasan istilah yang terdapat dalam judul
ini,antara lain:
1. Pendidikan Akhlak
Secara terminologi, pendidikan merupakan terjemahan dari
istilah Pedagogi yaitu berasal dari Bahasa Yunani Kuno Paedos dan
agoo. Paedos artinya “budak” dan agoo artinya “membimbing”.
8
Akhirnya pedagogie diartikan sebagai budak yang mengantarkan anak
majikan untuk belajar (Jumali dkk,2004:17). Dinamakan pendidikan
apabila dalam kegiatan tersebut mencakup hasil yang rambahannya
(dimensi) pengetahuan sekaligus kepribadian. Dengan demikian
hakikat pendidikan adalah kegiatan formal yang melibatkan guru,
murid, kurikulum, evaluasi, administrasi yang secara simultan
memproses peserta didik menjadi bertambah pengetahuan, skill dan
nilai kepribadiannya dalam suatu keteraturan kalender akademik
(Jumali dkk,2004:19).
Sedangkan menurut UU No. 20 th 2003 tentang sistem
pendidikan nasional (Ra‟uf,2005:91), pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan
dengan budi pekerti, kelakuan. Sedangkan moral diartikannya sebagai
ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dsb. Akhlak juga diartikan dengan
kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin, dan sebagainya, sebagaimana ia juga dipahami
dalam arti isi hati atau keadaan perasaan, sebagaimana terungkap
9
dalam perbuatan. Sedangkan etika diartikannya dengan ilmu tentang
apa yang baik apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak) (Shihab,2016:3).
Secara etimologi, akhlak berasal dari Bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari Khuluq ( خلق) yang pada mulanya bermakna ukuran,
latihan dan kebiasaan. Dari makna pertama (ukuran) lahir kata
makhluk, yaitu ciptaan yang memiliki ukuran, sedangkan dari makna
yang kedua (latihan) dan ketiga (kebiasaan) lahir sesuatu yang positif
maupun negatif (Shihab,2016:3). Makna-makna diatas mengisyaratkan
bahwa akhlak dalam pengertian budi pekerti maupun sifat yang mantap
dalam diri seseorang baru dapat dicapai setelah berulang-ulang latihan
dan dengan membiasakan diri melakukannya.
Masih dalam buku yang sama yaitu yang Hilang dari Kita
Akhlak oleh M. Quraish Shihab (2016:5) Imam al-Ghazaly
mengemukakan bahwa:
“Khuluq dan khalaq adalah dua kata yang dapat
ditemukan dalam satu kalimat. Anda dapat berkata: Fulan
Hasan al khalq wa al khuluq (si A baik bentuk badannya dan
baik pula akhlaknya). Yang pertama dapat dilihat dengan mata
kepala, sedang yang kedua karena bersifat batin “tidak terlihat
substansinya”, tetapi terlihat dampak pada aktifitasnya. Hakikat
kedua kata tersebut ada pada diri setiap insan karena manusia
adalah gabungan dari jasmani dan rohani yang masing-masing
bias jadi baik dan juga buruk. Al Ghazali lebih jauh
menjelaskan bahwa khuluq (akhlak) merupakan kondisi
kejiwaan yang mantap, yang atas dasarnya lahir aneka kegiatan
yang dilakukan dengan mudah, tanpa harus dipikirkan terlebih
dahulu. Nah, bila kondisi kejiwaan itu baik dan
melahirkanperbuatan-perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan
agama baik, pemiliknya dinilai memiliki akhlak mulia.
Sebaliknya pun demikian.
10
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan
bahwa pendidikan akhlak adalah tuntunan mengenai dasar-dasar
akhlak yang berkaitan dengan budi pekerti yang harus ditanamkan
pada seseorang sejak dini agar menjadi sebuah kebiasaan yang
menginternalisasi dalam dirinya dan lahir dalam perilaku dan etika
kehidupannya. Penanaman tersebut dapat dilakukan melalui
pendidikan formal, non formal dan informal sehingga dapat
mencapai tujuan yaitu manusia yang berakhlak mulia.
2. M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi
Selatan, tanggal 16 Februari 1944 (Iqbal dan Nasution,2013:252).
Beliau adalah salah seorang cendekiawan muslim Indonesia dalam
ilmu Al Qur‟an. Lahir membawa bakat keilmuan dari ayahnya yaitu
almarhum Prof. H. Abd. Rahman Shihab seorang guru besar ilmu
tafsir, mendorong nya untuk mengenal dan mendalami ilmu tafsir
dalam pendidikannya. Diantara karya terbesar beliau adalah Tafsir Al
Misbah, yang menafsirkan Al Quran dengan metode tahlili. M.
Quraish Shihab pernah menjadi Menteri Agama pada Kabinet
Pembangunan VII tahun 1998 (Iqbal dan Nasution,2015:253).
Berdasarkan uraian di atas, M. Quraish Shihab merupakan
seorang tokoh yang cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan islam.
11
Banyak karya atau pemikiran beliau yang menjadi sumber atau rujukan
para pendidik dalam dunia pendidikan saat ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dapat dipahami sebagai suatu tata urutan yang saling
berkaitan, saling berhubungan, melengkapi, serta menjelaskan. Dalam
penyusunan skripsi ini secara menyeluruh terdapat lima bab, yaitu:
Bab I. Bab ini berisi tentang pendahuluan yang mencakup latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian
pustaka dan sistimatika penulisan skripsi.
Bab II. Bab ini berisi tentang biografi (meliputi biografi dan setting
sosial M. Quraish Shihab).
Bab III. Bab ini berisi tentang konsep pendidikan akhlak
berdasarkan pemikiran M. Quraish Shihab.
Bab IV. Bab ini berisi analisis tentang konsep pendidikan akhlak
berdasarkan pemikiran M. Quraish Shihab untuk menjawab tentang
pendidikan islam di Indonesia dewasa ini.
Bab V. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan penutup.
12
BAB II
BIOGRAFI QURAISH SHIHAB
A. Setting Sosial
1. Masa Kecil
Muhammad Quraish Shihab berasal dari keluarga ulama
berpengaruh di Ujungpandang (Makassar). Ayahnya, Abdurrahman
Syihab (1905-1954) adalah seorang guru besar dalam bidang tafsir.
Selain bekerja sebagai wiraswasta, ayahnya sejak muda juga
melakukan kegiatan berdakwah dan mengajar, terutama dalam bidang
tafsir (Iqbal dan Nasution,2010:252). Quraish Shihab lahir 16 Februari
1944 di Lotassalo, kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi
Selatan (Anwar,dkk,2015:XXII) yang berjarak sekitar 185 km dari
kota Makassar (Anwar dkk,2015:3).
Rappang adalah kampung halaman ibunda Quraish, Asma
Aburisy. Ibunya merupakan keturunan bangsawan, nenek Asma,
Puattulada, adalah adik kandung Sultan Rappang (Anwar,dkk,2015:5).
Darah Bugis mengaliri tubuhnya. Sedangkan ayahnya, Habib
Abdurrahman Shihab yang lahir di Makassar 1915, menitis darah
Arab. Abdurrahman adalah putera Habib Ali bin Abdurrahman Shihab,
seorang juru dakwah dan tokoh pendidikan kelahiran Hadramaut,
Yaman yang kemudian hijrah ke Batavia (Anwar,dkk:5).
13
Shihab adalah marga yang sudah melekat pada leluhur Quraish
dari pihak ayahnya selama ratusan tahun. Shihab merujuk pada dua
ulama besar, Habib Ahmad Syahabuddin al-Akbar (wafat 946 H) dan
cucunya Habib Ahmad Syahabuddin al-Ashgar (wafat 1036 H). Kata
Syahabuddin kemudian disingkat menjadi Syahab. Hampir semua
keturunan Ahmad Syahabuddin al-Ashgar kemudian disebut bin
Syahab. Belakangan ada yang tetap menggunakan Syahab ada yang
Syihab termasuk keluarga Quraish (Anwar,dkk:9).
Dalam bahasa Arab, meski pengucapannya beda, arti syihab
atau syahab sebenarnya sama saja, yaitu suluh api atau bintang.
Ayahnya mengatakan kata syihab lebih tepat karena sesuai yang tertera
dalam ayat Al Qur‟an (Anwar,dkk:9). Pada namanya dituliskan sjihab,
sesuai ejaan lama. Demikian juga pada nama Quraish saat ia
didaftarkan di SD Lomponattang, Makassar dan SMP Muhammadiyah
Malang; tertera nama Quraisj Sjihab. Tetapi setelah mengenyam
pendidikan di Kairo, Mesir, Ia mengganti huruf “SJ” dengan “SH”,
sesuai dengan ejaan bahasa Inggris (Anwar,dkk:10).
Aba Abdurrahman, selalu mengajak anak-anaknya untuk sholat
berjamaah, membaca wirid tasbih, tahmid, takbir dan tahlil,...kemudian
mengenalkan putra putrinya tentang Al Qur‟an dengan caranya
tersendiri. Petuah-petuah itu kemudian ditelaah oleh Quraish Shihab
sehingga diketahui bahwa sumbernya adalah Al-Qur‟an, Nabi, Sahabat
atau pakar Al Qur‟an yang sampai saat ini menjadi sesuatu yang
14
membimbingnya. Petuah dari Sang Ayah menumbuhkan benih-benih
kecintaan terhadap tafsir dalam jiwanya.
Quraish hanya 1 tahun mengenyam pendidikan di SMP
Muhammadiyah Makassar. Kemudian nyantri di Pesantren Dar al-
Hadits al Fiqhiyah Malang, Jawa Timur sekaligus melanjutkan
pendidikan SMP di Malang, Quraish meninggalkan Indonesia
merantau ke Mesir pada usia 14 tahun bersama adinya Alwi 12 tahun
(Anwar,dkk,2015:14). Ayahnya selalu menekankan pendidikan tinggi
untuk anak-anaknya. Bahkan Aba Adurrahman pernah menyatakan
“Kalau perlu Aba jual gigi” dan “jangan pulang sebelum doktor”
(Anwar,dkk,2015:12-13).
2. Nyantri di Malang
Quraish Shihab nyantri di Ma‟had (Pesantren) Dar al- Hadits al
Fiqhiyah Malang, Jawa Timur yang terletak di jalan Aris Munandar
pada tahun 1956. Habib Abdul Qadir Bilfaqih, pendiri sekaligus
pinpinan ma‟had memberinya izin untuk belajar di dua lembaga
pendidikan sekaligus, yaitu ma‟had dan SMP Muhammadiyah Malang
(Anwar,dkk,2015:43).
Quraish memang menjadi santri kesayangan Habib, bukan
karena anak dari Aba Abdurrahman melainkan ketekunan belajarnya
yang berbeda dengan santri yang lain. Di ma‟had al-Fiqhiyah inilah
Quraish belajar tentang keikhlasan adalah kunci utama proses belajar
mengajar serta jalan yang ditempuh dalam mencari ilmu dan
15
mengamalkannya harus disertai kerendahan hati dan rasa takut kepada
Allah. Hal itu tidak hanya didengarnya sebagai petuah akan tetapi
tercermin dalam kehidupan guru-gurunya terutama sosok yang sangat
dicintainya yaitu Habib Abdul Qadir Bilfaqih. Seringnya menyertai
Habib dalam berdakwah di luar ma‟had secara tidak langsung Quraish
terlatih berdakwah (ceramah) di muka umum. Pernah beberapa waktu
Quraish diberikan kesempatan untuk memberikan ceramah sebelum
giliran Habib. Bahkan Quraish menyatakan,” Tapi dampak ajaran
Habib jauh lebih berarti dari belasan tahun masa studi saya di Mesir.”
(Anwar,dkk,2015:49).
3. Ke Kairo Berburu Doktor
Bersama 14 anak muda berbeasiswa utusan provinsi Sulawesi
Quraish berangkat menaiki kapal selama 16 hari. Baginya berangkat
ke Mesir adalah mewujudkan mimpi Aba Abdurrahman yang dulu
sangat ingin menuntut ilmu ke negeri piramida itu. Keberangkatan
studi ke Kairo, Mesir tercatat bulan November 1958. Ia berangkat ke
Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar ((Iqbal
dan Nasution,2010:252).
Hidup sederhana mengandalkan uang beasiswa berlangsung
lama karena memang ayahnya tidak mengirimi uang tetapi tidak putus
mengirimi nasehat (Anwar,dkk,2015:62). Bukan karena tidak punya
uang melainkan ayahnya menanamkan sikap mandiri sejak dini.
16
Quraish Shihab menemukan sosok idola seperti Habib Abdul
Qadir bilfaqih dulu. Yaitu Syeikh Abdul Halim Mahmud seorang
pengagum Al Ghazali, dosen Al-Azhar sufi rasional yang sangat
rendah hati, kepintarannya membuatnya digelari “Imam al-Ghazali
abad XX.” (Anwar,dkk,2015:75). Darinya Quraish belajar
kesederhanaan. Quraish pernah sangat sedih karena nilai bahasa
Arabnya tak mencukupi untuk masuk di Jurusan Tafsir Fakultas
Ushuluddin yang Syeikh Halim sebagai dekannya. Nilainya 5,5 sedikit
di bawah ambang batas masuk jurusan Ilmu Tafsir, nilai 6. Kegagalan
itu justru menjadi pintu untuk Quraish memasuki lebih dalam ranah
tasawuf. Ia tersadar, salah satu prinsip dasar sekaligus ajaran dalam
fakultas Ushuluddin adalah masalah manusia dan takdir
(Anwar,dkk,2015:69).
Masa setahun dikejar, lulus SMA ia mengantongi dua ijazah
sekaligus. Ijazah khusus siswa asing, Ma‟had al-Bu‟uts al-Islamiyah,
dan Ma‟had al-Qahirah, dengan tambahan mata pelajaran khusus
siswa Mesir. Semangatnya membaja dengan ditambah vitamin penguat
di saat lemah yaitu “ingin seperti Syeikh Abdul Halim Mahmud dan
Habib Adurrahman Shihab.”(Anwar,dkk,2015:70).
Setelah 9 tahun di rantau orang, Quraish meraih sarjana Tafsir
dan Hdits. Hasil ujiannya dengan predikat “Jayyid Jiddan”
membuatnya dengan mudah masuk tingkat master. Hanya dua tahun,
Quraish sudah meraih gelar Master of Art (M.A) pada jurusan yang
17
sama. Tesisnya tak jauh dari Al Qur‟an. “Al-I‟jaz at-Tasyri‟i li al-
Qur‟an al-Karim”(Kemukjizatan al-Qur‟an al-Karim dari Segi
Hukum) (Anwar,dkk,2015:72).
4. Keluarga Shihab
Saat itu Quraish Shihab berusia 30 tahun dan menjabat sebagai
wakil rektor IAIN Alauddin, Makassar. Kelaurga mendesaknya agar
segera menikah. Sudah ada puluhan gadis dikenalkan padanya tetapi
tak kunjung kepincut. Sampai pada sahabat keluarga pengusaha asal
Surabaya, Hasan Assegaf, mengajaknya melihat gadis Solo. Gadis itu
keponakan Hasan. Namanya Fatmawaty Assegaf. Ia anak kedelapan
dari 15 bersaudara, putri pasangan Ali Abu Bakar Assegaf dan
Khadijah (Anwar,dkk,2015:94).
Sejak pertama bertemu mereka langsung klop dan saling cocok.
Akhirnya mereka menikah pada tanggal 2 Februari 1975. Ngunduh
mantu di Makassar pada tanggal 16 Februari 1975 tepat pada hari
ulangtahun Quraish. Sementara tinggal di rumah orang tua di Jl.
Sulawesi Lorong 194 Nomor 7 (Anwar,dkk,2015:103). Setelah dua
pekan bersama orang tua, pasangan ini pindah ke rumah kontrakan
yang berada di Jl. Bawakaraeng, persis di depan gedung SMA Negeri
I, hanya berjarak 15 menit dari rumah orang tuanya
(Anwar,dkk,2015:105)
Pada tanggal 17 Ramadhan bertepatan tanggal 11 September
1976 di Solo lahirlah anak pertama mereka yang diberi nama Najeela
18
(Elaa). Anak kedua lahir setahun berikutnya, 16 September 1977,
bertepatan dengan Hari Raya „Idul Fithri 1 Syawal. Kali ini melahirkan
di Rumah Sakit Pertiwi, Makassar. Bayi yang kulitnya putih bersih,
mata bundar, dan rambut hitam lebat ini diberi nama Najwa (Nana).
Setelah memiliki dua anak inilah Quraish memutuskan berangkat
kembali ke Mesir untuk mendapatkan gelar doktor.
Anak ketiga lahir di Solo, 29 Agustus 1982 yang diberi nama
Nasywa yang berarti puncak kebahagiaan karena sebagai pelengkap
kebahagiaan Quraish setelah meraih gelar doktor. Anak laki-laki yang
ditunggu lahir pada tanggal 1 Juli 1983 dengan diberikan nama
Ahmad, nama lain untuk Rasulullah saw.
Tahun 1984, dua tahun pulang dari Kairo, Quraish mendapat
tawaran langsung dari rektor, Harun Nasution untuk mengajar di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta (Anwar,dkk,2015:112-113). Tawaran itu
diterimanya dan pindah ke Jakarta bersama keluarga. Pada tahun 1985,
Fatmawaty kembali hamil dan dikaruniai anak perempuan yang lahir
pada tanggal 30 Agustus 1986. Anak bungsunya ini debiri nama Nahla.
5. Pengabdian
Sepulangnya dari pengembaraan Ilmiah di Mesir, M. Quraish
Shihab memperoleh jabatn sebagai Pembantu Rektor Bidang
Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga
menjabat sebagai Kopertais (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta)
Wilayah VII Indonesia Bagian Timur, maupun di luar kampus seperti
19
Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang
pembinaan mental. Selama di Ujungpandang ini, dia juga sempat
melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema
“Penerapan Kerukunan hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975)
dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan”
Merasa tidak puas dengan pendidikan Master, juga merasa
utang belum lunas pada 1980 an ia kembali berangkat ke
almamaternya dulu, al-Azhar, dengan spesialisasi studi tafsir al-
Qur‟an. Untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Tekad yang kuat,
juga dorongan istri dan anak-anak, membuat Quraish meraih gelar
Doktor dalam waktu setengah tahun. Disertasinya berjudul “Nazm ad-
Durar li al-Biqa‟i Tahqiq wa Dirasah, suatu kajian dan analisis
terhadap keotentikan Kitab Nazm ad-Durar karya al-Biqa‟i. Tidak
main-main, hasilnya cemerlang. Ujian doktoralnya dianugrahi predikat
tertinggi, Mumtaz ma‟a Martabat al-Syaraf al-Ula. Summa cum laude
(Anwar,dkk,2015:75).
Sekembalinya ke Tanah Air, M. Quraish Shihab ditugaskan di
Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Beberapa jabatan pernah diamanahkan
kepadanya, diantaranya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) (sejak
1984), anggota Lanjah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an Departemen
Agama (sejak 1969) dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan
Nasional (1989), Ia juga aktif di kepengurusan Ikatan Cendekiawan
20
Muslim Indonesia (ICMI), Perhimpunan ilmu-ilmu Syari‟ah,
Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Pada 1995, Quraish Shihab mendapat kepercayaan sebagai
Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menjabat
sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik. Lalu, pada 1998, Quraish
Shihab diangkat Presiden Soeharto sebagai Menteri Agama RI pada
Kabinet Pembangunan VII. Namun usia pemerintahan Soeharto ini
hanya dua bulanan saja, karena terjadi resistensi yang kuat terhadap
Soeharto. Akhirnya pada Mei 1998, gerakan reformasi yang dipimpin
oleh tokoh seperti M. Amien Rais, bersama para mahasiswa berhasil
menjatuhkan kekuasaan Soeharto yang telah berusia 32 tahun.
Jatuhnya Soeharto sekaligus membubarkan kabinet yang baru
dibentuknya tersebut, termasuk posisi Menteri Agama yang dipegang
oleh Quraish Shihab.
Tidak berapa lama setelah kejatuhan Soeharto, Quraish
mendapat kepercayaan dari Presiden B.J. Habibie sebagai Duta Besar
RI di Mesir, merangkap untuk negara Jibouti dan Somalia. Ketika
menjadi duta besar inilah Quraish Shihab menulis karya
monumentalnya Tafsir al-Misbah, lengkap 30 juz sebanyak 15 jilid
satu set.
Sepulang dari “kampung halaman” keduanya, Quraish Shihab
aktif dalam berbagai kegiatan. Ia membentuk lembaga pendidikan dan
21
studi tentang Al-Qur‟an bernama Pusat Studi Al-Qur‟an (PSQ) di
Jakarta. Selain itu, untuk menerbitkan karya-karyanya, ia juga
mendirikan penerbit Lentera Hati (nama yang diambil dari salah satu
judul bukunya).
Dalam pengantar bukunya (Shihab,2016:xvi), Quraish Shihab
menyampaikan penhormatannya atas jasa-jasa yang diberikan oleh
guru dan dosen-dosennya yang telah memberikan ilmu sekaligus
keteladanan tentang akhlak. Sebagian dari mereka dirujuk kembali
oleh Quraish Shihab buku-bukunya tentang akhlak yang pernah
menjadi buku wajib ketika menimba ilmu di al-Azhar Mesir pada
tahun enam puluhan, seperti Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh
Muhammad Sayyid Nu‟aim, Syaikh Ahmad al-Kumy, Syaikh Abu
Bakar Zikra, Syaikh Abdul Aziz Ahmad, dan Habib Abdul qadir
Bilfaqih, ulama yang menjadi penuntunnya ketika mondok di Ma‟had
Dar al-Hadits al-Fiqhiyah, Malang.
B. Karya-karya M. Quraish Shihab
Quraish Shihab dengan keilmuan yang dimilikinya telah
menghasilkan banyak karya ilmiah berupa buku, artikel, maupun
kumpulan artikel yang dihimpun menjadi buku. Kurang lebih ada sekitar
40 karyanya yang telah tercetak dan tersebar ke berbagai tempatm
diantaranya adalah:
22
1. Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 1998)
2. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, dalam Pandangan Ulama dan
cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004)
3. Menabur Pesan Ilahi; al-Qur‟an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat
(Jakarta: Lentera Hati, 2006)
4. Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas
Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2007)
5. Membumikan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1994)
6. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an (15 jilid,
Jakarta: Lentera Hati, 2003)
Ia adalah seorang ulama tafsir kontemporer Indonesia. Sepanjang
kariernya sebagai dosen, guru besar, dan ulama, Quraish Shihab tetap
konsisten pada jalur tafsir Al Qur‟an (Iqbal dan Nasution,2015:251).
C. Buku Yang Hilang dari Kita Akhlak
Buku karya M.Quraish Shihab ini diterbitkan oleh Lentera Hati
Tangerang cetakan pertama, Agustus 2016. Memiliki 320 halaman dengan
ukuran 15 x 23 cm. Buku ini pada mulanya merupakan kumpulan dari
enam ceramah lisan yang disampaikan oleh Quraish Shihab pada akhir
tahun 2015. Hal itu bermula ketika heboh-hebohnya kasus yang kemudian
dikenal secara bercanda dengan istilah “Mama minta pulsa,” yakni adanya
tuduhan bahwa Ketua Lembaga Negara yang sangat terhormat dan yang
23
anggota-anggotanya digelari dengan “Anggota Terhormat”
mengatasnamakan Presiden dan Wakil Presiden meminta saham dari satu
perusahaan asing yang berlokasi di Indonesia (Shihab,2016:xiii).
Ketika kasus itu menggelinding, berkembang diskusi tentang
kewajaran hal di atas ditinjau dari segi hukum dan akhlak, lebih-lebih
setelah Majelis Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat “turun tangan”
membahasnya. Ketika itu, banyak yang berkesimpulan bahwa ada sesuatu
yang hilang dari masyarakat kita, termasuk dari orang-orang yang
mestinya menjadi teladan. Yang Hilang itu adalah Akhlak. Quraish Shihab
sependapat dengan kesimpulan tersebut walau tanpa menghadirkan dalam
benak dan ataun memberi penilaian wajar atau tidak kasus di atas. Di
sinilah bermula ceramah-ceramah Quraish Shihab tentang akhlak secara
umum dan dari sini pula sekian banyak hadirin yang mengharapkan
Quraish Shihab membukukannya dan inilah yang terhidang dari buku ini
(Shihab,2016:xiv).
D. Corak Pemikiran M. Quraish Shihab
1. Bidang Teologi
M. Quraish Shihab dapat menyelaraskan antara akal dan
wahyu, maka dari itu dikenal sebagai sosok yang moderat. Hal ini
dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al Qur‟an,
dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah swt. dengan potensi-
potensi tertentu yang meliputi:
24
a. Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi, dan kegunaan
segala macam benda.
b. Akal dan pikiran serta panca indera, dan kekuatan positif untuk
mengubah corak kehidupan dunia ini.
c. Potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan setan.
d. Ditundukannya bumi, langit, dan segala isinya oleh Allah swt.
kepada makhluk.
Di samping itu manusia juga memiliki banyak masalah yang
tidak dapat dijangkau oleh pikirannya, khususnya menyangkut diri,
masa depan, serta banyak hal menyangkut hakikat manusia, seperti:
fenomena kehidupan akhirat, pengetahuan tentang di daerah mana dia
akan mati, dan kemungkinan manusia menyukai sesuatu padahal hal
tersebut jelek baginya (Shihab,1996:233). Dari keterangan di atas dapat
diambil dua kesimpulan yaitu: pertama, Ada suatu hal yang tidak dapat
dirubah dalam situasi dan kondisi apapun. Hanya satu yang dapat
menjangkaunya yaitu wahyu. Kedua, ada suatu hal pula yang manusia
diberi wewenang untuk memikirkannya.
2. Bidang Syariat islam
Dalam hal syariat, M. Quraish Shihab sependapat dengan para
ulama yang mengatakan “bahwa ulama yang hanya mengajukan satu
pendapat saja bisa menimbulkan kesan hanya pendapat itu saja yang
benar.” dan beliau jika ditanya paling suka menjawab bahwa si-A
berkata seperti ini, si-B berkata ini, dan si-C berkata begini. Oleh
25
karena itu sering dinilai kebanyakan orang sebagai seseorangrang yang
bukan pengikut faham organisasi tertentu.
3. Bidang Tasawuf
Dalam bidang tasawuf, M. Quraish Shihab lebih cenderung
kepada Al Qur‟an dan Hadis. Dalam hal ini dapat dilihat dari beberapa
konsepnya tetang tasawuf, misalnya konsep tawakal, menurut Quraish
adalah menyertakan segala urusan kepada Allah setelah mendatangkan
hukum sebab akibat. Konsep ini beliau ambil dari Al-Qur‟an yang
menurutnya bahwa kata tawakal dalam Al-Qur‟an diulang kurang lebih
11 kali yang semuanya didahului oleh perintah melakukan usaha baru
kemudian disusul dengan perintah tawakal.
4. Bidang Tafsir
Dalam bidang tafsir, M. Quraish Shihab lebih cenderung
menggunakan metode tahlili (analitis) yaitu dengan menjelaskan ayat
demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat
dalam mushaf. Namun di sisi lain Quraish Shihab mengemukakan
bahwa metode tahlili memiliki kelemahan, maka dari itu beliau juga
menggunakan metode maudhu‟I (tematik) yang menurutnya metode ini
dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan Al Qur‟an secara
mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang
dibicarakannya (Shihab,2002:ii).
26
BAB III
PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi yaitu
berasal dari Bahasa Yunani Kuno Paedos dan agoo. Paedos artinya
“budak” dan agoo artinya “membimbing”. Akhirnya pedagogie
diartikan sebagai budak yang mengantarkan anak majikan untuk
belajar (Jumali,dkk,2004:17).
Dinamakan pendidikan apabila dalam kegiatan tersebut
mencakup hasil yang rambahannya (dimensi) pengetahuan sekaligus
kepribadian. Dengan demikian hakikat pendidikan adalah kegiatan
formal yang melibatkan pendidik, anak didik, kurikulum, evaluasi,
administrasi yang secara simultan memproses peserta didik menjadi
bertambah pengetahuan, skill dan nilai kepribadiannya dalam suatu
keteraturan kalender akademik (Jumali,dkk,2004:19).
Sedangkan menurut UU No. 20 th 2003 tentang sistem
pendidikan nasional (Depdiknas,2003:91), pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
27
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
2. Pengertian Akhlak
Secara etimologi, akhlak berasal dari Bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari Khuluq ( خلق) yang pada mulanya bermakna ukuran,
latihan dan kebiasaan. Dari makna pertama (ukuran) lahir kata
makhluk, yaitu ciptaan yang memiliki ukuran, sedangkan dari makna
yang kedua (latihan) dan ketiga (kebiasaan) lahir sesuatu yang positif
maupun negatif (Shihab,2016:3). Makna-makna diatas mengisyaratkan
bahwa akhlak dalam pengertian budi pekerti maupun sifat yang mantap
dalam diri seseorang baru dapat dicapai setelah berulang-ulang latihan
dan dengan membiasakan diri melakukannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan
dengan budi pekerti, kelakuan. Sedangkan moral diartikannya sebagai
ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dsb. Akhlak juga diartikan dengan
kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin, dan sebagainya, sebagaimana ia juga dipahami
dalam arti isi hati atau keadaan perasaan, sebagaimana terungkap
dalam perbuatan. Sedangkan etika diartikannya dengan ilmu tentang
apa yang baik apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak) (Shihab,2016:3).
28
Masih dalam buku yang sama yaitu yang Hilang dari Kita
Akhlak oleh M. Quraish Shihab (Shihab,2016:5) Imam al-Ghazaly
mengemukakan bahwa:
Khuluq dan khalaq adalah dua kata yang dapat
ditemukan dalam satu kalimat...Al Ghazali lebih jauh
menjelaskan bahwa khuluq (akhlak) merupakan kondisi
kejiwaan yang mantap, yang atas dasarnya lahir aneka kegiatan
yang dilakukan dengan mudah, tanpa harus dipikirkan terlebih
dahulu. Nah, bila kondisi kejiwaan itu baik dan
melahirkanperbuatan-perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan
agama baik, pemiliknya dinilai memiliki akhlak mulia.
Sebaliknya pun demikian.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa
pendidikan akhlak adalah tuntunan mengenai dasar-dasar akhlak yang
berkaitan dengan budi pekerti yang harus ditanamkan pada seseorang
sejak dini agar menjadi sebuah kebiasaan yang menginternalisasi
dalam dirinya dan lahir dalam perilaku dan etika kehidupannya.
Penanaman tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan formal, non
formal dan informal sehingga dapat mencapai tujuan yaitu manusia
yang berakhlak mulia.
Pendidikan akhlak merupakan suatu proses mendidik,
memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak
dan kecerdasan berfikir baik yang bersifat formal maupun informal
yang didasarkan atas ajaran Islam. Pada sistem pendidikan Islam ini
khusus memberikan pendidikan tentang akhlak dan moral yang
bagaimana yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim agar dapat
mencerminkan kepribadian seorang muslim (FIP-UPI,2007:39).
29
B. Pendidikan Akhlak Menurut Quraish Shihab
Quraish Shihab dalam bukunya membagi akhlak menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut (Shihab,2016:4) :
Manusia memiliki akhlak yang bersumber dari tabiat
manusia dan juga akhlak yang dikaitkan dengan aktivitasnya yang
lahir oleh dorongan kehendaknya. Karena itu, ada yang dinamai
akhlak diri manusia dan juga yang merupakan akhlak kegiatannya,
yakni aktivitas yang lahir dari kehendaknya. Yang pertama (akhlak
diri) lahir bersamaan dengan fithrah/asal kejadian manusia. Ia
dinamai akhlak karena ia merupakan makhluq, yakni sesuatu yang
tercipta sejak kelahiran.
Dipaparkan bahwa akhlak diri tersebut adalah yang dinamakan
sebagai tempramen. Yakni gejala karakteristik dari sifat emosi seseorang
yang antara lain menjadikannya terbuka atau tertutup, mudah atau tidak
terangsang emosinya (marah). Menurut Quraish Shihab tempramen tak
jarang dipengaruhi oleh faktor keturunan, juga zat-zat tertentu dalam tubuh
seseorang. Jadi, pendidikan atau lingkungan tidak mempengaruhinya
(Shihab,2016:4).
Di samping akhlak diri ada pula yang dinamai akhlak masyarakat.
Masing-masing negara memiliki akhlak tersendiri tak terkecuali Indonesia.
Setiap negara memiliki kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat lain.
Quraish Shihab menyatakan “Ia adalah adat kebiasaan yang telah diterima
dan dianggap baik oleh masyarakat tertentu walaupun itu tidak diterima
oleh masyarakat lain.”(Shihab,2016:5).
Menurut Quraish Shihab (Shihab,2016:123) akhlak adalah sifat
dasar/kondisi kejiwaan yang telah terpendam lagi mantap di dalam diri
30
seseorang dan yang tampak ke permukaan melalui kehendak/kelakuan dan
itu terlaksana dengan sangat mudah, tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain
sebab.
Quraish Shihab juga mengatakan bahwa akhlak jika ditinjau dari
tujuannya merupakan sekumpulan nilai yang harus diindahkan manusia
dalam aktivitasnya demi tercipta hubungan harmonis dengan selainnya,
bahkan demi meraih kebahagiaan pribadi dan masyarakat (Shihab,2016:6).
Adapun nilai-nilai yang berkaitan dengan akhlak adalah sebagai berikut:
1. Baik dan Buruk
Quraish Shihab mengutip pendapat dari beberapa filusuf
terdahulu. Kelompok rasional (Mu‟tazilah) menegaskan bahwa yang
baik adalah apa yang dianggap akal baik dan yang buruk adalah yang
buruk dalam pandangan akal. Sedangkan kelompok kedua
menekankan bahwa yang baik adalah apa yang ditetapkan oleh Allah
melalui tuntunan agama sebagai sesuau yang baik dan yang buruk apa
yang dinilai-Nya buruk (Shihab,2016:55).
Untuk mempertemukan dua pandangan di atas Quraish Shihab
menyatakan bahwa ketetapan Allah menyangkut baik dan buruk
sesuatu adalah karena akal menilainya baik/buruk. Tidak ada yang
dinilai Allah baik, kecuali dinilai juga oleh akal yang sehat/baik, begitu
juga sebaliknya (Shihab,2016:55).
Menurutnya ada kebaikan yang bersifat mutlak seperti hikmah,
keadilan, kedermawanan, dan kebenaran. Ada juga yang bersyarat
31
seperti baik kalau digunakan dengan cara dan tujuan yang baik dan
buruk bila tidak. Ini seperti harta, kedudukan, kecantikan, dan
kekuatan.
Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kebaikan adalah segala
sesuatu yang mengantar pada perolehan apa yang diharapkan atau
raihan tujuan yang disenangi selama itu mendapat penilaian positif
oleh agama/masyarakat (Shihab,2016:60). Akan tetapi syarat utama
untuk menilai sesuatu itu baik adalah bahwa kebaikan itu dilakukan
atas dorongan kepatuhan kepada Allah atau dalam istilah agama
lillah/demi karena Allah ( Shihab,2016:14).
Mengapa ada kejahatan dan keburukan? Quraish Shihab
menyatakan ( Shihab,2016:57 ), berikut:
Keburukan/kejahatan adalah lawan dari kebaikan. Ia
mencakup dua hal pokok: pertama, sakit/perih, baik jasmani
maupun ruhani, katakanlah seperti musibah
kebakaran/tenggelam, dan yang kedua adalah yang mengantar
pada sakit atau perih, seperti kebodohan dan kedurhakaan.
Keburukan dan kejahatan itu bisa jadi bersumber dari pihak
lain dan bisa juga akibat ulah yang mengalaminya sendiri.
Pada hakikatnya, keburukan/kejahatan diizinkan Allah terjadi
agar manusia tahu makna kebaikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa
sebenarnya keburukan itu tidak ada atau paling tidak pandangan
manusia yang parsiallah yang melihatnya sebagai
keburukan/kejahatan. Dinyatakan bahwa keburukan adalah akibat
keterbatasan pandangan, ia sebenarnya tidak buruk tetapi nalar
manusia yang mengiranya demikian (Shihab,2016:58).
32
Dalam pandangan Islam, Allah adalah sumber Kebaikan dan
Allah yang memerintah dan melarang (Shihab,2016:14).
2. Akhlak Luhur
Akhlak luhur sangat dibutuhkan karena selain sebagai makhluk
individu manusia juga merupakan makhluk sosial. Ada kalanya diri
sendiri harus mengorbankan ego demi terciptanya hubungan yang
harmonis dengan orang lain dan sekitar. Pengorbanan itu melahirkan
moral dan akhlak terpuji, demikian juga kesediaan
berkorban/pengorbanan merupakan manifestasi dari akhlak luhur.
Lebih diperjelas dalam bukunya (Shihab,2016:18), berikut: “Semakin
besar pengorbanan, semakin luhur pula akhlak.”
Akan tetapi tidak semua kewajiban membutuhkan
pengorbanan. Sebelum melangkah untuk berkorban hendaknya
dipertimbangkan dulu manfaat dan madharatnya. Mana yang lebih
besar diantara keduanya.
Lebih dari itu, akhlak luhur dibutuhkan dengan menegakkan
norma-norma yang mengatur hubungan dengan berbagai pihak.
Dinyatakan dalam bukunya (Shihab,2016:23) : “Tali yang kuat adalah
tali agama.” Karena itu, akhlak harus bersumber dari ajaran agama.
Lebih lanjut dinyatakan (Shihab,2016:27): “Kehidupan itu hanya
dinikmati oleh yang mengasah dan mengasuh jiwanya dengan akhlak
luhur terhadap Sang Khaliq dan Makhluk.”
33
Quraish Shihab menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang
akhlak sebagai ilmu, demikian juga mempelajarinya dengan cara yang
benar akan mengantar seseorang kepada pemahaman yang benar
tentang hidup dan kehidupan, baik sebagai makhluk individu dan
sosial. Hal itu memberikan kemampuan berganda, yaitu dalam hal
ketelitiannya tentang baik dan buruk dan potensi mendorong seseorang
untuk melakukan yang baik dan menghindari yang buruk.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan kaitannya dalam akhlak.
Quraish Shihab menyatakan (Shihab,2016:39), berikut:
Apabila manusia menyadari 3 hal yaitu pandangan baik
dan buruk, kebebasan kehendak, dan ilmu. Serta
mengharmoniskan ketiganya dengan menjadikan akal sebagai
pengendali yang adil/moderat sehingga tidak mengakibatkan
lumpuhnya emosi dan syahwat, tidak juga membiarkan larut
memenuhi keinginan keduanya, maka akan membuahkan
akhlak yang luhur.
a. Potensi
Quraish Shihab mengungkapakan dalam konteks akhlak,
sekian banyak pemikir Muslim menyatakan bahwa ada 4 potensi
diri yang harus bergabung dan menyatu secara seimbang dalam diri
manusia untuk mencapai puncak akhlak (akhlak luhur secara
sempurna). tapi kalau hanya sebagian saja, maka ia dapat dinamai
“relatif berakhlak luhur” (Shihab,2016:62-65), sebagai berikut:
1) Potensi ilmu
Aktualisasi dari potensi ilmu adalah sesorang mampu
mengetahuai perbedaan antara yang benar dan salah, yang hak
34
dan yang batil dalam kepercayaan, serta yang indah dan yang
buruk dalam kelakuan. Jika ini terpenuhi maka lahirlah hikmah
sebagai puncak dari akhlak mulia.
2) Potensi amarah
Potensi ini harus digunakan dalam batas tuntunan
hikmah. Dan apabila terpenuhi maka dinamakan keberanian,
apabila berlebihan maka dinamakan kecerobohan. Apabila
kurang maka dinamakan ketakutan atau kelemahan.
Keberanian yang dimaksudkan adalah berani melangkah
dengan perhitungan yang teliti, walaupun hasil yang
diharapkan belum sepenuhnya pasti.
3) Potensi syahwat/keinginan
Syahwat atau keinginan harus digunakan sesuai dengan
tuntunan hikmah, yaitu petunjuk agama dan akal. Bila
terpenuhi maka dinamakan „iffah/kesucian diri. Kalau berlebih
dinamakan syarih/hiperseks dan yang kurang ia menjadi under
sex atau impoten.
4) Potensi adil
Adil bisa diartikan sama, seimbang dan juga dalam arti
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keadilan mewujud
dalam diri manusia kalau berhimpun dalam dirinya hikmah,
„iffah, dan keberanian.
35
Jadi, kesimpulannya manusia memiliki akal, emosi dan
syahwat. Apabila manusia menyadari dan mengetahui cara untuk
mengharmoniskan tiga hal tersebut, serta menjadikan akal sebagai
pengendali yang adil sehingga tidak mengakibatkan lumpuhnya
emosi dan syahwat, tidak juga membiarkan larut dalam menuruti
keinginannya maka secara otomatis akan lahir akhlak luhur pada
diri manusia tersebut (Shihab,2016:39).
b. Cakupan Adab Sopan Santun
Menurut Quraish Shihab (2016:123) akhlak melahirkan
sopan santun. Sedangkan adab merupakan sikap, ucapan, perbuatan
dan aneka tingkah yang ditampakkan ke permukaan oleh seseorang
dan yang bisa jadi bersangkutan dengan memaksakan diri demi
tampil sesuai norma umum pergaulan. Norma umum tersebut dapat
bersasal dari norma agama ada pula yang dihasilkan oleh budaya
masyarakat (Shihab,2016:124). Norma yang telah membudaya
digunakan sebagai pedoman dalam bermasyarakat dan bersifat
relatif. Dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain.
Norma yang sesuai dengan ajaran Islam disebut ma‟ruf dan yang
bertentangan dinamakan munkar.
Adat budaya Indonesia contohnya (Shihab, 2016:124),
berbicara dengan orang tua/dituakan/dihormati sambil meletakkan
tangan di pinggang bukanlah sikap sopan bagi masyarakat
Indonesia. Demikian juga bercipika-cipiki (cium pipi kanan dan
36
cium pipi kiri) antara pria dan wanita yang bukan mahram,
tidaklah direstui dalam masyarakat beragama Islam, termasuk di
Indonesia. Hal yang lebih umum dalam masyarakat adalah basa-
basi. Basa-basi yang dibenarkan (Shihab, 2016:126) adalah
bersikap lemah lembut pada pihak lain dengan harapan lahirnya
simpati sehingga yang dihadapi dapat menerima kebenaran tak
ubahnya seperti dokter yang menghadapi pasien penderita luka
borok, dokter tersebut dengan perlahan dan lemah lembut
membersihkan luka serta mengatakan bahwa luka tersebut baik-
baik saja dan akan segera sembuh.
Quraish Shihab mengambil beberapa nilai akhlak terpenting
yaitu: keikhlasan, rahmat, ilmu, membaca, kesabaran, Ash-
Shidq/kebenaran, amanah, kesetiaan, kekuatan, kelapangan dada,
toleransi, kemuliaan dan harga diri, kedisiplinan, hidup sederhana,
Al-Haya‟/malu, dan tabayyun (Check dan recheck).
Dalam Agama Islam terkandung berbagai tuntunan secara
gamblang tentang aktivitas manusia sehari-hari (Shihab,2016:212)
mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur. Sampai pada
berinteraksi dengan aneka objek yang dihadapi manusia di dunia
ini. Dapat dirinci sopan santun yang diajarkan Islam mencakup
(Shihab,2016:213-214):
1) Sopan santun terhadap Allah swt.
37
Allah adalah wujud yang teragung, maka tempatkan
Allah pada “tempat” yang semestinya. Yang paling utama
dalam konteks akhlak kepada Allah adalah menisbatkan segala
yang baik kepada-Nya dan menafikan segala yang buruk.
(Shihab,2016:217). Yang paling utama yang harus dihindari
dari aneka keburukan adalah mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu. Bahkan bukan hanya dengan mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu sedikitpun tetapi berucap melahirkan kesan
adanya sekutu/sebanding dengan-Nya tidaklah wajar
(Shihab,2016:218).
Selanjutnya: Jangan berprasangka buruk/menisbahkan
yang buruk kepada Allah. Dosa pertama manusia yang
dibisikkan setan kepada Adam dan pasangannya adalah snagka
buruk kepada Allah. Yaitu berprasangka bahwa Dia enggan
kamu berdua menjadi malaikat atau kamu berdua termasuk
mereka yang kekal hidup. Hal itu dapat mengakibatkan
keputusasaan, seakan-akan yang berputus asa menganggap
bahwa Allah swt. tidak kuasa menyingkirkan kesulitannya
(Shihab,2016:220).
Kesimpulannya (Shihab,2016:222) adalah: (1)
membenarkan informasi-Nya; (2) melaksanakan perintah-Nya
dengan tulus; dan (3) menerima takdir-Nya dengan syukur,
sabar, bahkan ridha.
38
2) Sopan santun terhadap Rasul saw.
Rasulullah lebih utama bagi orang-orang mukmin
daripada diri pribadi masing-masing. Sopan santun terhadap
Nabi saw.menuntut sikap menempatkan beliau pada tempat
yang semestinya. Jasa beliau sebagai nabi dan rasul yang
membimbing umat manusia tidak dapat dibalas oleh umat
manusia. Karena itu Allah memerintahkan seluruh manusia
untuk bermohon kepada Allah dengan bershalawat
(Shihab,2016:222-224).
Dalam konteks penghormatan dan balas jasa kepada Nabi
saw., turun berbagai tuntunan Allah, seperti tidak berucap
dengan suara yang melebihi suara beliau ketika berdialog dan
tidak mengeraskan suara dihadapan beliau ketika
menyampaikan sesuatu. Juga diperintahkan agar menghormati
dan mencintai keluarga beliau (Shihab,2016:224).
3) Sopan santun terhadap sesama manusia, masing-masing sesuai
dengan kedudukannya, misalnya ayah, ibu, saudara, pasangan,
anak didik, pendidik, tetangga, tamu, teman, lawan, dan lain-
lain.
4) Sopan santun terhadap binatang. Binatang hendaknya
dipelihara dengan kasih sayang dan persahabatan agar
mencapai tujuan penciptaannya. Memberi hewan haknya,
39
menyembelih/membunuh binatang dengan penuh rahmat dan
kasih sayang (Shihab,2016:290-292).
5) Sopan santun terhadap tumbuh-tumbuhan.tugas manusia
sebagai khalifah untuk memelihara tanah dan tidak
merusaknya, tidak wajar memetik bunga yang belum mekar
atau bahkan daun kecuali untuk hal yang di sahkan, tidak
membuang air di sekitar pohon yang menjadi tempat berteduh,
dan menebang pohon sembarangan (Shihab,2016:296).
6) Sopan santun terhadap lingkungan alam dan benda-benda tak
bernyawa. Dalam pandangan akhlak Islam, apa yang dianggap
tak bernyawa itu dinilai/diperlakukannya sebagai bernyawa
yaitu dengan kasih sayang dan persahabatan (rahmat)
(Shihab,2016:297).
Sebagai mana sebuah pohon kehidupan, akhlak luhur/sopan
santun pun memiliki puncak. Menurut Quraish Shihab (2016:214)
norma utama yang menggambarkan akhlak/sopan santun Islam
secara keseluruhan yaitu adil. Menurutnya (Shihab, 2016:214)
seorang yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu
menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Dalam
bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa adil adalah menempatkan
segala sesuatu sesuai pada tempat dan kadarnya.
Quraish Shihab (2016: 214) juga mengatakan bahwa tidak
menutup kemungkinan diperlukan persamaan nisbi yaitu seperti
40
seorang ayah yang tidak dituntut untuk membiayai dengan sama
rata kedua anaknya yang sedang menempuh pendidikan di
universitas dan sekolah menengah.
3. Cara Membentuk Akhlak
Menurut Quraish Shihab akhlak dapat dibentuk melalui
beberapa cara, diantaranya adalah:
a. Pembiasaan
Akhlak lahir dari kebiasaan. Kebiasaan lahir dari
pembiasaan (Shihab,2016:90). Pembiasaan dalam konteks akhlak
mutlak adanya. Pembiasaan itu dalam bahasa agama dinamai
takhalluq yang seakar dengan kata akhlak. Takhalluq adalah
memaksakan diri dan membiasakannya untuk melakukan sesuatu
secara berulang-ulang”. Quraish Shihab mengutip hadis Nabi saw.
(Shihab,2016:91) sebagai berikut:
Ilmu diperoleh dengan belajar (memaksakan diri dan
mengulang-ulangi belajar). Kelapangan dada melalui
pembisaaan melapangkan dada. Siapa yang selalu
berusaha mencari kebaikan, ia akan dianugerahi dan siapa
yang senantiasa berusaha menghindarkan diri dari
keburukan, ia akan dihindarkan darinya (HR. Al-Khathib).
Perbuatan yang telah menjadi kebiasaan akan dilakukan
dengan mudah, tanpa banyak berpikir, dan ketika itu menjadi
akhlak (Shihab,2016:91).
41
Pentingnya pembiasaan dalam pembelajaran atau kegiatan
belajar mengajar juga harus diperhatikan. Quraish Shihab
menyatakan dalam bukunya (Shihab,2016:29), berikut:
Ilmu akhlak penting dipelajari bukan sekedar
bertujuan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, tetapi
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perlu
digarisbawahi bahwa kegagalan ilmu akhlak dalam
mewujudkan akhlak mulia bagi para “pelajar”nya
disebabkan karena kekeliruan mengajarkan atau mereka
karena mereka tidak memahaminya dengan baik dan yang
lebih penting lagi karena mereka tidak mendorong untuk
melakukannya. Kalaupun mendorong itu tidak cukup untuk
menjadikan kebajikan sebagai kebiasaan.
Ajaran Islam banyak menggunakan cara pembisaaan guna
meraih akhlak mulia atau meninggalkan akhlak buruk. Kebiasaan
buruk seringkali tidak disadari, kecuali setelah menjadi sifat yang
melekat pada diri seseorang (Shihab,2016:93). Hal ini pula yang
diajarkan Rasulullah saw. Memerintahkan orang tua untuk
menyuruh anak-anaknya shalat sejak umur 7 tahun, meskipun
shalat belum menjadi kewajiban bagi si anak. Quraish Shihab
menyatakan (Shihab,2016:93) bahwa para pakar dari Timur
Tengah banyak yang berpendapat hendaknya pembisaaan itu
dilakukan secara berkesinambungan selama 40 hari.
Menurut Quraish Shihab agaknya hikmah dari puasa
Ramadhan selama satu bulan penuh dan disusul dengan enam hari
puasa Syawal adalah pembisaaan untuk mengendalikan nafsunya
(Shihab,2016:93).
42
b. Meniru Keteladanan
Quraish Shihab menjelaskan tentang keutamaan. Setelah
banyak pendapat yang beliau rangkum seperti akhlak adalah
kekuatan bukan sebuah kelemahan dan akhlak yang baik dengan
kata kemaslahatan. Akan tetapi menurutnya pandangan yang paling
tepat dan jitu adalah memandang bahwa manusia harus
berkembang menuju ketinggian dan keluhuran, dan untuk itu harus
diletakkan di pelupuk mata hatinya satu “contoh ideal dan kekal”
yang mencapai puncak kesempurnaan, keluhuran, dan kesucian,
bahkan puncak segala puncak (Shihab,2016:77).
Dalam konteks membentuk akhlak ini ditemukan riwayat
yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. (Shihab,2016:79)
Artinya: “latihlah diri kalian berakhlak dengan akhlak/sifat-sifat
Allah”
Allah sebagai Dzat yang Maha Sempurna merupakan
sumber keteladanan yang utama. Dunia dan alam semesta adalah
tanda wujud-Nya Allah. Dengan mengenal, menghayati dan
mengamalkan sifat-sifat Allah (tentunya sesuai kedudukan manusia
sebagai makhluk) secara maksimal akan mngarahkan manusia ke
dalam akhlak luhur. Tentu saja hal tersebut membutuhkan
mujahadah, yakni upaya sungguh-sungguh yang bermula dengan
memaksakan diri dan membisaakan diri.
43
Selain dua cara di atas, Quraish Shihab menekankan
perlunya menggarisbawahi beberapa hal dalam konteks meraih
akhlak luhur (Shihab,2016:93), sebagai berikut:
(a) Melakukan introspeksi, (b) Menyibukkan diri dengan
hal positif, (c) Memperhatikan dampak buruk ketiadaan akhlak,
(d) Berada di lingkungan yang baik, (e) Membaca yang
bermanfaat, (f) Bergaul dengan yang berbudi, dan (h) Yang amat
penting pula adalah bermohon kepada Allah. Nabi saw. Bila
memandang cermin berdoa:
“Ya Allah, sebagaimana engkau telah memperindah penampilan
jasadku, maka perindah juga budi pekertiku.” (Al Asqalani,
2011:704)
Manusia berkewajiban berusaha akan tetapi kita ingat
bahwa keberhasilan membentuk akhlak luhur tetap ditentukan oleh
Allah swt. setelah kesungguhan manusia berupaya. Quraish
Shihab menyimpulkan (Shihab,2016:94) bahwa upaya tersebut
berintikan pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang baik
buruk dan atau apa yang sebaiknya dilakukan, lalu disusul dengan
kehendak dan disiplin yang kuat untuk melaksanakan pengetahuan
tersebut secara sungguh-sungguh sambil bermohon bantuan Allah
swt. Akhlak bukanlah sesuatu yang dibawa serta seseorang
semenjak kelahirannya ia tidak seperti apa yang selalu
menghadirkan panas karena jika akhlak merupakan bawaan
tentulah tidak berguna nasihat.
44
BAB IV
ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT M. QURAISH SHIHAB
DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN AKHLAK DI INDONESIA
A. Analisis Pendidikan Akhlak menurut M. Quraish Shihab
Konsep pendidikan akhlak yang dipaparkan oleh Quraish Shihab dalam
bukunya Yang Hilang dari Kita Akhlak, meliputi pengertian akhlak, pembagian
akhlak, akhlak luhur, hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai akhlak dan cara
membentuk akhlak. Di dalamnya juga tersaji contoh akhlak kepada Allah,
Rasul, sesama manusia, makhluk lain dan benda-benda tak bernyawa. Semua
pendapat yang diutarakannya bersumber pada Al Qur‟an dan Hadits yang mana
memang Quraish Shihab adalah mufassir ternama di Indonesia.
Ditegaskan dalam bukunya bahwa akhlak tengah hilang dalam diri
umat muslim secara umum dan perlu upaya sungguh-sungguh untuk
mencarinya. Dikatakan demikian karena banyak sekali peristiwa yang terjadi
terkhusus di Indonesia menunjukkan bahwa krisis moral tengah merajalela.
Kemaslahatan umat seperti tidak lagi menjadi perhatian dikarenakan masing-
masing individu mengedepankan emosi daripada hati nurani. Sedangkan yang
dinamakan hati nurani adalah suatu reaksi yang berasal dari dalam hati.
Menurut Quraish Shihab (Shihab, 2016: 44) perihal hati nurani yaitu:
Jika patuh pada petunjuk hati nurani, mereka akan menghargai diri
mereka sendiri di samping kepuasan yang tampak pada diri mereka,
yakni kepuasan akhlaki, tetapi jika tidak mengikutinya, mereka akan
merasakan kehinaan pada diri mereka atau lebih dikenal dengan istilah
teguran hati nurani.
45
Moral yang diajarkan dan dipraktikkan oleh para leluhur bangsa kita,
tidak lagi terlihat dalam kehidupan keseharian kita (Shihab,2016:xii). Dapat
dikatakan bahwa akhlak yang hilang adalah akhlak luhur yang sesuai dengan
tuntunan agama, bahkan tanpa sadar banyak nilai-nilai ajaran Islam yang justru
diterapkan oleh orang-orang bukan pemeluk Islam. Sangat disayangkan ketika
hilangnya akhlak telah begitu jelas terlihat terutama oleh para pemuka negara
seperti wakil rakyat yang mana gerakan sedikitpun akan menarik perhatian
seluruh media. Perlu adanya pengetahuan tentang baik dan buruk secara luas
serta dalam untuk dapat menemukan kembali sesuatu yang hilang itu.
Quraish Shihab menyatakan kebaikan adalah sesuatu yang mengantar
pada perolehan yang diharapkan selama mendapat penilaian positif oleh
agama/masyarakat (Shihab,2016:60). Sedangkan keburukan adalah
kebalikannya. Penilaian baik dan buruk pun dapat berubah antara satu tempat
dengan yang lain. Meskipun begitu, tetap harus didasarkan kepatuhan kepada
Allah swt. karena kuasa tetap berada di tangan-Nya. Tidak ada satu pun yang
terjadi tanpa campur tangan Allah swt. Sedang yang paling utama dalam
konteks akhlak kepada Allah adalah menisbahkan segala yang baik kepada-
Nya dan menafikan segala yang buruk (Shihab,2016:217). Allah adalah sumber
kebaikan dan yang menurut manusia buruk pada hakikatnya adalah kebaikan
bagi manusia itu sendiri apabila mau menelaah, merenungkan dan mengambil
hikmah darinya.
Manusia diciptakan oleh Allah swt. disertai dengan fithrah. Adapun
pengertian fithrah disini berdasar pada hadits Nabi saw.:
46
Artinya:“Setiap manusia diciptakan dalam keadaan fitrah (kesucian)
hanya saja kedua orang tuanya (lingkungan) yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR.Muslim).
Menurut Quraish Shihab (Shihab,2016 25) hadits tersebut mengisyaratkan
dua hal pokok, yang pertama adanya fithrah yang melekat sejak kelahiran anak
dan yang kedua adalah pengaruh lingkungan. Yang dibawa antara lain fithrah
keagamaan yang suci, yakni pengakuan yang terpendam di dalam jiwa tentang
kehadiran Tuhan Yang Maha Esa. Meski dapat redup pada akhirnya akan
muncul lagi sebelum kematiannya. Kecenderungan kepada kebaikan dapat
dilihat melalui keleluasaan dalam berbuat, kebaikan akan cenderung dilakukan
dengan santai, sedang keburukan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Potensi ini lah yang perlu adanya asah dan asuh sehingga muncul sebagai
kebiasaan berperilaku baik tanpa sadar yaitu berakhlak luhur.
Menurutnya ada 4 potensi diri yang harus bergabung menjadi satu
secara seimbang untuk mencapai puncak akhlak, apabila sebagian saja maka
hanya dinamai relatif berakhlak luhur. Potensi tersebut adalah potensi ilmu,
potensi amarah, potensi syahwat/keinginan, dan potensi adil. Keempat potensi
tersebut hendaknya berada di tengah-tengah, tidak kurang karena akan menjadi
lumpuh mengakibatkan kemunduran diri atau berlebihan yang akan
mencelakakan diri sendiri. Kadar yang sedang atau secukupnya akan
melahirkan akhlak luhur. Dari keempat potensi tersebut puncaknya adalah adil
dalam segala hal yaitu menempatkan sesuatu pada tempat dan kadarnya.
47
Quraisy Shihab (Shihab,2016:39) menyatakan bahwa bila manusia
menyadari dan mengetahuai bagaimana mengharmoniskan tiga hal (akal, emosi
dan syahwat) dengan menjadikan akal sebagai pengendali yang adil/moderat
sehingga tidak mengakibatkan lumpuhnya emosi dan syahwat, tidak juga
membiarkan larut memenuhi keinginan emosi dan syahwat maka akan
membuahkan akhlak yang luhur yaitu hikmah, keberanian,‟iffah, dan keadilan.
Sekali lagi ditegaskan (Shihab,2016:69) bahwa akal adalah yang pertama,
sedangkan keadilan menjadi yang terakhir karena merupakan hasil dari aneka
kebajikan, keduanya saling membutuhkan.
Apabila berbicara tentang akhlak tentu terbesit ungkapan hati nurani,
begitu pula dalam satu bagian buku ini membahasnya (Shihab,2016:45-46)
yaitu dinyatakan bahwa tidak mustahil mereka semua mendengar bisikan dari
hatinya yang dinamai hati nurani. Hati nurani terbentuk dari pendidikan,
pengalaman, dan lingkungan sehingga tidak mustahil ada bisikan nurani yang
dibisikkan oleh setan atau nafsu. Seperti terjadi pergulatan dalam diri manusia
untuk menerima bisikan malaikat yang mendorong pada kebaikan atau setan
yang mendorong pada keburukan. Apabila dijadikan sebagai tolok ukur maka
hati nurani yang telah terbentuk melalui pendidikan dan lingkungan yang
sesuai dengan nilai-nilai kebenaran universal serta nilai-nilai agama dan norma
budaya positif.
Adapun cara membentuk akhlak Quraish Shihab menyatakan ada dua
cara yaitu pembiasaan dan meniru keteladanan. Pertama, kebiasaan dapat lahir
dari pembiasaan. Dinyatakan dalam bukunya ( Shihab,2016:91) dalam bahasa
48
agama pembiasaan dinamai takhalluq yang seakar dengan kata akhlak.
Takhalluq adalah “memaksakan diri dan membiasakannya untuk melakukan
sesuatu dengan berulang-ulang.” Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya:“Ilmu yang diperoleh dengan belajar (memaksakan diri dan
mengulang-ulangi belajar). Kelapangan dada melalui
pembiasaan melapangkan dada. Siapa yang selalu berusaha
mencari kebaikan, ia akan dianugerahi dan siapa yang
senantiasa berusaha menghindarkan diri dari keburukan, ia akan dihindarkan darinya” (HR. al-Khatib).
Pembiasaan yang dianjurkan adalah perilaku baik berdasarkan ajaran
Islam, karena ada kegiatan buruk yang telah menjadi kebiasaan seperti minum
khamr oleh masyarakat Jahiliyah. Al Qur‟an pun mencegah secara bertahap
dimulai dengan mengisyaratkan tidak baiknya minuman keras, dilanjutkan
dengan pernyataan bahwa keburukannya lebih banyak kemudian melarang
meminumnya pada saat tertentu seperti shalat wajib dan akhirnya melarangnya
secara total (Shihab,2016:92). Tuntunan Al Qur‟an yang bertahap mengajarkan
bahwa kebiasaan buruk pun dapat dihilangkan perlahan melalui penjelasan dan
pembiasaan meninggalkannya serta mengisi dengan kebaikan.
Pembiasaan yang berikutnya adalah perintah untuk menyuruh anak-
anak shalat sejak berusia tujuh tahun, meski belum wajib baginya. Pembiasaan
yang dianjurkan dalam Islam yaitu selama 40 hari. Sepertinya hal ini lah yang
dikehendaki dengan adanya puasa Ramadhan disusul dengan 6 hari puasa
syawal.
49
Kedua, meniru keteladanan. Pada dasarnya sifat manusia adalah mudah
meniru. Cara ini membutuhkan adanya sosok teladan yang dianggap memiliki
kelebihan atau kesempurnaan. Dalam Islam tiada kesempurnaan yang dapat
menandingi kesempurnan Allah swt. seperti firman-Nya dalam QS. Ar Rum
[30]: 27 sebagai berikut:
Artinya: “...Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi...”
(Depag,2008:573).
Maka sudah sepatutnya bahwa seorang makhluk meneladani sifat
Tuhannya sesuai dengan kedudukan sebagai makhluk. Sumber keteladanan
yang utama adalah kesempurnaan Allah melalui 99 sifatnya yang tertuang
dalam asmaul husna. Dijelaskannya sifat-sifat itu melalui Kitab Suci lalu
memberi contoh penerapannya untuk manusia melalui para nabi yang diutus-
Nya. Karena itu Nabi Muhammad saw. adalah teladan yang paling sempurna,
antara lain dalam menerapkan peneladanan manusia menyangkut sifat-sifat
Allah (Shihab,2016:77). Meski tidak mungkin seorang hamba dapat menyamai
Tuhannya, maka upaya yang dilakukan adalah sebisa mungkin mendekati
sifat/akhlak-Nya dengan sifat-sifat Allah Yang Mahasempurna.
Sebagai contoh meneladani sifat ar-Rahman dan al-afwu. Ar-Rahman
(pelimpah kasih sayang bagi seluruh makhluk dalam kehidupan dunia ini),
seorang mukmin akan berusaha memberi kasih kepada semua makhluk tanpa
kecuali (Shihab,2016:87). Sedang al-Afwu (Maha Pemaaf, seseorang akan
selalu bersedia memberi maaf dan menghapus bekas-bekas luka hatinya, serta
50
tidak lagi terlintas dalam benaknya (Shihab,2016:88). Dengan kesungguhan
meneladani dua sifat-Nya saja maka tak akan ada kekerasan serta kejahatan
(kriminalitas) karena manusia dapat saling menyayangi dan memaafkan satu
sama lain. Betapa terasa damai kehidupan ini jikalau semua orang dapat
berlaku demikian, bahkan Allah pun bersifat as-Salam (Mahadamai/Pemberi
kedamaian kepada siapa dan apa pun yang wajar menerimanya).
Manusia cenderung memperhatikan sesuatu yang jelas tampak oleh
mata baru kemudian memikirkan makna yang terkandung dibaliknya. Dalam
hal keteladanan orang tua pun memiliki peran yang utama. Hasan (2015: 33)
memberikan contoh saat menyuruh anak untuk solat misalnya, orang tua juga
harus melakukannya. Begitu pula shodaqoh, puasa dan hal-hal positif lainnya.
Jadi, tidak sebagai penyuruh yang hanya memerintah anak untuk melakukan
melainkan menjadi sosok teladan yang layak diteladani dalam hidup seorang
anak.
Berikutnya adalah keteladanan seorang pendidik kepada anak didiknya.
Sosok pendidik seringkali menjadi idola anak didik. Anak-anak pun tak jarang
lebih mempercayai pendidik daripada orang tuanya. Oleh karena itu hedaknya
pendidik benar-benar menjaga akhlak Islami karena dengan begitu secara
otomatis akan lahir ketersambungan atara pendidik, ilmu yang disampaikan
dengan anak didik sesuai dengan tujuan pendidikan. Quraisy Shihab (2016: 30-
31) menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang akhlak sebagai ilmu, demikian
juga mempelajarinya—selama dalam bentuk dan cara yang benar—akan
mengantar seseorang kea rah pemahaman yang benar tentang hidup dan
51
kehidupan, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai mkhluk individu. Saat
anak didik mengagumi keindahan dan kebaikan pendidiknya maka akan lebih
mudah dalam mengimplementasikan pengetahuan ayng telah disampaikan
secara langsung maupun tidak langsung.
Selain dua cara di atas disebutkan sebagai berikut: (a) Melakukan
introspeksi, (b) Menyibukkan diri dengan hal positif, (c) Memperhatikan
dampak buruk ketiadaan akhlak, (d) Berada di lingkungan yang baik, (e)
Membaca yang bermanfaat, (f) Bergaul dengan yang berbudi, dan (h) Yang
amat penting pula adalah bermohon kepada Allah.
Akan tetapi penulis melihat bahwa niat/kehendak baik selalu ditekankan
dalam buku tersebut. Niat sangat penting sebelum melakukan berbagai
kegiatan. Dinyatakan dalam bukunya (Shihab,2016:43) ia baru menjadi baik
dan buruk akibat kehendak pelakunya. Maka tidak wajar sesuatu/perbuatan
disifati sebagai baik dan buruk tanpa melihat kehendak dari pelaku. Karena
suatu perbuatan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Dalam kehidupan sehari-hari tentunya banyak kita jumpai hal-hal yang
tampak sederhana justru bernilai pendidikan tinggi. Adapun sebagian darinya
adalah pendidikan orang tua kepada anak. Dalam lingkup pendidikan, keluarga
merupakan lingkungan terdekat yang memiliki pengaruh besar dalam
perkembangan anak. Abdillah Firman Hasan (Hasan, 2015: 29) menyatakan
bahwa “orang tua adalah pihak pertama dan utama dalam mengawal kehidupan
anak-anaknya. Seolah-olah dikatakan bahwa anak yang baik dan buruk adalah
sama-sama produk dari orang tuanya”. Untuk memiliki anak yang berakhlakul
52
karimah tentunya harus diimbangi dengan upaya mendidik anak sesuai dengan
bingkai keagamaan yaitu nilai-nilai keIslaman sejak dini.
Sebagai contoh yang pertama adalah pengawasan terhadap anak.
Merupakan hal wajar seorang anak bermain bersama teman sebaya nya ketika
pulang sekolah atau hari libur. Akan tetapi orang tua terutama ibu seringkali
marah apabila mengetahui anaknya belum sampai rumah padahal jam telah
larut. Pengaruh lingkungan bermain (bergaul) tak kalah berpengaruh pada
kepribadian anak, maka orang tua memiliki peran penting dalam mengawasi
pergaulan anak. Seperti dikatakan Hasan (2015: 31) tugas orang tua adalah
mengarahkan agar anak dapat memilih pergaulan yang dapat memberi
pengaruh positif bagi kehidupannya. Hal ini terjadi di sekitar kita bahkan
terjadi pada diri sendiri. Pada dasarnya orang tua tengah melaksanakan
pembentukan akhlak melalui perhatian/pengawasan terhadap anak.
Setelah pengawasan yang dilakukan dalam mendidik anak, yang
selanjutnya adalah pemberian sanksi terhadap perilaku yang tidak seharusnya
dilakukan oleh anak. Ketika orang tua menjewer telinga/mencubit lengan
anaknya, sebenarnya pendidikan tengah berlangsung. Berdasarkan logika,
orang tua tidak akan menjewer telinga anaknya dengan tanpa sebab, maka
dapat dikatakan jeweran tersebut adalah jeweran kasih sayang. Dapat dikatakan
demikian karena dalam teori pendidikan pun dikenal Reward and punishment.
Reward hanya akan diperoleh apabila melakukan suatu kebaikan sedang
punishmen pasti didapat akibat perbuatan buruknya. Dalam agama pun dikenal
pahala untuk pelaku kebaikan dan dosa untuk pelaku keburukan, bahkan
53
kebaikan seberat zarrah pun mendapat balasan, seperti dalam Q.S al-zalzalah:
7-8 berikut ini:
Artinya: “ maka barang iapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa
mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.” (Depag,2008:909)
Sanksi/hukuman yang diberikan hendaknya disertai dengan pemberian
pengertian agar anak tidak mengalami kebingungan. Dalam teori pembelajaran
(Sriyanti, dkk, 2014: 52) Willian Estes menyatakan bahwa:
Hukuman memiliki efek emosional yang tidak menguntukngkan karena
ketakutan anak tergeneralisir pada perilaku lainnya. Hukuman memang
memberitahu perilaku yang tidak diinginkan, tetapi tidak memberitahu
perilaku mana yang dikehendaki atau yang harus dilakukan.
Seorang anak seringkali mengatakan “orang tua saya tidak sayang,
karena sering memarahi saya” ketika ditanya kenapa orang tua memarahinya
anak tersebut tidak mengatahui alasan sebenarnya. Dalam hal ini tengah terjadi
kesalahpahaman yang fatal. Alangkah lebih baik apabila membiasakan untuk
berkomunikasi dua arah dengan baik antara orang tua dan anak. Dengan
demikian maka tidak terjadi kesalahpahaman dari pesan pendidikan yang
dimaksudkan orang tua melalui penjeweran (sanksi) karena perilaku anak yang
tidak sesuai, kepada penerimaan jeweran. Sehingga menjadi pemahaman yang
utuh karena disertai dengan penjelasan tentang hal yang boleh dilakukan dan
tidak dengan cara yang baik yaitu kasih sayang
54
B. Relevansi Pendidikan Akhlak menurut M. Quraish Shihab dengan Pendidikan
Akhlak di Indonesia
Quraish Shihab selalu mengutip pendapat para ahli sebelum
menyampaikan pendapatnya sendiri tentang suatu hal. Sebagai dasar
pemikirannya yang sangat toleran dan terbuka dari berbagai arah. Buku ini
sebenarnya adalah kumpulan beberapa ceramahnya tentang akhlak dan
menerima permintaan dari masyarakat untuk membukukannya. Selain itu, buku
Yang Hilang dari Kita Akhlak merupakan tanggapan atas krisis moral yang
terjadi di Indonesia.
Pernyataan ini tidak menunjuk kepada satu pihak saja, melainkan
kepada seluruh manusia terutama seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Fenomena yang semakin membabi buta seiring dengan tak terbendungnya
media informasi katakanlah sosial media ikut mendukung terciptanya suasana
seperti sekarang ini. Gadget seperti menjadi barang wajib yang tak boleh lepas
dari geanggaman seperti kotak ajaib yang dapat menuruti setiap permintaan
pemiliknya. Demikian rumit jika diuraikan karena terlalu banyak faktor yang
mempengaruhi suatu kejadian. Akan tetapi ditekankan bahwa dunia pendidikan
diharapkan dapat memotong rantai hilangnya akhlak secara bertahap. Dunia
pendidikan memiliki peran yang cukup besar dalam hal pembentukan perilaku
anak sejak dini.
Dalam bukunya Erawati Aziz yang dikemukakan oleh Marimba,
merumuskan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau tuntunan secara sadar
oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik yang
55
menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Aziz,2003:27). Kerjasama dua
belah puhak yang saling membutuhkan ini jika dilakukan dengan professional
dan maksimal akan menghasilkan tujuan yang diinginkan yaitu kepribadian
yang utama.
Secara tidak langsung kehidupan manusia adalah pendidikan yang
berlangsung tanpa disadari. Mulai dari keluarga hingga kepada instansi
lembaga pendidikan maupun pengembaraan bercakap dengan alam semesta.
Pendidikan itu terus berlangsung, hanya ada satu pemisah yaitu tertutupnya
liang lahat atau sering disebut sebagai pendidikan sepanjang hayat. Dalam
dunia pendidikan dikenal istilah Taksonomi Bloom yaitu ada 3 konsep ranah
pendidikan yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif mengarah
kepada proses berfikir, ranah afektif mengarah kepada nilai atau sikap yang
mana akhlak masuk di dalamnya, dan psikomotorik.
Berawal dari tindak asusila, kasus kriminal dan korupsi yang sangat
marak di negeri ini, tentulah harus ada upaya penanggulangan dengan segera.
Karena apabila dibiarkan begitu saja akan berdampak pada eksistensi bangsa
Indonesia sendiri. Apabila dicari siapa yang patut dipersalahkan maka akan
sulit ditemukan karena setiap peristiwa yang terjadi penuh akan sebab dan
akibat. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam dunia pendidikan di
Indonesia herus segera mengambil langkah atau kebijakan untuk menangani
kebingungan ini.
Lembaga pendidikan menjadi sorotan karena disanalah tempat anak-
anak belajar mulai dari usia balita hingga dewasa. Oleh karena itu, diperlukan
56
sistem pendidikan yang tidak hanya mengedepankan ranah kognitif saja akan
tetapi ranah akhlak Islami atau yang dikenal dengan sebutan afektif. Pada
kenyataannya pendidikan Islam di Indonesia telah mengarah ke sana meskipun
tidak sepenuhnya berhasil dengan baik. Pendidikan umum mayoritas
mengedepankan kecerdasan intelektual dalam pembelajarannya. Tingginya
nilai suatu pelajaran menjadi tolok ukur prestasi kecerdasan seseorang.
Paradigma seperti inilah yang harusnya diperbaiki karena ada yang lebih
penting dari sekedar tingginya IQ seseorang. Dengan upaya serius mengasah,
melatih sikap (afektif) dengan didasari pengetahuan (kognitif) sehingga
melahirkan aksi nyata manusia yang beradab (psikomotorik) tercapailah tujuan
pendidikan terutama pendidikan Islam yaitu manusia berakhlakul karimah.
Secara etimologi, akhlak berasal dari Bahasa Arab adalah bentuk jamak
dari Khuluq ( خلق) yang pada mulanya bermakna ukuran, latihan dan kebiasaan.
Dari makna pertama (ukuran) lahir kata makhluk, yaitu ciptaan yang memiliki
ukuran, sedangkan dari makna yang kedua (latihan) dan ketiga (kebiasaan)
lahir sesuatu yang positif maupun negatif (Shihab,2016:3). Makna-makna
diatas mengisyaratkan bahwa akhlak dalam pengertian budi pekerti maupun
sifat yang mantap dalam diri seseorang baru dapat dicapai setelah berulang-
ulang latihan dan dengan membiasakan diri melakukannya.
Pendidikan akhlak merupakan terbentuknya seorang hamba Allah yang
patuh dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak mulia (Nata,2013:33). Dalam
bukunya (Shihab,2016:97) diterangkan bahwa Islam adalah akhlak dengan
57
dasar hadis Nabi yaitu al-Birru husn al-khuluq (kebajikan adalah budi pekerti
yang luhur) (H.R Muslim). Islam mengajarkan berbagai kebajikan maka Islam
adalah akhlak. Jadi dengan mempelajari Islam sama dengan mempelajari
akhlak, pendidikan Islam sama dengan pendidikan akhlak.
Jika diperhatikan, tampaknya ada relevansi secara teori antara konsep
akhlak yang dipaparkan oleh Quraish Shihab dengan pendidikan akhlak di
Indonesia. Dalam penelitian ini, penulis menemukan lima konsep pendidikan
akhlak dalam bukunya. Berikut ini akan diuraikan relevansi konsep pendidikan
akhlak menurut Quraish Shihab dengan pendidikan akhlak di Indonesia.
1. Pembagian akhlak menjadi dua yaitu akhlak diri dan akhlak masyarakat.
Dalam diri manusia terdapat tabiat yang lahir bersamaan dengan
asal kejadian manusia. Akhlak diri itu dinamakan sebagai tempramen
yang tak jarang dipengaruhi oleh faktor genetikal seseorang. Adapun
akhlak masyarakat tercermin melalui adat kebiasaan masyarakat dalam
kesehariannya. Apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk
pasti berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain.
Adanya dua akhlak yaitu yang bersifat permanen berupa
tempramen dan yang bersifat relatif menandakan bahwa peran
pendidikan adalah dapat berupaya untuk mengasah dan mengasuh
potensi ini untuk diarahkan kepada tujuan pendidikan yaitu manusia yang
berakhlak mulia.
58
2. Pandangan tentang baik dan buruk
Dasar penilaian baik dan buruk adalah hukum Allah swt. Dasar
ini adalah mutlak karena jalan agama itu jelas untuk mencapai ridho Nya.
Adapun mengapa kejahatan dan keburukan itu dapat terjadi adalah dapat
bersumber dari pihak lain bisa juga dari diri sendiri. Karena Rasululloh
pun pernah berdoa dari kejahatan pihak lain saat akan keluar dari rumah.
Akan tetapi kembali lagi kuasa Allah tetaplah menjadi rahasia Nya. Pada
hakikatnya semua yang terjadi di dunia ini merupakan kebaikan,
pandangan manusia lah yang mengatakannya sebagai baik dan buruk.
Untuk mengetahui lebih dalam perihal baik dan buruk perlu
adanya proses belajar salah satunya melalui pendidikan formal/sekolah.
Di sinilah tempat untuk membentuk sebuah paradigma universal perihal
apa yang dinamakan baik dan buruk bagaimana cara untuk melakukan
kebaikan menghindari keburukan, serta membagikan kebaikan dan
mencegah keburukan.
3. Empat potensi diri dalam mencapai akhlak luhur
Dalam diri manusia terdapat empat potensi yang harus dipelihara
dengan takaran yang pas agar tercapai puncak aklak baik yaitu yang
disebut sebagai akhlak luhur. Akhlak luhur adalah akhlak yang sesuai
dengan tuntunan agama sebagai manifestasi meneladani sumber kebaikan
yang sempurna yaitu Allah swt. melalui penghayatan terhadap asmaul
husna.
59
Empat potensi tersebut adalah potensi ilmu, potensi amarah,
potensi keinginan/syahwat dan potensi adil. Pertama, potensi ilmu.
Aktualisasinya adalah dapat membedakan yang baik dan yang buruk, jika
terpenuhi maka akan lahir sebuah hikmah yang merupakan puncak dari
akhlak luhur. Hikmah menjadi penuntun tiga potensi berikutnya untuk
mencapi akhlak mulia. Kedua, potensi amarah. Apabila berlebihan akan
lahir sebagai kecerobohan, apabila kurang dinamakan
ketakutan/kelemahan dan apabila sesuai dengan tuntunan hikmah akan
lahir sebiah keberanian. Keberanian yang dimaksud adalah yang disertai
dengan perhitungan secara teliti. Ketiga, potensi syahwat/keinginan. Bila
terpenuhi dinamakan „iffah dan apabila berlebihan dinamakan hiperseks
seta apabila kurang lahir sebagai under sex atau impoten. Yang keempat
atau yang terakhir yaitu potensi adil. Apabila terhimpun dalam dirinya
hikmah, „iffah, dan keberanian maka seseorang telah mencapai potensi
adil.
Apabila keempat potensi telah terbentuk dan tercermin dalam
kehidupan seseorang maka dapat dikatakan sebagai manusia berakhlak
luhur. Akan tetapi apabila salah satu belum terpenuhi seseorang itu
dinamakan sebagai relatif berakhlak luhur.
4. Cakupan adab sopan santun
Meliputi sopan santun kepada Allah, Rasul, dan sesama makhluk.
Adab kepada sesama makhluk terbagi pula ke dalam sesama manusia
yaitu kedua orang tua, saudara, tetangga, lawan, sahabat, pasangan, dll.
60
Dibahas secara rinci beserta contoh kongkret sehingga jelas sekali
tindakan yang harus dilakukan. Misalnya, seperti yang dinyatakannya,
“Prinsip utama yang harus diterapkan dalam hubungan dengan sesama
manusia adalah lakukan untuk orang lain apa yang ingin orang lain
lakukan terhadap anda ( Shihab,2016:233). Lihat dan tempatkan diri anda
dalam posisi orang lain. Maka suasana harmonis akan tercapai karena hal
itu akan meminimalisir keburukan dalam berinteraksi.
Norma utama akhlak Islam adalah adil ( Shihab,2016:231). Adil
berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Demikian halnya
memperlakukan kedua orang tua diletakkan setelah menaati Allah dan
Rasul Nya, berupa bakti kepadanya. Misalnya, larangan berkata buruk
walaupun hanya berkata “ah/cis” maka hendaknya apabila terdapat
sebuah permasalahan dengan keduanya dapatlah berdiskusi untuk
mencapai sebuah titik temu tanpa harus menyakiti hati keduanya.
Menghormati keduanya tanpa memandang agamanya. Demikian Al
Qur‟an menyatakan besarnya penghormatan kepada ibu dan bapak. Akan
tetapi penulis menemukan pernyataan yang menyatakan bahwa orang tua
pun harus bijaksana dalam membantu anak untuk berbakti kepadanya.
Tidak otoriter meskipun maksut nya adalah baik yaitu kebahagiaan bagi
anaknya. Tidak memaki dan membebankan sesuatu yang melebihi
kemampuannya.
Sopan santun antara pendidik dan anak didik. Penghormatan anak
didik kepada pendidik hendaknya didasari oleh kekaguman bukan atas
61
rasa takut. Rasa kagum terhadap pendidik tersebut telah sirna disebabkan
banyak faktor diantaranya adalah kedisiplinan atau apa yang diajarkan
tidak berkenan di hati anak didik. Karena sang pendidik tidak
mempersiapkan diri dengan baik. Di sini terlihat bahwa ada pergeseran
budaya dalam belajar, apabila di masa lalu sering terdengar apa saja yang
disampaikan oleh pendidik harus diterima oleh anak didik pada
kenyataannya saat ini banyak anak didik bahkan lebih mengetahui
perkembangan daripada pendidiknya. Akan tetapi hal yang harus tetap
diertahankan adalah sikap hormat kepada pendidik. Oleh karena itu
pendidik harus memberi contoh bahwa yang benar harus utama
didahulukan. Pendidik tidak harus menguasai berbagai bidang
pelajaran/kehidupan, setidaknya harus lebih pandai/bijaksana dalam
bidang yang ditekuninya. Sehingga mengamalkan ilmu jauh lebih utama
karena akan memelihara ilmu tersebut, justru dapat menambah ilmu itu
sendiri.
Quraish Shihab menyatakan (Shihab,2016:29) “bisa jadi
kegagalan ilmu akhlak dalam mewujudkan akhlak mulia bagi pelajarnya
disebabkan karena kekeliruan cara mengajarkannya...baginya”.
Pernyataan ini mengarah kepada pendidik agar menata ulang cara dan
akhlak dirinya sebelum, ketika, dan setelah berhadapan dengan anak
didik dalam membahas akhlak itu sendiri. Sehingga tercipta kesesuaian
dalam dirinya, ilmu akhlak dan penerima ilmu yaitu anak didik.
62
Maraknya penganiayaan terhadap pendidik/dosen yang dilakukan
oleh anak didiknya sendiri bisa jadi dikarenakan perbuatan atau
perkataan pendidik yang sangat menyinggung misalnya
mencela/menghardik anak didiknya. Hal ini menjadikan peringatan
bahwa pendidik hendaknya memperlakukan anak didik sebagai anak-
anaknya, saudara atau adik apabila usianya sebaya yang didasaridengan
kasih sayang, bahkan dinyatakan dalam buku tersebut pendidik seringkali
kikir memberikan pujian (Shihab,2016:248).
Sopan santun terhadap binatang dan tumbuhan berupa perlakuan
baik terhadapnya mengingat Allah tidak menciptakan seseuatu pun
dengan sia sia. Tumbuhan dan hewan diciptakan untuk kebutuhan
manusia itu sendiri jadi perlakuan yang baik didasari oleh rasa kasih
sayang (rahmat) dan persahabatan akan melahirkan akhlak yang luhur
kepada sesama makhluk Allah. Binatang dan tumbuhan pun dapat
merasakan perlakuan manusia kepadanya.
5. Cara membentuk akhlak ada dua cara
Meskipun dalam buku tersebut disebutkan dua cara yang dapat
dilakuan yaitu pembiasaan dan meniru keteladanan, penulis menemukan
bahwa niat/kehendak baik merupakan langkah awal untuk mencapainya.
Niat merupakan awal dari segala hal. Kehemdak yang baik akan
menghantarkan manusia untuk berlaku baik.
63
Sebelum melakukan sesuatu apapun yang terpenting adalah niat
pelaku. Hal kecil tetapi menentukan baik atau buruk suatu kegiatan
ditentukan olehnya. Demikian pula untuk membentuk akhlak yang luhur,
niat/kehendak baik untuk menata diri agar berhiaskan akhlak luhur sangat
memberikan andil keberhasilan usaha tersebut.
Quraish Shihab banyak mengambil pendapat para ulama dan
filsuf terkait dengan niat/kehendak baik. Yang menjadi dasar utama
adalah hadis Nabi saw. yang berbunyi (Shihab,2016:12) :
Artinya: ”Nilai amal ditentukan oleh niat”
Lebih jelasnya diungkapkan olehnya sebagai berikut
(Shihab,2016:31):
Semua filsuf yang memberi perhatian tentang akhlak—
mereka semua—menyatakan bahwa asas utama menyangkut akhlak
adalah kehendak baik dan bahwa seseorang sebelum melangkah
melakukan kegiatannya, ia harus menetapkan secara tulus apa yang
harus dilakukannya agar kegiatannya itu menjadi sebaik mungkin
pada situasi dan kondisi yang sedang dialaminya.
Selain dua cara di atas, hal penting lainnya ada tujuh hal yang
perlu diperhatikan yaitu: melakukan introspeksi, menyibukkan diri
dengan hal positif, memperhatikan dmapak buruk ketiadaan aklak,
berada di lingkungan yang baik, membaca hal yang bermanfaat, bergaul
dengan yang berbudi, dan yang terpenting adalah memohon kepada
Allah. Karena semua yang terjadi di dunia ini tidak terlepas dari qudrah
dan iradah Allah swt.
64
Cara selanjutnya yang tak kalah sering dijumpai dan dangat
penting adalah pengawasan orang tua tehadap pergaulan anak mengingat
zaman semakin berkembang tak terkendali melalui berbagai media.
Ketegasan dalam mendidik anak melalui pemberian sanksi yang sesuai
dengan tingkat usia dan kefatalan perbuatan hendaknya disertai dengan
penjelasan yang memahamkan sehingga seorang anak tidak menjadi
pribadi yang kebingungan saat menerima sanksi tersebut. Ketika anak
dapat membedakan yang baik dan buruk kemudian dikuatkan dengan
penjelasan yang sempurna maka pemahaman tersebut berangsur akan
menghantarkan kepada kebiasaan berperilaku baik tanpa sadar yang
disebut dengan akhlak luhur.
Quraish Shihab dalam bukunya menghadirkan hal-hal sederhana
yang seringkali dilupakan. Seperti halnya jangan marah, ini adalah
akhlak penting dalam Islam. Terbukanya pikiran dengan menyadur
pendapat dari berbagai pihak menghantarkan kita lebih toleran dan
tenang dalam menjalani kehidupan. Menurutnya tidak benar jika ada
pemisahan antara iman, Islam, dan ihsan. Karena akhlak adalah Islam
dan Islam adalah ahlak. Sedang dalan Islam didalamnya terdapat iman
dan ihsan, tidak ada pemisahan dari ketiganya.
Pentingnya kasih sayang dalam bergaul memperlakukan pihak
lain (hablum minan nas) merupakan akhlak luhur. Perlu adanya
kesadaran dari dalam diri masing-masing manusia Indonesia untuk
menempa diri, menelisik kedalam hati masing-masing sehingga dapat
65
mewujudkan tujuan utama pendidikan yaitu akhlak mulia. Sepeti halnya
toleransi yang apabila diterapkan oleh seluruh manusia Indonesia, tak
akan ada konflik yang berujung pada kekerasan. Tercipanya Indonesia
yang bersatu seperti dalam dasar negara Indonesia itu sendiri.
Pengetahuan seharusnya tak berhenti sampai pada pemikiran saja
melainkan menjadi sebuah pemahaman dalam hati serta lahir menjadi
akhlak luhur.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah penulis sampaikan pada bab-bab
sebelumnya, dapat disimpulkan:
1. Pendidikan akhlak menurut M. Quraish Shihab penulis kelompokkan
ke dalam lima poin yaitu: (1) Pembagian akhlak (2) Pandangan tentang
baik dan buruk (3) Mengenal empat potensi diri yaitu potensi ilmu,
amarah, keinginan,syahwat dan adil (4) Cakupan adab sopan santun
dan (5) Cara membentuk akhlak.
2. Relevansi pendidikan akhlak menurut Quraish shihab dengan
pendidikan Islam di Indonesia saat ini adalah kesamaan dasar
pemikiran yaitu Al Qur‟an dan Hadis. Pendidikan Akhlak menurut
Quraish Shihab telah mewakili pendidikan akhlak di Indonesia, akan
tetapi menurutnya pendidikan di indonesia belum sepenuhnya berhasil
dalam membentuk akhlak mulia (luhur). Akhlak dinyatakan telah
hilang dari individu secara umum umat Islam di Indonesia dibuktikan
banyaknya perilaku yang jauh dari nilai-nilai Islami. Kegagalan ilmu
akhlak dalam mewujudkan akhlak luhur, ada dua kemungkinan yaitu
dikarenakan kesalahan cara mengajarkannya ataupun karena mereka
tidak memahaminya dengan baik, serta apabila sudah memahaminya
mereka tidak mengunakannya sebagai sebuah kebiasaan.
67
B. Saran-saran
Adapun beberapa saran yang ingin penulis sampaikan adalah
sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah
Sistem pendidikan yang berlaku harus ditinjau secara terus
menerus agar tidak terjadi kecolongan (tidak tepat sasaran). Anak didik
adalah generasi emas bangsa ini untuk mempertahankan eksistensi
Indonesia di kancah global. Akhlak yang hilang di dalam rumah (diri)
manusia setidaknya dapat diusahakan didapatkan kembali melalui
sistem pendidikan yang memberi perhatian lebih kepada pembentukan
akhlak.
2. Bagi Pendidik
Untuk mencapai terbentuknya akhlak mulia seorang pendidik
hendaknya memiliki pemahaman yang dalam serta luas dalam
bidangnya. Karena anak didik seringkali menjadikan pendidik (guru)
sebagai idola maka sebagai figur pendidikan seorang pendidik harus
menunjukan uswatun hasanah seperti yang diajarkan oleh Rasulullah
saw. Pengetahuan yang luas serta dalam, komunikasi yang baik, cara
penyampaian yang tepat, bertujuan mendidik bukan sekedar mengajar,
keteladanan serta perlakuan yang baik terhadap peserta didik akan
membantu terbentuknya akhlak luhur.
68
3. Bagi Anak Didik
Suatu hal yang menjadi pusat dalam proses mencari akhlak
yang hilang adalah diri sendiri. Jangan sampai puas dengan keadaan
saat ini karena belum tentu yang menurut diri sendiri baik adalah
mutlak baik bagi orang lain dan masyarakat. Pentingnya belajar
sepanjang hayat tidak melulu pada pendidikan formal saja melainkan
belajar dari berbagai arah kehidupan di dunia ini. Hormati ilmu dan
pemberi ilmu, pada dasarnya tidak ada anak yang membawa lahir
membawa keburukan saja, jadi hiasi diri dengan akhlak mulia.
69
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. 1983. ETIKA (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang
Amirin, Tatang. 1995. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo
Anwar, Mauluddin, dkk. 2015. Cahaya, cinta dan canda M. Quraish Shihab.
Tangerang: Lentera Hati
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta
1987. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Bina
Aksara
Aziz, Erawati. 2003. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam. Solo: PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri.
BP. Dharma Bhakti. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Dharma
Bhakti
Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Firmanzah, Abdillah Hasan. 2015. Ensiklopedia Akhlak Mulia. Solo: Tinta
Medina
Ghofur, Saiful Amin. 2008. Profil Para Mufasir Al-Qur‟an. , Saiful Amin.
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani
Halim, Nipan Abdul. 2000. Menghias Diri dengan Akhlak Terpuji. Yogyakarta:
Mitra Pustaka
Hassan, Ahmad. T. t. 1983. Terjemah Bulughul Maram. Bandung: Diponegoro
Iqbal dan Nasution. 2015. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia
Jumali, dkk. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University
Press
Komarudin. 1988. Kamus Istilah Skripsi dan Tesis. Bandung: Angkasa
70
Moleong. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nata, Abudin. (Ed) 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: angkasa
Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Pustaka
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Sa‟dulloh, Uyoh. Dkk. 2014. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta
Shihab, M. Muhammad. 1996. Wawasan Al Qur‟an Tafsir Maudhu‟I atau
Pelbagai Permasalahan Umat. Bandung: Mizan
2016. Ada Yang Hilang Dari Kita Akhlak. Tangerang: Lentera Hati
Siroj, Zaenuri dan A. Adib Al Arif. 2009. Hebatnya Akhlak di Atas Ilmu dan
Tahta. Surabaya: Bintang Books
Sriyanti, Lilik, dkk. 2014. Teori-teori Pembelajaran. Salatiga: STAIN Salatiga
Press
Suryabrata, Sumardi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan
bagian I. Bandung: PT. Imperial Bhakti Utama.
71
LAMPIRAN-LAMPIRAN
72
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Nurul Anifah
Tempat/Tanggal lahir : Kab. Semarang, 25 Februari 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Dsn. Secang RT. 03 RW. 01, Desa Samban, Kec. Bawen,
Kab. Semarang
Email : [email protected]
No Hp : 085712378176
Riwayat Pendidikan :
SDN Samban 01, Kec. Bawen 2000-2006
SMP Negeri 1 Bawen, Kab. Semarang 2006-2009
SMK NU Banat Kudus 2009-2012
73
74