284
PENAFSIRAN SUFISTIK SAID H}AWWA DALAM ALASA<S FI< AT-TAFSI<R DISERTASI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Agama Islam Oleh SEPTIAWADI NP. 05.300.1.05.01.0019 Promotor PROF. DR. M. ARDANI PROF. DR. RIFAT SYAUQI NAWAWI, MA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H

PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

PENAFSIRAN SUFISTIK SA‘ID H}AWWA

DALAM AL–ASA<S FI< AT-TAFSI<R

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh

Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh

SEPTIAWADI NP. 05.300.1.05.01.0019

Promotor

PROF. DR. M. ARDANI

PROF. DR. RIF‘AT SYAUQI NAWAWI, MA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 M/1431 H

Page 2: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi yang berjudul “PENAFSIRAN SUFISTIK SA‘ID H}AWWA DALAM

AL–ASA<S FI< AT–TAFSI<R “ yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok :

05.300.1.05.01.0019 disetujui untuk dibawa ke sidang ujian pendahuluan.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. M. Ardani Prof. Dr. Rif‘at Syauqi Nawawi, MA

Tanggal : Tanggal : __________________

Page 3: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

iii

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Septiawadi

NIM : 05.300.1.05.01.0019

Judul Disertasi : Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asa>s fi>

at-Tafsi>r

menyatakan, bahwa disertasi ini merupakan hasil karya asli saya kecuali kutipan-

kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila ternyata dikemudian hari tidak benar

maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 13 Nopember 2010

Saya yang bersangkutan

Septiawadi

Page 4: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

iv

LEMBAR PERSETUJUAN

Disertasi yang berjudul: Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi

at-Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah

dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2

Muharram 1432.

Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk

diajukan pada ujian promosi doktor.

Penguji/ Promotor

Prof. Dr. M. Ardani

Tanggal:

Page 5: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

v

LEMBAR PERSETUJUAN

Disertasi yang berjudul: Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi

at-Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah

dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2

Muharram 1432.

Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk

diajukan pada ujian promosi doktor.

Penguji/ Promotor

Prof. Dr. Rif„at Syauqi Nawawi, MA

Tanggal:

Page 6: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

vi

LEMBAR PERSETUJUAN

Disertasi yang berjudul: Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi

at-Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah

dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2

Muharram 1432.

Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk

diajukan pada ujian promosi doktor.

Penguji / Ketua Sidang

Prof. Dr. Suwito, MA

Tanggal:

Page 7: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

vii

LEMBAR PERSETUJUAN

Disertasi yang berjudul: Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi

at-Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah

dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2

Muharram 1432.

Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk

diajukan pada ujian promosi doktor.

Penguji

Prof. Dr. Salman Harun

Tanggal:

Page 8: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

viii

LEMBAR PERSETUJUAN

Disertasi yang berjudul: Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi

at-Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah

dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2

Muharram 1432.

Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk

diajukan pada ujian promosi doktor.

Penguji

Prof. Dr. Yunasril Ali

Tanggal:

Page 9: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

ix

LEMBAR PERSETUJUAN

Disertasi yang berjudul Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi at-

Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah

dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2

Muharram 1432.

Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk

diajukan pada ujian promosi doktor.

Penguji

Dr. Akhyar Yusuf, MA

Tanggal:

Page 10: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

x

PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asa>s fi}

at-Tafsi>r” yang ditulis oleh sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019

telah lulus dalam ujian promosi doktor yang dilaksanakan pada hari dan telah

diperbaiki sesuai saran tim penguji.

Selanjutnya disertasi ini, disahkan oleh tim penguji promosi doktor.

Tim Penguji

Prof. ( ) Tanggal:

Ketua Sidang/Penguji

Prof.

Penguji

Page 11: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xi

ABSTRAK

Judul disertasi ” Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asa>s fi> at-Tafsi>r”.

Kesimpulan besar dari penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa penafsiran

sufistik terhadap Alquran yang dilakukan oleh mufasir adalah menggunakan makna

isha>ri dengan tetap mengacu pada makna zahir. Kesimpulan penelitian ini

membuktikan akan hal itu dengan mengambil kasus penafsiran sufistik Sa„id

H{awwa yang ditemukan didalamnya menggunakan makna isha>ri dengan tetap

berpegang pada makna zahir dalam menafsirkan ayat-ayat terkait dengan maqa>m-

maqa>m tasawuf dan dimensi ajarannya.

Kesimpulan besar ini mendukung pandangan Zarqani yang mengatakan

bahwa penafsiran sufistik diimplementasikan dengan menakwilkan ayat diluar makna

zahir berdasarkan isyarat tersembunyi dan juga dapat menggunakan makna zahir di

samping makna isha>ri. Pendapat yang senada dengan ini, dikemukakan juga antara

lain adh-Dhahabi, Alexander D. Knysh dan G. Bowering.

Sementara itu, kesimpulan penelitian disertasi ini bertentangan dengan

pendapat yang menolak tafsir sufistik. Kelompok ini berpendapat bahwa penafsiran

sufistik dianggap tidak berlandaskan pada makna zahir ayat bahkan dapat disebut

sebagai aliran tafsir ba>t}iniyyah. Mereka yang berpandangan demikian antara lain;

Ibnu S}alah dan Abu Hasan al-Wa>h}idi.

Berkenaan dengan tafsir Sa„id H{awwa yang diteliti ini, penulis menemukan

bahwa penafsiran sufistik Sa„id H{awwa tergolong sebagai tafsir sufi isha>ri bukan

tafsir sufi naz}ari. Dengan demikian penelitian ini sekaligus membuktikan bahwa

tafsir Sa„id H{awwa merupakan bagian dari tafsir yang berorientasi sufistik yang

selama ini belum pernah dikategorikan demikian. Untuk itu, tafsir Sa„id Hawwa dapat

disejajarkan dengan kita-kitab tafsir yang memiliki orientasi sufistik seperti tafsir al-

Alusi.

Penelitian ini menggunakan sumber utamanya adalah kitab al-Asa>s fi> at-

Tafsi>r karya Sa„id H{awwa. Selain itu, karangan Sa„id H{awwa yang lainnya juga

dijadikan sebagai sumber pendukung. Metode yang digunakan dalam membaca

sumber utama adalah metode tah}li>li>. Penafsiran-penafsiran Sa„id H{awwa terkait

dengan objek penelitian merupakan sebagai data pokok yang dianalisis kemudian

dikomparasikan dengan kitab tafsir sufi lain dan pandangan para ahli tasawuf. Untuk

menarik kesimpulan dalam penelitian ini digunakan metode induktif yaitu setelah

mengkaji data-data tersebut kemudian diperoleh suatu kesimpulan secara umum.

________

Page 12: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xii

اخص

ارفغ١ش اصف غؼ١ذ ح ف األعاط ف ارفغ١ش : زا اثحس تؼا

٠م زا اثحس تاخالصح اإلظا١ح أ افغش اصف ف ذفغ١ش امشا اىش٠ أ ٠مذ

ذه افىشج أ ذصثد رفغ١ش عؼ١ذ ح تح١س ٠ظذ ف١ , اإلشاس ادا أ لذ ٠غرذ اظاش

اإلشاس از ٠غرذ اظاش وا ٠فغش ا٠اخ امشا اىش٠ اح١ح اصف ذرؼك

. تامااخ ف ارصف ذؼا١

إ اخالصح اإلظا١ح ار روشخ ػا رؤوذ ارث اضسلا أ ارفغ١ش اصف

ذأ٠ ا٠اخ امشا اىش٠ ػ خالف ا ٠ظش ا تمرع إشاساخ خف١ح ٠ى ارطث١ك ت١

: لذ لذ اذاسع١ ف ارفغ١ش ػ امي از اافك ف١ صال. اإلشاس اظاش اشاد

تاإلظافح إ ره فئ ز خالصح . تاس٠غ غ١شا. و١ظ ض. ازث ػ١ك عذ٠ش د

اثحس ذشد أ٠عا اساء تؼط اصمف١ ف الا ات صالغ أ ارفغ١ش اصف ا وا

. تاػراد ظاش ت لاي إ افغش اصف لذ عه غه اثاط١ح

أا ارفغ١ش اصف غؼ١ذ ح ػ ظء ع ف زا اثحس فظذ اثاحس أ

ره فئ زا . عؼ١ذ ح افغش اصف اإلشاس ١ظ افغش اصف اظش

اثحس ٠ذي ػ ذفغ١ش عؼ١ذ ح ٠ى ٠ؼرثشتاذعاح صف١ح غ ره أ ذفغ١ش عؼ١ذ ح

. ع ورة ارفغ١ش ٠رص ف١ا تالذعاح اصف١ح وص ذفغ١ش سغ اؼا ألع

إ ف زا اثحس ٠غرخذ اثاحس وراب األعاط ف ارفغ١ش غؼ١ذ ح صذسا سئ١غ١ا

طش٠مح ف زا اثحس ٠غرؼ اثاحس . أا اىرة األخش غؼ١ذ ح فعؼا صذسا شا٠ا

طش٠مح ارفغ١ش ارح١ ح١س أ ٠ذسط اثاحس ا فغش عؼ١ذ ح ػ ظع ٠رؼك

أا اطش٠مح . تا٠اخ ارصف ش ٠ماس تىرة ارفغ١ش اصف غ األفىاس ارصف١

. اإلعرمشائ١ح فرى ٠غرخذا اثاحس تؼذ أ دسط ذه امعا٠ا العرخشاض رائط اثحس

______

Page 13: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xiii

ABSTRACT

This Dissertation entitled“ Mystical Interpretation of Sa„id H{awwa in al-Asa>s fi at-

Tafsi>r”.

As the general conclusion of this research shows that mystical interpretation

conducted by mufasir uses the isha>ri meaning while at the same time considers the

zahir meaning. Such a conclusion was made after investigating the case of mystical

interpretation of Sa„id H{awwa in which he uses the isha>ri meaning in addition to

the zahir meaning to interprete the Quranic verses related to tasawuf maqa>m-

maqa>m and its teaching dimension.

The conclusion also confirms Zarqani‟s view saying that mystical

interpretation is to explain Alquran out of its zahir meaning based on the hidden

meaning as well as to use the zahir meaning beside the isha>ri meaning. The

findings also support another views like: adh-Dhahabi‟s, Alexander D.Knysh‟s and

G. Bowering‟s.

Meanwhile, the conclusion differs from views refusing mystical

interpretation. Reason these views argue that mystical interpretation is not based on

the zahir meaning, even can be mentioned of ba>t}iniyyah interpretation. Such views

can be traced on: Ibnu S{alah}‟s} and Abu Hasan Al-Wah}idi‟s.

This study also finds that of Sa„id Hawwa‟s interpretation, can be categorized

as exegesis of sufi isha>ri and not exegesis of sufi naz}ari. Therefore, this research,

at the same time also prove that exegesis of Sa„id H{awwa represent the part of

mystical-oriented interpretations which during the time have never been categorized.

In short the exegesis of Sa„id H{awwa can be considered as similar with the some of

Quranic exegesis owning mystical orientation like al-Alusi exegesis of his Ru>h}ul

Ma‘a>ni.

The main source of this research is al-Asa>s fi at-Tafsi>r of Sa„id H{awwa,

including other, Sa„id Hawwa works made as secondary source. The method used in

reading the main source is tahli>li method or content analysis. Sa„id H{awwa‟s

interpretation related to research object is analysed and compared with other books of

exegesis and sufistical views. To obtain a conclusion this research uses inductive

thinking method, that is studying the whole specific data to obtain a general

conclusion.

Page 14: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xiv

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah

memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi

ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi Muhammad Saw, sahabat

dan keluarganya sekalian.

Sejauh pengetahuan penulis, pembahasan disertasi tentang tafsir sufistik

jarang dilakukan, beda halnya dengan kajian aspek kalam atau hukum. Dalam

disertasi ini penulis mencoba membahas penafsiran Sa„id H}awwa dengan menyorot

corak sufistiknya. Melihat kecenderungan sufistik pada sebuah tafsir antara lain dapat

diketahui dari kata pengantar pengarangnya atau didukung oleh karya–karya

tasawufnya. Berkenaan dengan Sa„id H{awwa, berdasarkan pada buku–bukunya

yang berkaitan dengan tasawuf dan informasi mukaddimah pengarangnya maka

penulis melihat tafsirnya memiliki kecendrungan sufistik.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan disertasi ini banyak mengalami

kesulitan dan rintangan terutama dalam mengeksplorasi data. Sungguhpun begitu,

berkat rahmat Allah jua serta arahan dari dosen pembimbing yang tulus maka pada

akhirnya kesulitan–kesulitan tersebut dapat terlewatkan.

Berkenaan dengan hal itu, penulis sampaikan ucapan terimakasih yang

sedalam-dalamnya kepada Bapak Prof. Dr. M. Ardani sebagai pembimbing pertama

dan Bapak Prof. Dr. Rif„at Syauqi Nawawi, MA sebagai pembimbing kedua. Beliau

berdua telah mencurahkan tenaga, pikiran dan waktunya untuk memberikan

bimbingan, saran dan arahan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat

dirampungkan. Semoga Allah Swt memberikan balasan pahala yang sepadan kepada

mereka.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada:

Page 15: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xv

1. Rektor IAIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan izin serta

memberikan bantuan moril dan materil kepada penulis dalam rangka

melanjutkan studi program Doktor (S3) untuk meningkatkan kualitas diri

sebagai tenaga edukatif.

2. Pimpinan Sekolah Pascasarjana, dosen serta para penguji dalam ujian disertasi

dan tak lupa kepada para staf di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas

Islam Negeri Ciputat yang selalu menyampaikan gagasan serta petunjuk dan

memberikan pelayanan akademik dan administrasi dengan hati ikhlas.

3. Kepala dan karyawan perpustakaan Pascasarjana Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat-Jakarta yang telah memberikan pelayanan

yang maksimal disaat penulis membutuhkan data-data terkait dengan

penelitian disertasi ini.

4. Berbagai pihak dan kawan–kawan serta kerabat sanak famili yang tidak dapat

disebutkan satu persatu, mereka semua yang ikut memberikan motivasi

selama penulis menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) ini.

Selanjutnya terimakasih dan penghormatan tiada terkira penulis sampaikan

kepada orang tua penulis; Karlis Sutan Saidi (ayah) yang telah tiada-rad}iyaalla>hu

‘anhu- dan Janimar Guci (ibunda) yang selalu mendoakan puteranya. Mereka berdua

telah mendidik dan menanamkan kegigihan dalam menempuh kehidupan ini.

Terakhir, tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada isteri; Novlia Sufrita, S.Pd

dan putera penulis; Dhiyaulhaq Kari serta Arkazulhaq Kari yang telah turut tabah

menghadapi liku-liku perjuangan penulis selama menjalani pendidikan di S3.

Untuk semua pihak yang penulis sebutkan, semoga Allah Swt menerima jasa

baik mereka dan mendapatkan imbalan yang berlipat ganda. Amin!

Sebagai kata penghujung dalam pengantar ini, perlu penulis sampaikan bahwa

karya disertasi ini ibarat setangkai padi yang masih terdapat padanya padi yang

hampa. Oleh karena itu dalam disertasi ini tentu masih dijumpai kekurangan–

kekurangan baik dari bahasa ataupun analisisnya. Karena itu kepada semua pihak

Page 16: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xvi

diharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan disertasi ini. Di samping itu, penulis

juga mengharapkan bahwa dengan kemunculan disertasi ini turut memperkaya kajian

keislaman.

Jakarta, September 2010

Penulis,

Page 17: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xvii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Konsonan

h = ج , {s = ص ’ = ء

d} = y = ض b = ب

: t} Vokal Panjang = غ t = خ

a> contoh = ا_ {z = ظ th = ز

_ ، = ع j = ض = i>

<gh _ = u = ؽ {h = غ

f = ف kh = خ

q = ق d = د

k = ن dh = ر

l = ي r = س

z = m = ص

s = n = ط

sh = w = ػ

Catatan;

Kata – kata asing yang sudah jadi bahasa Indonesia ( kata serapan ) ditulis menurut

ejaan Indonesia. Contoh :

ikhlas = إخالص Allah = اهلل

sufi = صف Abdurrahman = ػثذ اشح

Muhammad = حذ

Khusus penulisan latin tentang “Alquran“ sebagai nama kitab dan bila berdiri sendiri

“al” tidak dipisah yaitu Alquran, kecuali sebagai sifat atau nisbah dari kata lain.

Contoh al-Burha>n fi> Ulu>m al–Qura>n.

Page 18: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xviii

Sehubungan dengan penggabungan al (اي) dengan huruf syamsiyah dan qamariyah

diawal kata tetap mengikuti bacaannya. Contoh: اغال = as-sala>m

al-kari>m = اىش٠

_________

Page 19: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xix

محفوظة

)

:17)

DAFTAR ISI

Page 20: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xx

HALAMAN JUDUL ………………………….…… i

HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………. ii

HALAMAN PERNYATAAN ………………………………. iii

LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………. iv

LEMBAR PENGESAHAN ………………………………. x

ABSTRAK DISERTASI ………………………………. xi

KATA PENGANTAR ………………………………. xiv

PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………… xvii

MAHFUZ{AT ……………………………….

xix

DAFTAR ISI ………………………………. xx

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1

B. Rumusan dan Batasan masalah ………………………………… 14

C. Signifikansi Penelitian ………………………………… 15

D. Kajian Kepustakaan ………………………………… 17

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………………………………… 21

F. Sumber dan Metodologi Penelitian ………………………………… 22

G. Sistematika Pembahasan ………………………………… 25

BAB II. SEJARAH SINGKAT SA‘ID H{AWWA DAN KITAB

TAFSIRNYA ……………………….……….. 27

A. Seting Sejarah Syria Sebelum dan Masa Sa„id H{awwa …………… 27

B. Sejarah Kehidupan Sa„id H{awwa ………………………………… 34

C. Perkembangan Intelektual Sa„id H{awwa ………………………….. 39

1. Pemikiran Keagamaannya ………………………………… 39

2. Karya–karyanya ………………………………… 46

D. Kajian Umum tentang Kitab Tafsir Sa„id H{awwa ………………… 51

1. Nama Kitab dan Sistematika Penulisan ……………………… 51

2. Metode Tafsir Sa„id H{awwa dan Sumber Penafsirannya ……. 54

3. Karakteristik Tafsir Sa„id H{awwa …………………………… 58

BAB III. CORAK SUFISTIK DALAM PENAFSIRAN ALQURAN ……….. 63

A. Keberadaan Corak Tafsir Sufistik …………………………………. 63

1. Pengertian Tafsir Sufistik …………………………………. 63

2. Pertumbuhan dan Perkembangan Corak Tafsir Sufi ………….. 66

B. Macam–macam Corak Tafsir Sufi …………………………………. 80

1. Tafsir Sufi Isha>riy …………………………………. 81

2. Tafsir Sufi Naz}ariy …………………………………. 84

C. Perdebatan Tentang Tafsir Sufi …………………………………. 86

1. Kontroversi Makna Isha>riy …………………………………. 87

Page 21: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

xxi

2. Makna Zahir dan Makna Batin dalam Tafsir Sufi ……………. 91

D. Aspek Kajian Tasawuf dalam Penafsiran Sufistik …………………. 94

BAB IV. METODOLOGI PENAFSIRAN AYAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIK

SA‘ID H{AWWA TENTANG MAQA<M TASAWUF …………….

96

A. Tafsir tentang ayat-ayat Tobat ………….………………………. 97

B. Tafsir tentang ayat-ayat Zuhud ...…….…………………………. 119

C. Tafsir tentang ayat-ayat Sabar ..………………………………. 144

D. Tafsir tentang ayat-ayat Tawakal ………………………………. 164

E. Tafsir tentang ayat-ayat Rid}a …………………………………. 180

F. Tafsir tentang ayat-ayat Mah}abbah ..……………………………

191

BAB V. METODOLOGI PENAFSIRAN AYAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIK

SA‘ID H{AWWA TENTANG METAFISIS AJARAN

TASAWUF ………………………………… 203 A. Tafsir ayat tentang Mujahadah …………………………………. 203

B. Tafsir ayat tentang Kashf …………………………………. 216

C. Tafsir ayat tentang Ittih}a>d …………………………………. 227

D. Tafsir ayat tentang Kara>mah …………………………………. 237

BAB VI. KESIMPULAN …………………………………. 252

A. Kesimpulan …………………………………. 252

B. Implikasi Penelitian …………………………………. 255

DAFTAR PUSTAKA ………………………………….

256

RIWAYAT HIDUP PENULIS

SKM

Page 22: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh ilmuwan atau ahli tafsir untuk

menjelaskan kandungan Alquran, agar mudah dipahami dan dapat dijadikan pedoman

dalam kehidupan. Supaya manusia dapat hidup selamat di dunia dan akhirat. Sudah

tidak terhitung kitab-kitab tafsir yang dihasilkan para mufasir. Artinya studi tentang

Alquran tidak akan berhenti dilakukan, ibaratnya Alquran selalu hadir dalam setiap

masa1 yang tentunya membutuhkan penafsiran sesuai perkembangan zaman dan

kemajuan peradaban. Para pengkaji Alquran senantiasa menafsirkan Alquran dengan

menyesuaikan dengan keahlian bidang ilmu pengetahuan serta kecenderungan

pemikirannya.

Keahlian dan kecenderungan pemikiran ini paling tidak memberikan pengaruh

langsung bagi mufasir dalam rangka memahami dan menjelaskan petunjuk Alquran

dalam kitab tafsirnya. Contohnya, Tafsir yang ditulis oleh Zamakhshari (w.538 H)

yang memiliki keahlian bahasa Arab dan balaghah, ia menggunakan ilmu kebahasaan

dan sasteranya tersebut sebagai alat untuk mengupas makna Alquran. Tersebutlah

kitab tafsirnya sebagai tafsir yang beraliran lughawi (bahasa dan sastera Arab).

Sedangkan dari segi pemikiran, ia cenderung ke Mu„tazilah maka mewarnai pula

dalam tafsirnya sebagai kitab tafsir yang bercorak kalam. Bila kita analisa dan teliti

berbagai kitab tafsir, ditemukan di dalamnya aliran atau corak tafsir yang merupakan

cerminan dua hal diatas atau bisa lebih.2 Ada kita jumpai pula kitab tafsir yang

1 Alquran tidak akan lenyap ditelan masa, tidak akan punah diterpa zaman dan senantiasa baru

dalam penerapan artinya berbagai persoalan kehidupan didunia yang senantiasa berubah maka Alquran

dengan pembaruan pemikiran tafsir dapat dijadikan solusi. Ibarat kata; baju dipakai usang, Alquran

dijalankan (pakai) baru. Hal ini terbukti dengan munculnya bermacam kitab tafsir sejalan dengan

masing–masing situasi yang dihadapi. Menurut Moh. Arkoun, Alquran memberikan kemungkinan arti

yang tak terbatas, kesan yang ditimbulkan ayatnya mengenai pemikiran dan penafsiran pada tingkat

wujud adalah mutlak. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Bandung: Mizan,1993),

Cet.ke-5,72 2 Disinilah kita harus membedakan antara pendekatan tafsir dan nuansa pemikiran yang

dikembangkan. Jika dalam penafsiran Alquran, seseorang menggunakan keahlian bahasa Arab serta

1

Page 23: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

2

memfokuskan bahasan dari aspek ilmu Alquran disamping mengandung corak tafsir

tertentu seperti tafsir yang ditulis oleh Sa„id H{awwa3 yang dijadikan objek

penelitian ini. Sa„id H{awwa menjelaskan dalam pendahuluan kitabnya bahwa ia

menggunakan pendekatan kajian tafsirnya dengan memperkenalkan teori al–

Wah}dah al–Qura>niyyah. Teori yang dikembangkan ini termasuk bagian dari ilmu

muna>sabah Alquran yang nota bene rumpun dari ilmu Alquran.4 Kemudian dari

aspek pemikiran atau corak tafsir teridentifikasi ada kecenderungan tasawuf di dalam

penafsirannya yang dapat pula disebut tafsir ini dengan corak tasawuf. Sa„id H{awwa

juga menyatakan dalam pendahuluan kitab tafsirnya bahwa ia berupaya menjelaskan

dalam tafsirnya dari segi aqidah, fiqh, tasawuf, sulu>kiyyah dan usuluddin.5 Paling

tidak ini mencerminkan bahwa Sa„id H{awwa seorang mufasir disamping

balaghahnya maka disebut kitab tafsirnya dengan aliran lughawi. Bila seseorang menggunakan

keahlian dari aspek ilmu Alquran maka disebutlah kitab tafsirnya dengan pendekatan ilmu Alquran. Ini

dapat dirinci lagi bagian ilmu Alquran yang mana yang lebih ditekankan, seperti mengkaji aspek

muna>sabah, konsep nasakh, pendekatan kisah dan seterusnya. Pendekatan seperti ini dapat disebut

dengan manhaj penafsiran. Sedangkan yang terkait dengan nuansa atau orientasi pemikiran maksudnya

kecenderungan pada suatu bidang kajian yang mendominasi uraiannya, seperti ahli tafsir yang

cenderung membahas bidang kalam, teologi maka disebutlah kitab tafsirnya dengan corak kalam.

Begitu pula bila kecenderungannya dengan ayat–ayat hukum maka disebut kitab tafsirnya dengan

corak fiqh (tafsir ahkam).

Selanjutnya bila cenderung membahas ayat–ayat tasawuf maka disebutlah kitab tafsirnya

dengan corak tafsir sufi. Sama halnya dengan pendekatan tafsir diatas, pemikiran tafsir juga dapat

dirinci, seperti corak kalam mu‟tazilah, khawarij, corak tafsir sufi naz}ari, tafsir isha>ri dan

seterusnya. 3 Nama lengkapnya adalah Syaikh Sa„id bin Muhammad Dib H{awwa. Ia lahir di kota

Hamah, Suriah pada tahun 1935 M. Wafat tahun 1411 H/1990 M. Periode beliau tumbuh dan

berkembang disaat negerinya dikuasai rezim kolonial Perancis. Dicuplik dari al–Mustasyar Abdullah

al–Aqil, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer (Jakarta:

Al-I‟tisham Cahaya Umat, 2003),401. Lihat juga, Sayyid Muhammad Ali Iyazi, al–Mufassiru>n

H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran:Wazarah ath–Thaqa>fah wa al–Irsha>d, 1414 H/1992 M),

132. 4 Sa„id H{awwa menegaskan bahwa dari segi pendekatan dalam menafsirkan Alquran, ia

mempunyai konsep tentang muna>sabah yaitu teori baru al-Wah}dah al-Qura>niyyah. Lihat Sa„id

H{awwa,al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:Darussalam, 1424 H/2003 M), Cet. Ke–6 juz 1, 30. Teori

inilah yang akan diterapkan dalam penafsiran yang dikenal juga dengan sebutan Manhaj. Sedangkan

metode (t}ari>qah) tafsir, itu terkait dengan penyajian dalam kitab tafsir ibaratnya kulit seperti metode

tahli>li, maud}u> ’i, ijma>li dan muqa>ran. 5 Lihat mukaddimah al-Asa>s fi at–Tafsi>r; Sa„id H{awwa,al–Asa>s fi at–Tafsi>r, juz 1, h.

30, lihat juga penggolongan M. Aqil al-Mahdini yang memasukkan Sa‟id Hawwa diantara ulama yang

berperan mengkaji tasawuf, seperti Taftazani, Dr. Muhammad Mustafa, Syaikh Abu Hasan Ali Hasani

an–Nadwi dan lain–lain. Sayid M. Aqil bin Ali al–Mahdini, Madkhal ila> at–Tas}awwuf al–Isla>mi

(Kairo:Darul Hadith, tth), Cet. Ke–2,29

Page 24: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

3

menggunakan ilmu muna>sabah dan juga memiliki pandangan tasawuf dalam

bahasan tafsirnya.

Keberadaan corak tasawuf dalam tafsir tidak bisa dipungkiri sebab Islam

mengajarkan bahwa diri manusia terbagi dalam jasmani dan ruhani maka tinjauan

tasawuf dalam penafsiran sangat berhubungan dengan aspek ruhani manusia itu

sendiri. Alquran yang menjadi dasar ajaran Islam sering mendorong manusia untuk

membersihkan aspek ruhani tersebut. Karena aspek ruhani ini pula yang dapat

mengenal Tuhan dan merasakan kedekatan diharibaanNya. Ayat–ayat Alquran yang

berorientasi tasawuf yang menjadi dasar amalan kelompok sufi lebih terbuka

ditafsirkan dengan pendekatan isha>riy.

Bila dipandang mengenai sejarah penafsiran diketahui bahwa ulama pada

zaman generasi awal perkembangan Islam sudah menafsirkan Alquran dengan

menggali aspek tasawuf.6 Dalam sejarah tafsir sufi, ulama yang populer dalam hal ini

adalah Ibnu Arabi yang lebih terkenal sebagai filosof sufi atau tasawuf falsafiy

dengan paham wujudiyyahnya ketimbang sebagai mufasir. Nama tafsirnya yaitu

Alquran al-Karim atau yang disebut juga dengan nama tafsir Ibnu Arabi.7 Sebagai

referensi pendukung bagi kita untuk memudahkan dalam memahami tafsirnya dapat

dianalisa 2 karangannya yang lain seperti al-Futu>h}a>t al-Makkiyah dan Fus}u>s}

al-H{ikam. Didalam kedua buku tersebut pembahasan tasawufnya sering mengutip

bagian ayat–ayat Alquran.

Menurut pelaku tasawuf, penafsiran secara makna zahir belum membuka

isyarat yang tersembunyi dibalik makna batin Alquran.8 Ketika menjelaskan makna

6 Adh–Dhahabi ketika mengategorikan tafsir ini kepada tafsir sufi dikemukakannya tafsir

Tustari sebagai tafsir awal yang membahas dengan pendekatan sufistik yaitu tafsi>r al–Quran al-

‘Az}i>m. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Isa bin

Abdullah at–Tustari, lahir tahun 200 H di Tustari negeri Ahwaz. Ia meninggal di Basrah tahun 283 H.

Lihat, adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,281. 7 Ibnu Arabi, Tafsir Alqura>n al–Kari>m (Beirut: Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H /2006

M), Cet.Ke–2, halaman depan. Tafsir ini terdiri dari 2 juz tebal. Ibnu Arabi Lahir di Mursiyah-Andalus

tahun 560 H /1165 M, wafat tahun 638 H. 8 Kalangan pengkaji tasawuf sangat mengenal hadis Nabi Muhammad yang menyatakan

tentang Alquran mempunyai makna zahir dan makna batin. Makna batin sering bertalian dengan

penafsiran sufistik yang dipahami oleh pelaku suluk/Tasawuf. Hadis tentang makna zahir dan batin ini

acap kali disinggung oleh penulis buku–buku ilmu Alquran, seperti adh–Dhahabi dalam at–Tafsi>r wa

Page 25: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

4

batin ini sering terjadi kesalahpahaman bagi orang lain khususnya diluar pelaku

tasawuf.

Ada anggapan bahwa pendekatan isha>riy yang digunakan oleh mufasir sufi

tersebut keluar dari maksud Alquran atau sudah terjadi penyimpangan makna. Ibnu

S{ala>h} misalnya, dalam melihat tafsir isha>riy ini dikatakannya tafsir tersebut

tidak layak disebut tafsir. Orang yang menafsirkan tersebut sesungguhnya masuk

golongan bat}iniyyah.9

Bahkan dijelaskan juga oleh Ibnu S{ala>h}, Imam Abu H{asan al–Wa}h}idi

seorang mufasir, pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya terkait dengan tafsir

karya Abu Abdurrahman as–Sulami yang menggunakan pendekatan isha>riy. Lebih

dari itu dikatakannya siapa yang mempercayai tafsir as–Sulami tersebut berarti ia

sudah kufur.10

Dalam istilah G. Bowering menyebutnya dengan outright-unbelief

(kufur).11

Tokoh lain yang dikenal sebagai seorang pembaharu pemikiran Islam yang

terkenal dengan rasionalitasnya, Muhammad Abduh pernah mencela tafsir Ibnu Arabi

dan dianggapnya sudah menyimpang dari kitab yang mulia (Alquran) dan jauh dari

agama Islam. Masih menurutnya, tafsir Ibnu Arabi ini adalah tafsirnya al–Qasha}ni

penganut bat}iniyyah.12

Penafsiran sufistik tidak bisa dilepaskan dari pengalaman kesufian mufasirnya

yang sulit dipahami oleh orang yang tidak memasuki dunia itu. Berkenaan dengan

pendekatan isha>riy dalam penafsiran sufi, itu sangat berhubungan dengan aktifitas

latihan rohani pelaku sulu>k.13

Sebagaimana dipahami bahwa aspek tasawuf dalam

kajian pemikiran tafsir merupakan salah satu aspek ajaran yang dikandung Alquran

al–Mufassiru>n, Manna„ al–Qat}t}an dalam Mabahi>th fi Ulu>m al–Quran, Abdul Warith M.Ali

dalam pengantar tafsi>r Ibnu Arabi. Az–Zahabi, at–Tafsir …, (Beirut:tp, 1976), Cet. Ke – 2,353. 9 Disebutkan oleh Syaikh Abdul Warith M.Ali dalam Pengantar Tafsi>r Ibnu Arabi

(Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2006 / 1428), Cet. Ke–2, 16. 10

Syaikh Abdul Warith, Pengantar …, 16 11

G.Bowering, Sufi Hermeneutics: dalam Alexander D. Knysh, Encyclopaedia of the Quran

(Leiden: MNP, 2006), V.5, 143. 12

Adh-Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassirun (Beirut: tp, 1976), 400 13

Sulu>k merupakan istilah lain dalam tasawuf artinya yang menunjuk orang yang

menempuh jalan kesufian.

Page 26: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

5

disamping aspek hukum, kalam, politik dan seterusnya. Penafsiran terhadap aspek–

aspek ajaran Alquran sangat berkaitan dengan kemampuan teoritis ataupun praktis

dan kecenderungan mufasirnya.

Menurut Zarqani penafsiran sufistik atau tafsir isha>riy diperoleh dengan

menakwilkan ayat diluar makna zahir yang dapat diungkap melalui jalan sulu>k dan

riya>d}ah tasawuf. Tafsir isha>riy dapat saja menggabungkan makna z}ahir dengan

makna isha>riy yang tersembunyi.14

Adh-Dhahabi sependapat dengan pernyataan

diatas dengan menambahkan bahwa ahli tafsir sufi menafsirkan Alquran sesuai

dengan teori dan ajaran tasawuf yang dijalaninya.15

Kontroversi penafsiran sufistik terjadi karena ketidaksamaan dalam

memahami kerangka tasawuf. Selain itu pihak yang kontra beranggapan pendekatan

isha>riy terlalu jauh dipakai dalam memahami aspek tasawuf ajaran Alquran bahkan

sudah masuk dalam ruang aliran bat}iniyyah.

Penafsiran sufistik awal sebagaimana dijelaskan adh-Dhahabi16

bahwa yang

berbentuk kitab tafsir pernah dilakukan Tustari (w.283 H) dengan nama tafsirnya

Tafsi>r Alqura>n al–‘Az}i>m. Zaman berikutnya muncul ahli sufi dengan tafsirnya

H{aqa>iq at–Tafsi>r yang disusun oleh as–Sullamiy (w.412 H) Selanjutnya pada

abad VII H Abu Muhammad as–Shairazi (w.666 H) menulis tafsir ‘Ara>isu al–

Bayan fi H{aqa>iq al–Qura>n. Masih pada abad yang sama muncul seorang guru

besar sufi dari Andalus yaitu Ibnu Arabi (w.638 H) dengan Tafsi>r Alqura>n al –

‘Azhi>m atau dikenal juga dengan Tafsi>r Ibnu Arabi.

Selain demikian, terkait dengan pendekatan isha>riy dalam penafsiran perlu

disebutkan juga disini yang juga menjadi rujukan dalam tafsir Sa„id H{awwa yaitu

tafsir Ru>h al–Ma‘a>ni yang ditulis oleh al–Alu>siy (w.1270 H) serta tafsir an–

Nasafiy (w.701 H), dikenal juga dengan Mada>rik at–Tanzi>l wa H{aqa>iq at–

14

Zarqani, Mana>hil al-‘Irfa>n, dikutip oleh Abdul Warith M.Ali, Tafsi>r Ibnu Arabi

(Beirut:Darul Kutub, 2006), 8 15

Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al–Mufassiru>n (Beirut: tp, 1976), 352 . 16

Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al–Mufassiru>n (Beirut: tp, 1976), 380 - 400 .

Page 27: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

6

Ta’wi>l. Kedua tafsir yang juga kategori tafsir bi ar–ra’yi ini sangat berpengaruh

pada tafsir Sa„id H{awwa.

Pola penafsiran Sa„id H{awwa sementara dapat tergambar bahwa ia tidak

memberikan tema–tema terkait pengelompokkan ayat–ayat dalam suatu surat.

Penafsiran tasawuf dikemukakannya baik melalui riwayat atau analisanya dengan

menafsirkan ayat–ayat yang bernuansa sufistik dan memerlukan penjelasan tasawuf.

Penafsiran melalui ayat dengan ayat yaitu menghubungkan ayat pokok dengan ayat

lain yang saling mendukung (muna>sabah ayat). Setiap ayat yang terkait dengan

ajaran tasawuf, Sa„id H{awwa menguraikan makna tasawuf yang dikandungnya.

Dalam tafsirnya, Sa„id H{awwa sering merujuk kepada athar Nabi atau

sahabat bahkan pendapat ulama. Ketika menafsirkan ayat terakhir surat al-‘Ankabu>t

(29):69 misalnya;

69 ) (. وانره جاهدوا فىا نىهدىهم سثهىا وإن اهلل نمع انمحسىه

Artinya; Dan orang–orang yang berjihad untuk mencari keridhaan kami,

sungguh akan kami tunjukkan kepada mereka jalan–jalan kami.

Sesungguhnya Allah benar beserta orang–orang yang berbuat baik.

Biasa ayat ini dipahami sebagai motivasi bagi orang yang mengalami

kesulitan dalam pekerjaan, menghadapi persoalan dalam usaha dan sejenisnya.

Justeru Sa„id H{awwa menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini bagian ajaran

tasawuf dimana hal itu merupakan tangga menuju kedekatan dengan Allah. Lebih

jauh dikatakannya bahwa siapa yang memahami ayat ini secara komprehensif dan

mengenali maknanya serta mengamalkannya niscaya ia memperoleh kebaikan yang

banyak. Dengan mengutip hadis Nabi, siapa yang berjihad semata–mata karena Allah

maka Dia akan menunjuki jalan agar sampai kepadaNya.17

Ini contoh ayat tasawuf yang dipahami lebih dalam oleh Sa„id H{awwa bahwa

muja>hadah dalam ayat diatas merupakan penghubung hidayah hati menuju Allah

dan ridhaNya. Ayat tersebut membentuk keterkaitan erat, dengan muja>hadahlah

17

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.

Ke–6, 4237–8

Page 28: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

7

maka hidayah akan turun kepada orang yang berkehendak kepada taqwa. Urutannya;

Muja>hadah – Hidayah – Taqwa – sampai pada (jalan) Allah/terbuka hijab

Usaha yang dilakukan ulama dalam menafsirkan Alquran senantiasa dituntut

agar mengalami perkembangan pemikiran supaya wahyu Allah ini lebih mudah

dimengerti dan diamalkan serta dapat menjawab persoalan dalam masyarakat yang

selalu berubah dari masa ke masa. Dari masa awal perkembangan Islam sampai

sekarang sudah bermacam–macam orientasi penafsiran yang muncul. Mulai dari jenis

tafsir bi al-Ma’thu>r kemudian ada penafsiran yang menekankan aspek bahasa

gramatikal, ada yang menekankan kepada ayat–ayat hukum yang dikenal dengan

tafsir ah}ka>m, ada yang memfokuskan menafsirkan ayat–ayat tasawuf yang

melahirkan tafsir sufi, ada juga yang menyorot fenomena sosial yang melahirkan

tafsir adab ijtima>‘i, dan banyak lagi.

Memperhatikan dari fenomena ulama tafsir dengan menyorot berbagai kitab

tafsirnya, dipahami bahwa ada dua kategori penafsiran. Ada kitab tafsir yang memang

ditulis oleh seorang mufasir kemudian ada ulama yang termasuk kategori penulis

tafsir. Kelompok pertama, mengindikasikan bahwa mereka memang ahli tafsir yang

menguasai ilmu tafsir dan ilmu Alquran (ulu>mul Qura>n). Ini akan terlihat dalam

uraian penafsirannya bahwa mereka mengungkapkan berbagai konsep–konsep ilmu

tafsir. Diantara konsep ilmu tafsir tersebut akan terlihat pula, konsep mana yang

dominan dalam penafsirannya. Sebagai contoh tafsir Sa„id H{awwa, salah satu

indikator bahwa ia seorang mufasir adalah konsep ilmu muna>sabah yang

dikembangkan dalam tafsirnya. Disamping tidak menutupi dalam tafsirnya analisa

kecenderungan pemikiran tafsir seperti bidang tasawuf.

Adapun kelompok kedua yaitu ulama yang dianggap sebagai penulis tafsir.

Sebagai indikatornya ulama tersebut terdeteksi tidak banyak menguasai serta

mendalami persoalan tentang ilmu tafsir dan ilmu Alquran. Ini akan terlihat ketika

dalam penafsirannya jarang membahas seputar ilmu Alquran apalagi dengan

menawarkan salah satu konsep ilmu Alquran. Mereka hanya sebatas menjelaskan

maksud Alquran sesuai kapasitas dan kecenderungan ilmu yang dimiliki. Pandangan

Page 29: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

8

seperti ini menguatkan pernyataan Quraish Shihab bahwa diantara ulama terdapat

perbedaan dalam memahami arti tafsir.18

Sebagai implikasi dari kelompok akhir ini, memunculkan buku tafsir

pendidikan, tafsir politik, tafsir sosial, tafsir tentang hak asasi manusia dan

sebagainya.19

Penafsiran berbagai bidang tersebut dilakukan oleh mereka yang bukan

“ mufasir “ melainkan berangkat hanya dari latar belakang keilmuannya. Karena tidak

dikemas dengan menggunakan analisis kerangka ilmu tafsir atau ilmu Alquran maka

wujud tafsirnya tidak memberikan uraian yang komprehensif dan bahkan cenderung

sebagai bahan legitimasi dasar keilmuan. Disertasi ini merupakan salah satu cerminan

mengatasi persoalan di atas untuk mengkaji satu aspek pemikiran tokoh tafsir yaitu

tentang ayat–ayat tasawuf dengan tetap memperhatikan kerangka ilmu tafsir dalam

proses pembahasan penelitian.20

Sekalipun yang dibahas aspeknya ayat tasawuf

namun tetap disinggung juga aspek ilmu tafsir ketika Sa„id H{awwa menafsirkan

ayatnya. Ini akan beda halnya bila penelitian yang sengaja memfokuskan kajiannya

18

Ada dua macam pengertian yang dikemukakan oleh ulama tentang arti tafsir pertama,

Tafsir: sebagai penjelasan tentang firman Allah atau menjelaskan arti dan maksud lafal Alquran. Bagi

golongan ini tafsir bukan merupakan suatu cabang ilmu. Golongan kedua berpendapat, tafsir adalah

suatu ilmu yang membahas tentang maksud Alquran, mengeluarkan hukum dan hikmahnya sesuai

dengan kemampuan manusia. Bagi mereka ini tafsir itu ada ilmunya atau kaedah–kaedah tafsir yang

harus dikuasai. Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Bandung: Mizan, 1993), Cet. Ke-5,

152. Implikasinya kita temukan ada cendekiawan muslim yang berani menafsirkan Alquran walau

bukan ahli ilmu tafsir bahkan ada yang mengatakan sehubungan dengan menafsirkan Alquran tidak

harus menguasai kaedah–kaedah tafsir yang detil dan seterusnya.

19

Perguruan tinggi agama Islam khususnya IAIN/UIN dengan wajah baru memang

membutuhkan buku–buku terkait berbagai program studi beberapa kecenderungan tafsir semacam itu

dalam rangka menghadirkan mata kuliah tafsir bagi mahasiswa agar sejalan dengan program studi

yang ditempuh. Untuk menjembatani persoalan diatas maka perlu di kembangkan arah baru kajian

tafsir, maka bagi pengkaji atau ahli tafsir juga perlu mempelajari ilmu pendukung dalam bahasan tafsir

sesuai konsenterasi diatas. Mereka yang mendalami disiplin tafsir juga harus menambah

pengetahuannya dengan konsenterasi tertentu. Kini IAIN/UIN sudah membuka program studi “ umum

“ yang tentu harus mengambil mata kuliah tafsir yang disesuaikan dengan program studi masing–

masing. Disamping itu bagi program studi lama bidang agama juga memerlukan pengembangan mata

kuliah tafsir sesuai keahliannya. Seperti tafsir ayat–ayat hukum, ayat ekonomi (mu„a>malah), ayat

tasawuf, pendidikan ( tarbiyah ) dan seterusnya. 20

Diantara kitab tafsir yang dapat kita temukan dalam uraian tafsirannya menyangkut

berbagai orientasi. Ada yang dominan penafsirannya tentang politik seperti tafsir al-Maududi, ada

yang orientasi tasawuf seperti tafsir Ibnu Arabi, tafsir Sa„id Hawa, Tustari, ada yang ke dakwah,

sosial-politik seperti tafsir Sayyid Qutb, begitu seterusnya.

Page 30: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

9

untuk meneliti konsep ilmu Alquran dalam sebuah kitab tafsir, misal konsep na>sikh

dan mansu>kh dalam tafsir al–Mara>ghi.

Pengkajian mengenai Alquran dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang

seperti mengkaji aspek pemikiran tafsir, aspek tema–tema dalam Alquran (tafsir

maud}u>‘i) , meneliti konsep ilmu Alquran atau studi mengenai seputar Alquran itu

sendiri semacam sejarah penulisannya atau sejarah turun dan seterusnya. Penelitian

disertasi ini akan melakukan kajian menyangkut aspek pemikiran tafsir dengan fokus

kajian pemikiran tasawuf dalam tafsir Sa„id H{awwa.

Aspek tasawuf yang dikaji dalam disertasi ini dilatar belakangi oleh kondisi

manusia di abad modern ini yang hanyut dalam arus modernitas yang salah dan ada

pula yang salah mencari jalan sendiri dan keliru untuk meraih kebahagiaan rohani.

Prilaku sebagaian masyarakat yang hanyut dalam hedonisme, hidup berfoya–foya,

arogansi kekuasaan, frustasi menghadapi persoalan kehidupan dan seterusnya

seakan–akan lupa bahwa ada bagian dirinya yang belum terpenuhi yaitu kepuasan

rohani. Sebaliknya, ada prilaku manusia yang jenuh dengan kesibukan, hidup serba

cukup maka dicari solusinya dengan mengurung diri tanpa beribadah yang benar.

Disamping itu ada orang yang ditimpa kemiskinan lalu ingin mencari kebahagiaan

sendiri demi kepuasan rohani namun dengan cara yang keliru pula seperti bunuh diri

atau bunuh diri masal dan sebagainya.

Pengkajian ayat tasawuf akan memberikan jalan untuk menyadarkan kembali

akan jati diri manusia sebagai hamba Allah serta memberi motivasi agar selalu

membersihkan rohani dan supaya lebih dekat denganNya. Syariat yang dijalankan

sebagai sarana lahir, harus diimbangi dengan jalan tasawuf sebagai aspek batin demi

menuju kebahagiaan rohani. Sebab dalam beragama harus ada peningkatan

pemahaman dan pengamalan, jadi setelah syariah naik ke hakikat: Rukun Islam aspek

lahir agama (akal/teori dan praktek ibadah), terus Iman dan Ihsan sebagai aspek batin

agama (prilaku sebagai perwujudan qalbu). Dari akal terus ke hati. Kalau sudah

terbiasa di jalan datar maka lanjutkan menempuh jalan mendaki, demikian adagium

tasawuf. Dunia global dan pesat informasi membuat orang haus kebahagiaan rohani

Page 31: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

10

dan mencari kepuasan batin. Disamping berguna untuk membentengi diri dan sebagai

perisai (preventif) dalam berkarya didunia dan memberikan ketenangan lahir batin

juga berimplikasi baik ke orang lain.

Aspek tasawuf dalam Islam lebih mencerminkan ekspresi ajaran Islam yang

sangat universal karena bersentuhan dengan rasa, hati yang semua orang tentu

menginginkan ketenangan hati. Karena itu, ajaran tasawuf paling gampang diterima

bahkan oleh orang yang tidak dibesarkan dalam tradisi Islam.21

Terkadang ajaran

tasawuf dapat melampaui keyakinan parsial, jadi ia dapat berdiri diatas ibadah zahir

yang sering mengundang perselisihan pendapat karena bermain di ranah logika.

Sehingga dalam perkembangan ajaran Islam misalnya di Nusantara, aspek tasawuf

mudah diterima masyarakat Indonesia22

karena tidak banyak mempersoalkan ibadah

zahir dan kesannya sangat egalitarian.

Bila ditelusuri prinsip ajaran tasawuf sebetulnya dalam Alquran ditemukan

isyarat–isyarat tentang landasan tasawuf. Dalam Islam tujuan bertasawuf untuk

membersihkan hati dan prilaku agar memperoleh hubungan yang dekat sekali bahkan

tanpa batas dengan Allah maha pencipta. Ibadah yang dilakukan terutama ibadah

pokok (mah}d}ah) merupakan jalan untuk membersihkan diri/rohani agar dapat

merasakan kehadiran Allah disisi mana saja berada. Diantara ayat yang dijadikan

dasar utama yang dipahami sebagai pokok tasawuf yaitu surat al-Baqarah (2):186,

Qaf (50):16.

. وإذا سأنل عثادي عىى فئوى قسة أجة دعىج انداع إذا دعاوى فهستجثىن ونؤمىىات نعههم سشدون

. ونقدخهقىا اإلوسان و وعهم ما تىسىس ته وفسه ووحه أقسب إنه مه حثم انىزد

Artinya; Bila hambaku bertanya kepadamu tentang aku maka bahwasanya aku

adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia

21

Ini merupakan pernyataan Karel Steenbrink, sarjana Islamolog dari Belanda, ketika menjawab

pertanyaan yang diajukan kepadanya seputar aspek Islam yang bercorak sempalan, ajaran asing–unik

(seperti doktrin tasawuf atau semacam shat}ah}a>t) yang lebih disukai orientalis mempelajarinya.

Dapat ditemukan pada pengantar buku Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri. Lihat, Karel Steenbrink,

pengantar dalam, Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri (Yogyakarta: Gelombang Pasang,

2004 ), vi 22

Secara historis periode awal Islam Nusantara bercorak tasawuf. Lihat, Sri Mulyati(et.al),

Oman Faturrahman, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana PMG,2004), Cet.Ke-

3,152

Page 32: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

11

memohon kepadaku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahku

dan hendaklah mereka beriman kepadaku agar mereka selalu berada dalam

kebenaran.

Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang

dibisikkan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat

lehernya.

Untuk memahami ayat–ayat yang berkenaan dengan tasawuf, ulama telah

memberikan perhatian besar dengan menafsirkan ayat tasawuf seperti terlihat dari

beberapa kitab tafsir yang membahas tentang hal tersebut. Berdasarkan potret sejarah

dan pemikiran tafsir, teridentifikasi bahwa kitab tafsir Alquranul Karim karya Ibnu

Arabi (560–638 H) merupakan perintis kitab tafsir bercorak tasawuf khususnya

tasawuf naz}ariy.23

Pada zaman modern ini perhatian untuk mengkaji penafsiran ayat–ayat

tasawuf suatu hal yang sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri yang merasakan

kegersangan dalam kehidupan atau istilah lain kehampaan spiritual. Penulis tafsir ini

dikenal sebagai tokoh pergerakan Islam dan pejuang melawan penjajahan atas

negerinya dari pengaruh asing. Bila diperhatikan ada beberapa konsep pemikiran

yang direfleksikannya lewat penafsiran ayat–ayat Alquran baik menyangkut politik,

sosial, tasawuf dan hukum fiqh. Sa„id H{awwa disamping tokoh pergerakan lahiriyah

juga dikenal sebagai penyiram rohani dengan pendekatan tasawuf. Karya–karya

beliau banyak yang menyentuh dan mengajak kemerdekaan diri, kemerdekaan

beribadah, kebersihan rohani yang tertuang dalam buku tarbiyatuna> ar-ru>hiyyah.

Karya beliau yang monumental adalah Kitab tafsir al–Asa>s fi at–Tafsi>r. Disini

23

Ulama yang cenderung ke tasawuf memasukkan teori dan ajaran falsafat yang dimiliki

dalam tafsirnya ketika memahami ayat-ayat Alquran. Adh-Dhahabi menyebutkan bahwa Ibnu Arabi

merupakan seorang ahli tasawuf yang menggunakan berbagai teori diatas dalam tafsirnya. Tersebutlah

tafsir Ibnu Arabi sebagai tafsir sufi naz}ariy, dari tafsir sufi naz}ariy teridentifikasi pula ia

menggunakan teori (naz}ariyyah) wah}datul wuju>d sebagai situasi perjalanan sufi yang diperoleh.

Penafsiran yang dilakukan berdasarkan pengalaman ruhani (riya>d}ah ru>hiyyah) seseorang tersebut

maka tafsirnya dapat pula disebut dengan tafsir sufi isha>riy, kenyataan ini tampak pula pada

penafsiran Ibnu Arabi. Karena itu, adh–Dhahabi menggolongkan tafsir Ibnu Arabi kepada tafsir sufi

naz}ariy dan juga sebagai tafsir sufi isha>riy. Uraian rinci dapat ditelusuri, Muhammad Husein adh-

Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo, tp, 1396 H/1976), Cet. Ke–2, 340–379.

Page 33: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

12

beliau wujudkan kemampuan menafsirkan Alquran dengan pendekatan ilmu

muna>sabah serta kecenderungan tasawuf dalam pemikiran yang dikuasainya.

Pandangan tasawuf Sa„id H{awwa dapat ditelusuri lebih jauh dalam

penafsirannya terkait dengan ayat–ayat tasawuf. Disini juga akan terlihat kerangka

metodologi tafsir yang digunakannya. Dan memang dua hal ini menjadi perhatian

pokok peneliti dalam disertasi ini. Sehubungan dengan penafsiran tasawufnya, Sa„id

H{awwa sangat dalam pandangannya ketika memahami ayat–ayat tasawuf secara

implisit apalagi yang jelas (eksplisit) bermakna tasawuf.

Ketika menjelaskan kedudukan Maryam yang sering mengalami peristiwa

luar biasa, salah satunya ketika didatangi oleh malaikat Jibril. Sa„id H{awwa tetap

berkeyakinan dengan berpegang pada dasar Alquran bahwa Maryam hanyalah

seorang wanita s}a>lih}ah dan s}iddi>qiyyah dan tidak mencapai predikat sebagai

Nabi sebagaimana ditegaskan dalam surat Yusuf (12):109, “ Kami tidak mengutus

seorangpun sebagai Nabi atau Rasul melainkan kepada laki–laki yang diberikan

wahyu”. Dalam surat al-Ma>idah (5):75 dijelaskan bahwa Isa AS adalah seorang

Rasul seperti rasul–rasul terdahulu sedangkan ibunya adalah seorang wanita

S{iddi>qah.24

Keistimewaan yang dialami Maryam memunculkan beberapa pemahaman,

menurut Sa„id H{awwa bahwa jalan untuk berdialog (mukha>t}abah) dengan

malaikat dapat dialami oleh selain Nabi. Seseorang dapat mencapai kashf

(muka>shafah) dengan memperoleh pengetahuan dari alam gaib sebagai suatu

keramat (pintu keramat) yang dibukakan Allah. Hal ini merupakan dalil bahwa

kemuliaan (keramat) dapat terjadi pada manusia selain Nabi/Rasul. Siapa yang sering

melakukan amalan–amalan sunat dengan ikhlas maka Allah akan membukakan pintu

baginya.25

24

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at-Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6, 2713–14 Dapat diselaraskan keterangan ini dengan uraiannya tentang kashf yang terdapat

dalam bab 14 dalam buku Tarbiyatuna> ar-Ru>hiyyah. Lihat, Sa„id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–

Ru>hiyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,163 25

Sa„id H{awwa, al-Asa>s fi at-Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 765-766

Page 34: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

13

Untuk memperkuat keterangan ini Sa„id H{awwa mengemukakan hadis Nabi

yang diriwayatkan oleh Muslim. Nabi pernah memberitahukan kepada Abu Bakar

dan H{anz}alah bahwa kalau kamu senantiasa mencontoh dengan mengikuti aku dan

melakukan zikir niscaya kamu dapat bersalaman dengan malaikat.26

Bersalaman yang

dinyatakan Nabi Saw diatas menandakan bahwa untuk berhubungan langsung dengan

malaikat dapat terwujud dengan memperbanyak zikir terutama untuk menjaga

kekosongan hati dari mengingat Allah. Ini merupakan indikasi bahwa malaikat dapat

dijumpai dan wujudnya dapat dirasakan.

Contoh penafsiran Sa„id H{awwa diatas menggambarkan sisi tasawuf dan

juga kerangka muna>sabah ilmu Alquran. Sisi metodologisnya; pertama, Sa„id

H{awwa menukil beberapa ayat untuk memperjelas penafsirannya yang dikenal

sebagai muna>sabah Alquran. Seperti, Surat Ali Imran (3):4227

dikorelasikan dengan

surat Yusuf (12):109 kemudian disebutkan juga penjelasannya dalam surat al-

Ma>idah (5):75. ,Sisi tasawufnya . مانمسح اته مسم إال زسىل قد خهت مه قثهه انسسم وأمه صدقح

Sa„id H{awwa menggali makna tasawuf misal diatas yaitu tentang kashf salah satu

ajaran tasawuf. Kedalaman pikiran tasawufnya dalam menafsirkan Alquran terlihat

ketika pengidentifikasian yaitu menghubungkan ayat–ayat yang mengandung

kesamaan makna kedua memahami aspek tasawuf tentang ayat tersebut. Penafsiran

seperti ini tidak mudah dilakukan tanpa menekuni kedua bidang tersebut yaitu

muna>sabah Alquran serta pemahaman tasawuf yang mendalam.

Seperti dijelaskan diatas bahwa sebuah kitab tafsir mengandung berbagai

pemikiran yang dikonsep oleh penulisnya dengan menganalisa ayat–ayat Alquran.

Melihat beberapa karya Sa„id H{awwa tentang tasawuf dan masih jarang kajian

penafsiran tasawuf, menjadikan tafsirnya penting untuk dikaji khususnya aspek

tasawufnya. Penelitian ini akan berupaya menggali pemikiran tasawuf yang tercermin

dalam kitab tafsir Sa„id H{awwa. Tema tasawuf yang dikaji menurut hemat peneliti

26

Sa„id Hawwa, al-Asa>s fi at-Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6,766

27

وإذ قانت انمالئكه ا مسم إن اهلل اصطفاك وطهسك واصطفاك عهى وساءانعانمه

Page 35: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

14

lebih aplikatif dan sangat bersentuhan dengan kehidupan nyata sehari–hari serta

berkait langsung dengan rasa setiap orang. Selain itu, tema tasawuf dalam penafsiran

tidak saja mencerminkan pemikiran mufasir tapi juga meliputi pengalaman

kerohaniannya. Aspek praktis28

inilah yang membedakan kajian ayat tasawuf

dibanding tema lain. Apalagi kajian konsep ilmu tafsir yang selam ini dijadikan

penelitian, cenderung teoritis dan sangat relatif, seperti konsep takwil, hermeneutik,

nasakh, muna>sabah dan seterusnya.

Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin tegaskan bahwa sangat menarik

diteliti lebih jauh mengenai penafsiran sufistik Sa„id Hawwa dalam kitabnya yaitu al–

Asa>s fi at–Tafsi>r.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Dengan melihat judul di atas maka masalah pokok yang diangkat dalam

penelitian ini dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan penelitian yaitu :

Bagaimanakah metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa‘id H{awwa

dalam kitab al-Asa>s fi at-Tafsi>r? Melihat lapangan kajian tafsir sufi yang begitu

luas maka penulis tentu tidak akan mampu membahas semuanya. Dari masalah pokok

ini maka pembahasan dibatasi pada penafsiran Sa„id Hawwa yang terkait dengan

enam maqa>m-maqa>m dan dimensi metafisis ajaran tasawuf.

Sesuai dengan masalah pokok di atas kemudian ditetapkanlah beberapa sub

masalah dengan pertanyaan penelitian yaitu :

a. Bagaimanakah metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa„id H{awwa

mengenai konsep maqam dalam tasawuf?

b. Bagaimanakah metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa„id H{awwa

mengenai dimensi metafisis ajaran tasawuf?

c. Dimanakah posisi penafsiran sufistik Sa„id H{awwa dalam peta tafsir sufi?

28

Pemikiran yang digagas dalam tafsir tersebut tidak lagi sebatas konsep tapi sudah

diamalkan. Ini akan beda sekali dengan kajian tafsir maud}u‟i seperti yang sudah–sudah.

Page 36: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

15

C. Signifikansi Penelitian

Sebelum mengemukakan arti penting penelitian ini terlebih dahulu dijelaskan

kenapa judul ini diangkat? Adapun judul yang ditetapkan dalam penelitian disertasi

ini adalah “Penafsiran Sufistik Sa‘id H{awwa dalam al–Asa>s fi at–Tafsi>r “.

Analisis penafsiran ayat–ayat tasawuf adalah mengkaji hasil penafsiran Sa„id

H{awwa sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab tafsirnya al-Asa>s fi at–Tafsi>r.

Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui pandangan penafsiran ayat tasawuf oleh

Sa„id H{awwa dalam rangka pengembangan kehidupan spiritual keagamaan. Selain

mengetahui dasar metodologi tafsirnya digali juga kerangka pemikiran tafsirnya

tentang ayat–ayat tasawuf.

Kajian aspek tasawuf merupakan bagian dari studi pemikiran tafsir.29

Aspek

tasawuf sebagai bingkai kajian dalam penelitian digunakan untuk menemukan corak

tasawuf Sa„id H{awwa. Setelah membahas penafsiran aspek tasawuf dalam tafsir

Sa„id H{awwa kemudian dihubungkan dengan landasan teori yang dibahas pada bab

sebelumnya. Langkah ini dilakukan sebagai dasar dalam menganalisis wujud

penafsiran ayat.

Sehubungan dengan tafsir al-Asa>s fi at–Tafsi>r karya Sa„id H{awwa yang

diteliti karena tafsir ini termasuk kelompok tafsir kontemporer yang sejalan dengan

situasi dan persoalan kekinian. Disamping itu kemunculan tafsir ini ditengah situasi

negara dalam cengkeraman hegemoni asing dan sedang terjadi konflik dengan

penjajah Barat.30

Dengan demikian semangat yang terkandung dalam tafsir ini dapat

29

Pemikiran tafsir merupakan nama mata kuliah yang pernah disajikan pada program

pascasarjana dengan nama Sejarah dan Pemikiran Tafsir yang diasuh oleh Prof. Dr. Salman Harun.

Mata kuliah yang awalnya dirancang untuk program Doktor dan kemudian dijadikan sebagai

matakuliah pilihan bagi program S2 sekitar tahun 1999/2000 dan terakhir masih ditawarkan sampai

tahun 2004. 30

Penulisan tafsir ini tahun 1398 H/1977 M, cetakan I tahun 1405 H/1985 M. Bahkan pada

awalnya tafsir ini ditulis sewaktu Sa„id H{awwa berada dalam penjara. Menurut Sa„id H{awwa dalam

pengantarnya yang juga dikutip oleh Iyazi bahwa ketika dalam penjara tersebut Sa„id H{awwa

menyandarkan penulisann tafsirnya hanya kepada 2 kitab tafsir yaitu tafsir Ibnu Katsir yang berjpola

riwayat terutama penjelasan al-Quran bi al–Quran, kedua tafsir an–Nasafi dalam melihat makna

h}arfiyah (linguistik) dan aspek aqidah. Kemudian dilengkapi dengan 2 tafsir lain disamping 2 kitab

tafsir sebelumnya yaitu tafsir Sayyid Qut}b dan al–Alu>si. Lihat, Sa„id H{awwa, mukaddimah tafsir,

al-Asa>s fi at-Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, juga Iyazi, al–Mufassiru>n

Page 37: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

16

menjadi inspirasi bagi daerah yang „dikuasai‟ oleh asing untuk bangkit menghadapi

berbagai himpitan yang melanda.

Sosok Sa„id H{awwa yang diangkat dalam penelitian ini dengan

pertimbangan bahwa ia merupakan tokoh pergerakan. Sebagai tokoh pergerakan ia

memilki semangat perjuangan yang gigih dalam rangka mempertahankan kebenaran

dan menegakkannya senantiasa menyertai dan diwujudkan dalam keseharian.

Terkait dengan tema tasawuf yang diteliti dalam tafsir ini bukan artian bahwa

inilah aspek yang penting dikaji sedangkan aspek lain tidak. Signifikansi aspek

tasawuf yang dijadikan sebagai fokus penelitian didasarkan kepada kecenderungan

peneliti untuk mengembangkan ajaran tasawuf Islam agar dapat diamalkan oleh

semua orang yang ingin memperoleh kebahagiaan sejati serta meningkatkan kualitas

diri. Diri yang berkualitas mendorong orang untuk sungguh sungguh mengenali

dirinya yang ditunjukkan dengan peningkatan kualitas beribadah. Mengkaji aspek

tasawuf dalam tafsir merupakan bagian dari pemikiran tafsir seorang mufasir. Disini

peneliti bukan lagi mewacanakan ilmu Alquran tapi secara tidak langsung peneliti

akan membahas ilmu Alquran dalam sebuah pemikiran tafsir. Pembahasan tafsir mau

gak mau harus melewati ilmu Alquran.31

Ketika membahas pemikiran tafsir, teori–

teori ilmu Alquran akan menjadi pendukung dalam memahami dan meneliti uraian

mufasir.

Sisi ayat tasawuf yang menjadi objek penelitian yang terkandung dalam judul

diatas sebagaimana identifikasi yang dilakukan bahwa gagasan mufasir Sa„id

H{awwa banyak tertuang dalam karangannya yang berbicara tentang tasawuf Islam.

Sa„id H{awwa ingin memberikan nuansa baru dan kontemporer dalam ajaran tasawuf

maka untuk mengembangkan di dunia nyata peneliti perlu menggali dasar dan

pemahaman Tasawuf Sa„id H{awwa dalam tafsirnya. Disamping itu juga setentangan

aspek tasawuf ini masih jarang dilakukan penelitian khususnya penelitian tafsir.

H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran:Wazarah ath–Thaqa>fah wa al–Irsha>d, 1414 H/1992 M),

134 31

Dalam teori pembelajaran studi Alquran di perguruan tinggi agama, mata kuliah tafsir

disajikan setelah menempuh mata kuliah ulumul Quran. Artinya ulumul Quran sebagai mata kuliah

prasyarat sebelum masuk mata kuliah tafsir.

Page 38: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

17

Sementara ini penelitian tafsir lebih cenderung ke aspek fiqh, kalam, menyangkut

tema Alquran (tafsir maud}u>‘i)32

atau hanya mengkaji aspek ilmu Alquran.

Ibaratnya kilauan Alquran itu memancarkan warna warni yang dapat ditelusuri

masing–masingnya sesuai kecenderungan dan kemampuan pengkaji Alquran untuk

menangkap kilauan tersebut. Dengan demikian pesan Alquran dapat dipahami lebih

terarah dan terfokus apalagi disesuaikan dengan perkembangan ilmu yang sangat

butuh landasan keilmuan dalam Alquran.

Penelitian ini tidak menafikan kemampuan ilmu fiqh mufasir Sa„id H{awwa

atau keilmuan lain yang melekat padanya namun lebih kepada kemampuan peneliti

yang cenderung kepada menggali aspek tasawuf dalam tafsirnya. Bahkan kalau ingin

digali dari aspek politik atau bidang lain memungkinkan saja bila dihadapkan kepada

aktifitas Sa„id H{awwa semasa hidupnya.

Faktor pendukung dari sudut akademik terkait dengan penelitian ini bahwa

sebelumnya peneliti pernah melakukan pengkajian tentang pemikiran tasawuf dalam

bentuk makalah, jurnal. Selain itu peneliti pernah mengikuti kuliah tasawuf dan

falsafat Islam. Faktor demikian cukup membekali peneliti dalam mengkaji ayat–ayat

tasawuf yang berbentuk penelitian disertasi ini, disamping membahas metodologi

tafsirnya.

D. Kajian Kepustakaan

Bahasan pokok yang menjadi sentral disertasi ini adalah penafsiran ayat

tasawuf atau dikenal juga dengan penafsiran sufistik.33

Munculnya tafsir sufistik ini

sebagai konsekuensi pemahaman ahli sufi ketika menafsirkan ayat Alquran yang

bercorak tasawuf dengan melakukan pendekatan isha>riy. Pendekatan isha>riy erat

32

Pemikiran politik al-Maududui dalam tafsirnya, pemikiran politik dalam tafsir fath}ul

qadi>r (disertasi), aspek kalam dll. 33

Ada juga yang menggunakan istilah tafsir sufi atau tafsir isha>riy. Kata lain dari sufistik

adalah tasawuf atau mistisisme Islam. Bila Syariah dianggap sebagai ibadah aspek lahiriyah dalam

Islam maka tasawuf merupakan ibadah dari aspek batin (rohani) nya.

Page 39: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

18

kaitannya dengan penggunaan metode takwil.34

Semakin besar perhatian mufasir sufi

memahami ayat–ayat secara sufistik semakin terbuka ia menggunakan pendekatan

isha>riy.

Tersebut dalam sejarah penafsiran sufistik bahwa nama Tustari dikenal

sebagai mufasir sufi generasi awal.35

Dalam menafsirkan ayat tasawuf ia

menggunakan pendekatan isha>riy dan juga pendekatan makna zahir ayat. Sementara

itu dalam tafsir karya as–Sullamiy orientasinya didominasi penafsiran ayat dengan

pendekatan isha>riy. Dalam mukaddimah tafsirnya ditegaskan bahwa ia lebih suka

mengumpulkan penafsiran dari ahli hakikat.36

Berbeda dengan di atas, Ibnu Arabi dalam tafsir sufinya menurut adh-Dhahabi

tidak punya kecenderungan memahami zahir ayat tapi ia menafsirkan Alquran dengan

menggabungkan antara penafsiran sufi falsafi dengan penafsiran sufi secara isha>riy.

Teori falsafat dalam pemikiran sufinya yang dikembangkan dalam tafsir yaitu paham

wah}datul wuju>d.

Memperhatikan beberapa penafsiran sufistik yang pernah muncul

mengindikasikan bahwa pendekatan isha>riy menjadi faktor utama dalam

menafsirkan ayat–ayat tasawuf. Sekalipun ada diantara mufasir yang juga

memperhatikan makna zahir ayat. Disinilah perlu keseimbangan dalam memahami

makna zahir ayat dengan makna isha>riy yang dikandungnya.

Penafsiran Sa„id Hawwa yang diangkat dalam penelitian ini, apakah termasuk

dalam pendekatan isha>riy atau pendekatan naz}ariy yang dikenal juga dengan tafsir

sufi naz}ariy dan tafsir sufi isha>riy. Berdasarkan pengamatan sementara dari

beberapa ayat yang ditafsirkan Sa‟id H{awwa, ia menerima pendekatan isha>riy dan

makna zahir dan ini perlu pembahasan mendalam untuk membuktikannya. Faktor

34

Tafsir dan takwil secara umum dapat dibedakan bahwa tafsir lebih luas dari pada takwil.

Tafsir cenderung pemahaman berdasarkan riwayat, sedangkan kecenderungan takwil memahami

Alquran secara dirayah. Lihat, Manna‟ al–Qat}t}a>n, Mabah}i>th fi Ulu>m al–Qura>n (tt: tp, t.th),

327. 35

Nama lengkapnya, Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Isa bin Abdullah at–

Tustari. Lahir tahun 200 H di Tustar bagian dari daerah Ahwaz. Sedangkan wafat di Basrah tahun 273

H. Adh–Dhahabi, at-Tafsîr wa al-Mufassiru>n (Beirut: tp, 1976),380. 36

Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Beirut: tp, 1976), 384

Page 40: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

19

lain, menurut Sa„id H{awwa, bahwa tasawuf itu mempunyai dua bentuk ada aspek

‘amali dan aspek naz}ariy. Ia berupaya menjadikan tasawuf sesuai dengan Alquran

dan Sunnah.

Sehubungan dengan objek penelitian yaitu tentang Sa„id H{awwa, penulis

telah mempelajari buku–buku yang berkaitan dengannya dalam rangka untuk

menjaga orisinalitas penelitian ini. Adapun buku–buku yang membahas atau

menyinggung tentang tafsirnya belum banyak dijumpai. Sementara ini penulis baru

menemukan 2 buku yang ada pembahasan mengenai tafsir Sa„id H{awwa, yaitu

karya Muhammad Ali Iyazi dan karya ilmiyah Skripsi Asep Ali. Kitab tafsir Sa‟id

H{awwa termasuk mutakhir dari kitab tafsir lainnya yang dikategorikan beberapa

penulis pada zaman kontemporer, jadi banyak diantara mereka belum mencantumkan

profil tafsir Sa„id H{awwa dalam daftar karangannya.37

Iyazi tidak ada yang

memfokuskan kajian menyangkut aspek tafsir Sa‟id H{awwa, umumnya menjelaskan

berbagai macam metode tafsir dan sistematika penulisannya dari para mufasir

termasuk tafsir al–Asa>s karya Sa„id H{awwa, itupun uraiannya sangat terbatas.

Iyazi misalnya, ketika membahas Sa„id H{awwa menjelaskan bahwa tafsir

Sa„id H{awwa merupakan tafsir model baru dengan sorotan pembahasan

muna>sabah antar ayat secara keseluruhan yang menjadikan Alquran membentuk

kesatuan tema yang sempurna.38

Selain itu dijelaskan juga bahwa keistimewaan tafsir

ini terlihat dari penjelasan Sa„id H{awwa tentang kemukjizatan ilmiyah Alquran

dimana ia mengaitkan ayat–ayat Alquran dengan ilmu–ilmu modern yang sedang

berkembang.39

Dalam uraian Iyazi tidak mengungkapkan sisi tasawuf yang terdapat dalam

tafsir Sa„id H{awwa. Padahal melihat posisi Sa„id H{awwa sebagai tokoh pergerakan

37

Lihat misalnya, Thameem Ushama, Methodologis of the Quranic Exegesis, Gamal al –

Banna, Tafsir al – Quran al – Karim bain al – Qudama>’ wa al–Muh}addithi>n (Kairo: Dar al–Fikri

al- Islami, 2003 Ter. Evolusi Tafsir. Lihat juga. Muhammad Sayyid Jibril, Madkhal ila> Mana>hij

al–Mufassiri>n, 1987 M/1408 H. Begitu pula buku–buku lain tentang metode para mufasir yang

penulis jumpai tidak memuat tentang tafsir Sa„d H{awwa. 38

Iyazi, al–Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran:Wazarah ath–Thaqa>fah

wa al–Irsha>d, 1414 H/1992 M), 134 39

Iyazi, al–Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran:Wazarah ath–Thaqa>fah

wa al–Irsha>d, 1414 H/1992 M), 136

Page 41: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

20

membangun akhlak dan terkenal dengan sikap wara‘ dan sikap zuhudnya tentu ia

memiliki kemampuan dan kecenderungan menafsirkan ayat dengan pendekatan

tasawuf. Sebagai indikator lainnya, Sa„id H{awwa menggunakan salah satu dari

rujukan tafsirnya yaitu kitab tafsir yang bercorak tafsir isha>riy yaitu Ru>hul

Ma‘a>ni karya al–Alu>siy dan tafsir an–Nasafi40

dengan orientasi aqidah dan

tasawuf. Tidak menutup kemungkinan ia menafsirkan ayat yang bernuansa sufistik

merujuk ke Ru>hul Ma‘a>ni untuk kemudian dikembangkan sesuai dengan masa

yang dihadapinya ketika itu.

Bila di atas yang membicarakan tentang Sa„id H{awwa ada yang berbentuk

buku namun tidak menyorot aspek tasawufnya hanya menyinggung metode tafsirnya

saja walau sekilas. Buku Iyazi ini menjelaskan berbagai macam metode tafsir para

mufasir yang diklasifikasikannya kepada beberapa corak tafsir. Sedangkan penelitian

tentang tafsirnya sebagai karya ilmiyah berbentuk skripsi pernah dilakukan oleh Asep

Ali dengan meneliti aspek muna>sabah antara surat al–Fa>tih}ah dan surat Sab‘ut}

T{iwa>l. Kemudian ia juga menjelaskan tentang mukjizat Alquran dari segi

muna>sabah tema (kesatuan tema).

Kesimpulan yang ditegaskan penulisnya bahwa surat al-Fa>tih}ah, al–

Baqarah dan enam surat berikutnya menurut mushaf mempunyai hubungan yang erat

yang membentuk kesatuan tema. Alquran yang disusun sesuai mushaf sekarang yang

nota bene turun sedikit–sedikit sesuai dengan berbagai kondisi dan kejadian beragam

yang dihadapi sekitar 23 tahun ternyata saling mempunyai hubungan. Alquran yang

turun terpisah oleh waktu tersebut lalu membentuk satu kesatuan yang tak

40

Nama lengkap tokoh tafsir ini adalah Abu al–Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud

an–Nasafiy. Terkadang ditambahkan juga dibelakang namanya dengan al–Hanafiy al-Ash‟ariy. Nama

kitab tafsirnya adalah Madarik at- Tanzi>l wa H{aqaiq at – Ta’wi>l. Sehubungan dengan penyebutan

an-Nasafiy diakhir namanya merupakan nisbah kepada Nasaf suatu negeri yang berada antara Jayhun

dan Samarkand. Daerah Nasaf juga berada diseberang sebuah sungai. Disinilah ia dibesarkan (w. 701

H). Lihat; Muni‟ Abdul Halim M, Mana>hij al–Mufassiri>n (Kairo: Darul Kitab fi>> al–Mishriy,

1978), 93, Hasan Yunus Ubaidu, Dira>sa>t wa Maba>h}i>th fi> Ta>ri>kh Tafsi>r wa Mana>hij

al–Mufassiri>n (Kairo: tp, 1991 / 1411),130

Page 42: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

21

terpisahkan, inilah satu segi kemukjizatan Alquran.41

Dalam pembahasannya tidak

ada menyinggung tentang pemikiran tafsir Sa„id H{awwa dari aspek tasawuf.42

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah yang telah dinyatakan di atas maka

tujuan bahasan penelitian ini hendak menjawab masalah tersebut yang dapat

dirumuskan sebagai tujuan utama yaitu: Untuk memperoleh dan menganalisis data

dalam rangka mengetahui keberadaan makna zahir dan pendekatan isha>riy dalam

penafsiran sufistik Sa‟id H{awwa. Tujuan ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa„id

H{awwa berdasarkan data yang diperoleh terkait dengan konsep maqa>m

tasawuf.

b. Untuk mengetahui metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa„id

H{awwa berdasarkan data yang diperoleh terkait dengan dimensi

metafisis ajaran tasawuf.

c. Untuk menemukan kecenderungan penafsiran sufistik Sa„id H{awwa.

Penelitian dalam bentuk disertasi ini digunakan untuk persyaratan

penyelesaian studi program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kegunaan lain penelitian ini untuk memberikan informasi tentang keberadaan

tafsir ini sebagai tafsir yang bercorak tasawuf berdasarkan data–data yang dianalisis

terkait dengan ayat–ayat tasawuf. Dari penelitian ini dapat mendorong para pengkaji

tafsir untuk menemukan serta mengkaji corak tafsir tasawuf pada kitab–kitab tafsir.

Semakin banyak kitab tafsir corak tasawuf yang diteliti akan memperkaya nuansa

tasawuf dalam kehidupan nyata. Dengan demikian Alquran menjadi hidup dan

41

Ada 2 kesimpulan yang dinyatakan oleh penulisnya, pertama tentang munas>abah antar

surat Alquran dan hubungan yang membentuk kesatuan Alquran itu merupakan kemukjizatan Alquran

pula. Skripsi a.n. Asep Ali, Kesatuan tema Alquran sebagai Mukjizat;Telaah Muna>sabah antara

surat al–Fa>tih}ah dan surat Sab‘ut} T{iwa>l dalam Tafsir al–Asa>s karya Sa’id H{awwa, (Jakarta:

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004 M/1425 H), 87–90. 42

Penelitian yang sangat deskriptif ini sengaja membatasi bahasan tentang hubungan delapan

surat pertama dalam mus}h}af.

Page 43: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

22

penafsiran aspek tasawuf akan dinamis tidak harus terkungkung oleh suatu zaman

pandangan tertentu.

Sebagai kontribusi penulis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan

pengajaran dalam materi tafsir tasawuf dengan tinjauan kerangka ilmu Alquran.43

Selain itu penelitian ini turut mengembangkan wawasan tasawuf dari aspek

penafsiran melalui ayat–ayat Alquran.

G. Sumber dan Metodologi Penelitian

a. Sumber Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian pemikiran tafsir maka sumber utamanya tentu

saja pada kitabnya. Karena itu sebagai sumber primer yang dijadikan bahan penelitian

ini adalah al–Asa>s fi at–Tafsi>r karya Sa„id H{awwa. Tafsir yang ada ditangan

peneliti terdiri dari 11 jilid besar yang diterbitkan oleh penerbit Darussalam, Kairo

dengan tahun terbit yang tertera di kaver dalam yaitu 1424 H/2003 M merupakan

cetakan ke 6.44

Sementara itu sebagai sumber rujukan kedua adalah karya–karya Sa„id

H{awwa pada berbagai bidang kajian. Beberapa karangan beliau tidak terlepas dari

refleksi dari predikatnya sebagai mufasir maka memahami uraiannya dalam buku–

buku tersebut menjadi hal yang penting dalam penelitian ini.

Sedangkan buku–buku lain yang membicarakan tentang Sa‟id H{awwa atau

pandangan ulama tentang tafsirnya dapat dijadikan sebagai sumber pendukung dalam

penelitian ini.

b. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Menurut jenisnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Data–data

yang diperoleh semuanya berdasarkan kepada bahan bacaan yaitu dengan

43

Seperti tafsir Tarbawi, tafsir Ahkam 44

Tafsir ini mudah diperoleh, di perpustakaan Pascasarjana sendiri ada koleksinya dan

kebetulan Peneliti memiliki tafsir tersebut. Identitas lengkapnya tertulis; Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi

at–Tafsi>r (Kairo:Darussalam, 1424 H/2003 M ), Jilid 1, Cet. Ke–6, 3

Page 44: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

23

mengungkap penafsiran ayat–ayat tasawuf dalam kitab tafsir Sa„id H{awwa. Bentuk

penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, data-data dianalisis dan diinterpretasikan.

Penelitian ini, menggali pemikiran mufasir tentang aspek tasawuf yang

tertuang dalam kitab tafsirnya sebagai data utama. Pengumpulan data menggunakan

metode dokumentasi.45

Pertama akan dilakukan identifikasi ayat–ayat yang terkait

dengan tasawuf yang mencerminkan ajaran pokok serta landasan tentang tasawuf.

Dalam hal pengumpulan data ini peneliti menggunakan metode maud}u‘i (tematik).

Kemudian diteruskan dengan melacak penafsiran Sa„id H{awwa tentang ayat–ayat

tersebut untuk dilakukan kategorisasi mengenai aspek tasawuf. Hasil penafsiran Sa„id

H{awwa akan dikemukakan seperti adanya sebagaimana tercantum dalam kitab

tafsirnya.

Metode tafsir yang digunakan mengkaji ayat–ayat tersebut nantinya adalah

metode tah}li>li (analisis ayat). Menganalisis setiap hasil penafsiran Sa„id H{awwa

secara rinci dan komprehensif terkait dengan ayat–ayat tasawuf yang ditafsirkan.

2. Metode Analisis data

Penelitian ini termasuk penelitian analisis tafsir. Penafsiran Sa„id H{awwa

terkait dengan ayat-ayat tasawuf, dianalisis setelah dideskripsikan secara mentah apa

adanya. Metode analisis terhadap data–data tersebut merupakan kualitatif karena

dalam penelitian ini lebih mengedepankan interpretasi peneliti tentang data–data yang

diperoleh.46

Dalam melakukan analisis data, peneliti akan mengkaji data–data

tersebut dengan serta merta mengolah data dengan karya–karya Sa„id H{awwa yang

lain.

45

Metode Dokumentasi bagian dari teknik pengumpulan data. Dan metode ini sangat cocok

untuk penelitian kepustakaan yang diamati adalah benda permanen tidak bergerak seperti karya tulis,

buku–buku, catatan–catatan dan sejenisnya. Lihat; Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu

Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), Edisi Revisi V, Cet. Ke–12, 206 46

Dengan demikian penelitian ini dapat dikategorikan sebagai metode kualitatif. Kualitatif

dimaksudkan mengkualifikasikan data–data dengan analisis dan penafsiran data tanpa hitungan atau

angka. Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data mengandung

makna. Makna adalah data yang sebenarnya, inilah yang dituntut maka metode analisisnya disebut

dengan metode interpretatif untuk mendapatkan makna tersebut. Dipahami dari, Sugiyono, Metode

Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung:Alfabeta, cv, 2006), Cet. Ke–1, 7-10

Page 45: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

24

Kajian pokok disertasi ini membahas ayat tasawuf maka metodologi tafsir

yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada disiplin ilmu tersebut yaitu

pendekatan tasawuf . Pendekatan tasawuf dipakai sebagai pintu masuk untuk

melakukan penelitian tafsir. Sebagai diterangkan oleh Suprayogo pendekatan tasawuf

merupakan salah satu pendekatan yang ada dalam penelitian tafsir.47

Data–data yang terkumpul akan dikaji bersamaan dengan penafsiran pada

tafsir lain. Penganalisisan data seperti demikian dikenal juga dengan metode

komparatif yaitu membandingkan penafsiran Sa„id H{awwa dengan beberapa kitab

tafsir yang diidentifikasi sebagai kitab tafsir tasawuf. Di samping itu, akan

dikemukakan juga rumusan-rumusan ahli tasawuf terkait dengan tema-tema yang

dikaji. Teknik seperti di atas digunakan untuk membuktikan aspek sufistik penafsiran

Sa„id Hawwa. Metode komparasi perlu dilakukan dalam menganalisis substansi

permasalahan supaya dapat dipahami keberadaan makna zahir dan makna isha>ri

dalam penafsiran Sa„id H{awwa . Kerangka dari hasil analisa tersebut akan berguna

dalam rangka menarik kesimpulan.

Untuk mengambil suatu kesimpulan dalam pembahasan maka dilakukan

dengan metode induktif yaitu suatu kerangka analisis yang mengkaji data–data yang

khusus untuk mendapatkan kaedah yang umum.48

Jadi setelah dilakukan analisa

47

Ada beberapa pendekatan seperti dijelaskan oleh Suprayogo bahwa dalam melakukan

penelitian tafsir dapat disesuaikan dengan pendekatan disiplin ilmu yaitu :

1. Pendekatan sastera dan bahasa

2. Pendekatan filosofis

3. Pendekatan teologis

4. Pendekatan ilmiah

5. Pendekatan hukum / fiqh

6. Pendekatan tasawuf

7. Pendekatan sosiologis

8. Pendekatan kultural

Ini Menunjukkan bahwa ayat yang sama apabila ditafsirkan dengan pendekatan berbeda akan

menghasilkan isi pesan yang berbeda pula.

Lebih jelas lihat, Imam Suprayogo dan Tobroni, M.Si, Metodologi Penelitian Sosial–Agama

(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), Cet. Ke–1, 70. Bila dikaitkan dengan berbagai disiplin

ilmu lainnya maka pendekatan penelitian tafsir dapat saja dikembangkan atau ditambah berdasarkan

bidang kajian ilmu. Jadi pendekatannya tidak terbatas pada bidang keilmuan diatas saja. 48

Sudjarwo, Metodologi Penelitian Sosial ( Bandung: Mandar Maju, 2001 ), Cet. ke- 1. 19

Page 46: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

25

komparatif dari masing–masing penafsiran tersebut lalu diambil suatu kesimpulan

umum.

Dasar dalam pengambilan kesimpulan dapat dilakukan dengan menggali

metodologi Sa„id H{awwa dalam menafsirkan ayat–ayat tasawuf secara khusus dan

juga memperhatikan metodologi tafsirnya secara umum.

H. Sistematika Pembahasan

Bahasan penelitian ini disusun dalam enam bab yang masing–masing bab

terdiri dari bagian yang tak terpisahkan dan saling terkait. Sistematikanya adalah

sebagai berikut :

Bab pertama pendahuluan, meliputi uraian tentang latar belakang masalah

penelitian, ruang lingkup penelitian mencakup didalamnya berbagai masalah

penelitian yang harus dibatasi dan dirumuskan menjadi rumusan masalah pokok.

Mengiringi permasalahan diatas, peneliti menjelaskan juga pada bab ini tentang

signifikansi penelitian dengan mengungkap dasar penafsiran serta aspek tasawuf

dalam tafsir Sa„id H{awwa dikembangkan untuk dapat menjadi inspirasi bagi

kehidupan masyarakat. Selanjutnya kajian kepustakaan untuk menunjukkan distingsi

dan orisinalitas penelitian. Setelah itu disebutkan tujuan dan kegunaan penelitian,

sumber dan metode penelitian dan diakhiri dengan sub bab sistematika pembahasan.

Bab kedua menyangkut sejarah singkat Sa„id H{awwa dan metode tafsirnya

yang dibagi dalam beberapa poin yaitu kondisi sosial serta kehidupan Sa„id H{awwa.

Kemudian perjalanan intelektualnya khususnya pemikiran tasawufnya, perlu juga

dikemukakan karya–karya ilmiahnya. Setelah itu dilakukan kajian secara umum

tentang tafsir al-Asas karya Sa„id H{awwa. Bagian pada bab ini bertujuan untuk

menjelaskan objek penelitian dari disertasi.

Bab ketiga berisi deskripsi corak pemikiran tafsir sufi sebagai landasan teori

untuk melakukan pembahasan pada bab berikutnya. Dijelaskan tentang corak

pemikiran tafsir sufi yang berkembang dengan berbagai kategorinya seperti tafsir sufi

naz}ariy, falsafiy dan isha>riy. Selain itu masih dalam bab ini dijelaskan tentang

Page 47: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

26

perdebatan tafsir sufi, terakhir dijelaskan tentang kriteria ayat–ayat yang bercorak

tasawuf.

Bab keempat dan kelima ini merupakan kajian pokok dalam penelitian yaitu

analisis metodologi dan pemikiran tafsir Sa„id H{awwa terhadap ayat–ayat tasawuf

dalam tafsirnya. Hal pokok yang terkandung padanya menyangkut penafsiran tentang

ayat–ayat tentang konsep maqa>m dimensi ajaran tasawuf. Pada bab ini diungkap

sejauh mana pendekatan isha>riy dan makna zahir yang digunakan Sa‟id H{awwa

dalam tafsirnya, serta karakteristik pemikirannya agar diketahui kecenderungan

orientasi tafsirnya.

Bab keenam merupakan kesimpulan yang menyajikan hasil atau jawaban

dalam pertanyaan penelitian ini. Dalam bab ini peneliti juga mengemukakan beberapa

saran serta kontribusi penelitian.

SKM

Page 48: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

BAB II

SEJARAH SINGKAT SA‘ID H{AWWA DAN KITAB TAFSIRNYA

Pembahasan dalam bab ini akan mengungkap sejarah tokoh Sa‘id H{awwa

dan tafsir al-Asa>s fi at-Tafsi>r yang disusunnya. Uraian ini perlu dikemukakan

dalam sebuah penelitian untuk menggambarkan objek penelitian dalam pembahasan

disertasi. Data-data berupa informasi tertulis dihimpun dalam bahasan ini yang

meliputi tentang kondisi sosial politik Syria pada masa modern, sejarah kehidupan

Sa‘id H{awwa dan deskripsi tentang tafsir al-Asa>s fi at-Tafsi>r.

A. Seting Sejarah Syria Sebelum dan Masa Sa‘id H{awwa

Posisi Islam dalam masyarakat Syria telah berubah secara mendasar pada

masa-masa modern (abad XX ). Pada awal abad XIX ( kesembilan belas ) dan masa

sebelumnya, kaum elit politik dan sosial di kesultanan Usmaniyah mempersatukan

institusi–institusi, simbol–simbol dan kaum ulama Islam. Berbeda halnya pada abad

XX dimana kecenderungan sekular mulai mendominasi di Syria.1 Pada dekade awal

abad XIX kemapanan paham keagamaan Syria memperlihatkan kesetiaannya kepada

Sultan Usmaniyah dengan menolak seruan untuk memberontak yang dikeluarkan

oleh para propagandis gerakan pembaharu Wahabiyah di Arab Tengah. Selain

dimensi politik ini, kebencian kaum Wahabi2 terhadap sesama muslim berbenturan

dengan semangat toleransi yang menandai hubungan diantara kaum muslim dari

1 David Commins dalam John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj)

(Bandung: Mizan, 2002), Jilid 5, Cet. Ke–2, 269. Selama Era Usmaniyah (1517–1918), para Sultan

melegitimasi otoritas mereka dengan mengklaim menjalankan pemerintahan sesuai dengan Islam.

Legitimasi keagamaan ini selaras dengan posisi ulama lebih menonjol dikalangan elit urban Syria,

yang menengahi hubungan antara provinsi–provinsi dan ibu kota. Lihat, David Commins, dalam John,

Ensiklopedi, Jilid 5,269. 2 Pada dasarnya ajaran Wahabi (bukan mazhab Wahabi) dari segi aqidah adalah pengikut

Ahlus Sunnah wa al–Jama’ah, mazhab fiqhnya penganut Hanbali. Ia Muhammad bin Abdul Wahab

(1703-1792) pendiri gerakan Wahabi, adalah sahabat karib Muhammad bin Sa’ud pendiri kerajaan

Saudi Arabia bahkan dia pula yang membai‘atnya menjadi Raja. Lihat, Pendapat Ibrahim Hoesen,

Benarkah Pemerintah Saudi Arabia Mengikuti Mazhab Wahabi?, Jakarta: 1989/1409 dalam Mimbar

Ulama No. 138 Th. XII. Sebagaimana dikutip oleh Toha Andiko, Disertasi;Ijtihad Ibrahim Hoesen dan

Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:SPS UIN Jakarta, 2008), 40.

27

Page 49: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

28

beragam mazhab hukum dan tarekat sufi. Semangat toleransi ini tercermin dengan

dijalankan berbagai mazhab; Syafi’i, Hanafi bahkan Hanbali yang bebas dipraktekkan

di tengah masyarakat. Keragaman ini juga terjadi dalam afiliasi tarekat misal seorang

muslim ingin mengamalkan beberapa aliran seperti Qadiriyah, Naqshabandiyah,

Rifa>’iyah dan Khalwatiyah. Kaum ulama Syria terbukti lebih mudah menerima

sufisme reformis model syaikh Khalid, yang menghidupkan kembali tarekat

Naqshabandiyah ketika ia bermukim di Damaskus pada era 1820-an.3

Ajakan kaum Wahabi menentang pemerintah lebih kepada praktek sufi dan

tarekat yang dijalankan kerajaan.4 Sementara itu ulama Syria tidak mau menuruti

ajakan tersebut karena mereka juga menjalankan tarekat demikian. Paham kehidupan

tarekat yang fanatik dalam organisasi sufi dan sangat berlebihan memuja syaikh (guru

sufi) sebuah tindakan yang berlawanan dengan kaum Wahabi. Kaum Wahabi sangat

menekankan pemurnian dalam beribadah berdasarkan petunjuk tegas dalam Alquran

dan Hadis bahwa dalam beribadah, berdoa tidak harus terikat dengan syaikh serta

prilaku–prilaku yang dapat mengarah pada unsur syirik. Kegagalan pengaruh Wahabi

mengikis aliran tarekat menunjukkan bahwa kehidupan sufisme mempunyai akar kuat

bagi muslim Syria. Salah satu faktornya pihak Istana sangat mendukung aliran tarekat

tersebut. Tidak menutup kemungkinan bahwa dengan melemahnya keberadaan

kerajaan Turki Usmani, aliran tarekat inilah yang kuat mendukung pemerintahannya.

Kehidupan sufisme ini menjadi suatu hal yang melekat pada masa–masa berikutnya

khususnya masa kehidupan Sa‘id H{awwa (1935–1989).

Pada tahun 1831–1840 negeri Syria dibawah kekuasaan Mesir dengan

pengawasan militernya. Para pemuka agama merasa terancam ketika otoritas Mesir

mengurangi peran mereka secara drastis dalam urusan kedaerahan dibanding dibawah

3 John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2, 270 4 Sebagai penyangga gerakan puritan Islam, disamping memurnikan ajaran Islam dari unsur

khurafat, syirik, tradisi sinkretisme yang berkembang di masyarakat Islam, gerakan Wahabi juga

menolak amalan tasawuf. Inilah pula salah satu titik beda antara gerakan Wahabi di Arab Saudi dan

Muhammadiyah di Indonesia. Muhammadiyah sebagai gerakan puritan Islam mempunyai kesamaan

visi dengan Wahabisme namun dalam menyikapi tasawuf, Muhammadiyah dapat menerima ajaran

tasawuf. Lihat, Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), Cet. Ke–4, 304–305.

Page 50: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

29

kedaulatan Usmani.5 Periode abad XIX merupakan masa–masa melemahnya

kekuasaan Turki Usmani yang ditandai banyaknya negeri–negeri yang lepas dari

otoritas pusat dan beberapa daerah yang saling berebut kekuasaan dan ingin

menguasai pula. Mesir merupakan contoh dari peristiwa yang disebut terakhir.

Menjelang pertengahan abad ini muncul elit birokrasi sekular di Istambul dan

kehadiran misi keagamaan dan komersial Eropa yang bertentangan dengan ulama

Syria. Sentimen anti Eropa meledak pada 1850, anti Kristen terjadi di Aleppo. Pada

tahun 1860 massa muslim membantai orang–orang Kristen di Damaskus. Penyidik

Usmaniyah6 menuduh ulama berada dibelakang peristiwa tersebut dengan

mengganjar mereka berupa pengasingan dan kurungan. Ulama tidak mendapat tempat

lagi pada posisi berpengaruh seperti sebelumnya.7 Pamor ulama Syria menurun

drastis semenjak peristiwa itu. Peran ulama menjadi terpinggirkan dari lingkaran

kekuasaan Usmani.

Keberadaan ulama mulai bangkit lagi ketika pemerintahan Usmani dipegang

oleh Sultan Abdul Hamid II (berkuasa 1876–1909).8 Ia menangkal penyusupan

orang–orang Eropa dan perselisihan politik dalam negeri dengan menyatakan bahwa

Sultan adalah khalifah seluruh muslim.9 Dibawah kekuasaannya, pemerintahan

Usmani sudah menampakkan benih dualisme kepemimpinan. Selain Sultan, para elit

birokrasi dibawah pengaruh Eropa sebelumnya yang sekular belum dibersihkan dari

kerajaan Usmani. Akhirnya pada tahun 1878 Sultan membatalkan pemerintahan

5 John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2, 270 6 Pemerintahan kerajaan Turki Usmani waktu itu dipegang oleh Sultan Mahmud II (hidup

1785–1876). Sultan Mahmud II naik tahta tahun 1807. Pada masa ini benih sekularisasi mulai tampak

dalam pemerintahan. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Pemikiran dan Gerakan) (Jakarta:

Bulan Bintang, 1986), Cet. Ke–4, 90. 7 John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2, 270 8 Kekuasaannya yang berakhir tahun 1909 dilanjutkan oleh saudaranya Sultan Mahmud V.

Periode Abdul Hamid II dan Mahmud Vdihadapkan pada tokoh Turki Muda. Harun Nasution,

Pembaharuan Dalam Islam (Pemikiran dan Gerakan) (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet. Ke–4, 123.

Dalam percaturan sejarah dunia, masa ini ditandai dengan PD II 1914-1918, dimana Turki bersekutu

dengan Jerman. 9 John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2, 270

Page 51: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

30

konstitusional bentukan Eropa. Sultan kembali mengangkat penasehat agamanya

seorang sufi asal Syria dari tarekat Rifa’iyah, Abu al–Huda as–Sayyadi (1849–1909).

Bukan tidak ada alasan kelompok tarekat ini dipilih justeru tarekat Rifa’iyah adalah

pendukung utama Sultan.10

Kesultanan Abdul Hamid merupakan masa–masa rawan

kehancuran kerajaan Turki Usmani. Berbagai permusuhan, pertentangan juga konflik

dalam negeri menggerogoti kekuasaannya.

Kelompok yang menentang atas kepemimpinan Sultan datang dari gerakan

pembaharu keagamaan, seperti T{ahir al–Jazairi (1852–1920) dan Jamaluddin al–

Qasimi (1866–1914). Ulama pembaharu ini malah mendukung pemerintahan secara

konstitusional yang pernah dibubarkan Sultan pada 1878. Selain mengangkat isu

politik tokoh pembaharu ini juga ingin meluruskan paham keagamaan dengan

menolak taklid dan mengembangkan ijtihad dalam hal teori hukum Islam. Perseteruan

masalah keagamaan dan politik bertambah kuat sehingga pada tahun 1908 konstitusi

Usmaniyah diadakan kembali dan kekuasaan Sultan Abdul Hamid II dicabut pada

tahun 1909.11

Dengan berakhirnya kesultanan Usmaniyah maka dasar perpolitikan di

Syriapun menjadi berubah.12

Perjalanan kehidupan politik negeri Syria setelah

berpisah dari Turki Usmani semakin sering menghadapi konflik dan perlawanan baik

dengan pihak asing yang menjajah Arab dan juga dengan kalangan dalam negeri

sendiri. Muslim Syria tidak sepakat meletakkan dasar–dasar perpolitikan mereka dan

tidak sama dalam menghadapi pihak asing.

Kekuasaan Usmani hilang di Syria, negeri tersebut di pimpin oleh Amir Faisal

dari Bani Hashim Makkah yang berjuang melawan Perancis. Namun pada tahun 1920

Syria jatuh ke tangan Perancis dan Faisal diusir dari Syria. Berdasarkan mandat Liga

Bangsa–Bangsa, Perancis membentuk pemerintahan sejak mengalahkan Amir Faisal

10

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2, 270 11

Adapun pusat pemerintahan Turki Usmani yang dipimpin oleh Sultan Abdul Majid

diasingkan oleh pemerintahan transisi ke Swiss, maka kerajaan masih sempat bertahan pada Sultan

Abdul Aziz sebelum akhirnya hilang. Inilah akhir penghapusan kekhalifahan yang bertepatan pada

tahun 1924 dengan lawan politik waktu itu nasionalis sekuler pimpinan Mustafa Kemal Attaturk.

Nasution, Pembaharuan, h. 24. 12

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2, 271

Page 52: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

31

sampai tahun 1946. Dibawah pemerintahan Perancis banyak terjadi ketidakadilan

yang merugikan warga muslim. Hukum, perekonomian, hak sipil semuanya berpihak

pada asing. Di bidang pendidikan pengaruh ulama dipersempit sementara itu sistem

pendidikan Barat modern terus berkembang. Dampak dari ketimpangan ini berbagai

perhimpunan Islam muncul di kota–kota Syria. Perhimpunan amal Islam (jam‘iyyat)

muncul di Damaskus, Aleppo dan Hama dalam rentang 1920–1930, yang mempunyai

visi memperbarui moral dan agama, lembaga pendidikan dan publikasi. Dalam

bidang politik, kaum muslim menolak penyetaraan agama dalam rancangan konstitusi

1928 seperti peralihan agama dari Islam ke agama lain, perkawinan wanita muslim

dengan laki–laki non muslim.13

Kehidupan warga Muslim sangat tidak kondusif dibawah kekuasaan Perancis.

Benih sekular yang ditanam sangat tampak di pemerintahan, ditambah dengan

penguasaan asing yang sangat dominan semakin membangkitkan rasa nasionalisme

Arab rakyat Syria. Implikasi dari ketidak puasan dengan pihak kolonial, rakyat Syria

tergerak untuk membentuk gerakan dan memberikan perlawanan agar dapat terlepas

dari bangsa asing.

Pada tahun sekitar 1940, Partai Ba’th Sosialis Arab berdiri di Syria oleh para

tokoh gerakan Ihya al-Arabi yaitu Mikhail Aflaq (seorang kristen ortodoks),

Shalahuddin Bait}ar serta pengikut filosof Zaki al–Arsuzi (orang Antiokia).14

Disamping itu juga sudah berdiri Da>rul Arqa>m (+1942) yang berasal dari

perhimpunan yang dibentuk pemuda (jam‘iyyat) sebagai bagian dari organisasi sosial

politik. Pada tahun 1944 organisasi ini pindah dari Aleppo ke Damaskus. Pada tahun

1946 (sumber lain 1945) organisasi ini resmi berubah dan menjadi organisasi Ikhwan

al–Muslimin15

dengan pemimpin umum Mustafa as–Siba‘i (1915–1964), Tahun 1961

dilanjutkan oleh Is}am al-At}t}a>r. 16

13

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2, 272 14

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 1, Cet. Ke–2, 274 15

Organisasi Ikhwan al–Muslimi>n didirikan pertama kali oleh H{asan al–Banna tahun 1928 di

Ismailiyah Mesir. Al–Banna lahir di Mah}mu>diyah dekat Iskandariyah, Mesir tahun 1906 wafat

Page 53: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

32

Pada tahun 1946 Syria merdeka dari Perancis namun kecenderungan sekular

tetap mewarnai Syria merdeka. Sejak tahun 1946–1963 timbul serangkaian kudeta

militer, pemberontakan kerap terjadi. Pada 8 maret 1963 kudeta militer meresmikan

era pemerintahan Ba‘th. Pemerintahan ini didukung minoritas Alawiyah Shi‘ah

dengan presiden H{a>fiz} al–Asad, ia tidak mendapat tempat dihati mayoritas rakyat

Syria yang Sunni. Selain itu, isu sekularisme serta paham sosialismenya mendapat

tantangan dari Ikhwan Syria. Pemberontakan Islam kelompok Ikhwan pertama pecah

tahun 1964 di Hama17

Dari sinilah awal kemelut perseteruan pemerintah dengan

kelompok Ikhwan. Berbagai bentuk perlawanan seperti nuansa sektarian sampai

pemberontakan motif politik menjadi akrab dalam perjalanan pemerintahan rezim al-

Asad. Mulai tahun 1963 sampai 1982 merupakan masa pergolakan rezim dengan

Ikhwan al–Muslimi>n Syria.

Rezim Syria tetap bersikukuh pada pemisahan tegas agama dari politik, dilain

pihak ia tidak berusaha memperlemah posisi agama dalam budaya dan masyarakat

Syria. Universitas Damaskus masih memiliki fakultas hukum Islam yang berkembang

1949. Awalnya (1928) organisasi ini sebelum menjadi Ikhwan merupakan organisasi sufistik

keagamaan amar ma’ruf nahi mungkar satu cabang dari tarekat H{ashafiyah, tidak heran sebutan

murshid tetap melekat pada pimpinannya walaupun ketika berubah menjadi gerakan politik (1933).

Kemudian organisasi ini diberi nama Jam’iyyah al–Ikhwan al–Muslimin (1929). Lihat; John L.

Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002), Jilid 1, Cet. Ke–2,

264. Pada tahun 1937, organisasi pemuda Islam dan serikat yang lain di syria dilebur ke dalam Ikhwan.

Selanjutnya nama organisasi ini populer dengan sebutan Ikhwan al-Muslimi>n. Lihat juga; Ishak

Mussa al-Husaini, Ikhwanul muslimun (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), Cet.ke-1, 3&96

16

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2, 272. Mustafa as–Siba‘i seorang panglima bataliyon Ikhwan al–Muslimi>n Syria

lahir di kota Himsh, Syria tahun 1915. Pada tahun 1945 Mustafa as–Siba’i terpilih sebagai Mura>qib

‘A<m Ikhwan al–Muslimi>n Syria. Lihat; Al–Mustasyar Abdullah al–Aqil, Min A‘lam al–Harakah wa

ad- Dakwah al–Islamiyah al–Mu’as}irah, (Pen. Khozin Abu Faqih Lc, Fakhruddin Lc, Mereka yang

telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer) (Jakarta: Al-I’tisham Cahaya

Umat, 2003), 487-9. 17

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2, 272. Sekitar tahun 1975 Sa’id H{awwa bersama Adnan Sa’aduddin (penyelia

Ikhwan) memimpin Ikhwan faksi militan kurang lebih 7 tahun, dari Utara Hama melawan rezim al-

Asad. John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 2, Cet. Ke–2, 276- 7

Page 54: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

33

dengan baik. Pengajaran agama masih boleh diberlakukan pada sekolah–sekolah

umum walaupun bukan pada sekolah khusus keagamaan.18

Pergolakan ini agak surut dengan dikeluarkan dekrit oleh pemerintah yang

mengancam dan memperlemah keberadaan Ikhwan disamping para petinggi Ikhwan

ditahan dan ada yang hidup dipengasingan. Puncak perlawanan Ikhwan pada tahun

1982 setelah pemberontakan di Hama yang banyak memakan korban.19

Selain itu

organisasi Ikhwan juga pecah antara yang ekstrim dan moderat. Kesemua faktor

diatas ikut memperlemah keberadaan Ikhwan di Syria.

Sejak dikeluarkan dekrit (Juli 1980), kelompok oposisi termasuk Ikhwan

membentuk Front Islam Syria (Oktober 1980) yang digagas oleh Sa‘id H{awwa

tokoh utama, bersama Adnan Sa‘aduddin serta sekretaris jenderalnya Syaikh

Muhammad al–Baya>nu>niy. FIS yang dibentuk ini merupakan wadah kelompok

oposisi Islam yang dipimpin orang Ikhwan namun tidak banyak membawa pengaruh

bagi kelangsungan perjuangan oposisi Islam. Disamping hubungan FIS dengan

negara tetangga yang belum mendapat dukungan, ditambah dengan keberpihakan

Ayatullah Khomeini pada rezim Syria.20

Dengan demikian perjuangan pengikut

Ikhwan tidak tampak lagi di permukaan. Sementara itu rezim al–Asad di Syria dan

pendukungnya kelompok Alawiyah melanjutkan pemerintahannya.

Kekalahan Irak dalam perang teluk tahun 1991 mengurangi ancaman ke Syria

(sebagai saingan partai Ba‘th). Namun demikian Syria tidak lagi mendapat

perlindungan dari Uni Soviet yang sudah bubar. Kondisi Syria menjadi kurang

menguntungkan setelah mendapat tekanan dari Amerika terkait perundingan masalah

Israel apalagi setelah inisiatif perdamaian Palestina-Israel tahun 1993. Selain itu dari

segi perekonomian masih rapuh, kondisi ini dapat mengurangi dukungan terhadap

18

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2, 273 19

Cara militer pemerintah berhasil menekan Ikhwan. Sebelum pemberontakan Hama

jumlahnya kurang dari 5 ribu, setelah peristiwa Hama semakin berkurang. John L. Esposito, Dunia

Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002), Jilid 2, Cet. Ke–2, 278 20

Ketika perang antara Irak dan Iran (1980–1988), rezim Syria merupakan negara yang

membela Iran waktu itu. John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung:

Mizan, 2002), Jilid 2, Cet. Ke–2, 279.

Page 55: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

34

rezim al–Asad.21

Keadaan politik dan ekonomi pemerintahan yang tidak stabil ini

bisa saja memicu kembali konflik di dalam negeri.

Sejarah panjang Syria sejak menjadi bagian kekuasaan Turki Usmani sampai

punya pemerintahan sendiri terakhir rezim al–Asad belum menampakkan

keberhasilan dalam membangun Syria. Kemajuan hanya dirasakan kelompok

minoritas agama seperti Alawiyah, Kristen, Ismailiyah yang umumnya daerah miskin

pedesaan. Kondisi politik senantiasa tidak stabil sejak kemerdekaan tahun 1946

sampai tahun 1982 yang ditandai pada saat gerakan Ikhwan tidak aktif lagi.

Konfrontasi antara pemerintah dengan Ikhwan sangat menonjol dalam sejarah

kemerdekaan Syria. Pergolakan dalam negeri Syria tidak dapat dilepaskan dari tokoh

pergerakan Ikhwan Sa‘id H{awwa dan Mustafa as–Siba‘i. Pergolakan tersebut dapat

dikatakan sebagai perseteruan antara sekularisme dengan Islam. Ikhwan ingin

menerapkan hukum Islam dalam negara atau politik berdasarkan hukum Islam

sementara kalangan modernis sekular tidak mau mencampurkan agama dalam urusan

negara. Peta perpolitikan di Syria menggambarkan paling tidak tiga paham yang

berkembang; Nasionalis Sekular-Mikhail Aflaq, Modernis–al-Qasimi dan Islam

tradisional–Ikhwan al-Muslimi>n. Belum lagi ditambah dengan persaingan sekte–

sekte keagamaan. 22

B. Sejarah Kehidupan Sa‘id Hawwa

Wilayah Syria yang dahulunya (permulaan abad XX) masih bagian dari

kerajaan Turki Usmani namun saat pasukan Perancis dari Eropa menyerang Syria dan

berhasil menguasainya pada tahun 1920, Syiria sudah lepas dari pusat. Dari tahun

1920 sampai 1946 Syria dibawah otoritas mandat Perancis. Rakyat Syria waktu itu

sudah mengadakan perlawanan, sekitar tahun 1930 orang–orang Syria berjuang untuk

21

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 2, Cet. Ke–2, 279 22

Misalnya, perselisihan antara shi‘ah-sunni

Page 56: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

35

mendapatkan kemerdekaan dari Perancis.23

Pada tahun 1931 orang muda yaitu

Mustafa as–Siba’i membagikan selebaran anti politik Perancis, berpidato dan

memimpin demonstrasi di kota Hims yang mengakibatkan ia ditangkap oleh orang

Perancis.24

Perlawanan ini merupakan awal pergerakan benih Ikhwan al–Muslimi>n

di Syria.

Dalam situasi politik Syria dibawah kekuasaan Perancis demikian, Sa‘id

H{awwa lahir yang kemudian menjadi tokoh pergerakan, da‘i dan juga dikenal

sebagai seorang zuhud. Nama lengkapnya adalah Sa‘id bin Muhammad Dib H{awwa,

lahir tahun 1935 di kota Hamah, Syria. Dalam usia 2 tahun, ia sudah ditinggal wafat

oleh ibunya. Pendidikan dan bimbingan masa kecil dilanjutkan oleh ayahnya dan

mereka pindah tinggal dirumah neneknya. Ayahnya seorang pemberani dan pejuang

dalam melawan kolonial Perancis.25

Darah pejuang dalam dirinya mengalir dari

ayahnya ditambah situasi Syria yang sedang menghadapi penjajahan Perancis

membuat Sa‘id H{awwa tumbuh menjadi pemuda yang tegar.

Perjalanan intelelektualnya diawali dengan menggali ilmu kepada beberapa

orang shaikh di Syria. Diantara ulama yang terkenal adalah shaikh dari kota Hamah,

yaitu; shaikh Muhammad al–H{a>mid, shaikh Muhammad al–Hashimi, shaikh Abdul

Wahab Dabas Wazit, shaikh Abdul Karim ar–Rifa’i, shaikh Ahmad al–Murad dan

shaikh Muhammad Ali al–Murad. Selain itu, Sa‘id H{awwa juga belajar kepada

Mustafa as–Siba‘i, Mustafa az–Zarqa, Fauzi Faid}ullah dan beberapa orang ustadz

lainnya.26

Karakter kesufian Sa‘id Hawwa tampaknya diawali dari bimbingan

beberapa syaikh yang dijumpainya sehingga membekas dalam kehidupannya.

23

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 2, Cet. Ke–2, 276 24

Al–Mustasyar Abdullah al–Aqil, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun

Pergerakan Islam Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tisham Cahaya Umat, 2003), 488. 25

al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam

Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tisham Cahaya Umat, 2003), 401 26

Diantara ustadh lain yang pernah menjadi pembimbing Sa‘id H{awwa di usrah Ikhwan

adalah ustadh Must}afa as}–S{airafi, al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh

Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tisham Cahaya Umat, 2003), 401

Page 57: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

36

Pada tahun 1952 ia bergabung dalam Jam‘iyyah al-Ikhwan al–Muslimi>n.27

Beberapa tahun setelah itu, ia mengikuti kuliah di Universitas Syria dan lulus pada

tahun 1961. Kemudian mengikuti wajib militer dan lulus sebagai perwira tahun 1963.

Setahun kemudian ia melaksanakan pernikahan dan dikarunia empat orang anak.28

Menurut pengakuan al–Mustasyar Abdullah al–Aqil29

yang sempat bertemu

dengan Sa‘id H{awwa bahwa Sa‘id H{awwa dikenal sebagai penyabar, ramah dan

memiliki sifat tawad}u‘, wara‘dan zuhud. Kecenderungan sufi lebih dominan dalam

hidupnya. Sikap kesederhanan sangat tampak seperti dalam penampilan ataupun di

tempat kediamannya yang bersahaja jauh dari kemewahan. Sikapnya yang ramah dan

wara‘ membuatnya bersikap longgar bagi siapa saja yang ingin mencetak bukunya

atas izin atau tanpa izin.30

Kehidupan sufi yang dijalaninya menjadikan buku–buku

serta tafsir yang ditulis memiliki kecenderungan sufistik. Karya–karya sufinya

menyangkut tema terutama dalam rangka membersihkan jiwa dan memurnikan

ibadah kepada Allah.

Kiprahnya di dunia pendidikan dimanifestasikan dalam lembaga–lembaga

pendidikan, seperti pada al–Ma‘had al–Ilmi di kota al–Hufuf wilayah Ihsa selama dua

tahun. Selain itu Sa’id H{awwa juga mengajar di Madinah tiga tahun dan di Saudi

Arabia sekitar 5 tahun. Pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya juga disampaikan

lewat ceramah, diskusi dan juga dituangkan dalam beberapa buku. Ia termasuk

penulis besar pada masa modern ini, kemampuan menulisnya mengambil tema;

27

Al-Banna sebagai pendiri Ikhwan adalah termasuk pengikut ajaran sufi Hasafiyah

(semacam tarekat) dan Al-Banna sendiri pernah melakukan uzlah dan hidup zuhud. Kecenderungan

spiritual pengikutnya tidak bisa lepas dari pengaruh al-Banna. Ishak Mussa al-Husaini, Ikhwanul

muslimun (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), Cet.ke-1, 5 28

al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam

Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tisham Cahaya Umat, 2003), 401 29

Ia juga sebagai penulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; Mereka telah

Pergi. Al–Mustasyar al–Aqil adalah alumnus fakultas Shari’ah al–Azhar tahun 1954. Sebelumnya ia

belajar di Irak (negeri kelahirannya di az–Zubair). Sekembali dari pendidikan al–Azhar Kairo ia

pernah mengajar di az–Zubair dan kemudian banyak memegang jabatan di berbagai negara. Terakhir

ia menjabat sebagai sekjen OKI. al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun

Pergerakan Islam Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), iv 30

al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam

Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), 403

Page 58: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

37

dakwah dan gerakan, fiqh, tentang pembinaan jiwa (ru>h}iyyah–tasawuf).31

Salah

satu karyanya menyangkut tema tasawuf yaitu Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah.

Kelebihan buku ini tidak saja berbicara tasawuf pasif tapi tasawuf untuk

membangkitkan jiwa supaya membangun masyarakat yang berjiwa kokoh, semangat

dan bersih.32

Selain memberikan kuliah, Sa‘id H{awwa dikenal juga sebagai da‘i. Aktifitas

dakwahnya tidak hanya di Syria tapi umumnya meliputi negara–negara Arab seperti

Mesir, Qatar, Yordania dan seterusnya bahkan pernah di Jerman dan Amerika. Hal itu

dilakukan ketika ia berkunjung ke Amerika, daerah Eropa. Semangat dakwahnya

sangat melekat pada dirinya apalagi ia termasuk sebagai pemimpin Ikhwan al–

Muslimi>n Syria.33

Organisasi Ikhwan membawa ia bertambah tegar untuk

memperjuangkan agama Islam lewat jalan politik. Ia termasuk tokoh pimpinan

militan Ikhwan di Hama bersama dengan Adnan Sa‘aduddin.

Pendidikan militer yang diselesaikan Sa’id H{awwa pada tahun 1963 tidak

menjadikan ia masuk dalam jajaran tentara pemerintah. Dilihat dari sejarah

kemerdekaan Syria bahwa tahun 1963 merupakan akhir kudeta yang dilakukan

militer dan pemerintahan dipegang partai Ba’th dengan presiden H{a>fiz al-Asad

nasionalis sekular.34

Perhatian pemerintah sekarang lebih dihadapkan kepada

kelompok Ikhwan yang dari dulu menginginkan pemerintah menjalankan hukum–

hukum Islam dalam undang–undang negara.

Sa‘id H{awwa pernah memimpin demonstrasi menentang undang-undang

Syria tahun 1973.35

Konsekuensinya ia ditangkap dan dipenjara sejak 5 maret 1973–

31

al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam

Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), 402 32

Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007/1428), Cet. Ke–9,

5 33

al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam

Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tisham Cahaya Umat, 2003), 402 34

Bersamaan dengan berkuasanya Ba’th di Syria pada bulan Maret 1963, sebelumnya bulan

Pebruari 1963 di Irak juga partai Ba’th sedang memegang pemerintahan. Peristiwa ini terjadi ketika

bubarnya Republik Persatuan Arab. Syria memisahkan diri dari Irak. Disarikan dari; John L. Esposito,

Ensiklopedi, Jilid 1, h. 275 35

Tercatat ada tiga demonstrasi yang dipimpin oleh Sa’id H{awwa; pertama, ketika Ikhwanul

Muslimi>n Syria menuntut pemerintah agar memasukkan pendidikan kepanduan di sekolah

Page 59: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

38

29 Januari 1978. Dalam masa tahanan ini digunakan untuk menulis kitab tafsir dan

buku–buku dakwah/gerakan.36

Pada waktu itu pemerintahan al–Asad membuat

undang – undang baru yang menghilangkan penyebutan Islam sebagai agama negara.

Ketidak puasan Ikhwan bukan saja hal demikian namun yang lebih utama lagi karena

al–Asad berasal dari golongan sekte Alawiyah yang dianggap sesat.37

Selesai menjalani kurungan, pada tahun 1979 Sa‘id H{awwa mengadakan

perjalanan ke Pakistan, ke Iran. Sewaktu kunjungan kedua di Pakistan ia menghadiri

pemakaman Abul A‘la al–Maudu>di. Pada kesempatan lain Sai‘d H{awwa bersama

delegasi Islam Syria bertemu Khomeini serta Menteri Luar Negeri Iran Ibrahim Yazdi

untuk membicarakan bantuan terhadap saudara–saudara muslim di Syria. Ia

sampaikan keadaan yang sesungguhnya yang diperjuangkan oleh Ikhwan di Syria

kepada Khomeini dalam rangka mempererat ukhuwah Islamiyah.38

Pada tahun 1980 atas prakarsa Sa‘id H{awwa, dibentuklah Front Islam Syria

(FIS) sebagai sarana untuk menata dan mengevaluasi perjuangan Ikhwan yang gagal

menentang rezim al–Asad karena sudah banyak anggota Ikhwan yang jadi korban.

Kekuatan Ikhwan dan FIS waktu itu sudah kurang berpengaruh sebagai gerakan

oposisi. Iran dengan terang–terangan justeru mendukung pemerintahan rezim al-

Asad. Baik FIS dan Ikhwan, tokoh–tokohnya banyak di pengasingan karena diburu

oleh tentara rezim al–Asad. Disamping itu dekrit pemerintah mengancam keberadaan

Thanawiyah. Kedua, pembelaan terhadap pembantaian Ikhwanul Muslimi>n Mesir (PM Mesir setelah

Mustafa Nuhas Pasya (sebelumnya Husein Sirry) yaitu Ahmad Mahir tewas diculik, PM dilanjutkan

oleh an-Nuqrashi yang tewas tahun 1948 penggantinya Abdul Hadi Pasha. disini Ikhwan mendapat

perlakuan kejam). Ketiga, peringatan duka atas perjanjian Boulfour. al–Mustasyar, Mereka yang telah

Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat,

2003), 402 36

Al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam

Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), 402 37

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 5, Cet. Ke–2,272 38

Al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam

Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), 403

Page 60: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

39

Ikhwan. Peristiwa demikian dipicu oleh demonstrasi dan pemboikotan besa–besaran

tahun 1980 di Aleppo, Hama, Homs serta ada upaya pembunuhan terhadap al–Asad.39

Pada pertengahan tahun 1980–an aktifitas Sa’id H{awwa dengan Ikhwan

tidak terdengar lagi. Apalagi setelah kecewa terhadap sikap Khomeini yang kurang

menguntungkan bagi Ikhwan dan FIS.

Pada tahun 1987 Sa’id H{awwa terserang stroke hingga sebagian anggota

tubuhnya lumpuh. Ia juga mengalami komplikasi penyakit; tekanan darah, gula,

ginjal dan sakit mata. Keadaan demikian membuat ia tidak dapat hadir bersama

masyarakat lagi karena diopname. Pada bulan Desember tahun 1988 kondisinya tak

kunjung membaik dan masih dirawat di rumah sakit. Tiga bulan kemudian tepatnya

tanggal 9 Maret 1989 sang pejuang itu wafat di rumah sakit Amman, Yordania.40

Tokoh pembela Islam, seorang Sufi, pejuang berhati lembut tersebut sudah pergi

selama–lamanya dengan banyak meninggalkan buku–buku karyanya yang dapat

dikembangkan dan dipelajari.

C. Perkembangan Intelektual Sa‘id H{awwa

1. Pemikiran Keagamaannya

Pada usianya masih muda, Sa‘id H{awwa untuk pertama kalinya berkenalan

dengan pergerakan jama‘ah Ikhwanul Muslimi>n. Pikiran–pikiran dari gerakan

Ikhwan sangat membentuk kepribadian dan pola pikir Sa‘id H{awwa yang kemudian

hari ia ikut terlibat bahkan sebagai tokoh dalam pergerakan Ikhwan di Syria. Selain

itu pemikirannya di manifestasikan lewat buku–buku yang tersebar dan dapat dibaca

dan dijangkau oleh siapapun. Dari beberapa karya Sa‘id H{awwa bisa dikategorikan

bahwa pandangan gerakan Islam Sa‘id H{awwa sealiran dengan tokoh pendiri

Ikhwan Hasan al–Banna. Faktor guru yang mendidik Sa‘id H{awwa juga

berpengaruh membentuk pemikiran keagamaannya. Secara umum pemikiran

39

John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),

Jilid 2, Cet. Ke–2,277 40

Al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam

Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), 409

Page 61: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

40

keagamaan Sa‘id H{awwa bagian dari kelompok Islam Sunni yang dikenal sebagai

Ahli Sunnah wa al-Jama’ah.41

Pola pemikiran Sa‘id H{awwa dapat dilihat melalui

penafsirannya tentang fiqh, aqidah, tasawuf dalam kitab tafsir yang terdiri dari 11

jilid besar.

Diantara paham keagamaan yang populer seperti paham teologi atau kalam,

paham mazhab Fiqh dan aliran tasawuf. Berdasarkan pemikiran ulama yang sering

dikutip Sa‘id H{awwa dalam tafsirnya maka tampak misalnya dari aspek teologi

kecenderungan Sa‘id H{awwa sejalan dengan an–Nasafi yaitu pengikut Ash‘ariyah.42

Aspek Fiqh juga dapat dikatakan, Sa‘id H{awwa sejalan dengan an–Nasafi yang

bermazhab Hanafi. Dua paham keagamaan diatas sebetulnya tidak menjadi dominan

dalam pemikiran keagamaan Sa‘id H{awwa. Karena itu ia tidak banyak

membicarakannya. Hal itu dapat dilihat dari beberapa karyanya yang kurang

menyinggung dua hal tersebut secara mendalam. Adapun dari aspek tasawuf, Sa‘id

H{awwa banyak mencurahkan perhatian sehingga karya–karyanya lebih

mencerminkan tasawuf dan pembinaan akhlak.

a. Pemikiran Kalam

Sehubungan dengan kebebasan manusia yang merupakan salah satu poin

perdebatan aliran kalam dapat dilihat dalam penafsiran ayat 29 surat al-Kahfi.

وقم انحق مه زبكم قمه شبء فهيؤمه ومه شبء فهيكفس إوب أعتدوب نهظبنميه وبزا أحبط بهم

... سسادقهب

Katakanlah,” Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka siapa yang ingin

beriman hendaklah ia beriman dan siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir.

Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang–orang zalim itu neraka yang

gejolaknya mengepung mereka.

41

Bila disebut Ahli Sunnah atau Sunni memberi pengertian bukan kelompok Shi’ah.

42 An–Nasafi adalah pengarang tafsir Mada>rik at–Tanzi>l wa H{aqâ>iq at–Ta’wil yang

dijadikan sebagai salah satu rujukan utama bagi Sa‘id H{awwa dalam menyusun tafsirnya. An–Nasafi

dikenal pengikut Ash‘ariyah dalam paham teologi dan pengikut Hanafi dalam Mazhab Fiqh.

Page 62: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

41

Sa‘id H{awwa menjelaskan bahwa manusia bebas memilih apa yang

dikehendaki untuk dirinya, apa mau mengambil jalan menuju keselamatan atau

memilih jalan menuju kehancuran. Kemudian Allah kemukakan ancaman bagi orang

yang memilih kekufuran yaitu neraka dengan api yang bergejolak.43

Penafsiran Sa‘id

H{awwa terkait ayat diatas terlihat, manusialah yang menentukan pilihan hidupnya,

bebas menggunakan daya yang ada dalam dirinya. Kalau begitu manusia juga siap

dengan segala akibat yang ditimbulkan seperti mendapat pahala dari pilihan baiknya

dan menerima hukuman atau azab dari pilihan salah yang diambilnya. Kebebasan

memilih oleh manusia muncul dari diri sendiri, bukan Tuhan yang mengarahkan.

Pandangan Sa‘id H{awwa diatas ada kesejalanan dengan paham Mu‘tazilah bahwa

perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia sendiri yang bebas menentukan pilihan.

Walaupun penafsiran Sa‘id H{awwa tentang ayat tersebut cenderung ke aliran

Mu‘tazilah namun ia tidak menyebut bahwa ia mengikuti Mu‘tazilah. Artinya ia tidak

mempersoalkan antara Mu‘tazilah atau Ash‘ariyah tentang penafsiran ayat–ayat

kalam. Sama halnya ketika ia menafsirkan ayat 96 as}-S{affa>t (37) tentang

perbuatan manusia juga.

. واهلل خهقكم ومب تعمهىن

Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.

Sa‘id H{awwa menjelaskan, Allah sebagai pencipta (Khalik) mu dan pencipta

perbuatan–perbuatanmu (a‘malu kum), maka mengapa kamu menyembah juga

selainNya?44

Bila diperhatikan ada kesan Sa‘id H{awwa menilai perbuatan manusia

diciptakan oleh Allah seperti yang pernah dikemukakan oleh aliran Ash‘ariyah bahwa

perbuatan manusia diwujudkan oleh Tuhan. (Al–Ibanah h. 48). Berbeda sekali

43

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.

Ke–6, 3175. Penjelasan senada dikemukakan juga oleh Sa‘id H{awwa ketika menafsirkan ayat 2 surat

at–Tagha>bu>n. Intinya;Allah maha melihat dan maha mengetahui kekufuran atau keimananmu yang

muncul dari amalmu (perbuatan) sendiri. Lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 5951. 44

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.

Ke–6, 4714

Page 63: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

42

dengan aliran Qadariyah/Mu‘tazilah yang memandang perbuatan manusia

diwujudkan oleh daya yang ada pada mereka sendiri bukan diwujudkan oleh

Tuhan.(al-Ibanah).

Terkait penafsiran Sa‘id H{awwa terhadap ayat diatas yang cenderung ke

paham Ash‘ariyah, Sa‘id H{awwa tidak menyebutkan bahwa pendapatnya mengikuti

Ash‘ariyah atau mencela aliran Mu‘tazilah. Ini merupakan indikator bahwa Sa‘id

H{awwa tidak tertarik memperdebatkan persoalan kalam sebagaimana yang populer

terjadi diantara mutakallimin. Melalui penafsiran–penafsiran ayat kalam diatas

terlihat Sa‘id H{awwa tidak menegaskan bahwa ia penganut salah satu aliran kalam.

Memperhatikan rujukan tafsirnya yang sering mengutip an–Nasafi seorang pengikut

Ash‘ariyah bisa digambarkan Sa‘id H{awwa bisa menerima paham Ash‘ariyah

walaupun ia tidak menyebut aliran tersebut dalam menafsirkan ayat.

Indikator lain yang mendukung pernyataan ini dapat ditelusuri penafsiran

Sa‘id H{awwa terhadap surat al-Qiya>mah (75):22-23.

. إنى زبهب وبظسة . وجىي يىمئر وبضسة

Wajah–wajah orang mukmin pada hari itu berseri–seri. Kepada Tuhannyalah

mereka melihat.

Wajah orang mukmin senang karena memperoleh nikmat yaitu melihat Tuhan

dengan mata kepala sendiri. Ia memperkuat pendapatnya dengan mengutip tafsir Ibnu

Kathir ketika menafsirkan na>z}irah, ( yaitu tara>hu ‘iya<nan – تساي عيبوب ) melihat

dengan mata sendiri. Disamping itu Ibnu Kathir mengungkapkan sebuah hadis Nabi

yang diriwayatkan Bukhari mengatakan Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu

dengan mata sendiri.45

Penafsiran Sa‘id H{awwa tentang ayat melihat Tuhan sejalan

dengan yang dipegang oleh paham Ash‘ariyah bahwa setiap yang mempunyai wujud

pasti dapat dilihat, Tuhan berwujud karena itu dapat dilihat. (Ibanah. h.76).

Pandangan Sa‘id H{awwa dalam hal ini sangat berbeda dengan yang

dipegang oleh aliran Mu‘tazilah yang mengatakan Tuhan tidak dapat dilihat di

45

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet.

Ke–6, 6268 dan 6276.

Page 64: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

43

akhirat. Surat al–Qiya>mah diatas mengenai kata na>z}irah menurut Mu‘tazilah

bermakna menunggu. Jadi orang mukmin menunggu pahala dari Tuhannya. Alasan

lain adalah Tuhan tidak mengambil tempat karena itu tidak bisa dilihat sebab yang

dapat dilihat hanyalah sesuatu yang mengambil tempat. Pendapat Mutazilah ini

sejalan dengan paham mereka yang meniadakan sifat tajassum (antropomorfisme)

pada Tuhan. Setentangan sifat Tuhan–berbeda dengan pandangan diluar Mu‘tazilah–

bagi mereka, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan sedangkan pengetahuan itu

adalah zatNya sendiri. 46

Walaupun berbeda pemahaman dengan Mu‘tazilah, Sa‘id H{awwa dalam

tafsirnya tidak menyebut kecenderungan paham Mu‘tazilah atau Ash‘ariyah yang

menjadi dasar pemikirannya. Namun demikian dari penafsirannya terkait ayat diatas

membuktikan secara implisit Sa‘id H{awwa bukanlah pengikut aliran Mu‘tazilah.

Penafsirannya menyangkut ayat–ayat yang bernuansa kalam tidak pula secara tegas ia

mengikuti pandangan Ash‘ariyah . Artinya Sa‘id H{awwa tidak terikat dengan

aliran–aliran kalam yang berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa Sa‘id H{awwa

tidak memberikan perhatian besar kepada pemikiran kalam dalam tafsirnya.

b. Pemikiran Fiqh

Berkenaan dengan pemikiran fiqh Sa‘id H{awwa dalam tafsirnya seperti

dijelaskan diawal bahwa ia tidak terlalu mempersoalkan perbedaan mazhab baik

hukum atau teologi/kalam. Terkait ayat hukum misalnya tentang ayat bersuci, QS.

an–Nisa’(4):43.

وإن كىتم مسضى أو عهى سفس أو جبء أحد مىكم مه انغبئط أوالمستم انىسبء فهم تجدوا مبء ...

...فتيممىا صعيداطيبب

46

Bagi Ash‘ariyah sifat Tuhan bukanlah Tuhan tapi tidak pula lain dari Tuhan. Sifat qudrat,

iradat, sama’, bas}ar dan seterusnya azali dan berdiri pada zat Allah. Senada dengan ini, menurut al–

Ghazali sifat Tuhan tidak sama dengan esensi Tuhan , lain dari esensi Tuhan tapi berwujud dalam

esensi Tuhan. Lihat; Hasan Zaeni, Tafsir tematik ayat–ayat kalam–tafsir al-Maraghi (Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya, 1997),144 dan 155. Lihat juga;Machasin, al-Qad}i Abdul Jabba>r: Mutasha>bih

Alquran–Dalih Rasionalitas Alquran (Yogyakarta: LkiS, 2000), Cet. Ke–1, 143–144.

Page 65: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

44

Dan jika kamu sakit, keadaan musafir atau selesai buang hajat atau

lâmastumun nisa>’, kemudian kamu tidak menjumpai air maka

bertayammumlah dengan tanah yang baik.

Menurut penafsiran Sa‘id H{awwa kata la>mastumun nisa>’ menunjukkan

arti bersetubuh. Ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan para mufasir,

sebagaimana Ibnu Kathir juga berpendapat demikian. Mengenai tafsiran tentang

tanah yang baik, disini Sa‘id H{awwa menjelaskan pendapat dari berbagai ulama

mazhab seperti menurut Imam Malik, S{a‘i>dan termasuk tanah padat, pasir, pohon,

batu, tumbuhan (nabat) artinya secara umum benda yang berada dimuka bumi.

Hampir sama dengan itu pendapat mazhab Hanifah, termasuk jenis tanah seperti

pasir, kapur (tanah kapur). Sedangkan menurut mazhab Syafi‘i dan Hanbali yang

dimaksud s}a‘i>dan adalah tanah saja.47

Disini Sa‘id H{awwa tidak menegaskan, Ia

mengikuti salah satu pendapat tersebut. Namun yang jelas ia terbuka dalam masalah

perbedaan mazhab dan tidak terlalu mempersoalkan perbedaan– perbedaan dalam

pemikiran keislaman baik yang terlihat juga ketika menyikapi persoalan kalam. Sa‘id

H{awwa tampaknya mengemukakan dalam penafsirannya pandangan–pandangan

yang menurutnya sesuai dengan pemikirannya, tidak harus terikat dengan salah satu

mazhab pemikiran apalagi fanatik dengan kelompok tertentu.

Melihat cara Sa‘id H{awwa mengungkapkan pendapat dari berbagai aliran,

seperti persoalan kalam Sa‘id H{awwa tidak menyebut nama aliran kalam ketika

menafsirkan ayat yang terkait masalah tersebut. Sementara itu menyangkut persoalan

fiqh, dikemukakan berbagai pandangan serta nama mazhabnya. Dengan demikian

bertambah jelas bahwa Sa‘id H{awwa tidak mau berpolemik masalah perbedaan

mazhab. Apalagi ia sering mengemukakan perbedaan pandangan mazhab tersebut

dengan menyandarkan kepada berbagai kitab tafsir sebagai rujukan utama yaitu Ibnu

Kathir dan an–Nasafi. Hal ini menunjukkan ia sepaham dengan aliran yang dianut

47

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 1076 dan 8

Page 66: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

45

oleh kedua mufasir tersebut. Suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang dalam

uraiannya dan ia tidak ada persoalan berarti ia setuju dengan pendapat tersebut.48

Contoh lain, menyangkut persoalan haid sebagaimana tercantum dalam surat

al-Baqarah (2);222.

... والتقسبىا هه حتى يطهسن فئذا تطهسن فأتىهه ...

Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka itu suci, bila mereka telah

suci maka campurilah …

Ayat diatas berkaitan dengan waktu suci, ditafsirkan oleh Sa‘id H{awwa

bahwa bolehnya mencampuri isteri yaitu bila selesainya haid dan telah mandi wajib

atau bertayammum bila ada uzur. Disamping itu, ia juga mengemukakan pendapat

Ibnu Kathir dimana ulama sepakat kecuali Abu Hanifah bahwa wanita yang sudah

selesai haid tidak halal dicampuri sebelum mensucikan diri dengan mandi. Adapun

menurut Abu Hanifah bila wanita telah selesai haid sudah boleh dicampuri. Bagi

wanita yang masa haidnya 10 hari bila berhenti haidnya kurang dari 10 hari

diwajibkan mandi sebelum bercampur.49

Berdasarkan keterangan Sa‘id H{awwa

terkait ayat tersebut dalam tafsirnya terlihat berbagai pendapat di kemukakannya dan

ia tidak secara tegas menyatakan ikut pada mazhab tertentu. Kalau diperhatikan

penafsirannya mengenai kata yat}-hurna ia sependapat dengan Ibnu Kathir.

Pada penjelasan berikutnya, ditambahkan oleh Sa‘id H{awwa untuk

membuktikan wanita betul–betul selesai haidnya yaitu dengan cara memasukkan

kapas kedalam farajnya. Jika kapas tersebut dikeluarkan dari faraj masih bersih tanpa

ada noda berarti suci.50

Penjelasan Sa‘id H{awwa ini mengulas dari pandangan Abu

48

Sama halnya dengan an–Nasafi ketika menafsirkan ayat–ayat hukum dalam tafsirnya, ia

juga tidak fanatik dalam menafsirkan ayat sesuai mazhabnya walaupun ia dikenal bermazhab Hanafi.

Hal ini berpengaruh pula pada Sa’id H{awwa yang dalam tafsirnya tidak tampak fanatik kepada suatu

mazhab. 49

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 516. Lihat juga keterangan M. Ali as}–S{abu>ni, Tafsi>r A<ya>t al–Ah}ka>m, juz I, 301.

As}–S{abu>ni menyatakan pendapat Abu Hanifah, yang dimaksud dengan suci berhentinya darah

haid keluar maka bagi suami boleh mencampuri isteri sebelum mandi. 50

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 517

Page 67: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

46

Hanifah tentang berhentinya haid sebagai tanda suci. Disini sangat nyata bahwa Sa‘id

H{awwa tidak fanatik kepada mazhab fiqh tertentu walaupun dari penafsirannya

boleh dikatakan cenderung ke mazhab Hanafi. Bila dikatakan Sa‘id H{awwa

terpengaruh oleh mazhab Hanafi sebagaimana terlihat dalam tafsirnya sangat

mungkin terjadi karena an–Nasafi sebagai salah satu rujukan utama dalam tafsirnya

yang merupakan pengikut mazhab Hanafi dan berpaham teologi Ash‘ariyah.

Dalam masalah kalam dan fiqh, Sa‘id H{awwa bersikap netral dengan tidak

menegaskan kepada aliran mana ia memihak. Dalam masalah tasawuf, apakah Sa‘id

H{awwa memiliki sikap yang sama, tentu harus dikaji dengan serius dan

komprehensif. Sesuai dengan kajian pokok disertasi ini ingin melihat kecenderungan

corak tafsir Sa‘id H{awwa dalam penafsiran ayat yang bernuansa tasawuf. Sebab

penafsiran sufistik juga mempunyai aliran pemikiran tafsir sufi atau yang dikenal

corak tafsir sufi.

2. Karya – karyanya

Pada uraian sebelumnya disebutkan bahwa Sa‘id H{awwa disamping pejuang

agama dan berdakwah, ia juga sering menuangkan pikiran–pikirannya ke dalam

beberapa buku. Buku buah karya Sa‘id H{awwa cenderung berbicara sekitar tafsir,

tasawuf dan gerakan dakwah.

Diantara karya – karya Sa‘id H{awwa yaitu :

1. Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah

Pada awalnya buku ini diberi judul Tasawuf dalam Pergerakan Islam

Modern, kemudian ketika akan diterbitkan diganti dengan Pendidikan Jiwa Muslim.

Diduga, kata pergerakan yang tertera dibelakang tasawuf dikhawatirkan disalah

pahami oleh berbagai pihak terutama pemerintah Syria waktu itu maka judul buku

diarahkan seperti demikian. Melihat perkembangan politik yang tidak stabil dan

perseteruan antara pemerintah dengan kelompok Ikhwan, bila buku ini tetap dengan

judul aslinya dapat dianggap sebagai wahana agitatif bagi pejuang muslim. Namun

demikian sebagaimana dijelaskan penerbit, dengan berganti judul namun dari

Page 68: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

47

kandungan buku tidak ada perubahan sama sekali.51

Buku ini berbicara banyak

tentang aspek tasawuf, pembentukan jiwa yang kuat dan bersih. Penjelasan tentang

jalan tasawuf dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta peristiwa yang

dialami dalam perjalanan tasawuf.52

Dijelaskan oleh penyusunnya, terkait dengan pergerakan Islam modern

membutuhkan teori yang jelas tentang tasawuf dan perjalanan roh menghampiri

menuju Allah. Sehubungan dengan perjalanan roh merupakan suatu yang mesti

dilakukan untuk membangun pergerakan Islam. 53

Perjalanan roh adalah proses yang

diupayakan manusia untuk membersihkan roh sesuai yang dirid}ai Allah.

Keberadaan buku ini sebetulnya tiga serangkai yang berbicara tentang

pembinaan rohani, penyucian dan proses perjalanannya terdiri dari tiga buku yang

merupakan satu kesatuan. Ini sebagai buku pertama tentang pendidikan rohani,

sedangkan duanya lagi yaitu buku al–Mustakhlas} fi Tazkiyah al–Anfus dan buku

Mudhakkira>t fi Mana>zil as}-S{iddi>qi>n wa ar-Rabba>niyyi>n.54

2. Al–Mustakhlas} fi Tazkiyah al–Anfus

Pembahasan buku ini berkaitan dengan inti penyucian jiwa dan sebagai salah

satu dari rangkaian dua buku lainnya.

3. As}–S{iddi>qi>na wa ar–Rabba>niyyi>na min Khila>l an–Nus}u>s} wa

H{ikam Ibnu ‘At}aillah as-Sakandari

Ini merupakan buku ketiga dari tiga buku yang berbicara khusus tentang

persoalan tasawuf dan tarekat. Pembahasan buku ketiga ini didasarkan kepada nash

51

Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007/1428), Cet. Ke–9,

4 52

Berdasarkan pada yang tercantum di daftar isi buku. Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–

Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007/1428), Cet. Ke–9,269. Sayid M. Aqil bin Ali al–Mahdi

menggolongkan Sa‘id H{awwa kepada pembaru kajian tasawuf dengan menjadikan tasawuf dapat

diterapkan didunia nyata guna memurnikan aqidah dan menjalankan shari‘ah yang sempurna. Salah

satu bukunya ini menjelaskan berbagai aspek tasawuf dan jalan menempuh kesufian. Sayid M. Aqil

bin Ali al–Mahdi, Madkhal ila> at–Tas}awwuf al–Isla>miy (Kairo: Darul Hadis, tth), Cet. Ke–2, 29 53

Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007/1428), Cet. Ke–9,

5 54

Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007/1428), Cet. Ke–9,

5

Page 69: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

48

hadis Nabi dan buku h}ikam (hikmah) Ibnu ‘At}aillah as–Sakandari. Sebagaimana

dijelaskan diatas, buku ketiga ini bahasannya menyangkut praktek perjalanan tasawuf

atau suluk. Pokok materinya berasal dari hadis Nabi, komentar tokoh sufi dan untaian

hikmah Ibnu ‘At}aillah as- Sakandari.

Sistematika penyusunan buku ini terdiri dari 3 qism; qism I mengemukakan

hadis–hadis Nabi terkait dengan bahasan buku. Qism II, III dan IV mencakup

pedoman dalam menempuh jalan menuju Allah, pedoman Muri>d dan para

‘A<rifi>n serta Shaikh yang dibagi dalam beberapa bab dan sub bab. Dalam

uraiannya disebutkan pendapat beberapa tokoh sufi dan khusus satu bab setiap qism

penjelasan dari h}ikam Ibnu ‘At}aillah.55

4. Al–Islam56

Dalam buku ini Sa‘id H{awwa mengupas seluk beluk Islam yang didasarkan

kepada sebuah hadis Nabi. Hadis yang dimaksud adalah yang menerangkan tentang

rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan. Menurut analisis Sa‘id H{awwa dalam Islam

memuat aqidah yang meliputi shahadat serta pilar Iman. Kedua Ibadah yang

tercermin pada pilar Islam. Dua hal ini disebutnya sebagai rukun Islam sedangkan

bangunan Islam berada diatas rukun–rukun yang disebut tadi. Bangunan Islam

meliputi berbagai sistem perihal kehidupan seperti sistem politik, ekonomi, militer,

akhlak, sosial, pendidikan dan seterusnya. Aspek Islam satu lagi yaitu kekuatan

bangunan Islam agar tetap berdiri kuat yang mencakup jihad, amar ma‘ruf nahi

mungkar serta penegakkan hukum.

Tema pokok yang disebut diatas, diuraikan dengan kajian mendalam yang

disusun dalam empat bab (juz). Buku Islam ini merupakan satu dari tiga karya lain

Sa‘id H{awwa yang membahas seputar prinsip kehidupan muslim. Dua buku yang

dimaksud yaitu dengan judul Allah dan ar–Rasu>l.

55

Diambil dari halaman belakang buku, Sa‘id H{awwa, ash–S{iddi>qi>na wa ar-

Rabba>niyyi>na min Khila>l an–Nus}us} wa H{ikam Ibnu ‘At}aillah as- Sakandari (Kairo:

Darussalam, 1999/1419), Cet. Ke–4, h. 523 56

Sa‘id H{awwa, al–Isla>m, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004/1425), Cet. Ke-2

Page 70: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

49

5. Ar–Rasu>l57

Pembahasan dalam buku ini dibagi dalam dua juz yang berbicara tentang

kepribadian nabi Muhammad dan misi kenabiannya. Mengenai kepribadiannya

seperti sifat dan keistimewaan prilaku nabi Muhammad disajikan dalam juz pertama.

Selanjutnya pada juz kedua dikemukakan tentang misi kenabian menyangkut

mukjizat dan tugas nabi Muhammad menjalankan risalah yang berasal dari Allah

Swt.

6. Al–Asa>s fi as-Sunnah

Sistematika penulisan buku ini dibagi kedalam lima qism (tema kajian). Qism

pertama, tentang sejarah kehidupan nabi Muhammad sejak berita kelahiran sampai

tahun ke 39 H. Dikemukakan kegiatan Muhammad sebelum diangkat jadi Rasul dan

peristiwa yang dialami dalam penyebaran Islam serta peperangan–peperangan dalam

Islam. Setelah itu dikemukakan biografi para sahabat, ada tercatat sebanyak 62

sahabat yang disusun pada bagian akhir dari qism ini. Qism kedua tentang persoalan

akidah yaitu hal–hal yang berkaitan dengan keimanan sebagai misi utama nabi

menegakkan akidah Islamiyah. Qism ketiga tentang ibadat seperti ibadah pokok yang

tercakup dalam rukun Islam dan yang terkait dengannya. Qism keempat tentang

akhlak, persoalan pergaulan hubungan sosial. Qism kelima tentang hukum

keperdataan dan persoalan muamalah.

Karakteristik buku ini terletak dari sumber dan cara pembahasannya. Dalam

membahas tema atau sub judul, selalu menggunakan hadis atau berdasarkan riwayat

Nabi, sahabat, tabi’in dan pendapat ulama. Sa‘id H{awwa tidak sekedar

mengemukakan riwayat tapi ada juga disertai dengan komentarnya atau komentar

ulama lain. Penyajian sumber khusus dari hadis Nabi diberi tanda dan diberi

penomoran.58

Berkenaan dengan cara pembahasan demikian sangat tepat bukunya

57

Sa‘id H{awwa, ar-Rasul (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th),3-4 58

Lihat bagian pendahuluan buku. Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi as–Sunnah (Kairo:

Darussalam, 1995/1416), Cet. Ke–3, jilid I, 32

Page 71: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

50

dinamai dengan al–Asa>s fi as–Sunnah. Artinya semua keterangan dalam buku

tersebut berdasar pada Sunnah Nabi.

Pembahasan–pembahasan seperti mengenai sejarah pertumbuhan Islam

dijelaskan dengan Sunnah, perkara menyangkut ibadah semuanya dijelaskan dengan

menyajikan Sunnah apa adanya. Analisa pengarangnya sangat terbatas bahkan untuk

memperkuat bahasan dikutip dari riwayat juga atau pendapat ulama yang adakalanya

juga mengutip dari riwayat. Untuk penjelasan dari pengarangnya dimulai dengan

menyatakan أقىل aqûlu. Bisa dikatakan pendekatan (madkhal) kitab al–Asa>s fi as-

Sunnah ini seperti penyusunan kitab tafsir bi al–Ma’thu>r, misal yang populer tafsir

karya at}-T{abari.

Sunnah yang menjadi dasar pembahasan buku ini menunjukkan bahwa Sa‘id

H{awwa juga menguasai bidang hadis disamping sebagai ahli tafsir. Kenyataan ini

berbanding lurus dengan uraian dalam tafsirnya yang sering menggunakan hadis

untuk memperkuat keterangannya.

7. Jaula>t fi al–Fiqhaini al–Kabi>r wa al–Akbar wa Us}u>lihima

8. S{ina>‘ah ash–Shabba>b

9. Akhla>qiyya>t wa Sulu>kiyya>t fil Qarnil Kha>mis ‘Asyar al–Hijri

10. Jundullah Takht}i>t}an wa Tanz}i>man

11. Hadhihi Tajribati> wa Hadhihi Shahadati>

12. Ihya>’ur Rabba>niyyah

13. Ija>zah Takhas}s}us} ad-Du‘a

14. Allah Jalla> lah

15. Al–Asa>s fi at–Tafsi>r

D. Kajian Umum tentang Kitab Tafsir Sa‘id H{awwa

1. Nama Kitab dan Sistematika Penulisan

Untuk mengenali lebih jauh tafsir Sa‘id H{awwa ini, pertama harus diketahui

nama asli kitabnya. Kitab tafsir karya Sa‘id H{awwa ini dinamakan oleh

penyusunnya dengan al–Asa>s fi at–Tafsi>r. Bila dipahami dengan pengertian

Page 72: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

51

bahasa Indonesia berarti dasar dalam penafsiran. Pengertian ini bisa dimaksudkan

bahwa penafsiran yang digunakan kitab ini sangat memperhatikan hubungan antar

ayat yang ada kesesuaian yang dalam ilmu tafsir dikenal dengan munasabah Alquran.

Kedua, tafsir ini sering mengutip atsar baik dari Nabi atau sahabat. Dua hal diatas

merupakan pokok atau dasar dalam menafsirkan Alquran yang bagi Sa‘id H{awwa

menjadi perhatian utama dalam tafsirnya.

Kitab tafsir ini terdiri dari 11 (sebelas) jilid besar termasuk karya monumental

dari Sa‘id H{awwa yang mencerminkan bahwa ia seorang mufasir dengan berupaya

menggali hubungan ayat dan surat dalam Alquran. Kitab tafsir yang dijadikan

penelitian ini merupakan terbitan dari penerbit Darussalam, Mesir. Tahun terbit 2003

M/1424 H dengan cetakan keenam. Dalam jilid pertama kitab tersebut dicantumkan

pengantar penerbit oleh Abdul Qadir Mahmud al-Bukar yang terdiri dari dua

halaman. Kemudian disusul pengantar penyusun (al–Asa>s fi al–Manhaj) tentang

metode pembahasan mengenai uraian kitab tafsir yang digunakan oleh penulisnya.

Masih dalam jilid satu dikemukakan pengantar kitab tafsir al–Asa>s ( Muqaddimah

al–Asa>s fi at–Tafsi>r) yang memberikan penjelasan tentang karakteristik kitab

tafsir ini serta keistimewaannya dibandingkan kitab tafsir lain.

Tafsir ini disusun seperti kitab tafsir besar yang lain dengan menguraikan

penafsiran secara mendalam dan rinci yang mencapai 11 jilid tebal. Penulisan kitab

tafsir ini seperti diterangkan oleh Sa’id H{awwa dalam pendahuluan kitabnya yaitu

ketika ia menjalani masa tahanan politik semasa pemerintahan H{a>fiz} al–Asad

dalam kurun waktu sekitar 1973–1978.59

Cara penyajian uraian seperti ini dikenal

juga dalam dunia tafsir dengan metode tahli>li. Penulisan tafsir ini menggunakan 4

kitab tafsir sebagai rujukan utama yaitu tafsir Ibnu Kathi>r, an–Nasafi, al–Alu>siy

dan Sayyid Qut}b. Karakteristik kitab ini terletak pada analisis aspek muna>sabah60

59

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 21 60

Ilmu Muna>sabah merupakan bagian cabang dari Ilmu Alquran seperti ilmu Na>sikh–

Mansu>kh, ilmu Qira>’at,ilmu Amtha>lul Quran, ilmu Aqsa>mul Quran dan sebagainya.

Page 73: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

52

dengan konsep seperti ditegaskan penyusunnya yaitu kesatuan Alquran (al–Wah}dah

al–Qura>niyyah).61

Selain itu, dinyatakan juga dalam pendahuluan tafsir ini bahwa orientasi

penulisan tafsir ini berorientasi untuk menjelaskan aspek aqidah (ushuluddin), fiqh,

ru>h}iyyah, sulu>kiyyah. Dua hal terakhir berkenaan dengan kajian tasawuf dan

prilaku menempuh jalan tasawuf.62

Sistematika penulisan kitab tafsir secara umum yaitu dalam setiap jilid Sa‘id

H{awwa selalu mengemukakan pendahuluan sebelum masuk dalam penafsiran surat–

surat Alquran. Paparan menyangkut kategori surat sesuai yang dibagi menurut jumlah

ayat oleh Sa‘id H{awwa. Setiap surat yang ditafsirkan terlebih dahulu pada awal

surat dijelaskan munasabahnya dengan surat–surat lainnya. Biasanya dikutip dari

penjelasan Sayyid Qut}b dalam tafsir Fi> Z{ila>lil Quran dan al–Alu>siy dalam

tafsir Ru>h}ul Ma‘a>ni.

Runtutan penafsiran disesuaikan dengan urutan surat–surat seperti yang

terdapat dalam Mushaf.

Jilid kesatu, penafsiran diawali dengan surat al–Fa>tih}ah (1) dan al–Baqarah (2)

sampai ayat 286.

Jilid II, dari Surat Ali Imran (3) sampai an–Nisa>’ (4) ayat 176.

Jilid III, al-Ma>idah (5) sampai al–An‘a>m (6) ayat 165.

Jilid IV, al–A‘ra>f (7) sampai at–Taubah (9) ayat 129.

Jilid V, Yunus (10) sampai Ibrahim (14) ayat 52.

Jilid VI, al–H{ijr (15) sampai Maryam (19) ayat 98.

Jilid VII, T{a>ha (20) sampai al–Qas}as} (28) ayat 88.

Jilid VIII, al–‘Ankabu>t (29) sampai S{ad (38) ayat 88.

Jilid IX, az–Zumar (39) sampai Qaf (50) ayat 45

Jilid X, adz –Dhariya>t (51) sampai al–Qalam (68) ayat 52

61

Lihat pendahuluan kitab tafsir ini; Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 21 62

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 30

Page 74: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

53

Jilid XI, al–Ha>qqah (69) sampai an-Na>s (114) ayat 663

Untuk memudahkan penyajiannya disusunlah sistematika dengan membagi

kelompok surat–surat dalam Alquran. Sa‘id H{awwa memberikan pengkategorisasian

pada 4 macam atau qism:pertama; T{iwa>l64

yaitu (al-Baqarah/2 sampai surat

Bara>-ah / 9 ), kedua; Mi-in yaitu (Yunus/10 sampai al–Qas}as}/28), kelompok ini

dibagi pula oleh Sa‘id H{awwa menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan al-

Majmu‘a>t berdasarkan kepada makna yang dikandungnya.65

Ketiga; Matha>ni

yaitu (al–‘Ankabu>t/29 sampai surat Qaf /50).66

Keempat; Mufas}s}al67

yaitu (adh–

63

Berdasarkan penelusuran dari kitab tafsir Sa‘id H{awwa dari jilid 1-11 64

Menurut Sa‘id H{awwa yang termasuk kategori ini adalah tujuh surat panjang diawal

Alquran. Ketika menentukan qism t}iwal ini Sa‘id H{awwa menjadikan surat al-Anfa>l dan surat at–

Taubah sebagai yang ketujuhnya. Surat ini dianggap satu karena tidak dibatasi dengan lafaz

Bismilla>hir rahma>nir rahi>m. Ini sebatas digunakan untuk mengelompokkan bagian Alquran. Ia

mendasarkan pandangannya pada sebuah hadis dari Aisyah dan Abu Hurairah yang menyebutkan tujuh

surat pertama seperti demikian. Lihat, Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam,

1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 53 65

Untuk al-Majmu>‘ah pertama dimulai dari surat Yunus, Hud, Yu>suf, ar–Ra’d dan

Ibrahim. Al-Majmu>’ah kedua dimulai dari surat al–H{ijr, an–Nah}l, al–Isra’, al–Kahfi dan Maryam.

Al–Majmu>’ah ketiga dimulai dari surat T{a>ha, al–Anbiya>’, al–H{ajj, al–Mukminu>n, an–Nu>r,

al–Furqa>n, ash–Shu‘ara>’, an–Naml dan al-Qas}as}. Dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa surat al–

Qas}as} terdiri dari 88 ayat yang mendekati mi-ah (100) مب ئت sedangkan setelah surat al-Qas}as} yaitu

surat al–‘Ankabu>t yang memuat 69 ayat. Dari itu dijadikanlah surat al–‘Ankabu>t ini sebagai awal

dari qism matha>ni. Lebih lanjut lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam,

1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet. Ke–6, 2407 66

Sama dengan qism mi’in yang sebelumnya, pada qism matha>ni ini juga dibagi menjadi 4

al-Majmu>‘at. Al–Majmu>‘ah I dari surat al–‘Ankabu>t sampai surat Ya>sin, al–Majmu>‘ah II dari

surat as}-S}affa>t dan surat S{ad, al–Majmu>‘ah III dari surat az-Zumar, al-Mukmin (Gha>fir) dan

Fus}s}ilat (ha>mim sajadah), al–Majmu>‘ah IV dari surat ash–Shu>ra sampai surat Qaf. Periksa;

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet. Ke–6, 4149. 67

Qism Mufas}s}al ini terbagi pula kepada 15 al–Majmu>‘at. Al–Majmu>‘ah I dari surat

adh- Dhariyat sampai surat al–Wa>qi’ah, al–Majmu>‘ah II terdiri dari surat al–H{adi>d dan al–

Muja>dalah, al- Majmu>‘ah III terdiri dari surat al–H{ashr dan al–Mumtah}anah, al –Majmu>‘ah IV

dari surat as}–S}aff, al –Jumu‘ah dan al–Muna>fiqu>n, al–Majmu>‘ah V dari surat at–Tagha>bu>n,

at–T{alaq, at–Tah}ri>m, al–Mulk dan al–Qalam, al- Majmu>‘ah VI dari surat al–Ha>qqah sampai

al–Muddaththir. Sedangkan al – Majmu>‘ah VII terdiri dari surat al–Qiya>mah dan al–Insa>n, al–

Majmu>‘ah VIII terdiri dari al–Mursala>t dan an–Naba>’, al- Majmu>‘ah IX dari an–Na>zi‘a>t,

‘Abasa, at–Takwi>r dan al–Infit}a>r. Sementara itu al–Majmu>‘ah X terdiri dari surat al–Mut}affifin

dan al–Inshiqa>q, al–Majmu>‘ah XI dari surat al–Buru>j, at}–T{a>riq, al–A‘la dan al–Gha>shiyah,

al–Majmu>‘ah XII meliputi surat al–Fajr, al–Balad, ash–Shams, al–Layl, ad}–D{uh}a dan ash–

Sharh}. Adapun al–Majmu>‘ah XIII yaitu surat at–Ti>n, al–‘Alaq, al-Qadr, al–Bayyinah dan az–

Zalzalah. Al–Majmu>‘ah XIV terdiri dari surat al–‘A<diya>t, al-Qa>ri‘ah dan at–Taka>thur.

Kelompok terakhir al-Majmu>‘ah XV meliputi surat al-‘As}r, al–Humazah, al–Fi>l, Quraish, al–

Ma>’u>n, al–Kauthar, al–Ka>firu>n, an–Nas}r, al–Lahab (al-Masad), al–Ikhla>s}, al–Falaq dan

an–Na>s. Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet.

Page 75: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

54

Dhariya>t/51 sampai surat an–Na>s/114 ).68

Pembagian seperti ini merupakan suatu

cara bagi Sa‘id H{awwa menyajikan susunan surat dengan pertimbangan melihat

aspek muna>sabahnya.

2. Metode Tafsir Sa‘id H{awwa dan Sumber Penafsirannya

Pembahasan dalam kitab tafsir ini, Sa‘id H{awwa menggunakan metode69

tahli>li. Penafsiran metode tahli>li dimulai dari al–Fa>tih}ah sampai surat terakhir

an–Na>s sesuai dengan urutan yang terdapat dalam Mushaf. Penjelasan uraian

penafsiran dikemukakan secara rinci dan panjang. Pertama dengan mengemukakan

pengertian global ayat kemudian menjelaskan makna ayat dari tinjauan bahasa,

menerangkan susunan uslub ayat (keterkaitan susunan ayat–ayat). Sa‘id H{awwa

sering mengemukakan hadis Nabi untuk memperkuat uraiannya disamping

menggunakan pendapat mufasir lain yang menjadi referensi utama dalam menyusun

kitab tafsir ini.

Penerapan tahli>li sebagai metode yang digunakan tafsir ini, misalnya

penafsiran surat al–Baqarah. Pertama Sa‘id H{awwa membagi surat al–Baqarah

dalam tiga kelompok yaitu mukaddimah, kandungan surat dan penutup. Untuk

mukaddimah terdiri dari 20 ayat pertama, bagian isi dari ayat 21 sampai ayat 284

Ke–6. Pembagian kelompok surat–surat diatas bertujuan dalam rangka mengidentifikasi muna>sabah

antar kelompok surat. 68

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Mesir: Darussalam, 2003 M/1424 H), Cet. Ke–6,

30. Lihat pendahuluan kitab tafsir. 69

Selama ini yang umum dipahami sebagai metode adalah cara mufasir menyajikan

pembahasan penafsirannya. Dengan demikian metode dalam tafsir berhubungan dengan objek

penafsiran atau pembahasan, yang dalam bahasa Arab metode dapat disejajarkan dengan t}ari>qah.

Ada empat metode yang berkembang dan populer dikenal dalam dunia tafsir yaitu tahli>li, maud}u>’i,

ijma>li dan muqa>ran. Secara tampilan susunan antara tahlI>li dengan ijma>li penyajiannya hampir

sama yaitu menafsirkan Alquran dengan mengikuti susunan surat sebagaimana urutan dalam mushaf

hanya dibedakan dari uraian penafsiran ayat. Tahli>li uraian bahasannya panjang, banyak

mengemukakan berbagai analisis, pendapat dan lebih rinci, sedangkan ijma>li pembahasannya sangat

sederhana tidak banyak mengemukakan uraian atau pandangan mufasir lain dan lebih terkesan

uraiannya singkat. Bila disorot aspek metode tafsir maka tahli>li sebetulnya kontras dengan

maud}u>’i, bahkan maud}u>’i muncul untuk mengatasi kelemahan tahli>li yang terkadang uraiannya

dianggap cenderung parsial seperti tidak mengakomodir semua ayat yang terkait dengan kandungan

tema ayat yang dibahas. Sebagai ciri khas dari maud}u>’i yaitu koleksi ayat berdasarkan fokus

persoalan.

Page 76: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

55

sedangkan 2 ayat terakhir sebagai penutup surat.70

Mukaddimahnya terdiri dari tiga

faqrah, untuk faqrah ketiga mengandung tiga majmu>‘ah. Bagian tengah al-Baqarah

terdiri dari tiga qism, yang mengandung beberapa maqt}a‘ dan faqrah. Ayat yang

ditafsirkan disusun dalam kelompok–kelompok ayat untuk memudahkan uraiannya.

Rangkaian metode penafsiran Sa‘id H{awwa dapat dirumuskan sebagai

berikut :

Pertama, menampilkan beberapa ayat sesuai kelompok muna>sabahnya.

Beberapa ayat tersebut bisa tergabung dalam satu maqt}a‘ dengan beberapa

faqrahnya. Ini biasanya ketika menafsirkan surat–surat yang panjang atau golongan

Madaniyah seperti al-Baqarah, Ali Imran dan seterusnya. Bila menafsirkan surat–

surat pendek atau ayat pendek surat Hu>d, Yu>suf, ar–Ra’d yang disebut sebagai

kelompok Mi-in, Matsa>ni juga mufas}s}al, maka ayat yang ditampilkan dibagi pada

maqt}a‘ atau faqrah saja.

Pada setiap surat terlebih dahulu dijelaskan keberadaan surat tersebut baik

menyangkut identifikasi surat, tema surat, hubungan dengan surat lain atau

kandungan surat secara global. Biasanya disini ditampilkan riwayat bila menyangkut

sebab turun dari suatu surat.

Kedua, Menafsirkan ayat.

Bentuk penafsiran yang dikemukakan Sa‘id H{awwa mengenai ayat yang

sudah disusun dalam kelompok ayat yaitu dengan menjelaskan makna secara umum

atau memberikan pengertian secara global kemudian menerangkan pengertian teks

ayat (makna harfi) dengan tinjauan bahasa serta uslub ayat. Dalam hal ini ia sering

menggunakan rujukan dari kitab tafsir an–Nasafi dan Ibnu kathir juga tafsir Sayyid

Qut}b dan al–Alu>siy. Dengan demikian makna harfi yang dijelaskan cukup panjang

berbeda dengan tafsir Jala>lain yang sangat singkat. Penjelasan makna umum dan

70

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 61

Page 77: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

56

makna h}arfi dengan terlebih dahulu mencantumkan ayat atau potongan ayat yang

ditulis dalam kurung.71

Ketiga, Menjelaskan hubungan susunan ayat ( Muna>sabah ).

Disini Sa‘id H{awwa mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya hubungan

dalam satu kelompok ayat seperti hubungan kesamaan tema dalam satu maqt}a‘, atau

satu faqrah. Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar maqt}a‘ bahkan

dijelaskan hubungan dengan ayat lain pada surat yang berbeda. Uraiannya tentang ini

dikemukakan dengan istilah kalimah fi as–Siya>q .

Pada poin ini lebih merupakan analisa Sa‘id H{awwa baik menyambung ulasan

keterangan pada poin dua diatas atau dalam mengungkap hubungan antara berbagai

ayat.

Keempat, Menjelaskan hikmah ayat.

Bagian ini dikenal dalam rangkaian penafsirannya dengan fawaid. Dalam

poin ini ada juga dibahas tentang muna>sabah ayat khususnya hubungan suatu ayat

dengan beberapa ayat lain atau dengan hadis Nabi. Poin ini merupakan penafsiran

yang lebih luas dan komprehensif oleh Sa‘id H{awwa dengan memahami ayat

berdasarkan konteks. Ada diantara ayat–ayat yang dikemukakan diawal (poin

pertama) untuk ditafsirkan lebih mendalam dan memerlukan uraian tambahan. Disini

juga dijelaskan tentang ayat yang ada asbab nuzulnya. Karena itu bagian ini sering

mencantumkan riwayat untuk mendukung uraian penafsirannya.

Demikian langkah dari metode penafsiran Sa‘id H{awwa yang lebih banyak

menyorot aspek muna>sabah dalam tafsirnya. Dua poin terakhir ini merupakan

keunggulan dari tafsir Sa‘id H{awwa yang membedakannya dengan mufasir lain baik

dari sisi ide ataupun metode.

71

Sistem yang dilakukan Sa‘id H{awwa pada poin ini sama halnya dengan cara yang

diterapkan an–Nasafi dalam tafsirnya. Boleh jadi Sa‘id H{awwa menilai cara an–Nasafi menjelaskan

makna ayat lebih mudah dipahami dan tidak terlalu panjang. Apalagi penjelasan tafsiran ayat

dikemukakan mengikuti teks ayatnya.

Page 78: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

57

Poin–poin diatas yang tersusun dalam rangkaian penafsiran Sa‘id H{awwa

merupakan hal pokok dalam penafsirannya yang diterapkan dalam menafsirkan setiap

surat. Terkadang urutannya tidak sama namun poin tersebut selalu di kemukakan

dalam menafsirkan kelompok ayat. Hal pokok dalam penafsirannya menjelaskan

makna umum dan makna h}arfi atau menggunakan istilah tafsir. Kemudian

menjelaskan aspek muna>sabahnya dan terakhir menyorot ayat–ayat tertentu yang

sudah ditafsirkan sebelumnya untuk dikembangkan lagi tafsirannya.

Ada perbedaan sistematika yang dilakukan Sa‘id H{awwa ketika menafsirkan

surat yang panjang dengan surat pendek. Ketika menafsirkan surat yang panjang

digunakan istilah qism, termasuk surat Yu>nus masih dipakai dalam

mengelompokkan ayat dengan istilah qism. Kalau surat pendek atau umumnya

golongan Makkiyah lebih banyak menggunakan istilah maqt}a‘, faqrah dan

majmu>‘ah. Istilah ini untuk mengelompokkan ayat berdasarkan pertimbangan

muna>sabah. Dengan demikian ada empat istilah khusus yang digunakan Sa‘id

H{awwa dalam tafsirnya ketika membagi kelompok–kelompok ayat berdasarkan

kesesuaian kandungan suatu surat.72

Berkaitan dengan sumber penafsiran yang dijadikan rujukan utama oleh Sa‘id

H{awwa adalah kitab tafsir an–Nasafi, tafsir Ibnu Kathir, tafsir Ru>h}ul Ma‘a>ni

dan tafsir Fi> Z{ila>lil Quran. Seperti dijelaskan juga oleh Iyazi mengenai

penyusunan tafsir yang dikerjakan oleh Sa‘id H{awwa bahwa dalam menggunakan

rujukan penafsirannya menempuh dua tahap. Pertama ia menggunakan sumber utama

penafsirannya pada kitab tafsir Ibnu Kathi>r (w.774 H) dan tafsir an–Nasafi

(w.701 H). Hal ini dilakukannya ketika ia masih berada dalam penjara. Pada tahap

berikutnya, Sa‘id H{awwa menggunakan kitab tafsir Ru>h}ul Ma’a>ni karya al–

Alu>siy (w.1270 H) dan tafsir Fi> Z{ila>lil Qura>n (w.abad 20/15 H) karya Sayyid

72

Ada empat istilah yang dikemukakan oleh Sa‘id H{awwa sebagai metode tafsirnya untuk

membagi kelompok ayat dimana istilah qism merupakan bagian terbesar, kemudian berurutan;

maqt}a‘, faqrah dan kelompok kecil majmu>‘ah. Jadi setiap majmu>‘ah tergabung dalam faqrah,

faqrah tergabung dalam maqt}a‘, maqt}a‘ tergabung dalam qism.

Page 79: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

58

Qut}b disamping dua kitab tafsir terdahulu.73

Dengan begitu, kitab tafsir sandaran

utama yang dipakai Sa‘id H{awwa mencirikan dua spesifikasi. Dua kitab tafsir

pertama sebagai model kitab tafsir klasik sedangkan dua kitab tafsir terakhir

merupakan tafsir tergolong modern. Sa‘id H{awwa memadukan pemahamannya

melalui empat jenis kitab tafsir besar dan populer tersebut dalam karya kitab

tafsirnya.

Dengan demikian penafsiran Sa‘id H{awwa menggambarkan berbagai jenis

dan corak kitab tafsir yang menjadi dasar dalam penafsirannya. Corak tafsir itu

sebagaimana yang dimiliki oleh masing–masing kitab tafsir rujukan utama yang

digunakan Sa‘id H{awwa. Tidak berlebihan bila dikatakan tafsir Sa‘id H{awwa

menampakkan corak tasawuf, aqidah, adab ijtima>‘i (sosiologis), pola ra’yi dan

ma’thu>r juga memperkaya corak penafsiran Sa‘id H{awwa. Tafsir Ibnu Kathi>r

termasuk tafsir jenis ma’thu>r sedangkan tafsir an–Nasafi tergolong tafsir bi- ra’yi.74

Selain itu tafsir an–Nasafi berorientasi aqidah dan tasawuf, sementara itu tafsir

Ru>h}ul Ma‘a>ni merupakan tafsir corak tasawuf. Sedangkan tafsir Sayyid Qut}b

termasuk tafsir modern yang berorientasi politik, sosial dan dakwah.

3. Karakteristik Tafsir Sa‘id H{awwa

Sebagaimana kitab tafsir lainnya dalam hal menguraikan penafsirannya, Sa‘id

H{awwa berusaha mengungkap aspek hubungan dari ayat–ayat Alquran sebagaimana

susunan mush}af Usmani yang dalam ilmu tafsir dikenal dengan muna>sabah

Alquran. Gagasan ini muncul seperti dijelaskan Sa‘id H{awwa bahwa ia tidak puas

dengan bentuk muna>sabah yang pernah dikembangkan beberapa ahli tafsir.

Menurutnya, munasabah Alquran adalah membentuk kesatuan Alquran.

73

Iyazi, al–Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran:Wazarah ath–Thaqa>fah

wa al–Irsha>d, 1414 H/1992 M), 134 74

Rujukan pokok dalam tafsir an–Nasafi disebut juga Mada>rik at–Tanzi>l wa H{aqa>iq

at–Ta’wi>l ini mengambil dari tafsir karya Zamakhshari dengan al–Kash-sha>f dan Bayd}awiy

dengan Anwa>r at–Tanzi>l wa Asra>r at–Ta’wi>l.

Page 80: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

59

Diterangkannya bahwa muna>sabah yang dijelaskan oleh pakar tafsir itu

terkait dengan; muna>sabah ayat dalam satu surat.75

Kemudian dari segi susunan

Alquran; yaitu muna>sabah akhir surat dengan awal surat berikutnya.76

Seperti

diakhir surat al-Fa>tih}ah dikemukakan permohonan manusia kepada Allah supaya

diberi hidayah ke jalan yang lurus, kemudian pada surat al–Baqarah dimulai dengan

menyatakan Alquran sebagai hidayah menuju jalan yang dimaksudkan pada surat al–

Fa>tih}ah tadi.77

Bentuk muna>sabah lain yang dijelaskan para ahli tafsir seperti hubungan

antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Misal, surat al-

Mukminu>n ayat pertama menyatakan bahwa orang mukmin itu sungguh telah

beruntung sedangkan pada ayat terakhirnya dinyatakan tentang orang kafir bahwa

mereka itu tidak beruntung.78

Ini menandakan surat dalam Alquran merupakan satu

kesatuan yang saling berkaitan.

Adapula muna>sabah ayat dengan ayat lain dalam satu tema seperti yang

terjadi dalam pembahasan tafsir maud}u>‘i. Oleh karena itu, Sa‘id H{awwa dalam

tafsirnya memperkenalkan muna>sabah ayat Alquran secara keseluruhan atau

muna>sabah kesatuan Alquran. Dengan demikian, munasabah Alquran tidak terbatas

sebagaimana yang dikenal selama ini antara lain seperti munasabah akhir surat

dengan awal surat sesudahnya.

Ditegaskan lebih lanjut oleh Sa‘id H{awwa, pandangannya tentang

muna>sabah ini merupakan teori baru yang disebutnya dengan al-Wah}dah al-

Quraniyyah.79

Dalam teorinya ini, Sa‘id H{awwa ingin menunjukkan bahwa Alquran

yang terdiri dari 114 surat merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Kajian

ini dalam tafsir mengambil keilmuan khusus atau cabang dari ulu>mul Quran yaitu

75

Hubungan antara suatu ayat dengan sebelum dan sesudahnya yang berada dalam satu surat. 76

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 21. Lihat Mukaddimah al–Asa>s fi at- Tafsi>r. 77

Lihat penjelasan dalam Alquran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 6, Lihat juga,

Manna’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith Fi> Ulu>mil Qur’an, (Beirut: tp, t.th), 97-98. 78

Penjelasan ini dapat ditelusuri dalam; M. Quraish Shihab (Et.all), Sejarah dan Ulu>mul

Qura>n (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke- 3,75–76. 79

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 21

Page 81: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

60

Ilmu Muna>sabah. Kajian ini merupakan upaya mufasir dengan mengerahkan daya

pikir serta analisis untuk mencari rahasia dari korelasi yang menyeluruh terhadap ayat

Alquran. Berdasarkan teori dasar dari penafsiran tersebut yang diterapkan oleh Sa‘id

H{awwa maka tafsirnya ini berarti termasuk pola tafsir bi ar–ra’yi.

Muna>sabah Alquran ini dikembangkan melalui analisis mufasir dengan

pemahaman mendalam terhadap Alquran untuk mengungkap rahasia balaghah

Alquran, kemukjizatan Alquran. Beda dengan ilmu asbabun nuzu>l yang

berdasarkan riwayat sebagai rujukannya, atau ilmu qira>’at atau ilmu na>sikh wa al-

mansu>kh. Ilmu- ilmu ini tidak dapat dipahami dan dikembangkan tanpa

menggunakan riwayat. Kalau ilmu–ilmu ini berdasarkan kepada riwayat maka ilmu

muna>sabah berdasarkan dira>yah yaitu terkait pada ketinggian pengetahuan

mufasir melakukan analisis.

Gagasan muna>sabah Sa‘id H{awwa sebagai karakteristik penafsirannya, ia

memberi contoh penafsiran tentang bagian awal (5 ayat) surat al–Baqarah dimulai

dengan alif lam mim dan ditutup dengan وأونئك هم انمفهحىن . Sedangkan awal surat Ali

Imran dimulai juga dengan alif lam mim dan ditutup di akhir suratnya (ayat ke 200)

dengan نعهكم تفهحىن . Dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa, Surat Ali Imran merupakan uraian

terhadap bagian awal (5 ayat) dari surat al-Baqarah.80

Kedua surat tersebut sama

diawali dengan alif lam mim dan diakhiri dengan menyebutkan tentang orang

beruntung.

Contoh lain penafsiran Sa‘id H{awwa sehubungan dengan teori muna>sabah

kesatuan Alquran yaitu ketika menjelaskan hubungan surat an–Na>s dengan surat al-

Baqarah. Pada surat al–Baqarah ayat 39 bercerita tentang kisah Adam dimana Allah

menjelaskan. Turunlah kamu semua dari surga itu, bagi siapa yang mengikuti

petunjukku (Allah) maka mereka akan bahagia sedangkan bagi mereka yang

mengingkari ayat–ayat kami maka mereka kekal dalam neraka.

80

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 21 80

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet.

Ke–6, 6768

Page 82: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

61

Pelajaran dari kisah Adam diatas melarang kita mengikuti bisikan (waswasah)

syaitan yang telah menjerumuskan Adam keluar dari Surga. Dalam surat an–Na>s

disebutkan syaitan ada yang berasal dari jenis jin dan manusia. Dan mereka yang

mendustakan ayat kami (Allah ), sebagaimana dinyatakan ayat dari surat al–Baqarah

diatas termasuk golongan kafir. Karena itu Allah menyuruh kita agar berlindung

kepada Allah dari kejahatan mereka baik jin dan manusia. Perintah berlindung dari jin

supaya selamat dari bujukannya sebagaimana pernah terjadi pada nabi Adam.

Hubungan kedua surat ini tampak jelas bahwa kandungan surat an–Na>s merupakan

penjelas ayat 39 diatas.81

Ini membuktikan terhadap teori Sa‘id H{awwa tentang

muna>sabah kesatuan Alquran yaitu dengan diungkapkannya muna>sabah antara

surat pertama dari qism at-T{iwa>l dengan surat terakhir pada qism al-Mufas}s}al.

Melihat metode penafsiran Sa‘id H{awwa yang menerapkan teori

muna>sabah dalam tafsirnya ini menunjukkan bahwa Sa‘id H{awwa seorang mufasir

yang konsen dalam ilmu muna>sabah. Muna>sabah yang diwujudkan dalam

tafsirnya melampaui teori muna>sabah yang selama ini berkembang. Muna>sabah

merupakan salah satu bagian atau cabang dari ilmu Alquran sekaligus alat bagi ilmu

tafsir. Disinilah letak corak suatu kitab tafsir yaitu memiliki sifat khusus ( karakter),

sama halnya bila seorang mufasir yang konsen dalam ilmu qira>’at maka akan

dikembangkan pula dalam tafsirnya aliran-aliran qira>’at yang akan menjadi

karakter dari kitab tafsirnya . Begitu pula dengan ilmu–ilmu lain dalam kerangka ilmu

Alquran yang digunakan sebagai alat menafsirkan Alquran. Karakter yang dimiliki

suatu kitab tafsir dapat menambah pengakuan bagi penyusunnya sebagai seorang

mufasir. Demikian juga, bila pendekatan tafsir seperti pendekatan munasabah, qiraat,

asbab nuzul dan seterusnya yang digunakan dalam menafsirkan Alquran maka akan

membentuk suatu ciri khusus dalam penafsirannya. Ciri khusus tersebut merupakan

81

Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet.

Ke–6, 6768

Page 83: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

62

refleksi dari ilmu–ilmu Quran yang dikuasai oleh penyusunnya yang akan

membentuk karakteristik dalam suatu kitab tafsir.

Hal yang dijelaskan diatas merupakan karakter metodologis tafsir Sa‘id

H{awwa, sedangkan menyangkut kecenderungan pemikiran penafsiran atau yang

dikenal dengan corak tafsir yaitu mencakup aspek aqidah (ushuluddin), fiqh,

ru>h}iyyah, sulu>kiyyah.82

Dua hal terakhir berkenaan dengan corak tasawuf. Karena

itu tafsirnya dapat disebut sebagai salah satu tafsir corak tasawuf. Ini mencerminkan

dirinya yang ahli tasawuf dan juga didukung oleh penggunaan rujukan tafsirnya yang

memiliki orientasi demikian seperti an–Nasafi dan al–Alu>siy.

Setiap kitab tafsir selalu memiliki karakteristik yang melekat pada tafsir

tersebut, baik karakter secara metodologis atau substansi penafsiran atau corak. Kitab

tafsir Sa‘id H{awwa ini dapat ditegaskan mengusung teori muna>sabah sebagai

karakter metodologis secara umum dan corak sufistik sebagai karakter substansi

penafsiran.

Sebelum kita menggali seperti apa substansi pemikiran tafsir sufistik Sa‘id

H{awwa, penulis akan mengkaji dulu tentang corak sufistik dan keberadaannya

dalam penafsiran. Kajian ini akan diketengahkan pada pembahasan bab berikut.

__________

82

Sebagaimana dikemukakan juga dalam pendahuluan tafsirnya bahwa orientasi penulisan

tafsir ini berorientasi untuk menjelaskan aspek aqidah ( ushuluddin ), fiqh, ruhiyah, sulukiyah. Sa‘id

H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 30

Page 84: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

63

BAB III.

CORAK SUFISTIK DALAM PENAFSIRAN ALQURAN

A. Keberadaan corak tafsir sufistik

1. Pengertian tafsir sufistik

Sebelum menjelaskan tentang pengertian tafsir sufistik terlebih dahulu

dikemukakan pengertian mengenai tafsir. Tafsir1 menurut pengertian bahasa رفسش

adalah menerangkan اىطشح , menjelaskan إظبس , اىجب menyatakan.2 Sedangkan tafsir

dalam pengertian istilah sebagaimana disebutkan Abu H{ayyan dalam pendahuluan

tafsirnya yaitu suatu ilmu yang membahas tentang Alquran (menyangkut bacaan lafaz

dan maknanya), menjelaskan kaedah struktur kalimatnya, serta aspek lain dalam

ulu>m al-Quran, seperti naskh, asbab an-nuzu>l dan lain-lain.3 Menurut Zarkashi

tafsir adalah ilmu untuk memahami Alquran dan menerangkan maknanya serta

1 Istilah tafsir inipun sudah populer ditelinga masyarakat seperti ditemukan dalam media–

media cetak khususnya, atau dalam berbagai pembicaraan, diskusi dan sebagainya. Penggunaan kata

ini biasanya menunjukkan kepada penjelasan atas suatu pernyataan atau dengan mengemukakan

makna yang tidak harfiah. Sungguhpun demikian dalam tulisan ini penulis akan menggunakan makna

tafsir menurut istilah dan pengertian dalam ulu>m al-Qura>n. 2 Ibrahim Anis, dkk, al–Mu‘jam al–Wasi>t} (tt:tp,t.th), juz I, Cet. Ke–2, 688. Pengertian

senada seperti dengan kashf = menyingkapkan, menampakkan, lalu menjadi jelas seperti ibarat seorang

dokter mendiagnosa pasiennya kemudian ia jelaskan penyakitnya. Zarkashi, al–Burha>n fi> Ulu>m

al–Quran (Kairo:Da>rut Tura>th, t.th), juz 2, 148. Sebagai tambahan uraian oleh Mahmud Yunus,

yaitu ضشح اىسأ ىخ = menerangkan masalah ; اىطشح = keterangan (diluar/lawan matan) biasanya matan

ditulis didalam tanda kurung. Lihat, Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia (Jakarta:Yayasan

Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Alquran, 1973/1393), 194, atau ث, ثب . = nyata, terang, 75.

Syarh, tafsir = penjelasan, syarh = pemberian komentar pada buku. Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi

Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab–Indonesia, (Yogyakarta:Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren

Krapyak, t.th), Cet. Ke–4, 1126.

Penggunaan kata tafsir diungkapkan sekali dalam Alquran surat al-Furqa>n ayat 33;

. تفسيراال أ رل ثثو إال جئبك ثبىذق أدس . Artinya; Tidaklah orang–orang kafir itu datang

kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar

dan paling baik penjelasannya. Hal yang ganjil dikemukakan mereka seperti usulan atau kecaman

maka Allah menolaknya dengan sesuatu yang benar dan nyata yaitu firmanNya. Departemen Agama,

Alquran dan Terjemahnya, 564. 3 Abu H{ayya>n (654-754H), al-Bah}r al-Muh}i>t fi> at-Tafsi>r (Beirut: Darul Fikri,

1992/1412), juz.1,Cet. Ke–3, 14

Page 85: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

64

mengeluarkan hikmah dan hukum-hukumnya. Tidak sekedar menjelaskan lafaz,

makna zahir ayat juga mencakup maksud yang dikandung lafaz.4

Definisi yang dikemukakan oleh ulama tafsir pada intinya menjelaskan bahwa

yang dimaksud tafsir adalah upaya menjelaskan makna ayat Alquran dan hukum–

hukumnya. Artinya dengan menggali makna, hikmah dan struktur (uslub) ayat yang

dikandung Alquran guna mengungkap aspek–aspek yang berkaitan dengan Alquran

seperti ilmu–ilmu Alquran baik yang secara langsung diambil dari Alquran seperti

bahasan nasakh, qasam, kisah dan lainnya. Ada juga yang tidak tidak langsung yaitu

melalui analisis mendalam yang menghasilkan kaedah us}ul fiqh dan kaedah

kebahasaan. Kaedah yang dihasilkan dari mengkaji Alquran tersebut untuk kemudian

dijadikan pedoman oleh sebagian ulama dalam memahami Alquran.5 Bila hal

demikian dijadikan alat dan sebagai rambu–rambu dalam menafsirkan Alquran maka

tafsir merupakan sebuah ilmu yang mengandung teori dan prinsip penafsiran. Dari itu

tafsir memiliki dua pengertian yaitu sebagai suatu ilmu yang membahas Alquran dan

kandungan maknanya dari berbagai aspek. Kedua, tafsir dalam artian menjelaskan

maksud Alquran tanpa berpegang pada seperangkat ilmu tafsir yang terpisah tapi

berbagai bentuk ilmu–ilmu Alquran sudah inklud dan dibahas ketika menjelaskan

kandungan ayat Alquran.

Setelah kita memahami arti tentang tafsir, selanjutnya diterangkan disini arti

sufistik. Sufistik asal kata dari bahasa Arab yaitu s}afa> صفب – صف - . صب ف

4 Badruddin az–Zarkashi, al–Burha>n fi> Ulu>m al–Quran (Kairo:Darut Turath, t.th), juz II,

tah}qi>q; Muhammad Abu al–Fadhl Ibrahim, 149. Senada dengan ini seperti terungkap dalam at–

Taisi>r disebutkan juga bahwa tafsir sebagai membukakan makna Alquran dan menerangkan

maksudnya. Muhammad bin Sulaiman al–Ka>fijiy, at–Taisi>r fi> Qawa>‘id Ilm at–Tafsi>r

(Beirut:Da>rul Qalam, 1990/1410), Cet. ke-1, tah}qi>q; Nas}ir bin Muhammad al–Mat}ru>diy, 124.

Pengertian lain sejalan dengan ini ditemukan pula dalam al–Mu‘jam al-Wasi>t} bahwa tafsir al–Quran

merupakan bagian dari ilmu–ilmu keislaman. Maksud dari tafsir al–Quran yaitu رظخ menjelaskan

makna Alquran dan yang terkandung dalam ayat-ayatnya meliputi akidah, hukum–hukum, hikmah dan

rahasianya. Ibrahim Anis, al–Mu’jam, 688. 5 Inilah yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menjelaskan Alquran. Disamping itu

ada pula golongan yang tidak terikat dengan pengertian alat untuk menafsirkan yang dijadikan sebagai

pedoman. Lihat; Bab I, Catatan No. 18

Page 86: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

65

Tampak bulunya pada domba = صب ف اىنجص , maka domba itu disebut صب ئف artinya

yang memiliki bulu. اىصف artinya bulu yang menutupi kulit domba.6

Kata s}u>f صف kata benda diberi ya nisbah untuk menjadikannya kata sifat

atau عذ na’at7. S}u>fiy صف berarti makna asal berpakaian wol. Kata ini seperti

ditulis Harun Nasution, digunakan pada orang yang menjalani hidup sederhana dan

zuhud dengan tekun beribadah untuk membersihkan jiwa yang dikenal sekarang

dengan kaum sufi, mereka pada awalnya sering mengenakan pakaian kasar dari wol.

Memakai wol kasar adalah simbol kesederhanaan sebagai lawan dari orang kaya yang

memakai sutera.8 Kemudian orang yang mengikuti sikap mereka menjalani hidup

zuhud tersebut disebut dengan صف s}u>fiy, jadi mengalami perkembangan makna,

tidak hanya karena berpakaian wol. Dengan demikian maknanya berkembang orang

yang menempuh jalan tasawuf disebut صف s}u>fiy.9 Dari kata s}ufiy ini

mengandung pengertian seorang s}u>fi, bisa juga untuk mensifatkan yang berkaitan

dengan tasawuf. Artinya dipakai untuk menunjukkan pelaku dan juga kata sifat

sebagai fungsi dari ya nisbah, misal; alkita>b as}–s}u>fiy اىنزبة اىصف = buku

tentang tasawuf.

Dari sinilah kemudian ada istilah sufistik untuk memberikan kata sifat tentang

tasawuf dalam tulisan latin dengan meminjam gaya bahasa Inggris.10

Dengan

6 Ibrahim Anis, al–Mu’jam, h. 529. Jamak dari صف adalah أصاف bahasa inggrisnya wool

artinya bulu domba, woolen berarti pakaian wol. Lihat; Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written

Arabic (London:George Allen and Unwin Ltd, 1971), Cet. Ke–3, 531. Lihat juga;Jhon M. Echols dan

Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta:PT. Gramedia, 1996), Cet. Ke-23, 651. Dari

penelusuran akar kata tasawuf dan sejarah maka kata صف s}u>f lebih cocok dan maknanya sejalan

dengan tasawuf dari pada kata lain yang berkembang, seperti kata صف s}af ( barisan ), صف s}afa>

(jernih) 7 Dalam bahasa Arab, salah satu cara untuk menjadikan kata benda yang bukan sifat sebagai

kata sifat (na‘at) yaitu dengan menambahkan ya nisbah, seperti kata rumah ضه bila digunakan

sebagai sifat misal pekerjaan rumah (PR) اىاجت اىضى , masyarakat Islam ditambah ya اىجزع اإلسال . 8 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet.

Ke–8, 57 9 Ditambahkan juga bahwa s}u>fi disebut al –‘a>rif bi at-tas}awwuf . S}awwafa صف fulan

berarti upaya menjadikannya seorang sufi, tas}awwafa berarti sesorang menempuh kehidupan sufi

artinya sikap yang sudah melekat pada seseorang. Jadi tas}awwuf berarti jalan ibadah yang ditempuh

untuk membersihkan jiwa/rohani (agar merasa dekat dengan Allah). Ibrahim Anis, al–Mu‘jam, 529. 10

Sedangkan berkaitan dengan ajaran, aliran digunakan istilah sufisme (juga menyerap

bahasa Inggris), dalam bahasa Arab nya اىصفخ disebut juga dengan Islamic mysticism, adapun

pembahasan ilmunya disebut dengan ilmu tasawuf yaitu ilmu yang mempelajari jalan tasawuf yaitu

Page 87: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

66

demikian istilah sufistik dipahami dari kata صف . Adh-Dhahabi menggunakan kata

ini (اىصف ( dalam menyebut tafsir sufi. Ia mengungkapkan bahwa tafsi>r s{u>fiy

:adalah رفسش صف

مو رصف ظش رصف عي مب ى أثش ف رفسش اىقشا اىنش ب جعو اىزفسش

11اىصف

Kedua jenis tasawuf yaitu naz}ari dan amali, mempunyai pengaruh dalam

penafsiran Alquran sehingga membentuk penafsiran sufistik.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penafsiran sufistik dibentuk dari

pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran yang bercorak tasawuf yang muncul dari

pemahaman tasawuf praktis (amali) dan kajian teori tasawuf (naz}ari). Dari

keterangan diatas dapat ditegaskan bahwa penafsiran sufistik disebut juga dengan

tafsir sufi yang maksudnya adalah menjelaskan makna ayat Alquran berdasarkan

tinjauan tasawuf.12

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penafsiran sufistik

adalah menjelaskan Alquran yang berdasarkan kepada tinjauan aspek tasawuf, baik

tasawuf naz}ari (teoritis) dan tasawuf amali (praktis).

2. Pertumbuhan dan perkembangan corak tafsir sufi

Berbicara tentang tafsir sufi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan

tasawuf sendiri yang seiring juga dengan awal pertumbuhan Islam. Lebih lanjut

diterangkan oleh adh-Dhahabi mengenai corak tafsir terbagi pada isha>ri dan

naz}ari. Tafsir sufi isha>ri adalah;

jalan untuk membersihkan jiwa, rohani supaya merasakan dekat dengan Tuhan. Ibrahim Anis, al–

Mu‘jam, h. 529. Lihat juga, Hans Wehr, Dictionary, 531. Harun, Falsafat, 57. 11

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,251 12

Ini termasuk bagian dari corak tafsir, seperti corak kalam (aspek kalam), corak fiqh (aspek

fiqh). Inti tasawuf sendiri seperti terungkap dalam at-tafsi>r wa al–Mufassiru>n, dikutip dari Dairah

al–Ma‘arif adalah; komunikasi hati (qalb) dan dialog/hubungan langsung roh yang ketika itu naik ke

langit alam nur , malakut dan dunia ilham. Ini dialami bagi orang suci bersih rohaninya dari dosa,

noda. Menurut Ibnu Khaldun, substansi tasawuf merupakan naiknya jiwa manusia menuju Allah

sesuai yang dikehendakinya. adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz

2,250.

Page 88: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

67

رأو ابد اىقشا اىنش عي خالف ب ظش ب ثقزع إضبساد خفخ رظش ألسثبة

.ن اىزطجق ثب ث اىظاش اىشادح, اىسيك13

Menakwilkan ayat Alquran dibalik makna zahirnya melalui isyarat

tersembunyi yang dipahami oleh pelaku tasawuf, dan dimungkinkan

menerapkan makna isha>ri dan makna zahir yang dimaksud ayat.

Definisi diatas memberi pengertian bahwa tafsir sufi ishari adalah penafsiran

yang dilakukan oleh ahli sufi terhadap ayat bercorak tasawuf dengan mengungkapkan

makna isha>ri. Para sufi juga dapat menggunakan makna zahir dalam penafsiran

sufistiknya. Selain itu dengan dimungkinkannya penggunaan makna zahir dalam

penafsiran sufistik mengindikasikan bahwa dalam mengemukakan makna isha>ri,

tetap berpedoman pada makna zahir. Istilah isha>ri diambil dari isyarat tersembunyi

dalam definisi diatas. Makna isha>ri dapat dipahami oleh pelaku tasawuf dalam

menjelaskan makna Alquran. Berdasarkan pendekatan isha>ri inilah maka

penafsirannya disebut dengan tafsir sufi isha>ri. Terkadang disebut juga dengan

tafsir ishar>i.

Sedangkan tafsir sufi nazhari adalah;

فنب اىجذ أ ظش ؤالء , رعبى فيسفخ, ث رصف عي جبدث ظشخ

14. اىزصفخ إى اىقشا ظشح رزط ع ظشبر رعبى

Ahli sufi yang mengembangkan tasawuf berdasarkan pembahasan teoritis dan

ajaran filsafat sehingga ia memahami Alquran sangat terikat dengan teori dan

ajaran filsafatnya.

Para sufi naz}ari menjelaskan makna sufistik Alquran berdasarkan pada

kajian teoritis dan ajaran filsafat. Proses memahami ayat baginya beranjak dari

pikiran dan pengetahuan teoritisnya yang kemudian diwujudkan dalam menjelaskan

13

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,261 14

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,251-2.

Pengertian senada dikemukakan oleh Sayyid Jibril yaitu mengalihkan makna zahir ayat kepada makna

yang berlandaskan pada ajaran filsafat dan fanatik mazhab aqidah. Lihat; Muhammad Sayyid Jibril,

Madkhal ila Mana>hij al-Mufassiri>n (Kairo: al-Ba>b al-Akhd}ar al-Mash-had, 1987/1408), Cet.ke-

1,211

Page 89: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

68

ayat. Mufasir sufi isha>ri merupakan implementasi dari tasawuf amali sedangkan

mufasir sufi naz}ari berdasar pada tasawuf naz}ari.

Melihat perkembangan tasawuf dalam sejarah Islam dipahami bahwa aspek

praktis tasawuf lebih dulu berkembang dari pada aspek kajian tasawuf teoritis.15

Sejalan dengan itu bersinggungan dengan tafsir, juga samahalnya dengan tasawuf

dimana tafsir sufi isha>ri lebih dulu penerapannya dari tafsir sufi naz}ari. Tafsir sufi

isha>ri didasarkan pada latihan rohani dan ibadah pada diri sufi sehingga terbuka

hijab (kashf) baginya dan memperoleh pengetahuan rabbani lalu ia mampu

memahami ayat secara tersirat.16

Benih menjelaskan makna Alquran secara isha>ri sudah pernah terjadi pada

masa sahabat seperti penjelasan Umar bin Khattab tentang ayat 3 surat al-Maidah:

. اى أميذ ىن دن أرذ عين عز سظذ ىن اإلسال دب

Menurut Umar seperti dikemukakan oleh al-Alusi dalam tafsirnya;

.صذقذ: فقبه اىج, مب ف صبدح دب فأب إرا مو فئ ى نو ضئ قط إال قص17

Kami masih mengharapkan tambahan dari pengetahuan agama. Karena itu

apabila telah sempurna maka sesungguhnya sesuatu yang cukup itu belum

sempurna kecuali kekurangan. Nabi berkata: Engkau benar Umar.

Dijelaskan oleh al-Alusi bahwa Nabi tidak membantah penafsiran Umar

terkait ayat tersebut bahwa yang dimaksud dengan kesempurnaan agama itu adalah

terkait dirinya. Pernyataan Umar ini wujud dari kesedihannya bahwa maksud ayat ini

sebagai pertanda pengajaran Nabi tentang agama akan berakhir. Inilah yang dimaksud

oleh Umar dengan kekurangan.18

Takwil yang dikemukakan Umar tersebut

15

Hal ini juga sejalan dengan penyebaran Islam khususnya di Indonesia yang awal masuknya

didaerah Aceh. Menurut sejarahnya, pertumbuhan Islam dari Aceh terus berkembang ke wilayah lain

di Indonesia melalui jalan praktek tasawuf bahkan jalan tasawuf yang dikemas dengan aturan amalan

tertentu merujuk kepada ulama perintis amalan tersebut yang dikenal dengan tarekat. Cara tasawuf

yang dilakukan demikian lebih mudah diterima masyarakat dan dirasakan dari pada teori keislaman

lain seperti ilmu kalam atau fiqh. 16

Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni

(Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid I, Cet. Ke–1, 6 17

Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni

(Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid 3, Cet. Ke–1,328 18

Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni

(Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid 3, Cet. Ke–1,328

Page 90: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

69

berdasarkan kemampuannya menangkap isyarat yang tersembunyi dari makna ayat.

Memahami ayat secara ishari, dapat dilakukan oleh orang yang mampu mengungkap

isyarat tersembunyi dengan didukung oleh latihan rohani (riya>d}ah) dan kualitas

ibadahnya, karena itu penafsirannya termasuk corak sufistik.

Pada zaman sahabat belum ada pemisahan tentang berbagai ilmu apalagi

pembukuan seperti yang dikenal sekarang. Bidang ilmu tafsir, fiqh, ilmu hadis,

termasuk tasawuf semuanya masih menyatu dalam hadis–hadis Nabi bahkan belum

sempurna penulisannya yang masih terpisah-pisah. Masa berikutnya, baru ada

perhatian ulama untuk membentuk keilmuan masing–masing dan membukukannya.19

Setelah dilakukan pembukuan hadis maka hadis–hadis yang terkait dengan tafsir

ditempatkan dalam kitab tafsir untuk disusun terpisah sehingga membentuk tafsir

yang utuh.20

Perkembangan penulisan tafsir selanjutnya memunculkan tafsir corak

tasawuf disamping corak lain seperti kalam, bahasa dan sebagainya. Contoh tafsir

corak tasawuf yaitu tafsir at-Tustari karya Tustari (200-283H), corak bahasa seperti

tafsir al-Muh}arrar al-Waji>z karya Ibnu „At}iyah (481-546H), corak kalam seperti

tafsir al-Kashsha>f karya Zamakhshari (467-538).

Selepas zaman sahabat sekitar abad III hijrah, ulama sufi yang menempuh

jalan tasawuf berupaya menafsirkan makna ayat secara sufistik dan menulis dalam

kitab tafsir. Salah satu ulama tersebut adalah Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin

Yunus bin Isa bin Abdullah at–Tustari lahir tahun 200 H di daerah Ahwaz dan wafat

di Bashrah tahun 283H. Ia termasuk orang ‘a>rifi>n21

terkenal dengan sikap wara‘22

19

Penyusunan tafsir terpisah dari hadis sejak dinasti Abbasiyah, maka disusunlah tafsir

menjadi ilmu berdiri sendiri. Lihat; Al-Farmawi, al-Bida>yah fi> at-Tafsi>r al-Maud}u>‘i ( Tt: tp,

1977/1397), 14 20

Tercatat kitab tafsir lengkap yang disusun pertama yaitu tafsir at}–T{abari (223–310 H)

yang dinamai dengan Ja>mi’ al–Baya>n fi> Tafsi>r al-Quran yang menghimpun berbagai macam

riwayat dalam penafsirannya. Adh–Dhahabi, at–Tafsir …, juz I, h.104 & 147. Lihat juga; Ibnu Jari>r

at}-T}abari, Ja>mi’ al–Baya>n fi> Tafsi>r al-Quran (Kairo: Darussalam, 1425/2005), Cet.Ke-1,24 21

Sebutan tertinggi bagi ulama tasawuf, bandingannya pada tataran; ilmu–‘a>lim, ma‘rifah–

‘a>rif. 22

Salah satu sifat yang dimiliki sufi yaitu memlihara diri dari hal–hal yang dapat

menimbulkan dosa seperti menjauhi shubhat, juga sangat menjaga muru-ah yang dapat menurunkan

martabat dirinya.

Page 91: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

70

dan mendapat anugerah karamah.23

Dalam hidupnya, Tustari pernah bertemu dengan

sufi besar yaitu Dhunnu>n al-Mis}ri.24

Kitab tafsir yang disusun Tustari berjudul dengan Tafsi>r al–Quran al–

‘Az}i>m (Penafsiran Alquran yang Agung), dinamainya juga dengan tafsir at-Tustari.

Tustari dalam kitabnya tidak menafsirkan ayat per ayat sesuai mushaf Alquran, tapi

terbatas beberapa ayat dalam tiap surat yang disusun mengikuti urutan mushaf.

Penyusunan tafsirnya didasarkan pada pertanyaaan yang diajukan kepadanya terkait

perkara tasawuf lalu ia jelaskan berdasarkan ayat–ayat Alquran.25

Melihat kitabnya

yang ringkas dan tidak tebal mencerminkan bahwa penjelasan ayat dalam tafsirnya

sesuai dengan persoalan yang dikemukakan kepadanya. Usaha Tustari dalam

menyusun tafsir corak sufistik dapat disebut sebagai awal pertumbuhan tafsir sufistik.

Menurut Tustari untuk memahami ayat Alquran meliputi 4 makna yaitu zahir,

batin, h}ad dan mat}la‘. Zahir adalah tilawah (lafaz bacaan), batin adalah pemahaman

إضشاف اىقيت عي اىشاد ) h}ad adalah ketentuan halal dan haram dan mat}la‘ adalah (اىف)

(ثب فقب اهلل عضجو ( pengertian yang diperoleh hati sebagai anugerah dari Allah.26

Dalam tafsirnya, Tustari banyak menggunakan makna isha>ri walaupun ia juga tidak

menghilangkan tentang makna zahir. Makna isha>ri yang dikemukakannya tampak

dominan berpegang pada makna zahir.27

Berdasarkan kategori makna diatas,

menunjukkan bahwa penafsiran sufistik menurut at-Tustari tidak dapat lepas dari

makna zahir ayat.

23

Keistimewaan dan kelebihan yang dimiliki sufi sebagai bukti bahwa ia dekat dengan Allah.

Kelebihannya ini merupakan suatu kemuliaan yang datang dari Allah. Kara>mah adalah bahasa Arab

yang berarti mulia, orang–orang sufi adalah orang mulia baik karena prilaku dan karena ibadahnya. 24

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,281. Dhunnu>n

(w.860 M) dikenal peletak ajaran ma‘rifah. Pengetahuan sufi tentang Tuhan itu Esa, melalui

perantaraan hati sanubari. Inilah pengetahuan hakiki tentang Tuhan yang disebut dengan ma‘rifah.

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 76. 25

At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut:Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–

I,12. 26

Lihat pengantar Tustari dalam tafsirnya. At–Tustari, Tafsir at–Tustari (Beirut:Darul Kutub

al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I,16 27

Apalagi menyangkut ayat yang tegas makna zahirnya maka takwil yang dikemukakan lebih

dekat kepada makna zahir tersebut. Misalnya QS>. Al-Fath:4, makna saki>nah artinya

t}uma’ni>nah.Lihat; Tustari dalam tafsirnya. At–Tustari, Tafsir at–Tustari (Beirut:Darul Kutub al–

Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 148

Page 92: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

71

Sufi lain yang menyusun kitab tafsir adalah as–Sulami28

dengan nama

kitabnya H{aqa>iq at-Tafsi>r (Hakekat-hakekat Penafsiran). As–Sulami seorang

tokoh sufi Khurasan lahir 330 H dan wafat tahun 412 H, termasuk sufi periode abad

IV H. Menurut az–Zahabi, kitab tafsir as-Sulami ini polanya sama dengan tafsir at-

Tustari yaitu tidak setiap ayat yang diberi penafsiran. As–Sulami menyusun kitab

tafsir berdasarkan kumpulan penafsiran dari ahli hakikat/para sufi kemudian disusun

menurut tertib surat dalam Alquran. Nama kitabnya adalah H{aqa>iq at–Tafsi>r

terbatas pada menggunakan pola makna isha>ri dan tidak berlandaskan pada makna

zahir.29

Tafsir as–Sulami ini lebih lengkap ketimbang tafsir sebelumnya (tafsir at-

Tustari) karena merangkum penafsiran para sufi sebelumnya yang bercorak isha>ri

termasuk tafsir at-Tustari. Karya as–Sulami bisa disebut pengembangan dari tafsir at-

Tustari.

Pendapat-pendapat yang dihimpun dalam tafsir as–Sulami seperti Ja„far bin

Muhammad as–S{a>diq, Ibnu „At}aillah as–Sakandari, al–Junaid, Fud}ail bin „Iyad},

Sahl bin Abdullah at–Tustari dan tokoh sufi lainnya. Sementara itu as-Subki dalam

T{abaqa>t as–Shafi‘iyyah menyebutkan kitab H{aqa>iq at-Tafsi>r menghimpun

berbagai penafsiran sufi sebelumnya yang terbatas pada penggunaan takwil para sufi

yang keluar dari makna zahir.30

Demikian penilaian ulama terhadap tafsir as–Sulami

yang hanya mengedepankan penggunaan makna isha>ri dalam tafsirnya. Bahkan,

sebagian ulama mencela keberadaan tafsir as–Sulami, dengan alasan bahwa tafsir

tersebut hanya berisi takwil dan penjelasan secara isha>ri, tanpa terikat dengan

makna zahir.

Mufasir sufi berikutnya yaitu Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (w.465

H) dengan kitab tafsirnya Lat}a>if al-Ishara>t. Tafsirnya ini mencerminkan tafsir

sufistik yang menyingkapkan tentang thauq dan memunculkan perasaan yang

diperoleh dalam muja>hadah. Didalamnya mengandung makna halus Alquran dari

28

Nama lengkapnya, Abu Abdurrahman Muhammad bin Husen bin Musa al-Azdi as–

Sullami. 29

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 284 30

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 286

Page 93: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

72

penjelasan para ahli sufi. 31

Disebutkan oleh Iyazi bahwa al-Qusyairi juga pernah

belajar pada as-Sulami (w.412 H).32

Pemikiran sufistik dari as-Sulami memiliki

pengaruh pada tafsir yang disusun oleh al-Qusyairi yang sangat menonjolkan makna

isha>ri.

Tafsir sufistik yang muncul pada perkembangan berikutnya yaitu pada abad

VI H yang disusun oleh Ibnu Arabi dengan nama tafsir al-Quran al–‘Az}i>m. Ibnu

Arabi lahir di Murcia, Andalus pada tahun 560 H/1165 M dan lama tinggal di

Ishbi>liy yaitu sekitar 30 tahun. Di sini ia banyak menimba ilmu kepada beberapa

guru diantaranya Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman al-Ishbi>liy dan al-

Qadi Abu Muhammad Abdullah al-Ba>zi>liy sehingga Ibnu Arabi dikenal dengan

ketinggian ilmunya.33

Dari perjalanan hidupnya di wilayah timur dan di saat itu

pulalah ia memperdalam pengetahuan tasawufnya maka daerah terakhir yang menjadi

ujung perjalanan hidupnya adalah di Damaskus. Ia wafat dan dikuburkan di kota itu

pada tahun 638 H/1240 M.34

Ibnu Arabi adalah seorang yang menguasai bermacam

ilmu pengetahuan disamping tasawuf. Ia juga dikenal mengarang kitab hukum,

sejarah, sastera dan yang mengesankan karangan tasawufnya yang bercorak filsafat

yaitu al–Futu>h}a>t al–Makkiyyah,35

Fus}u>s} al–H{ikam serta kitab tafsir yang

bercorak sufistik. Karena itu, ia dikenal dengan filosof sufi.36

31

Disebutkan juga dibelakang namanya dengan Naisyaburi dimana ia memang berasal dari

daerah Naisyabur (376-465H). Dalam mazhab fiqh, ia pengikut ajaran Shafi‟i dan dalam mazhab

kalam ia masuk aliran Ash„ari. Muhammad Ali Iyazi. al–Mufassiru>n: Haya>tuhum wa Manhajuhum

(Teheran: Wiza>rah Thaqa>fah Isla>miyah, 1414 H/1994 M), 603-605 32

Nama Al-Qusyairi sangat terkenal dengan kitab risalahnya yaitu Risalah al-Qusyairi.

Muhammad Ali Iyazi. al–Mufassiru>n: Haya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran: Wiza>rah

Thaqa>fah Isla>miyah, 1414 H/1994 M), 604 33

Disini ia belajar hadis, qira‟at dan ilmu lainnya. Abdul wa>rith M.Ali, Pengantar Tafsir

Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2006/1427),3 &10 34

Mustafa bin Sulaiman, Syarh Fus}u>s} al-H{ikam (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,

1428/2007), kata pengantar, 9. Lihat juga; Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam

(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 92. 35

Kitab ini semacam ensiklopedis sufistik menyangkut prinsip ajaran Islam yang dikupas

secara dalam, filosofis dengan mengungkap dalil Alquran. Susunannya terdiri dari 6 bagian (pasal) dan

560 bab. Lihat; Ibnu Arabi, Al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah. Beirut: Darul Fikri, 1424 H/2004 M, Cet.

Ke-1 36

Dalam kitab Fusus al-Hikam, Ibnu Arabi menggali makna wujud dan fenomena alam yang

dikemukakan dengan seperti mutiara ilahiah yang dinisbahkan pada Adam. Maksudnya Adam

menggambarkan jenis alam manusia bukan Adam sebagai nenek moyang manusia. Dalam kitab ini ada

Page 94: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

73

Tafsir yang disusun Ibnu Arabi terdiri dari 2 jilid cukup tebal sekitar 400 –an

halaman perjilid. Sistematika penyusunannya mengikuti susunan mushaf Alquran

walaupun yang ditafsirkan terbatas pada beberapa ayat. Metode Ibnu Arabi dalam

menafsirkan Alquran adalah dengan menyatakan beberapa bagian ayat dalam satu

surat kemudian dijelaskan maknanya terbatas pada potongan ayat yang dikutip.37

Misalnya, ketika menafsirkan ayat ke 10 surat al–Baqarah, yang diberi uraian

hanya sebagian dari ayatnya. ف قيث شض فضاد اهلل شظب ى عزاة أى ثب مبا نزث .

Ibnu Arabi menjelaskan tentang ف قيث شض kemudian bagian فضاد اهلل شظب setelah

itu langsung ke ayat 14 yaitu bagian awal إرا ىقااىز اا . Demikian metode Ibnu

Arabi menafsirkan Alquran yang difokuskan pada bagian–bagian ayat saja. Sekalipun

ayat yang disorot secara parsial terbatas pada bagian ayat tapi uraiannya bisa panjang.

Ibnu Arabi tidak sekedar menjelaskan makna kata tapi menafsirkan dengan jalan

menakwilkan ayat tersebut secara terurai. Metodologi demikian yang terdapat dalam

tafsir Ibnu Arabi diterapkan dalam kedua jilid tafsirnya.

Pahamnya tentang filasafat menyatakan bahwa pada hakikatnya yang ada itu

satu sedangkan yang banyak kelihatan merupakan bayangan. Semua wujud adalah

satu dalam realitas tiada sesuatupun bersama denganNya. Karena itu Ibnu Arabi

dikenal dengan paham filsafat wah}datul wuju>d (kesatuan wujud).38

Karya–karya

27 tema yang dinisbahkan kepada nama-nama Nabi. Lihat; Abul „Ala> „Afi>fiy, Ta‘li>q Fus}u>s} al-

H{ikam ( Beirut: Darul Kutub al-Arabi, 1400/1980),9& 228 37

Lihat; Ibnu Arabi, Tafsi>r Alquran al–‘Az}i>m (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427

H/2006 M), Cet. Ke–2. Mengenai hakikat tafsir Ibnu Arabi ini berkembang dua pandangan, pertama

pihak yang mengakui bahwa tafsir itu adalah karya Ibnu Arabi sendiri makanya dinisbahkan pada

namanya. Pandangan lain beranggapan tafsir Ibnu Arabi merupakan susunan Abdurrazaq al–Qasha>ni

lalu dinisbahkan kepada Ibnu Arabi (560–638 H) supaya mudah dikenal umum dan populer di

masyarakat karena kebesaran nama Ibnu Arabi. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abduh

yang dinyatakan dalam mukaddimah tafsir al–Manar. Menurut Muhammad Abduh, al–Qasha>ni

adalah seorang pengikut aliran Bat}i>niyyah, bagi masyarakat umum seperti dikata Abduh tidak bisa

membedakan antara pernyataan aliran bat}i>niyyah dan sufiyah. adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-

Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 295. Disebut juga bahwa al-Qasha>ni (w.730 H) seorang

sufi alim dan termasuk mufasir sufi terkemuka. Lihat uraian;Muhammad Hamdi Zaghlul, at–Tafsi>r bi

ar–Ra’yi (Dimaskus:Maktabah al Farabi, 1429/1999), Cet. Ke–1, 448 &452. 38

Paham wah}datul wuju>d pertama kali bangun oleh Ma„ruf al-Kharkhi (w.200/815)

seorang sufi dari Baghdad, menurut pahamnya; Tiada sesuatupun dalam wujud kecuali Allah.

Kemudian pada ajaran Ibnu Arabilah berkembangnya ide wah}datul wuju>d itu. Lihat; Kautsar

Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wahdatul Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet.ke-

1,34-5

Page 95: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

74

tasawufnya dipengaruhi oleh paham filsafat tersebut sehingga ia dikenal dengan

aliran tasawuf falsafi. Paham filsafatnya ini menjadi dasar bagi Ibnu Arabi ketika

menafsirkan Alquran.

Menurut az–Zahabi, tafsir Ibnu Arabi ini mencerminkan dua aliran tafsir sufi

dimana terdapat didalamnya jenis tafsir sufi naz}a>ri dan tafsir sufi isha>ri. Dalam

tafsirnya lebih dominan makna ishari dan tidak nyata menggunakan makna zahir.

Banyak dari penafsiran isha>rinya yang sulit di pahami 39

Penafsiran sufistik Ibnu

Arabi dengan teori filsafat wahdatul wujud sebagai landasan dalam memahami ayat,

menjadikan tafsirnya tergolong tafsir sufi naz}ari.

Melihat pola penafsiran Ibnu Arabi diatas dapat ditegaskan bahwa

perkembangan tafsir sufi yang tercermin padanya berupa penggabungan tafsir sufi

naz}ari dan tafsir sufi isha>ri. Sekalipun ditemukan dalam tafsirnya kecenderungan

naz}arinya lebih menonjol.

Selain Ibnu Arabi, tafsir sufistik dengan pola isha>ri lain yaitu ‘Ara>is al–

Baya>n f>i H{aqa>iq al–Quran (Penjelasan Indah dalam Hakekat Alquran) yang

ditulis oleh Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi Nas}r ash–Shira>zi as}–S{u>fi. Ia

wafat tahun 666 H atau hidup pada abad VII H (Ibnu Arabi w.638 H). Menurut adh–

Dhahabi tafsir Shairazi ini termasuk tafsir sufi isha>ri yang memegang makna

isha>ri dan tidak menonjol makna zahir.40

Sebagaimana dinyatakan dalam

mukaddimah kitab ‘Ara>is al–Baya>n f>i H{aqa>iq al–Quran, mengenai kalam

Allah tidak akan pernah usai bagi kita dalam mengungkap makna zahir dan batin.

Tidak ada pemahaman yang sempurna mengupas maknanya. Shira>zi menyusun

tafsirnya dengan penjelasan yang halus, mengungkap makna isha>ri dalam Alquran

yang halus bahasanya dan mulia ungkapannya. Ia menambahkan, barangkali

penafsirannya beda dengan mufasir sebelumnya karena mengungkap makna yang

dalam dan halus dari Alquran. Sekalipun ia juga mengakui bahwa makna kalimat

Alquran mengandung makna zahir dan batin.41

Dari penjelasan Shira>zi dalam

39

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 296. 40

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 288 41

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 288

Page 96: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

75

mukaddimah ‘Ara>is al-Baya>n fi> H{aqa>iq al-Qura>n, ia menyadari bahwa

memahami makna Alquran dapat diambil dari makna zahir atau batinnya. Namun

usaha mengungkap makna Alquran tersebut tidak akan pernah sempurna karena

begitu luas dan dalamnya makna “ kalimat Allah “. Setiap mufasir mencoba

menjelaskan makna Alquran secara dalam dan halus seperti yang dilakukannya agar

sejalan maknanya dengan tujuan Alquran sebagai kalamullah yang diturunkan kepada

manusia.

Pada abad VII ini juga muncul tafsir sufi lebih besar lagi yaitu terdiri dari 5

jilid yang disusun oleh dua orang sufi yaitu Najmuddin Da>yah dan „Alauddaulah as–

Samna>ni. Adapun Najmuddin berasal dari Khawarizmi. Nama lengkapnya adalah

Syaikh Najmuddin, Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Shahid al–Asadi ar–

Razi yang populer dengan sebutan Da>yah. Ia wafat tahun 654 H di Baghdad.

Kedua, adalah Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad as–Samna>ni,

yang dijuluki „Alauddaulah. As-Samna>ni lahir tahun 659 H, dan wafat tahun 736 H

(abad VIII H) setelah ia berdomisili terakhir di daerah T{ibristan dan Baghdad. 42

Tafsir ini dinisbahkan kepada nama penulis pertamanya, Najmuddin yang

menjadi nama kitabnya, yaitu at–Ta’wila>t an–Najmiyyah (Takwil-takwil yang

Nyata) yang disusun dalam lima jilid besar. Najmuddin menyusun tafsir tersebut

hanya sampai jilid 4 yang berakhir pada surat adh–Dha>riya>t ayat 17–18. Sampai

surat tersebut Najmuddin meninggal dunia maka kemudian tafsirnya diteruskan oleh

„Alauddaulah sampai selesai yang merupakan jilid ke lima dan terakhir.43

42

Najmuddin Dayah adalah seorang sufi yang berguru pada Shaikh Najmuddin Abi al–Junab

yang dikenal dengan sebutan al–Bakri. adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp,

1396/1976),juz 2, 290 - 291 43

Sementara „Alauddaulah menurut beberapa sumber yang dikutip az–Zahabi menyebutkan,

„Alauddaulah seorang sufi yang pernah berguru pada Sadruddin bin Hamwiyah, Sirajuddin al-Qazwini

dan Imamuddin bin Ali Muba>rak al–Bakri. „Alauddaulah terkenal dengan keluasan ilmu, a>lim, budi

luhur dan memiliki wajah tampan. Karangannya banyak tentang tafsir dan tasawuf bahkan disinyalir ia

juga memiliki kara>mah. Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,

291. Dari keterangan adh–Dhahabi ini penulis tidak memperoleh data tentang hubungan antara

Najmuddin Dayah (w.654 H) dengan „Alauddaulah as–Samna>ni (l.659 H) Kalau misal kedekatan

antara guru dan murid, mereka jelas tidak bertemu. Dari data akhir kehidupannya, masing–masing

sama meninggal di Baghdad.

Page 97: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

76

Bentuk penafsiran Najmuddin adalah terkadang menyebutkan makna zahir

kemudian diikuti dengan penafsiran isha>ri, ia tidak menafsirkan berdasarkan teori

filsafat sufi. Berbeda dengan Najmuddin, as–Samnani dalam menafsirkan Alquran

berdasar pada filsafat sufi. Terakhir disebutkan adh–Dhahabi, tafsir ini termasuk

salah satu diantara beberapa kitab tafsir isha>ri.44

Tafsir at–Takwila>t an–Najmiyyah mengandung dua karakter pokok tafsir

yaitu bagian pertama menafsirkan ayat secara zahir kemudian diulas dengan makna

isha>ri, selain itu penafsirannya tidak terpengaruh oleh aliran pemikiran filsafat yang

masuk dalam penafsiran sufistik. Sedangkan bagian akhir kitab tafsir hanya

menggunakan penafsiran secara isha>ri yang ditulis oleh „Alauddaulah as-Samnani

tanpa mengambil makna zahir. Penafsiran sufistiknya didasarkan pada teori filsafat.

Corak tafsir sufistik yang terdapat dalam kitab at–Takwila>t an–Najmiyyah yang

disusun Najmuddin menggunakan makna zahir dan isha>ri. Adapun „Alauddaulah

as-Samna>ni dalam tafsir tersebut metodologinya menggunakan makna isha>ri saja

dan mengungkap rahasia ayat tasawuf berdasarkan teori filsafat sufistik.

Corak penafsiran Najmuddin termasuk tafsir sufi isha>ri sedangkan

penafsiran as–Samnani termasuk tafsir sufi naz}ari (teori filsafat sufistik) sekaligus

tafsir sufi isha>ri (pengalaman suluknya menjalani tasawuf). Dengan demikian tafsir

at–ta’wi>la>t an–Najmiyyah ini bercorak sufi naz}ari dan sufi isha>ri.45

Tafsir yang bercorak isha>ri lainnya yaitu yang disusun oleh Naisaburi46

yaitu Ghara>ib al–Quran wa Ragha>ib al–Furqa>n (Keunikan Alquran dan

44

Selintas teori penafsiran as–Samna>ni mirip dengan Ibnu Arabi namun bila didalami

agaknya teori filsafat dalam tasawuf as–Samna>ni tidak mengikuti paham Ibnu Arabi. Bahkan as–

Samna>ni termasuk orang yang turut mencela paham filsafat Ibnu Arabi, dan bahkan menuduh Ibnu

Arabi dengan kufur. az–Zahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 291-292. 45

Keberadaan penafsiran Najmuddin diatas membuka pikiran kita bahwa dari corak

penafsirannya tergolong tafsir sufi isha>ri, dari metodologinya, ia menggunakan makna isha>ri dan

mengambil juga makna zahir ayat. Ini menggambarkan bahwa tafsir sufi isha>ri tidak semata–mata

memegang makna isha>ri suatu ayat tapi dapat saja menerima makna zahir ayat. Alasan lain

mendukung tafsir sufistik Najmuddin sebagai corak sufi isha>ri dimana ia tidak terpengaruh dengan

ajaran tasawuf falsafi yang identik dengan tafsir sufi naz}ari. 46

Nama lengkapnya, Niz}amuddin Ibnu al–Hasan bin Muhammad bin Husein al–Khurasani

an–Naisaburi. Ia terkenal dengan sifat wara’, taqwa, zuhud dan sufi. Kedalaman ilmu dan kesalehan

dirinya tercermin dalam kitab tafsirnya yang menggunakan makna isha>ri dan pengetahuan rabba>ni.

Page 98: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

77

Keinginan Al-Furqan). Tafsirnya ini disamping mengemukakan takwil ayat

berdasarkan isyarat yang diperoleh oleh para ahli hakikat, ia juga menafsirkan ayat–

ayat dari tinjauan aspek lain seperti aspek hukum dari bermacam mazhab, qira‟at,

aspek bahasa dan balaghah. Ia juga kadang mengutip pendapat dari tafsir

Zamakhshari atau Fakhrurazi namun ia kritis dan bebas dalam mengemukakan

pandangannya sendiri sekalipun berbeda dengan mufasir yang dikutip.47

Dengan

demikian aspek tersebut menjadi kecenderungan dari orientasi penafsirannya seperti

orientasi qira‟at, fiqh, kalam , tasawuf dan bahasa. Artinya pembahasan Naisaburi

dalam tafsirnya mengenai hal tersebut merupakan bagian dari manhaj penafsirannya.

Perkembangan berikutnya, muncul tafsir Ru>h}ul Baya>n (Penjelasan-

penjelasan halus), yang disusun oleh Ismail Haqqi al-Burusawi (w.1127 H). Adapun

manhaj tafsirnya termasuk lugawi, bayani dan sufistik. Didalamnya diungkapkan

berbagai aspek tafsir seperti asbab nuzul, riwayat-riwayat, aspek qira‟at, bahasa dan

penjelasan sufistik.48

Disebutkan oleh Iyazi, tafsir Ru>h}ul Baya>n bagian dari kitab

tafsir yang brcorak isha>ri yang tetap berpegang pada makna zahir dan analisa

bahasa.49

Selanjutnya tafsir yang dikategorikan sebagai tafsir isha>ri yaitu tafsir

Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al–‘Az}i>m wa as–Sab‘i al–Matha>ni

(Makna-makna halus dalam penjelasan Alquran yang Agung dan Tujuh Ayat yang

diulang) yang disusun oleh Shihabuddin as–Sayyid Mahmud Afandi al–Alu>siy al–

Keturunannya berasal dari kota Qum, keluarganya hijrah dan muqim di daerah Naisabur. Informasi

kelahiran dan kematiannya tidak ada keterangan pasti diantaranya ada menyebut w. 728 H/1328M.

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 1,228. Lihat juga; Ibnu

Arabi, Pengantar Abdul Warith M.Ali, Tafsir Ibnu Arabi, 19. Iyazi, al-Mufassirun, 524 47

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976), juz I,231-32 48

Biasa juga dibelakang namanya dicantumkan at-Turki yang menunjukkan bahwa ia

keturunan Turki. Mengenai kehidupan sufistiknya, ia termasuk pengikut tarikat al-Khalwatiyyah. Al-

Burusawi menempuh pendidikan di Turki, kemudian hari ia pindah dari Turki ke Burusah dan

meninggal di sana tahun 1127/1715 M. Muhammad Ali Iyazi. al–Mufassiru>n: Haya>tuhum wa

Manhajuhum (Teheran: Wiza>rah Thaqa>fah Isla>miyah, 1414 H/1994 M), 475-6. 49

Muhammad Ali Iyazi. al–Mufassiru>n: Haya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran: Wiza>rah

Thaqa>fah Isla>miyah, 1414 H/1994 M), 478 & 850

Page 99: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

78

Baghdadi (w.1270 H).50

Ia terkenal sebagai muhadis cerminan sebagai ahli riwayat,

mufasir cerminan ahli dira>yah, menguasai perbedaan mazhab baik kalam atau fiqh.

Dalam fiqh ia lebih cenderung ke mazhab Hanafi.51

Pandangannya tentang tafsir

sama dengan para ulama lainnya seperti dikutip dari definisi Abu H{ayyan,52

sedangkan takwil menurutnya lebih rinci dari sekedar penjelasan terkait dengan

penggunaan dirayah. Takwil menurutnya adalah isyarat suci dan pengetahuan

rabba>ni yang turun kedalam hati para sa>lik dan ‘a>rifi>n sehingga terbuka

baginya tabir dalam memahami ayat secara isha>ri.53

Dari pengertian takwil yang

dikemukakan al–Alu>si menunjukkan bahwa ia memandang ayat–ayat tasawuf

memerlukan takwil melalui makna isha>ri yang diperoleh lewat latihan rohani para

sufi.

Sebagaimana dijelaskan dalam mukaddimah kitab tafsirnya, al–Alu>si sejak

mulai belajar Alquran selalu terobsesi untuk menyingkapkan rahasia ayat Alquran

yang tersembunyi. Keinginannya itu terwujud dengan menyusun kitab tafsir yang

dimulai tahun 1252 – 1267 yang diberi nama Ru>h} al–Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–

Quran al-‘Az}i>m wa as–Sab‘i al-Matha>ni. Tafsirnya merupakan sebuah karya

monumental baginya, yang menyingkap salah satu rahasia yang tersembunyi.54

Tafsir

al–Alu>si ini juga membahas tafsir dari aspek kalam dan fiqh disamping aspek

tasawuf.55

Orientasi tafsir dapat dianalisis dari berbagai aspek untuk kemudian

ditemukan seberapa besar perhatian mufasir terhadap masing-masing aspek tersebut.

Perkembangan tafsir sufistik pada abad II–XIII H mengambil corak sesuai

dengan yang dikelompokkan oleh adh–Dhahabi yaitu tafsir sufi yang bercorak

50

Al–Alusi lahir di baghdad tepatnya di negeri Alus dekat sungai Eufrat tahun 1217 H dan

wafat di Baghdad tahun 1270 H. Lihat juga; Ibnu Arabi, Pengantar Abdul Warith M.Ali, Tafsir Ibnu

Arabi, 19 51

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976), juz I, h. 251 52

Ilmu yang membahas tentang qiraat dan lafaz Quran serta maknanya, kaedah

kebahasaannya, dan ilmu yang tercakup dalamnya seperti ilmu naskh, asba>bun nuzu>l, qasam dan

seterusnya. 53

Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni

(Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid I, Cet. Ke–1, 6 54

Al–Alusi, Ru>h} al–Ma‘a>ni…, jilid I, 5. 55

Muhammad Hamdi Zaglul, at–Tafsi>r bi ar–Ra’yi (Dimaskus:Maktabah al–Farabi,

1420/1999), Cet. Ke–1, 394

Page 100: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

79

naz}ari dan isha>ri. Dalam penafsiran sufi naz}ari didasarkan pada kajian tasawuf

serta pengaruh teori filsafat, memahami ayat dibalik makna zahir seperti tafsir Ibnu

Arabi ( w.638 H) juga penafsiran as–Samna>ni (w.736). Artinya tafsir sufi naz}ari

juga memberikan takwil dalam memahami ayat yang didasarkan pada kajian dan teori

filsafat sufistik. Sehubungan dengan bentuk penafsiran Ibnu Arabi dan as–Samna>ni

diatas kecil kemungkinan untuk menggunakan makna zahir ayat.

Sedangkan penafsiran sufi isha>ri yang memahami ayat dominan secara

isha>ri, berdasarkan pengalaman rohani sufi yang tercermin pada tafsir as–Sullami

(w.412 H), Shairazi (w.666 H). Sementara itu penafsiran sufi isha>ri disamping

menggunakan makna isha>ri ayat, tetap memperhatikan makna zahir ayat seperti

yang dilakukan oleh Tustari (w.283 H) dan Najmuddin ( w.654 H). Mereka setelah

menjelaskan makna ayat secara zahir lalu diikuti makna isha>rinya atau

menggunakan makna isha>ri dengan tetap berlandaskan pada makna zahir ayat.

Kelompok ini masih nyata menggunakan makna zahir ayat dalam penafsiran sufistik.

Adapun kelompok yang lebih cenderung ke makna zahir disamping ada juga

menggunakan makna isha>ri yaitu Naisaburi dan al–Alu>si. Mereka bukan pengikut

filsafat seperti Ibnu Arabi yang menggabungkan teori filsafat ke dalam tasawuf .

Penafsiran mereka terkait aspek tasawuf dikelompokkan pada penafsiran sufi

isha>ri.

Berbagai macam corak penafsiran sufistik yang pernah dilakukan oleh para

ulama sufi sangat berpengaruh pada perkembangan dunia tafsir khususnya penafsiran

sufistik. Suatu karya ilmiah atau pengetahuan tidak bisa lepas dari pengetahuan

sebelumnya walaupun mengalami perkembangan baru bahkan sangat banyak karya

yang dihasilkan ulama sekarang terinspirasi dari karya terdahulu. Tidak menutup

kemungkinan muncul bentuk lain dari perkembangan penafsiran sufistik ataupun

kritikan pada tafsir sebelumnya. Penafsiran sufistik akan semakin mengalami

perkembangan seiring perubahan masyarakat yang membutuhkan dasar pengetahuan

tasawuf yang bersumber dari penafsiran ayat Alquran.

Page 101: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

80

Pada zaman modern ini kebutuhan masyarakat terasa sekali bagaimana

mencari kepuasan batin dibalik hingar bingarnya kesibukan mencari harta dan hidup

mengejar materi sehingga lupa apakah jalan memperolehnya dan pembelanjaannya

sesuai dengan petunjuk Alquran dan Hadis Nabi. Diantara masyarakat juga sudah

merasakan hampa menjalani hidup tanpa mengisi kepuasan rohani. Untuk itu

penafsiran sufistik terhadap ayat Alquran merupakan tuntutan supaya memenuhi

keinginan masyarakat modern. Penafsiran sufistik yang lebih realistis dan mudah

dipahami tentunya yang diharapkan dan dapat dilaksanakan. Sa„id H{awwa dalam

tafsirnya yang penulis teliti ini merupakan salah satu corak tafsir sufi yang muncul

pada abad modern ini.

B. Contoh Macam–macam Corak Tafsir Sufi

Untuk melihat corak sufistik dalam penafsiran sangat terkait dengan

perkembangan paham tasawuf. Adh–Dhahabi membagi corak tafsir sufi berdasarkan

kategori tasawuf yang dikemukakannya menjadi tasawuf amali dan tasawuf naz}ari.

Kedua aliran tasawuf ini membentuk jenis tafsir sufi isha>ri dan tafsir sufi naz}ari.56

1. Tafsir sufi isha>ri

Tafsir sufi isha>ri merupakan pengungkapan makna isha>ri ayat oleh para

sufi. Secara definitif dinyatakan bahwa;

ن , رأو ابد اىقشا اىنش عي خالف ب ظش ب ثقزع إضبساد خفخ رظش ألسثبة اىسيك

.اىزطجق ثب ث اىظاش اىشادح57

Definisi diatas dapat dipahami bahwa tafsir sufi isha>ri adalah menjelaskan

ayat Alquran dengan jalan menakwilkan ayat diluar makna zahirnya yang dipahami

56

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 251. Tafsir

isha>ri disebut juga tafsir fayd}iy> فع , artinya berlimpah, mengalir sendiri ibarat berita tersebar

dengan sendirinya, muncul (ide) dari hatinya. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta:

Yayasan penyelenggara Penterjemah Alquran, 1973), 327. Maksud kata tersebut dikaitkan dengan

tafsir berarti tafsir isha>ri adalah penafsiran yang muncul, mengalir dari hati para sufi karena latihan

dan pengalaman kerohaniannya bukan berdasarkan nalar semata. Penafsiran mereka bisa berupa

pemahaman ayat yang disesuaikan dengan pengalaman kerohanian dalam ibadah yang dilakukan atau

bisa juga penafsiran lewat ilham yang diterima. 57

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 261

Page 102: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

81

oleh pelaku tasawuf (suluk) melalui isyarat yang terkandung (terselubung) didalam

susunan ayatnya. Disamping itu selain memahami ayat secara isha>ri diambil juga

makna zahirnya. Proses menafsirkan ayat baginya berangkat dari hati dengan latihan

rohani dan memperoleh pengetahuan rabba>ni, sehingga ia mampu menangkap

isyarat suci dari ayat. Bila dicermati penggunaan makna zahir dalam tafsir sufi, tidak

sama dalam implementasinya. Ada yang menggunakan makna zahir serta makna

isha>rinya, ada yang dominan pendekatan makna zahirnya bahkan ada yang

mengabaikan makna zahirnya.

Diantara penafsiran sufistik yang dikenal sebagai corak isha>ri adalah at-

Tustari (w.283 H)58

dengan tafsirnya Tafsi>r al–Qura>n al–‘Az}i>m, as–Sullami

(330–412 H)59

dengan tafsirnya H{aqa>iq at–Tafsi>r, Shairazi (w.666 H) dengan

tafsirnya ‘Ara>is al–Baya>n fi> H{aqa>iq al–Qura>n, Najmuddin Da>yah (w.654

H) dengan tafsir at–Ta’wi>la>t an–Najmiyyah, Naisaburi (+ abad VIII H) dengan

Ghara>ib al–Quran wa Ragha>ib al–Furqa>n, al–Alu>si (w.1270 H) dengan

Ru>h{ al–Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Qura>n al–‘Az}i>m wa as–Sab‘i al-Matha>ni.60

Contoh, penafsiran Tustari ayat 92 Ali Imran (3).

..ى ربىااىجشدز رفقا ب رذج

Artinya, Kamu sekali–kali tidak sampai kepada kebajikan sebelum

menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.

Dinyatakan dalam tafsirnya;

أ ى رجيغا اىزق ميب دز رذبسثا أفسن فزفقاثعط برذج61

Tafsirannya, kamu tidak akan dapat mencapai ketaqwaan sempurna sebelum

kamu memerangi dirimu sendiri. Untuk itu infakkanlah sebagian harta yang kamu

cintai. Dalam memberikan infak harus ikhlas semata–mata mencari keridhaan

58

Sufi yang mengakui ada makna zahir dan menggunakannya juga dalam penafsirannya

seperti at-Tustari dan Najmuddin Da>yah 59

Tokoh Sufi yang dalam penafsirannya tidak menonjolkan makna zahir seperti; as–Sullami,

Shairazi, artinya mereka lebih tampak menggunakan makna isha>ri. 60

Dua tafsir terakhir merupakan tafsir yang tetap berpegang pada makna zahir dalam

pendekatan isha>rinya. Demikian disimpulkan oleh adh-Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n

(Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 281 61

At–Tustari, Tafsir at–Tustari, (Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 49

Page 103: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

82

Allah.62

Orang yang hatinya ragu-ragu dalam memberikan sebagian harta yang

disukainya menurut Tustari orang tersebut belum bisa terlepas dari keterikatan

dengan harta. Karena taqwa yang sempurna harus bisa mencintai orang lain dari pada

mencintai harta sendiri.

. (al–Baqarah: 45) اسزعا ثبىصجش اىصالح إبىنجشح إال عي اىخبضع

Artinya; Mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat.

Sesungguhnya yang demikian itu sunguh berat kecuali bagi orang yang

khushu‘.

اىصالح صيخ اىعشفخ, اىصجش بب اىص 63

Tafsirannya, sabar yang dimaksud dalam ayat ini adalah puasa (s}aum)

sedangkan s}alat adalah media untuk menuju ma‘rifah. Bagi orang yang benar dalam

mendirikan salat maka ia akan sampai kepada ma‘rifah. Untuk sampai kepada

ma‘rifah memang tidak mudah seperti diisyaratkan dalam ayat. S{alat, untuk sampai

kepada ma‘rifah sungguh berat kecuali bagi orang yang khushu‘.64

S{alat yang

khushu„ bisa mengantarkan seseorang mencapai ma‘rifah seperti yang pernah

dilakukan oleh para sufi. Orang yang sampai pada ma‘rifah menurut pandangan sufi

berarti sudah merasa dekat dengan Allah. Oleh sebab itu doa yang dimohonkan

kepada Allah sudah tidak ada lagi penghalang antara hamba dengan Kha>liq. Dalam

pandangan sufi, ma‟rifah merupakan satu indikator yang membuktikan hubungan

yang dekat antara hamba dengan Tuhan.

Contoh penafsiran as–Sullami, surat ar–Ra‘d (13) ayat 3.

, اىز ذ األسض جعو فب ساس أبسا

Artinya; Dialah Allah yang telah membentangkan bumi dan menjadikan

gunung–gunung serta sungai–sungai padanya.

Menurut para ahli hakikat,

اىز ثسط األسض جعو فب أربدا أىبئ سبدح عجذ فئى اىيجأ ث اىجبح ف ظشة ف

. مب ثغز ىغش خبة خسش, األسض قصذ فبصجب

62

At–Tustari, Tafsir at–Tustari, (Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 49 63

At–Tustari, Tafsir at–Tustari, (Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 31 64

At–Tustari, Tafsir at–Tustari, (Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 31

Page 104: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

83

Allah telah menghamparkan bumi dan dijadikan pula pilarnya dari para wali

orang pilihan. Mereka menjadi tempat berlindung dan penyelamat bagi manusia.

Siapa yang berjalan dimuka bumi menuju mereka maka ia akan beruntung dan

selamat, kemudian siapa yang memusuhinya maka ia akan merugi.65

As–Sullami

mengungkapkan pandangan dari para sufi dalam tafsirnya bahwa Allah memilih dari

hambanya yaitu para wali untuk membimbing manusia di muka bumi. Wali Allah

merupakan tiang bumi yang diciptakan Allah sebagai menjaga keseimbangan bumi.

Posisi wali menurut penafsiran as–Sullami diatas berfungsi bagaikan gunung yang

menjadi penyangga bumi. Demikian contoh penafsiran isha>ri oleh as-Sullami yang

jauh dari makna zahir ayat sehingga sulit dipahami orang awam. Makna seperti ini

yang menjadikan tafsirnya disamakan dengan tafsir batiniyah.

Penafsiran ini termasuk menggunakan makna isha>ri yang tidak berlandaskan

pada makna zahir dan tidak didukung pula oleh pengertian ayat lain atau Sunnah.

Sa„id Hawwa pernah menyatakan bahwa para sufi amali ada yang sejalan dengan

Sunnah dan ada pula yang melanggar Sunnah. 66

Bila diperhatikan makna gunung

dengan para wali sebagai penyeimbang bumi barangkali sulit dimengerti. Karena itu

sinyalemen Sa„id H{awwa diatas boleh jadi ada benarnya.

2. Tafsir sufi naz}ari

Tafsir sufi naz}ari yaitu menjelaskan ayat Alquran dari aspek tasawuf

berdasarkan kajian teori dan ajaran filsafat. Secara definitif disebutkan;

فنب اىجذ أ ظش ؤالء اىزصفخ إى اىقشا , رعبى فيسفخ, ث رصف عي جبدث ظشخ

. ظشح رزط ع ظشبر رعبى67

Proses memahami ayat baginya beranjak dari nalar dan pengetahuan

teoritisnya yang kemudian diwujudkan dalam menafsirkan ayat. Adapun tafsir

sufistik yang termasuk kategori ini seperti yang dinisbahkan kepada Ibnu Arabi

65

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 287 66

Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.

Ke–9, 11 67

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,251-2

Page 105: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

84

(w.638 H)68

dengan kitabnya Tafsi>r Ibnu Arabi, „Alauddaulah as–Samnani (659–

736 H) yang bergabung dalam tafsir Najmuddin Da>yah yang berjudul; at–

Ta’wi>la>t an–Najmiyyah (as-Samna>ni melanjutkan jilid terakhir mulai dari surat

adh-Dha>riya>t sampai an-Na>s).

Contoh penafsiran Ibnu Arabi, surat Maryam (19) ayat 57.

. سفعب نبب عيب

Artinya; Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.

Makna ayat ini dijelaskan sebagai berikut:

ف قب سدبخ إدسس عي , أعي األنخ اىنب اىز رذس عي سد عبى األفالك فيل اىطس

.رذز سجعخ أفالك فق سجعخ أفالك اىخبس عطش. اىسال69

Tempat-tempat yang paling tinggi adalah tempat yang dikelilingi (garis edar)

gugusan bintang-bintang, disitulah tempat matahari. Disitu terdapat

keberadaan rohani Idris as. Di bawah tempat matahari ada tujuh tempat

peredaran bintang dan di atasnya tujuh pula peredaran bintang-bintang.

Semuanya ada lima belas dengan matahari.

Uraian ini menjelaskan tentang keberadaan rohani Idris as yang berada pada

tempat tertinggi. Dalam pandangan Ibnu Arabi tempat tertinggi yang dimaksud

adalah a>lam afla>k عبى األفالك ( tempat matahari yang dikelilingi bintang-bintang).

Ini bagian dari tafsir sufi naz}ari yang dipengaruhi oleh teori filsafat ketika

menjelaskan tentang keberadaan roh. Penafsiran sufistik diatas tidak mudah

memahaminya apalagi dengan penggabungan pemikiran tasawuf dengan filsafat.

Makna isha>ri yang dikemukakan Ibnu Arabi terlihat jauh dari makna zahir ayat.

Dominannya penggunaan nalar sufistik dalam penafsiran tersebut, digolongkanlah

tafsirnya ke dalam tafsir sufi naz}ari.

Contoh penafsiran as–Samna>ni, surat ash–Shams ayat 11.

, فقبه ى سسه اهلل بقزخ اهلل سقبب – إر اجعث أضقبب – مزثذ ثد ثطغاب

Artinya; Kaum Tsamud telah mendustakan Rasulnya karena mereka telah

melampaui batas. Ketika bangkit orang yang paling celaka diantara mereka,

68

Sufi yang lebih melihat makna ayat secara isyari saja berdasarkan kajian teoritis filsafat

seperti Ibnu Arabi dan „Alauddaulah as–Samna>ni 69

Ibnu Arabi, Fus}u>s} al-H{ikam: Syarh oleh: Abu al-„Ala Afifi (Beirut: Darul Kitab al-

Arabi, 1980/1400),75.

Page 106: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

85

lalu Rasulullah nabi Shaleh berkata kepada mereka, “ Biarkanlah unta betina

Allah dan minumannya”.

ع إر اجعثذ اىيطفخ أسشعذ إى اىطبغخ اجعث أضق ق اىفس عي إثش اىيطفخ : إر اجعث أضقبب–

. اىصبىذخ70

As–Samna>ni menjelaskan, ketika perasaan halus itu muncul dan segera

menuju orang yang melampaui batas, kemudian timbullah kekuatan nafsunya

mengalahkan perasaan baiknya kemudian ia menyemblih unta tersebut. Dalam jiwa

kita ada unsur yang halus bersih dapat dikalahkan oleh kekuatan nafsu yang sama–

sama halus. Sebagaimana diutarakan diatas bahwa makna isha>ri yang terdapat

dalam penafsiran as–Samna>ni dipengaruhi oleh filsafat sufi dan memang sulit

dipahami. Makna isha>ri yang dikemukakan tersebut, bernuansa nalar sufistik yang

membicarakan tentang daya nafsu.

Penafsiran as–Samna>ni diatas salah satu bentuk dari tafsir sufi naz}ari

dengan karakter memasukkan ajaran filsafat dalam penafsiran sufistiknya. Paham

filsafat merupakan yang pertama masuk dalam kajian tasawuf dan penafsiran dengan

teori filsafat membawa tafsir sufi kepada penafsiran sufi teoritis atau dikenal dengan

tafsir sufi naz}ari. Penafsiran sufi naz}ari yang berpegang pada ajaran filsafat seperti

terlihat diatas menimbulkan istilah tafsir sufi falsafi. Karena awalnya teori–teori

filsafatlah yang berkembang dalam ajaran tasawuf maka dapat dikatakan tafsir sufi

falsafi merupakan bagian dari tafsir sufi naz}ari.71

Pandangan diatas memberi pengertian bahwa tafsir sufi naz}ari berdasarkan

konsep tasawuf serta kajian filsafat sufistik. Kajian filsafat sufistik ini cenderung

menggunakan takwil memahami ayat diluar makna zahir dengan mengutamakan

aspek penalaran.

Dari uraian tentang contoh macam tafsir sufi dapat ditegaskan bahwa tafsir

sufi teoritis (naz}ari) /sufi falsafi bersandar pada nalar pengetahuan teoritis untuk

memahami ayat. Disini para sufi naz}ari menakwilkan ayat berdasarkan teori

70

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 295 71

Bila didasarkan pada asalnya berarti dapat juga disebut tafsir sufi naz}ari falsafi atau juga

tafsir sufi naz}ari orientasi filsafat. Untuk menyederhanakan namanya cukup disebut dengan tafsir sufi

falsafi.

Page 107: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

86

pengetahuannya. Sedangkan tafsir sufi praktis (isha>ri ) bersandar pada hati yang

memperoleh ma‘rifah untuk menafsirkan ayat dan makna yang diungkapkannya lebih

praktis untuk diamalkan. Kendatipun berdasarkan amalan praktis, bukan berarti tafsir

sufi isha>ri tanpa berlandaskan ilmu tapi lebih menekankan dimensi penerapannya.

Ia meyakini makna isha>ri terkandung dari zahir ayat. Untuk menjelaskan makna

zahir ayat tentu membutuhkan aspek ilmiah disamping aspek rasa. Karena itu

tafsirnya dikenal dengan pendekatan isha>ri. Artinya kedua macam corak tafsir sufi

tersebut naz}ari dan isha>ri pada dasarnya menggunakan takwil, hanya berbeda

dalam pendekatan.72

C. Perdebatan tentang tafsir Sufi

Kehadiran tafsir sufi yang menimbulkan kegusaran bagi pengkritiknya

sebangun dengan kemunculan tasawuf itu sendiri yang pada awalnya juga

diperselisihkan. Istilah dan ajaran tasawuf sendiri bermula dari prilaku zuhud yang

dipraktekkan sebelum adanya istilah tasawuf. Diantara tokoh yang menjalani zuhud

seperti Hasan Basri (w.110H), Sufyan Sauri (w.121H) dan Rabi„atul Adawiyah

(w.185H).73

Setelah praktek ajaran tasawuf berkembang, pertengahan abad III

Hijriyah muncul pula penafsiran Alquran dari para sufi yang dikenal dengan tafsir

sufi.74

Para sufi dalam menafsirkan Alquran, mereka berusaha dengan

menyingkapkan makna ishari melalui penakwilan ayat dengan menangkap isyarat

tersembunyi.

1. Kontroversi makna isha>ri

72

Itulah bedanya akal dan hati, akal hanya dapat berpikir sedangkan hati selain berpikir juga

dapat merasa. Seperti kata ayat menyindir orang yang tidak mau taat; mereka punya hati tapi tidak mau

mengerti. Kami jadikan isi neraka dari jin dan manusia; … ى قية الفق ثب … al – A’raf ( 7 ) : 179. 73

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), 71-

77 74

Tafsir sufi merupakan salah satu dari corak–corak tafsir dari jenis tafsir bi ar ra’yi seperti

corak fiqh, corak adabi-lugawi, corak adabi ijtima‘i, kalam, „ilmi dan lain–lain. Bahkan ada yang

menjadikan corak sufi sebagai jenis tersendiri atau ketiga, disamping bi al–ma’thu>r, bi ar–ra’yi

ketiga bi al–Isha>ri. Kitab tafsir sufi pertama muncul menurut sejarah adalah tafsir at-Tustari (200-

283H).

Page 108: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

87

Persoalan tafsir sufi kalau diperhatikan dari beberapa tafsirnya terletak pada

penggunaan takwil baik aliran naz}ari atau isha>ri. Sehubungan dengan sufi naz}ari

penafsirannya terinspirasi oleh ajaran filsafat yang sulit dipahami awam. Sementara

sufi amali menakwilkan ayat sesuai pengalaman rohaninya yang sifatnya pengalaman

subjektif. corak tafsir sufi menimbulkan kontroversi terkait dengan pendekatan

isha>ri yang menghasilkan makna sufistiknya yang jauh dari makna zahir.

Penafsirannya lebih menonjolkan makna batin dari pada makna zahir apalagi seperti

dikatakan Shaikh Abdul Warith M.Ali makna batin terlalu jauh dari pengertian zahir

ayat.75

Memahami isyarat ayat diluar makna zahir inilah yang dimaksud makna

isha>ri. Makna ini yang sering diperselisihkan dan menjadi kontroversi bila jauh dari

makna zahir.

Selain alasan penggunaan makna isha>ri, persoalan tafsir sufi seringkali

mengabaikan kaedah–kaedah bahasa Arab.76

Padahal dasar pengambilan makna

zahir berawal dari pengertian lafaz. Adapun makna isha>ri muncul dari para sufi

rentan mengabaikan masalah ini karena para sufi mengemukakan makna tersirat ayat

dibalik makna lahirnya yang dalam istilah sufi pengetahuan rabba>ni yang tidak

diperoleh orang awam. Umumnya banyak terjadi pada penafsiran sufi naz}ari dengan

pengaruh ajaran filsafat.

Imam al–Alu>si menyatakan bahwa apa yang dijelaskan oleh para sufi

tentang Alquran merupakan isyarat yang berhasil diungkapkan oleh para pelaku

tasawuf dengan latihan rohani. Bila para sufi mengambil makna batin saja tanpa

berpegang pada makna zahir maka mereka bisa dituduh melupakan shari‘at.77

Namun

lanjut al–Alu>si, siapa yang tidak memahami makna isha>ri jangan mengingkari

bahwa Alquran memiliki bagian batin yang dilimpahkan Allah kepada batin

75

Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,

1427/2006), Cet.ke-2,19. Kalau bahasa Jalaluddin Rakhmat, syari‟at bisa ditinggalkan lalu dengan

menerima takwil akhirnya meninggalkan tanzi>l. Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al–Fa>tih}ah,

(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1999), Cet. Ke–1, xv 76

Jalaluddin Rakhmat,Tafsir Sufi al–Fa>tih}ah (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1999),

Cet. Ke–1, xv 77

Bahasa al-Alusinya; رصيا ث إى ف اىطشعخ ثبىنيخ Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r

al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni (Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid I,

Cet. Ke–1, 28

Page 109: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

88

hambaNya yang dikehendaki.78

Dalam pandangan al–Alu>si di atas dipahami bahwa

makna isha>ri yang diungkapkan para sufi diperlukan untuk memahami batin ayat

disamping memperhatikan makna zahir.

Pada umumnya tafsir sufi naz}ari menggunakan takwil tidak terikat dengan

makna zahir ayat dan bertolaknya dari konsep sufistik sehingga penafsirannya sering

dinisbahkan pada tafsir batini. Dalam prakteknya, tafsir sufi naz}ari berpedoman

pada ajaran filsafat dan kajian teoritis tasawuf yang memang karakter penafsirannya.

Biasanya kajian teoritis tasawuf juga dipengaruhi oleh ajaran filsafat makanya prinsip

dalam pendekatan naz}ari terhadap kedua faktor tersebut selalu sejalan. Sebagai

contohkan penafsiran Ibnu Arabi yang mendukung ajaran wah}datul wuju>dnya.

Misal penafsiran ayat 163 surat al–Baqarah.

. الإى إال اىشد اىشد, إىن إى ادذ

Artinya; Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan yang

berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

ب : فيب قبىا . فب عجذا إال اهلل, اىز عجذا غش اهلل قشثخ إى اهلل . إ اهلل رعبى خبطت ف ز االخ اىسي

إ إىن اإلى اىز طيت اىطشك اىقشثخ إى ثعجبدح : فقبه اهلل ىب. عجذ إال ىقشثب إى اهلل فأمذا رمش اىعيخ

.مأن ب اخزيفز ف أدذز, زا اىز أضشك ث ادذ79

Menurut Ibnu Arabi, melalui ayat ini Allah berbicara pada kaum muslim

bahwa orang yang menyembah selain Allah dalam rangka mendekatkan diri

kepadaNya sebetulnya mereka menyembah Allah juga. Ingatlah, mereka

berkata: kami menyembah benda-benda ini tidak lain agar mendekatkan kami

kepada Allah. Selanjutnya Allah berkata: Sesungguhnya Tuhanmu dan Tuhan

orang-orang musyrik yang dijadikan sesembahan mereka adalah sama.

Berdasarkan penjelasan ini yang dipahami orang bahwa Ibnu Arabi

menyamakan semua agama dan masuk ke syirik. Dari pernyataan ini jelas

78

فال جغ ى ى أد عقو أ نش اضزبه اىقشا عي ثاط فعب اىجذأ اىفبض عي ثاط ضبء عجبد

Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni (Beirut:

Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid I, Cet. Ke–1, 29 79

Ibnu Arabi, Al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah. Beirut: Darul Fikri, 1424 H/2004 M, jilid.4, Cet.

Ke-1, 160. Dalam tafsir Ibnu Arabi,Bagaimana mungkin dikatakan syirik sebab selainNya tidak

memiliki wujud. فنف نن اىطشك ث غش اىعذ اىجذذ فال ضشك إال ىيجو ث. . Ibnu Arabi, Tafsir

Ibnu Arabi, Jilid 1, 84

Page 110: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

89

menimbulkan pemahaman yang kacau bagi umat yang selama ini sangat berhati–hati

terjerumus mendekati syirik.

Untuk memahami pernyataan Ibnu Arabi diatas, kita harus kenal teori Ibnu

Arabi tentang Tuhan kepercayaan. Tuhan kepercayaan berarti Tuhan dalam

pengetahuan, konsep atau persepsi manusia. Itu Tuhan yang diciptakan oleh

pengetahuan manusia sedangkan Tuhan yang sebenarnya tidak dapat diketahui seperti

apa. Pengetahuan yang benar tentang Tuhan menurut Ibnu Arabi pengetahuan yang

tidak terikat oleh bentuk kepercayaan. Ini pengetahuan yang dimiliki para

‘A<rifu>n.80

Dari keterangan diatas, Ibnu Arabi ingin mengembangkan paham bahwa

Tuhan berbeda dengan makhluk. Tuhan tidaklah seperti yang disangkakan oleh

hamba, artinya Ibnu Arabi juga mentanzihkan Tuhan dari unsur antropomorfisme.

Selanjutnya bantahan mengenai tuduhan bahwa Ibnu Arabi menyamakan

semua agama. Hal yang harus dipahami dari ajaran Ibnu Arabi tentang perintah

Tuhan seperti dijelaskan Kautsar, bagi Ibnu Arabi ada dua kategori perintah Tuhan

yaitu perintah penciptaan yang disebut dengan kehendak Ilahi dan perintah kewajiban

yang disebut dengan keinginan Ilahi. Berdasarkan perintah pertama maka semua

agama sama sesuai dengan perintah penciptaan artinya tidak ada yang bertentangan

dengan kehendak Ilahi.81

Apakah agama semua yang tercipta itu diterima oleh Allah

pengabdiannya, tentu bukan ini yang dimaksud Ibnu Arabi. Karena itu kita akan lihat

selanjutnya tentang perintah yang kedua.

Dari segi perintah kewajiban ternyata tidak semua agama benar sebab yang

benar adalah yang sesuai dengan perintah kewajiban atau keinginan Tuhan. Agama

yang benar ajarannya harus sesuai dengan wahyu yang disampaikan Tuhan kepada

para nabi. Perintah pertama dapat terpenuhi oleh semua makhluk sedangkan perintah

80

Ditegaskan Kautsar dengan ungkapan; Tuhan disangka bukan diketahui. Selanjutnya ia

tampilkan ungkapan Xenophanes ( + 570 – 480 SM ) ketika mengkritik antropomorfisme Tuhan pada

waktu itu, katanya; Seandainya sapi, kuda dan singa pandai menggambar tentu mereka akan

menggambarkan Tuhan menyerupai diri mereka. Kautsar Azhari Noer, Memahami Sufisme; Suatu

Tanggapan terhadap Beberapa Tuduhan (Bandung:Penerbit Angkasa–UIN Jakarta, 2003), Cet. Ke–1,

88–89. Dalam rangka mentanzihkan Tuhan maka manusia jangan sampai terjebak seperti kelakuan

hewan diatas yang diimajinasikan oleh Xenophanes. Wahyu Tuhan diturunkan sebagai hidayah bagi

manusia, sekaligus cara Tuhan berkomunikasi dengan manusia. 81

Kautsar, Memahami…, h. 90

Page 111: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

90

kewajiban ditujukan kepada manusia. Bagi yang mengingkari wahyu Tuhan tentu

akan celaka.82

Keterangan Ibnu Arabi ini terkait juga dengan kebebasan manusia

memilih jalan menuju keselamatan dunia akhirat. Bila semua agama memenuhi

perintah penciptaan berarti baru tahap diizinkan Tuhan sedangkan terhadap agama

yang memenuhi perintah kewajiban berarti masuk level diridhai Tuhan.

Tidak mudah memang untuk memahami makna isha>ri yang dimunculkan

para sufi, apalagi pemikiran sufi yang dipengaruhi ajaran filsafat. Sebetulnya para

sufi karena didorong kecintaan kepada Tuhan sehingga memunculkan pikiran–pikiran

mendalam yang dipahami lewat makna isha>ri yang sukar dipahami orang diluarnya.

Baik makna sufi isha>ri atau sufi naz}ari berusaha melihat makna batin ayat dengan

cara melakukan takwil. Dalam hal takwil yang digunakan para sufi dalam metode

penafsirannya bisa diklasifikasikan pada takwil jauh dan dekat.83

Bila sufi

menggunakan takwil terlalu jauh dari pengertian lafaz}nya maka penafsirannya

semakin sulit dipahami.

Bila diperhatikan tudingan yang ditujukan pada penafsiran sufistik karena

mengabaikan makna zahir dan itu seperti yang terjadi pada tafsir sufi naz}ari karena

terpengaruh ajaran filsafat. Sedangkan pada tafsir sufi isha>ri penafsiran mereka

cenderung mengakui makna zahir dan kemudian mengungkap isyarat yang yang

tersembunyi dibalik pengertian zahir. Ketidak setujuan pengkritik tafsir sufi lebih

diarahkan kepada penafsiran sufi naz}ari atau tafsir sufi falsafi seperti paham

ittih}a>d, h}ulu>l dan wah}datul wuju>d yang tidak bisa diterima para kelompok

salafi–sunni.

2. Makna zahir dan makna batin dalam tafsir sufi

Dasar yang dipegang oleh para sufi dalam memahami ayat bahwa mereka

sangat mengakui setiap ayat mengandung makna zahir dan batin. Seperti dijelaskan

82

Kautsar, Memahami Sufisme; Suatu Tanggapan terhadap Beberapa Tuduhan

(Bandung:Penerbit Angkasa–UIN Jakarta, 2003), Cet. Ke–1, 91 83

Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,

1427/2006), Cet.ke-2,19.

Page 112: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

91

adh–Dhahabi, para sufi mengakui akan makna zahir ayat sebagaimana mereka juga

mengakui makna batin ayat. Ketika menafsirkan makna batin mereka berpijak pada

amalan ibadah yang dilakukan. Berkenaan dengan ini ada hadis yang diriwayatkan

Daylami dari Abdurrahman bin „Auf bahwa Nabi mengatakan Alquran berada

dibawah ‘arsh, ia memiliki makna zahir dan batin.84

Adapun yang dimaksud dengan

zahir Alquran adalah lafaz Alquran yang tersusun dalam bahasa Arab, ini bisa

dipahami secara umum oleh yang mengerti bahasa Arab. Sedangkan batinnya adalah

maksud yang dikehendaki Allah diluar lafaz} dan struktur ayat.85

Untuk yang terakhir

hanya dapat dilakukan dengan menakwilkan ayat. Pernyataan yang disampaikan adh–

Dhahabi diatas dan juga disepakatinya bahwa para mufasir tidak akan meninggalkan

makna zahir dalam mengambil makna batin.

Persoalan mengenai makna batin dan zahir bersinggungan dalam hal porsi

yang diberikan masing–masing mufasir dalam mengakomodir makna zahir. Ada

diantara mereka yang memberikan perhatian besar pada makna zahir ayat ada pula

yang sebaliknya. Sehubungan dengan itu ada yang mengakui makna zahir tapi dalam

tafsirnya tidak diterapkan. Seperti diakui oleh as–Sulami dalam tafsirnya, bahwa ia

tidak menolak makna zahir tapi tafsir yang disusunnya hanya menghimpun berbagai

pendapat ahli hakikat.86

Untuk menafsirkan Alquran seseorang tidak dapat meninggalkan makna

zahirnya, bagaimana bisa memahami makna batin bila tidak memahami pengertian

lahirnya atau arti lafz}inya. Ibaratnya seperti kata ulama kalau ingin berada dalam

masjid tentu melewati pintunya, tidak mungkin langsung ada di masjid. Artinya kalau

mengaku berada dalam masjid tapi tidak melalui pintu berarti samahalnya

menafsirkan ayat meninggalkan makna zahir.

Adh–Dhahabi menegaskan, penafsiran tanpa melihat makna zahir adalah

termasuk kelompok tafsir bat}iniyyah. Aliran batiniyah tidak mengakui makna zahir

84

:Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo اىقشا رذذ اىعشش ى ظش ثط ذبج اىعجبد

Tp, 1396/1976),juz 2, 262 dan 4 85

Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 265 86

Lihat, Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,285

Page 113: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

92

Alquran, mereka hanya mengakui makna batin saja. Disamping itu penafsiran

bat}iniyyah dalam menafsirkan Alquran juga bersandar hanya pada yang disepakati

aliran mereka. Bentuk tafsir seperti ini digolongkan adh-Dhahabi tafsir sesat dan

bid„ah.87

Senada dengan itu, an–Nasafi menjelaskan dalam kitab al–‘Aqa>id yang

diberi komentar oleh Taftazani mengatakan bahwa para ahli batiniyah mengakui

makna secara batin dan meninggalkan makna zahir. Sementara ahli hakikat

memahami ayat secara batin dan zahir, itulah yang sempurna iman dan memperoleh

pengetahuan ‘irfa>ni.88

Uraian diatas memberi kejelasan bahwa kekeliruan mufasir bat}iniyyah

terletak pada penolakan mereka terhadap makna zahir. Ini berbeda sekali dengan

metode tafsir sufi yang masih mengakui makna zahir. Alasan ini pula yang dapat kita

tangkap bahwa penafsiran sufistik tidak bisa dikatakan tafsir batiniyah. Tafsir sufi

lebih cenderung dikatakan dengan tafsir isha>ri untuk membedakan dengan tafsir

bat}ini. Karena penafsiran sufistik mengungkap makna batin sesuai dengan isyarat

yang terselubung yang dipahami oleh pelaku sulu>k disebutlah dengan tafsir sufi

isha>ri. Disamping itu penafsiran sufistik yang mengungkap makna batin melalui

kajian dan nalar maka disebut dengan tafsir sufi naz}ari.

Berkaitan dengan makna batin dalam tafsir sufi, dijelaskan oleh Ahmad

Abdurraziq al-Bakri sebagai muhaqqiq dalam tafsir at}-T{abari bahwa orientasi

mufasir sufi dan bat}ini dua hal yang berbeda. Orientasi sufi lebih kepada dhauq (

pengalaman ruhani, ibadah) yang bersandar pada zahir ayat.89

Sementara bat}ini tidak

melandaskan pada zahir ayat.

Ada tiga hal yang harus dipenuhi terkait dengan makna batin. Pertama, bahwa

makna batin masih sesuai dengan pemahaman secara makna zahir Alquran. Kedua

ada ayat atau dalil shar‘i lain yang mendukung akan makna batin tersebut sehingga

87

Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 264 88

Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 264 89

Ahmad Abdurraziq al-Bakri, dkk,. Dalam Ibnu Jari>r at}-T}abari, Ja>mi’ al–Baya>n fi>

Tafsi>r al-Quran (Kairo: Darussalam, 1425/2005), Cet.Ke-1,ii

Page 114: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

93

makna batin tersebut tidak berlawanan dengan aturan shara‘. Ketiga, makna batin

tidak memberikan takwil menyimpang (jauh).90

Berkenaan dengan makna zahir dan makna batin dalam tafsir sufi melahirkan

tafsir sufi naz}ari dan isha>ri. Secara umum tafsir sufi memahami ayat tidak saja

berdasarkan pengertian lahir tapi juga menakwilkan ayat diluar makna zahir. Dalam

mneggunakan takwil muncul dua jenis penerapan, pertama terkait dengan teori

filsafat, kedua berangkat dari latihan rohani. Kalau dianalisis perkembangan tafsir

sufi maka yang pertama melahirkan tafsir sufi naz}ari yang menafsirkan ayat

berdasar teori filsafat dan pembahasan tasawuf bisa dikatakan ia kelompok sufi

falsafi. Kedua, kelompok yang menafsirkan ayat berdasar riya>d}ah ru>h}ani atau

menjalankan tarekat berarti ia dikatakan sufi isha>ri. Identifikasi ini dapat saja

dilakukan simultan dialami oleh para sufi artinya disamping mereka membahas

konsep tasawuf sekaligus juga sebagai pelaku tasawuf (pengamal tarekat).

D. Aspek Kajian Tasawuf dalam Penafsiran Sufistik

Memahami ayat tasawuf bukanlah hal yang mudah apalagi membuat

klasifikasi ayat–ayat dari aspek demikian. Samahalnya ketika memahami tentang ayat

mutasha>biha>t yang sering memunculkan perdebatan.91

Ayat yang terkait dengan

kajian aspek tasawuf adalah ayat–ayat Alquran yang dijadikan landasan ajaran

tasawuf. Secara umum, ayat–ayat Alquran dapat dikategorikan berdasarkan aspek

ajaran agama seperti aspek kalam-aqidah, fiqh, tasawuf, ibadah, muamalah dan

seterusnya. Kitab–kitab tafsir yang ditulis para ulama sudah barang tentu

mengandung kesemua unsur aspek tersebut hanya dengan fokus penafsiran yang

90

Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,

1427/2006), Cet.ke-2,19. Lihat juga; Muhammad Hamdi Zaglul, at–Tafsi>r bi ar–Ra’ yi

(Dimaskus:Maktabah al–Farabi, 1420/1999), Cet. Ke–1,442-3 91

Paling tidak ada tiga hal yang terkait dengan persoalan mutasyâbihat yaitu; pengertian

mengenai apa itu ayat mutasha>biha>t, menentukan mana saja ayat yang tergolong mutasha>biha>t

kemudian mengenai pemahaman yang dikandung oleh ayat mutasha>biha>t itu. Lihat juga;Quraish

Shihab, (Et.all), Sejarah dan Ulumul Qura>n (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke-3, 64.

Page 115: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

94

berbeda–beda.92

Ada juga ulama tafsir yang menafsirkan terbatas satu aspek saja

diantaranya tafsi>r ayat ah}ka>m karya ash–Shabuni bidang fiqh dan tafsi>r at–

Tustari karya Sahl at-Tustari bidang tasawuf.93

Untuk menentukan klasifikasi ayat–

ayat yang berhubungan dengan aspek ajaran agama tadi ada yang mudah dipahami

secara eksplisit dan ada yang samar. Untuk mengidentifikasi jenis terakhir akan

membawa banyak perbedaan dikalangan ulama.

Menyangkut penafsiran sufistik, para sufi sulit untuk seragam dalam

mengidentifikasikan ayat–ayat yang becorak tasawuf karena mereka memahami ayat

Alquran berdasarkan pengalaman ruhani dan berdasarkan praktek amalan ibadah.

Menyangkut pengalaman rohani itu sangat subjektif, begitu juga sufi naz}ari

memandang ayat sesuai pula dengan teorinya misalnya bidang filsafat.

Jika didasarkan kepada aspek pokok yang terkandung dalam menjalankan

tasawuf yaitu terkait dengan penyucian jiwa dan mendekatkan diri kepada Tuhan

sehingga akhirnya hati merasakan kehadiran Tuhan,94

maka dua hal tersebut menjadi

unsur dalam penafsiran sufistik . Paling tidak berdasarkan aspek pokok inti tasawuf

ini dapat digunakan dalam mengidentifikasi ayat-ayat yang bercorak tasawuf. Selain

itu, penelusuran ayat-ayat tasawuf dapat pula dilakukan dengan merujuk pada ajaran-

ajaran atau kajian tasawuf seperti menyangkut maqa>m atau h}a>l dan sebagainya.

Dengan demikian, untuk mengidentifikasi penafsiran sufistik juga dapat dilihat dari

uraian penafsirannya yang membahas tentang upaya mendekatkan diri kepada Tuhan

atau penyucian jiwa.

Mengenai tafsir Sa„id H{awwa yang dipandang memiliki kecenderungan

tasawuf disajikan lengkap seperti kitab tafsir lainnya, susunannya mencakup semua

92

Para sarjana telah melakukan kajian tentang aspek ini seperti meneliti Corak Kalam dalam

Tafsir al–Azhar, Corak Kalam Tafsir al–Maraghi, Penafsiran Isha>ri Tafsir Ru>h} al-Ma’a>ni dan

sebagainya. Penelitian ini mengkaji pemikiran mufasir terkait dengan aspek yang dimaksud. 93

Untuk tafsir dengan kecenderungan bidang fiqh yang disusun utuh meliputi semua ayat

dengan metode tahli>li seperti tafsir Muni>r karya Wah}bah Zuhaili. Penelitian mengenai kitab ini

berarti mengkaji tentang pemikiran fiqh Wahbah Zuh}aili. 94

Harun Nasution, Tasawuf, dalam Budhi Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam

dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke-2, 161

Page 116: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

95

ayat yang ditafsirkan.95

Dalam hal ini penulis melakukan penelitian terbatas pada

ayat–ayat tasawuf dalam tafsir Sa„id H{awwa yang didasarkan kepada tema–tema

kajian tasawuf serta ajaran tasawuf seperti yang tercermin dalam maqa>m dalam

tasawuf. Mengenai maqa>m, penulis akan mengkaji beberapa ajaran tasawuf tersebut

yang populer dan disepakati para sufi. Menyangkut konsep mengenai tema kajian

dimensi ajaran tasawuf adalah seperti konsep kashaf, ittih}a>d, muja>hadah dan

kara>mah. Selanjutnya dua pokok bahasan tersebut akan dibahas dalam penelitian

ini, pada bab IV dan V.

__________

95

Cara menyajikan penafsiran Alquran secara utuh dari berbagai aspeknya sesuai urutan

mushaf disebut dengan metode tahlîli. Lihat; Abdul H{ayy al–Farmawi, al-Bida>yah fi> at–Tafsi>r

al–Maud}u>‘i (tt:tp, 1397/1977), Cet. Ke–2, 24. Termasuk padanya tafsir Sa„id H{awwa, tafsir

Munirnya Wah}bah Zuh}aili dan lainnya.

Page 117: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

96

BAB IV

METODOLOGI PENAFSIRAN AYAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIK

SA‘ID H{AWWA TENTANG MAQA<M TASAWUF

Pembahasan dalam bab ini mengkaji tentang penafsiran Sa‗id H{awwa terkait

dengan konsep maqa>m yang dijalani oleh para pengamal/pelaku tasawuf. Maqa>m

atau station merupakan tahapan–tahapan yang harus ditempuh oleh para sufi untuk

dapat meningkat terus mencapai hubungan yang dekat dengan Allah. Maqa>m–

maqa>m yang dikemukakan disini adalah yang secara tidak langsung disepakati para

ahli tasawuf, yang dikutip dari berbagai pendapat yang dinyatakan dalam buku

tasawuf.1 Maqa>m–maqa>m dimaksud mempunyai dasar pengambilan dalam

Alquran. Ini menunjukkan bahwa prinsip ajaran tasawuf muncul dalam Islam sesuai

dengan petunjuk ayat Alquran. Sebagai keperluan penelitian disertasi ini penulis

kemukakan maqa>m–maqa>m yang populer muncul dikalangan ahli tasawuf2 yaitu

tobat, zuhud, sabar, tawakal dan rid}a serta mah}abbah.3 Pembatasan kajian dengan

1 Dikalangan ahli tasawuf sebagaimana tercermin dalam buku–bukunya ada sedikit perbedaan

dalam menyatakan maqa>m-maqa>m yang harus dilalui oleh para suluk. Perbedaannya bisa dalam

urutan ataupun jumlah maqa>m yang ditempuh, seperti Abu Bakar al–Kalabazi dalam buku at-

Ta‘arruf li Mazhab Ahli Tasawuf menyebutkan maqa>m adalah; tobat, zuhud, sabar, faqir, tawa>d}u‘,

taqwa, tawakal, rid}a, mah}abbah. Lihat; Abu Bakar Muhammad Al-Kalabazi, At-Ta‘arruf li madh-

hab Ahli at-Tas}awwuf (Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388/1969), Cet.ke-1,194

Abu Nas}r at}–T{usi menyebutkan dalam al–Luma’; tobat, wara‘, zuhud, faqir, sabar,

tawakal dan rid}a. Al–Ghazali dalam Ih}ya’ ‘Ulu>muddin menyebutkan; tobat, sabar, faqir, zuhud,

tawakal, mah}abbah dan ma’rifah. Selain itu, Abu al–Qasim Abdul Karim al–Qushairi menyebut

maqa>ma>t itu ialah : tobat, wara‘, zuhud, tawakal, sabar dan rid}a. Ada banyak lagi pendapat tentang

maqa>m dikemukakan yang hampir senada dengan demikian. Harun Nasution, Falsafat dan

Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 62. Al-Ghazali, Ih}ya’ Ulum ad-

Din (Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi wa Aula>dihi, 1939/1358) Jilid 4

2 Maqa>m–maqa>m ini yang sering dikemukakan ahli tasawuf sebagaimana dinyatakan juga

oleh Harun Nasution. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1992), Cet. Ke–8, 63

3 Setentangan dengan mah}abbah dikelompokkan sebagai maqa>m untuk dikaji

penafsirannya karena banyak ayat–ayat secara eksplisit mengungkap masalah tersebut. Sekalipun

mah}abbah ini sebagaimana ma’rifah ada juga disebut sebagai h}a>l dalam ilmu tasawuf seperti

pendapat al–Junaid (w.381H). Bahkan diatas mah}abbah dan ma’rifah ada lagi keadaan jiwa dalam

bertasawuf yang masih kontroversial seperti keadaan ittih}a>d, h}ulu>l serta wahdatul wuju>d.

Lihat; Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–

8, 75. Lihat juga; Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas,

1994), Cet. Ke–19, 90-98

Page 118: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

97

pertimbangan bahwa tema tersebut yang sering diungkapkan oleh para ahli tasawuf

sebagai jenjang tahapan dalam bertasawuf. Mengingat tema–tema tersebut memiliki

landasan kuat yang terungkap dalam Alquran .

Maqa>m–maqa>m yang diangkat dalam penelitian ini akan dieksplorasi

secara tematis dalam Alquran. Tema–tema dari maqa>m tersebut diidentifikasi dalam

ayat–ayat melalui penafsiran Sa‗id H{awwa untuk kemudian dideskripsikan dan

dianalisis komparatif guna mengetahui metodologi penafsiran serta corak pemikiran

tafsir sufistik Sa‗id H{awwa.

A. Tafsir tentang Ayat-Ayat Tobat

Tobat menurut istilah para sufi adalah kembali kepada ketaatan dari perbuatan

maksiat, kembali dari nafsu kepada haq (jalan kebenaran).4 Dalam kitab ta’rifa>t

dijelaskan bahwa tobat adalah kembali kepada Allah dengan melepaskan ikatan yang

membungkus hati (mengekang) kemudian bangkit menuju ( memenuhi ) hak Rab

(Tuhan semesta alam).5 Sementara itu zunnun al-Misri membaginya bahwa tobat

orang awam dari dosa, tobat orang khusus dari kelalaian dan tobat para nabi ketika

melihat kelemahannya dalam ibadah dibandingkan dengan keberhasilan yang

dicapai.6 Sahl at-Tustari pernah ditanya; apakah tobat itu ? jawabnya; Tobat itu

maksudnya ialah jangan lupa terhadap dosamu.7 Jawaban Sahl ini mengisyaratkan

bahwa dalam bertobat kita harus menyadari sungguh–sungguh akan dosa yang

dilakukan baik terkait dengan Allah atau kaitannya dengan manusia lain dan selalu

mengharap ampunan Allah bahkan terhadap dosa apapun yang harus dihindari.

4 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 64 5 Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah,

1988/1408 H), Cet. Ke–3, 70. Terdapat juga dalam; Abi Khazam, Mu’jam …, 64

6 Abu Bakar Muhammad Al-Kalabazi, At-Ta‘arruf li madh-hab Ahli at-Tas}awwuf (Kairo:

Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388/1969), Cet.ke-1,111

7 Abi Khazam, Mu’jam …, h. 64. Dari pengertian ini ditegaskannya tobat itu wajib setiap saat,

maka inilah yang disebut at–ta>ib ازبئت , Lihat juga; Sahl at-Tustari, At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy

(Beirut:Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 74

Page 119: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

98

Sejalan dengan pemahaman tobat diatas, ditemukan dalam Alquran berbagai bentuk

penjelasan tentang tobat. Penulis akan uraikan penafsiran Sa‘id H{awwa tentang

ayat–ayat yang terkait dengannya.

1. Ayat delapan surat at- Tah}ri>m ( 66)

Sehubungan dengan perintah bertobat, ditemukan ayat yang ditujukan Allah

kepada orang beriman dengan menekankan tentang tobat murni yang terdapat dalam

ayat 8 surat at- Tah}ri>m ( 66 ).

.

Mengenai makna tobat nas}u>ha dikemukakan dalam tafsir Sa‗id Hawwa;

ر , رثخ صبدلخ جبصخ رذ ب لجب اغ١ئبد: لبي اث وض١ش. رثخ صبدلخ أ خبصخ: أ

.شؼش ازبئت رجؼ رىفش ػب وب ٠زؼبؼب اذبءاد9

Artinya: tobat yang benar atau yang murni. Ibnu Kathir mengatakan dengan

tobat yang benar dan memutuskan maksudnya menghapus kesalahan-

kesalahan sebelumnya. Menghimpun yang terserak atau mengumpulkannya

dan menghapuskan segala perbuatan yang hina.

Istilah tobat nas}u>h}a> dalam ayat diatas dimaknai oleh Sa‗id H{awwa

yaitu tobat s}a>diqah (jujur, benar) dan kha>lis}ah (murni, bersih, tulus).

Selanjutnya dijelaskannya dengan mengutip Ibnu Kathi>r bahwa taubat nas}u>h}a>

adalah tobat yang menghapus kesalahan yang lewat. Berbagai kekusutan ataupun

kesalahan yang membuat diri terhina dan rendah lalu dihimpun dan menjadi terhapus

8 Artinya; Hai orang yang beriman tobatlah kamu kepada Allah dengan tobat yang

sesungguhnya ( رثخ صدب ), Tuhanmu akan menghapus kesalahanmu dan memasukkan kamu ke

dalam surga yang mengalir sungai–sungai dibawahnya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘

al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

9 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet.

Ke–6, 6004

Page 120: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

99

dengan tobat.10

Artinya tobat tersebut berfungsi menghilangkan dan menghapus

kesalahan. Tobat juga dipahami dapat memutus rangkaian dosa ibarat memutus tali

yang mengikat suatu benda. Apabila ujung tali dekat benda tersebut dipotong maka

tidak ada lagi hubungan tali dengan benda tersebut. Begitulah tujuan yang

dikehendaki dari tobat nas}u>ha.

Selanjutnya dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa dengan mengutip tafsir an-Nasafi;

رذػ ئ ضب ظس أصشب ف صبدجب اعزؼب اجذ : ٠شاد رثخ رصخ ابط أ

.اؼض٠خ ف اؼ ػ مزع١برب11

Dan yang dimaksud juga adalah tobat yang memberi pengaruh pada manusia

lain. Artinya dengan bertobat, dapat mendorong orang lain agar mengikuti

seperti demikian karena pengaruhnya tampak nyata dalam kehidupan orang

yang bertobat itu sendiri. Merealisasikan tobat dalam prilaku yang

ditunjukkan dalam aktifitasnya dengan kesungguhan dan keinginan kuat.

Tobat seperti ini secara langsung memberi pelajaran kepada manusia karena

pengaruhnya jelas bagi pelaku tobat dengan niatnya yang bulat dan ditunjukkan

dengan amal saleh yang dapat disaksikan. Orang yang betul–betul bertobat tidak

hanya memberi manfaat kepada dirinya sendiri tapi orang lain merasa terajak karena

prilaku yang ditampakkannya setelah melakukan tobat. Pengertian dari penafsiran

Sa‗id H{awwa ini menunjukkan bahwa prinsip dalam tasawufnya ingin membangun

manusia yang berhati bersih dan dekat dengan Tuhan secara kolektif. Proses untuk

membentuk masyarakat supaya berhati suci dan merasakan dekat dengan Tuhan

menurut Sa‗id H{awwa tidak perlu mengambil jalan tarikat. Ia menginginkan tasawuf

seperti yang dilakukan para salafi dengan berpedoman pada Alquran dan Sunnah.12

10

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet.

Ke–6, 6004

11 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet.

Ke–6, 6004

12 Disebutnya bahwa Ia bukan merusak hubungan para pelaku tarikat dengan shaikh. Ia juga

menjelaskan bahwa dirinya tidak ada keterkaitan dengan tarikat. اشزشؼذ ػ ازصف أ ال أل١ذ فغ

. غذ دش٠صب ػ أ ٠فط ابط ػ ش١خ. ثؽش٠مخ , Lihat; Sa‗id Hawwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah

(Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 12.

Page 121: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

100

Tobat yang berimplikasi pada orang lain sehingga tercermin dalam prilaku

sehingga secara tidak langsung terbangun tobat secara kolektif. Selain itu, terlihat

juga bahwa Sa‗id H{awwa tidak menginginkan terkonsenterasi pada satu sistem

seperti guru tarikat. Artinya tasawuf dapat dilakukan oleh individu-individu tapi

bermakna kolektif. Bila masing-masing orang menjalankan aspek-aspek tasawuf tentu

akan tercipta gerakan tasawuf massal. Keinginan Sa‗id H{awwa ini tercermin dalam

tafsir sufistiknya yang menekankan aspek praktis dalam memahami ayat. Salah satu

indikatornya adalah dengan berpegang pada makna zahir ayat ketika menjelaskan

makna sufistiknya dan ia menghindari penjelasan yang abstrak.13

Seterusnya penjelasan mengenai janji Allah sebagaimana tercantum dalam

ayat bahwa Allah akan memasukkan orang yang bertobat kedalam surga, menurut

Sa‗id H{awwa hal itu terjadi jika melakukan tobat nas}u>h}a>.14

Sementara itu

Tustari dalam tafsirnya mengemukakan bahwa tobat nas}u>h}a> tidak berbuat

kembali kesalahan. Ibaratnya; Orang yang suka ( muh}ib / hamba ) tidak mau

menghampiri pada sesuatu yang tidak disukai kekasihnya (Allah). Tanda orang

bertobat menurut Tustari tidak menghiraukan bumi atau langit tapi jiwanya

menempati posisi berada di ’arsh dan disisi Allah sampai ia meninggal dunia. Bila

orang jarang bertobat, ketika saat didatangi malaikat maut maka ia akan berkata

tinggalkan aku, berikan aku kesempatan hidup untuk dapat berbuat baik. Selanjutnya

bagi orang yang bertobat mukhlis} ketika menghadapi maut, dikatakan baginya;

Alangkah cepatnya engkau datang, jawabnya; kami datang sekira / sebagaimana

engkau datang. 15

Selanjutnya ditegaskan Sa‗id H{awwa terkait taubat nas}u>h}a> dengan

mengutip perkataan Umar bin Khattab bahwa dalam bertobat artinya seseorang tobat

dari dosa kemudian tidak mengulanginya atau tidak ada keinginan kembali lagi pada

13

Salah satu syarat tafsir sufi isha>ri adalah tidak keluar dari makna zahir ayat. adh–

Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,279.

14 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet.

Ke–6, 6005

15 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 171

Page 122: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

101

dosa untuk selamanya.16

Menurut Sa‗id H{awwa tobat yang paling tinggi adalah yang

dilakukan secara istimra>r (berkelanjutan) sampai berpisah dengan dunia. Ini sesuai

dengan kandungan dari riwayat yang dikemukakan bahwa makna tobat tidak ingin

kembali pada dosa artinya bertobat terus menerus sehingga hati tertutup untuk

berbuat dosa. 17

Tidak saja terhadap dosa yang lewat, bahkan untuk berbuat dosa yang

baru tidak ada celah lagi karena dalam pikiran selalu ingat dosa.18

Dalam tafsirnya, Sa‗id H{awwa mengemukakan pandangan ulama terkait

dengan proses bertobat. Pertama, harus meninggalkan atau mencabut sedalamnya

akan perbuatan dosa. Kedua, menyesali perbuatan salah pada masa lalu dan bertekad

untuk tidak melakukan pada masa datang. Ketiga, berkenaan dengan hak dan

kesalahan dengan manusia harus diselesaikan haknya. Jadi tobat itu memutus

kesalahan masa lalu sebagaimana Islam memutus ajaran sebelumnya (jahiliyah).19

Penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari dalam memaknai tobat nas}u>h}a> sebagai

maqa>m yang tetap pada seseorang sampai ia meninggal dan ditegaskan bahwa ia

tidak bakal kembali lagi. Hal beginilah yang menjadikan sesorang masuk surga sesuai

janji Allah pada ayat tersebut sebagai balasan dari tobat nas}u>h}a>.

Penafsiran Sa‗id H{awwa tentang tobat pada ayat ini lebih kepada perubahan

prilaku dan dapat ditunjukkan dengan amal saleh. Prilaku dan amal saleh bertujuan

agar kesadaran orang yang bertobat dapat berpengaruh pada orang lain. Nas}u>h}a>

dalam hal ini adalah tobat yang dilakukan sepanjang hayat. Sebab dengan tobat

begitulah dapat merasakan hubungan yang dekat dengan Allah. Disamping merasa

dekat juga menyucikan rohani, bila rohani senantiasa bersih dengan tobat maka dapat

16

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet.

Ke–6, 6013 17

–Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at ششغ ازثخ اصح االعزشاس ػ ره ئ ابد ص ال ٠ؼد ف١ أثذا

Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6013

18–Tobat itu adalah kamu tidak lupa terhadap dosa. Sahl at-Tustari, At ازثخ أ ال رغ رجه

Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut:Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 74

19 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet.

Ke–6, 6014

Page 123: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

102

membuka tabir antara hamba dengan rahasia gaib yang dalam istilah tasawuf dikenal

dengan kashaf. 20

Makna tobat yang dijelaskan Sa‗id H{awwa sejalan dengan konteks ayat

secara zahir. Ia kemukakan juga riwayat serta pandangan ulama untuk mendukung

penafsirannya, seperti riwayat Umar bin Khat}t}ab, pandangan at-Tustari, Ibnu

Kathir dan an-Nasafi. Tobat yang berkelanjutan demikianlah yang bisa menghapus

kesalahan–kesalahan. Kesamaan pandangan Sa‗id H{awwa dengan at-Tustari dalam

penafsiran tersebut, menjadi indikasi bagi ciri sufistik penafsiran Sa‗id Hawwa.

Dijelaskan juga dalam tafsir Ibnu Arabi bahwa tobat nas}u>h}a> berfungsi

memperbaiki jiwa yang rusak, membetulkan yang salah atau menutup yang cacat,

sebab hal yang rusak, salah atau cacat tersebut tidak dapat baik kembali kecuali

dengan tobat. Tobat inilah yang disebut dengan tobat kha>lis}ah yaitu murni dari

ketercampuran atau tercemar dari kecenderungan kepada hal–hal yang mengandung

dosa kepada posisi ia bertobat ( .( رثخ خبصخ ػ شة ا١ ئ امب از ربة ػ21

Penafsiran Ibnu Arabi terkait dengan tobat nas}u>h}a> menegaskan bahwa dengan

tobat nas}u>h}a> seseorang terlepas dari dosa, naik (taraqqi) dari maqa>m yang

masih tercemar dengan dosa ke maqa>m tobat yang membuka hijab antara hamba

dengan Tuhan. Maqa>m ini memperbaiki dan menyempurnakan yang rusak dari

kesalahan dan dosa.22

Inti dari penafsiran Ibnu Arabi dengan Tustari dan Sa‗id H{awwa sama–sama

berlandaskan pada makna zahir, tobat nas}u>h}a>. Artinya penafsiran sufistik

mereka dalam hal ini masih tetap memperhatikan zahir ayat. Dengan tobat

nas}u>h}a> mereka sepakat bahwa kesalahan dan dosa yang diperbuat dapat bersih

dan membuat jiwa suci untuk kembali kepada Tuhan. Karena tobat dilakukan terus

20

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 147.

21 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 333

22 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 333

Page 124: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

103

menerus maka kedekatan dengan Tuhan dapat dirasakan yang diwujudkan dengan

terbuka h}ijab oleh Ibnu Arabi. Hanya dengan jiwa yang suci itulah menjadikan

hamba masuk surga sejalan dengan kandungan ayat diatas.

Menurut tafsir Ibnu Arabi, surga yang disiapkan tersebut mempunyai

tingkatan sesuai dengan tingkatan tobat seseorang. Awal dari tingkatan tobat

menurutnya adalah meninggalkan maksiat dan kembali kepada Allah, sedangkan

tingkatan terakhir adalah kembali kepada Allah dari menjauhi dosa apapun sesuai

pemahaman ahli hakikat yaitu dosa–dosa yang merupakan bagian dari induk dosa

besar.23

Disamping itu Sa‗id H{awwa juga mengenal tingkatan tobat bahwa yang

paling tinggi adalah istimra>r dalam bertobat dimana tidak terbatas pada tujuan

penghapusan dosa yang lalu tapi terus menerus bertobat sampai badan berpisah

dengan dunia.24

Kualifikasi tobat demikian berimplikasi kepada upaya menghindari

dosa–dosa lain (tidak semata–mata menutup dosa lampau) sehingga membentuk jiwa

yang suci yang selalu merasa dekat dengan Tuhan.

Makna utama dari penafsiran Tustari dan Ibnu Arabi tentang tobat

nas}u>h}a> dalam ayat diatas yaitu terbuka hijab antara hamba dan Allah. Tustari

memaknainya dengan berhubungan langsung dengan Allah dimana hamba tidak

merasa bergantung kepada bumi dan langit tapi melampaui keduanya yaitu berada

dekat disisi Allah. Adapun Ibnu Arabi menjelaskan bahwa tobat demikian

membukakan hijab dimana hamba naik menuju Tuhan dengan istilah taraqqinya.

Pandangan demikian tidak ditemukan dalam tafsir Sa‗id H{awwa baik istilah taraqqi

ataupun hijab. Tampak disini bahwa Sa‗id H{awwa lebih dekat pada makna zahir

dalam mengemukakan makna isha>rinya dibanding seperti yang ditunjukkan oleh

Tustari dan Ibnu Arabi. Satu sisi Sa‗id H{awwa dengan Ibnu Arabi dan Tustari

mempunyai kesamaan dalam tujuan dan implikasi tobat nas}u>h}a> serta tingkatan

tobat tapi pada sisi taraqqi dan hijab Sa‗id H{awwa tidak tegas menyatakan

demikian, padahal dengan istilah istimra>rnya dalam bertobat sebetulnya

23

Ibnu Arabi, Tafsir, Jilid 2, h. 333 24

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet.

Ke–6, 6013

Page 125: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

104

menunjukkan jiwa yang bersih dan merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan.25

Disini Sa‗id H{awwa tidak memberikan istilah demikian untuk menunjukkan makna

tobat supaya pengertiannya tidak abstrak. Karena makna abstrak tersebut sulit bagi

orang umum memahami dan mengamalkan apalagi tidak didukung oleh keterangan

lain sehingga maknanya terlihat jauh dari zahir ayat.

2. Ayat tiga surat Hud (11)

Perintah tobat pada ayat lain seperti surat Hud (11) ayat 3;

أ اعزغفشا سثى ص رث ئ١

Makna ayat ini dinyatakan oleh Sa‗id Hawwa yaitu;

اعزغفش ازت ص اسجؼا ئ١ ثبؼبػخ: ص رثا ئ١ أ26

.

Tobatlah kamu kepadaNya (Allah) maknanya adalah Mohon ampunlah

kepadaNya dari dosa kemudian kembalilah kepadaNya dengan ketaatan.

Tobat dalam pengertian Sa‗id Hawwa dalam hal ini sama dengan yang

dikemukakan dalam istilah para sufi. Seperti dijelaskan oleh Abi Khazam yaitu

kembali kepada ketaatan dari perbuatan maksiat.27

Pengertian mendalam dijelaskan oleh Sa‗id Hawwa bahwa tobat tidak cukup

hanya mohon ampun terhadap dosa yang lalu saja tapi dilakukan berkelanjutan;

. ازثخ ازة ئ اهلل ػضج ف١ب رغزمج أ رغزشا ػ ره28

Tobat dari segala dosa yang akan kamu hadapi masa datang dan lakukanlah

olehmu secara terus-menerus.

Penafsiran ini mengandung makna bahwa manusia dalam menjalani

kehidupan akan selalu menghadapi berbagai kesalahan dan kealpaan maka sudah

sewajarnya tobat dilakukan setiap hari (istimra>r). Dengan melakukan tobat

demikian, maka kesalahan-kesalahan dan maksiat lebih mudah terhindari terlebih

25

Dengan terhapusnya dosa, sesuai dengan makna ayat QS. At-Tah}ri>m: 66 26

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6, 2532 27

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 64 28

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6, 2532

Page 126: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

105

dahulu karena selalu ingat akan dosa. Dengan sering melakukan tobat, akan

meningkatkan kesucian jiwa dan terasa semakin dekat dengan Allah. Makna isha>ri

yang dikemukakan Sa‗id Hawwa diatas sejalan dengan kandungan zahir ayat. Tujuan

bertobat supaya menjadikan seseorang kembali kepada Allah dengan ketaatan yang

dicerminkan dengan tobat terus menerus. Penafsiran Sa‗id H{awwa tersebut

didukung oleh pengertian yang diberikan at-Tustari, ia menjelaskan dengan membuat

urutan pertama istighfa>r–ina>bah –taubat ; istighfa>r sifatnya secara zahir,

ina>bah dengan hati sedangkan taubat maknanya istighfa>r yang berkekalan (tetap)

dari dari pada kesalahan dan lalai.29

Penjelasan Sa‗id H{awwa dalam tafsirnya

memiliki kesamaan makna dengan yang dikemukakan at-Tustari. Penafsiran mereka

sama-sama menghendaki tobat dilakukan terus-menerus. Sementara itu makna tobat

dalam tafsir Ibnu Arabi رثا ئ١ berarti kembalilah kepada Allah dengan fana>’

dha>ti (meleburkan diri).30

Pengertian yang dikemukakan Ibnu Arabi ini sangat

berbeda dengan yang dipahami oleh Sa‗id H{awwa atau at-Tustari. Ibnu Arabi dalam

tafsirnya juga tidak menyertakan riwayat atau pandangan lain yang mendukung

penafsirannya.

Dari beberapa penafsiran tentang perintah tobat ini dipahami bahwa Sa‗id

H{awwa dan Tustari masih terlihat menafsirkan sufistik ayat sangat dekat berpegang

pada makna zahir. Makna tobat bagi mereka harus dilakukan terus menerus kekal

melekat pada hati yaitu dengan istighfa>r. Artinya mohon ampunan dari dosa yang

lalu dan tobat daripadanya kepada Allah terhadap apa yang dihadapi masa datang

artinya tobat terus menerus. Sedangkan Ibnu Arabi menafsirkannya dengan sikap

fana>’, artinya kembali kepada Allah dengan meleburkan diri yang merupakan

proses wus}u>l menuju baqa>’ dan sampai kepada Allah. Pendekatan ishari yang

digunakan Ibnu Arabi melampau pendekatan isha>ri Sa‗id H{awwa dan at-Tustari

dalam menafsirkan ayat secara sufistik. Penafsiran demikian mengandung kajian

29

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 78 30

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, h. 316

Page 127: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

106

teoritis tasawuf dan mencerminkan kepada ajaran filsafat yang dianutnya.

Bahwasanya dengan kembali kepada Allah dalam fana‘ sehingga membentuk

kesatuan dengan Tuhan. Berdasar teori filsafat demikian maka jenis penafsiran

tersebut termasuk tafsir sufi naz}ari.

3. Ayat tujuh belas surat an–Nisa>’`

Dalam ayat 17 surat an–Nisa>’` dijelaskan tentang jenis tobat terkait dengan

dosa yang dilakukan. Tobat yang terkandung dalam ayat tersebut, terkait dengan yang

dilakukan oleh orang yang berbuat salah karena kejahilan.

Terkait dengan orang yang bertaubat dengan segera ( min qari>b ) dijelaskan:

Mereka melakukan tobat pada bagian waktu yang dekat dalam artian masa

bertobat berada diantara mengerjakan maksiat dan sebelum datangnya

kematian.

Berkenaan dengan tobat bagi orang yang berbuat dosa dilakukan sebelum

datangnya kematian, ini termasuk dalam pengertian qari>b. Artinya tobat itu

masanya sepanjang waktu sebelum nyawa sampai dikerongkongan. Menurut Sa‗id

H{awwa tobat harus muncul dari kesadaran atau merupakan ikhtiar (pilihan) bukan

karena terpaksa seperti muncul tanda–tanda dekatnya kematian. Makna tobat dalam

penjelasan Sa‗id Hawwa diatas, menunjukkan kesadaran bagi orang yang merasakan

hubungan yang dekat dengan Tuhan. Sebaliknya, orang yang menangguhkan tobatnya

31

Artinya; Sesungguhnya tobat disisi Allah hanyalah tobat bagi orang–orang yang

mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, kemudian mereka bertobat dengan segera maka mereka

itulah yang diterima Allah tobatnya. Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Alquran dan

Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

32 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke 6, 1018. Lihat juga; Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i

al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 2,620.

Page 128: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

107

sampai timbul dekatnya kematian atau berhadapan dengan malaikat maut maka

tobatnya tidak diterima.33

Selanjutnya dijelaskan,

Orang yang bertobat kepada Allah berarti ia mengharapkan kehidupan, karena

itu tobatnya diterima.

Orang yang bertobat kepada Allah sebagai implikasi dari pilihannya berarti ia

mengharapkan kehidupan bukan karena mendekati kematian atau ingin mati. Ini

memberi kesan bahwa tobat itu harus dilakukan setiap saat tidak terbatas pada waktu

atau pengaruh kondisi apa pun. Sekalipun batasnya menjelang ajal menjemput tetapi

tiada seorangpun yang mengetahui akan ajalnya. Mengenai ini, Al-Jailani pernah

menyebutkan, manfaatkanlah pintu tobat dan masuklah kedalamnya selama pintu itu

terbuka untukmu. Pergunakanlah pintu doa maka ia dibukakan untukmu.35

Ungkapan

al-Jailani diatas mengisyaratkan bahwa bertobat jangan ditunda-tunda sebab pintunya

akan tertutup secara tiba-tiba sedangkan pintu doa sengaja dibuka kesannya tidak

terbatas. Ihwal bertobat seperti tergambar dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh

Muslim dari Aghar bin Yasa>r al–Muza>ni yang berbunyi :

.٠بأ٠بابط رثا ئ اهلل اعزغفش فا أرة ئ اهلل أعزغفش ف ا١ بئخ شح

Artinya; Wahai sekalian manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan

mohonlah ampunanNya. Sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam

sehari semalam sebanyak seratus kali.36

Nabi Muhammad saw sendiri yang jauh dari dosa senantiasa melakukan tobat

dan menyuruh kita umatnya juga berbuat demikian, artinya tobat bukan karena hanya

33

Termasuk tobatnya orang kafir yang tetap dalam kekafirannya, atau orang yang murtad dan

ingin kembali pada iman tapi sudah terlambat karena datangnya tanda kematian. Sa‗id H{awwa, al–

Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6,1018. Demikian juga, M.

Husein T{abat}aba-i, Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–Quran (Beirut: Muassasah al–A‘lami, 2006

M/1428 H), Juz 3-4, Cet. Ke-1, 466

34 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke 6, 1018 35

Abdul Qadir Al-Jailani, al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy (Beirut: Darul

Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2, 31, Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah

36 Sahih Muslim, Lihat juga penjelasannya; Abdul Qadir Isa, H{aqa>iq at-Tasawwuf

(Jakarta: Qisthi Press, 2006), Cet. Ke–2, 201 (Terj. Khairul Amru Harahap, Lc dan Afrizal Lubis, Lc).

Page 129: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

108

nyata mengerjakan salah. Hadis ini memperkuat penafsiran Sa‗id Hawwa diatas

bahwa dengan sering melakukan tobat maka dapat meningkatkan kesucian jiwa dan

bertambah dekat dengan Tuhan.

Pendekatan isha>ri yang dikemukakan Sa‗id H{awwa tersebut terlihat dekat

dengan makna zahir sebagaimana terkandung dalam kandungan ayat yang

menghendaki tobat dengan segera. Dengan mengharapkan kehidupan dalam bertobat

artinya seseorang dapat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya kepada

Tuhan. Semakin tinggi frekuensi ibadah yang dilakukan semakin terasa hubungan

yang dekat dengan Tuhan.

Implikasi dari makna tobat tersebut menjadikan seseorang menjalani

kehidupan terasa dinamis dan tidak pasif sebab orientasi tobatnya bukan karena

kematian sudah dekat. Bila seseorang bertobat karena menuju kematian maka akan

membawa pada kemalasan dan cara pandang yang pasif. Sebaliknya, dengan sering

melakukan tobat menumbuhkan rasa optimisme dalam meraih kedekatan hubungan

dengan Allah. Makna sufistik tentang tobat yang ditegaskan Sa‗id H{awwa tidak

akan menghambat beraktifitas justeru menumbuhkan kreatifitas sehingga mendorong

akal untuk selalu berpikir positif. Pandangan Sa‗id H{awwa diatas akan membawa

tasawuf berada dalam dunia nyata.

Di samping menjelaskan makna diatas, Sa‗id H{awwa juga melakukan

analisis terkait makna jahil dalam ayat diatas. Adapun tentang makna kejahilan terkait

dengan dosa dari orang yang bertobat dalam ayat diatas dijelaskan oleh Sa‗id

H{awwa, jahil yang dimaksud bukanlah jahil berhadapan dengan ilmu) ٠مبث ) اؼ

tapi jahil disini berhadapan dengan akal ,Karena jahil akal demikian .( (٠مبث اؼم

memberi pengertian bahwa ia memilih kesenangan sementara (fana`) dari kesenangan

yang abadi.37

Jahil dalam pandangan Sa‗id H{awwa tipe diatas adalah orang yang

berbuat dosa karena tidak mau berpikir (tidak memfungsikan akal) lalu ia

37

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke 6, 1017

Page 130: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

109

menjatuhkan pilihan pada kesenangan sesaat karena nafsu semata. Ia menyadari akan

perbuatan salah yang dikerjakannya.

Disebutkan Sa‗id H{awwa pengertian lain dari jahil akal yaitu bukanlah yang

dimaksud kejahilannya itu karena sewaktu berbuat dosa tapi kejahilannya menjadikan

tertutup akalnya tentang akibat yang timbul dari perbuatan jahatnya.38

Kejahilan tipe

kedua ini, orang yang sengaja saat melakukan dosa tapi ia tidak menyadari akan

akibat yang muncul dari perbuatan dosa karena ditutupi oleh kejahilannya. Perbuatan

dosa yang dilakukan disebabkan kebodohannya yang tidak mengetahui akibat dari

perbuatannya.

Terkait dengan uraian diatas Sa‗id H{awwa mengemukakan riwayat

Abdurrazaq yang berasal dari Qatadah, ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang

mendurhakai Allah baik sengaja atau tidak maka dikatakan jahil.39

Jadi pengertian

berdasarkan riwayat ini, keadaan orang yang berbuat dosa disebut jahil baik sadar

atau tidak sadar. Kejahilan disini lebih umum yaitu cenderung kepada jahil ilmu.

Dari penafsiran Sa‗id H{awwa diatas tentang kejahilan dapat disimpulkan

bahwa ada tiga kategori, dua diantaranya terkait jahil secara akal:

1. Perbuatan dosa karena jahil secara akal (sengaja). Si pelaku mengetahui kalau

perbuatan itu dosa dan bakal menanggung akibatnya, tetapi akalnya dikalahkan

oleh nafsunya lalu pilihannya tetap tertuju pada kesenangan sementara dengan

mengabaikan kesenangan yang sesungguhnya.

2. Perbuatan dosa karena kejahilannya pada akibat yang timbul dari perbuatannya. Ia

sadar ketika melakukan dosa tapi tidak menyadari akibat buruk dari perbuatanya

sehingga kejahatan itu tetap dilakukan. Termasuk juga dalam kategori ini yaitu

orang yang melakukan kejahatan tanpa menghiraukan hukuman.

3. Kejahilan ketiga terkait dengan perbuatan dosa yang dilakukan dengan sengaja

atau tidak maka pelakunya dikatakan jahil. Si pelaku boleh jadi mengetahui akan

38

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke 6, 1017 39

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke 6, 1017

Page 131: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

110

perbuatan jahatnya atau tidak mengetahuinya ketika berbuat, maka dengan

perbuatannya disebut ia jahil disaat perbuatan dosa itu dilakukan. Pada level ini

tergambar bahwa siapa saja yang berbuat jahat disebut jahil tanpa kualifikasi.

Kategori ketiga ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh T{aba>t}aba>-i dalam

tafsir al–Mi>za>n. Menurutnya jahil disini berhadapan dengan ilmu (kesadaran),

berarti orang yang mengerjakan kejahatan karena dorongan hawa nafsu atau syahwat.

Dari itu, pada dasarnya setiap maksiat yang dikerjakan termasuk kejahilan manusia.40

T{aba>t}aba>-i tidak membedakan jahil pada ayat ini sebagaimana Zamakhshari juga

demikian namun bagi Sa‗id H{awwa membagi jahil terkait akal dengan perbuatan

jahat manusia. Disinilah bedanya penafsiran Zamakhshari seorang mutakallim

ataupun T{aba>t}aba>-i yang cenderung tafsirnya ke filsafat dan ilmu pengetahuan

dengan tafsir Sa‗id H{awwa. Justeru terlihat perbandingan, bahwa sekalipun Sa‗id

H{awwa menyorot makna makna zahir ayat namun tetap memiliki nuansa sufistik.

Menurut pandangannya, secara akal manusia sadar dalam berbuat dosa namun

akalnya dikalahkan oleh nafsunya. Karena itu, sangat wajar manusia bersegera

bertaubat sebab perbuatan dosa tersebut merupakan unsur kesengajaan. Selain itu,

Sa‗id Hawwa menerima juga jahil secara ilmu sebagaimana terungkap dalam riwayat

yang dikutipnya. Mengenai riwayat ini, Sa‗id H{awwa tidak ada memberikan

komentar.

Pada dasarnya pemikiran Sa‗id H{awwa tentang makna kejahilan diatas yang

cenderung kepada jahil akal, mendukung terhadap makna tobat yang membentuk

hidup dinamis. Orang yang melakukan kesalahan merupakan orang yang tidak

menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya. Sementara manusia yang jahil ilmu

hanyalah yang tertutup akalnya (majnu>n) sehingga tidak bisa berpikir untuk

membedakan hal yang baik dan salah apalagi untuk memikirkan hubungan dengan

Tuhan. Karena itu, dalam pandangan Sa‗id H{awwa tentang jahil kategori ketiga

diatas pada hakikatnya tidak wajar dimiliki oleh orang yang sehat (normal).

40

M. Husein T{abat}aba-i, Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–Quran (Beirut: Muassasah al–

A‘lami, 2006 M/1428 H), Juz 3-4, Cet. Ke-1, 463

Page 132: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

111

Berkaitan dengan menerima tobat, Sa‗id H{awwa juga melakukan analisis

terhadap zahir ayat, bahwa Allah menerima tobat bagi pelaku dosa karena

kejahilannya. Ada dua hal terkait dengan masalah diatas, pertama tentang

kewenangan Allah menerima tobat dan makna kejahilan. Penggunaan ― ػ ‖ pada

ayat tersebut tidaklah bermakna wajib, karena tidak ada sesuatu yang mewajibkan

Allah untuk berbuat. Kata ―‘ala― ػ disini dimaksudkan sebagai ta`kid (memperkuat)

untuk اػذ (janji Allah) bahwa pengertiannya Allah tidak dapat tidak seperti wajib

yang tidak dapat ditinggalkan.41

Penjelasan Sa‗id H{awwa diatas tidak

menghilangkan makna wajib bagi Allah maksudnya sama saja yaitu Allah tidak dapat

tidak, melaksanakan janjinya dalam menerima tobat. Namun demikian Sa‗id H{awwa

tidak dengan tegas menyatakan wajib bagi Allah dalam menerima tobat. Ia tetap

mengakui hak prerogatif Allah untuk menerima tobat sebagai indikasi tidak ada unsur

lain yang mempengaruhi kehendakNya. Disini Sa‗id H{awwa sepertinya tidak mau

dianggap terlibat dalam polemik kalam mu‗tazilah sebab tentang kewajiban Allah

menepati janji termasuk dalam ajaran mu‗tazilah.

Sebagaimana terlihat dalam tafsir karya Zamakhshari (pengikut mu‗tazilah)

ketika menafsirkan ayat tersebut menyatakan, sesungguhnya menerima tobat dan

mengampuni orang yang bertobat wajib bagi Allah. Ini pemberitahuan oleh Allah

bahwa Allah mewajibkan pada dirinya seperti kewajiban hamba untuk taat.42

Menepati janji dan berbuat yang terbaik untuk manusia merupakan wajib bagi Tuhan.

Kewajiban Tuhan bersumber pada sifat kesempurnaanNya. Tidak melaksanakan janji

dan ancaman berarti ketidaksempurnaan dalam pengetahuan dan kemauan Tuhan.43

41

ئر ال ٠جت ػ اهلل ش١ئ ى زأ و١ذ اػذ ٠ؼ أ ٠ى ال ذبخ وباجت , ب ال رف١ذ اجة ػ اهلل" ػ"وخ

,Lihat; Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2 از ال ٠زشن

Cet. Ke–6, 1017

42 Zamakhshari, al–Kashshaf ‘an H{aqa>iq at–Tanzi>l wa ‘Uyu>n al–Aqa>wi>l fi>

Wuju>h at–Ta’wi>l (Mesir: Maktabah Mesir, t.th), juz 1, 427. Senada dengan ini juga dijelaskan oleh

T{abat{aba-i, Allah menjanjikan kepada hamba untuk menerima tobat orang yang tobat ( ازبئت ) karena

Allah tidak akan menyalahi janjiNya,lihat; M. Husein T{abat}aba-i, Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–

Quran (Beirut: Muassasah al–A‘lami, 2006 M/1428 H), Juz 3-4, Cet. Ke-1, 462

43 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI-Press,

1987), Cet. Ke–1, 84-88

Page 133: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

112

Kewajiban Tuhan melakukan demikian tidak ada pengaruh dari sesuatu tapi memang

sudah merupakan kesatuan yang terdapat pada diri Tuhan, demikian pendapat yang

dianut oleh mu‗tazilah. Sa‗id H{awwa secara tidak langsung juga menggunakan

pendapat demikian namun tidak tegas mengakui bahwa Allah wajib melakukan

demikian. Sa‗id H{awwa tidak menyebut dalam tafsirnya tentang mu‗tazilah atau

asy‗ariyah artinya ia tidak menaruh perhatian tentang wacana kalam.

Penafsiran sufistik Sa‗id H{awwa disamping menjelaskan makna tobat, ia

juga membahas ayat dari tinjauan bahasa. Bila diperhatikan dengan pandangan

Zamakhshari dalam tafsirnya yang dengan tegas mengatakan Allah berkewajiban

menerima tobat terhadap hambaNya. Sedangkan Sa‗id H{awwa tidak dengan tegas

mengatakan demikian, namun pada dasarnya sama saja dengan Zamakhshari, sebab

makna ‘ala> pada ayat tersebut menurut Sa‗id H{awwa hanya untuk menguatkan

akan janji Allah untuk menerima tobat. Kelihatannya Sa‗id H{awwa memahami bila

menggunakan kata wajib akan membawa persepsi pada paham mu‗tazilah, sekalipun

ia tidak menyatakan sebagai pengikut kepada aliran tertentu. Analisis kebahasaan

dalam penafsiran termasuk bagian dari pengungkapan makna zahir ayat.

4. Ayat 128 surat al–Baqarah

Selanjutnya Sa‗id H{awwa menjelaskan tentang tingkat implementasi tobat

seperti dikandung dalam ayat 128 surat al–Baqarah:

Ayat ini menerangkan tentang usaha Ibrahim dan Ismail membangun kembali

Ka‘bah lalu mereka menyampaikan doa kepada Allah agar menjadi orang yang

tunduk, berserah diri ( غ١ ( begitu juga keturunannya. Permohonan selanjutnya

44

Artinya; Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada engkau

dan jadikanlah diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada engkau dan tunjukkanlah pada

kami tentang peribadatan kami dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya engkaulah yang maha

penerima tobat lagi maha penyanyang. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd

al-Madinah al- Munawwarah, 1415 H

Page 134: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

113

adalah agar tobat mereka diterima. Ini termasuk doa orang yang sungguh-sungguh

berserah diri yang dicontohkan Ibrahim dan Ismail;

ئه أذ اغ١غ ذػبئب اؼ١ ثعبئشب , ٠ب سثب ئب رمشثب ئ١ه ثجبء زا اج١ذ فزمج ػب: أ

١.45زب

Ya Tuhan kami, seungguhnya kami telah mendekatkan diri kepadaMu dengan

membangun rumah ini (ka‗bah) maka terimalah amal kami. Sesungguhnya

Engkau Maha Mendengar akan doa kami lagi maha mengetahui terhadap hati

dan niat kami.

Kemudian Sa ‗id Hawwa mengutip perkataan Wuhaib bin al-Ward bahwa ia

menangis ketika dia membaca ayat ini dan menyatakan;

٠.46ب خ١ اشد رشفغ لائ ث١ذ اشد أذ شفك أ ال ٠زمج ه

Wahai kekasih Allah (nabi Ibrahim), engkau tinggikan pondasi

baiturrah}ma>n (Ka‗bah) kemudian engkau bersedih bahwa pengabdianmu

tidak akan diterima.

Dalam penafsiran diatas Sa‗id Hawwa ingin menegaskan bahwa Ibrahim dan

Ismail merasakan pengabdian yang mereka lakukan itu masih kecil dibandingkan

nikmat yang dianugerahkan Allah. Padahal pengorbanan mereka membangun Ka‗bah

sebagai salah satu shi‘ar ibadah haji khususnya dan kiblat kaum muslimin adalah

suatu amal yang luar biasa. Bahkan Ibrahim digambarkan sebagai orang yang

merasakan kecemasan bahwa pengorbanannya yang mulia seakan-akan menurutnya

tidak ada artinya dimata Allah.

Ini merupakan pengajaran untuk umat dalam berbuat kebajikan jangan merasa

sudah berbuat baik padahal perbuatan itu tiada nilainya dihadapan Allah karena niat

yang tidak bersih. Sebaliknya, harapan untuk mendapatkan pahala justeru boleh jadi

akan mengurangi pahala yang ada. Sementara itu Ibrahim yang berbuat sangat luar

biasa masih merasakan penyerahan dirinya belum total.

45

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 273

46 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 272

Page 135: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

114

Kemudian doa mereka diakhiri dengan terimalah tobat kami رت ػ١ب mereka

bermohon tobat kepada Allah. Sa‗id H{awwa menafsirkan watub ‘alaina> adalah;

.لبال ره ذب فغ١ب ئسشبدا زس٠زب خك, ب فشغ ب ازمص١ش47

Apa saja kelalaian yang luput dari kami. Ucapan mereka tersebut

menggambarkan dirinya luluh, hina rendah dan sebagai pengajaran untuk

keturunannya dan manusia seluruhnya.

Tobat dalam penafsiran Sa‗id Hawwa dalam hal ini dimaknai dengan tobat

dari kesalahan-kesalahan yang tidak disadari. Permohonan tobat mereka dari apa saja

kekurangan yang terlupakan atau kelalaian pada mereka. Tobat dalam doa mereka

mengandung pengertian bahwa mereka sungguh berserah diri dengan merasakan diri

mereka hancur luluh, hina ( (عب فغ١ب . Ibrahim dan Ismail menunjukkan

kepasrahan totalitas dirinya dalam bertobat kepada Allah. Ini menunjukkan

kesungguhan dan kesadaran yang kuat bahwa mereka takut bila mereka masih lalai

dari mengingat Allah.48

Tobat yang mereka lakukan bukan karena berbuat jahat atau

dosa justeru sebelum tobat dipanjatkan mereka melakukan amal saleh dengan

membangun Ka‗bah sebagai tempat peribadatan. Ungkapan muslimain dalam doanya

menunjukkan sebagai bentuk penyerahan diri secara utuh. Artinya mereka masih

merasa penyerahan dirinya belum sepenuhnya makanya mereka bertobat dari hal

yang mereka alpa. Dalam istilah al-Alusi, tobat yang mereka lakukan dalam rangka

lebih meninggikan kualitas iman dan juga sebagai pembelajaran untuk manusia dalam

bertobat.49

Makna muslimain sebagai penyerahan diri maksudnya supaya

berkesinambungan. Mereka khawatir bahwa hatinya berpaling sesaat dalam hal

ketundukkan kepada Allah.50

47

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 273 48

Dalam istilah zunnun al-Misri, ini termasuk tobat orang khusus yaitu tobat dari kealpaan

dan melihat kekurangan diri. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah

(Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 64 49

Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n,

Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 1,530. 50

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 273

Page 136: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

115

Istilah had}man dalam tafsir Sa‗id H{awwa sebagai cermin penyerahan diri

Ibrahim dan Ismail yang merasa dirinya sudah luluh, hanyut dalam tobat yang

dilakukan. Istilah luluh yang dikemukakan Sa‗id H{awwa menunjukkan bahwa

mereka merasakan hina seakan tiada arti di haribaan Tuhan. Dalam istilah tasawuf

kehinaan yang dalam dirasakan dalam bertobat bisa diartikan sebagai fana. Seperti

disebutkan oleh Hasan Sharqawi dalam buku Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah, tobat

dapat bermakna fana terhadap diri dan tetap bersama Allah.51

Namun demikian Sa‗id

H{awwa tidak menyebut dengan kefanaan. Tampak disini, Sa‗id H{awwa tidak ingin

mengemukakan istilah yang bisa mendatangkan makna kontroversial yang

mempersulit pemahaman. Istilah fana’ dalam tasawuf biasanya identik dengan paham

tasawuf teoritis. Sa‗id H{awwa dalam metodologi tafsir sufinya menghindari istilah-

istilah yang kontroversial dan dalam pandangannya disebut dengan ungkapan yang

tidak wajar.52

Karena itu, Sa‗id H{awwa berusaha memahami makna sufistik ayat

dengan tetap bersandar pada konteks ayat sehingga pemahaman mengandung makna

aplikatif. Intinya, Sa‗id Hawwa ingin menjelaskan bahwa perwujudan tobat yang

dilakukan Ibrahim dan Ismail supaya menjadi teladan dalam bertobat yang sungguh-

sungguh.

Penafsiran makna tobat sebagai merasakan diri luluh tersebut didukung oleh

ungkapan muslimain tersebut. Makna muslimain sebagai bukti bahwa jiwa raganya

setulusnya diserahkan kepada Allah sekalipun mereka statusnya sebagai Nabi yang

ma‘s}um (terjamin dari dosa). Setelah mereka menunjukkan berserah diri (muslimain)

kemudian mereka bertobat. Inilah tobat yang sesungguhnya supaya senantiasa

merasakan dekat dengan Allah. Makna demikian termasuk makna isha>ri yang dapat

dipahami dan pelajaran bagi orang yang sungguh-sungguh dalam bertobat.

51

Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-

1,89 52

Sebab, istilah fana pemahamannya bermuara kepada ittihad (kesatuan dengan Tuhan)

seperti yang dipahami para sufi falsafi. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta:

Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 80-83. Pemahaman seperti ini yang dihindari Sa‘id H{awwa. Sa‘id

H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,5.

Page 137: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

116

5. Ayat 70 surat al–Furqan (25)

Dalam melakukan tobat tidak cukup hanya kembali kepada Allah tapi harus

disertai dengan amal saleh sebagaimana terungkap dalam ayat 70 surat al–Furqan

(25).

Sa ‗id H{awwa menjelaskan bahwa makna tobat dalam ayat ini adalah;

ئب ثأ ٠فم اهلل ئ ػ اذغبد ثذي اغ١ئبد أ أ اغ١ئخ رمت , ازثخ اصح: أ

.دغبد54

Tobat yang dimaksud adalah at-taubah an-nas}u>h}} Dengan tobat nas}u>h}

(murni) maka Allah akan memberikan taufik kepada mereka yang tobat untuk

selalu melakukan amal baik sebagai pengganti kejahatan sebelumnya. Selain

itu dengan tobat yang murni ini maka dapat merubah kejahatan menjadi

kebaikan.

Makna tobat yang pahami dari penafsiran Sa‗id H{awwa diatas adalah tobat

yang bersih dari hati pelakunya, sehingga tobat demikianlah yang bisa menghapus

dosa-dosa yang pernah diperbuat. Sebagai indikator dari tobat nas}u>h} ( bersih,

murni) yaitu pelaku tobat mendapatkan taufik dari Allah yang mendorongnya untuk

mengerjakan yang baik sebagai penghapus kesalahan masa lalu. Taufik bagi para sufi

merupakan anugerah yang diperoleh oleh orang yang berhati suci sehingga

perbuatannya senantiasa mendapat bimbingan Tuhan.55

Makna taufik demikian akan

selalu memberikan banyak kemudahan hidup bagi orang yang betul-betul menjalani

tobat yang murni. Taufik yang diperoleh juga merupakan cerminan bagi orang yang

53

Artinya; Orang-orang yang berdosa pada ayat 68 akan mendapat azab pada hari kiamat,

kecuali orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh maka kejahatan mereka akan

diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Alquran

dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

54 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.

Ke–6, 3879

55 Secara definitif makna taufik menurut para sufi adalah, Allah menjadikan perbuatan

hambanya sesuai dengan yang disukai dan dirid}aiNya ( Anwar .(جؼ اهلل فؼ ػجبد افمب ب ٠ذج ٠شظب

Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993),

Cet. Ke–1, 65

Page 138: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

117

merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan. Kedekatan inilah yang membimbing

dalam perbuatannya.

Ibnu Arabi menafsirkan orang bertobat dalam ayat 70 diatas dengan kembali

kepada Allah dan membebaskan diri dari maksiat maka Dia mengganti syirik dengan

keimanan begitu juga keburukan diganti dengan kebaikan. Dengan demikian keadaan

diri sebelumnya yang berdosa terhapus dan tetaplah iman padanya. Inilah yang

disebut dengan tobat hakiki.56

Tustari menjelaskan dalam tafsirnya tobat tidak sah

sebelum seseorang itu banyak meninggalkan hal yang mubah (halal). Ia mengutip

hadis Aishah yang mengatakan, jadikanlah kehalalan itu sebagai dinding/ tutupan

antara kamu dan hal yang haram.57

Hal ini dapat dilakukan oleh orang yang dekat

dengan Tuhan dan merasakan terbimbing olehNya. Kalau Ibnu Arabi menyatakan

tobat hakiki dengan tetapnya keimanan dan lepas dari kemaksiatan, hal ini dikuatkan

oleh Tustari dengan sering meninggalkan hal yang halal sebagaimana layaknya ketika

menjauhi perkara yang haram. Ini sejalan dengan makna ayat sebagai pengakuan diri

bahwa tobatnya murni dan berharap tergantinya keburukan dengan kebaikan.

Sehubungan dengan ini, Sa‗id H{awwa menambahkan bahwa tobat harus

diiringi dengan amal saleh. Amal saleh sebagai realisasi dari tobat. Dengan demikian

kejahatannya betul–betul hapus dan berganti dengan kebaikan hanya dengan tobat

yang murni ( 58.) ازثخ اصح Sementara itu penafsiran Ibnu Arabi terkait ayat ini

hampir semakna dengan penafsiran Tustari dan Sa‗id H{awwa, dimana Ibnu Arabi

terlihat masih berpegang pada makna zahir ayat. Ide dasar penafsiran mereka dimana

tobat dari dosa yaitu kembali kepada keimanan dengan meninggalkan syirik yang

diikuti dengan berbuat kebajikan. Masing–masing tetap berpegang pada makna zahir

56

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 85

57 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 114

58 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.

Ke–6, 3879

Page 139: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

118

ayat. Istilah Ibnu Arabi terkait dengan tobat diatas disebut sebagai tobat hakiki, Sa‗id

H{awwa menyebut sebagai tobat murni (nas}u>h}).

Sa‗id H{awwa menegaskan mengenai tobat yang murni harus terbukti dengan

amal saleh, karena itu amal jahat yang lampau akan berganti menjadi amal baik,

artinya amal jahat menjadi terhapus. Penafsiran Sa‗id H{awwa dan penafsiran at-

Tustari dan Ibnu Arabi saling mendukung pada penafsiran sufistik. Bila dianalisis

penafsiran Sa‗id H{awwa menghendaki tindak nyata dalam bertasawuf. Seperti

ditegaskannya tobat tidak mencapai sasaran yang diharapkan untuk mengganti

keburukan dengan kebaikan bila tidak ada usaha perbaikan termasuk perubahan

dalam masyarakat. Ini sebagai ciri dari tasawuf Sa‗id H{awwa yang ingin melakukan

perubahan dalam masyarakat melalui pendidikan ruhani.59

Dengan melihat

penafsiran–penafsiran Sa‗id H{awwa diatas secara metodologis ia menggunakan

makna isha>ri yang berdasar pada makna zahir sehingga penafsirannya dapat disebut

dengan tafsir sufi isha>ri.

Penafsiran sufistik masing–masing diatas dapat dipahami, masih berpegang

pada makna zahir ayat. Ini mengindikasikan bahwa tafsir Ibnu Arabi tidak selalu

meninggalkan makna zahir walaupun sering mengedepankan makna bat}iniyyah

apalagi dengan didukung oleh tinjauan filsafatnya.

B. Tafsir tentang Ayat-Ayat Zuhud

Dalam urutan yang dikemukakan terdahulu, zuhud merupakan jenjang kedua

setelah maqa>m tobat. Secara umum menurut para sufi, zuhud maksudnya berpaling

dari kenikmatan dunia, meninggalkan kesenangan dunia demi mencari kesenangan

akhirat. Abu Sulaiman ad–Darani menyatakan zuhud adalah meninggalkan apa saja

yang melalaikan dari mengingat Allah. Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang

59

Makna ini dipaparkan dalam bukunya, lihat; Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah

(Kairo: Darussalam, 2007 / 1428), Cet. Ke–9, 4. Lihat juga; Sayid M. Aqil bin Ali al–Mahdi, Madkhal

ila at–Tasawwuf al–Islami ( Kairo: Darul Hadis, tth), Cet. Ke–2, 29. Ia menjelaskan Sa‘id H{awwa

termasuk pengkaji tasawuf yang berupaya menjadikan tasawuf agar berpengaruh dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.

Page 140: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

119

zuhud, katanya jangan anda pedulikan terhadap keenakan dunia.60

Beberapa

penjelasan tentang zuhud memberi pengertian bahwa kehidupan akhirat menjadi lebih

utama dari kepentingan dunia. Berkaitan dengan istilah kata zuhud ditemukan dalam

surat Yusuf (12) ayat 20.61

Sekalipun dalam Alquran disebutkan hanya pada ayat

tersebut bukan berarti prilaku zuhud sebagai maqa>m dalam tasawuf tidak ada

anjuran dalam petunjuk ajaran agama. Bahkan melihat dari pengertian pokok dari

zuhud diatas banyak ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dasar untuk mendukung

tentang prilaku zuhud tersebut. Diantaranya berbicara tentang keutamaan

memperhatikan akhirat dari kehidupan dunia, juga celaan Alquran terhadap orang

yang lebih mementingkan dunia.

1. Ayat 17 surat al –A‘la (87)

Ayat Alquran sering mendorong manusia lebih memperhatikan kehidupan

akhirat dari pada larut dalam kehidupan dunia dan bahkan kecintaan dunia dapat

melalaikan dari perintah agama. Ayat 17 surat al –A‘la (87) menggambarkan pilihan

orang yang terhadap kehidupan dunia.

Sa‗id Hawwa menyatakan dalam tafsirnya pendapat an-Nasafi dan Ibnu Kathir;

أ رمذب ػ أش : لبي اث وض١ش. ػ االخشح فال رفؼ ب ث رفذ: أ, لبي اغف

صاة اهلل ف اذاس االخشح خ١ش . االخشح رجذب ػ ب ف١ فؼى صالدى ف ؼبشى

60

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 94, Lihat juga al–Jarjani, Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab

Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3,115 61

Ayat ini menerangkan sikap orang yang tidak berkecenderungan hati pada sesuatu

dinyatakan dengan pengertian zuhud secara bahasa. Bunyi ayat; شش ثض ثخظ دسا ؼذدح وب ا

artinya; Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah yaitu beberapa dirham , ف١ اضاذ٠

saja dan mereka merasa tidak tertarik hatinya pada Yusuf. 62

Artinya; Tetapi kamu memilih kehidupan dunia. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih

baik dan lebih kekal. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-

Munawwarah, 1415 H

Page 141: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

120

فى١ف ٠إصش ػبل ب ٠ف ػ ب , اذ١ب أثم فا اذ١ب دا١خ فب١خ االخشح شش٠فخ ثبل١خ

.٠جم63

Artinya; Kamu mengutamakan kehidupan dunia dari pada akhirat maka hal

yang kamu lakukan itu tidaklah memberikan keuntungan bagimu. Sementara

itu Ibnu Kathir menyebutkan arti ayat; Kamu mendahulukan kehidupan dunia

dari urusan akhirat dan kamu tonjolkan kehidupan dunia yang memberikan

manfaat dan kebaikan dalam penghidupanmu. Pahala yang dijanjikan Allah di

akhirat lebih baik dari dunia dan lebih kekal. Sesungguhnya dunia ini sifatnya

sementara dan hancur (lenyap), sedangkan akhirat itu mulia dan kekal.

Mengapa orang yang berakal justeru mengutamakan sesuatu yang akan lenyap

dari pada yang kekal.

Demikian pandangan an-Nasafi dan Ibnu Kathir yang menjelaskan bahwa

manusia yang lebih mengutamakan perhatian kehidupan dunia karena merasakan

kesenangan sesaat yang cepat dirasakan. Sedangkan kebaikan di akhirat yang

dijanjikan bagi orang yang memperhatikan urusan akhirat sifatnya kekal dan melebihi

kesenangan dunia.

Sa‗id Hawwa menegaskan akibat dari orang yang lebih mementingkan

kehidupan dunia sebagai berikut;

اؼخ اشئ١غ١خ شفط اززو١ش ازضو١خ اصالح ئ٠ضبساذ١بح اذ١ب 64

Alasan utamanya karena meninggalkan zikir, penyucian diri dan s}alat, itulah

yang menjadi penyebab kecenderungan untuk mengutamakan kehidupan

dunia.

Sebagai akibat dari perhatian dalam kehidupan dunia melebihi urusan akhirat

adalah akan melalaikan diri dari upaya menyucikan diri, berzikir dan s}alat. Dalam

penafsiran Sa‗id H{awwa ini dipahami bahwa ayat diatas mendorong manusia agar

lebih memperhatikan urusan akhirat dari pada kehidupan dunia. Orang yang

mengutamakan kepentingan akhirat senantiasa berusaha untuk menyucikan diri dan

merasakan supaya dekat dengan Allah. Untuk selalu merasakan dekat dengan Allah

63

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.

Ke–6, 6482

64 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.

Ke–6, 6482

Page 142: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

121

ditunjukkan dengan berzikir dan s}alat. 65

Bila manusia lalai dari hal ini dan lebih

disibukkan dengan dunia, berarti ia menghijab dirinya dengan Tuhan.66

Sifat yang

dijelaskan diatas merupakan cerminan dari sikap zuhud.

Dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa, kandungan ayat ini menerangkan tentang

nafsu (jiwa) bashariyyah افظ اجشش٠خ yang dimiliki oleh setiap manusia.67

Nafsu68

bashariyah harus dibersihkan yaitu dengan s}alat, karena dengan s}alat banyak aspek

terkandung didalamnya termasuk zikir, bertasbih (sesuai dengan bunyi ayat pertama

surat ini, menyucikan Allah, sucikanlah nama Tuhanmu) dan sekaligus jalan untuk

menyucikan diri.69

Penafsiran Sa‗id H{awwa diatas menekankan tentang nafsu

bashariyyah yang punya kecenderungan kepada kehidupan dunia sehingga

melupakan kehidupan akhirat yang lebih utama. Disamping itu, Sa‗id H{awwa

mementingkan penyucian diri manusia yang memberikan pengaruh positif pada

prilaku.

Nafsu bashariyyah jangan dibiarkan untuk memperturutkan keinginan rendah

dan fana itu, justru harus dapat dikendalikan dan ditahan. Nafsu bashariyyah harus

dibersihkan dari kecenderungan demikian agar meyakini akan kehidupan akhirat yang

kekal.70

Bertasbih dan kesucian manusia saling terkait, dengan selalu bertasbih

menjadikan kesucian tetap pada nafsu bashariyyah. Nafsu bashariyyah merupakan

65

Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-

1,143 66

Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-

1,143 67

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.

Ke–6, 6483 68

An-Nafs disebutkan oleh Sa‗id H{awwa, adalah roh setelah bercampur (bergabung) dengan

jasad. Nafs memiliki kecenderungan pada kekal hissi (materi/fisik) atau maknawi. Karena itu nafs

harus disucikan agar kembali ke sifat aslinya. Sa‗id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo:

Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 49

69 Bertasbih, menyucikanlah Allah supaya manusia berusaha meneladani kesucianNya dengan

memperbaiki ibadah dan berzikir. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424

H/2003 M), Jilid11, Cet. Ke–6, 6483

70 Dilihat dari keadaan nafs pada manusia, dikatakan oleh Sa‗id Hawwa terbagi dua yaitu ذعبح

(kotor) dan ضوبح (suci). Sa‗id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428

H/2007 M), Cet. Ke–9, 51

Page 143: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

122

lawan dari nafsu hayawa>niyyah افظ اذ١ا١خ , artinya nafsu bashariyyah sebagai

dorongan keinginan jiwa dalam diri manusia yang apabila tidak dikendalikan dapat

jatuh kepada nafsu hayawa>niyyah.71

Nafsu hayawa>niyyah tidak peduli akan

kehidupan akhirat.

Berkaitan dengan ayat diatas, Tustari menjelaskan bahwa tidak layak bagi

mukmin untuk memiliki kecenderungan kepada dunia. Bila ini terjadi, ia bagaikan

orang yang memegang (berada) pada sebatang kayu ditengah lautan sambil berseru

wahai Tuhan!, wahai Tuhan! Berharap semoga Tuhan menyelamatkannya dengan

tompangan kayu tersebut.72

Perumpamaan yang dikemukakan Tustari

menggambarkan kedudukan orang yang mengutamakan kehidupan dunia berada pada

posisi yang lemah dan membahayakan bagi keselamatan dirinya. Bila diperhatikan

penafsiran Tustari dan Sa‗id H{awwa sama berpijak pada makna zahir ayat bahwa

mementingkan kehidupan dunia akan mengotori jiwa manusia dan kedudukannya

tidak akan selamat. Kemegahan dunia menjadikan ia lalai dan terlena jauh dari

kesucian diri dan di akhirat hidupnya celaka.

Selanjutnya Tustari menjelaskan, bagi seorang hamba mukmin yang zuhud

pada dunia maka Allah mewakilkan untuknya malaikat yang bijaksana yang

menanam dalam hatinya bermacam–macam hikmah. Gambaran orang tersebut seperti

seseorang petani yang menanam banyak pohon di kebun–kebunnya.73

Ini suatu

keistimewaan yang dirasakan orang yang zuhud terhadap dunia, ia memperoleh

sebagian rahasia hikmah gaib seperti rahasia sunnatullah. Semakin menjauh ia dari

kesenangan duniawi akan bertambah hikmah yang diperolehnya yang membuat

hatinya dikelilingi dan dipenuhi pohon hikmah bagaikan petani yang menanam pohon

pada setiap kebunnya semakin lama akan berkembang. Begitupula seorang hamba

71

Jika nafs (jiwa) h{ayawaniyyah yang bergantung pada manusia maka ia bisa menyerupai

hewan, demikian Ibnu Sina yang dijelaskan oleh Harun Nasution. Harun Nasution, Falsafat dan

Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 37

72 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I,192 73

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I,192

Page 144: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

123

yang zuhud dari dunia akan dimudahkan Allah menangkap rahasia kejadian alam.

Orang seperti ini dapat dikatakan senantiasa mendapat taufik, artinya harapannya

selalu bersesuaian dengan takdir Allah karena telah dibukakan tabir oleh Allah untuk

memahami rahasia sunnatullah.

Zuhud dalam hal ini salah satu pembuka untuk dapat dapat berhubungan lebih

dekat dengan Allah karena hati dan rohani telah disucikan seperti penjelasan Sa‗id

H{awwa. Kalau rohani telah suci maka untuk berhubungan langsung dengan yang

maha suci lebih terbuka. Karena Tuhan itu suci maka ia dapat didekati oleh yang suci

pula.74

Surat al–A‘ala diatas tentang orang yang memilih kehidupan dunia lalu

tentang keutamaan akhirat dari dunia ditafsirkan oleh Ibnu Arabi dengan orang yang

lalai dan terhalang (terhijab) hatinya dari mengingat Allah dan s}alat. Mereka

dilalaikan oleh kehidupan lahir (dunia), kenikmatan dan keindahannya karena rohani

mereka tidak bersih (li‘adami at-tazkiyah). Kecenderungan mereka pada dunia

melebihi kecintaan pada kehidupan ru>h}a>niyyah yang hakiki dan kekal di

akhirat.75

Dalam tafsirnya tersebut, Ibnu Arabi menafsirkan tentang dua jenis

kehidupan dalam ayat itu dengan kehidupan h}issiyyah (lahir / dunia) berhadapan

dengan kehidupan ru>h}a>niyyah (akhirat / kekal). Nyata tersebut dalam

penafsirannya bahwa kehidupan diakhirat bersifat rohani dan kekal dan inilah

kehidupan yang sesungguhnya bagi rohani yang suci.

Mengenai gambaran kehidupan akhirat lebih utama dari kehidupan dunia dan

kecenderungan manusia lebih pada dunia menunjukkan tidak ada perbedaan diantara

Sa‗id H{awwa, Tustari dan Ibnu Arabi. Mereka memaknai kecenderungan manusia

mencintai kehidupan dunia membuat rohaninya tidak bersih. Sa‗id H{awwa

menyebut kecenderungan demikian dengan nafsu bashariyyah yang jatuh menjadi

nafsu h}ayawa>niyyah. Oleh sebab itu nafsu bashariyyah harus senantiasa disucikan

74

Harun Nasution, Tasawuf, dalam Budhi Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam

dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke-2, 161 75

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 398 - 9

Page 145: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

124

dengan s}alat, bertasbih, berzikir76

karena semua itu bermuara pada kesucian rohani.

Bila nafsu bashariyyah dijaga selalu suci maka prilaku zuhud akan tercermin dalam

kehidupannya. Dalam istilah Tustari diatas orang yang zuhud demikian mendapat

kemuliaan dengan mengetahui bermacam hikmah gaib dalam perbuatan Allah di alam

ini yang dikenal sebagai sunnatullah. Sedangkan Ibnu Arabi sebagaimana ia jelaskan

dalam tafsirnya menyebut orang yang mencintai kehidupan dunia atau kehidupan

h}issiyyah berarti membuat hijab sendiri antara ia dengan Tuhan. Rohani kotor dalam

istilah Ibnu Arabi disebut sebagai Rohani yang terhijab artinya bila rohani itu suci

tentu hijab menjadi terbuka untuk berzikir dan berkomunikasi dengan Allah.

Kemudian yang lebih sempurna lagi diakhirat hijab tersebut tiada lagi bagi rohani

yang suci.

Berkaitan dengan sikap zuhud ini, Nabi pernah menganjurkannya agar

seseorang dapat dicintai oleh Allah dan disukai oleh manusia. Berdasarkan hadis

diriwayatkan oleh Sahal bin Sa‗ad –ra– ia berkata, seseorang pernah bertanya kepada

Nabi tentang amal yang dengan itu ia menjadi dicintai oleh Allah dan Manusia. Nabi

menjawab zuhudlah kamu.

اصذ ف اذ١ب ٠ذجه اهلل : فمبي, ٠ب سعي اهلل د ػ ػ ئرا ػز أدج اهلل أدج ابط

.سا اث بج غ١ش. اصذ ف١ب ػذ ابط ٠ذجه ابط77

Hai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amal yang bila dikerjakan maka

aku dicintai Allah dan disukai manusia. Jawab Nabi: Zuhudlah kamu pada

dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki

manusia niscaya manusia menyukaimu.

Penafsiran–penafsiran diatas pada dasarnya memberikan inti yang sama

terkait dengan kesucian rohani. Sa‗id H{awwa lebih tampak menekankan pada aspek

tingkah laku dimana sikap zuhud sebagai cerminan rohani yang suci, disamping itu

76

Dengan zikir akan merasakan kehadiran Tuhan di dalam hati, makanya hati akan membuka

tabir dengan zikir. Sebagaimana dikatakan al-Jailani; Lidah merupakan anaknya hati dan ia selalu

mengikutinya (hati). Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy.

Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2, 102, 77

Ibnu H{ajar al-Asqalani (L. 773 H), Bulu>ghul Maram (Bandung: Mat}ba‘ah al-Ma‘a>rif,

t.th), 301

Page 146: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

125

Tustari menekankan aspek kara>mah yaitu menerima berbagai hikmah ilahi yang

dialami bagi orang yang zuhud. Pemahaman kesucian rohani demikian juga

ditemukan dalam tafsir Ibnu Arabi yang menekankan pada istilah terbukanya h}ijab

bila mengabaikan kesenangan dunia.

Jika diperhatikan lebih teliti penafsiran Sa‗id H{awwa mempunyai dimensi

sosial dan memberikan contoh prilaku yang mengajak orang lain untuk memperbaiki

diri menuju kesucian rohani. Bedahalnya dengan Tustari yang dipahami lebih

condong kepada perbaikan kualitas diri sendiri agar merasa dekat dengan Tuhan dan

merasakan hikmah ilahi. Begitu pula Ibnu Arabi, yang lebih menonjolkan pengertian

perbaikan pribadi bahwa orang yang mencintai dunia terh}ijab dari mengingat Allah

dan s}alat, sebaliknya dengan mencintai akhirat membawa pada kesucian rohani dan

terbuka hijab mendorong untuk selalu berzikir. Perbedaan diatas memberikan kesan

bahwa Sa‗id H{awwa berupaya memperjuangkan kesucian rohani menjadi suatu

gerakan massal dalam bertasawuf, tidak terbatas perbaikan diri sendiri tapi harus

dirasakan secara kolektif.

Penafsiran Sa‗id H{awwa yang memaknai cinta dunia dengan nafsu

bashariyyah yang tercemar oleh keinginan buruk. Makna ini sebagai pemahaman dari

keinginan manusia yang lebih terikat dengan kepentingan dunia sehingga tidak

dipikirkan kehidupan akhirat yang lebih utama. Nafsu bashariyyah beda dengan nafsu

h}ayawa>niyyah bahkan lebih tinggi namun bila nafsu bashariyyah tidak

dikendalikan dapat membawa manusia kepada prilaku hewan. Derjatnya turun

menjadi makhluk yang hina bahkan lebih rendah dari hewan.78

Hewan menjalani

hidup dunia tanpa memperdulikan kehidupan setelah ini. Dalam kaitan dengan zuhud

maka nafsu bashariyyah jangan diperturutkan namun harus diisi dengan zikir.

Tampak dari penafsiran Sa‗id H{awwa terhadap ayat diatas dengan nafsu

bashariyyah sejalan dengan makna zahir ayat dan didukung oleh hadis yang

dikemukakan diatas. Dengan mengutamakan kehidupan akhirat, itu menunjukkan

perilaku zuhud pada dunia. Penjelasan Sa‗id H{awwa di atas, didukung juga oleh

78

Lihat, QS. Al-A‘raf (7): 179, At-Ti>n (95): 4-5

Page 147: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

126

penjelasan Tustari yang sama–sama berpegang pada makna zahir ayat. Kenyataan

demikian memperkuat tafsir Sa‗id Hawwa sebagai penafsiran berorientasi sufistik.

Selain itu, Ibnu Arabi dalam hal ini juga menafsirkan dengan tidak meninggalkan

makna zahir. Sekalipun ia menggunakan istilah lain tapi memiliki semangat yang

sama. Dengan demikian dari aspek pemikiran tafsir beberapa penafsiran diatas

termasuk pada pendekatan isya>ri yang berlandaskan makna zahir.

2. Ayat 4 surat ad}–D{uh>a (93)

Selanjutnya berkaitan dengan kelebihan akhirat dari dunia ditunjukkan juga

dalam surat ad}–D{uh>a (93) ayat 4;

.79

Makna keutamaan kehidupan akhirat menurut ayat ini ditafsirkan Sa‗id

H{awwa dengan mengutip an-Nasafi sebagai berikut;

أ ب أػذ اهلل ه ف االخشح امب اذد اذض اسد اخ١ش اػد خ١ش ب

80.أػججه ف اذ١ب

Artinya diantara yang disiapkan Allah diakhirat seperti kedudukan yang

terpuji (maqa>m mahmu>da), telaga yang disediakan dan kebaikan yang

dijanjikan adalah lebih baik dari apa yang mengagumkanmu di dunia.

Disebutkan oleh Sa‗id Hawwa bahwa keadaan yang dialami nabi Muhammad

yang mampu berhubungan dengan Allah lewat wahyu, yang disebut juga dengan

habibullah itu adalah kemuliaan yang paling agung yang tiada lagi kemuliaan dunia

lebih dari itu. Adapun di akhirat posisi nabi Muhammad memiliki derjat yang paling

tinggi diantara para Nabi begitu pula umat Muhammad menjadi saksi atas umat nabi

lain. Kemegahan dan kemuliaan yang dirasakan siapapun di dunia tidak sebanding

79

Artinya; Kehidupan akhirat lebih baik bagimu dari kehidupan dunia. Alquran dan

Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

80 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.

Ke–6, 6568

Page 148: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

127

dengan kemuliaan yang disiapkan Allah di akhirat.81

Keutamaan akhirat itu karena

berada pada posisi maqa>m mah}mu>da yang diperoleh sebagai ganjarannya bagi

orang yang tidak cenderung pada kesenangan dunia. Bagi yang ingin mencapai

maqa>m mah}mu>da harus meyakini bahwa kebaikan akhirat melebihi apa yang ada

di dunia. Orang yang menjadikan kehidupan akhirat lebih utama dari kehidupan dunia

merupakan perwujudan sikap zuhud.

Sementara itu Tustari menafsirkan ayat diatas bahwa keutamaan akhirat

disamping sebagai maqa>m mah}mu>da juga sebagai tempat ( ذ اشفبػخ )

shafa>‘at. Hal demikian lebih tinggi dari predikat kenabian dan risalah yang

diberikan Allah di dunia.82

Prilaku zuhud pada dunia menjadikan diri sangat mulia di

akhirat. Kemuliaan akhirat menurut at-Tustari bila dibandingkan dengan kedudukan

sebagai nabi, masih mulia kehidupan akhirat yaitu maqa>m mah}mu>da tersebut.

Seterusnya Sa‗id H{awwa menyatakan dalam tafsirnya, prilaku nabi

Muhammad menunjukkan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dari kehidupan

dunia. Ia adalah orang yang paling zuhud pada dunia dan jauh dari kemegahan hidup

duniawi. Nabi pernah mengatakan bahwa perumpamaan kehidupan dunia baginya

seperti petualang berkuda yang singgah dibawah pohon rindang untuk beristirahat

kemudian ia pergi meninggalkan pohon itu.83

Kehidupan dunia hanyalah tempat

persinggahan untuk melanjutkan perjalanan menuju kehidupan yang kekal di akhirat.

Tidak patut seseorang menjadikan tempat singgah sebagai tujuan dan menumpahkan

kesenangan padanya sehingga melupakan tujuan yang sebenarnya.

Penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari menjadikan maqa>m mah}mu>da

sebagai kedudukan tertinggi di akhirat. Pemahaman sufistik ini diambil dari makna

81

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.

Ke–6, 6568. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh al-Alusi tentang kedudukan nabi Muhammad

yang memberikan shafa‗at yang meninggikan derjat orang mukmin. Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi>

Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul

Hadis, 1426/2005), Jilid 15, 478. 82

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I,197 83

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.

Ke–6, 6571

Page 149: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

128

zahir ayat yang menyatakan kehidupan akhirat yang kekal lebih tinggi dari dunia

yang fana ini. Artinya penafsiran diatas tetap memperhatikan makna zahir ayat yang

mengandung bahwa akhirat lebih tinggi dari dunia. Dengan sikap zuhud demikian

kedudukan nabi sendiri di dunia, nanti mendapat tempat lebih mulia maqa>m

mah}mu.da yang lebih tinggi dari kehidupan dunia sekarang.

Sementara itu menurut tafsir Ibnu Arabi ayat diatas menjelaskan tentang

keadaan hidup di akhirat lebih baik dari hidup yang pertama (dunia) sebab

ketenangan hidup di akhirat dengan wujudnya yang kekal. Keadaan di akhirat

maksudnya adalah tercapainya tajalli84

setelah lama terhijab dan didorong kerinduan

yang dalam terhadap Allah.85

Selama di dunia masih merasakan h}ijab maka

diakhirat tajalli betul dapat dirasakan dan disadari. Inilah makna dari keutamaan

hidup akhirat dari dunia.

Penafsiran Ibnu Arabi terkait ayat ini lebih tegas menyatakan keutamaan

akhirat yaitu tidak sekedar menempati posisi mulia (maqa>m mah}mu>da) tapi

kemuliaannya terletak pada tajalli yang dirasakan manusia. Tajalli merupakan proses

tertinggi tasawuf dan merupakan idaman para pelaku tasawuf. Kedudukan seperti

inilah yang dalam istilah Sa‗id H{awwa dan Tustari menyebutkan dalam tafsirnya

sebagai maqa>m mah}mu>da. Sedangkan Ibnu Arabi tidak menyebut istilah

maqa>m mah}mu>da tapi dengan makna tajalli.

Memang bila diperhatikan istilah maqa>m mah}mu>da oleh Sa‗id H{awwa

dan Tustari masih bersifat umum, bahkan Sa‗id H{awwa menambahkan sebagai

kebaikan yang disiapkan ( khair mau‘u>d ), hawd} mauru>d - telaga yang disediakan

( اسد اذض ) atau disebut juga oleh Tustari sebagai tempat munculnya shafa‘at.

Disini terdapat perbedaan mendasar antara Ibnu Arabi dengan Tustari dan Sa‗id

84

Ada tingkatan-tingkatan tertentu sebagai proses dalam latihan ruhani yang dikenal di

kalangan sufi yaitu: takhalli (lepaskan diri dari pengaruh dunia) – tah}alli (isi jiwa dengan akhlak

mulia) – tajalli (terbuka hijab antara hamba dengan Tuhan). Penjelasan ini dipetik dari; Barmawie

Umarie, murid langsung Prof. Dr. Hamka dalam ilmu tasawuf. Barmawie Umarie, Systematik Tasawuf

( Sala: Penerbit AB. Sitti Sjamsijah, 1966), Cet. Ke-2, 12

85 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 411

Page 150: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

129

H{awwa dalam memaknai ― Sesungguhnya akhirat lebih baik bagimu dari dunia‖.

Bila dicermati lebih jauh maka Ibnu Arabi menafsirkannya dengan tajalli, Tustari

dengan adanya shafa‘at, sedangkan Sa‗id H{awwa kebaikan atau telaga yang indah.

Artinya Ibnu Arabi tidak lagi memahaminya sebagai kebahagiaan h}issiy tapi

merupakan kebahagiaan ruhani. Pemahaman Ibnu Arabi ini mendukung

penafsirannya pada surat al–A‘la terdahulu tentang kehidupan rohani yang hakiki di

akhirat. Berdasarkan pandangan demikian, rohani yang suci akan terbuka h}ijab

baginya terutama di akhirat kelak sebagaimana makna ayat tersebut.

Penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari menunjukkan kebahagiaan akhirat

dengan bersifat nyata atau masih bersifat kesenangan fisik, sementara Ibnu Arabi

memahami dengan kesenangan rohani yaitu sebagai tajalli pada Tuhan. Bila

diperhatikan penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari yang tidak menggunakan istilah

demikian karena memang tidak didukung secara zahir oleh ayat. Ini sebagai bentuk

ciri dari penafsiran sufi isha>ri. Sebaliknya, Ibnu Arabi mengemukakan demikian

sesuai dengan pemikiran filsafatnya yang dikenal dengan tasawuf naz}ari tentang

wujud di akhirat bersifat rohani, sebagai bentuk ciri dari penafsiran sufi naz}ari.

3. Ayat 77 surat al–Qas}as} (28)

Ayat lain yang mendukung bahwa kehidupan akhirat harus lebih diutamakan

dari kehidupan dunia seperti ayat 77 surat al–Qas}as} (28).

86

Artinya; Carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri

akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah

sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. Alquran dan Terjemahnya,

Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

Page 151: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

130

Sa‗id Hawwa menjelaskan bahwa diantara yang dikaruniakan Allah yaitu

kekayaan dan perbendaharaan harta ( digunakan untuk kepentingan ( اغ اضشح

hidup akhirat. Maksudnya dijelaskan lebih lanjut;

. ثأ رزصذق ػ افمشاء رص اشد رصشف ئ أثاة اخ١ش87

Kekayaan tersebut engkau gunakan dengan bersedekah kepada kaum miskin,

engkau mengembangkan tali silaturrahmi dan melakukan hal-hal yang

mendatangkan kebaikan.

Dengan demikian kekayaan yang dimiliki dapat dirasakan juga oleh orang lain

ditambah dengan menyambung hubungan persaudaraan merupakan upaya membuat

orang lain bahagia. Tindakan seperti ini sebagai sarana meraih kebahagiaan untuk

negeri akhirat.

Selain melakukan hal demikian, harus diwujudkan pula bahwa kecenderungan kepada

akhirat membuat diri merasakan lebih dekat kepada Allah, seperti dijelaskan dibawah

ini.

اعزؼ ب جه اهلل زا ابي اجض٠ اؼخ اؽبئخ ف ؼبػخ سثه ازمشة ئ١ ثأاع

. امشثبد88

Jadikanlah harta dan kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepadamu sebagai

sarana untuk menjadikan taat kepadaNya dan menambah kedekatan diri serta

ketundukkan kepadaNya.

Allah mendorong manusia untuk bekerja memperhatikan keperluan dunia

disamping perintah untuk bekerja untuk kepentingan kehidupan akhirat. Sa‗id

H{awwa menafsirkan perintah ayat tersebut dengan segala bentuk karunia Allah

seperti nikmat yang luas digunakan sebagai perwujudan ketaatan dan taqarrub

(berusaha merasa dekat) kepada Allah. Hal demikian akan membawa kepada

kebahagiaan dunia dan akhirat.89

Disamping itu jangan lupa memperhatikan

87

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.

Ke–6, 4113

88 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.

Ke–6, 4112 89

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.

Ke–6, 4113

Page 152: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

131

keperluan terkait dengan urusan dunia bahwa ada bermacam–macam hak yang harus

dipenuhi seperti bagi Tuhan ada haknya, diri sendiri ada haknya, keluarga ada

haknya, suami/isteri ada haknya karena itu setiap hak tersebut harus ditunaikan

masing–masingnya.90

Dari ayat tersebut ada dua hal pokok yang dikemukakan yaitu

perintah untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat dan larangan agar

tidak mengabaikan keperluan kehidupan dunia dengan melaksanakan masing-masing

hak secara seimbang.

Bila diperhatikan penafsiran Sa‗id H{awwa diatas terkait ayat 77 tersebut,

mengindikasikan bahwa kehidupan akhirat adalah objek utama dari misi ayat

tersebut, karena yang disebut pertama dengan redaksi perintah sedangkan tentang

persoalan kehidupan dunia redaksinya lebih rendah. Artinya persoalan yang lebih

utama adalah mengejar kepentingan untuk kehidupan akhirat kelak. Seperti dijelaskan

Sa‗id H{awwa bahwa aktifitas memenuhi persoalan keduniaan juga tidak bisa lepas

dari kepentingan akhirat. Objek yang dilakukan zahirnya keperluan dunia tapi pada

dasarnya juga berkait dengan kebahagiaan di akhirat juga. Misalnya perkara

menyangkut hak–hak yang disebutkan diatas harus dilaksanakan sebagai kewajiban

pribadi manusia, bila diabaikan maka berarti termasuk bertindak zalim. Apapun

bentuk kezaliman, apakah pada diri sendiri, keluarga apalagi berhubungan dengan

Allah semuanya mengandung dosa.

Penafsiran Sa‗id H{awwa diatas prinsipnya mendorong manusia untuk selalu

mendekatkan diri kepada Allah baik itu menyangkut aktifitas perkara dunia yang bisa

langsung dirasakan hasilnya didunia ini atau menyangkut ibadah formal yang

ganjarannya diakhirat nanti. Ini merupakan dasar dari proses tasawuf yaitu

membentuk kesadaran diri agar merasa dekat dengan Allah dalam segala aktifitas

yang dilakukan.

Bila dilakukan analisis penafsiran terkait ayat 77 diatas dengan tafsir al-Alusi,

tidak ditemukan penafsiran sufistik seperti yang dilakukan Sa‗id Hawwa sebagaimana

90

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.

Ke–6, 4113

Page 153: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

132

terlihat di atas. Dalam tafsirnya, al-Alusi lebih melihat makna bahasa dari struktur

ayat.91

Ini menunjukkan bahwa tafsir al—Alusi sebagai salah satu rujukan utama

dalam penafsiran Sa‗id Hawwa tidak serta merta sama pandangan sufistiknya dalam

melihat ayat-ayat yang bercorak tasawuf. Ini sekaligus membuktikan akan

keberadaan tafsir Sa‗id Hawwa yang pada dasarnya memiliki kecenderungan sufistik.

Artinya pemikiran sufistik Sa‗id Hawwa tidak hanya mengambil dari para penafsir

terdahulu tetapi ia juga mengemukakan pandangan sendiri disamping melakukan

pengembangan pemikiran tafsir masa lalu.

Kecenderungan penafsiran Sa‗id H{awwa untuk lebih memperhatikan

kehidupan akhirat dari dunia sejalan dengan pengertian zuhud yang dikemukakan

para ahli sufi.92

Sikap zuhud dalam hal ini diwujudkan dengan menjadikan

kenikmatan dunia sebagai sarana agar lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Makna

sufistik yang diungkapkan Sa‗id Hawwa mudah diterapkan dan lebih kongkrit karena

sejalan dengan makna zahir ayat. Sa‗id Hawwa dalam menangkap isyarat ayat sesuai

dengan sikap zuhud yang dilakukannya. Kehidupan zuhudnya ditunjukkan dengan

kesederhanaan dan pengabdian hidupnya ditujukan untuk memperjuangkan syariat

Islam di Syria.93

Kenyataan ini sebagai cerminan bahwa pengorbanan Sa‗id Hawwa

didunia dalam rangka meraih kebahagiaan akhirat yang lebih kekal.

4. Ayat 38 -39 al–Mukmin (40)

Berkaitan dengan zuhud terhadap dunia, Sa‗id H{awwa menambahkan

penjelasan dengan mengutip ayat 38 -39 al–Mukmin (40).

91

Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n,

Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 10, 418. 92

Berpaling dari kenikmatan dunia demi mencari kesenangan akhirat. Kenikmatan dunia yang

diperoleh digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam

al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 94

93 Al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam

Kontemporer (Jakarta: Al-I‗tis}am Cahaya Umat, 2003), 402-3

Page 154: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

133

.

. 94

Disebutkan oleh Sa‗id Hawwa dalam tafsirnya tentang makna ayat diatas;

ثؼذ أ أج ف دػر فغش فبفززخ ثز اذ١ب فضذ ف١ب . عج١ اششبد م١ط اغ

.از لذ اصشبػ األخش95

Sabi>l ar-rasha>d adalah jalan yang benar lawan dari jalan yang sesat.

Setelah ia menghimpunkan dalam dakwah (ajakannya) maka keyakinannya

sudah jelas. Karena itu, ia terdorong dengan merendahkan kehidupan dunia

sehingga ia menjadikan mereka zuhud pada dunia yang dulu mereka lebih

mengutamakannya dari akhirat.

Ayat ini sebagaimana dijelaskan Sa‗id Hawwa, menceritakan tentang seorang

beriman diantara pengikut Fir‗aun yang menyerukan kepada golongannya bahwa

jalan Fir‗aun adalah sesat. Ia mengajak untuk tidak mencintai dunia dan mengikuti

jalan kebenaran yang disampaikan Musa agar mementingkan kehidupan akhirat.96

Zuhud dalam penafsiran Sa‗id Hawwa adalah memandang rendah kehidupan dunia

dan sikap zuhud terhadap dunia termasuk jalan yang benar.

Lebih jauh dijelaskan Sa‗id Hawwa;

.ف ره ئشبسح ئ أ ثذا٠خ اششبد ؼش٠م اضذ ف اذ١ب97

Mengikuti seruan ajakan bertauhid adalah isyarat (menunjukkan) kepada

permulaan jalan kebenaran dan sarananya adalah melakukan zuhud pada

dunia.

94

Artinya; Orang yang beriman itu berkata, ― Hai kaumku ikutilah aku, lalu aku akan

menunjukkan kepadamu jalan yang benar ( عج١ اششبد) . Hai kaumku sesungguhnya kehidupan dunia

ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. Alquran dan

Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

95 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 4963.

96 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 4963. Penjelasan senada juga ditemukan dalam tafsir al-Alusi terkait dengan salah seorang

mukmin dari pengikut Musa yang mengajak kepada jalan yang disampaikan Musa. Al-Alu>si,

Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid

‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 12, 433 97

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 4963

Page 155: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

134

Ayat ini menurut Sa‗id H{awwa mengajak manusia untuk menzuhudkan diri

pada dunia yaitu memandang rendah kehidupan dunia. Zuhud pada dunia merupakan

sarana menempuh kebenaran dan sebagai jalan menuju kebenaran (rasyad).98

Selanjutnya ayat berikut menjelaskan, kehidupan dunia adalah kesenangan sementara.

Dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa bahwa larut dalam kesenangan dunia merupakan

pangkal kejahatan dan sumber bencana sedangkan akhirat adalah tempat yang kekal,

baik dalam bentuk kenikmatan atau kesengsaraan sesuai dengan amal perbuatan.99

Penjelasan Sa‗id H{awwa diatas menegaskan bahwa kekekalan akhirat mencakup dua

hal apakah kerugian dengan menanggung siksaan ataukah kemenangan dengan

mendapat ganjaran kebahagiaan yang dirasakan.

Sebagai cerminan orang yang zuhud adalah dengan memilih kehidupan

akhirat. Disebutkan oleh Sharqawi, zuhud adalah mengandung berbagai kebaikan

yang sempurna karena itu orang zuhud tidak peduli dengan dunia dan perhatiannya

tertuju pada akhirat.100

Zuhud merupakan awal menempuh kebenaran dalam agama

yang membawa kebahagiaan di akhirat. Jalan menuju Allah bukan melalui jalan fisik,

inderawi ( اؽش٠ك اذغ ( tapi jalan rohani dengan melaksanakan ajaran-ajarannya.101

Uraian Sa‗id Hawwa di atas yang didukung pula oleh penjelasan dari ahli tasawuf,

sehingga penafsiran Sa‗id Hawwa semakin tampak orientasi sufistiknya.

5. Ayat 77 surat an–Nisa>’ (4)

Mengenai orang yang lebih mengutamakan kesenangan dunia dan takut

ditimpa kematian yang berarti akan memisahkannya dari kesenangan dunia, termasuk

dalam prilaku yang dicela Alquran. Hal ini seperti ditunjukkan dalam surat an–

Nisa>’ (4) ayat 77.

98

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 4963 99

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 4963 100

Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-

1,168 101

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 4962

Page 156: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

135

Kesenangan dunia dalam ayat diatas dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa yaitu;

فى١ف . اىض١ش ئرا وب ػ ششف اضاي ف ل١, زبع اذ١ب ل١ صائ زبع االخشح دائ

.ثبم١ اضائ103

Kesenangan yang diperoleh di dunia itu dianggap sedikit (tingkatnya rendah)

dan akan hilang sedangkan kesenangan yang dijanjikan di akhirat sifatnya

tetap. Sekalipun kesenangan dunia itu banyak diraih tetapi bila kesenangan

tersebut hilang ketinggiannya (tidak langgeng) maka ia dipandang sedikit.

Kemudian, bagaimana jadinya bila yang sedikit itu pun lenyap.104

Sa‗id H{awwa menjelaskan tentang ayat diatas bahwa betapapun besar dan

banyaknya kekayaan didunia semuanya akan hilang, lenyap, sedangkan kenikmatan

akhirat itu tetap dan tidak berobah. Demikian gambaran kesenangan dunia yang

sifatnya sangat sementara.

Masalah mendalam terkait makna ayat itu adalah tentang kesenangan dunia.

105.ؼشفخ دم١مخ اذ١ب ثبغجخ الخشح ؼشفخ أ اد ال ٠زمذ ال ٠زأخش, دت اذ١بح

Maksudnya adalah cinta terhadap kehidupan. Terkait dengan cinta kehidupan,

ada dua hal yang harus diketahui. Pertama mengetahui hakikat dunia yang

sangat berkaitan dengan mengetahui akan hakikat akhirat. Kedua, mengetahui

bahwa kematian adalah hal yang tidak dapat dimajukan dan dimundurkan.

Maksudnya adalah orang yang mementingkan kehidupan dunia (h}ubbul

h}aya>h) dan tidak mempedulikan akan kepentingan hidup di akhirat. Ini yang

102 Artinya; Mereka berkata, ― Wahai Tuhan kami mengapa engkau wajibkan berperang pada

kami? mengapa tidak engkau tangguhkan kewajiban berperang pada kami beberapa waktu lagi.

Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanyalah sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang bertakwa

dan kamu tidak dianiaya sedikitpun. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd

al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 103

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 1130

104 Penjelasan Sa ‗id Hawwa ini, tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan al-Alusi dalam

tafsirnya. Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n,

Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 3,118. 105

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 1130

Page 157: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

136

dikatakan oleh Sa‗id Hawwa bahwa orang yang tidak mengetahui hakikat dunia dan

hakikat akhirat hanya akan memperhatikan kehidupan yang sekarang saja. Ia tidak

mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan akhirat. Makna zuhud bagi Sa‗id

Hawwa dalam ayat ini yaitu memberikan perhatian yang besar kepada akhirat dari

pada mencintai kehidupan dunia. Ini dapat dijalani bila seseorang mengetahui hakikat

dunia dan akhirat. Orang yang zuhud mempunyai cara pandang yang optimis dalam

menjalani kehidupan, dapat berkarya dan beraktifitas tanpa melupakan hakikat

kehidupan akhirat.

Selain itu, kematian menurut Sa‗id H{awwa adalah sesuatu yang tidak dapat

dimajukan atau ditunda. Artinya, manusia senatiasa dituntut untuk menyucikan

jiwanya dan selalu menjaga dirinya dari hal-hal yang akan mengotorinya. Bagi orang

yang suci jiwanya, kematian bukanlah hal yang ditakutkan tapi proses untuk

menerima kesenangan yang sesungguhnya. Sehingga ia akan melakukan kebajikan

sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan ibadahnya. Pengertian ini sesuai dengan

ayat 9-10 surat asy-Syams (91);

.لذ خبة دعبب. لذ أفخ صوبب 106

Karena itulah untuk mengetahui hakikat dunia berhubungan dengan hakikat

akhirat dimana hakikat dunia fana sedangkan hakikat akhirat dawa>m (kekal).

Ibaratnya kematian merupakan hal yang tidak dapat ditunda dan dimajukan tapi pasti

terjadi. Larut dalam cinta pada kehidupan berarti tidak mengetahui hakikat dunia.

Menyinggung ayat ini tentang hakikat dunia pernah ditanyakan kepada

Tustari, ia mengatakan dunia itu adalah kebodohan kecuali majlis ilmu, ilmupun

hanyalah tempat wacana (berdebat) kecuali ilmu yang diamalkan. Amal yang

dikerjakan semuanya hampa bagaikan debu yang beterbangan kecuali amal yang

didasarkan kepada keikhlasan. Adapun keikhlasan tidak sempurna kecuali dengan

sunnah. Selanjutnya ditegaskan Tustari terkait pertanyaan ini bahwa duniamu adalah

106

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sungguh merugilah

orang yang mengotorinya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah

al-Munawwarah, 1415 H, 1064.

Page 158: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

137

dirimu bila dirimu mencapai fana maka tidak ada lagi dunia bagimu.107

Menurut

Tustari hakikat dunia terletak pada diri manusia sendiri. Dalam diri manusia ada

nafsu, dunia akan terasa fana seperti kefanaan diri. Kemudian bagi Sa‗id H{awwa

hakikat dunia adalah cinta pada kehidupan fana, yang disudahi dengan kematian

sebagai akhir kehidupan dunia (tidak kekal). Bila kematian datang berarti diri sudah

tidak ada lagi (fana) sama halnya dunia tidak lagi berhubungan dengan diri. Dunia

bagi diri sudah mengalami kefanaan.

Penafsiran Tustari dan Sa‗id H{awwa mengenai dunia mengarah pada

kefanaan diri bahwa bila diri sudah fana maka dunia tidak dirasakan lagi. Adapun

yang mengikat manusia dengan dunia menurut Sa‗id H{awwa adalah keadaannya

yang hanyut dalam cinta terhadap kehidupan. Orang yang zuhud tiada merasa

keterikatan dengan dunia.

Menurut Tustari sebagaimana dipahami dari tafsirnya, dunia dapat dilepaskan

dari diri manusia tanpa menunggu kematian sebab yang mengikat manusia dengan

dunia adalah dirinya. Sedangkan pandangan Sa‗id H{awwa, dunia dapat dilepaskan

dari diri seseorang bila ia tidak lagi cenderung kepada dunia. Sekiranya dirinya

mengalami fana yang sesungguhnya itulah mati yang lepas dari dunia. Sedangkan

cinta terhadap kehidupan itulah dorongan nafsu. Pandangan Sa‗id H{awwa sejalan

dengan tafsiran Tustari yang menyatakan bahwa nafsu itulah dunia itu sendiri.

Seseorang yang mengabaikan cinta kehidupan dunia berarti ia telah menghilangkan

(melakukan fana terhadap) dirinya dari dunia.

Penafsiran Sa‗id H{awwa menunjukkan bahwa manusia bisa lepas dari dunia

bila ia meninggalkan dorongan nafsu cinta dunia atau meninggalkan dunia. Terlihat

penafsiran Sa‗id H{awwa dalam hal ini berlandaskan pada makna zahir ayat. Melihat

penafsiran Sa‗id H{awwa demikian, menunjukkan kepada corak tasawuf amali.

Sementara itu menurut tafsir Ibnu Arabi, hakikat kehidupan dunia adalah

kehidupan h}issiyyah (perasaan indera, akal pikiran). Ibarat permainan yang tidak

107

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 54

Page 159: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

138

berasal dan tidak berhakikat, cepat lenyap,habis dan tidak abadi. Hal demikian beda

sekali dengan akhirat sebagai alam rohani.108

Kehidupan dunia sebagai perasaan

berdasarkan akal pikiran dan penggambaran secara makna. Penggambaran atau

pemunculan ide berdasarkan objek, tanda oleh akal pikiran.109

Karena demikian,

dunia ini sangat terikat dengan materi. Dalam hal ini, penafsiran Ibnu Arabi pada

dasarnya menyinggung tentang kefanaan di dunia. Ibnu Arabi menyorot juga bahwa

kehidupan akhirat tidak lagi mengenal materi, bahkan dengan tegas disebutnya

sebagai alam rohani, lawan dari kehidupan dunia yang menonjolkan materi.

Secara umum, penafsiran Ibnu Arabi juga menganggap kehidupan akhirat

lebih utama dari kehidupan dunia sebagai cerminan prilaku zuhud. Pengungkapan

makna sufistik oleh Ibnu Arabi terkait ayat diatas (an-Nisa‘: 77) masih sejalan dengan

makna zahir ayat, sebagaimana terkandung juga dalam penafsiran Sa‗id Hawwa dan

at-Tustari. Dari uraian penafsiran Sa‗id Hawwa tentang pandangannya terhadap

akhirat lebih utama dari pada dunia sejalan dengan rumusan yang dikemukakan oleh

para sufi. Diantaranya mengatakan, berpaling dari keenakan dunia.110

Metodologi

penafsiran makna isha>rinya terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan berpedoman

pada makna zahir ayat. Kesejalanan penafsiran Sa‗id Hawwa dengan tafsir at-Tustari

merupakan salah satu indikasi penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa.

6. Ayat 20 surat ash–Shu>ra

Allah Swt telah menjanjikan kepada siapa yang zuhud maka akan menerima

ganjaran lebih besar dari sekedar imbalan amalnya. Dasar dari pandangan ini

termaktub dalam surat ash–Shu>ra ayat 20.

108

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 221

109 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 365

110 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 94, Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah

Muhktar, 1987) Cet.ke-1,168

Page 160: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

139

Menurut tafsir Sa‗id H{awwa tentang h}arthul a>khirah maksudnya adalah

amal untuk mengharap pahala demi kepentingan hidup akhirat. Selanjutnya

dijelaskan dengan mengutip Ibnu Kathir;

م٠ ؼ١ ػ ب ثصذد ىضش بء جض٠ ثبذغخ ػشش أضبب ئ عجؼبئخ ظؼف ئ ب ٠شبء : أ

.اهلل112

Artinya; Kami beri kekuatan dan kami menolongnya untuk mencapai

tujuannya. Kami kembangkan dan kami beri ganjaran amalnya dengan

kebaikan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat sesuai yang

dikehendaki.

Allah itu maha pemberi rezki (Razza>q) terhadap hambanya. Beramal untuk

akhirat merupakan kewajiban manusia sebagai hamba, bukan sebaliknya bahwa

beramal untuk akhirat menjadi penghalang untuk mendapatkan rezki. Justeru suatu

keuntungan bagi zahid dimana dengan amal orientasi akhirat tersebut ia mendapat

keistimewaan yaitu bagian di dunia dan di akhirat sekaligus.

Sa‗id Hawwa menerangkan dalam tafsirnya bahwa makna tambahan

keuntungan pada pangkal ayat adalah;

113 :أ ثبزف١ك ف ػ أ ازعؼ١ف ف ئدغب

Bentuk keistimewaan bagi orang yang mengutamakan akhirat adalah Allah akan

anugerahkan taufik dalam perbuatannya atau dilipatgandakan dalam keberkahannya.

111

Artinya; Siapa yang menginginkan keuntungan akhirat, kami tambah keuntungan itu

untuknya. Dan siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, kami berikan kepadanya sebagian dari

keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat. Alquran dan Terjemahnya,

Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

112 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 5080 113

Kami tanbah bagian keuntungan baginya, artinya: kami anugerahkan taufik dalam

perbuatannya dan dikembangkan keberkahannya. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet. Ke–6, 5080

Page 161: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

140

Taufik114

dalam istilah sufi merupakan keuntungan yang luar biasa diperoleh bagi

orang yang zuhud. Apa saja perbuatan yang dilakukannya mendapat bimbingan dan

dirid}ai Tuhan. Banyak kemudahan yang akan diperoleh dan harapannya sejalan

dengan yang dikehendaki Tuhan. Segala sesuatu yang dilakukan didunia dalam

rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dinyatakan oleh at-Tustari dalam tafsirnya

sebagai sikap qana>’ah di dunia dan rid}a di akhirat. Orang yang termasuk h}arthul

a>khirah (beramal orientasi akhirat), dalam melakukan kewajiban sebagai hamba

tidak menuntut bagian apapun seperti imbalan di dunia bahkan surga.115

Orang yang menginginkan h}arthul a>khirah memang tidak memikirkan

imbalan apapun karena ia merasa apa yang dinikmati sekarang datangnya tanpa

diminta melainkan anugerah Allah. Inilah rezki yang merata pada semua makhluk.

Keyakinan bagi orang yang tergolong h}artsul a>khirah, maka ia akan merasa sangat

puas di dunia dan di akhirat. Usaha yang dilakukan sejalan dengan keinginannya, ini

termasuk makna dari taufik. Pengertian ini merupakan makna dari firman Allah;

―kami tambahkan untuknya bagian akhiratnya‖.116

Kepuasan di dunia ditunjukkan

dengan keikhlasan sedangkan kepuasan di akhirat ia dapat melihat Tuhan.117

Bagi

Tustari dengan amal h}arthul a>khirah tersebut kebahagiaan dunia akhirat dapat

tercapai keduanya.

Taufik yang dianugerahkan Allah merupakan kesesuaian antara tindakan

hamba dengan ketentuan sunnatullah. Dalam pandangan tasawuf, seseorang yang

sudah terasa dekat dengan Allah terbuka baginya sebagian h}ijab rahasia sunnatullah.

114

Taufik seperti dikemukakan dalam Mu’jam istilah sufi adalah perbuatan hamba yang

dijadikan Allah sesuai dengan apa yang disukai dan dirid}aiNya. جؼ اهلل فؼ ػجبد افمب ب ٠ذج ٠شظب

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan,

1993), Cet. Ke–1, 94, Kesesuaian taufik berlaku hanya dalam hal kebaikan, Lihat juga; Raghib

As}fahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2004 / 1425 H), h. 601.

115 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I,138 116

Lihat, QS. ash–Shura ayat 20. 117

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I,138

Page 162: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

141

Ia sendiri yang membuka hijab dengan sikap zuhud padanya,118

sehingga

keinginannya sejalan dengan ketentuan atau kehendak Allah.119

Kalau makna taufik

betul dirasakan seorang hamba maka kegagalan dalam kehidupan boleh jadi

menunjukkan akan prosesnya dialihkan kepada yang lebih baik.

Sebaliknya orang yang menginginkan bagian dunia, dijelaskan dalam tafsir

Sa‗id H{awwa dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir sebagai berikut;

اجزخ دش اهلل االخشح وب ئب عؼ١ ١ذص ش١ئ اذ١ب ١ظ ئ االخشح

. أب اذ١ب ئ شبء أػؽب ب ئ ٠شبء ٠ذص ال ز120

Siapa yang berusaha untuk mengharapkan hasil terbatas di dunia dan bukan

untuk kepentingan akhirat maka Allah akan haramkan akhirat. Adapun yang

orientasi amal di dunia, jika dikehendakiNya, Dia berikan sebagiannya dan

jika tidak dikehendaki maka tidak akan menghasilkan apapun.

Mengenai harthud dunya adalah beramal untuk kepentingan dunia دشس اذ١ب

maka ia hanya akan mendapatkan bagian dunia yang memang telah menjadi rezki

untuknya sesuai usahanya. Sehubungan dengan keinginannya atau apa yang

dikehendakinya tidak masuk dalam kategori itu. Bila muncul kegagalan atau ketidak

sempurnaan yang dihadapinya merupakan hal yang wajar karena jauh dari makna

taufik sehingga tidak mendapat pengetahuan (hidayah) untuk memahami proses

hukum Allah. Inilah maksud dari tafsir yang dikemukakan Sa‗id Hawwa;

. وب ػ ذ١ب إر ش١ئب ب سصل از لغ ال ب ٠ش٠ذ ٠جزغ١: أ121

Lebih menyedihkan lagi, kenikmatan akhirat diharamkan baginya bahkan

siksaan yang diperoleh.122

Adapun rezki yang diperoleh oleh mereka yang menuntut

imbalan kehidupan dunia tak obahnya rezki yang dibagikan Allah kepada semua

118

Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-

1,169 119

Taufik itu hanya dari Allah; ب رف١م ئال ثبهلل . QS. Hud : 88 120

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 5080 121

Artinya; siapa yang beramal untuk tujuan di dunia, kami berikan sebagian dari padanya

yaitu rezki yang memang menjadi bagiannya. Itu bukanlah cerminan sebagai yang diinginkan atau

yang dicarinya. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,

Cet. Ke–6, 5080 122

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,

Cet. Ke–6, 5080

Page 163: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

142

makhluk. Artinya orang yang cinta kehidupan dunia ( h}arthud dunya دشس اذ١ب )

tidak mendapatkan taufik dari Allah sebagaimana dirasakan bagi para zahid. Taufik

yang dirasakan para zahid akan membuka hatinya untuk menjalani proses hukum

Allah (sunnatullah).

Demikianlah keistimewaan bagi zahid, pertama ia merasakan manisnya

beramal untuk hartsul akhirah karena mendapatkan kedua bagian dunia dan akhirat.

Di dunia ia merasakan qana>’ah dan di akhirat ia rid}a dari segala ganjaran.

Keistimewaan kedua menurut Tustari bagi zahid adalah melihat Allah123

di akhirat,124

dimana hal ini tidak dirasakan bagi orang yang h}arthud dunya. Sebagaimana

dikemukakan at-Tustari, Sa‗id H{awwa juga menegaskan bahwa orang yang beramal

h}arthul a>khirah tidak saja menerima pahala akhirat tapi memperoleh bagian

didunia dan diakhirat disamping juga menerima taufik dari Allah. Artinya penafsiran

Sa‗id H{awwa dan Tustari saling mendukung, bahwa dalam memahami makna

sufistiknya sejalan dengan makna zahir ayat.

Adapun tafsir Ibnu Arabi dalam memberikan penafsiran tentang orang yang

menginginkan h}arthul a>khirah pada ayat tersebut merupakan keinginan dan

tuntutan yang kuat mendapat tambahan bagian (ganjaran) akhirat dalam rangka

menuju al-H{aq agar merasakan dekat denganNya. Sebagai tambahan bagiannya, Dia

sempurnakan keadaannya di dunia dan di akhirat.125

Sebaliknya bagi orang yang memilih h}arthud dunya berarti ia menggiring

hawa nafsunya ke level yang rendah dan ia jauh dari al-Haq. Ia tetap mendapatkan

bagian dunia sesuai usahanya yang diperolehnya sebagai rezki sebagaimana posisi

kebanyakan makhluk tidak lebih dari itu; ب ص١ج ب لغ لذس الض٠ذ ػ١. 126

123

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I,138 124

Mengenai melihat Tuhan, Sa ‗id Hawwa sependapat dengan at-Tustari bahwa orang

mukmin nanti di akhirat akan melihat Tuhan dengan mata kepala sendiri. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi

at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6, 6268 dan 6276. 125

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 218

126 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 218

Page 164: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

143

Penafsiran Ibnu Arabi ini terkait h}arthud dunya memiliki makna yang sejalan

dengan penjelasan Sa‗id H{awwa bahwa rezki yang diterimanya merupakan

bagiannya; ٠ش٠ذ ٠جزغ١ سصل از لغ ال ب .127

Bagian yang diperolehnya di

dunia sebagai pilihan h}arthud dunyanya merupakan curahan dari sifat Rahman dari

Allah yang menimpa seluruh makhluk. Kesamaan lain terkait penafsiran tentang

h}arthul a>khirah bahwa orang yang memilih jalan tersebut tidak saja mendapat

imbalan akhirat tapi meraih bagian di dunia dan di akhirat, seperti terlihat uraian Ibnu

Arabi dan Sa‗id H{awwa diatas. Orang yang menginginkan keuntungan akhirat

merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan sebagaimana tercermin dalam

penafsiran Sa‗id H{awwa dan Ibnu Arabi.

Dari penafsiran–penafsiran tentang ayat 20 diatas, ditemukan kesamaan

pandangan bahwa orang yang menghendaki visi amalnya h}arthul a>khirah akan

memperoleh bagian keduanya, tidak saja bagian akhirat tapi juga mendapatkan bagian

di dunia. Artinya amal orientasi akhirat yang dilakukan sudah dapat dirasakan atau

mempunyai efek di dunia ini apalagi nanti di akhirat. Pandangan ini sesuai yang

dikemukakan oleh at-Tustari, Sa‗id H{awwa dan Ibnu Arabi. Adapun keistimewaan

lain yang dirasakan menurut at-Tustari adalah bagian di akhirat mendapat nikmat

lain yaitu melihat Tuhan, sedangkan bagi Sa‗id H{awwa keistimewaan itu adalah

mendapat taufik dari Allah. Adapun Ibnu Arabi mengistilahkan dengan hubungan

yang sangat dekat dengan Tuhan bagi orang yang zuhud tersebut. Inilah

kesempurnaan yang diterima oleh mereka yang menghendaki h}arthul a>khirah pada

ayat diatas.

Dari bentuk penafsiran demikian, dipahami bahwa penafsiran Sa‗id H{awwa,

at-Tustari dan Ibnu Arabi, terlihat pada pendekatan makna zahir dan ishari dalam

penafsiran mereka. Adanya kesamaan pandangan tasawuf demikian, maka hal itu

memperkuat akan penafsiran sufistik Sa‗id H{awwa.

C. Tafsir tentang Ayat-Ayat Sabar

127

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 5080

Page 165: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

144

Dalam kitab Ta’ri>fa>t dijelaskan bahwa sabar adalah tidak mengeluh atau

mengadu bila ditimpa sakit melainkan menyerahkan kepada Allah, diberikan contoh

kasus yang dialami nabi Ayyu>b, أ٠ة ئر بد سث ئ غ اعش أذ أسد اشاد١

Seseorang hamba bila berdoa kepada Allah untuk menghilangkan sakit yang diderita,

hal itu tidaklah merusak akan arti kesabaran. Rasul bersabda, ― Siapa yang

memperoleh kebaikan hendaklah memuji Allah, bagi yang tidak memperoleh jangan

mencela kecuali pada diri sendiri.128

Sahl pernah menyatakan bahwa sabar yaitu

menanti datangnya kelapangan dari Allah (Allah melepaskan duka cita). Sabar adalah

pengabdian paling baik dan paling tinggi menghadapi sesuatu.129

Sementara itu

Raghib As}fahani mengatakan sabar ialah menahan diri dari hal–hal yang sekalipun

dibenarkan secara akal dan shara‘.130

Artinya dapat menahan diri sekalipun yang

dikehendaki itu tidak menyalahi secara akal dan aturan shara‘. Misal tidak melakukan

belanja yang melebihi keperluan walau dengan uang sendiri. Apalagi jika mendapat

musibah tidak mengeluh dan gelisah. Dengan demikian sabar mempunyai 2 cabang

yaitu menahan diri dari memperturutkan keinginan walaupun dalam tahap wajar

kedua menahan diri dari derita musibah tanpa mengeluh.

Mengenai sabar sebagai salah satu ajaran tasawuf banyak dijelaskan aspeknya

dalam Alquran. Berikut ini akan diuraikan penafsiran Sa‗id H{awwa terkait dengan

ayat–ayat yang membicarakan tentang sabar.

1. Ayat 45 surat al–Baqarah (2)

Dalam ayat ke 45 surat al–Baqarah (2), Allah mengemukakan sabar yang

diiringi dengan s}alat, digunakan sebagai media memohon pertolongan kepada Allah.

128

Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah,

1988/1408 H), Cet. Ke–3, 131 129

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 107. Lihat juga; Tustari, Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut:

Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 204 130

Raghib Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran, Beirut : Darul Kutub Ilmiah, 2004

/ 1425 H, h. 306

Page 166: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

145

Sa‗id H{awwa menafsirkan makna ayat diatas;

اعزؼ١ا ثبصجش اصالح ػ دائجى ئ اهلل ػ اجالء اائت ػ ام١ب ثأش اهلل

.و132

Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan s}alat terhadap segala

kebutuhanmu, dalam menghadapi cobaan,bencana dan dalam melaksanakan

semua perintah Allah.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan ini senantiasalah untuk

bermohon kepada Allah supaya apa yang diharapkan dapat diwujudkan sesuai

kehendak Allah. Dengan sikap sabar dalam bermohon kepada Allah, diri merasakan

dekat denganNya dan hati memiliki ketergantungan kepada Allah. Disebutkan oleh

al-Jailani mengenai sabar karena Allah yaitu hati merasakan cinta dan dekat dengan

Allah.133

Melihat makna yang dikemukakan Sa‗id Hawwa selintas terlihat biasa

namun memiliki makna sufistik yang dalam bahwa sabar dalam melaksanakan

perintah Allah menjadikan hamba semakin dekat denganNya. Sa‗id Hawwa

mendorong agar manusia dalam beribadah selalu memohon pertolongan Allah untuk

dapat melaksanakan semua perintahNya.

Selanjutnya ditafsirkan oleh Sa‗id H{awwa tentang makna puasa;

134.فغش اصجش ب ثبص م ػ١ اغال اص صف اصجش

Makna sabar pada ayat tersebut adalah puasa sebagaimana Nabi saw pernah

mengatakan bahwa puasa itu setengah dari kesabaran.

131

Artinya; Mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan s}alat, sesungguhnya yang

demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang yang khushu’. Alquran dan Terjemahnya, Depag-

Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

132 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 139 133

Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Tahqi>q:

Shaikh Anas Mihrah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2,157

134 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 139

Page 167: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

146

Berdasarkan penafsiran diatas yang menjadikan batin manusia terasa suci dan

dekat dengan Allah yaitu puasa.135

Pengertian sabar sebagai puasa juga dikemukakan

oleh Tustari dalam tafsirnya.136

Puasa yang benar, bertujuan untuk membentuk rohani

yang bersih. Dengan menjalankan puasa yang sesungguhnya mengharap rid}a Allah

maka kesucian hati semakin meningkat.

Dapat dipahami bahwa puasa merupakan sarana dalam memohon pertolongan

Allah. Makna dasar yang terkandung dalam puasa adalah menciptakan kesabaran

jiwa, sedangkan tujuan hakiki puasa untuk merasakan hubungan yang dekat dengan

Allah sebagai ciri orang bertaqwa.137

Dengan menjalankan puasa yang benar

(mengetahui rahasianya) maka seseorang terlatih untuk selalu merasakan kehadiran

Allah dimana saja berada. Makna inilah yang dikandung dalam istilah taqwa.138

Bila hati suci maka anggota tubuh menjadi suci. Hati yang bersih bagian dari

kebenaran rahasia antara manusia dan Tuhan. Rahasia itu ibarat burung dan hati

menjadi sangkarnya, demikian dijelaskan oleh al-Jailani.139

Rahasia antara Tuhan dan

manusia menurut pandangan al-Jailani diatas, terdapat dalam hati yang suci. Orang

yang memiliki hati bersih akan memperoleh pengetahuan tentang rahasia ketuhanan

(al-fath}u ar-rabba>niy). Untuk merasakan hubungan yang langsung atau wusu>l

kepada Allah dapat dirasakan dengan kesucian hati. Artinya kesucian inilah yang

dapat mengantar jiwa sampai menuju Allah.140

135

Hal yang sama tentang makna sabar dan salat juga dikemukakan oleh al-Alusi. Lihat; Al

Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni (Beirut: Darul

Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), jilid 1, 352.

136 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 31

137 Menjadi hamba bertaqwa merupakan tujuan dari melaksanakan ibadah puasa, lihat; QS.

Al- Baqarah : 183 138

menjauhkan segala sesuatu yang dapat menjauhkan engkau dari) جبجخ و ب ٠جؼذن ػ اهلل رؼب

Allah). Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 61

139 Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Beirut: Darul

Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003, Cet.ke-2, 156, Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah

140 wus}u>l).زا اصي ئ اهلل از سأ٠ب ثؼط صشر اظش األػ صذخ امج١خ افغ١خ ف اإلعال

kepada Allah yang kami perhatikan sebagian buahnya (keistimewaannya) ialah kenyataan rahasia yang

Page 168: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

147

Puasa dengan demikian menjadikan rohani suci kemudian bila rohani suci

jalan untuk berkomunikasi langsung dengan Allah dapat dirasakan. S{alat merupakan

cara untuk merasakan hubungan langsung dengan Allah. Rohani yang suci dan dapat

merasakan hubungan langsung dengan Allah, itulah puncak yang dituju dalam

kehidupan sufi.141

Hubungan yang dialami tidak dijelaskan dalam bentuk melihat

Tuhan karena hal itu hanya terjadi di akhirat.142

S{alat yang sempurna menjadikan

hati seseorang ikhlas kepada Allah terhindar dari waswas bisikan setan, pikiran kotor

yang terlintas dalam hati dan merasakan kehadiran Tuhan disisinya.143

Puasa harus

melahirkan kesabaran sebagai prasyarat dalam bermuna>jat sedangkan s}alat

merupakan wujud pelaksanaannya. S}alat sebagai media komunikasi dengan Allah

sangat tepat digunakan dalam bermohon kepada Allah.144

Puasa membentuk rohani suci merupakan jalan untuk mencapai ma‘rifah yang

diwujudkan dalam s}alat. Oleh karena itu sabar dan shalat sangat berkaitan menuju

hubungan langsung antara hamba dengan Tuhan.

Dari dua penafsiran diatas, disamping memaknai sabar dengan puasa mereka

juga memandang bahwa puasa merupakan tangga awal untuk menuju berhubungan

langsung dengan Allah. Pada dasarnya penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari

memiliki satu pandangan, seperti disebutkan diatas juga tafsir Tustari banyak

kesamaan pemikiran dengan tafsir Sa‗id H{awwa.

Mengenai sabar dalam ayat diatas menurut tafsir Ibnu Arabi berarti sabar

terhadap hal yang tidak disukai. Dijelaskan bahwa sabar dalam penafsirannya ini

tertinggi yang dirasakan oleh hati dan jiwa yang suci). Sa‗id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah

(Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 154

141 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6,139

142 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,

Cet. Ke–6, 6268 dan 6276. 143

Rasulullah bila ditimpa suatu musibah beliau mencari perlindungan dengan shalat. Dalam

ayat ini shalat dapat juga ditafsirkan dengan doa sebagai makna dasar dari shalat. Lihat; Sa‗id

H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6,139 144

S{alat adalah mi’raj al–muslimi>n.

Page 169: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

148

menuju ke maqa>m rid}a,145

Sabar pada ayat tersebut tidak diberikan makna lain

oleh Ibnu Arabi namun ia menjelaskan bahwa bagi perjalanan suluk harus melewati

maqa>m sabar untuk menuju maqa>m rid}a. Sabar dan rid}a dua hal yang tidak

terpisah artinya bagi pelaku tasawuf bila berada dalam maqa>m sabar lanjutannya

menumbuhkan didalamnya sifat rid}a.

Pandangan Ibnu Arabi tentang ayat ini menyatakan bahwa sabar adalah

tangga untuk menuju rid}a. Sementara itu Tustari dan Sa‗id H{awwa menafsirkan

sabar sebagai puasa dan menjadi tangga menuju ma‘rifah bagi Tustari, sedangkan

Sa‗id H{awwa puasa landasan menyucikan jiwa menuju hubungan langsung dengan

Allah, yang terwujud dalam s}alat. Sa‗id H{awwa menyatakan kalau melihat Tuhan

dengan mata kepala hanya terjadi di akhirat.146

Pandangan tasawuf Sa‗id H{awwa ini

mendorong kepada amal yang dapat dirasakan pengaruhnya didunia dan realistis

dengan menghindari hal abstrak. Oleh karena itu penafsiran Sa‗id H{awwa lebih

memperhatikan makna zahir dalam mengungkap makna isha>ri.

2. Ayat 18 surat Yusuf (12)

Pada ayat lain diterangkan tentang kesabaran yang dialami oleh nabi Ya‗kub

terkait kasus yang menimpa nabi Yusuf seperti terdapat dalam surat Yusuf (12) ayat

18.

Sa‗id H{awwa menjelaskan;

145

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 51

146 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,

Cet. Ke–6, 6268 dan 6276. 147

Artinya; Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu.

Ya‗kub berkata, ― Sebenarnya dirimulah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu, maka

kesabaran yang baik itulah kesabaranku, dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap

apa yang kamu ceritakan‖. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah

al-Munawwarah, 1415 H

Page 170: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

149

دز ٠فشج اهلل عأصجش صجشا ج١ال ػ زا األش, فصجش ج١ أج: فأش صجش ج١ أ

148.ثؼ ؽف

Maka kesabaran yang baik maksudnya kesabaran yang paling tinggi tingkat

kesabarannya. Aku benar-benar akan sabar dengan sebaik-baiknya terhadap

urusan ini sehingga Allah melapangkan dengan pertolongan dan

kelembutannya.

Demikian penafsiran Sa‗id Hawwa memahami ayat tentang kesabaran nabi

Ya‗kub, bahwa ia menunjukkan kesabaran yang sesungguhnya menghadapi tipuan

saudara-saudara Yusuf. Kesabaran nabi Ya‘kub yang dinyatakan dalam ayat diatas

merupakan kesabaran yang teguh. Ia benar–benar menunjukkan kesabaran seraya

mengharapkan pertolongan Allah sehingga Allah melepaskannya dari kesedihan.

Berkat kesabaran nabi Ya‗kub, kemudian Allah memberitahukan tentang peristiwa

yang menimpa Yusuf yang diperdayakan oleh saudaranya. Ini bentuk pertolongan

Allah yang dimohonkan nabi Ya‗kub dalam akhir ayat tersebut yang membuktikan

kebohongan perkataan para saudara Yusuf.149

Selanjutnya dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa tentang makna sabar tersebut;

150. بالشى ف١ ئ اخك دز ٠فشط اهلل ثؼ ؽفاصجش اج١

Sabar yang sangat baik yaitu dalam artian tidak mengadukan persoalan

kepada yang lain tapi menyandarkan langsung kepada Allah sehingga Allah memberi

kelapangan. Dalam sabar ini mengandung tawakal dan rid}a.151

Pandangan Sa‗id

Hawwa tentang makna sabar diatas merupakan salah satu pengertian yang

148

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6,2638. Dikemukakan juga oleh al-Alusi; فصجش صجش ج١, فأش صجش ج١ . Al-Alu>si, Ru>h}ul

Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran

(Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 6, 530. Setelah itu, al-alusi menguraikan analisis kebahasaan

dengan rinci.

149 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6,2638 150

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6,2638. Makna ini terdapat juga dalam tafsir al-Alusi. Lihat; Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi>

Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul

Hadis, 1426/2005), Jilid 6, 530. 151

Sejalan dengan yang dikemukakan tafsir Ibnu Arabi bahwa dalam sabar pengantar menuju

rid}a. Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet.

Ke–2, 51

Page 171: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

150

dikemukakan oleh para sufi.152

Sabar demikian mendorong seseorang untuk

senantiasa merasakan lebih dekat dengan Tuhan.

Kesabaran menyangkut nabi Ya‘kub berkaitan dengan objek yang dihadapi

yaitu persoalan yang menimpanya sesuatu yang tidak baik (musibah sayyi’ah ص١جخ

Musibah yang menimpanya dijadikan sebagai jalan untuk lebih mendekatkan .( ع١ئخ

diri kepada Allah yaitu dengan memohon langsung pertolongan hanya kepada Allah.

Sikap nabi Ya‘kub ini menunjukkan keterkaitan antara sabar dan datangnya

pertolongan Allah.153

Dalam ayat juga digambarkan terlebih dahulu kondisi tingkat

kesabaran nabi Ya‘kub kemudian dikemukakan sikapnya yang semata- mata

memohon pertolongan Allah.

Sabar dengan tidak mengadukan pada yang lain merupakan wujud tauhid

yang sangat murni. Contoh nabi Ya‘kub diatas menentang cara yang dilakukan bila

mengarah pada kemusyrikan. Biasa manusia bila menghadapi suatu musibah (seperti

kehilangan, kebangkrutan, sakit dan sebagainya) sering lupa diri sehingga minta

petunjuk pada orang ―sakti‖, mengorbankan akidah atau menempuh cara yang

bertentangan dengan akidah Islam. Mengatasi persoalan yang dihadapi dengan cara

seperti demikian sangat dilarang dalam Islam, sebab dalam prakteknya mengandung

rasa putus asa manusia dengan Tuhan. Melalui ayatnya Allah mencela perbuatan

demikian.

Artinya; Ia berkata,‖ Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat

Tuhannya kecuali orang yang sesat. al–H{ijr (15): 56)154

Kehilangan asa dari manusia terhadap Tuhan akan membuat hubungan dengan

Tuhan bertambah jauh, semakin jauh hubungan dengan Tuhan mengakibatkan hati

menjadi rusak (tidak suci). Keadaan seperti inilah yang dicela Tuhan, karena Tuhan

152

Lihat; Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut:

Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 107. 153

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6,2638. 154

Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-

Munawwarah, 1415 H

Page 172: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

151

menjadi dikesampingkan. Mengapa manusia dapat menjauh dari Tuhan padahal

Tuhan begitu dekat.

, ئرا عأه ػجبد ػ فا لش٠ت أج١ت دػح اذاػ ئرا دػب

Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku maka

sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang

berdoa apabila ia berdoa kepadaKu.155

Persoalannya adalah bagaimana manusia dapat merasakan kedekatan dengan

Tuhan. Oleh karena itu, dengan memahami rahasia kesabaran secara hakiki akan

memunculkan jiwa yang suci dan merasakan berada dekat disisiNya. Disinilah makna

sufistik yang dibangun oleh sifat kesabaran yaitu terciptanya hubungan yang sangat

dekat dengan Tuhan. Sabar dalam makna ayat diatas termasuk yang dimaksud oleh

ahli hakikat, prilaku dan akhlak mereka tertanam kesabaran. Karena mereka melihat

sabar bagian dari tanda kemanusiaan dan sebagai salah satu sifat manusia.156

Adapun at-Tustari menafsirkan sabar dalam surat Yusuf ayat 18 yaitu غ اصجش

sabar mengandung rid}a. Tandanya adalah tidak mengeluh menghadapi اشظب

musibah apa saja. At-Tustari ditanya, dengan bagaimana sabar yang paling baik itu

diperoleh jawabnya yaitu dengan menyadari bahwa sesungguhnya Allah

menyertaimu.157

Artinya seseorang harus dapat menyadari dan merasakan bahwa

Allah sangat dekat denganNya. Dalam sabar tersebut hati senang menerima dan

menghadapi segala sesuatu yang menimpa. Sabar dan rid}a merupakan dua hal yang

menyatu dan saling mengisi. Dalam sabar menurut penafsiran at-Tustari mengandung

rid}a, karena itu rid}a tidak bisa dipisahkan dalam sabar.

Melihat makna sabar dalam ayat ini sebagaimana dijelaskan oleh at-Tustari

dalam tafsirnya mengandung pemahaman yang sama dengan yang dinyatakan Sa‗id

Hawwa. Pandangan Sa‗id Hawwa diatas berdasarkan penafsiran al-Alusi memiliki

155

Alquran surat al-Baqarah: 186, Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-

Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

156 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-

1,187 157

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I,81

Page 173: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

152

makna yang sama. Pendapat yang dikemukakan Sa‗id H{awwa nya tidak bisa lepas

dari tafsir yang dijadikan rujukan. Makna isha>ri yang dikemukakannya masih

berlandaskan pada makna zahir ayat. Penafsiran mereka pada intinya memberikan

kesadaran kepada manusia agar selalu merasakan kedekatan dengan Tuhan. Sabar

yang sesungguhnya harus dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Pengertian yang

disampaikan ini sesuai dengan ajaran agama dan mudah memahami dan

melaksanakannya.

Kemudian Tustari mengatakan bahwa ia heran orang yang tidak memiliki sifat

sabar sebab bagaimana ada orang yang tidak bisa bersabar padahal Allah selalu

bersama orang yang sabar.158

Maknanya bahwa Allah itu sangat dekat dengan

hambanya yang bisa sabar, mengapa harus mengorbankan tauhid dengan meminta

pertolongan hal gaib atau perkara yang gaib kepada sesama makhluk. Ini

menunjukkan ketidaksabaran menghadapi musibah. Ditegaskan oleh al-Jailani, tidak

akan memberikan manfaat pengaduanmu kepada makhluk dan juga tidak

mendatangkan bahaya bila kamu menyandarkan kepadanya.159

Allah sangat mencela

orang seperti demikian yang ditegaskan dalam surat fus}s}ilat (41) ayat 49;

Artinya; Manusia tidak jemu memohon kebaikan dan jika mereka ditimpa

malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.160

3. Ayat 5 surat al–Ma‘a>rij (70)

Berkaitan dengan kedudukan sabar ini ditemukan ayat yang diawali dengan

kalimat perintah seperti terdapat dalam surat al–Ma‘a>rij (70) ayat 5. Dari struktur

158

اجمشح ).ئ اهلل غ اصب ثش٠: سة اؼضح ٠مي , ػججذ ٠صجشا و١ف ٠صجشا ذبي )

:153 . Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–

I, 81 159

;Lihat . ٠ب ٠شى ئ اخك صبئج ئ٠ش ٠فؼه شىان ئ اخك ال ٠فؼه ال ٠عشه ئرا اػزذد ػ١

Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fath}u ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}ma>niy, Tahqi>q: Shaikh Anas

Mihrah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2, 111-112.

160 Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-

Munawwarah, 1415 H

Page 174: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

153

ayat, sabar dalam hal ini merupakan sikap nabi Muhammad ketika menghadapi

pertanyaan seseorang tentang mendatangkan azab untuk orang kafir.

فبصجش صجشا ج١ال161

.ثال جضع ال شى: أ162 Dinyatakan oleh Sa‗id H{awwa dalam tafsirnya;

Secara zahirnya ayat ini mengajak bersabar dan jangan terburu-buru, seperti

dijelaskan al-Alusi. Makna ayat ini sekaligus memberi pengajaran kepada nabi

Muhammad dalam bersabar.163

Sa‗id H{awwa menafsirkan ayat ini dengan sabar

tanpa mengeluh ataupun mengadu (shakwa>).164

Sabar dalam ayat ini redaksinya

hampir sama dengan ayat yang dibahas pada ayat diatas. Makna sufistik yang

dikemukakan Sa‗id Hawwa memiliki semangat yang sama dengan makna ayat

tersebut. Bila dicermati lebih dalam, makna tidak mengeluh yang dikemukakan Sa‗id

Hawwa menunjukkan sikap rid}a. Seperti dijelaskan terdahulu rid}a dan sabar dalam

prakteknya sulit dipisahkan dalam tinjauan tasawuf. Bahkan at-Tustari menegaskan

seperti demikian dalam menafsirkan ayat 18 surat Yusuf yang diatas.165

Perintah sabar dalam ayat ini merupakan respon yang yang harus ditunjukkan

oleh nabi Muhammad terkait dengan orang yang meminta disegerakan azab. Karena

orang kafir memandang azab itu mustahil munculnya.166

Demikian Sa‗id H{awwa

memahami ayat diatas dengan mengutip Ibnu Kathir.

161

Artinya; Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Alquran dan Terjemahnya,

Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

162 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,

Cet. Ke–6, 6133. Makna dasarnya terdapat dalam tafsir al-Alusi yang dikembangkan oleh Sa‗id

H{awwa.

163-Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as فبصجش ال رغزؼج

Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 6, 530.

164 Makna ini seperti diungkapkan al-Jarjani. Lihat; Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani,

Kitab Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3, 131. Lihat juga; Abdul Qadir

Al-Jailani,. al-Fath}u ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}ma>niy, Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah

(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2, 111.

165 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 81 166

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,

Cet. Ke–6, 6133

Page 175: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

154

Sementara itu Tustari juga menyatakan dalam tafsirnya bahwa sabar adalah

rid}a tanpa mengadukan سظب غ١ش شى sehingga tidak menjadi resah. Menurut

Tustari, seseorang mengadu dalam bersabar berarti itu suatu musibah / kecelakaan

baginya dalam pandangan Allah. Seseorang hamba bila masih mengadu, mengeluh

maka ia masih terikat dengan prilaku dirinya (kehendak nafsu) yang mendorongnya

berpaling pada kekuatan lain dari pada tetap dalam kesabaran.167

Sabar yang

dikehendaki ayat menurut Tustari adalah sifat sabar yang konsisten tidak dicemari

oleh keluhan yang menyebabkan hilangnya hakekat kesabaran. Sesuai dengan

penjelasannya tentang ayat 18 diatas, dalam sabar mengandung rid}a sebab sabar

demikianlah yang harus melekat pada diri dalam rangka mensucikan rohani.

Mengenai sabar dalam ayat diatas, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa menurut

orang kafir azab yang dijanjikan kepadanya dianggap masih jauh bahkan bisa jadi

mustahil sebab pada mereka ada hijab.168

Ibnu Arabi dalam menafsirkan ayat ini

menyorot makna sabar dengan menjelaskan hal yang melatarbelakangi bersikap

sabar. Dalam penjelasannya, ia mengaitkan uraiannya dengan kandungan ayat

pertama dan kedua bahwa sabar dalam hal ini terkait dengan terealisasinya azab bagi

orang kafir. Artinya disini ia tidak eksplisit menjelaskan makna sabar. Dalam

pandangan Ibnu Arabi ayat tersebut boleh jadi tidak mengandung makna sufistik.

Penafsiran sufistik yang dikemukakan Sa‗id H{awwa tentang sabar diatas

saling mendukung. Tampak dari penafsirannya sangat berpegang dengan zahir ayat

dan sejalan dengan pengertian para sufi, seperti dikemukakan terdahulu. Makna dari

penafsiran Sa‗id Hawwa sejalan dengan yang dilakukan para sufi atau dikenal dengan

tasawuf praktis sehingga penafsiran yang selaras dengan amaliah tersebut identik

dikenal dengan tafsir sufi isha>ri.

Penafsiran Sa‗id H{awwa tentang sabar pada ayat tersebut mempunyai makna

yang sama dengan yang dikemukakan Tustari yang berpangkal pada tidak mengeluh

167

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 177 168

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 348

Page 176: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

155

dan mengadu dalam menghadapi musibah sebab bila mengadu itu justeru menjadi

musibah baru. Makna tiada mengadu atau mengeluh tersebut mengandung sikap

rid}a. Dalam mengungkap makna isha>ri sebagaimana terlihat dalam beberapa

penafsirannya, seperti Tustari, begitu juga Sa‗id H{awwa tidak secara terang

menyebutkan batas antara makna isha>ri dan makna zahir. Penafsiran sufistik yang

dikemukakan hanya diketahui dari kandungan maknanya. Penafsiran sufistik dapat

dikenali dengan membandingkan dengan penafsiran sufi lain atau pendapat para sufi.

4. Ayat 3 surat al–‘As}r

Pada ayat lain ditemukan petunjuk untuk bersabar, seperti yang terdapat

dalam surat al–‘As}r ayat 3.

.اذبد راصاثبذك راصاثبصجشصئال از٠ اا ػا اي169

Dengan mengutip tafsir an-Nasafi, makna sabar dikemukakan Sa‗id Hawwa;

. ػ اؽبػبد ػ ب ٠ج ث اهلل ػجبد, أ ػ اؼبص170

Artinya; Sabar dari kemaksiatan, dalam ketaatan dan dalam menghadapi ujian

Allah.

Sebagaimana dinyatakan diatas bahwa sabar itu ada tiga kategorinya; sabar

dalam ketaatan kepada Allah seperti melaksanakan ibadah fard}u dan sunat serta

berzikir. Sabar dalam menghadapi kemaksiatan yaitu tidak melakukan perbuatan

yang menimbulkan dosa dan sabar terhadap ujian Allah yaitu tidak mengeluh. Sabar

dalam menghadapi ujian termasuk didalamnya ketika mengalami rintangan dalam

menegakkan amar ma‘ruf nahi mungkar.171

Selanjutnya dijelaskan makna sabar lebih dalam oleh Sa‗id H{awwa;

169

Artinya; Kecuali orang yang beriman dan beramal saleh dan saling memberi nasehat

dengan kebenaran serta kesabaran. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-

Madinah al-Munawwarah, 1415 H

170 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,

Cet. Ke–6, 6669

171 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,

Cet. Ke–6, 6671

Page 177: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

156

.اصجش ػ جبد افظ اصجش ػ رججخ اجبؼ172

Sabar disini sangat halus yaitu sabar dalam jihad menghadapi nafsu173

dan

sabar dalam suka cita yang tidak benar. Sa‗id Hawwa menekankan bahwa

menghadapi hawa nafsu bagian dari jihad. Orang yang mampu mengendalikan hawa

nafsu berarti berhasil dalam kesabaran berjihad. Dalam istilah at-Tustari pokok dari

kesabaran adalah mujahadah nafsu dalam menjalankan ketaatan.174

Salah satu contoh

jihad mengendalikan hawa nafsu adalah dengan berpuasa. Karena itu dalam

penafsiran ayat tentang sabar pada surat al-Baqarah terdahulu Sa‗id Hawwa

menyatakan makna sabar dengan puasa. Orang yang berhasil dalam berjihad nafsu

berarti berhasil dalam berpuasa maka akan menjadikan rohaninya suci sehingga

merasakan dekat dengan Tuhan.

Sabar yang halus dan sering diabaikan juga yaitu sabar menghadapi

kemegahan yang dapat menjerumuskan pada hal yang salah yang disebut Sa‗id

H{awwa dengan sabar atas kesenangan batil.175

Istilah lain adalah menahan diri dari

hal yang halal karena dapat membawa kemubaziran atau sekedar memperturutkan

hawa nafsu.176

Sabar menghadapi demikian adalah dengan menghindari hidup

berkelebihan atau berfoya-foya. Misalnya hidup bermewahan, hidup boros atau

fasilitas yang berlebihan, sehingga menimbulkan kesombongan. Semuanya itu bagian

dari sabar terhadap kesenangan dunia yang dapat melenakan manusia. Ini termasuk

sabar yang dirasakan oleh pelaku tasawuf.

172

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,

Cet. Ke–6, 6671

173 An-Nafs totalitas diri mengandung baik-buruk ( (فظ ب عاب فأ فجسب رماب

disebutkan oleh Sa‗id Hawwa, nafs itu adalah roh setelah bercampur (bergabung) dengan jasad. Nafs

memiliki kecenderungan pada kekal hissi (materi/fisik) atau pada maknawi. Kecenderungan

duniawinya harus disucikan. Sa‗id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428

H/2007 M), Cet. Ke–9, 49

174 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 204 175

Kegembiraan yang salah رججخ اجبؼ Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6, 6671.

176 Raghib Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran, Beirut : Darul Kutub Ilmiah, 2004

/ 1425 H, h. 306

Page 178: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

157

Disamping itu Sa‗id H{awwa juga menghubungkan sabar sebagai salah satu

unsur untuk memperoleh keberuntungan atau menjadi manusia beruntung. Bahkan

dijelaskannya bahwa variabel–variabel manusia yang beruntung yang terungkap

dalam surat al–‘As}r merupakan rincian dari ayat ke lima surat al–Baqarah.177

Ini

merupakan salah satu metode penafsiran Sa‗id H{awwa yaitu mengemukakan

hubungan ayat dengan ayat lain dalam rangka mendukung penafsirannya. Selain itu

Sa‗id Hawwa juga mendasarkan penafsirannya pada tafsir an-Nasafi dan Ibnu Kathir.

Sejalan dengan Sa‗id H{awwa, at-Tustari menyebutkan dalam tafsirnya

manusia dalam bersikap sabar terbagi dua golongan. Sabar untuk dunia, kesabarannya

bertujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan dirinya. Inilah sabar yang tercela.

Kedua sabar untuk akhirat, karena mencari pahala akhirat dan takut dari azabnya.

Sabar akhirat ini ada 4 macamnya yaitu sabar dalam ketaatan menjalankan perintah

Allah, sabar terhadap hal–hal maksiat, sabar dari berbagai musibah. Adapun sabar

keempat, terkait dengan perbuatan makhluk.178

Menurut at-Tustari ayat 126 (pada catatan kaki) menjelaskan tentang

keutamaan orang sabar. Adapun ayat 127 menerangkan bahwa Allah lah yang

menolong orang yang sabar dari berbagai persoalan.179

Dari penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari diatas dipahami secara umum

bahwa jenis sabar ada tiga; sabar dalam melaksanakan perintah Agama, sabar

177

Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang yang

beruntung أئه ػ ذ سث أئه افذ . Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6, 6669 178

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423),

Cet. Ke–I, 204. Mengenai sabar jenis keempat yaitu sabar dari perbuatan manusia diterangkan Allah

dalam surat an–Nah}l ayat 126-127.

Artinya; Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama

dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar sesungguhnya itulah yang lebih

baik bagi orang–orang yang sabar. Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan

pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan janganlah kamu bersempit

dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

179 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 204

Page 179: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

158

menghadapi kemaksiatan dan sabar menghadapi musibah. Selain itu, Tustari merinci

lagi sabar dengan orientasi dunia bahwa sabar untuk mendambakan keuntungan

dunia. Sabar jenis ini menurut tustari merupakan sabar yang cacat, buruk. Sabar

kategori terakhir ini dalam pandangan Sa‗id H{awwa termasuk sabar dari hal–hal

yang batil hanya demi kesenangan sesaat di dunia.

Melihat penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari diatas mengenai ayat terakhir

al–‘As}r pada dasarnya memiliki pandangan yang sama dalam memaknai kesabaran.

Metodologi mereka menafsirkan ayat tetap mengacu pada makna zahir ayat, apalagi

dikemukakan juga munasabah ayat terkait. Penafsiran mereka terlihat mencerminkan

jenis tasawuf ‘amali.

Sehubungan dengan sabar dalam ayat ini, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa

sikap sabar harus kokoh dan istiqa>mah (teguh pendirian) dalam ‘ubu>diyyah. Hal

ini memudahkan untuk menuju al-H{aq. Selain itu sikap sabar harus dipelihara dalam

menghadapi ujian musibah dan menjalani latihan rohani (riya>d}ah). Dalam hal ini ia

mengutip hadis nabi Muhammad yaitu ujian musibah merupakan salah satu cambuk

Allah untuk menggiring hamba kepadaNya agar merasa dekat.180

Pada dasarnya sabar

dalam ‘ubu>diyyah yang dikemukakan Ibnu Arabi mencakup sabar yang diuraikan

dalam penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari diatas bahwa intinya sabar akan

mengantarkan hamba menjadi dekat dengan Allah bahkan sampai صي ئ١

kepadaNya.

Tafsiran Ibnu Arabi yang menjelaskan keberadaan sabar dan cakupannya

memiliki kesamaan dengan pandangan dengan Sa‗id H{awwa dan Tustari. Artinya

mereka sepakat bahwa sifat sabar pada seseorang dalam menjalankan ajaran agama

mendorong kesadaran untuk merasakan hubungan dekat dengan Allah. Apalagi sabar

juga bertujuan membersihkan rohani sebagai makna pokok puasa. Sabar menurut

Ibnu Arabi selain menjalankan ketaatan kepada Allah juga dalam rangka menjalani

latihan rohani untuk sampai kepada Allah.

180

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 428

Page 180: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

159

Memperhatikan penafsiran Ibnu Arabi diatas, dipahami bahwa dalam hal ini ia

juga menggunakan makna zahir ayat terlebih dahulu untuk kemudian menakwilkan

berdasarkan teori tasawuf. Terkait dengan takwil Ibnu Arabi mengenai sabar sebagai

merupakan makna dari kedekatan hubungan antara hamba dengan اصي ئ اذك

Tuhan. Makna ini secara tidak langsung sejalan dengan penjelasan Sa‗id H{awwa

dan Tustari berkenaan dengan tafsir al–‘As}r ini. Di samping itu pada penafsiran

surat al-Baqarah: 45 pernah dikemukakan juga makna seperti demikian oleh Sa‗id

H{awwa dan Tustari dimana puasa dijadikan sebagai makna sabar untuk

membersihkan rohani sedangkan shalat merasakan wujud kedekatan hubungan hamba

dengan Allah. Penafsiran Sa‗id Hawwa dan at-Tustari lebih mencerminkan tasawuf

amali sementara Ibnu Arabi dengan istilah wus}ul (صي )yang dikemukakan

merupakan pengaruh teori filsafat sufistiknya, yang berlandaskan pada tasawuf

naz}ari.

5. Ayat 200 surat Ali Imran (3)

Bentuk lain dari sabar seperti perintah Allah kepada manusia dalam

menjalankan ajaran agama haruslah dengan sikap sabar dan itu dinyatakan Allah

dalam surat Ali Imran (3) ayat 200. Perintah bersabar disini dikaitkan dengan

perintah bertaqwa kepada Allah.

.٠ب أ٠ب از٠ اا اصجشا صبثشا ساثؽا ارماهلل ؼى رفذ181

Dikemukakan dalam tafsir Sa‗id H{awwa;

أ غبج ف اصجش ػ , صبثشا أػذاء اهلل ف اجبد, اصجشا ػ اذ٠ رىبف: أ

أل١ا ف اضغس زشصذ٠ مزبي أػذاء : ساثؽا أ, شذائذ اذشة ال رىا أل صجشا

.اهلل182

181

Artinya; Hai orang – orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu

dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. Alquran dan

Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

182 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 967

Page 181: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

160

Menurut Sa‗id H{awwa makna ayat ini adalah bersabarlah dalam

melaksanakan ajaran agama dan menanggung perkara agama yang dipikulkan.

Dan kuatkanlah kesabaran dalam berjihad menghadapi musuh Allah, dalam

artian mengalahkan mereka dalam kesabaran ketika terjadi pertempuran hebat

dan janganlah kesabaranmu lebih rendah dari mereka. Selanjutnya ra>bit}u>

berjaga–jaga yaitu bersiap di (tempat) pangkalan sambil mengadakan ساثؽا

pengintaian dalam rangka memerangi musuh Allah.

Penafsiran sabar diatas menunjukkan pada kesabaran dalam menghadapi

musuh-musuh yang tidak menghendaki kehadiran Islam atau mengganggu dalam

pelaksanaan ibadah. Kesabaran merupakan hal yang utama dalam berjuang

menghadapi musuh. Makanya ditegaskan Sa‗id Hawwa dalam tafsirnya, jangan

sampai kekalahan disebabkan oleh kurangnya kesabaran.

Lebih dalam makna ayat dikemukakan Sa‗id Hawwa dengan mengutip

pendapat Hasan al-Basri seorang sufi, bahwa kesabaran harus selalu ada dalam

menjalankan perkara agama. Jangan pernah meninggalkan ajaran agama karena

sedang susah atau keadaaan senang hanyut dalam kegembiraan. Namun tetaplah

konsisten beragama sehingga mati dalam keadaan muslim.183

Ini merupakan isyarat

yang terkandung dalam ayat bahwa kesabaran termasuk jalan untuk mendekatkan diri

kepada Tuhan sesuai dengan perintah diakhir ayat agar bertaqwa kepada Allah.

Sehingga dengan kesabaran yang teguh akan membawa seseorang dalam penyerahan

diri yang sesungguhnya kepada Tuhan. Kesabaran dalam menjalankan ajaran agama

menjadi bukti sebagai muslim, demikian yang ditegaskan Hasan al-Basri diatas.

Selanjutnya dijelaskan tentang arti اشاثؽخ :

184ف اذاخ ف ىب اؼجبدح ألب سثبغ ظذ اش١ؽب

Al-Mura>bat}ah adalah senantiasa berada dalam tempat peribadatan, sebab

beribadah merupakan benteng yang dapat mengalahkan setan. Disebutkan juga

makna mura>bat}ah adalah menguatkan hati berada di dalam masjid seraya

mempersiapkan diri memerangi setan,

183

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 967. Ini makna dari, QS. Ali Imran (3): 102 184

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 972

Page 182: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

161

185ساثؽا ف اغبجذ غزؼذ٠ ذشة اش١ؽب

Masjid merupakan sentral dalam melakukan ibadah sebagai simbol sujud

artinya kesabaran harus ditunjukkan dengan keterikatan hati berhubungan langsung

dengan Allah dalam berbagai macam ibadah yang dilakukan dalam rangka

mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti dikatakan al-Alusi, mura>bat}ah merupakan

bagian dari kesabaran.186

Boleh jadi kata masjid merupakan cerminan ibadah khusus

seperti s}alat yang sering dilakukan di dalamnya agar lebih mendorong mendekatkan

diri kepada Tuhan. Substansinya adalah adanya keterpautan hati dengan Allah

sehingga membentuk jiwa yang bertaqwa kepada Allah. Seperti melaksanakan salat,

zikir, wirid, berdoa dan sejenisnya. Selain setan yang dihadapi termasuk juga

menghadapi nafsu yang akan mengganggu kesucian hati. Musuh yang berat adalah

melawan musuh yang tidak kelihatan baik nafsu atau godaan setan seperti dijelaskan

Sa‗id H{awwa bahwa kesabaran dikokohkan lagi untuk menghadapi musuh yang

tidak nyata ini. Dengan beribadah akan mengokohkan batin dalam melawan pengaruh

setan yang menggoda nafsu. Makna ini sejalan dengan penjelasan Sa‗id Hawwa

tentang kesabaran dalam surat al-‘Asr yaitu sabar dalam jihad melawan nafsu.187

Karena itu dikatakan oleh para sufi bahwa sabar adalah perbuatan yang agung dan

mulia. Ujian dalam kesabaran termasuk hal yang utama sebab dengan ujian lebih

melatih diri dan lebih menguatkan keyakinan (berpegang teguh dalam keimanan).188

Ketiga hal ini harus tertanam dan menjadi terpadu dalam diri agar hati selalu

suci dan dekat dengan Allah. Bila diperhatikan tiga komponen antara اصجشا ساثؽا –

-صبثشا tersebut merupakan sifat yang bertingkat artinya dari sabar meningkat

menjadi mus}a>barah terus meningkat menjadi mura>bat}ah. Pada tingkat

185

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 972 186

Pengkhususan lain, seperti kata jibril yang disebut ar-ru>h yang mengikuti kata malaikat

dalam surat az-Zalzalah. Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i

al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 2, 532. 187

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,

Cet. Ke–6, 6671 188

Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-

1,187

Page 183: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

162

mura>bat}ah, dua unsur lain tetap melekat dan tidak terpisah seperti maqa>m–

maqa>m tasawuf juga dimana ketika seseorang sampai pada suatu tingkat tertentu

maka tingkat yang dibawahnya tidak lepas dan inklud didalam maqa>m yang baru.

Menurut Tustari ayat ini berbicara tentang implementasi cakupan iman yaitu

tawakal kepada Allah, ketundukan terhadap perintahNya, rid}a dengan ketentuannya,

syukur atas nikmatNya dan taqwa kepadaNya.189

Penjelasan Tustari ini terpadu

kepada kepasrahan diri, taat kepada Allah. Makna pokok penafsiran Tustari ini

sejalan dengan makna sabar yang disampaikan Sa‗id H{awwa diatas bahwa bersabar

menjalankan ajaran Islam agama yang dirid}ai Allah dan jangan sampai

meninggalkannya baik dalam kondisi senang atau susah sehingga mati dalam keadaan

muslim. Ini menunjukkkan kepatuhan dan penyerahan totalitas diri kepada Allah.

Selanjutnya disebutkan bahwa kesabaran adalah tiang keimanan, keikhlasan

merupakan kesempurnaan iman.190

Iman digambarkan Tustari bagaikan bangunan

maka tiangnya adalah kesabaran sedangkan kesempurnaan bangunan iman adalah

ikhlas. Sabar dalam pengertian Tustari menjadi hal yang harus kuat, kokoh sesuai

dengan ayat 200 Ali Imran ini karena sabar nantinya akan menuju menjadi penopang

bangunan yang akan menampung berbagai unsur lain.

Penafsiran Tustari bila dihadapkan pada penafsiran Sa‗id H{awwa

mengandung prinsip yang sama memahami substansi ayat melalui pendekatan makna

zahirnya. Bagi Sa‗id H{awwa tiga komponen; sabar, mus}a>barah dan mura>bat}ah

dalam ayat tersebut menjadi unsur pokok untuk membentuk keimanan yang kokoh

yang diwujudkan dalam ketundukan, penyerahan diri secara totalitas kepada Allah.

Adapun dari penafsiran Tustari terlihat, menguraikan pemahaman isha>rinya masih

tetap berdasarkan pada zahir ayat sejalan dengan penafsiran Sa‗id H{awwa.

Sementara itu Ibnu Arabi menafsirkan ayat diatas sebagai berikut; pertama

sabar ( اصجشا ( artinya muja>hadah pada maqa>m nafs, kedua s}a>biru ( صبثشا (

189

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 52 190

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 52

Page 184: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

163

artinya muka>shafah pada maqa>m qalbu serta dorongan kuat menuju tajalli sifat

Tuhan. Selanjutnya ra>bit}u> ( ساثؽا ( artinya musha>hadah berada pada maqa>m

ru>h}.191

Penafsiran Ibnu Arabi mengenai ayat di atas tidak terikat oleh makna zahir

ayat. Ibnu Arabi terlihat mengemukakan makna isha>ri sesuai pandangan filsafat

sufistik (tasawuf falsafi). Bila dipertemukan dengan penafsiran Sa‗id H{awwa dan

Tustari tampak sekali perbedaannya dengan tafsir Ibnu Arabi dalam hal pendekatan

makna isha>ri. Kecenderungan naz}arinya Ibnu Arabi lebih menonjol, dengan istilah

seperti tajalli, mukashafah dan mushahadah.

Penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari masih mendukung pemahaman

lahiriyah sedangkan penafsiran Ibnu Arabi tidak nyata pemahaman lahiriyah tapi

melampaui itu semua. Artinya penafsiran Ibnu Arabi seakan terlepas dari struktur

ayat sebagaimana terlihat diatas.

Dari penafsiran–penafsiran di atas antara Sa‗id H{awwa dan Tustari memiliki

pandangan yang pada dasarnya saling terkait. Kedua penafsiran tersebut lebih

cenderung berpegang pada makna zahir dalam memberikan penafsiran isha>ri. Hal

ini menjadi faktor pendukung terhadap penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa.

Perbedaannya dengan penafsiran Ibnu Arabi dalam hal ini di samping pengaruh

paham filsafat juga makna isha>ri terlihat jauh dari makna zahir. Penggunaan makna

isha>ri dan makna zahir ini yang membedakan penafsiran Ibnu Arabi dengan Sa‗id

H{awwa dan a-Tustari.

D. Tafsir tentang Ayat-Ayat Tawakal

Dalam shighat bahasa Arabnya disebut dengan tawakkul192

artinya bersandar

pada janji dan ancaman Allah dengan menghilangkan keinginan pada selainnya.193

Dikatakan oleh Ibnu Masruq tawakal berarti tunduk terhadap ketentuan hukum Allah

191

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 159 192

Asal kata (derivasinya) روال- ٠زو – رو tawakkala – yatawakkalu – tawakkulan. 193

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 65

Page 185: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

164

yang ditetapkanNya.194

Pengertian tawakal ini masing–masing sufi memiliki

pemahaman hampir sama yang secara umum disimpulkan yaitu menyandarkan

kepada Allah dengan menerima segala bentuk kejadian yang berlaku dan yakin

terhadap hukum Allah.

Beberapa ayat yang sangat terkait dengan tawakal sebagai bentuk penyerahan

diri, dalam rangka membersihkan rohani maka dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Ayat 159 surat Ali Imran (3)

Pada ayat 159 surat Ali Imran, Allah menjelaskan keberadaan tawakal bagi

manusia dalam menghadapi berbagai persoalan. Sikap tawakal dalam ayat ini

mengandung unsur yang disebut sebelumnya yaitu ‘azam pada ayat tersebut

sebagaimana terlihat berikut ini.

Dijelaskan oleh Sa‗id Hawwa terkait dengan tawakal dalam ayat;

196.فارا لؽؼذ اشأ ػ ش١ئ ثؼذ اشس فزو ػ اهلل ف ئعبئ: أ

Apabila keputusan dalam musyawarah sudah ditetapkan maka bertawakallah

kepada Allah mengenai hasilnya.

Tawakal yang diperintahkan dalam ayat dilakukan setelah ada ‘azam sebagai

wujud dari harapan dan tekad yang kuat. Keputusan yang diambil sebelum

bertawakal sudah melalui berbagai usaha pemikiran dan pertimbangan.

194

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 65 195

Artinya; Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap

mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari

sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan

bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan. Kemudian apabila kamu telah membulatkan

tekad (‘azam) ػض maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang–orang

yang bertawakal kepadanya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-

Madinah al-Munawwarah, 1415 H

196 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6,916

Page 186: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

165

Selanjutnya dijelaskan Sa‗id H{awwa bahwa orang yang betul-betul

bertawakal adalah;

٠أخز ثبالعجبة ٠م ثذك اهلل رف١ز أش , اؼزذ٠ ػ١ افظ١ أس ئ١: أ

.ثبعزفبد اعغ ثزي اؽبلخ ال ٠ؼزذ ئال ػ اهلل197

Orang-orang yang menyandarkan dan menyerahkan segala urusan mereka

kepada Allah. Mereka memahami hukum sebab-akibat, melaksanakan

(memenuhi) hak Allah, melaksanakan perintahnya dengan menghabiskan

kekuatan (maksimal), mengerahkan segala kemampuan dan Mereka hanya

menyandarkan kepada Allah.

Inti tawakal menurut Sa‗id H{awwa adalah hanya kepada Allah bersandar dan

menyerahkan segala perkara (urusan) yang dikehendaki. Pengertian ini sejalan

dengan at-Tustari, dikatakannya sebagai sikap menyerahkan segala urusan kepada

Allah dan hanya kepadaNya berkehendak tidak kepada selainnya فض ئ١ ج١غ أس

dan افزمش ئ١ د غ١ش. 198

Makna ini terkandung dalam pengertian para ahli sufi seperti

terdapat dalam mu‘jam istilah sufi.199

Menurut Sa‗id H{awwa beberapa hal seperti disebut diatas harus dipenuhi

dalam menjalankan tawakal. Dalam bertawakal menunjukkan akan hubungan yang

dekat dengan Allah. Maknanya, adanya pengakuan yang tulus dalam menjalankan

kewajiban-kewajiban kepada Allah. Seseorang yang bertawakal, akan selalu

merasakan kehadiran Tuhan dalam kondisi apapun ia berada. Ibadah-ibadah yang

dilakukan menjadi pengikat batin antara ia dan Tuhan ( Seperti .(٠م ثذك اهلل

ditegaskan al-Ghazali bahwa dalam bertawakal mengandung unsur tauhid yang harus

197

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6,916. Dalam bahasa lain, dinyatakan juga yaitu dengan; االػزبد ػ اهلل ف و أش menyandarkan

segala perkara kepada Allah. Lihat juga, Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam,

1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet. Ke–6, 3876

198 Siapa yang melakukan musyawarah dan berserah diri kepada Allah tentang hasil dari apa

yang sudah diputuskan kemudian ia menyesali kenyataan yang dihadapi maka sesungguhnya ia telah

melakukan tuduhan salah kepada Allah. Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub

al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 51

199 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 65

Page 187: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

166

dirasakan.200

Hal itu dapat menyucikan jiwa dari pengaruh syirik sekecil apapun,

apabila jiwa suci maka hidayah Allah mudah diserap. Demikian makna tawakal

berdasarkan penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa.

Penafsiran Sa ‗id Hawwa diatas menunjukkan kepada pandangan tasawufnya

dalam memahami ayat secara sufistik. Makna yang dikemukakannya menggali isyarat

yang tersembunyi dari semangat ayat tentang bentuk tawakal.

Adapun perintah tawakal dalam ayat, dijelaskan Sa‗id H{awwa bahwa contoh

dalam menjalankan tawakal yaitu tentang musyawarah. Ketetapan berbagai pendapat

mengenai sesuatu yang telah diputuskan setelah musyawarah, maka kesudahan

hasilnya diserahkan (tawakal) kepada Allah. Ini merupakan hasil sebagai konsekuensi

keputusan tersebut.201

Keputusan dalam musyawarah merupakan salah satu upaya

(‘azam) yang dilakukan dalam bertawakal. Dalam tawakal tersimpan makna

pengakuan bahwa Allah sebagai tumpuan yang menguasai hal gaib termasuk hasil

akhir dari apa yang diusahakan. Penyerahan total kepada Allah mengikat diri untuk

tidak bergantung kepada selainnya. Tidak ada yang bisa menentukan apa yang akan

berlaku masa berikut, manusia hanya bisa mengambil sebab seperti disebut Sa‗id

H{awwa.202

Mengenai tawakal ini at-Tustari juga memahami bahwa musyawarah dalam

ayat tersebut sebagai contoh bentuk ‘azam. Adapun keputusan yang telah diambil

dalam musyawarah maka diserahkan kepada Allah sebagai konsekuensi. 203

Selanjutnya pengaruh bagi orang tawakal disebutkan Tustari yaitu Allah

200

ال ئ ئال اهلل دذ ال شش٠ه : ئب ذزبط ئ بج ػ١ ازو ازد١ذ از ٠زشج له Al-Ghazali,

Ih}ya’ Ulum ad-Din (Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi wa Aula>dihi, 1939/1358) Jilid

4, 240 201

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 916 202

Surat Luqma>n ( 31 ) ayat terakhir ( 34 ) menjelaskan 5 perkara dimana hanya Allah yang

mengetahui, diantaranya sesuatu yang akan terjadi masa nanti; ب رذس فظ ب را رىغت غذا ( Dan

tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa saja yang akan diusahakannya besok ).

203 Siapa yang melakukan musyawarah dan berserah diri kepada Allah tentang hasil dari apa

yang sudah diputuskan kemudian ia menyesali kenyataan yang dihadapi maka sesungguhnya ia telah

melakukan tuduhan salah kepada Allah. Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub

al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 51

Page 188: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

167

menyingkapkan (٠ىشف ( dalam hatinya berbagai ilmu sehingga antara hamba dan

Allah tidak ada perantara ثال اعؽخ ف١ب karena itu wajib menggunakan akal dan

merenung untuk mendapatkan hikmah disebabkan kekuasaan Tuhan dan juga supaya

memperoleh tambahan ilmu ( 11:ؼ )ل سث صد ػب .204

Dengan menjalankan

tawakal maka Allah akan membuka hijab bagi hambanya di dunia dengan berbagai

ilmu sehingga pertolongan Allah bagi orang yang bertawakal sangat dekat. Berkaitan

dengan datangnya pertolongan Allah atau tidak menurut Sa‗id H{awwa manusia tetap

bertawakal. Tawakal itu sifatnya meliputi setiap keadaan baik dalam menghadapi

pertolongan Allah atau tidak adanya pertolongan, baik dalam kecelakaan atau

keselamatan. Harus dipahami dalam tawakal bahwa pertolongan atau tidak diberi

pertolongan itu semua datangnya dari Allah.205

Bagi orang yang tawakal harus

meyakini bahwa bila Allah memberi pertolongan maka tidak ada yang dapat

menggagalkannya namun bila Allah (membiarkan) tidak memberi pertolongan siapa

yang dapat menolong selainNya.206

Artinya kalimat ― tidak memberi pertolongan‖

terbantahkan dengan kalimat setelahnya yaitu siapa yang sanggup mendatangkan

pertolongan selain kekuasaan Allah. Kalimat tersebut menambah keyakinan bagi

orang yang bertawakal dan memberikan motivasi untuk berserah diri kepada Allah

bahwa hanya kekuatan Allah yang dapat menolongnya.

Pada dasarnya penafsiran Tustari dengan Sa‗id H{awwa terdapat satu

pandangan mengenai keberadaan tawakal. Adapun akibat dari tawakal bagi

seseorang, Tustari memaknai dengan terbukanya kashaf dari Allah dengan

memperoleh berbagai ilmu sebagai pertanda dekatnya hubungan antara hamba

dengan Allah. Sedangkan bagi Sa‗id H{awwa pengaruh tawakal menjadikan

seseorang semakin menambah ketundukkan diri kepada Allah sehingga dalam

204

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 51 205

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 921 206

Sesuai penjelasan Alquran ayat 160 surat Ali Imran sebagai motivasi dalam bertawakal. ئ

Artinya; Jika Allah menolong mu .٠صشو اهلل فال غبت ى ئ ٠خزى ف رااز ٠صشو ثؼذ

maka tiada yang dapat mengalahkan mu dan jika Allah membiarkan mu maka siapa yang dapat

menolong mu setelah itu (melainkan kekuasaan Allah).

Page 189: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

168

bertawakal tidak menghiraukan kondisi yang dirasakan apakah baik atau tidak

menyenangkan karena semua datang dari sisi Allah. Artinya dengan tawakal tidak

ada penyesalan dalam menerima konsekuensi dari ‘azam yang telah diputuskan.

Bahkan bila dirujuk kepada penjelasan Tustari bahwa tidak datangnya pertolongan

Allah hanya menimpa orang yang berdosa, karena dosa yang dilakukanlah maka ia

dibiarkan. 207

Pertolongan inilah yang dimaksud sebagai hidayah dalam pandangan

Sa‗id Hawwa. Hidayah ini hanya akan diperoleh oleh orang yang konsisten

melaksanakan hak Allah ( ٠م اهلل ثذم ).

Tampak dari penafsiran Sa‗id H{awwa dalam hal ini bahwa pemaknaan yang

dinyatakannya sesuatu yang mungkin dicapai orang secara umum dan mudah

dipahami. Penafsiran Sa‗id H{awwa mengandung unsur yang sejalan dengan

pandangan para sufi tentang makna tawakal. Perbedaan istilah dengan at-Tustari yaitu

tentang mendapatkan berbagai pancaran ilmu dari Allah. Sementara itu Sa‗id

H{awwa memahami demikian sebagai anugerah yang diperoleh berkat kedekatan

dengan Allah dengan senantiasa melaksanakan hak-hakNya.

Sementara itu Ibnu Arabi dalam tafsirnya menyebutkan tawakal dalam ayat

itu mengaitkannya dengan musyawarah seperti peperangan. Tawakal yang dilakukan

setelah melihat berbagai kondisi yang meliputi pengetahuan, kekuatan, kecerdasan

kemudian diterapkan makna tawakal dan tauhid dalam perbuatan. Artinya bila telah

membulatkan tekad maka serahkan perkara itu kepada Allah dengan tawakal dan

dengan memperhatikan segala faktor yang mempengaruhinya ففض األش ئ اهلل ثبزو

سؤ٠خ ج١غ األفؼبي208

. Tawakal dan tauhid menurut Ibnu Arabi dijalankan serentak dan

tidak terpisah. Dalam tawakal mengandung nilai tauhid yang murni sebagaimana

dijelaskan Sa‗id H{awwa dengan; ٠م ثذك اهلل penyandaran yang utuh kepada Allah

dalam melaksanakan hak–hak Allah. Tawakal disini sangat dinamis artinya tidak

semata–mata menyerahkan kepada Allah tapi setelah melihat seluruh daya upaya.

207

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 51 208

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2,152

Page 190: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

169

Bila diperhatikan penafsiran sufistik Ibnu Arabi dalam hal ini sesuai dengan

makna zahir seperti yang dipahami oleh Sa‗id H{awwa diatas. Bahkan Ibnu Arabi

menyatakan juga secara eksplisit dalam tafsirnya contoh musyawarah dalam

peperangan yang sesuai dengan sejarah turun ayat. Dengan mengemukakan contoh

musyawarah tersebut menunjukkan pemahaman ayat sangat dekat dengan zahir ayat.

Dari beberapa bentuk penafsiran yang dikemukakan Ibnu Arabi dan at-Tustari diatas

yang sejalan dengan makna yang dijelaskan Sa‗id Hawwa, mendukung akan

keberadaan orientasi sufistik penafsiran Sa‗id Hawwa.

2. Ayat 58 surat al–Furqa>n (25)

Perintah untuk bertawakal diungkapkan dengan lebih tegas lagi sebagaimana

terdapat dalam surat al–Furqa>n (25): 58. Ayat ini tidak mengaitkan kepada suatu

objek sebagaimana terdapat dalam surat Ali Imran diatas dimana yang secara tidak

langsung perintah tawakal yang dikandungnya mengarah kepada keputusan bulat

(‘azam) dalam musyawarah.

Kandungan ayat ini menuntun untuk menguatkan keyakinan supaya

bertawakal kepada Allah semata dalam hal apa saja. Makna tawakal dijelaskan Sa‗id

H{awwa disini adalah; االػزبد ػ اهلل ف و أش210

Makna tawakal yang disebutkan Sa ‗id Hawwa ini sangat dasar dalam istilah ajaran

agama. Ada dua hal yang ditekankan dalam pengertian tersebut; pertama, menjadikan

Allah sebagai tempat bersandar, kedua, tawakal menyangkut segala macam

persoalan.

Makna tawakal diterangkan lebih lanjut bahwa;

209

Artinya; Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati dan

bertasbihlah dengan memujinya. Dan cukuplah Dia maha mengetahui dosa–dosa para hambaNya.

Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

210 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.

Ke–6, 3876

Page 191: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

170

صك ث اعذ أشن ا١ ال رزى ػ . و زوال ف أسن وب ػ اهلل از ال ٠د أثذا

.د ٠د211

Jadilah sebagai orang yang betul-betul dalam bertawakal terhadap semua

persoalan kepada Allah yang tidak akan mati selamanya. Kuatkanlah

bertawakal denganNya dan jangan menggantungkan persoalan kepada sesuatu

(makhluk ) yang akan mati.

Bila diperhatikan penafsiran diatas, memiliki makna tauhid yang tegas yaitu

agar manusia jangan sampai rusak akidah dalam menghadapi urusan dunia sehingga

menodai nilai ketauhidan. Orang yang kuat keyakinan dalam bertawakal dan tawakal

menjadi sifat yang melekat pada dirinya (mutawakkil) sehingga ia merasa dekat

dengan Tuhan. Keadaan orang yang bertawakal kepada Allah digambarkan oleh

Sharqawi seperti anak bayi bersama ibunya. Ia tidak mengenal selain ibunya, ia hanya

berlindung dan menyandarkan kebutuhan sama ibunya.212

Dengan demikian orang

yang bertawakal keterikatannya hanya kepada Allah.

Penjelasan Sa‗id H{awwa diatas mengkritisi prilaku manusia yang salah

dalam bertawakal atau mencampurkan dengan hal lain seperti menggantungkan

harapan, nasib kepada benda-benda atau manusia yang sudah pasti akan mati

(hancur). Prilaku seperti ini akan menjauhkan seseorang dari Tuhan dan membuat

jiwa jauh dari kesucian.

Makna penafsiran Sa‗id H{awwa tersimpul padanya tauhid yang

sesungguhnya, membatalkan kekuatan lain yang dapat merusak akidah dan tauhid

keislaman yang akhirnya membawa pada kemusyrikan,. Tidak layak benda yang

dapat musnah menjadi sandaran dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan.

Dinyatakan dalam tafsir Tustari, bahwa ayat diatas mengandung pengertian

tentang tawakal dan kasab. Tawakal merupakan keadaan (kondisi) Rasul sedangkan

211

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.

Ke–6, 3876

212 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-

1,94

Page 192: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

171

kasab adalah sunnahnya. 213

Antara tawakal dan kasab dua hal yang tak terpisah, hal

ini diungkapkan oleh Tustari yaitu siapa yang mencela (mengabaikan) kasab berarti

ia mencela sunnah, siapa yang mencela tawakal berarti ia merusak keimanan.214

Penjelasan Tustari tersebut menguatkan akan hubungan tawakal dan kasab ibaratnya

antara kepribadian Muhammad dengan risalahnya menjadi satu padu yang memang

harus diikuti oleh umat muslim.

Konsep tawakal dan kasab yang dijelaskan at-Tustari diatas, sejalan dengan

makna tawakal Sa‗id H{awwa yang disebutnya dengan istilah memahami hukum

sebab akibat ( .( ٠أخز ثبألعجبة215

Pengertian kasab at-Tustari dan memahami sebab

Sa‗id H{awwa ini termasuk bagian dari ‘azam dalam bertawakal.

Sementara itu tawakal pada ayat ini diterangkan Ibnu Arabi bahwa tumbuhnya

tawakal itu tampak pada sifat hayatnya (al-H{aq) menjadi tumpuan hidup segala yang

hidup sebab sesuatu yang mati secara zatnya tidak hidup.216

Secara prinsip dalam hal

ini, penafsiran Ibnu Arabi memiliki makna yang sejalan dengan penafsiran Sa‗id

H{awwa diatas bahwa tempat sandaran bertawakal hanya kepada zat yang hidup dan

yang tak akan mati.217

Disebutkan oleh Ibnu Arabi bahwa dengan sifat hayat pada

Allah maka itu menjadi dasar kuat sebagai pendorong dalam bertawakal kepadaNya.

Adapun maqa>m tawakal yang sesungguhnya adalah dengan taraqqi (naik

mendaki) dari maqa>m fana>’ dalam perbuatan ( فبء األفؼبي ) kepada fana>’ dalam

sifat h}aya>t.218

Dijelaskan oleh Ibnu Arabi dengan mengutip pandangan para ahli

tasawuf bahwa tidak mungkin berada pada setiap maqa>m dapat dikatakan sah

213

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 114 214

Mencela, merusak ( ؼؼ ) itu seumpama benda yang dilubangi, ditusuk – tusuk. Keimanan

yang dirusak demikian mengakibatkan kehancuran padanya. Sahl Tustari, Tafsir, h. 114 215

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6,916. 216

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 83 217

Rujuk penjelasan Sa‘id Hawwa terkait ayat ini terdapat pada catatan kaki no 133. Sa‗id

H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet. Ke–6, 3876 218

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 83

Page 193: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

172

kecuali mengalami taraqqi (naik) kepada maqa>m yang diatasnya.219

Penafsiran

taraqqi yang abstrak dalam tawakal seperti yang dimaksud Ibnu Arabi tidak

ditemukan dalam penafsiran Tustari dan Sa‗id H{awwa. Penjelasan sufistik tentang

maqa>m tawakal oleh Ibnu Arabi dalam memahami ayat tersebut termasuk kajian

teori tasawuf dan dikemukakan setelah menjelaskan makna zahir. Sementara itu

penafsiran ishari Sa‗id H{awwa dan Tustari lebih dekat dengan pemahaman realistis

karena sangat dekat dengan makna zahir ayat.

Ditambahkan Sa‗id H{awwa bahwa dalam bertawakal tidak menggantungkan

urusan kepada selain Allah, karena dalam tawakal terhimpun padanya zikir (tasbi>h}

dan tahmid). Bertasbi>h} dengan memuji Tuhan dalam ayat itu mengiringi dalam

bertawakal.220

Demikian penjelasannya menyangkut akhir ayat diatas sebagai bukti

kemurnian tauhid.221

3. Ayat 81 surat an–Nisa>’ (4)

Selanjutnya perintah tawakal pada surat an–Nisa>’ (4): 81 menegaskan

supaya berpaling dari orang yang punya tipu daya sebab mereka tidak bisa jadi

teman. Karena itu dalam tawakal kepada Allah berarti sepenuhnya menjadikan Allah

sebagai wakil (pelindung).

219

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 83 220

Tawakal membuka pintu taufik dari Allah yang menandakan hubungan yang dekat dengan

Allah. QS. Hud : 88, ب رف١م ئال ثبهلل ػ١ روذ . Tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan

Allah, hanya kepadaNya aku bertawakal. 221

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.

Ke–6, 3876 222

Artinya; Dan mereka mengatakan, kewajiban kami hanyalah taat. Tetapi apabila mereka

telah pergi dari sisimu sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan)

lain dari yang telah diucapkannya. Allah merekam siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka

berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi wakil

(pelindung). Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-

Munawwarah, 1415 H

Page 194: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

173

Sa‗id H{awwa memahami ayat ini dengan tetap mengacu pada struktur ayat

bahwa perintah tawakal diatas sebagai respon terhadap perbuatan orang munafik.

Karena itu dengan tawakal maka cukuplah Allah yang membalas dan menyiksa akan

perbuatan mereka.223

Selanjutnya bagi siapa yang bertawakal kepadaNya maka Allah

menjadi pelindungnya (wakil).224

Makna lain diterangkan Sa‗id H{awwa;

٠ االعجبغ اصذ١خ اؽبػخ , زا ٠ؼ أ ثمذس ب رشث االخ ػ ازذثش ىزبة اهلل

.اجصشح225

Maksud peristiwa diatas adalah dengan selalu mendidik umat dalam

memperhatikan Alquran (tadabbur li kita>billah), akan menumbuhkan

kepatuhan yang sesungguhnya kepada Allah serta ketaatan yang nyata.

Adanya rasa kepatuhan yang nyata menunjukkan bahwa manusia meyakini

akan pengawasan Tuhan yang sangat dekat keberadaannya.226

Memperteguh ketaatan

kepada Allah harus dilakukan dengan pemahaman Alquran. Abdul Qadir al-Jailani

pernah menegaskan agar selalu berpedoman kepada Alquran. Muliakanlah Alquran

dan laksanakanlah pendidikan bersama Alquran, sebab ia akan menghubungkan (

223

:Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo فا اهلل ٠ىف١ه عشر ٠زم ه ٠ز أش

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6,1132.

224 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6,1132. Wakil dalam ayat ini beda dengan naib yang berarti sebagai pengganti. Shighat tawakkala

merupakan derivasi dari kata wakil - wakala; wakkala, و ئ١ األش ( menyerahkan urusan yang

didalamnya ada unsur ketundukkan kepadanya ). Dikutip dari; Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor,

Kamus Kontemporer Arab–Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak,

t.th), Cet. Ke–4, h. 2037.

Dengan demikian kata wakil memberikan makna sebagai pelindung yang diserahi urusan

kepadanya. Orang yang bertawakal berarti menyerahkan urusan kepada Allah dan menjadikan Allah

sebagai pelindung terhadap apa yang menjadi ‘azam ( tekad ) yang ditetapkan. Dalam bertawakal

berarti menunjukkan pada kelemahan manusia dihadapan Tuhan. 225

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 1132 226

Dijelaskan dalam surat al- Baqarah ayat 186 bahwa Allah memang dekat dengan manusia;

artinya; dan bila hamba–hambaku ...ئرا عأ ه ػجبد ػ فا لش٠ت أج١ت اذػح اذاع ئرا دػب

bertanya kepadamu tentang aku maka jawablah bahwa aku adalah dekat. Sejalan dengan ini pada ayat

16 surat Qaf dinyatakan bahwa Allah sangat dekat; ؼ ب رعط ث فغ ذ ألشة ئ١ دج

artinya; dan kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya اس٠ذ

dari pada urat lehernya.

Page 195: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

174

.antara kamu dan Allah (اصخ227

Alquran tidak sebatas media tapi menjadi

penghubung yang selalu menyertai terhadap orang yang selalu berhubungan dengan

Allah. Karena itu Alquran tidak bisa lepas bagi orang yang selalu berupaya untuk

semakin dekat dengan Allah.

Sebagai indikator kedekatan manusia dengan Tuhan salah satunya diwujudkan

dengan ketundukkan dalam bertawakal. Disamping itu, dalam berprilaku tidak

memperturutkan hawa nafsu yang akan mencemari rohaninya. Sebab ia merasakan

bahwa Allah selalu hadir dalam kondisi apapun. Ini termasuk bagian dari makna

penyerahan secara total dalam tawakal kepada Allah. Penyerahan diri secara total

kepada Allah menunjukkan kuatnya berpegang pada nilai ketauhidan. Karena itu,

kata al-Ghazali bahwa tawakal itu tidak sempurna kecuali dengan hati dan keyakinan

yang kuat kepada Allah sehingga melahirkan ketenangan dan ketentraman hati.228

Sehubungan dengan tawakal yang dikemukakan dalam ayat 81 surat an–

Nisa>’ (4) diatas dijelaskan dalam tafsir at-Tustari bahwa tawakal itu mengandung

makna mengosongkan badan (fisik) dalam penyembahan (beribadah–‘ubu>diyyah),

menggantungkan hati dalam ketaatan (rubu>biyyah) dan berlepas diri dari daya dan

kekuatan.229

Dijelaskan juga mengenai hakikat tawakal menurut Tustari adalah

pengakuan tauhid ( karena itu janganlah berkeluh kesah dalam (اإللشاس ثبزد١ذ

tawakal.230

Dalam hal ini penafsiran at-Tustari sejalan dengan yang dijelaskan Sa‗id

H{awwa pada ayat 58 surat al–Furqa>n (25) tentang kekuatan tauhid yang

. اصخ ث١ى ث١ اهلل ػضج, ادزشا وزبة اهلل ػضج رأدثا ؼ 227 Abdul Qadir al-

Jailani. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}ma>niy (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,

1424/2003), Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah, Cet.ke-2, 55

228 Al-Ghazali, Ih}ya’ Ulum ad-Din (Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi wa

Aula>dihi, 1939/1358) Jilid 4, 254

Pengertiannya yang ؼشح اجذ ف اؼجد٠خ رؼك امت ثبشثث١خ ازجش اذي امح 229

dikandungnya yaitu penyerahan seluruh jiwa raga secara utuh kepada Allah. Sahl At–Tustari, Tafsi>r

at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 54

230 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 54

Page 196: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

175

terkandung dalam tawakal.231

Artinya penafsiran isha>ri at-Tustari masih

berlandaskan pada makna zahir ayat sebagaimana Sa‗id H{awwa.

Penafsiran Tustari tentang karakter dalam tawakal yang meliputi pengosongan

jasmani, ikatan hati kepada Allah sebagai cerminan ketaatan dan menunjukkan

kelemahan dihadapanNya juga dipahami dalam tafsir Sa‗id H{awwa sebagai bentuk

ketaatan dan ketundukkan yang nyata kepada Allah. Dengan demikian terlihat at-

Tustari dan Sa‗id H{awwa sama-sama berpegang pada makna zahir ayat dalam

penafsiran sufistiknya.

Penafsiran makna lain dikemukakan oleh at-Tustari setelah penjelasan diatas

terkait ayat 81 yaitu; sesungguhnya orang yang bertawakal memiliki proses-proses

yang dilalui. Lebih lanjut dijelaskannya, bahwa harus dipahami prosesnya yaitu awal

sesuatu adalah al-ma‘rifah (mengenal) kemudian al-iqra>r (pengakuan), at-

tauh}i>d, al-isla>m, al-ih}sa>n, at–tafwi>d}, at–tawakkul (hal tawakal), kemudian

tenang/tetap kepada al-H{aq dalam semua keadaan232

اغى ئ اذك ج ػضف ج١غ )

(اذبالد

Penafsiran sufistik at-Tustari demikian lebih rinci sebagai tambahan

penjelasan terdahulu. Disini ia menggambarkan bahwa dengan tawakal yang

sesungguhnya akan membawa wusu>l kepada Tuhan. Bila dikaitkan dengan

penafsiran Sa‗id H{awwa tampak bahwa penjelasan seperti ini mendukung yang

dikemukakannya. Ini menunjukkan bahwa makna yang dikandung dalam penafsiran

Sa‗id H{awwa memiliki kesamaan pengertian dengan at-Tustari. Hanya saja at-

Tustari menjelaskan dengan mengemukakan proses yang terdapat dalam jalan

tawakal.

231

Lihat; Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid

7, Cet. Ke–6, 3876 232

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 54. Makna yang tidak berkaitan langsung secara zahir ayat ditemukan juga dalam tafsir at-

Tustari yaitu: أي ضي اش ف ااء, ئ ازو أف ضي Orang yang bertawakal itu memiliki seribu

manzil, adapun manzil pertamanya adalah berjalan di udara. Ini merupakan level tinggi dan harus

menjalani berbagai proses. Karena itu disebutnya, tidak sah tawakal kecuali bagi orang yang bertaqwa.

Dari uraian at-Tustari di atas, dipahami bahwa tawakal dan taqwa sangat berpautan. Bagi orang yang

bertaqwa akan mudah merasakan tawakal kepada Allah.

Page 197: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

176

Hal itu memberi pengertian bahwa penafsiran ayat–ayat tasawuf Sa‗id

H{awwa mendukung kecenderungan kepada orientasi sufistik. Makna yang

dikemukakannya terlihat dekat dengan zahir ayat supaya tidak terjadi kontradiksi

dengan ayat tapi sesuai dengan konteks dan makna zahirnya. Dalam bukunya juga

disebutkan bahwa tasawuf harus dibebaskan dari daki–daki yang selama ini

berkembang. Tasawuf harus dijelaskan kepada manusia bagaimana jalan yang benar

menuju Allah berdasarkan Alquran dan Sunnah.233

4. Ayat 3 surat at}–T{alaq (65)

Allah telah menjanjikan dan memberikan ganjaran kepada orang yang

bertawakal yaitu Dia akan mencukupkan nikmat kepadanya. Pengertian ini

dinyatakan dalam surat at}–T{alaq (65): 3.

. ٠زو ػ اهلل ف دغج ئ اهلل ثبغ أش لذ جؼ اهلل ى ش١ئ لذسا234

Dikemukakan oleh Sa‗id H{awwa terkait ayat ini;

235. ٠ى أش ئ اهلل رذث١ش فغ ف وبف١ ف اذاس٠: أ

Artinya; Siapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah dan pengaturan

dirinya maka Dialah yang mencukupkan untuknya di dunia dan di akhirat.

Bentuk penyerahan urusan yang dihadapi kepada Allah sebagai wujud

tawakal, dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa mencakup padanya keyakinan bahwa dirinya

juga dalam pengaturanNya. Ini bentuk penyerahan diri yang seutuhnya kepada Allah.

Artinya tidak saja mengakui hasil tawakal terkait dengan persoalan yang dihadapi

melainkan segala proses kehidupan dirinya juga diyakini bahwa Allah yang

mengatur. Sesuai dengan yang dijelaskan Sharqawi bahwa dalam bertawakal wajib

233

Sa‗id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>hiyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.

Ke–9, 11-12 234

Artinya; Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan

mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusannya, Allah telah mengadakan

ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-

Madinah al-Munawwarah, 1415 H

235 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,

Cet. Ke–6, 5975

Page 198: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

177

bagi hamba menyerahkan pengaturan diri kepada Allah sehingga dalam hatinya tidak

ada syak dan kelalaian. Selain itu orang bertawakal percaya kuat kepada Allah

sebagai wakilnya.236

Pandangan Sharqawi ini memperkuat kecenderungan sufistik

dalam penafsiran Sa‗id H{awwa tentang tawakal diatas.

Selanjutnya tergantung dengan kemampuan manusia dalam memahami dan

meyakini proses yang telah ditetapkan supaya dapat menjalani proses tersebut dengan

benar dengan tidak memperturutkan nafsu belaka. Untuk itu, dengan keyakinan

seperti demikian maka manusia dalam mengikuti proses yang telah ditetapkan tidak

merasakan kekecewaan dengan keadaan dan hasil yang diterima.237

Dengan

melakukan tawakal secara benarlah maka kepuasan dapat dirasakan. Kepuasan ini

mencakup di dunia dan di akhirat. Penjelasan ini sesuai dengan ayat 59 surat at-

Taubah tentang kerid}aan.238

Disinilah manusia mengharapkan taufi>k dari Allah sehingga apa yang

menjadi harapan manusia dapat sejalan dengan kehendak Allah supaya dibimbing

menentukan proses yang benar. Tidak terwujud segala sesuatu kecuali dengan

mengikuti takdir dan taufi>kNya.239

Karena itu tawakal dan at–tafwi>d} menjadi hal

236

Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-

1,94. Pandangan ini termasuk dalam kajian ilmu tasawuf yang merupakan bagian dari ruang lingkup

batasan tasawuf seperti dikemukakanAhmad al-Hasani yaitu; اعزشعبي ازفظ غ اهلل ػ ب ٠ش٠ذ penyerahan

diri bersama Allah terhadap apa saja yang dikehendaki. Lihat; Ahmad bin Muhammad al-Hasani,

I<qa>z} al-Himam fi Sharh} al-H{ikam li Ibni ‘At}a’ as-Sakandari (Tt: Darul Kutub al-

Islamiyah,t.th),Jilid 1, 4

237 Tawakal bukan tanpa berbuat tapi hasil perbuatan tersebut dipahami sebagai keseimbangan

dalam mensikapi peristiwa. QS. al-Hadi>d (57): 22-3. Tiada satupun dari keadaan yang menimpa

(terjadi) di bumi dan pada diri sendiri melainkan telah ditetapkan dalam kitab (lauh mahfuz) sebelum

kami melaksanakannya. Supaya kamu jangan berduka terhadap yang luput darimu dan tidak terlalu

gembira apa yang diperoleh. Allah tidak suka pada orang yang sombong dan membanggakan diri.

238 Lihat uraian Sa‗id H{awwa tentang keterpaduan rida dan tawakal. Sa‗id H{awwa, al–

Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 4, Cet. Ke–6,2305.

239 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,

Cet. Ke–6,5975. Dalam menjalani kehidupan barangkali ada orang merasa bahwa suatu peristiwa yang

dianggap kebetulan namun dalam kacamata agama hal itu bukan kebetulan tapi implikasi kedekatan

hamba dengan Tuhan. Bukankah kita selalu memanjatkan doa, baik dalam s}alat atau dalam saat

tertentu. Segala sesuatu, baik itu rezki atau hal lain didunia sudah ada ukuran dan ketentuannya lalu

tugas manusialah berusaha memahami ukuran tersebut melalui sunnatullah.

Page 199: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

178

yang wajib dilakukan agar manusia puas dengan segala sesuatu yang diciptakan

Tuhan menurut takdirnya, supaya tidak muncul penyesalan apalagi mencela Tuhan.240

Makna tawakal yang dikemukakan Sa‗id Hawwa diatas menyangkut

penyerahan diri yang sesungguhnya kemudian menghubungkan terjadinya segala

sesuatu dengan taufikNya, ini menunjukkan hubungan yang sangat dekat antara

hamba dengan Tuhan. Suatu kejadian yang dirasakan seseorang berdasarkan

taufikNya,241

adalah termasuk anugerah padanya berkat latihan ibadah dan senantiasa

berusaha dalam penyucian jiwa.

Makna yang sama dikemukakan Tustari dalam tafsirnya yakni siapa yang

menyerahkan segala urusannya kepada Tuhannya maka sesungguhnya Dia cukupkan

baginya keperluan, harapan di dunia dan akhirat. Ini sejalan dengan makna taufi>k

bahwa harapan hamba yang terpenuhi sejalan dengan kerid}aan Tuhan.242

Keinginan

yang dicitakan hamba diberikan Allah di dunia dan di akhirat bagi orang yang

bertawakal. Demikian menurut penafsiran sufistik Sa‗id H{awwa dan Tustari

sebagaimana dikemukakan dalam tafsirnya yang dinyatakan berdasarkan makna zahir

ayat. Penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa diatas yang memaknai tawakal dengan

munculnya taufik dari Allah, didukung oleh tafsir at-Tustari yang juga mempunyai

semangat yangsama. Selain itu makna taufik yang dikemukakan Sa‗id Hawwa

didukung pula oleh ayat lain. Ini termasuk salah satu syarat tafsir sufi ishari yaitu ada

dalil shara‘ yang menguatkannya.243

E. Tafsir tentang Ayat-Ayat Rid}a

240

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,

Cet. Ke–6,5975. Seperti yang dijelaskan Tustari ketika menafsirkan ayat 159 Ali Imran. Penafsiran

demikian juga terdapat dalam al-Alusi. Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-

‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni (Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001),Jilid 14, 442.

241 QS. Hud : 88, ب رف١م ئال ثبهلل ػ١ روذ

242 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I,170 243

Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,

1427/2006), Cet.ke-2,19. Lihat juga; Muhammad Hamdi Zaglul, at–Tafsi>r bi ar–Ra’ yi

(Dimaskus:Maktabah al–Farabi, 1420/1999), Cet. Ke–1,442-3

Page 200: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

179

Menurut Jarjani rid}a ialah hati bahagia menghadapi segala ketentuan (qadha)

dari Allah.244

Senada dengan itu dikemukakan oleh H{arith Muh}asibi, rid}a adalah

hati damai menerima menghadapi berjalannya hukum ketetapan Allah عى امت رذذ

. جش٠ب اذى245

Ridha berarti apa saja ketentuan Allah yang diberlakukan kepada

hamba, dihadapi dengan hati gembira. Kesenangan hatinya karena ada objek yang

muncul bisa baik dan buruk tapi diterima dengan bahagia. Posisi rid}a masih

membedakan ketetapan baik atau buruk.

Petunjuk Alquran terkait dengan ridha sering dinyatakan dalam ayat mengenai

keadaan hamba yang dirid}ai dan sikap hamba yang juga rid}a dengan ketentuan

Allah, ini menunjukkan kepuasan hamba.

1. Ayat 22 surat al–Muja>dalah (58)

Keberadaan orang beriman di surga seperti digambarkan ayat ini terkait

dengan sikap rid}a mereka terhadap ketentuan Allah. Mereka puas dengan balasan

amalnya, sedangkan nikmat yang dirasakannya sebagai cerminan bahwa Allah ridha

kepada mereka. Makna ini terkandung dalam ayat 22 surat al–Muja>dalah (58).

244

Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah,

1988/1408 H), Cet. Ke–3,111, ini pendapat Dhunnun al–Mis}ri yang dikutip oleh Jarjani, عشسامت

:Lihat juga Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut .ثش امعبء

Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90

245 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90

246 Artinya; Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari

akhirat, mereka saling berkasih sayang dengan orang – orang yang menentang Allah dan rasulNya

sekalipun orang–orang itu bapak–bapak, anak-anak, saudara–saudara atau ataupun keluarga mereka.

Mereka itulah orang–orang yang telah ditanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan

mereka dengan pertolongan yang datang dari padaNya. Dan dimasukkanNya mereka ke dalam surga

yang mengalir dibawahnya sungai–sungai, mereka kekal didalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan

Page 201: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

180

Ayat ini menerangkan kondisi penghuni surga yang sangat damai dan

disebutkan keadaan mereka kekal didalamnya, Allah rid}a kepada mereka dan

mereka ridha padaNya. Kerid}aan Allah pada mereka dijelaskan Sa‗id H{awwa yaitu

disebabkan tauhid mereka yang murni dan ketaatan mereka kepada Allah. Kerid}aan

manusia terhadap Allah dijelaskan Sa‗id Hawwa;

.ثضاث اجغ١ ف االخشح أ ثب لع ػ١ ف اذ١ب247

Dengan pahala yang besar di akhirat atau dengan apa yang telah ditentukan

Allah kepada mereka di dunia.

Ada dua hal sebagai wujud dari keridaan manusia kepada Allah, pertama

karena menerima ganjaran pahala yang besar di akhirat( جغ١ ثضاثب) yaitu berada di

surga, kedua; mereka rid}a terhadap apa yang telah ditentukan (qad}a>’) Allah

kepada mereka di dunia. Penafsiran yang sama dikemukakan Tustari bahwa mengenai

kerid}aan Allah adalah disebabkan keikhlasan manusia dalam beramal. Adapun

mengenai manusia ridha kepada Allah yaitu terkait dengan luasnya pahala ( ثجض٠ صاث

) yang dianugerahkan Allah sebagai ganjaran amal mereka.248

Pada dasarnya

penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari mengandung pengertian yang sama seperti

terlihat ketika menjelaskan makna kerid}aan Allah dan kerid}aan manusia. Namun

mengenai kerid}aan manusia terhadap Allah, Tustari dalam tafsirnya tidak

menjelaskan tentang kerid}aan manusia terkait qad}a>’ Allah di dunia. Ia hanya

menyatakan sikap rid}a manusia terkait dengan balasan amal yaitu surga di akhirat.

Penafsiran Sa‗id H{awwa terkait rid}a juga sejalan dengan pengertian yang

dikemukakan dalam istilah sufi yang lain, seperti Harith Muhasibi diatas bahwa rid}a

mereka ridha terhadapNya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan

Allah itulah orang yang beruntung. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-

Madinah al-Munawwarah, 1415 H

247 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,

Cet. Ke–6, 5796

248 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I,164

Page 202: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

181

adalah hati damai menerima menghadapi berjalannya hukum ketetapan Allah.249

Menurut pendapat Muh}asibi ini, hukum Allah termasuk kehidupan di dunia.

Disebutkan oleh Sa‗id Hawwa dengan mengutip Ibnu Kathir bahwa sifat

keridaan merupakan cerminan keimanan yang kuat tertanam dalam hati orang yang

mulia. Kemuliaannya seperti dijelaskan berikut;

اخف١خ شخص , اػ أ اجب ٠جش٠ اهلل رؼب ػ أ٠ذ أ١بئ أل١بئ أ اخب روش

. مذ جبءد صفز ػ غب سعي اهلل250

Ketahuilah bahwa kemegahan itu diturunkan Allah kepada tangan para

waliNya untuk wali-waliNya. Mereka tidak terkenal, kepribadian mereka

tertutup, dan sesungguhnya sifat mereka tersebut dalam hadis Rasulullah.

Kemegahan yang disebut Sa‗id H{awwa merupakan keistimewaan yang

terdapat pada diri para wali Allah. Mereka inilah orang yang dirid}ai sebagaimana

dinyatakan dalam ayat, bahwa mereka sangat kuat memegang nilai tauhid dan taat

dalam menjalankan ajaran agama. Seperti dijelaskan Sa‗id H{awwa bahwa ketaatan

dalam menjalankan ajaran agama tidak terbatas pada ketentuan fiqh dan ibadah

fard}u tapi memperbanyak yang sunat juga dan mengikuti jalan tasawuf.251

Keterpaduan dalam menjalankan ajaran agama yaitu selaras antara shariah dan

tasawuf merupakan dasar untuk mendapatkan anugerah kemegahan yang dijelaskan

diatas. Sebagai disebut Sa‗id Hawwa, wali Allah yang mendapat kemegahan tersebut

memiliki kepribadian yang luhur, rendah hati dan bahkan tidak dikenal masyarakat

luas. Keridaan Allah pada mereka ditunjukkan dengan keistimewaan yang terdapat

pada mereka. Keridaan mereka ditunjukkan dengan keteguhan menjalankan ajaran

agama.

249

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90 250

Riwayat ini berasal dari Ibnu Abi Hatim. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 5805 251

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 353

Page 203: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

182

Penafsiran Sa ‗id Hawwa mengenai kerid}aan pada wali Allah sejalan dengan

kandungan ayat terkait dengan pertolongan batin252

( (yang diberikan

Allah. Secara metodologis, penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa tetap mengacu pada

zahir ayat sehingga makna isha>ri yang dikemukakan tidak keluar dari makna

zahirnya. Dalam penafsiran ayat 22 diatas, Sa‗id Hawwa mengemukakan pandangan

Ibnu Kathir untuk dasar penafsirannya. Ini merupakan metodologi Sa‗id Hawwa

dalam tafsir sufistiknya bahwa sering mengutip pendapat para mufasir dan

mencantumkan riwayat-riwayat untuk memelihara syarat tafsir sufi isha>ri supaya

terlihat makna yang dikemukakan didukung dalil shar‘i.253

Sementara itu Ibnu Arabi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kerid}aan Allah

adalah terhapusnya sifat manusia dengan sifat Tuhan yaitu dengan tajalli. Sedangkan

kerid}aan manusia tercermin dengan bertemu dan terhubung antara manusia dengan

sifat–sifat Tuhan.254

Rid}a dalam pengertian Ibnu Arabi adalah terjadinya peleburan

antara sifat yang ada pada manusia dengan sifat Tuhan sehingga yang muncul hanya

sifat Tuhan karena sifat manusia sudah diliputkanNya. Dapat diistilahkan dengan

manusia bertajalli pada sifat-sifat Tuhan.

Penafsiran Ibnu Arabi diatas terlihat tidak mendekati paada makna zahir

seperti yang ditemukan pada penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari. Penafsiran Ibnu

Arabi diatas lebih mencerminkan paham filsafatnya yaitu wahdatul wujud dimana

keridhaan manusia dalam ayat tersebut menurutnya bersatunya sifat manusia dengan

sifat Tuhan sehingga yang tinggal hanya sifat Tuhan. Adapun penafsiran Sa‗id

H{awwa dan Tustari pada intinya menyatakan bahwa kerid}aan manusia adalah

kepuasan dalam menerima balasan amal yaitu pahala yang besar dan hatinya senang

menerima apa yang telah menjadi ketentuan Allah sesuai dengan yang didefiniskan

252

Lihat; komentar terjemahan dalam; Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik

al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H , 912 253

Abdul Warith M.Ali, Pengantar dalam tafsir Ibnu Arabi. Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi

(Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 19 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 اال رصبي ثصفبد اهلل 254

H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 308

Page 204: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

183

para ahli tasawuf. Penafsiran sufistik Sa‗id H{awwa masih mengacu pada makna

zahir ayat sebagaimana dikemukakan juga oleh Tustari dalam tafsirnya.

2. Ayat 100 surat at–Taubah (9)

Bersamaan dengan penjelasan ini, dalam surat at–Taubah ayat 100

diterangkan tentang ganjaran dari sikap rid}a mereka yaitu dibalasi Allah dengan

surga yang kekal mereka didalamnya.

Penafsiran Sa‗id H{awwa terkait dengan kerid}aan Allah dan manusia rid}a

kepada Allah dalam ayat ini menambah uraian sebelumnya ketika menafsirkan ayat

22 surat al–Muja>dalah, bahwa Allah merid}ai mereka dikarenakan amal–amal baik

daripadanya.

Selanjutnya kerid}aan manusia kepada Allah ditafsirkan oleh Sa‗id Hawwa;

. ثب أفبض ػ١ ؼز اذ١٠خ اذ٠١خ256

Manusia rid}a kepada Allah dengan merasakan nikmat melaksanakan ajaran

agama dan menjalani segala hal kehidupan dunia yang didatangkan Allah.

Ini merupakan pengakuan yang tulus disampaikan oleh orang yang senang

menerima segala ketentuan Allah. Hatinya bahagia menerima beban agama sebagai

ketetapan dari Allah. Terkait dengan kehidupan dunia, manusia rid}a menerima

segala yang dihadapi dan dipandangnya sebagai bentuk nikmat dari Allah.257

Penjelasan ini mendukung kerid}aan manusia yang dikemukakan Sa‗id H{awwa

255

Artinya; Orang–orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) diantara orang

Muhajirin dan Ansar dan orang–orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rid}a kepada

mereka dan merekapun rid}a kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir

sungai – sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalam selamanya, itulah kemenangan yang besar.

Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

256 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 4, Cet.

Ke–6, 2343

257 Sebagaimana zunnun al-Misri menyebutkan demikian. Lihat; Anwar Fuad Abi Khaza>m,

Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90

Page 205: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

184

dalam hal menerima segala ketentuan Allah dengan bahagia.258

Pandangan Sa‗id

H{awwa tentang rid}a sejalan dengan makna rid}a dikalangan sufi. Keridaan yang

paling tinggi dirasakan manusia bila menghadapi segala ketentuan Allah dipandang

sebagai nikmat. Hal ini meliputi seperti ditegaskan Sharqawi yaitu semua yang

datang baik cobaan atau rezki, tetap senang dan cinta terhadap Allah.259

Dengan

demikian pandangan Sharqawi ini mendukung penafsiran rid}a yang dikemukakan

Sa‗id Hawwa.

Sementara itu Ibnu Arabi dalam menafsirkan ayat 100 ini menjelaskan bahwa

kerid}aan Allah pada mereka (orang beriman) karena keterpaduan mereka terhadap

tersingkap sifat–sifat dan sampai kepada maqa>m rid}a yaitu pintu Allah yang

sangat agung ( ثبة اهلل األػظ (.260

Maqa>m rid}a bagi orang beriman sebagaimana

dimaksud merupakan jalan tersingkapnya akan sifat–sifat al-H{aq. Keberadaan pada

tingkat ridha dengan munculnya kashaf adalah dua hal yang bersamaan. Allah

merid}ai mereka karena mereka sudah mencapai maqa>m rid}a dan juga mereka

mengalami kashaf. Penafsiran Ibnu Arabi diatas memberi pengertian bahwa

kedekatan yang dirasakan hamba dalam maqa>m rid}a menandakan tidak ada lagi

batas antara hamba dengan Allah.

Penafsiran Ibnu Arabi tentang rid}a dimaksudkan sebagai kashaf sejalan

dengan penafsirannya terdahulu bahwa rid}a menunjukkan larutnya sifat manusia

dalam sifat Tuhan sehingga maqa>m rid}a baginya membentuk hubungan padu

antara hamba dengan Tuhan. Penafsiran seperti demikian tidak sejalan denmgan

penafsiran Sa‗id H{awwa yang memahami kerid}aan manusia dengan menerima

segala yang ditetapkan Tuhan baik ganjaran akhirat ataupun keadaan di dunia. Bila

258

Uraian ini memperkuat bentuk keridhaan manusia kepada Allah, lihat; Sa‗id H{awwa, al–

Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 5796

259 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-

1,153

260 Maqa>m rid}a yang disebutnya sebagai pintu Allah yang agung ثبة اهلل األػظ) ). Selain

itu, Ibnu Arabi menafsirkan kaum Muhajirin dengan orang yang hijrah dari tempat tinggal nafsu,

sedangkan kaum Ansar ditafsirkan sebagai orang–orang yang menolong hati dengan ilmu-ilmu hakikat

terhadap nafsu. Lihat, Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006

M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 293

Page 206: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

185

diperhatikan dalam rumusan–rumusan tasawuf, rid}a dalam pengertian Sa‗id

H{awwa yang mendekati pemahaman dan mudah diterapkan dan dirasakan.261

Sehubungan dengan kashaf, Sa‗id Hawwa tidak melihat adanya pemahaman yang

mengandung demikian. Sedangkan Tafsir Ibnu Arabi karena berangkat dari ajaran

filsafat sehingga mengarahkan pemahaman pada paham wah}datul wuju>dnya.

Penafsiran seperti inilah yang tergolong kepada tafsir sufi naz}ari dengan

berlandaskan pada teori filsafatnya.

3. Ayat 59 at-Taubah (9)

Mengenai kerid}aan manusia dalam menerima sesuatu dijelaskan juga dalam

ayat 59 at-Taubah bahwa manusia menerima apa yang telah ditentukan Allah kepada

mereka.

Sa‗id Hawwa menyebutkan dalam tafsirnya terkait kerid}aan manusia;

.أ سظا ب أصبث ث اشعي ؼبثذ ث فع ئ ل ص١ج ىب خ١شا 263

Mereka rid}a terhadap apa yang didatangkan RasulNya, jiwa mereka baik

menerimanya. Sekalipun secara lahirnya sangat sedikit sesungguhnya yang

demikian itulah yang lebih baik bagi mereka.

Kerid}aan yang ditunjukkan dalam penafsiran Sa‗id Hawwa terkait ayat diatas

adalah kerid}aan itu tidak memandang jumlah tapi menerimanya sebagai kebaikan

dan dengan hati senang.

Selanjutnya ditafsirkan lebih dalam;

261

Lihat definisi yang dikemukakan tentang pengertian rid}a, Anwar Fuad Abi Khaza>m,

Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90

262 Artinya; Jikalau mereka sungguh–sungguh rid}a dengan apa yang diberikan Allah dan

RasulNya, mereka berkata, ― Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami

sebagian dari karuniaNya dan demikian pula RasulNya‖. Sesungguhnya kami adalah orang – orang

yang berharap kepada Allah ( tentu itu lebih baik bagi mereka ). Alquran dan Terjemahnya, Depag-

Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

263 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 4, Cet.

Ke–6,2304.

Page 207: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

186

.اشظب ثؼؽبء اهلل ازو ػ اهلل دذ اشغت ئ اهلل دذ ف ازف١ك264

Rid}a dengan apa yang didatangkan Allah, bertawakal hanya kepada Allah

dan berharap taufik hanya kepada Allah.

Keridaan tercermin dengan sikap bertawakal dan selalu mengharapkan taufik

dari Allah. Tawakal dan rid}a bila sudah tetap pada seseorang maka hubungan yang

dekat dengan Tuhan akan dirasakan. Sebagai tanda dekatnya dengan Tuhan adalah

mendapat anugerah taufik dari Tuhan. Pandangan Sa‗id H{awwa tentang rid}a

berdasarkan penafsirannya adalah menerima dengan senang hati semua yang

dijadikan Allah untuknya. Makna rida ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh

zunnun al-Misri.265

Sa‗id H{awwa memahami antara rid}a dengan tawakal

merupakan dua hal yang saling terkait, dimana dalam rid}a terkandung padanya

tawakal. Ibarat sisi mata uang, dibalik rid}a tersimpan tawakal dan sebaliknya.

Terkait dengan rida dan tawakal ini al-Jailani pernah menyebutkan bahwa

siapa yang merasakan enak (talazzuz) dengan keridaan dalam menerima bencana

maka ia akan mendapat nikmat dari segala penjuru. Kelezatan rida akan muncul bila

selalu mengingat mati.266

Ini merupakan sikap yang dimiliki seseorang yang tidak

terpikat dengan kelezatan dunia. Prilakunya dibuktikan dengan sikap rid}a atas segala

ketentuan Allah sehingga bencana yang datang dihadapi dengan rid}a. Ia tidak

merasa terikat dengan kesenangan dunia. Penjelasan ini sangat berkaitan dengan rid}a

yang dinyatakan Sa‗id Hawwa diatas yaitu merasa senang apa saja yang menimpa

diri.

Berdasarkan penafsiran Sa‗id H{awwa tentang maqa>m-maqa>m pada uraian

yang lalu dipahami bahwa antara maqa>m-maqa>m tersebut bagaikan tali-tali

pengikat yang tidak terpisahkan. Dalam sifat sabar mengandung rid}a, dalam

264

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 4, Cet.

Ke–6,2305. 265

Lihat juga Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t .عشسامت ثش امعبء

as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90

266 رزرد ثبشظبء ف دب ي , اشظبء ثمعبء اهلل ػض ج ف١ذ روش اد فارا دذ ػ ره جبءره زح اشظبء

-Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar اجالء جبءره اؼ و جبت ىب

Rahmaniy. Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2,211

Page 208: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

187

kerid}aan terdapat didalamnya sikap tawakal. Semua maqa>m mencerminkan akan

hubungan yang dekat dengan Tuhan. Kedekatan orang bertawakal ditandai dengan

menerima taufik dari Allah. Begitu juga orang yang zuhud dan melakukan tobat yang

sesungguhnya mendapatkan taufik dari Allah sebagai wujud kedekatannya.

Bila diperhatikan penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa tentang rid}a diatas secara

metodologis sejalan dengan pengertian para ahli sufi. Selain itu makna yang

dijelaskannya didukung oleh pengertian shara‘ seperti ditegaskannya bahwa

menjalankan ketentuan fiqh harus disejajarkan dengan tasawuf. Metode seperti ini

digunakan dalam mengemukakan makna sufistik sehingga tidak keluar dari makna

zahir ayat.

4. Ayat 28 surat al–Fajri (89)

Melalui surat al–Fajri (89) ayat 28 diterangkan tentang keadaan jiwa orang

mukmin yang rid}a (rad}iyatan mard}iyyah) dengan apa yang dialaminya,

digambarkan oleh Alquran sebagai jiwa yang damai, tenang.

.اسجؼ ئ سثه ساظ١خ شظ١خ267

Sa‗id H{awwa menjelaskan mengenai rid}a hamba dalam ayat diatas bahwa;

.ساظ١خ ف فغب أ ساظ١خ اهلل ثب أر١ذ: أ268

Artinya ia rid}a melihat keadaan dirinya atau dipahami juga ia rid}a terhadap

apa yang didatangkan Allah kepadanya.

Kerid}aan manusia ditunjukkan dengan bahagia menerima apa saja yang

didatangkan Allah kepadaNya. Inilah jiwa yang bersih, bila jiwa tidak bersih maka

tidak akan sampai pada jiwa yang tenang (mut}mainnah). Kerid}aan yang

ditampakkan merupakan saat akan menuju kehadirat Allah. Allah menggambarkan

267

Artinya; Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Alquran

dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

268 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,

Cet. Ke–6,6519

Page 209: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

188

jiwa hamba tersebut sebagai jiwa tenang (nafsu mut}mainnah).269

Disebutkan juga

oleh Sa‗id H{awwa sebagaimana dikutip dari tafsir al-Alusi bahwa jiwa yang

mut}mainnah itu adalah jiwa mu’minah, jiwa tersebut tenang sampai menuju al-H{aq

yaitu jiwa yang aman yaitu terhindar اآلخ - Artinya al–a>minah .(.ئ اذك ااصخ )

dari rasa takut, sedih dan tidak ada kebimbangan.270

Kondisi tersebut bisa terjadi saat

kematian, hari berbangkit atau saat masuk surga.271

Kerid}aan hamba tersebut

terkandung dalam jiwa mut}mainnah yang senang berjumpa dengan Allah. Disini

Sa‗id Hawwa tidak menjelaskan sampai menuju Allah itu mengambil posisi seperti

apa. Misalnya penyatuan zat atau sifat atau berbentuk rohani. Ini salah satu bukti

bahwa penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa tidak mengarah kepada adanya paham

penyatuan antara hamba dan Tuhan. Selain itu Sa‗id Hawwa secara metodologis

menghindari penafsiran-penafsiran sufistik yang tidak didukung oleh dalil nas} atau

dipandang bertentangan dengan shara‘.272

Ayat ini menggambarkan bahwa kerid}aan seperti ini adalah yang paling

tinggi. Untuk menuju jiwa mut}mainnah yang rid}a menghadap Allah adalah dengan

menjaga kesucian rohani dan selalu merasakan dekat dengan Allah. Demikian

penafsiran Sa‗id H{awwa.

269

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,

Cet. Ke–6,6519 270

Penafsiran yang sama disampaikan juga oleh al-Alusi yang dikutip oleh Sa‗id Hawwa.

Lihat juga; Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n,

Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 15, 438. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi

at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6,6519

271 Dalam menafsirkan ayat diatas, Sa‘id Hawwa mengutip juga hadis Nabi Saw yang

mengajarkan berdoa agar mendapatkan jiwa muthmainnah. Diriwayatkan oleh Hafiz Ibnu ‗Asakir

dalam tarjamah Rawahah binti Abi Umar al–Auza‘i dari Abi Umamah bahwa Nabi Saw pernah

mengajarkan doa pada seseorang,‖ ل ا ئ أعأ ه فغب ثه ؽئخ رإ ثمب ئه رشظ ثمعب ئه

,Artinya; Ya Allah, aku bermohon jiwa yang tenang yang yakin berjumpa denganMu ― ". رمغ ثؼؽب ئه

ridha dengan ketentuanMu dan puas dengan pemberianMu. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r

(Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6,6524.

272 Syarat tafsir sufi isha>ri diantaranya tidak bertentangan dengan shara‘. Lihat; Muhammad

Hamdi Zaglul, at–Tafsi>r bi ar–Ra’ yi (Dimaskus:Maktabah al–Farabi, 1420/1999), Cet. Ke–1,442-3

Page 210: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

189

Tanda senang berjumpa dengan Allah tampak dari mukanya yang berseri–seri

merasa bahagia (rid}a) karena usahanya273

mencakup amal kebaikan dan ketaatannya

dirid}ai oleh Allah ( غؼ١ب ساظ١خ ). Jiwa tersebut bahagia merasakan kemuliaan dan

pahala yang membawanya menuju Allah.274

Keadaan ini cerminan calon penghuni

surga di akhirat sebagai balasan amal di dunia.

Sementara itu Tustari menjelaskan bahwa yang diseru adalah jiwa yang

tenang merupakan roh menempati nafsu dan yang mut}mainnah mus}addiqah (tenang

lagi yakin) akan pahala dan siksa. Jiwa yang rid}a adalah yang rid}a terhadap Allah

dan dirid}ai karena jiwa tersebut tenang menuju Ilahi ( غىب ئ اهلل ػضج ).275

Jiwa yang tenang sebagaimana disebut Sa‗id H{awwa adalah tidak ada keraguan

ataupun takut menghadapi perjumpaan dengan Allah, disebut juga dengan jiwa yang

yakin akan pahala dan siksa. Jiwa mut}mainnah merasakan rid}a dengan segala yang

didatangkan Allah kepadanya. Penafsiran Tustari dengan Sa‗id H{awwa sangat

berkaitan dan pada prinsipnya sama memahami dengan berpegang pada makna zahir

ayat.

Adapun Ibnu Arabi menafsirkan rid}a pada ayat diatas tertuju kepada

kesempurnaan sifat-sifat pada jiwa mut}mainnah. Dikatakannya, kembalilah kepada

Zat dalam keadaan rid}a yang sempurna keberadaan sifat–sifat. Rid}a terhadap Allah

tidak mungkin sebelum rid}a Allah kepadanya.276

Kerid}aan hamba akan muncul bila

273

Bentuk usahanya disebutkan oleh Ibnu Arabi yaitu senantiasa dalam jalan kebaikan dan

mendapatkan karunia dan menempuh jalan menuju Allah ( اغ١ش ف اهلل ( dalam keridaan yaitu selalu

bersyukurdan tiada menyesal atau mengeluh. Lihat; Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:

Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 400. Dalam hal ini penafsiran surat al–

Gha>shiyyah ini oleh Ibnu Arabi memiliki satu pandangan dengan yang dikemukakan Sa‘id H{awwa

dan Tustari.

274 Demikian Sa‘id H{awwa menafsirkan ayat 9 surat al – Ghasyiyah. Lihat; Sa‗id H{awwa,

al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6,6495. Lihat juga

Tustari, bahwa keadaan ini sebagai gambaran di akhirat karena menerima balasan nikmat dan

kemuliaan. Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I,192 275

Jiwa yang tenang kembali kepada Tuhan dengan jalan akhirat ( ثؽش٠ك اآلخشح ). Sahl

Tustari, Tafsir, h. 194 276

Diperkuat dengan mengemukakan ayat 119 surat al–Ma>idah, سظ اهلل ػ سظا ػ ;

artinya Allah rid}a kepada mereka dan mereka rid}a kepadaNya. Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi

(Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 404

Page 211: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

190

hamba tersebut telah menampung sifat–sifat Tuhan secara sempurna, pada kondisi

demikianlah ia disebut dengan jiwa mut}mainnah. Jiwa demikian yang disebut jiwa

yang kembali kepada Tuhan secara dhati sebab sifat–sifat Tuhan tercermin padanya.

Penafsiran Ibnu Arabi ini menguatkan akan paham wah}datul wuju>d yang

dianutnya. Jiwa mut}mainnah itulah yang dikatakan jiwa yang telah dirid}ai oleh

Allah maka ia rid}a kepada Allah yang diwujudkan dengan kembali ke asalnya.

Menurut Ibnu Arabi jiwa mut}mainnah adalah yang menyerap sifat–sifat

Tuhan secara sempurna sedangkan Sa‗id H{awwa dan Tustari menjelaskan jiwa

mut}mainnah277

adalah jiwa yang rid}a terhadap ketentuan Allah dan dirid}ai menuju

perjumpaan denganNya. Artinya jiwa mut}mainnah dapat dimiliki oleh semua

mukmin yang taat dan kembali menuju Tuhan tidak secara dhati seperti yang

diterangkan Ibnu Arabi.

Makna kembali kepada Tuhan ditafsirkan Ibnu Arabi dengan terjadinya

kesatuan antara jiwa mut}mainnah dengan zat Tuhan. Penafsiran demikian termasuk

menggunakan pendekatan makna isha>ri yang tidak mendekati makna zahir.

Sementara Sa‗id H{awwa masih berlandaskan pada makna zahir dalam tafsir

sufistiknya.

F. Tafsir tentang Ayat-Ayat Mah}abbah

Pengertian mah}abbah dijelaskan oleh al–Junaid yaitu kecenderungan hati,

maksudnya hati cenderung pada Allah dan kepada sesuatu karenaNya tanpa beban,

tanpa berat hati. Sahl mengatakan bahwa mah}abbah adalah siapa yang menjadikan

cinta kepada Allah maka ia hidup, maksudnya hidupnya menjadi baik karena al–

muh}ib (hamba) merasa enak dengan segala yang terjadi (datang) padanya berasal

dari al–Mah}bu>b (Allah) baik berupa kesenangan atau keburukan (menurut

277

Jiwa manusia sebagaimana dinyatakan oleh para sufi ketika menjalani maqa>m seperti

tobat, ikhlas dan seterusnya membawa perubahan pada keberadaan jiwa. Dari keadaan jiwa/nafs

bernoda ( افظ األبسح ) ke maqa>m al-lawwa>mah ( افظ ااخ ) kemudian jiwa mulhimah (افظ اخ

) menuju jiwa mut}mainnah ( .kemudian menjadi ra>d}iyah-mard}iyyah- ka>milah ,(افظ اؽئخ

Inilah maqa>m terakhir dan berakhirlah tujuan para sa>likin. Lihat uraian dalam; Hasan Sharqawi,

Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-1, 153

Page 212: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

191

logika).278

Sementara itu menurut Ibnu Abdus} S{amad, mah}abbah itu dapat

membutakan dan menulikan, maksudnya membutakan terhadap sesuatu selain al–

Mah}bu>b (Allah), ia tidak berharap untuk melihat, menyaksikan selainNya.

Sebagaimana Rasul bersabda,‖ Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat membutakan dan

menulikan.279

Berdasarkan pengertian diatas, mah}abbah berarti cinta hamba terhadap Allah

menutup hati untuk mencinta yang lain. Atas dasar cinta demikian, apa yang datang

dari Allah adalah baik seluruhnya. Kesenangan hati timbul (menuju) kepada objek

(Allah), tidak ada ruang pada hatinya untuk membenci sesuatu karena hati sudah

diliputi cinta kepada Allah. Dari itu, dalam hati tidak ada lagi beda baik dan buruk

yang terjadi pada diri (menurut pandangannya baik semua). Ayat–ayat Alquran dapat

menjadi dasar terkait dengan makna cinta kepada Allah.

1. Ayat 165 surat al–Baqarah (2)

Cinta atau mah}abbah menggambarkan akan kecintaan yang dilmpahkan

Allah. Berkaitan dengan keberadaan cinta ini, Allah menggambarkan keberadaan

cinta yang sesungguhnya tercermin pada orang–orang beriman sebagaimana

dinyatakan dalam surat al–Baqarah (2) ayat 165. Pernyataan Allah ini juga

dimaksudkan untuk mencela mereka yang tidak murni mencintai Allah.

278

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 157

279 Riwayat Abu Dawud, Adab : 116, دجه اشئ ٠ؼ ٠ص . Anwar Fuad Abi Khaza>m,

Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 157 280

Artinya; Dan diantara manusia ada orang–orang yang menyembah tandingan–tandingan

selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang–orang yang

beriman sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang–orang yang berbuat zalim

mengetahui ketika mereka melihat siksa bahwa semua kekuatan itu milik Allah dan sesungguhnya

Allah sangat berat siksaanNya (tentu mereka menyesal). Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘

al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

Page 213: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

192

Orang–orang beriman adalah mereka yang sangat dalam cintanya kepada

Allah ( ;Sa‗id Hawwa menjelaskan .) أشد حبا هلل

ذجخ اهلل رى . دجب هلل أ مزع١بد اإل٠ب ااظذخ اىج١شح ذجخ اهلل

.أصشا ػ اشؼس ثؼ281

Orang beriman sangat cinta kepada Allah, hal itu merupakan bagian dari

tuntutan iman yang nyata dan besar tentang mah}abbah terhadap Allah.

Mah}abbah kepada Allah menjadi berpengaruh dalam merasakan nikmat-

nikmat yang dianugerahkanNya.

Keimanan yang terpatri kuat dalam sanubari seseorang merefleksikan pada

jiwanya untuk mencintai Allah. Mah}abbah kepada Allah bukanlah merupakan

dorongan pikiran tapi kesucian hati dan latihan ibadahlah yang membangkitkan

mah}abbah tersebut pada seorang. Penjelasan ini didukung oleh hadis Nabi yaitu;

Tumbuhkanlah mah}abbahmu kepada Allah disaat Dia mendatangkan berbagai

nikmat kepadamu.282

Hati dapat merasakan demikian bila ia terbebas dari berbagai

penyakit seperti dengki, sombong dan sifat kemunafikan.283

Bila hati telah suci maka

akan mendorong untuk merasakan nikmat-nikmat Allah. Ketika hati merasakan

berbagai nikmat maka terkandung didalamnya mah}abbah.

Tumbuhnya mahabbah sangat terkait dengan terciptanya hubungan yang

sangat dekat dengan Tuhan yang tercermin sifat-sifat Tuhan pada manusia,

sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Sa‗id Hawwa.

.دجب هلل أػؽ صفبد األ١خ خصبئصب 284

Orang beriman sangat cinta kepada Allah adalah orang yang dianugerahkan

kepada mereka sifat-sifat ulu>hiyyah serta keistimewaannya.

281

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 353 282

–Dikutip oleh Sa‗id H{awwa dalam tafsirnya. Sa‗id H{awwa, al أدجا اهلل ب ٠غزو ؼ

Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 353

283 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 351

284 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 351

Page 214: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

193

Menurut penafsiran Sa‗id H{awwa ada dua hal yang menjadikan orang-orang

beriman memiliki cinta yang kuat kepada Allah, pertama mereka merefleksikan sifat-

sifat ketuhanan yang diberikan. Kedua, mereka juga memperoleh berbagai

keistimewaan terkait sifat-sifat ketuhanan. Seperti mendapatkan pengetahuan hikmah

dari sifat ‘ali>m. Keistimewaan ini didukung oleh ketaatan dan kedekatan orang yang

cinta kepada Allah.285

Mereka mendapatkan anugerah akan sifat–sifat ulu>hiyyah dan

keistimewaan–keistimewaannya merupakan buah ketaatan mereka karena murninya

ibadah mereka kepada Allah. Demikian dikemukakan Sa‗id H{awwa dalam

menafsirkan ayat 165 diatas.286

Kecintaan kepada Allah sangat bergantung dengan

sifat-sifat ketuhanan tercermin pada diri orang mukmin. Dalam sebuah hadis qudsi

juga disebutkan tentang keistimewaan yang yang terjadi pada orang yang selalu

mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunat sehingga Allah sangat

mencintainya dan Dia menjadi bagian dari tindakannya. Hadis qudsi ini diriwayatkan

oleh Bukhari yang bersumber dari Abu Hurairah.

Artinya; Siapa yang memusuhi waliKu maka Aku nyatakan perang

kepadaNya. Dan tiada sesuatu yang dapat mendekatkan hambaKu kepadaKu

yang lebih Aku suka dari pada melaksanakan apa yang Aku wajibkan atasnya.

Senantiasa hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amal–amal sunat

sehingga Aku cinta padaNya, kemudian bila Aku cinta padanya maka Akulah

yang menjadi pendengaran yang ia dengar, menjadi penglihatan yang ia lihat,

tangan yang ia ayunkan dan kaki yang ia langkahkan. Jika ia minta kepadaKu,

285

Mah}abbah hamba kepada Tuhan adalah memuliakanNya ( dan berusaha ( رؼظ١

medekatkan diri sebagai cerminan ketaatan. Sebagaimana Allah juga mencintai hamba yang ikhlas.

Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-1,254 286

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 351

Page 215: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

194

Aku beri dan jika mohon perlindungan maka Aku lindungi. Aku tidak ragu

dalam segala hal yang Aku perbuat sebagaimana ragu (Ku) dari mencabut roh

orang mukmin yang tidak suka mati dan masih ingin beribadah dan Aku tidak

suka mengganggunya.287

Kalau hamba sudah memperoleh mah}abbah dari Allah maka ia selalu

merasakan kehadiran Allah yang menuntunnya dalam segala aktifitas yang dilakukan.

Kehendaknya dengan kehendak Allah selalu sinergi, tingkah lakunya terpelihara

sehingga setiap yang dilakukannya mendapatkan rid}a dari Allah. Wujud dari rid}a

Allah seperti dijelaskan hadis qudsi diatas sebagai contoh bahwa ia mendengar

dengan pendengaran Allah. Hal ini membuktikan akan kedekatan hamba dengan

Allah dengan mempunyai keistimewaan sebagai hamba. Dalam ilmu tasawuf

keistimewaan yang diberikan tersebut terjadi pada hamba yang merasakan sangat

dekat antara dirinya dengan Allah. Sebagai dikatakan Sa‗id Hawwa, pada saat itu hati

memunculkan mah}abbah kepada Allah yang hanya dapat dipahami dan diketahui

oleh para sufi.288

Oleh karena itu, menurut Sa‗id H{awwa mah}abah kepada Allah ( ( ذجخ اهلل

merupakan puncak perjalanan ibadah menuju Allah ( Proses untuk .( رسح اغ١ش ئ اهلل

meraih hubungan mah}abbah tersebut adalah dengan melaksanakan ibadah fard}u

dan sunat.289

Terkait dengan mah>abbah, al-Ghazali juga menyebutnya sebagai akhir

dari maqa>m tasawuf dan puncak yang tinggi dari derjat kesufian.290

Dengan

memandang mah}abbah sebagai maqa>m tertinggi dalam pandangan Sa‗id Hawwa

samahalnya dengan al-Ghazali, menandakan bahwa kondisi yang dirasakan setelah

mahabbah berarti hanya sementara. Dalam istilah tasawuf disebut dengan hal, yang

287

Muhammad Tajuddin bin al–Manawi al–H{addadi, al–Ahadith al–Qudsiyyah (Terj), H.

Salim Bahreisy, 272 Hadis Qudsi (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979), Cet. Ke–2, 81. Dalam hadis lain

disebutkan keadaan demikian bahwa prilaku mereka sesuai dengan akhlak Allah sebagaimana sabda

Nabi takhallaqu bi akhla>qillah.

288 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 353

289 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6, 353 290

-Al-Ghazali. Ih}ya’ Ulum ad-Din (Mesir: Maktabah Must}afa al. ازسح اؼ١ب اذسجبد

Ba>bi al-H{alabi wa Aula>dihi, 1939/1358) , Jilid 4, 286

Page 216: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

195

secara tidak langsung disepakati oleh Sa‗id Hawwa berdasarkan pemahamannya

tentang mah}abbah, sekalipun ia tidak menyebut demikian.

Dalam menjalankan tasawuf tidak dapat dipisahkan dengan pemaknaan

ibadah formal baik itu sifatnya wajib atau sunat. Ibadah formal atau disebut juga

sebagai shari‘ah bagian dari eksoteris ajaran Islam tidak dipandang sebatas

memenuhi ketentuan fiqh tetapi harus memberikan pengaruh dalam batin sehingga

memperkokoh akidah dan akhlak.

Selanjutnya ibadah formal yang dilakukan dengan memahami makna

sufistiknya akan mengantarkan untuk mencapai mah}abbah kepada Allah. Pada

dasarnya ibadah yang dalam ajaran Islam semuanya tidak bisa lepas dari dimensi

tasawufnya. Karena itu tasawuf dan shariah harus sejalan dalam menjalankan ajaran

agama. Sebagai muara perjalanan tasawuf menurut Sa‗id H{awwa adalah tumbuhnya

mah}abbah dalam hati.

Dalam penafsiran Ibnu Arabi dijelaskan bahwa kuatnya cinta orang beriman

kepada Allah (أشد حبا هلل ) karena bagi mereka hanya Allah yang dicinta, cinta mereka

tidak bercampur dengan yang lain ( . ( ال ٠خزػ دج ال٠زغ١ش Mereka mencintai sesuatu

karena Allah dan karena cintanya kepada Allah ( ثذجخ اهلل هلل (. Selain itu mereka

mencintai sesuatu berdasarkan aspek ketuhanan yang terdapat padanya. Sebagaimana

yang mereka (ahli sufi) katakan, ― Al-H{aq h}abi>buna> dan al–Khalq

h}abi>buna>, bila timbul pertikaian keduanya maka al-H{aq lebih cinta kepada kami

‖.291

Maksudnya sebagaimana penjelasan Ibnu Arabi, bila tidak tetap aspek ketuhanan

pada mereka karena perselisihan tadi maka tidak tetap pula mah}abbah (cinta) kami

pada mereka. Ditambahkannya, orang mukmin mencintai Allah dengan roh dan hati

mereka bahkan dengan Allah, untuk Allah ( ث ثبهلل هلل (, cinta mereka tidak pernah

berobah karena keadaannya. Mereka meninggalkan semua kehendaknya demi

kehendakNya, mereka mencintai af‘alNya (perbuatanNya) sekalipun menyalahi

291

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 84

Page 217: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

196

kehendak hawa nafsunya.292

Cinta orang mukmin yang sangat dalam kepada Allah

tidak tergantikan oleh yang lain, tidak ada ruang lagi dalam hati dan jiwanya celah

untuk selainNya. Menurut Ibnu Arabi cinta (mah}abbah) hamba kepada Allah selain

dengan hati dan rohnya juga dengan Allah, karena dalam diri hamba terdapat aspek

ketuhanan bahkan dalam diri makhluk lain juga terdapat aspek ketuhanan. Ketika

mencintai akan makhluk berarti sesungguhnya adalah mencintai Allah karena pada

makhluk tertampung aspek ketuhanan.

Selintas penafsiran Ibnu Arabi tentang mah}abbah tampak sejalan dengan

penafsiran Sa‗id H{awwa hanya perbedaan dalam istilah. Sa‗id H{awwa dalam

tafsirnya menyebutkan sifat ulu>hiyyah dapat terwujud pada hamba yang sangat cinta

kepada Allah sedangkan bagi Ibnu Arabi menyebutnya dengan istilah aspek

ketuhanan. Perbedaan ini membawa pengaruh dalam perwujudannya pada hamba,

bagi Ibnu Arabi penekanan aspek ketuhanannya lebih dimaksudkan kepada sisi dalam

( zat Tuhan ) sedangkan Sa‗id H{awwa menekankan sifat ulu>hiyyah pada sisi luar

(sifat Tuhan) yang terimplementasi dalam prilaku hamba. Perbedaan lain, bagi Ibnu

Arabi tentang aspek ketuhanan tidak saja pada orang mukmin tapi terdapat juga pada

semua makhluk. 293

Namun aspek ketuhanan antara orang mukmin dan makhluk lain

tidak sama. Bagi orang mukmin aspek ketuhanan dijadikan aktif (potensial) karena

bisa menumbuhkan cinta (mah}abbah), bagi selain mukmin aspek ketuhanan pada

dirinya masih pasif.294

Sementara menurut Sa‗id H{awwa sifat ulu>hiyyah hanya

dimiliki oleh orang mukmin karena sangat cintanya kepada Allah, seperti

292

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 84 293

Aspek ketuhanan pada makhluk secara umum berdasarkan penjelasan Ibnu Arabi, tidak

permanen artinya aspek ketuhanan bisa tetap ada dan bisa hilang. Jika aspek ketuhanan hilang pada

dirinya (makhluk) maka hilang pula kecintaan (mahabbah) kepada makhluk tersebut. Lihat penjelasan

Ibnu Arabi tentang ungkapan ahli sufi. Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah,

1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 84 294

Pernyataan ini sekaligus mencela manusia yang tidak bisa menumbuhkan mahabbah

dalam jiwanya dan ini termasuk kerugian yang sangat besar karena hatinya sama saja dengan

keberadaan benda lain benda lain. Apalagi bila benda yang tidak bernyawa, tentu lebih rendah lagi

kualitas diri sebagai manusia.

Page 218: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

197

dikemukakan diatas.295

Penafsiran Sa‗id H{awwa diatas didukung oleh hadis qudsi

yang dicantumkan diatas bahwa kemuliaan dan kelebihan yang diperoleh bagi mereka

yang merasakan mahabbah dengan Allah itu merupakan anugerah dari Allah.

Penafsiran sufistik Sa‗id H{awwa demikian dapat digolongkan pada tafsir sufi

isha>ri. Penafsiran Sa‗id H{awwa bila diperhatikan merupakan cerminan dari

pengalaman sikap zuhudnya.

Sementara itu tentang pandangan Ibnu Arabi diatas cocok dengan paham

tasawuf falsafinya seperti istilah al–H{aq dan al–Khalq.296

Bahwa dalam diri orang

mukmin tercermin kesempurnaan aspek ketuhanan disebut unsur khalq dibanding

makhluk lain yang tidak memiliki mah}abbah (cinta).

2. Ayat 54 surat al-Ma>idah (5)

Pada ayat lain Allah telah menegaskan bahwa siapa yang mencintaiNya maka

Ia pun lebih mencintainya. Siapa yang mendapatkan cinta dari Allah, itu merupakan

suatu karunia yang sesungguhnya. Hal demikian terungkap dalam ayat 54 surat al-

Ma>idah (5).

295

Lihat; Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid

1, Cet. Ke–6, 351

296 Al-H{aq adalah Tuhan dan al-khalq adalah alam. Alam adalah perbuatannya, karena itu ia

menjadi tampak (nyata) dengan sifat al-Haq. Maka dalam pengertian ini, ia (alam) adalah al-H{aq dan

sekaligus ia (alam) adalah ciptaan. Realitas adalah satu tapi mempunyai dua sifat yang berbeda; sifat

ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Dualitas yang terjadi hanyalah dualitas nisbi atau semu . Dari

pengertian ini muncul istilah lahut (sifat ketuhanan) dan nasut (sifat kemanusiaan). Bedanya dengan

teori al-Hallaj dalam hal memahami dualitas. Menurutnya tetap ada terjadi dualitas (Tuhan dan

manusia). Lihat; Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wuju>d dalam Perdebatan (Jakarta:

Paramadina, 1995), Cet.ke-1, 46 & 49. 297

Artinya; Hai orang–orang yang beriman, barang siapa diantaramu yang murtad dari

agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan

merekapun mencintaiNya. Sikapnya yang lemah lembut terhadap orang mukmin, bersikap keras

terhadap orang–orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang

yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan

Page 219: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

198

Sa ‗id Hawwa menafsirkan ayat ini terkait makna mah}abbah;

٠ؽ١ؼ ٠إصش سظب ٠غ١ش ف اؽشق اإد٠خ , ٠شظ أػب ٠ض ػ١ ثب: أ

.ئ ذجز ٠زخ ػ اؽشق از رإد ئ ب ٠جغط298

Maksudnya, Allah meridai amal mereka dan menyanjungnya. Mereka taat

kepadaNya dan mengutamakan sikap rida terhadap ketetapan Allah,

disamping itu mereka berprilaku pada jalan yang meningkatkan mah}abbah

terhadap Allah dan menghindari jalan yang tidak disukaiNya.

Dalam ayat ini, dipahami bahwa masalah keimanan merupakan pilihan

manusia oleh sebab itu siapa yang ingin kembali kepada kekafiran bagi Allah tidak

rugi justeru ia sendirilah yang celaka. Keimanan merupakan naluri ila>hiyyah yang

setiap manusia pada prinsipnya membutuhkannya makanya Allah melalui ayat ini

menjelaskan bahwa bagi siapa yang murtad silakan karena bakal ada kaum lain yang

naluri ila>hiyyahnya terpelihara lebih mencintai Allah dari selainNya dan Allah

mencintai mereka. Sa‗id H{awwa menafsirkan cinta Allah sebagai ridha dan

sanjungan ٠شظ أػب ٠ض ػ١ ثب) (. Maksudnya Allah merid}ai amal mereka dan

menyanjung mereka disebabkan amalnya tersebut. Kemudian cinta mereka kepada

Allah ( adalah mereka menampakkan ketaatan kepadaNya dan ( ويحبون اهلل

mengutamakan serta menonjolkan sikap rid}a terhadap ketetapan Allah ( ٠ؽ١ؼ

Wujud cinta hamba kepada Allah menurut Sa‗id H{awwa adalah.) ٠إصش سظب

ketaatan, rid}a dan akhlak mulia serta ibadah untuk menambah mah}abbah kepada

Allah.

Lebih jauh ditafsirkan Sa‗id Hawwa;

ئ دت اؼجذ شث أش لب . دت اؼجذ شث ؼخ زا اؼجذ ال ٠ذسوب وزاه ئال رالب

زا اجبة از رفق ف١ . اعزؽبػذ اؼجبسح أ رصس ئال ف فزبد ل١خ وال اذج١

299.ااص سجبي ازصف اصبدل١

Allah maha luas dan lagi maha mengetahui. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-

Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

298 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 3, Cet.

Ke–6,1430

Page 220: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

199

Cinta hamba kepada Tuhannya merupakan kenikmatan yang dapat diketahui

oleh orang yang merasakannya. Cinta hamba kepada Tuhannya bukanlah

suatu perkara yang dapat digambarkan seperti tulisan melainkan munculnya

secara tiba-tiba dari ucapan para muh}ibbin. Ini merupakan pintu yang akan

mengantarkan para ahli sufi untuk mencapai wusu>l.

Makna lain dari cinta hamba kepada Tuhan seperti ditafsirkan Sa‗id Hawwa

adalah sebagai kenikmatan. Artinya orang yang mencapai tingkat mah}abbah akan

merasakan suatu kenikmatan yang tidak dirasakan oleh orang lain, selain para sufi.

Menurut para sufi merasakan kenikmatan dalam mah}abbah kepada Allah

mengalahkan kecenderungan kepada yang lain sehingga apa yang dialami dirinya

dipandang sebagai kenikmatan.300

Di samping memperoleh kenikmatan, mereka para

muh}ibbin mendapatkan keistimewaan yaitu mampu mengungkapkan berupa kata-

kata hikmah dari bibirnya tanpa melalui pemikiran. Sa‗id Hawwa menerangkan

bahwa hal demikian dapat dialami oleh mereka yang sampai menuju Allah

(wusu>l).301

Cinta kepada Allah juga membawa kepada hamba bagaimana merasakan cinta

Allah kepada dirinya. Bila diperhatikan uraian diatas, salah satu yang dapat dirasakan

oleh hamba akan cinta Allah kepadanya adalah kemampuan mengeluarkan kata-kata

hikmah. Hal ini diperoleh dengan selalu menyucikan diri dari segala bentuk yang

dapat mengotori jiwa. Para muh}ibbin adalah mereka yang selalu merasa dekat

dengan Allah. Demikian Sa ‗id H{awwa menjelaskan makna mah}abbah terkait ayat

diatas.

Menurut Ibnu Arabi, cinta Allah kepada hamba lebih tertuju kepada zatnya

dan mereka (hamba) mencintai Allah ( ويحبون اهلل ) pada zatNya tidak pada sifat–

sifatNya seperti Lat}i>f, Rah}i>m dan seterusnya. Mencintai sifat dapat berubah

299

Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 3, Cet.

Ke–6,1445

300 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 157

301 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 3, Cet.

Ke–6,1445

Page 221: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

200

seiring perbedaan tajalli sifat. Misal, siapa yang mencintai al-Lat}i>f maka

mah}abbahnya tidak bisa tetap bila terjadi tajalli dengan sifat al-Qahr, begitu juga

bila mencintai al–Mun‘im maka kecintaannya menjadi hapus dengan tajalli pada

sifat al–Muntaqim. Adapun dengan mencintai zatNya maka tidak akan berubah dan

tetap dengan kekekalan zatNya.302

Oleh sebab itu, lanjut Ibnu Arabi bahwa al-

Muh}ibb yang mencintai al-Qahhar ketika Qahr sebagaimana ia cinta pada al–

Lat}{i>f disaat keadaan Lut}f, begitu pula ketika mencintai al–Muntaqim pada

keadaan intiqa>m sebagaimana ia mencintai al–Mun’im dalam keadaan in’am. Tidak

terjadi perbedaan padanya, sama saja saat rid}a dan tidaknya. Tidak terjadi perubahan

cinta dalam berbagai keadaannya, ia bersyukur ketika menghadapi bala sebagaimana

ia bersyukur memperoleh nikmat.303

Cinta hamba dalam penafsiran Ibnu Arabi diatas ditujukan pada (diri) zat

Allah sebab dalam diriNya sudah terkandung semua sifat, karena itu dengan

mencintai zatNya maka tidak muncul perbedaan dalam melihat sifat–sifatNya. Untuk

mendekati Tuhan tidak perlu melalui sifat–sifatNya tapi langsung menuju zatNya.

Bagi Ibnu Arabi Tuhan tidak terpilah atau terbagi–bagi, melainkan wujudnya yang

satu, sehingga tidak timbul ada pertikaian. Pada saat mencintai satu sifat sekaligus

mencintai semua sifat pada diriNya, karena terjadinya tajalli pada zatNya bukan pada

sifatNya.

Bila diperhatikan penafsiran ayat diatas bahwa cinta hamba kepada Allah

dalam tafsir Sa‗id H{awwa diwujudkan dalam ketundukan, perbuatan nyata,

merasakan nikmat dalam mah}abbah, yang mencerminkan pada meningkatnya

mah}abbah kepada Allah. Mah}abbah dapat meningkat dengan meneladani sifat–

sifatNya sebagaimana sering dikemukakan dalam Alquran. Manusia mengenal Allah

melalui sifat-sifatnya sebab Allah memperkenalkan diriNya dengan sifat tersebut.

Disini Sa‗id H{awwa berbicara tentang pengaruh mah}abbah kepada Allah.

302

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 203

303 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 203

Page 222: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

201

Sementara Ibnu Arabi menafsirkan cinta hamba kepada Allah terjadi pada zatNya

bukan pada sifatNya. Ibnu Arabi berbicara tentang bentuk terjadinya mah}abbah

(cinta) yang timbul antara hamba dengan Allah. Tampak dari pandangan diatas

bahwa Ibnu Arabi mengarahkan penafsiran kepada paham wahdatul wuju>d dengan

terjadinya persatuan antara muh}ib dengan mah}bu>b melalui mah}abbah. Penafsiran

Ibnu Arabi sangat jelas memberikan gambaran dalam memahami ayat sufistik

berdasarkan teori–teori filsafat khsusnya paham wahdatul wuju>d. Dengan demikian

penafsirannya digolongkan kepada bentuk tafsir sufi naz}ari.

Sementara itu penafsiran Sa‗id H{awwa lebih kepada prilaku nyata dan dapat

direalisasikan dalam membentuk akhlak yang mulia. Penafsiran dengan

kecenderungan pada perbuatan nyata ini merupakan bentuk dari tasawuf amali. Selain

itu Sa‗id Hawwa dalam menggunakan makna isha>ri tetap berpegang dengan makna

zahir dan berlandaskan pada ibadah praktis. Karena itu penafsiran Sa‗id Hawwa

secara metodologis sangat memperhatikan dua hal tersebut di samping ia juga

mencantumkan riwayat atau pandangan para sufi. Faktor-faktor demikian yang

mendukung penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa sebagai bentuk ciri tafsir sufi isha>ri.

_________

Page 223: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

203

BAB V.

METODOLOGI PENAFSIRAN AYAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIK SA‘ID

H{AWWA TENTANG DIMENSI METAFISIS AJARAN TASAWUF

Dalam rangka untuk mengetahui metodologi tafsir sufistik Sa„id H{awwa dan

corak pemikiran sufistiknya, penulis juga mengkaji penafsirannya tentang dimensi

ajaran tasawuf yang dialami para sa>lik. Ini penting dilakukan karena sering timbul

kontroversi pemahaman padanya maka dengan mengangkat persoalan ini penulis

ingin mengupasnya lewat penafsiran ayat–ayat Alquran. Persoalan ini pada dasarnya

masih berkaitan dan menjadi bagian dari pengkajian pada pembahasan sebelumnya

tentang maqa>m–maqa>m tasawuf. Aspek–aspek ajaran tasawuf yang dikemukakan

ini tidak secara eksplisit terungkap dalam Alquran melainkan melalui pemahaman

secara implisit sebagaimana terkandung dalam penafsiran ayat. Penelitian disertasi ini

akan mengungkap penafsiran Sa„id H{awwa terkait dengan aspek–aspek ajaran

tasawuf sebagai akan diuraikan dibawah ini.

A. Tafsir Ayat tentang Muja>hadah

Dalam proses menjalani tasawuf istilah muja>hadah sudah akrab dikenal

dikalangan dunia tasawuf. Secara definitif menurut Tahanawi yang dikutip oleh Abi

Khaza>m, muja>hadah adalah berjuang menghadapi nafsu dan setan sebagaimana

yang dilakukan para sa>lik. Dikatakan juga seperti pendapat Abu „Atha‟ bahwa

muja>hadah sebagai kehendak kuat (merasa bergantung) kepada Allah dengan

mengabaikan segala sesuatu selainnya. Menurut Ja„far S}a>diq yaitu mengerahkan

kemampuan diri dalam mencapai rid}a Allah.1 Selain itu dikemukakan juga

pengertian Ibnu Arabi tentang muja>hadah yaitu melatih diri menanggung

kepayahan badan dan mengendalikan hawa nafsu dari setiap keadaan.2 Dari beberapa

pengertian diatas dipahami bahwa makna yang terkandung dalam muja>hadah

1 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 155 2 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,155

Page 224: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

204

adalah kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah sehingga hati tidak mau

berpaling kepada selainNya.

Bentuk dan aspek muja>hadah memiliki dasar sebagaimana terungkap dalam

Alquran. Pada pembahasan berikut ini ayat–ayat tersebut akan dikaji melalui

penafsiran sufistik.

1. Ayat 69 surat al–‘Ankabu>t (29)

Allah menghubungkan muja>hadah dalam surat al–‘Ankabu>t (29) ayat 69

dengan hidayah. Artinya hidayah akan diperoleh bagi orang yang benar–benar dalam

bermuja>hadah kepada Allah.

Mengenai muja>hadah dalam ayat diatas, ditafsirkan oleh Sa„id Hawwa

dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir;

جصش : أ, از٠ جبذا ف١ب ٠ؼ اشعي أصحب٠ أرجبػ ئ ٠ اذ٠ ذ٠ عجب

.طشلب ف اذ١ب االخشح4

Orang yang bermuja>hadah pada jalan kami yaitu ajaran Rasul Muhammad,

para sahabat dan pengikutnya sampai hari kiamat maka sesungguhnya akan

kami tampakkan jalan-jalan kami di dunia dan di akhirat.

Muja>hadah yang dilakukan dengan konsisten menjalankan ajaran nabi

Muhammad akan merasakan berbagai kemudahan dalam menempuh hidup di dunia

dan di akhirat. Sebagai bentuk muja>hadah yaitu dengan berpegang teguh mengikuti

petunjuk agama maka akan membawa kepada selamat dunia dan akhirat.

Sa„id H{awwa menegaskan bahwa muja>hadah harus dilandasi dengan

ikhlas;

3 Artinya; Dan orang–orang yang bermuja>hadah untuk mencapai kerid}aan Kami, benar–

benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan–jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar

beserta orang–orang yang berbuat baik. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma„ al-Malik al-

Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

4 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.

Ke–6, 4237

Page 225: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

205

لذ أطك اجبذح ١زبي و ب , ف حمب أجب جب خبصب: از٠ جبذا ف١ب أ

.رجت جبذر افظ اش١طب أػذاء اذ٠5

Orang-orang yang melakukan muja>hadah adalah karena memenuhi hak

Allah dan murni (ikhlas) karena Allah semata. Muja>hadah yang dilakukan

meliputi muja>hadah terhadap hawa nafsu, menghadapi setan dan musuh

agama.

Makna dasar muja>hadah yang dikemukakan Sa„id hawwa terkait dengan

menghadapi hawa nafsu dan setan, memiliki pandangan yang sama dengan yang

dikemukakan Tahanawi. memiliki pandangan yang Muja>hadah menghadapi nafsu

dan setan lebih berat dari musuh yang nyata. Berbeda dengan musuh agama6 ( orang

yang memerangi agama), dua hal yang dihadapi diatas sifatnya abstrak maka

keberhasilan dari muja>hadah tersebutpun lebih dirasakan sebagai suatu yang

abstrak juga. Menghadapinya dengan cara lebih mengintensifkan ibadah dan

meningkatkan rasa ketergantungan kepada Allah.7 Dijelaskan Sa„id Hawwa bahwa

keutamaan melakukan muja>hadah yaitu akan ditambahkan hidayah menuju jalan

kebaikan dan mendapatkan taufik dari Allah.8 Taufik merupakan salah satu anugerah

yang diperoleh dalam melakukan muja>hadah, sebagai bukti yang dirasakan oleh

orang yang dekat dengan Allah. Bagi orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada

Allah akan sering menjumpai harapan yang dikehendakinya karena sesuainya antara

keinginannya dengan kehendak Tuhan.

Selain itu, dengan melakukan muja>hadah akan mendapat pengetahuan

langsung dari Allah seperti dinyatakan Sa„id Hawwa dengan mengutip tafsir an-

Nasafi;

5 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.

Ke–6, 4229 6 Kecuali musuh agama seperti kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan dan sejenisnya, maka

ini dapat digolongkan sebagai hal yang abstrak tentunya. 7 Ini termasuk bagian dari kesabaran yang kokoh yaitu mura>bat}ah. Al-Mura>bat}ah adalah

senantiasa berada dalam tempat peribadatan, sebab beribadah merupakan benteng yang dapat

mengalahkan setan. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid

2, Cet. Ke–6, 972 8 :Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo ض٠ذ ذا٠خ ئ عج اخ١ش رف١مب

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet. Ke–6, 4229

Page 226: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

206

از٠ جبذا ف١ب ػا ذ٠ ئ ب ٠ؼا9.

Orang-orang yang bermuja>hadah terhadap apa yang mereka ketahui maka

sesungguhnya akan ditunjukan pada mereka apa yang belum diketahui.

Melakukan ibadah-ibadah dengan kesungguhan akan membuka pintu untuk

memperoleh berbagai pengetahuan yang belum pernah dibayangkan. Pengetahuan

demikian menjadikan seseorang semakin dekat dengan Allah. Semakin tinggi

melakukan muja>hadah maka akan semakin bertambah pengetahuan yang diterima.

Pengetahuan demikian hanya diperoleh bagi orang yang mengenal Tuhan seperti

disebutkan Abdul Qadir al-Jailani bahwa siapa yang mengenal Tuhannya maka ia

akan mengetahui segala sesuatu yang akan membenarkan dalam ‘ubu>diyahnya dan

terbebas dari kecenderungan ‘ubu>diyah yang lain.10

Inilah pengetahuan rabba>ni

yang dipancarkan ke dalam sanubari orang-orang tertentu. Orang-orang yang

mengalami pada tingkat ini, hatinya tidak ingin berpaling melupakan Tuhan.

Selain penafsiran sufistik diatas, ada tiga makna sufistik lain tentang jenis

muja>hadah yang dikandung ayat diatas yang dikemukakan Sa„id H{awwa dengan

mengutip pandangan al–Junaid, pertama bahwa orang yang melakukan muja>hadah

dalam bertobat niscaya akan ditunjukkan Allah baginya jalan mencapai ikhlas.

Kedua, orang yang betul–betul bermuja>hadah dalam ketaatan (mengabdi) kepada

Kami akan terbuka baginya ( ابجبح ؼب 11

(pintu berkomunikasi langsung dengan

Allah dan akan merasakan sebagai teman dekat/intim dengan Allah ( األظ ثب ).

Ketiga, bagi yang bermuja>hadah dalam mencari kerid}aan Kami maka Kami

tunjukkan jalan–jalan untuk sampai ( .kepada Kami (اصي ئ١ب12

Dalam upaya

menempuh tasawuf, dengan muja>hadah yang sesungguhnya maka akan

9 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.

Ke–6, 4237 10

Abdul Qadir al-Jailani. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}ma>niy (Beirut: Darul

Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah, Cet.ke-2, 151 11

Munajah dalam istilah tasawuf adalah percakapan rahasia dengan Tuhan ketika keikhlasan

dalam berzikir. خبطجخ األعشاس ػذ صفبء األروبس ه اججبس Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–

Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 12

جبذا ف خذزب فزح ػ١ عج ابجبح ؼب , جبذا ف ازثخ ذ٠ عج اإلخالص

Sa„id H{awwa, al–Asa>s . .جبذا ف طجب رحش٠ب شضبب ذ٠ عج اصي ئ١ب, األظ ثب

fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet. Ke–6, 4237

Page 227: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

207

membukakan berbagai jalan bagi pelaku tasawuf. Jalan dimaksud adalah sarana untuk

merasakan berhubungan langsung dengan Allah yaitu dalam bentuk berkomunikasi

dan keintiman, pada akhirnya sampai ئ١) .kepadaNya ( اصي

Ditegaskan Sa„id H{awwa, bagi siapa yang memahami makna ayat ini dan

betul–betul dalam melaksanakannya maka ia akan memperoleh kebaikan yang tidak

dikira (diluar pikiran biasa). Ia mengemukakan hadis Nabi bahwa seorang mujahid

adalah orang yang jiwanya bermuja>hadah pada zat Allah. Menurut ayat diatas kata

Sa„id H{awwa, siapa yang jiwanya bermuja>hadah pada zat Allah maka Allah akan

memberi hidayah kepada jalan yang mengantarkannya sampai menuju Allah ( جبذ )

(ف راد اهلل ذا اهلل ئ عج اصخ ئ١ .13

Hidayah tersebutlah yang diharapkan akan

mengantarkan seseorang menuju Allah. Hidayah merupakan pengaruh dari

muja>hadah, dengan hidayah membawa kepada jalan menuju Allah. Dengan

demikian dikatakan, Muja>hadah sebagai usaha manusia sedangkan hidayah

merupakan anugerah Allah. Karena itu, tidak sempurna keduanya ( muja>hadah dan

hidayah ) kecuali berkat taufik dan pertolongan dari Allah.14

Semakin jelas

pandangan sufistik Sa„id H{awwa terkait muja>hadah yaitu dengan muja>hadah

yang sesungguhnya dapat menjadikan seseorang merasakan sangat dekat dengan

Allah. Muja>hadah yang ditekankan Sa„id H{awwa adalah muja>hadah dengan jiwa

(abstrak) bukan muja>hadah secara fisik yang diutamakan. Karena muja>hadah

secara batin tersebutlah yang dapat merasakan hubungan langsung dengan Allah.

Berhubungan langsung dengan Allah merupakan hidayah yang paling besar yang

dirasakan di dunia. Sebagai diungkapkan Sa„id H{awwa, inilah yang disebut dengan

hidayah yang diperlihatkan (dibuktikan) di dunia.15

Sa„id H{awwa disini tidak

13

Kata Nabi saw; اجبذ جبذ فغ ف راد اهلل Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet. Ke–6, 4237

14 Sa„id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.

Ke–9,119

15 Hidayah akan diperlihatkan Allah yaitu berbagai jalan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Lihat tafsiran Sa„id H{awwa tentang hidayah. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet. Ke–6, 4229

Page 228: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

208

menjelaskan seperti apa bentuk hubungan langsung bagi orang yang wusu>l kepada

Allah.

Merasakan hubungan langsung dengan Allah ditandai dengan muna>jah, uns

dan wus}u>l, sebagaimana dikemukakan diatas namun hal ini juga tidak dijelaskan

lebih detil oleh Sa„id H{awwa. Karena ia memandang tidak berguna berpolemik

dalam masalah istilah, apalagi ini sangat berhubungan dengan pengalaman pelaku

tasawuf. Selain itu, dapat dipahami juga bahwa Sa„id H{awwa tidak pernah

menyatakan pengalamannnya tentang kondisi demikian. Namun dari pernyataan Sa„id

H{awwa bahwa siapa bermuja>hadah pada zat Allah pasti akan memperoleh hidayah

dengan sampai kepada Allah. Tentu yang dimaksud adalah sampai pada zatNya

kendatipun ia tidak terang mengatakan demikian. Tampak disini, Sa„id H{awwa tidak

mau terlibat jauh dalam masalah istilah dan ajaran tasawuf yang kontroversial. Ini

dapat dipahami bahwa secara implisit Sa„id H{awwa memahami hubungan langsung

antara hamba dengan Allah sekalipun ia tidak menyebut dengan istilah ittiha>d.

Boleh jadi yang dimaksudnya dalam hubungan tersebut tidak persis sama dengan

yang dipahami Abu Yazid.

Ini termasuk metodologi Sa„id H{awwa dalam penafsiran sufistiknya bahwa

ia tidak memberikan gambaran kongkrit tentang wus}u>l seperti apa yang dicapai

oleh pelaku tasawuf. Sebab hal itu bukanlah menjadi target yang harus dipaksakan

kecuali bagi yang mampu. Dengan tidak ditegaskannya kondisi yang harus dicapai

pelaku tasawuf, supaya manusia tidak merasakan berat melakukannya. Keberhasilan

atau pengalaman salik yang spesifik dialami oleh mereka yang sampai ke tingkat

yang tinggi dalam tasawuf, itupun sesuai dengan tingkat ibadahnya. Tujuan yang

sangat utama bagi Sa„id H{awwa adalah bagaimana praktek tasawuf tidak

memberatkan dan menghambat keinginan orang untuk menyucikan dirinya sesuai

dengan pedoman Alquran dan Sunnah.16

Makna tujuan ini adalah dengan

menjalankan tasawuf akan mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sesuai

16

Sa„id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.

Ke–9,11-12

Page 229: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

209

tuntunan Alquran. Tampaknya orientasi tasawuf Sa„id H{awwa bukan menargetkan

untuk mencapai wusu>l atau musha>hadah dan sejenisnya tetapi bagaimana

seseorang merasakan taufik dari Allah yang akan membimbingnya dalam kehidupan

ini. Berkaitan dengan wusul atau bentuk-bentuk kedekatan hubungan dengan Allah

itu merupakan anugerah tergantung intensitas ibadahnya.

Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa Sa„id H{awwa melakukan muja>hadah

dalam tasawufnya supaya terciptanya peningkatan kesucian rohani tanpa

mempersoalkan pengalaman mistiknya. Hanya saja, bagi Sa„id Hawwa pengalaman

mistik demikian tidak pernah terungkap. Sebab pernah dijelaskan juga bahwa dalam

bermuja>hadah tidak ada batasnya, bahkan disebutnya sampai hari akhir.17

Mengalami wus}u>l tidak akan menyudahi perjalanan muja>hadah, bahkan hal itu

membuat kedekatan dengan Allah menjadi bertambah kuat. Itu bagian dari hidayah

Allah. Merasakan hidayah Allah tiada hentinya sebagaimana dinyatakan dalam

Alquran bahwa bagi orang yang telah mendapat hidayah, niscaya Allah tambahkan

hidayah kepadanya.18

Dengan mendapat hidayah semakin menjadikan seseorang

menginginkan hidayah tambahan sebagai bukti bertambah dekat ( rindu kuat - اؼشك

al–‘ishq ) dengan Allah.

Demikian penafsiran sufistik Sa„id H{awwa tentang ayat 69 surat al–

‘Ankabu>t (29) di atas. Tampak dari penafsirannya, Sa„id H{awwa menggunakan

riwayat dan berbagai pendapat ahli sufi dalam mendukung penafsirannya. Cara yang

dilakukannya merupakan bagian dari metodologi penafsiran sufistiknya yang

cenderung memperhatikan zahir ayat.

Sementara itu dalam tafsir Ibnu Arabi ditemukan juga penafsiran tentang ayat

69 tersebut dengan tinjauan sufistiknya. Dimana Ibnu Arabi menafsirkan orang yang

bermuja>hadah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah golongan ahli tarekat.

Dalam melakukan muja>hadah ini, para ahli tarekat mengadakan ritual qalbu dalam

17

Menjalani perintah Allah dan mengikuti Rasulnya sampai hari akhir. Sa„id H{awwa, al–

Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet. Ke–6, 4237 18

Hidayah senantiasa dirasakan dengan ditambah dan ditambah, از٠ ازذا صاد ذ

.رم ارب QS. Muhammad (47):17

Page 230: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

210

suluknya dengan meneladani sifat–sifat Allah. Orang yang memulai perjalanan ritual

itu berada pada maqa>m nafs (jiwa/abstrak) dalam sulu>knya dengan melakukan

jihad kepada Allah. Adapun Muja>hadah pada perjalanan ini yaitu merasa hadir

dan istiqa>mah kepada Allah guna tetap pada ) اشالجخ) mendekatkan diri ,) احضس)

tajalli.19

Berkaitan dengan makna ini, penafsiran sufistik Ibnu Arabi memiliki

pandangan yang sama dengan Sa„id H{awwa.

Selanjutnya mengenai hidayah pada ayat tersebut ditafsirkan sebagai jalan

yang menghubungkan kepada zat Tuhan. Menurutnya jalan itu adalah sifat–sifat

ketuhanan sebab sifat–sifat itulah yang menghalangi pada zat Tuhan. Bagi pelaku

suluk dengan sifat–sifat tersebut mengantarkannya kepada hakikat Allah Ta„ala,

dimana Allah adalah sifat yang disifati dan itulah entitas zat yang Esa.20

Jalan

sebagai hidayah yang disebut Ibnu Arabi adalah sifat–sifat yang dianugerahkan Allah

kepada pelaku sulu>k. Bila sifat–sifat ini sudah tercakup maka pelaku sulu>k

bertemu dengan zat Tuhan. Proses menerima sifat–sifat Tuhan demikian dalam ilmu

tasawuf disebut dengan proses tahalli sebelum mencapai tajalli. Seperti dikatakan

Ibnu Arabi juga bahwa muja>hadah bagi pelaku suluk yang istiq>amah akan sampai

pada tajalli.

Istilah–istilah yang digunakan Ibnu Arabi ini seperti tajalli, bertemu sampai

pada zat Tuhan, sifat–sifat Tuhan sebagai jalan yang harus tercermin pada pelaku

sulu>k, tidak pernah muncul dalam penafsiran Sa„id H{awwa. Seperti dikatakan

sebelumnya, Sa„id H{awwa tidak menggunakan istilah–istilah yang menurut logika

sulit dirasakan dan mengganggu akan pandangan keesaan Tuhan bagi orang awam.

Pendekatan yang digunakan Ibnu Arabi dalam mengmukakan istilah–istilah tersebut

sesuai dengan paham dan teori filsafat yang dianutnya tentang kesatuan wujud.

Penafsiran Ibnu Arabi dalam tafsirnya tersebut termasuk pendekatan tafsir sufistik

naz}ari.

19

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2,129 20

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2,129

Page 231: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

211

Sehubungan dengan pandangan filsafat wujudnya dapat juga dilihat ketika

menafsirkan akhir ayat. Orang muh}sini>n menurutnya adalah mereka yang

menyembah Allah atas musha>hadah. Muh}sin merupakan para sa>lik berada pada

sifat–sifat Allah dan menjadi tetap dengannya karena mereka menyembah dengan

merasakan mura>qabah dan berada pada musya>hadah. Berdasar pada hadis bahwa

menyembah Tuhan seakan melihatnya.21

Bagi para sulu>k dapat melakukan itu

karena sifat–sifat Tuhan sudah tercermin pada diri mereka.

Namun kata Ibnu Arabi, melihat dan menyaksikan ( ؤ٠خ اشدساي ( tidak dapat

dilakukan dengan mata ( اؼ١ ) melainkan melalui fana pada zat Tuhan. Hal itu

dapat terjadi karena sudah melewati taraf tahalli pada sifat–sifatNya.22

Orang

muh}sin bagi Ibnu Arabi adalah mereka yang merasakan fana>‟ dan baqa>’ pada zat

Tuhan. Penafsiran demikian gambaran dari paham wah}datul wuju>dnya terkait

menafsirkan ayat di atas. Ini menunjukkan bahwa penafsiran Ibnu Arabi selalu

berlandaskan pada paham filsafatnya dalam memahami ayat.

Sangat berbeda dengan Sa„id H{awwa yang memahami makna Muh}sini>n

dengan tetap dalam pendekatan makna zahir ayat yaitu mereka yang beramal dengan

apa yang mereka ketahui. Sedangkan penafsiran sufistiknya dikemukakan Sa„id

H{awwa yaitu pada orang muh}sin tersebut Allah memberikan hidayah kepada

mereka terhadap apa yang tidak mereka ketahui.23

Maksud Sa„id H{awwa disini

tampaknya berkaitan dengan keberhasilan dalam muja>hadah. Bila dihubungkan

dengan penjelasan Sa„id H{awwa tentang makna hidayah yang dimiliki oleh orang

yang berhasil dalam muja>hadah yaitu merasakan wus}u>l kepada Allah, dapat

dipahami bahwa sesuatu yang tidak diketahui, maksudnya adalah terbukanya perkara

gaib yang selama ini terh}ijab. Artinya muh}sini>n dalam hal ayat ini telah

mengalami keadaan kashaf. Berdasarkan kepada struktur ayat, makna ini semakin

21

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2,129 22

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 129 23

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.

Ke–6, 4237

Page 232: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

212

terang bahwa orang muh}sin yang dimaksud dalam ayat salah satu cirinya adalah

orang yang melakukan muja>hadah dan telah mendapatkan berbagai jalan yang

dijanjikan Allah. Adapun makna jalan pada intinya sesuai pengertian Sa„id H{awwa

dan Ibnu Arabi adalah merasakan dekat sedekatnya dengan zat Allah.

Orang yang telah mencapai muh}sin sebagaimana disebut ayat diatas

merupakan orang yang telah mendapat hidayah yang tidak dimiliki orang umum.24

Dengan hidayah tersebut menjadikannya semakin bertambah dekat karena rindu

(‘ishq ) maka Allah akan tambah hidayah untuknya. Maka tidak heran bila Nabi yang

sudah ma‘s}u>m bertambah rajin ibadah karena Allah akan selalu menambahkan

hidayahNya. Dengan begitu manusia semakin haus akan hidayah seperti yang

dirasakan muh}sini>n dan yang dicontohkan Nabi.

2. Ayat 17 Surat Muhammad (47)

Sehubungan dengan bertambahnya hidayah bagi orang yang telah mendapat

hidayah dijelaskan oleh Allah dalam Surat Muhammad (47) ayat 17.

25

Orang yang mendapat hidayah akan meraih tambahan hidayah, seperti

disebutkan Sa„id H{awwa;

صاد اهلل ذ وشب أ : صاد ذ أ, از٠ ازذا ئ اهلل ثغن اطش٠ك اإد ئ ره

.أػب ػ١ب: ارب رما أ .اششاح صذس 26

Dan orang-orang yang telah mendapat hidayah dengan menempuh jalan yang

mengantarkan mereka menuju Allah maka ditambahkan kepada mereka

24

Pengalaman hidayah ini pernah dialami juga oleh pemuda kahfi. Lihat, QS. Al–Kahfi (18):

13. Mereka merasakan hidayah yang tidak dimiliki oleh orang umum, karena muja>hadah yang

sungguh–sungguh dilakukan.

25 Artinya; Dan orang–orang yang mendapat hidayah, Allah tambahkan hidayah kepada

mereka dan diberikan kepada mereka(balasan)akan ketakwaannya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-

Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

26 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 5312

Page 233: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

213

hidayah yaitu kemuliaan serta dada yang lapang. Dan diberikan ketaqwaan

artinya menolong mereka.

Makna tambahan hidayah dipahami lebih dalam menurut Sa„id H{awwa

adalah: dilimpahkannya pengetahuan dan penyingkapan mata hati.

.صاد اهلل ثص١شح ػب27

Maksudnya ialah Allah melimpahkan kepadanya pengetahuan dan penyingkapan

mata hati menerima rahasia gaib/metafisik (bas}irah).28

Anugerah Allah ini melebihi

pengetahuan yang diperoleh bagi orang yang melakukan muja>hadah pada ayat 69

al-‘Ankabut diatas. Makna hidayah disini adalah setelah meraih hidayah seperti

penjelasan ayat 69 tersebut.

Taqwa menurut Sa„id Hawwa merupakan anugerah seperti dijelaskannya;

.ئ ز اال٠خ رج١ أ ازم حخ اهلل ىبفأح ؼجذ ػ ازذائ29

Sesungguhnya ayat di atas menyatakan bahwa ketaqwaan adalah anugerah

balasan dari Allah kepada hambanya sebagai hidayahNya.

Taqwa sebagai pemberian (anugerah) Allah yang muncul sebagai hadiah atas

usaha manusia. Ayat ini menurut Sa„id H{awwa sangat berkaitan dengan ayat

terdahulu al-‘Ankabut: 69, bahwa muja>hadah adalah sarana (alat) hidayah

qalbiyah menuju kepada Allah, sedangkan hidayah mukaddimah menuju taqwa.

Urutannya dapat dirumuskan yaitu muja>hadah mengantar sampai hidayah, hidayah

mengantar menuju taqwa.30

Melihat urutan ini predikat taqwa lebih tinggi dari

muh}sini>n, sebab tahapan hidayah berada di pertengahan dalam urutan di atas yang

menggambarkan predikat muh}sini>n. Muh}sin adalah sifat orang yang memperoleh

27

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 5312 28

Menurut Tahanawi, hal ini dalam tasawuf bisa diketegorikan kepada musha>hadah

qulu>b; سؤ٠خ احك ثجصش امت غ١ش شجخ وأ سا ثبؼ١ . Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–

Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 163 29

Dengannkata lain, taqwa timbul setelah adanya hidayah, hidayah timbul sebagai pengaruh

muja>hadah. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8,

Cet. Ke–6, 4237 30

Muja>hadah-menghasikkan Hidayah- kemudian hidayah menghasilkan Taqwa. Sa„id

H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,119. Lihat

juga; Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet. Ke–6,

4237-8. Permulaannya adalah muja>hadah nafs yaitu tilawah Alquran, s}alat dan zikir,

Page 234: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

214

hidayah. Pemahaman ini ada benarnya juga bila diperhatikan ayat Alquran yang

sering mengungkapkan dan menjanjikan bahwa surga disediakan bagi orang yang

bertaqwa.31

Namun ciri orang bertaqwa dalam ayat selanjutnya secara tidak langsung

juga merupakan bagian dari ciri orang muh}sin. 32

Dengan demikian dapat diambil

pengertian bahwa muh}sin dan muttaqi>n dua sifat yang tidak bisa dipisahkan.

Sebab dalam muh}sin mengandung sifat taqwa, sebaliknya dalam muttaqi>n

terdapat pula sifat–sifat muh}sin. Artinya dalam pribadi muttaqi>n sudah tersimpul

muh}sin.33

Selanjutnya ditegaskan Sa„id H{awwa bahwa muja>hadah merupakan

permulaan yang lurus/benar dalam menempuh perjalanan sulu>k menuju Allah.

Seperti kata Nabi, muja>hid adalah orang yang melakukan muja>hadah dirinya pada

Allah. Inilah yang disebut dengan muja>hid karena hidayah membawanya kepada

jalan ( ئ اغج ) termasuk padanya qita>l fisabilillah, tidak ada diperoleh subu>l

tanpa muja>hadah. Adapun qita>l memerangi nafsu tidak diterima kecuali setelah

hidayah. Inilah poin pertama dalam muja>hadah yaitu muja>hadah nafs.34

Muja>hid

menghadapi nafsu mendapatkan hidayah dari Allah, kemudian hidayah membuka

jalan sampai kepada Allah dengan keberhasilan dalam qita>l nafsu.

Adapun penafsiran Sa„id H{awwa terkait dengan muja>hadah berdasarkan

ayat 69 surat al–‘Ankabu>t diatas, pertama ia mengemukakan makna zahir ayat

dengan mengutip dari tafsir Ibnu Kathir dan dikembangkan dengan penjelasannya.

Kemudian ia mengemukakan pandangan mufasir lain mengungkap makna

31

Lihat QS. Ali Imran (3): 133, Muhammad (47): 15, al–Hijr (15): 45, an–Nahl (16): 30, ash–

Shu‘ara>’` (26): 90 32

Lihat QS. Ali Imran ( 3 ) : 134 33

Kalau dibuat tingkatannya; islam–muslim, iman–mukmin, ihsan–muhsin, taqwa–muttaqin.

Muh}sin jika dipahami termasuk sifat yang abstrak, sebagaimana petunjuk Nabi dalam hadis yang

menerangkan tentang islam, iman dan ihsan. Islam dan iman kualitas bisa terlihat, terukur berpedoman

pada rukun masing-masing, sedangkan ihsan tidak terukur karena sifatnya yang abstrak. 34

Menurut Sa„id H{awwa berkenaan dengan muja>hadah ini ada mencakup empat tingkatan.

Dasarnya iman kepada Allah serta keesaanNya dan iman kepada Muhammad Rasulullah. Dasar kedua,

melaksanakan segala kewajiban berbagai aspeknya yang diperintahkan. Tingkatan ketiga, menjadikan

hal-hal sunat sebagai kebutuhan diri. Tingkatan keempat, disebutnya sebagai rukun muja>hadah yaitu;

al–’uzlah, as}–s}amtu, as–sahru dan al–ju>’. Sa„id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo:

Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,119-121

Page 235: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

215

isha>rinya, di samping pendapat para sufi. Ia juga mengemukakan hadis Nabi untuk

mendukung penafsirannya.

Dalam teori Sa„id H{awwa, ia mengategorikan beberapa ayat di awal surat

sebagai mukaddimah surat. Setelah melihat hubungan tersebut kemudian

diperhatikan juga hubungan dengan ayat lain seperti mengaitkan dengan surat al–

Baqarah ayat ke 5. Pembahasan pada bagian ini lebih terarah kepada mengkaji

hubungan zahir ayat.

Selanjutnya langkah ketiga membahas penafsiran lebih luas dan dalam dari

pada makna ayat tersebut termasuk menjelaskan makna sufistiknya. Disini

dikemukakan berbagai argumen untuk mendukung penafsirannya. Mulai dari

pendapat mufasir, tokoh sufi, juga dikemukakan hadis Nabi bahkan disebutkan juga

ayat lain untuk memperkuat dan menambah penjelasannya.

Dalam menafsirkan ayat Sa„id H{awwa tidak mengklasifikasikan

penafsirannya atau menentukan antara makna zahir dan makna sufistiknya. Kedua

makna tersebut dikemukakan tanpa memberi penegasan masing–masingnya.

Dalam metode penafsiran ayat ini, Sa„id H{awwa tidak menyorot aspek lain

seperti, makkiyah dan madaniyah. Aspek ini bila dicermati akan menambah alasan

dalam memahami makna zahir ayat disamping aspek muna>sabah sebagai

metodologi pokok dalam penafsiran Sa„id H{awwa.

Melihat pembahasan Sa„id H{awwa dalam menafsirkan tema muja>hadah

dalam ayat diatas tampak bahwa ia menggunakan pendekatan makna zahir dan

makna isha>ri. Makna isha>ri dikemukakan setelah menjelaskan makna zahir ayat.

Dengan demikian, penafsiran Sa„id H{awwa dapat digolongkan pada tafsir sufi

isha>ri.

Pandangan Sa„id H{awwa dalam penafsirannya terkait muja>hadah, dipahami

bahwa muja>hadah adalah cerminan perjalanan sa>lik guna menuju sampai kepada

Allah.

Diantara muja>hadah yang utama menurutnya adalah muja>hadah

menghadapi nafsu yang ada pada diri. Hasil dari muja>hadah akan menimbulkan

Page 236: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

216

hidayah berupa jalan sampai kepada Allah. Sa„id H{awwa tidak menjelaskan tentang

bentuk sampai kepada Allah, tapi secara implisit dipahami bahwa Sa„id H{awwa

mengakui bahwa Allah akan membuka jalan bagi hamba yang sungguh–sungguh

bermuja>hadah pada zatNya untuk sampai kepadaNya. Namun sekali lagi hubungan

antara hamba dan Tuhan tidak seperti yang digambarkan Ibnu Arabi. Berbeda dengan

Ibnu Arabi yang secara terang menyebutkan dengan istilah–istilah seperti tajalli pada

zat Tuhan setelah melalui fana>‟ pada sifat–sifat Tuhan.

Memperhatikan penafsiran Sa„id H{awwa terkait hasil muja>hadah yang

dilakukan hamba bisa disebut berada pada tingkat kashf dan ia tidak menyatakan

hubungan hamba membentuk kesatuan dengan Tuhan seperti pendapat para sufi

falsafi. Dengan demikian pandangan tasawuf Sa„id H{awwa dalam hal ini merupakan

cerminan aliran tasawuf amali.

B. Tafsir Ayat tentang Kashf

Pengertian kashf sebagaimana terungkap dalam mu‘jam istilah sufi adalah

suatu hal gaib yang tersembunyi dari pemahaman, menjadi terbuka bagi seorang

hamba seakan ia melihat dengan nyata. Dikatakan oleh Abu Muhammad al–Jurairi “

siapa yang tidak menjadikan amalan antara ia dan Allah membawanya pada taqwa

dan mura>qabah berarti ia tidak sampai pada kashf dan musha>hadah. Padahal

dengan kashaf terbuka makna gaib baginya yang selama ini terh}ijab.35

Ditambahkan

oleh an-Nuri bahwa muka>shafah ‘uyun (mata) diwujudkan dengan penglihatan,

muka>shafah qulu>b (hati) diwujudkan dengan ittis}a>l.36

Kashf atau muka>shafah

dapat dialami melalui penglihatan mata (kesadaran) tentang hal gaib yang terh}ijab

dan dapat terjadi bagi orang yang bertaqwa dan merasakan kedekatan dengan Allah.

35

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,147. Lihat juga; Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t

(Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3,184 36

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,147. Diantara pengertian ittis}a>l yaitu seorang hamba tidak menyaksikan

selain Allah. Abi Khazam, Mu‘jam …, 38

Page 237: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

217

Hal itu bisa tumbuh dengan latihan amalan–amalan dan ibadah seperti puasa yang

pada prinsipnya bertujuan membentuk insan bertaqwa.

1. Ayat 42 surat Ali Imran (3)

Peristiwa yang dialami Maryam mengenai komunikasinya dengan malaikat,

menggambarkan bahwa manusia dapat berhubungan nyata dengan malaikat. Hal

tersebut terungkap dalam Alquran surat Ali Imran (3) : 42.

Sa„id H{awwa menyatakan dalam tafsirnya bahwa ayat diatas merupakan

komunikasi nyata antara malaikat dan Maryam. Bentuk kesucian Maryam

disebutkannya;

طشن ب ٠غزمزس األفؼبي األحاي , أ اهلل لذ اخزبسب ىثشح ػجبدرب صبدرب ششفب

38.األلاي األوذاس ااجظ اعاط

Sesungguhnya Allah telah memilihnya karena ia banyak melakukan ibadah,

memiliki sikap zuhud dan kemuliaan akhlaknya. Allah telah menyucikannya

dari berbagai kekotoran seperti perkataan, keadaan, perbuatan, hal yang tidak

suci, bisikan jahat ataupun khayalan.

Pada diri Maryam tercermin bermacam sifat mulia dan ia terpelihara dari hal-

hal salah yang sering dilakukan oleh kebanyakan manusia. Sebut misalnya dari segi

pembicaraan, perbuatan yang rawan menimbulkan dosa, sedangkan Maryam

terhindar dari itu semua. Faktor lain yang meninggikan derjat Maryam adalah sikap

zuhud pada dunia. Seperti dikatakan Abdul Qadir al-Jailani, bila cenderung pada

dunia maka mendapat dua kerugian (dunia-akhirat) dan siksaan. Al-Ja>hil (bodoh)

adalah orang yang semua harapannya untuk dunia, sedangkan al-‘Arif (sufi) semua

37

Artinya; Dan (ingatlah) ketika malaikat berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah

memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita didunia.” Alquran dan

Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

38 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 765

Page 238: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

218

harapannya untuk akhirat.39

Sikap zuhud yang dimiliki maryam berdasarkan

penjelasan al-Jailani, sudah sampai pada tingkat ma‘rifah. Orang yang sampai pada

ma‘rifah akan terbuka baginya kashf seperti yang dialami Maryam yang

berkomunikasi dengan malaikat.

Menurut Sa„id Hawwa, dialog antara Maryam dan malaikat bukan hanya

terjadi saat bertemu Jibril saja, tapi sudah pernah sebelumnya;

ب ٠ش٠ذ اهلل ثب , ئ االئىخ أشب ثىثشح اؼجبدح اخشع اشوع اغجد اذأة ف اؼ

سفؼخ ف اذاس٠ ثب أظش اهلل ف١ب لذسر , األشاز لذس ب لضب ب ف١ حخ ب

40.اؼظ١خ ح١ث خك ب ذا غ١ش أة

Sesungguhnya malaikat telah memerintahkan Maryam agar memperbanyak

ibadah, khusyu„,ruku„, sujud dan sungguh-sungguh dalam beramal. Ketika

Allah menginginkan suatu perkara yang telah ditetapkanNya dalam rangka

menguji dan meninggikan derjatnya di dunia dan akhirat. Allah telah

menampakkan kekuasaanNya pada Maryam untuk menciptakan seorang anak

laki-laki tanpa bapak.

Penafsiran sufistik diatas menjelaskan bahwa sebelum Maryam mengalami

kejadian tersebut, ia telah rajin beribadah dan telah mendapat berbagai perintah dari

para malaikat. Ibadah yang dilakukan selama ini menjadikan ia seorang yang sangat

dekat dengan Allah bahkan istilah para sufi ia disebut dengan ‘arif. Predikat

kesalehannya diuji oleh Allah dengan menjadikan Maryam layaknya wanita hamil

tapi tidak memiliki suami. Akhirnya Maryam menanggung kehamilan sampai

melahirkan seorang rasul (Isa. as). Artinya Maryam berhasil menghadapi ujian berat

tersebut. Peristiwa Maryam ini menggambarkan bahwa semakin tinggi ketaqwaan

seseorang maka ia akan diberikan Allah ujian yang lebih berat pula.

Pengertian mendalam dari penafsiran Sa„id Hawwa diatas terkait dengan

kedudukannya sebagai orang yang dipilih dan disucikan. Allah telah memilih

Maryam ( ), sebagaimana disampaikan malaikat kepada

39

Abdul Qadir Al-Jailani, al-Fath}u ar-Rabba>niy wa al-Fayd}u ar-Rahma>niy (Beirut:

Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah, Cet.ke-2, 63 40

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6,765

Page 239: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

219

Maryam dimaksudkan bahwa Allah akan mengujinya ( Adapun berkaitan .( حخ ب

dengan makna kesucian yang disampaikan malaikat ( ) menunjukkan bahwa

Allah akan memberikan seorang anak laki-laki yang suci untuk Maryam ( .(غالب صو١ب

Kesucian anak yang dimaksudkan kepada Maryam adalah kehamilannya tidak

didahului oleh pencampuran biologis antara Maryam dengan seorang pria.

Ketaatan dan sifat kesalehan yang dimiliki oleh Maryam yang bukan sebagai

seorang nabi/rasul sehingga mampu berkomunikasi dengan malaikat merupakan

pengalaman manusia biasa. Namun demikian, kualifikasi kesalehan Maryam diatas

kesalehan rata-rata manusia biasa. Keadaan Maryam yang diceritakan Alquran,

menggambarkan bahwa ketaatan serta ketekunan ibadah para nabi/rasul agar jangan

dilihat statusnya sebagai nabi tapi harus dilihat sebagai manusia biasa (basyar / ثشش).41

Sebab, manusia biasa (bukan nabi) seperti Maryam bisa juga mempunyai akhlak

mendekati akhlak para nabi. Oleh karena itu, dengan melihat kisah Maryam ini dapat

mendorong para mukmin lainnya meniru ketaatan dan akhlak Maryam tersebut.

Maryam sendiri sudah membuktikan bahwa setiap mukmin berpotensi mencapai

ketinggian akhlak dengan meneladani para nabi.

Kondisi maryam yang berkomunikasi dengan malaikat menjadi dasar bahwa

bagi orang biasa yang bukan seorang Nabi, mungkin saja melakukan dialog

(mukha>t}abah) berhadapan dengan malaikat atau terbuka kepadanya pintu

kara>mah dari alam gaib. Ayat ini salah satu dalil yang membuktikan akan hal itu

dimana Maryam hanyalah seorang s}iddiqah42

(teguh imannya atau salehah) dan

bukan tergolong Nabi. Siapa yang mendatangi Allah dengan ibadah sunat maka Allah

41

QS. Fus}s}ilat (41): 6, Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa yang

diberikan wahyu untuk mengatakan bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa, ل ئب أب ثشش ثى

...٠ح ئ أب ئى ئ احذ Lihat juga,QS. al-Kahfi (18): 110, al-Furqa>n (25): 20.

42 Pengertian sufistiknya adalah sangat benar keyakinannya mengikuti ajaran nabi

Muhammad; از و ف رصذ٠ك و ب جبء ث سعي اهلل ػب لال فؼال ثصفبء ثبط لشث جبط اج . Orang

yang sempurna dalam membenarkan semua yang berasal dari Nabi saw menyangkut pengetahuan,

perkataan dan perbuatan karena bersih dan merasa dekat batinnya dengan batin Nabi saw. Anwar Fuad

Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–

1,109

Page 240: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

220

akan membukakan h}ijab baginya, jika dikehendaki.43

Allah memberikan kemuliaan

pada Maryam seperti demikian dikarenakan frekuensi ibadah yang selalu dilakukan

kepada Allah dan sikap zuhudnya. Kemudian Allah melebihkan Maryam dari wanita

di dunia dan sebagai kemuliaan baginya yaitu ia melahirkan seorang putera (Isa AS)

tanpa ayah.44

Tidak ada wanita lain yang melahirkan bayi menyerupai dengan proses

yang terjadi pada Maryam.

Melihat penafsiran Sa„id H{awwa terkait peristiwa Maryam diatas, secara

metodologis makna sufistik yang dikemukakannya mengikuti pengertian zahir ayat

sehingga penjelasannya tampak berpijak pada makna zahir. Makna yang

dijelaskannya didukung oleh ayat atau keterangan lain. Sa„id H{awwa memahami

bahwa kashaf yang terjadi pada orang mukmin biasa adalah sebagai anugerah Allah

dari kemurnian ibadah yang dilakukan. Sa„id H{awwa menafsirkan percakapan

Maryam dengan malaikat sebagai bentuk kashf. Penafsirannya ini sejalan dengan

makna zahir ayat, artinya Sa„id H{awwa memahami kashf berpegang pada konteks

ayatnya. Dengan demikian, penafsiran sufistik Sa„id H{awwa mencerminkan tafsir

sufi isha>ri.

Sementara itu Ibnu Arabi dalam tafsirnya menyebutkan Maryam yang ditemui

malaikat sebagai jiwa yang bersih, suci dimana Allah telah membersihkannya (

dari akhlak buruk serta ( طشن ) dari nafsu syahwat dan menyucikannya ( اصطفبن

sifat tercela. Lanjutan ayat maksudnya, membersihkan engkau dari nafsu–nafsu

43

Sebagaimana dipahami dalam ajaran Islam bahwa Allah tidak mengutus seorang Rasul

melainkan seorang laki–laki. Disebutkan dalam ayat 109 surat Yusuf; ب أسعب لجه ئال سجبال ح

artinya, Kami tidak pernah mengutus Rasul sebelummu kecuali dari golongan laki–laki yang ئ١

kami berikan wahyu kepadanya. Adapun Maryam bukanlah seorang Nabi ataupun seorang Rasul.

Lihat; Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–

6,766. Lihat juga; Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007

M), Cet. Ke–9,163. 44

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.

Ke–6, 765

Page 241: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

221

shahwa>niyyah diantara wanita lainnya demikian Ibnu Arabi.45

Dijelaskannya bahwa

nafsu shahwa>niyyah yaitu perbuatan keji, sifat–sifat buruk dan hina.46

Penafsiran Ibnu Arabi diatas terkait ayat 42 surat Ali Imran (3) terlihat masih

menggunakan pendekatan makna zahir ayat. Namun kemudian muncul perbedaan

dengan penafsiran Sa„id H{awwa terkait dengan istilah kashf. Dalam ayat tersebut,

Ibnu Arabi tidak menyebut hal itu sebagai bentuk kashf tentang peristiwa yang

dialami Maryam sebagai manusia biasa yang berjumpa dengan malaikat Jibril.

Tampaknya Ibnu Arabi tidak menyorot wujud komunikasi antara malaikat dengan

Maryam sebagai bentuk komunikasi verbal hakiki. Berdasarkan pandangan Ibnu

Arabi, Ia memahami bahwa peristiwa luar biasa seperti kashf bukan dalam bentuk

wujud nyata atau fisik tapi bersifat ru>h}ani. Karena itu menurut Ibnu Arabi

pengalaman sufistik tidak dapat dilukiskan (visualisasi) tapi hanya dirasakan.

Kenyataan ini terlihat ketika Ibnu Arabi menafsirkan rezki yang dihadapi

Maryam diruangannya yang diketahui oleh nabi Zakariya setiap masuk ke tempat

Maryam. Menurut Ibnu Arabi rezki itu adalah berbentuk rezki ru>h}ani yang

meliputi pengetahuan, ilmu hakekat–hakekat dan atau hikmah sufistik.47

Sekalipun

Ibnu Arabi seorang sufi tapi pemikiran sufistiknya banyak dipengaruhi oleh teori

filsafat. Sesuai dengan teori pemikiran filsafat yang berpikir secara logis, rasional

tidak khayalan. Ini akan berseberangan dengan keberadaan kara>mah atau hal yang

dianggap bersifat magic yang sepintas terkesan tidak rasional.

2. Ayat 19 surat Maryam (19)

Sekalipun Maryam bukan Nabi, menurut Sa„id H{awwa dengan berlandaskan

pada nas} Alquran, dapat saja Allah membukakan h}ijab sehingga ia bisa bertemu

45

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 127 46

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 127 47

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,

Cet. Ke–2, 126

Page 242: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

222

dengan malaikat. Berkaitan dengan ini, Sa„id H{awwa mengemukakan ayat 19 surat

Maryam (19);

Makna ayat diatas dijelaskan Sa„id Hawwa bahwa Maryam tinggal sendirian

pada tempat yang sangat tertutup. Tiba-tiba ia didatangi malaikat dan terjadi dialog

sebagaimana layaknya manusia.

فزث ب ججش٠ ػ .ججش٠ ػ١ اغال ئضبفخ اشح ئ اهلل زشش٠ف: ئ١ب سحب أ

. صسح ئغب رب وب غز اخك49

Istilah “ roh kami “ yang dimaksud adalah malaikat Jibril, penyandaran

(penisbahan) roh kepada Allah dimaksudkan untuk memuliakan

keberadaannya. Maka Jibril menyerupai manusia sempurna seperti manusia

biasa.

Dinamakan ru>h} karena agama hidup melalui perantaraan Jibril sebagai

pembawa wahyu.50

Perupaan malaikat saat itu seperti manusia sempurna agar

memudahkan dalam berkomunikasi dan Maryam tidak merasa takut

menghadapinya.51

Tidak takut dalam artian terkait dengan informasi yang akan

disampaikan (misi yang dibawa) malaikat yaitu tentang berita Maryam akan memiliki

anak. Kalau dalam hal berhadapan dengan malaikat, Maryam tidak gentar atau cemas

48

Artinya; Lalu kami mengutus roh kami kepadanya maka ia menjelma dihadapannya (dalam

bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, “ Sesungguhnya aku berlindung dari padamu

kepada Tuhan yang pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa. Ia berkata, “ Sesungguhnya aku ini

hanyalah seorang utusan Tuhanmu untuk memberimu seorang anak laki–laki yang suci. Alquran dan

Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

49 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.

Ke–6, 3262 50

Untuk menyebutkan nama lain dari malaikat Jibril adalah Ru>h}. Penggunaan istilah ini

terdapat juga dalam Alquran surat al–Qadr (97): 4; رضي االئىخ اشح ف١ب ثار سث و أش artinya, pada malam itu turun malaikat–malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk

mengatur segala urusan. Istilah ruh ini mengandung kehidupan, manusia hidup karena ditiupkan ruh.

51 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.

Ke–6, 3262

Page 243: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

223

karena dia sudah pernah menghadapinya.52

Sikap biasa yang ditunjukkan Maryam

tercermin dalam dialognya.53

Penyerupaan malaikat yang dihadapi Maryam termasuk peristiwa luar biasa

(istimewa) yang dialami oleh jiwa yang suci. Ditegaskan oleh Sa„id H{awwa bahwa

yang dialami Maryam adalah kashf yang nyata.

ئر ف اى ششػب أ ٠ىشف اهلل ػضج غ١ش االج١بء اشع ػ االئىخ ثح١ث ٠غغ

54.ز احبخ ٠غ١ب اصف١خ وشفب, أ ٠ش ىب

Berdasarkan pada aturan shara‘ mungkin saja terjadi bahwa Allah membuka

tabir kepada selain dari para nabi dan rasul untuk mendengar atau melihat

akan malaikat. Keadaan yang dialami demikian menurut para sufi disebut

dengan peristiwa kashf.

Dari penjelasan ini dipahami bahwa peristiwa yang dialami Maryam

merupakan anugerah Allah pada orang biasa sebagai bukti kesalehannya. Dia

menghadapi malaikat Jibril dengan melihat dan mendengar suaranya sebagai sosok

seorang manusia. Peristiwa ini dalam istilah sufi disebut sebagai muka>shafah

‘uyu>n (mata).55

Sejalan dengan Sa„id H{awwa, Ibnu Arabi juga menyebut penjelmaan

malaikat tersebut sebagai manusia yang rupawan sebagaimana dipahami pada ayat 19

diatas untuk menjinakkan hati Maryam. Disebutkan bahwa kejadian yang dialami

Maryam ibarat orang bermimpi dan setelah peristiwa itu tiba–tiba ia mengandung.

Ibnu Arabi membandingkan bahwa munculnya wahyu juga sering dialami melalui

mimpi yang benar. Ibnu Arabi juga memahami bahwa penjelmaan Jibril menyerupai

52

Artinya bukan kejadian baru bagi Maryam, seperti dijelaskan Sa„id Hawwa. Lihat; Sa„id

H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6,765

53 Ketika Jibril menjelma sebagai sosok manusia dihadapan Maryam, dia hanya terheran

bercampur takut terhadap akibat dari berita yang disampaikannya. QS. Maryam (19): 18-20

54 Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.

Ke–9,163. 55

Biasanya istilah muka>shafah ada juga disebut dengan musha>hadah, demikian Tahanawi.

. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan,

1993), Cet. Ke–1,147 & 167.

Page 244: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

224

manusia sempurna supaya Maryam tidak gentar atau ketakutan.56

Terkait dengan

peristiwa yang dialami Maryam tersebut, dalam tafsir Ibnu Arabi tidak disebutkan

sebagai bentuk kashaf. Memang dalam penafsiran sufistik masing-masing sufi belum

tentu sama dalam memahami ayat sebab hal itu sangat berkaitan dengan pengalaman

ibadah dan tingkat kesufian.

Sehubungan dengan kashf menurut Ibnu Arabi dipahami dari ayat lain

diantaranya dalam surat Ali Imran (3) ayat 200. Sabar ( صبثشا ( dalam ayat tersebut

berkedudukan pada qalbu tempat merasakan kashf masuk (menyerbu) dalam tajalli

sifat Tuhan dengan proses muka>shafah.57

Kekuatan sabar yang dibina seseorang

intinya berada pada kekuatan qalbu yang dimiliki. Kekuatan sabar puncaknya akan

mengalami kashf dengan meningkat pada tajalli setelah berada pada tingkat tah}alli.

Selain itu, makna kashf ditemukan juga pada penafsiran tentang rid}a dalam ayat 100

surat at–Taubah. Menurut Ibnu Arabi kerid}aan hamba muncul ketika terjadinya

penyingkapan sifat–sifat Tuhan yang terwujud ketika mengalami kashf.58

Rid}a dan

kashf berjalan saling mendekati artinya kerid}aan hamba ditandai juga dengan

mengalami kashf.

Untuk memahami makna kashf dalam Alquran, para mufasir sufi tidak selalu

sama pandangannya seperti Ibnu Arabi diatas. Hal sama juga terlihat dalam

penafsiran Tustari ketika memahami kashf berdasarkan ayat 159 surat Ali Imran (3).

Kashf menurut at-Tustari dapat muncul dalam kondisi orang yang betul–betul

bertawakal kepada Allah sehingga Allah menyingkapkan hijab maka hamba

56

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,

Cet. Ke–2, 5 57

.٠ب أ٠ب از٠ اا اصجشا صبثشا ساثطا ارماهلل ؼى رفح Lihat; Ibnu Arabi,

Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 159

58 Lihat penjelasan Ibnu Arabi tentang maqa>m rid}a; Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi

(Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2,293. Pemahaman Ibnu Arabi

tentang kashaf dapat juga dijumpai pada ayat lain. Masing–masing mufasir sufi tidak selalu sama

dalam melihat kandungan ayat–ayat tasawuf termasuk memaknai suatu ayat terkait aspek ajaran

tasawuf seperti kashaf diatas. اغبثم األ ابجش٠ األصبس از٠ ارجؼ ثاحغب سض

. اهلل ػ سضاػ أػذ جبد رجش رحزب األبس خبذ٠ ف١ب أثذا ره افص اؼظ١

Page 245: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

225

memperoleh tambahan ilmu dan hikmah.59

Dengan demikian menurut at-Tustari

kashf merupakan implikasi dari tawakal. Sebagai implikasi dari tawakal yang

dimaknainya dengan terbukanya kashf dari Allah yaitu dengan memperoleh berbagai

ilmu sebagai pertanda dekatnya hubungan antara hamba dengan Allah. Kashf ini

merupakan kondisi yang dialami pelaku tasawuf sehingga perihalnya bisa dipahami

dengan menelusuri makna ayat yang mengandung pengertian demikian sesuai

pandangan masing–masing sufi.

Berkenaan dengan ayat 159 tersebut Sa‟id Hawwa tidak memahaminya

sebagai bentuk kashf. Ia menafsirkan kashf sesuai pendekatan makna zahir suatu ayat

yang memang mengandung pemahaman akan hal itu seperti ayat 42 surat Ali Imran

diatas. Sementara itu Tustari juga tidak menjelaskan ayat 42 surat Ali Imran (3)

sebagai bentuk peristiwa kashf sebagaimana yang dialami Maryam. Bahkan at-

Tustari tidak menyorot ayat tersebut sebagai ayat bercorak tasawuf justru ayat 43

yang menjadi perhatiannya.60

Untuk meninjau makna sufistik suatu ayat sering dipengaruhi oleh

pengalaman spiritual ataupun riyad}ah, sikap zuhud dan ketekunan ibadah. Adapun

makna kashf juga ditemukan dalam pandangan at-Tustari menyangkut ayat 17 surat

Sajadah (32).61

Ayat ini menceritakan tentang hal yang tersembunyi dari pandangan

mata. Menurut Tustari, mata hanya melihat fakta yang zahir. Sedangkan aspek batin

tersingkap bagi mereka yang sering bermuna>jat yaitu mengalami muka>shafah

maka mereka melihat diluar zahir sehingga hati menjadi damai sementara yang lain

tidak mengetahui apa yang disembunyikan bagi mereka.62

Berdasarkan ayat ini,

59

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 51 فارا ػضذ فزو ػ اهلل ئ اهلل ٠حت ازو١. 60

Sebagai dijumpai dalam tafsirnya bahwa makna ٠ب ش٠ الز شثه اعجذ اسوؼ غ اشاوؼ١

taatlah ( الز ( dalam ayat 43 ditafsirkan Tustari yaitu s}alat karena Allah, menyembah dengan ikhlas

hanya kepadaNya dan memanjatkan doa kepadaNya. Lihat; Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy

(Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 48

61 Ayatnya; فال رؼ فظ ب أخف لشح أػ١

Page 246: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

226

dalam pandangan at-Tustari peristiwa kashf dapat menangkap rahasia- rahasia dibalik

hal–hal zahir yang tidak diketahui oleh orang lain.

Ayat ini dipahami oleh Sa„id H{awwa sebagai suatu kara>mah bagi orang

yang melakukan amal saleh. Seseorang tiada mengetahui akan kara>mah pertanda

kemuliaan yang menyenangkan pandangan.63

Penafsiran Sa„id H{awwa ini ada kaitan

makna dengan yang dikemukakan Tustari diatas, hanya Sa„id H{awwa tidak

menyebut istilah muka>shafah tapi disebut sebagai kara>mah. Artinya kashaf adalah

bagian dari bentuk kara>mah yang dialami oleh orang yang memiliki kesucian jiwa.

Dari penafsiran sufistik Sa„id H{awwa terkait kashf, terlihat bahwa

pengalaman kashf dapat dirasakan oleh siapa saja yang bersih rohaninya dan

pengalaman sufistik demikian dapat dialami dalam kondisi nyata. Ia melihat peristiwa

Maryam sebagai bentuk kashf yang nyata. Sementara pandangan Ibnu Arabi dalam

penafsirannya menyebutkan bahwa pengalaman sufistik tidak dalam bentuk nyata

fisik tapi bersifat ruhani. Dari pandangan diatas dapat ditegaskan bahwa menurut

Ibnu Arabi muka>shafah terjadi dalam bentuk muka>shafah qalbu sementara Sa„id

H{awwa meyakini dua-duanya yaitu muka>shafah qalbu dan muka>shafah ‘ain.

Adapun Tustari dari penafsiran–penafsirannya juga bisa dipahami, bahwa ia

mengakui muka>shafah dapat terjadi didunia nyata sebagaimana dikemukakan pada

uraian diatas. Kesimpulan ini didukung juga dari penglamannya tentang kara>mah

yang yang diceritakan dalam tafsirnya, maka itu dapat dijadikan suatu bukti.

Berdasarkan pandangan Sa„id Hawwa dalam beberapa penafsirannya, dapat

disimpulkan bahwa penafsiran sufistik yang dikemukakan tentang kashf sejalan

dengan pandangan beberapa ahli sufi. Seperti pandangan an-Nuri yang membagi

mukashafah yang berhubungan dengan mata dan yang berhubungan dengan qalbu.64

Adanya kesamaan penjelasan Sa„id H{awwa dengan pengertian yang dinyatakan para

62

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 125 63

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.

Ke–6, 4365 64

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,147.

Page 247: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

227

sufi, mendukung akan penafsiran Sa„id H{awwa sebagai tafsir yang berorientasi

sufistik.

C. Tafsir Ayat tentang Ittih}a>d

Salah satu ajaran dari aspek tasawuf yang dijalankan para pelaku sulu>k

adalah merasakan hubungan yang dekat dengan zat yang maha tunggal yaitu Allah

pencipta langit dan bumi. Hubungan yang dekat yang dirasakan tersebut secara sadar

dapat diwujudkan, dalam istilah tasawuf hubungan demikian dikenal dengan

ittih}a>d. Ajaran ittih}a>d dibahas dalam penelitian ini guna melihat pandangan

Sa„id Hawwa terhadap penggunaan istilah tersebut. Sebab istilah ini sering

menimbulkan polemik dikalangan umat Islam.

Makna ittih}a>d dikemukakan oleh al-Ka>shi yaitu menyadari segala yang

mauju>d timbul dari wujud al-H{aq al-Wah}i>d al-Mut}laq, maka bersatu

dengannya segala sesuatu mauju>d sehingga tiada hakikat dirinya. Persatuan

mustahil dengan wujud yang khusus atau berbeda dengan wujud mut}laq.65

Disebutkan oleh Tahanawi bahwa ittih}a>d merupakan pengungkapan tentang

keberadaan wujud mut}laq bahwa segala mauju>d disebabkan oleh wujud yang esa

yang meniadakan pada diri yang mauju>d. Karena itu pengertiannya bukan berarti

segala sesuatu memiliki wujud khusus yang dapat bersatu dengan al-H{aq.66

Inti

pengertian ittih}a>d yaitu persatuan antara wujud mutlak dan mauju>d karena yang

mauju>d berasal dari wujud mutlak tersebut. Dengan demikian persatuan antara

keduanya tidak berbatas ibarat bayangan cermin, sebab esensi mauju>d memiliki

hakikat yang sama dengan wujud mutlak. Persoalannya kemudian yaitu persatuan

antara keduanya dimanifestasikan dalam bentuk apa atau bagaimana dapat

digambarkan.

65

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,38

66 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,38

Page 248: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

228

1. Ayat 16 surat Qaf (50)

Adapun ayat yang sering dijadikan landasan tentang ittih}a>d dalam kajian

para sufi, diantaranya surat Qaf (50) ayat 16.

Maksud bisikan dalam ayat ini, dijelaskan Sa„id Hawwa;

ععخ افظ ب ٠خطش ثجبي اإلغب ٠جظ ف ض١ش , اععخ اصد اخف: أ

.حذ٠ث افظ68

Artinya, suara yang tersembunyi, bisikan dalam jiwa seperti apa yang terlintas

dalam pikiran manusia dan yang terbayang dalam hatinya.

Ma tuwaswisu dipahami sebagai bisikan jiwa seperti yang timbul dalam

pikiran manusia dan apa saja yang terlintas dalam hati. Pengertian h}ablil wari>d

dijelaskan oleh Sa„id H{awwa sebagai urat leher bagian dalam69

.( ػشق ف ثبط اؼك )

Pada ayat ini Allah menerangkan kekuasaanNya dalam menjadikan manusia dan Dia

menguasai pula semua urusan manusia bahkan segala hal yang terbetik dalam

jiwanya, demikian Ibnu Kathi>r yang dikutip Sa„id H{awwa.70

Dalam ayat ini Allah

menunjukkan kepada manusia bahwa semua yang terjadi pada manusia dari

perbuatan hati, pikiran dan tingkah laku, tiada yang luput dalam pengawasanNya.

Bila dibandingkan dengan bahasa manusia berarti Allah dan manusia tak ada

jarak yang membatasi dan tak ada celah bagi manusia berharap kepada yang lain.

Karena itu pada ujung ayat ditegaskan kembali bahwa kedekatan Allah dengan

manusia melebihi kedekatan manusia dengan urat lehernya sendiri. Penegasan akhir

ayat ini untuk menyadarkan manusia agar tidak berbuat hal–hal yang menimbulkkan

67

Artinya; Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa

yang diniatkan dalam dirinya. Dan kami lebih dekat dengannya dari pada urat lehernya sendiri.

Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

68 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6, 5459

69 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6,5459 70

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6,5459

Page 249: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

229

dosa sebab sewaktu-waktu Allah bisa mencabut urat lehernya. Makna ayat ini

sekaligus mendorong manusia untuk selalu menebar kebaikan, berzikir dan

merasakan bahwa hubungan yang dekat denganNya.

Penegasan akhir ayat terkait kedekatan Allah dengan manusia dipahami juga

secara isha>ri oleh Sa„id H{awwa dengan menakwilkan ayat bahwa disamping Allah

juga ada makhluk lain yaitu malaikat yang dekat dan selalu mengawasi manusia.

Sa„id H{awwa menjelaskan dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir;

, الئىز رؼب ألشة ئ اإلغب حج س٠ذ ئ١: ٠ؼ, ح ألشة ئ١ حج اس٠ذ

. رأ ػ اؼ فاب فش ئال ٠ض حي أ ارحبد ب ف١ب ثبالجبع رؼب اهلل رمذط

.ى افظ ال ٠مزض١ فا ٠م أب ألشة ئ١ ئب ح ألشة ئ١71

Kami lebih dekat maksudnya malaikat juga lebih dekat kepada manusia dari

urat lehernya. Siapa yang memberikan takwil pada ilmu (filsafat) maka

sesungguhnya jauh dari maknanya sebab pengertiannya tidak mesti h}ulu>l

atau ittih}a>d. Pengertian tersebut dapat menghilangkan kesucian pada

Tuhan yang telah disepakati para ulama. Sebetulnya kalimat (lafaz) pada ayat

tersebut tidak menunjukkan pengertian demikian, karena tidak menggunakan

kata ana aqrabu (أب ألشة ) tapi nah}nu aqrabu (ح ألشة ).

Oleh sebab itu makna ayat ini tidak mesti dipahami sebagai bentuk ittih}a>d

atau h}ulu>l antara Allah dan manusia seperti yang dianut para sufi falsafi.72

Lebih

jauh dijelaskan Sa„id H{awwa, dengan menganalisis bahasa bahwa lafaz yang

digunakan bukan ana aqrabu ( أب ألشة ) tapi nah}nu ( ح ). Penggunaan kata nah}nu

tidak berarti Allah saja tapi juga melibatkan yang lain artinya malaikat juga lebih

dekat dengan manusia dari pada urat lehernya (manusia) sendiri.73

Penafsiran Sa„id

{H{awwa diatas dipahami bahwa ia tidak menghendaki terjadinya pemahaman

ittih}a>d atau h}ulu>l antara Allah dan manusia berdasarkan ayat diatas.

71

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6,5467 72

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6,5459 73

Sa „id H{awwa mengemukakan ayat lain terkait penggunaan kata nah}nu seperti ayat 9

surat al-H{ijr (15): ئب ح ضب ازوش ئب حب فظ – Sesungguhnya Kami yang menurunkan Alquran dan

sungguh Kami benar-benar memeliharanya. Disini malaikat turun dengan membawa Alquran dan ikut

memliharanya. Lihat; Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M),

Jilid 9, Cet. Ke–6,5468

Page 250: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

230

Secara tidak langsung Sa„id H{awwa menolak takwil ayat dengan

menyatakan bahwa maksud dekat dalam ayat ini menjadi dasar pengertian ittih}a>d

antara Allah dan manusia. Tampaknya Sa„id H{awwa melihat pada hubungan ayat

(muna>sabah) ini dengan ayat setelahnya yang menjelaskan makna kata nah}nu yaitu

menunjuk pada malaikat yang berada pada posisi kiri dan kanan.74

Dua hal ini

menggambarkan akan dua perbuatan berbeda yaitu terkait dengan hal baik dan buruk

atau dosa dan pahala.

Sekalipun malaikat juga dianggap dekat dalam pengertian ayat diatas, namun

Sa„id Hawwa tetap mengakui bahwa Allah yang sangat dekat lagi. Penjelasan ini

dikutipnya dari tafsir an-Nasafi bahwa;

ألشة اإلغب و , ئ ط١ف ٠زص ػ ئ خطشاد افظ ال شء أخف

.لش٠ت ح١ ٠زم احف١ظب ب ٠زفظ ث75

Sesungguhnya Dia maha halus, ilmuNya meliputi gerak jiwa manusia

sehingga tidak ada yang tersembunyi dariNya. Dia sangat dekat kepada

manusia dari setiap yang dekat (dua malaikat) yang selalu mengawasi

manusia.

Sekalipun malaikat juga dilibatkan dalam pengertian ayat diatas sebagai

bagian yang dekat dengan manusia tetapi kedekatan Allah melebihi malaikat.

Sungguhpun hubungan yang dekat antara Allah dengan manusia, namun tetap tidak

dalam bentuk ittih}a>d.

Dari penafsiran Sa„id H{awwa diatas juga tidak menolak terjadinya hubungan

yang sangat dekat antara Allah dan manusia, sebab Sa„id H{awwa mengakui tentang

wus}u>l kepada Allah namun juga tidak dalam bentuk ittih}a>d.76

Ia pun tidak

menjelaskan lebih rinci bentuk kedekatan yang dirasakan.

74

Sa„id H{awwa juga tidak sepakat tentang dua malaikat tersebut bernama dengan raqi>b

dan ‘ati>d. Menurutnya istilah itu merupakan sifat bagi mereka sesuai fungsinya yaitu raqi>b sebagai

pengawas ( حبفظ ) dan ‘ati>d yang selalu hadir ( حبضش ). Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:

Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet. Ke–6,5460

75 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.

Ke–6,5459-60

76 Siapa yang jiwanya bermuja>hadah pada zat Allah maka Allah akan memberi hidayah

kepada jalan menuju Allah. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003

M), Jilid 8, Cet. Ke–6,4237

Page 251: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

231

Penafsiran Sa„id Hawwa diatas dapat dipahami, yaitu tidak jauh dari

pengertian makna zahir apalagi didukung dengan analisis kebahasaan. Pengungkapan

makna isha>ri dalam metodologi tafsir sufistik Sa„id Hawwa tidak terpengaruh

dengan teori filsafat. Penafsiran-penafsiran Sa„id Hawwa dalam mengungkapkan

makna isha>ri sebagaimana terlihat di atas, tetap berlandaskan pada makna zahir

ayat. Ini bukan berarti penafsirannya tidak mengandung makna sufistik namun makna

sufistik yang dikemukakan sesuai dengan rambu-rambu tafsir sufistik yang salah

satunya adalah makna isha>ri tidak jauh dari makna zahir.77

Karena itu, penafsiran

sufistiknya tergolong pada tafsir sufi isha>ri. Penafsiran sufistik Sa„id H{awwa

seperti ini sangat tampak ketika menafsirkan ayat-ayat terkait dengan maqa>m-

maqa>m tasawuf. Sesuai dengan lafaz ayatnya yang jelas, maka makna isha>ri yang

dikemukakan tidak menyimpang dari makna zahir ayat sehingga antara makna zahir

dan isha>ri ada kesejalanan.

Metode tafsir sufistik seperti demikian, memberikan kemudahan dalam

memahami ayat tasawuf. Bila diperhatikan dalam penafsiran sufistik, tercermin

padanya uraian yang menjelaskan untuk agar memperoleh hubungan yang sangat

dekat dengan Tuhan atau dorongan untuk meraih kesucian jiwa. Adapun makna

abstrak yang sering terdapat dalam penafsiran sufistik biasanya dipengaruhi oleh teori

atau ajaran filsafat. Karena itu penafsiran sufistik demikian disebut dengan tafsir sufi

naz}ari.

Berbeda dengan Sa„id H{awwa, menurut tafsir Ibnu Arabi ayat tersebut

adalah mencerminkan kedekatan secara maknawi dengan penggambaran wujud nyata.

Kedekatan antara wujud mutlak dengan mauju>d atau juz-un muttas}il tidak ada

jarak. Dengan demikian hubungan tersebut antara keduanya, menafikan keterpisahan

dan kegandaan.78

Hal ini dipertegas oleh Abi Khazam bahwa ittih}a>d menurut Ibnu

77

Muhammad Hamdi Zaglul, at–Tafsi>r bi ar–Ra’ yi (Dimaskus:Maktabah al–Farabi,

1420/1999), Cet. Ke–1,442-3

78أ ارصبي اجضء ثبشء ٠شذ ثبج١خ اإلث١١خ . ئب وب ألشة غ ػذ اغبفخ ث١ اجضء ازص ث ث١

. اشافؼخ الرحبد لشث ػجذ ١ظ وزه Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah,

1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 263

Page 252: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

232

Arabi adalah terjadinya dua zat menjadi satu dan tidak mungkin terjadi ittih}a>d

kecuali adanya dua esensi. Sementara Tuhan dan alam tidak membentuk jadi satu tapi

dalam wujud yang satu.79

Mengenai wujud ini, disebut oleh Ibnu Arabi dengan

realitas dari realitas-realitas (h}aqi>qat al-h}aqa>iq).80

Dalam penafsiran Ibnu Arabi tentang ayat di atas, ia tidak menyorot tentang

struktur bahasa dari ayat tersebut, misalnya terkait dengan penggunaan kata nah}nu.

Sebab kata nahnu secara bahasa dapat menunjukkan makna banyak. Namun

demikian, terkait dengan kata nah}nu, sebetulnya bisa dipahami bahwa didalamnya

pasti mengandung pengertian wujud Allah, walaupun sementara ahli tafsir

menyatakan, ada pihak lain yang dilibatkan.

Melihat penafsirannya pada ayat berikutnya, tampaknya Ibnu Arabi tidak

mengakui adanya pihak lain selain Allah. Ketika ia menafsirkan tentang dua pihak

yang berada disamping kanan dan kiri manusia bukanlah sebagai malaikat tapi

sebagai potensi pada diri manusia. Bagian kanan disebutnya sebagai kekuatan akal

yang membentuk kebaikan sedangkan bagian kiri disebutnya sebagai daya khayal

yang mendorong untuk pada hal-hal yang tidak baik dan cenderung kepada perbuatan

setan.81

Dengan demikian ittih}a>d yang terjadi antara wujud mutlak dengan

mauju>d yang juga merupakan bagian dari esensi wujud mutlak sesuatu yang dapat

terjadi.

Sementara itu, Tustari memahami urat ( اؼشق ) pada ayat tersebut sebagai

rongga hati (qalbu) sebab Allah lebih dapat dirasakan oleh hati. Karena itu apa saja

yang terbetik dalam hati terhadap sesuatu yang dikehendaki nafsu maka wajar sekali

manusia merasa malu memperturutkan. Manusia harus ingat bahwa Allah lebih dekat

79

ال ٠ى ئال ف اؼذد حبي, االرحبد رص١١ش ازار١ احذح Penjelasan ini dikutip Abi Khazam dari

kitab istilah sufi karya Ibnu Arabi halaman 31. Lihat; Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–

Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,38

80 Dalam istilah lain disebut juga oleh Ibnu Arabi dengan Materi Pertama. Kautsar Azhari

Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wuju>d dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet.ke-1, 52 &

56

81 Sangat wajar ia berpendapat tentang ittihad sebab menurutnya tidak ada pengertian

malaikat dalam ayat tersebut. Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427

H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 263

Page 253: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

233

daripada hatinya sendiri.82

Disini Tustari lebih memahami makna kedekatan Allah

dalam arti pengawasan hati manusia. Apa saja yang terbersit dalam hati manusia tidak

ada yang luput dalam pengawasanNya. Sama halnya dengan Sa„id H{awwa,

penafsiran Tustari tidak mengarahkan pada adanya ittih}a>d berdasarkan ayat ini.

Intinya ayat ini dipahami sebagai cerminan penguasaan Allah terhadap apa saja yang

dilakukan manusia. Posisi Allah lebih mengetahui apa yang akan ditimbulkan dari

hati dan pikiran manusia. Ini menunjukkan hubungan pengawasan yang sangat dekat

kepada manusia. Dengan demikian, bila manusia menyadari akan hal ini maka ia

akan malu berbuat yang tidak dikehendaki oleh Allah.

Dari penafsiran-penafsiran diatas, dipahami bahwa takwil yang dikemukakan

Sa„id H{awwa dan Tustari masih memperhatikan makna zahir ayat yang mengenai

kedekatan dalam hal pengawasan Allah. Sementara Ibnu Arabi memberikan takwil

dengan memahami sebagai kedekatan wujud maknawi (abstrak) dengan bentuk

keterpaduan wujud yang tidak ada batas. Pengertian ini secara zahir ayat tidak mudah

dipahami. Walaupun demikian Sa„id H{awwa dan Tustari mengakui hubungan dekat

secara ruhani dapat terjadi antara manusia dan Tuhan. Namun mereka tidak menyebut

dengan istilah ittih}a>d atau kesatuan wujud seperti yang dikemukakan Ibnu Arabi.

2. Ayat 115 surat al-Baqarah (2)

Selain ayat diatas, ayat lain yang dijadikan sebagai dasar oleh penganut ajaran

ittih}a>d yaitu ayat 115 dalam surat al-Baqarah.

.

Dalam tafsir Ibnu Arabi dijelaskan pengertian tentang wajah Allah bahwa zat

Allah bertajalli pada seluruh sifat-sifatNya. Makna walilla>hil mashri>q berarti

Allah yang memunculkan cahaya pada hati kamu sebagai tajalli dari sifat Jama>l

82

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 75 83

Artinya; Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat maka kemanapun kamu menghadap

disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. Alquran dan

Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

Page 254: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

234

Tuhan dalam kefanaanmu. Sedangkan maghri>b berarti terbenam yaitu menutupi

dengan zatNya. KetersembunyianNya dengan sifat Jala>lNya padamu ketika

keadaanmubaqa>’ setelah fana>’.84

Pengertian ini menunjukkan bahwa ibaratnya

maghri>b dan mashri>q ada pada diri manusia maka kemana saja menghadap tetap

ada wajah Allah. Mashri>q sebagai bentuk tajalli sifat Tuhan pada hamba pada

kondisi fana>’ sedangkan maghri>b sebagai selubungan dari sifat-sifat Jalal Tuhan

pada hamba ketika baqa>’nya. Disini terbentuk penyatuan antara hamba dengan

Tuhan dalam dua hal yaitu dari sudut maghri>b dan dari sudut mashri>q. Gambaran

kesatuan wujud demikian dalam istilah Harun Nasution disebutnya melewati konsep

ittih}a>d dan hulu>l.85

Takwil yang dikemukakan dalam tafsir Ibnu Arabi diatas selaras dengan

konsep kesatuan wujud yang dianutnya bahwa esensi yang hakiki hanya wujud

mutlak Tuhan. Hal ini dapat diumpamakan bayangan dalam cermin. Penafsiran ini

akan dibandingkan dengan penafsiran Sa„id H{awwa yang juga memahami bahwa

keberadaan Allah meliputi timur dan barat.

Menurut Sa„id H{awwa makna ayat diatas pertama mengandung pengertian

tentang kiblat dalam s}alat. Dikemukakannya;

فف أ ىب فؼز از١خ فث ج . ثالد اششق اغشة وب هلل بىب ز١ب: أ

اهلل86

.

Artinya; wilayah timur dan barat semuanya kepunyaan Allah, Dia pemiliknya

dan pengaturnya. Maka pada tempat manapun kamu menghadapkan muka,

disitulah keberadaanNya.

Berkaitan arah salat, Sa„id Hawwa mengakui bahwa Allah menyaksikan

hambanya dimana saja memalingkan muka. Maksudnya, apabila ada sesuatu yang

84

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu راد اهلل ازج١خ ثج١غ صفبرخ أ هلل اإلششاق ػ لثى ازج ب ثصفخ جب

Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 71

85 Ittih}a>d diibaratkan hamba bergerak menuju Tuhan sedangkan h}ulu>l, Tuhan turun

memilih hamba. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1992), Cet. Ke–8, 89 86

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6,224

Page 255: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

235

menghalangi arah kiblat maka bumi ini dapat dijadikan tempat salat sekalipun

menghadap ke arah mana saja.87

Pandangan Sa„id Hawwa diatas masih menjadikan

Ka‟bah sebagai arah s}alat dalam keadaan normal. Sekalipun demikian, ia tetap

longgar dalam hal masalah kiblat. Syarat yang dikemukakannya yaitu bila terhalang

dari masjid, artinya diluar masjid atau dimana saja masih dibolehkan menghadapkan

muka.

Selanjutnya dikemukakannya penafsiran terkait zat Allah. Dalam tafsirnya

dinyatakan pendapat Ibnu Kathir;

أ رؼب ال ٠خ ىب فا ػ رؼب ح١ط ثج١غ اؼبد أب رار رؼب فال رى

.حصسح ف ش١ئ خم88

Bahwa sesungguhnya wujud Allah tidak kosong dari tempat manapun,

ilmunya meliputi seluruh yang diketahui. Adapun zatNya, tidak terbatas pada

sesuatu dari makhluk ciptaanNya.

Adapun makna ayat terkait dengan pengertian sufistik yaitu dalam hal

mengenal akan zat Allah ( bahwa timur dan barat mencerminkan (ؼشفخ ازاد اإل١خ

keberadaanNya.89

Adapun zat Allah tidak terbatas pada satu tempat dari

makhluknya. Dimanapun posisi seorang hamba memanjatkan doa, disitu ada wajah

Allah maka ia akan kabulkan doanya.90

Pengertian dari penafsiran ini membawa

pemahaman bahwa zat Allah meliputi pada semua alam namun Sa„id H{awwa tidak

menjelaskan lebih jauh bentuk hubungan antara keberadaan Allah yang meliputi alam

semesta. Secara tidak langsung penafsiran Sa„id H{awwa mengakui bahwa zat Allah

tercermin pada alam maka arah timur atau barat adalah menjadi tempat

menghadapkan muka menuju Allah. Pengertian menghadapkan muka ditakwilkan

87

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6,224 88

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6,254 89

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6,224 90

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.

Ke–6,254

Page 256: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

236

juga sebagai keadaan dalam berdoa. Takwil demikian sangat dekat dengan makna

zahir ayat.

Alam sebagai cerminan Allah tidak berarti ia juga menjadi kekal dengan

kekekalan Allah. Sa„id Hawwa memberi alasan dengan menyebut ayat 88 surat al-

Qas}as}, segala sesuatu pasti akan hancur melainkan wajah (zat) Allah tetap kekal.91

Bila alam dianggap sebagai penampakan (tajalli) sifat Tuhan berarti itu bukan wujud

Tuhan sesungguhnya sebab ia (alam) akan hancur sedangkan Tuhan tidak akan

hancur selamanya.

Bila di\cermati terhadap makna zahir ayat maka dipahami bahwa penafsiran

Sa„id H{awwa masih menggunakan takwil sejalan dengan pengertian ayat. Zat Allah

yang dimaksud tetap pada posisinya, bukan menyatu pada manusia atau alam.

Pengertian ini sesuai dengan kandungan ayat yang tidak tegas menunjukkan pada

makna ittih}a>d. Adapun Ibnu Arabi menggunakan takwilnya dengan memahami

bahwa locus tersebut ada pada diri manusia. Ibnu Arabi dalam mengemukakan

penafsirannya menggunakan pendekatan filsafat sehingga kesimpulan yang

diberikannya sejalan dengan teori filsafat tentang wujud.92

Sa„id Hawwa menjelaskan bahwa zat Allah meliputi alam semesta tapi tidak

ditegaskan dalam bentuk penyatuan artinya masih terpisah antara dua unsur. Hal ini

menunjukkan bahwa Sa „id Hawwa tidak memiliki kecenderungan mengkaji tasawuf

secara teoritis. Penafsiran sufistiknya ditujukan supaya mudah diamalkan, makanya

karakteristik tafsir sufinya dikenal dengan tasawuf amali. Sebaliknya pada tafsir Ibnu

Arabi, yang dipahami sebagai tasawuf falsafi dengan jelas menyatakan bahwa

terjadinya penyatuan dua unsur pada manusia adalah dalam bentuk tajalli sifat Tuhan.

91

Lihat; QS. Al-Qas}as}: 88. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r

(Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6,254 92

Tiap-tiap sesuatu mempunyai dua aspek yaitu aspek luar al-Khalq dan aspek dalam al-Haq.

Al-Haq pada makhluk bersatu dengan al-Khalq pada Tuhan. Ibaratnya Tuhan melihat alam sebagai

cermin diriNya. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),

Cet. Ke–8, 92. Kesatuan antara al-Haq (Tuhan) dan al-Khalq (alam) terlihat dalam konsep ontologis

Ibnu Arabi. Disini tidak ada dualitas dalam arti yang sebenarnya tetapi dua aspek atau sifat dari satu

wujud, dapat diibaratkan dengan cermin. Sementara dalam teori al-Hallaj masih terdapat dualitas

(Tuhan dan manusia). Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wuju>d dalam Perdebatan

(Jakarta: Paramadina, 1995), Cet.ke-1, 52 & 56

Page 257: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

237

Secara metodologis, Sa„id H{awwa sangat dekat dengan makna zahir dalam

mengemukakan penafsiran sufistiknya, sedangkan Ibnu Arabi tidak memperhatikan

demikian. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa metodologi penafsiran Sa„id

H{awwa dalam menggunakan makna isha>ri tetap berlandaskan pada makna zahir

ayat. Selain itu ia juga mengemukakan pendapat para mufasir seperti Ibnu Kathir,

untuk memperkaya penjelasannya.

D. Tafsir Ayat tentang Kara>mah

Istilah kara>mah dalam kajian tasawuf sering dibicarakan dan itu biasanya

dikaitkan dengan kesalehan para wali. Kara>mah adalah sesuatu yang terjadi diluar

kebiasaan seseorang yang bukan kapasitas sebagai Nabi tapi karena iman dan amal

salehnya. Tahanawi menyebutkan “Kara>mah merupakan bagian dari kejadian diluar

adat kebiasaan yang timbul pada diri para wali“.93

Kara>mah merupakan

keistimewaan diluar kebiasaan sebagai anugerah yang terjadi pada para wali berkat

kedekatannya dengan Allah karena iman dan ibadah yang dilakukan. Sesuai arti wali

salah satunya ialah amat dekat, yang selalu mengiringi.94

Wali adalah orang yang

sangat dekat dengan Allah, karena itu mereka disebut sebagai waliyullah atau wali

Allah.

1. Ayat 62–64 surat Yunus (10)

Alquran menjelaskan dalam surat Yunus (10) ayat 62–64 bahwa waliyullah

adalah mereka yang beriman teguh dan bertaqwa kepada Allah.

93

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,146, Lihat juga; Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t

(Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3, 184

94 Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah /

Pentafsir Alquran, 1973/1393), 506. Sedangkan dalam istilah sufi, wali adalah orang yang mengenal

Allah (al-‘a>rif billah) dan sifat–sifatNya, senantiasa berada dalam ketaatan dan jauh dari maksiat

serta berpaling dari larut dalam syahwat. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-

S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 188

Page 258: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

238

Makna ayat ini dijelaskan sebagai berikut;

. ث ػ ب ساء اذ١ب–أ ف١ب ٠غزمج أحاي االخشح

. أب أ١بؤ ف از٠ اا ثى ب ٠جت اإل٠ب ث وبا ٠زم اهلل ثبزثبي أش ١

.ف وب رم١ب وب هلل ١ب ال ال٠خ ئال ثزا96

Para wali Allah tidak ada rasa takut menghadapi berbagai keadaan di akhirat.

Tidak ada kesedihan buat mereka meninggalkan urusan dunia. Adapun para

wali Allah adalah mereka yang beriman dengan semua yang wajib diimani

dan mereka adalah orang yang bertaqwa kepada Allah.

Siapa yang bertaqwa maka ia menjadi wali Allah, dan tidak ada kemuliaan

kewalian kecuali dengan ketaqwaan.

Penafsiran Sa„id H{awwa diatas menggambarkan bahwa wali Allah tidak

takut menghadapi kehidupan akhirat dan tidak sedih meninggalkan keindahan

kehidupan dunia justeru mereka meninggal dengan sikap gembira, h}usnul

kha>timah. Ciri wali Allah adalah memegang teguh semua aspek menyangkut

keimanan. Kemudian, selalu menjaga perintah dan larangan Allah sehingga disebut

dengan muttaqin. Allah mensifatkan waliyullah yaitu orang yang tercermin padanya

iman dan taqwa. Dengan sifat ketaqwaan para Wali Allah, mereka mendapat

anugerah kemuliaan dari Allah yang hanya dimiliki oleh orang yang dekat

denganNya. Penjelasan ini didukung oleh hadis ketika Nabi ditanya tentang wali

Allah, beliau menjawab mereka adalah orang–orang yang bila mereka melihat,

disebut nama Allah (selalu ingat Allah).97

Ini menunjukkan hubungan yang sangat

dekat dengan Allah seakan–akan tidak ada ruang lagi untuk mengingat selain Allah.

95

Artinya; Ingatlah, sesungguhnya wali–wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap

mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang–orang yang beriman dan mereka selalu

bertaqwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan di dunia dan kehidupan akhirat, tidak ada

perobahan bagi kalimat (janji) Allah. Demikian itulah kemenangan yang besar. Alquran dan

Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 96

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6,2482 97

Hadis bersumber dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan al – Bazzar, Lihat; Sa„id H{awwa, al–

Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet. Ke–6, 2486

Page 259: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

239

Implikasi kedekatan para wali Allah dapat terjadi dalam bentuk kelebihan ataupun

keistimewaan mereka diluar kebiasaan nyata.

Sehubungan dengan wali Allah ini juga Nabi Saw pernah bersabda bahwa

sesungguhnya diantara hamba Allah ada yang mencita–citakan untuk memperoleh

kenikmatan seperti yang terdapat pada para Nabi dan shuhada>’`. Mereka itu adalah

suatu kaum yang lebih mencintai Allah dari pada harta atau keturunan. Wajah mereka

nur, mereka tidak merasa takut dikala manusia ketakutan, kemudian Nabi membaca

ayat ini.98

Selain mengemukakan kelebihan wali berdasarkan hadis diatas, Sa„id

H{awwa menjelaskan bahwa kara>mah yang terjadi pada wali timbul

kesalahpahaman. Disebutkannya;

ػ ثزاه ألا وث١ش حز , ف ضع اال٠خ لؼذ أخطبء وث١شح احشافبد خط١شح

.اػزذ وث١ش ابط لاػذ ف ضع اال٠خ ال أص ب, وفشا99

Berkenaan dengan keistimewaan pada wali sering timbul kesalahan dan

penyimpangan yang memprihatinkan. Sehubungan dengan hal ini, banyak

terjadi di masyarakat hingga membawa pada kekufuran. Banyak diantara

manusia menyandarkan kepada kaedah-kaedah yang terdapat dalam hal

keistimewaan wali tanpa memahami dasarnya.

Wali Allah memiliki kekuasaan kewalian yang disebut dengan kara>mah,

namun berkenaan dengan kara>mah yang terjadi padanya sering menimbulkan

kesalahpahaman pada kebanyakan manusia. Sebagaimana banyak terjadi dikalangan

masyarakat dimana hanya menginginkan kara>mahnya saja tanpa memenuhi

persyaratan sebagai wali Allah dan tidak memahami bagaimana hal tersebut dapat

terjadi pada wali. Ibaratnya, orang yang mau mendapatkan buahnya saja tanpa mau

menanamnya. Diakui oleh Sa„id H{awwa bahwa para wali Allah memiliki

kara>mah–kara>mah dan kelebihan-kelebihan sebagaimana tampak pada penjelasan

98

Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Hurairah. Hadis tersebut juga

diriwayatkan oleh Abu Daud, Lihat; Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424

H/2003 M), Jilid 5, Cet. Ke–6, 2486 99

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6,2486

Page 260: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

240

diatas. Diantara tanda–tanda yang melekat pada wali Allah yaitu mereka yang sangat

mencintai Allah diatas segalanya sebagai bukti dekatnya hubungan dengan Allah.

Karamah pada para wali100

ada dua macam; sesuatu kejadian yang muncul

diluar kebiasaan yang berlaku, kedua; sesuatu kejadian tersebut yang muncul karena

tuntutan sebab tetapi tetap merupakan bagian dari taufik Ila>hi. Perlu kita ketahui

bahwa kara>mah diakui secara shara’ dan itu memang ada terjadi dalam lingkaran

dunia tasawuf.101

Ditegaskan lebih lanjut oleh Sa„id H{awwa bahwa kelompok diluar

tasawuf (musuh tasawuf) mengingkari adanya kara>mah yang dihubungkan dengan

dunia tasawuf bahkan mereka menudingnya dengan memberi nama atau istilah yang

bermacam–macam. Ini merupakan suatu kesalahan dan berlebihan.102

Peristiwa yang

muncul diluar kebiasaan yang dialami para wali Allah dalam dunia tasawuf

merupakan hal yang wajar sebagai kemuliaan yang dilimpahkan Allah karena

ketaatan mereka. Kejadian diluar kebiasaan tersebut ada yang datang tanpa diketahui

para wali tapi hanya langsung dirasakan, bentuk lain ada yang dikehendaki atas

pengharapan semacam memohon pertolongan, yang dalam istilah Sa„id H{awwa

karena tuntutan sebab dari wali tersebut.

Berkaitan dengan kara>mah ini pernah terjadi pada diri sahabat sebagaimana

diceritakan oleh Anas –ra– bahwa suatu malam yang gelap dua orang sahabat keluar

dari kediaman Nabi dan terlihat padanya bagaikan dua lampu ( ث اصجبح١ )

menyertai mereka. Ketika mereka berpisah menuju tempat masing–masing, lampu itu

pun berpencar mengikuti keduanya sampai mereka tiba dirumah.103

Kara>mah

seperti ini termasuk kategori yang disebutkan Sa„id H{awwa sebagai kejadian diluar

kebiasaan tanpa didahului sebab bahkan boleh jadi mereka tidak mengetahuinya.

100

Kara>mah pada para wali Allah disebut juga oleh Sa‟id H{awwa sebagai ( ازذاد ؼجضاد )

perpanjangan dari mukjizat yang dianugerahkan kerpada para Nabi. Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–

Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 179 101

Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.

Ke–9, 179 102

Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.

Ke–9, 179 103

Diriwayatkan dari Bukhari. Menurut sebagian sumber disebutkan dua orang sahabat

tersebut adalah Usaid bin Hudhair dan ‟Abbad bin Bisyr. Sa„id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–

Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,177

Page 261: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

241

Munculnya kara>mah pada wali bukanlah menjadi syarat baginya

sebagaimana mukjizat menjadi syarat bagi para nabi. Sesungguhnya wali yang

sempurna kemuliaannya tidak menuntut adanya kara>mah baginya.104

Karamah

merupakan anugerah yang datang dari Allah tanpa diidam-idamkan oleh para wali

dan bukan juga sebagai tujuan dari latihan rohani dan ketekunan ibadahnya.

Mengenai status kewalian dalam rangka menjelaskan ayat diatas, ditafsirkan

oleh Sa„id H{awwa;

, اثبث مب اؼشك, اثب مب اشق, األي مب احجخ: ئ اال٠خ ال رز ئال ثأسثؼخ مببد

ال ٠ى اشق ئال ثبعزشبق غ١ , ال رى احجخ ئال ثىشف اجبي. اشاثغ مب اؼشفخ

.ال رى اؼشفخ ئال ثبصحجخ, ال ٠ى اؼشك ئال ثذ األاس, اصبي105

Sesungguhnya predikat kewalian tidak sempurna kecuali menjalani empat

macam maqa>m yaitu mahabbah, shauq, ‘ishq dan ma‘rifah. Tidak ada

mahabbah kecuali dengan tersingkapnya tabir keindahan(sifat jama>l)106

,

tidak ada kerinduan yang kuat kecuali merasakan (tercium) pengalaman batin

berhubungan langsung dengan Allah, tidak ada kecintaan yang kuat kecuali

merasa dikelilingi oleh cahaya-cahaya dan tidak ada ma‘rifah kecuali

merasakan sangat dekat dengan Allah (bersahabat).

Untuk mencapai kewalian tidak mudah apalagi berniat untuk mendapatkan

kara>mah. Adapun niat mengikuti jalan kewalian hanyalah agar merasakan

hubungan yang dekat dengan Allah. Empat maqa>m yang disebutkan Sa„id Hawwa

diatas menunjukkan kepada hubungan sangat dekat seakan tiada lagi batas antara

hamba dengan Tuhan. Kriteria kewalian yang dikemukakan ini merupakan bagian

dari pandangan Sa„id H{awwa terkait penafsiran sufistiknya mengenai ayat 62 surat

Yunus diatas. Predikat kewalian dapat dicapai dengan melewati tahapan–tahapan dan

104

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6,2486

105 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6,2486 106

Menurut para sufi („arifi>n), mahabbah itu terkait dengan zat Allah. Mahabbah dengan

kecenderungan yang sangat kuat disebutlah dengan ‘ishq. Kalau mahabbah untuk mengharapkan

pahala maka turunlah derjatnya. Lihat; Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-

‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid „Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid

2,174.

Page 262: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

242

setiap tahapan mempunyai indikator masing–masing. Dari kriteria ini, Sa„id H{awwa

ingin menjelaskan bahwa bagi siapa yang mengikuti praktek demikian maka buah

dari tasawuf seperti kara>mah dapat dirasakan sebagai anugerah yang dilimpahkan

Allah. Dengan demikian, kekeliruan tidak lagi timbul dalam memahami kara>mah

yang terdapat pada wali Allah.

Wali Allah adalah orang mukmin yang bersih, murni (khalis}), karena

rohaninya dekat dengan Allah.107

Mereka termasuk orang yang konsisten

menjalankan syariat yang suci. Bila ada orang dipandang telah keluar dari syariat

walaupun sejengkal maka ia bukan termasuk tingkatan wali. Orang tersebut tidak

pantas dikatakan wali sekalipun ia mendatangkan seribu kejadian yang luar biasa.108

Ini membuktikan bahwa kejadian luar biasa bukan suatu yang dikehendaki para wali

tapi kesucian jiwalah yang menjadi ukuran dalam tingkat kewalian.

Sementara itu at-Tustari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa wali Allah yang

dinyatakan dalam ayat 62 surat Yunus diatas adalah orang yang beriman dan

bertaqwa. Dijelaskan Tustari, mereka adalah orang–orang mukmin yang sebenarnya

sebagaimana dinyatakan dalam surat al–Anfa>l (8): 4, أئه اإ حمب . Mereka

disifatkan juga oleh Rasulullah sebagaimana dalam hadisnya, bila mereka melihat

disebut nama Allah (senantiasa zikir).109

Hadis ini juga dikemukakan oleh Sa„id

H{awwa dalam menafsirkan ayat yang sama.110

Dalam hal ini at-Tustari dan Sa„id

H{awwa tampak memiliki pandangan yang sama tentang tafsiran ayat dan sejalan

dengan makna zahir yang dikandung ayat tersebut.

Selanjutnya dijelaskan oleh at-Tustari bahwa ayat tersebut mengandung

makna tentang kelebihan para wali yaitu Allah mengisi hati mereka dengan nur dan

107

Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n,

Tah}qi>q: Sayyid „Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 6,189.

108 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6,2486

109 Hadis sebagaimana dikutip dari Musnad Ahmad 6 / 459; “ از٠ ئرا سؤا روش اهلل ” Sahl At–

Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 77

110 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.

Ke–6,2486, Lihat catatan kaki no. 21

Page 263: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

243

lidahnya mengeluarkan kata–kata hikmah.111

Ini merupakan kelebihan yang

dianugerahkan Allah kepada para wali sebagai bukti kedekatan dan kesucian

jiwanya.Dalam pandangan Sa„id Hawwa, merupakan keistimewaan

dalammah}abbah.

Diantara tanda dan sifatnya adalah banyak bersyukur, berzikir, berpikir (افىش),

tidak banyak bicara dan pemurah ( عخ افظ ), berjaga malam dan tidak kenyang.112

Selain itu at-Tustari menyebutkan bahwa wali itu mempunyai marh}alah (kelas)

seperti wali abda>l, auta>d dan kelompok s}iddi>q.113

Penafsiran sufistik yang

dijelaskan menyangkut keistimewaan para wali, sifat–sifatnya bahkan ia juga

menjelaskan tentang tingkatan–tingkatan wali. Keistimewaan yang ada pada wali

Allah dan sifat–sifat yang dimiliki sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Sa„id

H{awwa dan at-Tustari diatas sebagai bentuk penafsiran sufistik mereka yang

dipahami berdasarkan ayat 62 surat Yunus (10). Sekalipun sifat dan keistimewaan

yang terdapat pada wali seperti dikemukakan tidak persis sama antara kedua

penafsiran namun punya dasar pemikiran yang sama. Pada dasarnya penafsiran

sufistik at-Tustari dengan Sa„id H{awwa tetap memperhatikan makna zahir ayat.

Sementara itu dalam tafsir Ibnu Arabi mengenai ayat 62 surat Yunus (10)

dijelaskan bahwa wali Allah orang yang tenggelam dalam esensi Tuhan

(ah}a>diyyah) dengan mengalami fana>’ pada aniyyah (hakekat juziyyah) Bila

belum mengalami baqa>’ mereka takut. Tidak ada kesudahan terhadap apa yang

telah sampai mereka padaNya, maka mereka takut munculnya h}ijab. Mereka

menjadi sedih bilamana luput sesuatu dari sifat–sifat kesempurnaan dan kelezatan

111

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 77 112

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.

Ke–I, 77. Sa„id Hawwa memandang sifat-sifat demikian harus selalu melekat dalam perjalanan latihan

ibadah para sufi. Lihat; Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428

H/2007 M), Cet. Ke–9, 121

113 Mengenai tingakatan wali, Tustari memberikan ilustrasi sebagai berikut, Tustari pernah

menjumpai 1500 para s}iddi>q, diantara mereka ada 40 abda>l dan 7 auta>d. Artinya Auta>âd lebih

tinggi tingkatan dari abda>l dan s}iddi>q, sedangkan qut}b biasanya disekitar auta>d (qut}b antara

auta>d dan abda>l). Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah,

2002/1423), Cet. Ke–I,77

Page 264: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

244

(dalam baqa’).114

Demikian penafsiran Ibnu Arabi menafsirkan ayat tersebut yang

bila dibandingkan dengan tafsir Sa„id H{awwa dan Tustari tidak sejalan

pengertiaannya. Penafsiran Ibnu Arabi ini terkesan jauh dari makna zahir ayat dan

penafsirannya sulit dipahami. Seperti pernah diungkapkan adh–Dhahabi bahwa tafsir

Ibnu Arabi sering tidak dimengerti maknanya dan terkadang tidak selaras dengan ayat

yang ditafsirkan.115

Untuk mendukung penafsirannya, Ibnu Arabi mengutip hadis Nabi, namun

tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam tafsirnya. Ia

mencantumkan hadis tentang sifat wali yang disampaikan Nabi yaitu mereka adalah

orang yang selalu ingat (zikir) kepada Allah.116

Akan tetapi hadis tersebut tidak

menguatkan keterangannya bahwa wali Allah adalah mereka yang tenggelam dalam

mata air telaga dengan fana>’.

Selain itu, Ibnu Arabi mengemukakan juga hadis Nabi terkait sifat wali yang

mencintai Allah diatas segalanya. Disebutkan oleh Nabi bahwa wajah mereka

bercahaya (nur) dan mereka berada pada tempat–tempat kediaman dari nur.

Kemudian Nabi membaca ayat 62 diatas.117

Maksud tempatnya dari nur menurut Ibnu

Arabi berarti ittis}a>l (merasakan hubungan sampai kepada Allah) dengan dasar–

dasar ruhani yang tinggi seperti akal pertama118

(dalam istilah filsafat emanasi).119

114

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid

1, Cet. Ke–2, 311. Mengenai uraiannya tentang ah}adiyyah terdapat dalam Fusus al-Hikam. Lihat;

Ibnu Arabi, Fus}us} al-H{ikam, disunting oleh.Abu al-„Ala „Afifi (Beirut: Darul Kitab al-Arabi,

1980/1400), Cet.ke-2, 119 115

Lihat; az–Zahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 297 116

Hadis Sa‟id bin Jubair, Nabi berkata “ از٠ ئرا سؤا روش اهلل “ , Ibnu Arabi, Tafsi>r

Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 311

117 Hadis dari Umar, ia mendengar Nabi berkata, “ ئ ػجبد اهلل ػجبدا ب ثأ ج١بء ال شذاء

, ل رحبثا ف اهلل غ١ش أاي ال أغبة. ىب اهلل يوم القيامة ٠غجط األج١بء اشذاء

.ج س ئ ػ بثش س Dikutip oleh Ibnu Arabi, Lihat; Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi

(Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 311 118

Menurut al–Kindi akal pertama adalah akal yang selamanya dalam aktualitas, ia membuat

akal potensial dalam roh manusia menjadi aktual berpikir. Sedangkan menurut al–Farabi akal pertama

(tak bersifat materi) adalah sebagai wujud kedua setelah Tuhan (Tuhan wujud pertama). Wujud kedua

berpikir tentang wujud pertama, muncul wujud ketiga (akal kedua). Lihat; Harun Nasution, Falsafat

dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 19&27. Tidak diketahui

maksud dari akal pertama yang disebut tafsir Ibnu Arabi diatas.

Page 265: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

245

Hadis ini ditakwilkan oleh Ibnu Arabi dalam rangka memperkuat penafsiran ayat 62

tentang sifat wali Allah. Memperhatikan penafsiran ini dan penakwilan hadis oleh

Ibnu Arabi tersebut cenderung tidak berlandaskan kepada makna zahir ayat, apalagi

bila dihubungkan dengan penafsiran Sa„id H{awwa dan Tustari yang terlihat masih

menggunakan pendekatan makna zahir dalam tafsirnya.

Selanjutnya penafsiran Ibnu Arabi tentang ciri wali Allah yaitu beriman dan

bertaqwa maksudnya sebagai orang yang memiliki iman yang benar (hakiki)

membawa kepada iman yang yakin. Kedua selalu terpelihara, cerminan orang

bertaqwa yaitu terhindar dari sifat–sifat nafsu dan wasa>was (bisikan) setan.120

Penafsiran ini terkandung dalam makna zahir ayat dan memiliki nuansa yang sama

dengan yang dikemukakan Sa„id H{awwa diatas. Tampak disini bahwa tafsir Ibnu

Arabi disamping memberikan makna batin corak falsafi juga menggunakan

pendekatan makna zahir dalam menafsirkan ayat.

2. Ayat 16 surat al–Kahfi (18)

Berkaitan dengan pembahasan kara>mah, ditemukan peristiwa yang dialami

para wali Allah yang diabadikan Alquran seperti dalam surat al–Kahfi (18) ayat 16.

Bahwa Allah menunjukkan keistimewaan yang dianugerahkan kepada orang yang

teguh memegang keimanan kepadaNya.

Sa„id Hawwa menjelaskan dalam tafsirnya terkait dengan keteguhan tauhid;

119

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid

1, Cet. Ke–2, 311

120 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid

1, Cet. Ke–2, 312

121 Artinya; Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain

Allah maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian

rahmatnya kepadamu dan menyempurnakan sesuatu yang berguna dalam urusanmu. Alquran dan

Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

Page 266: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

246

: أ, فأا ئ اىف. دي ػ أ ل وبا ٠ؼشف اهلل ى ٠ششو ؼ اخ أخش

.اجؼا اىف أاو زفبسل ثأثذاى وب فبسلز ف ػجبدرى122

Hal itu menunjukkan tentang masyarakat yang ditinggalkannya, bahwa

mereka itu mengenal Allah tapi mereka menyekutukan dengan sembahan lain.

Karena itu, berlindunglah ke gua; jadikanlah gua sebagai tempatmu

berlindung supaya kamu benar-benar berpisah dengan mereka sebagaimana

kamu meninggalkan mereka dalam ketauhidanmu.

Mereka (para pemuda kahfi) meninggalkan kaumnya karena tidak mau turut

dalam menyekutukan Allah dan mereka menjadikan gua sebagai tempat berlindung.

Dijelaskan oleh Sa„id H{awwa, makna ayat ini menunjukkan bahwa mereka

meninggalkan (فبسلخ) segala bentuk kekufuran dengan fisik mereka seperti

perpisahan mereka dengan roh dan qalbu.123

Para pemuda tersebut benar–benar tidak

mau kembali melihat perbuatan kaumnya sehingga mereka meninggalkan paham

kaumnya tersebut karena mereka takut dipaksa. Meninggalkan paham–paham yang

dapat mengurangi keimanan dan nilai tauhid kepada Allah harus dengan tekad yang

kuat seperti orang yang bertaubat dengan niat tidak bakal mengulangi perbuatan dosa.

Ayat ini menggambarkan suatu bentuk kara>mah yang dianugerahkan Allah

kepada para pemuda124

yang nyata murni keyakinannya, kuatnya harapan mereka

dalam bertawakal kepada Allah. Mereka yakin dan percaya dengan karunia Allah125

,

lalu Allah membentangkan rahmat dan memelihara mereka dari kejaran kaumnya.126

122

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.

Ke–6, 3168

123 Analogi dengan kematian. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam,

1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet. Ke–6, 3168

124 Pemuda ini termasuk dalam wali–wali pembimbing ( األ١بء اششذ ( yang mendapat

hidayah dari Allah. Kara>mah pada pemuda ini disebut oleh Sa‟id H{awwa sebagai kara>mah

sunniyyah. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.

Ke–6, 3169

125 Perhatikan doa mereka, “ سثب ارب ذه سحخ ١ئ ب أشب سشذا “ artinya wahai

Tuhan kami Berikanlah rahmat kepada kami dari sisimu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang

lurus dalam urusan kami. Dicantumkan dalam ayat 10 surat al – Kahfi ( 10 ).

126 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.

Ke–6, 3168

Page 267: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

247

Allah menyempurnakan sesuatu yang berguna bagi mereka. Dengan rahmat Allah,

mereka tinggal (tidur) didalam gua selama 300 tahun lebih.127

Berdasarkan penafsiran diatas paling tidak ada tiga karakter yang dimiliki

para pemuda tersebut yaitu keimanan yang teguh, yakin dengan doa yang dipanjatkan

kepada Allah dan tulus dalam bertawakal kepada Allah. Dengan karakter yang

dimiliki tersebut, mereka merasakan sangat dekat dengan Allah. Peristiwa yang

mereka alami termasuk kara>mah yang dalam istilah Sa„id H{awwa karena ada

tuntutan sebab dengan doa yang dipanjatkan.128

Ini termasuk orang yang memperoleh

tambahan hidayah disebabkan muja>hadah mereka pada jalan Allah.129

Seperti

keistimewaan yang mereka rasakan bagian dari hidayah sesuai dengan doa yang

dipanjatkannya.130

Selanjutnya dijelaskan Sa„id H{awwa terkait makna ayat;

فأصجحا ػبسف١ ث حبال مبال , لذ دي زا ػ أ اهلل أوش صذل ثىبي ؼشفز

. وبي ؼشفز أ ػشفا أ اػزضاي ل ثبىف ع١مبث ػطبء اهلل . عوب131

Keadaan yang dialami para pemuda kahfi menunjukkan bahwa dengan

kebenaran mereka maka Allah memuliakan mereka dengan memperoleh

kesempurnaan ma‘rifah. Mereka menjadi golongan ‘arifi>n posisi ha>l,

maqa>l dan sulu>k. Sebagai bagian dari kesempurnaan ma‘rifah pada mereka

adalah pengetahuan mereka tentang anugerah yang akan didapat dari Allah

dengan berlindung ke gua dalam rangka menghindar dari kaumnya tersebut.

Menurut penafsiran diatas pemuda kahfi sudah mencapai ma‘rifah dalam

muja>hadah mereka kepada Allah. Mereka merasakan ma‘rifah yang sempurna,132

127

Lihat; ayat 25 surat al–Kahfi (10). 128

Lihat pembagian jenis kara>mah yang disebut Sa‟id H{awwa. Lihat; Sa„id H{awwa,

Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 179 129

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.

Ke–6, 3169 130

QS. al-Kahfi (18): 10 131

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.

Ke–6, 3168 132

Diantara makna ma‘rifah adalah; sesuatu menjadi jelas dengan ma‘rifah karena terbuka

kashaf dari hal batin. Ma‘rifah tidak ada baginya sebab kecuali Allah menjadikan ma‘rifah untuk

‘a>rifi>n. Menjadikan ma‘rifah untuk merasakan dekat dengan Allah. Anwar Fuad Abi Khaza>m,

Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,165

Page 268: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

248

sebagai orang arifi>n dan derjat itu bagi mereka merupakan bentuk ha>l, maqa>l133

,

dan sulu>k (proses dalam menempuh perjalanan tasawuf).134

Oleh karena itu dengan

sempurnanya ma‘rifah itulah mereka mengetahui bahwa mereka akan menghadapi

karunia Allah lantaran menyelamatkan diri dari kaumnya untuk menuju ke gua.135

Keadaan mereka ini disebut al–Ghazali merupakan bagian muka>shafah bil ‘ilmi

yaitu membenarkan kejadian dengan pemahaman.136

Berkat karunia Allah mereka

mengetahui rahasia gaib dengan mengalami suatu peristiwa.

Beberapa kata kunci disebut Sa„id H{awwa dalam tafsirnya untuk menyifati

pemuda kahfi seperti tawakal, ma„rifah, kepercayaan pada karunia Allah dan murni

keyakinannya. Hal itu dikemukakan dalam penafsiran sufistiknya. Ini menunjukkan

pada makna isha>ri dari ayat tersebut. Makna isha>ri yang dikemukakan Sa„id

H{awwa tidak meninggalkan makna zahir ayat seperti terlihat diatas. Peristiwa yang

dikandung ayat disebutkannya secara eksplisit yang dikaitkan dengan aspek ajaran

tasawuf. Artinya penafsiran sufistiknya dilakukan dengan memperhatikan konteks

ayat yang dapat dipahami hubungannya.

Keberadaan ma‘rifah sebagai diuraikan diatas, bila dicermati tampak bahwa

Sa„id H{awwa tidak terlalu mempersoalkan istilah dan teori tasawuf. Ia memandang

ma‘rifah137

yang terjadi pada ‘a>rifi>n merupakan bagian dari ha>l, maqa>l dan

sulu>k. Bagi Sa„id H{awwa penamaan istilah tidak prinsip, apakah termasuk ha>l

atau maqa>m atau ada istilah lain, yang penting maknanya mudah dipahami dan

133

Maqa>l berarti melihat, dalam tasawuf disebut juga muka>shafah ‘uyu>n. Lihat catatan

kaki no. 2. Lihat; Abi Khazam, Mu’jam …, h. 147. Istilah lain seperti yang disebut al–Ghazali sebagai

dikutip Abi Khazam, dengan muka>shafah bil ha>l yaitu penegasan kebenaran ru’yah sebagai

tambahan pada ha>l. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut:

Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 167

134 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.

Ke–6, 3168 135

Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.

Ke–6, 3168 136

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 167 137

Bagi al–Junaid (w. 381 H) ma‘rifah sebagai ha>l, sedangkan dalam Risa>lah al–

Qushairiyyah disebut dengan maqa>m. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam

(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 75

Page 269: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

249

diamalkan. Dalam tafsir Ibnu Arabi ditafsirkan ayat ini …

kamu meninggalkan jiwa–jiwanya dan memeliharanya dengan kekosongan.

Selanjutnya disebutkan berlindung ke gua ditafsirkan adalah kepada badan kamu

untuk memakai peralatan pada badan dalam rangka penyempurnaan ilmu dan amal.

Mereka terpotong menjadi pecahan–pecahan padanya ( –seakan ( اخضا ف١ ىغش٠

akan mereka mayat dengan meninggalkan gerakan–gerakan jiwa dan melompat,

menerkam cara binatang artinya dikatakan kepada mereka, matilah kamu sesuai

keadaan mati yang diinginkan ( را رب ئساد٠ب) . ).138

Penafsiran Ibnu Arabi ini tidak

melandaskan lagi pada makna zahir ayat, dimana dijelaskan tentang gua dimaksudkan

sebagai berlindung ke gua–gua badan sendiri. Setelah itu alat–alat di badan

digunakan untuk penyempurnaan ilmu dan amal. Melihat demikian penafsiran ini

dapat dikategorikan pada tafsir bat}ini atau paling tidak makna isha>ri ba‘i>d

(jauh).139

Hal semacam ini sering muncul dalam tafsirnya, seperti disebut az–Zahabi

juga bahwa penggunaan antara tafsir makna zahir sulit ditemukan didalamnya.

Namun demikian, menurutnya tafsir Ibnu Arabi ini tetap masih mengakui makna

zahir sekalipun jarang sekali terungkap di dalamnya.140

Makna ayat berikutnya tentang “ Tuhanmu akan melimpahkan rahmatNya

kepadamu “ maksudnya yaitu kehidupan yang sesungguhnya dengan ilmu141

dan

ma‘rifah ) ح١بح حم١م١خ ثبؼ اؼشفخ ). Sebagai tambahan kesempurnaan dan kekuatan

dengan pertolongan kekuasaan besar dan kekuatan suci.142

Suatu kelebihan yang

dianugerahkan Allah kepada mereka dengan memperoleh ilmu dan ma‘rifah yang

138

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid

1, Cet. Ke–2, 419-20 139

az–Zahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 297

140 Pandangan ini berdasar pada mukaddimah tafsirnya. Menurutnya makna zahir adalah tafsir

sedangkan batin baginya adalah takwil, karena itu disebut juga makna batinnya itu dengan takwil jauh.

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2,

24. Lihat juga, az–Zahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 297

141 Sesuatu yang zahir menjadi jelas dengan ilmu, sesuatu berdasarkan kashaf batinnya

menjadi jelas dengan ma’rifah. Ilmu tetap kokoh dengan ma’rifah, ma’rifah tetap dengan zatnya.Lihat;

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan,

1993), Cet. Ke–1,165 142

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid

1, Cet. Ke–2, 420

Page 270: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

250

disebut Ibnu Arabi sebagai kehidupan yang hakiki yang dirasakan. Dengan kelebihan

yang disebutkan itu mereka (pemuda kahfi) merasakan keamanan yang luar biasa.

Hanya saja Ibnu Arabi dalam tafsirnya ini tidak pernah menyebut kelebihan yang

dianugerahkan tersebut dengan kara>mah. Tampaknya Ibnu Arabi tidak ingin

menunjukkan kelebihan yang terlihat luar biasa/terukur (riil) yang disebut dengan

kara>mah.143

Berbeda dengan Sa„id H{awwa dan Tustari yang nyata–nyata

menerangkan tentang kara>mah pada orang–orang saleh (terlihat kongkrit).

Dilihat dari makna ma‘rifah sebagai kesempurnaan rahmat dari Allah sebagai

dijelaskan Ibnu Arabi diatas dapat dipahami adanya kesesuaian dengan makna zahir

ayat. Ini menunjukkan bahwa tafsir Ibnu Arabi tidak selalu menggunakan makna

batin yang jauh dari zahir ayat. Apalagi makna yang sama terdapat pula dalam tafsir

Sa„id H{awwa yang sangat nyata menggunakan pendekatan makna zahir dalam

menafsirkan ayat tersebut.

Selanjutnya ditafsirkan, Allah akan menyempurnakan pertolongannya atau

sesuatu yang berguna dalam urusanmu maksudnya seperti tidak memberi manfaat

dengan lahirnya kelebihan–kelebihan dan timbulnya cahaya–cahaya tajalli ( وب ال ٠زفغ

maka kamu merasakan kenikmatan dengan ,( ث ثظس افضبئ طع أاس ازج١بد

musha>hada>t144

serta merasa enak dengan sifat–sifat kesempurnaan ( فزز

.( ثبشبذاد رزؼ ثبىبالد145

Penafsiran tentang “ pertolongan yang berguna “ pada

akhir ayat 16 surat al–Kahfi diatas sebagai musha>hada>t dan sifat yang sempurna.

Tidak jelas hubungan apa yang dimaksud oleh Ibnu Arabi dalam penafsirannya

143

Begitu pula ketika memahami peristiwa yang dialami Maryam ketika mendapatkan rezki

di ruangannya. Ibnu Arabi dalam tafsirnya, menyatakan (sebagai hal abstrak) rezki ruhani,

pengetahuan–pengetahuan dan hikmah–hikmah isha>ri dari Allah. Keadaan yang dihadapi maryam

menunjukkan bagian dari rezki ladunniyah ( langsung dianugerahkan Allah ). QS. Ali Imran ( 3 ) : 37.

Lihat; Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet.

Ke–2, 126. 144

Musha>hada>t digunakan dalam hal terkait dengan yakin hakiki tanpa keraguan, dipakai

juga terhadap melihat sesuatu kebenaran dengan dalil-dalil tauhid. Musha>hada>t dan muka>shafah

berdampingan dalam makna, makanya kondisi itu dalam tasawuf muncul saling berkait. Anwar Fuad

Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–

1,163

145 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid

1, Cet. Ke–2, 420

Page 271: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

251

karena tidak didukung oleh ayat lain atau makna zahir ayat sendiri. Bahkan uraian

berikut juga yang lebih membingungkan yaitu “ Rahasia lain tentang tempat

berlindung ke gua waktu mereka pergi dari kaumnya dipahami dari masuknya Imam

Mahdi dalam gua apabila keluar dan turun Isa ” ( ( ف اأ ئ اىف ػذ فبسلز عش

(اهلل أػ , اخش ٠ف دخي اذ ف اغبس ئرا خشج ضي ػ١غ ( .146

Tampaknya Ibnu Arabi

menjelaskan keadaan gua tersebut dengan peristiwa imam Mahdi al–Muntaz}ar yang

berdiam di gua tersebut. Padahal diatas ia menyebutkan berlindung ke gua yang

dimaksud adalah ke badan. Dari makna tersebut semakin jauh takwil yang diberikan

Ibnu Arabi terkait akhir ayat diatas. Terang bagi kita bahwa dalam tafsir Ibnu Arabi

nuansa makna batinnya lebih menonjol.

Melihat dari penafsiran-penafsiran diatas, dapat dikatakan bahwa penafsiran

Sa„id Hawwa sangat dekat dengan pengertian yang diberikan para ahli sufi

sebagaimana terungkap dalam pengertian tentang kara>mah. Di samping itu

penafsirannya lebih nampak kesejalanan dengan makna ayat dan pandangan shara‘,

karena itu penafsiran demikian termasuk kepada tafsir sufi isha>ri.

__________

146

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid

1, Cet. Ke–2, 420

Page 272: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

252

BAB VI

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari uraian yang dikemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat ditarik beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar metodologi penafsiran Sa‘id Hawwa dalam menafsirkan ayat-ayat yang

bercorak tasawuf adalah dengan mengungkapkan makna isha>rinya yang tetap

berpegang pada makna zahir ayat. Ini sesuai dengan syarat tafsir sufi isha>ri

yang disepakati ahli tafsir, seperti adh-Dhahabi. Kecenderungan Sa‘id Hawwa

dalam penafsiran sufistiknya sangat dipengaruhi oleh mufasir sebelumnya

terutama an-Nasafi, al-Alusi dan Ibnu Kathir. Berkenaan dengan penggunaan

makna isha>ri dan makna zahir, penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa memiliki

kemiripan dengan tafsir at-Tustari yang juga memiliki orientasi penafsiran

sufistik dengan berpegang pada makna zahir. Bahkan pendekatan makna

zahirnya lebih tampak dari pada penafsiran Tustari.

Metodologi penafsiran Sa‘id Hawwa secara umum, yaitu menjelaskan makna

isha>ri setelah mengemukakan makna zahir ayat. Di samping itu ada yang

dijelaskan makna isha>rinya saja yang tetap sejalan dengan zahir ayat. Selain

itu, ia memperhatikan juga kandungan ayat yang nyata di dalamnya memiliki

unsur-unsur pemahaman yang sesuai dengan ajaran tasawuf. Makna sufistik

yang dikemukakan tidak keluar dari makna dasar yang dikandung suatu ayat.

2. Pemikiran sufistik Sa‘id H{awwa tergolong pada tasawuf amali. Hal itu terlihat

ketika ia menafsirkan ayat terkait dengan maqa>m dan dimensi ajaran tasawuf.

Secara historis penafsiran sufi isha>ri bersumber dari praktek tasawuf yang

disebut dengan tasawuf ‘amali.

Sehubungan dengan orientasi penafsiran atau pemikiran sufistik Sa‘id

H{awwa, ditemukan bahwa corak penafsiran sufistiknya termasuk pada tafsir

Page 273: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

253

sufi isha>ri yang mendasarkan penafsiran pada latihan ibadah dan pengalaman

tasawuf dalam menjelaskan makna isha>ri. Dalam hal ini penafsiran sufistik

Sa‘id H{awwa lebih dekat kepada tafsir Tustari yang dikenal bercorak tafsir sufi

isha>ri. Namun demikian, penafsiran sufistik Sa‘id H{awwa memiliki

perbedaan dengan Tustari dalam hal keluasan penggunaan makna isha>ri. Bagi

Sa‘id H{awwa dalam mengungkapkan makna isha>ri sangat dekat dengan

pengertian zahir ayat dibandingkan dengan at-Tustari, yang masih terdapat

padanya makna isha>ri yang tidak dekat atau tidak berkaitan langsung dengan

makna zahir.

Pemikiran penafsiran Sa‘id H{awwa yang dikemukakan diatas, sejalan juga

dengan pengertian yang dirumuskan atau definisi yang diberikan para ahli sufi.

Dengan demikian penelitian ini telah membuktikan bahwa tafsir Sa‘id H{awwa

merupakan bagian dari tafsir berorientasi sufistik. Temuan ini menegaskan bahwa

tafsir Sa‘id H{awwa termasuk dalam kategori tafsir berorientasi sufistik, seperti

pola tafsir al-Alu>si atau tafsir Naisaburi.

3. Temuan penelitian ini mendukung pandangan yang menyatakan bahwa penafsiran

sufistik diwujudkan dengan menakwilkan ayat diluar makna zahir berdasarkan

isyarat tersembunyi dan juga dapat menggunakan makna zahir disamping makna

isha>ri. Mereka yang berpendapat demikian diantaranya; zarqani, adh-Dhahabi

dan Alexander D. Knysh.

Sementara itu, temuan penelitian ini juga menolak pandangan yang

mengatakan bahwa penafsiran sufistik dianggap tidak berlandaskan pada makna

zahir ayat bahkan dikategorikan sebagai aliran tafsir ba>t}iniyyah. Mereka yang

berpendapat demikian antara lain; Ibnu S{ala>h dan Abu Hasan al-Wahidi.

Temuan penelitian yang ditegaskan dalam kesimpulan disertasi ini

membuktikan akan hal itu dengan melakukan kajian tentang penafsiran sufistik

Sa‘id H{awwa. Kajian ini menemukan bahwa penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa

dalamnya menggunakan makna isha>ri dengan tetap berpegang pada makna

Page 274: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

254

zahir dalam menafsirkan ayat-ayat terkait dengan maqa>m-maqa>m tasawuf dan

dimensi ajarannya.

Sa‘id H{awwa secara metodologis mempunyai kecenderungan dalam

tafsirnya untuk menggunakan makna isha>ri dengan tetap memperhatikan makna

zahir agar tidak terjadi penyimpangan makna. Dalam penafsiran sufistiknya, Sa‘id

H{awwa memandang ayat tasawuf yang jelas kandungan sufistiknya. Misalnya,

terkait dengan istilah ajaran sufi yang tidak tegas dalam Alquran seperti istilah

kasha>f. Sa‘id Hawwa memahami kashaf sejalan dengan makna ayatnya secara

eksplisit memang mengarah pada pengertian kashaf.

Selain itu, metodo\logi penafsiran Sa‘id Hawwa tentang maqa>m-maqa>m

diatas tampak sangat dekat berpegang pada makna zahir sebab ayat-ayatnya

secara umum tergolong s}ari>h (jelas maknanya). Sementara itu, ayat-ayat

terkait dengan dimensi ajaran tasawuf umumnya tidak tergolong s}ari>h maka

penafsirannya juga agak abstrak namun tidak keluar dari makna zahir ayat.

Bila diperhatikan pengalaman tasawuf Sa‘id H{awwa dari hasil penafsiran

dan karya-karyanya di bidang tasawuf belum ditemukan informasi bahwa ia

memiliki pengalaman rohani (kesufian), namun ia dikenal sebagai seorang zuhud.

Barangkali Sa‘id Hawwa bisa disebut kelompok mutasawwif, sebutan bagi pelaku

tasawuf yang belum sampai pada tingkat yang disebut sufi, atau boleh jadi

peristiwa diluar kebiasaan atau keistimewaannya tidak diekspos olehnya. Artinya

Sa‘id Hawwa boleh jadi memiliki pengalaman spiritual khusus tapi tidak

terpublikasi atau ia masih dalam proses perjalanan mencapai puncak sufi. Fakta

ini didukung juga dalam penafsirannya bila terkait makna abstrak seperti kashaf,

musha>hadah, dan sejenisnya, Sa‘id H{awwa sering mengutip pendapat tokoh

sufi untuk mendukung penafsirannya. Dari sini bisa dimengerti Sa‘id Hawwa

tentu sepaham dengan pendapat yang dikutipnya tersebut. Namun demikian,

untuk mengetahui kualifikasi tentang kesufiannya diperlukan penelitian

mendalam terhadap semua karya-karya tasawufnya.

Page 275: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

255

B. Implikasi Penelitian

Disertasi ini turut memberi pemahaman pada umat bahwa penafsiran sufistik

pada dasarnya tetap memelihara makna zahir dalam menggunakan makna

isha>ri. Melalui pemahaman seperti ini, masyarakat khususnya di Indonesia tidak

khawatir untuk memasuki dan mendalami tasawuf. Pada prinsipnya, ibadah dalam

ajaran Islam bertujuan membentuk jiwa sufistik yang diharapkan dapat merasakan

hubungan yang dekat dengan Tuhan, bila berusaha menangkap hikmah dari

ibadah yang dilakukan.

Penelitian ini memberikan informasi kepada umat dalam menjalankan tasawuf

agar sesuai dengan petunjuk Alquran. Dalam penelitian ini banyak dikupas ayat-

ayat terkait dengan maqa>m tasawuf dan aspek ajaran tasawuf yang tentunya

akan menambah wawasan untuk lebih mengenal ajaran tasawuf.

Penelitian ini ikut menambah khazanah kajian tasawuf yang berguna baik

pada lembaga akademik atau sekolah-sekolah. Tema-tema kajian didalamnya

dapat menjadi masukan dalam kajian tafsir sufi. Pembahasan didalamnya sangat

nuansif yang memperkaya perdebatan karena menampilkan juga penafsiran

sufistik corak falsafi.

Penafsiran sufistik seperti yang dilakukan Sa‘id H{awwa dengan

menggunakan pendekatan makna zahir dan isha>ri perlu dikembangkan agar

pemahaman ayat lebih membumi dan mudah dilaksanakan serta tidak putus

dengan dunia empirik.

________

Page 276: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

260

DAFTAR PUSTAKA

Alquran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI

Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz} al-Quran al-

Kari>m. Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.

Abdul Halim M, Muni‘. Mana>hij al–Mufassiri>n. Kairo: Darul Kitab fi> al–

Mishriy, 1978

Al–Alu>si. Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-

Matha>ni. Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001.

As}faha>ni, Raghib. Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} al–Quran. Beirut: Darul Kutub

Ilmiah, 2004 M/1425 H.

Al-Asqalani, Ibnu H{ajar. Bulu>ghul Mara>m. Bandung: Mathba’ah al- Ma’arif,

t.th.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhor. Kamus Kontemporer Arab–Indonesia.

Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, t.th, Cet. Ke–

4.

Anis, Ibrahim., dkk. Al–Mu’jam al–Wasi>t}. Tt: tp, Cet. Ke–2

Al–Aqil, Al–Mustashar Abdullah. Mereka yang telah Pergi: Tokoh–tokoh

Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer. Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya

Umat, 2003.

Ali, Asep. Kesatuan tema Alquran sebagai Mukjizat: Telaah Muna>sabah antara

surat al–Fa>tih}ah dan surat Sab‘ut} T}iwa>l dalam Tafsir al–Asa>s karya

Sa‘id H{awwa. Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2004 M / 1425 H.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2002, Edisi Revisi V, Cet. Ke–12.

Al-Bakri, Ahmad Abdurraziq, dkk,. Dalam Ibnu Jari>r at}-T}abari. Ja>mi’ al–

Baya>n fi> Tafsi>r al-Quran. Kairo: Darussalam, 1425/2005.

Bowering, G. Sufi Hermeneutics: dalam Alexander D. Knysh. Encyclopaedia of the

Quran. Leiden: MNP, 2006, V.5

Page 277: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

261

Commins, David, dalam John L. Esposito. Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford

(Terj). Bandung: Mizan, 2002, Jilid 5, Cet. Ke–2.

Echols, Jhon M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT.

Gramedia, 1996, Cet. Ke-23.

Fairuzabadi. Tanwi>r al–Miqbas min Tafsi>r Ibn Abbas. Beirut: Darul Fikri,

1421/2001.

Al–Farmawi, Abdul Hayy. Al-Bida>yah fi> at–Tafsi>r al–Maud}u>‘i. Kairo: tp,

1397/1977, Cet. Ke–2.

Gamal al–Banna, Tafsi>r al–Quran al–Kari>m bain al–Qudama>’` wa al–

Muh}addithi>n. Terj. Evolusi Tafsir. Kairo: Dar al–Fikri al-Islami, 2003.

Al-Ghazali. Ih}ya’ Ulum ad-Din. Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi wa

Aula>dihi, 1939/1358.

Al–H{addadi, Muhammad Tajuddin bin al–Manawi. al–Aha>di>th al–Qudsiyyah.

Terj. H. Salim Bahreisy. 272 Hadis Qudsi. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979,

Cet. Ke–2.

al-Husaini, Ishak Mussa, Ikhwanul muslimun. Jakarta: Grafiti Pers, 1983, Cet.ke-1

H{awwa, Sa‘id. Al–Asa>s fi> at–Tafsi>r. Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M, Cet.

Ke–6.

_______. Al–Asa>s fi> as–Sunnah. Kairo: Darussalam, 1995/1416, Cet. Ke–3.

_______. Al–Islam. Kairo: Maktabah Wahbah, 2004/1425, Cet. Ke-2.

_______. Ar-Rasul. Kairo: Maktabah Wahbah, t.th.

_______. As}–S}iddi>qi>na wa ar-Rabba>niyyi>na min Khilal an–Nus}u>s} wa

H{ikam Ibn ‘At}aillah as-Sakandari. Kairo: Darussalam, 1999/1419,

Cet. Ke–4.

_______. Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah. Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M, Cet.

Ke–9.

Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas,

1994, Cet. Ke–19.

Page 278: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

262

H{ayya>n, Abu. Al-Bah}r al-Muh}i>t} fi> at-Tafsi>r. Beirut: Darul Fikri,

1992/1412, Cet. Ke–3

Hoesen, Ibrahim. Benarkah Pemerintah Saudi Arabia Mengikuti Mazhab Wahabi?

dalam Mimbar Ulama No. 138 Th. XII. Jakarta: 1989/1409. Sebagaimana

dikutip oleh Toha Andiko. Disertasi: Ijtihad Ibrahim Hoesen dan

Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: SPS

UIN Jakarta, 2008.

At}-T}abari, Ibnu Jari>r. Ja>mi‘ al–Baya>n fi> Tafsi>r al-Quran. Kairo:

Darussalam, 1425/2005, Cet.Ke-1

Ibnu Arabi. Tafsi>r al-Quran al–Kari>m. Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427

H/2006 M , Cet. Ke–2.

_______ Al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah. Beirut: Darul Fikri, 1424 H/2004 M, Cet. Ke-

1.

_______ Fus}u>s} al-H{ikam. Ta‘li>q oleh: Abu al-‘Ala Afifi. Beirut: Darul Kitab

al-Arabi, 1980/1400.

Isa, Abdul Qadir. H{aqa>iq at-Tas}awwuf. Terj. Khairul Amru Harahap, Lc dan

Afrizal Lubis, Lc. Jakarta: Qisthi Press, 2006, Cet. Ke–2.

Iyazi, Muhammad Ali. al–Mufassiru>n: Haya>tuhum wa Manhajuhum. Teheran:

Wiza>rah Thaqa>fah Isla>miyah, 1414 H/1994 M.

Al-Jailani, Abdul Qadir. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Beirut:

Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003, Cet.ke-2. Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah

_______, Abdul Qadir. Al-Ghuniyyah li T{a>libi> T{ari>q al-Haq fi> al-Akhla>q

wa at-Tas}awwuf wa al-A<da>b al-Islamiyyah. Tt: Darul Kutub al-

Islamiyyah, t.th.

Al–Jarjani, Syarif Ali bin Muhammad. Kitab Ta‘rifa>t. Beirut: Darul Kutub Ilmiah,

1988/1408 H, Cet. Ke–3.

Jibril, Muhammad Sayyid. Madkhal ila Mana>hij al-Mufassiri>n. Kairo: al-Ba>b al-

Akhd}ar al-Mash-had, 1987/1408, Cet.ke-1

Al–Kafijiy, Muhammad bin Sulaiman. At–Taisi>r fi> Qawa‘id Ilm at–Tafsi>r.

tah}qi>q: Nas}ir bin Muhammad al–Mat}rudiy. Beirut: Dar al–Qalam,

1990/1410, Cet. ke-1.

Page 279: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

263

Al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. At-Ta‘arruf li madh-hab Ahli at-Tas}awwuf.

Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388/1969, Cet.ke-1.

Khazam, Anwar Fuad Abi. Mu‘jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S}u>fiyyah. Beirut:

Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke–1.

Knysh, Alexander D. Encyclopaedia of the Quran. Leiden: MNP, 2006.

Machasin. Al-Qa>d}i Abdul Jabba>r: Mutasha>bih al-Quran–Dalih Rasionalitas

Alquran. Yogyakarta: LkiS, 2000, Cet. Ke–1.

Al–Mahdi, Sayid M. Aqil bin Ali. Madkhal ila> at-Tas}awwuf al–Isla>mi. Kairo:

Darul Hadith, tth, Cet. Ke–2.

Mulyati, Sri (et.al), Oman Faturrahman. Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia.

Jakarta: Kencana PMG,2004, Cet. Ke-3.

Muslim. Sah}i>h} Muslim. Semarang: Toha Putera, t.th, Juz. 1.

An–Nasafi. Tafsi>r an-Nasafiy. Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1421/2001

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam : Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:

Bulan Bintang, 1986, Cet. Ke–4.

_______. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet.

Ke–8.

_______. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah. Jakarta: UI-Press,

1987, Cet. Ke–1.

_______. Tasawuf, dalam Budhi Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam

dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. Ke-2

Noer, Kautsar Azhari. Ibnu Arabi: Wah}datul Wuju>d dalam Perdebatan. Jakarta:

Paramadina, 1995, Cet.ke-1

Noer, Kautsar Azhari. Memahami Sufisme: Suatu Tanggapan terhadap Beberapa

Tuduhan, dalam Amsal Bakhtiar (Ed). Tasawuf dan Gerakan Tarekat.

Bandung: Penerbit Angkasa–UIN Jakarta, 2003, Cet. Ke–1.

Al-Qa>sha>ni, Abdurrazaq. Syarh}: Fus}u>s al-H{ikam. Mesir: Must}afa al-Ba>biy

al-H{alabiy, 1966/1386, Cet.ke-2.

Page 280: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

264

Al-Qat}t}a>n, Manna‘. Maba>h}ith fi> Ulu>m al-Qura>n. tt:tth, Cet. Ke-3.

Rakhmat, Jalaluddin. Tafsir Sufi al–Fa>tih}ah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

1999, Cet. Ke-1.

As}–S}a>bu>ni, M. Ali. Tafsi>r A<ya>t al–Ahka>m. Tt: t.th.

Sharqawi, Hasan. Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah. Kairo: Muassasah Muhktar, 1987,

Cet.ke-1.

S}ih}ab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1998, Cet.Ke–4.

S{ih}ab, M. Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan, 1993, Cet. Ke-5.

_______. (Et.all). Sejarah dan Ulumul Qura>n. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, Cet.

Ke-3.

Steenbrink, Karel. Pengantar dalam: Afif Anshori. Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri.

Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004.

Sudjarwo. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Mandar Maju, 2001, Cet. ke-1.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta,

CV, 2006, Cet. Ke–1.

Sulaiman, Mustafa. (Syarah) Fusus al-Hikam. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah,

1428/2007, Cet.ke-1.

Suma, Muhammad Amin. Karakteristik Ayat–ayat Hukum dalam Alquran: Pidato

Pengukuhan Guru Besar. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1418/1997.

Sunanto, Musyrifah. Asal Usul Tasawuf serta Perkembangannya di Indonesia. Dalam

Amsal Bakhtiar (Ed). Tasawuf dan Gerakan Tarekat. Bandung: Angkasa–UIN

Jakarta, 2003, Cet. Ke–1.

Suprayogo, Imam dan Tobroni, M.Si. Metodologi Penelitian Sosial–Agama.

Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001, Cet. Ke–1.

T{aba>t}aba>-i, M. Husein. Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–Quran. Beirut: Muassasah

al–A‘lami, 2006 M/1428 H, Juz 3-4, Cet. Ke-1.

T}ameem Ushama. Methodologis of the Quranic Exegesis,

Page 281: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

265

At–Tustari. Tafsi>r at–Tustari. Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423, Cet.Ke–

I.

Ubaidu, Hasan Yunus. Dira>sa>t wa Maba>h}i>ts fi> Ta>rikh Tafsi>r wa

Mana>hij al–Mufassiri>n. Kairo: tp, 1991 / 1411

Umarie, Barmawie. Systematik Tasawwuf. Sala: Penerbit AB. Sitti Sjamsijah, 1966,

Cet. Ke–2.

Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. London: George Allen and

Unwin Ltd, 1971, Cet. Ke–3.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab–Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/Pentafsir Alquran, 1973 M/1393 H.

al-Hasani, Ahmad bin Muhammad I<qa>z} al-Himam fi Sharh} al-H{ikam li Ibni

‘At}a’ as-Sakandari. Tt: Darul Kutub al-Islamiyah,t.th.

Adh-Dhahabi, Muhammad Husein. At–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo: tp, 1396

H/1976 M, Cet. Ke–2.

_______, al–Ittija>ha>t al–Munh}arifah fi Tafsi>r al–Qura>n al–Kari>m. Tt:Darul

I’tisham, 1978/1398, Cet. Ke–2

Zaeni, Hasan. Tafsir tematik ayat–ayat kalam–tafsir al-Maraghi. Jakarta: Pedoman

Ilmu Jaya, 1997.

Zaglul, Muhammad Hamdi. At–Tafsi>r bi ar–Ra’`yi. Dimaskus: Maktabah al–Farabi,

1420 /1999, Cet. Ke–1.

Zamakhshari. Al–Kashsha>f ‘an H{aqa>iq at–Tanzi>l wa ‘Uyu>n al–Aqa>wi>l fi>

Wuju>h at–Ta’wi>l. Mesir: Maktabah Mesir, t.th.

Az–Zarkashi, Badruddin. Al–Burha>n fi> Ulu>m al–Qura>n. tahqi>q: Muhammad

Abu al–Fad}l Ibrahim. Kairo: Dar at–Turats, t.th.

Az–Zarqani, Muhammad Abdul ‘Az}i>m. Mana>hil al–‘Irfa>n. Beirut: Darul Fikri,

t.th.

________

Page 282: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

266

Abdul Qadir Mahmud. Al-Falsafah as-S{ufiyyah fi al-Islam. T.t: Darul Fikri al-

Arabi,t.th.

Valiudin, Mir. Tasawuf dalam Alquran. (Terj). Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002,

Cet.ke-3

Abdurrahman Ibnu Khaldun. Mukaddimah Ibnu Khaldun. Beirut: Darul Kutub al-

Ilmiyah, 1427/2006, Cet.ke-9, h.348.381

Page 283: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

1. Nama Lengkap : Septiawadi

2. Gelar Adat : Kari

3. Tempat / Tgl Lahir : Bukittinggi / 3 – 9 – 1974

4. Jenis Kelamin : Laki – laki

5. Agama : Islam

6. Kewarganegaraan : WNI

7. Pekerjaan : Dosen Fak. Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

8. Pangkat : Penata III d / Lektor

9. Alamat a. Lampung : Jalan Karimun Jawa No 16 Rt. 04 LK.01 Kel. Sukarame

Bandarlampung

b. Jakarta : Jalan Kerta Mukti (Samping Lentera Hati PSQ) Komplek

Perumahan Dosen UIN Ciputat

B. Keluarga

Orang Tua;1. Ayah : Karlis Sutan Saidi (Alm)

2. Ibu : Janimar Guci

Istri; 1. : Novlia Sufrita, S.Pd

Anak; 1. : Dhiyaulhaq Kari

2. : Arkazulhaq Kari

C. Pengalaman Pendidikan

1. Sekolah Dasar Negeri Tanjung Alam Bukittinggi tamat (1987)

2. Sekolah Lanjutan Tingkat Tsanawiyah–Aliyah Sumatera Thawalib Parabek

Bukittinggi tamat (1993)

3. Sarjana Pendidikan Bahasa Arab pada fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta tamat (12 Januari 1998)

4. Magister Agama (MA) bidang Tafsir Hadis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tamat

(25 Juni 2000)

D. Pengalaman Pelatihan

1. Pelatihan Peneliti Tenaga Edukatif di Pusat Penelitian IAIN Raden Intan

Bandarlampung ( 2003 )

2. Work Shop Kurikulum Bahasa Asing (B.Arab) di Unit Pembinaan Bahasa IAIN

Raden Intan (2004)

3. Work Shop Pembelajaran Pendidikan Tinggi oleh Centre of Education

Development ( CED ) IAIN Raden Intan Lampung (2005)

4. Pelatihan Bahasa Inggris bagi Dosen di Pusat Pembinaan Bahasa IAIN Raden Intan

Bandarlampung ( 2008 )

5. Pelatihan Peneliti Tingkat Lanjut di Lembaga Penelitian IAIN Raden Intan Bandar

Lampung ( 2008 )

6. Work Shop Penyusunan SOP Standar Mutu IAIN Lampung pada PPMP IAIN

Lampung (2010)

E. Pengalaman Organisasi

Page 284: PENAFSIRAN SUFISTIK SA ID H}AWWA DALAM AL ASA

1. Latihan Kader (LK) HMI Cabang Ciputat (1993)

2. Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa Arab Fak.Tarb. IAIN Jakarta

(1995/1996)

3. Kepala Biro Pers MENWA IAIN Jakarta (1996/1997)

4. Ketua mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) (1997)

5. Anggota Majlis Tarjih PWM Lampung (2005-2008)

F. Pengalaman Pekerjaan

1. Dosen Filsafat Pendidikan Fak. Tarbiyah Institut Agama Islam al-Aqidah Jakarta

(1999)

2. Dosen Tafsir Tarbawi (Pendidikan) Fak. Agama Islam Universitas Islam Djakarta

(2000–2001)

3. Dosen Tafsir (DLB) Fak. Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta

(2000–2002)

4. Dosen Tafsir di Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung (2002–sekarang)

G. Karya Tulis Akhir Studi

1. Dira>sah Tah}li>li>yyah ‘an Ma‘anil Amri fi> Su>ratil Kahfi wa Fikrah fi>

Tadri>sihi (Skripsi S1 / 1998)

2. Riwayat Isra>iliyya>t dalam Tafsir bi al–Ma’thu>r (Thesis S2 / 2000)

3. Karya Tulis Terkait a. Studi Kritis Tafsir an–Nasafi ( Jurnal Analisis, Pusat Penelitian IAIN Raden Intan,

Juli 2006 )

b. Menyelami Makna Dunia bagi Kehidupan Manusia; Kajian Tafsir Maudhu’i (Jurnal

ad –Dzikra, Januari 2007)

c. Buku; Studi Ilmu Hadis ; Kajian Takhrij, Tokoh Hadis dan Kitab Hadis

Kontemporer, Penerbit Yameka, Jakarta : 2006.

d. Pembaruan Tasawuf di Indonesia (studi tentang ar-Raniri dan as-Sinkili) makalah

tidak diterbitkan. (2006)

e. Pergolakan Pemikiran Tasawuf di Indonesia ( Jurnal Kalam, Desember 2008 )

f. Arah Baru Studi Tafsir di IAIN ( Jurnal Analisis, Lembaga Penelitian IAIN

Lampung, Desember 2009)

g. Kaedah Tafsir (kajian aspek dirayah) (Jurnal Kalam, Juni 2009 )

h. Analisis Orientasi Penafsiran Sa‘id H{awwa (Jurnal Tarbawi, Universitas

Muhammadiyah Lampung, April 2010)

_______