67
32 Pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa pada pembelajaran fisika ditinjau dari keaktifan siswa SMP SKRIPSI Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Fisika Jurusan P. MIPA Oleh : Sari Puspitawedana X.2304007 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

Pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme …/Pengaruh...konstruktivisme, pendekatan ketrampilan proses, pendekatan induktif, dan pendekatan deduktif. Pada proses belajar mengajar

  • Upload
    votu

  • View
    237

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

32

Pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme

melalui metode eksperimen dan demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa

pada pembelajaran fisika ditinjau dari keaktifan siswa SMP

SKRIPSI

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan

Program Fisika Jurusan P. MIPA

Oleh :

Sari Puspitawedana

X.2304007

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu sistem yang dirancang oleh manusia dengan

tujuan tertentu. Pendidikan berkenaan dengan upaya pembinaan manusia, maka

keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada manusianya. Unsur manusia

yang paling menentukan keberhasilan pendidikan adalah pelaksanaan pendidikan,

yaitu guru. Gurulah ujung tombak pendidikan sebab secara langsung berupaya

mempengaruhi, membina dan, mengembangkan kemampuan siswa agar menjadi

manusia yang cerdas, terampil dan bermoral tinggi. Guru harus mengatasi

kendala-kendala yang muncul secara langsung berhubungan dengan pelajaran,

proses kegiatan belajar dan peserta didik.

Beberapa hal yang perlu diketahui sebelum guru menyampaikan pelajaran

yaitu pendekatan, strategi, teknik dan prosedur. Guru dapat menekankan pada

berbagai kegiatan dan tindakan dengan menggunakan pendekatan dan metode

tertentu yang dapat mengembangkan keaktifan belajar baik guru maupun siswa.

Sering dijumpai siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi tetapi

prestasi belajar yang dicapainya rendah, akibat kemampuan intelektual yang

dimilikinya tidak/kurang berfungsi secara optimal. Salah satu faktor pendukung

agar kemampuan intelektual yang dimiliki siswa dapat berfungsi secara optimal

adalah adanya sikap mental dan emosi untuk berprestasi yang tinggi dalam diri

siswa.

Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) khususnya fisika oleh banyak

siswa dianggap sebagai pelajaran yang sulit, disamping memerlukan penalaran

juga diperlukan pemahaman untuk memecahkan suatu masalah-masalah yang

berhubungan dengan pelajaran fisika. Ditambah lagi jika hal tersebut berhubungan

dengan masalah sikap mental dan emosi pada siswa.

Untuk mengatasi hal tersebut, seorang guru harus mempunyai strategi

dalam mengajar agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien dalam

mencapai prestasi belajar yang maksimal. The following categories for teacher

34

review and evaluation were proposed: Organization in preparing and

presenting instructional plans, Evaluation, Recognition of individual

differences, Cultural awareness, Understanding youth, Management,

Educational policies and procedures. (Lee S. Shulman: 1986)

Karena itu guru fisika juga harus menguasai berbagai macam metode

pengajaran karena metode pengajaran merupakan cara dalam penyampaian tujuan

pengajaran yang memerlukan teknik-teknik khusus yang harus dikuasai oleh

seorang guru fisika. Selain metode pengajaran dapat mengarahkan kegiatan

belajar mengajar terhadap tata cara pengajaran, juga mampu merangsang

semangat siswa untuk belajar, mempunyai minat yang besar terhadap pelajaran,

sehingga siswa yang satu dengan siswa yang lainnya mampu berkompetensi

dalam prestasi. Namun tidak semua materi dapat disampaikan dengan satu

metode, tetapi tergantung pada karakteristik materi dan kondisi saat proses belajar

mengajar berlangsung.

Pengajaran dalam bidang IPA khususnya mata pelajaran fisika terbagi

dalam beberapa pokok bahasan, dimana tiap pokok bahasan mempunyai tujuan

dan karakteristik sendiri-sendiri. Sehingga untuk menyampaikan kepada siswa

guru perlu memilih metode dan pendekatan yang sesuai dengan tujuan dan

karakteristiknya.

Pendekatan merupakan salah satu bagian dari komponen-komponen

pembelajaran. Rini Budiharti (1998: 2) menyatakan bahwa “Pendekatan adalah

cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian”. Pendekatan

pembelajaran fisika yang digunakan ada beberapa di antaranya: pendekatan

konstruktivisme, pendekatan ketrampilan proses, pendekatan induktif, dan

pendekatan deduktif. Pada proses belajar mengajar terjadi proses interaksi antara

dua atau lebih individu yang semuanya aktif dan tidak ada yang pasif atau sebagai

pendengar saja sehingga terjadi pembentukan konsep secara terus menerus. Dalam

proses belajar siswa telah membentuk dan mengkonstruksi pengetahuannya

sendiri terhadap konsep fisika serta memperbaiki konsep-konsep sebelumnya ke

arah yang benar. Pola perolehan konsep tersebut disebut pola konstruktivisme.

35

Melalui pendekatan konstruktivisme siswa akan membangun sendiri pengetahuan

melalui keterlibatan secara aktif dalam pembelajaran.

Rini Budiharti (1998: 2) menyatakan bahwa “Metode yaitu berbagai cara

kerja yang bersifat relatif umum, yang sesuai untuk mencapai tujuan tertentu”.

Metode-metode yang digunakan dalam pembelajaran fisika adalah metode

demonstrasi, eksperimen, ceramah, diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, dan

lain-lain. Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara

memperagakan barang, kejadian, aturan dan urutan melakukan suatu kegiatan,

baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan

dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Metode eksperimen

adalah cara belajar mengajar yang melibatkan peserta didik dengan mengalami

dan membuktikan sendiri proses dan hasil percobaan tersebut. Dalam metode

demonstrasi siswa diharapkan bisa mendapatkan gambaran lebih jelas tentang hal-

hal yang berhubungan dengan proses pengaturan, pembuatan, cara kerja,

penggunaan dan melihat suatu kebenaran. Dalam metode eksperimen siswa dapat

memperlihatkan suatu proses untuk mengambil kesimpulan.

Sekarang ini pendidikan sekolah semakin dibutuhkan, lebih-lebih dalam

aspek perkembanagan kognitif, konaktif dan afektif yang semuanya menyangkut

tuntutan di masa ini sebagai masa pembangunan. Kebutuhan akan tenaga-tenaga

pembangunan harus dipenuhi, terutama melalui pendidikan sekolah. Sekolah

mengutamakan perkembangan kognitif, tetapi ini tidak berarti bahwa aspek-aspek

perkembangan yang lain diabaikan. Dalam perkembangan konaktif, afektif, sosial,

dan motorik, kerap terdapat unsur-unsur yang mendukung perkembangan dalam

aspek-aspek itu atas dasar pemikiran diatas, maka penelitian ini diberi judul :

“Penggunaan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode Eksperimen Dan

Demonstrasi Terhadap Prestasi Belajar Siswa Ditinjau dari Keaktifan Siswa

SMP”

36

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan terdapat

beberapa masalah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan khususnya dalam

pengajaran fisika di SMP. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat

diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh ketrampilan yang digunakan guru

dalam mengajar, metode mengajar, alat-alat dan fasilitas sekolah lainnya.

2. Proses belajar mengajar melibatkan interaksi antara guru dan siswa, sehingga

diperlukan metode yang sesuai dengan materi yang disampaikan agar interaksi

tersebut maksimal.

3. Keberhasilan siswa dalam belajar di sekolah dipengaruhi juga oleh keadaan,

sikap, mental, emosi dan lingkungan sekolah siswa.

4. Materi yang sulit dipahami, dibutuhkan pemahaman dan penalaran yang lebih

dalam.

5. Keaktifan siswa dan kemampuan kognitif siswa yang bermacam-macam yang

harus dipahami oleh guru.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, agar

penelitian dapat mencapai tujuan dan arah yang jelas dibatasi pada permasalahan

sebagai berikut:

1. Metode pengajaran dibatasi dengan menggunakan metode :

a. Pembelajaran fisika dengan menggunakan metode eksperimen melalui

pendekatan konstruktivisme.

b. Sebagai pembanding dengan metode demonstrasi melalui pendekatan

konstruktivisme.

2. Kemampuan kognitif dibatasi pada pencapaian keberhasilan penguasaan materi

pelajaran yang ditunjukkan dengan nilai tes belajar Fisika untuk pokok bahasan

Tekanan.

3. Pokok bahasan yang diambil adalah Tekanan kelas VIII semester II di SMP.

37

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Adakah perbedaan pengaruh pendekatan konstruktivisme melalui metode

eksperimen dan demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa?

2. Adakah perbedaan pengaruh tingkat keaktifan siswa tinggi dan rendah terhadap

kemampuan kognitif siswa?

3. Adakah interaksi antara pendekatan konstruktivisme melalui metode mengajar

dengan keaktifan siswa terhadap kemampuan kognitif siswa?

E. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perbedaan pengaruh pendekatan konstruktivisme melalui metode

eksperimen dan demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa.

2. Mengetahui perbedaan pengaruh keaktifan siswa terhadap kemampuan kognitif

siswa.

3. Mengetahui adanya interaksi antara pendekatan konstruktivisme melalui

metode mengajar dengan keaktifan siswa terhadap kemampuan kognitif siswa.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain

dapat :

1. Memberi masukan kepada guru dalam rangka penilaian pendekatan

pembelajaran dan metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan kognitif

siswa.

2. Memberikan masukan kepada guru tentang pentingnya identifikasi kesulitan

belajar siswa, sehingga guru mampu menunjukkan kemampuan siswa untuk

mencapai prestasi belajar yang baik.

3. Memberi masukan bagi guru dalam peningkatan kualitas proses belajar.

38

BAB II

PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakekat belajar a. Pengertian Belajar

Belajar merupakan aspek yang sangat penting untuk mencapai prestasi.

Proses belajar dapat dilakukan oleh setiap orang baik di lingkungan pendidikan

keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendapat Witheringthon yang dikutip oleh M.

Ngalim Purwanto (1985 : 81) mengemukakan ”Belajar adalah suatu perubahan di

dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi

yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau sesuatu pengertian.”

Pengertian ini menjelaskan bahwa kepribadian seseorang akan berubah melalui

belajar. Menurut A. Suhaenah Suparno (2001:2), “Belajar merupakan suatu

aktivitas yang menimbulkan perubahan relatif permanen sebagai akibat dari

upaya-upaya yang dilakukannya”. Hal ini berarti bahwa belajar ditandai dengan

adanya perubahan yang relatif permanen dalam diri individu. Sejalan dengan

pendapat tersebut, W.S. Winkel ( 1996 : 53 ) juga menyatakan “Belajar adalah

suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan

lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-

pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap”. Menurut pendapat ini bahwa aktivitas

belajar tergolong aktivitas mental dan perubahan terjadi tersebut merupakan hasil

dari interaksi dengan lingkungan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar

merupakan proses aktivitas mental yang dialami seseorang dan berlangsung dalam

interaksi aktif dengan lingkungan yang menimbulkan perubahan relatif permanen

di dalam kepribadian yang berupa kecakapan atau keterampilan, nilai sikap,

kebiasaan, kepandaian, dan pengetahuan-pemahaman atau suatu pengertian.

Dengan demikian, seseorang yang senantiasa melakukan perubahan menuju

perbaikan dalam dirinya maka orang tersebut telah melakukan proses belajar.

39

b. Teori-teori Belajar

Ada beberapa macam teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli,

antara lain Bruner, Ausubel, Gagne, dan Piaget. Keempat teori tersebut dibahas

oleh Ratna Wilis Dahar dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Belajar (1989 :

97- 167). Berikut ini diuraikan beberapa hal penting yang menjadi inti dari

masing-masing teori tersebut.

1) Teori Belajar Menurut Bruner

Teori belajar menurut Bruner dikenal dengan model belajar penemuan

(discovery learning). Menurutnya, belajar penemuan sesuai dengan pencarian

secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih

baik. Dengan berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta

pengetahuan yang menyertainya, seseorang akan memperoleh pengetahuan yang

bermakna. Oleh karena itu, Bruner berpendapat bahwa siswa hendaknya

dilibatkan secara aktif dalam penemuan konsep-konsep dan prinsip-prinsip

melalui pengalaman pembelajaran dan memberikan kesempatan kepada mereka

untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri. Belajar penemuan dapat

membangkitkan keingintahuan siswa dan memberi motivasi untuk berusaha terus

sampai dapat memecahkan permasalahannya.

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui

metode demonstrasi dan eksperimen juga sesuai dengan teori belajar yang

dikemukakan oleh Bruner di atas. Melalui metode demonstrasi, guru memberikan

permasalahan di awal pembelajaran kemudian mengajak siswa untuk dapat

berpartisipasi aktif untuk membantunya melakukan demonstrasi atau

mengamatinya dalam rangka menemukan konsep atau prinsip yang dapat

menjawab permasalahan tersebut. Melalui metode ekperimen, guru juga

memberikan permasalahan kepada para siswa. Siswa secara berkelompok

memiliki kesempatan berpartisipasi aktif untuk membantunya melakukan

eksperimen atau mengamatinya dalam rangka menemukan konsep atau prinsip

yang dapat menjawab permasalahan tersebut. Dengan demikian, melalui

pendekatan konstruktivisme siswa dapat menemukan pengetahuan yang bermakna

40

bagi dirinya sehingga mampu untuk meningkatkan pemahamannya terhadap

pengetahuan tersebut.

2) Teori Belajar menurut Gagne

Berdasarkan teorinya tentang model belajar pemrosesan informasi,

Gagne mengemukakan delapan fase dalam satu tindakan belajar. Fase-fase itu

merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa atau

guru. Setiap fase juga mengisyaratkan adanya suatu proses yang terjadi dalam

pikiran siswa (proses internal). Kejadian-kejadian belajar tersebut meliputi :

1. fase motivasi, dalam fase ini siswa harus diberi motivasi untuk belajar dengan

adanya harapan.

2. fase pengenalan, dalam fase ini siswa memperhatikan aspek-aspek yang

penting dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini, guru dapat pula membantu

memusatkan perhatian siswa tersebut terhadap informasi yang relevan

3. fase perolehan, dalam fase ini Informasi relevan yang telah diperhatikan siswa

tidak langsung disimpan dalam memori melainkan dikaitkan dengan informasi

yang telah ada dalam memorinya agar menjadi bermakna bagi dirinya. Dengan

demikian, siswa dapat membentuk gambaran-gambaran tentang informasi

tersebut.

4. fase retensi, dalam fase ini informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan

dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Hal ini dapat terjadi

melalui pengulangan kembali (reherseal) atau praktek (practice).

5. fase pemanggilan, fase ini menunjukkan bagian penting dalam belajar yakni

upaya memperoleh hubungan dengan informasi yang telah dipelajari dengan

memanggil informasi tersebut dari memori jangka panjang.

fase generalisasi, generalisasi atau transfer informasi merupakan upaya

menerapkan suatu informasi ke dalam situasi-situasi baru. Hal ini merupakan

fase kritis dalam belajar.

6. fase penampilan, dalam fase ini para siswa harus menunjukkan kemampuan

yang mereka peroleh setelah belajar melalui penampilan yang tampak.

7. fase umpan balik, dalam fase ini para siswa harus memperoleh umpan balik

tentang penampilannya sehingga mereka mengetahui sudah benar atau

41

belumkah pemahaman mereka terhadap materi pembelajaran. Umpan balik ini

dapat memberikan reinforsemen (penguatan) kepada mereka untuk penampilan

yang berhasil.

Teori belajar menurut Gagne yang telah dikemukakan di atas juga

relevan sebagai dasar penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode

demonstrasi dan metode eksperimen dalam proses pembelajaran Fisika. Dalam

pendekatan ini, guru terlebih dahulu memberikan motivasi di awal pembelajaran.

Selanjutnya guru mengarahkan perhatian siswa pada pembahasan materi tertentu

dalam Fisika dan merumuskan masalah yang akan dipelajari. Siswa juga diberi

kesempatan untuk memberikan opininya atas masalah tersebut. Hal ini dapat

merangsang siswa untuk mengkaitkan dengan pengetahuan yang telah

dimilikinya.

3) Teori Belajar Ausubel

Menurut Ausubel, belajar terdiri atas dua tingkatan. Pada tingkat pertama

dalam belajar, informasi dapat disampaikan kepada siswa dalam bentuk belajar

penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan

bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa menemukan sendiri sebagian

atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa mengkaitkan

informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya sehingga terjadi belajar

bermakna. Namun, jika siswa hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru

tanpa menghubungkan dengan pengetahuan yang telah dimilikinya maka cara ini

dinamakan dengan belajar hafalan.

Penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran juga sesuai

dengan teori belajar menurut Ausubel. Siswa akan mengalami belajar bermakna

dengan pendekatan konstruktivisme baik melalui metode demonstrasi maupun

eksperimen. Melalui metode demonstrasi, siswa mendapatkan pengetahuan dalam

bentuk belajar penemuan konsep atau prinsip melalui pengamatan.

42

4) Teori Belajar menurut Piaget

Piaget's constructivist starting point is that knowledge does not exist outside the cognitive system but that it is being constructed by individuals through their interactions with the environment (e.g. Piaget & Garcia 1991). In this respect, Piaget distinguishes cognitive processes as interpretations of the world within the framework of existing cognitive structures (assimilation) from those processes in which parts of the cognitive structures change (accommodation). Piaget's term for these parts of the cognitive structure is schema.

Menurut Piaget, setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan

intelektual. Tingkat Sensori-motor (0-2 tahun), selama periode ini anak mengatur

alamnya dengan panca inderanya (sensori) dan tindakan-tindakannya (motor).

Periode ini bayi tidak mempunyai konsepsi. Tingkat Pra-operasional (2-7 tahun),

pada tingkat pra-operasional terdiri atas dua sub tingkat. Sub tingkat pertama

antara 2-4 tahun yang disebut sub-tingkat pra-logis, sub-tingkat kedua ialah antara

4-7 tahun yang disebut tingkat berpikir intuitif. Pada sub-tingkat pra-logis

penalaran anak adalah transduktif yaitu menalar dari umum ke khusus. Tingkat

Operasional Konkret (7-11 tahun), tingkat ini merpakan permulaan berfikir

rasional. Tingkat Operasional Formal (11 tahun keatas), pada tingkat ini anak

dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi

yang lebih kompleks.

(Ratna Wilis Dahar, 1988: 152-155)

Jadi menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan proses genetik,

artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yakni perkembangan

syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin kompleks

susunan sel syaraf dan makin meningkat pula pengetahuannya. Jadi teori belajar

anak sesuai dengan tingkatan perkembangan intelektual dan kemampuan berpikir

anak pada usia-usia tertentu.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Belajar merupakan proses yang kompleks dalam diri seseorang. Oleh

karena itu banyak faktor yang ikut mempengaruhinya. Menurut Muhibbin Syah

(1995 : 132), ”Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar terdiri atas tiga macam,

yaitu faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni kondisi jasmani dan

rohani siswa, faktor eksternal (faktor luar siswa), yakni kondisi lingkungan di

43

sekitar siswa, dan faktor pendekatan belajar.” Faktor internal siswa meliputi dua

aspek : pertama, aspek fisiologis yang bersifat jasmaniah seperti otot, mata

(penglihatan), dan telinga (pendengaran). Aspek kedua ialah aspek psikologis,

yang meliputi tingkat kecerdasan siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa,

dan motivasi siswa. Faktor eksternal meliputi faktor lingkungan sosial seperti

guru, staf administrasi di sekolah, teman, masyarakat, tetangga, orang tua dan

faktor lingkungan nonsosial meliputi sekolah, rumah, peralatan, alam, waktu

belajar dan kesiapan belajar. Muhibbin Syah (1995 :132) menjelaskan ”Faktor

pendekatan belajar merupakan jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi

dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran.”

Ballard dan Clanchy seperti yang dikutip Muhibbin Syah (1995 :128) menyatakan

terdapat 3 macam pendekatan belajar siswa, yakni pendekatan belajar reproduktif,

analitis, dan spekulatif. Sementara itu, Biggs yang dikutip Muhibbin Syah (1995

:129) menggolongkan 3 pendekatan belajar siswa, yaitu pendekatan surface

(permukaan/bersifat lahiriah), pendekatan deep (mendalam), dan pendekatan

achieving (pencapaian prestasi tinggi).

Agak berbeda dari pendapat di atas, Dimyati dan Mudjiono (1999 : 238-

234) menggolongkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar menjadi

dua macam saja, yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern meliputi

sikap terhadap belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, mengolah bahan

belajar, memperoleh perolehan hasil belajar, menggali hasil belajar yang

tersimpan, kemampuan berprestasi, rasa percaya diri siswa, intelegensi dan

keberhasilan belajar, dan cita-cita siswa. Faktor ekstern belajar meliputi guru

sebagai pembina siswa belajar, prasarana dan sarana pembelajaran, kebijakan

penilaian, lingkungan sosial siswa di sekolah, dan kurikulum di sekolah.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dicermati bahwa walaupun

penggolongan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar agak berbeda namun

pada penjabarannya terdapat kesamaan. Faktor pendekatan belajar yang

dikemukakan oleh Muhibbin Syah dapat digolongkan ke dalam faktor intern

menurut Dimyati dan Mudjiono yaitu mengolah bahan belajar. Dengan demikian,

44

penulis menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi belajar dapat berasal

dari diri siswa (faktor intern) dan yang berasal dari luar siswa (faktor ekstern).

d. Tujuan Belajar

Tujuan belajar adalah segala hasil belajar yang menunjukkan bahwa

siswa telah melakukan perbuatan belajar yang umumnya meliputi pengetahuan,

keterampilan, dan sikap-sikap yang baru, yang diharapkan tercapai oleh siswa.

Tujuan belajar berperan penting bagi guru dan siswa. Bagi guru, tujuan belajar

merupakan pedoman tindak mengajar. Dari segi siswa, tujuan belajar menjadi

panduan belajar yang mengisyaratkan kriteria keberhasilan belajar.

Proses belajar memiliki hubungan dengan tujuan belajar. Rumusan tujuan

belajar hendaknya disesuaikan dengan perilaku yang diharapkan dapat dilakukan

siswa. Sardiman A.M (2001: 28-29) merangkum tujuan belajar secara umum

sebagai berikut :

1) Untuk mendapatkan pengetahuan. Hal ini ditandai dengan kemampuan berpikir. Pengetahuan dan kemampuan berpikir tidak dapat dipisahkan. Kemampuan berpikir akan memperkaya pengetahuan.

2) Penanaman konsep dan keterampilan. Penanaman konsep atau merumuskan konsep memerlukan keterampilan. Keterampilan ini dapat dipelajari dengan banyak melatih kemampuan.

3) Pembentukan sikap.Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik tidak akan terlepas dari soal penanaman nilai. Karena itu, guru tidak hanya sebagai pengajar tapi juga sebagai pendidik yang memberikan nilai-nilai tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan belajar

adalah hasil belajar yang hendak dicapai oleh siswa setelah proses pembelajaran.

Sesuai dengan tujuan belajar di atas, yakni mendapatkan pengetahuan, penanaman

konsep / keterampilan, dan pembentukan sikap, hasil belajar juga meliputi hal

ihwal keilmuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif).

2. Mengajar

a. Pengertian Mengajar

Mengajar merupakan suatu upaya yang dilakukan guru agar siswa belajar.

Bagi seorang guru, mengajar mengandung arti membimbing dan membantu untuk

45

memudahkan siswa dalam menjalani proses belajar. Oemar Hamalik (1992 : 58)

berpendapat ”Mengajar adalah aktivitas mengorganisasi atau mengatur

lingkungan sebaik-baiknya sehingga menciptakan kesempatan bagi anak-anak

untuk melakukan proses belajar mengajar secara efektif”. Sejalan dengan

pendapat ini, S. Nasution (2000 :4) menyatakan “Mengajar adalah suatu aktivitas

mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan

menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar”. Kedua

pendapat tersebut sama-sama menekankan akan pentingnya mengatur lingkungan

dalam proses belajar mengajar. Sementara itu, menurut Tyson dan Caroll yang

dikutip oleh Muhibbin Syah (1995: 183), “Mengajar adalah sebuah cara dan

sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif

melakukan kegiatan.” Pengertian ini mengisyaratkan bahwa dalam mengajar, guru

dan siswa perlu saling berinteraksi dengan baik dalam kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat

disimpulkan bahwa mengajar adalah suatu upaya untuk menciptakan kondisi yang

sebaik-baiknya di mana guru dan siswa sama-sama aktif dan saling mengadakan

interaksi dalam kegiatan pembelajaran sehingga siswa dapat belajar secara efektif.

Dalam upaya menciptakan kondisi belajar yang baik, terdapat faktor yang

mempengaruhi, yaitu lingkungan. Oleh karena itu, lingkungan harus dimanfaatkan

dengan baik demi tercapainya proses belajar mengajar.

b. Kegiatan mengajar

Dalam melaksanakan kegiatan mengajar, seorang guru harus berinteraksi

dengan siswanya. Agar terjadi interaksi yang saling mendukung diperlukan

adanya komunikasi yang baik. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pemilihan

desain instruksional atau program pengajaran yang tepat. Selain itu, seorang guru

perlu mempertimbangkan beberapa hal supaya kegiatan mengajarnya dapat

berlangsung secara efektif. Pendapat Henich et al yang dikutip oleh Soekartawi

(1995: 49) memberikan hal-hal yang dapat menjadi pertimbangan pemilihan

desain instruksional yang disingkat dengan ASSURE, yaitu :

1.) Analyze (analisis karakteristik siswa); 2.) State objectives (tentukan tujuan dan alasan mengapa memilih model

instruksi tersebut);

46

3.) Select (pilih dan modifikasi bahan yang digunakan dalam model instruksi);

4.) Utilize (gunakan bahan yang digunakan dalam media atau model instruksi tersebut);

5.) Require (minta siswa untuk merespons apakah model instruksi tersebut sudah cocok untuk digunakan);

6.) Evaluate (evaluasi apakah model instruksi tersebut cukup efektif)

Kegiatan mengajar yang efektif akan memungkinkan tercapainya

pembelajaran yang efektif pula. Berkaitan dengan pembelajaran yang efektif,

Pendapat Richard Dunne dan Ted Wragg (1996:12) bahwa pembelajaran efektif

memiliki karakteristik antara lain : “Pembelajaran tersebut memudahkan murid

belajar sesuatu yang bermanfaat, seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan

bagaimana hidup serasi dengan sesama manusia, atau sesuatu hasil belajar yang

diinginkan”.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan mengajar

yang baik membutuhkan komunikasi yang baik terutama di antara guru dan siswa.

Hal ini dapat diwujudkan dengan desain instruksional yang efektif. Pemilihan

desain intruksional tersebut perlu mempertimbangkan beberapa hal seperti yang

telah disebutkan di atas sehingga terjadi pembelajaran efektif yang memudahkan

siswa belajar sesuatu yang bermanfaat.

3. Pengajaran Fisika di SMP

a. Hakikat Fisika

Fisika merupakan bagian dari IPA yang memiliki karakteristik tertentu

yaitu sebagai produk, proses dan memerlukan sikap atau nilai ilmiah. Margono,

dkk (1996 : 23) mengemukakan secara sederhana tentang pengertian IPA sebagai

berikut : “IPA adalah sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis

tentang gejala alam. Perkembangan IPA tidak hanya ditunjukkan oleh kumpulan

fakta tetapi juga oleh timbulnya metode ilmah dan sikap ilmiah“. Sedangkan

menurut Gertsen (1958) yang dikutip oleh Druxes, dkk (1986 : 3) bahwa “Fisika

alam sesederhana-sederhananya dan berusaha menemukan hubungan antara

kenyataan-kenyataannya. Persyaratan dasar untuk pemecahan persoalannya ialah

mengamati gejala-gejala tersebut”.

47

Pendidikan IPA harus memperhatikan tiga aspek yaitu produk, proses dan

sikap ilmiah, sehingga pengajaran IPA merupakan usaha sadar kearah perubahan

tingkah laku siswa, sedemikian rupa sehingga siswa mampu menguasai materi

IPA yang berupa fakta, konsep, prinsip, hokum dan teori, memahami dan terampil

dalam proses-proses IPA, memiliki sikap dan nilai ilmiah.

b. Proses Belajar – Mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Pola fikir yang digunakan sebagai landasan pendidikan pada tingkat dasar

dan menengah secara umum masih terlalu berfokus pada guru bukan pada siswa,

sehingga kegiatan belajar mengajar lebih menekankan pada pengajaran yang

dilakukan guru dari pada pembelajaran yang berlangsung pada diri sendiri.

Pola fikir semacam itu harus segera diubah. Sesuai dengan pendapat

Widha Sunarno (2002 :2) yang mengemukakan bahwa “Selain berfokus pada

siswa, pola fikir pembelajaran perlu diubah sekedar memahami konsep dan

prinsip keilmuan, yaitu kepada kandungan ilmu, siswa juga harus memiliki

kemapuan untuk berbuat sesuatu dengan menggunakan konsep dan prinsip

keilmuan yang telah dikuasai”. Hal ini mengandung pengertian bahwa pada

pembelajaran ditingkat dasar maupun menengah disamping harus terjadi

pembelajaran untuk tahu atau mengerti, juga harus terjadi pembelajaran untuk

berbuat sesuatu berdasarkan pada pengetahuan yang dimiliki siswa. Dengan

demikian mutu lulusan tidak hanya diukur dengan standar lokal saja tetapi dengan

harapan mampu berkompetensi secara nasional maupun internasional.

Sesuai dengan kompetensi umum Fisika pada jenjang SMP yang telah

dikutip Widha Sunarno (2001 : 6-7) sebagai berikut :

a. Kemampuan melakukan kerja ilmiah melalui eksperimen atau pengalaman

meliputi kemampuan melakukan pengukuran, pengujian hipotesis, merancang

eksperimen, mengambil dan mengolah data, interpretasi data serta dapat

mengkomunikasikan dalam eksperimen tersebut. Disamping itu melalui kerja

ilmiah diharapkan dimilikinya sikap ilmiah antara lain tertanamnya nilai ilmiah

dalam diri siswa dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain.

48

b. Kemampuan melakukan penalaran ilmiah dalam arti berfikir secara efektif

dalam menyelesaikan masalah sederhana yang berhubungan dengan besaran-

besaran fisika secara kualitatif dan kuantitatif sederhana menggunakan aritmatika.

c. Kemampuan untuk mengkaitkan pengetahuan fisika dengan pemanfaatan

fisika dalam teknologi melalui pembahasan dasar kerja teknologi sederhana atau

pembuatan alat-alat teknologi yang bermanfaat.

Dengan adanya kompetensi umum yang harus dicapai dalam diri siswa

pada setiap jenjang pendidikan, baik tingkat dasar maupun menengah, diharapkan

lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif

sesuai standar mutu nasional dan internasional. Sehingga bangsa ini tidak kaget

dan tertinggal dalam dunia global, karena bangsa yang berhasil adalah bangsa

yang berpendidikan berstandar mutu yang tinggi.

4. Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme

a. Pengertian Pendekatan Pembelajaran

Menurut Rini Budiharti (1998: 2) menyatakan bahwa “Pendekatan adalah

cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian”.

Konstruktivisme sebagai salah satu filsafat pengetahuan menekankan

bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) atau bentukan kita sendiri.

(Von Glosersfeld yang dikutip Bettencourt;1989; dan Matthews;1994) Von

Glosersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan

(realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada.

Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan

melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan

struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989).

Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan

ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang

dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali

mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru (Piaget, 1987)

dalam (Paul Suparno, 1997: 18).

49

Pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan dalam belajar mengajar

yang menekankan pada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui

objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan

dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan

memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivisme,

pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada orang lain,

tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus

mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, sehingga pengetahuan yang didapat

bukan merupakan sesuatu yang jadi, melainkan melalui proses yang berkembang

terus-menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang dan rasa ingin tahu

memegang peranan yang sangat penting.

b. Pengertian Belajar Konstruktivisme

Dalam pandangan teori belajar konstruktivismenya Piaget menyatakan

bahwa “belajar adalah proses perubahan konsep. Dalam konsep tersebut, si pelajar

setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi skema

mereka. Oleh karena itu, belajar merupakan proses yang terus-menerus, tidak

berkesudahan” (Paul Suparno,1997: 35). Pendapat Paul Suparno sesuai dengan

pernyataan kaum konstruktivisme bahwa “belajar merupakan proses aktif pelajar

mengkonstruksi arti entah teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain. Belajar

juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau

bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga

pengertiannya dikembangkan”. Paul Suparno (1997: 61)

Dari pendapat Paul Suparno dapat disimpulkan bahwa proses belajar

dengan konstruktivisme adalah proses pembentukan konsep ilmu pengetahuan

yang melibatkan keaktifan siswa dengan struktur kognitif tertentu yang telah

terbentuk sebelumnya dengan membentuk dan mengkonstruksi sendiri

pengetahuannya dalam situasi dan pengalaman yang baru.

5. Metode Pengajaran

Salah satu faktor penentu keberhasilan proses belajar mengajar adalah

ketepatan penggunaan metode pengajaran. Ketepatan penggunaan metode

50

menuntut guru untuk menguasai berbagai macam metode mengajar sehingga

memungkinkan siswa untuk belajar dengan efektif dan efisien. Rini Budiharti

(1998: 2) mengatakan bahwa “Metode yaitu berbagai cara kerja yang bersifat

relatif umum, yang sesuai untuk mencapai tujuan tertentu”. Sementara Oemar

Hamalik (1982: 81) menyebutkan, “Metode berarti cara, yakni cara mencapai

suatu tujuan. Metode mengajar berarti cara mencapai tujuan mengajar, yaitu

tujuan-tujuan yang diharapkan tercapai oleh murid dalam kegiatan belajar

mengajar”.

Dari pendapat Rini Budiharti dan Oemar Hamalik dapat disimpulkan

bahwa metode mengajar adalah cara guru membelajarkan siswa untuk mencapai

tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses

belajar mengajar ada banyak jenisnya di antaranya: metode eksperimen, metode

demonstrasi, metode ceramah, metode diskusi, metode pemberian tugas, dan tanya

jawab. Dalam penelitian ini akan dibahas beberapa metode antara lain: metode

eksperimen dan metode demonstrasi.

1. Metode Eksperimen

Metode eksperimen adalah metode pemberian kesempatan kepada siswa

baik perorangan atau kelompok untuk dilatih melakukan suatu proses atau

percobaan. Dengan metode eksperimen siswa diharapkan sepenuhnya terlibat:

merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, menemukan fakta,

mengumpulkan data, mengendalikan variabel dan memecahkan masalah yang

dihadapinya secara nyata.

Menurut Winarno Surakhmad (1990:111): “Dengan eksperimen

dimaksudkan bahwa pengajar atau pelajar mencoba mengerjakan sesuatu serta

mengamati proses dan hasil itu”. Sedangkan menurut Roestiyah NK (1991: 80):

“metode eksperimen adalah salah satu cara mengajar di mana siswa melakukan

suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil

percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan

dievaluasi oleh guru”.

Dari pendapat Winarno Surakhmad dan Roestiyah NK dapat diambil

kesimpulan bahwa metode eksperimen adalah metode penyajian materi pelajaran

51

melalui percobaan, di mana siswa dilibatkan secara aktif. Dengan demikian

seorang siswa diarahkan untuk bekerja secara mandiri sesuai dengan langkah-

langkah yang sudah disebutkan dalam Lembar Kerja Siswa (LKS).

Metode eksperimen mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: dapat

membantu siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan

percobaan sendiri, akan terbina manusia yang dapat membawa terobosan-

terobosan baru dengan penemuan sebagai hasil percobaannya yang di harapkan

dapat membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia, dan hasil-hasil

percobaan yang berharga yang di temukan dari metode ini dapat memanfaatkan

alam yang kaya ini untuk kemakmuran manusia.

Meskipun demikian metode eksperimen juga memiliki kekurangan, yaitu:

lebih sesuai untuk menyajikan bidang-bidang sains dan teknologi, pelaksanaannya

sering memerlukan berbagai fasilitas dan bahan yang tidak selalu mudah untuk

diperoleh dan relatif mahal, menuntut ketelitian dan keuletan, dan tidak semua

materi dapat disampaikan dengan metode eksperimen.

2. Metode Demonstrasi

Tidak semua materi pelajaran yang dijelaskan guru dapat diterima oleh

semua siswa dengan mudah. Hal ini disebabkan karena tingkat perkembangan

berpikir yang berbeda. Materi pelajaran yang dipelajari akan lebih jelas dan

mudah dipahami siswa dengan melihat langsung pada benda, proses, dan hasil

belajar yang ditunjukkan oleh guru.

Demonstrasi menurut Rini Budiarti (1998: 33) adalah:” Suatu teknik

mengajar di mana dikombinasikan penjelasan lisan dengan suatu perbuatan dan

sering dengan menggunakan suatu alat”. Berdasarkan pendapat Rini Budiharti

mengenai demonstrasi dapat penulis simpulkan bahwa metode demonstrasi

merupakan cara mengajar di mana seorang guru mempertunjukkan,

memperlihatkan suatu proses, sehingga seluruh siswa dalam kelas dapat melihat

dan mengamati proses yang dipertunjukkan oleh guru tersebut. Dengan metode

52

demonstrasi, siswa ikut aktif mengamati gejala proses yang terjadi dan akhirnya

dapat menyimpulkan sendiri hal-hal yang dipelajari.

Keunggulan metode demonstrasi, yaitu: memberi gambaran dan

pengertian yang lebih jelas daripada hanya dengan keterangan, menunjukkan

dengan jelas langkah-langkah suatu proses atau keterampilan, lebih mudah dan

efisien daripada membiarkan siswa melakukan eksperimen, memberikan

kesempatan pada siswa untuk mengamati sesuatu dengan cermat, dan berdiskusi,

siswa mendapatkan kesempatan bertukar pikiran untuk memperbaiki atau

mempertajam pengertian.

Dengan demonstrasi perhatian siswa dapat lebih terpusat pada

pembelajaran yang sedang dilakukan. Dengan demonstrasi siswa berpartisipasi

aktif dalam memperoleh pengalaman langsung serta dapat mengembangkan

kecakapannya.

Metode demonstrasi juga memiliki kelemahan: dibutuhkan sarana lain

yang lebih kompleks, waktu yang dibutuhkan relatif lama, tidak dapat diterapkan

untuk jumlah siswa yang cukup besar, dan diperlukan kemampuan guru dalam

menangani alat demonstrasi.

6. Kemampuan Kognitif

Berhasil atau tidaknya proses belajar mengajar dapat dilihat dari hasil

belajarnya. Hasil belajar secara umum dikelompokkan menjadi tiga kelompok

yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sedangkan menurut Bloom yang di

kutip Nana Sudjana (1991: 22) membagi kenyataan pengajaran dalam tiga

dimensi kasar dan dengan taksonomi ini tujuan instruksional dapat diwujudkan.

Ketiga dimensi tersebut antara lain : Tujuan instruksional kognitif berdasarkan

hafalan, pikiran, pemecahan persoalan dan kemampuan intelektual, tujuan

instruksional afektif berdasarkan rasa tertarik, kesediaan untuk melakukan,

memikir dan perkembang kelakuan serta norma-norma kehidupan, tujuan

instruksional Psikomotorik berdasarkan kemampuan motoris atau gerak badan

siswa. Siswa dikatakan aktif jika dia melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran

yang relevan dengan materi pelajaran yang disampaikan. Aspek aktivitas belajar

siswa yang diamati antara lain peran serta siswa dalam pembelajaran,

mengerjakan “lembar kerja kelompok (LKK)”, bekerjasama dengan teman

sekelompok, keaktifan siswa dalam diskusi, dan partisipasi siswa dalam

demonstrasi/eksperimen.

53

Menurut Benjamin Bloom yang dikutip oleh Nana Sudjana (1991: 23),

komponen kognitif meliputi:

a. Pengetahuan/Ingatan (C1) Merupakan aspek terendah ranah kognitif. Aspek ini mengacu pada

kemampuan mengenal/mengingat materi yang sudah dipelajari dari yang

sederhana sampai hal-hal yang sukar.

b. Pemahaman (C2) Merupakan aspek berikutnya dari ranah kognitif berupa kemampuan

memahami makna materi yang dipelajari. Pada umumnya unsur pemahaman ini

menyangkut kemampuan menangkap makna suatu konsep, yang ditandai dengan

kemampuan menjelaskan arti suatu konsep dengan kata-kata sendiri.

c. Penerapan/Aplikasi (C3) Merupakan kemampuan menggunakan generalisasi atau abstraksi lainnya

yang sesuai dalam situasi yang konkret. Aspek ini mengacu pada kemampuan

menggunakan atau menerapkan pengetahuan yang sudah dimiliki pada situasi

yang baru, yang menyangkut penggunaan aturan dan prinsip dalam memecahkan

persoalan.

d. Analisis (C4) Merupakan kemampuan menjabarkan isi pelajaran ke bagian-bagian yang

menjadi unsur pokok. Kemampuan ini merupakan akumulasi atau kumpulan

pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi, sehingga keaktifan belajar siswa lebih

tinggi daripada keaktifan belajar yang dituntut untuk aspek aplikasi.

e. Sintesis (C5) Merupakan kemampuan menggabungkan berbagai konsep dan komponen,

sehingga membentuk pola struktur yang baru. Kemampuan sistesis relatif lebih

tinggi dari kemampuan analisis, sehingga untuk menguasainya diperlukan

kegiatan belajar yang lebih kompleks.

f. Evaluasi (C6) Merupakan kemampuan menilai isi pelajaran untuk tujuan tertentu. Hasil

belajar dalam tingkatan ini merupakan hasil belajar yang tertinggi dalam

komponen kognitif, sehingga memerlukan semua tipe hasil belajar tingkatan

54

sebelumnya. Dengan demikian, kegiatan belajar yang dituntut untuk mencapai

tujuan dalam tingkatan ini jelas lebih tinggi lagi.

Dengan melihat jenjang yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa

kemampuan kognitif tidak hanya berhubungan dengan pengetahuan saja, tetapi

didalamnya terdapat jenjang-jenjang yang berhubungan dengan aspek mengingat

dan berpikir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan kognitif

adalah kemampuan yang berhubungan dengan aktivitas kerja otak.

7. Keaktifan Siswa

a. Pengertian Keaktifan Siswa

Sardiman A.M (2004: 100) menyatakan bahwa ”yang dimaksud dengan

aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat mental”. Dari pendapat Sardiman

dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam

belajar yang berupa keaktifan mental.

b. Pentingnya Keaktifan Siswa

Pada prinsipnya belajar adalah berbuat untuk mengubah tingkah laku.

Orang yang belajar harus aktif, karena tanpa adanya tindakan yang aktif, belajar

tidak mungkin berjalan. Sardiman A.M (1999:94) mengatakan bahwa “Tidak ada

belajar kalau tidak ada aktivitas”. Sehingga terlihat disini bahwa aktivitas

merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam proses belajar

mengajar. Lebih lanjut Rousseau dalam Sardiman A.M. (1992:95) mengatakan

bahwa “ Segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri,

penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan

sendiri, baik secara rohani atau teknis”.

Semua cara belajar itu mengandung keaktifan pada siswa, meskipun kadar

keaktifannya berbeda-beda. Terdapat kegiatan belajar yang mempunyai kadar

keaktifan yang tinggi dan ada pula yang rendah, tidak mungkin ada titik nol. Jadi

disini terlihat bahwa sesungguhnya belajar dapat dicapai melalui proses yang

bersifat aktif walaupun dengan kadar yang berbeda.

55

Seorang guru dalam proses belajar mengajar harus mengoptimalkan kadar

keaktifan siswa, karena guru bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar

siswa yang optimal. Menurut Nana Sudjana (1996:23) mengoptimalkan kadar

keaktifan siswa yang belajar, berdasarkan asumsi anak didik yang didasarkan

pada: 1). Anak adalah bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang

mempunyai potensi untuk berkembang, 2) setiap individu atau anak didik berbeda

kemampuannya, 3) individu atau anak didik pada dasarnya adalah insan yang

aktif, kreatif dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya, 4) anak didik

mempunyai motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.

Jadi dari pandangan dari beberapa ahli di atas, maka jelas dalam

pembelajaran anak didik harus aktif berbuat. Atau dengan kata lain bahwa dalam

belajar sangat diperlukan keaktifan yang bersifat jasmani dan rohani.

c. Bentuk-bentuk Keaktifan Siswa

Kecenderungan psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah

makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu,

mempunyai kemampuan, dan aspirasinya sendiri. Belajar yang dilakukan siswa

tidak mungkin dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak mungkin dilimpahkan

kepada orang lain. Menurut John Dewey dalam Dimyati dan Mudjiono (1999:44)

mengemukakan bahwa “ Belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan

siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa sendiri. Guru

sekedar pembimbing dan pengarah”.

Semua cara belajar itu mengandung unsur keaktifan. Dalam setiap proses

belajar siswa selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan ini beraneka ragam

bentuknya, mulai dari kegiatan fisik maupun psikis. Keaktifan siswa dalam belajar

tersebut dapat muncul dalam berbagai bentuk, misalnya mendengarkan seorang

guru yang sedang berceramah, mendiskusikan sesuatu dengan guru atau teman

sekelas, dan sebagainya.

d. Jenis-Jenis Aktivitas Dalam Belajar

Menurut Sardiman A.M. (2004: 103) mengatakan bahwa “Aktivitas

belajar dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi antara lain: visual activities,

56

oral activities, listening activities, writing activities, drawing activities, motor

activities, mental activities”. Indikator dari klasifikasi aktivitas belajar, antara lain:

visual activities, meliputi: membaca, memperhatikan gambar demonstrasi,

percobaan, pekerjaan orang lain, oral activities, meliputi: menyatakan,

merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan

wawancara, interupsi, dan diskusi, listening activities, meliputi: mendengarkan

uraian, percakapan, musik, pidato, mendengarkan diskusi dan penjelasan guru.

writing activities, meliputi: menulis laporan, menulis pelajaran, menyalin, menulis

cerita, karangan, laporan, drawing activities, meliputi: menggambar, membuat

grafik, peta, motor activities, meliputi: melakukan percobaan, membuat

konstruksi, mental activities, meliputi: menanggapi, menganalisa, mengambil

kesimpulan, memecahkan soal, dan mengambil keputusan, dan emotional

activities, meliputi: menaruh minat, merasa bosan, berani, gembira, dan

sebagainya.

Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan siswa di sekolah. Menurut

Sumadi Suryabrata (1990: 98) “Aktivitas adalah banyak sedikitnya orang yang

menyatakan diri, menjelmakan perasaannya dan pikirannya dalam tindakan yang

spontan”. Aktivitas siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti

hal yang telah terjadi di sekolah-sekolah.

Dari pendapat Sardiman A.M dan Sumadi Suryabrata dapat disimpulkan

bahwa aktivitas dalam belajar adalah banyak sedikitnya orang yang menyatakan

diri, menjelmakan perasaannya dan pikirannya dalam tindakan yang spontan yang

meliputi visual activities, oral activities, listening activities, writing activities,

drawing activities, motor activities, mental activities dalam proses belajar

mengajar.

8. Bahan Ajar

Semakin besar gaya tekan, semakin besar tekanannya. Ini membuktikan

bahwa gaya sebanding dengan tekanannya. Semakin besar luas permukaan bidang

tekan suatu benda, akan semakin kecil tekanannya; dan semakin sempit luas

57

P

permukaannya, gaya tekannya semakin besar. Hal ini menunjukan bahwa tekanan

berbanding terbalik dengan luas bidang tekan. Jadi tekanan (P) adalah hasil bagi

antara gaya tekan (F) dengan luas bidang (A) tempat gaya itu bekerja. Secara

sistematis di tulis dengan persamaan:

Po

AF

P =

Dengan P = tekanan (N/m2);

F = gaya yang bekerja pada benda (N);

A = luas bidang tekan (m2)

Gambar 2.1 Bidang tekan suatu benda

a. Tekanan Hidrostatis

Tekanan hidrostatis adalah tekanan dalam zat cair yang disebabkan oleh

berat zat cair itu sendiri. Semakin dalam maka tekanan zat cair semakin besar.

Pada kedalaman yang sama, tekanan zat cair di segala arah sama besar. Besar

tekanan zat cair dipengaruhi oleh jenis zat cair (ρ), kedalaman (h), dan percepatan

grafitasi bumi (g), dan tidak tergantung pada bentuk bejana. Tekanan dirumuskan

dengan persamaan AF

P = , gaya tekan pada zat cair ditentukan oleh beratnya

sehingga rumus tekanan menjadi AF

P = = A

W. Oleh karena massa jenis zat cair

Vm

=r sehingga r=m × V dan volume zat cair dalam bejana dirumuskan

dengan V = A × h dengan A = luas bejana dan h = tinggi/kedalaman zat cair

dalam bejana. Maka rumus dari tekanan hirostatik (Ph) adalah sebagai berikut.

Ph = ghA

gVA

gm.

...r

r==

hgh ..r=R

Dengan

Ph = tekanan zat cair (N/m2);

h = kedalaman zat cair (m);

h

58

r = massa jenis zat cair (kg/m3);

g = percepatan gravitasi ( m/s2)

1) Bejana Berhubungan

Zat cair yang dalam keadaan tenang selalu menunjukan permukaan yang

mendatar. Permukaan zat cair tidak beruabh walau dari bejana yang ditempatinya

diletakan dengan cara yang berbeda. Permukaan zat cair yang mendatar kita

jumpai dalam bejana berhubungan. Jadi, bejana berhubungan adalah dua atau

lebih wadah dengan bagian atas yang terbuka dan berhubungan satu dengan yang

lain. Hukum bejana berhubungan berbunyi : bila bejana berhubungan diisi zat cair

yang sama, dalam keadaan seetimbang zat cair dalam bejana-bejana itu terletak

pada satu bidang datar.

Hukum bejana berhubungan tidak berlaku apabila : tekanan di atas bejana

tidak sama (misalnya salah satu bejana tertutup), diisi dua macam/lebih zat cair,

digoyang-goyangkan, dan salah satu bejana berupa pipa kapiler.

2) Hukum Pascal

Hukum Pascal menyatakan bahwa gaya yang bekerja pada suatu zat cair

dalam ruang tertutup, tekanannya diteruskan oleh zat cair tu ke segala arah sama

besar.

Gambar 2.2 F2= gaya yang bekerja pada pengisap II Gambar

1.2 Gaya yang relatif kecil pada piston 1 (F1) menghasilkan

gaya yang lebih besar pada piston 2 (F2). (Tim Abdi Guru:

Erlangga: 2004)

Jika pada tabung I diberi gaya F1 maka zat cair pada tabung I akan

mendapat tekanan sebesar P1. Tekanan sebesar P1 akan diteruskan sama besar ke

segala arah termasuk ke penampang tabung II. Oleh karena itu, tekanan yang

dialami penampang tabung II sama besar yang secara sistematis ddapat dituliskan

sebagai berikut.

Karena P1 = P2

59

Oleh karena 2

2

1

11 A

Fdan

A

F=R=R , berlaku

2

2

1

1

A

F

A

F=

Dengan

F1 = gaya yang bekerja pada pengisap I

A1 = luas pernampang pengisap I

A2 = luas penampang pengisap II

Tekanan 1 pascal (Pa) adalah gaya 1 newton yang bekerja pada bidang

tekan seluas 1 m2 atau 1 Pa = 1 N/m2. dengan menggunalkan alat Pascal, kita

dapat mengangkat beban berat hanya menggunakan gaya yang kecil.

Alat-alat teknik yang bekerja berdasarkan hukum Pascal antara lain:

dongkrak hidrolik, jembatan angkat, dan kempa hidrolik. Perangkat lain yang cara

kerjanya menggunakan hukum Pascal misalnya pompa ban mobil, kursi dokter

gigi, dan elevator hidrolik (pesawat untuk menaikan barang atau orang dan rem

hidrolik pada mobil).

3) Hukum Archimedes

Berat setiap benda yang dicelupkan ke dalam zat cair menjadi berkurang

karena gaya tekan ke atas. Gaya tekan ke atas oleh zat cair adalah gaya yang

diberikan zat cair terhadap benda yang dicelupkan ke dalam zat cair itu sehingga

menyebabkan berat benda tersebut berkurang.

Hukum Archimedes : suatu benda yang dicelupkan ke dalam zat cair, baik

sebagian, atau seluruhnya, akan mendapat gaya tekan ke atas yang besarnya sama

dengan berat zat cair yang dipindahkan (didesak) oleh benda tersebut. Gaya tekan

bekerja pada benda ini disebut sebagai gaya apung atau gaya Archimedes.

Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut.

FA = W = m × g = gxxV r

Besaran V pada rumus diatas menyaakan volume cairan yang dipindahkan

dan besaran ρ menyatakan massa jenis cairan sehingga hukum Archimedes dapat

dirumuskan sebagai berikut.

60

gxxVFA r=

Dengan FA = gaya tekan ke atas

V = volume zat cair yang didesak;

= volume benda yang tercelup (m3)

r = massa jenis zat cair (kg/m3)

g = konstanta gravitasi (N/kg)

a) Tenggelam

Suatu benda bisa tenggelam dalam zat air apabila massa jenis

benda tersebut lebih besar dari pada massa jenis zat cair.

Gb. 2.3 Benda Tenggelam

b) Melayang

Suatu benda melayang dalam zat cair apabila massa jenis benda

tersebut sama dengan nasa jenis zat cair.

Gb. 2.4 Benda Melayang

c) Terapung

Sebuah benda akan terapung dalam suatu zat cair apabila massa

jenis benda tersebut lebih kecil daripada massa jenis zat cair.

Gb. 2.5 Benda Terapung

Contoh Penggunaan Prinsip Archimedes antara lain kapal laut, galangan

kapal, hidrometer, balon udara, kapal selam, dan jembatan ponton.

(Erlangga: 2004)

d. Ketinggian Tempat dan Tekanan Udara

a) Tekanan Udara Bebas (Tekanan Atmosfer)

61

Alat ntuk mengukur tekanan udara disebut barometer. Ada dua macam

barometer, yaitu barometer raksa dan barometer aneroid. Barometer Raksa

(Barometer Fortin), prinsip kerja barometer ini sama dengan percobaan Torriceli.

Barometer ini banyak dipakai di laboratorium dan kantor angin (dinas

meteorologi). Barometer Aneroid (barometer tanpa zat cair = barometer logam),

barometer ini banyak digunakan di Badan Meteorologi dan Geofisika untuk

memperkirakan cuaca. Barometer ini lebih praktis untuk dibawa dan skalanya

mudah dibaca karena berbentuk lingkaran.

b) Tekanan Gas dalam Ruang Tertutup

Alat untuk mengukur tekanan gas disebut manometer. Ujung pipa yang

terbuka dihubungkan pada ruang gas yang akan diukur tekanannya. Manometer

ada dua macam, yaitu manometer raksa dan manometer loga. Manometer raksa

sendiri ada dua macam, yaitu manometer raksa terbuka dan manometer

raksatertutup. Manometer tertutup digunakan pada pengukuran gas yang

mempunyai tekanan cukup besar, sedangkan gas dengan tekanan kecil diukur

dengan manometer raksa tebuka.

Manometer logam (aneroid) tidak menggunakan zat cair tetapi

menggunakan logam. Manometer logam digunakan untuk mengukur tekanan gas

dalam ruag tertutup berkekuatan tinggi, seperti pada ketel uap, ban mobil dan

sebagainya. Terdapat berbagai macam manometer logam, antara lain: manometer

logam Schaffer dan Budenberg, manometer logam Bourdon, manometer logam

pegas.

e. Hukum Boyle

Hukum Boyle : hasil kali antara tekanan dan volume gas dalam ruang

tertutup adalah sama, asalkan suhunya tetap.

P x V = bilangan tetap

P1 x V1 = P2 x V2

Dengan P1 = tekanan gas mula-mula (atm atau cmHg)

P2 = tekanan gas setelah diubah (atm atau cmHg)

V1 = volume gas mula-mula (m3 atau cm3)

62

V2 = volume gas setelah diubah (m3 atau cm3)

C = konstanta (tetapan)

Hukum Boyle berlaku jika : suhu gas tetap, tetapi terjadi perubahan volume dan

tekanan; massa gas tetap, tidak terjadi kebocoran tabung (ruang tertutup); gas

tidak dalam keadaan jenuh; dan tidak terjadi reaksi kimia di dalam tabung gas.

B. Penelitian Yang Relevan

Dies Hindrawibawa Wisnubrata Q100070737Ungaran 3/ Semester3 dalam

penelitiannya yang berjudul Komparasi Pembelajaran Konsep Transportasi

Hewan Dengan Pendekatan Investigasi Kelompok Berbasis Komputer dan

Lembar Kegiatan Siswa Terhadap Nilai Ulangan Harian Ditinjau Dari Aktivitas

Belajar. (Studi Kasus Pada Siswa Kelas X1 IA Semester Gasal SMA N 9

Semarang Tahun Pelajaran 2008-2009 ).

Hasil penelitian yang dihasilkan adalah ada perbedaan pengaruh antara

pembelajaran berbasis media komputer dan lembar kegiatan siswa terhadap nilai

hasil ulangan harian siswa, ada perbedaan pengaruh antara aktivitas belajar tinggi

dan aktivitas belajar rendah terhadap nilai hasil ulangan harian siswa, dan ada

interaksi pengaruh antara pembelajaran berbasis media komputer dan lembar

kegiatan siswa serta aktivitas belajar siswa terhadap nilai hasil ulangan harian

siswa.

Penelitian mengenai pendekatan keterampilan proses juga pernah

diterapkan dengan menggunakan metode inkuiri terbimbing dan metode

eksperimen seperti yang telah dilakukan oleh Widha Sunarno. Dari penelitiannya,

disimpulkan ” ... siswa yang diberi perlakuan pendekatan keterampilan proses

dengan metode inkuiri terbimbing memberikan rataan kognitif, psikomotorik, dan

afektif yang lebih tinggi dibanding dengan pendekatan keterampilan proses

melalui metode eksperimen” (Widha Sunarno, 2007 : 12). Dalam penelitian

tersebut, ditinjau pula variabel kemampuan awal siswa. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan pula adanya interaksi pengaruh antara pendekatan keterampilan

proses dan kemampuan awal siswa terhadap prestasi belajar siswa.

C. Kerangka Berfikir

63

Apabila selama berlangsungnya proses belajar-mengajar seorang guru

menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan

demonstrasi, maka siswa dalam pembelajarannya selain menerima konsep dari

guru, siswa juga aktif dalam menjawab pertanyaan dan bereksperimen. Maka

dalam penelitian ini akan ditinjau bagaimana pengaruh dari keaktivan siswa

terhadap hasil belajar siswa. Berdasarkan dari bagan kerangka berfikir pada

gambar 2.6 dapat disimpulkan bahwa pendekatan konstruktivisme ditinjau dari

keaktifan siswa memegang peranan dalam menentukan tingkat penguasaan mata

pelajaran Fisika yang dicerminkan dalam peningkatan kemampuan kognitif siswa.

Gambar 2.6 Bagan Kerangka Berfikir

D. Hipotesis

Dari kajian teori dan kerangka permikiran diatas penulis mengemukakan

hipotesis sebagai berikut :

1. Ada perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui

metode eksperimen dan demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa.

2. Ada perbedaan pengaruh keaktivan siswa terhadap kemampuan kognitif siswa.

3. Ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode

mengajar dan keaktivan siswa terhadap kemampuan kognitif siswa.

Kelas Eksperimen

Kelas Kontrol

Pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen

Pendekatan konstruktivisme dengan metode demonstrasi

Keaktifan siswa Tinggi

Keaktifan siswa Rendah

Keaktifan Siswa Rendah

Keaktifan siswa Tinggi

Kemampuan kognitif siswa

64

BAB. III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian dilaksanakan di SMP N 10 Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009

2. Waktu

Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu :

a. Tahap persiapan yaitu pengajuan judul skripsi, permohonan pembimbing, ijin

penelitian.

b. Tahap pelaksanaan yaitu semua kegiatan yang berlangsung di lapangan

meliputi uji coba instrumen, pelaksanaan eksperimen dan demonstrasi yang

dilengkapi diskusi kelompok, pengambilan data maupun tes.

c. Tahap finalisasi yaitu meliputi analisa data, penyusunan laporan, konsultasi

pembimbing dan penggandaan.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan

menggunakan desain faktorial (A x B). Faktor pertama (A) yaitu pembelajaran

Fisika dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan

demonstrasi. Faktor kedua (B) adalah keaktivan siswa. Pada waktu eksperimen

siswa diukur dengan alat ukur observasi yang sama. Hasil kedua observasi

pengukuran digunakan sebagai data eksperimen yang kemudian diolah dengan uji

statistik.

65

Tabel 3.1 Desain Metode Penelitian Faktorial 2x2.

Keaktifan Siswa B

A Keaktifan siswa

kategori tinggi

(B1)

Keaktifan siswa

kategori rendah

(B2)

Metode

eksperimen

(A1)

A1B1

A1B2

Pendekatan

konstruktivisme

Metode

demonstrasi

(A2)

A2B1

A2B2

C. Penetapan Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP N 10 Surakarta kelas VIII

yang terdiri dari 4 kelas, yaitu kelas VIII C, VIII D, VIII E, dan VIII F.

2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP N 10 Surakarta kelas VIII

yang terdiri dari 4 kelas, yaitu kelas VIII C, VIII D, VIII E, dan VIII F.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random

sampling, sampel diambil secara acak dengan peluang yang sama dari populasi

yang ada. Sebagai sampel dalam penelitian adalah kelas VIII D sebagai kelompok

Kontrol dengan jumlah siswa sebanyak 40 siswa dan kelas VIII F sebagai

kelompok eksperimen dengan jumlah siswa sebanyak 40 siswa.

66

D. Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Bebas :

a. Pendekatan Konstruktivisme

1) Definisi operasional : pendekatan Konstruktivisme: adalah pendekatan

dalam proses belajar engajar yang menekankan pada siswa untuk

mengkonstruksi pengetahuan siswa melalui objek, kejadian, pengalaman

dan lingkungan.

2) Skala pengukuran : Nominal

3) Kategori : metode eksperimen dan demonstrasi.

b. Keaktifan siswa

1) keaktifan siswa tinggi, jika FB12 > FTab

2) keaktifan siswa rendah, jika FB12 < F=Tab

2. Variabel terikat : Prestasi Belajar Siswa

a. Definisi Opersional : Prestasi belajar siswa adalah Prestasi belajar Fisika

siswa adalah nilai yang diperoleh siswa dalam pelajaran Fisika sebagai

hasil yang telah dicapai siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran

Fisika.

b. Skala pengukuran : Interval.

c. Indikator : Nilai tes prestasi belajar Fisika pokok bahasan Tekanan

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Teknik Tes

Teknik tes dilakukan dengan memberikan seperangkat tes berupa

pertanyaan untuk mengukur pengetahuan siswa. Teknik tes tersebut digunakan

untuk memperoleh data prestasi belajar Fisika siswa ranah kognitif.

2. Teknik Angket

Menurut Suharsini Arikunto (1998:140) “kuesioner adalah sejumlah

pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden

dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang diketahui”. Penelitian

menggunakan angket berupa pertanyaan-pertanyaan yang diberi rincian pada

67

tabel. Angket dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keaktifan

siswa dalam mengikuti pelajaran Fisika.

Penelitian tindakan kelas oleh Drs. Sunyono, M.Si menyatakan pada tahap

pengamatan atau observasi pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

lembar / instrumen observasi / evaluasi yang telah disusun. Data yang

dikumpulkan berupa data kuantitatif (hasil tes, ulangan harian, presentasi, nilai

tugas, dll), tetapi ada juga data kualitatif yang menggambarkan keaktifan siswa,

partisipasi siswa dalam pembelajaran. Data tersebut dapat diambil melalui teknik

angket aktivitas on task atau aktivitas off task.

3. Teknik Observasi

Teknik pengamatan dilaksanakan dengan menggunakan instrumen oleh

pengamat atau observer yang dilakukan pada sampel, tes tersebut dimaksudkan

untuk mengetahui kemampuan psikomotorik siswa baik sebelum maupun setelah

kegiatan pembelajaran berakhir. Adapun langkah-langkah dalam observasi ini

antara lain : guru menyiapkan instrumen pengamatan, melakukan training kepada

para pengamat/observer, karena observer tidak hanya satu, menyiapkan alat/bahan

yang diperlukan siswa, mengadakan check-up terhadap peralatan yang dipakai

siswa, baik sebelum maupun sesudah eksperimen, melakukan observasi.

F. Instrumen Penelitian

Berdasarkan variabel-variabel yang akan diteliti, selanjutnya disusun

instrumen yang relevan. Instrumen tersebut adalah :

1. Instrumen dalam pembelajaran

a. Satuan program pembelajaran merupakan urutan penyusunan pembuatan

rencana mengajar, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi prestasi

belajar.

b. Rancangan Program Pembelajaran

c. Lembar kerja siswa berarti lembaran yang berisi uraian singkat materi dan

soal-soal yang disusun langkah demi langkah secara teratur dan sistematis yang

haris dikerjakan oleh siswa dalam kegiatan pembelajaran sehingga

mempermudah pemahaman terhadap materi pelajaran yang didapat.

2. Instrumen angket untuk mengukur keaktifan siswa

Angket digunakan untuk mengetahui tingkat keaktifan siswa dalam

belajar fisika sesaat setelah diberi perlakuan pembelajaran. Isi pertanyaan dalam

angket ini adalah tentang aktivitas, perasaan, serta sikap siswa dalam mengikuti

68

pembelajaran fisika. Dalam penelitian angket yang digunakan berbentuk pilihan

ganda sebanyak lima pilihan, dimana responden tinggal memberi tanda X pada

lembar jawab yang telah disediakan.

Langkah-langkah dalam menyusun angket adalah sebagai berikut :

a. Menentukan Indikator, yaitu: kegiatan visual, kegiatan berbicara, kegiatan

mendengarkan, kegiatan menulis, kegiatan mengambar, kegiatan motorik,

kegiatan mental, dan kegiatan emosional.

b. Menyusun tabel kisi-kisi pembuatan instrumen angket.

Menjabarkan indikator ke dalam butir-butir angket dan menentukan cara

pemberian skor pada tiap item atau butir angket, yaitu a = 5, b = 4, c = 3, d = 2,

e = 1 untuk item positif; dan a = 1, b = 2, c = 3, d = 4, e = 5 untuk item negatif.

Angket sebelum disebarkan ke responden diadakan tryout. Untuk

mendapatkan angket yang berkualitas memenuhi validitas dan realibilitas.

a. Validitas Angket

Validitas angket dicari dengan rumus korelasi product moment dengan angka

kasar :

})(}{)({

))((2222 YYNXXN

YXXYNrxy

S-SS-S

SS-S=

(Suharsimi Arikunto,2002 :146)

dengan :

rxy : koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y.

N : jumlah responden.

X dan Y : variabel yang dikorelasikan.

Kriteria uji :

Jika rxy < rtab maka item angket dikatakan tidak valid

Jika rxy > rtab maka item angket dikatakan valid

Kriteria untuk menentukan validitas item angket ada dua, yakni : item

angket valid bila rXY ≥ r tabel dan item angket tidak valid bila rXY < r tabel .

Berdasarkan hasil analisis dengan rumus uji validitas terhadap 40 item angket

keaktifan siswa (lampiran 19) diperoleh keputusan ada 35 item angket yang valid,

yakni item angket nomor 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20,

69

21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40 sedangkan 5 item

angket lainnya tergolong tidak valid, yakni item angket nomor 5,18, 26, 32, 38.

b. Realibilitas Angket

Realibilitas angket dicari secara keseluruhan dengan menggunakan rumus:

÷÷ø

öççè

æ S-÷

øö

çèæ-

=2

2

11 11 i

i

nn

rss

(Suharsimi Arikunto,2002 :171)

Dimana :

r11 : reliabilitas yang dicari

2isS : jumlah varians skor tiap-tiap item.

2is : varians total.

Kriteria uji :

Jika r11 < rtab maka item angket dikatakan tidak reliabel.

Jika r11 > rtab maka item angket dikatakan reliabel.

Hasil pengukuran angket berupa skor atau angka yang diperoleh dari

variabel bebas digunakan sebagai dasar dari pengukuran untuk menjadi kategori

tinggi dan rendah. Rumus yang digunakan adalah :

f

FnpbMe

÷øö

çèæ -

+= 21

(Sudjana, 1996 :79)

Di mana :

Me = median

p = panjang kelas median

F = jumlah siswa dengan tanda kelas < tanda kelas median

b = batas bawah kelas median

n = ukuran sampel

f = frekuensi kelas median

Kriteria penggolongan :

Jika x > Me maka termasuk keaktifan kategori tinggi

Jika x < Me maka termasuk keaktifan kategori rendah

70

Kriteria untuk menentukan reliabilitas angket ada dua, yakni : angket

reliabel bila r11 ≥ rtabel dan item angket tidak reliabel bila r11 < r tabel . Berdasarkan

hasil analisis dengan rumus uji reliabilitas terhadap instrumen angket uji coba

usaha belajar Fisika siswa (lampiran 12) diperoleh r11 = 0,845 sedangkan

r tabel = 0,325 sehingga diputuskan angket reliabel.

3. Instrumen tes untuk mengukur kemampuan kognitif siswa

Untuk memperoleh data kemampuan kognitif siswa digunakan alat tes.

Tes dilakukan di akhir pembelajaran pokok bahasan Tekanan. Sebelum diteskan,

instrumen tes harus di ujicobakan terlebih dahulu. Adapun uji yang dilakukan

terhadap instrumen tersebut meliputi validitas item tes, reabilitas instrumen tes,

taraf kesukaran, dan daya pembeda.

Berikut penjelasan mengenai taraf kesukaran, daya pembeda, validitas,

dan reliabilitasnya:

1) Taraf Kesukaran

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sulit.

Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi usaha untuk

memecahkannya. Sebaliknya soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa

menjadi putus asa dan tidak mempunyai semangat untuk mencoba lagi karena di

luar jangkauannya.

Untuk mengukur derajat kesukaran soal digunakan rumus:

sJB

P =

dimana:

P : Indeks kesukaran.

B : Banyak siswa yang menjawab soal betul.

Js : Jumlah seluruh siswa peserta tes.

Menurut ketentuan indeks kesukaran sering dibuat klasifikasi sebagai

berikut:

· Soal sukar jika : 0,00 ≤ P < 0,30.

· Soal sedang jika : 0,30 ≤ P < 0,70.

· Soal mudah jika : 0,70 ≤ P ≤ 1,00.

71

(Suharsimi Arikunto, 1995 : 210- 212)

Berdasarkan hasil analisis taraf kesukaran terhadap 40 item soal uji coba

tes prestasi belajar Fisika (lampiran 18) diperoleh keputusan : item soal yang

tergolong sukar berjumlah 6 item, yakni item soal nomor 19, 27, 30, 32, 37, 38;

item soal tergolong sedang berjumlah 26 item, yakni item soal nomor 2, 5, 6, 7, 8,

9, 12, 14, 15, 16, 18, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 33, 34, 35, 36, 39, 40 dan

item soal tergolong mudah berjumlah 8 soal, yakni item soal nomor 1, 3, 4, 10,

11, 13, 17, 23.

2) Daya Pembeda

Untuk mengetahui daya pembeda dari masing-masing item soal digunakan

rumus:

BAB

B

A

A PPJ

B

J

BD -=-=

dimana:

J : Jumlah pengikut tes.

JA : Banyaknyapeserta kelompok atas.

JB : Banyaknya peserta kelompok bawah.

BA : Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan benar.

BB : Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar.

PA : Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar.

PB : Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar.

Daya pembeda (nilai D) diklasifikasikan sebagai berikut:

· Soal dengan 0,00 ≤ D < 0,20 = jelek.

· Soal dengan 0,20 ≤ D < 0,40 = cukup.

· Soal dengan 0,40 ≤ D < 0,70 = baik.

· Soal dengan 0,70 ≤ D < 1,00 = baik sekali.

Butir soal yang baik adalah butir-butir soal yang mempunyai daya pembeda D

0,20 sampai 0,70.

(Suharsimi Arikunto, 1995 : 216-221)

Berdasarkan hasil analisis daya pembeda terhadap 40 item soal uji coba tes

prestasi belajar Fisika (lampiran 18) diperoleh keputusan : item soal dengan daya

72

pembeda jelek berjumlah 5 item, yakni item soal nomor 4, 10, 17, 27, 38; item

soal dengan daya pembeda cukup berjumlah 16 item, yakni item soal nomor 1, 2,

3, 7, 8, 11, 12, 14, 21, 23, 28, 29, 30, 32, 36, 37; dan item dengan daya pembeda

baik berjumlah 19 item, yakni item soal nomor 5, 6, 9, 13, 15, 16, 18, 19, 20, 21,

24, 25, 26, 31, 33, 34, 35, 39, 40.

3) Validitas

Untuk menentukan tingkat validitas tes, digunakan teknik korelasi point

biserial, dengan rumus:

qp

S

MM

t

tppbi

-=g

(Suharsimi Arikunto, 1995: 76)

Keterangan:

pbig : koefisien korelasi biserial.

Mp : rerata skor dari subyek yang menjawab betul

Mt : rerata skor total.

St : standar deviasi dari skor total.

p : proporsi siswa yang menjawab benar pada suatu butir.

q : proporsi siswa yang menjawab salah pada suatu butir (q = 1 – p)

Kriteria nilai pbig adalah sebagai berikut:

Item tersebut valid jika harga pbig > tabelg

Dari uji validitas, item soal dikategorikan menjadi dua kriteria. Untuk item

soal valid bila pbiγ ³ tabelr dan untuk item soal invalid bila pbiγ < tabelr .

Berdasarkan hasil analisis validitas terhadap 40 item soal uji coba tes prestasi

belajar Fisika (lampiran 18) diperoleh keputusan : item soal valid berjumlah 35

item, yakni item soal nomor 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20,

21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 47, 39, 40; dan item soal

invalid berjumlah 5 item, yakni item soal nomor 4, 10, 17, 27, 38.

4) Reliabilitas

73

Pada hakikatnya uji reliabilitas untuk mengetahui sampai seberapa jauh

pengukuran yang dilakukan berulang-ulang terhadap subjek (kelompok subjek)

akan memberikan hasil yang relatif sama. Teknik yang digunakan adalah dengan

rumus KR-20, sebagai berikut:

r11 = úúû

ù

êêë

é -úûù

êëé

- 2

2

S

ΣpqS1n

n

(Suharsimi Arikunto, 1995 : 96)

Keterangan:

r11 : reliabilitas tes secara keseluruhan.

p : proporsi subjek yang menjawab item dengan benar.

q : proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q = 1 – p).

å pq : jumlah hasil perkalian antara p dan q.

n : banyaknya item.

S : standar deviasi dari tes.

Hasil perhitungan tingkat reliabilitas tersebut kemudian dikonsultasikan

dengan tabel r product moment. Apabila harga rhitung > rtabel , maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa instrumen tes reliabel. Selain itu, terdapat beberapa kriteria

nilai reliabilitas sebagai berikut :

0,8 £< 11r 1 : sangat tinggi

0,6 £< 11r 0,8 : tinggi

0,4 £< 11r 0,6 : cukup

0,2 £< 11r 0,4 : rendah

0,0 £< 11r 0,2 : sangat rendah

Berdasarkan hasil analisis reliabilitas terhadap instrumen soal uji coba tes

prestasi belajar Fisika (lampiran 18) diperoleh r11 = 0,895 dan rtabel = 0,325

sehingga diputuskan instrumen tes reliabel dengan kriteria reliabilitas tes tinggi.

74

G. Teknik Analisis Data

1. Uji Prasyarat Analisis

Untuk menguji hipotesis, sebelumnya harus dilakukan uji prasyarat

analisis, yaitu uji normalitas dan uji homogenitas.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel

berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak normal. Dalam

penelitian ini uji normalitas yang digunakan adalah metode Lilliefors. Langkah-

langkah uji normalitas adalah :

1) Pengamatan X1, X2, …Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2, ….Zn dengan rumus :

SDXX

Z i -=1 dengan X dan SD berturut-turut merupakan rerata dan simpangan

baku.

2) Data dari sampel kemudian diurutkan dari skor terendah sampai skor tertinggi.

3) Untuk tiap bilangan baku ini menggunakan daftar distribusi normal baku.

Kemudian dihitung peluang F (Zi) = P (Z< Zi)

4) Menghitung perbandingan antara nomor subyek dengan jumlah subyek n yaitu

S(Zi) = i/n.

5) Mencari selisih antara F (Zi) – S (Zi) dan ditentukan harga mutlaknya.

6) Ambil harga terbesar diantara harga mutlaknya dan disebut L0, dengan rumus:

L0 = maks êF(Z) – S(Z) |

Kriteria :

Lo < Ltabel : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

Lo > Ltabel : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal

(Sudjana, 2001 :466)

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah sampel berasal dari

populasi yang homogen atau tidak. Uji yang digunakan dalam penelitian adalah

Metode Barlett, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Hipotesis

Ho : sampel tidak berasal dari populasi tidak homogen

75

H1 : sampel berasal dari populasi homogen

2) Statistik uji :

( )å-= jjerr SfMSfc

x 22 loglog303,2

Dimana ;

x2 = harga uji Barlett

k = banyaknya sampel

f = derajat kebebasan untuk RKG ; f = N – k

fj = derajat kebebasan untuk Sj2 ; fj = nj – 1 dengan j = 1, 2,….,k

j = 1, 2, ....k

n = acah semua pengukuran

nj = cacah pengukuran pada sampel ke j

( ) ïþ

ïýü

ïî

ïíì

--

+= å ffkC

j

1113

11

RKG = Rataan Kuadrat Galat =f

SS jå

( ) ( ) 2jj

j

2j2

jj S 1nn

ΣXΣXSS -=-=

åå=

j

jerr f

SSMS

3) Daerah kritik

1;22

-³ kjxx a dimana αj = 1 – α

4) Keputusan uji

Jika 1;22

-Ð kjxx a , maka H0 diterima, berarti sampel berasal dari populasi yang

homogen.

1;22

-³ kjxx a , maka H0 ditolak, berarti sampel tidak berasal dari populasi yang

homogen.

( Budiyono, 2000 : 176 )

76

2. Uji Hipotesis

a. Uji Analisis Variansi Dua Jalan

Asumsi: Populasi-populasi berdistribusi normal, populasi-populasi

bervariansi sama, sampel dipilih secara acak, variabel terikat berskala pengukuran

interval, variabel bebas berskala pengukuran nominal.

1) Model

Xijk = µ + 1a + jb + ijab + ijke

Dengan:

Xijk : Pengamatan ke-k dibawah faktor A kategori i, faktor B kategori j.

µ : Rerata besar

1a : Efek faktor A kategori i

jb : Efek faktor A kategori j

ijab : Kombinasi efek faktor A kategori i dan faktor B kategori j

ijke : Galat yang berdistribusi normal N (0, CTE

2)

I : 1, 2, , p ; p = cacah baris

J : 1, 2, , q ; q = cacah kolom

K :1 ,2 , , n ; n = cacah pengamatan pada sel ijk

2) Notasi dan tata letak data

Analisis Variansi dua jalan 2 x 2

Tabel 3.2 Notasi dan tata letak data

Keaktifan Siswa B

A Keaktifan siswa

kategori tinggi (B1)

Keaktifan siswa

kategori rendah (B2)

Metode

eksperimen

(A1)

A1B1

A1B2

Pendekatan

konstruktivisme

Metode

demonstrasi

(A2)

A2B1

A2B2

77

3) Prosedur

a) Hipotesis

4. H01: ai - 0, Untuk semua i. Tidak ada perbedaan pengaruh penggunaan

pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan demonstrasi

terhadap prestasi siswa.

5. H11: ai ¹ 0, Untuk paling sedikit satu harga i. Ada perbedaan pengaruh

penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan

demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa.

H02: bj = 0, Untuk semua j, Tidak ada perbedaan pengaruh keaktivan siswa

terhadap prestasi belajar siswa.

H12: bj ¹ 0, Untuk semua j. Ada perbedaan pengaruh keaktivan siswa terhadap

prestasi belajar siswa.

6. H03: abij = 0, Untuk semua (i,j) Tidak ada interaksi penggunaan

pendekatan konstruktivisme melalui metode mengajar dan keaktivan siswa

terhadap prestasi belajar siswa.

7. H13: abij ¹ 0, Untuk paling sedikit satu harga (i,j) Ada interaksi penggunaan

pendekatan konstruktivisme melalui metode mengajar dan keaktivan siswa

terhadap prestasi belajar siswa.

b) Komputasi

(1) Komponen jumlah kuadrat

(a) = N

G 2

(b) = åi q

A21

(c) = åj p

B 21

(d) = åij

ijAB 2

78

Dengan :

N : Jumlah cacah pengamatan semua sel

G2 : Kuadarat jumlah rerata pengamatan semua sel

21A : Kuadarat jumlah rerata pengamatan baris ke-i

2jB

: Kuadarat jumlah rerata pengamatan baris ke-j

2ijAB : Kuadarat jumlah rerata pengamatan baris pada sel

(2) Jumlah kuadrat

Jka = nh [(3) – (1)]

Jkb = nh [(4) – (1)]

Jkab = nh [(4) – (3) – (2) – (1)]

Jkg = åij

ijSS = SS11 + SS1q + ... SSp1 + SSpq

Jk = nh {(4) – (1)} + åij

ijSS

(3) Derajat kebebasan

dba = p – 1

dbb = q – 1

db = (p – 1)(q – 1) = pq – p – q + 1

dbg = pq(n – 1) = N – pq

db = N – 1

(4) Rerata kuadrat

RK = JKa / dba

RKb = JKb / dbb

RKab = JKab / dbab

RKg = JKg / dbg

(5) Statistik Uji

Hipotesis yang diuji Nisbah

H01 : ai = 0 VS H11 : ai ¹ 0 Fa = RKa/RKg

H02 : bj = 0 VS H11 : bj ¹ 0 Fb = RKb/RKg

H12 : abij = 0 VS H11 : abij ¹ 0 Fab = RKab/RKg

79

c) Daerah kritik

Nisbah Daerah kritik

Fa {Fa /Fa > Fa ; p – 1, N – pq}

Fb {Fb / Fb > Fb ; p – 1, N – pq}

Fab {Fab / Fab > Fab ; p – 1, N – pq}

d) Keputusan uji

Ho ditolak jika harga statistik ujinya melebihi daerah kritiknya.

Harga kritik tersebut diperoleh dari tabel distribusi F pada tingkat signifikasi.

e) Rangkuman analisis

Tabel 3.3 Rangkuman Analisis Variansi Dua Frekuensi Sel Tak Sama

Sumber

Variansi

JK Db Statistik uji P

Baris (A) JKa p-1 Fa

Baris (B) JKb q-1 Fb

Interaksi JKab (p-l)(q-l) Fab <a atau > a

(AB) JKg

Galat JKt N-pq - -

Total N-1 - -

(Nonoh Siti Aminah, 2004:34)

b. Uji Lanjut Anava

Jika hipotesis-hipotesis tersebut ditolak maka akan dilakukan uji lanjut

Anava untuk mengetahui perbedaan rerata setiap pasangan baris, setiap pasangan

kolom dan setiap pasangan sel.

Dalam penelitian ini uji lanjut Anava dilakukan dengan komperasi ganda

dengan menggunakan metode Scheffe.

Langkah-langkah penggunaan metode Scheffe adalah sebagai berikut:

i. Mengindentifikasi semua pasangan komparasi ganda.

ii. Merumuskan hipotesis yang bersesuaian dengan komperasi tersebut.

iii. Mencari harga statistik uji F dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

80

(a) Untuk komperasi rerata antar baris ke-i

Fi – j = ( )

÷øö

çèæ +

-

jierror

ji

nnMS

xx

11

2

(b) Untuk komperasi rerata antar kolom ke-j

Fi – j = ( )

÷øö

çèæ +

-

jierror

ji

nnMS

xx

11

2

(c) Untuk komperasi rerata antar kolom sel ij dan sel kl

Fi – j = ( )

÷øö

çèæ +

-

klijerror

klij

nnMS

xx

11

2

iv. Menggunakan tingkat signifikan (a)

v. Menentukan daerah kritik (DK) dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

DKi-j = {Fi-j / Fi-j > (p – 1) Fa ; p – 1, N – pq}

DKi-j = {Fi-j / Fi-j > (p – 1) Fb ; p – 1, N – pq}

DKij-kl = {Fij-kl / Fij-kl > Fa ; (p – 1)(q – 1) N – pq}

vi. Menentukan uji (beda rerata) untuk setiap pasangan komperasi rerata.

vii. Menyusun rangkuman analisis (komperasi ganda).

(Budiyono, 2002:20)

1

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel

terikat. Variabel bebasnya adalah Metode pembelajaran Fisika dan keaktifan

siswa. Sedangkan yang menjadi variabel terikatnya adalah kemampuan kognitif

siswa pada pokok bahasan tekanan.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri atas data nilai keadaan

awal siswa, data tentang tingkat keaktifan siswa dan data nilai hasil belajar siswa

pada pokok bahasa Tekanan di SMP.

1. Data Keadaan Awal Siswa

Berdasarkan data yang terkumpul mengenai keadaan awal Fisika siswa

untuk kelompok eksperimen diperoleh nilai terendah 45 dan nilai tertinggi 80.

Nilai rata-rata dan simpangan bakunya adalah 63,7500 dan 8,9922 . Untuk lebih

jelasnya mengenai diskripsi frekuensi keadaan awal Fisika siswa dapat dilihat

pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Fisika Siswa Kelas Eksperimen dan

Kelas Kontrol

Frekuensi Kelas

Eksperimen

Frekuensi Kelas

Kontrol No Interval

Kelas

Titik

Tengah Mutlak Relatif Mutlak Relatif

1 45-50 47,5 3 7,50% 5 12,50% 2 51-56 53,5 5 12,50% 6 15,00% 3 57-62 59,5 9 22,50% 7 17,50% 4 63-68 65,5 12 30,00% 11 27,50% 5 69-74 71,5 6 15,00% 6 15,00% 6 75-80 77,5 5 12,50% 5 12,50%

Jumlah 40 100% 40 100%

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas berikut ini histogram

distribusi frekuensi kemampuan awal siswa kelas eksperimen pada gambar 4.1.

2

Gambar 4.1 Histogram Distribusi Frekuensi Kemampuan Awal

Siswa Kelas Eksperimen

Sedangkan untuk kelas kontrol diperoleh nilai terendah 45 dan nilai

tertinggi 80. Nilai rata-rata dan simpangan bakunya adalah 62,7250 dan 9,2874.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.2.

Gambar 4.2 Histogram Distribusi Frekuensi Kemampuan Awal

Siswa Kelas Kontrol

2. Data Kemampuan Kognitif Siswa

Kemampuan kognitif siswa dalam penelitian digunakan sebagai prestasi

akhir, dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini :

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Siswa

Uraian Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

3

Sampel 40 40

Rentang 57-86 54-83

Rata-rata 72,8750 67,1750

Standar Deviasi 7,3282 7,4314

Hasil perhitungan untuk masing-masing kelas dapat dilihat pada (lampiran

25 dan 26). Untuk melengkapi deskripsi data tersebut disajikan distribusi

frekuensi kemampuan kognitif siswa pada tabel 4.3 dan 4.4.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Siswa Kelas Eksperimen.

Frekuensi No. Interval Kelas Titik Tengah Mutlak Relatif 1 57-61 59 3 7,50% 2 62-66 64 5 12,50% 3 67-71 69 11 27,50% 4 72-76 74 8 20,00% 5 77-81 79 7 17,50% 6 82-86 84 6 15,00%

Jumlah 40 100%

Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini

disajikan histogram distribusi frekuensi kemampuan kognitif siswa kelas

eksperimen pada gambar 4.4.

Gambar 4.3 Histogram Distribusi Frekuensi Kemampuan

Kognitif Siswa Kelas Eksperimen

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Siswa Kelas Kontrol.

No. Interval Kelas Titik Tengah Frekuensi

4

Mutlak Relatif 1 54-58 56 6 15,00% 2 59-63 61 7 17,50% 3 64-68 66 8 20,00% 4 69-73 71 10 25,00% 5 74-78 76 6 15,00% 6 79-83 81 3 7,50%

Jumlah 40 100%

Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini

disajikan histogram distribusi frekuensi kemampuan kognitif siswa kelas kotrol

pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 Histogram Distribusi Frekuensi Kemampuan

Kognitif Siswa Kelas Kontrol

3. Data Keaktifan Siswa

Keaktifan siswa kelas eksperimen memiliki rentang 93 sampai 143, rata-

ratanya adalah 120,1750 dan standar deviasinya adalah 12,7418. Keatifan siswa

kelas kontrol memiliki rentang 90 sampai 142, rata-ratanya adalah 116,500 dan

standar deviasinya 13,3378. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 18

halaman 135.

Distribusi frekuensi data keaktifan siswa pada kelas eksperimen dan kelas

kontrol disajikan pada tabel 4.6 dan 4.7. Histogram data keaktifan siswa pada

kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada gambar 4.6 dan gambar 4.7.

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Keaktifan Siswa Kelas Eksperimen.

5

Frekuensi No. Interval Kelas Titik Tengah Mutlak Relatif 1 93-101 97 3 7,50% 2 102-110 106 7 17,50% 3 111-119 115 8 20,00% 4 120-128 124 10 25,00% 5 129-137 133 9 22,50% 6 138-146 142 3 7,50%

Jumlah 40 100%

Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini

disajikan histogram distribusi frekuensi keaktifan siswa kelas eksperimen pada

gambar 4.5.

Gambar 4.5 Histogram Distribusi Frekuensi Keaktifan

Siswa Kelas Eksperimen

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Keaktifan Siswa Kelas Kontrol.

Frekuensi No. Interval Kelas Titik Tengah Mutlak Relatif 1 90-98 94 4 10,00% 2 99-107 103 7 17,50% 3 108-116 112 8 20,00% 4 117-125 121 10 25,00% 5 126-134 130 7 17,50% 6 135-143 139 4 10,00%

Jumlah 40 100%

6

Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini

disajikan histogram distribusi frekuensi keaktifan siswa kelas kontrol pada

gambar 4.6.

Gambar 4.6 Histogram Distribusi Frekuensi Keaktifan

Siswa Kelas Kontrol

B. Uji Prasyarat Analisis

Uji Kesamaan Keadaan Awal dilakukan sebelum melakukan uji prasyrat

analisis dengan menggunakan Uji-t dua pihak. Uji-t dua pihak digunakan untuk

mengetahui kesamaan keadaan awal antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Hasil uji-t dua pihak diperoleh nilai thit = 0,501 , sedangkan ttab untuk uji-t dua

pihak pada taraf signifikansi 5% dengan db = (40+40-2) = 78 sebesar 2,00.

Sehingga - ttabel < thitung < ttabel = -2,00 < 0,501 < 2,00, maka H0 diterima. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan keadaan awal antara

siswa kelas eksperimen dengan siswa kelas kontrol. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat lampiran 24 halaman 144.

Untuk memenuhi syarat pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis

variansi maka perlu dilakukan beberapa uji prasyarat, yang meliputi uji

normalitas dan uji homogenitas. Berikut ini merupakan hasil-hasil dari kedua uji

prasyarat analisis tersebut.

1. Uji Normalitas

7

Hasil uji normalitas kemampuan awal siswa kelas eksperimen dan kelas

kontrol dengan taraf signifikansi 5% dapat dilihat pada tabel 4.8.

Tabel 4.8 Rangkuman Hasil Uji Normalitas Keadaan Awal Fisika Siswa Kelas

Eksperimen dan Kelas Kontrol

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

n 40 40

L0bs 0,0889 0,0824

Ltab 0,1401 0,1401

Dari tabel di atas diketahui bahwa untuk kelas eksperimen didapatkan

L0bs(0,0889) < Ltabel (0,1401), maka dapat disimpulkan bahwa sampel kelas eksperimen

berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk kelas kontrol juga

didapatkan L0bs(0,0824) < Ltabel (0,1401), maka dapat disimpulkan bahwa sampel kelas

kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat lampiran 21 halaman 138 dan lampiran 22 halaman 140.

Hasil uji normalitas kemampuan kognitif Fisika siswa kelas eksperimen

dan kelas kontrol dengan taraf signifikansi 5% dapat dilihat pada tabel 4.9

Tabel 4.9 Rangkuman Hasil Uji Normalitas Kemampuan Kognitif Fisika Siswa

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

n 40 40

L0bs 0,1154 0,0886

Ltab 0,1401 0,1401

Dari tabel di atas diketahui bahwa untuk kelas eksperimen didapatkan L0bs

< Ltabel, maka dapat disimpulkan bahwa data kemampuan kognitif siswa kelas

eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk kelas kontrol

juga didapatkan L0bs < Ltabel, maka dapat disimpulkan bahwa data kemampuan

kognitif siswa kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat lampiran 25 halaman 146 dan lampiran 26

halaman 147.

8

2. Uji Homogenitas

Dalam penelitian ini, uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan

uji Bartlett. Uji statistik ini bertujuan untuk mengetahui apakah sampel berasal

dari populasi yang homogen atau tidak. Hasil uji homogenitas terhadap data usaha

belajar Fisika dan prestasi belajar Fisika siswa adalah sebagai berikut.

a) Uji homogenitas terhadap data keadaan awal siswa kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol menunjukkan =2χ 0,04< = χ 21 0,95; 3,84, sehingga sampel

berasal dari populasi yang homogen. (lampiran 26).

b) Uji homogenitas terhadap data prestasi belajar Fisika pada siswa kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan =2χ 0,08 < = χ 21 0,95; 3,84,

sehingga sampel berasal dari populasi yang homogen.

C. Pengujian Hipotesis

1. Uji Hipotesis dengan Anava Dua Jalan

Dalam penelitian ini ada 3 hipotesis yang diajukan sebagaimana telah

diuraikan pada Bab II. Ketiga hipotesis tersebut diuji dengan analisis variansi dua

jalan. Adapun pengujian hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:

Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat rangkuman analisis variansi yang telah

dilakukan pada tabel 4.10.

Tabel 4.10 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan

Sumber Variansi JK dk RK Fhitung Ftabel p

Efek Utama

A (Baris) 331,48435 1 331,48435 9,3204 3,97 < 0,05

B (Kolom) 1545,12977 1 1545,12977 43,4448 3,97 < 0,05

Interaksi (AB) 0,01493 1 0,01493 0,00042 3,97 > 0,05

Galat 2702,96601 76 35,56534

Total 4579,59505 79

Keterangan: Analisis lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 28 halaman 150

9

Dari hasil analisis dan tabel rangkuman analisis variansi di atas dapat

terlihat bahwa H0A dan H0B ditolak tetapi H0AB diterima. Keputusan ini diperoleh

dari hasil FHitung dikonfirmasikan terhadap FTabel sebagai berikut:

a. Uji Hipotesis Pertama

H0A = Tidak ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan

konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap

prestasi belajar siswa.

H1A = Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan

konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap

prestasi belajar siswa.

Setelah dianalisis pendekatan konstruktivisme sebagai variabel bebas dan

prestasi belajar siswa sebagai variabel terikat, diperoleh harga FA = 9,3204 nilai

tersebut kemudian dikonsultasikan dengan harga table sehingga F0,05;1,76 = 3,97

karena FA > Ftab, maka H0A ditolak dan H1A diterima. Berarti hipotesis yang

berbunyi “Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan

konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap

prestasi belajar siswa diterima.

b. Uji Hipotesis Kedua

H0B = Tidak ada perbedaan pengaruh keaktifan siswa kategori tinggi dan

keaktifan siswa kategori rendah terhadap prestasi belajar siswa.

H1B = Ada perbedaan pengaruh keaktifan siswa kategori tinggi dan keaktifan

siswa kategori rendah terhadap prestasi belajar siswa.

Setelah dianalisis prestapendekatan konstruktivisme sebagai variabel

bebas dan prestasi belajar siswa sebagai variable terikat, diperoleh harga FB =

43,4448 nilai tersebut kemudian dikonsultasikan dengan harga tabel sehingga

F0,05;1,76 = 3,97 karena FB > Ftab, mka H0B ditolak dan H1B diterima. Berarti

hipotesis yang berbunyi” Ada perbedaan pengaruh antara keaktifan siswa kategori

tinggi dan keaktifan siswa kategori rendah terhadap prestasi belajar siswa

diterima.

c. Uji Hipotesis Ketiga

10

H0AB = Tidak ada interaksi pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme

dengan keaktifan siswa terhadap prestasi belajar siswa.

H1AB = Ada interaksi interaksi pengaruh penggunaan pendekatan

konstruktivisme dengan keaktifan siswa terhadap prestasi belajar siswa.

Setelah dianalisis pendekatan konstruktivisme sebagai variabel bebas dan

prestasi belajar siswa sebagai variabel terikat, diperoleh harga FAB = 0,00042

nilai tersebut kemudian dikonsultasikan dengan harga tabel sehingga F0,05;1,76 =

3,97 karena FAB < Ftab, maka H0AB diterima dan H1AB ditolak. Berarti hipotesis

yang berbunyi” Tidak ada interaksi pengaruh penggunaan pendekatan

konstruktivisme dengan keaktifan siswa terhadap prestasi belajar siswa

diterima.

2. Uji Lanjut Anava

Dari hasil analisis statistik anava dilanjutkan dengan uji komparasi ganda.

Uji komparasi ganda menggunakan metode Scheffe. Selanjutnya data yang telah

dihitung terangkum dalam tabulasi sebagai berikut :

Tabel 4.11 Rangkuman Komparasi Rerata Pasca Analisis Variansi

Rerata Statistik Uji Komparasi

Ganda 1 2 ( )F

Harga Kritik

P Kesimpulan

mA1 vs mA2 72,87500 67,17500 18,271 3,97 < 0,05 mA1 >mA2

mB1 vs mB2 74,73171 65,07692 52,386 3,97 < 0,05 mB1 > mB2

Keputusan uji:

Berdasarkan tabel 4.11 dapat disimpulkan hasil uji coba rerata yaitu:

a. FA12 = 18,271 > F0.05;1,76 = 3,97 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa

ada perbedaan rerata yang signifikan antara baris A1 (pendekatan

konstruktivisme dengan metode eksperimen) dan baris A2 (pendekatan

konstruktivisme dengan metode demonstrasi) terhadap prestasi belajar siswa.

b. FB12 = 52,386 > F0.05;1,76 = 3,97 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa

ada perbedaan rerata yang signifikan antara kolom B1 (keaktifan siswa

11

kategori tinggi) dengan kolom B2 (keaktifan siswa kategori rendah) terhadap

prestasi belajar siswa.

Dari keputusan uji dapat disimpulkan bahwa:

1) Komparasi Rerata Antar Baris

Harga, FA12 = 18,271 > F0.05; 1.76 = 3,97 berarti: Ada perbedaan pengaruh

yang signifikan antara penggunaan pendekatan konstruktivisme dengan metode

eksperimen dan metode demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa. Rerata

kemampuan kognitif siswa pada pembelajaran Fisika dengan pendekatan

konstruktivisme dengan metode eksperimen berupa chart X A1= 72,87500 dan

berupa pendekatan konstruktivisme dengan metode demonstrasi X A2 = 67,17500.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: siswa yang menggunakan

pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen memiliki prestasi belajar

yang lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pendekatan konstruktivisme

dengan metode demonstrasi.

2) Komparasi Rerata Antar Kolom

Harga, FB12 = 52,386 > F0.05; 1.76 = 3,97 berarti: Ada perbedaan pengaruh

yang signifikan antara keaktifan siswa kategori tinggi dan rendah terhadap

prestasi belajar siswa. Rerata kemampuan kognitif siswa pada pembelajaran

Fisika yang mempunyai keadaan awal siswa tinggi X A1 = 74,73171 dan rendah

X A2 = 65,07692. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: siswa yang

memiliki keaktifan siswa kategori tinggi memiliki prestasi belajar lebih baik

daripada siswa yang memiliki keaktifan siswa kategori rendah.

Adapun perhitungan secara lengkapnya bisa dilihat pada lampiran 29 halaman

156.

D. Pembahasan Hasil Analisis Data

1. Uji Hipotesis Pertama

Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa: Ada perbedaan

pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode

eksperimen dan metode demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa. Dari uji

lanjut anava menunjukkan bahwa siswa yang dalam proses pembelajarannya

12

menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen memiliki

prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa yang menggunakan pendekatan

konstruktivisme melalui metode demonstrasi.

2. Uji Hipotesis Kedua

Berdasarkan hasil analisis data maka dapat diketahui bahwa: Ada

perbedaan pengaruh antara keaktifan siswa kategori tinggi dan keaktifan siswa

kategori rendah terhadap prestasi belajar siswa. Dari uji lanjut anava menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan antara keaktifan siswa kategori

tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar siswa. Siswa yang memiliki keaktifan

tinggi cenderung lebih aktif dalam mengikuti pelajaran sehingga lebih banyak

menerima dan menyerap materi yang diajarkan, sedangkan untuk siswa yang

memiliki keaktifan rendah kurang aktif dalam mengikuti palajaran sehingga

kurang menerima dan menyerap materi yang diajarkan.

3. Uji Hipotesis Ketiga

Berdasarkan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bahwa: Tidak ada

interaksi pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme dan keaktifan

siswa terhadap prestasi belajar siswa. Antara penggunaan pendekatan

konstruktivisme dan keaktifan siswa memberikan pengaruh sendiri-sendiri

terhadap prestasi belajar siswa. Tidak adanya interaksi antara pengaruh tersebut

terjadi karena siswa yang memiliki keaktifan kategori tinggi dapat memperoleh

prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki

keaktifan kategori rendah walaupun digunakan metode eksperimen maupun

metode demonstrasi dalam pembelajaran Fisika dengan pendekatan

konstruktivisme.

E. Keterbatasan Penelitian

13

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, terdapat berbagai

keterbatasan antara lain sebagai berikut:

1. Waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian singkat.

2. Bocornya soal untuk tryout dan soal untuk uji coba tes prestasi belajar

3. Letak kelas yang berjauhan

4. Kompetensi antar kelompok cukup tinggi

5. Pada waktu melakukan tryout dan uji coba tes prestasi belajar menggunakan

sekolahan yang sama.

6. Keterbatasan alat yang dimiliki oleh sekolah sehingga mengakibatkan proses

belajar mengajar yang kurang maksimal.

14

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut bahwa pada pembelajaran fisika:

1. Terdapat perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme

melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap kemampuan

kognitif siswa.

2. Terdapat perbedaan pengaruh antara keaktifan siswa kategori tinggi dan

keaktifan siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif siswa

3. Tidak terdapat interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan

konstruktivisme dengan keaktifan siswa terhadap kemampuan kognitif

siswa.

B. Implikasi Hasil Penelitian

Berdasarkan kesimpulan, maka dapat dikemukakan implikasi sebagai

berikut:

1. Penggunaan pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen

mempunyai pengaruh yang lebih baik terhadap kemampuan kognitif siswa

bila dibandingkan dengan pendekatan konstruktivisme dengan metode

demonstrasi.

2. Keaktifan siswa kategori tinggi mempunyai pengaruh yang lebih baik

terhadap kemampuan kognitif siswa bila dibandingkan dengan keaktifan siswa

kategori rendah.

3. Guru diharapkan dapat mengikutsertakan peran aktif siswa dalam proses

pembelajaran Fisika di sekolah dan memberikan siswa bahan-bahan

pembelajaran Fisika yang membantu siswa memahami pelajaran Fisika

4. Peneliti lain yang akan melakukan penelitian berikutnya harus menggunakan

pemilihan metode pembelajaran yang secara optimal menunjang seluruh

15

keterlibatan siswa agar mengembangkan aspek atau jenis keterampilan proses

yang beragam, misalnya metode eksperimen atau metode inkuiri dan dengan

tinjauan yang berbeda misalnya karakteristik belajar siswa atau gaya belajar

siswa.

C. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi, maka peneliti memberikan saran

sebagai berikut:

1. Pada pembelajaran fisika diharapkan lebih memperhatikan pendekatan dan

metode pembelajaran yang digunakan untuk tercapainya tujuan pembelajaran

yang efektif.

2. Kepada guru pelajaran Fisika di sekolah agar mengikutsertakan peran aktif

siswa dalam proses pembelajaran Fisika dan mengupayakan tersedianya

bahan-bahan pembelajaran Fisika yang dapat membantu siswa untuk berusaha

belajar memahami pelajaran Fisika dengan baik.

16

DAFTAR PUSTAKA

Budiyono. 2000. Statistika Dasar Untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press.

Budiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University

Press

Dies Hindrawibawa. Wisnubrata. Komparasi Pembelajaran Konsep Transportasi

Hewan Dengan Pendekatan Investigasi Kelompok Berbasis Komputer dan

Lembar Kegiatan Siswa Terhadap Nilai Ulangan Harian Ditinjau Dari

Aktivitas Belajar (Studi Kasus Pada Siswa Kelas X1 IA Semester Gasal

SMA N 9 Semarang Tahun Pelajaran 2008-2009 ). Ungaran

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003. Pedoman Khusus

Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Fisika.

DepDikNas: Jakarta

Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran . Jakarta : Rineka Cipta

Herbert Druxes, Gernot Born, Fritz Siemsen.1986.Kompendium Didaktik

Fisika.Alih Bahasa oleh Soeparmo. Bandung : Remadja Karya CV

Lee. S. Shulman. 1986. Education researcher is currently published by American

Educational research Assosiation, Vol. 15, No. 2 pp 4-14

Sunyono. Modul Penelitian Tindakan Kelas.

http://idb4.wikispaces.com/file/view/ss4005.pdf

Muhibbin Syah. 1995. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung :

Remaja Rosdakarya

Nana Sudjana. 1991. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Nana Sudjana. 1996. Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar.

Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Ngalim Purwanto. 1992. Prinsip-prinsip Dan Teknik Evaluasi Pengajaran.

Bandung: Rosdakarya.

Nonoh Siti Aminah. 2004. Penggunaan Anava Pada Penelitian Pembelajaran.

Surakarta: Sebelas Maret University Press

Oemar Hamalik. 1992. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru

17

Ratna Wilis Dahar.1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga

Richard Dunne dan Ted Wrag. 1996. Pembelajaran Efektif (diterjemahkan oleh :

Anwar Jasin). Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Rini Budiharti. 1998. Strategi Belajar mengajar. Surakarta: UNS Press.

Roestiyah. N. K. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Sardiman, A.M. 1991. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:

Rajawali.

Soekartawi.1995. Meningkatkan Efektifitas Mengajar. Jakarta : PT Dunia Pustaka

Jaya.

Stevan von Aufscnaiter. Cognitive Development Whithin a Three-Dimentional

Space of Content and Time. University of Bremen, institute of physics

Education, PF 330440, 28334 Bremen, Germany; e-mail

[email protected]

Suhaenah Suparno, A. 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Nasional.

Suharsimi Arikunto. 1995. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta : Bumi

Aksara.

Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta

Tim Abdi Guru.2004. Sains Fisika Untuk SMP. Jakarta: Erlangga

Widha Sunarno. 2007. “Pembelajaran Fisika dengan Pendekatan Keterampilan

Proses Melalui Metode Inkuiri Terbimbing dan Eksperimen Ditinjau

Dari Kemampuan Awal Siswa”. Jurnal SAINMAT. Volume I No. 9 Maret

2007

Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia

18