18
PENGENDALIAN HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE BERDASARKAN EKOLOGI: STRATEGI DAN IMPLEMENTASI 1) Elna Karmawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jalan Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111 Telp. (0251) 8313083, Faks. (0251) 8336194, E-mail: [email protected] Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2), 2010: 102-119 1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 19 De- sember 2007 di Bogor. PENDAHULUAN Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan komoditas ekspor yang memi- liki nilai jual cukup tinggi dan relatif stabil dibanding komoditas ekspor Indonesia lainnya. Walaupun nilai ekspor gelondong mete pernah mengalami penurunan pada tahun 2000 dan 2001, nilai ini melonjak kembali pada tahun 2002 dan 2003, dan pada akhir 2006 nilainya mencapai US$ 409.081.000 dengan volume 494.471 M ton (BPEN 2007). Harga jual dalam negeri pun cukup tinggi, berkisar antara Rp37.500- Rp47.000/kg (Direktorat Jenderal Perke- bunan 2006a). Kondisi gelondong mete Indonesia da- lam perdagangan mete internasional masih jauh di bawah negara produsen gelondong lainnya seperti Tanzania, yaitu hanya sekitar 10,1%. Negara tujuan ekspor utama gelondong mete Indonesia adalah India dan hanya memenuhi 45% dari kebutuhan untuk pengolahan mete (Direktorat Jen- deral Perkebunan 2006b), serta India memiliki kebijakan melarang impor kacang mete agar industrinya berjalan sepanjang tahun (Indrawanto et al. 2001). Tujuan ekspor kacang mete India terkonsentrasi ke Amerika Serikat (48%) dan Eropa (28%). Kekuatan monopoli India dan posisi tawar Amerika Serikat yang cukup kuat dalam perdagangan mete membuat Indonesia sulit menembus pasar dunia dan harus memiliki daya saing yang tinggi melalui kesatuan kinerja dari lima subsistem agribisnis (Indrawanto et al. 2003). Permasalahan utama pada usaha tani jambu mete Indonesia adalah produktivitas dan mutu kacang mete yang masih rendah sehingga harganya pun lebih rendah dibandingkan kacang mete dari negara lain (Ferry et al. 2001). Areal pengembangan jambu mete cukup luas dengan penghasil utama saat ini adalah Nusa Tenggara Timur dengan luas areal 147.093 ha, diikuti oleh Sulawesi Tenggara dengan luas 121.135 ha, Sulawesi Selatan 80.130 ha, Jawa Timur 57.733 ha, Nusa Tenggara Barat 55.698 ha, dan Jawa Tengah 30.423 ha, dengan luas keseluruhan mencapai 595.111 ha (Direk- torat Jenderal Perkebunan 2006a). Organisme pengganggu tumbuhan yang utama pada tanaman jambu mete adalah hama. Serangan hama menyebab- kan kematian tanaman serta produktivitas dan mutu biji rendah. Jenis dan luas se- rangan hama utama bervariasi pada tiap sentra jambu mete. Di lima sentra produksi

PENGENDALIAN HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE

  • Upload
    lyhuong

  • View
    243

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

102 Elna Karmawati

PENGENDALIAN HAMA Helopeltis spp. PADAJAMBU METE BERDASARKAN EKOLOGI:

STRATEGI DAN IMPLEMENTASI1)

Elna Karmawati

Pusat Penelitian dan Pengembangan PerkebunanJalan Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111

Telp. (0251) 8313083, Faks. (0251) 8336194, E-mail: [email protected]

Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2), 2010: 102-119

1) Naskah disarikan dari bahan Orasi ProfesorRiset yang disampaikan pada tanggal 19 De-sember 2007 di Bogor.

PENDAHULUAN

Jambu mete (Anacardium occidentale L.)merupakan komoditas ekspor yang memi-liki nilai jual cukup tinggi dan relatif stabildibanding komoditas ekspor Indonesialainnya. Walaupun nilai ekspor gelondongmete pernah mengalami penurunan padatahun 2000 dan 2001, nilai ini melonjakkembali pada tahun 2002 dan 2003, danpada akhir 2006 nilainya mencapai US$409.081.000 dengan volume 494.471 M ton(BPEN 2007). Harga jual dalam negeri puncukup tinggi, berkisar antara Rp37.500-Rp47.000/kg (Direktorat Jenderal Perke-bunan 2006a).

Kondisi gelondong mete Indonesia da-lam perdagangan mete internasional masihjauh di bawah negara produsen gelondonglainnya seperti Tanzania, yaitu hanyasekitar 10,1%. Negara tujuan ekspor utamagelondong mete Indonesia adalah Indiadan hanya memenuhi 45% dari kebutuhanuntuk pengolahan mete (Direktorat Jen-deral Perkebunan 2006b), serta Indiamemiliki kebijakan melarang impor kacangmete agar industrinya berjalan sepanjang

tahun (Indrawanto et al. 2001). Tujuanekspor kacang mete India terkonsentrasike Amerika Serikat (48%) dan Eropa (28%).Kekuatan monopoli India dan posisi tawarAmerika Serikat yang cukup kuat dalamperdagangan mete membuat Indonesiasulit menembus pasar dunia dan harusmemiliki daya saing yang tinggi melaluikesatuan kinerja dari lima subsistemagribisnis (Indrawanto et al. 2003).

Permasalahan utama pada usaha tanijambu mete Indonesia adalah produktivitasdan mutu kacang mete yang masih rendahsehingga harganya pun lebih rendahdibandingkan kacang mete dari negara lain(Ferry et al. 2001). Areal pengembanganjambu mete cukup luas dengan penghasilutama saat ini adalah Nusa Tenggara Timurdengan luas areal 147.093 ha, diikuti olehSulawesi Tenggara dengan luas 121.135 ha,Sulawesi Selatan 80.130 ha, Jawa Timur57.733 ha, Nusa Tenggara Barat 55.698 ha,dan Jawa Tengah 30.423 ha, dengan luaskeseluruhan mencapai 595.111 ha (Direk-torat Jenderal Perkebunan 2006a).

Organisme pengganggu tumbuhanyang utama pada tanaman jambu meteadalah hama. Serangan hama menyebab-kan kematian tanaman serta produktivitasdan mutu biji rendah. Jenis dan luas se-rangan hama utama bervariasi pada tiapsentra jambu mete. Di lima sentra produksi

Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete ... 103

utama, serangan Helopeltis spp. mencapailuas paling tinggi saat ini. Hama pentingkedua pada jambu mete berbeda di masing-masing provinsi, yaitu Sanurus indecoradi Nusa Tenggara Barat, Thrips sp. di NusaTenggara Timur, rayap di Sulawesi Selatan,dan Cricula sp. di Yogyakarta (DirektoratPerlindungan Tanaman Perkebunan 2006).Berbeda dengan hama-hama jambu metelainnya yang muncul di setiap sentra pro-duksi walaupun hanya sedikit, S. indecoramerupakan hama baru dan hanya dite-mukan di Lombok.

Berdasarkan fenomena yang ditemu-kan di alam, diketahui bahwa kelimpahanpopulasi serangga beserta sebarannyaberbeda dari satu tempat ke tempat lainnyaatau dari satu waktu ke waktu berikutnya.Artinya, kelimpahan populasi seranggatersebut tidak akan punah atau terusmenurun sampai populasi menghilang.Banyak faktor yang memengaruhi kese-imbangan populasi hama di alam sertasangat kompleks dan setiap ahli memilikipendapat yang berbeda (Karmawati 1983).Namun secara umum, faktor tersebut dapatdikelompokkan menjadi faktor biotik danabiotik (Krebs 1978).

Mempelajari kelimpahan hama dansebarannya berarti mempelajari satu unitekologi. Transley (1935) dan Rowe (1961)menyatakan bahwa unit dasar dari ekologiadalah ekosistem, komunitas biotik, danlingkungan abiotik. Apabila kelimpahanpopulasi hama terus meningkat, berarti adaindikasi satu atau beberapa faktor tidakberfungsi untuk mengendalikan hama,atau ada input dari luar yang menekanbekerjanya salah satu faktor tersebut. Olehkarena itu, memerhatikan faktor-faktordalam ekosistem merupakan keharusan.

Hubungan antarfaktor dalam ekosistemtelah banyak dipelajari dan diaplikasikanpada tanaman perkebunan. Ternyata ada

lebih dari satu faktor yang memengaruhifluktuasi populasi hama, seperti pada lada(Karmawati et al. 1990), jahe (Karmawatiet al. 1992; Karmawati dan Kristina 1993),dan jambu mete (Karmawati 1998; Kar-mawati et al. 1999a; Karmawati 2006).

Dalam perencanaan perlindungan ta-naman melalui studi ekologi sering diper-lukan pendugaan populasi hama denganketepatan dan ketelitian yang tinggi.Metode pendugaan populasi melalui pena-rikan contoh sangat berkaitan dengansebaran populasi hama pada suatu perta-naman. Hal ini telah dibuktikan padakedelai, kapas, lada, dan jambu mete (Kar-mawati dan Tengkano 1986; Karmawati1988a; Karmawati et al. 1988b; Karmawatiet al.1998). Hasil yang dicapai padatanaman perkebunan mengenai atribut-atribut ekologi ini memberikan peluangdalam mengembangkan pengendalianhama Helopeltis spp. pada jambu mete ber-dasarkan ekologi, mengingat luas seranganhama tersebut di sentra produksi makinmeningkat.

DINAMIKA PERKEMBANGAN DANEKONOMI HAMA JAMBU METE

Perkembangan HamaJambu Mete

Hama merupakan salah satu kendala pro-duksi pada tanaman jambu mete di Indo-nesia. Serangan hama terjadi sejak tanamandi pembibitan sampai berproduksi, bahkandi gudang penyimpanan hasil. Sebarandan kerusakan yang ditimbulkan oleh hamajambu mete belum tercatat dengan baikkarena semula tanaman tersebut hanyauntuk konservasi, tanaman pekaranganatau tanaman sela. Namun dalam 15 tahunterakhir, karena jambu mete mulai ditanam

104 Elna Karmawati

secara monokultur pada areal yang luas,masalah hama menjadi penting untuk di-perhatikan.

Hama utama pada jambu mete meng-alami perubahan dalam 10 tahun terakhirakibat perubahan ekosistem atau ling-kungan dan perilaku manusia (Rauf 2004).Hasil pengamatan di delapan provinsi pe-ngembangan menunjukkan, minimal adadelapan jenis hama yang ditemukan,namun hanya dua jenis yang merusak danmerugikan, yaitu Cricula trifenestrata(Saturniidae: Lepidotera) dan Helopeltisantonii Sign (Heteroptera: Miridae) (Wi-kardi et al. 1996). Beberapa tahun setelahitu, C. trifenestrata tidak lagi menjadi hamautama karena petani melaksanakan pe-ngendalian secara mekanis dengan memu-ngut setiap kepompong hama tersebutpada tanaman jambu mete. Petani mendapatimbalan sesuai dengan jumlah kepompongyang diperoleh. Kepompong dimanfaatkansebagai campuran dalam pembuatan kainsutera.

Luas serangan Helopeltis spp. mening-kat secara signifikan di beberapa sentraproduksi dalam 5 tahun terakhir. Pada akhirtahun 2006, luas serangan Helopeltis diNusa Tenggara Barat mencapai 5.847,29 ha,Nusa Tenggara Timur 3.837,97 ha, Sula-wesi Selatan 1.045,25 ha, dan DI Yogya-karta 84,75 ha (Direktorat PerlindunganTanaman Perkebunan 2006).

Lonjakan populasi Helopeltis spp. tidakakan terjadi jika musuh alaminya bekerjadengan baik. Hal ini karena hasil penga-matan menunjukkan bahwa bila seranggayang ditemukan dikelompokkan berdasar-kan peran utamanya dalam ekosistem,proporsi yang diperoleh adalah 33% hamautama dan potensial, 52% musuh alami, dan15 % serangga penyerbuk (Supriadi et al.2002; Siswanto et al. 2003b). Dengan de-mikian, jenis serangga berguna lebih ba-

nyak dibandingkan dengan serangga yangmerugikan. Serangga parasitoid, predator,dan penyerbuk umumnya berasal dari ordoDiptera dan Hymenoptera.

Berdasarkan jenis dan rentang tanamaninangnya, ditemukan sembilan spesies ha-ma yang menyerang tanaman perkebunan,seperti kopi, kakao, dan teh (Wiratno et al.2001). Namun, hanya tiga spesies yang me-nyerang jambu mete, yaitu H. antonii, H.theivora, H. bradyi (Supriadi et al. 2002),dan yang paling banyak adalah H. antoniidan H. theivora.

Ekonomi Hama Jambu Mete

Helopeltis spp. dikenal sebagai kepikpengisap (cashew sucker) karena nimfadan imago mengisap cairan tumbuhanpada pucuk muda, tunas, bunga, gelon-dong, dan buah muda. Setelah cairan di-isap, air liurnya yang sangat beracun di-keluarkan dan tempat yang terkena akanmelepuh dan berwarna coklat tua. Se-rangan pada pucuk dan daun muda meng-akibatkan bagian tanaman tersebut me-ngering dan mati pucuk. Bunga yangterserang menjadi hitam dan mati, kadangbekas tusukan serangga ditandai dengankeluarnya gum. Buah muda yang terserangberbercak hitam, bila diserang besertagelondongnya maka seluruhnya akanmenjadi hitam. Jika yang diserang buahtua, titik-titik hitam akan terlihat pada buahsemunya. Hasil penelitian menunjukkanbahwa banyaknya bekas tusukan me-mengaruhi persentase kematian pucuk.Bekas tusukan sebanyak 42 bercak meng-akibatkan 20% kematian pucuk padaminggu pertama dan menjadi 46% padaminggu keenam (Siswanto et al. 2007).

Dengan melihat gejala yang terjadi dilapangan, dapat disimpulkan bahwa makin

Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete ... 105

dini tanaman diserang, kerugian yangditimbulkan makin besar karena satu pucukatau satu karangan bunga sehat berpe-luang untuk menghasilkan beberapa buah.Serangan Helopeltis anacardii di bebe-rapa negara Asia Selatan, India, dan AfrikaTimur menyebabkan kerusakan pucukhingga 80% tiap pohon (Rickson danRickson 1998). Sementara itu, Mandall(2000) menyebutkan bahwa serangan He-lopeltis spp. pada tanaman jambu metemenyebabkan kerusakan sebesar 25%pada pucuk, 35% pada karangan bunga,dan 15 % pada buah muda.

Di Indonesia, luas serangan Helopeltisspp. di sentra produksi jambu mete sangatbervariasi dan meningkat dengan cepat tiaptahun, namun laju peningkatannya ber-beda antarprovinsi. Di Nusa TenggaraBarat, luas serangan Helopeltis spp. padatahun 2004 hanya 1.051 ha, tetapi padaakhir 2005 mencapai 5.847 ha. Di SulawesiSelatan, luas serangan Helopeltis spp. naikdari 638 ha pada tahun 2004 menjadi 1.045ha pada tahun 2005, sedangkan di DIYogyakarta luas serangannya justru menu-run dari 129 ha menjadi 85 ha pada tahun2005 (Direktorat Perlindungan TanamanPerkebunan 2006).

Kerugian hasil yang disebabkan olehHelopeltis spp. belum diketahui secarapasti karena masing-masing provinsi mem-berikan penaksiran yang berbeda. Padatahun 2004, taksasi kehilangan hasil karenaserangan Helopeltis spp. mencapai Rp1,23miliar (Dinas Perkebunan Provinsi NusaTenggara Barat 2005). Di Nusa TenggaraTimur, kerugian akibat serangan Helopeltisspp. pada akhir tahun 2006 mencapai Rp10miliar, dan 90% dari serangan ini berada diFlores Timur. Di DI Yogyakarta, kerugianakibat serangan Helopeltis spp. hanyamencapai Rp2,5 miliar (Direktorat Perlin-dungan Tanaman Perkebunan 2006).

Dinamika PopulasiHelopeltis spp.

Kelimpahan populasi Helopeltis spp., se-perti serangga hama lainnya, berfluktuasidan berbeda dari satu lokasi ke lokasilainnya. Populasi ada yang berkembangcukup baik di satu lokasi, tetapi tidak padalokasi lainnya. Banyak faktor yang me-mengaruhi keseimbangan populasi Helo-peltis spp. di alam. Fluktuasi populasi, polasebaran, dan lingkungan efektif yang me-mengaruhinya disebut dengan “dinamikapopulasi”.

Para pakar memiliki pandangan yangberbeda-beda mengenai dinamika popu-lasi. Howard dan Fiske (1911) mengajukanpendapat bahwa harus ada faktor yangmenghambat perkembangbiakan populasijika populasi serangga tersebut naik. Pen-dapat ini didukung oleh Nicholson (1953)yang menyatakan bahwa faktor yangmengendalikan populasi hanyalah faktoryang bersifat bersaing. Hal ini tidak dapatdilakukan oleh iklim atau cuaca. Andre-wartha dan Birch (1954) menentang pen-dapat Nicholson beberapa tahun kemu-dian. Dinyatakan bahwa ada empat kom-ponen yang memengaruhi kelimpahanpopulasi suatu hama, yaitu cuaca, makan-an, serangga lainnya, dan tempat hidup.Teori lain diajukan oleh Milne (1957), Chitty(1960), dan Wellington (1960), bahwa sebe-narnya populasi serangga bisa mengaturkelimpahan populasinya sendiri. Faktoryang langsung memengaruhi populasiadalah kompetisi dalam spesies itu sendiri.Pimentel (1961) menambahkan bahwakelimpahan populasi di alam dapat berubahkarena perubahan genetik. Populasimengatur diri sendiri dengan mengadakanseleksi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dike-tahui bahwa faktor yang memengaruhi

106 Elna Karmawati

keseimbangan populasi sangat kompleks.Namun demikian, pendekatan terhadapdinamika populasi Helopeltis spp. telahdilakukan secara empiris selama beberapatahun di dua lokasi sentra produksi jambumete. Di Kabupaten Wonogiri, Jawa Te-ngah, populasi Helopeltis spp. sangatditentukan oleh keberadaan pucuk, danmunculnya pucuk tanaman setiap tahunbergantung pada kelembapan dan curahhujan. Pada akhir musim hujan, yaitu padabulan Mei, pucuk mulai bermunculan.Sejalan dengan bertambahnya jumlahpucuk, populasi nimfa dan imago punmeningkat dan mencapai puncaknya padabulan Juli, kemudian menurun kembalisetelah bulan Juli. Faktor yang berperandalam menurunkan populasi Helopeltisspp. adalah predator Coccinella, semuthitam, dan semut rangrang (Karmawati etal. 1999b). Tumpang sari jambu mete de-ngan tanaman sela juga dapat menurunkanpopulasi awal karena tanaman sela me-ngurangi peluang tumbuhnya gulma yangmenjadi inang alternatif bagi Helopeltisspp. (Karmawati et al. 2001).

Di Kabupaten Lombok Barat, NTB,faktor yang memengaruhi fluktuasi popu-lasi Helopeltis spp. hampir sama dengandi Jawa Tengah. Namun, di NTB terjadi duapuncak fase pembungaan, walaupun po-pulasi bunga hermafrodit pada puncakpembungaan kedua jauh lebih sedikitdibanding bunga jantan (Karmawati et al.2007b). Faktor yang berperan adalah curahhujan, kelembapan, semut rangrang(Oechophylla smaragdina), semut hitam(Dolichoderus sp.), kompetisi denganhama lain, inang alternatif, serta interaksiantara Helopeltis spp., S. indecora, dansemut predator (Karmawati et al. 2004;Karmawati 2006). S. indecora hanya dite-mukan di Lombok dan populasinya ber-limpah pada musim kemarau. Helopeltis

spp. baru muncul pada akhir musim hujan.S. indecora mengeluarkan cairan semacamnektar yang dapat menarik semut untukdatang mengendalikan Helopeltis spp.

PENGENDALIAN HAMA JAMBUMETE BERBASIS EKOLOGI

Kelestarian Ekologi MerupakanPre-requisite

Sejak pengendalian hama terpadu (PHT)dikembangkan di Indonesia pada tahun1989 dan diimplementasikan melalui prog-ram nasional pada padi, palawija, dansayuran, disadari bahwa masih banyakkekurangan yang perlu diperbaiki dan di-sempurnakan. Masih ada isu yang berkem-bang di tingkat petani bahwa insektisidasukar didapat di daerah dan harganya ma-hal. Hal ini menandakan bahwa petanimasih bergantung pada insektisida kimi-awi karena teknologi pengendalian hamayang efektif, ekonomis, dan ramah ling-kungan belum tersedia. Padahal dampaknegatif penggunaan insektisida kimiawitelah ditemukan di tengah kehidupan saatini (Kardinan 1999), seperti keracunan(lebih dari 400.000 kasus per tahun), polusilingkungan (kontaminasi air tanah danudara), serangga menjadi resisten, re-surgen ataupun toleran terhadap pestisida,serta munculnya hama sekunder.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya,ledakan hama tidak terjadi secara spontantetapi karena adanya perubahan ataupergeseran beberapa faktor dalam ling-kungan efektifnya. Clark et al. (1967)menyatakan bahwa kelimpahan populasidipengaruhi oleh faktor genetik dari indi-vidu spesies dan lingkungan efektifnya,yang kemudian mengalami evolusi. Mun-culnya hama sekunder menjadi hama utama

Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete ... 107

pada jambu mete menunjukkan adanyaperubahan dalam ekosistem. Salah satupenyebabnya adalah musuh alaminya tidakdapat lagi mempertahankan populasi hamaagar tetap berada dalam jumlah yang tidakmerugikan. Tanpa disadari, sebenarnyapara petani bergantung pada kekuatanmusuh alami yang tersedia di lahannyamasing-masing. Proporsi musuh alamihama utama pada jambu mete terbukti lebihbanyak dibanding serangga hama danserangga penyerbuk. Keseimbangan po-pulasi serangga dan musuh alaminya dialam harus dilestarikan agar pengelolaanserangga dalam sistem pertanian berkelan-jutan.

Pengendalian Hama TerpaduRamah Lingkungan

PHT merupakan bagian dari budi dayatanaman dan telah mendapat perhatian daripemerintah dengan dikeluarkannya UUNo.12 tahun 1992 tentang Budidaya Ta-naman dan PP No. 6 tahun 1995. Disebut-kan bahwa pelaksanaan PHT menjaditanggung jawab petani dan dibantu olehpemerintah. Konsep PHT sebenarnya telahdicetuskan sejak lama dan terus diperbaikisesuai dengan kebutuhan. NAS (1969)menyatakan bahwa PHT adalah pemanfa-atan semua teknik yang kompatibel untukmempertahankan populasi hama di bawahtingkat kerusakan ekonomi, atau mema-dukan semua sistem pengendalian kedalam suatu sistem yang harmonis untukmempertahankan populasi hama di bawahtingkat yang merugikan. Smith (1978)memperbaiki definisi tersebut bahwa PHTadalah pendekatan pengelolaan populasisecara ekologi dan multidisiplin denganmemanfaatkan semua teknik secara kom-patibel. Sistem pengendalian yang bersifat

alami harus didahulukan. Kedua konseptersebut menunjukkan bahwa pengenda-lian hama harus memadukan berbagaikomponen dengan tetap memerhatikankelestarian ekologi dan sedikit mungkininput dari luar.

Pengendalian yang berbasis ekologibersifat spesifik lokasi karena keragamanekologi di lapangan sangat tinggi. Padakomoditas yang sama dengan lingkunganyang berbeda akan diperlukan sistempengelolaan serangga yang berbeda. Disentra produksi jambu mete, ada dua lokasiyang ekosistemnya hampir sama tetapihama utamanya berbeda, yaitu DesaSambik Jengkel dan Desa Tanah SebangKabupaten Lombok Barat. Di SambikJengkel, populasi Helopeltis spp. selalulebih tinggi dibanding S. indecora, se-dangkan di Tanah Sebang populasi S.indecora selalu lebih tinggi daripadaHelopeltis spp. (Karmawati 2006). Ter-nyata penampilan populasi kedua hamatersebut merupakan resultan dari faktor-faktor pendukungnya di masing-masingekosistem.

Manfaat Musuh Alami dalamPengendalian Hama Jambu Mete

PHT lebih menekankan pada pemanfaatanmusuh alami dibanding penggunaaninsektisida. Ini berarti bahwa penggunaaninsektisida akan berkurang dalam inputproduksi petani. Pengurangan penggu-naan insektisida akan mendatangkankeuntungan yang lebih besar, walaupunhasil yang diperoleh tetap.

Keuntungan lain dengan menggu-nakan musuh alami adalah tidak adanyaresidu pestisida pada produk perkebunan.Adanya residu pestisida dalam produkperkebunan akan mengurangi daya saing

108 Elna Karmawati

produk Indonesia di pasar internasional,terutama di negara-negara yang konsu-mennya telah memiliki kesadaran yangtinggi terhadap lingkungan, seperti Eropa,Amerika Serikat, dan Jepang.

Musuh alami yang berperan pentingdalam menekan populasi hama jambu metecukup banyak dan dapat menjaga kese-imbangan ekosistem. Musuh alami ini da-pat berupa parasit, predator atau patogen.Peran masing-masing musuh alami dalammenekan populasi hama terlihat dalam je-jaring makanan jambu mete (Benigno 2002).Parasitoid yang dapat menekan populasiH. antonii, H. theivora dan H. bradyi ada-lah Apanteles sp., Euphorus helopeltidisFerr., Erythmelus helopeltidis Gah, danTelenomus. Untuk predatornya adalah O.smaragdina, Dolichoderus bitubercula-tus Mayr, cocopet, dan Chrysopa busalis.Patogen yang banyak digunakan saat iniadalah Beauveria bassiana. Penggunaanpatogen ini sama efektifnya dengan semutpredator untuk mengendalikan Helopeltisspp. (Karmawati et al. 2007a). Musuh alamiyang ada di alam perlu dijaga kelestarian-nya dan ditingkatkan perannya bila fung-sinya menurun.

Insektisida Nabati: Bahan Kendali Ramah Lingkungan

Kenyataan di lapang menunjukkan bahwapetani sampai saat ini belum dapat mele-paskan diri dari pestisida, walaupun har-ganya relatif mahal, karena mudah digu-nakan dan hasilnya dapat dilihat langsungsetelah perlakuan. Dalam menghadapitantangan yang demikian, perlu dipilihalternatif pengendalian yang cara kerjanyamirip dengan insektisida tetapi tidak mem-berikan efek negatif bagi lingkungan. Salahsatu alternatif pengendalian hama yang

murah, praktis, dan relatif aman bagi ke-lestarian lingkungan adalah insektisidayang bahan bakunya berasal dari tumbuh-an. Insektisida tersebut dapat dibuat de-ngan teknologi yang sederhana, dan mu-dah terurai di alam sehingga tidak men-cemari lingkungan sekitar, termasuk ma-nusia dan hewan.

Secara evolusi, tumbuhan telah me-ngembangkan bahan kimia berupa meta-bolit sekunder yang digunakan oleh tum-buhan sebagai alat pertahanan alami ter-hadap serangan organisme pengganggu.Tumbuhan sebenarnya kaya akan bioaktif.Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yangtermasuk ke dalam 235 famili dilaporkanmengandung bahan pestisida (Kardinan1999). Oleh karena itu, apabila tumbuhantersebut dapat diolah menjadi bahan pes-tisida maka petani akan sangat terbantudalam memanfaatkan sumber daya yangada di sekitarnya.

Ada empat kelompok insektisida nabatiyang telah lama dikenal (Oka 1993), yaitu:(1) golongan nikotin dan alkaloid lainnya,bekerja sebagai insektisida kontak, fu-migan atau racun perut, terbatas untukserangga yang kecil dan bertubuh lunak;(2) piretrin, berasal dari Chrysanthemumcinerarifolium, bekerja menyerang uratsyaraf pusat, dicampur dengan minyakwijen, talek atau tanah lempung, digunakanuntuk lalat, nyamuk, kecoa, hama gudang,dan hama penyerang daun; (3) rotenondan rotenoid, berasal dari tanaman Derrissp. dan bengkuang (Pachyrrhizus eroses),aktif sebagai racun kontak dan racun perutuntuk berbagai serangga hama, tetapibekerja sangat lambat; serta (4) azadi-rachtin, berasal dari tanaman mimba (Aza-dirachta indica), bekerja sebagai anti-feedant dan selektif untuk seranggapengisap sejenis wereng dan penggulungdaun, baru terurai setelah satu minggu.

Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete ... 109

Beberapa bahan aktif tersebut berpeluanguntuk dimanfaatkan dalam pengendalianHelopeltis spp. Hasil penelitian denganmenggunakan keempat jenis pestisidapada kutu daun Ferrisia. virgata menun-jukkan bahwa daun tembakau (golongannikotin) lebih cepat mengurai di alam di-bandingkan dengan mimba (azadirachtin)dan rotenon (Karmawati dan Balfas 2007).

TANTANGAN DAN PELUANGPENGENDALIAN HAMA

JAMBU METE

Kendala dan Tantangan

Serangga akan berubah statusnya menjadihama jika keseimbangan populasinya dialam terganggu, yaitu kelimpahan popu-lasinya di atas ambang yang merugikantanaman. Ada beberapa faktor yang me-mengaruhi keseimbangan populasi ini dialam (Rauf 2004), yang sekaligus menjaditantangan dalam pengelolaan seranggahama. Faktor-faktor tersebut di antaranyaadalah perubahan iklim, peralihan tum-buhan inang, perubahan biologi tanamaninang, perubahan biologi hama, perubahanteknik bercocok tanam, dan invasi dari luar.

Iklim merupakan salah satu faktor yangmenentukan keseimbangan populasi. Iklimdikelompokkan menjadi iklim mikro daniklim makro. Iklim makro menentukandistribusi dan kepadatan populasi, sedang-kan iklim mikro memengaruhi distribusilokal atau pola pencaran/sebaran suatuspesies hama dalam zona tertentu dalamiklim makro yang sama (Sukowati 2004).Pada pertanaman jambu mete, iklim mikroditentukan oleh percabangan yang makinbanyak dan tumpang tindih sehingga ke-lembapan nisbi menjadi rendah. Tantang-an yang dihadapi di sentra produksi adalah

petani enggan untuk melakukan pemang-kasan cabang yang tidak produktif.

Berdasarkan rantai makanannya, se-rangga dapat dikelompokkan menjadimonofag, oligofag, dan polifag. Monofagadalah spesies serangga yang makanan-nya hanya terbatas pada satu jenis tanam-an, khususnya serangga dari ordo Homop-tera atau beberapa dari Diptera. Beberapaserangga hanya makan terbatas padabeberapa jenis tanaman dari satu famili(oligofag). Serangga polifag mempunyaitanaman inang yang rentangnya sangatlebar. Pemilihan tanaman inang ini di-tentukan oleh faktor fisik dan metabolitsekunder seperti glikosida, alkaloid, danminyak atsiri (Chapman 1969).

Helopeltis spp. dan S. indecora mem-punyai rentang tanaman inang yangsangat lebar (Kalshoven 1981; Siswantoet al. 2003a). Kedua hama ini memilikiwilayah serangan berat yang berbeda da-lam tiga tahun terakhir. S. indecora me-nyerang pertanaman jambu mete di Lom-bok Barat dan Helopeltis spp. banyak me-nyebabkan kerusakan pertanaman jambumete di Dompu. Dengan banyaknya ta-naman inang alternatif, hama menjadimudah untuk mempertahankan hidup danmemperbanyak diri. Sebelum pindah kejambu mete, S. indecora hidup pada ta-naman mangga yang dikembangkan diLombok. Untuk Helopeltis spp., selain ka-kao dan teh, tanaman inang alternatif lain-nya adalah berbagai jenis gulma terutamababadotan, ubi kayu, dan antanan. Tan-tangan yang dihadapi di lapangan adalahpertumbuhan gulma pada pertanamanjambu mete hampir mencapai kanopi danpetani enggan membersihkannya.

Kehadiran populasi hama pada tanam-an inang bergantung pada sumber makan-an pada tanaman tersebut. Pada tanamanjambu mete, Helopeltis spp. terutama ter-

110 Elna Karmawati

dapat pada pucuk dan karangan bunga.Pucuk muncul lebih dulu setelah adanyahujan, kemudian Helopeltis spp. mulaimenyerang pucuk yang umurnya lebihpendek dibandingkan dengan karanganbunga. Pucuk yang diserang Helopeltisspp. akan mengering dan mati karena airliur hama tersebut mengandung racun.Apabila hujan terus-menerus turun, keter-sediaan pucuk akan berlimpah sehinggapopulasi hama meningkat dan waktu se-rangannya makin lama.

Secara alami, fluktuasi populasi se-rangga pada suatu tempat dipengaruhioleh organisme lain seperti parasitoid,predator, serangga lain yang dapat ber-kompetisi, dan penyakit. Berbagai faktorpembatas termasuk campur tangan manusiadapat mengurangi keefektifan hasil kerjaorganisme tersebut karena ekosistemnyatelah terganggu. Sebagai contoh, peng-gunaan insektisida kimia yang berlebihandapat membunuh parasit dan predatorsuatu serangga hama sehingga pertum-buhan populasi hama tidak ada yang mem-batasi. Perubahan pertanaman dari poli-kultur menjadi monokultur umumnya akanmengurangi sumber makanan bagi parasitatau predator dewasa yang memerlukannektar sebagai makanannya. Kendala yangdihadapi adalah kurangnya informasi bagipetani mengenai sumber makanan bagiparasit dan predator. Hasil penelitianmenunjukan bahwa S. indecora menge-luarkan cairan untuk menarik predatorpemangsa Helopeltis spp. (Karmawati etal. 2004).

Banyak sekali contoh teknik bercocoktanam yang dapat mengubah iklim mikro(niche) dari suatu ekosistem serangga danlingkungannya, yang paling mudah adalahperubahan dari vegetasi yang beragammenjadi monokultur. Kehidupan seranggainang, parasit, dan predator yang semula

seimbang akan terjadi lonjakan karenapopulasi parasit dan predator tidak dapatdiandalkan. Contoh lain adalah pengaruhpemupukan dan pola tanam. Pola tanamjambu mete dengan kacang-kacangan diWonogiri mengurangi tingkat kerusakanpucuk oleh Helopeltis spp. dibandingkandengan jambu mete monokultur (Karmawatiet al. 2001).

Perpindahan tanaman dari suatu wi-layah ke wilayah lain juga merupakan tan-tangan karena satu fase dari seranggahama akan terbawa oleh bagian tanamantanpa musuh alaminya. Oleh karena itu,serangga yang di tempat semula bukanhama, di tempat yang baru dapat berubahmenjadi hama. Berdasarkan kendala dantantangan tersebut, semua komponendalam agroekosistem harus diperhatikandan berjalan secara harmonis.

Potensi dan Peluang

Produk jambu mete mempunyai peluanguntuk memasuki pasar global, namun akanmendapat persaingan dari negara lain.Pasar di negara-negara industri dikuasaioleh konsumen yang menghendaki produkperkebunan yang aman, berkualitas tinggi,dan memiliki risiko minimal bagi kesehatandan lingkungan hidup. Untuk menghasil-kan produk perkebunan yang memenuhistandar konsumen, tidak hanya kualitasproduk yang harus diperhatikan, tetapijuga proses produksi, pengemasan, dandistribusinya sampai ke tangan konsumen.Karena itu, agar stabilitas produksi ter-capai dan kesehatan dan lingkungan terja-ga, prinsip dasar PHT harus dilaksanakan,yaitu pengusahaan tanaman yang sehatdan kuat serta pengelolaan agroekosistem.

Dalam pertanaman jambu mete, eko-sistem merupakan infrastruktur ekologi

Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete ... 111

yang seimbang dan telah dilengkapisumber-sumber energi yang diperlukan,seperti rantai makanan (cashew web). Kom-ponen-komponen dalam jejaring tersebutmempunyai potensi untuk dikembangkan.Kemajuan PHT di beberapa negara majumerupakan kontribusi ilmuwan dalam pe-nyediaan teknologi, seperti teknologi se-rangga, ekologi umum, ekologi serangga,fisiologi serangga, fisiologi tanaman, ma-tematika, ekonomi, sosial, dan biologi mo-lekuler. Sebagian dari teknologi tersebuttelah tersedia, seperti teknik perbanyakandan konservasi musuh alami (Karmawatiet al. 1999a; Laba et al. 1999; Karmawati etal. 2001; Siswanto et al. 2003a; Karmawatiet al. 2004; Karmawati 2006; Mardiningsinget al. 2006), pemanfaatan pestisida nabatiuntuk Helopeltis spp., dan faktor-faktor lainyang dapat dimanfaatkan (Supriadi et al.2002).

Teknologi pengendalian hama berda-sarkan ekologi mempunyai peluang besaruntuk dikembangkan dengan adanya kebi-jakan pemerintah yaitu UU No. 4 tahun1982 yang mengatur ketentuan-ketentuanpokok pengelolaan lingkungan hidup agarpembangunan yang dilaksanakan tidakmerusak dan mencemari lingkungan. Bebe-rapa tahun kemudian, Inpres No. 3 tahun1986 dikeluarkan untuk mengatur jumlahdan jenis pestisida yang beredar agar ter-cipta keharmonisan rantai makanan. Pe-ngaturan pengelolaan lingkungan diper-tegas lagi dengan UU No.12 tahun 1992tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalamundang-undang tersebut ditegaskan bah-wa PHT merupakan satu-satunya sistemyang digunakan dalam pengelolaan hama.Sistem tersebut menginginkan adanyapeningkatan efisiensi produksi, terutamadalam penggunaan pestisida, serta pe-ningkatan kualitas dan kuantitas hasil.Wujud nyata dari undang-undang dan

inpres tersebut adalah ditetapkannya PHTmenjadi program nasional.

Program nasional PHT dilanjutkanpada tahun 2001 pada jambu mete. Pe-laksana PHT adalah petani pekebun. VisiPHT perkebunan adalah pemberdayaanatau kemandirian petani dalam pengam-bilan keputusan pengelolaan kebun.Mengubah kebiasaan petani dari posisisebagai pengambil keputusan pasif men-jadi aktif tidaklah mudah. Namun, peluanguntuk meningkatkan kemampuan danpengetahuan petani makin terbuka dengandiciptakannya wahana pengembangansumber daya manusia, terutama petani danpetugas. Metode yang digunakan adalahpendekatan partisipatif dalam proses be-kerja dan mengajar, yang dikemas dalamSekolah Lapang Pengendalian Hama Ter-padu (SLPHT).

Metode sekolah lapang mendobrakmetode sebelumnya yang menjadi acuankegiatan penyuluhan. Pada pola partisi-patif ini, peserta SLPHT datang denganpengalamannya masing-masing yangkemudian terjadi proses pertukaran penga-laman. Dengan demikian, masing-masingpeserta menjadi fasilitator dan lebih ber-fungsi sebagai mitra bagi para pemandu.

ARAH DAN STRATEGIPENGEMBANGAN PHT

JAMBU METE

Arah Pengendalian

Visi pembangunan pertanian saat ini danmasa yang akan datang adalah sustain-able growth with zero emission and waste(Manuwoto 1999). Misinya adalah: (1)meningkatkan efisiensi faktor produksiinput pertanian; (2) melakukan daur ulang;(3) melakukan proses produksi dan meng-

112 Elna Karmawati

hasilkan produk yang aman; (4) mening-katkan nilai tambah produk untuk kepen-tingan produsen dan konsumen; serta (5)meminimumkan dampak pada lingkungan.

Beberapa konsep pertanian masa kinidan masa depan telah diterapkan, sepertipertanian organik dan precision agri-culture. Oleh karena itu, arah pengendalianhama jambu mete harus selaras dengankonsep pertanian masa kini dan masa de-pan, yang melakukan analisis lingkunganterhadap setiap jengkal agroekosistem se-hingga aplikasi teknologi dilakukan secaratepat. Arah pengendalian hama adalahmenciptakan infrastruktur ekologi yang se-imbang dalam agroekosistem denganmelengkapi sumber energi yang diperlu-kan, seperti makanan bagi musuh alami,mangsa atau inang alternatif bagi musuhalami, dan perlindungan dari cuaca yangmerugikan. Hal demikian sudah lama di-tinggalkan karena petani lebih memilih pe-ngendalian yang cepat memberi hasil tetapitidak berkelanjutan. Dengan pendekatantersebut, sistem pembangunan pertaniantidak lagi back to nature tetapi back tobasic.

Berdasarkan cashew web, banyak kom-ponen yang memengaruhi keseimbanganHelopeltis spp., yaitu: (a) parasitoid telur(Apanteles sp., E. helopeltidis, E. helo-peltidis, dan Telenomus); (b) predator telurdan nimfa (cocopet dan C. busalis); (c)predator nimfa dan imago (O. smaragdina,D. bituberculatus); (d) inang alternatif(jambu, mangga); (e) interaksi denganhama lain (S. indecora); (f) inang alternatifS. indecora (dadap, kapuk, lamtoro, jambubiji, rambutan, dan anona); (g) parasitoidtelur Phanomerus sp.; (h) patogen (Synne-matium sp. dan B. bassiana); (i) hiperpara-sitoid Apanteles, dan (j) teknologi tanaman.Selain faktor biotik, faktor abiotik jugamemengaruhi keseimbangan populasi,

seperti curah hujan, kelembapan, dan ra-diasi matahari.

Musuh alami berupa parasitoid danpredator telur belum banyak dipelajari, te-tapi populasinya banyak di alam. Peman-faatannya dapat dilakukan dengan membe-rikan lingkungan yang sesuai bagi per-kembangan parasit dan predator, misalnyadengan menanam tanaman sela kacang-kacangan atau membuat tumpukan serasahdi kebun sebagai tempat makan parasit(Soebandrijo 2003).

Peran predator Oecophylla dan Doli-choderus telah banyak dipelajari padaagroekosistem kelapa, kopi, kakao (Waydan Khoo 1992), dan jambu mete (Karma-wati et al. 2004). Pemanfaatannya sangatmudah, yaitu dengan menggantungkandaun kelapa atau daun kakao kering yangtelah diikat pada beberapa tanaman. Para-sitoid Aphanomerus sp. (Purnayasa 2003),patogen Synnematium sp. (Mardiningsihet al. 2006) dan B. bassiana (Karmawati etal. 2001) telah dapat diperbanyak di labo-ratorium dan dimanfaatkan dengan teknikinokulatif atau inundatif.

Manipulasi ekologi juga dapat dila-kukan dengan memberikan lingkunganyang tidak nyaman bagi perkembanganHelopeltis spp., yaitu memangkas tajuktanaman inang agar cahaya matahari ma-suk ke kanopi serta membersihkan gulmayang menjadi inang alternatif karena se-rangga hama tersebut sangat sensitif ter-hadap radiasi matahari. Inang alternatifbagi hama utama sebaiknya tidak diha-dirkan bersama dalam satu kebun denganinang yang dibudidayakan.

Kehadiran parasitoid, predator, danserangga penyerbuk tampaknya berkaitanerat dengan tanaman inang utama, inangalternatif, dan bahan organik, yang semua-nya merupakan satu kesatuan agroeko-sistem. Satu dengan lainnya terikat dalam

Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete ... 113

rantai atau jejaring kehidupan/makanan;bila salah satu simpulnya terputus makakeseimbangan alam akan terganggu. Olehkarena itu, Sosromarsono dan Untung(2000) menyatakan bahwa ekosistemsangat tepat sebagai dasar PHT.

Strategi PengembanganPengendalian Hama Terpadu

Teknologi budi daya termasuk PHT jambumete sebagian besar telah ditemukan dansebagian merupakan teknologi tepat guna,namun pengembangannya di tingkat petanitidaklah mudah. Pengendalian hama di-rasakan menjadi salah satu input yangmemberatkan petani. Apabila teknologiyang diterapkan belum mampu menekanbiaya produksi dan meningkatkan penda-patan serta sulit dilaksanakan maka tekno-logi tersebut belum sesuai dengan kondisipetani kecil di Indonesia. Teknologi yangdiperlukan adalah yang efektif, efisien,aman, murah, dan mudah diterapkan. Olehkarena itu, strategi yang prospektif dalammengembangkan PHT yang berbasis eko-logi adalah: (1) pemanfaatan dan pereka-yasaan lingkungan pertanaman jambu mete(kembali ke prinsip dasar PHT) dan (2)pengkajian skala luas di beberapa agro-ekologi sekaligus melanjutkan pembinaanpemandu dan petani dalam wadah SLPHT.

Pemanfaatan lingkungan pertanamansangat erat hubungannya dengan SLPHTkarena kegiatan pokok SLPHT adalahanalisis agroekosistem dan pengambilankeputusan. Seluruh peserta sekolah lapangberpartisipasi aktif dalam pengumpulandata aktual lapangan, pengkajian data, danpengambilan keputusan manajemen lahan.Kegiatan analisis agroekosistem ini ber-manfaat dalam penajaman pandanganpetani dan petugas terhadap ekologi lokal

serta memudahkan proses pengelolaanekologi lokal.

Sebagai gambaran, teknologi yang mu-rah, mudah dilakukan, dan berada di sekitarpertanaman adalah:a. Nomor harapan jambu mete yang

toleran terhadap Helopeltis spp. (Amiret al. 2004).

b. Serasah yang berupa bahan organikdari ranting yang telah mati dan hasilpangkasan atau gulma hasil penyi-angan. Hasil penelitian menunjukkansekitar 100 spesies parasitoid danpredator muncul dari serasah selamaproses dekomposisi (Soebandrijo et al.2000).

c. Pembersihan gulma berdaun lebarkarena merupakan inang alternatif bagiHelopeltis spp. Berbeda pada tanamankapas, gulma berguna bagi parasitoiddan serangga penyerbuk (Kromp danSteinberger 1992).

d. Pemangkasan tajuk yang tumpang tin-dih untuk meningkatkan jumlah radiasimatahari yang masuk ke pertanamankarena Helopeltis spp. peka terhadapradiasi matahari (Kalshoven 1981).

e. Peningkatan populasi semut predatordi pertanaman (Karmawati et al. 2004).

f. Penggunaan pestisida nabati biji mimbayang tanamannya banyak ditemukandi sentra jambu mete (Karmawati et al.2007a).Salah satu kegiatan pokok dalam ana-

lisis agroekosistem adalah pengamatansecara berkala (pemantauan) oleh petaniuntuk memperoleh gambaran tentangagroekosistem pada lahannya. Ledakanhama tidak terjadi secara spontan, tetapisecara perlahan karena kombinasi faktordi lingkungannya. Dalam hal ini, metodepenarikan contoh berperan penting se-hingga petani perlu dibekali cara penarikancontoh yang sederhana atau beruntun

114 Elna Karmawati

(Karmawati 1988b). Frekuensi pemantauandilakukan lebih sering pada masa tanamanpeka terhadap Helopeltis spp. Ukurancontoh optimum untuk hama jambu meteumumnya adalah 3-4 tanaman tiap 0,5 ha(Benigno 2002). Teknik pemantauan ter-sebut telah diaplikasikan pada kedelai,kapas, dan lada (Karmawati dan Tengkano1986; Karmawati 1988c; Karmawati etal.1998).

KESIMPULAN DANIMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1. Seiring dengan perkembangan jambumete di sentra produksi, penanamanjambu mete secara monokultur menim-bulkan masalah hama dan penyakit.Namun dari beberapa jenis seranggayang telah diidentifikasi, Helopeltisspp. merupakan hama penting danmenyebabkan kerugian yang bervariasiantardaerah menurut luas serangannya.

2. Kelimpahan populasi Helopeltis spp.berbeda antardaerah yang terserangkarena faktor kunci yang berbeda padaagroekosistem. Namun, umumnyapopulasi Helopeltis spp. akan munculpada pertanaman jambu mete seiringdengan tersedianya makanan padaakhir musim hujan, yaitu tunas ataupucuk. Curah hujan berkorelasi positifdengan ketersediaan makanan, begitupula antara ketersediaan makanan danpopulasi Helopeltis spp.

3. Keragaman ekologi pertanaman disentra-sentra produksi jambu metesangat tinggi karena setiap wilayahmempunyai ekosistem yang khas. Olehkarena itu, pendekatan pengendalianpopulasi Helopeltis spp. adalah PHT

berbasis ekologi dengan menciptakaninfrastruktur ekologi yang seimbangdalam agroekosistem.

4. Peluang untuk memanfaatkan faktoryang berada di sekitar lingkungan per-tanaman jambu mete untuk mengen-dalikan populasi Helopeltis spp. cukupbesar karena beberapa hal berikut: (a)tersedianya informasi mengenai jejaringmakanan jambu mete (cashew web)dengan komponen-komponen tekno-logi pendukungnya; (b) adanya kebi-jakan pemerintah yang mengatur pe-ngelolaan lingkungan hidup, pemba-tasan izin pestisida kimiawi yang dike-luarkan dan pengaturan sistem budidaya tanaman; serta (c) pasar di negaramaju yang menginginkan produkperkebunan yang aman dan memilikirisiko minimal bagi kesehatan danlingkungan hidup.

5. Strategi pengembangan yang disaran-kan adalah pemanfaatan dan pereka-yasaan lingkungan pertanaman jambumete yang didahului dengan analisisagroekosistem, serta menata kembalipembinaan pemandu dan petani dalamwadah SLPHT.

Implikasi Kebijakan

1. Produk jambu mete mempunyai pe-luang yang besar untuk memasukipasar domestik maupun global. Olehkarena itu, pemerintah baik pusat mau-pun daerah perlu merencanakan untukmemperluas pertanaman jambu mete,terutama pada wilayah yang berpotensiuntuk meningkatkan produktivitasnasional dan bukan di daerah seranganhama yang berat. Tumpang sari jambumete dengan inang alternatif bagi hamaperlu dihindarkan.

Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete ... 115

2. Keberhasilan pelaksanaan PHT ber-basis ekologi memerlukan intervensipemerintah daerah, terutama dalampenyelenggaraan SLPHT. Bantuan PL1dan PL2 masih terus diharapkan. Kebi-jakan pengendalian tidak lagi diuta-makan pada penggunaan bahan kimia,tetapi beralih ke varietas toleran, penja-rangan, pemeliharaan, dan komponenekologi lainnya. Pemasyarakatan PHTperlu ditingkatkan dan penyamaanpersepsi mengenai konsep PHT antarailmuwan, praktisi, dan pengambil kebi-jakan perlu dilakukan.

3. Sebagian besar penelitian jambu metebersifat parsial dan mengacu pada kegi-atan monokultur. Langkah yang perludilakukan untuk menjembatani masalahdi lapangan dan penelitian pendukungadalah melakukan analisis dinamikaekosistem jambu mete serta penelitiantoksikologi, stabilitas mutu, dan sosialekonomi secara integratif dan kompre-hensif oleh tim peneliti lintas disiplin.

PENUTUP

Upaya para pakar dan pemerintah pusatdalam mengembangkan dan meng-implementasikan PHT melalui programnasional telah dilakukan dengan berbagaicara. Dunia internasional menilai Indonesiasukses dan menjadi pelopor dalam pe-ngembangan dan penerapan PHT. Namundi balik itu, kita sadari masih banyak yangperlu diperbaiki, terutama di tingkat petani.Masih ada anggapan tanpa pestisida sulitmengendalikan hama dan penyakit, dantanaman perkebunan menempati prioritaspaling belakang. Komitmen antara pe-ngambil kebijakan dan pelaksana sering ti-dak tercapai sehingga manajemen pengen-dalian tidak berkelanjutan. Pengembangan

PHT di Indonesia memerlukan banyakpakar seiring dengan luasnya wilayah,beragamnya jenis tanaman, dan kompleks-nya masalah hama dan penyakit. Peluanguntuk melakukan penelitian dasar cukupterbuka untuk menunjang keberhasilanpengembangan PHT.

Dengan mengambil unsur ketiga dari“Tri Hita Karana” yang sangat relevan de-ngan isu yang diangkat dalam tulisan ini,yaitu harmoni antara manusia dan ling-kungannya, kita perlu memberi peringatanbagi para pelaku dan pegiat pembangunanpertanian. Marilah kita renungkan tiga halberikut:a. Manusia tidak mengendalikan alam,

tetapi menyesuaikan diri dengan alam.b. Tidak semua serangga berbahaya. Tan-

pa kehadiran serangga yang berman-faat, kehidupan akan menjadi lebihburuk. Tingkat toleransi terhadap hamaperlu diterapkan berdasarkan prinsipekologi dan ekonomi.

c. Mengurangi kebergantungan padainsektisida kimiawi atau tidak samasekali, dengan mengembangkan pe-ngendalian alternatif sederhana danjustifikasi ilmiah yang kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A.M., E. Karmawati, dan Hadad E.A.2004. Evaluasi ketahanan beberapaaksesi jambu mete (Anacardium occi-dentale L.) terhadap hama Helopeltisantonii Sign. Jurnal Penelitian Tanam-an Industri 10(4): 149-153.

Andrewartha, H.G. and L.C. Birch. 1954.The Distribution and Abundance ofAnimals. University of Chicago Press,Chicago. 782 pp.

Benigno, E.A. 2002. ETL Calendar. CashewETL. Xls/Helopeltis.

116 Elna Karmawati

BPEN (Badan Pengembangan EksporNasional). 2007. Indonesian Export ofCashew Nut in Shell by Country ofDestination. BPEN, Jakarta. 6 hlm.

Chitty, D. 1960. Population processes inthe role and their relevance to generaltheory. Can. J. Zool 38: 99-113.

Chapman, R.F. 1969. The Insects: Structureand function. Elsevier, New York. 819pp.

Clark, L.R., P.W. Geier, R.D. Hughes, andR.F. Morris. 1967. The Ecology InsectPopulations in Theory and Practice.Halsted Press Book, London.

Dinas Perkebunan Provinsi Nusa TenggaraBarat. 2005. Laporan Tahunan Sub-Dinas Bina Produksi dan PerlindunganTanaman. Dinas Perkebunan ProvinsiNusa Tenggara Barat, Mataram. hlm.46.

Direktorat Perlindungan Tanaman Perke-bunan. 2006. Data Lepas. DirektoratJenderal Perkebunan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006a.Statistik Perkebunan Indonesia 2004-2005. Jambu Mete. Direktorat JenderalPerkebunan, Jakarta. 33 hlm.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006b.Roadmap Komoditas Jambu Mete. Di-rektorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.9 hlm.

Ferry, Y., J.T. Yuhono, dan C. Indrawanto.2001. Strategi Pengembangan IndustriMete Indonesia. Pusat Penelitian danPengembangan Perkebunan, Bogor.hlm. 8-9.

Howard, L.D. and W.F. Fiske. 1911. Theimportation into the United States ofthe parasites of the gipsy moth and thebrown-tail moth. Bull. Bur. Ent. USDept. Agric. 91: 1-312.

Indrawanto, C., E. Mulyono, R. Zaubin, danI. Sriwulan. 2001. Perspektif perkem-

bangan pemasaran dan pascapanenjambu mete. Warta Penelitian dan Pe-ngembangan Tanaman Industri 7 (4):12-14.

Indrawanto, C., S. Wulandari, dan A. Wah-yudi. 2003. Analisis faktor-faktor yangmempengaruhi keberhasilan usahatanijambu mete di Sulawesi Tenggara. Jur-nal Penelitian dan Pengembangan Ta-naman Industri 9(4): 141-147.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops inIndonesia. PT Ichtiar Baru-Van Hoeve,Jakarta. p. 119.

Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati: Ra-muan dan aplikasi. Penebar Swadaya,Jakarta. 88 hlm.

Karmawati, E. 1983. Dinamika populasiserangga. Makalah Pendukung Eko-logi Serangga. Institut Pertanian Bogor.62 hlm.

Karmawati, E. dan W. Tengkano. 1986. Polasebaran dan metode penarikan contohpengisap polong kedelai. Seminar HasilPenelitian Tanaman Pangan, BalittanBogor,17-18 Desember 1986. hlm. 189-197.

Karmawati, E. 1988a. Metode pendugaanpopulasi pengisap buah lada secaraberuntun di Kabupaten Bogor. Pem-beritaan Penelitian Tanaman IndustriXIII(3): 69-76.

Karmawati, E. 1988b. Metode peramalanserangga hama. Balai Penelitian Ta-naman Rempah dan Obat, Bogor. hlm.13-20.

Karmawati, E. 1988c. Within plant distri-bution of Heliothis armigera Hubnereggs on cotton at Asembagus, East Ja-va. Indust. Crops Res. J. 1(1): 1-6.

Karmawati, E., Deciyanto, dan Z. Asnawi.1990. Dinamika populasi hama utamalada di Bangka. Prosiding Simposium IHasil Penelitian dan Pengembangan

Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete ... 117

Tanaman Industri. Seri No. 9. PusatPenelitian dan Pengembangan Tanam-an Industri, Bogor. 6 hlm.

Karmawati, E., M. Iskandar, dan T.E. Wah-yono. 1992. Penelitian penanggulanganlalat rimpang jahe di Kebun PercobaanCimanggu, Bogor. Buletin PenelitianTanaman Industri (4): 35-36.

Karmawati, E. dan N.N. Kristina. 1993. Pe-ngaruh tumpang sari terhadap populasihama rimpang jahe. Media KomunikasiPenelitian dan Pengembangan Tanam-an Industri 11: 102-104.

Karmawati, E. 1998. Peningkatan produk-tivitas tanaman jambu mete melaluipengendalian hama terpadu. Bahan Ra-ker Penyusunan Prioritas dan DesainProgram Penelitian Tanaman Industri.Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Industri, Bogor. 14 hlm.

Karmawati, E., T.H. Savitri, T.E. Wahyonodan I W. Laba. 1998. Pola sebaran danmetode penarikan contoh Helopeltisantonii pada jambu mente. Bahan RakerPenyusunan Prioritas dan Desain Prog-ram Penelitian Tanaman Industri. PusatPenelitian dan Pengembangan Tanam-an Industri, Bogor.11 hlm.

Karmawati, E., T.H. Savitri, T.E. Wahyono,dan I W. Laba. 1999a. Dinamika popu-lasi Helopeltis antonii Sign. pada jambumete. Jurnal Penelitian Tanaman In-dustri 4(6): 163-167.

Karmawati, E., T.E. Wahyono, dan T.H. Sa-vitri. 1999b. Potensi predator dalam pe-nanggulangan Helopeltis antonii Sign.pada jambu mete. Prosiding SeminarNasional Peranan Entomologi dalamPengendalian Hama yang Ramah Ling-kungan dan Ekonomi, Buku 2. hlm. 733-737.

Karmawati, E., T.H. Savitri, W.R. Atmadja,dan T.E. Wahyono. 2001. Pengendalianhama terpadu Helopeltis antonii pada

tanaman jambu mete. Jurnal PenelitianTanaman Industri 7(1): 1-5.

Karmawati, E., Siswanto, dan E.A. Wikardi.2004. Peranan semut (Oecophyllasmaragdina dan Dolichoderus sp.)dalam pengendalian Helopeltis spp.dan Sanurus indecora pada jambumete. Jurnal Penelitian Tanaman In-dustri 10(1): 1-7.

Karmawati, E. 2006. Peranan faktor ling-kungan terhadap populasi Helopeltisspp. dan Sanurus indecora pada jambumete. Jurnal Penelitian Tanaman In-dustri 12(4): 129-134.

Karmawati, E. dan R. Balfas. 2007. Peman-faatan pestisida nabati dan jamurBeauveria bassiana untuk pengen-dalian kutu daun F. virgata. ProsidingLokakarya III Jarak Pagar. Pusat Pe-nelitian dan Pengembangan Perke-bunan, Bogor.

Karmawati, E., W. Rumini, Emmyzar, danC. Sukmana. 2007a. Pengendalian hamaHelopeltis antonii pada jambu mete.Laporan Tengah Tahun 2007, BalaiPenelitian Tanaman Rempah dan AnekaTanaman Industri, Pakuwon. 10 hlm.

Karmawati, E., Siswanto, dan T.E. Wah-yono. 2007b. Biologi pembungaanjambu mete. Laporan PHT Jambu Mete.Pusat Penelitian dan PengembanganPerkebunan, Bogor.

Krebs, C.J. 1978. Ecology: The ExperimentalAnalysis of Distribution and Abun-dance. Harper and Row, New York. 678pp.

Kromp, B. dan K.H. Steinberger. 1992.Grassy field margin and arthoproddiversity: A case study on ground andspiders in Eastern Australia. Agric.Ecol. Environ. 40: 71-93.

Laba, I W., E. Karmawati, dan D. Kilin. 1999.Bioekologi Helopeltis antonii Sign.(Hemiptera: Miridae) pada jambu me-

118 Elna Karmawati

te. Prosiding Seminar Nasional. BukuIII. hlm. 541-549.

Mandal, R.C. 2000. Cashew Productionand Processing Technology. Agrobias,India. 195 pp.

Manuwoto, S. 1999. Pengendalian hamaramah lingkungan dan ekonomis. hlm.1-12. Prosiding Peranan Entomologidalam Pengendalian Hama yang RamahLingkungan dan Harmonis, 16 Februari1999. Perhimpunan Entomologi Indo-nesia Cabang Bogor.

Mardiningsih,T.L., E. Karmawati, dan T.E.Wahyono. 2006. Peranan Synnematiumsp. dalam pengendalian Sanurus inde-cora Jacobi (Homoptera: Flatidae).Jurnal Penelitian Tanaman Industri 12(3): 103-108.

Milne, A. 1957. The natural control ofinsect population. Ann. Entomol. 89:193-213.

NAS. 1969. Insect-Pest Management andControl. Principles of Plant and AnimalPest Control, Vol 3. NAS Publ.

Nicholson, A.J. 1953. The balance of animalpopulation. Anim. Ecol. 2: 132-178.

Oka, I N. 1993. Penggunaan, permasalahanserta prospek pestisida nabati dalampengendalian hama terpadu. ProsidingSeminar Hasil Penelitian dalam rangkaPemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor,1-2 Desember 1993. hlm. 1-10.

Pimentel, D. 1961. Animal populationregulation by the genetic feedbackmechanism. Am. Net. 95: 65-79.

Purnayasa, I. G.N.R. 2003. Parasitasi Apha-nomerus sp. pada wereng pucuk jambumete Sanurus indecora Jacobi. JurnalPenelitian Tanaman Industri 9 (1): 1-3.

Rauf, A. 2004. Entomologi dalam per-ubahan lingkungan dan sosial: Pers-pektif pertanian. Disampaikan padaSeminar Nasional IV Perhimpunan

Entomologi Indonesia Cabang Bogor,5 Oktober 2004. 6 hlm.

Rickson, F.R. and M.M. Rickson. 1998. Thecashew nut, Anacardium occidentale(Anacardiaceae), and its perennial as-sociation with ants: Extra floral nectarylocation and the potential for antdefense. Am. J. Bot. 95(6): 835-849.

Rowe, J.S. 1961. The level of integrationconcept and ecology. Ecology 42: 420-427.

Siswanto, E.A. Wikardi, Wiratno, dan E.Karmawati. 2003a. Identifikasi werengpucuk jambu mete, Sanurus indecoradan beberapa aspek biologinya. JurnalPenelitian Tanaman Industri 9(4): 157-161.

Siswanto, Wiratno, E. Karmawati, E.A.Wikardi, C. Sukmana, T.E. Wahyono,dan Ahyar. 2003b. Studi Struktur danFungsi Komoditas Serangga padaEkosistem Tanaman Jambu Mete. La-poran Hasil Penelitian PHT PerkebunanRakyat 2002. Pusat Penelitian danPengembangan Perkebunan, Bogor. 45hlm.

Siswanto, R. Muhamad, D. Omar, dan E.Karmawati. 2007. Ecology and Popu-lation Biology of Helopeltis antonii orIts Cashew Host Plant. Ph.D. Thesis,Universitas Putra Malaysia.

Smith, R.F. 1978. History and complexityof integrated pest management. p. 41-53. In E.H. Smith and D. Pimentel (Eds.).Pest Control Strategies. AcademicPress, New York.

Soebandrijo, S., Hadiyani, S.A. Wahyuni,dan M. Soehardjan. 2000. Peranan se-rasah dan gulma dalam meningkatkankeanekaragaman hayati dan pengen-dalian serangga hama kapas di Indo-nesia. Prosiding Simposium Keaneka-ragaman Hayati Arthropoda pada Sis-

Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete ... 119

tem Produksi Pertanian. PerhimpunanEntomologi Indonesia, Jakarta. hlm.277-284.

Soebandrijo. 2003. Pengendalian HamaTerpadu dan Prospeknya terhadap Pro-duksi dan Pendapatan Petani Kapas.Bahan Orasi Ahli Peneliti Utama. BadanPenelitian dan Pengembangan Perta-nian, Jakarta. 69 hlm.

Sosromarsono, S. dan K. Untung. 2000.Keanekaragaman hayati arthopodapredator dan parasitoid di Indonesiaserta pemanfaatannya. ProsidingSimposium Keanekaragaman HayatiArthopoda pada Sistem Produksi Perta-nian. Perhimpunan Entomologi Indo-nesia, Jakarta. hlm. 33-46.

Sukowati, S. 2004. Dampak perubahanlingkungan terhadap penyakit tularnyamuk (vektor) di Indonesia. Makalahdisampaikan pada Seminar Nasional IVPerhimpunan Entomologi IndonesiaCabang Bogor, 5 Oktober 2004. 18 hlm.

Supriadi, Siswanto, E. Karmawati, S.Rahayuningsih, D. Sitepu, E.M. Adhi,E.A. Wikardi, Wiratno, T.E. Wahyonodan C. Sukmana. 2002. Pengelolaan

Ekosistem Jambu Mete BerdasarkanTeknologi PHT. Laporan Hasil Pene-litian PHT Tahun 2001. Pusat Penelitiandan Pengembangan Perkebunan,Bogor. 50 hlm.

Transley, A.G. 1935. The use and abuse ofvegetational concepts and terms. Eco-logy 16: 284-307.

Way, M.J. and K.C. Khoo. 1992. Role ofants in pest management. Ann. Rev.Entomol. 37: 479-503.

Wellington,W.G. 1960. Qualitative changesin natural population during change inabundance. Can. J. Zool. 38: 289-314.

Wikardi, E.A., Wiratno, dan Siswanto.1996. Beberapa hama utama tanamanjambu mete dan usaha pengendali-annya. Prosiding Forum KomunikasiIlmiah Komoditas Jambu Mete. Bogor,5-6 Maret 1996. hlm 124-132.

Wiratno, E.A. Wikardi, dan Siswanto. 2001.Keanekaragaman Helopeltis spp. di In-donesia. Prosiding Simposium Ke-anekaragaman Hayati Arthropoda padaSistem Produksi Pertanian, Cipayung,16-18 Oktober 2000. hlm 387-390.