55
PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI LAUNDRY DENGAN METODE KOAGULASI KIMIA DAN ELEKTROKIMIA FANTY RACHMAH DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTAIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI ... - repository.ipb.ac.id · PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI LAUNDRY DENGAN METODE KOAGULASI KIMIA DAN ELEKTROKIMIA ... sekitar 200 mg/liter hingga

  • Upload
    lytuyen

  • View
    265

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI LAUNDRY DENGAN METODE KOAGULASI KIMIA DAN

ELEKTROKIMIA

FANTY RACHMAH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTAIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengolahan Air

Limbah Industri Laundry dengan Metode Koagulasi Kimia dan Elektrokimia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Fanty Rachmah NIM F34090045

ABSTRAK

FANTY RACHMAH. Pengolahan Air Limbah Industri Laundry dengan Metode Koagulasi Kimia dan Elektrokimia. Dibimbing oleh SUPRIHATIN.

Air limbah industri laundry ditangani dengan metode koagulasi kimia dan

elektrokimia. Tujuan penelitian ini adalah sebagai penentuan pengolahan air limbah industri laundry yang terbaik, mengetahui kandungan parameter pencemar air limbah hasil olahan kedua metode tersebut, penambahan dosis koagulan yang optimum dengan metode koagulasi kimia, dan kombinasi terbaik dari tegangan listrik dan waktu kontak operasi yang optimum pada proses elektrokimia. Pada proses koagulasi kimia, sampel ditambahkan PAC dan Alum serta diaduk dengan kecepatan pengadukan 120 rpm dalam waktu 1 menit dan 45 rpm selama 30 menit. Perlakuan sampel dilakukan dengan dan tanpa pengaturan pH awal. Pengamatan menunjukkan adanya penurunan seluruh parameter pencemar air. Dosis koagulan terbaik pada limbah yang digunakan kembali (alternatif 1) adalah 800 mg/liter dan sekitar 200 mg/liter hingga 600 mg/liter untuk Alum. Sedangkan pada hasil pengolahan limbah yang dibuang langsung ke lingkungan (alternatif 2) dihasilkan penambahan dosis koagulan terbaik pada dosis 20 mg/l untuk PAC dan 200 mg/l untuk alum dengan dan tanpa pengaturan pH. Biaya bahan untuk alternaif 1 adalah pada koagulan PAC dosis 800 mg/l dengan biaya bahan Rp 8000/m3 dan sekitar Rp 900/m3 hingga Rp 2700/m3 untuk alum dengan dosis alum sekitar 200 hingga 600 mg/liter. Pada alternatif 2 biaya terendah adalah pada PAC dengan dosis 20 mg/l dan biaya bahan sebesar Rp 20/m3. Proses elekrokimia sampel diberi tegangan listrik 9, 12, 15, 18, dan 24 V dan dikombinasikan dengan waktu 15, 30, 45, dan 60 menit. Pengamatan menunjukkan peningkatan nilai pH, warna, kekeruhan, TSS, dan COD serta penurunan kadar fosfat dan kadar deterjen pada proses elektrokimia berturut-turut hingga 1.30 mg/liter dan 0.08 mg/liter. Kata kunci: koagulai kimia, elektrokimia, air limbah industri laundry.

ABSTRACT

FANTY RACHMAH. Wastewater Treatment of Laundry Industrial with Chemical Coagulation and Electrochemical Methods. Supervised by SUPRIHATIN.

The wastewater of laundry industrial have handle it with chemical coagulation and electrochemical. The observation of this case as good as experiment about the wastewater of laundry industry, knowledge content parameters of wastewater from processed by both methods, learn additional coagulant dose have optimum with methode of chemical coagulation, than as good as combination from electrical power and time of power electric shock optimum operation for electrochemical process. Process of chemical coagulation

such as added with PAC and alum stirred with 120 rpm about 1 minute and 30 minute for 45 rpm. There is electric power 9, 12, 15, 18, and 24 voltages combined with the specific time (15, 30, 45, and 60 minute). The second processing of analyzed the results of water pollution like pH, colours, turbidity, TSS, COD, phosphate-up, and level of detergent. Observation produce the rate of reduction of phosphate and detergent in successive electrochemical process until 1.30 mg/liter and 0.08 mg/liter. The best of alternative coagulant dose from wastewater that can be reused (alternative 1) is 800 mg/liter for PAC and around 200 mg/liter until 600 mg/liter for alum. Whereas, coagulant doses from the wastewater directly discharged into the environment (alternative 2) as good as about 20 mg/liter for PAC and 200 mg/liter for alum with pH and without pH. Cost of materials for alternative 1 is the coagulant PAC doses 800 mg/liter with cost materials Rp 8000/m3 and around Rp 900/m3 until Rp 2700/m3 for alum with doses about 200 until 600 mg/liter. The alternative 2 have a lowest cost around 20 mg/liter for PAC doses and cost materials about Rp 20/m3. Keywords: chemical coagulation, electrochemical, wastewater of laundry industrial.

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI LAUNDRY DENGAN METODE KOAGULASI KIMIA DAN

ELEKTROKIMIA

FANTY RACHMAH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

Judul Skripsi: Pengolahan Ai, Limbah Industri Laundry dengan Metode Koagulasi Kimia dan Elektrokimia

Nama : Fanty Rachmah NIM : F34090045

Disetujui oleh

Prof Dr lng lr Suprihatin Pembimbing

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Pengolahan Air Limbah Industri Laundry dengan Metode Koagulasi Kimia dan Elektrokimia Nama : Fanty Rachmah NIM : F34090045

Disetujui oleh

Prof Dr Ing Ir Suprihatin

Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Indrasti

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi berjudul “Pengolahan Air Limbah Industri Laundry dengan Metode Koagulasi Kimia dan Elektrokimia” berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan selama Februari sampai Juli 2013 ini adalah pengolahan air limbah.

Penulisan menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada: 1. Prof Dr Ing Ir Suprihatin selaku Pembimbing Akademik atas perhatian dan

bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi 2. Ayahanda Dadang Kusnawan dan Ibunda Sri Suryati beserta keluarga besar

atas doa, semangat, dan kasih sayangnya 3. Aulia, Fatia, Agus dan Alfian selaku sahabat atas bantuan dan dukungan

yang telah diberikan 4. Moh. Nasarullah dan keluarga besar TIN 46 atas semangat dan kebersamaan

yang telah diberikan 5. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

Fanty Rachmah

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 3

Limbah Cair Industri Laundry 3

Deterjen dan Senyawa Penyusunnya 3

Surfaktan 4

Metode Pengolahan Limbah Cair 5

Pengolahan Limbah Cair Secara Kimia 5

Koagulasi Kimia 6

Jar test 8

Elektrokimia 9

METODE 11

Bahan 11

Alat 12

Metodologi 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Metode Koagulasi Kimia 16

Metode Elektrokimia 24

SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 33 RIWAYAT HIDUP 42

DAFTAR TABEL

1 Jenis-jenis surfaktan pada deterjen 4 2 Perbandingan antara parameter pencemar air dengan standar baku mutu

air bersih dan dosis koagulan yang dipilih 23 3 Perbandingan antara parameter pencemar air dengan standar baku mutu

limbah cair dan dosis koagulan yang dipilih 23 4 Perbandingan antara dosis koagulan yang dipilih dengan besar biaya

bahan pada alternatif 1 24 5 Perbandingan antara dosis koagulan yang dipilih dengan besar biaya

bahan pada alternatif 2 24

DAFTAR GAMBAR

1 Penggunaan surfaktan di seluruh dunia 5 2 Proses pengikatan koloid oleh koagulan 7 3 Proses elektrokimia 104 Rancangan unit proses elektrokimia 12 5 Proses Koagulasi Kimia 13 6 Skema penelitian pengolahan air limbah laundry dengan metode

koagulasi kimia 14 7 Proses Elektrokimia dengan katoda alumunium 15 8 Skema penelitian pengolahan air limbah laundry dengan metode

koagulasi kimia 16 9 Grafik nilai pH terhadap penambahan dosis koagulan 17

10 Grafik nilai kekeruhan terhadap penambahan dosis koagulan 18 11 Grafik nilai warna terhadap penambahan dosis koagulan 19 12 Grafik nilai TSS terhadap penambahan dosis koagulan 20 13 Grafik nilai COD terhadap penambahan dosis koagulan 21 14 Grafik kadar fosfat terhadap penambahan dosis koagulan 21 15 Grafik kadar deterjen terhadap penambahan dosis koagulan 22 16 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai pH 25 17 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai

kekeruhan 25 18 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai

warna 26 19 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai TSS 27 20 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai COD 27 21 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap

konsentrasi fosfat 28 22 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap

konsentrasi deterjen 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Standar baku mutu air bersih berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MEN.KES/PER/IX/1990 33

2 Standar baku mutu limbah cair industri berdasarkan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-51/MENLH/10/1995 34

3 Spesifikasi PAC 35 4 Spesifikasi Alum 36 5 Perhitungan metode elektrokimia 37 6 Metode analisis parameter pencemar air limbah 40

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan pesat industri laundry berpengaruh besar terhadap lingkungan sekitarnya. Limbah yang dihasilkan memiliki kandungan polutan di atas rata-rata air baku. Oleh sebab itu, perlu penanganan lebih lanjut agar air limbah dapat digunakan kembali untuk kegiatan produksi dan tidak mencemari lingkungan di sekitar lokasi pembuangan limbah.

Deterjen merupakan bahan utama yang digunakan pada industri laundry. Produk yang disebut deterjen ini meliput semua bahan pembersih sintetik yang terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Pada umumnya deterjen mengandung bahan-bahan seperti, surfaktan, builder (pembentuk), filler (pengisi), dan additives.

Kemampuan detergen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi dan meningkatkan umur pakaian sudah tidak diragukan lagi. Banyak manfaat penggunaan deterjen menjadikannya benda penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Namun, perlu diakui bahwa bahan kimia yang digunakan dalam detergen dapat menimbulkan dampak negatif, baik terhadap kesehatan maupun lingkungan sekitar. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen adalah surfaktan dan builders. Kedua bahan tersebut diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap manusia dan lingkungan (Yuliarti 2008).

Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit menjadi kasar, hilangnya kelembaban alami yang ada pada permukaan kulit dan meningkatkan permeabilitas permukaan luar. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki toleransi kontak dengan bahan kimia dengan kandungan 1% LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) dan AOS (Alpha Olein Sulfonate) yang berakibat iritasi ringan pada kulit. Surfaktan kationik bersifat toksik jika tertelan dibandingkan dengan surfaktan anionik dan non-ionik. Sisa bahan surfaktan yang terdapat dalam detergen dapat membentuk chlorbenzene pada proses kloronisasi pengolahan air minum PDAM. Chlorbenzene merupakan senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan (Yuliarti 2008).

Deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan penurunan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah. Keberadaan busa-busa di permukaaan air menjadi salah satu penyebab terbatasnya kontak udara dan air sehingga menurunkan oksigen terlarut. Hal ini menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan mendatangkan kematian.

Builders yang paling banyak dimanfaatkan di dalam deterjen adalah fosfat. Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen, yaitu sebagai pelunak air. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat aksi pelunaknya, efektivitas daya cuci deterjen meningkat. Fosfat yang biasa dijumpai pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly Phosphate (STPP). Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan makhluk hidup. Namun,

2

dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air sehingga badan air kekurangan oksigen akibat pertumbuhan alga (phytoplankton) yang berlebihan yang merupakan makanan bakteri. Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang terdapat dalam air sampai suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan air dan pada akhirnya justru membahayakan kehidupan makhluk air dan sekitarnya (Yuliarti 2008).

Menurut Morse et al. (1993) yang dikutip oleh Saefumillah (2003), senyawa fosfat yang masuk ke dalam air berasal dari antara lain 10% berasal dari proses alamiah di lingkungan itu sendiri (background source), 7% dari industri, 11% dari deterjen, 17% dari pupuk pertanian, 23% dari limbah manusia, dan yang terbesar 32% dari limbah peternakan. Melihat besarnya konsumsi deterjen oleh masyarakat dan industri, maka air limbah domestik maupun limbah industri yang menggunakan deterjen sangat potensial mencemari lingkungan perairan, terutama air buangan dari deterjen yang mengandung fosfat harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air. Oleh karena itu harus ditangani segera, dengan dicari alternaif teknik pengolahannya.

Perumusan Masalah

1. Pengaruh pengolahan air limbah indusri laundry secara kimia dan fisika. 2. Pemilihan metode yang terbaik dilihat dari segi penurunan parameter

pencemar air.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : i) untuk membandingkan proses pengolahan air limbah secara kimia dan fisika, ii) mengetahui kandungan parameter pencemar air limbah hasil olahan kedua metode tersebut meliputi pH, warna, kekeruhan, TSS, COD, kadar fosfat dan kadar deterjen, iii) untuk mengetahui penambahan dosis koagulan yang optimal dalam pengolahan air limbah industri laundry melalui proses koagulasi kimia, serta iv) kombinasi terbaik dari tegangan listrik dan waktu kontak operasi pada proses elektrokimia terhadap efisiensi pengurangan parameter pencemar air limbah.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah untuk menurunkan kandungan parameter pencemar air limbah sehingga air limbah dapat digunakan kembali untuk kegiatan produksi, sebagai alternatif metode pengolahan air limbah dan untuk menurunkan biaya pengolahan pengolahan.

3

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada pengolahan air limbah industri laundry yang dihasilkan pada PT Aura Petra Jaya, Bekasi Timur. Kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi karakterisasi air limbah industri laundry, pengolahan air limbah dengan metode koagulasi kimia dan elektrokimia, serta hasil pengolahan air limbah dengan metode koagulasi kimia dan elektrokimia dianalisis. Pengujian terdiri atas pH, kekeruhan, warna, TSS, COD, kadar fosfat dan kadar deterjen.

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Cair Industri Laundry

Proses laundry menghasilkan air limbah yang berasal dari bleaching (pemucat), water softener, dan surfactant (Turk et al. 2005). Konsentrasi, jenis dan jumlah zat kimia yang ditambahkan selama proses laundry tergantung pada jenis bahan yang akan dibersihkan dan jumlah bahan yang akan dibuang ke permukaan tanah. Surfaktan mempunyai kemampuan yang unik untuk menyisihkan padatan yang larut maupun tidak larut dalam air. Regulasi dan kepedulian terhadap lingkungan, menginginkan agar konsentrasi surfaktan pada effluen harus direduksi sampai tingkat tertentu yang aman terhadap lingkungan. Air limbah dari proses laundry dilaporkan mengandung bahan (zat) yang kotor, mineral oil, logam berat, dan material berbahaya yang mempunyai kandungan COD antara 1200 sampai dengan 20,000 mg/liter. Komposisi air limbah laundry terdiri dari air 80%, surfaktan 5%, polifosfat 8%, penstabil busa 1,2%, senyawa silica 1%, karbonsimetilselulose 0,2% dan sodium sulfat 4,6% (Fair 1968).

PT Aura Petra Jaya merupakan industri yang bergerak di bidang jasa pencucian atau laundry. Industri ini membutuhkan air dalam jumlah yang cukup banyak dalam proses pencuciannya. Air yang digunakan untuk proses tersebut akan dikeluarkan lagi sebagai cairan buangan atau limbah cair. Seperti yang telah diketahui bahwa untuk mencuci suatu bahan memerlukan bahan penghilang noda atau sering disebut sebagai deterjen. Limbah cair yang dari hasil proses pencucian mengandung beberapa komponen penyusun deterjen yang menjadi sumber pencemaran bagi lingkungan sekitar (Yuliarti 2008).

Deterjen dan Senyawa Penyusunnya

Deterjen merupakan suatu senyawa yang termasuk dalam zat aktif permukaan (surface active agent) yang digunakan sebagai zat pencuci. Senyawa sintetik ini tidak hanya digunakan dalam keperluan rumah tangga, tetapi juga industri tekstil, kosmetik, obat-obatan, logam, kertas dan karet, karena sifat-sifatnya dalam hal dispersi (pelarutan), pencucian dan emulsi (Austin 1986). Bahan deterjen yang umum digunakan adalah Dodecyl Benzen Sulfonat. Di dalam

4

air, deterjen akan mengalami ionisasi membentuk komponen bipolar aktif yang akan mengikat ion Ca dan atau Mg pada air sadah. Untuk dapat membersihkan kotoran dengan baik, deterjen diberikan bahan pembentuk yang bersifat alkalis. Contoh bahan pembentuk yang bersifat alkalis yaitu Natrium tripoliposfat (Wardhana 2001).

Deterjen mengandung sekitar 25 macam bahan (ingredient) yang dapat dikelompokkan sebagai 1) surfaktan, 2) builder, 3) bleaching agents dan 4) additives (Smulders 2002). Tiap komponen tersebut mempunyai peran spesifik dalam proses pencucian. Surfaktan merupakan kelompok yang sangat penting dalam deterjen, dan hampir semua deterjen mengandung surfaktan.

Surfaktan

Surfaktan merupakan senyawa yang larut dalam air yang dapat dibedakan atas 1) surfaktan anionik 2) surfaktan nonionik 3) surfaktan kationik dan 4) surfaktan amfoterik. Tabel 1 memperlihatkan jenis-jenis surfaktan yang biasanya terdapat dalam deterjen.

Tabel 1 Jenis-jenis surfaktan pada deterjen

No. Surfaktan Rumus Bangun Jenis Surfaktan

1 Alkil (polietilen) glikol Ethers

Non ionic

2 Alkilsulfonat

Anionik

3 Dialkildimetilamo-nium Chloride

Kationik

4 Betaines

Amfoterik

Sumber : Smulders (2002).

5

Gambar 1 menampilkan jenis-jenis surfaktan yang banyak digunakan dalam deterjen. Di Asia Pasifik dan Amerika Latin, Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) merupakan senyawa surfaktan anionik yang banyak digunakan dalam deterjen.

Gambar 1 Penggunaan surfaktan di seluruh dunia (Smulders 2002)

Metode Pengolahan Limbah Cair

Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan. Apapun macam teknologi pengolahan air limbah industri yang dibangun harus dapat dioperasikan dan dipelihara oleh perusahaan setempat. Berbagai teknik pengolahan air buangan untuk menyisihkan bahan polutannya telah dicoba dan dikembangkan selama ini.

Menurut Wardhana (2001) teknik-teknik pengolahan air buangan yang telah dikembangkan tersebut secara umum terbagi menjadi tiga metode pengolahan:

1. Pengolahan secara kimia 2. Pengolahan secara fisika 3. Pengolahan secara biologi

Untuk suatu jenis air buangan tertentu, ketiga metode pengolahan tersebut dapat diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau secara kombinasi.

Pengolahan Limbah Cair Secara Kimia

Pengolahan limbah cair secara kimia dilakukan untuk memisahkan partikel– partikel koloid zat padat tersuspensi yang halus dan senyawa lain yang sulit dipisahkan dengan cara pengolahan fisika (Supriyati 1991). Prinsip yang

6

digunakan untuk mengolah limbah cair secara kimia adalah menambahkan bahan kimia (koagulan) yang dapat mengikat bahan pencemar yang dikandung air limbah, kemudian memisahkannya (mengendapkan atau mengapungkan). Kekeruhan dalam air limbah dapat dihilangkan melalui penambahan atau pembubuhan sejenis bahan kimia yang disebut flokulan. Pada umumnya bahan seperti aluminium sulfat (tawas), fero sulfat, poli ammonium klorida atau poli elektrolit organik dapat digunakan sebagai flokulan. Untuk menentukan dosis yang optimal, flokulan yang sesuai dan pH yang digunakan dalam proses pengolahan air limbah, secara sederhana dapat dilakukan dalam laboratorium dengan menggunakan jar test yang merupakan model sederhana dari proses koagulasi. Dalam pengolahan limbah cara ini, hal yang penting harus diketahui adalah jenis dan jumlah polutan yang dihasilkan dari proses produksi. Umumnya zat pencemar industri kain terdiri atas tiga jenis yaitu padatan terlarut, padatan koloidal, dan padatan tersuspensi (Supriyati 1991).

Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya) sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit. Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10.5 dan untuk hidroksiapatit pada pH > 9.5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5). Penyisihan bahan-bahan organik beracun seperti fenol dan sianida pada konsentrasi rendah dapat dilakukan dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2), kalsium permanganat, aerasi, ozon hidrogen peroksida. Pada dasarnya kita dapat memperoleh efisiensi tinggi dengan pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya pengolahan menjadi mahal karena memerlukan bahan kimia (Notoatmodjo 2003).

Koagulasi Kimia

Salah satu metode yang banyak digunakan dalam pretreatment dari industri laundry adalah teknik koagulasi kimia yang diikuti dengan flotasi menggunakan udara (Dissolved Air Flotation) (Ciabatti et al. 2009). Koagulasi kimia adalah salah satu proses kimia yang digunakan untuk menghilangkan bahan cemaran yang tersuspensi atau dalam bentuk koloid. Partikel-partikel koloid ini tidak dapat mengendap sendiri dan sulit ditangani oleh perlakuan fisik. Pada proses ini, koagulan dan air limbah yang akan diolah dicampurkan dalam suatu wadah atau tempat kemudian dilakukan pengadukan secara cepat agar diperoleh campuran yang merata distribusi koagulannya sehingga proses pembentukan gumpalan atau flok dapat terjadi secara merata pula. Kemudian terbentuk flok-flok lembut yang dapat disatukan. Penggoyahan partikel koloid ini akan terjadi apabila elektrolit yang ditambahkan dapat diserap oleh partikel koloid sehingga muatan partikel menjadi netral. Penetralan muatan partikel oleh koagulan hanya mungkin terjadi jika muatan partikel mempunyai konsentrasi yang cukup kuat untuk mengadakan

7

gaya tarik menarik antara partikel koloid. Keefektifan proses ini bergantung pada konsentrasi serta jenis koagulan, pH dan temperatur.

Teknik koagulasi adalah pengolahan yang telah lama dikenal yaitu dengan cara menambahkan senyawa kimia seperti garam-garam Al3+ dan Fe3+ atau senyawa polimer organik. Koagulasi adalah metode untuk menghilangkan bahan-bahan limbah dalam bentuk koloid, dengan menambahkan koagulan. Dengan koagulasi, partikel-partikel koloid akan saling menarik dan menggumpal membentuk flok (Suryadiputra 1995). Proses pengikatan partikel koloid dapat dilihat pada Gambar 2.

Tujuan pengadukan cepat adalah untuk mempercepat dan menyeragamkan penyebaran zat kimia melalui air yang diolah. Koagulan yang umum digunakan adalah alumunium sulfat, feri sulfat, fero sulfat dan PAC.

Gambar 2 Proses pengikatan koloid oleh koagulan (CG)

Pengadukan cepat yang efektif sangat penting ketika menggunakan koagulan logam seperti alum dan ferric chloride, karena proses hidrolisisnya terjadi dalam hitungan detik dan selanjutnya terjadi adsorpsi partikel koloid. Waktu yang dibutukan untuk zat kimia lain seperti polimer (polyelectrolites), chlorine, zat kimia alkali, ozone, dan potassium permanganat, tidak optimal karena tidak mengalami reaksi hidrolisis.

Menurut Sawyer dan McCarty (1978) terdapat tiga tahapan penting yang diperlukan dalam proses koagulasi yaitu : tahap pembentukan inti endapan, tahap flokulasi, dan tahap pemisahan flok dengan cairan.

a. Tahap Pembentukan Inti Endapan Pada tahap ini diperlukan zat koagulan yang berfungsi untuk penggabungan

antara koagulan dengan polutan yang ada dalam air limbah. Agar penggabungan dapat berlangsung diperlukan pengadukan dan pengaturan pH limbah. Pengadukan dilakukan pada kecepatan 60-100 rpm selama 1-3 menit; pengaturan pH tergantung dari jenis koagulan yang digunakan, misalnya untuk : Alum pH 6- 8, Fero Sulfat pH 8-11, Feri Sulfat pH 5-9, dan PAC pH 6-9.3.

b. Tahap Flokulasi Pada tahap ini terjadi penggabungan inti inti endapan sehingga menjadi

molekul yang lebih besar, pada tahap ini dilakukan pengadukan lambat dengan kecepatan 40-50 rpm selama 15-30 menit. Untuk mempercepat terbentuknya flok dapat ditambahkan flokulan misalnya polielektrolit. Polielektrolit digunakan secara luas, baik untuk pengolahan air proses maupun untuk pengolahan air limbah industri. Polielektrolit dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu nonionik, kationik dan anionik; biasanya bersifat larut air. Sifat yang menguntungkan dari penggunaan polielektrolit adalah : volume lumpur yang terbentuk relatif lebih

8

kecil, mempunyai kemampuan untuk menghilangkan warna, dan efisien untuk proses pemisahan air dari lumpur (dewatering).

c. Tahap Pemisahan Flok dengan Cairan Flok Tahap pemisahan flok dengan cairan flok yang terbentuk selanjutnya harus

dipisahkan dengan cairannya, yaitu dengan cara pengendapan atau pengapungan. Bila flok yang terbentuk dipisahkan dengan cara pengendapan, maka dapat digunakan alat clarifier, sedangkan bila flok yang terjadi diapungkan dengan menggunakan gelembung udara, maka flok dapat diambil dengan menggunakan skimmer. Image clarifier berfungsi sebagai tempat pemisahan flok dari cairannya. Clarifier diharapkan lumpur benar-benar dapat diendapkan sehingga tidak terbawa oleh aliran air limbah yang keluar dari clarifier, untuk itu diperlukan perencanaan pembuatan clarifier yang akurat. Kedalaman clarifier dipengaruhi oleh diameter clarifier yang bersangkutan. Misalkan dibuat clarifier dengan diameter lebih kecil dari 12 m, diperlukan kedalaman air dalam clarifier minimal sebesar 3.0 m.

Koagulasi, dengan penambahan koagulan aluminium sulfat akan menghasilkan reaksi kimia dimana muatan-muatan negatif yang saling tolak menolak disekitar partikel terlarut berukuran koloid akan ternetralisasi oleh ion-ion positif dari koagulan dan akhirnya partikel-partikel koloid akan saling menarik dan menggumpal membentuk flok. Reaksi kimia yang terjadi adalah sebagai berikut:

Al2(SO4) Al3+ + SO42- .............................................. (1)

Al3+ + H2O AlOH2+ + H+ .............................................. (2) SO4

2- + Ca2+ CaSO4 ............................................. (3) Al2(SO4)2.18H20 + 3Ca (HCO3)2 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2

+18 H20 .......................(4) Flok-flok kemudian akan beragregasi. Ketika pertumbuhan flok sudah

cukup maksimal (massa, ukuran), flok-flok ini akan mengendap ke dasar reservoir, sehingga terbentuk dua lapisan pada reservoir, yaitu lapisan air jernih pada bagian atas reservoir dan lapisan endapan flok yang menyerupai lumpur pada dasar reservoir (Budiman 2008).

Jar test

Jar test adalah rangkaian test untuk mengevaluasi proses-proses koagulasi dan flokulasi serta menentukan dosis pemakaian bahan kimia. Pada pengolahan air bersih atau air limbah dengan proses kimia selalu dibutuhkan bahan kimia tertentu pula untuk menurunkan kadar polutan yang ada di dalam air atau air limbah. Penambahan bahan kimia tidak dapat dilakukan sembarang, harus dengan dosis yang tepat dan bahan kimia yang cocok serta harus memperhatikan pHnya. Sehingga jar test bertujuan untuk mengoptimalkan pengurangan polutan dengan :

1. Mengevaluasi koagulan dan flokulan. 2. Menentukan dosis bahan kimia. 3. Mencari pH yang optimal.

9

Untuk melakukan jar test, dapat digunakan alat flok tester yang dilengkapi dengan gelas piala dan pengadukan yang sempurna. Menurut Dedy (1993) analisis jar test pada dasarnya dibagi dalam tiga tahap, yaitu :

1. Pembubuhan bahan koagulan. 2. Dengan perkiraan jumlah bahan koagulan yang ditambahkan, dilakukan

percobaan dengan variasi kondisi pH. 3. Dengan kondisi pH yang telah dipilih, dilakukan optimisasi dengan

dosis koagulan yang tepat yang harus ditambahkan. Air mengandung partikel-partikel koloid yang terlalu ringan untuk

mengendap dalam waktu singkat. Partikel-partikel koloid tersebut tidak dapat menyatu menjadi partikel yang lebih besar karena pada umumnya partikel-partikel tersebut bermuatan elektris yang sama, sehingga dibutuhkan penambahan bahan kimia seperti koagulan yang dapat mendestabilkan partikel-partikel koloidal. Koagulasi adalah proses adsorpsi dari koagulan terhadap partikel koloid sehingga menyebabkan destabilisasi partikel. Proses ini biasa disebut proses netralisasi.

Koagulasi yang efektif terjadi pada selang pH tertentu. Penggunaan koagulan logam seperti aluminium dan garam-garam besi secara umum dapat mendekolorisasi air limbah yang mengandung komponen-komponen organik. Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan pada partikel tersuspensi dan koloid. Flokulasi adalah aglomerasi dari partikel yang terdestabilisasi dan koloid menjadi partikel terendapkan.

Ketika koagulan direaksikan dengan air limbah, partikel-partikel koloid yang terdapat dalam limbah tersebut akan membentuk agregasi atau penggabungan partikel kecil untuk membentuk partikel yang lebih besar, sebagai akibat dari adanya perbedaan muatan antara partikel koloid dengan koagulan. Proses koagulasi saja terkadang belum cukup untuk mengendapkan agregat tersebut secara cepat. Penambahan polimer akan mempengaruhi kestabilan molekul dari agregat yang terbentuk, sehingga ketika molekul dalam keadaan tidak stabil polimer akan mudah untuk berikatan dengan agregat yang nantinya akan membentuk agregasi baru atau disebut juga flok. Flok-flok tersebut akan saling bergabung membentuk flok yang lebih besar. Flok-flok yang terbentuk mempunyai berat molekul yang lebih besar dari molekul air sebagai akibat dari penambahan polimer, sehingga flok tersebut akan dengan mudah mengendap.

Elektrokimia

Elektrokimia merupakan suatu proses koagulasi kontinyu dengan menggunakan arus listrik searah melalui peristiwa elektrokimia, yaitu gejala dekomposisi elekrolit, dimana salah satu elektrodanya adalah aluminium ataupun besi. Proses ini akan terjadi reaksi reduksi, dimana logam-logam akan direduksi dan diendapkan di kutub negatif, sedangkan elektroda positif (Al3+) akan teroksidasi menjadi [Al(OH)

3] yang berfungsi sebagai koagulan (Prabowo 2011).

10

Gambar 3 menunjukkan proses elektokimia.

Gambar 3 Proses Elektrokimia (Holt 2001 dalam Hudori 2008)

Elektrokimia merupakan salah satu metode pengolahan air dimana pada anoda terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam (biasanya aluminium atau besi) ke dalam larutan, sedangkan pada kaoda terjadi reaksi elektrolisis berupa pelepasan gas hidrogen (Holt et al. 2004).

Interaksi yang terjadi di dalam larutan yaitu: (1) migrasi menuju muatan elektroda yang berlawanan (elektroforesis) dan netralisasi muatan, (2) kation atau ion hidroksil membentuk endapan dengan pengotor, (3) interaksi kation logam dengan ion OH- membentuk sebuah hidroksida dengan sifat adsorpsi yang tinggi selanjutnya berikatan dengan polutan, (4) oksidasi polutan sehingga sifat toksiknya berkurang (Holt et al. 2004).

Prinsip kerja yang terjadi pada elektrokimia sama seperti teori double layer yaitu pembentukan flokulasi partikel bersifat adsorbsi, koagulan bermuatan positif akan menyerap ion negatif limbah seperti nitrit, fosfat, dan senyawa organik lainnya dan membentuk flok yang membantu proses penurunan COD (Holt et al. 2004).

Dalam sebuah reaktor yang merupakan sel elektrokimia, dimana dalam reaktor tersebut disusun elektroda – elektroda yang akan kontak dengan air yang akan diolah. Elektroda dalam proses elektrokimia merupakan salah satu alat untuk menghantarkan atau menyampaikan arus listrik ke dalam larutan agar larutan tersebut terjadi suatu reaksi (perubahan kimia). Elektroda tempat terjadinya reaksi reduksi disebut katoda, sedangkan tempat terjadinya reaksi oksidasi disebut anoda (Prabowo 2011).

11

Menurut Susetyaningsih (2008), pada katoda, ion H+ dari suatu asam akan direduksi menjadi gas hidrogen yang akan bebas sebagai gelembung – gelembung gas.

Larutan yang mengalami reduksi adalah pelarut (air) dan terbentuk gas hidrogen (H2) pada katoda

Pada Anoda yang biasanya terbuat dari logam aluminium akan mengalami oksidasi

Ion OH- dari basa akan mengalami oksidasi membentuk gas oksigen (O2)

Jika dalam larutan limbah mengandung ion – ion logam lain maka ion-ion logam akan direduksi menjadi logamnya dan terdapat pada batang katoda.

Besarnya kuat arus dan tegangan listrik yang diberikan pada saat proses elektrokimia berlangsung akan mempengaruhi flok-flok yang dihasilkan. Semakin besar kuat arus dan tegangan yang diberikan semakin banyak pula flok-flok dihasilkan yang dapat mengikat kontaminan pada limbah. Jarak antar plat elektroda sangat berpengaruh pada proses penurunan konsentrasi TSS. Semakin dekat jarak antar elektroda maka penurunan konsentrasi TSS lebih besar, sehingga dapat dikatakan penggunaan jarak antar elektroda yang berbeda mempunyai pengaruh terhadap penurunan konsentrasi TSS. Disebabkan semakin jauh jarak antar elektroda maka lintasan perputaran arus listrik semakin sedikit sehingga efisiensi proses penurunan konsentrasi TSS yang terjadi semakin kecil.

METODE

Bahan

Penelitian ini menggunakan air limbah yang diambil dari PT Aura Petra Jaya yang bergerak dibidang laundry. Air limbah dari industri ini mengandung beberapa komponen dari deterjen khususnya surfaktan dan fosfat. Bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia yang digunakan untuk keperluan pengujian meliputi PAC, Alum, larutan H2SO4 0,02%, larutan ammonium molybdat, larutan SnCl2, gliserol, air destilata, larutan K2Cr2O7, pereaksi COD H2SO4, indikator ferroin, indikator PP, larutan Ferro Alumunium Sulfat (FAS) 0,1 M, chloroform, larutan pencuci, methylene blue, H2SO4 1 N dan NaOH 1 N.

12

Alat

Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah rangkaian peralatan uji jar test untuk penentuan dosis koagulan optimum. Pada pengujian pengolahan limbah cair dengan teknik elektrokimia yang terdiri dari power supply yang terhubung dengan 2 buah elektroda alumunium dengan ukuran masing-masing 15 cm x 5 cm x 0.4 cm, gelas piala berukuran 1 liter, dan magnetic stirrer. Alat yang digunakan untuk pengujian antara lain: spektrofotometer, COD reactor, Automatic N Distillator, pH meter, botol sampel berbagai ukuran, serta berbagai alat gelas.

Gambar 4 Rancangan unit proses elektrokimia

Metodologi

Tahap awal penelitian dimulai dari pengambilan sampel. Penelitian dilanjutkan dengan melakukan karakterisasi mutu air limbah meliputi pH, warna, kekeruhan, TSS, COD, kadar fosfat, dan kadar deterjen. Prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 27.

Selanjutnya dilakukan pengujian jar test untuk mengetahui dosis optimum penambahan koagulan. Koagulan yang digunakan adalah PAC dan alum. Pada proses koagulasi Jar test digunakan untuk mencari beberapa dosis yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang optimal. Proses koagulasi ini dengan pengadukan cepat (120 rpm) dalam waktu 1 menit supaya terjadi turbulensi yang baik agar bahan kimia dapat menangkap partikel-partikel koloid dan pengadukan lambat (45 rpm) selama 30 menit. Setelah selesai dengan proses koagulasi, terjadi proses penggabungan partikel-partikel yang tidak stabil sehingga membentuk flok yang lebih besar dan lebih cepat dapat dipisahkan. Flok yang terbentuk sering terjadi tidak begitu bagus sehingga dibutuhkan bahan kimia atau tambahan yang dapat membantu penggabungan flok-flok tersebut sehingga menjadi flok yang lebih besar. Metode koagulasi kimia dapat dilihat pada Gambar 5.

13

Pada proses koagulasi kimia ini dilakukan dua perlakuan pada sampel. Perlakuan pertama adalaah air limbah tanpa pengaturan pH dan perlakuan kedua adalah air limbah dengan pengaturan pH. Pada perlakuan kedua, sebelum sampel diolah dengan proses koagulasi kimia, air limbah dimasukan dalam wadah besar (bak plastik) dan ditambahkan larutan NaOH hingga mencapai pH 7.

Penelitian dilakukan dengan metode trial and error yaitu penambahan dosis koagulan PAC dan alum secara bertahap hingga diperoleh hasil koagulan PAC berkisar 0 hingga 2000 mg/liter tanpa pengaturan pH awal dan pada sampel dengan pengaturan pH awal berkisar 0 hingga 1400 mg/liter. Sedangkan dosis koagulan alum tanpa pengaturan pH awal berkisar 0 hingga 3400 mg/liter dan alum pada sampel yang dilakukan pengaturan pH awal berkisar 0 hingga 1800 mg/liter.

Gambar 5 Proses koagulasi kimia

Setelah dilakukan pengujian jar test dilakukan analisis laboratorium terhadap parameter pH, warna, kekeruhan, TSS, COD, kadar fosfat, dan kadar deterjen. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan Ms. Excell untuk melihat efisiensi pengolahan secara kimia terhadap masing-masing parameter tersebut.

14

Gambar 6 menunjukkan tahapan penelitian tentang pengolahan air limbah laundry dengan metode koagulasi kimia.

Gambar 6 Skema penelitian pengolahan air limbah laundry dengan metode koagulasi

Selanjutnya dilakukan proses elektrokimia terhadap air limbah industri

laundry. Faktor yang dikaji pada penelitian ini adalah jenis limbah yang digunakan (air limbah PT Aura Petra Jaya), variasi tegangan (9 V, 12 V, 15 V, 18 V, dan 24 V), dan waktu kontak operasi (15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit). Pemilihan variasi tegangan didasarkan pada penelitian sebelumnya (Windika 2012) yang berhasil menggunakan variasi tegangan tersebut pada pengolahan limbah cair industri pangan. Prinsip pengolahan air limbah dengan teknik elektrokimia adalah dengan cara penggumpalan dan pengendapan partikel-partikel halus yang ada dalam air menggunakan energi listrik. Proses elektrokimia dilakukan pada bejana elektrolisis yang di dalamnya terdapat dua penghantar arus listrik searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan limbah sebagai elektrolit. Apabila dalam suatu larutan elektrolit ditempatkan dua elektroda dan dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima elektron yang direduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda dan menyerahkan elektron yang dioksidasi.

15

Setelah itu membentuk flok yang mampu mengikat kontaminan dan partikel-partikel dalam limbah. Arus listrik dialirkan dengan aliran searah (DC) pemasok arus (power supply). Tegangan arus listrik diatur sesuai dengan variasi yang dikehendaki. Tegangan arus listrik disalurkan melalui kabel yang berujung pada elektroda dan dicelupkan pada media, dalam hal ini air limbah industri laundry (Gambar 7).

Gambar 7 Proses elektrokimia dengan katoda Aluminium

Elektroda yang digunakan adalah aluminium dengan ukuran 15 cm x 1.5 cm x 0.3 cm. Tegangan arus listrik menyebabkan elektroda melepaskan unsur-unsur yang membantu penggumpalan. Dengan menggumpalnya bahan terlarut dalam media limbah cair maka akan terbentuk flok dan mengendap ke bawah ataupun mengapung pada bagian atas. Bahan yang menggumpal merupakan bahan-bahan pencemar yang terdapat pada limbah.

16

Berikut tahapan proses elektrokimia :

Gambar 8 Skema penelitian pengolahan air limbah laundry dengan metode elektrokimia

HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode Koagulasi Kimia

pH

Gambar 9 memperlihatkan bahwa pH mengalami penurunan baik pada sampel dengan pengaturan pH awal maupun tanpa dilakukan pengaturan. Namun, penurunan nilai pH tanpa pengaturan pH awal lebih besar dibandingkan dengan sampel dengan pengaturan pH awal. pH mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan proses koagulasi kimia. pH ditentukan dan diukur dari kandungan H+ dan OH- yang terkandung dalam air. Keberadaan ion ini dalam air akan mengubah partikel koloid menjadi lebih positif atau lebih negatif (Shammas 2005). Penurunan pH ini diakibatkan oleh koagulan yang dibubuhkan memiliki sifat asam.

17

Penambahan koagulan berbanding lurus dengan perubahan penurunan pH, semakin besar dosis koagulan yang ditambahkan maka penurunan pH akan semakin besar.

Gambar 9 Grafik nilai pH terhadap penambahan dosis koagulan

Pada penggunaan PAC sebagai koagulan, pH air hasil pengolahan lebih kecil mengalami penurunan dibanding koagulan aluminium sulfat. Hal ini dapat dilihat dari reaksi yang terjadi sebagai berikut:

Aluminium sufat :

PAC :

Reaksi di atas menunjukkan bahwa pada reaksi hidrolisis, aluminium sulfat dalam air melepas ion H+ sebanyak 6 H+, sedangkan pada reaksi hidrolisis PAC hanya dilepaskan 1 buah ion H+. Hal ini akan menyebabkan pH air yang menggunakan aluminium sulfat akan bersifat lebih asam daripada yang menggunakan koagulan PAC (Budiman 2008).

Gambar 10 menunjukkan bahwa nilai kekeruhan mengalami penurunan dari nilai kekeruhan awal sebesar 92.5 FTU hingga mencapai nilai 2 FTU untuk koagulan PAC dengan dosis 1200 mg/liter dan 4 FTU untuk koagulan alum dengan dosis 1400 mg/liter pada sampel tanpa pengaturan pH awal. Hal ini

Kekeruhan

Kekeruhan adalah keadaan suatu cairan tidak dapat meneruskan cahaya yang dipaparkan disebabkan oleh partikel yang terperangkap dalam air yang terdiri dari bahan-bahan anorganik dan organik yang terkandung dalam air seperti lumpur dan bahan yang dihasilkan oleh buangan industri yang dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan, estetika dan proses desinfeksi. Materi organik penyebab kekeruhan yang ada di air permukaan dapat digunakan sebagai makanan oleh bakteri, dan menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menambah kekeruhan. Nutrien anorganik seperti nitrogen dan fosfor biasanya berasal dari air buangan atau pertanian juga menambah tingkat kekeruhan air permukaan (Sawyer dan Clair 1994).

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

0 1000 2000 3000 4000

pH

Dosis Koagulan (mg/liter)

PAC tanpa Pengaturan pH

Alum tanpa pengaturan pH

PAC dengan pengaturan pH

Alum dengan pengaturan pH

18

disebabkan oleh semakin banyak partikel koloid dalam air yang dinetralkan dengan muatan positif pada koagulan, sehingga filtrat air menjadi lebih jernih. Filtrat air menjadi lebih jernih tersebut karena partikel koloid dalam air sebagai penyebab kekeruhan bereaksi dengan muatan positif dari koagulan yang kemudian membentuk flok yang dapat mengendap.

Penambahan koagulan merupakan penambahan kation untuk menetralisasi muatan negatif partikel koloid dalam air sehingga terjadi gaya Van der Waals, sehingga partikel koloid terflokulasi. Ditunjukkan bahwa dosis koagulan di atas 1400 mg/liter untuk PAC dan alum tanpa pengaturan pH awal akan mengalami kenaikan nilai kekeruhan kembali sedangkan untuk sampel dengan pengaturan pH awal akan mengalami kenaikan nilai kekeruhan kembali pada dosis di atas 1200 mg/liter untuk PAC dan di atas 1000 mg/liter untuk alum. Hal ini disebabkan oleh kation yang dilepaskan terlalu berlebih daripada yang dibutuhkan oleh partikel koloid dalam air yang bermuatan negatif untuk membentuk flok. Akibatnya akan terjadi penyerapan kation yang berlebih oleh partikel koloid dalam air sehingga partikel koloid akan bermuatan positif dan terjadi gaya tolak-menolak antara partikel, sehingga flok tidak terbentuk yang mengakibatkan larutan menjadi semakin keruh dan nilai turbiditas air menjadi meningkat.

Gambar 10 Grafik nilai kekeruhan terhadap penambahan dosis koagulan

Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai warna mengalami penurunan yang cukup besar hingga bernilai 4.5 PtCo untuk PAC dan 11 PtCo untuk alum. Hal ini dikarenakan dosis koagulan yang ditambahkan sudah sesuai dengan kebutuhan

Warna

Warna air yang terdapat di alam sangat bervariasi, misalnya air di rawa-rawa berwarna kuning, coklat atau kehijauan. Air sungai biasanya berwarna kuning kecoklatan karena mengandung lumpur. Air limbah yang mengandung besi (Fe) dalam jumlah banyak berwarna coklat kemerahan. Warna air yang tidak normal biasanya merupakan indikasi terjadinya pencemaran air. Warna pada air dapat disebabkan oleh materi tersuspensi dan materi organik terlarut. Warna yang disebabkan oleh materi tersuspensi adalah warna semu (apparent color) dan warna yang disebabkan oleh material organik dalam bentuk koloid disebut warna sejati (true color) (Sawyer dan Clair 1994).

0

20

40

60

80

100

0 1000 2000 3000 4000

Keke

ruha

n (F

TU)

Dosis Koagulan (mg/liter)

PAC tanpa pengaturan pH

Alum tanpa pengaturan pH

PAC dengan pengaturan pH

Alum dengan pengaturan pH

19

adsorpsi zat warna pada air limbah. Dapat dilihat pula penggunaan PAC lebih menurunkan nilai warna pada sampel dibandingkan dengan penggunaan alum. Namun, pada dosis koagulan tertentu warna akan naik kembali namun masih berada di bawah nilai warna pada sampel yang belum diperlakukan. Penurunan penghilangan warna disebabkan oleh dosis yang ditambahkan melebihi kebutuhan adsorpsi sehingga kelebihan koagulan menyebabkan larutan menjadi jenuh keruh kembali. Berbeda halnya pada hasil penurunan warna pada sampel yang dilakukan pengaturan pH awal. Penurunan warna untuk koagulan alum lebih baik dibandingkan koagulan PAC. Begitu pula dengan dosis koagulan alum yang ditambahkan lebih kecil dibandingkan sampel tanpa diatur pH yaitu pada dosis 600 mg/liter.

Penurunan warna akan terus terjadi sampai penurunan tersebut mencapai titik terendahnya. Titik terendah ini diindikasikan kondisi optimum dari dosis koagulan yang diberikan. Penurunan warna terjadi akibat muatan positif yang diberikan kedalam air sehingga terjadi proses netralisasi dan adsorpsi patikel warna dalam air. Muatan positif ini berasal dari koagulan yang diberikan kedalam air baku sehingga partikel koloid yang bermuatan negatif dapat ternetralisasi sehingga terbentuk flok yang dapat terendapkan. Keberhasilan penyisihan warna sangat ditentukan oleh proses tumbukan antara partikel koloid yang telah dikoagulasi, sehingga mampu membentuk partikel flok yang berukuran lebih besar dan kompak, sehingga mudah diendapkan (Lindu 2001).

Gambar 11 Grafik nilai warna terhadap penambahan dosis koagulan

TSS merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan

TSS

Padatan tersuspensi merupakan parameter penting dalam kualitas air minum untuk keberlangsungan hidup manusia dan kehidupan di air (Ginting 1992). Total Suspended Solid (TSS) adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. TSS terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya (Nasution 2008) .

0

100

200

300

400

500

0 1000 2000 3000 4000

War

na (P

tCo)

Dosis Koagulan (mg/liter)

PAC tanpa pengaturan pH

Alum tanpa pengaturan pH

PAC dengan pengaturan pH

Alum dengan pengaturan pH

20

dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan (Tarigan dan Edward 2003). TSS umumnya dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan. TSS memberikan kontribusi untuk kekeruhan dengan membatasi penetrasi cahaya untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan. Oleh karena itu nilai kekeruhan tidak dapat dikonversi ke nilai TSS.

Gambar 12 menunjukkan bahwa penambahan alum dan PAC dapat menurunkan nilai TSS. Penurunan nilai TSS terbaik terletak pada koagulan PAC dengan dosis 1200, dan 1400 mg/liter yang mencapai nilai 2 mg/liter dan untuk alum nilai TSS terbaik yaitu 6.5 mg/liter pada dosis 1400 mg/liter. Pada sampel dengan pengaturan pH awal untuk koagulan alum meningkatkan kembali nilai TSSnya pada dosis di atas 600 mg/liter.

Gambar 12 Grafik nilai TSS terhadap penambahan dosis koagulan

COD COD merupakan kuantitas atau jumlah oksidan yang bereaksi dengan

sampel pada kondisi tertentu. Jumlah oksidan yang terpakai sebanding dengan kebutuhan oksigen. Senyawa organik dan anorganik di dalam sampel adalah subyek yang teroksidasi tetapi senyawa organik lebih dominan. COD sering digunakan sebagai ukuran kuantitas polutan di dalam suatu air limbah. Sumber COD pada limbah adalah oli atau pelumas atau minyak, surfaktan, emulcat, cat dan logam-logam oksidator, dimana material-material ini di dalam air limbah dalam bentuk tersuspensi, teremulsi, terkoloid, dan terlarut (Mukimin 2006).

Gambar 13 menunjukkan hasil sampel yang telah diperlakukan menjadikan nilai COD dibawah 100 mg/liter. Pada sampel yang ditambahkan koagulan PAC dengan dosis 1200 mg/liter memiliki nilai COD terendah yaitu 9.83 mg/liter. Sedangkan pada koagulan alum dengan dosis 1000 mg/liter dan nilai COD sebesar 9.83 mg/liter. Penurunan nilai COD untuk sampel tanpa pengaturan pH awal lebih tinggi daripada sampel dengan pengaturan pH awal untuk kedua koagulan. Namun, kadar COD dapat naik kembali.

01020304050607080

0 1000 2000 3000 4000

TSS

(mg/

liter

)

Dosis Koagulan (mg/liter)

PAC tanpa pengaturan pH

Alum tanpa pengaturan pH

PAC dengan pengaturan pH

Alum dengan pengaturan pH

21

Gambar 13 Grafik nilai COD terhadap penambahan dosis koagulan

Gambar 14 Grafik kadar fosfat terhadap penambahan dosis koagulan

Fosfat Kandungan fosfat yang tinggi menyebabkan suburnya alga dan tanaman

lainnya. Pertumbuhan alga yang subur akan menghalangi kelancaran arus air (Gintings 1992). Fosfat biasanya berasal dari bahan pembersih yang mengandung senyawa fosfat. Pengukuran kandungan fosfat dalam air limbah berfungsi untuk mengetahui seberapa tinggi kadar fosfat di dalam air limbah, dengan begitu dapat mencegah tingginya kadar fosfat.

Fosfat yang terukur merupakan orthophospat. Hasil analisis konsentrasi orthophospat awal air limbah industri laundry bernilai 10.25 mg/liter. Gambar 14 menunjukkan sampel yang telah diberi perlakuan menghasilkan nilai konsentrasi fosfat yang semakin menurun hingga 0.02 mg/liter untuk koagulan PAC dan 0.15 mg/liter untuk koagulan alum. Penurunan ini terjadi karena ion positif yang ada pada air limbah mengikat ion fosfat (PO4

3-) yang bermuatan negatif. Untuk sampel yang dilakukan dengan pengaturan pH awal memiliki hasil penurunan kadar fosfat lebih baik daripada sampel tanpa pengaturan pH awal. Pada PAC dengan dosis 180 mg/liter memiliki penurunan kadar fosfat tertinggi hingga 0.69 mg/liter dan dosis alum 1000 mg/liter dengan penurunan fosfat hingga 0.39 mg/liter.

0

20

40

60

80

100

120

140

0 1000 2000 3000 4000

COD

(mg/

liter

)

Dosis Koagulan (mg/liter)

PAC tanpa pengaturan pH

Alum tanpa pengaturan pH

PAC dengan pengaturan pH

Alum dengan pengaturan pH

0

2

4

6

8

10

12

0 1000 2000 3000 4000

Kada

r Fo

sfat

(mg/

liter

)

Dosis Koagulan (mg/liter)

PAC tanpa pengaturan pH

Alum tanpa pengaturan pH

PAC dengan pengaturan pH

Alum dengan pengaturan pH

22

Gambar 15 Grafik kadar deterjen terhadap penambahan dosis koagulan Pada penelitian ini tidak dilakukan proses flokulasi (penambahan flokulan), namun jika diberikan diperkirakan dapat mempercepat proses sedimentasi.

Deterjen

Deterjen termasuk jenis surfaktan anionic, garam dari sulfonat atau sulfat berantai panjang natrium serta mempunyai keunggulan dalam hal tidak mengendap bersama ion logam dalam air sadah. Hasil analisis karakteristik konsentrasi deterjen air limbah laundry sebesar 2.15 mg/liter. Setelah diberi perlakuan dengan penambahan koagulan seperti alum dan PAC, kadar deterjen semakin menurun. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 15. Untuk koagulan PAC dengan dosis 1400 mg/liter menghasilkan kadar deterjen sebesar 0.05 mg/liter dan dosis 1800 mg/liter alum menghasilkan kadar deterjen 0.04 mg/liter. Untuk koagulan alum, sampel dengan pengaturan pH awal akan menurunkan kadar detergen lebih besar dibandingkan sampel yang tanpa diatur pH awal yakni dengan dosis 1400 mg/liter menghasilkan kadar deterjen sebesar 0.01 mg/liter.

Penurunan kadar deterjen setelah penambahan PAC disebabkan sifat PAC yang akan melepaskan kation Al3+ yang akan menurunkan zeta potensial dari partikel di dalam air. Sehingga gaya tolak-menolak antar partikel menjadi berkurang, akibatnya penambahan gaya mekanis seperti pengadukan akan mempermudah terjadinya tumbukan yang akan dilanjutkan dengan penggabungan partikel-partikel yang akan membentuk flok yang berukuran lebih besar (Anonim 2009).

Reaksi PAC dalam larutan dapat dituliskan sebagai berikut :

Al(OH)Cl3 + C12H25–O–3SO3Na + H2O C12H25 –O– Al(OH)2(SO3)3 +

3NaCl + H+

Al(OH)Cl3 akan bereaksi dengan surfaktan yang mempunyai gugus fungsi C12H25 –O– SO3Na. Dari reaksi penambahan PAC akan terbentuk Al(OH)3 yang mengendap, partikel-partikel yang terdapat dalam air akan terjaring kedalam endapan ini salah satunya surfaktan.

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

0 1000 2000 3000 4000

Kada

r D

eter

jen

(mg/

liter

)

Dosis Koagulan (mg/liter)

PAC tanpa pengaturan pH

Alum tanpa pengaturan pH

PAC dengan pengaturan pH

Alum dengan pengaturan pH

23

Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat dua alternatif pemanfaatan air limbah yang telah diolah dengan metode koagulasi kimia yakni, air limbah dapat digunakan kembali sebagai air bersih dan atau dapat dibuang ke lingkungan dengan tidak mencemari lingkungan. Alternatif pertama, air limbah dapat digunakan kembali sebagai air bersih jika polutan yang berada di dalam air limbah tersebut telah memenuhi standar baku mutu air bersih. Dosis optimum yang memenuhi hal tersebut berkisar 800 mg/liter untuk PAC dengan pengaturan pH awal. Sedangkan untuk alum berkisar antara 200 hingga 600 mg/liter dengan pengaturan pH awal. Tabel 2 menunjukan perbandingan hasil koagulan yang dipilih dengan standar baku air bersih.

Tabel 2 Perbandingan antara parameter pencemar air dengan standar baku mutu air bersih dan dosis koagulan yang dipilih.

a Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MEN.KES/PER/IX/1990

Alternatif kedua yaitu air limbah dapat dibuang langsung ke lingkungan dengan syarat air limbah tersebut telah memenuhi standar baku mutu limbah cair. Dari hasil proses koagulasi kimia, air limbah yang dapat dibuang langsung ke lingkungan berkisar pada penambahan koagulan PAC 20 mg/liter dengan pengaturan pH awal dan koagulan alum kurang dari 200 mg/liter pada sampel dengan atau tanpa dilakukan pengaturan pH awal.

Tabel 3 Perbandingan antara parameter pencemar air dengan standar baku mutu limbah cair dan dosis koagulan yang dipilih

pH TSS (mg/liter)

COD (mg/liter)

Standar baku mutu limbah cair 6 – 9 200 100 Dosis PAC 20 mg/liter 6.95 52 99.48 Dosis Alum 200 mg/liter tanpa pengaturan pH awal

7.52 39 28.69

Dosis Alum 200 mg/liter dengan pengaturan pH awal

6.86 6.50 56.52

a Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-51/MENLH/10/1995

pH Kekeruhan (FTU)

Warna (PtCo)

Kadar Deterjen (mg/liter)

Standar baku mutu air bersih

6.5-9 25 15

0.5

Dosis PAC 800 mg/liter

6.6 3 14 0.09

Dosis Alum 200-600 mg/liter

6.6-6.86 27.5-67 9.5-15 0.05-0.21

24

Penambahan koagulan yang diberikan mengakibatkan adanya biaya tambahan yang dikeluarkan yakni, biaya bahan koagulan. Besarnya biaya tersebut tergantung dari besar kecilnya dosis koagulan yang ditambahkan. Semakin kecil dosis yang dipilih maka semakin kecil pula biaya bahan yang dikeluarkan dan begitupun sebaliknya. Harga koagulan PAC sebesar Rp 10000/kg dan alum sebesar Rp 4500/kg (PT Noah Funtastic Pools). Pada alternatif 1 koagulan PAC memiliki biaya bahan kimia sebesar Rp 1800/m3 sedangkan koagulan alum antara Rp 900/m3 hingga Rp 2700/m3. Berdasarkan dosis koagulan yang dipilih pada alternatif 2, biaya bahan PAC lebih murah dibandingkan biaya bahan alum.

Tabel 4 Perbandingan antara dosis koagulan yang dipilih dengan besar biaya

bahan pada alternatif 1 Dosis yang dipilih

(mg/liter) Biaya bahan (Rp/m3)

PAC 800 8000 Alum 200- Alum 600 900-2700

Tabel 5 Perbandingan antara dosis koagulan yang dipilih dengan besar biaya

bahan pada alternatif 2 Dosis yang dipilih

(mg/liter) Biaya bahan (Rp/m3)

PAC 20 200 Alum 200 900

Metode Elektrokimia pH

Gambar 16 menunjukkan nilai pH akan semakin meningkat seiring dengan semakin lama waktu kontak dan semakin besar tegangan yang diberikan. Nilai pH limbah yang belum diberi perlakuan sebesar 8.58. Setelah dilakukan perlakuan nilai pH terbesar mencapai 9.05. Hal ini di berada pada nilai baku mutu limbah cair yang menyatakan bahwa kisaran pH yang diperbolehkan adalah 6 - 9.

Menurut Ni’am et al. (2007), peningkatan nilai pH yang terjadi pada proses elektrokimia disebabkan oleh akumulasi ion OH-. Konsentrasi ion OH- mengindikasikan kebasaan dari suatu larutan. Ion OH- yang terbentuk pada proses elektrokimia ini berasal dari reaksi reduksi air pada katoda. Semakin banyak ion OH- yang dihasilkan, maka nilai pH atau tingkat kebasaan dari air limbah yang diolah akan semakin meningkat.

25

Gambar 16 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai pH

Gambar 17 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai kekeruhan

Kekeruhan

Proses elektrokmia dapat meningkatkan efisiensi penurunan kekeruhan (Ni’am et al. 2006). Namun, dalam penilitian ini nilai kekeruhan mengalami peningkatan dari nilai awal 77.5 FTU menjadi 124 FTU. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 17. Namun, peningkatan yang terjadi bersifat fluktuatif tidak tergantung dengan besar tegangan dan waktu kontak yang semakin meningkat. Pada tegangan 12 V dan waktu kontak 60 menit kekeruhan meningkat dan pada tegangan 15 V pada waktu yang sama mengalami penurunan nilai kekeruhan. Begitu pula selanjutnya akan naik dan turun kembali. Jika kekeruhan dalam air tinggi, maka akan mengganggu aktifitas biota air, seperti menurunnya aktifitas fotosintesis tumbuhan karena berlangsungnya fotosintesis tergantung pada banyaknya cahaya yang dapat diteruskan ke dalam air. Kemampuan cahaya yang masuk ke dalam suatu larutan dipengaruhi oleh kekeruhan, suspensi zat dalam air, dan planktonik (jasad renik).

8,308,408,508,608,708,808,909,009,10

0 V 9 V 12 V 15 V 18 V 24 V

pH

Tegangan

15 menit

30 menit

45 menit

60 menit

Limbah awal

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

0 V 9 V 12 V 15 V 18 V 24 V

Kek

eruh

an (F

TU

)

Tegangan

15 menit

30 menit

45 menit

60 menit

Limbah awal

26

Gambar 18 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap

nilai warna

Warna

Parameter pencemar air selanjutnya yang dianalisa dalam penelitian ini adalah warna. Secara visual dapat diidentifikasi bahwa warna dari air limbah yang semakin gelap menunjukkan kualitas air limbah yang dibuang ke lingkungan semakin buruk. Gambar 18 menunjukkan nilai warna mengalami peningkatan seiring dengan waktu kontak yang semakin lama dan tegangan yang semakin besar. Nilai warna yang awal sebesar 405 PtCo menjadi 584 PtCo. Hal ini menunjukan bahwa elektrokimia tidak berpengaruh terhadap penyisihan warna air limbah industri laundry. Menurut Winarno et al. (1973), limbah cair yang mengandung asam misalnya asam lemah akan mempengaruhi terjadinya proses pengkaratan. Namun, pengkaratan juga dapat terjadi dengan cepat tanpa adanya asam karbonat atau asam-asam lemah lainnya, jika dalam limbah cair tersebut terjadi peristiwa elektrokimia. Logam-logam yang dimasukkan ke dalam air akan mempunyai suatu tegangan larutan yang khas dan berusaha membawa logam tersebut ke dalam larutan. Jika reaksi ini terjadi, maka logam tersebut akan larut dalam air dan membentuk ion-ion (Windika 2012).

TSS Penyebab kekeruhan air adalah jenis partikel koloid yang mengalami

penyimpangan sinar nyata pada saat menembus suspensi tersebut (Alaerts dan Santika 1984). Namun, partikel – partikel koloid tidak dapat dilihat secara visual dan larutannya (tanpa partikel koloid) yang terdiri dari ion - ion dan molekul - molekul tidak pernah keruh.

Nilai TSS konsentrasi limbah awal sebesar 63 mg/liter. Pada tegangan 9 volt, nilai TSS mengalami penurunan dari konsentrasi awal. Semakin lama waktu kontak pada tegangan 9 volt menjadikan nilai TSS semakin naik. Variasi tegangan yang lain menunjukkan peningkatan nilai TSS yang semakin tinggi seiring dengan semakin lamanya waktu kontak. Hal ini dapat disebabkan pada air limbah industri laundry yang tidak dapat diolah dengan variasi tegangan lebih dari 9 volt. Dapat dilihat pada Gambar 19 grafik peningkatan nilai TSS.

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

700,00

0 V 9 V 12 V 15 V 18 V 24 V

War

na (P

tCo)

Tegangan

15 menit

30 menit

45 menit

60 menit

Limbah awal

27

Gambar 19 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai TSS

Gambar 20 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap

nilai COD

COD

COD merupakan salah satu parameter pencemar air yang penting diperhatikan. Secara umum, COD yang tinggi pada suatu limbah menunjukkan banyaknya bahan pencemar yang terkandung di dalamnya. Jika kandungan senyawa organik dan anorganik melimpah, maka oksigen terlarut di dalam air akan semakin berkurang dan akan mengakibatkan tumbuhan air, ikan-ikan dan hewan air lainnya kekurangan oksigen sehingga mengalami kematian (Alaerts dan Santika 1984). Gambar 20 menunjukan pada tegangan 9 V dengan waktu 30 menit mengalami penurunan nilai COD, namun masih di bawah baku mutu limbah cair. Secara keseluruhan, nilai COD bersifat fluktuatif, namun cenderung meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya gejala desorpsi, yaitu proses melepaskan kembali zat organik yang telah diadsorp, karena koagulan yang dihasilkan dari reaksi oksidasi reduksi pada proses elektrokimia ini telah mengalami titik jenuh yang diakibatkan oleh zat organik (Setyaningsih 2002). Pada waktu kontak 30 menit dan tegangan 12 V menunjukkan nilai COD yang sangat tinggi dibandingkan pada perlakuan lain, hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya kontaminan pada sampel pada saat pengujian.

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

0 V 9 V 12 V 15 V 18 V 24 V

TSS

(mg/

liter

)

Tegangan

15 menit

30 menit

45 menit

60 menit

Limbah awal

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

300,00

0 V 9 V 12 V 15 V 18 V 24 V

CO

D (m

g/lit

er)

Tegangan

15 menit

30 menit

45 menit

60 menit

Limbah awal

28

Gambar 21 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap konsentrasi fosfat

Fosfat

Menurut beberapa penelitian terdahulu yaitu Afriyanti (2011) tentang teknik elektrokoagulasi untuk pemisahan mikroalga dan Windika (2012) proses elektrokoagulasi sebagai penanganan limbah cair pangan yang berhasil menggunakan metode elektrokimia untuk menyisihkan konsentrasi fosfat, maka pada penelitian ini mencoba menggunakan metode elektrokimia untuk menyisihkan konsentrasi fosfat pada air limbah industri laundry. Berbeda dengan nilai-nilai parameter yang lain, proses elektrokimia berhasil menurunkan konsentrasi fosfat yang semula bernilai 9,56 mg/liter hingga 1,3 mg/liter pada tegangan 24 V dan waktu kontak 15 menit (Gambar 21). Namun, hal ini tidak seiring dengan lamanya waktu kontak yang diberikan melainkan seiring dengan besar tegangan yang diberikan. Pada tegangan 9 V dan waktu kontak 15 menit, konsentrasi fosfat turun hingga 3,45 mg/liter. Pengaruh proses elektrokimia terhadap penurunan konsentrasi fosfat terjadi karena ion positif yang dihasilkan oleh anoda melalui reaksi oksidasi akan berikatan dengan ion negatif (PO4

3-) sebagai fosfat dan membentuk koloid atau endapan (Afriyanti 2011).

Berdasarkan tegangan 9 V dan waktu kontak 15 menit, biaya pengolahan fosfat sebesar Rp 2,73/mg fosfat (Lampiran 26). Sedangkan pada tegangan 24 V dan waktu kontak 15 menit menghasilkan biaya pengolahan fosfat sebesar Rp 2,29/mg fosfat (Lampiran 26).

Penyisihan deterjen khususnya surfaktan dalam proses elektrokimia disebabkan karena adsorbsi surfaktan pada permukaan partikel sehingga terbentuk permukaan yang hydropobic yang menyebabkan partikel dalam air limbah akan naik ke permukaan dengan bantuan gelembung gas yang terbentuk. Semakin lama waktu detensi maka gelembung gas yang dihasilkan akan semakin meningkat sehingga kemampuan elektrokimia dalam menyisihkan surfaktan akan semakin meningkat. Gambar 22 menunjukkan kadar deterjen mengalami penurunan dari konsentrasi awal sebesar 1.05 mg/liter menjadi 0,08 mg/liter pada tegangan 9 V

Deterjen

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

0 V 9 V 12 V 15 V 18 V 24 VKon

sent

rasi

Fosf

at (m

g/lit

er)

Tegangan

15 menit

30 menit

45 menit

60 menit

Limbah awal

29

dan waktu kontak 15 menit. Hal ini sesuai dengan baku mutu air bersih dengan kadar deterjen sebesar 0,5 mg/liter. Kombinasi tegangan lain yang dipilih yaitu tegangan 24 V dan waktu kontak 15 menit dengan penurunan kadar deterjen hingga 0,15 mg/liter. Namun, penurunan yang terjadi berfluktuatif tidak tergantung dengan lama waktu kontak dan besar tegangan yang diberikan.

Berdasarkan tegangan 9 V dan waktu kontak 15 menit, biaya pengolahan deterjen sebesar Rp 16,67/mg fosfat (Lampiran 26). Sedangkan pada tegangan 24 V dan waktu kontak 15 menit menghasilkan biaya pengolahan fosfat sebesar Rp 21,01/mg fosfat (Lampiran 26).

Gambar 22 Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap

konsentrasi deterjen

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa metode koagulasi kimia lebih mampu menurunkan parameter pencemar air limbah pada industri laundry dibandingkan proses elektrokimia. Pada proses koagulasi kimia, dosis koagulan PAC dan alum yang ditambahkan mempengaruhi efisiensi penyisihan seluruh parameter pencemar. Pada proses elektrokimia hanya dapat menurunkan beberapa parameter pencemar.

Proses koagulasi kimia dapat menurunkan parameter pencemar air hingga memenuhi standar baku mutu air bersih dan standar baku mutu limbah cair. Penurunan nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada penambahan dosis PAC 1200 dan 1400 mg/liter tanpa pengaturan pH awal dengan nilai kekeruhan 2 FTU. Penurunan nilai warna tertinggi terdapat pada penambahan dosis PAC 1400 mg/liter tanpa pengaturan pH awal dengan nilai warna 4.5 PtCo. Untuk nilai TSS terendah berada pada dosis 1200 dan 1400 mg/liter tanpa pengaturan pH awal yakni mencapai 2 mg/liter. Nilai COD terendah pada dosis PAC 1200 mg/liter tanpa pengaturan pH awal sebesar 9.83 mg/liter. Kadar fosfat terendah berada

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

0 V 9 V 12 V 15 V 18 V 24 VKon

sent

rasi

Det

erge

n (m

g/l)

Tegangan

15 menit

30 menit

45 menit

60 menit

Limbah awal

30

pada dosis PAC 1200 mg/liter tanpa pengaturan pH awal sebesar 0.02 mg/liter dan kadar deterjen terendah berada pada dosis alum 1400 mg/liter dengan pengaturan pH awal yaiu sebesar 0.01 mg/liter.

Terdapat 2 alternatif pemanfaatan air limbah yang telah diolah, yakni air limbah dapat digunakan kembali dan atau dapat dibuang langsung ke lingkungan. Dosis koagulan pada alternatif 1 yang terbaik sebesar 800 mg/liter PAC dengan nilai pH, kekeruhan, warna, dan deterjen berturut-turut 6.6, 3 FTU, 14 PtCo, dan 0.09 mg/liter. Alum sekitar 200 – 600 mg/liter dengan nilai pH 6.60-6.86, kekeruhan 27.5-67 FTU, warna 9.5-15 PtCo, dan deterjen 0.05-0.21 mg/liter. Pada alternatif 2 penambahan dosis koagulan terbaik pada dosis 20 mg/liter untuk PAC dengan pengaturan pH awal dengan nilai pH 6.95, TSS 52 mg/liter, dan COD 99.48 mg/liter. Untuk alum tanpa pengaturan pH awal pada dosis 200 mg/liter dengan nilai pH 7.52, TSS 39 mg/liter, dan COD 28.69 mg/liter serta dosis untuk alum dengan pengaturan pH awal adalah 200 mg/liter dengan nilai pH 6.86, TSS 6.5 mg/liter dan COD 56.52 mg/liter. Biaya bahan untuk alternaif 1 yaitu koagulan PAC dosis 800 mg/liter dengan biaya bahan Rp 8000/m3 dan alum dosis sekitar 200 hingga 600 mg/liter, biaya bahan yang dikeluarkan sekitar Rp 900/m3 hingga Rp 2700/m3. Pada alternatif 2 biaya terendah yaitu pada PAC dengan dosis 20 mg/liter dan biaya bahan sebesar Rp 200/m3.

Air limbah laundry yang diolah dengan menggunakan proses elektrokimia tidak mampu meningkatkan efisiensi penurunan parameter pencemar. Nilai kekeruhan, warna, TSS, dan COD mengalami peningkatan secara fluktuatif. Hanya kadar fosfat dan deterjen yang mengalami penurunan dan sesuai dengan batas emisi pada air. Kadar fosfat mengalami penurunan dari konsentrasi awal 9.56 mg/liter hingga 1.3 mg/liter. Penurunan kadar deterjen dari konsentrasi awal sebesar 1.05 mg/liter menjadi 0.08 mg/liter. Namun, semakin tingginya tegangan dan semakin lamanya waktu kontak tidak menjadi tolak ukur penurunan konsentrasi tersebut. Kombinasi yang terpilih berdasarkan penurunan kadar fosfat dan kadar deterjen adalah 9 volt dan waktu kontak 15 menit dengan biaya total elektrokimia sebesar Rp 16.167/liter serta 24 volt dan waktu kontak 15 menit dengan biaya total elektrokimia sebesar Rp 18.91/liter.

Saran

Pada pengolahan air limbah dengan metode koagulasi kimia perlu adanya pengembangan terhadap jenis koagulan yang digunakan dalam pengolahan air limbah. Selain itu, perlu juga mengembangkan kombinasi antara dua atau lebih jenis koagulan yang digunakan sehingga dapat lebih meningkatkan nilai penyisihan parameter pencemar air. Pada pengolahan air limbah dengan metode elektrokimia perlu dilakukan kajian lebih lanjut khususnya untuk limbah industri laundry baik dari variasi tegangan maupun waktu kontak elektrokimia yang diberikan.

31

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti N. 2011. Kajian Teknik Elektrokoagulasi untuk Pemisahan Mikroalga [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Alaerts, Santika S. 1984. Metode penelitian air. Indonesia : Usaha Nasional Surabaya.

Anonim. 2009. Pengolahan Air [Internet]. [diunduh 29 Juni 2013]. Tersedia dari:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17135/4/Chapter%20II.pdf.

Austin GT. 1986. Shreve’s Chemical Process Industries, Edisi Ketiga. McGraw-Hill Book Company , New York.

Budiman A. 2008. Kinerja koagulan Poly Aluminium Chloride (PAC) dalam Penjernihan Air Sungai Kalimas Surabaya Menjadi Air Bersih [skripsi]. Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala.

Ciabatti I, Cesaro F, Faralli L, Fatrella E, Togotti F. 2009. Demonstration of a treatment system for purification and reuse of laundry wastewater, Desalination 245: 451-459.

Dedy S. 1993. Pelatihan Penggunaan PAC. Bekasi : PT Primapackimia Rejeki. Fair, Gordon M, John C, Okun D. 1968. Elemen of Water Supply and Wastewater

Disposal. Second Edition. New York : APHA. AWWA. Ginting P. 1992. Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri. Jakarta :

Pustaka Sinar Harapan. Holt P, Barton G, and Mitchell C. 2004. Electrocoagulation as A Wastewater

Treatment. The Third Annual Australian Environmental Engineering Research Event 23-26 November Castlemaine. Victoria.

Hudori. 2008. Pengolahan Air Limbah Laundry dengan Menggunakan Elektrokoagulasi [tesis]. Bandung : Institut Teknik Bandung.

Lindu M. 2001. Pengaruh Gradien Kecepatan dan Waktu Tinggal Terhadap Koagulasi Flokulasi Warna dan Zat Organik Air Sumur Dalam. Jakarta : Universitas Triskti.

Mukimin A. 2006. Pengolahan Limbah Industri Berbasis Logam dengan Teknologi Elektrokoagulasi Flotasi [skripsi]. Semarang : Universitas Diponegoro.

Nasution MI. 2008. Penentuan Jumlah Amoniak dan Total Padatan Tersuspensi Pada Pengolahan Air Limbah PT. Bridgestone Sumatera Rubber Estate Dolok Merangkir [skripsi]. Sumatera : Universitas Sumatera Utara.

Ni’am MF, Othman F, Sohaili J, Fauzia Z. 2006.“Combined Magnetic Field and Electrocoagulation Process for Suspended Solid Removal from Wastewater”. Malaysia : Proceedings of the 1st International Conference on Natural Resources Engineering 21& Technology 2006.

Ni’am MF, Othman F, Sohaili J, dan Fauzia Z. 2007. Removal of COD and Turbidity to Improve Wastewater Quality using Electrocoagulation Technique. The Malaysian Journal of Analytical Science, 11 (1), 198-205.

Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta. Prabowo, BH. 2011. Pengolahan Limbah Cair Industri Proses Elektrokoagulasi

Kontinyu. Yogyakarta : Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Riset dan Teknologi di Bidang Industri ke-17.

32

Saefumillah A. 2003. Eutrofikasi, Problem Lingkungan Berskala Global [Internet]. [diunduh 29 Juni 2013]. Tersedia dari : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/28/opini/335086.htm.

Sawyer CN, Mc. Carty PL. 1978. Chemistry for Environmental Engineering. Mc. Graw Hill Kogakusha. Ltd. 3rd edition. New York.

Sawyer CN, Clair N. 1994. Chemistry for Environmental Engineering. Fourth Edition. Singapore : Mc Graw-Hill, Inc.

Setyaningsih P. 2002. Penyisihan Warna dan Biodegradasi Organik Limbah Pewarnaan Batik Menggunakan Reaktor Kontinyu Fixed Bed Anaerob- Aerob [Internet]. [diunduh 29 Juni 2013]. Tersedia dari : http://digilib.ampl.or.id/detail/detail.php?kode=460&row=0&tp=pustaka&ktg=tesis&kd_l ink=.

Shammas, Nazih K, 2005. Physicochemical Treatment Processes Volume 3. Lenox : Human Press.

Smulders E. 2002. Laundry Detergents. Germany : Wiley-VCH Verlag GmbH, Weinheim.

Supriyati K. 1991. Pengolahan Limbah Cair Secara Kimia. Bogor. Suryadiputra, I.N.N. 1995. Pengantar Kuliah Pengolahan Air Limbah :

Pengolahan Air Limbah dengan Metode Kimia (Koagulasi dan Flokulasi). Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Susetyaningsih R., Kismolo E, Prayitno. 2008. Kajian Proses Elektrokoagulasi Untuk Pengolahan Limbah Cair. Seminar Nasional 1V SDM Teknologi Nuklir. Yogyakarta.

Tarigan MS, Edward. 2003. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) di Perairan Raha. Sulawesi Tenggara : MAKARA. SAINS. VOL.7. NO. 3.

Turk SS, Petrinic I, Simonic M. 2005. Laundry wastewater treatment using coagulation and membrane filtration, Resources, Conservation & Recycling, 44, 185-196.

Wardhana WA. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta : Andi Offset.

Winarno FG, Fardiaz S dan Fardiaz D. 1973. Air untuk Industri Pangan. Bogor : Insitut Pertanian Bogor.

Windika MG. 2012. Proses Koagulasi dan Flokulasi secara Kimia dan Elektrokimia untuk Pengolahan Limbah Cair. Bogor : Insitut Pertanian Bogor.

Yuliarti N. 2008. Racun di Sekitar Kita?. Yogyakarta : Andi Offset.

33

Lampiran 1 Standar baku mutu air bersih berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MEN.KES/PER/IX/1990

34

Lampiran 2 Standar baku mutu limbah cair industri berdasarkan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-51/MENLH/10/1995

35

Lampiran 3 Spesifikasi PAC ( Poly Aluminium Chloride) Identification of the material and supplier Product name : SOLIPAC (POLY ALUMINIUM CHLORIDE) Other name : PAC Recommended use of the chemical and restrictions on use : Corrosion inhibitor,

water treatment, pulp and paper manufacture. Supplier : Orica New Zealand Limied Physical and Chemical properties Physical state : Powder Colour : Pale Yellow Odour : Mild Solubility : Soluble in water Spesific Gravity : 0,85 +/- 0,05 (Bulk density) pH : 3,5 – 5,0 (Al2O3 0,3% w/v solution) Competitive advantage : i) the quality of PAC treated water is better than that of the ferric trichloride aand aluminum sulfae treated water, besides the cost of purified treatment is lower, ii) PAC’s flocculation is faster, sedimentation rate is hifher, and the treatment capability of PAC is larger than that of ferric trichloride and aluminum sulfate, iii) the adaptability of PAC in treating water source with different temperatures, turbidity value and alkalinity is better than that of ferric trichloride and aluminum sulfate, iv) PAAC is adaptive with long length pH value, which can act within pH 5,0-9,0, with best effect between, v) low causticity, low operation situation requirement, vi) dissolution character of PAC is better than that of ferric trichloride and aluminum sulfate, vii) low aluminum and salt remained in PAC treated water (low conductivity effect), which is beneficial for Demineralized treatment and preparation of high purified water.

Sumber : CV. Anugerah Jaya

36

Lampiran 4 Spesifikasi alum

Chemical Product and Company Identification Product name : Aluminum Potassium Sulfate Chemical Formula : Alk (SO4)2.I2H2O Supplier : Sciecelab.com. Inc. 14025 Smith Rd Houston, Texas 77396 Hazard Identification Potential Acute Health Effects : Hazardous in case of skin contact (irritant, of eye contact (irritant), of ingestion, of inhalation Physical and Chemical Properties Physical state and appearance : Solid Odor : Odorless Molecular Weight : 474,38 g/mole Color : White Melting Point : 92,5°C Specific Gravity : 1,757 (Water = 1) Vapor Density : 16,4 (Air = 1) Dispersion Properties : See solubility in water Solubility : Partially soluble in cold water

Sumber : CV. Anugerah Jaya

37

Lampiran 5 Perhitungan metode elektrokimia

• Kombinasi yang dipilih adalah tegangan 9 V dan waktu kontak 15 menit

Tegangan yang digunakan (V) = 9 V Kuat arus yang digunakan (I) = 1 Ampere/liter Waktu kontak (t) = 15 menit

Daya (P) = V x I

= 9 Volt x 1 Ampere/liter = 9 watt/liter

Energi listrik yang dibutuhkan (Kwh/liter) W = P x t

Tarif listrik = Rp 732/Kwh Biaya Listrik = W x Tarif listrik/Kwh

= 0.00225 Kwh/liter x Rp 732/Kwh = Rp 1.647/liter

Berat plat aluminium yang larut dihitung dengan rumus:

dimana : w = berat logamyang larut (gram) I = kuat arus yang digunakan (Ampere) t = waktu kontak (detik) Mr = berat molekul logam n = valensi logam F = konstanta Faraday, 96500 Coulomb/mol (Hukum Faraday)

Sehingga berat aluminium yang larut :

W = = = 0.24 gram = 2.4 x 10 -4 kg/liter

Berat Krom yang larut :

W = = = 0.002 gram = 0.02 x 10-4 kg/liter

Total Berat Logam yang larut = 2.42 x 10 -4 kg/liter

38

Harga plat Aluminium per Kg = Rp 60000 (tertinggi dipasaran) Biaya plat Aluminium = 2.42 x 10 -4 kg/liter x 60000/kg

= Rp 14.52/liter

Biaya Total untuk Elektrokimia : (Biaya listrik + Biaya Total Plat) = Rp 1.647/liter + Rp 14.52/liter

= Rp 16.167/liter

Penurunan Deterjen = 0.97 mg deterjen/liter

Penurunan Fosfat = 6.11 mg fosfat/liter

• Kombinasi yang terpilih adalah tegangan 24 V dan waktu kontak 15 menit

Tegangan yang digunakan (V) = 24 V Kuat arus yang digunakan (I) = 1 Ampere/liter Waktu kontak (t) = 15 menit

Jadi, Daya (P) = 24 watt/liter

Energi listrik yang dibutuhkan (Kwh/liter) W = P x t

Tarif listrik = Rp 732/Kwh Biaya Listrik = W x Tarif listrik/Kwh

= 0.006 Kwh/liter x Rp 732/Kwh = Rp 4.392/liter

Biaya plat Aluminium = 2.42 x 10 -4 kg/liter x 60000/kg

= Rp 14.52/liter

Biaya Total untuk Elektrokimia : (Biaya listrik + Biaya Total Plat) = Rp 4.392/liter + Rp 14.52/liter

= Rp 18.91/liter

39

Penurunan Deterjen = 0.9 mg deterjen/liter

Penurunan Fosfat = 8.26 mg fosfat/liter

40

Lampiran 6 Metode analisis parameter pencemar air limbah i) Uji pH

pH diuji menggunakan pH meter. Sebelum digunakan terlebih dahulu pH meter dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 4 dan 7. Setelah dikalibrasi masukkan pH meter ke dalam sampel yang akan diukur nilai pHnya. Setelah digunakan, sensor pada pH meter dimasukkan ke dalam akuades untuk dibersihkan dan dinetralkan kembali.

ii) Uji kekeruhan

Kekeruhan diuji menggunakan metode Spektrofotometri dengan panjang gelombang 450 nm dan nomor program yang dimasukkan adalah 750 untuk Turbidity (Tertera pada cover DR 2000) kemudian tekan ENTER. Sebagai blanko, akuades 10 ml dimasukkan ke dalam kuvet kemudian dimasukkan ke dalam alat lalu tutup dan tekan tombol ZERO. Setelah akuades, diganti dengan sampel yang akan diukur nilai kekeruhannya, tekan READ/ENTER dan baca nilai kekeruhan dalam FTU yang tertera pada layar.

iii) Uji warna

Warna diuji dengan spektrofotometer DR/2000. Setelah power DR/2000 dihidupkan, kemudian masukkan nomor program yang tertera pada cover DR 2000 yaitu untuk warna dipilih metode 120 kemudian tekan ENTER. Disesuaikan panjang gelombang pada 455 nm. Sebagai blanko, akuades sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam kuvet kemudian dimasukkan ke dalam alat lalu tutup dan tekan tombol ZERO. Setelah akuades, diganti dengan sampel yang akan diukur nilai warnanya, tekan READ/ENTER dan baca nilai warna dalam PtCo yang tertera pada layar.

iv) Uji TSS (Total Suspended Solid)

TSS (Total Suspended Solid) menggunakan metode Spektrofotometri. Setelah power DR 2000 dihidupkan, kemudian dimasukkan nomor program untuk parameter (tertera pada cover DR 2000). Suspended Solid dipilih metode 630 kemudian tekan ENTER. Sesuaikan panjang gelombang pada 810 nm. Sebagai blanko, aquades sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam kuvet kemudian dimasukkan ke dalam alat lalu tutup dan tekan tombol Zero. Setelah itu, aquades pada kuvet diganti dengan sampel yang akan dibaca nilai TSS. Tekan READ/ENTER dan baca nilai TSS dalam mg/l yang tertera pada layar.

v) Uji COD (APHA ed 21th 4500-H+ B, 2005)

Sampel dipipet 1-2 ml dan dimasukkan kedalam tabung yang berisi K2Cr2O7 dan larutan asam. Tabung tersebut dimasukkan ke dalam COD reaktor selama 2 jam. Kemudian, didinginkan dan dituang kedalam erlenmeyer. Indikator ferroin diberikan dan titrasi dengan FAS hingga berubah warna.

vi) Uji Orthophospat (APHA ed. 21th 4500 – PD, 2005)

Sampel ditambahkan 4 ml ammonium molibdate dan 0,5 ml SnCl2. Kemudian, dikocok dan didiamkan ±10 menit. Diukur dengan Spektro Hach dengan absorbansi λ = 690 nm.

41

vii) Uji deterjen (APHA ed 21th 4500-S2-D, 2005) Sampel 25 ml dimasukkan kedalam corong pemisah dan ditambahkan

indikator PP. Kemudian, ditetesi NaOH 1 N dan H2SO4 1 N hingga warna merah hilang. Sampel ditambahkan 25 ml reagent methilen blue dan 10 ml kloroform. Dikocok selama 30 detik dan dibiarkan terpisah. Kloroform dibuang dan dibilas sebanyak 3 kali dengan kloroform. Sampel ditampung pada corong yang lain. Tampungan kloroform ditambahkan larutan pencuci dan dikocok serta dibiarkan terpisah. Laruan terpisah disaring dengan glass wool dan dimasukan ke dalam labu takar dan ditera dengan kloroform. Diukur dengan alat Spektro Hach absorbansi λ = 652 nm.

42

RIWAYAT HIDUP

Fanty Rachmah lahir di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1991 dari ibu Sri Suryati dan ayah Dadang Kusnawan, SE. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, dengan abang bernama Ferly Rachmat dan kakak perempuan bernama Ferny dan Fanny Rachma.

Penulis menempuh studi di SDN Aren Jaya XVIII tahun 1998-2003. Kemudian melanjutkan studi ke SMP PGRI 1 Bekasi tahun 2003-2006 dan SMA PGRI 1 Bekasi tahun 2006-2009. Selama masa persekolahan, penulis aktif

mengikuti lomba studi pelajaran dan lomba karya tulis ilmiah serta menjuarai beberapa lomba. Penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor tahun 2009 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima pada mayor departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2009-2013. Selama perkuliahan penulis pernah menjuarai lomba Bussines Model Competition tahun 2013 di Kota Malang.

Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Peralatan Industri pada tahun 2013. Pada tahun 2012 penulis melakukan kegiatan praktik lapang di CV. Yuasa Food Wonosobo dengan tema produksi bersih.