113
Penjara dan Sejarah 5 June 2013 David Tobing LKIP Catatan atas Pembacaan terhadap Puisi-Puisi dari Penjara Sabar Anantaguna Judul: Puisi-Puisi dari Penjara Penulis: S. Anantaguna Tebal: 172 Halaman Penerbit: Ultimus, Bandung Tahun: Cetakan Pertama, 2010 Demi kebiruan langit kehijauan bumi Kuletakkan hati di telapak tangan merebut angan-angan Demi kebiruan langit

Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Embed Size (px)

DESCRIPTION

v

Citation preview

Page 1: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Penjara dan Sejarah5 June 2013

 David Tobing

 LKIP

Catatan atas Pembacaan terhadap Puisi-Puisi dari Penjara Sabar Anantaguna

Judul: Puisi-Puisi dari Penjara

Penulis: S. Anantaguna

Tebal: 172 Halaman

Penerbit: Ultimus, Bandung

Tahun: Cetakan Pertama, 2010

 

 

Demi kebiruan langit

kehijauan bumi

Kuletakkan hati di telapak tangan

merebut angan-angan

 

Demi kebiruan langit

Page 2: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

kehijauan bumi

Kuletakkan taufan dalam hati

menghembus awan dalam fikiran

(Sajak “Kertas Bekas”)[1]

 

 

Pengantar

Penjara dan sejarah. Itulah dua kata yang muncul di benak saya sewaktu saya hendak

merangkum makna dari 44 sajak Sabar Ananta (SA) yang terhimpun dalam buku Puisi-

Puisi dari Penjara.[2] Saya sadar bahwa tindakan saya merangkum makna dari 44 sajak ke

dalam dua kata berpotensi mereduksi makna yang terkandung pada tiap-tiap sajak. Namun,

dalam benak saya muncul pembelaan sederhana: “jika ada yang tidak setuju dengan

proposal pemaknaan yang saya ajukan, lebih baik pihak yang bersangkutan membaca

sendiri sajak-sajak SA tersebut untuk kemudian menuliskan hasil pembacaannya—sebab,

kehidupan makna atau proses produksi makna suatu sajak atau sehimpunan sajak, pada

dasarnya, ditentukan oleh aktivitas pembacaan atau penafsiran yang dilakukan

secaralangsung oleh pembaca terhadap teks.”

Saya memutuskan menggunakan perspektif Foucauldian[3] untuk membaca sehimpunan

sajak SA. Alasan saya: perspektif Foucauldian dapat membantu saya sebagai pembaca

mengidentifikasi: (1) adanya relasi-relasi kuasa (power relations) yang bekerja menjadi latar

belakang faktual dari kelahiran sehimpunan sajak SA, (2) memosisikan sehimpunan sajak

SA sebagai “narasi-sejarah” yang menolak atau resisten terhadap pendominasian “narasi-

Sejarah”.

 

Penjara

Di dalam pemikiran Foucault, secara metaforis arsitektur kota adalah arsitektur tubuh sosial

adalah arsitektur ‘kesadaran’[4] adalah arsitektur manusia. Di dalam suatu kota kita

menemukan bangunan penjara, rumah ibadah, kantor presiden, toilet umum, rel kereta api,

tempat pemakaman umum, kantor kejaksaan, daerah lokalisasi, gedung Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), rumah sakit, pabrik, kantor Mahkamah Konstitusi, sekolah, gorong-gorong,

Page 3: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

kantor polisi, terminal bus, kantor Mahkamah Agung, diskotek, markas tentara, jalan utama,

rumah pribadi, patung Sudirman, hingga Grand Indonesia. Secara puitis, arsitektur kota

menjadi situs kelahiran puisi—dalam kata lain, puisi adalah kemungkinan yang lahir dari

arsitektur kota. Puisi dapat lahir dari rumah ibadah, toilet umum, kantor presiden, tempat

pemakaman umum, dlsb.—begitu juga sehimpunan sajak dari SA.

Sehimpunan sajak SA memang lahir dari penjara, bukan dari Grand Indonesia—karena

itulah editor dari penerbit Ultimus memberikan judul Puisi-Puisi dari Penjara, bukan Puisi-

Puisi dari Grand Indonesia. Dengan demikian, penjara menjadi situs kelahiran sehimpunan

sajak SA—sajak-sajak SA yang terhimpun dalam Puisi-Puisi dari Penjaramerupakan hasil

kreasinya pada kurun waktu 1966-1978, masa-masa ketika SA menjalani kehidupan

sebagai tahanan. Dari sudut pandang demikian, saya melihat kata “penjara” dalam

sehimpunan sajak SA pertama-tama bukan sebagai metafora, melainkan sebagai realitas.

Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga: penjara yang

masuk dalam nomenklatur kata benda berarti bangunan tempat mengurung orang

hukuman; bui; lembaga pemasyarakatan. Inilah arti (sense) dari penjara versi KBBI.

Lantas bagaimana dengan makna (meaning) dari “penjara” itu sendiri?

Jika kita memperhatikan percakapan sehari-hari di dalam masyarakat, kita menemukan

fakta bahwa masyarakat juga memproduksi makna dari kata “penjara.” Ada yang memaknai

“penjara” sebagai “hotel prodeo”; ada juga yang memaknai “penjara” sebagai “berakhirnya

masa depan”; ada yang memaknai “penjara” sebagai “hotel bintang lima.” Saya akan mulai

dari pemaknaan “penjara” sebagai “hotel bintang lima”. Tentu kita masih ingat, pada tahun

2010 media massa ramai memberitakan kehidupan Artalyta Suryani di Rumah Tahanan

Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur sudah seperti “hotel bintang lima” karena penjara

yang dihuninya berfasilitaskan pendingin ruangan, televisi layar datar, kulkas, ruang tamu,

meja kerja, sofa, ruangan karaoke, bahkan juga dilengkapi dengan ruang perawatan

kecantikan. Pemaknaan demikian memang hidup di dalam masyarakat yang menyadari

bahwa kehidupan di dalam Republik Indonesia bukan ditentukan oleh kepatuhan warga

negara melaksanakan tugas sebagai warga negara, melainkan kehendak individu di mana

kuasa ekonomi menentukan keterlaksanaan kehendak individu bersangkutan. Apakah

demikian makna “penjara” dalam benak SA atau pihak-pihak yang berkepentingan

menempatkan SA dalam penjara? Saya pikir tidak; tentunya berdasarkan pada sehimpunan

sajak yang ditulis SA.

Page 4: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Pada halaman 50 tercetak satu sajak SA yang berjudul “Bukan Misteri”. Demikian kutipan

lengkap sajak tersebut:

 

Bukan Misteri

Terlambat atau tersumbat

penjara bukan kiamat

 

Tidak usah dipersoalkan

bulan itu bulan

bintang itu bintang

matahari itu matahari

api itu api

hidup pun bukan misteri

 

Terlambat atau tersumbat

penjara bukan kiamat

 

Tidak usah latah

angin berdesah

hidup kejam dan ramah

teguh atau menyerah

 

Dari terali pagi dihirup

angin masih hidup

 

Pada sajak tersebut nyata bahwa SA—atau paling tidak si aku dalam sajak—memaknai

“penjara” sebagai “bukan kiamat”. Jika dalam perbincangan sehari-hari kita menemukan

pandangan yang memaknai bahwa “penjara” adalah “berakhirnya kebebasan dan

kehidupan”, maka pada sajak “Bukan Misteri” makna “penjara” bukanlah demikian. Bagi SA,

atau setidaknya aku-liris, “penjara” bukan akhir dari kehidupan. Di dalam “penjara”, SA,

atau setidaknya aku-liris, masih dapat melakukan aktivitas yang menandakan dirinya masih

Page 5: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

hidup. Pada sajak “Bukan Misteri”, penjara bukan kiamat bertemu makna dengan Dari terali

pagi dihirup / angin masih hidup. “Bukan Misteri,” setidaknya kepada saya, hendak

memperlihatkan bahwa sekalipun bangunan penjara dapat mengurung atau membatasi

gerak tubuh, penjara tetap saja gagal membendung datangnya pagi dan angin.

Jika kita mengalihkan perhatian pada sajak SA yang lain, yaitu “Suara Dinding Penjara”,

kita akan menemukan makna yang lain lagi dari “penjara”. Demikian saya kutipkan secara

lengkap sajak yang tercetak di halaman 25 itu:

 

Suara Dinding Penjara

Ruang bisu hanya hitam

Rasa rindu timbul tenggelam

Sepi sel sebelah, seorang tahanan gantung diri

Tekanan batin lebih menyiksa daripada mati

 

Kami bisa berkomunikasi dengan mengetuk dinding

malam sepi nyamuk berdenging-denging

temanku kesepian didera kerinduan

anaknya masih bayi ia tinggalkan tanpa kesalahan

 

Aku tersentak petugas kawal membuka kunci

merazia tali-tali

nyawa tetangga selku sudah terazia tak kembali lagi

 

Selembar nyawa yang berharga

sampai mati tidak pernah diadili tanpa tahu kesalahannya

 

Aku diburu rindu dan rasa sepi

mencengkeram sekali

dinding penjara yang biasa bersuara

tinggal rasa hampa nyamuk merajalela

 

Page 6: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Aku pandangi langit-langit tanpa kata

bertanya di mana arti merdeka.

 

Sajak “Suara Dinding Penjara” memberikan makna “penjara” yang lain lagi. Jika dalam

kehidupan sehari-hari kita mengenali penjara sebagai tempat orang-orang terhukum, orang-

orang bersalah, maka sajak “Suara Dinding Penjara” memberikan kesaksian lain: penjara

adalah juga tempat bagi orang-orang yang tidak bersalah. Hal ini dapat kita saksikan

melalui bait: Selembar nyawa yang berharga / sampai mati tidak pernah diadili tanpa tahu

kesalahannya. Sajak “Suara Dinding Penjara” bersaksi tentang terpenjaranya orang-orang

yang tidak pernah menjalani proses pengadilan—atau, dalam kata lain, terpenjaranya

orang-orang yang tidak pernah diketahui apa kesalahannya[5].

Melalui sajak “Suara Dinding Penjara”, SA menyingkapkan makna lain dari “penjara”

dengan bertolak dari pengalaman seorang tahanan yang memutuskan gantung diri.

Larik tekanan batin lebih menyiksa daripada matiseakan-akan hendak berbicara tentang

makna lain “penjara” bagi seorang tahanan yang dipisahkan secara paksa dari kerabat dan

keluarga, serta anaknya (yang) masih bayi. Ketika penjara menjadi tempat menghukum

orang-orang bersalah yang sudah menjalani proses pengadilan, maka penjara menjadi

situs keadilan. Namun, ketika penjara menjadi tempat menghukum orang-orang yang tidak

diketahui kesalahannya karena belum menjadi proses pengadilan, maka penjara adalah

situs ketidakadilan. Di dalam “penjara” sebagai situs ketidakadilan, SA menulis:Aku

pandangi langit-langit tanpa kata / bertanya di mana arti merdeka.

Pada sajak-sajak yang lain, kita juga masih dapat menemukan makna lain dari “penjara.”

Misalnya, pada sajak “Catatan dalam Ingatan” atau pada “Pertanyaan Diri” atau pada “Sel

Cipinang Belakang”, kita—atau, paling tidak saya—dapat menemukan makna lain dari

“penjara”: penjara hanya mampu membatasi gerak tubuh, namun tidak untuk kehendak dan

kenangan dan harapan, penjara memang tak pernah berhasil

menghentikan pagi dan angin.

 

Penjara dan Relasi-relasi Kuasa

Kita telah melihat pada bagian sebelumnya, melalui sajak-sajaknya, SA memperlihatkan

penjara sebagai situs dari ketidakadilan. Idealnya, penjara adalah situs keadilan, tetapi jika

Page 7: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

penjara menjelma sebagai situs ketidakadilan, apa yang dapat menjelaskan hal demikian?

Perspektif postmodern Foucauldian memberikan jawaban yang memadai untuk hal ini:

relasi-relasi kuasa.

Secara sederhana, relasi-relasi kuasa merupakan relasi antara pihak yang mendominasi

dan pihak yang menolak dominasi—dalam kerangka pemikiran Hegelian, relasi-relasi kuasa

mengacu kepada relasi tuan-budak.[6] Peralihan penjara sebagai situs keadilan menjadi

situs ketidakadilan merupakan dampak dari relasi-relasi kuasa. Relasi-relasi kuasa yang

berinteraksi di dalam diskursus atau pertarungan wacana pada tahun 1965-1966

berdampak (effect) pada penetapan dua keputusan politik, yaitu (1) Surat Keputusan

No.1/3/1996 dan (2) Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, yang menjadi aturan hukum di dalam

masyarakat—atau, di dalam kota. Keputusan politik itulah yang menetapkan apa yang

menyimpang dan apa yang tidak menyimpang pada tubuh sosial. Secara historis,

keputusan politik inilah yang dapat menjelaskan mengapa penjara dapat dipergunakan atau

diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak pernah diketahui kesalahannya karena tidak

pernah menjalani proses pengadilan yang sesungguhnya—relasi-relasi kuasa.

Meski tidak secara langsung mengarah kepada atau menunjuk kepada relasi-relasi kuasa,

sajak “Suara Dinding Penjara” memuat indikasi tentang adanya relasi-relasi kuasa yang

berperan dalam menempatkan seseorang menjadi orang yang terpenjara. Dari sajak “Suara

Dinding Penjara” larik sampai mati tidak pernah diadili tanpa tahu

kesalahannya mengindikasikan adanya konteks sosial-politik faktual tertentu yang

memungkinkan penafsiran terhadap sajak berhasil memproduksi makna. Hanya dengan

menyadari atau mengetahui kondisi sosial-politik faktual di masa-masa awal kelahiran Orde

Baru dan sepanjang Orde Baru pembaca dapat memproduksi makna dari pembacaan atas

sajak tersebut.

Pada sajak “Kawat Berduri”, pembaca—setidaknya saya—dapat menemukan bentuk lain

dari relasi-relasi kuasa yang berlangsung secara extra-judicial sekaligus judicial. Saya

kutipkan sajak yang tercetak di halaman 59.

 

Kawat Berduri

Secara resmi dibatasi kawat berduri

Secara resmi disangkar besar barak isolasi

Page 8: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Secara resmi dikeluarkan dari sel jeruji besi

Secara resmi tidak pernah diadili

 

Secara tidak resmi ditahan malam hari

Secara tidak resmi disita milik pribadi

Secara tidak resmi terampas hak asasi

Resmi atau tidak resmi ribuan orang mati

 

Sajak “Kawat Berduri” memperlihatkan relasi-relasi kuasa dapat berlangsung secara taat

hukum sekaligus mengangkangi hukum. Melalui sajak “Kawat Berduri”, SA—atau, paling

tidak si aku dalam sajak—bersaksi tentang kehidupan di dalam penjara di mana orang-

orang yang hidup di dalam penjara (meski tidak pernah jelas status mereka, apakah

tahanan, terdakwa, atau terpidana) didata secara resmi bahkan ketika keluar pun

mendapatkan legalitas. Namun, di sisi lain, relasi-relasi kuasa extra judicial pun terjadi.

Inilah ambiguitas di dalam relasi-relasi kuasa yang bekerja di alam Republik Indonesia pada

periode Orde Baru.[7]

Relasi-relasi kuasa ini tidak hanya mewujud dalam kontekstualisasi historis dari

sehimpunan sajak SA. Relasi-relasi kuasa ini pun mewujud dalam konteks diskursus atau

pertarungan wacana antara narasi “Sejarah” qua pelajaran sejarah[8] yang-dominan dan

narasi “sejarah” qua sajak yang-resisten. Setidaknya, bagi saya pribadi, hal ini muncul

dengan sangat terang dalam sajak SA yang berjudul “Suatu Malam Tahun 60-an”. Namun,

sebelum membahas hal itu, relasi-relasi kuasa harus terlebih dahulu ditempatkan di dalam

konteks sejarah, bagian yang akan dibahas berikutnya.

 

Sejarah

Biasanya, apa yang dimaksud dengan sejarah adalah catatan tentang peristiwa-peristiwa

(events) di masa lalu, sekaligus menyangkut proses terjadinya peristiwa tersebut. Namun,

filsuf Hegel dengan Idealisme subjek-nya, mengubah cara pandang kita terhadap sejarah.

Sejarah tidak lagi dipandang semata-mata catatan tentang peristiwa-peristiwa di masa lalu

dan proses terjadinya peristiwa, melainkan sebagai situs bagi Roh Absolut mengenali

dirinya sendiri. Secara sederhana, sejarah dipahami sebagai aktualisasi kebebasan melalui

Page 9: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

tindakan individu-individu secara konkret. Jika sebelumnya sejarah hanya dipahami sebagai

catatan tentang peristiwa-peristiwa di masa lalu dan proses terjadinya tanpa mengetahui

apa ujung atau akhir dari peristiwa-peristiwa itu, Hegel memperlihatkan bahwa peristiwa-

peristiwa di masa lalu itu merupakan bagian dari proses mengaktualnya kebebasan. Ketika

kebebasan sudah mengaktual secara konkret, maka pada saat itu juga sejarah berakhir.

Di tangan Marx, gagasan Hegel tentang hukum perkembangan sejarah sebagai aktualisasi

kebebasan secara konkret mengalami perubahan. Marx tetap mengakui bahwa sejarah

mengandung muatan teleologis, tetapi muatan itu bukan seperti yang dinyatakan oleh

Hegel, yaitu aktualisasi kebebasan secara konkret. Bagi Marx, hukum perkembangan

sejarah adalah hukum pertentangan kelas di dalam masyarakat di mana puncak dari

perkembangan sejarah adalah berakhirnya kontradiksi kelas atau terwujudnya masyarakat

tanpa kelas—pembebasan dan emansipasi menjadi kata kunci dari gerak sejarah versi

Marx. Inilah hukum sejarah yang diyakini, melalui konstruksi argumentatif tertentu, berlaku

secara niscaya!

Secara mendetail, hukum perkembangan sejarah bersumber dari kontradiksi antara kelas

buruh dan kapitalis padabasis-ekonomi di mana pertentangan inilah yang menentukan

tatanan dari suprastruktur-politik. Foucault, yang memang seorang Marxist, tentu tidak

melupakan analisis materialisme historis dan dialektika materialisme Marx. Dalam

pemikiran Foucault, meski dapat dipisahkan secara relatif dari hukum perkembangan

sejarah, namun relasi-relasi kuasa tidak dapat dilepaskan dari struktur ekonomi-politik.

Secara sederhana, relasi-relasi kuasa bekerja di ranah politik ditujukan demi menjamin

keberlangsungan aktivitas produksi ekonomi yang kapitalistik. Di sinilah relasi-relasi kuasa

bekerja pada tubuh di mana tubuh dikendalikan oleh relasi-relasi kuasa demi menjamin

aktivitas produksi ekonomi kapitalistik. Dari sudut pandang demikian, arsitektur kota adalah

orkestrasi relasi-relasi kuasa, pendisplinan dan penghukuman terhadap tubuh sosial.[9]

Dari perspektif Foucauldian, penghukuman terhadap tubuh diharapkan berdampak pada

kesadaran atau jiwa sehingga yang terhukum menyadari, mengakui, dan meninggalkan

kesalahannya. Barangkali demikianlah yang dikehendaki pihak-pihak tertentu yang telah

melakukan tindakan extra judicial terhadap orang-orang yang disangka terlibat dalam Partai

Komunis Indonesia (PKI), yaitu agar mereka meninggalkan gagasan-gagasan masyarakat

yang dicita-citakan Karl Marx.  Namun, dari pembacaan terhadap sajak-sajak SA dalam

buku Puisi-Puisi dalam Penjaratampaklah si aku-liris tetap teguh memegang keyakinannya.

Page 10: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Keteguhan ini dapat kita, setidaknya saya saksikan, melalui sajak SA yang berjudul “Teka-

Teki di Tembok”. Demikian saya kutipkan secara utuh sajak yang tercetak di halaman 15

itu.

 

Teka-Teki di Tembok

Cinta

diukur kesetiaan

 

Setia

diukur keteguhan

 

Teguh

diukur pendirian

 

Pendirian

dalam kata dan perbuatan

 

Saya agak heran mengapa SA menggunakan diksi “perbuatan” daripada “kerja”—saya

tidak tahu pasti alasannya, namun hal ini, bagi saya, merupakan licentia poetica dari SA

(licentia poetica—sekaligus otentisitas—juga dapat ditemukan dalam sajak “Bukan Teka-

Teki” pada diksi “beberapa banyak” dari bait terakhir: Tapi, di bumi beberapa banyak /

manusia mati ditembak).

Terlepas dari komentar saya menyangkut diksi, sajak “Teka-Teki di Tembok”

memperlihatkan bahwa fungsi koreksi dari penjara terhadap tubuh SA, atau setidaknya aku-

liris, dalam perspektif Foucaldian, tidak berdampak apa-apa. Di sinilah, “penjara” sebagai

situs dari relasi-relasi kuasa gagal mengkoreksi penyimpangan dari tubuh sosial—dan

seiring dengan hal itu, tentunya aktivitas produksi ekonomi pun tentunya mengalami

gangguan (dalam pengertian, tidak dapat bekerja optimal, karena satu tubuh yang berada

di dalam penjara tidak melakukan aktivitas produksi ekonomi).

Jika penjara menjadi situs bagi/efek dari relasi-relasi kuasa untuk menghukum tubuh demi

mengkoreksi tindakan tubuh yang dinilai mengganggu aktivitas produksi ekonomi, maka

Page 11: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

sekolah menjadi situs bagi/efek dari relasi-relasi kuasa untuk mendisiplinkan tubuh melalui

indoktrinasi “Sejarah”. Dalam konteks relasi-relasi kuasa, “Sejarah” yang ditulis oleh yang-

dominan berhadapan dengan “sejarah” yang ditulis oleh yang-resisten: sajak “Suatu Malam

Tahun 60-an”. Demikian saya kutipkan sajak yang tercetak di halaman 3 itu:

 

Suatu Malam Tahun 60-an

kelam kabut

melawan takut

berdebar liar dada terbakar

 

siang malam

direjam dendam

detak-detak sepatu mengagetkan aku

detak-detik jam tajam di hatiku

 

deru-deru jip atau panser membangunkan malamku

derak-derak tank menantang manusia tidak tahu

 

Aku salah seorang tidak berdaya

tanpa senjata

harus bermain kucing-kucingan

tanpa mengetahui mengapa harus demikian

di sebuah kamar berdinding bambu di tepi jalan

mendekap nyawa

mendesahkan kata: aku di sini di negeri merdeka

 

Dinding-dinding yang berlubang-lubang memberikan jalan

angin berbisik perlahan:

kemerdekaan yang kalian rebut dengan senjata

kini diancam manusia-manusia bersenjata

 

Ada masa politik bersenjata

Page 12: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

dan ada saat senjata berpolitik

keduanya mencari pengesahannya

dalam sejarah konflik

 

Malam makin lengang

kertas jatuh pun terdengar nyaring

malam-malam bertambah tegang

jika yang lemah diperlakukan lebih buruk dari maling

 

Dan sejarah memberikan pelajaran

kemanusiaan hanya sebuah gincu di dalam kebencian

kekejaman minta pengesahan

dengan mahkota kemerdekaan dan kebebasan

 

Dan senjata menjadi nyawa

nyawa pun tidak ada harganya

di dalam bagian sejarah Indonesia merdeka

 

Kelam kabut melawan maut

apa salah yang mati di darat dan di laut

suatu saat sejarah akan menyebut

kemerdekaan pernah direnggut

 

Sajak “Suatu Malam Tahun 60-an’ sebagai “sejarah” yang-resisten berinteraksi dengan

“Sejarah” yang-dominan. Bagi saya, hal ini memperlihatkan bahwa apa yang ternyatakan

dalam “Sejarah” selalu mengandung “sejarah”.[10] Di sinilah, sajak atau sastra tidak lagi

sekadar menempati posisi sebagai fiksi-imajinatif, tapi sudah menjadi bagian dari fakta-

aktual. Implikasinya, aktivitas pembacaan dan penafsiran atas teks-teks sastra demikian—

yang juga dapat dengan mudah ditemukan pada Orde Reformasi—bukan sekadar

mengakses dunia fiksi-imajinatif di dalam teks, melainkan juga menyadari adanya dunia

fakta-aktual yang hidup dan bersuara di dalam teks. Disadari atau tidak oleh SA, sajak

“Suatu Malam Tahun 60-an” sudah menjadi “sejarah” sebagaimana yang dituliskan SA

Page 13: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

pada dua larik terakhir: suatu saat “sejarah” akan menyebut /  kemerdekaan pernah

direnggut.

Bertitik tolak dari relasi-relasi kuasa dan hukum perkembangan sejarah, saya memahami

“Sisi yang Cerah” sebagai momen pembebasan dan emansipasi kelas sebagaimana yang

dicita-citakan Marx. Demikian saya kutipkan sajak yang tercetak di halaman 12 itu.

 

Sisi yang Cerah

Kepahitan bila berlalu

Jadi lagu sangat merdu

 

Sewaktu membacanya untuk pertama kali, saya langsung terpikat dengan sajak pendek ini.

Meski demikian, setelah saya pikir ternyata pesan yang terkandung dalam sajak ini biasa

saja, tidak istimewa. Pepatah yang sering kita dengar “hidup itu seperti roda, kadang di atas

kadang di bawah” juga mengandung pola pesan yang mirip, jika tidak identik, dengan sajak

“Sisi yang Cerah”. Namun, ketika saya membaca “Sisi yang Cerah” sebagai representasi

dari relasi-relasi kuasa dan hukum perkembangan sejarah, materialisme historis—saya

menemukan daya pikat yang lain. Pembacaan demikian memampukan saya memproduksi

makna yang lain, yaitu pembebasan dan emansipasi kelas sebagai “Sisi yang Cerah”.

 

Penutup

Sebagaimana yang sudah saya nyatakan sebelumnya, tulisan atau apa yang saya

sampaikan berpotensi mereduksi makna yang terkandung dalam sehimpunan sajak SA

dalam Puisi-Puisi dari Penjara. Namun, satu hal yang membekas dalam ingatan saya

sewaktu membaca sajak-sajak SA adalah saya seakan-akan tengah berbicara dengan

saksi sejarah. Mengetahui sejarah dari seorang saksi sejarah tentu memiliki nilai lebih dari

sekadar mengetahui sejarah dari buku-buku sejarah. Jika Anda pernah menyaksikan film

dokumenter The Act of Killing besutan Joshua Oppenheimer, maka saya pikir Anda,

pembaca yang budiman, mengetahui apa yang saya maksudkan.[11]

Page 14: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

[1] Sajak Sabar Anantaguna (SA) yang tercetak pada halaman 14 pada buku “Puisi-Puisi

dari Penjara”. Saya suka dengan sajak ini—meski mengandung keanehan tematik, jika kita

memperhatikan judulnya: Kertas Bekas. Selain sajak ini, saya juga suka dengan larik-larik

dari bait ke-5 dari sajak ”Yang Masih Punya Cinta”, yang tercetak pada halaman 34.

Demikian petikan larik-larik itu:

Adakah cinta lebih cinta yang kita punya

dalam pedih dan duka tetap setiaPada bait ini, rima yang dibangun SA berdampak

membangun suasana rindu yang penuh optimisme akan hari depan yang cerah.

[2] Sajak-sajak dalam Puisi-Puisi dari Penjara dibagi dalam tiga bagian utama. Bagian

pertama, yang terdiri atas 21 sajak—Suatu Malam Tahun 60-an, Cinta I, Cinta II, Cinta III,

Pertanyaan Diri, Kertas Rokok, Sisi yang Cerah, Catatan, Kertas Bekas, Teka-Teki di

Tembok, Impian, Bukan Teka-Teki, Interogasi, Istirahat, Canda Hari Pertama, Puncak

Malam, Siapa Penjahat?, Malam Bulan Purnama, Seorang Buangan, Suara Dinding

Penjara, dan Kisah Sepatu—dirangkum pada bagian yang diberi tajuk “Nyanyian Bumi

Bukan Antri Mati (1966-1978)”. Bagian kedua yang diberi tajuk “Arus Detik—Lagu Tanpa

Nada (1967-1978)” menghimpun 22 sajak: “Lagu Tanpa Nada”, “Gerimis”, “Kepedasan

Hidup”, “Sel Cipinang Belakang”, “Yang Masih Punya Cinta”, “Pengertian”, “Renungan”,

“Adegan Malam”, “Rindu”, “Arus Detik”, “Bukan Misteri”, “Yang Diburu Juga Memburu”,

“Sampai di Mana”, “Kebisuan”, “Catatan dalam Ingatan”, “Tangerang”, “Kecapi Terali Besi”,

“Kawat Berduri”, “Malam di Barak”, “Manusia Alam”, “Aku—Ayam dan Hujan”, “Gadis di

Hutan”. Terakhir, “Pasir-Pasir di Hati (Pulau Buru, 1974-1975)”—yang bagi saya pribadi,

kisah yang ditawarkan melalui 14 fragmen sajak ini tidak terlalu menarik. “Pasir-Pasir di

Hati” berkisah dengan konflik antara “Tampan,” seorang pemuda yang juga representasi

dari kelas proletar, dengan “Juragan”, orang yang juga merupakan representasi dari kelas

borjuis. Konflik bermula dari kepulangan “Ayu”, anak “Jurangan,” dari kota ke desa. Pada

saat itulah “”Jurangan” dan istrinya mengetahui bahwa putrinya sudah hamil di luar nikah—

dan untuk mengantisipasi aib yang bakal menimpa, “Juragan” dan istrinya meminta agar

orang tua “Tampan”, pekerja “Juragan,” menikahkan “Tampan” dengan putri mereka,

“Ayu”.  Di sisi lain, “Tampan” sudah memiliki kekasih yang bernama “Manis.” Di tengah

kompleksitas pusaran konflik antara “Tampan” dan keluarga “Jurangan”, lalu antara

“Tampan” dan ayah-ibunya, juga antara “Tampan” dan “Manis,” ternyata “Tampan”

memutuskan bunuh diri. Bertitik tolak dari konstruksi pengisahan yang demikian, saya

Page 15: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

menilai sajak “Pasir-Pasir di Hati” cenderung stereotip dan klise—singkatnya: tak

mantaplah!

[3] Foucault, Michel, Discipline and Punish: The Birth of Prison (diterjemahkan Alan

Sheridan), England: Penguin Books, 1991. Buku inilah yang menjadi titik perspektif

Foucault-ian yang saya pergunakan untuk membaca sajak-sajak SA. Selain itu, saya juga

menggunakan: Foucault, Michel, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings

1972-1977 (ed. Colin Gordon, diterjemahkan Colin Gordon, Leo Marshall, John Mepham,

Kate Soper), New York: Pantheon Books, 1980.

[4] Saya memperlakukan secara khusus kata kesadaran dengan memberikan tanda petik

tunggal. Perlakuan khusus ini diperlukan karena secara mendasar pemikian Foucault sudah

meniadakan atau menghilangkan subjek, dan tentunya juga menghilangkan substansi

sebagai fondasi ontologis. Implikasi dari penghilangan subjek adalah penghilangan rasio

atau penghilangan kesadaran. Dengan melenyapkan subjek, maka titik tolak pemikiran

Foucault adalah relasi atau struktur.

[5] Berangkat dari sajak “Suara Dinding Penjara”, khususnya larik sampai mati tidak pernah

diadili tanpa tahu kesalahannya, tentunya kita dapat mengimajinasikan bagaimana sikap

Aku-liris saat menyaksikan siaran langsung dari Dago Pakar, Kabupaten Bandung, Jawa

Barat, tentang batalnya eksekusi Komisaris Jenderal (Purn.) Susno Duadji pada 24 April

2013 hanya karena kesalahan nomor perkara, sekalipun dia sudah menjalani proses

persidangan mulai dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung.

[6] Sebagai titik tolak pemahaman, sebelum Foucault, pemikiran filosofis tentang

kekuasaan selalu bertolak dari kekuasaan sebagai substansi, kekuasaan berasal sumber

tertentu, misalnya rasio atau darah (baca: keturunan dewa). Pemikiran kekuasaan sebagai

substansi atau berasal dari sumber tertentu melahir gagasan tentang kekuasaan yang

bermula dari eksistensi penguasa di mana eksistensi penguasa ditentukan oleh rasio atau

penguasa itu merupakan keturunan dewa, untuk kemudian menentukan eksistensi yang

dikuasai, lalu menetapkan relasi antara penguasa dan yang-dikuasai. Namun, karena

Foucault telah mencoret apa yang disebut substansi dan menghapus adanya sumber

kekuasaan [dengan demikian Foucault menghapus rasio sebagai pengkonstitusi subjek

modern], maka kekuasaan bukan bermula dari eksistensi penguasa, melainkan bermula

dari relasi—penguasa mustahil ada tanpa adanya yang-dikuasai dan sebaliknya.

Konsekuensi pemikiran demikian memperlihatkan bahwa gagasan kekuasaan tidak

Page 16: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

semata-mata berimplikasi kepada kepatuhan, melainkan kepada resistensi! Pada pemikiran

kekuasaan yang bersifat substansial, kekuasaan menjadi justifikasi bagi adanya kepatuhan.

Namun, pada pemikiran kekuasaan yang bersifat relasional, kekuasaan merupakan

interaksi antara dominasi dari penguasa dan resistensi dari yang-dikuasai.

[7] Salah satu buku menarik yang mengupas kehidupan sosial-politik Indonesia di masa

Orde Baru dari sudut pandang postmodern adalah buku karangan Ariel Heryanto yang

berjudul State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging, terbitan

Routledge, 2006. Narasi peristiwa 1965 dikelola secara optimal oleh penguasa sehingga

narasi itu hidup di dalam tubuh sosial—dengan menggunakan perspektif Foucault-ian,

narasi peristiwa 1965 tidak lain adalah panopticon yang diinskripsikan penguasa ke dalam

tubuh sosial sehingga tubuh sosial memperlihatkan tindakan yang patuh terhadap segala

hal yang sudah distigmatisasi dalam narasi tersebut.          Hal ini menyadarkan kita bahwa

narasi sejarah, secara sosial, berfungsi melegitimasi kelahiran rejim tertentu (lihat.,

Thomson, Paul, The Voice of the Past: Oral History, New York: Oxford University Press,

2000; Adam, Asvi Warman,1965: Tahun yang tak pernah berakhir dalam “Konflik

Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik (ed.

Dewi Fortuna Anwar, dkk), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005; Roosa, John, Dalih

Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (terjemahan Hersri

Setiawan), Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008; untuk

mengetahui korelasi antara peristiwa 1965 dan kebangkitan ekonomi di Indonesia baca

Simpson, Bradley R., Economist with Guns: Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya

Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru (terjemahan Johanes Supriyono dan Kt. Arya

Mahardika), Jakarta: PT. Gramedia, 2010.)

[8] Atau sejarah versi resmi dari pemerintah. Saya persilahkan Anda, pembaca, memeriksa

buku pelajaran sejarah di sekolah dasar dan menengah yang berbicara tentang reformasi

1998. Perspektif siapakah atau apakah yang dimenangkan dalam penulisan sejarah itu?

[9] Di dalam pemikiran Foucauldian, relasi-relasi kuasa ditujukan demi pendisiplinan tubuh.

Pendisiplinan tubuh diperlukan agar aktivitas produksi ekonomi kapital berjalan.

Pendisiplinan tubuh diperlukan karena tubuh merupakan situs dari basis-suprastruktur

Marxian, situs ekonomi-politik.

Pendisiplinan tubuh tubuh terjadi melalui aparatus ideologis negara, berupa sekolah, rumah

sakit, dan lainnya—selain aparatus ideologis, negara juga memiliki aparatus represif,

Page 17: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

semisal institusi kepolisian. Di dalam sekolah, rumah sakit, dan lainnya, tubuh sosial

didisiplinkan dengan menginskripsikan aturan-aturan sosial-politik-ekonomi tertentu, yaitu

hal-hal yang harus dipatuhi dan harus dijauhi atau larangan—penginskripsian kode-kode

sosial ini mirip dengan proses instalasi komputer di mana instalasi program memungkinkan

komputer untuk dipergunakan secara optimal.

Penjara merupakan situs bagi pendisiplinan tubuh melalui koreksi terhadap tubuh. Tubuh

perlu dikoreksi atau dipenjara karena tubuh melakukan apa yang dilarang untuk dilakukan.

Dalam skematisasi pemikiran Foucault, koreksi berlangsung melalui pembebasan gerak

tubuh di dalam penjara di mana keterbatasan gerak ini diharapkan berdampak pada

ketersiksaan jiwa atau kesadaran ‘subjek’ sehingga ‘subjek’ menyadari, mengakui dan

meninggalkan kesalahannya. Fungsi koreksi tubuh dalam penjara ini paralel dengan fungsi

koreksi tubuh di dalam rumah sakit. Di dalam rumah sakit, dokter memberikan perlakuan

tertentu [yang dapat dipahami sebagai penyiksaan] terhadap tubuh pasien hingga tubuh

pasien yang sakit, dengan koreksi yang diberikan, menjadi sembuh—secara epistemologis,

kesembuhan pasien adalah peristiwa kebenaran (event of truth). Pasien di dalam rumah

sakit adalah orang-orang hukuman di dalam penjara, perlakuan medis di rumah sakit

sebagai fungsi koreksi terhadap penyimpangan tubuh adalah keterbatasan gerak dan

jadwal aktivitas bagi tiap orang-orang hukuman, dan pasien yang sembuh setelah

mendapatkan perlakuan medis tertentu adalah orang-orang hukuman yang sudah

menjalani masa hukuman di mana seiring dengan selesainya masa hukuman itu

diharapkan tubuh orang-orang hukuman itu tidak lagi melakukan aktivitas yang dilarang.

[10] Bandingkan juga dengan Southgate, Beverly, Postmodernisme dalam “A Companion to

the Philosophy of History and Historiography” (ed. Aviezer Tucker), UK: Blackwell, 2009,

hlm. 540-549.

[11] Saya ingat sewaktu peluncuran buku Martin Aleida yang berjudul “Langit Pertama

Langit Kedua” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 22 Februari 2013, sastrawan 

Arswendo Atmowiloto berkata, kurang lebih demikian: “Di dalam cerita pewayangan,

cerpen-cerpen Martin Aleida itu ibarat bunga wijaya kusuma. Bunga itu adalah bunga yang

ajaib. Bunga itu dapat membangkitkan orang yang sudah mati, jika kematian orang itu

adalah kematian yang tidak wajar.” Apa yang dinyatakan oleh Arswendo itu, menurut saya,

paralel yang pemikiran Walter Benjamin tentang [tujuan dari] sejarah, yaitu sebagai

Page 18: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

eskatologi atau penebusan atau pembebasan bagi mereka-mereka yang menjadi korban di

masa lalu.

Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 1)5 July 2013

 Iqra Anugrah

 LKIP

“…it is much more easy to have sympathy with suffering than it is to have sympathy with

thought.” (“…adalah lebih mudah untuk bersimpati kepada penderitaan daripada bersimpati

kepada pemikiran.”)

Oscar Wilde dalam The Soul of Man Under Socialism (Jiwa Manusia dalam Sosialisme)

Iqra Anugrah[i]

Page 19: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Pendahuluan

Siapakah Oscar Wilde? Pembahasan atas kehidupan pribadinya yang bohemian dan

flamboyan terutama hubungannya dengan Lord Alfres Douglas yang juga membuat dia

dipenjara seringkali mengalihkan perhatian khalayak dan menimbulkan kesalahpahaman

atas karya-karyanya. Namun, tentu saja ada beberapa hal menarik yang dapat kita kaji dari

karya-karya salah satu penulis Anglo-Irlandia[ii] paling terkemuka yang juga salah satu

seniman aliran estetik-dekaden[iii] paling terdepan ini.

Salah satu sisi yang terlupakan dari peranan dan karya-karya Wilde sebagai penulis adalah

Wilde sebagai penganjur estetika dan kritikus sosial. Dalam berbagai karyanya, mulai dari

naskah drama, puisi, novel, traktat politik, esai, prosa, hingga surat-surat pribadinya, tema

yang kerap muncul dalam tulisan-tulisan Wilde adalah perayaan terhadap estetika dan

keindahan sekaligus kritik atas moralitas Victorian[iv] yang dominan pada zamannya.

Dengan gayanya yang jenaka, kontemplatif dan terkadang bombastis, Wilde mencoba

menyentuh tema-tema tersebut dalam tulisan-tulisannya yang membahas berbagai macam

topik, mulai dari filsafat seni, sosialisme, teologi, individualisme, hingga kritik sosial.

Dalam konteks inilah, saya berusaha mengulas beberapa karya-karya Oscar Wilde. Bagian

pertama dari tulisan ini bermaksud memberi pengantar dan sedikit pembahasan atas karya-

karya Wilde, sedangkan bagian kedua dari tulisan ini akan membahas berbagai ulasan

kritis tentang karya Wilde serta konteks sejarah dan relevansi masa kini dari karya-karya

Wilde. Dari sekian banyak karya Wilde, saya akan fokus kepada beberapa karyanya yang

saya anggap cukup representatif, yaitu The Picture of Dorian Gray, The Importance of

Being Earnest, Lady Windermere’s Fan, dan An Ideal Husband[v], De Profundis, dan The

Soul of Man Under Socialism.

 

Sekilas tentang Oscar Wilde

Terlahir sebagai Oscar Fingal O’Flahertie Wills Wilde dari sepasang intelektual Anglo-

Irlandia di Dublin pada 16 Oktober 1854, Oscar Wilde segera menunjukkan bakatnya dalam

dunia kesusasteraan semenjak masa mudanya. Baik di Trinity College, Dublin, maupun di

Universitas Oxford, Wilde menekuni studi klasik (Classics), yaitu studi sejarah dan filsafat

Yunani dan Romawi baik di masa kuno maupun modern. Semasa studinya, ia berkali-kali

Page 20: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

menerima penghargaan akademik atas prestasi intelektual dan literernya. Tetapi, alih-alih

menjadi seorang akademisi, Wilde justru meniti karier sebagai penulis.

Sebagai penulis, Wilde segera memperoleh reputasi sebagai salah satu penulis dan

sastrawan terkemuka di Inggris. Selain karya-karyanya tersebut di atas, beberapa karya

Wilde lain yang mendapat sambutan yang cukup luas adalahThe Happy Prince and Other

Tales, Lord Arthur Savile’s Crime and Other Stories, A House of Pomegranates, The Decay

of Lying, The Critic as Artist dan Salomé. Wilde juga menikmati kemapanan finansial dari

pementasan naskah-naskah dramanya dan penjualan berbagai karyanya.

Namun, pertemuannya dengan Lord Alfred Douglas, atau yang lebih dikenal sebagai

‘Bosie’, perlahan-lahan memutar roda kehidupan Wilde. Meskipun Wilde sudah menikah

dan memiliki dua orang anak, perlahan-lahan ia menjalin hubungan yang melampaui

pertemanan dengan Bosie. Kemudian, mereka menjadi sepasang kekasih, suatu hal yang

amat ditentang oleh pihak keluarga dan teman-teman Wilde dan Bosie. Sampai-sampai,

ayah Bosie, bangsawan Queensberry, menuduh mereka sebagai pasangan

homoseksual[vi]. Ironisnya, atas anjuran Bosie, Wilde menuntut ayahnya Bosie dengan

tuduhan pencemaran nama baik. Tuduhan ini, yang kemudian ditarik kembali, kemudian

menjerat Wilde dengan dakwaan ‘perilaku yang tidak senonoh dengan laki-laki lain’ (gross

indecency), dakwaan yang tragisnya dikenakan berdasarkan bukti-bukti yang di antaranya

diambil dari beberapa karya dan surat pribadinya yang bernuansa homoseksual. Wilde

kemudian ditahan dan dikenakan hukuman kerja paksa selama dua tahun dan tak lama

setelah ia dibebaskan, ia sakit-sakitan, memeluk agama Katolik, dan kemudian meninggal

dunia di Paris pada 30 November 1900.

 

Komedi dan Kritik dalam Tiga Naskah Drama Wilde

Sebagai pengantar, ada baiknya saya memulai pembahasan karya Wilde dari tiga naskah

dramanya yang jenaka namun kritis, yaitu Lady Windermere’s Fan (Kipas Lady

Windermere, selanjutnya LWF), An Ideal Husband (Suami yang Ideal, selanjutnya AIH),

dan The Importance of Being Earnest (Pentingnya Menjadi si Jujur, selanjutnya TIBE). Di

bagian ini, saya menyajikan ringkasan atas naskah-naskah drama tersebut satu persatu

sebelum memberikan ulasan kritis terhadapnya.

Page 21: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

LWF dan AIH memiliki tema yang mirip, yaitu seputar kehidupan masyarakat kelas atas

Inggris dan intrik, kemunafikan sekaligus kekonyolan yang menyertai dan inheren dalam

kehidupan kelompok sosial tersebut. LWF berkisah tentang sepasang suami istri

bangsawan, Lord Windermere dan Lady Windermere. Lady Windermere curiga bahwa

suaminya, Lord Windermere, berselingkuh dengan seorang perempuan yang bernama Mrs.

Erlynne. Masalah bertambah pelik tatkala Lady Windermere mengetahui suaminya telah

memberi Mrs. Erlynne uang bulanan selama beberapa bulan terakhir. Tidak hanya itu, Lord

Windermere bersikeras untuk mengundang Mrs. Erlynne di pesta ulang tahun istrinya

dengan alasan Erlynne adalah ‘perempuan terhormat’ yang ‘ingin kembali ke masyarakat’

(Wilde, 2000: 345). Sebagai balasan, Lady Windermere berencana untuk menjawab ajakan

selingkuh dari salah seorang tamu pria yang datang ke pestanya. Untungnya, Mrs. Erlynne

berhasil menghentikan rencana Lady Windermere. Usut punya usut, Mrs. Erlynne rupanya

adalah ibu kandung dari Lady Windermere yang mengira bahwa ibunya meninggal sewaktu

ia masih kecil. Akhir cerita, hubungan Lady Windermere dan Lord Windermere kembali

harmonis, dan Mrs. Erlynne menerima lamaran seorang bangsawan yang ia temui di pesta

ulang tahun Lady Windermere.

Masih membahas tema yang serupa, AIH berkisah tentang Sir Robert Chiltern, seorang

politisi dan bangsawan muda yang sedang naik daun di London. Dalam sebuah pesta yang

dihadiri oleh anggota kelas atas di London, ia bertemu Mrs. Cheveley, yang mengetahui

rahasia kotor dari kesuksesan Sir Robert. Rupanya, almarhum kekasih Mrs. Cheveley,

Baron Arnheim, meyakinkan Sir Robert untuk membocorkan rencana Pemerintah Inggris

untuk membeli saham di Terusan Suez. Tiga hari sebelum Pemerintah Inggris

mengumumkan rencana pembelian saham tersebut, Baron Arnheim membeli saham

tersebut dan untung besar. Sebagai imbalannya, Sir Robert juga ‘kecipratan’ keuntungan

tersebut, yang kemudian ia gunakan sebagai modal politiknya. Mrs. Cheveley mengancam

akan membocorkan rahasia Sir Robert apabila Sir Robert tidak mendukung rencana

pembangunan sebuah kanal di Argentina yang sarat dengan korupsi. Awalnya, Sir Robert

yang mulanya menolak terpaksa mendukung proyek korup tersebut. Sialnya, istrinya, Lady

Chiltern, mengetahui perubahan sikap Sir Robert, dan kesal terhadap perbuatan suami

yang tidak mencerminkan perilaku ‘suami ideal’ (‘an ideal husband’). Pahlawan dan

penyelamat dari tragedi Sir Robert adalah Lord Goring, teman dari Sir Robert yang juga

seorang bangsawan namun menjalani hidup secara bebas dan terkesan tidak peduli

dengan norma-norma sosial ala kaum borjuis dan aristokrat Victorian: berambut

Page 22: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

gondrong, suka berkelakar, belum ingin menikah meskipun sudah memasuki usia kepala

tiga, dan karenanya sering diomeli ayahnya yang juga seorang bangsawan. Akhir cerita,

tidak hanya dosa politik Sir Robert berhasil ditutupi, ia juga akhirnya menolak pengesahan

proyek kanal yang dinilai korup itu. Karir politik Sir Robert kembali menanjak, kehidupan

rumah tangganya terselamatkan, dan Lord Goring pun akhirnya direstui untuk menikah

dengan gadis pujaannya yang juga adik dari Sir Robert, Miss Mabel Chiltern.

Dengan latar belakang sosial yang masih relatif sama namun topik yang berbeda, TIBE

mengangkat isu yang tidak kalah sensitif: pernikahan dan norma sosial. TIBE[vii] berkisah

tentang dua orang pemuda dari kelas atas di London, Algernon ‘Algy’ Moncrieff dan John

‘Ernest’ Worthing. Karena ‘sesaknya’ norma dan ketentuan sosial di kehidupan sosial

London, Algy dan Ernest sengaja berbohong dengan memiliki identitas ganda: Algy

mengaku memiliki ‘teman’ yang bernama Bunbury, sedangkan John alias Ernest memiliki

identitas ganda sebagai John atau Paman Jack di desa yang selalu khawatir dengan

‘adiknya’, Ernest yang tinggal di London, sedangkan di kota, Jack sendiri mengaku

bernama ‘Ernest’.

Masalah kemudian muncul ketika John melamar sepupunya Algy yang juga seorang

bangsawan, Gwendolen Fairfax. Gwendolen menerima lamaran John—masalahnya, ia

tertarik kepada John karena ia mengenal John sebagai ‘Ernest’, dan menurut Gwendolen,

‘cita-citaku selalu adalah untuk mencintai seseorang yang bernama Ernest’ (hlm. 490). Dari

sini, muncullah masalah pertama: John harus secara resmi bernama Ernest supaya bisa

menikahi Gwendolen, oleh karena itu, ia berencana untuk membuat kabar palsu: Ernest,

‘adiknya’ John, baru saja meninggal, agar nama ‘Ernest’ bisa dipakai oleh John ketika ia

pelesir di kota.

Tetapi, masalah tidak berhenti di sini. Algy, yang diam-diam mencatat alamat rumah John di

desa, kemudian bertemu dan naksir dengan anak angkat John, Cecily Cardew.

Masalahnya, Algy juga mengaku bernama ‘Ernest’. Penyebabnya sama: Cecily juga hanya

mau menikahi lelaki bernama Ernest. John, yang sudah membawa kabar meninggalnya

‘Ernest’, kemudian datang ke rumahnya hanya untuk segera terkejut kembali, karena

‘Ernest’ tiba-tiba ada di rumahnya! Tak lama, Gwendolen juga mendatangi rumah John. Ini

semua berujung ke timbulnya masalah kedua: Gwendolen dan Cecily berebut untuk

menikahi ‘Ernest’. Solusi yang dipikirkan oleh Algy dan John juga tidak kalah

bermasalahnya: kedua-duanya ingin kembali dibaptis dengan nama ‘Ernest’!

Page 23: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Kemudian, datanglah Lady Brucknell, ibu dari Gwendolen sekaligus tantenya Algy.

Keadaan kemudian bertambah pelik: karena Lady Brucknell tidak setuju apabila Gwendolen

menikahi John, maka John juga tidak merestui hubungan antara Algy dengan anak

angkatnya, Cecily. Namun, cerita ini kemudian memiliki akhir yang berbahagia: setelah

ditelusuri, barulah diketahui bahwa John adalah anak dari saudara perempuan Lady

Brucknell. Dengan kata lain, John adalah kakak dari Algy dan juga keponakannya Lady

Brucknell. Kemudian, diketahui juga bahwa nama baptis John adalah Ernest. Cerita ditutup

dengan Lady Brucknell yang merestui hubungan Gwendolen dengan John, John yang

merestui hubungan Cecily dengan Algy, dan John yang menyadari bahwa “…untuk pertama

kalinya dalam hidupku, aku menyadari pentingnya menjadi si Jujur” (“…I’ve now realized for

the first time in my life, the vital Importance of Being Earnest.”)[viii] (hlm. 538).

Dari tiga lakon ini, apa yang bisa kita pelajari dan amati? Setidaknya kita bisa melihat tiga

lakon ini dari tiga aspek, yaitu gaya penulisan, isi atau substansi, dan kritik dalam tema-

tema yang diangkat. Pertama, dari segi penulisan, setidaknya ada tiga ciri khas dari lakon-

lakon Wilde yaitu permainan kata-kata (wit), kejenakaan (comedy), dan terkadang

kekonyolan (farce) (Foster, 1956). Apabila kita amati lebih lanjut, biasanya kejenakaan yang

menjadi ciri khas lakon-lakon Wilde terletak pada dialog di antara para tokohnya. Yang lebih

menarik lagi, kejenakaan ini dapat segera dipahami dengan baik oleh penonton—termasuk

oleh saya yang bukan penutur asli Bahasa Inggris. Ini juga menandakan ciri khas yang lain

dari lakon-lakon Wilde–lakon yang membahas mengenai kekonyolan masyarakat kelas atas

Inggris, khususnya London di Era Victoria yang dapat dipahami oleh khalayak.

Tidak percaya? Perhatikan saja contoh potongan dialog “…I’ve now realized for the first

time in my life, the vital Importance of Being Earnest.”, atau contoh-contoh lain yang dapat

kita temukan. Di lakon LWF misalnya, terdapat sebuah ironi: Lady Windermere yang ibunya

meninggal ketika ia kecil curiga bahwa suaminya selingkuh dengan Mrs. Erlynne, yang

rupa-rupanya adalah ibu kandung dari Lady Windermere yang meninggalkan keluarganya

namun sekarang ingin melihat lagi anaknya yang sudah dewasa dan sukses. Lakon AIH

juga menyajikan campuran yang pas antara dimensi ironis dan komedi dari kehidupan Sir

Robert, keluarganya, serta kawan-kawannya: ada intrik, politik kotor dan kesalahpahaman

yang tidak perlu. Menariknya, pahlawan tak terduga yang menyelematkan Sir Robert

adalah Lord Goring, seorang bangsawan yang bohemian, yang menurut beberapa pengkaji

Wilde sebenarnya adalah representasi dari Wilde sendiri.

Page 24: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Kedua, secara substansi, tema-tema yang diangkat oleh Wilde dalam lakon-lakonnya

sesungguhnya adalah tema-tema yang sensitif pada masanya: skandal politik,

pengancaman, masa lalu yang gelap dari para orang penting, kerepotan untuk menjalani

moralitas dan norma sosial Victorian, hingga pernikahan. Skandal Sir Robert dalam AIH

misalnya, bagi saya, terdengar seperti lagu lama: seorang politisi muda terkemuka yang

menjustifikasi ‘dosa’ masa lalunya agar bisa tampil ke permukaan dan ‘mengabdi’ ke

masyarakat (terdengar familiar?).  Contoh lain yang tidak kalah konyol dan menariknya

adalah Algy dan John dalam TIBE: dua pemuda kelas atas yang memiliki identitas ganda

agar bisa menjalani kehidupan sebagai ‘orang baik dan terhormat’[ix] di satu sisi dan ‘orang

bebas’ di sisi lain yang saking ngebetnya ingin kawin bersedia menempuh sebuah jalan

pintas: dibaptis ulang dengan nama Ernest (ini juga mengingatkan saya akan 1.001 cara

masyarakat Indonesia, baik kelas bawah maupun kelas atasnya, untuk ‘mengakali’ lembaga

pernikahan, mulai dari membuat KTP baru, nikah siri, hingga berbagai justifikasi atas

praktek poligami). Membaca lakon-lakon Wilde dalam konteks ini, barulah kita merasakan

pedasnya kritik Wilde: moralitas Victorian sesungguhnya adalah moralitas yang munafik,

hipokrit.

Ketiga, kritik atas kemunafikan moralitas Victorian yang membelenggu ‘para pengikutnya’

(baca: kelas atas) juga terasa makin subversif karena disajikan dengan cara-cara yang

jenaka, komedi, dan konyol. Hal-hal yang dianggap serius, penting, bahkan sakral, seperti

politik, pencitraan publik, bahkan institusi keluarga dan pernikahan dikritik oleh Wilde,

dengan caranya yang kocak dan cerdas.

Tiga naskah drama atau lakon dari Wilde ini, dalam pandangan saya, meneguhkan posisi

Wilde sebagai kritikus sosial terdepan atas kebangkrutan moralitas Victorian yang dapat

menyampaikan kritiknya dengan cara-cara yang artistik dan jenaka.

 

Estetika dan Kegelisahan Sosial dalam The Picture of Dorian Gray

Satu karya lain dari Wilde yang mendapat sambutan publik yang cukup luas adalah satu-

satunya novel yang ia tulis,The Picture of Dorian Gray (Lukisan Dorian Gray, selanjutnya

TPDG). Berbeda dengan tiga naskah dramanya yang jenaka, cerita dalam TPDG

cenderung muram. Kali ini, saya menggunakan analisis seorang sarjana Wilde asal Jepang

Page 25: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

dari Universitas Nagoya, Mitsuharu Matsuoka (2003), untuk menelaah tema estetika dan

kegelisahan sosial (social anxiety) dalam TPDG.

Wilde dalam TPDG sesungguhnya berusaha bergumul dengan keterbatasan filsafat

estetika dan hedonisme serta mencoba merumuskan kritik terhadapnya sembari, lagi-lagi,

mengkritik moralitas Victorian ala kelas menengah dan elit penguasa Inggris. TPDG

berkisah tentang Lord Henry Wotton, seorang pelukis yang sensitif bernama Basil Hallward,

dan seorang pemuda tampan yang bernama Dorian Gray yang menjadi model lukisan

Basil. Di tengah-tengah perbincangan antara tiga tokoh tersebut, Lord Henry melontarkan

dukungannya atas sebuah aliran pandangan estetika di zamannya yang mengagungkan

hedonisme, bahwa seni haruslah mengabdi hanya untuk seni dan bahwa tujuan terpenting

dalam hidup adalah pencarian akan keindahan—dan juga kenikmatan (Matsuoka, 2003:

77). Terpengaruh pandangan Lord Henry, Dorian akhirnya memutuskan untuk menjadi

seorang hedonis. Dalam perjalanan Dorian untuk memenuhi hasrat hedonisnya, harapan

Dorian juga menjadi kenyataan—alih-alih dirinya sendiri, lukisan dirinya yang dibuat oleh

Basil akan menua. Kejadian ini membuat Dorian semakin hedonis sekaligus liar, sampai-

sampai ia rela membatalkan pertunangannya dan membunuh Basil. Dalam penyesalannya,

akhirnya Dorian memutuskan untuk menusuk lukisan dirinya yang sudah buruk rupa dan

menua. Akhir cerita, Dorian meninggal dalam keadaan tertusuk, tua, dan buruk rupa,

sedangkan lukisan dirinya kembali pada kondisi awalnya seperti semula.

Sebelum membahas kritik Wilde terhadap gerakan estetika dan moralitas Victorian dalam

TPDG, ada baiknya kita sedikit membahas mengenai konteks sosial saat gerakan Estetika

muncul. Pertama-tama, perlu diingat bahwa Estetika lahir di tengah-tengah puncak

industrialisasi dalam Revolusi Industri di Era Victoria. Estetika adalah reaksi terhadap

‘produk-produk buruk rupa yang dihasilkan oleh mesin-mesin buatan’ yang berimbas

kepada ‘menghilangnya yang indah’ (‘the disappearance of the beautiful’) (hlm. 78). Karya-

karya Wilde, sebagaimana karya-karya seniman Estetik lain, seperti John Ruskin dan

William Morris, perlu ditempatkan dalam konteks ini. Di tengah usaha penyelamatan

terhadap ‘yang indah’, kaum Estetik-Dekaden bersimpang jalan dengan kelas menengah

Inggris di waktu itu. Bagi kelas menengah Victorian, terdapat signifikansi moral yang

inheren dalam kesenian dan menjadi kewajiban bagi kesenian untuk mengeksplisitkannya,

sedangkan bagi kaum Estetik-Dekaden, kesenian berarti adalah apresiasi terhadap

keindahan (hlm. 78—9).

Page 26: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Namun, terdapat perbedaan pandangan dalam aliran Estetik-Dekaden itu sendiri. Wilde

sendiri berdiri di persimpangan jalan antara berbagai tendensi dalam aliran ini, suatu hal

yang juga tercermin dalam tiga karakter Wilde (Lord Henry, Basil, dan Dorian Gray) dalam

TPDG. Bagi Matsuoka, ini sesungguhnya menunjukkan ambivalensi Wilde dalam melihat

potensi artistik dan kritik aliran Estetik-Dekaden. Di satu sisi, Wilde bisa dikatakan sebagai

bagian utama, jikalau bukan representasi terbaik, dari aliran Estetik-Dekaden. Di sisi lain,

Wilde juga kritis terhadap kecenderungan hedonisme yang eksesif yang dapat muncul dari

filsafat Estetik-Dekaden.  Konflik segitiga antara Lord Henry-Basil-Dorian dalam TPDG juga

menunjukkan ambivalensi Wilde: ada Lord Henry yang menganjurkan estetika yang

hedonistik, ada Dorian yang menerapkan hedonisme secara ekstrem yang kemudian

menyesali perbuatannya, dan ada Basil yang menghargai keindahan namun berpendapat

bahwa ‘yang baik’ (the good) tidaklah terlepas dan selalu bertautan dengan ‘yang indah’

(the beautiful) dan ‘yang nikmat’ (the pleasurable) (hlm. 80). Ini diakui sendiri oleh Wilde,

yang dalam salah satu suratnya mengatakan, “Basil Hallward adalah apa yang aku pikirkan

tentang diriku; Lord Henry adalah apa yang dunia pikir tentang diriku; Sedangkan Dorian,

aku ingin menjadi seperti dirinya – mungkin di masa lain.”[x] (Holland & Hart-Davis, 2000:

585). Secara garis besar, menurut Matsuoka, setidaknya ada dua kecenderungan di aliran

Estetik-Dekaden di masa Wilde[xi]: kecenderungan pertama, yang diwakili oleh penulis

seperti Walter Pater dan tokoh Lord Henry dalam TPDG, menganjurkan pemisahan antara

seni dan keindahan dari moralitas. Sedangkan kecenderungan pertama, yang disebut oleh

Matsuoka sebagai moralis estetik (aesthetic moralists), diwakili oleh kritikus seni John

Ruskin dan tokoh Basil dalam TPDG, tetap mengkritik moralitas status quo (Victorian),

namun menolak menyingkirkan ‘yang baik’ dalam seni dan keindahan (hlm. 80). Kebetulan,

baik Walter Pater maupun John Ruskin adalah mentor Wilde semasa ia kuliah di Oxford

(hlm. 80). Oleh karena itu, tidak heran apabila kita melihat berbagai dilema dalam aliran

Estetik-Dekaden tercermin dalam karya Wilde. Terlepas dari perbedaan dari dua tendensi

pemikiran dalam aliran Estetik-Dekaden, satu hal yang menyatukan mereka adalah kritik

mereka terhadap moralitas Victorian. Sejatinya, apa yang menjadi kritik utama dari kaum

Estetik-Dekaden adalah ide bahwa kesenian harus mengabdi kepada suatu kepentingan

moral yang lebih tinggi (some higher moral purpose), yang sesungguhnya berarti moralitas

aristokratik, borjuis, dan borjuis kecil dari Victorianisme yang sesugguhnya, setidaknya

menurut Wilde, dipenuhi dengan kemunafikan dan kontadiksi-kontradiksi di dalamnya.

Page 27: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

‘Basis material’ yang memungkinkan kritik Wilde terhadap Victorianisme muncul, menurut

Matsuoka, adalah tantangan terhadap struktur kelas masyarat yang rigid dan romantisme

kelas menengah Inggris di masanya (hlm. 81). Di aspek kesenian, Wilde mengkritik

kecenderungan kesenian yang vulgar dan dangkal dari kelas menengah Inggris yang

kemampuan ekonominya mulai menanjak dan mencoba menikmati berbagai karya dan

aktivitas kesenian (hlm. 84). Ini terlihat, misalnya, dari pergeseran tren kesenian Victorian

yang mula-mula ‘dipimpin’ oleh para seniman yang berafiliasi dengan Royal Academy of

Arts yang kemudian ‘diambil alih’ oleh kelas menengah Inggris dengan perkumpulan

keseniannya, Art Union, yang mempromosikan realisme domestik (domestic realism),

penghormatan dan puji-pujian dalam karya seni, dan pengutamaan atas aktivitas sosial,

seperti jalan-jalan dan kunjungan ke berbagai galeri seni alih-alih penghargaan atas karya

seni—semuanya atas nama norma sosial ala Victorian (hlm. 82—4). Kritik ini diungkapkan

secara tajam melalui pernyataan Lord Henry dalam TPDG, “zaman sekarang, orang-orang

tahu harga semua hal, tetapi tidak tahu nilainya”[xii] (hlm. 84; cetak miring oleh penulis).

Di aspek sosial, Oscar lain tidak hanya mengkritik berbagai kontradiksi moralitas dan

‘kedangkalan’[xiii] kesenian kelas menengah dan kelas atas Victorian, namun juga

menyerang optimisme palsu dan norma seksualitas mereka. Sosok Dorian, menurut

Matsuoka, adalah gambaran kemunafikan (hypocrisy) kelas borjuis-aristokrat: di satu sisi ia

melakukan segenap perbuatan yang dianggap imoral, namun di sisi lain ia tampil dengan

penampilan yang luar biasa mengesankan (hlm. 85). Wilde juga mengkritik optimisme dan

kebaikan moralis ala kaum borjuis-aristokrat, yang menurut Wilde sesungguhnya timbul dari

ketakutan kaum borjuis-aristokrat akan kemungkinan ‘dirampasnya’ privilese sosial mereka,

sebagaimana diungkapkan oleh Lord Henry kepada Basil (hlm. 85). Lebih lanjut lagi, Wilde

mencoba menampilkan kontras antara kemewahan kelas yang berpunya dan berkuasa

dengan kesulitan hidup yang membebani mayoritas rakyat Inggris di masa Victoria.

Padahal, aktivitas produktif dilakukan oleh mayoritas rakyat tersebut, sedangkan kelas

borjuis-aristokrat Victorian melihat aktivitas produktif sebagai beban dan menganggap

waktu luang (leisure) dan bermalas-malasan (idleness) sebagai suatu privilese sosial. Wilde

secara sinis menyebut gaya hidup kaum borjuis-aristokrat sebagai “seni tidak melakukan

apa-apa secara gemilang ala kaum bangsawan” (“the great aristocratic art of doing

nothing”) (hlm. 87). Kritik Wilde ini, menurut Chamberlin (1972), terdengar mirip dengan

kritik ekonom nyentrik Thornstein Veblen atas konsumsi mencolok atau pamer

(conspicuous consumption) dari kelas atas yang gemar menghabiskan waktu luang yang

Page 28: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

juga disebut Veblen sebagai the leisure class. Wilde juga menunjukkan kontras antara

kelas penghisap dan kelas produktif dengan sosok Dorian, yang selalu bergerak melintasi

dua dunia: kelas-kelas dengan status sosial tertinggi dan terendah (Matsuoka, 2003: 87).

Terakhir, Wilde juga mengkritik norma seksualitas yang kaku dan mengekang ala Era

Victoria. Hasrat seksual Dorian yang tidak terkontrol, liar, dan eksperimental, menurut

Wilde, sesungguhnya adalah ‘efek samping’ dari “represi borjuis Victorian atas segala

bentuk seksualitas non-reproduktif” (hlm. 89).

Interpretasi Matsuoka atas TPDG juga senada dengan interpretasi Ryan dan Cadwallader

(2013) atas kritik Wilde atas hedonisme ekstrem ala Dorian, interpretasi Duggan (2008—

2009) atas berbagai dilema yang berkaitan dengan kemampuan filsafat estetika

merumuskan suatu kritik sosial, dan interpretasi Quintus (1980) atas dimensi moral dari

Estetika Wilde. Namun, terlepas dari ambivalensi Wilde atas berbagai dilema dan potensi

kritik aliran Estetik-Dekaden, secara sadar Wilde mengusung suatu bentuk seni yang ingin

menonjolkan keindahan sekaligus membongkar kebangkrutan moralitas Victorian dalam

TPDG.

 

Sosialisme dan Teologi dalam The Soul of Man dan De Profundis

Jikalau sebelumnya kita banyak membahas mengenai karya-karya seni Wilde, di bagian ini

kita beralih ke tulisan Wilde dalam versinya yang lain. Pertama, dibahas traktat politik Wilde

yang berjudul The Soul of Man Under Socialism (Jiwa Manusia dalam Sosialisme) yang

juga dikenal sebagai The Soul of Man. Selanjutnya, dibahas surat panjang Wilde yang

ditulisnya semasa ia di penjara yang ditujukan kepada kekasihnya Bosie, De

Profundis (diambil dari Mazmur 130 dalam Perjanjian Lama, yang berarti ‘Dari Kedalaman’).

Selain traktat politik, The Soul of Man juga dapat dibaca sebagai tulisan di mana visi politik

dan kesenian Wilde bertemu. Sedangkan De Profundis, yang bernuansa kontemplatif,

dapat dibaca sebagai renungan dan rangkuman pemikiran Wilde seputar kesenian, politik,

dan teologi.

The Soul of Man membahas berbagai macam tema, mulai dari sosialisme, anarkisme,

negara, individualisme, bentuk pemerintahan, kesenian, Hellenisme, hingga kebebasan.

Wilde memulai traktatnya dengan mengkritik konsep sumbangan dan altruisme[xiv]:

Page 29: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

“They find themselves surrounded by hideous poverty, by hideous ugliness, by hideous

starvation. It is inevitable that they should be strongly moved by all this. The emotions of

man are stirred more quickly than man’s intelligence; and, as I pointed out some time ago in

an article on the function of criticism, it is much more easy to have sympathy with

suffering than it is to have sympathy with thought. Accordingly, with admirable though

misdirected intentions, they very seriously and very sentimentally set themselves to the task

of remedying the evils that they see. But their remedies do not cure the disease: they

merely prolong it. Indeed, their remedies are part of the disease.”

(“Mereka dikelilingi oleh kemiskinan, keburukan, dan kelaparan yang kejam. Adalah tak

terhindarkan apabila mereka merasa tergerak oleh semua itu. Emosi manusia lebih cepat

terpanggil daripada daya pikirnya, dan, seperti sudah kutunjukkan beberapa waktu yang

lalu dalam sebuah artikel tentang fungsi kritisisme, adalah lebih mudah untuk bersimpati

kepada penderitaan daripada bersimpati kepada pemikiran. Karenanya, dengan niat

yang mengesankan namun salah sasaran, mereka dengan amat serius dan sentimental

berupaya mengatasi kejahatan yang mereka lihat itu. Namun, jawaban yang mereka

berikan tidak mengobati penyakit tersebut, jawaban tersebut hanya memperpanjang

penyakit itu. Sungguh, jawaban yang mereka berikan adalah bagian dari permasalahan”).

(Cetak tebal oleh penulis)

Bagi Wilde, moralitas borjuis-aristokrat Victorian bukanlah jawaban, melainkan bagian dari

permasalahan sosial yang berupa kemiskinan, kesengsaraan, dan kelaparan. Tujuan politik

yang pantas, menurut Wilde, adalah “…menata ulang masyarakat sehingga kemiskinan

menjadi tidak mungkin.”[xv] Dengan sosialisme, maka segala permasalahan sosial ini bisa

diatasi, terutama karena “…Sosialisme sendiri berharga karena ia akan membawa kita

kepada Individualisme.”[xvi]. Di sini, kita bisa melihat ada yang menarik dari politik Wilde:

ada nuansa libertarian atau anarkis dalam Sosialisme Wilde. Lebih lanjut lagi, Wilde

mengamati bagaimana industrialisasi, yang dianggap memiliki potensi untuk

memerdekakan manusia dari kewajiban kerja, malah semakin memperbudak (enslave)

manusia melalui perkembangan mesin-mesin industri. Wilde juga menggarisbawahi

pentingnya individualisme, yang ia definisikan sebagai kebebasan individu untuk

merealisasikan potensinya tanpa hambatan struktural, dalam masyarakat sosialis. Wilde

juga berkali-kali menyatakan skeptisismenya terhadap institusi negara, terutama

kecenderungan watak koersif dan otoritarian yang ia lihat dari negara. Dalam hal

Page 30: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

dukungannya terhadap praktik-praktik sosial baru dan pengorganisasian, Wilde

berpendapat bahwa “semua asosiasi haruslah sedikit banyak didasarkan atas prinsip

kesukarelaan. Hanya dalam asosiasi-asosiasi yang sukarelalah manusia akan baik-baik

saja.”[xvii] (cetak miring bersumber dari teks aslinya).

Di dalam The Soul of Man, Wilde juga secara ekstensif membahas secara panjang

mengenai visi dan filsafat keseniannya. Pengaruh aliran Estetik-Dekaden masih terasa di

sini: berkali-kali Wilde menyatakan pentingnya Seni (dengan ‘S’ kapital) dan kesenian. Di

sinilah, visi politik dan kesenian Wilde beradu. Di satu sisi ada semangat egalitarianisme,

terutama dalam kritik Wilde atas aktivitas kerja kasar yang menurutnya adalah suatu proses

dehumanisasi. Namun, di sisi lain, ada kritik terhadap selera kesenian publik yang

menurutnya vulgar dan dangkal, yang terlihat dalam pernyataan-pernyataan seperti

“sekarang Seni tidak boleh mencoba menjadi populer. Publiklah yang harus menjadi

artistik,” atau “karya seni haruslah mendominasi penikmatnya: penikmatnya tidak boleh

mendominasi karya seni.”[xviii] Ini menggambarkan semacam dilema dan pertentangan

antara visi politik dan visi kesenian Wilde.

Tema lain yang kerap muncul dalam The Soul of Man adalah teladan dari figur Yesus

Kristus. Meskipun seorang bohemian, dan kerap mengungkapkan skeptisismenya terhadap

aspek-aspek ortodoks dari agama beserta institusinya, Wilde tampaknya begitu terinspirasi

dengan sosok Kristus—satu tema yang kemudian juga muncul dalam De Profundis dan

kehidupannya ketika ia memutuskan menjadi seorang Katolik. Yesus, bagi Wilde, adalah

semacam teladan: ia mengkritik akumulasi harta dan kepemilikan pribadi, membela mereka

yang miskin, mengampuni dosa, dan tersentuh oleh cinta. Namun, bagi Wilde, kita tidak

perlu mewujudkan Individualisme melalui penderitaan seperti Kristus. Individualisme bisa

dicapai melalui kesenangan (joy).

Wilde menutup traktatnya dengan kembali mengingatkan bahaya simpati semu. Kemudian,

ia kembali mengambil contoh perjuangan Kristus relevansinya dalam mewujudkan suatu

tatanan masyarakat Sosialis yang voluntaris. Di akhir traktatnya, Wilde menyerukan bahwa

‘Individualisme baru adalah Hellenisme baru.’[xix]. Hellenisme yang dimaksud Wilde adalah

cita-cita masyarakat Yunani kuno mengenai suatu visi masyarakat yang egaliter yang tiap-

tiap individu dapat berkembang dan merealisasikan potensinya yang ada dalam pikiran

mereka namun tidak dapat direalisasikan pada masa itu. Dengan Sosialisme dan

Individualisme, menurut Wilde, maka Hellenisme baru itu dapat tercapai.

Page 31: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Tema-tema yang sama, namun dengan nada yang lebih kontemplatif dan rendah hati, juga

dapat ditemukan dalamDe Profundis. De Profundis dimulai dengan sebuah pernyataan

yang menyiratkan keputusasaan, “tempatku akan berada di antara Gilles de Retz dan

Marquis de Sade.”[xx] Kemudian, Wilde memulai dengan bercerita mengenai

kehidupannya, hubungannya dengan Bosie, hingga kesulitan hidupnya selama di penjara.

Awalnya, ada kalimat yang bernada bombastis, “Para Dewa telah memberiku hampir

segalanya. Aku memiliki kejeniusan, nama yang terkemuka, posisi sosial yang tinggi,

kebrilianan, keberanian intelektual.”[xxi]. Namun, di bagian selanjutnya, Wilde jauh lebih

rendah hati dalam De Profundis. Di tengah-tengah kesulitan hidupnya, Wilde menyatakan

bahwa baik moralitas, agama, maupun akal tidaklah membantunya, karena, “Aku terlahir

sebagai antinomian.[xxii] Aku adalah satu dari sekian yang tercipta untuk pengecualian,

bukan untuk (mematuhi) hukum.’[xxiii]. Dalam kesusahannya, ia menemukan bahwa

penderitaan (suffering) merupakan jalan untuk menemukan dirinya. Dengan kata lain,

melalui kesulitan, ia kembali meneguhkan dirinya sebagai seorang individualis. Kembali,

figur Yesus menjadi panutan bagi Wilde. Menurutnya, ‘Dan di atas segalanya, Kristus

adalah individualis yang paling agung.’[xxiv]

Di sini, kita dapat melihat evolusi dan kesinambungan pemikiran Wilde tentang

individualisme, kebebasan dan Kristus di sini. Di The Soul of Man, Wilde secara optimis

menyatakan bahwa kita tidak perlu menempuh jalan penderitaan seperti Kristus demi

mencapai individualisme. Namun, perjalanan hidup Wilde dan pengalamannya di penjara

seperti yang ditulisnya dalam De Profundis menunjukkan bahwa bagi Wilde, untuk

mencapai jati diri Individualisnya, rupa-rupanya ia harus menempuh jalan seperti Kristus:

jalan penderitaan.

Namun demikian, ada satu teka-teki atau puzzle di sini: bagaimana Wilde yang

menganggap bahwa agama, moralitas, dan akal tidak akan menolongnya, justru berpaling

kepada Kristus yang dianggapnya contoh terbaik Individualisme?

Pengakuan inilah, menurut Simon Critchley (2009), profesor di The New School, New York,

aspek yang paling radikal dari konsepsi Wilde tentang keimanan dan individualisme.

Menurut Critchley, ada beberapa hal yang menarik yang dapat dikaji dari De

Profundis. Pertama, dalam kesusahan hidupnya, Wilde menyadari bahwa kerendahhatian

(humility) dan penderitaan (suffering) adalah jalannya untuk menemukan kebahagian dan

Individualisme. Kedua,dalam penderitaannya, alih-alih bersujud kepada otoritas, moralitas,

Page 32: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

hukum, atau yang transedental (some transcedent deity), ia menjadikannya sebagai

momen baru untuk realisasi dirinya (‘fresh mode of self-realization).Ketiga, agama menurut

Wilde adalah ‘kesetiaan estetis’ (aesthetic fidelity) terhadap suatu simbol yang kita ciptakan

sendiri—bagi Wilde, jelas, simbol tersebut adalah Kristus. Keempat, bagi Wilde, Kristus

adalah ‘seniman agung yang romantis’ (supreme romantic artist), karena, ‘Ia mengambil

seluruh dunia yang diam, dunia kesakitan yang tanpa suara, sebagai kerajaan-Nya dan

menjadikan diri-Nya juru bicara.’[xxv] Kristus menjadi seniman yang paling agung dan

romantis karena Ia menjadikan diri-Nya suara bagi mereka yang bisu (voiceless), dalam hal

ini tidak hanya mereka yang lemah dan tertindas, namun juga mereka yang berpunya

namun terjebak dalam hedonisme yang terkomodifikasi. Kelima, di De Profundis, kita bisa

melihat bagaimana visi Sosialisme dan teologi Wilde bertemu: jika sebelumnya, dalam The

Soul of Man, Wilde meyakini bahwa Sosialisme dan Individualisme dapat dicapai tanpa

melalui penderitaan ala Kristus, Imitatio Christi, di De Profundis, Wilde tidak begitu yakin.

Sebagai tambahan dari saya, satu sisi lain dari diri dan karya Wilde yang dapat kita lihat

dalam De Profundis adalah genealogi pemikiran Wilde dan beberapa pemikir serta penulis

yang berpengaruh dalam pemikiran Wilde. Wilde menyebut, antara lain, Walter Pater,

mentornya di Oxford, Victor Hugo, Charles Baudelaire, dan Peter Kropotkin, sang pangeran

anarkis.

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa selain membaca karya-karya seni Wilde, maka

untuk lebih memahami bangunan pemikiran Wilde, kita juga perlu membaca The Soul of

Man dan De Profundis. Jika karya-karya Wilde adalah manifestasi atau pengejawantahan

dari pemikiran, pemahaman seni, dan kritik sosialnya, The Soul of Mandan De

Profundis adalah refleksi dan fondasi dari karya dan pemikirannya. Terdapat evolusi tetapi

juga kesinambungan pemikiran Wilde dalam The Soul of Man dan De Profundis, namun

tema-tema yang diangkat Wilde kurang lebih sama, yaitu politik, teologi, Individualisme,

filsafat seni, dan perjalanan hidupnya.

 

Tinjauan Kritis

Setelah membahas karya-karya Wilde secara cukup ekstensif, setidaknya ada beberapa

hal yang dapat kita ulas secara kritis tentang karya-karya Wilde. Pertama, sebagaimana

dapat kita lihat dalam karya Wilde terutama TPDG dan The Soul of Man, terdapat suatu

Page 33: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

ambivalensi dari sikap Wilde terhadap aliran kesenian yang juga menjadi inspirasi baginya,

yaitu Estetik-Dekaden. Dialog antara tokoh-tokoh dalam novel TPDG, konsepsi Wilde

tentang seni dalam The Soul of Man adalah beberapa jejak ambivalensi Wilde. Meskipun

Wilde lahir dari konteks dan tradisi kesenian Estetik-Dekaden, Wilde sadar bahwa tendensi

hedonistik dan anti-moralitas yang berlebihan dalam aliran Estetik-Dekaden bisa menjadi

hal yang kontra-produktif dalam aktivitas berkesenian. Namun, Wilde juga sadar bahwa

aliran Estetik-Dekaden menawarkan cara baru untuk menjaga keindahan sekaligus

mengkritik kebangkrutan moralitas Victorian. Kemudian, Wilde juga menyadari pentingnya

dimensi ‘moral’, yang saya asumsikan sebagai moralitas yang sejalan dengan prinsip

Individualisme Wilde, yang dia rasa perlu diadopsi baik dalam gaya dan bentuk maupun

substansi dari karya-karyanya. Perhatian Wilde akan ‘hilangnya’ keindahan juga

mengingatkan saya akan perhatian yang kurang lebih serupa dari Walter Benjamin (1968)

dalam salah satu esainya, The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (Karya

Seni dalam Masa Reproduksi Mekanis), yang menyatakan bahwa dengan penemuan teknik

reproduksi seni secara mekanis terutama teknologi fotografi dan perfilman, karya seni

perlahan-lahan akan kehilangan ‘aura’-nya. Dalam konteks ini, kecemasan kaum Estetik-

Dekaden termasuk Wilde akan hilangnya ‘yang indah’ bisa dibilang cukup mirip dengan

kecemasan Benjamin akan hilangnya ‘aura’. Namun, yang berbeda adalah Benjamin

mengakui bahwa reproduksi mekanis dapat memberikan sebuah pengalaman kesenian

yang baru dan inovatif dan gerakan Kiri dapat mengambil momentum tersebut dengan

‘mempolitisasi kesenian’ (politicizing art)[xxvi], sedangkan bagi Wilde, pengalaman

kesenian baru yang muncul dalam masa Revolusi Industri di Era Victoria hanya berdampak

pada merebaknya kesenian yang dangkal dan vulgar berupa ritual kesenian ala kelas

borjuis-aristokrat Victorian. Perbedaan lain antara Benjamin dan Wilde adalah Benjamin

pada dasarnya dapat dikatakan sebagai seorang kritikus seni, Wilde menjalani peran ganda

sebagai kritikus seni dan seniman sekaligus. Mungkin ini juga yang menjelaskan berbagai

ambivalensi, paradoks, dan dilema dalam aktivitas kesenian Wilde: ia menyadari kegunaan

gaya Estetik-Dekaden dalam karya-karyanya, namun juga mengkritisi kecenderungan

hedonistik yang nihilis dari aliran tersebut; ia ingin menjadi pelaku sekaligus kritik kesenian;

ia secara sadar memosisikan diri sebagai seorang seniman (artist) yang memiliki semacam

‘otoritas berkesenian’, namun di sisi lain ia menulis karya-karya seperti lakon teater yang

dapat dinikmati dan dikomentari oleh khalayak umum[xxvii].

Page 34: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Kedua, ambivalensi Wilde dalam melihat gerakan Estetik-Dekaden juga menggiring kita ke

pertanyaan selanjutnya: bagaimana pandangan Wilde mengenai aktivitas berkesenian dan

produsen seni? Dalam The Soul of Man, Wilde mengkritik kecenderungan dan selera

kesenian publik yang dianggap tidak mengetahui Seni (sekali lagi, dengan ‘S’ kapital).

Namun, terdapat komitmen terhadap suatu bentuk politik sosialis yang libertarian-anarkis

dan pro-Individualisme. Satu penafsiran yang muncul atas ambivalensi Wilde adalah, pada

akhirnya, apabila kita melihat karya dan pemikiran Wilde secara kesuluruhan, maka pada

dasarnya Wilde percaya bahwa Seni dapat menembus divisi kelas, dan semua orang dapat

menjadi produsen seni yang kreatif yang merupakan bagian dari manifestasi

Individualismenya[xxviii]. Pada titik ini, saya sendiri belum dapat mengambilkan kesimpulan

yang jelas mengenai pandangan Wilde terhadap kemungkinan publik (dengan latar

belakang yang bukan borjuis dan aristokrat) untuk menjadi produsen Seni. Namun, jika kita

berangkat dari asumsi bahwa Wilde adalah, mengutip istilah Nassaar (1974), seorang

estetik dengan komitmen moral (morally commited aesthete), kita dapat mengatakan bahwa

Wilde mendukung pandangan bahwa publik (yang meliputi dan melintasi berbagai divisi

kelas sosial) dapat menjadi produsen Seni.

Ketiga, dilema lain yang dihadapi Wilde adalah keinginannya untuk menjadi kritikus

seni sekaligus seniman (Chislett Jr., 1915). Wilde, dalam kritiknya atas Filitinisme

(Philistinism), atau kecenderungan moralis yang kaku dan ‘anti-Seni’ di masa Victoria, justru

kemudian harus bergumul secara intens dengan Filitinisme (hlm. 363) secara intens, dalam

rangka merumuskan ‘Hellenisme Barunya’ (The New Hellenism). Dilema ini juga terlihat

apabila kita membaca esai Wilde tentang kritik kesenian, The Critic as Artist, yang di

dalamnya Wilde berpendapat bahwa kritik kesenian, yang berarti berinteraksi dan bergumul

dengan aktivitas berkesenian dan karya seni, adalah tidak kalah bahkan sama berharga

dan pentingnya dengan aktivitas berkesenian itu sendiri. Mungkin, dalam konteks inilah, kita

bisa membaca pandangan Wilde tentang seni dan kritik seni secara lebih jelas.

Keempat, sebagaimana halnya banyak intelektual yang melampaui zamannya, kita juga

dapat melihat sejarah sosial Wilde sebagai sesuatu yang menarik untuk dikaji. Terlahir dan

besar sebagai bagian dari kelas atas di Irlandia dan Inggris di Era Victoria, Wilde secara

kritis menggunakan gaya dan analisis Estetik-Dekaden untuk mengkritik kemunafikan

moralitas Victorian. Wilde, yang haus dan menikmati reputasi dan popularitas namun tetap

tergerak untuk melontarkan kritik sosial, akhirnya harus dihukum oleh masyarakat Victorian

Page 35: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

(dan ulah kekasihnya) karena seksualitasnya, menjadikannya menderita dan rendah hati—

pengalaman yang menurut Wilde membuatnya mampu merealisasikan Individualismenya.

Hal menarik lainnya dari sejarah sosial seorang Oscar Wilde adalah sejarah intelektualnya:

pengaruh intelektual yang dominan pada Wilde adalah studi klasik (Classics), yaitu studi

sejarah dan filsafat Yunani dan Romawi masa kuno dan modern. Mungkin, dari kacamata

inilah, sedikit banyak Wilde memikirkan dan mengkritik masyarakatnya.

 

Penutup: Oscar Wilde dan Dialektika

Sebagai penutup, secara garis besar, sekarang kita dapat memahami secara lebih jelas

mengenai karya dan pemikiran Oscar Wilde. Sastrawan Anglo-Irlandia yang secara kritis

berada dalam tradisi Estetik-Dekaden ini mengukuhkan dirinya sebagai salah satu kritikus

sosial terkemuka di Inggris, terutama atas moralitas borjuis-aristokrat Victorian yang

dominan pada zamannya.

Terlepas dari konteks aliran saat karya Wilde dirumuskan dan berkembang, yaitu aliran

Estetik-Dekaden, yang sebagian tendensinya masih terlampau hedonistik dan mungkin

berbau borjuis, Wilde berhasil mencoba membuat perhitungan dan kritik atas keterbatasan

aliran Estetik-Dekaden dan lebih lanjut lagi atas keterbatasan moralitas dan kesenian

Victorian. Yang menarik, kita bisa melihat semacam dialektika dalam karya Wilde: Wilde

bergumul dengan kehidupan, moralitas, dan cita rasa seni dari kaum kelas atas Victorian,

untuk kemudian melakukan kritik tajam atasnya—tentunya dengan caranya yang jenaka,

muram, terkadang bombastis, namun sesekali kontemplatif.

Meskipun kritik Wilde lahir dari konteks masyarakat Victorian, kritik dan pemikirannya terasa

relevan hingga sekarang. Setidaknya, saya bisa membayangkan relevansi kritik Wilde

untuk konteks Indonesia, untuk mengupas berbagai persoalan mulai dari korupsi, suap-

menyuap, politik kotor, standar ganda, moralitas sok suci, hingga praktik kawin-mawin dan

skandal seks dari para petinggi negeri. Mungkin, relevansi ini terasa karena apa yang Wilde

kritik sesungguhnya adalah moralitas borjuis-aristokrat (atau dalam konteks masyarakat di

negara berkembang, borjuis-feodal) yang bangkrut.

Bagi Wilde, inspirasi bisa datang dari mana saja, baik dari atas maupun bawah, dari Pater

maupun Roskin, dari Kropotkin maupun Yesus Kristus. Semuanya didedikasikan untuk

keindahan, kritik sosial, dan Individualisme.

Page 36: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

 

*Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

 

[i] Penulis berterima kasih kepada rekan Ayumi Kaneko Zapata, pengkaji karya-karya Oscar

Wilde dan alumnus Trinity College Dublin, atas diskusi dan masukannya dalam penulisan

artikel ini.

[ii]    Oscar Wilde, meskipun berdarah Irlandia dan menghabiskan periode awal

kehidupannya di Irlandia, di kemudian hari lebih banyak bermukim dan berkarier di London.

[iii]   Aliran atau angkatan Estetika (Aesthetics Movement) adalah sebuah aliran kesenian

yang mengedepankan aspek estetis atau keindahan dari suatu karya seni alih-alih fungsi

moral, sosial atau politiknya. Aliran ini juga terkadang dikenal dengan slogan ‘seni untuk

seni’ (‘art for the sake of art’). Aliran Estetika mempengaruhi banyak aspek dari corak

pemikiran Wilde, terutama filsafat seninya. Menariknya, melalui Estetika pulalah ia

merumuskan kritiknya atas moralitas masyarakat Victorian.

[iv]  Era Victoria (1837—1901), secara umum, merujuk kepada masa berkuasa Ratu

Victoria di Inggris yang juga diasosiasikan dengan proses modernisasi beserta

kemajuannya sekaligus berbagai kontradiksinya: norma sosial yang ketat dan struktur kelas

yang rigid. Oscar Wilde adalah kritik terkemuka atas moralitas Victorian. Saya perlu

berterima kasih kepada rekan Sony Karsono yang pernah secara spesifik mendiskusikan

karakter moralitas Victorian kepada saya.

[v]    Kebetulan, selain membaca naskah dramanya, saya pernah menonton pementasan

drama An Ideal Husbandsecara langsung.

         

[vi]         Perlu diingat bahwa aktivitas seksual sesama jenis atau homoseksual dianggap

sebagai perbuatan kriminal di Inggris pada Era Victoria. Homoseksualitas baru

didekriminalisasi di Inggris pada tahun 1967 dengan berlakunyaSexual Offences Act

1967 (Undang-Undang Pelanggaran Seksual Tahun 1967).

Page 37: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

[vii]        Ada semacam wordplay atau permainan kata-kata di sini. Di lakon TIBE,

kata earnest yang berarti ‘jujur atau bersungguh-sungguh’ dan nama Ernest yang menjadi

nama idola oleh tokoh-tokoh di lakon TIBE memiliki pelafalan yang mirip.

[viii]       Lagi-lagi, ada permainan kata-kata antara ‘Ernest’ dan ‘Earnest’ di sini.

[ix]         Di lakon TIBE, sepertinya kita dapat menangkap kesan bahwa Algy dan John

sesungguhnya agak malas, jikalau tidak enggan sama sekali, untuk terus mematuhi dan

menaati moralitas dan norma sosial Victorian, dan karenanya mereka menjalani dua

kehidupan. Karenanya, frasa ‘orang baik dan terhormat’ dan ‘orang bebas’ sengaja saya

beri tanda kutip untuk menunjukkan sesaknya moralitas Victorian pada masa itu.

[x]          Teks aslinya, “Basil Halward is what I think I am; Lord Henry what the world thinks

me; Dorian what I would like to be—in other ages, perhaps.”.

[xi]         Nassaar (1974) menyebut kecenderungan pertama sebagai kaum dekaden

(decadent) dan kecenderungan kedua sebagai kaum estetik dengan komitmen moral

(morally committed aesthete). Bahkan, menurut Nassaar, kaum dekaden mencari

keindahan dalam kejahatan.

[xii]        Teks aslinya, “Nowadays people know the price of everything, and the value of

nothing.”.

[xiii]       Kita tentunya bisa berdebat mengenai apa yang dimaksud dengan ‘kedangkalan

artistik’ dari kelas menengah. Problematika dan konteks sosio-historis yang berkaitan

dengan seni, aliran Estetik-Dekaden, dan Victorianisme akan saya bahas selanjutnya di

bagian kedua dari seri tulisan ini.

[xiv] Kritik Wilde atas moralitas borjuis (dan mungkin juga kapitalisme) juga dikutip dan

dibahas secara ekstensif oleh Slavoj Zizek (2011, p. 117—8), dalam salah satu buku

terbarunya, Living in the End Times. Kuliah Zizek yang membahas mengenai kritik Wilde

juga dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=hpAMbpQ8J7g

[xv]  Teks aslinya, “…reconstruct society on such a basis that poverty will be impossible.”.

[xvi] Teks aslinya, “…Socialism itself will be of value simply because it will lead to

Individualism.”.

Page 38: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

[xvii]             Teks aslinya, “All association must be quite voluntary. It is only in voluntary

associations that man is fine.”.

[xviii]           Teks aslinya, “Now Art should never try to be popular. The public should try to

make itself artistic,’ dan ‘The work of art is to dominate the spectator: the spectator is not to

dominate the work of art.”.

[xix]              Teks aslinya, “The new Individualism is the new Hellenism.”.

[xx]  Teks aslinya, “My place would be between Gilles de Retz and the Marquis de

Sade.”. Giles de Retz adalah seorang pensiunan militer yang kemudian menjadi pembunuh

berantai yang menyerang anak-anak dan Marquis de Sade adalah bangsawan sekaligus

penulis yang terkenal karena tulisannya yang erotis.

[xxi]              Teks aslinya, “The gods had given me almost everything. I had genius, a

distinguished name, high social position, brilliancy, intellectual daring.”.

[xxii]       Antinomianisme (Bahas Yunani, anti = ‘melawan’, dan nomos = ‘hukum’), adalah

ajaran bahwa hanya iman, dan bukannya hukum moral, yang diperlukan untuk

keselamatan.

[xxiii]      Teks aslinya, “I am a born antinomian. I am one of those who are made for

exceptions, not for laws.”.

[xxiv]      Teks asli, “And above all, Christ is the most supreme of individualists.”.

[xxv]       Teks asli, “…he took the entire world of the inarticulate, the voiceless world of pain,

as his kingdom, and made of himself its external mouthpiece.”.

[xxvi]      Namun, pandangan Benjamin yang melihat reproduksi mekanis secara pesimistis

menurut Theodor Adorno ‘kurang dialektis’. Sebagai rujukan, lihat Caygill, et al. (2000).

[xxvii]     Mungkin juga, apabila Wilde tidak di penjara, perkembangan pemikiran

keseniannya akan lain. Namun, ini hanyalah sekadar hipotesis.

[xxviii]           Ini adalah penafsiran yang diajukan oleh rekan saya, Ayumi Kaneko Zapata.

Mengingat by trainingAyumi adalah seorang sarjana humaniora dan pengkaji karya-karya

Wilde, maka bisa jadi penafsiran Ayumi cukup valid.

Page 39: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

            Daftar Pustaka

Aldington, R. The Portable Oscar Wilde. New York: The Viking Press, 1946.

Benjamin, W. Illuminations. New York: Harcourt, Brace & World, 1968.

Callow, S. Oscar Wilde and His Circle. London: National Portrait Gallery Publications, 2000.

Caygill, H., A. Coles, R. Appignanesi  & A. Klimowski. Introducing Walter Benjamin. London:

Icon Books Ltd., 2000.

Chamberlin, J. E. “Oscar Wilde and the Importance of Doing Nothing”. The Hudson

Review, 25(2), hlm. 194—218, 1972.

Chislett Jr., W. “The New Hellenism of Oscar Wilde”. The Sewanee Review, 23(3), hlm. 357

—63, 1915.

Critchley, S. Oscar Wilde’s faithless Christianity. [Online]

Available at: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/belief/2009/jan/14/religion-wilde

[Accessed 2 July 2013], 2009.

Duggan, P. “The Conflict Between Aestheticism and Morality in Oscar Wilde’s The Picture

of Dorian Gray”. WR: Journal of the CAS Writing Program, Issue 1, 2008—2009.

Foster, R. “Wilde as Parodist: A Second Look at the Importance of Being Earnest”. College

English, 18(1), hlm. 18—23, 1956.

Holland, M. & Hart-Davis, R. The Complete Letters of Oscar Wilde. New York: Henry Holt,

2000.

Holland, V. Oscar Wilde. 2nd ed. London: Thames and Hudson, Ltd., 1997.

Matsuoka, M. “Aestheticism and Social Anxiety in The Picture of Dorian Gray”. Journal of

Aesthetic Education, Volume 29, hlm. 77-100, 2003.

Nassaar, C. S. Into the Demon Universe: A Literary Exploration of Oscar Wilde. New

Haven: Yale University Press, 1974.

Quintus, J. A. “The Moral Implications of Oscar Wilde’s Aestheticism”. Texas Studies in

Literature and Language, 22(4), hlm. 559-74, 1980.

Page 40: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Ryan, D. J. & R. L. Cadwallader, R. L. “Giving Voice to the Death of Dorian Gray: An

Investigation of Hedonistic Suicide”. SPECTRUM: Journal of Student Research at Saint

Francis University, 3(4), hlm 16—9, 2013.

Wilde, O. The Works of Oscar Wilde. New York: Walter J. Black, Inc., 1927.

Wilde, O. Oxford World’s Classics: Oscar Wilde, The Major Works. 2nd ed. New York:

Oxford University Press, 2000.

Zizek, S. Living in the End Times. London: Verso, 2011.

 

*Iqra Anugrah adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 2)5 November 2013

 Iqra Anugrah

 LKIP

Page 41: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

[1]

DALAM tulisan sebelumnya kita sudah membahas karya-karya Oscar Wilde secara cukup

detail. Kali ini, saya akan membahas era Victoria, yakni konteks waktu di mana Wilde

tumbuh, berkarya dan merumuskan kritiknya. Wilde adalah anak zaman sekaligus salah

seorang kritik terdepan atas Victorianisme, suatu periode yang memungkinkan Wilde

berkembang, yang dia kritik secara keras namun jenaka, namun secara ironis akhirnya

menjebloskan dirinya ke dalam penjara—satu dari sedikit contoh turbulensi sejarah yang

dialami oleh masyarakat Inggris dalam perkembangannya di masa tersebut.

Dinamika Sosial Zaman Victoria

Persepsi umum mengenai zaman Victoria adalah kontradiksi antara modernisasi dan

kemajuan di satu sisi dan norma social dan struktur kelas yang kaku di sisi lainnya.

Hasilnya adalah berbagai ‘kemunafikan’ berupa komitmen atas moralitas dan kesusilaan

yang sejatinya menutupi pelanggaran-pelanggaran atas komitmen tersebut, terutama di

kalangan kelas menengah dan atas Inggris—sebuahpenilaian yang juga sangat menonjol

dalam karya-karya Wilde. Secara garis besar penilaian tersebut cukup akurat. Namun,

apabila moralitas Victorian adalah kemunafikan belaka, mengapa dan bagaimana berbagai

penulis dan seniman seperti Wilde bisa muncul di zaman tersebut?

Page 42: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Sunardi-St,-Percaya,-160x170cm,-Acrylic-on-canvas,-2012

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat zaman Victoria secara lebih

mendalam. Secara formal, zaman Victoria dimulai pada tahun 1837 hingga 1901. Ini adalah

zaman ketika fase lanjutan dari revolusi industri dan ekspansi imperialisme Inggris terjadi

Page 43: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

bersamaan dengan berbagai perubahan sosial, termasuk tarik-menarik antara

konservatisme dan tuntutan menjaga tradisi di satu sisi dengan berbagai upaya reformasi

social dan politik di sisi lain. Industrialisasi yang pesat pada masa itu juga mempengaruhi

struktur dan relasi kelas yang ada, terutama dengan derasnya perkembangan kelas

menengah dan terpinggirkannya kelas bawah seperti kaum buruh dan kaum miskin kota—

suatu kondisi yang mirip dengan kondisi kita akhir-akhir ini. Dalam hal hubungan luar

negeri, Inggris di masa Victoria harus berhadapan dan berkonflik dengan Perancis—yang

mengalami fase revolusioner dalam Revolusi Perancis yang disusul dengan fase kekuasan

Napoleon—satu hal yang tidak diinginkan oleh kelas penguasa Inggris untuk terjadi dalam

daerah kekuasaannya pada waktu itu.

Dalam karya klasiknya, The Victorian Frame of Mind[2], sejarawan pakar zaman Victoria

Walter E.Houghton (1957) dengan mengutip John Stuart Mill menjelaskan bahwa pada

zaman tersebut ‘manusia telah melampaui lembaga-lembaga dan doktrin-doktrin lama,

namun belum mendapatkan penggantinya yang baru’[3].Di saat yang bersamaan, ide-ide

baru bermunculan dan terkadang saling mendukung, atau lebih seringnya lagi berkonflik,

antara satu sama lain, mulai dari Utilitarianisme, Konservatisme (yang terutama diwakili

oleh kaum Tory[4]), Sosialisme, Darwinisme dan masih banyak lagi. Karenanya, tak heran

apabila zaman yang menyaksikan dan mengalami perubahan yang pesat ini juga

menimbulkan polarisasi yang dahsyat di dalam masyarakat, yang mengakibatkan

‘Meskipun sebuah ‘isme’ tidak perlu menjadi radikal dan sebuah sekte dapat mencoba

berimbang antara kiri dan kanan, zaman itumenjurus kepada posisi-posisi yang ekstrim dan

tanpa kompromi—meskipun kecenderungan yang sama lebih terlihat di dekade-dekade

sebelumnya. Banyak orang-orang yang hidup di zaman Victoria adalah ‘antara kaum kafir

atau Kristen yang total, antara Tory[5] mentok atau demokrat mentok[6] (hlm. 165).

Perubahan yang begitu pesat ini menimbulkan ambivalensi,khususnya bagi kelas

menengah Inggris yang mulai berkembang pada masa itu, terutama antara mencari

‘identitas alternatif’ bagi dirinya atau gumun alias terkagum-kagum, dan mengikuti moralitas

kelas atas Victorian—kaum borjuis dan aristokrat—sebagai penanda atas diterimanya

mereka dalam ‘klub ekslusif’ dalam sebuah masyarakat dengan struktur kelas sosial yang

kaku. Tak heran apabila Houghton mendedikasikan sebuah bab berjudul ‘rigiditas’ dan

menutup bukunya dengan bab berjudul ‘kemunafikan’ (hypocrisy), yang didalamnya dia

menyatakan bahwa ‘Dari segala kritik terhadap mereka oleh Lytton Stratcheys dari abad

Page 44: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

kedua puluh, orang-orang zaman Victoria hanya akan mengaku salah dalam satu hal…

(yaitu) kemunafikan’ (hlm. 394). Kemudian, Houghton melanjutkan lagi secara mendetail

bagaimana masyarakat Victorian menyembunyikan dan menundukkan niat dan

kecenderungan alamiah mereka, mengatakan dan melakukan hal-hal yang dianggap

‘benar’, berpura-pura lebih baik dari karakter asli mereka dan berperilaku sangat alim dan

moralis—dan melakukan hal-hal yang justru sangat berbeda dengan penampakan di luar

tersebut (hlm. 394-395)—satu hal yang terdengar cukup familiar dan bahkan terasa masih

relevan hingga sekarang. Ciri-ciri yang khas dari kemunafikan Victorian adalah sikap

kompromis terhadap norma-norma sosial yang kaku namun diperlukan sebagai penanda

masuknya seseorang dalam lingkaran pergaulan kelas atas, kepura-puraan moral (moral

pretension), kebohongan (terutama dalam hal-hal yang menyangkut praktek-praktek sosial

dan seksualitasvis-à-vis lembaga-lembaga keagamaan—yang lagi-lagiterdengar cukup

mirip dengan kondisi kita) dan…anti-kemunafikan (di tengah-tengah masyarakat yang

melakukan praktek-praktek kemunafikan) (hlm. 395-430).

Senada dengan penjelasan-penjelasan di atas, karya Sally Mitchell (2009) yang

berjudul Daily Life in Victorian England juga merupakan referensi yang bagus mengenai

berbagai detail sejarah dan narasi kehidupan orang-orang di zaman Victoria. Definisi dan

karakteristik dari moralitas Victorian misalnya, dibahas cukup detail oleh Mitchell, yang

mencakup antara lain kemandirian (self-help), yang menekankan bagaimana ‘kerja keras’

dapat ‘membawa kesuksesan’, aktivitas kerja yang produktif dan perang terhadap

kemalasan, kehormatan (respectability), keseriusan atau kesungguh-sungguhan

(serious/earnest[7]), pembedaan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan,

tentunya dengan penekanan yang lebih kepada ‘kewajiban’ dibandingkan ‘hak’ untuk

perempuan (hlm. 261-273).

Kritik Sosial atas Victorianisme

Victorianisme memang identik dengan kekakuan dan kemunafikan, namun bukan berarti

tidak ada ruang bagi kritik untuk bersemi, karena sebagaimana banyak epos sejarah yang

lain, Victorianisme sedari awal menyimpan benih-benih kritik yang tajam atas dirinya. Ide-

ide Pencerahan terutama Revolusi Perancis misalnya, yang dilawan oleh para elit Inggris,

tidak terbendung penyebarannya ke zaman Victoria. Eksperimen ide-ide progresif-radikal

juga bermunculan. Perlu diingat, di zaman Marx dan Engels menerbitkan The Communist

Manifesto pada tahun 1848, Charles Dickens menulis Oliver Twist tahun 1838, dan Charles

Page 45: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Darwin mulai mengembangkan ide-idenya termasuk soal evolusi. Kelaparan, kesenjangan

ekonomi, praktek perburuhan anak dan segudang masalah sosial-ekonomi lainnya

merebak, terutama di masa-masa awal zaman Victoria. Sebagai reaksi atas berbagai

masalah tersebut, berbagai elemen kelas bawah memobilisasi dirinya, yang salah satu

ekspresinya mengemuka dalam Gerakan Chartist, gerakan buruh Inggris yang menuntut

agenda-agenda ekonomi yang redistribusionis[8] dan reformasi politik (perluasan hak

memilih dalam pemilu dan hak-hak politik lainnya bagi rakyat pekerja) (Mitchell, 2009, hlm.

4-6). Di berbagai koloni Inggris, India misalnya, meletus serangkaian pemberontakan

terhadap kolonialisme dan imperialisme Inggris, yang kemudian mulai mendapat perhatian

dari masyarakat Victoria yang sebelumnya abai atau cuek terhadap kondisi berbagai

masyarakat non-Barat di bawah kolonialisme Inggris (hlm. 9).

Selain berkembangnya berbagai ide-ide ‘anti-kemapanan’, salah satu imbas yang tidak

kalah penting dari perkembangan zaman Victoria terutama industrialisasi adalah

perkembangan pers yang pesat. John Stokes (1989) dalam karyanya In The

Nineties menceritakan bagaimana ide-ide radikal dari Henrik Ibsen, Leo Tolstoy dan

Friedrich Nietzsche masuk ke lingkaran intelektual Inggris dan di saat yang bersamaan tren

‘Jurnalisme Baru’ (New Journalism) dalam dunia pers yang mengedepankan pendekatan

yang lebih personal terhadap para pembaca pers terutama koran, memperluas jumlah

pembaca koran dan bahkan menyediakan kolom bagi pembaca. Pembaca tidak hanya

memiliki kesempatan untuk menanggapi dan menjawab isu-isu publik yang dibahas di

koran, namun juga menulis dan berpartisipasi dalam perdebatan mengenai isu-isu tersebut.

Hal ini pun memungkinkan seniman dan penulis seperti Oscar Wilde tampil dan dikenal di

hadapan publik (hlm. 12-16). Yang ‘baru’ dari Jurnalisme Baru bukan hanya gaya

jurnalistiknya, tetapi juga imbasnya yang luas terhadap pola komunikasi publik pada saat itu

(hlm. 16). Jurnalisme Baru juga merupakan bagian dari berbagai gerakan yang menuntut

hak-hak warga negara yang lebih luas di Inggris era Victoria dan seakan-akan memiliki

ambisi untuk ‘menghilangkan’ batas antara pembaca dan penulis atau produsen berita.

Wilde, selain aktif berkarya seni, juga aktif dalam semangat Jurnalisme Baru sebagai salah

satu penulis kolom  yang mengurusi berbagai persoalan kesenian dan isu-isu sosial bagi

koran Pall Mall Gazette. Wilde, yang cenderung kritis dan ambivalen terhadap tendensi

‘aristokratik radikal’ dan di kalangan intelektual dan seniman Inggris terutama dalam

gerakan Estetik-Dekaden dan khawatir akan menghilangnya ‘yang baik’ (the good) dalam

aktivitas berkesenian namun tidak mau terjebak dalam kemunafikan moralitas Victorian.

Page 46: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

[9] Ia lantas menjalani berbagai peranan ganda: sebagai produsen sekaligus kritikus seni,

sebagai kolumnis koran sekaligus penulis lakon dan cerita, sebagai penganjur Sosialisme

dan pembela nasionalisme Irlandia; dan  menariknya pula, menggarisbawahi peranan karya

seni dalam ‘mendominasi penikmatnya’ yaitu publik, sebagai pembentuk berita dan opini

publik.

Perkembangan zaman inilah yang memungkinkan Oscar Wilde untuk muncul dan kemudian

mengukuhkan posisi dirinya sebagai salah satu seniman dan kritikus sosial terkemuka di

zaman Victoria.

*Iqra Anugrah adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University,

AS. Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Daftar PustakaHoughton, W. E., 1957. The Victorian Frame of Mind. New Haven dan London: Yale

University Press.

Mitchell, S., 2009. Daily Life in Victorian England. Edisi kedua. Westport dan London:

Greenwood Press.

Stokes, J., 1989. In The Nineties. Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf.

 

 

[1]Lagi-lagi saya harus berterima kasih kepada rekan Ayumi Kaneko Zapata dan Sony

Karsono atas diskusinya mengenai Oscar Wilde dan Victorianisme. Segala kesalahan dan

kekurangan dalam tulisan ini tentu murni datangnya dari saya.

[2]Karya Houghton sayangnya, sebagaimana ditunjukkan oleh banyakkritik, tidak banyak

membahas mengenai narasi kehidupan kelas pekerja/buruh di masa Victoria.Namun, hal

Page 47: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

tersebut tidak mengurangi nilai dari karya Houghton, terutama dalam upayanya

‘membongkar’ gaya dan pandangan hidup kelas menengah dan kelas atas Victorian.

[3]Kutipan aslinya, ‘mankind have outgrown old institutions and old doctrines, and have not

yet acquired new ones’, yang diambil dari salah satukarya Mill, The Spirit of Age.

[4]Kaum Tory dan Toryisme-nya merupakan precursor atau pendahulus ejarah

Konservatisme modern di Inggris.Tentu saja, di masas ekarang, pertentangan yang tajam

antarakaum Tory dengan kelompok Liberal dan Kiri/Buruh terutama dalam konteks politik

parlementer dapat dikatakan sudah tidak kelihatan, terutama apabila dibandingkan dengan

pertentangan di antara kelompok-kelompok tersebut di masa Victoria.

[5]Pada masa itu, kaum Tory atau Konservatif yang mewakilikelas atas identik dengan

penolakan mereka terhadap berbagai upaya reformasi sosial, seperti perluasan hak

memilih dalam pemilihan umum.

[6]Lagi-lagi terjemahan ini berasal dari salah satu tulisan Mill, Letters and

Memories. Kutipan aslinya, ‘downright infidels or downright Christians, thorough Tories or

thorough democrats’.

[7]Konsep ‘earnest’ ini secara cerdik dijadikan bahan candaan oleh Wilde, sebagaimana

dapat kita lihat dalam salah satujudul lakondramanya, The Importance of Being Earnest.

[8] Yang dimaksud dengan agenda-agenda ekonomi redistribusionis dalam hal ini adalah

berbagai jenis agenda yang berkaitan dengan distribusi ekonomi yang lebih merata seperti

kebebasan berserikat, isu-isu perburuhan, penyediaan lapangan kerja dan kritik atas

imperialism Inggris yang berbaju “perdagangan bebas”.

[9]Soal ini sudah saya bahas secara cukup mendalam di bagian pertama dari artikel saya

dihttp://indoprogress.com/lkip/?p=896

. N. Aidit, Sastra dan Geliat Zamannya [i]5 August 2013

 Yoseph Yapi Taum

 LKIP

Page 48: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Pendahuluan

Dalam produksi sejarah resmi (official history), Dipa Nusantara Aidit atau D. N. Aidit (1923

—1965) lebih dikenal dan dikenang sebagai seorang “penjahat” dan “pengkhianat bangsa”

yang mendalangi peristiwa di malam jahanam Gerakan 30 September (G30S). Melalui

film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara Arifin C. Noer (1984), sosok Aidit benar-

benar buram, “lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok”

(Zulkifli, 2010: 2). Bayangan orang tentang D.N. Aidit banyak dipengaruhi oleh film yang

sangat populer di Indonesia tahun 1984—1998 itu. Dalam film ini, digambarkan sosok Aidit

sebagai orang yang paling jahat, penuh daya tipu muslihat, yang terus-menerus merokok,

dan merupakan orang yang memerintahkan pembunuhan terhadap tujuh jenderal pada

operasi G30S.

Model penggambaran gelap terhadap tokoh-tokoh kiri Indonesia telah menggelapkan pula

banyak bagian sejarah bangsa ini, seperti peran Tan Malaka dan banyak pejuang

kemerdekaan Indonesia lainnya. Hampir semua tokoh kiri dinafikan peran dan kontribusi

positif mereka terhadap bangsa dan negara ini. Tidak mengherankan bahwa peranan Aidit

sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan pun dilupakan bangsa ini.[ii]

Banyak orang tidak mengetahui bahwa ternyata D. N. Aidit juga merupakan seorang

penyair dan budayawan. Aidit adalah ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC-

PKI) yang perlu mendapat tempat tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia. Selain karena

kedudukannya yang sangat istimewa itu, ia pun dikenal cukup konsisten dalam berpuisi.

Aidit menulis banyak gagasan sosial budaya yang dipublikasikan dalam media massa dan

diterbitkan dalam bentuk buku-buku.[iii] Tokoh ini dipandang paling berhasil dalam

mengangkat partai itu dari keterpurukan akibat Peristiwa Madiun 1948[iv] bersama kedua

sahabatnya: Muhamad Hakim Lukman dan Nyoto.  Ketiganya dikenal sebagai trisula PKI:

Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II. [v] Ketiganya bahkan dijuluki

sebagai The Three Musketters[vi] (Zulkifli, 2010: 43—9). Dari ketiga sahabat tersebut,

hanya Lukman yang tidak menulis puisi. Nyoto yang menjabat sebagai Ketua Umum Lekra

dan Ketua Redaksi Harian Rakjat juga merupakan seorang penyair yang sangat produktif.

Tulisan ini membahas D. N. Aidit sebagai penyair dalam hubungannya dengan geliat dan

formasi diskursif zamannya. Kajian terhadap puisi-puisi Aidit kiranya dapat mengungkap sisi

Page 49: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

lain dari wajah tokoh PKI itu, yang selama Orde Baru dikesankan sebagai seorang penjahat

yang memerintahkan pembunuhan tujuh jenderal dalam peristiwa G30S 1965.

 

D. N. Aidit dan Struktur Formal Puisi-Puisinya

Dipa Nusantara Aidit terlahir dengan nama Achmad Aidit di Tanjung Pandan, Belitung, 30

Juli 1923. Aidit yang pada masa kecilnya mengenyam pendidikan Belanda itu kemudian

mengubah namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit dan hijrah ke Jakarta. Ayahnya,

Abdullah Aidit, adalah pendiri organisasi keagamaan Nurul Islam yang berorientasi ke

Muhammadiyah. Aidit yang menjabat sebagai Ketua Comite Central Partai Komunis

Indonesia (CC-PKI) berhasil membuat PKI bangkit dari keterpurukan akibat Peristiwa

Madiun 1948, bahkan berjaya menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRC

dan Rusia. Aidit meninggal dunia di Boyolali, Jawa Tengah tanggal 22 November 1965

pada usia 42 tahun.

Di harian Suara Rakjat, Aidit memublikasikan sebanyak sembilan puisi, yaitu “Hanya Inilah

Jalannya” (Harian Rakjat, 12 Februari 1955), “Untukmu Pahlawan Tani”, “Sepeda Butut”,

“Kidung Dobrak Salahurus”, “Yang Mati Hidup Kembali”,  “Sekarang Ia Sudah

Dewasa”, menjambut ulang tahun ke-35 PKI (Harian Rakjat, 22 Mei 1955), “Jauhilah

Imperialis AS”, “Ziarah ke Makam Usani” (Harian Rakjat, 25 Juli 1965), “Tugas Partai”

(Harian Rakjat, 4 Juli 1965).

Secara formal, puisi-puisi D.N. Aidit memiliki sebuah ‘pola estetika’ yang dibangunnya dan

diikutinya secara cukup konsisten. Ia selalu mengawali puisinya dengan terlebih dahulu

menyinggung dan menghadirkan alam. Meminjam filsuf Maritain (Taum, 1997), ada

semacam “Intercommunication between the inner being of things and the inner being of the

human Self”. Jadi, ada semacam interaksi antara manusia dan hakikat alam raya. Puisi

kemudian menjadi proyeksi pengalaman dan perasaan subjektif ke dalam alam raya, dan

sebaliknya alam raya bercerita tentang perasaan manusia.

Dalam puisi “Hanya Inilah Jalannya”, Aidit mengawali dengan mengisahkan tentang

lumpur, ”sepatu setengah usang membenam dalam lumpur/menuju teratak,/air menetes

dari atap/kekayaanku yang paling berharga”. Dalam keadaan berlumpur itulah, Aidit

menghadirkan pemikiran dan ideologi komunis sebagai hasil “pengalaman jerman, inggeris,

Page 50: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

perancis, rusia dan tiongkok/dan banyak lagi/hasil pemikiran putera-putera dunia yang

terbaik.”

Dalam “Ziarah ke Makam Usani”, seluruh bait pertama benar-benar hanya bercerita tentang

kemuraman alam yang berduka atas kematian Usani. “Langit seperti muram/Mentari

tertutup mendung, keabu-abuan/Angin meniup sepoi/Pohon bambu, rindang

menghijau/Burung-burung berterbangan, diam/Terasa senyap suasana alam.”

Dalam puisi “Jauhilah Imperialis AS”, Aidit pun menghadirkan keindahan alam yang cerah

di suatu pagi, tempat para aktivis melaksanakan protes terhadap imperialis Amerika:

 

alangkah indahnya pemandangan pagi ini

mentari cerah mengiringi

barisan pejuang mengalun datang

sarjana, seniman, pemuda, wanita

buruh dan tani sokoguru revolusi

dan pelajar anakkandung revolusi

spanduk dan panji, warna-warni

melambai menghias angkasa lebar

teman tentang menentang

tinjupun diacungkan

 

Puisi “Tugas Partai” tidak menggemakan suara alam tetapi langsung menggemakan

perasaan aku lirik: “hatiku riang gembira/menerima tugas partai/membawa berita

bahagia/ulang tahun empat-lima PKI”. Dalam puisi “Untukmu Pahlawan Tani”, keceriaan

hati dan alam dihadirkan Aidit sebagai berikut: “di kala senja/mencari cerah/petani

menggarap sawah/mencari seuli padi/sisa pembagi/dari tuan-tanah keji”.  Dalam puisi

“Kidung Dobrak Salahurus”, gambaran alam pun dihadirkan: “Kau datang dari jauh adik/dari

daerah banjir dan lapar/membawa hati lebih keras dari bencana/selamat datang dalam

barisan kita.”

Dari uraian ini, tampak bahwa puisi-puisi Aidit secara sengaja dibangun sebagai gema

suara alam. Hal ini membuat puisi-puisinya menjadi karya yang indah dan dapat dinikmati,

Page 51: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

sekalipun tak dapat dihindari bahwa puisi-puisi tersebut mengandung muatan ideologis dan

politik yang sangat kental.

Dari segi tema, puisi-puisi D. N. Aidit mengungkap tiga tema pokok, yaitu semangat anti-

imperialis, nyanyian dan pujian untuk pahlawan, serta gagasan mengenai tugas dan

kewajiban partai.

 

Puisi-puisi Anti-imperialis

Sikap anti-imperealis ditunjukkan dengan sangat gamblang dalam puisi “Jauhilah Imperialis

AS” dan “Yang Mati Hidup Kembali”. Dalam “Jauhilah Imperialis AS”,  Aidit bermaksud

mengobarkan kebencian terhadap AS yang telah melakukan agresi ke Vietnam agar

“hentikan agresi AS di Vietnam.”

 

Jauhilah Imperialis AS

alangkah indahnya pemandangan pagi ini

mentari cerah mengiringi

barisan pejuang mengalun datang

sarjana, seniman, pemuda, wanita

buruh dan tani sokoguru revolusi

dan pelajar anakkandung revolusi

spanduk dan panji, warna-warni

melambai menghias angkasa lebar

teman tentang menentang

tinju pun diacungkan

… marahan Green

hentikan agresi AS di Vietnam

sita modal anak sekolah

sorak-sorai membadai

barisan bergerak maju

menembaki tank …

tari dan nyanyi memecah sunyi

seruling ditiup nyaring

Page 52: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

dendang bertalu, mengiringi,

laki-laki berjingkrak, laksana burung jalang

membunuh … Malang

… benci imperialis AS

berkobar tinggi

cinta merdeka meresap setiap dada

manusia juang, pembela masa datang

… pasti muara

… pasti datang

Jakarta, 20-07-65

 

Vietnam merupakan salah satu negara yang pada tahun 1950-an berada di bawah

kekuasaan komunis. Perang AS di Vietnam berkaitan erat dengan persoalan perang dingin

yang telah membagi dunia atas dua kubu, yaitu kubu AS dan Inggris yang kapitalis dan

imperialis sera kubu Rusia dan Cina yang komunis. Aidit sebagai seorang ketua Partai

Komunis, melihat AS sebagai sebuah ancaman dalam upayanya membangun sistem

komunis di Indonesia.

Kepentingan melawan imperialisme global merupakan sebuah semangat zaman yang

memiliki kaitan dan relevansi dengan kepentingan nasional. Semangat  anti-imperialisme

dan kolonialisme (yang berarti anti-Barat dan AS), selain kabir (kapitalis-birokrat), tujuh

setan desa, dan lima setan kota. Puisi ”Yang Mati Hidup Kembali” karya D.N. Aidit

mengungkapkan semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme. Puisi itu bertutur tentang

pembunuhan Perdana Menteri Kongo, Patrice Emery Lumumba (2 Juli 1925—17 Januari

1961) yang diduga didalangi oleh kolonialis Belgia dan agen-agen Central Intteligence

Agency (CIA) AS.  Pembunuhan Lumumba menjadi pelajaran berharga bagi para pejuang

revolusioner dalam mengusir kaum kolonialis dan imperialis.

 

Yang Mati Hidup Kembali

Lama nian aku tak menangis.

tidak karena mata sudah mengering

atau hati membeku dingin,

Page 53: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

tapi kali ini dengan tak sadar

hati kepala penuh tak tertahan

butir-butir air mata membasahi koran pagi

orang hitam berhati putih itu

dibunuh si putih berhati hitam!

Tapi bukankah pembunuh terbunuh?

Lumumba sendiri hidup selama-lamanya

Lumumba mati hidup abadi!

Kini dunia tidak untuk si putih yang hitam

tapi untuk semua

putih, kuning, sawomatang, hitam…

Kini udara penuh Lumumba

karena Lumumba berarti merdeka.

14-2-1961

 

Semangat untuk merdeka dan melawan setiap intervensi dan penindasan kaum imperialis

merupakan semangat perjuangan Aidit sejak dia masih sangat muda dan belum menjadi

pemimpin PKI. Ketika menyaksikan kematian Lumumba akibat ulah kolonialis Belgia dan

CIA Amerika, Aidit meradang. Sekalipun demikian, puisi di atas benar-benar terlihat bening

dan menyentuh dengan penggunaan gaya bahasa seperti ironi dan antonimi.

 

Pujian untuk Pahlawan Petani

Tema pemujaan untuk pahlawan, diperlihatkan Aidit dalam dua puisi, yaitu “Ziarah ke

Makam Usani” (Harian Rakjat, 25 Juli 1965) dan “Untukmu Pahlawan Tani”. Pahlawan

dalam konsep Aidit bukanlah para prajurit yang gugur di medan pertempuran. Pahlawan,

seperti dalam konsep perjuangan PKI, tak lain adalah para petani dan rakyat kecil yang

terpinggirkan.

Puisi “Untukmu Pahlawan Tani” merupakan puisi yang ditulis untuk mengenang

pembantaian petani di Boyolali. Peristiwa di Boyolali dikenal sebagai sebuah peristiwa

perjuangan rakyat melawan tuan tanah. Pihak tuan tanah dengan dibantu tentara

Page 54: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

mengepung dan membunuh para petani dari organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) yang

menuntut pembagian hasil yang lebih adil. Mereka pun gugur dan di mata Aidit, mereka

adalah pahlawan:“kutundukkan kepala/untukmu pahlawan/pahlawan tani boyolali.”

 

Untukmu Pahlawan Tani

dikala senja

mencari cerah

petani menggarap sawah

mencari seuli padi

sisa pembagi

dari tuan-tanah keji

bagi hasil sungguh adil

tuan-tanah kerdil

merampok seluruh hasil

rongga dada meronta

bangun tegakkan kepala

kiprah menggarap sawah

butir-butir padi di teliti

panen raja mengetam padi

hasil dibagi adil!

muka muram durja

tuan-tanah murka

mengepung dengan senjata

peluru menembus disawah

darah tertumpah merah

kutundukkan kepala

untukmu pahlawan

pahlawan tani boyolali

Jakarta, Desember 1964

 

Page 55: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Dalam “Ziarah ke Makam Usani”, penyair memuji Usani, seorang wanita pejuang komunis

yang mati dalam perjuangannya membela kepentingan kaum buruh dan tani. Kematian

Usani memberi inspirasi bagi sahabat-sahabatnya yang masih hidup untuk berjuang

melawan ‘lima jahat’, yaitu Malaysia, kabir, tujuh setan desa, imperialis AS, dan kaum

Revisionis. Puisi ini tampaknya mewakili pandangan D. N. Aidit tentang puisi, baik dari

aspek formal maupun tematis. Puisi itu dikemukakan secara lengkap berikut ini.

 

Ziarah ke Makam Usani

Langit seperti muram

Mentari tertutup mendung, keabu-abuan

Angin meniup sepoi

Pohon bambu, rindang menghijau

Burung-burung berterbangan, diam

Terasa senyap suasana alam

Kawan demi kawan datang

Menziarahi makam

Usani, wanita pejuang komunis

Pembela setia buruh dan tani;

Ia mati dalam mengabdi

Proletariat kesayangan sejati

Tanah merah pekuburan dicacaki

Nisan bambu tegak-tegak

Laksana tekad hati usani

Mengibarkan tinggi-tinggi, panji PKI

Semua kawan tunduk berdiri

Duka cita menyayat hati

Airmata mengalir, butir demi butir;

Dan semua berjanji

Akan nyalakan api-juang usani

Mengganyang si-lima jahat

Page 56: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

“Malaysia”, kabir, 7 setan desa, imperialis AS dan

Revisionis

Usani pergi, api-juangnya nyala abadi

PKI mekar harum mewangi

Jakarta, 18 Juli 1965

Harian Rakjat, 25 Juli 1965

 

Tugas Partai Komunis

Tema yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban partai terungkap dalam puisi “Tugas

Partai” (Harian Rakjat, 4 Juli 1965), “Sepeda Butut”, “Sekarang Ia Sudah Dewasa” (Harian

Rakjat, 22 Mei 1955), “Kidung Salahurus”, dan “Hanya Inilah Jalannya” (Harian Rakjat, 12

Februari 1955).

Puisi “Tugas Partai” ditulis untuk memperingati ulang tahun ke-45 PKI. Dalam puisi ini, Aidit

mengungkapkan komitmennya menerima tugas dari partai: “ku-emban erat/ku-pegang

ketat/ku’kan sampaikan sepenuh jiwa/kepada rakyat pekerja, di desa  dan kota”. Dalam

puisi ini, terlihat dua komitmen Aidit: dua panji berdampingan/merah putih dan PKI,

melambai menghias angkasa/” tetapi juga komitmen bahwa “Marxisme-Leninisme api

abadi.” Dalam puisi ini, terlihat keinginan penyair untuk menanamkan kecintaan masyarakat

pada PKI dan ideologinya.

 

Tugas Partai

hatiku riang gembira

menerima tugas partai

membawa berita bahagia

ulang tahun empat-lima PKI

ku-emban erat

ku-pegang ketat

ku’kan sampaikan sepenuh jiwa

kepada rakyat pekerja, didesa dan kota

tugas dirimu partai

Page 57: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

segala cuaca melanda

terik matahari, gelap gulita malam, dan…

embun pagi membasah tubuh

aku datangi desa demi desa,

gubuk demi gubuk,

kawan demi kawan,

rombongan demi rombongan

ku-sampaikan undangan partai

ku-ceritakan berita acara

semua kawan senyum tawa

tekad bulat penuh semangat

jarak jauh ‘kan ditempuh

semua jalan menuju senayan

setan-setan penghalang ‘kan diganyang

untuk partai dan revolusi

pria dan wanita, berbaris tegap menatap

dua panji berdampingan

merah putih dan PKI, melambai menghias angkasa

derap langkah bersuka ria

maju, maju, maju terus, menuju rapat perkasa PKI

PKI anak zaman melahirkan zaman

Marxisme-Leninisme api abadi

Jakarta, Mei 1965

Harian Rakjat, 4 Juli 1965

 

Puisi “Sepeda Butut” merekam perjalanan dan perjuangan Aidit yang setiap hari selalu

ditemani sepeda bututnya“Sepeda bututku/tiap hari membantu/mengabdi cita

mulia/kebebasan rakyat pekerja”. Sekalipun hanya dengan sepeda bututnya yang setia,

Aidit yakin bahwa upayanya akan berhasil: “kuyakin sepenuh hati/Rakyat pekerja bebas

pasti/PKI pemimpin sejati/sepeda bututku turut berbakti.”

 

Page 58: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Sepeda Butut

Sepeda bututku

tiap hari membantu

mengabdi cita mulia

kebebasan rakyat pekerja

semua derita ku-terima

dengan senyum gembira

hidup sekali mengabdi

bukan menanti mati

panji merah menjiwai

ku-yakin sepenuh hati

Rakyat pekerja bebas pasti

PKI pemimpin sejati

sepeda bututku turut berbakti

Jakarta, Oktober 1964

 

Sama seperti dalam puisi “Tugas Partai”, puisi “Kidung Dobrak Salahurus” juga bertujuan

menanamkan kecintaan masyarakat terhadap PKI.

 

Kidung Dobrak Salah Urus

Kau datang dari jauh adik

dari daerah banjir dan lapar

membawa hati lebih keras dari bencana

selamat datang dalam barisan kita.

Di kala kidung itu kau tembangkan

bertambah indah tanah Priangan

sesubur seindah Priangan manis

itulah kini Partai Komunis.

Tarik, tarik lebih tinggi suaramu

biar tukang-tukang salahurus mengerti

Page 59: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

benci Rakyat dibawa mati

cinta Rakyat pada PKI

 

Rakyat yang menderita akibat banjir dan bencana kelaparan memercayakan nasibnya pada

Partai Komunis Indonesia karena birokrasi pemerintahan yang berjalan hanyalah “tukang-

tukang salah-urus” yang “benci Rakyat dibawa mati.”  Sebaliknya, PKI digambarkan

“sesubur seindah Priangan manis.”

Puisi “Hanya Inilah Jalannya” merupakan sebuah ekspresi keyakinan penyair akan

kebenaran jalan perjuangan politik yang dipilihnya melalui PKI. PKI merupakan “hasil

pemikiran putera-putera dunia yang terbaik,” sehingga “aku akan sumpah setia pada

ajarannya.”  Penyair begitu yakin, “kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini/di mana tak ada

sepatu usang/di mana tak ada lumpur membenam/di mana tak ada teratak bocor/tapi hanya

inilah jalannya.”Kesejahteraan yang akan dicapai di masa depan hanya bisa dicapai melalui

jalan partai yang dianutnya, yaitu PKI. Keyakinan seorang pemimpin yang seperti inilah

yang telah membawanya menjadi seorang pemimpin yang berhasil membawa partainya

menjadi salah satu partai terbesar pada zamannya.

 

Hanya Inilah Jalannya

sepatu setengah usang membenam dalam lumpur

menuju teratak,

air menetes dari atap

membasahi kekayaanku yang paling berharga,

pengalaman jerman, inggeris, perancis, rusia dan tiongkok

dan banyak lagi

hasil pemikiran putera-putera dunia yang terbaik.

*

temanku nyenyak kembali sesudah membuka pintu,

kesunyian diluar membantuku

makin dulu makin jauh tenggelam,

ingat aku akan sumpah tetap setia pada ajarannya

kokok ayam jantan tak mengagetkan,

Page 60: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

siang dan malam sama saja,

jalan yang ditunjukkannya selamanya terang.

*

kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini

di mana tak ada sepatu usang,

di mana tak ada lumpur membenam,

di mana tak ada teratak bocor,

tapi hanya inilah jalannya.

Malam, 27 Januari 1955

Harian Rakjat, 12 Februari 1955

 

Antaeus dan Ramalan Kejatuhan PKI

Puisi “Sekarang Ia Sudah Dewasa” ditulis untuk menjambut ulang tahun ke-35 PKI.   Dalam

puisi ini, penyair mengisahkan bahwa PKI lahir “dengan kesaktian klas termaju” yang “tahan

taufan/dan tak tidur karena sepoi/”. Setelah 35 tahun, PKI “menyusup di hati Rakyat/lebih

dalam dari laut Banda/”. Yang menarik dari puisi ini adalah Aidit mengibaratkan PKI sebagai

“Antaeus, anak Poseidon, yang setia pada bumi”.

 

Sekarang Ia Sudah Dewasa

menjambut ulang tahun ke-35 PKI

35 tahun yang lalu

Ia lahir

dengan kesaktian

klas termaju,

sebagai anak zaman

yang akan melahirkan zaman.

Ia tahan taufan

dan tak tidur karena sepoi.

Ia menyusup dihati Rakyat

lebih dalam dari laut Banda.

Ia menghias hidup

Page 61: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

lebih indah dari sunting cempaka.

Ia dihidupkan oleh hidup,

tahun teror dan provokasi

Dulu, sekarang dan nanti.

Ia Antaeus, anak Poseidon

yang setia pada bumi.

Ia anak zaman yang akan melahirkan zaman

Sekarang ia sudah dewasa.

Jakarta, 21 Mei 1955

Harian Rakjat, 22 Mei 1955

 

Dalam mitologi Yunani, ada seorang tokoh legendaris bernama Antaeus, seorang raksasa

kesatria yang tak terkalahkan. Jika kalah dalam berperang, ia justru bertambah kuat.

Ayahnya Poseidon adalah Dewa Laut, ibunya, Gaea adalah Dewi Bumi. Antaeus memiliki

satu kelebihan yang tak dimiliki oleh para kesatria Yunani lain. Selama ia setia dan tetap

menginjak bumi, maka bumi akan memberinya kekuatan. Suatu ketika Antaeus bertemu

dengan musuh yang kekuatannya sepadan yang bernama Heracles atau yang lebih dikenal

sebagai Hercules. Ia putra Zeus, Dewa Langit dan Petir, sedangkan ibunya adalah

Alcmene. Karakter Hercules digambarkan sebagai seorang pahlawan dengan kekuatan

yang besar dan juga tak terkalahkan. Hercules mengetahui kekuatan sekaligus kelemahan

lawannya. Kekuatannya Antaeus datang dari tanah dan bumi. Kelemahannya ketika

terpisah dari tanah dan bumi. Maka ketika dua jagoan dalam mitologi Yunani ini bertemu,

terjadilah pertarungan terakhir bagi Antaeus. Jurus terakhir yang digunakan oleh Hercules

adalah mengangkat Antaeus di atas dua pundaknya dan tak diturunkan lagi. Perlahan tetapi

pasti, Antaeus kehilangan kekuatannya. Perlahan tetapi pasti, Antaeus menjadi tak

berdaya, ia hanyalah seonggok raksasa besar yang tak mampu berbuat apa-apa.

Sebabnya, Antaeus terpisah dari tanah yang selama ini memberinya kekuatan. Ketika

terjadi pertarungan gulat yang sangat hebat antara Antaeus dan Hercules, dengan strategi

itu, pertarungan diakhiri dengan kekalahan Antaeus.

D. N. Aidit mengagumi tokoh Antaeus, terutama karena kesetiaan tokoh ini pada bumi yang

dipijaknya. Aidit menginginkan PKI benar-benar membumi sehingga dicintai oleh semua

kalangan.  Pilihan Aidit pada Antaeus di tahun 1955 sepertinya meramalkan pula kejatuhan

Page 62: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

PKI dari kesatria lainnya, Hercules. Di tahun 1965, Hercules (tentara Angkatan Darat yang

dipimpin oleh Soeharto), dengan siasatnya yang jitu mengalahkan dan mengenyahkan

Anteus (PKI). PKI dipropagandakan sebagai pengkhianat, pelaku penculikan tujuh jendral

dan membantainya dengan kejam dan pengecut di Lubang Buaya. PKI pun lenyap dari

muka bumi Indonesia. Anak cucu dan keluarga orang-orang PKI yang tidak bersalah pun

harus menerima hukuman: menerima tanda selar (stigma) “Organisasi Terlarang” (OT).

Anteus, sebagaimana juga partai PKI yang dipimpin Aidit, akhirnya mengalami nasib yang

sama: jatuh dan tamatlah riwayatnya secara sangat tragis dari bumi Indonesia. Hal itu,

tanpa disadari, telah diramalkan sendiri oleh Aidit melalui puisinya “Sekarang Ia Sudah

Dewasa” yang ditulis Aidit untuk menjambut ulang tahun ke-35 PKI.

 

Kesimpulan

Karya-karya sastra, khususnya puisi, dalam kurun waktu sepuluh tahun menjelang

terjadinya Tragedi 1965, yaitu 1955—1965, menunjukkan salah satu ciri yang jelas, yaitu

keterlibatan sosial serta identifikasi dengan kaum yang miskin dan menderita. Kemiskinan

dan penderitaan memang begitu menyolok mata. Tanggapan terhadap kemiskinan dan

penderitaan itu dilakukan, baik oleh penyair-penyair Lekra maupun yang bukan Lekra.

[vii] Karya-karya sastrawan Lekra lebih dominan dalam periode ini.

Sesuai dengan keyakinan seniman-seniman Lekra seperti yang tertuang dalam Mukadimah

Lekra (1950), seni bagi kelompok ini merupakan sarana perjuangan ideologi.[viii] Seniman

—tak berbeda dari politisi, ilmuwan, pekerja—terlibat dalam perjuangan untuk

membebaskan rakyat dari penindasan kelas yang berkuasa.

Dalam konteks bersastra seperti inilah penilaian kaum liberal (Barat) yang menuntut adanya

‘nilai estetika’ menemukan jalan buntu. Dengan kacamata estetika liberal, seperti dilakukan

Teeuw (1989: 30—6), maka puisi-puisi Aidit adalah cerita-cerita atau sajak-sajak

sederhana, yang ditulis dengan bahasa yang gampang dipahami, dan melukiskan

gambaran yang mengibakan ‘korban’ apa saja yang sebagian besar klise. Misalnya, petani

miskin, buruh tani, atau gadis tak berdosa yang dengan keji diperdayakan dan dikhianati

oleh bos yang kapitalis, atau perempuan pekerja yang miskin dan buruh kasar yang

tertindas dan dibayar rendah. Getaran tertinggi yang dapat dirasakan dari puisi-puisi Aidit

adalah perasaan ‘simpati’, semangat berjuang, dan keyakinan utopis tentang masa depan

Page 63: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

yang lebih baik. Puisi-puisinya juga mengagungkan tindakan partai dan habis-habisan

bermadah tentang kehebatan negara-negara komunis (bdk. Teeuw, 1989: 30—6). Dengan

motivasi dan latar belakang yang seperti ini, Teeuw menilai bahwa “ideologi Marxisme

kehilangan sisa kredibilitas atau kepercayaan yang masih ada sebagai suatu asas

artistik (artistic creed)”.

Saya berpandangan, puisi-puisi Aidit dan sastrawan Lekra lainnya perlu dipandang sebagai

karya yang menjadi saksi sejarah yang khusus, yang memiliki kaitan dengan masalah-

masalah sosial, ataupun dipengaruhi oleh fenomena-fenomena sosial (bdk. Foulcher, 1986:

3—4). Dengan kata lain, karya-karya itu merupakan formasi diskursif dalam kaitannya

dengan formasi-formasi diskursif zamannya dan membentuk episteme tersendiri. Dalam

konteks inilah terbaca dengan jelas ideologi realisme sosialis yang menuntut karya-karya

sastra menjadi alat (ideologi) yang berguna bagi manusia. Meminjam pandangan Horatius,

karya-karya Aidit lebih menekankan kegunaan (utile)daripada keindahannya (dulce).

Membaca karya-karya Aidit, kita mendengarkan dengan jelas geliat zamannya.

D. N. Aidit menciptakan puisi-puisinya sebagai seorang pemimpin partai besar (PKI)

dengan konsep berpuisi yang jelas (politik sebagai panglima). Lingkungan sosial-budaya

pada periode 1955—1965 diwarnai oleh pertentangan ideologi antara kelompok yang pro-

Barat dan pro-Timur, yang diwarisi dari polemik kebudayaan pada tahun-tahun sebelum

kemerdekaan. Kegagalan diplomasi Indonesia melalui KMB membuat beberapa politisi dan

seniman mendirikan Lekra. Periode 1950—1965 merupakan sebuah periode yang secara

ekonomi dan politik terdapat kontradiksi yang intens dalam jantung kehidupan budaya

Indonesia (Foulcher, 1986: 1—3). Dalam bidang kebudayaan, terjadi perdebatan tajam dan

panjang antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) (1950—1965) dengan kelompok

Manifest Kebudayaan (Manikebu) (1963) yang mengusung paham ‘humanisme universal’.

Dalam perkembangannya, lingkungan sosial-budaya sangat didominasi oleh kekuatan

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) (1950—1965) dengan ideologi ‘politik sebagai

panglima’ dan menganut paham ‘realisme sosialis’.

D. N. Aidit tidak hanya seorang tokoh kiri, melainkan lebih dari itu dia merupakan pimpinan

tertinggi PKI, sebuah partai yang kemudian menjadi partai terlarang di Indonesia. Karena

itu, hampir semua informasi, berita, ataupun kontribusi orang-orang kiri itu dianggap tidak

berguna dan acapkali tidak dibicarakan secara terbuka, termasuk Aidit. PKI, yang sejak

awal ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pun selalu dicurigai sebagai

Page 64: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

‘pengkhianat bangsa’ yang hendak membangun sebuah negara tersendiri dengan asas dan

tujuan yang berbeda.

D.N. Aidit memiliki dua wajah (Zulkifli, 2011), wajah politik yang garang dan wajah sastra

yang humanis.  Puisi-puisi Aidit, selain menjadi alat menyampaikan visi dan perjuangan

politiknya, mengandung pula elemen-eleman estetis kemanusiaan yang dapat dinikmati

oleh para pencinta sastra. Visi kerakyatan, antikolonialisme, imperialisme, feodalisme

mewarnai karya-karya tokoh politik tersebut.

Wajah humanis D. N. Aidit terlihat jelas dalam beberapa puisinya yang menggugah

pemikiran dan menyentuh perasaan. Aidit sangat tersiksa menyaksikan kematian

Lumumba. Dalam “Kidung Dobrak Salah Urus”, Aidit menaruh perhatian yang sangat intens

terhadap rakyat dari daerah bencana banjir dan lapar. Aidit tidak bisa menerima dan

memahami mengapa rakyat dari sebuah daerah yang seindah dan sesubur Priangan dapat

menderita banjir dan lapar. Karena itu, ia menyerukan “dobrak salah urus”. Logika di balik

puisi itu adalah bahwa bencana yang dialami rakyat disebabkan karena pemerintahnya

salah mengurus kepentingan rakyatnya. Sebagai ketua CC-PKI yang bergerak dalam

bidang politik, kenyataan itu memberi alasan baginya untuk mengajar rakyat mencintai dan

mendukung PKI.

Bacaannya yang luas terhadap mitologi Yunani membuat Aidit memahami betul tokoh-

tokoh yang sangat dikenal dalam mitologi tersebut. Ia pun memilih Dewa Antheus, dewa

yang kemudian dikalahkan Hercules. Aidit, dengan naluri humanistiknya, tanpa sadar telah

meramalkan kejatuhan Antheus (PKI) oleh Hercules (TNI). Pasca-tragedi 1965, Dipa

Nusantara Aidit bersama PKI-nya menghilang untuk selama-lamanya dari bumi Nusantara

ini.***

 

Daftar Pustaka

 

Barker, Chris, Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage Publication, 2000.

Foucault, Michel, The Archeology of Knowledge. New York: Pantheon Books, 1972.

____________, Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault.

Page 65: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Diterjemahkan dari Aesthetic, Method, and Epistemology: Esential Works of Foucault 1954

—1984 karya Paul Robinow. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.

Foulcher, Keith, Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian “Institute of

Peoples Culture” 1950 – 1965. Victoria: Monash University Press, 1986.

___________, “Menciptakan Sejarah: Kesusastraan Indonesia Kontemporer dan Peristiwa-

peristiwa 1965” dalam Robert Cribb The Indonesian Killings: Pembantaian di Jawa dan Bali

1965-1966. Yogyakarta: MataBangsa bekerja sama dengan Syarikat Indonesia, 2004.

Hindley, Donald, “Review 41 The Communist Uprisings of 1926—1927 in Indonesia: Key

Documents” dalam  The Journal of Asian Studies (pre-1986); May 1962; 21, 3;

ABI/INFORM Research, 1962.

Piliang, Yasraf Amir, “Antara Minimalisme dan Pluralisme: Manusia Indonesia dalam

Serangan Postmodernisme” dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi

Perspektif (ed. Alfathri Aldin). Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2006.

Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia Since c.1300, Second Edition. London: 

MacMillan, 1993.

Razif, “Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan”. Diunduh

darihttp://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/selectedworks/B-Liar3.html tanggal

17 Agustus 2010, 2010.

Rosidi, Ajip, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia.  Jakarta:

Pustaka Jaya, 1973.

Sulistyo, Hermawan, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang

Terlupakan (1965-1966). Jakarta: Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI

dan The Ford Foundation, 2000.

Sumardjo, Jacob, Lintasan Sastra Indonesia Modern Jilid I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

1992.

Taum, Yoseph Yapi, “Pengarang Ambang dan Kedudukannya dalam Penelitian Sastra”

dalam Horison Nomor 11 Tahun XXVIII, Edisi November. Jakarta: Yayasan Indonesia,

1993.

Page 66: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Taum, Yoseph Yapi, Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme, Semiotik,

Resepsi, Dekonstruksi.  Ende: Nusa Indah, 1997.

Teeuw, A., Sastra Baru Indonesia. Ende: Percetakan Arnoldus, 1978.

_______, Tergantung Pada Kata.  Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.

_______, “Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan” (dua karangan) dalam BASIS 

No. XXXVII-11 dan  XXXVIII-12. Yogyakarta: Andi Offset, 1988a.

_______, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar  Teori  Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya – Giri

Mukti Pasaka, 1988b.

Van der Kroef , Justus M. “Interpretations of the 1965 Indonesian Coup: A Review of the

Literature” in Pacific Affairs, Vol. 43, No. 4, (Winter, 1970-1971), pp. 557-77. Pacific Affairs,

University of British Columbia, 1977.

Wikipedia, Antaeus. Dikunjungi pada 20 Juli 2011 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Antaeus,

2013.

Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan, Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra

Harian Rakjat 1950-1965.Yogyakarta: Merakesumba, 2008.

Zulkifli, Arif, Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Kompas Gramedia

(KPG) (Seri Buku Tempo Orang Kiri Indonesia), 2010.

 

 

**Keterangan: tulisan ini pernah dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Kebudayaan, Sintesis,

Volume 7, No.1, Maret 2013, hlm. 1-13

 

[i] Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Volume 7 No. 1,

Maret 2013. Jurnal itu milik Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas

Page 67: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Sanata Dharma, Yogyakarta. Terima kasih kepada Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum

yang mengizinkan penerbitannya di sini. Pengeditan dilakukan dalam koridor yang semata

teknis, disesuaikan dengan format Lembar Kebudayaan IndoProgress (LKIP).

[ii] Tentang sisi sebagai pejuang nasional, persahabatan, pernikahan, keluarga, dan

peranan Aidit dalam bidang politik, baca Arif Zulkifli, Aidit: Dua Wajah Dipa

Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Kompas Gramedia (KPG) (Seri Buku Tempo Orang Kiri

Indonesia), 2010.

[iii] Buku dan serial yang ditulis Aidit antara lain: Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia, dari

Tahun 1905 sampai Tahun 1926 (1952); Perdjuangan dan Adjaran-adjaran Karl

Marx (1952); Menempuh Djalan Rakjat: Pidato untuk Memperingati Ulangtahun PKI jang

ke-32 – 23 Mei 1952 (1954); Tentang Tan Ling Djie-isme: Referat jang Disampaikan pada

Kongres Nasional ke-V PKI (1954); Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia: (Pidato

sebagai laporan Central Comite kepada Kongres Nasional ke-V PKI dalam bulan Maret

1954 (1955); Pertahankan Republik Proklamasi 1945!: Perdjuangan untuk

Mempertahankan Kemerdekaan Nasional, Perdamaian dan Demokrasi Sesudah Pemilihan

Prlemen (1955); Menudju Indonesia baru: Pidato untuk Memperingati Ulang-tahun PKI jang

ke-33 (1955); Perjuangan dan Adjaran-adjaran Karl Marx (1955); Revolusi Oktober dan

Rakjat2 Timur (1957); 37 tahun Partai Komunis Indonesia (1957); Masjarakat Indonesia dan

Revolusi Indonesia: (Soal² Pokok Revolusi Indonesia) (1958); Sendjata Ditangan Rakjat

(1958); dan Kalahkan Konsepsi Politik Amerika Serikat (1958). Daftar ini masih perlu

dilengkapi lagi.

[iv] Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno, apa yang terjadi pada tahun 1948 itu

disebut sebagai “Peristiwa Madiun 1948” tetapi oleh pemerintahan Orde Baru istilahnya

diubah menjadi “Pemberontakan Madiun 1948.”

[v] Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihancurkan tetapi tidak dilarang tahun 1948, 

muncul kembali di tahun 1951 dengan kepemimpinan dari kalangan kaum muda: Aidit,

Lukman, Nyonto, dan Soedisman. Sejak awal, Aidit menekankan bahwa Marxisme

merupakan pedoman untuk bertindak, bukan dogma yang harus diikuti dengan kaku

(Ricklefs, 2004: 478). Kepemimpinannya membawa suatu pragmatisme baru bagi PKI yang

memungkinkan partai ini segera menjadi salah satu partai politik terbesar. Perkembangan

pesat PKI itu, menurut Van der Kroef (1965: 357), juga disebabkan karena selama tahun

1961—1962 PKI sangat vokal mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, khususnya

Page 68: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

kebijakan militeristik yang sangat membatasi aktivitas politik. Partai ini bahkan menjadi

partai komunis terbesar di seluruh dunia, di luar RRC dan Uni Soviet.

[vi] The Three Musketeers adalah judul novel tenar tentang petualangan tiga orang pemuda

di tengah-tengah pergolakan politik Prancis pada abad pertengahan. Tiga pemuda itu

bernama Athos, Porthos, dan Aramis.

[vii] Menurut Teeuw (1989: 11), sajak-sajak tanggapan terhadap masalah kemiskinan dari

penyair non-Lekra berbeda dengan sajak-sajak Lekra yang mengusung ideologi ‘realisme-

sosialis’. Sajak-sajak non-Lekra lebih mendalam, mengendap, dan ditulis dengan

kesadaran bahwa penderitaan manusia bukan saja disebabkan oleh tindakan-tindakan

buruk kaum politikus jahat, kaum kapitalis, dan kaum imperialis, tetapi bahwa kemiskinan

tak terlepas dari peri hidup umat manusia, dan sebaliknya bahwa kebahagiaan pun tidak

bergantung pada terwujudnya cita-cita tertentu belaka.

[viii] Hal ini berbeda dari perkembangan sastra sebelumnya, yang dikuasai oleh Kantor

Bacaan Rakyat dari Pemerintah Hindia Belanda atau Balai Pustaka, yang dalam

penerbitan-penerbitannya menabukan ideologi, agama, dan politik (lihat Teeuw, 1989: 31).

* Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., dosen Prodi Sastra Indonesia Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Alamat surat elektronik:

[email protected].

Membaca reaksi pemerintah Indonesia terhadap film “Jagal” atau “The Act of Killing” kami

merasa perlu memberikan tanggapan.

Film yang kami buat berlokasi di Indonesia, berbahasa Indonesia, dengan tema yang

berkait erat dengan babak gelap dalam sejarah Indonesia, namun demikian film kami

sesungguhnya bercerita tentang manusia; tentang sebuah pembantaian massal yang

dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Film kami bercerita mengenai dunia

yang dibangun oleh imajinasi dan penyampaian cerita; tentang dunia yang dibangun

dengan imajinasi penguasa dan penyampaian cerita berupa propaganda cuci otak. Tentang

sebuah dunia yang dibangun untuk menjustifikasi kekerasan massal sebagai sebuah

perjuangan heroik yang terus dipertahankan sampai hari ini. Tentang sebuah dunia yang

menghasilkan kekosongan moral dan kematian budaya–semati hewan awetan walau

diusahakan kelihatan dan berpose hidup. Tentang sebuah dunia yang dibangun diatas

kuburan massal yang disembunyikan agar terlupakan. Film kami adalah sebuah kisah

Page 69: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

mengenai apa yang terjadi di manapun jika manusia membangun normalitas sistem

ekonomi dan politik berdasarkan kekerasan, kebohongan, dan ketakutan.

Menghindari membicarakan pokok persoalan yang diangkat di dalamnya, film Jagal dituduh

sebagai upaya asing untuk memperburuk citra Indonesia di dunia. Kami, pembuat film

Jagal, sama sekali tidak pernah berniat memperburuk citra Indonesia, karena bagi kami

citra buruk bukanlah dari apa yang digali dan diungkap dari kejadian di masa lampau tetapi

apa yang dikerjakan saat ini. Bagi kami citra bukanlah persoalan bagaimana dan seberapa

baik kejahatan terhadap kemanusiaan disembunyikan dari pengetahuan rakyatnya. Citra

buruk adalah melanggengkan ketidakadilan dan impunitas bagi mereka yang melakukan

kejahatan terhadap kemanusiaan. Citra buruk adalah tidak meminta maaf kepada penyintas

dan keluarga korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Citra buruk adalah tidak

merehabilitasi dan memberikan mereka rekompensasi atas segala yang telah dirampas dari

mereka selama ini. Citra buruk adalah terus-menerus menyembunyikan fakta yang penting,

walaupun pahit, pada buku teks yang dibaca jutaan murid sekolah dan pada akhirnya

mencetak berlapis generasi yang tak mengenal sejarahnya sendiri. Citra buruk adalah

mengangkat arsitek pembunuhan massal sebagai pahlawan. Citra buruk adalah ketiadaan

upaya untuk memulai sebuah proses rekonsiliasi yang sejati dan menampilkan rekonsiliasi

pura-pura yang berinti proses pelupaan sebagai satu-satunya hal yang mungkin dilakukan.

Tidak satupun kerja memperburuk citra Indonesia kami lakukan lewat film Jagal.

Menuduh film Jagal sebagai suara ‘asing’ adalah upaya usang sekadar memancing

sentimen sempit untuk mendirikan pagar pemisah tinggi-tinggi antara yang ‘kita’ dan yang

‘mereka’. Jika ada yang bisa diambil pelajarannya dari film kami, maka pembedaan yang

melupakan semua kesamaan itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa sebuah

kebencian dan kekerasan massal menjadi mungkin dibayangkan dan dilakukan oleh

sekelompok manusia terhadap sekelompok manusia yang lainnya.

Berbicara mengenai intervensi asing, kami ingin mengajak semua untuk melihat berbagai

investasi asing, proyek, dan utang yang menggelontor Indonesia sejak 1965 dan dibukakan

gerbangnya selebar-lebarnya oleh pemerintah, masuk sebagai kelanjutan pembantaian

massal yang disembunyikan itu dan pada akhirnya menggusur, mempermiskin rakyat,

mengeruk segala kekayaan alam sambil meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang

berkelanjutan dari Aceh sampai Papua. Pembunuhan massal 1965-1966–dan bukannya

film ini–yang justru adalah sebuah intervensi asing. Justru pemerintahan yang menuduh

Page 70: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

bahwa film ini adalah sebuah intervensi asing yang sesungguhnya adalah produk dari

puluhan tahun intervensi asing.

Film Jagal bukan semata-mata ekspresi dari pendapat dan pandangan awak film

berkebangsaan selain Indonesia, tetapi juga adalah pandangan kami, awak film

berkebangsaan Indonesia. Film ini mewakili pandangan kami semua sebagai manusia

penghuni bumi melintasi batas-batas negara, kebangsaan, ras, etnis, dan bahasa. Film

Jagal dibuat oleh orang-orang dari berbagai bangsa, dengan awak film paling banyak

berasal dari Indonesia, dengan semangat kemanusiaan dan solidaritas kepada semua

korban pelanggaran hak azasi manusia di dunia. Jika film Jagal (The Act of Killing) secara

resmi terdaftar sebagai produksi Denmark, Inggris, dan Norwegia–negara tempat

perusahaan produksi film Jagal berkedudukan–itu semata-mata karena keputusan kami

untuk menjadi Anonim–awak film tak bernama–karena dalam pendapat kami, negara kami

belum bisa menyediakan perlindungan yang memadai. Kami tak bisa mendaftarkan film

kami sebagai film Indonesia karena kami yang tak bernama tak mungkin mendirikan

perusahaan dan tak ada jaminan bahwa perusahaan produksi yang mewakili film kami akan

aman dari tindakan kekerasan. Kami tidak ingin menciptakan risiko baru di dalam negara

yang gagal melindungi pertemuan keluarga penyintas dan korban kekerasan massal 1965,

yang tidak hadir ketika kekerasan terjadi pada saat orang menyampaikan pendapat dan

berekspresi dengan damai, yang tidak mengusut tuntas dan menghukum orang yang

bertanggung jawab atas pembunuhan Munir, wartawan Udin, dan jutaan korban kekerasan

politik serta pelanggaran HAM lainnya sejak 1965 di seluruh Indonesia dan Timor Leste.

Hal-hal seperti inilah yang bisa–dan sepatutnya–dilakukan oleh negara jika negara

sungguh-sungguh ingin memulai memperbaiki citranya, pertama kali, kepada rakyatnya

sendiri.

Kami adalah generasi muda yang berusaha untuk menjadi sadar sejarah dan kami tahu

bahwa banyak terjadi pelanggaran di luar Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah negara

lain. Kami tidak membuat film mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan negara lain,

seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Israel, Afrika Selatan, Rwanda, Serbia, dan

lainnya karena, tanpa mengurangi arti penting dari film tentang pelanggaran HAM di

manapun oleh siapapun, hal utama yang memotivasi pembuatan film “Jagal” adalah

solidaritas kami kepada sesama rakyat Indonesia yang menjadi korban penindasan negara

selama ini, dan karena bagi kami yang terpenting adalah membuat negeri kami menjadi

Page 71: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

negeri yang terhormat di antara negara lain di dunia. Untuk bisa menjadi negara yang

terhormat, kami yakin, negara harus menyadari bencana moral akibat pembantaian

massal–dan bencana moral hari ini akibat impunitas, korupsi, dan ketakutan. Itu sebabnya

kami membuat film Jagal. Solidaritas terhadap penyintas dan keluarga korban ini juga yang

kami bawa bersama awak film dari bangsa lain dan ingin kami tularkan kepada penonton di

seluruh Indonesia dan di luar Indonesia.

Kami sepenuhnya sadar bahwa sebanyak dan sebesar apapun pelanggaran HAM yang

dilakukan negara lain tidak pernah memberi pembenaran bahwa kita bisa melakukan hal

yang sama.

Seperti kami yang melalui film ini menggugat negara kami, awak berkebangsaan lain pun

menuntut hal yang sama lewat film The Act of Killing kepada pemerintah negaranya. Awak

film berkebangsaan Amerika Serikat, sutradara film Joshua Oppenheimer, lewat film ini

menuntut agar pemerintah Amerika Serikat mengakui perannya dalam genosida, dan

berharap penonton Amerika mengenali The Act of Killing sebagai sebuah film mengenai

dampak kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang mengutamakan hak perusahaan-

perusahaan Amerika untuk menjarah dengan perlindungan impunitas di atas hak hak azasi

manusia di negara-negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Sebagaimana telah

berkali-kali disampaikan oleh pembuatnya di berbagai kesempatan di banyak negara, film

ini menyampaikan sebuah pesan bahwa kita lebih mirip dengan para pelaku pelanggaran

HAM daripada yang selama ini kita bayangkan. Pesan yang dimengerti dengan jelas oleh

para penonton di banyak negara.

Kami bekerja dan memberikan sumbangsih untuk membuat film yang sebaik-baiknya

dengan kesadaran bahwa kamilah yang berbahasa Indonesia paling baik di antara semua

awak film Jagal (The Act of Killing), kamilah yang paling dekat dengan sejarah yang

menjadi tema film ini, kamilah yang merasakan tumbuh dan hidup di dalam sebuah dunia

fantasi yang dipaksa menjadi rumah dan tanah air kami, serta kamilah yang akan menjalani

segala konsekuensi dari perubahan atau ketiadaan perubahan di tanah air kami. Kami

menempuh segala risiko yang tak tertebak sampai saat ini, dengan kesadaran tidak akan

pernah dikenal dan menerima langsung penghargaan setelah bekerja dan bekerja sama

selama delapan tahun untuk menghasilkan karya kami, dari Indonesia untuk Indonesia dan

dunia.

Page 72: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Mari menengok kembali tanggung jawab kita bersama membuat dunia yang lebih

manusiawi. Mari kita mulai dengan membuat Indonesia menjadi lebih manusiawi.

Anonim

Ko-Sutradara film Jagal

Dua Belas Puisi2 February 2014

 Yovantra Arief

 LKIP

/1/

/puisi malam/

Seorang kekasih tidur

dengan mata terbuka,

Tangan

terluka.

“Kenapa?” tanya lelaki

yang kebetulan lewat

di depan kamar kosnya.

“Entah,” igau kekasih itu.

Page 73: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

“Mungkin lelah.

Mungkin kalah.”

/2/

/puisi 05:30/

Lelaki itu jarang bicara.

Terkadang ia mimpi.

Malam jauh.

Bahasa purba

yang lupa

pernah punya makna.

Mimpi kerap kali

punya janji.

Terkadang tentang manisnya

esok hari, terkadang

untuk melupakan

kusutnya jalan pagi ini.

Page 74: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

/3/

/pagi yang cerah 07.25/

Penyair tak lagi menulis

untuk sarapan pagi

dan secangkir kopi

karena

puisi tak mampu

menggerakkan mesin-mesin

dan

mengusir kantuk.

Page 75: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

/4/

/pagi semakin cerah, 08.00/

Jangan.

Banyak.

Bicara.

/5/

/apa yang dilakukan ketika sesuatu harus dilakukan/

Ini begini.

Itu begitu.

Page 76: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Ini di sini.

Itu di situ.

Dibeginikan. Dibegitukan. Oper sana. Oper sini.

Kurang cepat.

Inibegini.

Itubegitu.

Inidisini.

Itudisitu.

Dibeginikan, dibegitukan, opersana, opersini.

Lebih cepat lagi.

Inibegini.Itubegitu.Inidisini.Itudisitu.

Dibeginikan.Dibegitukan.Opersana.Opersini.

Masih kurang cepat!

Inibeginiitubegituinidisiniitudisitu.

Dibeginikandibegitukanopersanaopersini.

Sedikit lagi!

inibeginiitubegituinidisiniitudisitu

dibeginikandibegitukanopersanaopersini.

Nah!

Teruskan!

Page 77: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

/6/

/waktu lupa/

“Jam berapa sekarang?”

tanya jam dinding

pada seseorang

yang tidak ia kenal namanya.

Jawab orang itu:

“bukan jam istirahat.”

/7/

/memulai hari yang terlambat, 12.22/

Deretan punuk BH berkibar

di tiang jemuran, serupa

bendera yang

kita hormati

tiap hari Senin.

Seorang kekasih

menyapu debu jalanan

dengan bayangan yang mengantuk.

Remah-remah mimpi di trotoar,

di gedung bioskop tua, di

bawah lampu lalu lintas,

Page 78: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

terguyur hujan dan

menguap

di udara.

Berjoged

dangdut.

Menghisap

Aibon.

Mengais

sampah.

Mengasah

kelamin.

Mungkin hidup,

tak pernah mati.

Tak pernah mati.

/8/

/mereka melengang/

seperti anjing.

seperti udara.

seperti jeda.

seperti titik.

dengan tentara

Page 79: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

bersembunyi

di belakangnya.

/9/

/lepas tawa sekelebat/

Sore turun seperti hujan.

Mengguyur tubuh-tubuh basah

dengan lelah.

Anjing-anjing kecil

tak bisa mengendus jalan

pulang.

Tapi rumah ada di mana-mana.

Di tikungan jalan,

di pabrik-pabrik,

di selasar toko,

di atas bus dan jalanan padat,

di sepetak kamar kecil

dengan sewa 500 ribu per bulan;

rumah ada di mana pun kau

rebahkan kepalamu.

Page 80: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

/10/

/aku menikahi buldoser/

Kami bercinta di atas reruntuhan bayangan gedung yang menimpa jalan. Ketika rindu, rindu

itu remuk di kakinya. Menjelma debu lalu kembali mencucuk mataku.

Aku menikahi buldoser dan tiap malam kami menggaruk kota.

Kami bertemu gubuk yang mimpi. Lembaran triplek rekat dengan cairan manusia. Kami

berteduh dari terik kantuk di pinggir rel.

Begitu matahari meninggi buldoser lakiku mengubur mimpi dengan tangannya sendiri.

Akhir bulan lakiku si buldoser terima upah lalu kami bercinta sampai habis segala lelah.

Kupeluk peluhnya yang dingin dan decitnya logam barah. Terkadang aku mendengar desah

tangis yang entah. Hantu dari masalalu. Aku tak tahu. Banyak mimpi yang mati dan

suamiku lelah menghitung satu-satu.

Page 81: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

/11/

/Malam jatuh berdebam/

Menimpa lampu-lampu jalan,

terpelanting ke parkiran, dan

membangunkan mobil-mobil

yang meraung dalam bahasa

alarm. Gelap melompat-lom-

pat di atas aspal basah, men-

ubruk tiang-tiang listrik. Luka

terbirit keluar lewat jendela.

Truk dan taksi berdesing se-

perti peluru. Operator malam,

perempuan muda di belakang

counter, pelacur dan mucikari,

tiang listrik, satpam dengan sebu-

ngkus Dji Sam Soe dan kopi

hitam, rumah sakit dan warung

kopi; beberapa orang mesti

terjaga biar bulan tetap menyala,

biar matahari bangun pada waktunya.

Page 82: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

/12/

/hujan turun sebelum pagi/

Jalanan kaku kedinginan

orang-orang di dalam bus

berdesakan

seperti berpelukan.

Pemandangan tahun lalu

—juga hari ini

Tapi

tak ada yang menyangka pejalan kaki

mekar

jadi

orang-orang merah.

Anak-anak TVRI

menyiram kepala mereka sendiri

sampai tumbuh tinggi dan

tidak lagi

percaya televisi.

Tajuk utama tak pernah bicara,

tapi keringat kami

puisi.

Page 83: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Lagu.

Kepalan rapuh

menggenggam janji.

Dunia baru.

Empat Pertanyaan bagi Sastra5 October 2013

 Martin Suryajaya

 LKIP

Para pembaca rubrik Lembar Kebudayaan Indoprogress yang budiman,

Belakangan ini ada sekelumit persoalan tentang kesusastraan yang terus menghantui saya

setiap kali membaca karya sastra. Maklum saya sendiri tak fasih dalam sastra, juga agak

kurang berbudaya. Oleh karena itu, saya mohon kepada para pembaca sekalian agar sudi

mencerahi budi saya perihal sastra dengan menjawab persoalan yang disebut di muka.

Beberapa persoalan yang dimaksud baru akan mengemuka setelah sedikit kerja praktikum

berikut. Pertama-tama, saya akan sekenanya mengambil salah satu karya sastra. Nah,

karya yang terambil adalah sajak “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” buah karya

Goenawan Mohamad. Berikut saya tik ulang teksnya.

 

Teks Asli

Page 84: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

 

Setelah kita memperoleh sampel karya sastra yang dipilih sekenanya macam yang tertuang

di muka, berikutnya saya akan mencoba menunjukkan persoalan yang menghantui saya.

Persoalan ini akan segera tampil sehabis kita menerjemahkan puisi di muka. Namun, apa

yang saya maksudkan bukanlah penerjemahan ke dalam bahasa Inggris atau Jawa atau

bahasa-bahasa lain pada umumnya, melainkan ke dalam bahasa kalkulus predikat tatanan-

pertama (first-order predicate calculus). Bahasa ini, sebatas pengetahuan saya, tidak

pernah digunakan untuk menerjemahkan karya sastra sebab lazimnya hanya digunakan

secara terbatas di lingkungan para matematikawan, ilmuwan komputer, dan filsuf Analitik.

Kalkulus predikat adalah bahasa dasar dari semua varian bahasa pemrograman komputer

—serumpun bahasa yang dapat dipahami oleh entitas yang paling tak berbudaya

sekalipun, misalnya robot. Saya akan coba terjemahkan puisi di muka ke dalam bahasa ini.

 

Terjemahan dalam Kalkulus Predikat

Page 85: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

 

Penomoran pada sisi kanan, (1), (2), dst., bersesuaian dengan penomoran pada baris puisi

aslinya. Deretan kode di muka, kendati terasa asing, sejatinya dapat diucapkan dalam

bahasa Indonesia biasa. Berikut ini, saya akan mengucapkannya secara literal.

 

Pengucapan Terjemahan Versi Kalkulus Predikat

Page 86: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Inilah pengucapan literal dari deretan kode sebelumnya. Tentu, ada perubahan susunan

dalam terjemahan ini. Namun, hal ini lebih disebabkan karena kekurangahlian saya dalam

berbahasa kalkulus predikat. Artinya, bukan berarti bahwa kalkulus predikat itu sendiri tidak

mampu menerjemahkan karya sastra secara akurat. Terjemahan kalkulus predikat yang

akurat atas karya sastra, secara prinsipil, mungkin. Oleh karena itu, demi tujuan pernyataan

persoalan yang saya maksud, kita dapat mengandaikan bahwa terjemahan kalkulus

predikat yang akurat itu dimungkinkan. Tentu persoalan kemudian adalah bahwa kita tidak

akan mengetahui maknanya apabila kita tidak mengerti arti simbol-simbol yang digunakan

di dalamnya. Untuk itu, berikut saya hadirkan kamus kecil bahasa kalkulus predikat.

Page 87: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

 

Setelah mengetahui arti dari setiap simbol yang digunakan, kita dapat menangkap makna

dari terjemahan logis atas puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”. Silakan

mencoba membaca ulang terjemahan kalkulus predikat yang saya berikan berdasarkan

kamus kecil yang disertakan itu. Nah, sesudahnya kita baru bisa masuk ke dalam sekelumit

persoalan yang saya resahkan di muka.

 

Empat Persoalan

1. Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra?

2. Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra yang sama?

3. Apakah terjemahan logis di muka memiliki nilai estetis yang sama dengan karya aslinya?

Page 88: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

4. Mungkinkah kita menciptakan karya sastra melalui kalkulus predikat?

Keempat persoalan ini sesungguhnya bermuara pada satu pertanyaan pokok yang implisit

dalam keempatnya, yakni: Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan ‘karya sastra’?

Inilah pertanyaan yang membuat saya penasaran setiap kali membaca karya sastra.

Namun, mengapa keempat pertanyaan itu seolah-olah sulit dijawab? Berikut saya akan

menunjukkan empat pasang kemungkinan jawaban (karena pertanyaannya dirumuskan

dalam format ya/tidak). Ingat, bahwa kita mengasumsikan terjemahan kalkulus predikat kita

akurat.

 

Delapan Kemungkinan Jawaban

1. Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra?

1. Kalau tidak, berarti sastra itu murni soal bentuk. Implikasinya, begitu kita mengubah

atau menghilangkan satu iota pun  dari sebuah karya sastra (satu kata, satu tanda

baca, dst.), karya sastra tersebut akan lenyap seketika itu juga. Namun, kalau

memang sastra itu tak lain adalah soal bentuk dan bentuk semata, lalu bagaimana

terjemahan karya sastra dimungkinkan? Tidakkah menerjemahkan Shakespeare ke

dalam bahasa India atau Indonesia sama dengan menghancurkannya kalau begini?

Konsekuensi lanjutannya, karya sastra tidak dapat dikomunikasikan ke orang di luar

pengarangnya sendiri, sebab komunikasi mengandaikan penerjemahan ke dalam

kesadaran dan pengalaman yang berbeda, yang mau tak mau akan sedikit

mengubah bentuknya. Karya sastra sepenuhnya berstatus privat.

2. Kalau ya, berarti sastra itu soal substansi atau isi yang mau dinyatakan oleh karya.

Implikasinya, karya sastra dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun juga

(termasuk kalkulus predikat) dan dapat dikomunikasikan dengan orang di luar

pengarang. Karya sastra bersifat publik.

3. Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra yang sama?

1. Kalau tidak, berarti terjemahan kalkulus predikat niscaya memelintir makna

karya sastra sehingga hasil terjemahannya sama sekali tidak berkaitan

dengan teks aslinya, melainkan memproduksi karya sastra baru. Namun,

muncul persoalan: lalu apa bedanya terjemahan ini dengan terjemahan ke

dalam bahasa asing lainnya? Dengan mengasumsikan bahwa terjemahan

kalkulus predikat kita akurat, lantas bagaimana menjelaskan perbedaan

terjemahan kita yang akurat itu dengan hasil terjemahan seorang profesor

sastra Spanyol, misalnya, yang menerjemahkan karya yang sama? Tidakkah

jawaban negatif kita ini lebih disebabkan karena bias prasangka kita saja

terhadap bahasa logika?

Page 89: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

2. Kalau ya, berarti terjemahan kalkulus predikat dapat setia mereproduksi

makna karya sastra. Artinya, tidak ada perbedaan esensial antara proses

terjemahan dari puisi berbahasa Indonesia ke bahasa kalkulus predikat dan

terjemahan ke dalam bahasa Spanyol atau Inggris.

3. Apakah terjemahan logis di muka memiliki nilai estetis yang sama dengan

karya sastra aslinya?

1. Kalau pertanyaan no. 2 dijawab tidak, maka pertanyaan no. 3 ini

harusnya juga dijawab tidak. Sebab bagaimana mungkin karya sastra

yang berbeda memiliki nilai estetis yang sama?

2. Kalau pertanyaan no. 2 dijawab ya, maka pertanyaan no. 3 ini

harusnya juga dijawab ya. Sebab bagaimana mungkin, karya sastra

yang sama memiliki nilai estetis yang berbeda?

3. Mungkinkah kita menciptakan karya sastra melalui kalkulus predikat?

1. Kalau tidak, berarti kita kembali ke jawaban 1.a., yakni bahwa

sastra melulu soal bentuk dan bahwa bahasa kalkulus

predikat tidak mungkin menciptakan bentuk sastrawi, dan

karenanya tidak mungkin menciptakan karya sastra. Namun,

seperti sudah kita lihat, jawaban 1.a. ini sangat problematis

sebab dengan begitu terjemahan apapun jadi tak mungkin

dan karya sastra sepenuhnya bersifat privat. Jadi, semua

orang yang berdiskusi tentang sastra atau menuliskan kritik

sastra sebenarnya berbicara tentang hal lain yang hanya

diketahui oleh masing-masing. Karena jawaban 1.a.

problematis, maka jawaban 4.a. juga sama problematisnya.

2. Kalau ya, berarti kita kembali ke jawaban 1.b., yakni bahwa

sastra berurusan dengan substansi dan bahwa bahasa

kalkulus predikat dapat digunakan untuk menciptakan

substansi sejenis, dan karenanya, dapat menciptakan karya

sastra yang baru. Jawaban 4.b. ini juga didukung, atau

setidaknya tidak ditolak mentah-mentah, oleh jawaban 2.a.,

2.b., 3.a., dan 3.b.

Artinya, hanya ada dua kemungkinan jawaban yang paling bertentangan: memilih jalur 1.a.-

4.a. dan tidak bisa menjawab pertanyaan 2 dan 3 sama sekali, atau memilih jalur 1.b.-4.b.

dan bisa menjawab pertanyaan 2 dan 3 dengan jawaban afirmatif maupun negatif. Pilihan

yang masuk akal adalah rute kedua, yakni 1.b.-4.b. Saya rasa inilah pilihan yang wajar

diambil oleh sebagian besar sastrawan dan penikmat sastra. Sebabnya, dengan pilihan ini,

Page 90: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

sastra jadi mungkin dibicarakan secara sosial, tidak tinggal diam dalam lubuk hati

pengarang masing-masing, dan karenanya disiplin kritik sastra itu sendiri dimungkinkan.

Permasalahannya, jawaban yang masuk akal terhadap keempat pertanyaan tersebut—rute

1.b.-4.b.—mendesak kita ke arah yang kurang nyaman. Sebab apa? Sebab dengan

jawaban-jawaban itu kita didorong untuk berkesimpulan bahwa kesusastraan adalah

cabang dari logika (dari matematika, ilmu komputer, dan filsafat Analitik). Artinya, pada

dasarnya, kesusastraan adalah bentuk aplikasi tertentu dari teknologi. Dengan

menggunakan bahasa logika yang mendasari segala bentuk aplikasi mekanika komputer

dan sains pada umumnya, kita dapat menciptakan sastra. Karya sastra apapun dapat

dihasilkan dengan cara diturunkan dari kalkulus predikat, sama seperti kita menurunkan

hukum gravitasi Newton untuk menjelaskan pergerakan benda jatuh di bumi. Dan

kesimpulan ini bukannya tak mungkin diperluas lagi: kesenian itu sendiri adalah bagian dari

sains. Implikasi dari semua ini adalah bahwa kesenian dapat direduksi pada logika,

khususnya kalkulus predikat tatanan pertama—bahasa universal dari entitas-entitas yang

paling tak berbudaya, robot dan mainboard komputer. Inilah yang meresahkan kepercayaan

sehari-hari saya—dan orang-orang pada umumnya juga saya kira—yang menganggap

bahwa sastra berseberangan dengan kalkulasi logis yang dingin.

Apakah di antara para pembaca budiman ada yang bisa memberikan solusi yang lebih

memuaskan terhadap keempat pertanyaan di muka? Saya akan dengan senang hati

mendengarkannya.

 

Saduran Puisi-Puisi Marx5 February 2013

 Yovantra Arief

 LKIP

Page 91: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg
Page 92: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Ada beberapa hal yang bisa dikritik dari Marx. Tentu, Franz-Magnis Suseno pun mengakui,

Marx hanya manusia biasa, bukan Tuhan, dan—kita hanya perlu merujuk pada kapasitas

Fraz-Magnis sebagai seorang pastor dalam hal ini—ia punya banyak salah dan dosa.

Bangunan teoretisnya pun—lagi, seturut mazhab Jesuit—bertanggung jawab atas

melayangnya jutaan nyawa manusia (sebagai orang beriman, Franz-Magnis melihat

kematian sebagai takdir,dus “tanggung jawab” Tuhan), kemelaratan (lagi, ini semata-mata

takdir), serta kekejaman (please, Tuhan memusnahkan Sodom dan

Gomorrah hanya karena mereka gay!) di seantero dunia. Dengan demikian, Marx salah

bukan hanya karena ia ingin membangun “kerajaan Allah” di muka bumi—suatu pekerjaan

yang mustahil dan bahkan, jika kita hidup di abad pertengahan, menghina Tuhan—

melainkan juga karena ia telah menghabiskan hidupnya untuk mengajarkan paham

ekonomi-politik yang tidak manusiawi—dan kita tahu, dengan segala ke-maha-annya,

Tuhanlah yang paling tidak manusiawi.

Namun, barangkali, salah satu kelemahan Marx di mata sebagian besar aktivis Kiri adalah

ini: Marx adalah penyair yang paling tidak Marxis.

Puisi-puisi dan naskah drama Marx yang bisa kita temui saat ini tidak dihiasi dengan kata

“perlawanan”, “revolusi”, “komunisme”, ataupun “penghisapan kapitalisme”. Barangkali

rumusan puitis Marx yang paling revolusioner adalah ungkapan “ada hantu bergentayangan

di Eropa, hantu komunisme”; itu pun penggalan dari traktat filosofisnya, bukan sastra per

se. Tentu kita menjelaskan hal ini dengan menunjuk bahwa puisi/drama/novel Marx

dikarang pada tahun-tahun awal kariernya—ia masih berumur 19 tahun ketika itu—dan

dalam periode ini—dikenal sebagai periode “Marx muda”—banyak komentator

menganggap Marx masih “bau kencur”, masih humanis-romantik, masihapolitis.

Diksi-diksi liris dalam puisi-puisi Marx berasal dari mitos dan cerita rakyat—suatu langkah

yang banyak diambil penyair romantik—dan kadang terkesan melankolis, penuh dengan

metafor-metafor genit: “cahaya” yang kerap disandingkan dengan “Jiwa”, “api”, “samudera”,

“bulan”, dan seterusnya. Beberapa—kalau tidak mau bilang “banyak”—puisi Marx

bahkan picisan, yang terbaik di antaranya tertuju pada satu nama: Jenny. Beberapa dari

Anda mungkin akan tertawa—setidaknya, saya tertawa—ketika membaca salah satu larik

yang ditulis dengan huruf kapital yang dibaca: “CINTA ADALAH JENNY ADALAH NAMA

CINTA”. Ya, mungkin Marx, selain seorang pemikir revolusioner, juga seorang pecinta yang

Page 93: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

berhati lembut dan romantis. Setidaknya, ia tidak menulis larik-larik, “aku cinta

padamu/cinta ini abadi/satu untuk selamanya”.

Romantika ini mengalun dengan manis dalam “Tiga Titik Cahaya”. Kita bisa membaca tiga

titik cahaya yang ditulis Marx sebagai perlambangan tiga konfigurasi berpikir yang

berbeda: pertama religiusitas Kristiani, keduakemenangan borjuasi, dan ketiga api

proletariat. Dalam pertikaian kelas-kelas historis yang nampaknya tak pernah padam

tersebut, kita bisa membayangkan sepasang kekasih berdekapan mesra, tangan saling

terpaut dan bibir terpagut, seolah-olah dalam pijar asmara, “[d]ua jiwa menyatu bersanding

tenteram”, sekalipun “angin dan badai mengembus hantam”.

So sweet!

Yang menarik dari puisi-puisi ini adalah Marx kerap mengambil ungkapan-ungkapan

romantik/abad pertengahan kemudian membalik konfigurasinya sebagai sebuah kritik

(mungkin kita ingat buku Proudhon Filsafat Kemiskinanyang dibalik oleh Marx

menjadi Kemiskinan Filsafat). Metode penyajian argumentasi Marx dalam beberapa bagian

tulisan-tulisan filosofis/ekopolnya yang renyah itu adalah tempaan pada masa-masa

kepenyairan ini (tentu, ada juga bagian-bagian tulisannya yang lain yang sedemikian rumit

dan sulit untuk dimengerti). Dalam “Untuk Jenny”, misalnya, kata “jiwa” yang dalam syair

romantik serta abad pertengahan digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang suci, baik,

ilahiah, dipakai oleh Marx sebagai sesuatu yang “akan meruntuhkanmu, akan

merendahkanmu/[a]kan menabuhkan tarian purba/[d]unia mekar lalu bersemi dan mati”.

Pembalikan ini menunjuk posisi antagonisnya dengan “Dewa-Dewa bumi

pencemburu/mengintai api manusia dengan mesra” yang membuat “selamanya manusia

melarat/[m]enemani cahaya hatinya dalam sunyi”.

Namun demikian, bukan berarti Marx muda adalah sama dengan Marx dewasa. Memang,

beberapa ide-ide filosofisnya sudah bisa diendus dalam puisi-puisi awalnya, tapi ide-ide itu

masih mentah dan perlu diolah. Lebih lanjut lagi, puisi-puisinya yang lain justru sangat

romantik: dalam “Lelaki Tua dan Samudera” ia menggambarkan lelaki tua yang tinggal di

dasar samudera; ombak menahannya di sana—suatu kuasa adidaya yang tak bisa ia lawan

—dan pada akhirnya ia menerima—ia harus menerima—serta menikmati keterasingannya.

Marx menggambarkan betapapun lihainya sang lelaki bersembunyi, ombak itu akan

menemukannya juga, lalu “[m]enggerus belulang kecilnya yang rapuh/…/[m]engoyak

tubuhnya bagai anak panah”. Keterasingan manusia, dalam puisi ini, serupa takdir, suatu

Page 94: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

kodrat ilahiah yang sudah selalu ada di sana, menunggu manusia-manusia untuk terlempar

di dalamnya, dan sepandai apapun manusia untuk menghindar, kedatangannya adalah

sepasti kematian yang dingin dan manjur. Dalam puisi ini, kita justru melihat melankolia

yang berusaha didemistifikasi oleh Marx secara habis-habisan. Beberapa dari kita mungkin

akan berpikir, apabila Marx adalah seorang Marxis yang baik, ia akan menunjukkan bahwa

keterasingan itu adalah sesuatu yang hakikatnya sosial dan manusia bisa menemukan

pembebasan dari kungkungan itu secara sosial pula: masyarakat yang disusun

berdasarkan kelas hanya akan menemukan pembebasan melalui gerakan revolusioner

untuk menghancurkan tatanan alienasi itu. Sebagai pengantar, tulisan ini tidak akan masuk

lebih dalam pada masalah-masalah rumit itu.

Demikianlah pengantar ini ditulis. Semoga berkenan.

Page 95: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Lelaki Tua dan Samudera[i]

Sebuah Balada

Air menderu serupa hantu,

Bulir ombak berpendar laju,

Tak ada perih rasa lebam,

Page 96: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Ketika ia pecah dan karam,

Hati kelu, akal beku,

Deru, deru sepanjang waktu.

Di balik ombak, di perut samudera

Duduk lelaki tua, pucat dengan usia.

Menari ia ketika bulan tiba,

Lintang mengguyah kabut sia-sia.

Serupa hantu ia hinggap dan melesat,

Mereguk sungai laut sampai kesat.

Ombak, tiap bulirnya adalah pembunuh,

Menggerus belulang kecilnya yang rapuh,

Riak air berderai resah,

Mengoyak tubuhnya bagai anak panah;

Lelaki kecil meringis perih dan pasi,

Tari bulan dicuri mentari.

Lalu air menderu serupa hantu,

Bulir ombak berpendar laju,

Tak ada perih rasa lebam,

Ketika  ia jatuh dan karam,

Hati kelu, akal beku,

Deru, deru, sepanjang waktu.

 

Tiga Titik Cahaya[ii]

Tiga titik cahaya berpijar sunyi,

Binarnya kerling mata jeli,

Biar angin dan badai mengembus hantam,

Tiga titik cahaya tak pernah padam.

Satu cahaya meronta tinggi,

Bergetar ia di garis lazuardi,

Kerlip mata teduh dan wibawa,

Mungkin nampak padanya Bapa-Segala.

Page 97: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

Yang lain menatap rongga-rongga bumi,

Dan mendengar pekik kemenangan sejati,

Mendongak ia pada saudarinya di angkasa,

Nubuat sunyi diam-diam bertahta.

Yang terakhir berkobar dengan api emas,

Baranya menyengat, segala genggam lepas,

Hatinya berpusar hebat dan—lihat!—

Ia berbunga jadi pepohonan lebat.

Lalu tiga titik cahaya berpijar sunyi,

Binarnya kerling mata jeli,

Biar angin dan badai menghembus hantam,

Dua jiwa menyatu bersanding tenteram.

 

 Untuk Jenny[iii]

Kata-kata—dusta, bayang hampa, tak lebih,

Sesakkan hidup dari tiap sudut!

Padamu, letih dan mati, haruskah kutuangkan

Jiwa yang padaku bergelora?

Namun Dewa-Dewa bumi pencemburu

Mengintai api manusia dengan mesra;

Dan selamanya manusia melarat

Menemani cahaya hatinya dalam sunyi.

Karena, gelora yang menyentak nyalang

Dalam helaian Jiwa cemerlang

Akan mendekap duniamu,

Akan meruntuhkanmu, akan merendahkanmu,

Akan menabuhkan tarian purba,

Dunia mekar lalu bersemi dan mati.

Yovantra Arief, Anggota Redaksi Jurnal ProblemFilsafat dan Mahasiswa STF

Driyarkara Jakarta. 

Catatan Akhir:

Page 98: Penjara dan Sejarah.gfgdocfg

[i]  Ditulis sebelum 12 April 1837. Terdapat dalam A Book of Verse, Marx Engels Collected

Works Vol. I, diterj. ke dalam bahasa Inggris oleh Clemens Dutt, 1975, International

Publishers, hlm. 683—685. Diakses dari marxist.orgpada 30 Januari—03 Februari 2013.

[ii] Ibid.

[iii] Ditulis pada November 1836. Terdapat dalam A Book of Songs, Marx Engels Collected

Works Vol. I, diterj. ke dalam bahasa Inggris oleh Clemens Dutt, 1975, International

Publishers, hlm. 683—685. Diakses dari marxist.orgpada 30 Januari—03 Februari 2013.