Upload
nuranizha
View
107
Download
2
Embed Size (px)
Bab 30. Penyakit Hirschprung
Risto J. Rintala dan Mikko Pakarinen
Rumah Sakit Anak, Universitas Helsinki, Finlandia.
Pendahuluan dan Aspek Sejarah
Penyakit Hirschprung (HD) ditandai dengan tidak adanya sel ganglion pada pleksus
saraf bagian distal usus besar. Kelainan sel ganglion menghasilkan obstruksi fungsional dan
mengarah pada dilatasi proksimal usus dari daerah aganglionik. Kuota insiden terbanyak HD
adalah 1:5000. Gambaran klasik HD dipaparkan pertama kali secara detail oleh seorang
dokter anak, Harold Hirschprung pada tahun 1886. Ketidakadaan sel ganglion pada daerah
distal usus besar dilaporkan pertama kali oleh Tittel, tetapi pendapat penting tentang temuan
ini sebagai keadaan patologi primer tidak ditanggapi dengan baik sampai pada akhir 1940-an.
Pada tahun 1948 operasi yang berhasil dilakukan pertama kali untuk HD dikerjakan oleh
Swenson dan Bill. Teknik ini adalah rektosigmoidektomi dan kemudian dikenal dengan
sebutan operasi Swenson.
Obstruksi fungsional disebabkan oleh kekurangan sel ganglion enterik pada distal
usus menghasilkan keadaan konstipasi berat dan kegagalan bertumbuh yang dapat
berkembang menjadi fatal karena enterokolitis. Mekanisme pasti embriologi dari
perkembangan HD masih kontroversial tapi teori yang paling disukai saat ini adalah
gangguan migrasi neuronal. Beberapa gen (RET, GDNF, EDN3, ETRB) telah menunjukan
penyebab HD pada manusia dan binatang. Namun kelainan satu gen hanya menyebabkan
kasus minoritas HD; pada keadaan mayoritas disebabkan oleh HD yang mungkin multifaktor
dan multigenik.
HD dalam bentuk klasik adalah tertahannya daerah rektosigmoid. Perbandingan HD
klasik 75-80% dari semua pasien. Segmen panjang HD dan total koloni HD (dimana panjang
ileum juga terkena) dapat terjadi pada 10-15% pasien. Perpanjangan aganglionik yang lebih
proksimal dari daerah tersebut sangat jarang.
Beratnya gambaran klinis dari HD bervariasi dan tidak berhubungan dengan
panjangnya segmen aganglionik. Hampir semua pasien menunjukan gejala setelah kelahiran
tapi ada beberapa juga yang menunjukan peningkatan gejala setelah balita atau masa kanak-
kanak. Variasi gejala kilinik dari HD saat ini masih kurang dimengerti.
1
Teknik Operasi
Terdapat empat macam prosedur operasi yang sering digunakan untuk perbaikan HD.
Setiap prosedur memiliki gambaran unik pada pola diseksi intrapelvik yang dibutuhkan dan
pembuatan panjang saluran anal. Setiap teknik dapat digunakan sebagai operasi primer atau
pembedahan dalam beberapa tahap dan setiap teknik juga dapat dibantu dengan
menggunakan laparaskopi dalam memperbaiki HD.
Rektosigmoidektomi dari Swenson
Operasi Swenson adalah operasi konsisten yang berhasil diterapkan pertama kali
dalam pengobatan HD. Konsep awal eliminasi penyumbatan fungsional dengan menarik usus
ganglionik kebawah mendekati anus merupakan dasar dari semua modifikasi teknik
pembedahan dalam penanganan HD. Kolon sigmiod dan rektum dipindahkan dan direseksi
secara transabdominal kebawah saluran anal. Saluran anal dipasang mendatar sementara dan
beranastomosis antara tarikan melalui kolon ganglion dan saluran anal dibuat diluar anus.
Tingginya anastomosis adalah 1-2 cm diatas garis lekukan.
Retrorektal Duhamel Pull Through
Prosedur Duhamel digambarkan oleh Bernard Duhamel pada tahun 1956. Operasi
tersebut kemudian dimodifikasi oleh Grob dan Martin. Operasi Duhamel membutuhkan
sedikit lebih banyak diseksi pelvis daripada prosedur Swenson. Diseksi tersebut adalah
diseksi retrorektal dan penyediaan persarafan ekstrinsik dari organ pelvis. Usus ganglionik
ditarik kebawah sampai ke saluran anal dibelakang rektum aganglionik dan beranastomosis
dari satu sisi ke sisi lain usus aganglionik. Tingkat terbawah dari anastomosis kira-kira 1 cm
diatas garis lekukan.
Endorektal Soave Pull Through
Operasi Soave Endorektal pull through pertama kali digambarkan pada tahun 1964.
Prosedur tersebut dimodifikasi oleh Boley dan Denda. Prinsip prosedur Soave adalah
melindungi persarafan pelvis dan organ dengan melakukan diseksi rektal pada lapisan
mukosal antara dinsing usus. Diseksi mukosal diperpanjang kebawah sampai keanus. Usus
ganglionik dilewatkan melalui otot rektal dan beranastomosis dengan mukosa saluran anal
kira-kira 1 cm diatas garis lekukan. Pada prosedur awal Soave kira-kira 5-10 cm panjang usus
disisakan tergantung diluar anus dan anastomosisnya dilakukan sebagai kelengkapan
sekunder dari usus. Modifikasi berikutnya menegaskan anastomosis primer dengan atau tanpa
penjepitan otot aganglionik. Saat ini, operasi Soave telah dimodifikasi dengan pengambilan
keseluruhan diseksi endorektal secara transanal, meninggalkan lapisan otot pendek atau
2
panjang. Perkembangan lainnya termasuk didalamnya endorektal transanal pull through
dengan bantuan laparaskopi endorektal pull through transanal secara total.
Reseksi Rehbein Anterior.
Reseksi Rehbein Anterior untuk HD pertama kali digambarkan oleh Fritz Rehbein
pada tahun 1959. Operasi tersebut membandingkan reseksi anterior rektosigmod bawah dan
anastomosis end to end antara rektum yang tersisa dan usus ganglion proksimal kira-kira 5-7
cm diatas garis lekukan. Tidak ada diseksi pada pelvis bawah yang meninggalkan persarafan
ekstrinsik tetap dalam keadaan utuh. Rektum aganglionik yang tertinggal berpotensi terjadi
penyumbatan dan pengulangan dilatasi anorektal jangka panjang pada banyak pasien yang
menjalani operasi Rehbein untuk HD.
Aturan dari Prosedur Primer Pull Through
Prosedur primer pull through tanpa eliminasi diversi awal atau diversi pelindung
selama perbaikan HD telah menjadi populer pada dekade ini. Pada banyak pusat kesehatan,
pull through primer lebih dipilih sebagai metode perbaikan. Keuntungan dari cara ini adalah
karena kestabilannya. Semua metode standar perbaikan dapat menggunakan pull through
primer.
Telah menjadi pendapat jelas yang sedang merebak saat ini bahwa penerapan metode
pull through primer adalah semakin cepat semakin baik. Hasil operasi pull through neonatal
telah ditunjukan untuk membandingkan perbaikan beberapa tahap atau pull through primer
berikutnya pada bayi dalam kaitannya dengan frekuensi komplikasi dan fungsi usus jangka
pendek atau menengah. Tingginya insiden enterokolititis setelah dilakukan pull through
primer neonatal telah dilaporkan tapi temuan ini tidak ditemukan pada beberapa rangkaian
penelitian lainnya. Potensi keuntungan dari prosedur primer adalah dengan frekuensi
komplikasi kolostomi dapat dihindari. Potensi bahaya dan tekanan dari anastesi multipel dan
operasi pada pasien dapat dikurangi dan lama perawatan di rumah sakit dan biayanya dapat
diturunkan. Hal ini juga telah disarankan bahwa perkembangan kritis sirkuit otak-persarafan
anus dengan koneksi sinaps kortikal dalam dioptimalkan jika perbaikan HD dilakukan segera
setelah kelahiran.
Kecenderungan perbaikan HD saat ini adalah dengan pembedahan primer mini
invasif. Tahap awal dari perkembangan ini adalah perbaikan dengan bantuan laparaskopi.
Pull through primer dengan laparaskopi memberi hasil kosmetik terbaik dan mengurangi rasa
sakit, lebih cepat pemulihan ke aktivitas normal dan dalam pemberian makanan dan lebih
pendek masa perawatan post operatif meskipun kesimpulan ini belum dilakukan percobaan
3
secara random. Semua standar operasi HD dapat dilakukan dengan prosedur bantuan
laparaskopi. Pada tahun 1998 de la Torre – Mondragon dan Ortega – Salgado
mempublikasikan tulisan perbaikan rektosigmoid klasik HD dengan nama transanal
endorektal pull through secara total. Terjadi peningkatan jumlah penggunaan teknik ini yang
dilaporkan pada tulisan ini. Pengalaman sebelumnya menyatakan bahwa dengan teknik ini
lebih kurang darah yang keluar dan sedikit rasa sakit, lebih cepat pemulihan dalam pemberian
makanan normal dan masa perawatan yang lebih pendek daripada pembedahan terbuka atau
bahkan mungkin dengan pembedahan dengan bantuan laparaskopi. Operasi transanal total
tidak meninggalkan bekas luka. Selain itu dalam perbaikan transanal endorektal, operasi
transanal dengan teknik Swenson juga telah dilaporkan.
Hasil Jangka Pendek
Kematian
Penyebab utama kematian pada pasien HD adalah enterokolitits pre dan postoperasi
dan yang berhubungan dengan malformasi dan penyakit yang terjadi khususnya pada pasien
dengan HD disertai sindrom lainnya. Pasien sindrom Down memiliki resiko peningkatan HD;
tipe kelainan jantung pada pasien-pasien ini adalah defek pada septum atrioventrikular yang
membutuhkan perbaikan dengan pembedahan terbuka jantung. Pasien sindrom Down juga
mengalami gangguan sistem pertahanan tubuh yang membuat mereka rentan terhadap
komplikasi infeksi setelah perbaikan HD dan lebih tinggi kemungkinan enterokolitis
dibandingkan dengan pasien sehat lainnya. Hipoplasia kartilago-hair adalah displasia tulang
kartilago yang berhubungan dengan HD; gangguan sistem imun adalah penyebab dari
tingginya kematian pada kelompok khusus pasien ini. Kebanyakan tapi tidak semua dari
rangkaian laporan pasien HD menunjukan enterokolitis dan hal ini berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang lebih sering terjadi pada pasien dengan aganglionik kolon
total (TCA). Kematian karena operasi dilaporkan pada rangkaian penelitian sebelumnya tapi
dengan pembaruan teknik perawatan, anastesi yang lebih baik dan antibiotik operasi telah
sangat jarang terjadi. Saat ini rangkaian laporan yang besar dari pasien dengan HD
menunjukan sangat rendahnya kematian pada pasien yang dalam kondisi sehat atau yang
menderita HD klasik.
Komplikasi
Kebanyakan rangkaian laporan pasien dengan HD menunjukan insiden yang
bermakna dari enterokolitis postoperasi. Telah disimpulkan bahwa enterokolitis postoperasi
lebih sering terjadi pada pasien yang mengalami serangan enterokolitis preoperasi, namun hal
4
ini tidak didukung dengan literatur. Komplikasi post operasi serius lainnya adalah kebocoran
anastomosis, striktur anastomosis dan sepsis pada pelvis. Angka insiden komplikasi yang
segera muncul tergantung pada bagaimana penanganan komplikasi minor seperti infeksi luka
atau postoperasi perianal ekskoriasi. Frekuensi enterokolitis preoperasi dan komplikasi segera
setelah operasi pada rangkaian laporan saat ini diringkas pada tabel 30.1.
Semua teknik pembedahan memiliki komplikasi yang hampir sama. Terlepasnya
anastomosis kecenderungan terjadi pada operasi Swenson. Enterokolitis dan diare setelah
operasi cenderung terjadi pada endorektal pull through klasik. Pasien yang menjalani operasi
Duhamel mengalami lebih banyak dari konstipasi dan berkembang rekurensi rektokolonik.
Pasien yang ditangani dengan reseksi anterior Rehbein sering membutuhkan dilatasi
anorektal dalam waktu jangka panjang untuk mengobati konstipasi yang berhubungan dengan
penyumbatan rektum aganglionik distal.
Tabel 30.1. Komplikasi Awal
Penulis
Utama
Tahun Teknik
Pembedahan
Pasien Periode
Penelitian
Luka
infeksi
(%)
Luka
dehisens
(%)
Perineal
ekskoriasi
(%)
Prolaps
Rektal
(%)
Anastomosi
Terputus
(%)
Revisi
Stoma
(%)
Enterokolitis
preoperatif
(%)
Sherman 1989 Swenson 800 1947-1985 7 2 9
Tariq 1991 ERPT 60 1978-1988 7 49 11 7
Rescorla 1992 Multipel 260 1972-1991 1 2 6
Marty 1995 Multipel 135 1971-1993 1 3 13
Reding 1997 Multipel 59 1972-1992 4 15
Baillie 1999 Duhamel 91 1980-1991 13
Yanchar 1999 Multipel 107 1974-1997 43 8 2 3 9
Shankar 2000 ERPT 136 1988-1998 7
Teitelbaum 2000 ERPT 181 1989-1999 4 1 42 1 8 15
Total/Mean 1909 4 <1 45 7 5 6 11
Komplikasi dipersenkan. ERPT = Endorektal pull through
Fungsi Usus
Fungsi awal usus setelah dilakukan prosedur pull through HD sangat tidak terprediksi.
Pada kebanyakan kasus, fungsi usus awal ditandai dengan sejumlah pergerakan usus. Hal ini
mewakili ketiadaan penampungan rektal. Jumlah pergerakan usus normal adalah 5-15 kali
perhari setelah fase awal post operasi endorektal pull through atau Swenson. Pasien yang
telah menjalani operasi Duhamel memiliki pergerakan usus yang lebih sedikit karena
5
anastomosis sisi ke sisinya antara usus ganglionik yang ditarik dan aganglionik yang muncul
kembali.
Masalah awal yang berhubungan dengan sejumlah pergerakan usus dan terjadi
khususnya setelah operasi satu tahap pada neonatal atau bayi adalah ekskoriasi perineal.
Ekskoriasi awal setelah operasi terjadi pada hampir semua bayi yang baru lahir dan bayi kecil
tapi biasanya disatu sisi dalam beberapa minggu jika tidak ada tahanan stenosis pada
anastomosis usus. Tanda khusus dari anastomosis awal stenosis membutuhkan dilatasi anal
adalah jaringan ikat yang terlepas dan ekskoriasi perineal yang tidak berespon terhadap
penanganan kulit standar.
Sejumlah pergerakan usus akan meningkat bertahap dalam waktu 6-12 bulan. Dua
sampai tiga tahun setelah prosedur pull through, pada 80 % pasien mengalami penurunan
lebih dari tiga atau empat pergerakan usus perhari. Sejumlah pergerakan usus persisten
dihubungkan dengan (i) insufisiensi sphincter yang biasanya disebabkan oleh kegagalan
teknik pembedahan atau komplikasi anastomosis, (ii) enterokolitis rekuren atau kronik atau
(iii) bakterial yang tumbuh melewati ambang batas pada kolon yang tertahan. Enterokolitis
rekuren atau kronik adalah tipe pada pasien HD disertai sindrom lain khususnya sindrom
Down.
Hasil Jangka Panjang
Dasar Konsep
Kontinensia fekal adalah fungsi fisiologi kompleks yang tergantung pada fungsi
sphincter, sensasi, refleks spinal dan kontrol dari pusat cerebral yang lebih tinggi. Faktor
kultural dan fisiologi juga memainkan peranan penting dalam pengaturan waktu independen
kontinensia fekal. Mekanisme kompleks kontinensia membuatnya mudah mengalami
disfungsi yang menyebabkan berbagai derajat inkontinensia.
Pada anak normal, perkembangan inkontinensia fekal adalah proses maturitas.
Kontrol indepeden fekal membutuhkan latihan pembuangan yang membutuhkan waktu antara
1 sampai 4 bahkan 5 tahun. Biasanya, tidak mungkin anak yang berumur lebih muda dari 3
atau 4 tahun memiliki kontrol fungsi usus yang baik. Jika seorang anak menjalani prosedur
pull through bagi HD, banyak bukti yang menyatakan banyaknya keterlibatan faktor fisiologi
pada inkontinensia fekal yang mengalami gangguan atau kerusakan. Semua operasi HD baik
itu pengangkatan atau dengan by-pass tahanan rektal memiliki dampak yang sangat
berpengaruh terhadap masukan jalur sensorik. Pada operasi Swenson dan Duhamel, bagian
proksimal dari sphincter internal mengalami kerusakan. Operasi dengan endorektal pull
6
through menciptakan dua dinding usus distal luar yang mempercepat kelaianan neorektum.
Mengingat masalah-masalah utama ini, maka bukan suatu hal yang mengejutkan lagi bahwa
anak dengan perbaikan HD akan menderita defek pada kontrol usus khususnya selama awal
masa kanak-kanak.
Penting untuk diperhatikan, saat menangani inkontinensia fekal pada pasien dengan
HD untuk memperhitungkan potensi dampak sosial dan prakteknya dari defek kontrol usus
dalam kehidupan pasien. Derajat rendah dari keluarnya kotoran atau hanya bercak kotoran
tanpa adanya inkontinensia fekal yang menyolok masih bisa ditoleransi pada anak masa awal
sekolah. Saat keadaan sosial dari anak merubah menjadi lebih banyak diluar rumah,
inkontinensia fekal akan menjadi sebuah masalah besar. Bagi anak yang lebih besar, hal yang
lebih penting adalah ketiadaan kotoran yang keluar. Budaya remaja dan hubungan sosial
selama remaja tidak menoleransi adanya berbagai macam kotoran yang keluar. Pengeluaran
kotoran pada usia ini biasanya akan menjurus pada diskriminasi sosial dan mungkin pasien
akan diisolasi oleh teman-temannya. Sangat sering, pasien-pasien ini membawa konsekuensi
sosial dari gangguan fekal ini sampai dia dewasa.
Konstipasi
Meskipun objek penanganan operasi HD adalah menangani penyumbatan fungsional
yang menyebabkan konstipasi yang menetap, konstipasi rekuren tidak selalu terjadi. Masalah
ini terjadi untuk setiap tipe prosedur HD tapi timbul lebih sering pada pasien dengan operasi
Duhamel dan Rehbein. Sama seperti definisi inkontinensia fekal, definisi dari komplikasi
juga masih sulit ditegakkan. Lebih lanjut, konstipasi merupakan hal yang sering terjadi di
dunia barat. Definisi rasional yang dapat diterima dari konstipasi adalah definisi dari Loening
– Baucke yaitu pergerakan usus dua atau kurang per minggu dan adanya gejala-gejala yang
berhubungan dengan konstipasi. Konstipasi yang bermakna atau rekuren adalah jika pasien
membutuhkan penanganan reguler dalam manipulasi pola makan. Ketidakmampuan tersebut
berhubungan dengan variasi konstipasi yang bermakna. Jika konstipasi postoperasi dapat
dikontrol dengan obat pencahar oral dan tidak berhubungan dengan inkontinensia fekal,
dampak psikososial dari gejala lebih banyak muncul dengan sendirinya. Di lain pihak, jika
pasien membutuhkan pencucian usus rutin atau appendikostomi untuk penanganan antegrade
enema, diperlukan pengontrolan gaya hidup yang bermakna. Namun, konstipasi adalah
masalah utama yang lebih mudah ditangani daripada inkontinensia fekal dan menyebabkan
lebih kurang masalah psikososial.
7
Tindak Lanjut Jangka Panjang
Tindak lanjut jangka panjang adalah masalah penting jika mempertimbangkana hasil
jangka panjang setelah dilakukan operasi pull through untuk HD. Perkembangan fungsi usus
yang hampir mencapai normal sesuai dengan kehidupan sosial normal yang membutuhkan
periode yang bermakna pada banyak kasus beberapa tahun untuk adaptasi. Pada pasien
dengan HD penanganan latihan pembuangan biasanya mungkin dilakukan pada umur 3-5
tahun. Meskipun penting untuk mengevaluasi hasil awal dan pertengahan setalah
pembedahan HD, namun hasilnya belum tentu mencerminkan hasil yang akan didapat pada
masa kanak-kanak. Ada beberapa alasan untuk ini. Penilaian fungsi usus sulit dilakukan pada
seorang anak kecil yang sama sekali tidak mengerti konsekuensi sosial dari fungsi
pencernaan yang tidak normal. Pada awal masa kanak-kanak, informasi fungsi pencernaan
dapat diperoleh dari orang tua yang mungkin tidak dapat memberi gambaran nyata tentang
perkembangan disfungsi pencernaan. Lebih lanjut, fungsi pencernaan pasien HD mengalami
perkembangan bermakna sesuai dengan umur. Hasil awal dan pertengahan hanya dapat
didapatkan pada kira-kira dari jumlah pasien HD yang membutuhkan penanganan khusus
terhadap pencernaan mereka pada masa kanak-kanak. Informasi ini penting bagi perawat dan
paramedis karena kedua kelompok ini membutuhkan gambaran nyata dari disfungsi
pencernaan yang bermakna selama masa kanak-kanak.
Tindak lanjut pasien HD harus tetap dilanjutkan pada masa remaja bahkan sampai
dewasa jika ingin menilai titik akhir dari penanganan keadaan tersebut. Remaja dan dewasa
dapat dinilai dampak fisik dan psikososial dari fungsi pencernaannya sebagai individu yang
menyadari keadaan mereka sendiri. Kualitas dan konsekuensi kehidupan sosial dari
kemungkinan adanya disfungsi pencernaan paling baik jika dievaluasi pada saat dewasa.
Metode Evaluasi Fungsi Pencernaan
Pada kepustakaan terdapat variasi yang besar pada hasil fungsional pencernaan
setelah diterapi. Tidak ada metode yang umum dipakai untuk menangani fungsi pencernaan
pasien dengan HD dan masalah utama dalam membandingkan hasil yang berbeda yang
merupakan variabel kriteria yang besar yang digunakan dalam mengevaluasi fungsi
pencernaan. Evaluasi fungsi pencernaan selama masa kanak-kanak dapat terjadi bias karena
informasi yang didapat berasal dari orang tua; mereka tidak mau melaporkan hasil yang tidak
menyenangkan pada ahli bedah yang bertanggung jawab dalam pengobatan anak mereka.
Orang tua juga biasanya tidak menghiraukan inkontinensia ringan atau sedang pada anak
yang fungsi pencernaannya mengalami kelainan dari lahir atau pada kasus anak yang lebih
8
muda, karena mereka menganggap kelainan terhadap pengontrolan pencernaan merupakan
bagian dari maturasi defekasi normal.
Ada beberapa cara untuk menangani masalah-masalah ini. Evaluasi harus dilakukan
oleh orang indepeden yang bukan merupakan anggota tim yang bertanggung jawab dalam
penanganan pasien anak tersebut. Kuestioner dengan pertanyaan yang mendetai menyangkut
fungsi pencernan dapat memberi lebih banyak informasi daripada berkunjung ke rumah sakit.
Jika menggunakan kuestioner, haruslah disesuaikan dengan kelompok kontrol anak yang
sehat yang sama umur dan jenis kelamin dengan pasien.
Kebanyakan penelitian jangka panjang dari pasien HD diambil dari institusi atau
laporan perorangan ahli bedah. Metode evaluasi hasil jangka panjang dibuat dalam laporan
bagan, kuestioner dan wawancara dari pasien secara pribadi atau lewat telepon. Kriteria
digunakan untuk menilai hasil fungsional yang bervariasi. Beberapa penulis telah merancang
sistem penilaian mereka sendiri, kadang-kadang ada beberapa juga yang menggunakan sistem
penilaian yang didesain khusus untuk menilai kontinensia fekal pada pasien dengan
malformasi anorektal. Pembagian sederhana pasien menjadi yang fungsi pencernaannya
normal dll, bersih, dan dengan beberapa veriasi derajat dari pembuangan atau konstipasi yang
sering digunakan. Penelitian tindak lanjut jangka panjang yang menilai hasil pasien HD pada
perbandingan sesuai dengan umur dengan kolompok kontrol masih sedikit.
Komplikasi Lanjut
Penyumbatan Intestinal
Penyumbatan intestinal tidak sering terjadi setelah perbaikan HD. Laporan pada
kepustakaan menunjukan variasi yang dapat dipertimbangkan pada peristiwa komplikasi dan
tidak selalu tercatat pembedahan dibutuhkan untuk membebaskan penyumbatan tersebut.
Angka kejadian penyumbatan intestinal setelah operasi yang membutuhkan penaganan rumah
sakit berkisar antara 4-21%. Rata-rata angka kejadian penyumbatan intestinal pada pasien HD
adalah 10%. Tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara jenis perbaikan yang ada.
Angka kejadian penyumbatan pencernaan setelah perbaikan HD menjadi lebih tinggi
daripada keseluruhan angka kejadian setelah laparatomi masa kanak-kanak. Pada rangkaian
kasus dari 1476 pasien bedah anak, keseluruhan kejadian penyumbatan pencernaan adalah
2,1%. Setelah laparatomi neonatal penumbatan pencernaan karena dampak perlengketan
berkisar antara 3,3 – 8,3% pasien.
9
Outlet Obstruksi
Segera setelah periode postoperasi, outlet obstruksi adalah salah satu komplikasi
terbanyak setelah perbaikan HD apapun metode pembedahan yang digunakan. Gejala outlet
obstruksi adalah konstipasi berulang, distensi abdomen, diare dan enterokolitis setelah
operasi. Outlet obstruksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih penyebab khusus yang
berhubungan dengan prosedur operasi. Setelah operasi Swenson, penyumbatan mekanik
biasanya disebabkan oleh stenosis anastomosis. Kejadian stenosis lanjut setelah operasi
Swenson bervariasi antara 7,6-13%. Setelah Duhamel pull through, outlet obstruksi dapat
disebabkan oleh pertumbuhan kembali yang cepat pada rektokoloni; angka kejadian dari
rektal simptomatik yang membutuhkan pembedahan bervariasi antara 9-35%. Penyebab lain
dari outlet obstruksi setelah operasi Duhamel adalah akalasia anorektal yang disebabkan
pergerakan yang sangat kurang pada sisi-sisi anastomosis antara sambungan rektal
agangglionik dengan kolon yang dipull through. Gambaran khusus dari pada pasien-pasien
ini adalah perkembangan fekaloma antara bagian kantung anterior rektal. Outlet obstruksi
organik setelah pull through endorektal disebabkan oleh stenosis anastomosis atau striktur,
stenosis dari pompa rektal aganglionik (gbr 30.1), retraksi kolon dan disfungsi pompa otot
aganglionik khususnya jika itu panjang. Insiden outlet obstruksi organik setelah endorektal
pull through berkisar antara 6-22%. Setelah operasi Rehbein, outlet obstruksi organik hampir
semua disebabkan oleh relatif panjangnya segmen usus aganglionikyang tertahan antara
anastomosis dan anus. Outlet obstruksi fungsional tanpa adanya penyebab mekanik yang
dapat diidentifikasikan (cth stenosis, sambungan rektal dll) dapat terjadi setelah pengobatan
dari HD dengan beberapa teknik. Patofisiologi dari outlet obstruksi fungsional masih samar-
samar. Meskipun umumnya diiringi dengan hipertonisitas sphincter internal dan kontraksi,
tidak terdapat perbedaan secara manometrik yang didapati antara pasien HD obstruksi dan
bukan obstruksi.
Diagnosis outlet obstruksi utamanya didasarkan pada gejala klinik dan temuan
lapangan. Penilaian dengan radiologi menggunakan barium enema yang menilai waktu
perjalanan. Barium enema khususnya menunjukan dilatasi rektosigmoid. Penilaian waktu
perjalanan berguna untuk menilai motilitas usus tapi tidak praktis dalam penerapannya.
Selain itu, tidak terdapat metode standar yang dimiliki dari data kontrol anak yang sehat.
Beberapa penelitian kontrol telah dilakukan tapi tidak menunjukan adanya korelasi antara
hasil fungsional dan pergerakan kolon keselruhan atau secara segmental. Sebuah pernyataan
sebelumnya, pengukuran panjang anorektal bukan merupakan metode yang baik untuk
diagnosis outlet obstruksi fungsional.
10
Outlet obstruksi ditandai dengan kelainan pada persarafan kolon yang dilakukan pull
through pada kasus dengan proporsi yang bermakna. Kelainan persarafan termasuk
didalamnya aganglionik didapat/tertahan (gbr 30.2), hipoganglionosis dan displasia neuronal
intestinal. Hipoganglionosis dan aganglionik adalah temuan paling sering jika daerah
perbatasan dianastomosiskan dengan saluran anal; daerah transisional pull through
dihubungkan dengan hasil yang buruk. Namun, belum ada kesepakatan umum tenttang
kelainan neuronal residual yang bermakna pada hasil fungsional HD. Belum adanya bukti
yang secara jelas menggambarkan pola dismotilitas secara langsung berhubungan dengan
displasi neuronal. Beberapa ahli bedah menyatakan bahwa biopsi terencana pada daerah
kolon sebelum dilakukan prosedur pull through adalah hal penting jika mengharapkan hasil
fungsional yang baik. Para ahli bedah ini menyarankan jika kolon ganglionik menunjukan
gambaran displasia neuronal maka segmen ini harus direseksi pada sepanjang kolon
aganglionik. Cara ini tidak dicobakan pada beberapa kelompo coba. Ada beberapa masalah
dalam mendiagnosis displasia neuronal. Kriteria utama untuk mengidentifikasikan displasia
neuronal adalah adanya hiperganglionosis, yaitu adanya sejumlah sel ganglion pada satu
ganglion dan ganglia raksasa pada pleksus submukosa. Namun, jumlah sel ganglion setiap
ganglion tergantung umur pasien; pasien yang lebih tua memiliki sel ganglion yang sedikit
pada ganglia. Hal ini membuat interprestasi biopsi menjadi sulit. Lebih lanjut, telah
ditemukan bahwa terdapat variasi antar peneliti dala diagnosis displasia neuronal dalam
kriteria yang dipublikasikan.
Keseluruhan kejadian outlet obstruksi bervariasi antara 6 – 42%. Kejadian ini
mengarah rendahnya laporan yang melibatkan rangkaian riwayat penyakit pasien. Hal ini
mungkin mewakili rendahnya pelaporan terhadap masalah ini. Insiden outlet obstruksi setelah
perbaikan HD berdasarkan sebagian besar laporan pada kepustakaan diringkas pada tabel
30.2. Tabel tersebut menunjukan keseluruhan terdapat sangat sedikit perbedaan pada outlet
obstruksi lanjut yang menjalani teknik pembedahan yang berbeda. Insiden outlet obstruksi
setelah reseksi anterior Rehbein tidak dimasukan dalam tabel. Hanya sedikit laporan terhadap
hasil lanjut dari operasi Rehbein. Pada rangkaian ini lebih dari 40% pasien mengarah pada
akalasia rektoanal yang berulang sehingga membutuhkan pengulangan dilatasi anal dibawah
pengaruh anestesi umum.
11
Penanganan outlet obstruksi
Pengobatan primer dari gejala lanjut outlet obstruksi pada pasien HD adalah
konservatif. Konstipasi sederhana berhubungan dengan outlet obstruksi dapat berespon
terhadap pelunak bantalan dan obat pencahar. Outlet obstruksi juga dihubungkan dengan
diare. Bantalan yang terlepas, diare dan kembung tanpa adanya gejala umum, mengarah pada
enterokolitis yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan biasanya
berespon pada antibiotik oral seperti metronidazole. Pembatasan diet sering membantu dalam
mengurangi jumlah pertumbuhan kuman. Diet dengan rendah tahanan dan penghindaran
terhadap laktosa dan bahan pemanis seperti sorbitol dan xilitol mengurangi pertumbuhan
kuman.
Suatu stenosis anastomosis atau striktur berespon terhadap dilatasi anal. Stenosis-
stenosis yang menetap dan striktur panjang membutuhkan pembedahan pull through kembali.
Pasien Duhamel dengan gejala pertumbuhan kembali dari ujung rektal umumnya
membutuhkan operasi pembagian yang biasanya dapat disesuaikan dengan penjepitan linear.
Namun, ujung tersebut dapat kembali muncul setelah penjepitan. Pasien dengan segmen
aganglionik tersisa atau didapat dapat berespon terhadap miektomianorektal, tapi pada kasus
dimana segmen panjang aganglionosis dibutuhkan pull through ulang.
Penanganan outlet obstruksi fungsional resisten masih menjadi masalah.
Penyumbatan fungsional tidak selalu berespon terhadap dilatasi kecuali pada pasien yang
menjalani operasi Rehbein. Banyak ahli bedah mengggunakan operasi Rehbein secara rutin
dengan dilatasi anal dibawah pengaruh anastesi setelah dilakukan pull through dan juga
kemudian pada pasien yang mengeluhkan konstipasi berulang. Banyak ahli bedah
menyarankan penanganan agresif khususnya jika pasien mengalami enterokolitis berulang.
Cara khas yang dipakai adalah miotomi atau miektomi anorektal. Namun untuk jangka
panjang hanya sekitar dua dari tiga pasien yang berhasil diobati dengan miotomi atau
miektomi. Hasil menunjukan keadaan lebih baik pada pasien dengan enterokolitis berulang
daripada pasien yang menunjukan konstipasi berat dengan atau tanpa segmen aganglionik
tersisa. Saat ini, penyuntikan toksin botulinum intrasphincter telah diusulkan untuk
penanganan outlet obstruksi pada pasien HD. Hassil percobaan awal cukup menjanjikan dan
menunjukan perkembangan yang cukup bermakna meskipun hanya bersifat sementara
dengan tanpa efek samping satu kelemahan dari pengobatan ini adalah membutuhkan
penyutinkan yang berulang-ulang. Keseluruhan insiden pengulangan prosedur lokal
berhubungan dengan masalah yag timbul dari outlet obstruksi diringkas pada tabel 30.2.
12
Operasi pengulangan pull through telah digunakan sebagai terapi darurat untuk pull
through primer yang gagal. Indikasi khusus untuk pengulangan yaitu aganglionosis yang
tersisa atau didapat yang tidak berespon terhadap pengobatan lokal dan striktur yang
menetap. Kebanyakan metode pull through yang sering digunakan adalah operasi Duhamel.
Meskipun insiden komplikasi postoperasi lebih tinggi dibanding dengan pembedahan primer,
hasil fungsional yang timbul menjadi lebih diminati pada dua dari tiga pasien. Protolektomi
restorasi dengan kantung J anastomosis telah dilaporkan efektif menjadi prosedur
penampungan pada pasien dengan disfungsi kolon yang berat setelah pembedahan untuk
penyakit segmen panjang kolon atau untuk yang kehilangan usus dengan panjang yang
bermakna sehingga bermasalah pada teknis atau pembuluh darah. Hasil fungsional yang
muncul dinilai baik setela dilakukan restorasi protokolektomi terhadap kolitis ulseratif.
Tabel 30.2. Outlet obstruksi dan pengoperasian kembali anastomosis lokal pada
hubungannya dengan prosedur pembedahan utama.
Operasi Penelitian Pasien Tindak Lanjut
(Tahun)
Outlet obstruksi
(%)a
Prosedur
Operasi ulang
Anastomosis
(%)b
Duhamel Mishalany 14 1-30 21
Moore 21 1-36 5
Fortuna 27 1-20 22 33
Yanchar 28 1-15 46 43
Minford 34 1-15 18 18
Total/Mean 124 23 29
ERPT Mishalany 33 1-30 24
Moore 75 1-36 21
Fortuna 55 1-20 22 20
Yanchar 40 1-15 33 35
Minford 37 1-15 19 19
Total/Mean 240 24 25
Swenson Mishalany 15 1-30 47
Moore 13 1-36 62
Yanchar 8 1-15 0 0
Total/Mean 36 31 24
ERPT = Endorektal pull tharough
13
a Termasuk stenosis anastomosis dan striktur, sambungan rektal dan akalasia post operasi
b Termasuk dilatasi, miotomi, miektomi dan pembagian sambungan rektal
Enterokolitis
Enterokolitis adalah komplikasi uni dari HD. Bersamaan dengan malformasi
kongenital, enterokolitis masih penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Penyebabnya
masih sedikit diketahui tapi gambaran klinik pengumpulan kolitis fulminan berhubungan
dengan penyakit inflamasi pencernaan. Beberapa bakteri berpengaruh pada patogenesis
enterokolitis tapi pada fase akut biasanya tidak merujuk pada organisme penyebab khusus.
Enterokolitis tidak didefinisikan khusus dan laporan insiden enterokolitis post operasi sangat
bervariasi. Enterokolitis adalah peradangan dari mukosa pencernaan, tapi beberapa ahli bedah
melakukan endoskopi rutin pada pasien yang memiliki gejala akut yang mengarah pada
kondisi ini. Gejala klinik ringan seperti kehilangan sementara bantalan usus atau episode
diare tanpa peningkatan gejala sistemik disebabkan oleh bakteri yang bertumbh melewati
batas; hal ini didukung dengan adanya respon yang baik terhadap penggunaan metronidazol
oral jangka pendek pada banyak kassus.
Pasien dengan defek respon imun seperti pada sindrom Down dan beberapa kelompok
sindromik HD lainnya khususnya dapat mengalami enterokolitis selanjutnya. Pada pasien
imunodefisiensi, enterokolitis menjadi masalah kronik. Kehilangan bantalan berkelanjutan
dan buang angin terus menerus dapat merusak hasil fungsional pada pasien-pasien ini yang
dikurangi gangguan kapasitas mental dengan penyesuaian fungsi pencernaan normal. Pasien
dengan TCA memiliki peningkatan resiko enterokolitis pasca operasi. Berdasarkan rangkaian
kelompok besar pasien dengan laporan insiden TCA enterokolitis postoperasi cukup tinggi
berkisar antara 54-70%.
Keseluruhan insiden enterokolitis postoperasi adalah sekitar 15%. Terdapat anggapan
jelas yang mengarah pada pengurangan serangan berdasarkan waktu. Dilain pihak, anggapan
tersebut yang dilakukan perbaikan HD selama periode neonatal dengan operasi satu tahap
dihubungkan dengan peningkatan resiko enterokolitis. Enterokolitis juga timbul lebih sering
pada pasien yang menjalani pull through endorektal atau operasi Swenson daripada pasien
yang menjalani operasi Duhamel. Alasan ini masih belum jelas, ketika outlet obstruksi masih
merupakan faktor pemicu utama patofisiologi penyebab enterokolitis tidak berkurang pada
pasien yang menjalani operasi Duhamel. Meskipun begitu pasien dengan operasi Duhamel
membutuhkan prosedur lokal anorekttal sekunder sesering Swenson dan pasien pull through
14
endorektal. Insiden enterokolitis dihubungkan dengan prosedur pembedahan primer
ditunjukan pada tabel 30.3.
Operasi Penelitian Pasien Tindak Lanjut
(Tahun)
Enterokolitis
(%)
Duhamel Mishalany 14 1-30 21
Fortuna 27 1-20 19
Yanchar 28 1-15 7
Minford 34 1-15 3
Total/Mean 103 13
ERPT Mishalany 33 1-30 33
Fortuna 55 1-20 27
Yanchar 40 1-15 8
Minford 37 1-15 35
Total/Mean 165 26
Swenson Mishalany 15 1-30 47
Yanchar 8 1-15 50
Total/Mean 23 49
ERPT = Endorektal pull tharough
Penanganan Enterokolitis
Pengobatan serangan enterokolitis berat yaitu dekompresi usus, antibiotik perenteral
dan istirahat usus. Untuk pasien dengan serangan enterokolitis berulang, banyak ahli bedah
anak mengusulkan pengulangan pembedahan anorektal; dilatasi anal dan miotomi sphincter
internal atau miektomi. Laporan umum menyatakan bahwa prosedur ini berhasil mencegah
episode lain enterokolitis. Saat ini tindak lanjut jangka panjang pasien yang menjalani
miotomi sphincter internal atau miektomi untuk konstipasi menetap atau enterokolitis
berulang menunjukan kesuksesan. Dua dari tiga pasien terbebas dari gejala. Namun,
kebijakan pengobatan enterokolitis episode berulang oleh prosedur anorektal lainnya tidak
didukung dengan penelitian kontrol. Lebih lanjut, miektomi sphincter dapat menyebabkan
inkontinensia fekal. Penulis senior telah menerapkan cara konservatif untuk enterokolitis
berulang selama lebih dari 20 tahun. Pasien dengan gejala yang menunjukan enterokolitis
umumnya diobati sebagai pasien rawat jalan dengan penggunaan metronidazole oral jangka
pendek. Hanya pasien dengan gejala sistemik yang dirawat di rumah sakit dan diobati
dengam parenteral antibiotik. Pada HD tanpa gejala, enterokolitis berulang tidak terjadi lagi 15
setelah usia dua atau tiga tahun. Antara tahun 1981 sampai 2003 hanya dua dari 168 pasien
HD kami yang menjalani miektomi sphincter internal untuk enterokolitis berulang. Prosedur
tersebut berhasil pada satu kasus namun gagal pada kasus lain yang membutuhkan restorasi
protokolektomi.
Pasien dengan enterokolitis berulang atau kronik dapat berhasil dengan terapi
imunosupresif. Sel mast yang bekerja lokal, sodium kromoglikat telah digunakan dan berhasil
mengobati enterokolitis kronik pada pasien HD. Pada kasus yang menetap membuthkan
kortikosteroid lokal atau sistemik untuk mengontrol gejala.
Fungsi Pencernaan Jangka Panjang
Konstipasi
Konstipasi berulang pada pasien dengan perbaikan HD merupakan masalah yang
membingungkan. Insiden konstipasi lanjut timbul berhubungan dengan tipe rekonstruksi. Hal
ini khususnya terjadi pada operasi Duhamel dan Rehbein. Pada pertengahan waktu, insiden
konstipasi yang membutuhkan pengobatan pada pasien dengan perbaikan Duhamel berkisar
antara 20-57%. Setelah operasi Rehbein, 40-50% pasien membutuhkan dilatasi sphincter
dibawah pengaruh anastesi umum selama periode segera setelah operasi dan 16-23% pasien
menderita konstipasi pada pertengahan waktu. Beberapa rangkaian penelitian melaporkan
tingginya insiden dari konstipasi setelah operasi Swenson tapi pada kebanyakan laporan
jumlah pasien yang menjalani operasi ini terlalu kecil untuk mengambil kesimpulan pasti. Di
lain pihak, Pada rangkaian penelitian multinasional yang besar dari Sherman dkk melaporkan
tidak ada sama sekali konstipasi lanjut. Dampak terakhir konstipasi jangka panjang adalah
pasien yang menjalani endorektal pull through. Konstipasi berulang telah dilaporkan pada 2-
15% dari pasien-pasien ini.
Kebanyakan menyetujui bahwa konstipasi pada kebanyakan pasien dengan HD
mengalami perbaikan atau sembuh sempurna seiring dengan waktu. Hasil laporan pada
remaja dan orang dewasa menunjukan insiden konstipasi yang rendah. Namun, laporan ini
mengindikasikan bahwa selama masa kanak-kanak terpata jumlah yang bermakna yang
menderita konstipasi. Alasan menghilangnya konstipasi ini masih belum jelas. Gambaran ini
sama dengan yang terjadi pada pasien yang menderita knstipasi fungsional; gejala-gejala
tersebut biasanya menghilang sebelum masa pubertas. Pendapat spekulatif, perkembangan
klinis yang konsisten pada pasien-pasien ini menyatakan bahwa kematangan fungsi
pencernaan merupakan bagian dari perubahan hormonal pada pubertas. Secara alternatif,
perkembangan tersebut dapat dipengaruhi oleh penguatan motivasi sosial saat pasien
16
mendekati kedewasaan. Namun, sulit untuk dimengerti bagaimana pematangan mental dan
sosial mempengaruhi konstipasi.
Penanganan konstipasi biasanya konservatif. Pelunak bantalan, pencuci perut dan
beberapa enema dapat digunakan mengontrol konstipasi berulang setelah perbaikan HD.
Pencucian usus melewati sebuah appendikodtomi kontinen (prosedur ACE) telah digunakan
untuk mengontrol konstipasi yang sulit diatasi pada kasus-kasus tertentu (lihat Bab 33).
Medikasi prokinetik telah disarankan untuk kasus dimana konstipasi dihubungkan dengan
displasi neuronal intestinal. Prosedur anorektal lokal seperti dilatasi anal, pembagian rektal
spur, dan miotomi sphincter atau miektomi telah digunakan untuk mengobati kasus yang
resisten terhadap penanganan medis. Jika striktur anastomosis atau pertumbuhan kembali
ujung anorektal adalah penyebab konstipasi maka hasil dari prosedur pengulangan akan
menjadi baik. Di lain pihak, pembedahan lokal lain untuk konstipasi dengan gejala yang tidak
diketahui tidak dianjurkan. Hal ini juga diterapkan pada kasus dimana konstipasi
dihubungkan dengan segmen aganglionik didapat atau tersisa. Operasi ulang pull through
mungkin pilihan alternatif terbaik pada pasien.
Jumlah Pergerakan Usus
Sejumlah pergerakan usus tergantung pada lepasnya bantalan dan diare kronik
khususnya pada awal periode postoperasi setelah perbaikan HD. Pada beberapa pasien
dengan pola pengerasan ini mengarah pada urgensi fekal dan masalah kulit perianal
khususnya jika anak tersebut masih menggunakan popok. Jumlah pergerakan usus khas
selama tahun-tahun pertama setelah pull through endorektal. Hal ini mungkin menyangkut
pada penurunan komplikasi neorektum yang dasarnya memiliki dua dinding otot, masing-
masing pada rektum yang lebih rendah dan kanalis anal.
Sejumlah pergerakan yang menetap hanya pada kelompok minoritas dan lebih dari
80% pasien hanya memiliki tiga atau bahkan lebih kurang pergerakan usus setiap 24 jam tiga
tahun kemudian. Sejumlah pergerakan usus yang menetap terjadi lebih sering pada pasien
dengan segen aganglionik panjang atau TCA. Enterokolitis kronis adalah penyebab gangguan
frekuensi pencernaan jangka panjang.
Penanganan frekuensi usus meneap ditujukan pada memperlambat kotilitas kolon.
Medikasi antipropulsif seperti loperamid biasanya berguna dan dapat ditoleransi bahkan
untuk penggunaan jangka panjang. Enterokolitis sebagai penyebab diare harus ditangani
terlebih dahulu jika loperamid digunakan karena perlambatan pergerakan kolon dapat
meningkatkan pertumbuhan bakterial dan keagresifan gejala enterokolitis. Penghidaran
17
terhadap karbhohidrat rantai pendek yang tidak dapat diserap, sorbitol dan xilitol yang
digunakan sebagai bahan pemanis juga berguna dalam pengontrolan konsistensi kotoran.
Keseluruhan fungsi pencernaan dan inkontinensia fekal
Terdapat pertentangan terhadap laporan mengenai hail pembedahanHD. Penelitian
yang lebih lama pada pasien yang menjalani perbaikan HD mengindikasikan bahwa sebagian
besar fungsi pencernaan menjadi hampir atau normalpada jangka panjang.
Rata-rata waktu tindak lanjut pada laporan ini berkisar antara 5 sampai 10 tahun dan
persentasenya pasien dengan fungsi pencernaan “baik’ atau “normal” bervariasi antara 65 –
100%. Secara luas memberi gambaran bahwa hasil jangka panjang pada umumnya yang
diharapkan telah menjadi sebaliknya pada beberapa laporan sekarang denan panjang waktu
tidak lanjut yang hampir sama. Belum ada penjelasana sederhana untuk menghitung
perbedaan yang diteliti. Data berdasarkan fungsi pencernan pasien pada beberapa penelitian
lama diambil dari laporan kasus yang ditulis secara retrospektif. Tercatat rumah sakit
memandang remeh masalah ganggua fungsi pencernaan. Telepon dan surat keterangan
kesehatan tanpa sebuah kuestioner yang terstruktur tidak dapat memberi gambaran nyata dari
masalah pasien. Banyak laporan lama melaporkan tingkatan hasil fungsional dimulai dari
baik, sedang atau buruk tanpa kriteria yang menyertai untuk digunakan dalam evaluasi. Saat
ini banyak laporan perbaikan yang telah menggunakan kuestioner terstruktur bersarkan
sistem skor untuk evaluasi hasil fungsional. Catatan perminggu diguakan untuk
memverifikasi data yang dikumpulkan dari kuestioner. Beberapa penelitian juga memasukan
subjek kontrol yang sehat yang telah mengisi kuestioner yang sama dengan yang diberikan
pada pasien. Berdasarkan laporan ini atau kelompok kontrol menunjukan hanya sekitar 27 -
50% pasien memiliki fungsi kontrol pencernaan yang normal selama masa kanak-kanak awal
dan masa sekolah (5-10 tahun) (Tabel 30.4). Temuan tersering pada semua penelitian yang
menggunakan sistem penskoran dan kontrol kelompok sehat menunjukan bahwa skor pasien
HD seara bermakna lebih rendah daripada kelompok kontrol (Tabel 30.5).
Hal ini merupakan laporan yang paling diterima bahwa pasien denganHD, fungsi
pencernaannya membaik bersamaan dengan umur. Hal ini hampir merupakan temuan yang
seragam pada penelitian jangka panjang. Hanya satu penelitian yang tidak melaporkan
adanya perkembangan jelas fungsi penernaan seiring dengan bertambahnya umur. Umur
kritis saat perkembangan terakhir adalah pada pubertas. Kebanyakan laporan penggambaran
hasil pada pasien dewasa atau remaja menunjukan sedikit pembatasan dengan penilaian
terhadap kebiasaan, kontak sosial atau aktivitas fisik. Bertolak belakang, penelitian kontrol
18
manometrik yang dilakukan pada pasien dewasa dan remaja menunjukan secara jelas
penampilan perbaikan dari sphincter anal. Kanalis anal saat istirahat dan tekanan maksimum
terhadapnya lebih rendah dari kelompok kontrol sehat. Tekanan istirahat yang rendah
menggambarkan disfungsi sphincter internal utama; hal ini tidak terprediksikan sesuai prinsip
tujuan pada pembedahan perbaikan HD adalah kemunculan penyumbatan fungsional yang
disebabkan oleh akalasia sphincter internal. Hal ini timbul sebagai komplikasi dari reseksi
atau bypass pada bagian proksimal sphincter internal. Hal yang dikhawatirkan adalah
masalah tersebut permanen. Keseluruhan kontinensia fekal dikeluarkan oleh sphincter
volunter yang masih tidak terganggu pada pembedahan HD dan mengkompensasikan tekanan
istirahat yang rendah yang disebabkan oleh disfungsi sphicter internal.
Inkontinensia fekal adalah psikososial yang paling banyak mengganggu pada tipe
pembedahan masa kanak-kanak. Pengeluaran fekal adalah ketidakcocokan dengan kehidupan
normal sosial dan efek permukaan pada perubahan keluarga. Pada masa kanak-kanak awal
saat pasien masih memakai popok, masalah masih kurang timbul tapi pasien membutuhkan
penanganan yang lebih daripada anak yang sehat. Hal yang harus diperhatikan termasuk
seringnya pergantian popok dan perawatan kulit untuk menghindari ekskoriasi. Pada anak
umur pre-sekolah, defek minor pada fekal kontinensia seperti kebiasaan pembuangan atau
bercak kotoran, jarang menimbulkan masalah. Di lain pihak, pada anak umur sekolah
meskipun pembuangan relatif sedikit namun dapat mengganggu sekali. Berdasarkan
pengalaman penulis, pembuangan kotoran dan bercak kotoran tidak menyebabkan masalah
sosial jika anak tidak membutuhkan penggantian celana dalam atau bantalan pelindung agar
tetap bersih selama di sekolah.
Terjadinya pembuangan fekal pada pasien yang menjalani perbaikan HD tidak
diharapkan. Kehilangan seluruh atau sebagian tahanan rektal adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari semua prosedur pull through HD. Fungsi sphincter internal terganggun
dengan reseksi parsial atau bypass. Penelitian lama melaporkan insiden yang relatif rendah
dari inkontinensia fekal selama masa kanak-kanak. Saat pembuangan fekal ditangani,
proporsi pasien dengan inkontinensia fekal menjadi 50% selama masa kanak-kanak.
Gambaran ini termasuk pasien dengan semua tingkatan inkontinensia, tidak hanya mereka
dengan inkontinensia karena trauma tulang belakang dan kecelakaan tapi juga dengan
kebiasaan pembuangan. Beratnya pembuangan kotoran masih dihubungkan dengan masalah
sosial selama masa kanak-kanak. Pada waktu lama, tidak terdapat terdapat perbedaan yang
bermakna pada insiden inkontinensia antara setiap teknik operasi utama yang dipakai.
Masalah dengan inkontinensia fekal timbul mencolok setelah masa pubertas. Gangguan sosial
19
dari pembuangan kotoran kurang lebih terjadi juga pada orang dewasa dan menimbulkan
dampak pada fungsi psikososial. Pada masalah psikologi dan sosial, pasien remaja dan
dewasa dengan HD sedikit lebih baik dibanding dengan mereka yang mengalami malformasi
anorektal.
Penanganan pembuangan kotoran pada pasien dengan HD biasanya konservatif.
Jumlah orang yang mengalami ini tidak selalu mencolok tergantung beratnya kerusakan
sistem volunter sphincter. Jika masalah ini dihubungkan dengan pelunakan atau pencairan
kotoran, diet dengan sedikit residu dan medikasi dengan antipropulsif dapat membantu.
Pembuangan yang banyak adalah ciri khas pada pasien dengan operasi Duhamel. Material
fekal dapat tertimbun di bagian anterior rektal khususnya pada keadaan tertahannya atau
penyeatuan ulang dari rektal spur. Pada beberapa kasus, rektal spur harus dibagi. Perawatan
dengan pembedahan dari outlet obstruksi dengan miektomi anorektal dan eliminasi striktur
dapat mengurangi keparahan dari pembuangan. Pengulangan pull through diindikasikan pada
kasus tertentu yang tidak berespon pada cara konservatif. Pembuangan fekal yang menetap
dapat disebabkan komplikasi dari pembedahan. Kerusakan fungsional sphincter dapat terjadi
setelah terlepasnya anastomosis atau retraksi dari usus yang dilakukan pull through dan
setelah dilakukan prosedur pembedahan lokal. Ketidakberfungsian rektal dapat disebabkan
oleh kebocoran anastomosis dan sepsis pelvis postoperasi. Jika fungsi anorektal sangat buruk,
pilihan terbaik untuk pasien adalah pengalihan permanen atau program penanganan
pencernaan, yang biasanya dipilih menggunakan pencucian antegrade melalui apendikostomi
kontinen atau tuba Monti-Yang. Setiap keadaan berat dari pasien HD termasuk dengan
pasien-pasien yang membutuhan pengalihan fekal permanen atau program pencucian.
Hasil fungsional janga panjang pada penelitian tanpa kelompok kontrol ditunjukan
pada tabel 30.4. Tabel 30.5 meringkas hasil perbandingan pada penelitian dimana kelompok
kontrol yang sesuai umurnya dimasukkan pada evaluasi fungsional jangka panjang.
Kelompok Khusus
Kolon Aganglionosis Total
Kolon aganglionosis total (TCA) terhitung 8 – 12% dari semua pasien dengan HD.
Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1,5:1 berbeda dengan perbandingan klasik HD
dimana 80% pasien adalah laki-laki. Pada TCA, aganglionosis biasanya memanjang sampai
ke ileum; pada 30-50% kasus aganglionosis memanjang lebih dari 30 cm keatas ileum.
Keseluruhan angka mortalitas pada TCA lebih tinggi daripada HD klasik. Selama dua dekade
terakhir melaporkan angka rata-rata kematian kematian pada TCA berkisar antara 6 – 40%.
20
Angka yang bertahan hidup masih berlanjut diperbaiki tapi penanganan dengan pembedahan
masih merupakan tantangan dan hasil jangka panjang pada pertumbuhan dan fungsi
pencernaan belum terdokumentasikan dengan baik. Banyak metode sederhana telah
dipergunakan untuk penanganan pembedahan TCA; beberapa memasukan anastomosis
longitudinal panjang antara usus aganglionik dan proksimal adalah ganglionik bagian yang di
pull through. Tingginya frekuensi komplikasi berhubungan dengan panjangnya usus
aganglionik ini yang berpotensi menguntungkan dalam peningkatan absorpsi cairan.
Kebanyakan ahli bedah sekarang mengggunakan metode standar untuk perbaiakan TCA.
Penulis senior menggunakan pull through endorektal dengan kantung J anastomosis ileoanal
selama 8 tahun terakhir pada pasien dengan TCA. Hasil fungsional jangka pendek dan
menengah disukai; sejumlah pergerakan usus adalah 2-5 per 24 jam, lima pasien tidak
terdapat gangguan pembuangan dan empat lainnya menderita gangguan pembuangan
utamanya malam hari. Hanya tiga pasien yang mengalami episode enterokolitis.
Hasil jangka panjang setalah operasi TCA adalah bersih bagian inferior setelah
operasi dengan klasik HD. Banyak pasien HD membutuhkan operasi multipel dan
perpanjangan waktu perawatan di rumah sakit termasuk nutrisi parenteral total sementara
karena komplikasi dari pembedahan dan metabolisme. Inkontinensia fekal selama masa
kanak-kanak sangat sering ditemukan pada pasien TCA dan kebanyakan membutuhkan
perhitungan diet khusus dan medikasi antipropulsif untuk mengurangi gangguan pembuangan
Pada waktu remaja, kira-kira satu dari tiga pasien tetap menderita gangguan pembuangan.
Hasil fungsional akan menjadi lebih baik jika tanpa perpanjangan saluran antara usus
aganglionik dan ganglionik. Satu dari lima pasien TCA berakhir dengan ileostomi permanen.
Komplikasi metabolik sering terjadi. Pertumbuhan terhambat didapatkan pada banyak pasien
TCA dimana berat badan yang sangat kurang dapat terlihat. Insiden masalah anemia berkisar
antara 12 – 55%; hal ini disebabkan karena rendahnya absorpsi zat besi dan pada beberapa
kasus terjadi defisiensi vitamin B12.
Penyakit Sindrom Hirschprung
Sindrom Down (trisomi 21) adalah sindrom yang sering terjadi berhubungan dengan
HD. Insiden sindrom Down pada pasien dengan HD berkisar antara 2 – 15% dan muncul
lebih tinggi pada penelitian saat ini. Tampaknya persentasi ini tidak menampilkan
peningkatan yang sebenarnya dari insiden HD pada sindrom Down karena hampir semua HD
sebelumnya tidak terdeteksi pada pasien sindrom Down atau mereka meninggal sebelum
diagnosis pasti HD ditegakan. Pada rangkaian kasus lain pada 168 tahun yang dilakukan lebih
dari 22 tahun terakhir, insiden sindrom Down adalah 12%.21
Mortalitas pasien sindrom Down dengan HD lebih tinggi daripada pasien HD lainnya.
Hal ini mewakili komorbiditas pada pasien ini seperti adanya defek jantung khususnya septal
defek atrioventrikular. Banyak keadaan yang membahayakan pada pasien sindrom Down
dengan HD diperberat adanya masalah jantung. Masalah lain yang bermakna pada sindrom
Down adalah sistem imunodefisiensi, menyebabkan mereka mudah terkena enterokolitis.
Enterokolitis menjadi lebih berbahaya atau kronik pada pasien sindrom Down dibanding
dengan pasien sehat lainnya dengan HD. Enterokolitis kronik dapat menjurus berkembangnya
penyakit peradangan usus; dua dari penulis yang ada menyatakan pasien remaja sindrom
Down dengan HD dan enterokolitis kronik memiliki temuan histologis dari penyakit Crohn.
Sebuah peningkatan insiden penyakit peradangan usus pada kelompok pasien ini juga
dilaporkan oleh Sherman dkk.
Prognosis fungsi penernaan pada pasien dengan HD dan sindrom HD lebih rendah
dibanding dengan pasien yang hanya menderita HD. Laporan berlawanan telah dilaporkan
juga – satu penelitian menemukan bahwa fungsi penernaan pada sindro Down tidak lebih
buruk dibanding dengan pasien kariotipenya normal pada hasil jangka pendek Berdasarkan
pengalaman penulis senior bahwa pasien sindrom Down membutuhkan pengontrolan
pencernaan lebih rendah dibanding dengan pasien HD lain. Banyak dari mereka khususnya
mereka dengan enterokolitis kronis menderita fekal inkontinensia bahkan sampai remaja dan
dewasa.
HD juga dihubungkan dengan sindrom lainnya. Sindrom Shah-Waardenburg adalah
sindrom audiopigmentari berhubungan dengan HD dan disebabkan oleh mutasi gen endotelin
3 atau reseptornya. Pasien sindrom Mowat-Wilson gambaran dismorfik khas berhubungan
dengan keparahan gangguan intelektual; hampir semua menderita mikrosefalik dan kejang
serta HD. Sindrom Mowat – Wilson adalah hasil penghapusan atau mutasi pada gen SIP 1
pada kromosom 2q22. Penulis memasukkan lima pasien dengan sindrom Mowat – Wilson;
secara klinis pola HD pada pasien ini hampir sama dengan yang terlihat pada sindrom Dow.
Dampaknya terhadap pasien menderita sejumlah enterokolitis dan kontrol pencernaan yang
sangat rendah. Hipolasia kartilago-rambut adalah metaplasia kondrodisplasia dengan gagal
tumbuh, kelainan imunitas dan tingginya insiden HD. Dampaknya pasien dengan HD
memiliki prognosis lebih buruk daripada pasien dengan HD saja. Pasien ini memiliki insiden
yang sangat tinggi terhadap enterokolitis sebelum dan sesudah operasi yang dapat
menyebabkan infeksi sepsis yang fatal.
22
Inkontinensia urine dan fungsi seksual
Meskipun eneuresis siang atau malam dan kelaian urodinamik telah dilaporkan pada
anak dengan HD, inkontinensia urin dan sifungsi seksual terjadi hanya pada kelompok
minoritas kecil dari pasien dewasa atau remaja dengan HD. Beberapa rangkaian kasus
melaporkan tidak ada pasien yang lebih tua dengan komplikasi ini. Pada analisis mendetail
mereka, Moore dkk menemukan bahwa pasien dengan persentase kecil menderita gangguan
miksi dan disfungsi seksual. Disfungsi seksual khususnya dispareunia timbul lebih banyak
pada wanita. Disfungsi seksual dan urinaria sering terjadi pada pasien yang menjalani operasi
Swenson atau Duhamel daripada mereka yang menjalani pull throgh endorektal.
Penyakit Hirschprung yang diturunkan
Keseluruhan resiko berulang dari HD pada pasangan adalah sekitar 4%. Pada kasus
HD sendiri, resiko berulang penyakit pada pasangan tergantung dari jenis kelamin dan
panjang segmen aganglionik dan jenis kelamin pasangan yang terkena. Resiko tertinggi
berulang adalah pada pasangan pria dari perempuan dengan segmen HD yang panjang (33%).
Dengan HD khas pada laki-laki dengan keterlibatan segmen pendek, beresiko HD pada
pasangan pria adalah 5% dan pada pasangan perempuan adalah 1%.
Kanker tiroid medular dan sindrom MEN 2A dapat dihubungkan dengan HD pada
beberapa keluarga yang sama. Keluarga-keluarga ini memiliki garis keturunan mutasi RET
pada kromosom 10 di lokasi yang sama yang merupakan mutasi, ditemukan pada 50% pasien
dengan HD yang diturunkan dan pada 15 – 20% mereka dengan penyakit yang sporadis.
Kanker tiroid medular pada orang dewasa telah dilaporkan pada keluarga ini dan juga pada
orang dewasa dengan HD tanpa riwayat keluarga dari sindrom MEN 2A. Hal ini
menimbulkan pertanyaan dari semua subjek dengan HD berkaitan dengan riwayat keluarga
yang harus diperiksa adanya mutasi RET khas untuk mengetahui adanya predisposisi kanker.
Pertanyaan lain apakah semua pasien dewasa HD haruss diperiksa berkaitan dengan kanker
tiorid medular dan feokromositoma yang terjadi pada 70 – 100% dan 50% dari pasien dengan
sindrom MEN 2A.
Kesimpulan
Penanganan pembedahan HD massih menjadi proses yang tersu berlanjut. Sejak tahun
1980-an, operasi beberapa tahap telah digantikan dengan prosedur primer pull through, yang
sering dilakukan pada periode neonatal. Segmen panjang dan kolon aganglionosis total dapat
juga berhasil ditangani dengan perbaikan neonatal. Pembedahan HD juga menjadi kurang
invasif. Pada awal tahun 1990-an prosedur pull through dengan bantuan laparaskopi
23
diperkenalkan dan meningkat menjadi populer pada institusi kesehatan dengan penilaian
laparaskopi. Pada akhir 1990-an prosedur pull through trananal secara totla dikembangkan;
operasi ini telah berkembang dengan cepat menjadi terkenal berdasarkan bukti bakwa
berkurangnya rasa tidak nyamam, waktu perawatan rumah sakit yang lebih pendek, dan biaya
yang lebih rendah daripada prosedur HD sebelumnya. Hasil jangka panjang setelah
pembedahan mini invasif HD masih belum jelas tapi tampaknya hasil fungsionalnya sama
dengan yang menjalani operasi klasik HD lainnya.
Meskipun didapatkan keuntungan dari penanganan HD tersebut namun hasil jangka
panjang fungsional masih jauh dari sempurna. Tidak ada individu yang menjalani prosedur
pembedahan yang dihubungkan dengan hasil jangka panjang terbaik. Perbedaan utama antara
prosedur operatif prosedur operatif kebanyakan adalah komplikasi yang timbul setelah
operasi. Laporan awal menggambarkan hasil fungsional jangka panjang yang luar biasa pada
kelompok besar pasien yang di tinak lanjuti untuk lebih dari 4-7 tahun. Saat ini, lebih banyak
penelitian prospektif dan penelitian dengan kelompok sehat sebagai kontrol telam memberi
gambaran berbeda dari fungsi pencernaan sebelumnya pada pasien HD. Konstipasi dan
gangguan pembuangan adalah konsekuensi lanjut tersering. Pasien HD dari semua lapisan
umur seragam memiliki fungsi pencernaan yang lebih rendah dibanding dengan kelompok
kontrol. Disfungsi urinaria dan seksual terjadi dengan persentase kecil pada pasien.
Untungnya, secara garis besar kebanyakan orang dewasa dengan HD menunjukan fungsi
yang hampir normal sebagai anggota masyarakat dinilai dari psikososial, pekerjaan dan
aktivitas rekreasi. Namun, tingginya insiden masalah fungsional pada masa kanak-kanak
membutuhkan tindak lanjut yang lebih cermat pada semua pasien dengan HD.
Tabel 30.4. Hasil fungsional jangka panjang dari Penyakit Hirschprung pada penelitian retrospektif
yang tidak terkontrol
Penulis Tahun Teknik Pembedaha
n
Pasien
Periode Tindak Lanjut/ Umur
Metode Pengumpula
n Data
Inkontinensia fekal (%)
Konstipasi (%)
Pengontrolan pencernaan normal (%)
Tanggapan
Sherman 1989 Swenson 477 6-40 Laporan bagan wawancara
2-8 3- 90-94 Perbaikan hasil bersamaan dengan bertambahnya umur
Tariq 1991 ERPT 30 5-10 Tidak diketahui
17 0 68 -
Rescorla 1992 Duhamel 55 5-20 Wawancara 0-9 - 91-100 Perbaikan hasil bersamaan dengan bertambahnya umur
Catto-Smith
1995 Multipel 60 10 (5-26) Kuestioner Harian
53 20 - Tidak ada perbaikan hasil bersamaan
24
dengan bertambahnya umur
Moore 1996 Multipel 115 >4 tahun Laporan Bagan
6-19 35 75 Perbaikan hasil bersamaan dengan bertambahnya umur
Yanchar 1999 Multipel 45 >5tahun Laporan Bagan dan kuestioner
8-58 8-22 - Perbaikan hasil bersamaan dengan bertambahnya umur
Vander Zee
2000 Duhamel 29 6 (5-7) Laporan Bagan dan kuestioner
27 21 52 -
Shankar 2000 ERPT 51 >4tahun Laporan bagan
24 0 76 Perbaikan hasil bersamaan dengan bertambahnya umur
Tabel 30.5. Ringkasan hasil fungsional jangka penjang dalam penelitian tidak lanjut pasien dengan
penyakit Hirschprung dan kelompok kontrol yang sesuai umur.
Penulis Tahun Teknik Pembedahan
Pasien Kontrol Periode Tindak Lanjut/ Umur
Hasil Tindak Lanjut
(%)
Tanggapan
Heikkinen 1995 Multipel 100 81 31 (15-39) Penurunan bermakna antara penilaian kontinensia berbanding kelompok kontrol yang sehat
87% Hubungan positif antara umur dan hasil
Reding 1997 Multipel 37 39 8,7 (1,2-22) 70% Hubungan positif antara umur dan hasil
Diseth 1997 Duhamel 19 14 16 (10-20) 59% -
Bailie 1999 Duhamel 80 22 8,4 (4,8-16) 100% Hubungan positif antara umur dan hasil
Bai 2002 Swenson 45 44 9,1 (4-16) Tidak ada
-
25