21
BAB III HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN ANALISA PERAN PEREMPUAN PASKA PERCERAIAN DI GPM JEMAAT KATEGORIAL LANUD PATTIMURA DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS Pada bab ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian, akan melakukan pembahasan, serta menganalisis peran perempuan paska percaian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari perspektif konseling feminis. Tulisan ini akan diawali dengan gambaran umum tentang tingkat perceraian di kota Ambon, kemudian pemaparan permasalahan perempuan paska perceraian, dan analisis peran perempuan paska perceraian dari perspektif konseling feminis. 3.1 Gambaran umum tingkat perceraian di Kota Ambon Secara umum penulis menemukan tingkat perceraian di kota Ambon dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dari hasil penelitian, penulis menemukan bahwa pada lima tahun terakhir, jumlah perkara gugatan cerai di Pengadilan Negeri Ambon adalah sebagai berikut 1 : Tahun 2011 : 119 perkara. Tahun 2012 : 123 perkara. Tahun 2013 : 116 perkara. Tahun 2014 : 156 perkara Tahun 2015 (01 Januari- 29 April) : 40 perkara Melalui Data perceraian di Desa Tawiri, penulis menemukan bahwa dari tingkat perceraian pada lima tahun terakhir, tercatat ada 30 perkara. Data ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dan sebagian besar korban dari perceraian tersebut adalah perempuan. 1 Data Pengadilan Negeri Ambon, 29 April 2015.

Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

BAB III

HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN ANALISA PERAN PEREMPUAN

PASKA PERCERAIAN DI GPM JEMAAT KATEGORIAL LANUD PATTIMURA

DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS

Pada bab ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian, akan melakukan

pembahasan, serta menganalisis peran perempuan paska percaian di GPM Jemaat

Kategorial Lanud Pattimura dari perspektif konseling feminis. Tulisan ini akan diawali

dengan gambaran umum tentang tingkat perceraian di kota Ambon, kemudian

pemaparan permasalahan perempuan paska perceraian, dan analisis peran perempuan

paska perceraian dari perspektif konseling feminis.

3.1 Gambaran umum tingkat perceraian di Kota Ambon

Secara umum penulis menemukan tingkat perceraian di kota Ambon dari tahun ke

tahun semakin meningkat. Dari hasil penelitian, penulis menemukan bahwa pada lima

tahun terakhir, jumlah perkara gugatan cerai di Pengadilan Negeri Ambon adalah sebagai

berikut1 :

Tahun 2011 : 119 perkara.

Tahun 2012 : 123 perkara.

Tahun 2013 : 116 perkara.

Tahun 2014 : 156 perkara

Tahun 2015 (01 Januari- 29 April) : 40 perkara

Melalui Data perceraian di Desa Tawiri, penulis menemukan bahwa dari tingkat

perceraian pada lima tahun terakhir, tercatat ada 30 perkara. Data ini meningkat dari

tahun-tahun sebelumnya, dan sebagian besar korban dari perceraian tersebut adalah

perempuan.

1 Data Pengadilan Negeri Ambon, 29 April 2015.

Page 2: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

Menurut Tuhuleruw,2 perceraian sering terjadi karena adanya perselingkuhan.

Perselingkuhan kerap dilakukan oleh para suami. Selain itu, judi dapat menjadi pemicu

keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian.3

3.2 Permasalahan Perempuan Paska Perceraian

Perkara-perkara yang terjadi di kota Ambon, khususnya di Jemaat Kategorial

Lapangan Udara (Lanud) Pattimura tentang perceraian, menunjukkan bahwa sebagian

besar perceraian terjadi karena masalah perselingkuhan yang dilakukan oleh para suami.

Perceraian tersebut membawa banyak dampak terhadap perempuan. Masalah yang

muncul bagi perempuan paska perceraian ialah masalah ekonomi berkaitan dengan

pembiayaan kehidupan anak-anak, karena sebagian besar para perempuan yang penulis

wawancarai adalah ibu-ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan. Selain masalah

ekonomi, kehormatan juga kerap menjadi masalah. Para perempuan yang mengalami

perceraian justru dianggap bersalah ketika terjadi perpisahan dengan suami mereka.

“Tidak dapat mengurus diri”, “selalu membuat masalah”, serta “tidak dapat menjaga

suami” adalah serangkaian kalimat cercaan yang diterima oleh para perempuan ini, baik

dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks yang ditimbulkan akibat

perceraian di atas, akan menimbulkan masalah-masalah yang lain. Meskipun tidak

nampak tetapi dapat dilihat melalui keadaan psikologis dari perempuan yang mengalami

perceraian. Masalah-masalah laian tersebut berkaitan dengan adanya penyesalan,

ratapan diri dan penyangkalan terhadap diri sendiri ketika menghadapi kenyataan

pernikahan mereka yang tidak harmonis. Ungkapan penyesalan itu nampak misalnya

dalam diri Jasmin. Hal ini dapat ditunjukkan melalui pernyataan berikut,4

2 Wawancara dengan Kepala Desa Tawiri, Ambon, 17 April 2015.

3 Wawancara dengan Kepala Desa Tawiri.

4 Wawancara dengan Jasmin, 18 April 2015.

Page 3: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

“Beta manyasal nikah muda nona. Beta sadar, saat itu beta masih muda deng labil.

Beta nikah umur 18 tahun. Beta yakin mau nikah deng suami karena beta suami

paleng bae deng perhatian.”

Berdasarkan pernyataan tersebut penulis menemukan bahwa konseli sangat menyesal

dengan kondisi yang dialaminya. Melalui wawancara yang penulis lakukan dengan

konseli, dapat dilihat bahwa konseli menerima kenyataan terhadap apa yang dialaminya.

Menyikapi masalah ini, konseli berusaha untuk melampauinya demi menopang

kehidupan anak-anaknya.

Dari permasalahan-permasalahan tersebut, penulis mendapati ketiga narasumber ini

adalah perempuan-perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap (ibu rumah tangga).

Ketiga narasumber ini akan menjadi fokus penelitian penulis, namun ada juga satu

narasumber yang penulis teliti berkaitan dengan posisinya sebagai perempuan yang

memiliki pekerjaan tetap. Guna melakukan perbandingan, penulis juga melakukan

penelitian meneliti salah satu narasumber yang telah bercerai, namun telah memiliki

pekerjaan tetap sebelum bercerai. Hal ini dimaksudkan, supaya penulis dapat melihat

peran dan kondisi perempuan paska perceraian, dengan atau tanpa pekerjaan.

Dalam rangka membahas tentang permasalahan-permasalahan yang dialami oleh

para perempuan pasca perceraian, maka secara teoritis penulis menemukan adanya dua

ranah permasalahan perempuan paska perceraian, yaitu ranah domestik dan ranah

transisi. Namun, selain dua ranah masalah di atas, ada dua ranah masalah lain yang

penulis temukan di lapangan yang dialami oleh para perempuan yang telah bercerai.

Berikut ini adalah gambaran empat ranah masalah tersebut.

3.2.1 Permasalahan Domestik Perempuan paska Perceraian

Penelitian yang berkaitan dengan kondisi para perempuan ini, penulis lakukan pada

tiga narasumber. Ketiga narasumber tersebut berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dari

hasil penelitian terhadap tiga narasumber, diketahui bahwa ketiganya adalah

Page 4: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

perempuan-perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Berikut adalah keadaan

mereka sebelum mengalami perceraian. Mawar (59), adalah seorang ibu rumah tangga

yang bertugas untuk mengurus suami dan anak-anaknya. Konseli tidak bekerja, karena

suaminya yang memenuhi semua kebutuhan rumah tangga mereka, sebagai seorang

pegawai swasta.5 Rosa (35), keadaannya tidak berbeda jauh dengan mawar. Konseli

tidak memiliki pekerjaan tetap. Kebutuhan hidup rumah tangganya, dicukupkan oleh

suaminya yang bekerja sebagai anggota kepolisian.6 Jasmin (43), juga demikian.

Pekerjaan suaminya sebagai pegawai swasta, membuat ia harus bergantung kepada

suaminya dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah tangga.7

Kehidupan ketiga narasumber ini berubah ketika mereka mengalami perceraian.

Masalah domestik yang muncul paska perceraian bagi seorang perempuan ialah

masalah ekonomi. Masalah ekonomi menjadi masalah yang sangat krusial karena

berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Perempuan-perempuan yang

mengalami perceraian biasanya akan mengalami kesulitan secara ekonomi, karena

selama ini sumber pendapatan berasal dari suami mereka. Menyikapi permasalahan

yang terjadi, dua konseli (Mawar dan Rosa) berupaya untuk mencari pekerjaan agar

dapat memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga mereka. Jasmin tidak dapat mencari

pekerjaan, karena terhambat oleh kesehatan anaknya yang cacat. Pada akhirnya, konseli

hanya mengharapkan bantuan keluarganya untuk membantu membiayai kehidupan

rumah tangganya.

Berdasarkan masalah domestik ini, penulis melihat bahwa dampak perceraian bagi

seorang perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap adalah kesusahan yang

berkelanjutan mengingat beban pemenuhan kebutuhan yang semakin tinggi apalagi jika

dikaitkan dengan biaya pendidikan anak. Perempuan harus berupaya lebih keras untuk

5 Wawancara dengan Mawar, 19 April 2015.

6 Wawancara dengan Rosa, 20 April 2015.

7 Wawancara dengan Jasmin, 18 April 2015.

Page 5: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

memenuhi kebutuhan sambil memperhatikan anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Li Sun. Dalam pemaparannya terhadap dampak

perceraian bagi seorang perempuan, menjelaskan bahwa perempuan akan mengalami

kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup bersama anak-anaknya, karena suami tidak

lagi menafkahi mereka.8

Menurut penulis, ada kesamaan antara teori dengan kenyataan di lapangan dalam

kaitannya dengan masalah ekonomi perempuan paska perceraian. Hal ini disebabkan

oleh peran perempuan yang dekat dengan peran domestik. Peran domestik biasanya

selalu berkaitan dengan kebutuhan hidup. Dengan demikian, inti masalah paska

perceraian bagi perempuan adalah masalah ekonomi.

Temuan yang berbeda dengan teori Li Sun adalah bahwa perempuan tidak tinggal

diam ketika menghadapi kesulitan yang mereka alami. Mereka kemudian berusaha untuk

bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada hasil penelitian Li Sun, umumnya

perempuan akan mengalami kesulitan karena tidak lagi dinafkahi oleh suami. Pada hasil

penelitian ini, penulis menemukan bahwa perempuan memang mengalami kesulitan

karena tidak dibiayai, tetapi mereka tetap berjuang untuk memenuhi peran sebagai orang

tua secara utuh, baik itu memperhatikan anak-anak dan menafkahi mereka. Tidak

memiliki pekerjaan tetap bukanlah suatu halangan, karena ia mampu memberdayakan

situasi yang ada untuk keberlangsungan kehidupannya. Dari temuan ini, penulis

menyimpulkan bahwa teori Li sun memaparkan keadaan perempuan setelah perceraian

yang tidak berdaya. Tetapi, persoalan yang tidak disentuh oleh Li Sun adalah tentang

apakah para perempuan tersebut sanggup melawan pandangan masyarakat terhadap

dirinya yang cenderung bergantung kepada suami. Ternyata, tidak demikian dengan hasil

penelitian penulis. Hasil temuan penulis ialah ternyata ada perempuan-perempuan yang

8 Hsiao-Li Sun, Wen En Chong dan Si Hui Lim, “Gender and Divorce...”,, 132-134.

Page 6: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

dapat melawan anggapan masyrakat, dan mampu hidup sendiri tanpa bantuan suaminya.

Penulis mendapati ada perempuan-perempuan yang dapat melawan stigma tersebut, dan

dapat memberdayakan dirinya sehingga mampu hidup sendiri tanpa bantuan suami

mereka.

3.2.2 Permasalahan Transisi Perempuan paska Perceraian

Permasalahan transisi perempuan paska perceraian dapat dilihat pada narasumber

keempat yang menjadi narasumber pembanding dalam penelitian penulis. Perempuan ini

memiliki pekerjaan sebagai seorang pendidik (guru).9 Dalam kehidupan rumah

tangganya, konseli tidak bergantung kepada suaminya, karena ia memiliki pekerjaan.

Sebelum bercerai, kehidupannya bersama anak-anak berjalan baik dan kedekatan mereka

sangat intim. Kinerjanya pada lembaga pendidikan juga dipandang sangat baik, karena

konseli merupakan salah satu guru yang teladan dan disiplin. Konseli dikenal di dalam

masyarakat sebagai perempuan yang berkarakter.

Paska perceraian, konseli mengalami kesulitan dari berbagai kehidupan. Kesulitan-

kesulitan tersebut dilihat dalam tiga aspek kehidupan, yakni:

1. Aspek keluarga. Konseli kehilangan partner untuk membantunya mengasuh dan

menjaga anak-anak. Suami yang biasanya selalu membantu dan secara

bergantian menjaga anak-anak, kini tidak lagi melakukan fungsinya. Akibatnya,

anak-anak sering dititipkan kepada orang tuanya.

2. Aspek sosial. Konseli dianggap sebagai perempuan yang tidak dapat menjaga

keharmonisan rumah tangganya. Ada stigma yang diberikan oleh masyarakat

berkaitan dengan status pekerjaannya sebagai seorang pendidik. Masyarakat

cenderung menganggapnya sebagai perempuan yang tidak bertanggung jawab

9 Wawancara dengan narasumber keempat (narasumber pembanding), 21 April 2015.

Page 7: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

terhadap keluarga, karena bagi masyarakat, seorang pendidik pasti mengetahui

bahwa perceraian bukanlah hal yang dapat dibenarkan.

3. Aspek pekerjaan. Kinerja konseli dipertanyakan setelah ia mengalami

perceraian. Ada keraguan terhadap loyalitasnya. Keteladanannya sebagai

seorang pendidik tidak lagi dilihat sebagai potensi yang dapat memberdayakan.

Melalui permasalahan rumah tangganya, konseli kemudian dinilai tidak mampu

menjadi seorang pendidik. dikucilkan dan dianggap tidak layak menjadi seorang

pendidik. Hal ini berkaitan dengan penelitian Faye Xiao di Cina tentang paska

perceraian perempuan kemudian diberhentikan dari pekerjaannya.

Terhadap pemahaman Faye ini, penulis menemukan bahwa kewibawaan seorang

perempuan cenderung dikaitkan dengan kehidupan pribadinya. Penulis berpendapat

bahwa perempuan akan berguna dalam ranah publik jika ia dapat berguna bagi

kehidupan pribadinya termasuk dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan kata lain

penelitian di Cina menunjukkan adanya stigma terhadap perempuan yang mengalami

perceraian sehingga memiliki kepribadian yang buruk dan tidak akan dipercaya untuk

bekerja lagi. Hal ini menyebabkan perempuan kembali mendapat pengekangan, sehingga

tidak dapat secara bebas berperan dalam dunia publik.

Teori Faye ini mendukung hasil penelitian penulis. Penulis menemukan bahwa

dalam ranah transisi, masalah rumah tangga perempuan sering dikaitkan dengan

kariernya. Dengan demikian, perempuan mengalami tekanan dari dalam dan dari luar

kehidupannya.

3.2.3 Permasalahan Transisi mengabaikan Domestik Perempuan paska

Perceraian

Masalah transisi yang mengabaikan domestik ialah kurangnya perhatian seorang

perempuan (ibu) terhadap keluarganya (anak-anak). Pekerjaan-pekerjaan part time yang

Page 8: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

dilakukan seringkali memaksa seorang perempuan harus meninggalkan anak-anaknya.

Hal ini menjadi masalah jika perempuan tersebut harus bekerja ke luar daerah dan

meninggalkan anak-anaknya untuk waktu yang lama.

Penulis mendapatinya pada narasumber kedua yaitu Rosa (35). Sebagaimana

permasalahan perceraian yang dihadapinya, ia pun segera berangkat ke Kota Sorong

untuk mencari pekerjaan agar dapat menghidupi ketiga anaknya. Hal ini mengakibatkan

perannya sebagai ibu rumah tangga terabaikan, bahkan anak-anaknya harus dititipkan

kepada orang tuanya sehingga kesempatan bersama anak-anaknya menjadi sangat

terbatas.10

Penulis melakukan wawancara dengan ibu konseli, karena konseli telah berangkat ke

kota Sorong.11

Menurut ibunya, paska perceraian ia terlihat sangat depresi. Hal ini

disebabkan karena konseli memiliki 3 orang anak yang masih kecil dan ketiganya

masih sangat membutuhkan perlindungan dan kasih sayang kedua orang tua mereka.

Konseli juga tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga ia mengalami kesulitan untuk

menghidupi ketiga anaknya. Berdasarkan keterangan ibunya, konseli memutuskan

untuk meninggalkan ketiga anaknya dan berangkat ke kota Sorong agar mendapat

pekerjaan sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan mengirimkan

pendapatannya setiap bulan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk ketiga anaknya,

walaupun ia sadari bahwa waktu untuk bersama mereka sudah terabaikan.

Berdasarkan pembicaraan ini, penulis berpendapat bahwa Rosa adalah tipe

perempuan yang bertanggung jawab dalam segi pemenuhan kebutuhan ekonomi, namun

mengabaikan kebutuhan psikologis anak-anaknya. Keputusannya untuk meninggalkan

ketiga anaknya adalah suatu keterpaksaan karena menurut penjelasan ibunya, ia tidak

10

Wawancara dengan Rosa, 20 April 2015. 11

Wawancara dengan Ibu Rosa, 22 April 2015.

Page 9: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

ingin anak-anaknya mengalami kekurangan. Hal ini dianggap sebagai suatu keputusan

yang tepat baginya.

Anak-anak menjadi terlantar dan kehilangan kasih sayang seorang ibu. Masa

pertumbuhan mereka hanya dilalui bersama kakek nenek mereka. Pola pembinaan dan

didikan tidak diberikan langsung dari seorang ibu sehingga memaksa mereka untuk

bertumbuh tanpa kasih ibu. Masalah lain yang nampak juga ialah dalam pergaulan

mereka, misalnya dengan teman-teman sebaya mereka. Tidak menutup kemungkinan

mereka akan merasa minder dan sedih jika melihat ada teman lain yang hidup bersama

dengan ibunya.

Selain masalah di atas, ada juga masalah ketidakharmonisan perempuan dengan

orang tua mereka. Ada kalanya terjadi perdebatan antar seorang perempuan dengan ibu

atau ayahnya karena kebutuhan anak-anak yang tidak sanggup dipenuhi oleh orang tua

perempuan tersebut, ketika perempuan ini harus bekerja di luar daerah. Kondisi ini

menjadi lebih sulit, saat diketahui oleh keluarga besar. Pada akhirnya fungsi perempuan

tersebut sebagai seorang ibu seringkali direndahkan dan dihujat. Jadi, permasalahan

seorang perempuan pada level ini ialah mengacu pada fungsi mereka sebagai seorang ibu

yang tidak diberdayakan secara baik dengan anak-anak mereka karena tuntutan domestik

(ekonomi).

Berdasarkan masalah-masalah di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa dampak

perceraian bagi seorang perempuan, jika dilihat dari segi transisi yang mengabaikan

domestik, dapat sejalan dengan penelitian Ahrons yang menemukan bahwa setelah

bercerai anak-anak cenderung mengalami gangguan dalam kehidupan mereka, baik relasi

dengan sesama ataupun dukungan dari orang tua mereka.12

12

Ahrons, “Family Ties after Divorce...”, 58-59.

Page 10: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

Teori Ahrons mendukung hasil penelitian ini, sehingga bagi penulis masalah transisi

mengabaikan domestik berakibat gangguan secara psikologis bagi anak-anak tetapi juga

bagi perempuan itu sendiri, karena tidak adanya kedekatan di antara kedua pihak (baik

ibu dan anak). Secara sosial, anak mengalami pertumbuhan yang tidak sehat dengan

lingkungannya. Ada kemungkinan anak tersebut akan diolok-olok karena tidak memiliki

orang tua yang utuh. Dari sisi spiritual, anak akan kehilangan peran seorang ibu untuk

mengajar, mengasuh serta mendidiknya dalam pengenalan akan keimanannya. Kondisi

yang umumnya terjadi adalah anak tidak diajarkan untuk pergi beribadah, anak tidak

diajarkan untuk berdoa karena ibunya tidak tinggal bersamanya. Selain anak,

sesungguhnya ibu juga adalah korban dari masalah ini. Keputusan untuk meninggalkan

anak-anaknya adalah suatu keterpaksaan. Dalam penjelasan sebelumnya jelas terlihat

bahwa kebutuhan ekonomi yang mendesak mengakibatkan seorang perempuan pasca

perceraian harus berperan dalam ranah transisi juga. Pada akhirnya, keputusan untuk

meninggalkan anak-anak adalah pilihan sulit dari seorang ibu. Anak membutuhkan

kehangatan ibu, ibu pun demikian ingin menghangatkan anak. Dengan demikian, hal-hal

inilah yang menjadi masalah utama pada peran transisi mengabaikan domestik ini.

3.2.4 Permasalahan Domestik mengabaikan Transisi perempuan paska

perceraian

Pada level ini, masalah yang muncul pada perempuan paska perceraian tidak

berbeda jauh dengan pada level masalah domestik yakni berhubungan dengan masalah

ekonomi. Perbedaanya adalah pada level ini salah seorang perempuan yang penulis teliti

tidak dapat mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya.

Ada beberapa alasan yang menjadi akar masalah sehingga perempuan tidak

berupaya mencari pekerjaan sampingan. Pertama, perempuan menyadari bahwa dirinya

tidak memiliki keterampilan untuk bekerja, karena sebelum menikah ia sangat

Page 11: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

dimanjakan dan berasal dari keluarga berada. Kedua, kemalasan, karena selama masa

perkawinannya dan kehidupan bersama suaminya sebelum bercerai, ia mempekerjakan

pembantu untuk membantu meringankan pekerjaan rumahnya. Ketiga, perempuan yang

memiliki keinginan untuk mencari pekerjaan sampingan, namun terhalang oleh kondisi

anak yang berkebutuhan khusus (cacat), dan memaksanya harus mengabaikan tanggung

jawab transisi demi menjaga dan merawat anaknya yang cacat itu. Alasan lain juga ialah

karena perempuan cenderung bergantung kepada mantan suaminya. Ada ketetapan

hukum yang menentukan bahwa sang suami akan tetap membiayai kehidupan anak-

anaknya setelah bercerai, sehingga perempuan tidak perlu bekerja lagi karena biaya yang

diberikan oleh mantan suaminya dirasa mencukupi kehidupan mereka.

Berdasarkan gambaran tentang kondisi dari Jasmin (narasumber ketiga), penulis

melihat bahwa situasi Jasmin ini dapat dikategorikan ke dalam ranah ketiga, yaitu peran

domestik namun mengabaikan transisi. Alasan tidak ingin bekerja ialah karena keadaan

anaknya yang cacat. Hal ini mengakibatkan ia tidak mampu menghidupi anaknya,

sehingga ia hanya mengharapkan bantuan dari keluarganya (kakaknya) yang selalu

mengirimkan uang kepadanya setiap bulan.

Permasalahan Jasmin ialah perselingkuhan suaminya. Konseli mengetahui suaminya

berselingkuh, dan berupaya untuk menegur dan berbicara kepada suaminya agar tidak

berselingkuh lagi. Tetapi suaminya masih tetap melakukan hal yang sama. Konseli

memanggil pendeta untuk melakukan pastoralia kepada suaminya, namun suaminya

tidak berubah. Konseli mulai putus asa dan tidak tahan dengan keadaan rumah

tangganya. Konseli tidak berani untuk menceraikan suaminya, karena konseli tidak

memiliki pekerjaan tetap dan menggantungkan hidupnya pada suaminya, selain itu

anak-anaknya masih membutuhkan biaya. Konseli bertahan dalam kehidupan rumah

tangganya yang mulai hancur.

Page 12: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

Anak bungsu konseli cacat. Konseli tidak dapat berbuat apa-apa, hanya pasrah dan

berdoa menghadapi masalah dalam kehidupannya. Pada tahun 2009, konseli

meninggalkan suaminya dan kembali ke kota Ambon bersama kedua anaknya. Konseli

tinggal bersama keluarganya. Kebutuhan hidupnya masih ditanggung oleh suaminya,

walaupun mereka tidak bersama-sama. Tahun 2011, suami konseli tidak mengirimkan

uang lagi kepada konseli. Konseli mengalami kesulitan ekonomi. Kebutuhannya

dicukupkan oleh kakak perempuannya yang mengirimkan uang kepadanya setiap bulan.

Konseli meratapi penderitaannya. Anak sulungnya ternyata seorang homoseksual

(gay). Sebagai seorang ibu, konseli mengakui bahwa tugasnya sangat berat dalam

menghadapi masalah anak sulungnya. Malu, marah, kecewa dan putus asa adalah

serangkaian perasaan yang dialami konseli. Walaupun demikian, konseli mengakui

bahwa ia merasa lebih tenang ketika berpisah dengan suaminya.

Terhadap masalah yang dihadapinya, konseli mengutarakannya sebagai berikut,13

“ beta pung laki selingkuh, seng bertanggung jawab, anak bungsu cacat / seng

normal, anak sulung jadi bencong,, hayooeee.. beta seng kuat nona kalau hadapi

ini semua, tapi beta harus kuat bertahan,, harus bersyukur juga karena walaupun

begini beta masih bisa makan 1 hari 3 kali. Beta percaya Tuhan seng kastinggal

beta”

Penggalan kalimat di atas adalah ungkapan hati dari konseli dengan semua keadaan

yang ia hadapi. Konseli berkata bahwa walaupun ujian ini berat namun ia harus

bertahan untuk anak-anaknya.

Berdasarkan masalah di atas, penulis menemukan bahwa alasan yang ditemui di

lapangan ketika penulis melakukan penelitian ialah alasan ketiga yakni tentang anak

yang cacat, sehingga perempuan tersebut tidak mencari pekerjaan. Dari hasil penelitian,

ternyata ketergantungan terhadap tanggung jawab suami membuat perempuan itu harus

13

Wawancara dengan Jasmin, 18 April 2015.

Page 13: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

mengabaikan segi transisi, namun hal itu tidak berlangsung lama. Pada akhirnya, suami

melepas tanggung jawab untuk membiayai anak-anaknya, apalagi diketahui bahwa ada

anaknya yang cacat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang terjadi di Singapura ketika

pemerintah menetapkan hak pengasuhan anak jatuh kepada perempuan, saat terjadi

perceraian, karena menurut pemerintah tersebut perempuan yang mampu melakukan

tugas dan tanggung jawab dalam mengurus serta mendidik anak.14

Bedanya ialah suami

tidak lagi menafkahi anak ketika hak pengasuhan telah jatuh kepada seorang perempuan,

hal ini kemudian menjadi salah satu dampak perceraian.15

Pada akhirnya, perempuan harus menganggung penderitaan, apalagi ketika

diperhadapkan dengan masalah seperti yang penulis temui di lapangan, yang akhirnya

keputusan perempuan itu harus mengabaikan kebutuhan transisi dan lebih fokus kepada

kebutuhan domestik. Teori Li Sun mendukung hasil penelitian di lapangan yaitu istri

mengalami kesulitan karena tidak adanya pertanggungjawaban dari suami. Penderitaan

perempuan dalam kasus ini diperparah dengan ketidaknormalan anaknya yang memaksa

ia untuk tetap diam di rumah dan menjaga anaknya. Pada akhirnya, perempuan tersebut

tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan hanya berharap

bantuan dari keluarga setiap bulan yang mengirimkan uang padanya.

Dari segi psikologis, masalah domestik mengabaikan transisi perempuan paska

perceraian berdampak pada ketidakstabilan pikiran perempuan tersebut, karena harus

berhadapan dengan realitas yang pahit. Gangguan emosional yang sangat

mengguncangnya ialah anak-anaknya yang “sakit” (cacat dan gay). Walaupun demikian,

dari segi spiritual perempuan tetap menerima dan berharap Tuhan akan memulihkan

keadaannya. Perempuan tersebut percaya bahwa akan selalu ada berkat yang diberikan

14

Hsiao-Li Sun, et all, “Gender and Divorce...”, 132-134. 15

Hsiao-Li Sun, et all, “Gender and Divorce...”, 132-134.

Page 14: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

Tuhan meskipun ia tidak memiliki pekerjaan tetap. Dari segi sosial, dukungan keluarga

sangat besar bagi kehidupan perempuan, sehingga ia merasa sangat terbantu.

3.3 Peran perempuan paska perceraian dari Perspektif Konseling Feminis

Berdasarkan teori yang penulis temukan, ada dua peran perempuan secara umum,

yakni Peran Trandisi (Domestik) dan Peran Transisi. Dalam penelitian, penulis

menemukan enam peran perempuan paska perceraian, dan hal ini terkait dengan empat

level masalah yang sudah dijelaskan di atas.

Bagian ini akan membahas dan menganalisi peran perempuan paska perceraian.

3.3.1 Peran Domestik

Dalam pembahasan permasalahan di atas, dapat dilihat bahwa peran perempuan

paska perceraian di ranah domestik ialah berkaitan dengan masalah ekonomi. Berkaitan

dengan masalah tersebut, maka dapat diklasifikasikan ada tiga peran yang muncul dari

permasalahan domestik ini, yakni :

3.3.1.1 Peran Domestik Murni

Dari permasalahan yang telah dipaparkan, masalah domestik murni ditemui dalam

peran perempuan yang tidak bekerja sama sekali dan hanya melakukan tugas sebagai

seorang ibu rumah tangga untuk mengurus, menjaga dan mendidik anaknya yang cacat.

Dapat dijumpai pada narasumber ketiga yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan

berperan hanya sebagai ibu rumah tangga. Paska perceraian, perempuan ini hanya

melakukan aktivitas mengurus anaknya yang cacat, membersihkan rumah, mencuci,

dan memasak. Waktu untuk mengurus anaknya menjadi lebih tinggi, karena tidak lagi

dibantu oleh suaminya. Hal ini sejalan dengan teori Saparinah yang menjelaskan bahwa

peran domestik perempuan ialah peran yang dilakukan hanya sebagai ibu rumah tangga

dan ia harus dapat menjaga, merawat, memberikan ketenangan dan menciptakan

Page 15: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

suasana bahagia dalam rumah tangganya.16

Dengan demikian, bagi penulis teori ini

mendukung hasil lapangan. Alasannya ialah karena masalah kesehatan anak, akhirnya

perempuan ini hanya bergelut dalam ranah domestik.

Terhadap realitas di atas, Stein menyebutkan salah satu tujuan konseling feminis

ialah berfokus pada pemberdayaan kesadaran kepercayaan diri untuk meyakini nilai

mereka sendiri.17

Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat memberdayakan dirinya

dan mengenali potensi yang ada. Penulis sejalan dengan teori ini, namun untuk kasus

pada narasumber ketiga, teori tersebut tidak dapat teraplikasikan karena masalah

kesehatan anak. Perempuan ini sebenarnya memiliki keinginan untuk bekerja, memiliki

potensi yang besar dalam memberdayakan kemampuannya. Akan tetapi, hal tersebut

tidak dapat dilakukannya. Keadaan anaknya yang cacat memaksanya untuk

mengurungkan niatnya itu. Perempuan ini tidak mampu melampaui dan keluar dari

hambatan yang dialami anaknya. Pada akhirnya, perempuan tersebut dipaksakan untuk

tidak memberdayakan dirinya karena situasi yang memaksanya untuk tetap berperan

hanya di ranah domestik.

3.3.1.2 Peran Domestik Transisi

Peran domestik transisi adalah gabungan antara peran domestik dan peran transisi.

Peran ini bagi seorang perempuan paska perceraian tidak hanya dilakukan dalam ranah

domestik, namun juga dalam ranah transisi. Perempuan ini tidak memiliki pekerjaan

tetap, namun untuk menghidupi keluarganya paska perceraian, ia harus mencari

pekerjaan dan mengusahakan yang ada di sekitarnya agar dapat menghasilkan uang.

Berjualan roti, menjadi tukang cuci pakaian, menjaga kios orang, menjadi baby

sitter, menjadi anggota LSM perempuan adalah serangkaian peran transisi yang

dilakukan perempuan dalam peran ini.

16

Sadli, Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang kajian Perempuan, 173. 17

Theinkaw dan Rungreangkulkij, “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38.

Page 16: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

Terhadap realitas ini, Worell dan Remer di dalam Black menjelaskan bahwa salah

satu tujuan konseling feminis ialah untuk mengembangkan sejumlah perilaku yang

dipilih secara bebas.18

Perilaku yang dimaksudkan dalam peran domestik transisi ini

ialah perilaku perempuan yang bebas untuk melakukan apa saja yang menjadi

keinginannya dan bertujuan positif.. Hal ini bagi penulis, merupakan suatu kebebasan

perempuan dari pemahaman umum bahwa perempuan hanya berkutat pada ranah

domestik. Perempuan pada akhirnya dapat menentukan sejumlah aktivitas yang dapat

dilakukannya dalam kesehariannya tanpa ada pengekangan dan pembatasan.

Peran domestik transisi terjadi pada dua tempat. Pertama, yang dilakukan di dalam

rumah, dan kedua, yang dilakukan di luar rumah. Berjualan roti dan mencuci pakaian

dilakukan di dalam rumah, sedangkan menjaga kios orang, menjadi baby sitter, dan

menjadi anggota LSM dilakukan di luar rumah.

Dari realitas di atas, dapat disimpulkan bahwa peran domestik transisi perempuan

paska perceraian adalah peran yang dapat diberdayakan dalam diri seorang perempuan

dan menjadi pilihan bebasnya. Perempuan pada akhirnya menjadi sosok yang mampu

mengambil keputusan atas dirinya. Perempuan hidup dalam hak kebebasannya

berperilaku. Tanggung jawab yang disadari ialah memenuhi kebutuhan anak-anak

paska perceraian, dan hal tersebut bukanlah penghalang baginya. Peran ini

memberikan ruang bagi perempuan untuk mengeksplor keterampilannya dalam

mengusahakan segala sesuatu. Selain itu, dapat mengkritisi teori Ellis yang

memaparkan bahwa paska perceraian posisi perempuan menjadi lebih rendah dan hak-

hak mereka cenderung dibatasi.19

18

Black dan Foster, “Sexuality of Women with Young Children...,” 97. 19

Nurlaelawati, “Islamic Law and Society,” 243.

Page 17: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

3.3.1.3 Peran Domestik mengabaikan Transisi

Peran domestik mengabaikan transisi sangat berhubungan dengan kasus pada

narasumber ketiga. Paska perceraian, kondisi anaknya yang cacat terpaksa membuat

ibu tersebut harus menjaga anaknya dan tidak mencari pekerjaan. Perempuan ini hanya

melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dalam hal mengurus anaknya sehingga

peran transisi diabaikannya.

Penjelasan di atas sejalan dengan teori Gamble yang menyatakan bahwa perempuan

selalu dikaitkan dengan tugas-tugas ibu rumah tangga seperti mengurus anak dan

mengurus suami.20

Dengan demikian teori ini mendukung hasil penelitian, karena telah

terbukti bahwa peran perempuan pada ranah domestik mengabaikan transisi terjadi

karena konteks situasi dan pemahaman terhadap peran perempuan itu sendiri yang

sudah menjadi stereotype. Berbeda dengan Gamble, justru dalam pemahaman konseling

feminis dijelaskan bahwa peran perempuan yang mengabaikan transisi ini terjadi

karena tekanan.21

Di sini konselor feminis memahami bahwa ketimpangan sosial

berdampak negatif bagi seorang perempuan, untuk itu konseling feminis akan

membantu perempuan tersebut agar dapat membuat perubahan dalam hidupnya serta

perubahan sosial yang akan membebaskan masyarakat dari stereotype dan

marginalisasi.

Dari kedua pemahaman yang berbeda di atas, bagi penulis peran domestik

mengabaikan transisi perempuan paska perceraian terjadi selain masalah pribadi

perempuan tersebut tetapi juga karena stereotype yang kerap merendahkan perempuan

dalam artian jika perempuan itu bekerja maka anaknya terlantar dan hal ini merupakan

penelantaran yang tidak dipantas dilakukan oleh seorang ibu.

20 Gamble, Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme, 295. 21

Theinkaw dan Rungreangkulkij, “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38-40.

Page 18: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

3.3.2 Peran Transisi

Bertolak dari permasalahan yang telah dijelaskan, peran transisi kemudian

diklasifikasikan dalam tiga bagian, yakni :

3.3.2.1 Peran Transisi Murni

Dalam peran ini, sosok perempuan dilihat sebagai perempuan karier yang memiliki

pekerjaan tetap. Paska perceraian, perempuan ini tidak mengalami kesulitan secara

ekonomi, karena kebutuhannya dapat tercukupkan oleh pekerjaan yang ditekuninya.

Tidak ada ketergantungan terhadap suami sehingga tidak merasa sulit untuk mengurus

anak-anaknya. Selain itu, perempuan ini dapat berperan di ranah publik secara bebas

dan dapat mengembangkan dirinya.

Peran transisi seperti dalam pembahasan sebelumnya, sangatlah berkaitan dengan

kinerja dan kedudukan seorang perempuan dalam ranah publik. Status

kewibawaannnya kemudian menurun jika ia mengalami masalah dalam rumah

tangganya dan harus bercerai. Hal ini bekaitan dengan pemahaman Samphorn yang

memahami bahwa masalah perempuan dalam ranah publik berkaitan dengan konteks

politik. Artinya ketika terjadi perceraian dalam diri perempuan yang memiliki

pekerjaan, maka dengan sendirinya lingkungan kerjanya akan menilai bahwa

perempuan tersebut tidak mampu bekerja, jika urusan rumah tangganya tidak

terselesaikan dengan baik. Terkait dengan pemahaman tersebut, menurut penulis bias

gender dapat diangkat menjadi sebuah isu untuk menjatuhkan perempuan, dengan

pemahaman bahwa laki-laki lebih baik dalam ranah publik dan perempuan harusnya

hanya dalam ranah domestik.

Page 19: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

3.3.2.2 Peran Transisi Domestik

Gabungan kedua peran ini dirasakan cukup sulit untuk dilakukan oleh perempuan

yang memiliki pekerjaan tetap. Walaupun kesulitan, namun perempuan tetap

melakukan tugasnya dalam merawat dan membagi waktu antara pekerjaan dan ibu

rumah tangga.

Terlihat bahwa peran ganda ini membuat seorang perempuan menjadi lebih

berkualitas dalam hal membagi waktu. Di tengah-tengah kepadatan pekerjaan dan

tugas-tugas kantor yang menumpuk, perempuan masih dapat bersama anak-anaknya

dalam melakukan aktivitas di rumah. Memandikan anak, menyuapnya saat makan, tidur

bersama anak, belajar bersama anak, serta bermain bersama merupakan rangkaian

kegiatan yang dilakukan perempuan saat bersama anak-anaknya di rumah.

Peran transisi domestik pada akhirnya bertumpu pada kualitas perempuan dalam

berbagi perannya. Tugas sebagai perempuan karir dan ibu rumah tangga. Malahayati

mendukung pemahaman ini. Melalui penelitiannya, ia menemukan bahwa peran

perempuan dalam ranah transisi domestik berjalan baik, karena perempuan mampu

membawakan kehangatan, menjadi pendengar yang baik serta tekun dalam melakukan

aktivitasnya.22

Hal ini berarti, peran transisi domestik bagi seorang perempuan paska

perceraian adalah menyangkut quality time. Perempuan mampu mengatur waktunya

secara baik, walaupun tanpa bantuan pendampingnya.

Dengan demikian, salah satu tujuan konseling feminis yang diungkapkan Worrel dan

Remer di dalam Foster dapat teraplikasikan dalam peran ini, yakni mempercayai

pengalaman pribadi dan intuisinya. Perempuan percaya bahwa pengalamannya sebagai

22

Malahayati, I’m the Boss, 22-24.

Page 20: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

seorang ibu dengan dua tugas di ranah transisi dan domestik, adalah kekuatan baginya

dalam memaksimalkan potensi yang ia miliki.23

3.3.2.3 Peran Transisi mengabaikan Domestik

Peran ini terjadi pada dua sosok perempuan yang berbeda. Perempuan pertama ialah

perempuan yang memiliki pekerjaan tetap dan yang kedua perempuan yang tidak

memiliki pekerjaan tetap.

Untuk perempuan pertama, terjadi pada perempuan yang memiliki pekerjaan tetap.

Perempuan ini mengabaikan peran domestiknya, karena pekerjaan yang dilakukannya.

Mertuanya tidak mempercayakannya untuk mengasuh anak-anaknya. Kehilangan peran

domestik adalah konsekuensi, ketika perempuan ini menghabiskan waktu di ranah

transisi.

Untuk perempuan kedua, dijumpai dalam diri seorang perempuan yang terpaksa

meninggalkan anak-anaknya demi mencari pekerjaan. Perempuan ini tidak memiliki

pekerjaan tetap, sehingga paska perceraian ia mengalami kesulitan untuk menghidupi

anak-anaknya. Tugas sebagai seorang ibu diabaikannya, dan ia memilih berperan dalam

ranah transisi.

Briggs berpendapat bahwa pengabaian peran domestik seorang perempuan paska

perceraian, diakibatkan oleh kurangnya dukungan sosial.24

Dukungan yang

dimaksudkan terjadi dalam keluarga dan lingkungan. Dalam sosok perempuan pertama,

dijelaskan alasan perempuan mengabaikan peran domestik adalah kesibukan karena

pekerjaan. Dalam sosok perempuan kedua, masalah pekerjaan yang tidak diperoleh

dalam lingkungannya, mengakibatkan perempuan harus mengabaikan peran

domestiknya karena berangkat ke luar kota.

23

Black dan Foster, “Sexuality of Women with Young Children...,” 97. 24

Kay, E. C, “Social Support in Single Parents Transition from Welfare to Work: Analysis of Qualitative

Finding,” 344.

Page 21: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6277/3/T1_752014014_BAB III... · Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks

Dari kedua permasalahan di atas, bagi penulis, dukungan sosial turut mempengaruhi

peran seorang perempuan paska perceraian dalam melakukan tugas dan tanggung

jawabnya. Artinya, baik keluarga maupun lingkungan haruslah memberikan ruang bagi

perempuan tersebut agar dapat melakukan tugasnya dalam dua ranah ini. Dengan

demikian, tidak akan terjadi pengabaian peran domestik terhadap peran transisi.