29
NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII NO 114/ September - Oktober 2008/Tahun XXVIII PERANGKAT LUNAK PEMERIKSAAN MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154 KODE ETIK SPKN PMP Petujuk Pelaksanaan Pemeriksaan Petunjuk Teknis Pemeriksaan

PERANGKAT LUNAK PEMERIKSAAN

Embed Size (px)

Citation preview

NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII

NO 114/ September - Oktober 2008/Tahun XXVIII

PERANGKAT LUNAK PEMERIKSAAN

MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154

KODE ETIK

SPKN

PMP

Petujuk Pelaksanaan Pemeriksaan

Petunjuk Teknis Pemeriksaan

�NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

2 NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

DAFTAR ISI

114edisi M A J A L A H P E M E R I K S A

Subprime crisis yang terjadi di Amerika Serikat sejak Agustus tahun yang 1alu telah mulai menyebabkan krisis industri keuangan dunia yang pada gilirannya menimbulkan stagflasi atau gabungan antara stagnasi pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat laju inflasi internasional.

Monster Krisis Finansial Itu Bernama “Pasar”

Salah satu pengembangan infrastruktur tersebut adalah ditetapkannya Peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang menerapkan materi dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)...

CATATAN ATAS KRISIS EKONOMI DUNIA oleh Anwar Nasution

Penetapan Materialitas dalam Pemeriksaan Keuangan

Merenovasi Senjata Pemeriksaan dari Bayangan di Balik Cermin....Namun masih saja kita menemukan adanya kelemahan dan kekurangan yang dipan-dang wajar. Kelemahan dan kekurangan itu tidaklah harus dipandang sebagai kesalahan semata.

PENERAPAN STANDAR UMUM AUDITING PADA BPK RI

Tahun 2008 akan dicatat sebagai salah satu episode kelam dalam sejarah perekonomian Amerika Serikat (AS). Bagaimana tidak, hanya dalam sehari lebih dari 1 triliun US$ dana di pasar modal lenyap......

Frase kata “dalam semua hal yang material” merupakan hal penting bagi pemeriksa di dalam memberikan opini. Dengan kata lain, hal yang material saja yang akan mempen-garuhi opini pemeriksa.

STANDARUMUM

AUDITING

Pada suatu masa, laporan BPK akan menjadi referensi bagi penentuan arah dan pilihan kebijakan publik di Indonesia. Birokrat, tokoh masyarakat, politisi, pengusaha, aktivitis dan masyarakat akan berterima kasih kepada BPK.......

JANGAN BIARKAN PETUNJUK DILIHAT SEBELAH MATA

Apa yang salah dengan keinginan itu? Apakah tidak boleh seorang auditor ber-”impro-visasi” dalam memainkan komposisi prosedur auditnya? Apakah auditor harus selalu patuh pada “conductor” untuk menghasilkan alunan laporan audit yang harmonis?

AUDITOR SELALU INGIN MENJADI PEMAIN JAZZ

EDITORIAL

Auditor Bukan Pemusik Jazz

LAPORAN UTAMA

TERKINI

4

5

7

11

14

18

20

23

NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII

NO 114/ September - Oktober 2008/Tahun XXVIII

PERANGKAT LUNAK PEMERIKSAAN

MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154

KODE ETIK

SPKN

PMP

Petujuk Pelaksanaan Pemeriksaan

Petunjuk Teknis Pemeriksaan

Majalah Pemeriksa 114

PERANGKAT LUNAK PEMERIKSAAN

�NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

RUBRIK

Ketua BPK: “Siapa mau beli obligasi kalau laporan keuangan disclaimer?”AGENDA

POTRET BPK

Sudah jelas bahwa BPKP sebagai pengawas internal atau dengan kata lain kita mengenalnya dengan internal control, yang tentunya bertugas untuk mengawasi.

INTERNAL KONTROL PEMERINTAH NAN SEMRAWUT !

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) telah ditetapkan di Jakarta, 28 Agustus 2008 lalu oleh Presiden Re-publik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.

SPIP: SOLUSI UNTUK PERBAIKAN KONTROL INTERNAL PEMERINTAH

Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 7, tentang Akuntansi Aktiva Tetap menyebutkan bahwa salah satu hal yang harus diungkapkan dalam penyajiannya adalah informasi mengenai penyusutan.

“PENYUSUTAN AKTIVA TETAP MILIK PEMERINTAH”

Pemerintah berharap dengan dilaksanakannya agenda reformasi pendidikan tersebut, mutu SDM dapat meningkat sehingga berimbas pada peningkatan kualitas hidup masyarakat Indo-nesia.

Dana Pendidikan: Naikkan Anggarannya, Awasi Penggunaannya

Berawal dari kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, di Indonesia muncul ketentuan-ke-tentuan yang mengatur masalah lingkungan hidup.

AMDAL, SENJATA PEMUSNAH MASALAH LINGKUNGAN

Bedah Masalah :“Rendahnya Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Membiayai Pengeluaran Daerah”

Metode pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum oleh Pemerintah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berdasarkan prin-sip penghormatan hak atas tanah

Pengadaan Tanah pada Pemerintah Daerah

Artikel ini mencoba menguraikan salah satu sumber pembiayaan luar negeri yaitu Kredit Eks-por yang jarang kita jumpai di media massa, dengan harapan semoga bermanfaat bagi pembaca ...

KREDIT EKSPOR

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk di setiap propinsi dan kabupaten/ kota pada umumnya dipahami sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legislatif, dan karena itu biasa disebut dengan lembaga legislatif di daerah.

Optimalisasi Fungsi DPRD dalam Pengawasan Pemerintah Daerah

DIREKTORAT UTAMA PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA MENJADI LAW CENTER BPK

Kredit macet merupakan hal yang dianggap lumrah (biasa) dalam bisnis perbankan. Apabila ada suatu bank yang tidak mempunyai kredit macet, dapat dipastikan bukan karena pengelolaan yang ’super bagus,’ akan tetapi kemungkinan terbesar karena ...

Pemeriksaan Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi pada Sektor Perbankan

Dalam mewujudkan pemerintahan yang bebas dari KKN maka pelaksana pemeriksa BPK, teru-tama yang terkait dengan hasil pemeriksaan Investigatif, cepat atau lambat akan menghadapi persidangan dan memberi keterangan ahli di pengadilan sebagai ahli atas nama BPK.

Persiapan Pemeriksa Sebagai Ahli di Sidang Pengadilan

Adakah Pengaruh Sistem Pengendalian Intern pada Pemberian Opini atas LKAntara Migas dan Batubara

Dialog Publik Pengelolaan Keuangan Negara di Pontianak

GENDIT: JADI DOKTER PUSDIKLAT

AGAMA: JALAN MENUJU TAQWA

Sucikan Harta, Bantu Sesama

KELUARGA: CINTA J A R A K J A U H

Polemik berkepanjangan antara pemerintah dengan kontraktor pertambangan batubara men-capai puncaknya dengan tindakan represif Pemerintah....

Taqwa sebenarnya lahir dari sebuah keimanan yang kokoh yang selalu dipupuk dengan pera-saan diawasi Allah,...

Susunan Dewan Redaksi

Majalah Pemeriksa

Pelindung

Dharma Bhakti

Pemimpin Redaksi

Cris Kuntadi

Anggota Redaksi

Yudhi Ramdan

M. Yusuf Jhon

Ekowati Tyas Rahayu

Dian Desilia

Bestantia Indraswati

R. Edi Susila

Gunawan Wisaksono

Staf Redaksi

Nurmalasari

Barlis Baharuddin

Desain Grafis

Sutriono

Rianto Prawoto

Alamat Redaksi dan Tata Usaha

Gedung BPK-RI Jln. Gatot Subroto

No.31 Jakarta Telp. (021)5704395-6

Pes.214/208 Fax.(021)57950285

Diterbitkan oleh Biro Humas & LN, Badan Pemeriksa Keuangan,

STT No. 722/SK/Ditjen PPG/STT

Redaksi menerima kiriman artikel (disertai dengan softcopy dan foto penulis) sesuai dengan misi majalah PEMERIKSA. Redaksi berhak mengoreksi/mengubah naskah yang diterima sepanjang tidak mengubah isi naskah.

Isi majalah ini tidaklah berarti sama dengan pendirian Badan Pemeriksa Keuangan.

252628

31

34

36

39

41

44

47

51

54

56

60

63

667071

727476

Email: [email protected]

4 NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

Auditor Bukan Pemusik Jazz

EDITOR AL

Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara mengalami perkem-bangan dan perubahan yang cukup signifikan setelah berlakunya paket tiga Undang-un-dang Keuangan Negara. Perubahan tersebut antara lain meliputi jenis pemeriksaan, standar pemeriksaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, serta pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan.

Perubahan tersebut tentunya harus disika-pi dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yang semakin baik dan ‘semakin’ sesuai standar. Apalah artinya kewenangan dan kekuasaan yang luas dan besar ketika tidak di-imbangi perbaikan ke dalam khususnya terkait perangkat lunak pemeriksaan. Tercatat sudah banyak perangkat lunak diciptakan mulai SPKN, PMP, kode etik, petunjuk pelaksanaan sampai petunjuk teknis dan SOP. Akan tetapi, kualitas hasil pemeriksaan dapat terjamin dengan banyaknya perangkat lunak pemerik-saan? Banyak laporan yang menya-takan bahwa auditor sering mengan-dalkan intuisinya sebagai pemeriksa dibandingkan harus mengandalkan atau mematuhi perangkat lunak pemeriksaan.

Auditor cenderung terlalu per-caya diri dan kadang lupa dengan pakem yang harus dipegang dalam memainkan perannya sebagai au-ditor. Akibatnya, ini mendorong munculnya auditor yang doyan ber-musik jazz. Yaitu mengaudit dengan improvisasi sekenanya mengikuti intu-isi yang dipercaya. Padahal, ada kekha-watiran bahwa dengan improvisasi ini, bisa menyulitkan penjaminan keandalan prosedur audit yang dijalankan.

Ada kisah suatu kantor akuntan publik yang memeriksa BUMN tidak dapat menunjukkan KKP ketika direviu oleh auditor lain. Padahal, opini BUMN tersebut katanya WTP. Entah Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Tanpa “Pemeriksaan.” Konon, KAP tersebut akan dia-jukan kepada otoritas profesi untuk dibubar-kan demi hukum. Mungkinkah BPK juga akan diajukan untuk dilikuidasi apabila ternyata pemeriksanya tidak dapat menunjukkan KKP hasil pemeriksaan ketika direviu oleh BPK Ne-gara lain? (CK)

Wallahu a’lam bish showab.

�NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

1.PermasalahanSubprime crisis yang terjadi di Amerika Serikat sejak

Agustus tahun yang 1alu telah mulai menyebabkan krisis industri keuangan dunia yang pada gilirannya menimbul-kan stagflasi atau gabungan antara stagnasi pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat laju inflasi internasional.

Stagflasi perekonomian dunia tersebut akan menimbul-kan dampak negatif pada perekonomian Indonesia melalui tiga jalur. Jalur pertama adalah melalui barang dan jasa kare-na stagflasi ekonomi dunia akan menurunkan tingkat harga maupun volume ekspor kita. Nilai ekspor bukan saja turun ke Amerika Serikat dan ke Eropa Barat tapi juga ke China dan India yang merupakan pengolah bahan baru serta energi yang kita ekspor. Sementara itu, gabungan antara pelemah-an nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing dengan tingkat inflasi di mitra dagang kita akan meningkatkan kenaikan tingkat harga impor serta tingkat laju inflasi di dalam ne-geri.

Jalur kedua bagaimana stagflasi perekonomian dunia mempengaruhi ekonomi Indonesia adalah melalui pasar tenaga kerja. Peningkatan pengangguran tenaga kerja di negara-negara pengimpor tenaga kerja Indonesia akibat dari penurunan tingkat laju pertumbuhan ekonomi akan mengurangi permintaan mereka akan tenaga kerja Indo-nesia (TKI). Sebagian dari TKI yang kini bekerja di luar negeri akan dikembalikan ke Indonesia sehingga menambah tekanan pada pengangguran di dalam negeri. Pada umum-nya TKI itu adalah berusia muda dan memiliki tingkat pen-didikan rendah.

Jalur ketiga bagaimana stagflasi dunia mempengaruhi ekonomi Indonesia adalah melalui lalulintas modal asing.Ada beberapa penyebab peningkatan ketergantungan Indo-mesia pada modal asing jangka pendek sejak era reformasi.Penyebab pertama adalah karena adanya perubahan strategi pinjaman luar negeri pemerintah. Mulai tahun 2004, peme-rintah menjual Surat Utang Negara (SUN) di pasar ko-mersil untuk menutup defisit APBN dan membeli alutsista TNI dengan kredit ekspor dengan persyaratan yang mahal. Se-belumnya, selama 32 Tahun usia Orde Baru, pemerintah hanya meminjam dari sumber.resmi (ODA - official deve-lopment assistances) yang tergabung dalam IGGI/CGI. Pin-jaman ODA adalah berjangka panjang dan dengan bunga murah serta persyaratn lain yang sangat ringan. Jika tidak mampu melunasinya, keringanan pembayaran hutang dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi dan Paris Club. Disebut sebagai ‘penerimaan pembangunan ‘ bantuan dan pinjaman luar negeri pada masa itu dari sumber IGGI/CGI adalah

digunakan untuk menutup defisit APBN.Penyebab kedua peningkatan ketergantungan atas pe-

masukan modal jangka pendek adalah karena adanya pe-ningkatan peran pemodal asing di bursa efek Jakarta (BEJ) maupun di pasar uang yang memperjual belikan SBI (Surat Berharga Bank Indonesia). Sebagian besar dari obligasi yang dijual di BEJ adalah SUN serta oblikasi rekap. Sementara itu, saham yang dijual di BEJ dalam milik perusahaan kelu-arga ataupun BUMN yang mutu governance sangat rendah.

Ketergantungan pasar uang dan pasar modal Indonesia pada modal asing adalah sangat tinggi karena selain be-lum berkembang, institutional investors dalam negeri terus menerus dilanda korupsi. Institutional investors dalam ne-geri itu adalah perusahaan asuransi dan dana pensiun seperti Taspen, Asbri dan Jamsostek.

Dewasa ini sudah mulai terasa dampak dari subprime crisis pada perekonomian nasional. SUN sudah mulai sulit untuk dijual dan tingkat suku bunganya sudah menjadi semakin mahal. Kedua hal ini akan menggangu pembelanjaan defisit APBN dan sekaligus menambah beban pembayaran hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri Pemerintah serta hutang dunia usaha nasional. Sementara itu, pelarian mo-dal asing ke luar negeri telah membuat pasar uang nasional kesulitan likuiditas dan BEJ kolaps pada tanggal 9 Oktober 2008. Pelarian modal ke luar negeri sekaligus menurunkan cadangan devisa karena BI melakukan intervensi di bursa valuta asing agar tidak terjadi erosi kurs yang drastis.

Dilihat dari jumlah aset maupun kantor cabangnya, in-dustri keuangan di Indonesia dewasa ini masih bertumpu pada industri perbankan. Industri perbankan Indonesia itu pun masih bersifat tradisional dan belum berperan dalam penciptaan asset backed securities di dalam negeri. Bank-bank serta lembaga keuangan nasional pun belum banyak yang beroperasi di luar negeri ataupun yang memiliki portepel pada asset backet securities asing, terutama di Amerika Serikat sehingga tidak kena dampak langsung dari subprime mort-gage crisis.

2.Apa yang harus dilakukan?

a. Tingkatkan mutu pengawasan bank dengan memper-ketat imlpementasi aturan prudensial yang berlaku. Hanya dengan demikian, dapat dipulihkan kem-bali rasa kepercayaan masyarakat pada bank-bank nasional. Orang yang sudah masuk daftar hitam kare-na krisis perbankan tahun 1997-98 seyogyanya tidak boleh lagi untuk memiliki dan mengelola bank atau-

CATATAN ATAS KRISIS EKONOMI DUNIAOleh: Dr. Anwar Nasution

TERKINI

� NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

pun menjadi anggota Dewan Supervisi BI;b. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan

reputasi yang buruk, perlu ditutup cabang bank-bank negara di luar negeri yang berpotensi rugi, seperti cabang Bank BNI diu London. Likudasi NV Indover, bank komersil BI yang berkantor pusat di Amsterdam Negeri Belanda , merupakan contoh kerugian materi bagi negara dan sekaligus menurunkan reputasi Indo-nesia di luar negeri. Karena hanya merupakan proyek KKN yang merongrong cadangan luar negeri BI yang ditempatkan di bank itu , sejak krisis tahun 1997 IMF telah menyaranklan untuk menjual ataupun menutup NV Indover,

c. Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara Dep-keu, BI, Bapepam serta Lembaga penjamin Simpanan (LPS) salam membangun financial safety net (FSN) Program FSN itu meliputi kesediaan pemerintah untuk (i) menyediakan likuiditas guna menjaga ter-peliharanya infrastruktur industri keuangan dan (ii) untuk sementara menambah modal atau menasionali-sir bank/lembaga keuangan jika di perlukan ataupun mengambil alih aset lembaga keuangan yang bermasa-lah. Infastruktur industri keuangan perlu dijaga agar transaksi antar bank maupun antar lembaga keuangan tetap berlangsung sehingga kredit pembelanjaan usaha tidak terganggu;

d. Meningkatkan jumlah deposito yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan pemindahan deposito dan tabungan masyarakat antara negara ;

e. Gunakan kurs devisa sebagai instrumen untuk merang-sang ekspor non-komoditi primer. Praktek masa lalu yang membuat nilai tukar efektif Rupiah terlalui kuat perlu di hentikan. Praktek seperti itu dengan sengaja dibuat dimasa lalu untuk membuat barang-barang im-por menjadi murah guna menekan tingat laju inflasi di dalam negeri. Kebijakan seperti itu dapat di lakukan pada waktu itu karena adanya (a) kenaikan ekspor aki-bat dari peningkatan harga komoditi primer dan (b) pemasukan modal jangka pendek untuk membeli SBI dan SUN. Dilain pihak, kebijakan seperti itu telah menimbulkan penyakit ekonomi yang disebut sebagai “the Dutch disease”. Penyakit tersebut menimbulkan ketimpangan regional karena kurs efektif rupiah yang terlalu kuat telah mematikan kegiatan ekonomi perta-nian pangan, buah serta industri manukfaktur di pu-lau jawa yang perpenduduk padat karena tidak kuat bersaing dengan komoditi impor;

f. Berbeda dengan Korea Selatan atau RRC yang memi-liki cadangan luar negeri serta surplus anggaran yang sangat besar, Indonesia tidak mungkin menggerakkan perekonomian nasionalnya melalui ekspansi fiskal. Na-mun demikian, dalam batas-batas tertentu, penajaman pengeluaran negara dapat dilakukan untuk menorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan ker-ja;

g. Tingkatkan peringkat SUN dengan mempercepat im-

plementasi Paket Tiga UU Tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004 yang pada gilirannya memperbaiki opini pemeriksaan APBN dan meningkatkan pering-kat SUN. Secara khusus, transparansi dan akunta-bilitas administrasi penerimaan pajak perlu diperbaiki dengan memperbolehkan audit Ditjen Pajak oleh BPK. Kasus Asian Agri dan rendahnya penerimaan pajak dari sektor pertambangan ditengah boom har-ga dunia mencerminkan adanya transfer pricing yang tidak mungkin terjadi tanpa kerjasama dengan pejabat pajak. Kasus Frist Media di Bandung maupun rang-kaian kasus penyimpangan restitusi PPN ekspor juga memberikan indikasi yang sama;

h. Hindarkan cara mobilisasi penerimaan negara dari pembagian laba BUMN yang ternyata merugi kare-na cara seperti ini hanya merupakan politik burung onta yang memastikan BUMN tersebut dalam jangka menengah dan jangka panjang;

i. Untuk menekan pengeluaran negara , restrukturalisasi peneluaran negara dengan memberikan prioritas kepa-da yang perlu mendesak ataupun yang sudah berjalan serta kegiatan yang punya dampak pada peningkat-an pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja;

j. Berikan eskalasi harga kepada yang memerlukan seperti kenaikan bahan bangunan kepada kontrak-tor maupun kenaikan harga batu bara kepada pem-bangkit listrik karena tingkat harga pasarnya memang meningkat. Penekan harga dibawah tingkat pasar akan membuat perusahaan mati dan/ataupun proyek men-jadi terbengkalai dan bermutu rendah;

k. Program jaring pengaman sosial (social safety net) perlu di tingkatkan, seperti program kesehatan rakyat melalui puskesmas, Keluarga Berencana maupun se-kolah 9 tahun dengan bantuan BOS serta subsidi;

l. Untuk meredam tingkat laju inflasi, gunakan kombi-nasi defisit APBN yang rendah (maksimum 1,5 persen dari PDB) dan kebijakan moneter yang ketat ;

m. Ajak Pemda Provinsi, Kabupaten /Kota mening-katkan iklim berusaha, meningkatkan efisiensi dan meniadakan hambatan perdagangan antar daerah dan memudahkan ijin berusaha;

n. Untuk memupuk tabungan nasional, bangunan kem-bali Bank Tabungan Pos, asuransi maupun dana pen-siun ;

o. Untuk menambah kepercayaan Rakyat, Presiden perlu mengganti para pembantunya dibidang ekonomi de-ngan yang memiliki ilmu yang cukup dan reputasi yang baik .

p. Presiden perlu menjelaskan kepada Rakyat akan sulit-nya keadaan ekonomi dunia dan rangkaian kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah guna mengatasinya.

Jakarta,9 Oktober 2008.

7NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

Tahun 2008 akan dicatat sebagai salah satu episode kelam dalam sejarah perekonomian Amerika Serikat (AS). Bagaimana tidak, hanya dalam se-

hari lebih dari 1 triliun US$ dana di pasar modal lenyap. Sa-ham-saham yang diperjualbelikan di Wall Street bergelim-pangan naik turun bagaikan rollercoaster. Tsunami sedang melanda perekonomian AS. Bangunan ekonomi AS dibuat terhempas tak beraturan oleh institusi bernama “pasar” yang selama ini keberadaannya selalu dijadikan brand yang dia-gung-agungkan oleh AS sendiri.

Indonesia boleh tertawa karena Sang Negara Adikuasa pun ternyata tak punya kuasa untuk tidak mengikuti lang-kah Indonesia. Program bailout, yang di Indonesia disebut BLBI (senilai Rp650 triliun), ternyata terjadi juga di AS. Pada tanggal 3 Oktober 2008, Presiden Amerika Serikat, George W Bush, atas persetujuan Kongres AS di Ruang Oval, Gedung Putih, Washington DC, menandatangani paket bailout senilai US$ 700 miliar. Semua itu dilakukan demi satu tujuan yakni memulihkan kepercayaan dan sta-

bilitas pasar keuangan. Hal ini seperti pernyataan Menteri Keuangan Amerika Serikat, Henry M. Paulson, Jr. “Actions to Protect the U.S. Economy” (http://www.treas.gov/press/releases/hp1205.htm).

Seperti diketahui, resesi ekonomi AS berawal dari ada-nya kasus macetnya kredit di sektor perumahan (subprime mortgage). Kondisi tersebut menghantam dunia perbankan AS yang berdampak pada ambruknya pasar modal AS de-ngan anjloknya indeks saham di New York Stock Exchange (NYSE). Krisis ini memicu tergerusnya kepercayaan antara investor dan pialang, serta krisis kepercayaan sesama per-bankan. Kelesuan ekonomi AS tersebut diperparah melam-bungnya harga minyak dunia hingga melebihi US$100 per barel yang memberi tekanan terhadap perekonomian negeri Paman Sam tersebut.

The Fall of ReagenomicsSaat ini pasar sudah menjadi institusi yang begitu

mengerikan bagi perekonomian negara-negara diselu-ruh dunia. Jutaan pasang mata tengah memelototi output yang dihasilkan baik dari pasar uang maupun pasar modal. Output yang dihasilkan dari institusi pasar tersebut susah diprediksi dan sulit diajak kompromi. Ada yang dibuat tertawa karena untung dan ada pula yang dibuat gigit jari karena rugi. Pergerakan pasar yang semakin liar membuat AS sebagai ikon liberalisme pun tak sanggup membendung gejolak krisis di pasar uang dan pasar modal. Krisis tersebut sekaligus menandai kegagalan kebijakan Reagenomics yang diusung pemerintahan Presiden Bush. Reagenomics merupa-kan kebijakan ekonomi di masa Presiden AS Ronald Reagen yang ditandai dengan low taxes, low social-ser-vices spending, and high military spending – yang kemudian berdampak pada rendahnya tingkat suku bunga, rendahnya inflasi, serta tingginya defisit anggaran (budget deficits).

Secara makroekonomi, sumber permasalahan krisis ekonomi yang melanda AS berasal dari kebijakan defisit anggaran yang dibiayai dengan utang. Sementara itu, pa-jak sebagai sumber pendapatan justru dikurangi (low taxes). Harapannya, dengan pajak yang rendah, korporasi akan meningkatkan konsumsi. Padahal pajak korporasi adalah sumber penting bagi pendapatan pemerintah AS namun jus-tru dihilangkan. Hal tersebut sama halnya dengan meredu-sir peran pemerintah bagi perekonomian dan membiarkan pasar berjalan dengan kontrol yang rendah.

Monster Krisis Finansial Itu Bernama “Pasar”

Oleh: Gunawan Wisaksono, S.E. (Staf di Kantor Pusat BPK RI Jakarta)

TERKINI

8 NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

Pilihan kebijakan tersebut mengakibatkan utang AS menumpuk (mencapai US$10,3 triliun). Jumlah utang publik kotor AS sampai dengan Oktober 2008 tersebut se-tara dengan 72,2% dari GDP (lihat tabel 1). Tumpukan utang tersebut merupakan konsekuensi untuk menutup de-fisit anggaran AS yang terus membengkak hingga US$455 miliar. Selain karena excessive military spending di Irak, penyebab penumpukan utang AS adalah adanya program pengurangan pajak korporasi sebesar US$1,35 triliun yang dicanangkan pada 2001. Ini adalah program pengurangan utang terbesar dalam sejarah perekonomian AS. Dan me-mang benar adanya, game is over, dunia akhirnya melihat bahwa daya dukung ekonomi AS sudah tak mampu lagi mengatasi tumpukan utang. Aliran dana yang masuk ke AS akhirnya berhamburan keluar untuk mencari tempat baru yang menawarkan keamanan (low risk) ataupun keuntungan (rate of return) lebih baik. Gelombang kebangkrutan pun dimulai dengan ambruknya investor funds Lehman Brothers dan kolapsnya Washington Mutual.

Dampak Krisis Keuangan di AS Bagi Perekonomi-an Indonesia

Sebagai godfather liberalisasi, AS cukup sukses menye-barkan paham liberalisme dalam tata hubungan ekonomi dunia. Dengan bantuan institusi dunia yang menjadi kom-parador AS seperti IMF, WTO, dan World Bank, transaksi keuangan dan perdagangan antar negara menjadi semakin terbuka. Berdasarkan data World Economic Outlook 2006, keterbukaan di sektor keuangan (financial openness) dan perdagangan (trade openness) menunjukkan kecenderungan meningkat baik di negara maju maupun di Negara Sedang Berkembang (NSB). Keterbukaan perdagangan diukur de-ngan penjumlahan dari aset eksternal, kewajiban terhadap penanaman modal asing, dan portofolio modal sedangkan keterbukaan perdagangan diukur dengan rasio penjumlahan nilai ekspor dan impor terhadap PDB.

Keterbukaan keuangan di NSB meningkat dari 11,09% terhadap PDB pada tahun 1970 menjadi 42,3% terhadap PDB pada tahun 2004. Keterbukaan dari sisi perdagangan di NSB juga mengalami peningkatan dari 13,9% terhadap PDB di tahun 1970 menjadi 56,9% terhadap PDB pada tahun 2004. Tren yang sama juga terjadi di negara-negara maju dimana keterbukaan perdagangan dan keuangan me-

ngalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kondisi perekonomian dunia yang semakin terbuka

dan interdependen satu dengan lainnya, menjadikan krisis keuangan yang awalnya terjadi di AS menular ke wilayah lain (contagion effect) termasuk Kawasan Eropa dan pada akhirnya juga akan bertransmisi ke Indonesia. Apalagi do-minasi AS terhadap perekonomian dunia sangat kuat. Ber-dasarkan data World Economic Outlook April 2008, pangsa perekonomian AS terhadap perekonomian dunia mencapai 20,6% (tabel 2).

Krisis global akan mempengaruhi stabilitas sektor keua-ngan dan sektor riil perekonomian Indonesia. Sektor keua-ngan termasuk lalu lintas di pasar modal adalah sektor yang terkena dampak langsung (direct effect) krisis global diban-ding sektor riil. Hal tersebut terbukti bahwa adanya gejolak krisis global langsung diikuti turunnya indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga ke level 1.451,669. Artinya, indeks mengalami penurunan sebesar 168,052 poin alias 10.38%. Untuk menghindari keterpurukan pasar dan sentimen negatif, pada tanggal 8 Oktober 2008 BEI memutuskan menghentikan sementara perdagangan efek yang bersifat ekuitas dan derivatif dan baru dibuka kembali pada 13 Oktober 2008. Transaksi di pasar valas pun tak kalah riuh. Nilai rupiah terhadap US$ men-galami depresiasi hingga mencapai Rp1.050 per 10 Okto-ber 2008. Untuk meredam gejolak keuangan tersebut Bank Indonesia selaku otoritas moneter melakukan kebijakan tight money policy dengan menaikkan tingkat BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 9,5% dan melakukan moral suasion kepada bank-bank umum untuk mengurangi atau bahkan menghentikan pengucuran kredit konsumsi. Kenaikan BI rate ini disatu sisi diharapkan mampu meredam inflasi dan menarik modal kedalam negeri (capital inflows) namun disi lain akan memicu kenaikan suku bunga pinjaman domes-tik. Hal ini berarti sektor riil akan menanggung biaya bunga yang lebih tinggi dalam melakukan usaha. 1

Tabel 1. Indikator Ekonomi Amerika Serikat

Indikator Ekonomi 2004 2005 2006 2007 2008

Pertumbuhan Ekonomi (%) 3.64 2.94 2.78 2.03 1.57 GDP Per Kapita (US $) 39,811.63 41,929.08 44,063.34 45,725.35 47,025.30 Inflasi (%) 3.19 3.74 2.19 4.09 3.13 Neraca Perdagangan (Miliar US $) -625.00 -728.99 -788.12 -731.21 -664.13 Neraca Perdagangan (% GDP) -5.35 -5.87 -5.98 -5.30 -4.63 Tabungan (% GDP) 13.80 14.80 15.50 14.20 12.60 Investasi (% GDP) 19.35 20.00 20.09 18.78 17.48 Defisit Anggaran Pemerintah (% GDP)

-4.35 -3.26 -2.24 -2.65 -4.12

Utang Kotor Pemerintah (% GDP) 1)

63.14 64.60 64.55 65.50 72.20

Sumber : IMF, World Economic Outlook, October 2008 1) www.treasurydirect.gov, diolah Keterangan: Data IMF, World Economic Outlook, October 2008 untuk periode 2008 merupakan data estimasi.

Tabel 2. Pangsa Perekonomian Dunia

Negara/Kawasan Pangsa Ekonomi Dunia (%)

Amerika 30,9 - AS 20,6 - Canada 1,9 Eropa 27,3 - Jerman 4,2 - Inggris 3.2 - Perancis 3.1 Asia Pasifik 37.9 - Jepang 6.5 - China 11.3 - India 4.8 - Australia 1.2 - ASEAN 4.0 Singapura 0.4 Thailand 0.8 Malaysia 0.6 Indonesia 1.3 Lainnya 8.3 Dunia 100

Sumber: WEO April 2008, dikutip dari Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, Bank Indonesia, Triwulan II 2008, hal.8.

1

Tabel 1. Indikator Ekonomi Amerika Serikat

Indikator Ekonomi 2004 2005 2006 2007 2008

Pertumbuhan Ekonomi (%) 3.64 2.94 2.78 2.03 1.57 GDP Per Kapita (US $) 39,811.63 41,929.08 44,063.34 45,725.35 47,025.30 Inflasi (%) 3.19 3.74 2.19 4.09 3.13 Neraca Perdagangan (Miliar US $) -625.00 -728.99 -788.12 -731.21 -664.13 Neraca Perdagangan (% GDP) -5.35 -5.87 -5.98 -5.30 -4.63 Tabungan (% GDP) 13.80 14.80 15.50 14.20 12.60 Investasi (% GDP) 19.35 20.00 20.09 18.78 17.48 Defisit Anggaran Pemerintah (% GDP)

-4.35 -3.26 -2.24 -2.65 -4.12

Utang Kotor Pemerintah (% GDP) 1)

63.14 64.60 64.55 65.50 72.20

Sumber : IMF, World Economic Outlook, October 2008 1) www.treasurydirect.gov, diolah Keterangan: Data IMF, World Economic Outlook, October 2008 untuk periode 2008 merupakan data estimasi.

Tabel 2. Pangsa Perekonomian Dunia

Negara/Kawasan Pangsa Ekonomi Dunia (%)

Amerika 30,9 - AS 20,6 - Canada 1,9 Eropa 27,3 - Jerman 4,2 - Inggris 3.2 - Perancis 3.1 Asia Pasifik 37.9 - Jepang 6.5 - China 11.3 - India 4.8 - Australia 1.2 - ASEAN 4.0 Singapura 0.4 Thailand 0.8 Malaysia 0.6 Indonesia 1.3 Lainnya 8.3 Dunia 100

Sumber: WEO April 2008, dikutip dari Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, Bank Indonesia, Triwulan II 2008, hal.8.

9NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

Pengaruh krisis global terhadap sektor riil membu-tuhkan jangka waktu yang lebih lama (time lag). Stagnasi perekonomian dunia khususnya di AS akan menurunkan aggregate demand. Penurunan permintaan tersebut berim-bas pada ekspor barang dan jasa Indonesia ke AS. Seperti diketahui bahwa AS merupakan tujuan ekspor utama In-donesia setelah Jepang. Berdasarkan data BPS, dari Januari sampai dengan Agustus 2008 ekspor nonmigas Indonesia ke AS tercatat sebesar 7.479 juta US$ atau 11,58% dari total ekspor nonmigas Indonesia. Sementara itu, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dollar akan menaikkan tingkat harga impor serta tingkat laju inflasi di dalam negeri (imported in-flation).

Secara umum dampak krisis di AS tersebut bagi pere-konomian Indonesia berbeda dengan krisis ekonomi 1997-1998. Krisis keuangan kiriman dari AS ini tidak disertai krisis nilai tukar, kegagalan pemerintah membayar utang, dan tidak ada credit default seperti yang pernah terjadi pada tahun 1997-1998. Krisis yang terjadi saat ini akibat adanya sensitivitas isu atau sentimen dalam short term trading di pasar modal bukan akibat rapuhnya pengelolan ekonomi Indonesia. Dengan demikian dampak krisis lebih banyak dirasakan bagi para pelaku ekonomi yang menanamkan uangnya di pasar modal. Berdasarkan data Asia Develop-ment Bank (ADB) 2008 di tabel 3, kapitalisasi pasar modal di Indonesia terhadap gross domestic product (GDP) hanya sekitar 38,1%. Kondisi tersebut berbeda dengan AS yang nilai kapitalisasi pasar modalnya mencapai 139,7% GDP, Hongkong 903.6% GDP, ataupun Jepang 108.2% terhadap GDP.

Pembalikan Aliran Modal Jangka PendekHal yang perlu diwaspadai adalah adanya aliran dana

jangka pendek asing (hot money) yang masuk ke perekono-mian Asia termasuk Indonesia. Dampak masuknya aliran uang asing bisa jadi bukan berkah melainkan justru musi-bah yang tertunda. Aliran modal asing mendorong kemung-kinan terjadinya gagal bayar, inflasi, krisis perbankan, dan kehancuran mata uang khususnya bagi perekonomian di NSB. Saat ini tengah terjadi pembalikan aliran modal di AS mengingat rentannya fundamental perekonomian AS. Aliran dana tengah bergerak bebas untuk mencari tempat yang menawarkan profit tinggi. Dan sepertinya Asia adalah tempat yang akan dituju para pemodal. China merupakan negara tujuan utama hot money dengan pertimbangan pere-konomiannya yang tumbuh mengesankan (11%). Indone-sia juga tidak menutup kemungkinan sebagai tempat tujuan aliran hot money. Kenaikan BI rate sebagai suku bunga acuan berpotensi menarik dana asing masuk. Pasca peristiwa Black Friday, JP Morgan Securities telah memborong Surat Utang Negara Pemerintah Indonesia senilai Rp1,1 triliun.

Oleh karena itu agar dalam jangka pendek stabilitas keuangan Indonesia tetap terjaga maka pemerintah harus memiliki instrumen pengamanan untuk mengamankan hot money. Selain itu yang lebih penting adalah meningkatkan cadangan devisa untuk mengantisipasi capital outflow aki-bat adanya aksi spekulasi dan short selling. Hingga minggu pertama Oktober 2008, cadangan devisa Indonesia seni-lai US$57,1miliar. Cadangan devisa tersebut relatif kecil dibanding negara Asia lainnya seperti China (US$1.244 miliar), Jepang (US$740 miliar), India (US$152 miliar), dan Singapura (US$67 miliar).

Dalam menyikapi krisis keuangan global ini, pemerin-

tah dan otoritas moneter Indonesia harus waspada terhadap perilaku pasar khususnya pasar uang dan pasar modal yang didalamnya terdapat sifat-sifat cari untung (maximizing profit), spekulatif tamak, dan tanpa mengenal belas kasih. Lihat saja AS, sebagai negara yang menyatakan diri sebagai pengusung ideologi pasar justru dibuat tak berdaya oleh ide-ologi yang diusungnya. Hal ini menandakan bahwa pasar bagaikan monster yang tidak memiliki hati nurani dan akan melindas siapa saja yang tidak bisa mengikutinya. Kri-sis keuangan global yang dipicu oleh AS ini membuktikan bahwa ekonomi pasar bisa juga gagal dalam menilai real price dari suatu aset. Saham-saham yang diperjualbelikan dalam sistem yang bersifat market clearing ternyata justru dipenuhi unsur tipuan sehingga tidak mencerminkan nilai yang se-benarnya (asimetry information). Semua itu dilakukan demi untuk mencapai apa yang disebut dengan profit.

Oleh karena itu agar tidak terhempas oleh sistem pasar yang demikian terbuka, maka sebagai negara small open economy, Pemerintah Indonesia harus memperketat tran-saksi-transaksi derivatif melalui berbagai regulasinya. Jangan sampai “ekonomi kasino” yang berbau spekulasi mengu- asai perekonomian Indonesia yang pada akhirnya dapat me-nimbulkan perekonomian balon (bubble economy). Ekonom

2

Tabel 3. Kapitalisasi Pasar Modal di Sejumlah Negara, Tahun 2008

Negara Persentase Kapitalisasi Pasar Modal Terhadap GDP (%)

China 81.8 Hongkong a) 903.6 Jepang a) 108.2 India 196.9 Korea 91.5 Jordan 354 Saudi Arabia 119.4 Thailand 65 Indonesia a) 38.1 Vietnam 14.8 Australia a) 121.0 Argentina 21.9 Brazil 104.2 Chile 125.1 Mexico 45.0 Amerika Serikat b) 139.7 Russia 63.4

Sumber: IMF, Global Financial Stability Report, Oktober 2008, hal. 137 a) ADB, Key Indicator for Asia and the Pacific 2008, hal. 179 b) World Federation of Exchange 2007, hal. 74.

Keterangan: Data untuk Hongkong, Jepang, dan Indonesia, Australia tahun 2006 dan AS adalah data tahun 2007

�0 NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

peraih Nobel 2008, Paul Krugman, mengingatkan bahwa perekonomian balon tercipta jika pemain-pemain pasar memiliki sifat dan perilaku antara lain hanya berorientasi jangka pendek (think short term), tamak (be greedy), terlalu menyederhanakan masalah (overgeneralize), dan bermain menggunakan uang orang lain (play with other people’s mo-ney).

Transaksi ekonomi harus memberi manfaat jangka pan-jang tidak hanya keuntungan jangka pendek semata. Adalah sunatullah jika seseorang atau sekelompok orang untuk men-dapatkan keuntungan harus melalui proses kerja riil bukan didasarkan permainan sentimen ataupun asimetri informasi. Fondasi ekonomi Indonesia harus dibangun dari ekonomi sektor riil yang lebih banyak mendatangkan kemakmuran nyata bagi rakyat Indonesia bukan didasarkan pada transak-si “lembaran kertas” yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Daftar Bacaan Asia Development Bank, Key Indicator for Asia and the Pacific 2008, edisi 39, Agustus 2008. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor Dan Impor Indonesia Agustus 2008, edisi No. 50/10/Th. XI, 6 Oktober 2008. Bank Indonesia, Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Interna sional, Bank Indonesia, Triwulan II 2008, www.bi.go.id

Business Week, Krisis Finansial Terbaru, edisi 22 Oktober 2008. China Daily, US budget deficit swells to record $455 billion, edisi 15 Okto ber 2008, www.chinadaily.com.cn IMF, World Economic Outlook, 2006-2008, www.imf.orgNewsweek, “The Fu ture of Capitalism: The End of The Age of Reagan and Thatcher, and What Will Follow”, Edisi 13 Oktober 2008. Reinhart, Carmen M dan Reinhart, Vincent R., “Capital Flow Bonanzas: An Encompassing View of The Past and Present”, NBER Working Paper 14321, September 2008. World Federation of Exchange, Annual Report and Statistic 2007, www. world-exchanges.org

Website:www.treas.orgwww.treasurydirect.gov

UPACARA PENGAMBILAN SUMPAH JANJI PNS DI BPK RI KANTOR PERWAKILAN PROVINSI DIY

Rabu, 15 Oktober 2008, BPK RI Kan-tor Perwakilan Provinsi DIY dilaksanakan Upacara Pengambilan Sumpah/Janji PNS. Upacara yang mengambil tempat di Au-ditorium Kantor Perwakilan ini dipimpin langsung oleh Kepala Perwakilan Dra. Evi-ta Eriati, MM dan diikuti oleh 17 Pegawai Negeri Sipil yang terdiri dari 13 pegawai Perwakilan Yogyakarta dan 4 pegawai dari luar Perwakilan Yogyakarta. Acara tersebut juga dihadiri oleh para pejabat struktural di lingkungan Perwakilan Yogyakarta dan para tamu undangan.

Dalam pidatonya, Kepala Perwakilan Dra. Evita Eriati, MM membacakan Pi-dato Arahan Sekjen BPK RI yang mene-

gaskan kembali bahwa Sumpah PNS sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 21 tahun 1975 merupakan tonggak utama pemantapan seseorang untuk berkarier di lingkungan Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia. Lebih jauh disampaikan, bahwa Sumpah PNS merupakan sebuah kontrak antara seorang PNS dengan diri sendiri, instansi, Negara dan Tuhan Yang Maha Esa untuk menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara secara Independen dan Profesional. Acara yang berlangsung khitmad tersebut diakhiri dengan doa dan pemberian ucapan selamat oleh seluruh tamu undangan.

KSB Humas Jogja

��NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

LAPORAN UTAMA

Setiap laporan hasil pemeriksaan atas laporan keu-angan memuat pernyataan opini pemeriksa atas laporan keuangan sebagai berikut, “Menurut pen-

dapat kami, laporan keuangan yang kami sebut di atas men-yajikan secara wajar, dalam semua hal yang material ...... sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indo-nesia.”.

Frase kata “dalam semua hal yang material” merupa-kan hal penting bagi pemeriksa di dalam memberikan opini. Dengan kata lain, hal yang material saja yang akan mem-pengaruhi opini pemeriksa. Permasalahan dari ungkapan “dalam semua hal yang material” adalah bagaimana atau yang mana atau seberapa besar yang material itu? Apakah yang material itu berupa ukuran kuantitatif atau kualitatif? Apakah semua berdasarkan pertimbangan pemeriksa (judgement auditors) yang dapat berbeda-beda? Se-berapa jauh pertimbangan pemeriksa tersebut da-pat dijamin keseragamannya atas suatu kondisi yang sama? Kapan penentuan materialitas itu – saat perencanaan, pekerjaan lapangan, atau pelaporan?

Pengertian materialitasBerbagai referensi terkait materialitas

dikemukakan dalam auditing standards baik international maupun national au-diting standards. Di Indonesia, Standar Profe- s i o n a l Akuntan Publik (SPAP) yang diakomodasi oleh Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) mengatur mengenai materialitas. Pengertian materialitas adalah sebagai berikut:

“Materialitas merupakan besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupin-ya, mungkin dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut” (SPAP, Seksi 312 paragraf 10).

Definisi tersebut menyiratkan ada dua hal harus diper-timbangkan dalam menetapkan batas materialitas, yaitu keadaan dan orang yang menggunakan informasi. Jumlah rupiah tertentu yang material untuk suatu entitas mungkin tidak material untuk entitas yang lain. Demikian juga jum-lah rupiah yang dianggap material untuk laporan keuangan tahun 2006 dapat menjadi tidak material dalam laporan keuangan tahun 2007 jika terdapat perubahan kondisi yang mendasar. Batasan materialitas juga harus dilihat dari sudut pandang orang yang menggunakan informasi dalam laporan keuangan, antara lain DPR/DPRD, kreditor, dan Pemerin-tah sebagai pemegang saham BUMN/D.

Pengertian di atas tidak mengatur besarnya atau kondisi

yang mempengaruhi nilai materialitas. Penentuan hal yang material atau tidak dari definisi di atas dan pengaturan dalam SPAP belum dapat memberikan pedoman yang jelas dalam penentuan materialitas.

Planning Materilaity & Tolerable ErrorPemeriksa harus menetapkan materialitas pada dua ting-

kat:1. Materialitas awal pada tingkat laporan keuangan (Planning

Materiality/PM).2. Materialitas pada Tingkat Akun, yang dikenal deng-

an istilah tolerable error (TE) atau tolerable mistate-ment yaitu alokasi PM kepada akun-akun secara individual.

Dari beberapa buku teks auditing (Arens, 2006; Messier, 2006), artikel (Wheler,1989; Zuber, 1983)

serta petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pemeriksaan laporan keuangan yang ada pada Litbang

BPK, penentuan materialitas dapat dilakukan de-ngan prosedur: Penentuan dasar penetapan mate-rialitas; Penentuan tingkat materialitas; Penetapan

nilai materialitas awal atau planning materiality (PM); Penetapan kesalahan yang dapat ditoleransi atau tolerable error (TE); Pertimbangan atas PM, TE, dan opini. Gambar di bawah menunjukkan tahapan penetapan dan penggunaan materialitas di dalam pemeriksaan keuangan.

Penentuan Dasar Penetapan MaterialitasLangkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerik-

sa adalah menentukan dasar penetapan materialitas. Di

Penetapan Materialitas Dalam Pemeriksaan Keuangan

Oleh: Dian Rosdiani dan Bahtiar Arif

�2 NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

antaranya adalah nilai laba bersih sebelum pajak, total aset, ekuitas, total penerimaan atau total belanja/biaya. Dalam memutuskan nilai yang akan dijadikan dasar, pemeriksa se-baiknya mempertimbangkan: karakteristik (sifat, besar dan tugas pokok) dan lingkungan entitas yang diperiksa; area dalam laporan keuangan yang akan lebih diperhatikan oleh pengguna laporan keuangan; dan kestabilan nilai yang akan dijadikan dasar.

Dalam menentukan dasar penetapan materialitas, pemeriksa dapat merujuk pada pedoman materialitas yang disusun oleh Australian National Audit Office (ANAO), yaitu: (a) untuk entitas nirlaba menggunakan total pene-rimaan atau total belanja, (b) untuk entitas yang bertujuan mencari laba menggunakan laba sebelum pajak atau pen-dapatan, dan (3) untuk entitas yang berbasis aset menggu-nakan nilai aset bersih.

Misalnya, Departemen Kesehatan bertugas mening-katkan kesehatan di seluruh Indonesia, sering melakukan proyek penelitian dan pengembangan mengenai masalah-masalah kesehatan dan mendirikan fasilitas-fasilitas layanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan sebagainya yang dibiayai oleh pemerintah. Nilai total belanja pada LRA kementerian negara/lembaga tersebut cukup tinggi, dan pengguna laporan keuangan diperkirakan akan tertarik un-tuk mengetahui penggunaan dana dari pemerintah tersebut. Oleh karena itu, dasar penetapan materialitas yang paling sesuai untuk pemeriksaan laporan keuangan kementerian negara/lembaga ini adalah total belanja.

Penentuan Tingkat (Rate) MaterialitasSetelah menentukan dasar penetapan, pemeriksa harus

mempertimbangkan persentase yang akan digunakan dalam menghitung materialitas awal. Karena BPK belum mem-punyai pedoman yang spesifik mengenai hal ini, pemeriksa kembali dapat mengambil pedoman ANAO sebagai bench-mark. ANAO menetapkan rate materialitas sebagai berikut:

a. untuk entitas nirlaba: 1% dari total penerimaan atau to-

tal belanja,b. untuk entitas yang bertujuan mencari laba: 5% dari laba

sebelum pajak atau 0,5% dari total pendapatan, dan c. untuk entitas yang berbasis aset: 0,5% dari nilai aset

bersih.Selain itu, pemeriksa juga dapat menggunakan salah satu

dari cara-cara berikut ini yang diungkapkan dalam berbagai buku-buku auditing ((Arens, 2006; Messier, 2006), artikel (Wheler,1989; Zuber, 1983)):

a. 5% - 10% dari laba sebelum pajak, dimana 10% digu-nakan dalam perusahaan yang labanya kecil dan 5% di-gunakan dalam perusahaan yang labanya besar

b. 0,5% - 5% dari laba bruto, dimana 0,5% digunakan pe-rusahaan yang labanya besar dan 5% digunakan dalam perusahaan yang labanya kecil

c. 0,5% dari total aktivad. 1% dari ekuitase. 0,5% dari pendapatanf. Suatu variabel persentase dari total pendapatan atau to-

tal aset yang mana yang lebih besar seperti yang selama ini diterapkan sebagai pedoman penetapan batas mate-rialitas pada the big four berdasarkan suatu survei yang dilakukan oleh American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). (lihat box)

Penetapan Nilai Materialitas Awal (PM)Melanjutkan ilustrasi penghitungan materialitas dengan

pendekatan ANAO di box, misalnya pemeriksa menentu-kan dasar penetapan materialitas di Departemen Kesehatan adalah total belanja, dan karena departemen ini merupakan entitas nirlaba, maka tingkat materialitas yang digunakan adalah 1%. Total belanja pada LRA Departemen tersebut adalah sebesar Rp 12.260 juta. Maka PM untuk Departe-men Kesehatan adalah sebesar Rp122,6 juta.

Namun jika pemeriksa mencoba menerapkan variable persentase yang dipakai oleh the big four seperti pada tabel di atas, namun dengan total belanja sebagai dasar penetapan

Jika Total Aset atau Total Pendapatan (yang mana yang lebih besar)

Materialitas adalah

Lebih dari Tapi tidak lebih dari Matarialitas dasar

+ Faktor x Kelebihan dari

$ 0 $ �0 ribu $ 0 + 0.0�9 x $ 0�0 ribu �00 ribu �,780 + 0.0�� x �0 ribu

�00 ribu �00 ribu �,970 + 0.02�4 x �00 ribu�00 ribu � juta 8,�00 + 0.0�4� x �00 ribu

� juta � juta �8,400 + 0.0�00 x � juta� juta �0 juta �8,�00 + 0.0�7 x � juta

�0 juta �0 juta 8�,�00 + 0.004� x �0 juta�0 juta �00 juta �78,000 + 0.00��� x �0 juta

�00 juta �00 juta �98,000 + 0.002�4 x �00 juta�00 juta � milyar 8��,000 + 0.00�4� x �00 juta� milyar � milyar �,840,000 + 0.0�00 x � milyar� milyar �0 milyar �,8�0,000 + 0.000�7 x � milyar

�0 milyar �0 milyar 8,��0,000 + 0.0004� x �0 milyar�0 milyar �00 milyar �7,800,000 + 0.000�� x �0 milyar

�00 milyar �00 milyar �9,700,000 + 0.0002� x �00 milyar�00 milyar 82,�00,000 + 0.000�� x �00 milyar

Tingkat materialitas berdasarkan variabel persentase dari total pendapatan atau total aset dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel Tingkat Materialitas

��NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

materialitas, maka materialitas awal yang ditetapkan adalah Rp8.550.000 + (0,00046 x Rp2.260 juta) , yaitu sama de-ngan Rp9.589.600

Penetapan Tingkat Kesalahan yang Dapat Ditoleransi (TE)

Tingkat kesalahan yang dapat ditoleransi (TE) merupa-kan alokasi materialitas awal (PM) pada setiap akun atau kelompok akun. Alokasi materialitas pada setiap akun di-lakukan dengan tujuan untuk menentukan line item dalam laboran keuangan yang memerlukan tambahan prosedur pemeriksaan, memastikan adanya kemungkinan salah saji yang material yang berasal dari penggabungan salah saji yang jumlahnya lebih kecil dari materialitas awal, dan me-ngantisipasi adanya risiko deteksi.

ANAO mempunyai pedoman dalam mengalokasikan PM menjadi TE sebagai berikut: bila risiko audit rendah maka TE ditetapkan 70-75 % dari PM; bila risiko audit sedang , maka TE ditetapkan 60- 70 % dari PM; bila risiko audit tinggi, maka TE ditetapkan 50 – 60 % dari PM.

Sedangkan juknis pemeriksaan LKPP/LKKL dan juknis pemeriksaan LKPD yang telah disusun oleh Direktorat Lit-bang BPK RI menetapkan TE sebesar 50% dari PM. Alter-natif lainnya, TE dapat dialokasikan sesuai dengan proporsi besaran nilai setiap akun, atau pemeriksa dapat mengguna-kan pertimbangan profesionalnya untuk menilai apakah ia perlu mengalokasikan TE yang lebih ketat atau cukup long-gar untuk akun tertentu berdasarkan pengalamannya teru-tama mengenai kecenderungan terjadinya salah saji pada akun-akun tertentu tersebut. Aturan umum yang sering di-gunakan adalah bahwa alokasi pada satu akun tertentu tidak lebih dari 60% dari PM, dan jumlah dari seluruh TE tidak lebih dari dua kali nilai PM.

Materialitas Awal, TE, Bukti dan OpiniPenetapan materialitas awal (PM) dan TE pada tahap

perencanaan pemeriksaan sangat berpengaruh terhadap banyaknya bukti pemeriksaan yang harus diperoleh atau ukuran sampel yang akan diuji. Tingkat materialitas ber-hubungan terbalik dengan banyak bukti/ukuran sampel. Semakin tinggi tingkat materialitas, semakin sedikit bahan bukti yang harus diperoleh sehingga semakin sedikit sam-pel yang harus diambil jika pemeriksa memutuskan untuk melakukan uji petik.

Sepanjang tahap pelaksanaan, pemeriksa perlu terus me-nilai kesesuaian tingkat materialitas yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan tersebut dan mengubah/memper-baharuinya jika memang diperlukan. Pada tahap pelaporan, materialitas baik pada tingkat laporan keuangan maupun pada tingkat akun individual sangat berpengaruh pada opini yang akan diberikan oleh pemeriksa.

- Jika total salah saji yang ditemukan pada tingkat laporan keuangan secara keseluruhan lebih kecil dari PM, dan salah saji pada ting-kat akun masing-masing tidak lebih besar dari TE akun tersebut, maka pemeriksa dapat memberikan opini wajar tanpa pengecualian,

kecuali ada pertimbangan kualitatif yang mengharuskan pemeriksa memberi opini lain.

- Jika total salah saji yang ditemukan pada tingkat laporan keuangan secara keseluruhan lebih besar daripada PM, maka pemeriksa harus memberikan pendapat tidak wajar.

- Jika total salah saji yang ditemukan pada tingkat akun lebih besar daripada TE akun tersebut, pemeriksa perlu mempertimbangkan untuk memberi opini wajar dengan pengecualian atas akun tersebut meskipun salah saji pada tingkat laporan keuangan secara keseluru-han masih dibawah PM.

Faktor kualitatif yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan tingkat materialitas pada tingkat lapor-an keuangan, diantaranya adalah pengendalian intern dan ketidakwajaran. Adanya salah saji baik disengaja atau tidak merupakan dampak dari kelemahan pengendalian intern.

Pemeriksa juga perlu menerapkan sikap skeptis yang profesional dalam menentukan apakah suatu salah saji yang tidak material sebenarnya merupakan praktik-praktik kecurangan dalam pelaporan keuangan. Sedangkan faktor kualitatif yang harus dipertimbangkan oleh pemeriksa dalam menentukan tingkat materialitas pada tingkat akun adalah signifikansi kesalahan tersebut terhadap sebuah entitas yang diperiksa, hubungannya terhadap laporan keuangan (mi-salkan kesalahan tersebut dapat mempengaruhi penyajian banyak hal dalam laporan keuangan) serta dampak dari ke-salahan tersebut terhadap laporan keuangan.

Penetapan batas materialitas merupakan suatu proses yang selalu melibatkan pertimbangan pemeriksa. Pertim-bangan profesional diperlukan mulai dari penentuan dasar penetapan, penggunaan tingkat prosentase, pengaloka-sian materialitas pada setiap akun sampai dengan akhirnya dalam mengevaluasi salah saji yang ditemukan. Mungkin karena itulah sangat sulit untuk menyusun suatu pedoman yang spesifik dan sangat operasional dalam menetapkan ba-tas materialitas. Segala sesuatunya akan selalu berpulang lagi pada pertimbangan profesional pemeriksa.

Dalam rangka memenuhi suatu pemeriksaan yang berkualitas sesuai SPKN, penetapan materialitas yang pe-nuh dengan pertimbangan profesional pemeriksa dapat lebih dipertanggungjawabkan melalui peningkatan kuali-tas pemeriksaan dengan mengasah kemampuan pemeriksa dalam melakukan pertimbangan profesinya dan melalui dokumentasi penetapan materialitas tersebut dalam kertas kerja. Meskipun segala sesuatu dalam pemeriksaan merupa-kan a matter of professional jugdment, namun perlu didoku-mentasikan dalam kertas kerja pemeriksaan.

Referensi: Arens, A.A., Elder, R.J., dan M.S. Beasley (2006), Auditing and Assurance Ser-

vices: An Integrated Approach 11th Edition, New Jersey: Pearson Prentice HallBoynton, W.C., dan R. N. Johnson (2006), Modern Auditing: Assurance Ser-

vices and the Integrity of Financial Reporting 8th Edition, Hoboken: John Wiley & Sons Inc

Messier, W.F., Glover, S.M., Prawitt, D.F. (2006), Auditing & Assurance Servi-ces: A Systematic Approach 4th Edition, New York: McGraw-Hill Companies

Subdirektorat Litbang Pemeriksaan Keuangan Kinerja, Konsep Petunjuk Pelak-sanaan Pemeriksaan Keuangan, Belum dipublikasikan

Wheeler, Stephen (1989), Auditing: of Various Materiality Rules of Thumb, The CPA Journal, Edisi Juni, 62-63

Zuber, G.R., Elliott, R.K., Kinney, W.R., dan J.J. Leisenring (1983), Using Materiality in Audit Planing, Journal of Accountancy, Edisi Maret, 42-54

�4 NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

Tulisan ini hanyalah penilaian personal dari peng-alaman dan pengamatan penulis atas kondisi yang terjadi. Penilaian ini sangat kental dengan

pendapat penulis dan memang tidak diperuntukkan untuk menilai secara khusus. Tetapi mudah-muda-han membuat kita sedikit menyadari bahwa ada yang mengamati dan berpendapat seperti penulis. Semoga bermanfaat dan dapat melahirkan inovasi maupun renovasi.

Melihat Perubahan secara JernihSejak awal keberadaannya, BPK

diberi amanat UUD untuk memerik-sa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Pengalaman telah memberi banyak pembelajaran pemerik-saan. Namun masih saja kita menemukan adanya kelemahan dan kekurangan yang dipandang wajar. Kelemahan dan kekuran-gan itu tidaklah harus dipandang sebagai ke-salahan semata. Oleh karenanya, kita harus-nya bijak dalam memandang kelemahan dan kekurangan tersebut yang dapat terjadi karena faktor berikut.

1. Perubahan situasi dan kondisi lapangan termasuk dinamika ketentuan peraturan perundang-undangan. Ha-rus diakui, peraturan perundang-undangan belum menca-pai titik keseimbangan pascapenerapan konsepsi reformasi keuangan. Situasi ini memang sangat mendukung terjadi-nya perbedaan perlakuan setiap tahunnya. Namun di sisi lain, dinamika ini sangat riskan terjadinya multi interpretasi se-kaligus ketidaksiapan atas cepatnya perubahan.

2. Perubahan atas harapan publik. Publik terus mem-berikan adanya harapan atas transparansi dan akuntabilitas. Banyaknya pengaduan yang beragam dan terungkapnya ber-bagai kasus merupakan faktor yang menjadi makin lebarnya “gap” antara apa yang disediakan pemeriksa dengan kebutu-han publik. Harus disadari bahwa mungkin pemeriksa telah bekerja keras dalam meningkatkan kualitas pemeriksaanya. Namun kecepatan perubahannya masih belum lebih cepat dari kecepatan tuntutan kepadanya.

3. Perubahan pengetahuan dan pembelajaran dari

pengalaman. Hal ini adalah sangat wajar selama manusia sebagai pembelajar masih hidup. Perubahan ini terjadi bagi pemeriksa, pihak yang terperiksa, maupun publik. Seka-

rang mungkin, para pihak tersebut telah menimba ba-nyak pengetahuan dan pengalaman, sehingga nilai-ni-lai yang dianut menjadi lebih maju atau dengan kata

sederhana, sekarang makin banyak yang jadi pintar. Oleh karenanya, ukuran keberhasilan su-

atu masa perlu dilihat dari historinya. Kita tidak bisa melihat hasil karya masa lalu dari kaca mata masa kini.

Oleh karenanya tidak ada salahnya kita kembali bercermin atas apa yang telah dilakukan. Jika memang yang

telah dilakukan ada salahnya, lemahnya, dan kurangnya tidaklah salah kita meny-adarinya. Sadar bukan hanya sekedar tahu tetapi ada upaya merenovasinya untuk mengungkap misteri masa depan dengan

bercermin pada histori masa lalu.

Tiga senjata pemeriksa dalam pemerik-saanDalam suatu pemeriksaan, pemeriksa memer-

lukan tiga hal yang harus dipahami, yaitu Standar Pemeriksaan, Sistem Pemeriksaan, dan Kriteria Peme-

riksaan. Dari ketiga hal tersebut, pemeriksa masih kritis dari sisi pemahaman atas kriteria pemeriksaan. Ini bukan berarti bahwa kita tidak memiliki masalah Standar dan sis-tem pemeriksaan. Standar dan sistem pemeriksaan bersifat unik, dan BPK memiliki kemandirian untuk mengaturnya. Namun kriteria pemeriksaan sangat beragam dan pihak ter-periksa adalah pihak yang melaksanakannya sehari-hari. Jika demikian, wajarlah pemeriksa memiliki kemampuan yang tidak lebih dari pihak terperiksa untuk kriteria pemeriksaan. Inilah sebabnya di dalam prosedur pemeriksaan harus dila-kukan pemahaman atas entitas yang terperiksa. Apapun na-manya ini adalah pemeriksaan yang dilakukan lebih dahulu sebelum pemeriksaan utamanya. Saya sebenarnya “malas” membicarakan perdebatan penggunaan istilah interim atau pendahuluan, atau dukungan. Bagi saya, apapun namanya, tujuannya adalah memahami kriteria pemeriksaan yang di-lakukan sebelum pemeriksaan utamanya.

Standar Pemeriksaan

Merenovasi Senjata Pemeriksaan dari Bayangan di Balik Cermin

Oleh: M. Yusuf John, Kasubbag Set Anggota VI

LAPORAN UTAMA

��NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

Banyak yang mengira bahwa setelah kita berhasil mela-hirkan SPKN dengan peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007, maka masalah standar telah selesai. Lahirnya SPKN dapat dipandang sebagai awal dari semua permasalahan maupun satu solusi jitu. Tergantung kita memandang. Namun bagi saya, lebih bermasalah, jika SPKN tidak juga diterbitkan. Permalasahan timbul dari pemahaman pemeriksa yang be-lum utuh, atau justru SPKN memang menimbulkan multi interpretasi, atau bahkan kita alergi menggunakan SPKN. Memang ada sebagian dari pemeriksa kita yang mengharap-kan untuk kembali mengikuti SPAP agar tidak menjadi po-lemik perdebatan yang belum berakhir. Namun, saya tetap berpendapat untuk selalu optimis. SPKN harusnya meng-atur sendiri selama sector public dan sector privat masih berbeda. Sector public kita (dhi pemerintahan) akan sang-at berbeda pula dengan Negara lain. Oleh karenaya jangan takut untuk berbeda.

Sistem PemeriksaanSistem pemeriksaan di BPK diatur dalam (1) Panduan

Manajemen Pemeriksaaan (PMP) serta (2) Petunjuk Pelak-sanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis). PMP seha-rusnya telah dapat menyelesaikan semua keraguan atas prosedur manajerial pemeriksaan. Sedangkan prosedur pemeriksaannya sendiri harusnya lengkap dan detail (tidak global) setalah diatur dalam Juklak dan Juknis. Ada dile-matis memang dalam penyusunan system pemeriksaan ini. Apakah mau digunakan konsepsi pengaturan yang umum saja, atau justru detail. Bagi saya, pengaturan detail memang lebih baik untuk kondisi saat ini. Dengan kompleksitas yang ada saat ini, system ini tidak dapat lagi dibiarkan berja-lan secara manual. Mulai dipikirkan suatu aplikasi yang bisa menjalankan sistem pemeriksaan ini. Oleh karenanya, peng-aturan global tidak dapat lagi. Penyusunan aplikasi membu-tuhkan prosedur detail bukan global. Kita lihat saja, apakah produk yang telah ada saat ini dapat langsung dibuatkan aplikasinya, tanpa harus ada sentuhan detail lagi.

Kriteria PemeriksaanSPKN mendefinisikan kriteria pemeriksaan sebagai stan-

dar ukuran harapan mengenai apa yang seharusnya terjadi, praktik terbaik, dan benchmarks. Dalam menentukan krite-ria, pemeriksa harus menggunakan kriteria yang masuk akal, dapat dicapai, dan relevan dengan tujuan pemeriksaan. Pemeriksa harus mengkomunikasikan kriteria tersebut ke-pada entitas yang diperiksa sebelum atau pada saat dimu-lainya pemeriksaan. Kriteria pemeriksaan merupakan hasil pemahaman pemeriksa atas entitas yang diperiksa. Hal yang perlu dipahami atas entitas yang diperiksa adalah meliputi semua aspek. Aspek tersebut antara lain meliputi (1) Aspek yuridis. Inilah bedanya dengan privat. Aspek yuridis atas keberadaan organisasinya, atas pengelolaannya, dan per-tanggungjawabannya. (2) Struktur organisasinya; dan (3) Sistemnya termasuk SPI.

Dengan pemahaman atas kriteria pemeriksaan, BPK seharusnya telah dapat membedakan antara entitas peme-

riksaan dan objek pemeriksaan. Dengan pemahaman atas entitas pemeriksaan seharusnya dapat secara jelas mana enti-tas pelaporan dan entitas akuntansi.

BPK memiliki pengaruh untuk menilai kriteria pemerik-sa. UU memberikan kewenangan kepada BPK untuk mem-berikan pertimbangan atas SAP dan ketentuan SPI. Terlebih besar lagi kewenangan pemeriksaan BPK adalah senjata ampuh memperbaiki tata kelola ini. Jangan malu dan takut menggunakannya.

Alasan Pemeriksa Perlu Memahami Tiga Senjata Pemeriksa

1. Agar dapat memenuhi harapan pengguna dan me-ningkatkan kepercayaan. Siapa pengguna? Yaitu orang yang beragam, dan belum tentu tahu tentang akuntansi dan pemeriksaan. Artinya (1) hasil pemeriksaan harus dapat disampaikan secara sederhana dengan bahasa umum, (2) saran/rekomendasi harus jelas dan jika bisa detail secara teknis.

Di sisi lain, usaha membangun Kepercayaan tersebut di-minta UU dengan berbagai pengaturan.

a. SPKN dibuat dengan peraturan BPK dan dimuat dalam LN sehingga dapat diakses dan dipelajari semua pihak

b. LHP dipublikasikan setelah ke lembaga perwakilan. Dengan demikian pengguna dapat membandingkan antara standar dengan hasil pemeriksaannya

c. Ketentuan kode etik dan pembentukan majelis kode etik

d. Aktivitas pemeriksaan BPK dilakukan peer review se-cara berkala.

e. Aktivitas pengelolaan keuangan BPK harus diperiksa KAP.

2. Agar pemeriksaan kita harmonis, sinkron dan tidak berbeda-beda. Saya berpendapat bahwa sangat mung-kin terjadi masih ada kasus yang sama diperlakukan berbeda dan atau kondisi pada beberapa entitas ada yang berhasil terungkap dan ada yang tidak terung-kap. Kita tidak dapat berlindung terus dibalik konsepsi sampling dan materialitas. Oleh karenanya BPK harus punya prosedur manajerial yang simple dan prosedur pemeriksaan yang jitu sekaligus system pengendalian mutu yang andal. Untuk sementara, memang hal ini dapat diatasi dengan Rapat Koordinasi Teknis (Rakor-nis) atau apapun namanya. Tetapi rakornis tidak dapat menjamin konsistensi penerapan prosedur manajerial dan prosedur pemeriksaan. Oleh karenanya, saya ber-pendapat perlu dibangun suatu Sistem Aplikasi Pe-meriksaan (SiAP) yang andal dan terintegrasi dengan sistem aplikasi terkait.

3. Agar hasil pemeriksaan tepat dan jelas sesuai deng-an kondisi yang seharusnya. Pemahaman ini untuk menghindari bahwa apapun pemeriksaannya, temuan adalah utamanya, pemeriksa hanya cari-cari masalah. Agar hasil ini tepat. BPK tidak lagi punya alasan, UU telah memberikan fasilitas konstitusi antara lain:

�� NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

a. BPK susun Standar Pemeriksaan sendirib. BPK berwenang menentukan secara mandiri

pemeriksaannya mulai dari perencanaan sampai dengan pelaporannya

c. Jika BPK kurang sumber daya pemeriksa, bisa gu-nakan pemeriksa dari luar BPK. Hal ini dimaksud-kan menggunakan secara outsourcing bukan mem-buat orang luar semua jadi pelaksana BPK.

d. Jika BPK tidak punya ahli, BPK dapat gunakan ahli dari luar BPK.Membangun Pemahaman atas Tiga Senjata Pemerik-sa

Untuk memenuhi semua tujuan dari penggunaan senjata itu, perlu dilakukan:

1. Membangun pemahaman pemeriksaan yang diawali dengan standar pemeriksaan yang dibungkus dalam 3 dimensi; yuridis, empiris, dan teoritis.

2. Membangun sistem yang terintegrasi dan tidak multi interpretasi. Sistem itu mulai dirancang dari rancang-an organisasi dan tugas fungsi, mekanisme majaerial dan mekanisme pemeriksaan sampai dengan pemba-ngunan aplikasi. Inilah contohnya keberadaan Camis, dan SiAP. Saya melihat bahwa struktur organisasi dirancang BPK saat ini, telah cukup membagi-bagi fungsi ke dalam pemenuhan pencapaian pemeriksa yang baik. Masalah dilengkapi dengan infrastruktur yang andal dan aplikatif serta mau dilaksanakan atau tidak, hal itu masalah lain. Lihatlah:

a. Fungsi Biro SDM menyediakan pemeriksa yang memiliki kualifikasi ok. Namun sampai saat ini setiap kali surat tugas pemeriksaan mau diterbitkan biro SDM seolah hanya menjalankan fungsi rekruitmen, penempatan dan mutasi promosi. Tapi tidak dapat menyediakan informasi kualifikasi pemeriksa yang termukthair. Atau memang tu-sinya demikian saya belum mempelajarinya.

b. Setelah pemeriksa tersedia, litbang menyediakan sen-jata dan amunisi untuk melaksanakan pemeriksaan. Masa-lah senjata dan amunisinya tidak tepat dan tidak muktahir itu lain persoalan.

c. Setelah ada pemeriksa dan senjata/amunisinya, peme-riksa ini perlu diberikan pembelajaran bagaimana meng-gunakan senjata dan amunisi yang ada. Disinilah peran Dik-lat. Oleh karenanya diklat harus focus mendidik pemeriksa dengan amunisi yang tepat. Jangan yang didiklat lain dengan yang dikonsepkan untuk dilaksnakan saat pemeriksaan.

d. Setelah pemeriksa dididik menggunakan amunisi dan senjata, dia akan praktik pemeriksaan di lapangan dibawah kendali AKN. Jika AKN tidak menegndalikan (salah satunya supervise) itu adalah penjalanan tusi yang tidak optimal.

e. Setelah pemeriksaan diakhiri dapat dilakukan 1) review tentang apa yang telah dilakukan sesuai dengan

konsep senjatanya atau tidak. Inilah peran irtama.2) Evaluasi tentang apakah tujuan dan SS BPK telah

tercapai. Apakah senjatanya telah tepat atau tidak. Terma-suk menyimpulkan kondisi entitas yang diperiksa untuk mengambil simpulan total atas hasil pemeriksaan BPK. Eva-

luasi bukan lagi untuk menilai kualitas hasil pemeriksaan seperti yang dilakukan irtama.

f. Berdasarkan hasil review dan evaluasi, semua pihak se-belumnya instropeksi, apakah pemeriksa masih kompeten, dan ditempatkan secara tepat, senjatanya sudah tepat untuk kondisi yang ada, dan apakah semua dilaksanakan dengan baik

g. Tanpa menguragi unsur unit lain yang mendukung, pembahasan unit kerja di sini hanyalah yang terkait dengan tulisan ini.

3. Meningkatkan pemahaman pemeriksa atas pemerik-saan dan kriteria pemeriksaan. Hal ini akan mendo-rong penyusunan hasil pemeriksaan yang tepat; dan memberikan rekomendasi yang tepat. Peran pengawa-san oleh irtama, peran pengendalian oleh AKN, peran evaluasi oleh EPP.

4. Mendorong entitas dan lembaga perwakilan menin-daklanjuti hasil pemeriksaan secara tepat. BPK hanya-lah menjalankan peran sebagai pemantau tindak lanjut. Sebagai pemantau, BPK lebih banyak pasif. Namun sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab terhadap tata kelola Negara ini, BPK dapat secara proaktif mendorong pihak pemerintah dan lembaga perwakilan menindaklanjti hasil pemeriksaan BPK. Caranya, saya rasa sederhana:

a. Buatlah hasil pemeriksaan yang jelas dengan rekomen-dasi yang jelas juga.

Rekomendasi ini seharusnya dipandang tidak hanya se-bagai penghilang sebab (artinya harus teridentifikasi sebab) tetapi juga harus dipandang sebagai pengurang dampak dari akibat (artinya harus teridentifikasi akibat) dan peningkatan kualitas pengelolaan dan tanggung jawab. BPK seharusnya cukup yakin bahwa hasil pemeriksaannya dapat mengubah pengelolaan yang amburadul ke pengelolaan yang baik. Jang-an karena ketentuan pengelolaan keuangan telah ada, maka BPK ikut saja tanpa mengoreksinya. Media koreksinya jelas dari pemeriksaan BPK. Saya berpendapat kita jangan mem-bangun media baru selama media yang ada dapat digunakan secara baik. BPK harusnya dapat menunjukkan kelemahan pengelolaan yang ada (termasuk akibat menjalankan keten-tuan perundang-undangan) sehingga dapat merekomen-dasikan untuk revisinya.

b. Efektifkanlah media konsultasi dan pemberian penda-pat kepada pihak terperiksa.

Konsultasi antara BPK dengan lembaga perwakilan telah dilengkapi dengan Mou antara BPK dan lembaga perwa-kilan. Namun pemberian pendapat dengan pihak yang terperiksa masih dilindunsgi dengan pasal 11 UU BPK. Mengefektifkan ini adalah bagaimana BPK memberikan informasi jitu kepada lembaga perwakilan maupun pihak terperiksa bagaimana seharusnya menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Memberikan pendapat atas suatu hal dalam berbagai media termasuk media konsultasi ini adalah diperbolehkan oleh UU. Bahkan UU meminta BPK mem-berikan pertimbangan atas Standar akuntansi dan ketentuan tentang pengendalian internal. Saya berpendapat, menjadi

�7NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

picik BPK, jika masih berpikir bahwa memberi pendapat atas pengelolaan keuangan akan mengganggu independensi BPK. Janganlah karena kita tak mampu, lantas kita berlin-dung di balik kata independen. Saya kira, satu langkah ba-gus yang dilakukan BPK saat ini dengan mendengungkan penyusunan rencana Aksi.

Rencana Aksi Menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan BPK

Rencana aksi haruslah dipandang sebagai langkah-lang-kah konkrit yang harus dilakukan pihak terperiksa dan lem-baga perwakilan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Jadi janganlah diartikan rencana aksi sebagai pende-tailan atas rekomendasi BPK. Jika mau jujur, saya berpen-dapat, pendetailan rekomendasi dengan rencana aksi sama saja menunjukkan bahwa BPK tidak mampu menyusun rekomendasi secara tepat. Oleh karenanya, saya berpenda-pat bahwa rencana aksi tersebut adalah langkah yang harus dilakukan pihak terperiksa dan lembaga perwakilan.

Mengacu pada berbagai fakta yang mungkin terjadi, ter-dapat tiga bentuk alternatif untuk merealisasikan rencana aksi ini, yaitu:

1. Meminta pihak terperiksa menyusun rencana aksi (dengan atau tanpa diskusi bersama BPK). Dan renca-na aksi tersebut menjadi komitmen pemerintah yang dituangkan dalam komitmen pemerintah itu sendiri.

2. Menyusun rencana aksi pihak terperiksa yang dilaku-kan bersama antara pihak terperiksa dengan BPK. Rencana aksi ini dituangkan dalam bentuk komitmen pihak terperiksa kepada BPK sehingga seolah-olah dibentuk suatu perjanjian.

3. Meminta pihak terperiksa menyusun rencana aksi (dengan atau tanpa diskusi bersama BPK). Rencana aksi tersebut dibahas bersama antara pihak terperiksa dengan lembaga perwakilan. Selanjutnya kesepakatan antara rencana aksi pihak terperiksa dengan lembaga pewakilan tersebut diformalkan dalam UU dan Perda tentang pertenggungjaeaban pelaksanaan Anggaran. Dengan kata lain, saya berpendapat seharusnya di dalam UU tentang pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan Perda tentang Pertanggungjawaban pelak-sanaan APBD harus memuat klausul pasal sebagai berikut;

a. Ketentuan bahwa LKPP dan LKPD telah diperiksa BPK

b. Ketentuan yang menyebutkan jenis opini yang diberi-kan BPK

c. Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mem-pertahankan dan atau memperbaiki opini atas LK. Inilah yang sebenarnya penuangan dari rencana aksi tersebut.

Dari ketiga bentuk pendekatan yang meminta adanya rencana aksi, bagi saya format yang ketigalah yang lebih tepat. Di samping pentingnya formalitas dari bentuk ren-cana aksi, perlu ditekankan bahwa perubahan tersebut selalu berasal dari tiga aspek atau saya lebih suka dengan menye-butnya sebagai tiga prasyarat perbaikan pengelolaan keua-ngan yaitu (1) SDM yang Kompeten; (2) Organisasi yang mapan; dan (3) Infrastruktur yang andal. Akhirnya, apapun rencana yang telah disusun, hanyalah fakta bahwa rencana itu dilaksanakan yang akan menentukan keberhasilan. Oleh karenanya, saya berharap MULAILAH!!!.

LEGAL TRAINING DAN IN HOUSE TRAINING DI BPK RI KANTOR PERWAKILAN PROVINSI DIY

Sub Bagian SDM bekerja sama dengan Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Kantor Perwakilan Provinsi DIY telah menyelenggarakan Legal Training dengan tema “Permasalahan Hukum yang Timbul dalam Audit Keuangan”. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama tiga hari pada 26-28 Agustus 2008 yang dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman teknis yuridis untuk menganalisis per-masalahan hukum yang timbul dalam pelaksanaan audit keuangan.

Legal Training yang dibuka secara resmi oleh Plh. Kepala Perwakilan, Sri Muryani, SH diikuti oleh 95 auditor dan menghadirkan narasumber dari para praktisi dan dosen pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang juga eksis dalam dunia advokat.

Selain itu, dalam rangka memberi bekal teknis bagi para auditor untuk melaksanakan Pemeriksaan Tematik “Dana Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2008” Sub Bagian SDM juga melaksanakan In House Training “Dana Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)” pada 03-05 September 2008.

In House Training yang diikuti oleh 68 peserta yang merupakan auditor di lingkungan perwakilan Yogyakarta ini dibuka secara resmi oleh Kepala Perwakilan BPK Yogyakarta Dra. Evita Eriati, MM. Dalam kegiatan ini Perwakilan mengundang pemateri dari Dinas Pendidikan Nasional Provinsi DIY dan Auditor Senior BPK RI Kantor Perwakilan Provinsi DIY.

�8 NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

PENERAPAN STANDAR UMUM AUDITINGPADA BPK RI

Oleh: Agung Swastika, Kasubbag Set Kalan BPK RI Kantor Perwakilan Provinsi Papua Barat

Lebih dari 10 tahun terakhir BPK RI mengadakan reformasi intern lembaga, termasuk pengembangan

infrastruktur pemeriksaannya. Salah satu pengembangan in-frastruktur tersebut adalah ditetapkannya Peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang menerapkan materi dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), termasuk di dalamnya Standar Auditing. Standar tersebut terbagi dalam tiga bagian, yaitu Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan, dan Standar Pelaporan. Dalam Standar Umum, termuat tiga pernya-taan yang berkaitan dengan persyaratan auditor dan mutu pekerjaannya. Dengan demikian, BPK RI telah mengakui perlunya pemenuhan persyaratan auditor dan mutu peker-jaannya. Dengan diterapkannya standar tersebut, tulisan ini bermaksud menguraikan materi Standar Umum Auditing sebagai bahan kajian dalam melaksanakan tugas pemeriksa-an LKPD di lingkungan Perwakilan BPK RI.

STANDAR UMUM PERTAMAStandar Umum Pertama berbunyi, ”Audit harus dilak-

sanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor”. Sesuai SPAP, dapat dianggap tidak dapat memenuhi persyaratan ini apa-bila auditor tidak memiliki pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing. Agar dapat dikatakan me-madai, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup, mendapatkan supervisi yang memadai dan review atas peker-jaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman.

Sehubungan dengan keterbatasan auditor senior di Perwakilan BPK RI, pemahaman di lapangan atas penerap-an standar tersebut dalam pemeriksaan LKPD adalah:

a. Yang penting Ketua Tim-nya adalah Akuntan atau senior yang ber-pengalaman dalam penugasan yang sama.

b. Yang penting ada satu orang dalam tim pemeriksaan yang berjum-lah 4 (empat) orang yang sudah berpengalaman dalam penugasan yang sama.

c. Yang penting supervisi diperkuat dan sifatnya pendampingan un-tuk tim yang dianggap masih lemah.

d. Yang penting Tim Review benar-benar mengadakan evaluasi atas hasil yang diperoleh tim selama bertugas atau hasil field work, un-tuk sampai pada suatu pernyataan pendapat.

Hasilnya bagaimana? Ternyata banyak hal-hal mendasar tentang kondisi auditi untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat yang ditanyakan oleh Kepala Perwakilan tidak da-pat dijawab oleh Tim Pemeriksa, Supervisor, maupun Tim Review.

Sebabnya antara lain:a. Sebagian besar auditor (Akuntan dan Sarjana Ekonomi

Akuntansi) memiliki masa kerja dua tahun atau kurang dan mi-nimnya pengalaman sebagai auditor sebelum menjadi pegawai.

b. Banyak auditor senior level staf yang tidak mau ditunjuk sebagai ketua tim dengan alasan beratnya tanggung jawab.

c. Banyaknya frekuensi pemeriksaan dan pengalaman auditor tidak menjamin penguasaan materi pemeriksaan oleh auditor tersebut, yang terbukti dalam Kertas Kerja Pemeriksaannya.

d. Supervisor belum dapat mewakili penanggung jawab pemeriksaan dalam menguji dan menjaga mutu hasil audit di lapangan (field work).

e. Minimnya frekuensi pelatihan atau inhouse training yang dilaksa-nakan.

f. Minimnya komunikasi, diskusi dan koordinasi antar auditor, antar Ketua Tim dan antara Tim Pemeriksa dengan Tim Review.

Untuk menyikapi hal-hal tersebut antara lain:a. Meratakan dan meningkatkan jumlah auditor senior level staf yang

berperan sebagai Ketua Tim pada masing-masing Perwakilan den-gan cara mengadakan mutasi auditor antar Perwakilan atau dari Pusat ke Perwakilan.

b. Meningkatkan frekuensi inhouse training dan mendatangkan pen-gajar dari luar lembaga agar tercipta wawasan dan pemahaman yang lebih luas.

c. Pengawasan kepada auditor bukan hanya pada saat penugasan, na-mun juga bersangkutan dengan banyaknya materi dan ketentuan yang telah dikuasai auditor pada suatu periode tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberi penugasan berupa telaah peraturan, diskusi, ekspose, kliping dan studi lapangan.

STANDAR UMUM KEDUAStandar umum kedua berbunyi: “Dalam semua hal yang

berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor” Independensi menurut standar umum ini memuat tiga hal, yaitu sikap tidak memihak, tidak mudah dipengaruhi, dan jujur.

Tidak memihak dapat diartikan tidak membawa kepen-tingan atau memberikan keuntungan kepada pihak mana-pun, dalam hal ini pihak Pemerintah Daerah (Eksekutif ), DPRD (Legislatif ), Lembaga lain (instansi vertikal dan organisasi kemasyarakatan), atau masyarakat. Sikap tidak memihak sudah harus diterapkan sebelum surat tugas di-terbitkan. Artinya, surat tugas diterbitkan dalam rangka mencari jawaban yang paling objektif terhadap suatu isu atau permasalahan, bukan suatu jawaban tertentu yang diinginkan oleh pihak pemberi tugas atau pihak lain yang meminta pemeriksaan diadakan. Keberpihakan auditor adalah pada penegakan undang-undang.

Tidak mudah dipengaruhi sama artinya dengan tidak memihak, namun diterapkan pada saat melaksanakan tugas. Independensi jenis ini adalah termasuk penentuan apa yang perlu dan tidak perlu dilaksanakan oleh Tim Pemeriksa. Penanggung Jawab, Supervisor dan Tim Pemeriksa harus konsisten dalam menerapkan program pemeriksaan. Suatu saat, mungkin Penanggung Jawab memperoleh informasi tentang suatu hal yang pantas untuk diadakan pendalaman

LAPORAN UTAMA

�9NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

masalah, namun di luar lingkup penugasan tim. Ada baik-nya hal tersebut tidak ditambahkan dalam penugasan kepa-da Tim, dan menunjuk auditor lain untuk penugasan terkait informasi tersebut. Pada saat yang lain, mungkin auditi ber-harap auditor memeriksa pengelolaan keuangan suatu unit kerja secara lebih mendalam dibandingkan unit kerja lain-nya karena auditi memiliki beberapa informasi atau angga-pan tertentu tentang unit kerja tersebut yang dapat ditin-daklanjuti oleh auditor. Apabila terjadi demikian, maka tim pemeriksa harus tegas dalam mengambil keputusan untuk memilah mana yang perlu dan yang tidak perlu diperiksa. Pada akhirnya, keputusan tersebut bergantung dari peng-alaman dan wawasan tim pemeriksa, isu-isu aktual yang berkaitan dengan kegiatan auditi, dan tujuan pemeriksaan.

Muatan yang ketiga adalah kejujuran, yaitu dalam me-nyatakan suatu kondisi atau pendapat harus sesuai fakta dan bukti hasil analisa atau konfirmasi, bukan rekaan atau pen-dapat yang diungkapkan tidak dalam bahasa laporan formal dan mengandung banyak arti. Contoh kata yang mengan-dung banyak arti antara lain: a).’Belum disetor sampai tahun anggaran berakhir’, seharusnya dengan kata ‘tidak disetor’; b).‘Berlarut-larut’, yang seharusnya dengan kata ‘terlambat’ atau ‘tidak sesuai jadwal’; c).‘Tender arisan’, yang seharusnya dengan kata ‘semua pekerjaan dibagi merata kepada seluruh rekanan yang mendaftar, tanpa proses lelang’.

Selain itu, SPAP juga menganalogikan auditor lebih mirip tugas seorang hakim daripada seorang penuntut, yaitu tidak hanya dapat menyalahkan, namun juga dapat memberikan solusi/pemecahan masalah. Istilahnya, ibarat bengkel mobil, ‘terima bongkar, terima pasang’ atau ‘berani bongkar, berani pasang’. Dengan demikian, bukan berarti aditor harus lebih mengetahui segalanya dibandingkan auditi, melainkan lebih objektif dalam memahami peraturan dan lingkup pekerjaan atau kegiatan yang diperiksanya. Auditor juga dituntut un-tuk memberikan contoh bagaimana seharusnya melaksana-kan perikatan/kontrak secara tegas, menunjukkan fungsi dan kegunaan tertibnya administrasi dan pelaporan, serta memberikan masukan alternatif penanganan masalah de-ngan tidak melanggar peraturan.

STANDAR UMUM KETIGAStandar umum ketiga berbunyi: “Dalam pelaksanaan

audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggu-nakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan sek-sama”. SPAP menyebutkan, ‘auditor harus memiliki kete-rampilan yang umum dimiliki oleh auditor pada umumnya’ dan ‘menggunakan keterampilan tersebut dengan kecermat-an dan keseksamaan yang wajar’.

Artinya:a. Penanggung Jawab Pemeriksaan selaku Pengendali Mutu harus

memiliki keterampilan yang cukup dalam menjaga mutu laporan agar sesuai dengan tujuan pemeriksaan;

b. Supervisor selaku Pengendali Teknis harus memiliki keterampilan yang cukup dalam menjaga kemampuan teknis Tim Pemeriksa dalam memenuhi standar mutu laporan;

c. Tim Pemeriksa harus memiliki keterampilan yang cukup dalam

melaksanakan teknis pemeriksaan. Mutu laporan mencakup deskripsi tentang gambaran

umum entitas, uraian khusus tentang entitas yang ber-hubungan dengan tujuan dan lingkup pemeriksaan, hasil penelaahan SPI, dan temuan pemeriksaan. Dengan demi-kian, mutu laporan menuntut Pengendali Mutu memiliki pengetahuan tentang entitas yang diperiksa dan bentuk strategi pemeriksaan yang akan dilaksanakan.

Strategi pemeriksaan tersebut menjadi dasar Pengen-dali Teknis untuk membuat program pemeriksaan. Untuk membuat Program Pemeriksaan, Pengendali Teknis harus mengetahui Core Business, kapasitas sumber daya, wilayah kerja, wewenang, dan tanggung jawab auditi terhadap bi-dang pekerjaannya. Program Pemeriksaan akan menjadi panduan untuk tim pemeriksa dalam menentukan point of view, jumlah dan spesifikasi sampling, serta menjawab ala-san pemeriksaan yang berupa indikasi permasalahan. Strate-gi pemeriksaan juga menjadi panduan Pengendali Teknis dalam pelaksanaan supervisi tim, yaitu menguji teknik pemeriksaan yang digunakan, kertas kerja dibandingkan lingkup dan sasaran pemeriksaan, serta kecukupan bukti yang mendukung laporan.

PENUTUPStandar umum auditing telah menunjukkan, bahwa

standar minimal seorang auditor yang berhubungan dengan pribadinya adalah mengenai kompetensi, independensi, dan profesionalisme.

Agar kompeten, seorang auditor tidak hanya memaha-mi hal-hal yang hanya bersangkutan dengan latar belakang keilmuannya, namun juga dengan pengetahuan lainnya. Hal tersebut dapat dipelajari melalui serangkaian jenjang pendidikan lanjutan, pelatihan, dan pengalaman. Auditor senior wajib memberikan masukan, berbagi pengalaman, supervisi, dan review yang cukup kepada junior auditornya agar tidak terjadi kesenjangan kompetensi antar auditor.

Agar independen, seorang auditor perlu memiliki sikap mental yang prima, malampaui batas-batas posisi dan jabat-an. Auditor perlu memahami bahwa selama bertugas dia harus dapat mewujudkan jiwa atau roh ‘Keuangan Negara’ dalam dirinya, yaitu mengerti mana yang merugikan dan tidak merugikan keuangan Negara. Hal tersebut dapat di-lakukan apabila auditor mengetahui bagaimana caranya menempatkan diri agar selalu tidak memihak, tidak dipen-garuhi apapun, dan jujur.

Agar profesional, selain dapat mewujudkan jiwa atau roh ‘Keuangan Negara’, juga perlu menguasai dan mema-hami hal-hal yang perlu dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam laporan, menganalisa, memilah, dan penempatkan suatu permasalahan secara objektif dan proporsional. Audi-tor juga harus dapat menunjukkan ‘yang benar’ dari sesuatu yang menurut auditor ‘tidak benar’.

Akhirnya, apabila hal-hal di atas selalu dilaksanakan se-cara konsisten, pemenuhan persyaratan auditor dan mutu pekejaannya akan dapat dipenuhi oleh para auditor di BPK RI.

20 NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

JANGAN BIARKAN PETUNJUK DILIHAT SEBELAH MATA

Oleh: Yudi Ramdan, Kasubagset Anggota KN V

Pada suatu masa, laporan BPK akan menjadi referensi bagi penentuan arah dan pilihan kebijakan publik di Indonesia. Birokrat, tokoh masyarakat, politisi, pengusaha, aktivitis dan masyarakat akan berterima kasih kepada BPK yang berhasil memotret secara objektif dan profesional mengenai bentuk dan pola pelayanan publik. Rekomendasi BPK menyumbang perbaikan kualitas pelayanan publik seperti aksesbilitas pen-didikan, mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan dan kenyamanan serta ketersediaan infrastruktur. Ini semua di-harapkan terjadi dari sebuah pemeriksaan kinerja BPK yang profesional.

Harapan tersebut sudah digagas oleh Ketua BPK mela-lui segitiga peranan BPK masa kini dan masa depan yang menempatkan hasil audit BPK menjadi pilihan al-ternatif kebijakan publik sebagai puncak piramida keberhasilan peranan BPK. Artinya sudah ada sebuah komitmen yang cukup kuat ten-tang arah dan bentuk peningkat-an kualitas audit BPK di masa mendatang. Tinggal bagaimana BPK sebagai lembaga audit dan auditornya mempersiapkan, merencanakan, melatih diri dan melaksanakan komitmen tersebut ke dalam sebuah penguatan kapasi-tas kelembagaan untuk menopang harapan tersebut.

Salah satu bentuk upaya penguatan tersebut adalah pengembangan petun-juk pelaksanaan (Juklak) pemeriksaan kinerja dan implementasinya secara bertahap ke dalam sebuah pendekatan yang sistema-tis dan terarah. Juklak se-bagai pedoman pemeriksaan merupakan perangkat lunak yang dibutuhkan BPK dan audi-tornya untuk dapat bekerja secara benar, konsisten dan dapat diper-tanggungjawabkan secara profesional

dalam pemeriksaan. Oleh karena itu urgensi dan relevansi penerapan Juklak menjadi prioritas BPK untuk membantu mewujudkan upaya perbaikan kinerja sektor publik melalui pemeriksaan kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan.

Apa yang melatarbelakangi urgensi dan relevansi pengembangan dan penerapan Juklak ini? Beberapa alasan yang mendasari hal tersebut antara lain:

Pertama, berbeda dengan pemeriksaan keuangan, area dan objek pemeriksaan kinerja relatif lebih komplek dan variatif yang sangat tergantung sifat dan bentuk bisnis pro-sesnya. Sementara itu pada pemeriksaan keuangan area dan objek jelas lebih homogen yang tersaji dalam ekposur angka

pada akun-akun laporan keuangan. Dalam pemeriksaan kinerja yang dianalisis bukan hanya data keuangan tetapi juga non keuang-an. Implikasinya diperlukan suatu pedoman

pemeriksaan yang jelas yang dapat men-jawab kompleksitas dalam melakukan pemeriksaan kinerja.

Kedua, secara mandat pemeriksaan kinerja sudah dinyatakan secara tegas dalam paket per-UU-an keuangan negara dan UU BPK yang kemudian diatur dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Artinya pemeriksaan kinerja merupakan se-buah keniscayaan bagi BPK untuk mulai diperbincangkan, didiskusikan, dibahas dalam workshop, bahkan sudah harus menjadi target BPK un-

tuk diterapkan secara benar sesuai dengan praktek yang berlaku di

BPK negara lain. Ketiga, kebutuhan pelu-

rusan konsep pemeriksaan di BPK selama ini yang telah dikenal sejak mana-gement audit masuk ke Indonesia akhir dekade 70-an yang perjalanannya

menjadi pemeriksaan kiner-ja. Tumbuh perbedaan konsep

dan implementasi pemeriksaan kinerja yang ada, bahkan prakteknya

lebih mengarah pada kepatuhan yang diberi label pemeriksaan kinerja.

LAPORAN UTAMA

2�NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

Keempat, hasil pemeriksaan BPK tiga tahun terakhir menunjukkan proporsi pemeriksaan kinerja hanya berki-sar 2-3% dari total pemeriksaan yang ada. Ini sebuah fakta bahwa kita belum berani melakukan pemeriksaan kinerja karena alasan yang tidak jelas. Apakah memang ketidak-mampuan BPK atau memang kondisinya belum saatnya melakukan pemeriksaan kinerja.

Kelima, adanya persepsi yang kurang beralasan yang dianut kebanyakan auditor di BPK dalam melaksanakan pemeriksaan kinerja seperti tidak tersedianya Key Perfor-mance Indicator (KPI) sebagai kriteria audit, audit tidak bisa jalan kalau belum ada kesepakatan kriteria, harus menghasilkan simpulan berupa penilaian atas peringkat ke-berhasilan dan tujuan audit selalu mengarahkan pada efek-tivitas program secara menyeluruh.

Lalu, apakah kita harus berdiam diri dalam mengha-dapi tantangan tersebut? Tentu tidak. By process, BPK melalui Litbang sejak lama telah merintis pengembangan draft pemeriksaan kinerja yang bersumber dari pedoman pemeriksaan kinerja ASOSAI dan INTOSAI. Ditambah lagi beberapa auditor muda dilatih dalam program CDITW serta ikuti program magang pada BPK negara lain seperti GAO. Artinya kesadaran BPK untuk memulai sesuatu deng-an benar sudah ada. Ini diperkuat dengan kerja sama BPK dan ANAO untuk memperkuat kemampuan BPK dalam pemeriksaan kinerja

Akhirnya tahun 2007 Litbang BPK berhasil menge-luarkan petunjuk pelaksanaan pemeriksaan kinerja mela-lui serangkaian kerja tim yang mencoba memasukkan be-berapa pendekatan audit yang dipraktikkan di negara lain. Memang tak ada gading yang tak retak. Namun Juklak ini adalah langkah awal penyempurnaan kemampuan BPK dalam pemeriksaan kinerja. Meskipun belum dilakukan so-sialisasi secara simultan oleh Litbang, kehadirannya dinanti-nanti oleh para auditor di lapangan.

Apa yang menarik dari Juklak Pemeriksaan Kinerja? Seti-daknya ada tiga hal yang kritis dalam juklak ini yang akan merubah paradigma auditor BPK memandang pemeriksaan kinerja selama ini, antara lain:

• Memahami klienKeberhasilan sebuah pemeriksaan kinerja sangat diten-

tukan efektivitas rekomendasi pemeriksaan yang dapat memperbaiki kinerja program, kegiatan atau entitas yang bersangkutan. Tentunya, itu dapat diraih apabila rekomen-dasinya tepat dan relevan. Ketepatan dan relevansi rekomen-dasi didukung kemampuan auditor dalam mengenal dan memahami proses bisnis auditee “dari ujung kaki sampai ujung kepala”. Diantaranya identifikasi input, proses dan output sampai outcome sebuah aktivitas. Pemahaman yang baik akan menjadi modal awal dalam menyiapkan sebuah perencanaan pemeriksaan kinerja, sehingga akan mem-perkokoh proses dan kualitas pemeriksaan kinerja.

• Penentuan Area KunciGaya pemeriksaan kita dirasakan terlalu ambisius. Semua

ingin diraih dalam waktu pemeriksaan yang relatif terbatas yang rata-rata berkisar 25 hari s.d 30 hari. Tentunya terja-di gap antara ekspektasi audit dengan sumber daya audit. Seyogyanya ekspekstasi tersebut harus lebih realistis dengan melihat constraints yang ada. Kalau tidak mempertimbang-kan keseimbangan antara ekspektasi audit dan sumber daya audit, akan timbul risiko audit yang secara potensial akan terjadi. Risiko audit selalu ada dalam dalam setiap pemerik-saan, sehingga risiko tersebut harus di-manage dengan baik. Untuk menjaga keseimbangan audit tersebut diperlukan sebuah perencanaan audit yang matang yang salah satunya melalui penentuan area kunci.

Penentuan area kunci mendorong pemeriksaan lebih fokus pada area yang benar-benar dapat dikendalikan dalam pelaksanaan auditnya. Mahkota pemeriksaan kinerja bu-kan hanya berapa dan seberapa dalam temuan pemeriksaan tetapi sejauh mana rekomendasi tersebut dapat menjamin perbaikan kinerja di masa mendatang. Untuk itu diperlu-kan suatu audit yang fokus yang mendorong auditor dapat bekerja lebih dalam dan menghasilkan rekomendasi yang konstruktif.

Faktor-faktor yang penting dalam memilih area kunci seperti dijelaskan dalam Juklak tersebut mencakup signi-fikansi, risiko bagi manajemen, dampak audit dan auditi-bilitas. Signifkansi merefleksikan penting tidaknya area yang kita audit bagi stakeholders maupun besarnya anggaran. Risiko bagi manajemen berkenaan ada tidaknya risiko yang terjadi pada area tertentu bagi manajemen. Dampak au-dit mempertimbangkan besar kecilnya pengaruh hasil audit dari area tersebut pada simpulan audit. Audibilitas mencer-minkan kemampuan tim audit menjalankan pemeriksaan tersebut dari sisi waktu, anggaran, dan metodologi.

• Pengembangan KriteriaKriteria pemeriksaan dalam pemeriksaan kinerja mem-

punyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lain. Pemilihan kriteria pemeriksaan tidak hanya meng”copy” peraturan atau norma serta kaidah yang telah ditetapkan dalam bentuk produk hukum, melainkan lebih jauh lagi kriteria pemeriksaan dapat dikembangkan standar atau praktik-praktik yang dianggap baik dan relevan bagi sebuah kondisi kinerja yang ideal. Oleh karena itu, pengembangan kriteria menjadi proses penting dalam suatu perencanaan pemeriksaan untuk menjamin penilaian audi-tor lebih objektif, proposional dan relevan dengan tujuan pemeriksaan, sehingga dapat menghasilkan suatu rekomen-dasi perbaikan yang konstruktif bagi kinerja auditee. Fak-tanya, justeru bottle neck yang terjadi dalam melaksanakan pemeriksaan kinerja adalah ketidakmampuan mengidenti-fikasikan kriteria pemeriksaan. Ketidakmampuan lebih dis-ebabkan hal-hal antara lain tidak tersedianya Key Performance Indicator (KPI), belum ada kesepakatan dengan auditee, dan tidak tersedia data standar berupa benchmarking.

Ini semua terjadi karena kita sudah terbiasa dengan pola pemeriksan kepatuhan yang mengharuskan sumber kriteria adalah berupa peraturan perundang-undangan yang mem-

22 NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

punyai kekuatan memaksa pelaksana untuk mematuhinya. Tanpa itu maka temuan pemeriksaan dan rekomendasinya tidak ada kekuatan mengubah auditee untuk memperbaiki. Apalagi kondisi tersebut dikaitkan dengan ada tidaknya in-dikasi TPK. Tanpa memahami jangan-jangan sumber krite-ria tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi auditee dan harapan publik atas business process yang ada. Untuk itu pengembangan kriteria dalam Juklak Pemeriksaan ki-nerja menjadi poin yang yang penting untuk dicermati oleh auditor. Mulai dari identifikasi sumber kriteria, pemilihan kriteria yang relevan dan penetepan kriteria serta diskusi kri-teria dengan auditee.

Dengan memahami poin-poin penting di atas, sedikitnya memberikan sebuah petunjuk bahwa masih banyak PR yang harus dikerjakan dalam menjalankan pemeriksaan kinerja. Disadari dengan Juklak ini tidak akan langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah memadati benak para pemerhati dan auditor BPK tentang pemeriksaan kinerja. Kembali, ini adalah langkah awal penyempurnaan pemerik-saan kinerja di BPK. Jangan sampai petunjuk nantinya di-pandang sebelah mata. Ini akan menjadi tanggung jawab kolektif untuk memperkokoh profesionalisme audit BPK.

Untuk itu, setidaknya ada lima langkah untuk mengefek-tifkan Juklak Pemeriksaan Kinerja yaitu:

• Leaders comitment Seiring dengan diberlakukannya Juklak Pemeriksaan

Kinerja, semua lapisan pimpinan di lingkungan BPK harus mulai melakukan inisiasi perencanaan pemeriksaan kinerja yang mengacu pada juklak tersebut. Komitmen ini harus diarahkan dengan mendorong para penanggung jawab au-dit, pengendali teknis dan ketua tim menyusun program audit beserta langkah-langkah auditnya berdasarkan Juklak tersebut.

Pengalaman workshop eksekutif dan piloting pemerik-saan kinerja yang diselenggarakan dalam program kerja sama BPK dan ANAO dua tahun terakhir menunjukkan bahwa komitmen belum optimal dengan rendahnya “keinginta-huan” dan “inisiatif ” dalam mencoba menerapkan konsep pemeriksaan kinerja dengan baik dan konsisten.

• Training module and TOTSegera setelah diberlakukan Juklak ini, penyusunan

modul pelatihan menjadi prioritas utama untuk membumi-kan juklak ke dalam tataran praktek “know-how” pemerik-saan kinerja. Modul training bukan menyalin ulang Juklak, namun lebih menggambarkan sebuah proses yang nyata mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan deng-an ilustrasi kasus-kasus. Kasus-kasus tersebut dapat diam-bil dari hasil pilot project Program Kerjasama BPK-ANAO yang telah menghasilkan program dan hasil pemeriksaan kinerja yang dikerjakan tim-tim piloting.

Tingginya kebutuhan pemahaman dan penerapan pemeriksaan kinerja berimplikasi pada kebutuhan pelatih-an yang memerlukan instruktur di bidang pemeriksaan kinerja yang paham, andal dan dapat menularkan kemam-

puan audit. Terbatasnya instruktur pemeriksaan kinerja yang mempunyai pemahaman yang memadai dengan jam terbang praktik yang cukup diperlukan suatu pelatihan bagi instruktur yang dikenal Training on Trainer (TOT). TOT harus dirancang dengan matang supaya menghasilkan train-er-trainer yang andal . BPK sudah memiliki banyak auditor yang telah mengikuti program secondment dan workshop pemeriksaan kinerja baik dalam negeri maupun luar negeri yang mampu menjadi trainer tersebut.

• Start small by pilotingImplementasi juklak ini tentunya tidak langsung dapat

menghasilkan proses dan mutu pemeriksaan yang diharap-kan ideal dalam pemeriksaan kinerja. Untuk itu setiap tor-tama harus merencanakan mana-mana objek pemeriksaan yang akan dilakukan pemeriksaan kinerja. Lebih baik dimu-lai dengan objek yang tidak terlalu luas dan kompleks. Yang terpenting melakukan “pengkondisian” konsep pemeriksaan kinerja yang benar.

• Focus groupDinamika pemeriksaan kinerja selalu berkembang sei-

ring kompleksitas lingkungan auditee yang ada. Untuk men-jaga pemahaman dan implementasi Juklak harus dibentuk suatu kelompok yang dibangun untuk mendiskusikan isu-isu penting mengenai penyempurnaan Juklak pemeriksaan kinerja yang mencoba mengakomodasi pemikiran, peng-alaman ataupun kasus-kasus yang timbul dalam pemerik-saan kinerja. Semua proses tersebut harus terdokumentasi dengan baik ke dalam penyempurnaan Juklak sehingga akan menjadi ”knowledge management” BPK di bidang pemerik-saan kinerja. Focus Group merupakan gabungan staf litbang, pusdiklat dan auditor yang concern terhadap pergembangan pemeriksaan kinerja.

• Develop technical guidanceUntuk menghindari persepsi yang berbeda dan praktek

audit yang lebih aplikatif, Juklak pemeriksaan kinerja ha-rus segera diikuti pengembangan Petunjuk Teknis (Juknis) Pemeriksaan Kinerja. Juknis ini lebih menitikberatkan pada petunjuk lebih rinci mengenai langkah-langkah pemerik-saan kinerja sehingga dapat langsung memberikan ilustrasi nyata tentang apa dan bagaimana auditor kinerja menyiap-kan, melaksanakan dan melaporkan pemeriksaan kinerja. Setidaknya ada dua Juknis yang harus disiapkan antara lain Juknis Penentuan Area Kunci dan Juknis Pengembangan Kriteria Pemeriksaan.

Uraian di atas menggambarkan bahwa upaya pember-lakuan Juklak Pemeriksaan Kinerja adalah langkah awal memulai pembenahan cara pandang dan praktek kita dalam melaksanakan pemeriksaan kinerja. Ini adalah sebuah pon-dasi yang harus dirintis oleh BPK sekarang agar dapat meng-gapai harapan kita untuk menjadikan produk BPK menjadi referensi pembenahan kebijakan dan pelayanan publik di masa mendatang. Semua terpulang pada kita semua.

2�NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

Apa yang salah dengan keinginan itu ? Apakah tidak boleh seorang auditor ber-”improvisasi” dalam memainkan kompo-sisi prosedur auditnya ? Apakah auditor harus selalu patuh pada “conductor” untuk menghasilkan alunan laporan audit yang harmonis? Apakah auditor dapat langsung memainkan peranannya sebagai pemaiz jazz yang mahir?

Retorika pertanyaan tersebut secara faktual telah meng-hantui dunia ”persilatan audit” di BPK dalam praktik pemeriksaan. Ada kecenderungan auditor terlalu confidence yang kadang lupa bahwa ada pakem yang musti dan kudu dipegang dalam memainkan peranannya sebagai auditor. Ini mendorong tumbuhnya auditor yang senang berperan se-bagai pemain jazz. Ilustrasi tersebut akan coba dikupas un-tuk memahami pentingnya sebuah pedoman pemeriksaan dalam kancah pemeriksaan.

Improvisasi prosedur audit

Seorang pemain jazz diukur talentanya ketika dia dapat melakukan suatu permainan yang di luar pakem. Misalnya, pemain bass dengan mudah berpindah dari nada dasar C mayor ke G tanpa kesulitan dan akan kembali ke nada dasar semula. Pola permainan ini ditonjolkan sebagai suatu warna khas dari musik jazz yang dihasilkan oleh pemain bas terse-

but sehingga memperindah komposisi jazz yang dihasilkan.

Praktik dalam pemeriksaan selama ini, masih ada auditor di BPK berlagak seperti pemain jazz. Mereka mengaudit dengan improvisasi sekenanya mengikuti intuisi yang di-percaya, selama ampuh menemukan temuan tanpa mengin-dahkan prosedur audit yang disusun dalam program audit. Celakanya, improvisasi tersebut tidak didokumentasi ke dalam kertas kerja pemeriksaan (KKP) dengan baik, sehing-ga tidak mempunyai nilai tambah bagi perbaikan program pemeriksaan yang ada. Yang paling mengkhawatirkan den-gan gaya improvisasi tersebut adalah menyulitkan proses quality assurance yang menjamin keandalan prosedur audit yang dijalankan.

Dalam SPKN jelas pada standar umum dan standar pelaksanaan, auditor dan proses auditnya harus didasar-kan pada suatu perencanaan audit yang disupervisi secara memadai melalui proses audit yang andal. Artinya, dalam melakukan audit, auditor tidak boleh seenaknya melakukan improvisasi dalam prosedur audit.

Lebih gawat lagi, sejak awal seorang auditor telah melakukan improvisasi tanpa mengindahkan prosedur au-dit yang dituangkan dalam program audit. Bukan sebuah

AUDITOR SELALU INGINMENJADI PEMAIN JAZZ

Oleh: Yudi Ramdan Kasub Bag Set AKN V

LAPORAN UTAMA

24 NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

warna musik yang indah yang dihasilkan, tetapi suara sum-bang kaleng kosong yang memekakkan telinga pendengar. Oleh karena itu, jenis audit apapun baik itu audit keuangan, audit kinerja, ataupun PDTT, program audit sebagai suatu pedoman untuk melakukan prosedur audit harus dijalankan terlebih dahulu secara maksimal. Tetapi bukan berarti mere-dam inovasi untuk berimprovisasi dalam menjalankan pro-sedur audit.

Ada kalanya prosedur audit harus dikembangkan de-ngan baik dan taktis oleh seorang auditor dengan mengem-bangkan prosedur audit yang ada. Tentunya semua harus dikomunikasikan dengan supervisor dan didokumentasikan dengan baik supaya dapat menjadi patokan program audit pada audit yang sama di masa mendatang.

Harmonisasi irama audit

Permainan jazz berbeda dengan permainan sebuah orkestra simponi yang memainkan musik klasik yang di-pimpin oleh seorang conductor melalui tuntutan partitur untuk setiap pemainnya. Sebuah keindahan irama yang di-hasilkan permainan dapat diresapi apabila ada harmonisasi yang spontan dan bersahutan antara lantunan instrumen musik satu dengan yang lain meskipun tidak dilengkapi sebuah partitur ataupun dibimbing oleh seorang conductor.

Ilustrasi demikian ter-jadi dalam praktik audit di BPK dewasa ini. Ada ka-lanya anggota tim dengan anggota tim lainnya seakan-akan berjalan sendiri lupa akan ”partitur” untuk instrumen yang harus dimainkan. Yang lebih parah, mereka lupa harus memperhatikan arahan dari ketua tim, pengendali teknis bahkan penanggung jawab. Mungkin kondisi bisa lebih pa-rah lagi ketika semua pemain bingung akan pola permainan yang harus dimainkan sesuai dengan partitur dalam bentuk program audit.

Ini semua disebabkan adanya perencanaan audit yang tidak terarah, jelas dan relevan dengan ekspektasi hasil au-dit yang telah ditetapkan. Semua berjalan dengan ”bonek (bondho nekat)”, tanpa patokan yang jelas dan konsist-en. Hasilnya adalah opini audit laporan keuangan isinya kumpulan temuan kepatuhan tanpa ada hubungan dengan pengujian kewajaran asersi manajemen. Covernya laporan pemeriksaan kinerja di dalamnya daftar temuan kepatuhan tanpa ada suatu rekomendasi yang konstruktif. Bahkan ada hasil PDTT tanpa jelas simpulannya.

Jadi apa boleh auditor jadi pemain jazz? Syarat menja-di pemain jazz ternyata tidak semudah yang dikira. Kalau

pernah lihat pertunjukan jazz, akan terlihat setiap pemain mempunyai kelihaian mempertontonkan permainan yang unik atas instrumen yang dimainkan dengan tetap dalam koridor permainan jazz yang harmonis.

Untuk menjadi auditor yang andal seperti pemain jazz yang piawai harus menempuh sederetan prasyarat yang mutlak harus ada bagi auditor seperti diatur dalam stan-dar umum dalam SPKN yang meliputi kompetensi. In-depedensi, due profesional care dan quality assurance. Jadi tidak mungkin seseorang langsung memainkan permainan melodi atau saxophone dengan penuh improvisasi kalau ti-dak dibekali keahlian yang sudah melekat dan diasah secara terus menerus, sehingga kepekaan dalam main musik dapat tumbuh dengan baik. Disana seorang pemain bukan hanya ahli tetapi punya tanggung jawab profesi untuk dapat mem-berikan sumbangan yang optimal atas keindahan komposisi musik jazz yang dihasilkan.

Auditor memainkan instrumen musik berupa teknik au-dit yang menghasilkan alunan analisis bukti audit yang meng-hasilkan irama temuan audit yang memberikan komposisi musik yang indah dan memenuhi harapan dan kebutuhan para pemilik kepentingan. Untuk itu tidak ada kata lain,

persyaratan profe-sionalisme auditor menjadi prasyarat yang mutlak untuk memberikan kua-litas laporan yang baik dan dapat di-pertanggungjawab-kan.

Dengan de-mikian tidak hanya sebatas pada kemampuan auditor tetapi harus ada proses pemahaman ”aturan main” berupa pedo-man pemeriksaan yang secara konsisten diikuti dalam me-mainkan peranan dan tugas sebagai auditor. Interaksi audi-tor sebagai pemain dengan pakem ini selalu dinamis saling mengisi dan menjadikan pemain yang profesional yang da-pat ditularkan kepada pemain lain.

Tidak ada yang salah dengan keinginan menjadi pemain jazz bagi seorang auditor. Namun sebuah organisasi yang baik bukan hanya menciptakan ”smart people” melainkan ”smart system”. BPK masa depan adalah BPK yang mem-punyai kemampuan menciptakan sebuah aransemen mana-jemen audit yang pintar yang menjadi referensi yang aktual dan valid bagi setiap langkah para auditor yang kompeten, inovatif dan bertaanggung jawab untuk menghasilkan sebu-ah alunan musik yang memberikan komposisi transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sesesuai harapan dan ke-butuhan para pemilik kepentingan.

Semua berjalan dengan ”bonek (bondho nekat)”, tanpa patokan yang jelas dan konsisten. Hasil-nya adalah opini audit laporan keuangan isinya kumpulan temuan kepatuhan tanpa ada hubu-ngan dengan pengujian kewajaran asersi mana-jemen.

2�NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

Pertanyaan itu ditegaskan Ketua BPK Anwar Nasution sebagai dorongan kepada pemerintah daerah untuk memperbaiki laporan keuangannya sehingga mempe-

roleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Anwar mengatakan hal itu ketika menjadi pembicara dalam Dialog Publik BPK RI dan Pemprov DKI Ja-karta di Balai Agung Pemprov DKI Jakarta, 15 Oktober 2008, bertema “Mendorong Terciptanya Transpar-ansi dan Akuntabilitas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Ne-gara/Daerah”.

Kepada pers, Anwar men-jelaskan bahwa Laporan Keuangan DKI Jakarta tahun 2007 memang mendapat opini Disclaimer. Bukan hanya di Jakarta, daerah lain di Indonesia pun banyak yang men-dapat opini Disclaimer. Bahkan, Anwar mengatakan, transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah selama empat tahun terakhir mulai 2004 sampai 2007 semakin mem-buruk. Alasan inilah yang mem-buat diperlukannya percepatan perbaikan sistem keuangan daerag melalui langkah-langkah konkret,- terjadwal, dan melibatkan seluruh komunitas akuntabilitas di daerah.

Obligasi daerahGubernur DKI Jakarta, Fauzi

Bowo, yang hadir juga dalam dia-log publik dan konferensi pers sete-lahnya, telah menyebutkan bahwa pemda DKI Jakarta memiliki cita-cita untuk memobilisir dana dengan menjual obligasi pemerintah DKI. “Ini adalah satu hal yang perlu disambut,” ujar Anwar, “tapi DKI jika dibanding den-gan kota besar lain di dunia, banyak yang perlu dibenahi. Tiap tahun ada banjir, jalanan macet. Ini harus dibenahi. Kondisi sekarang memang belum baik, tapi sudah ada upaya untuk menuju perbaikan.”

Ambisi Fauzi untuk menjual obligasi DKI bukan hal yang main-main. “Siapa yang mau membeli obligasi kalau laporan keuangannya disclaimer?” ujar Anwar. Upaya-upaya perbaikan yang disampaikan Anwar, ditegaskan oleh Fauzi. Pemerintah DKI Jakarta telah menindaklanjuti temuan BPK secara konsisten dalam berbagai bentuk, baik yang berindikasi kerugian Negara juga konsekuensi administratif. “Sejak temuan itu diumumkan, mungkin sudah lebih dari 100 instruksi, 100 teguran, dan lebih dari 100 tindak administratif sudah dilaksanakan,” tegas Fauzi.

Ditambahkan olehnya, DKI Jakarta memang mempunyai rencana untuk menjual obligasi daerah pada saat yang tepat, yaitu setelah Laporan Keuangan DKI Jakarta mendapat opini baik. Obligasi tidak akan dijual jika pasar dalam keadaan ter-puruk. “Akan disiapkan segala sesuatunya agar obligasi dapat terserap dengan baik, terjual dengan bagus, dan mampu men-unjang kepentingan pemerintah daerah dalam membangun infrastruktur ibukota RI,” Fauzi menegaskan hal ini di hadapan pers.

Management Representative LetterSepanjang 2008, Anwar melakukan road show dialog publik

pengelolaan keuangan Negara di beberapa daerah se-Indone-sia. Seperti halnya di daerah lain, dialog publik di Jakarta ini ditujukan untuk membantu pemerintah daerah dalam melaku-

kan perbaikan-perbaikan agar lapo-ran keuangan yang mereka buat bisa mendapat opini WTP. Perlu sebuah action plan atas enam bi-dang perbaikan, yang mencakup sistem pembukuan, sistem aplikasi teknologi computer, inventarisasi aset dan utang, jadwal waktu peny-usunan laporan keuang-an, quality assurance atas LKPD oleh pengawas intern, serta sumber daya manusia.

Dipaparkan oleh Anwar, BPK te-lah mengambil enam bentuk inisiatif untuk mendorong perce-patan pembangunan sistem pem-bukuan dan manajemen keuan-gan Negara. Pertama, pemerintah daerah menandatangani manage-ment representative letter dalam setiap pemeriksaan BPK. Kedua, pemerintah daerah menentukan kapan mencapai opini WTP de-ngan menyusun action plan. Ketiga, pemerintah daerah menggunakan universitas setempat dan BPKP un-tuk memperbaiki sistem keuangan

daerah dan aplikasi komputernya, ser-ta meningkatkan SDM melalui pelati-han akuntansi keuangan daerah dan penyediaan tenaga pembukuan yang

trampil. Keempat, mendorong perombakan struktural Badan Layanan Umum (BLU), BUMN, dan BUMD agar lebih mandiri dan korporatis. Kelima, DPRD , membentuk Panitia Akuntabili-tas Publik untuk menindaklanjuti temuan BPK. Keenam, di ting-kat departemen, Depdagri, Depkeu, dan Departemen teknis berkoordinasi untuk menyusun desain dalam melaksanakan paket tiga UU bidang keuangan negara tahun 2003-2004.

Khusus mengenai management representative letter, me-nurut Anwar dilakukan otomatis, karena menjadi bagian da-lam proses audit. ”Hal penting lainnya, masing-masing entitas membuat action plan. Semua dilakukan secara terjadwal,” jelas Anwar.

Fauzi Bowo menjelaskan bahwa action plan untuk DKI Ja-karta sudah ada dan sedang diusahakan untuk dilakukan per-baikan. Di DKI Jakarta, management representative letter ditan-datangani oleh pimpinan lembaga. Di dalamnya, terkandung beberapa pernyataan dan komitmen lebih lanjut dari pimpinan unit dan SKPD. “Di DKI dilakukan dengan management contract atau performance contract, berupa pakta integritas yang ditan-datangani unit-unit kerja dengan gubernurnya,” jelas Fauzi.

Saran-saran BPK yang telah dilakukan oleh pemerintah dae-rah, diharapkan dapat menjadi awal upaya menuju perbaikan pengelolaan keuangan daerah. Karena, buruknya transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah dapat meningkatkan pe-luang kebocoran dan menghambat kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan dan kesejahteraan pada rakyat. - Bestantia

Ketua BPK: “Siapa mau beli obligasi kalau laporan keuangan disclaimer?”

AGENDA

Ketua BPK dalam Dialoog Publik di Balai Agung Pemprov DKI Jakarta,

15 Oktober 2008

2� NO ��4/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

0

Rapat pengarahan Kaditamarevbang, Public Hearing draft peraturan dan juknis jabatan fungsional pemeriksa (JFP) 22 Oktober 2008.

Pengarahan dari Kepala Biro SDM dalam acara “Sosialisasi Jabatan Fungsional Pranata Komputer” pada �7 Oktober 2008 di ruang Pola.

Dialog Publik di Pemprov DKI dihadiri oleh Anggota DPR, Gubernur DKI, Ketua DPRD serta Muspida. pada �� Oktober 2008.

Ucapan selamat kepada Drs. Sudin Siahaan oleh Ketua BPK setelah dilantik menjadi staf ahli bidang BUMD pada �7 Oktober 2008

POTRET BPK

Pelantikan Prof. Dr. Ilya Avianti oleh Ketua BPK RI menjadi Staf Ahli bidang BUMN dan Kekayaan Negara yang dipisahkan pada �7 Okto-ber 2008

Konferensi pers oleh Ketua BPK RI setelah Dialog Publik di Pemprov DKI Jakarta pada �� Oktober 2008.

27NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII

0

Penyerahan IHPS I Tahun 2008 dari Ketua BPK RI ke Ketua DPR RI pada 21 Oktober 2008 di Gedung Nusantara II DPR RI.

Pembukaan kantor BPK RI perwakilan provinsi Banten pada 20 Okto-ber 2008 oleh Ketua BPK RI

Pidato Ketua BPK RI di depan rapat paripurna pada acara penyerah-an IHPS I Tahun 2008 tanggal 21 Oktober 2008 di Gedung Nusantara II DPR RI.

Sambutan pidato Ketua BPK RI pada rapat laporan pertanggung-jawaban keuangan negara yang akuntabel di Balai Samudera, Ja-karta.

Kunjungan Irjen TNI AL Laksamana M. Sunanto ke BPK RI pada 21 Oktober 2008, diterima oleh Anggota I BPK Imran dan Kepala Audi-torat IA, Mahendro Sumardjo.

Workshop on Risk Based Financial Audit, kerjasama BPK RI dan ANAO di hotel Borobudur 15 Oktober 2008.

78 NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII