22
PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENGAWASAN PEMOTONGAN TERNAK DAN PENANGANAN DAGING SERTA HASIL IKUTANNYA DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG Menimbang : a. bahwa kesehatan masyarakat Veteriner mempunyai peranan penting dalam mencegah penularan penyakit zoonasa dan pengamanan Produksi bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan lainnya untuk kesehatan masyarakat; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas maka untuk melindungi kesehatan masyarakat yang menggunakan daging dan bahan asal hewan sebagai bahan konsumsi dan juga dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka penyediaan daging/bahan asal hewan yang memenuhi persyaratan kesehatan, maka dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengawasan Pemotongan Ternak, dan penanganan daging serta hasil ikutannya di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung. Mengingat : 1. Undang Undang Nomor 12 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 57; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1288 ); 2. Undang-Undangan Nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2824 );

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II …jdih.badungkab.go.id/uploads/PERDA_21_1994.pdf · peraturan daerah kabupaten daerah tingkat ii badung . nomor . 2. 1. tahun 1994 tentang

Embed Size (px)

Citation preview

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG

NOMOR 21 TAHUN 1994

TENTANG

PENGAWASAN PEMOTONGAN TERNAK DAN PENANGANAN DAGING

SERTA HASIL IKUTANNYA

DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG

Menimbang : a. bahwa kesehatan masyarakat Veteriner mempunyai peranan penting

dalam mencegah penularan penyakit zoonasa dan pengamanan

Produksi bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan lainnya

untuk kesehatan masyarakat;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas maka untuk

melindungi kesehatan masyarakat yang menggunakan daging dan

bahan asal hewan sebagai bahan konsumsi dan juga dalam upaya

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

penyediaan daging/bahan asal hewan yang memenuhi persyaratan

kesehatan, maka dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan

Daerah tentang Pengawasan Pemotongan Ternak, dan penanganan

daging serta hasil ikutannya di Kabupaten Daerah Tingkat II

Badung.

Mengingat : 1. Undang – Undang Nomor 12 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan

Umum Retribusi Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1957 Nomor 57; Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 1288 );

2. Undang-Undangan Nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuan Pokok

Peternakan dan Kesehatan Hewan ( Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 2824 );

2

3. Undang – Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan

Daerah – Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah – Daerah

Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);

4. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok – Pokok

Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1974 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3027);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan,

Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 20,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3120);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan

Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1983 Nomor 28);

7. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman

Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha;

8. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986

tentang syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan;

9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992,

tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta

hasil ikutannya;

10.Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 1993 tentang

Bentuk Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Perubahan;

11.Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 5 Tahun

1974 tentang Pemotongan Ternak Potong (Lembaran Daerah

Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1977 Seri D Nomor

3).

3

Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II

Badung.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II

BADUNG TENTANG PENGAWASAN PEMOTONGAN TERNAK

DAN PENANGANAN DAGING SERTA HASIL IKUTANNYA DI

KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

a. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II

Badung.

b. Bupati Kepala Daerah adalah Bupati Kepala Daerah Tingkat II

Badung.

c. Dinas Peternakan adalah Dinas Peternakan Kabupaten Daerah

Tingkat II Badung.

d. Ternak Potong adalah Hewan untuk keperluan dipotong yaitu sapi,

kerbau, kambing, domba, babi, ayam, dan hewan lainnya yang

dagingnya lazim dikonsumsi.

e. Rumah Potong Hewan (RPH) adalah bangunan atau komplek

bangunan yang permanen dengan sarana sarananya yang

dipergunakan untuk kegiatan pemotongan ternak yang ditetapkan

oleh Bupati Kepala Daerah.

f. Tempat Penampungan Ternak adalah bangunan atau komplek

bangunan untuk menampung ternak sebelum dipotong.

4

g. Pemotongan Ternak adalah kegiatan yang menghasilhan daging

yang terdiri dari pemeriksaan ante mortem, penyembelihan,

penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post mortem.

h. Pemotongan Darurat adalah pemotongan ternak yang terpaksa harus

segera dilakukan baik didalam maupun diluar rumah potong hewan

karena sesuatu hal yang membahayakan jiwa ternak itu sendiri ,

manusia dan lingkungannya atau karena kecelakaan, hewan

mengamuk atau buas.

i. Daging adalah bagian-bagian dari ternak yang telah dipotong

termasuk isi rongga perut dan dada yang lazim dimakan manusia.

j. Karkas adalah bagian dari hewan potong yang disembelih setelah

kepala dan kaki dipisahkan, dikuliti serta isi rongga perut dan dada

dikeluarkan.

k. Daging Dingin adalah daging yang didinginkan dengan suhu antara

00

(nol derajat) sampai 40

(empat derajat) celcius.

l. Daging Beku adalah daging yang dibekukan dengan suhu sekurang-

kurangnya minus 100 (sepuluh derajat) celcius.

m. Daging Giling adalah daging yang telah mengalami proses

penggilingan.

n. Daging Olahan adalah daging yang telah mengalami proses

pengolahan kecuali dikalengkan.

o. Hasil Ikutan Ternak adalah hasil samping dari pemotongan hewan

potong yang berupa darah, kulit, bulu, lemak, tulak, tanduk, dan

kuku.

p. Pemeriksaan ante mortem adalah pelaksanaan pemeriksaan dan atau

pengujian sebelum ternak dipotong.

q. Pemeriksaan post mortem adalah pelaksanaan pemeriksaan dan atau

pengujian setelah ternak dipotong.

5

r. Usaha Pemotongan Ternak adalah kegiatan-kegiatan yang

dilakukan oleh perorangan dan atau badan yang melaksanakan

pemotongan ternak dirumah potong hewan milik sendiri, atau milik

pihak lain atau menjual jasa pemotongan ternak.

s. Pengusaha Daging adalah seseorang atau badan yang usahanya

meliputi kegiatan menghasilkan daging, menyimpan daging,

pengecer daging.

t. Pengusaha Pemasok Daging adalah seseorang atau badan yang

usahanya memasukkan daging kewilayahKabupaten Daerah Tingkat

II Badung.

u. Pengusaha Penggilingan Daging adalah seseorang atau badan yang

usahanya menyelenggarakan penggilingan daging.

v. Penyimpangan daging adalah kegiatan penyimpanan daging untuk

keperluan persediaan daging di wilayah Kabupaten Dati II Badung.

w. Petugas pemeriksa yang berwenang adalah Dokter Hewan

pemerintah yang ditunjuk oleh menteri berdasarkan pasal 14 PP

No. 22 Tahun 1983 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner yang

bertugas melakukan pemeriksaan ante mortem dan post mortem di

RPH/tempat pemotongan hewan di wilayah tertentu atau petugas

tehnis yang ditunjuk untuk melakukan pekerjaan diatas dan dibawah

pengawasan serta tanggung jawab Dokter Hewan sebagaimana

dimaksud diatas.

x. Pemeriksaan ulang adalah pemeriksaan terhadap daging yang harus

dilengkapi dengan dokumen sesuai ketentuan yang berlaku yang

dilakukan oleh petugas pemeriksa yang berwenang ditempat yang

ditentukan oleh Bupati Kepala Daerah.

y. Ijin pemotongan ternak dan Penjualan daging serta hasil ikutanya

adalah ijin yang dikeluarkan oleh Bupati Kepala Daerah atau

pejabat lain yang diberikan wewenang mengeluarkan ijin yang

memberikan hak untuk melaksanakan kegiatannya.

6

z. Tempat penjualan daging adalah tempat dimana usaha

penjualan dilakukan di los-los dalam pasar yang telah ditetapkan

dan kios penjualan yang didirikan sendiri diluar tempat yang telah

ditetapkan oleh Pemerintah.

BAB II

PENGUSAHAAN PEMOTONGAN TERNAK

Pasal 2

(1) Setiap pemotongan ternak di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung

harus mendapat ijin dari Bupati Kepala Daerah atau Pejabat yang

ditunjuk.

(2) Prosedur Permohonan untuk memperoleh ijin sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan sesuai dengan

Peraturan yang berlaku.

(3) Untuk dapat memperoleh ijin pemotongan ternak harus dengan

mengajukan permohonan bermaterai secukupnya kepada Bupati

Kepala Daerah, yang tembusannya disampaikan kepada Kepala

Dinas Peternakan Kabupaten dengan menyebutkan antara lain :

a. Nama lengkap, alamat dan keperluan permohonan.

b. Lokasi tempat pemotongan/penjualan dengan surat keterangan

kepala Rumah Pemotongan Hewan.

c. Pernyataan tertulis bersedia mematuhi aturan yang berlaku.

d. Jenis kegiatan/jenis hewan yang dipotong.

e. Melampirkan bukti diri (KTP), pas photo.

f. Melampirkan surat keterangan dokter pemerintah.

g. Dan lain-lain yang dipandang perlu.

7

BAB III

TATA CARA DAN TEMPAT PEMOTONGAN TERNAK

Pasal 3

(1) Tata Cara pemotongan ternak dilakukan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(2) Hewan yang telah disembelih harus segera diperiksa oleh petugas

pemeriksa daging.

(3) Daging yang diperiksa dan ternyata tidak baik/tidak memenuhi

syarat hygeine untuk dikonsumsi harus dimusnahkan menurut

petunjuk petugas pemeriksa daging.

Pasal 4

Daging yang didapat dari sapi, babi, kerbau atau kuda yang baru

dipotong, harus disimpan dulu dirumah pemotongan ( ruang pelayuan)

kecuali dalam hal dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 Peraturan Daerah ini.

Pasal 5

(1) Bagian-bagian ternak setelah selesai pemotongan harus segera

dilakukan pemeriksaan post mortem oleh petugas pemeriksa yang

berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(2) Petugas Pemeriksa yang berwenang mempunyai wewenang untuk

mengiris, membuang seperlunya bagi bagian-bagian daging yang

tidak layak untuk dikonsumsi, mengambil bagian-bagian daging dan

atau menyita untuk keperluan pemeriksaan lebih lanjut, serta

memerintahkan pemusnahan daging yang dilarang untuk

diedarkan/dikonsumsi.

8

Pasal 6

Apabila saat pemeriksaan atau pengujian dijumpai kelainan, maka

petugas pemeriksa yang berwenang dapat mengambil tindakan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 7

(1) Daging yang telah diperiksa dan dinyatakan sehat oleh petugas

pemeriksa yang berwenang harus dibubuhi tanda cap yang bentuk,

warna, ukuran dan bahannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

(2) Karkas harus ditiriskan terlebih dahulu, dan karkas yang

dikeluarkan dari rumah pemotongan hewan dapat berbentuk utuh,

separuh atau bagian bagian.

Pasal 8

Tata cara pemeriksaan ante mortem dan post mortem dilakukan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 9

Petugas Pemeriksa, berwenang melakukan pemeriksaan terhadap daging

yang beredar diluar Rumah Pemotongan Hewan.

BAB IV

PEMERIKSAAN PEMOTONGAN TERNAK

Pasal 10

(1) Setiap ternak yang belum dipotong diistirahatkan sekurang-

kurangnya 12 jam sebelum saat pemotongan dan dilakukan

pemeriksaan ante mortem oleh petugas pemeriksa yang berwenang.

9

(2) Ternak yang telah diperiksa untuk dipotong harus dipisahkan dari

ternak lainnya.

(3) Pemotongan ternak harus dilakukan tidak boleh lebih dari 24 jam

sesudah diperiksa dan disetujui oleh petugas pemeriksa yang

berwenang kecuali dalam pemotongan darurat.

Pasal 11

(1) Setiap pemotongan ternak yang dilakukan harus dilakukan di rumah

pemotongan hewan dan atau ditempat lain yang ditetapkan oleh

Bupati Kepala Daerah, kecuali untuk keperluan peribadatan atau

upacara adat.

(2) Dalam hal pemotongan ternak yang dilakukan untuk peribadatan

atau upacara-upacara adat pelaksanaannya harus dilaporkan kepada

Bupati Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

(3) Pemotongan darurat dapat dilakukan diruang pemotongan darurat

pada rumah, pemotongan hewan atau ditempat lain.

(4) Kecuali para petugas dan pihak yang berkepentingan, setiap orang

yang memasuki kawasan rumah pemotongan hewan harus mendapat

ijin dari Bupati Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

(5) Tata tertib dalam kawasan Rumah Pemotongan hewan dan standar

pemotongan ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah.

Pasal 12

Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan harus sesuai dengan Peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

10

BAB V

TATA CARA PENANGANAN, PENGANGKUTAN

DAN PENJUALAN HASIL PEMOTONGAN TERNAK

Pasal 13

(1) Pengangkutan daging di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung harus

menggunakan angkutan khusunya yang memenuhi persyaratan yang

ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(2) Angkutan khusus untuk mengangkut daging harus memiliki izin

dari Bupati Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.

(3) Angkutan khusus untuk mengangkut daging babi harus dibedakan

dengan angkutan untuk daging lainnya.

Pasal 14

Pengangkutan daging dengan angkutan khusus harus memenuhi

ketentuan :

a. Mempergunakan angkutan khusus daging.

b. Melalui jalan yang sesingkat-singkatnya.

c. Dilengkapi dengan surat keterangan kesehatan dan asal daging.

Pasal 15

(1) Setiap pengusaha daging dan hasil ikutannya harus mempunyai izin

dari Bupati Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

(2) Prosedur Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

pasal ini, ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah.

11

(3) Prosedur untuk memperoleh izin tersebut diatas sesuai dengan pasal

2 ayat (3) Peraturan Daerah ini.

Pasal 16

Setiap penyimpanan, pengangkutan, penggilingan dan penjualan daging

babi harus dipisahkan secara nyata dengan daging lainnya.

Pasal 17

(1) Daging yang dijual hanya dipotong-potong diatas meja, bangku atau

alat lainnya yang dilapisi dengan bahan aluminium atau dibuat dari

bahan yang tidak dapat tembus oleh barang cair dan mudah

dibersihkan.

(2) Daging yang dijual keliling atau yang dipasarkan ditempat-tempat

penjualan daging harus dilindungi terhadap kotoran, debu, sinar

matahari, air hujan, lalat, dan sebagainya.

(3) Dasar/alat lantai tempat penjualan/pengeceran harus lebih tinggi

dari lantai sekitarnya dengan tinggi minimal 50 cm, bersih dan

memperhatikan kesehatan.

(4) Tempat penjualan daging dingin dan beku hanya dapat dilakukan

ditempat tertentu atas izin Bupati Kepala Daerah.

(5) Tempat penjualan daging babi harus terpisah dengan tempat

penjualan daging lainnya.

Pasal 18

Semua penjual daging diwajibkan memberi kesempatan pada petugas

pemeriksa daging untuk memeriksa daging untuk memeriksa daging di

tempat penjualan atau sewaktu daging dibawa.

12

BAB VI

RETRIBUSI PEMOTONGAN TERNAK

Pasal 20

(1) Pelayanan Pengawasan Pemotongan ternak, penanganan daging dan

hasil ikutannya sesuai dengan peraturan daerah ini, dikenakan

Retribusi sebagai berikut :

a. Retribusi Rumah Potong

1. Sapi, Kerbau, Kuda ...................................Rp. 6.000 / ekor

2. Babi, Kambing, Domba..............................Rp. 3.500 / ekor

b. Biaya Pemeriksaan ante mortem

1. Sapi, Kerbau, ............................................Rp. 200 / ekor

2. Babi, Kambing, Domba..............................Rp. 150 / ekor

3. Ayam potong, itik untuk pemotongan

lokal/dikirim keluar daerah.........................Rp. 25 / ekor

c. Biaya Pemeriksaan post mortem

1. Sapi, Kerbau...............................................Rp. 500 / ekor

2. Babi,Kambing,Domba.................................Rp. 300 / ekor

3. Ayam Potong..............................................Rp. 50 / ekor

d. Retribusi Angkutan Daging

1. Sapi, Kerbau, Kuda ...................................Rp. 700 / ekor

2. Babi, Kambing, Domba..............................Rp. 500 / ekor

e. Retribusi Sewa Kandang

1. Sapi, Kerbau, Kuda ...................................Rp. 300 / ekor/

hari

2. Babi, Kambing, Domba............................ Rp. 200 / ekor/

hari

f. Retribusi Pemeriksaan hasil bahan asal hewan

- Kulit kering/garraman................................Rp. 50/lbr

- Tulang,Bulu,Lemak Rp. 5/kg

13

g. Retribusi Pemeriksaan ulang,daging bahan asal

hewan dari luar Kabupaten Daerah Tingkat II

Badung...............................................................Rp. 100/kg

h. Ijin Pemotongan ternak, penanganan dan hasil

ikutannya

1. Ijin pemotongan ternak

- Sapi, Kerbau, Kuda............................Rp. 60.000/3 Th

- Babi, Kambing, Domba......................Rp. 45.000/3 Th

- Unggas................................................Rp. 30.000/3 Th

2. Ijin Pengusaha Daging

- Penjual/Pengecer daging......................Rp. 60.000/3 Th

- Pasar Swalayan ...............................Rp. 50.000/3 Th

3. Ijin penampungan,penggaraman pengeringan

kulit, Tulang, Bulu, lemak.......................Rp. 60.000/3 Th

4. Ijin angkutan daging................................Rp. 30.000/3 Th

(2) Retribusi dimaksud ayat (1) Pasal ini tidak termasuk ongkos potong.

(3) Besarnya ongkos potong sebagaimana dimaksud ayat (2) pasal ini

dan cara pembayarannya kepada tukang potong akan ditetapkan

dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah

Pasal 21

Bupati Kepala Daerah menunjuk dan menetapkan Kepala Dinas

Peternakan/Dokter Hewan untuk bertanggung jawab didalam dan diluar

rumah pemotongan hewan sepanjang mengenai kesehatan ternak potong,

kesehatan daging dan bahan asal hewan serta teknis pemotongannya.

14

Pasal 22

(1) Penunjukan Petugas Pungut Retribusi ditetapkan Keputusan Bupati

Kepala Daerah.

(2) Petugas Pungut Retribusi wajib menyetor uang hasil pungutannya

ke Kas Daerah Tingkat II Badung dengan tata cara sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

(3) Petugas Pungut Retribusi diberi uang perangsang 5 %

(4) Pemungutan Retribusi dilaksanakan dengan memberi tanda lunas

pembayaran berupa karcis kepada wajib retribusi.

Pasal 23

Ahli yang melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap kesehatan

ternak potong, kesehatan daging dan hasil ikutannya diberikan jasa

pemerisaan sebesarnya Retribusi pemeriksaan sebagaimana dimaksud

pasal 20 ayat (1) Peraturan Daerah ini.

BAB VII

LARANGAN-LARANGAN DAN

PEMBATALAN PERIJINAN

Pasal 24

Daging yang akan dijual tidak boleh diubah dari wujud keadaan semula

Pasal 25

Dilarang menjual/mengedarkan, menyimpan, mengolah daging dan atau

bagian-bagian lainnya seperti :

a. Daging gelap.

b. Daging selundupan.

15

c. Tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan dan tidak layak

dikonsumsi

Pasal 26

Dilarang membuang bagian-bagian ternak yang telah dipotong sebelum

diadakan pemeriksaan post mortem.

Pasal 27

Dilarang :

a. membawa daging ke luar dari Rumah Pemotongan Hewan dan atau

dari tempat lain yang ditunjuk untuk itu sebelum daging diperiksa

dan dicap oleh petugas pemeriksa daging.

b. membawa daging yang akan dijual dengan tidak diberi tutup.

c. membawa daging yang telah di potong-potong dengan tempat yang

disebelah dalamnya tidak dilapisi dengan bahan aluminium atau

bahan laiinya yang memenuhi syarat yang dibuat sedemikian rupa

sehingga mudah dibersihkan.

Pasal 28

(1) Surat ijin sesuai Bab II pasal 2 ayat (1) dan Bab V pasal 15 ayat (1)

Peraturan Daerah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi :

a. Jika pemegang surat ijin atau pembantunya melanggar

ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini yang menurut

pemberi ijin pelanggarannya sangat tidak terpuji.

b. Jika sesudah surat ijin diberikan terdapat kejadian yang dapat

menjadi sebab untuk mencabut ijin dimaksud kepada yang

bersangkutan.

16

c. Ijin dibatalkan jika pemilik ijin tidak aktif lagi dan selama

kurun waktu 6 (enam) bulan berturut-turut pemegang ijin tidak

melakukan usahanya dan tidak melaporkan alasan yang ada,

tanpa pemberian ganti rugi.

d. Ijin tidak berlaku jika pemegang ijin tersebut telah meninggal

dunia.

(2) Dengan Pembatalan ijin dimaksud, maka yang bersangkutan tidak

diperbolehkan lagi menjalankan usahanya.

Pasal 29

(1) Jangka waktu berlakunya ijin sesuai pasal 2, 13 ayat (2) dan 15

Peraturan Daerah ini adalah selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak

ijin dikeluarkan.

(2) Kepada pemegang ijin tersebut ayat (1) pasal ini setiap tahun

diwajibkan melaksanakan daftar ulang.

BAB VIII

PENGAWASAN

Pasal 30

Pengawasan terhadap Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Bupati

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

17

BAB IX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 31

(1) Barang siapa melanggar ketentuan yang tercantum dalam Peraturan

Daerah ini, diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan

atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu

rupiah).

(2) Tindak Pidana dimaksud ayat (1) Pasal ini adalah Pelanggaran.

BAB X

KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 32

(1) Selain Pejabat penyidik umum yang bertugas menyidik tindak

pidana, penyidikan atas pelanggaran tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat juga dilakukan oleh

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah

Daerah yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan para penyidik sebagaimana

dimaksud ayat (1) berwenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan

melakukan pemeriksaan;

c. Menyuruh berhasil seseorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penyitaan benda dan atau surat;

18

e. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk

dari penyidik umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau

peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan

selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut

kepada penuntut umum tersangka ataau keluarganya;

i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat

dipertanggung jawabkan.

Pasal 33

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang

mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan

Bupati Kepala Daerah.

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan Daerah

Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 7 Tahun 1988 tentang

Retribusi Rumah Potong Hewan dan Fasilitas lainnya dinyatakan tidak

berlaku lagi.

19

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan

pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam

Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung.

Ditetapkan di : Denpasar

Pada Tanggal : 15 Desember 1994

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH BUPATI KEPALA DAERAH

KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG TINGKAT II BADUNG KETUA,

T.T.D. T.T.D.

I KETUT GARGA I.G.B. ALIT PUTRA

Disahkan oleh :

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali

dengan Keputusan

Tanggal 8 Mei 1995 Nomor 187 Tahun 1995

Diundangkan Dalam Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung.

Nomor : 42 Tanggal : 22 Juni 1995

Seri : B Nomor : 2

Sekretaris Wilayah/Daerah Tk. II Badung

T.T.D

Drs. Ida Bagus Yudara Pidada

Pembina Tk. I

Nip. 010045843

20

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG

NOMOR 21 TAHUN 1994

TENTANG

PENGAWASAN PEMOTONGAN TERNAK DAN PENANGANAN DAGING SERTA

HASIL IKUTANNYA DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG

I. UMUM :

Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan

dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan, yang secara langsung atau

tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia.

Oleh karena itu kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan yang penting

dalam mencegah penularan penyakit kepada manusia baik melalui hewan maupun

bahan makanan asal hewan atau bahan asal hewan lainnya, dan ikut serta memelihara

dan mengamankan produksi bahan makanan asal hewan dari pencemaran dan

kerusakan akibat penanganan yang kurang higenis.

Pengawasan pemotongan dan penganan daging serta hasil ikutannya antara lain

dimaksudkan untuk melindungi konsumen-konsumen/masyarakat dari bahaya yang

dapat mengganggu kesehatan (foodborne disease) akibat menggunakan daging dan

bahan asal hewan baik untuk dipakai atau dimakan, melindungi dan menjamin

ketentraman batin masyarakat dari kemungkinan-kemungkinan penularan zoonosa

yang sumbernya berasal dari hewan.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut diatas, terutama dalam upaya melindungi

konsumen/masyarakat di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, maka diperlukan

adanya Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pengawasan Pemotongan Ternak

dan Penanganan Daging serta hasil Ikutannya.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Huruf a s/d c : Cukup Jelas

Huruf d : Yang dimaksud hewan lainnya antara lain Rusa, Kelinci,

Babi Hutan.

21

Huruf e s/d h : Cukup Jelas

Huruf i : yang dimaksud lazim disini adalah daging-daging yang :

a. Tidak mengandung penyakit

b. Tidak mengalami pembusukan

c. Tidak kotor

d. Tidak menjijikan

Huruf j s/d m : Cukup Jelas

Huruf n : Yang dimaksud pengolahan daging antara lain pembuatan

bakso, sosis, abon, dendeng, daging asap,daging panggang.

Huruf o s/d r : Cukup Jelas

Huruf s : Perorangan atau badan dalam hal ini adalah para pemilik

kegiatan pemotongan ternak.

Huruf r s/d z : Cukup Jelas

Pasal 2 (3) huruf g : Yang dimaksud dan lain-lain yang dipandang perlu adalah

selain syarat-syarat yang ada, mungkin dari pihak pemberi

ijin memerlukan persyaratan tambahan yang perlu

dilengkapi misalnya : HO, HGU/Lokasi, PIL ( Penyajian

Informasi Lingkungan ) pemasangan instalasi dan

peralatan, ijin tenaga kerja asing dan lain-lain.

Pasal 3 : Cukup Jelas

Pasal 4 s/d 20 : Cukup Jelas

Pasal 21 : Yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa Kepala

Dinas Peternakan bertanggung jawab baik didalam maupun

diluar Rumah Pemotongan hewan terhadap keberadaan dan

kelancaran kegiatan Rumah Pemotongan Hewan.

Pasal 22 : Cukup Jelas

Pasal 23 : yang dimaksud adalah 25% dari Retribusi pemeriksaan

sebagaimana pasal 20 ayat (1) Peraturan Daerah ini.

22

Pasal 24 : yang dimaksud dengan diubah dari wujud keadaan semula

misalnya dipompa dengan air, di cat, diulas dengan darah

atau cara lainnya.

Pasal 25 s/d 27 : Cukup Jelas.

Pasal 28 : yang dimaksud dalam pasal ini adalah jika yang

bersangkutan telah beberapa kali melakukan pelanggaran

dan sudah mendapat teguran lisan/tulisan antara lain :

melaksanakan pemotongan dan pelaporan pemotongan

yang tidak sesuai dengan kenyataan; diketahui

melaksanakan kegiatan yang bertentangan dengan maksud

pasal 17, 18, 24, 25, dan 27 Peraturan Daerah ini.

Pasal 29/35 : Cukup Jelas