26
PERBANDINGAN CHITOSAN KULIT UDANG dan KULIT KEPITING dalam MENGHAMBAT PERTUMBUHAN KAPANG Aspergillus flavus Martina Restuati FMIPA Unimed ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh chitosan kulit udang dan kulit kepiting dalam menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2008 di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA Unimed Jalan Williem Iskandar Pasar V. Dalam Penelitian ini digunakan sampel kapang Aspergillus flavus yang diperoleh dari Balai Laboratorium Kesehatan Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan 7 perlakuan dan 2 kali ulangan. Keenam konsentrasi dari masing-masing chitosan adalah: 0 %, 0.2%, 0.4%, 0.6%, 0.8%. Tiap masing-masing konsentrasi chitosan ditetesi kedalam media PDA yang diberi lubang sumuran. Setelah itu diinkubasi selama 2 x 24 jam dengan suhu 370 C. Pengamatan zona hambatan kapang Aspergillus flavus dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t untuk mengetahui perbedaan nya. Hasil dari analisis data yang diperoleh untuk pengaruh chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dalam menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus tidak berbeda nyata, dimana t hitung (1,988) < t tabel 0,05 (2,819). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dalam menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus. Kata Kunci: Chitosan, daya hambat, pertumbuhan, Aspergilus flavus. 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan merupakan salah satu media terbaik bagi suatu mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga makanan seringkali menjadi rusak karena terkontaminasi oleh mikroorganisme, mikroorganisme mampu memecah komponen yang ada di dalam makanan menjadi senyawa yang lebih sederhana. Makanan yang dirusak oleh mikroorganisme itu akan mengalami perubahan, penguraian, nilai gizi serta nilai organoleptik (Hasruddin, 2006) Aspergillus flavus merupakan jenis mikroorganisme pembusuk yang bersifat lipolitik. Jamur ini dapat menyebabkan kerusakan pada makanan dan bahkan pada roti- rotian, sayur-sayuran, buah-buahan dan makanan lainnya. Untuk mengatasi atau mencegah makan yang sudah terkontaminasi banyak upaya yang dilakukan, seperti pengawetan. Pengawetan makanan dapat dilakukan dengan mengatur suhu, pH, dan waktu sterilisasi yang melebihi ambang batas hidup mikroorganisme tersebut. Salah satu pengawetan yang umum dilakukan oleh masyarakat luas adalah

Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

PERBANDINGAN CHITOSAN KULIT UDANG dan KULIT KEPITING dalamMENGHAMBAT PERTUMBUHAN KAPANG Aspergillus flavusMartina Restuati FMIPA Unimed

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh chitosan kulit udang dan kulit kepiting dalam menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2008 di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA Unimed Jalan Williem Iskandar Pasar V. Dalam Penelitian ini digunakan sampel kapang Aspergillus flavus yang diperoleh dari Balai Laboratorium Kesehatan Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan 7 perlakuan dan 2 kali ulangan. Keenam konsentrasi dari masing-masing chitosan adalah: 0 %, 0.2%, 0.4%, 0.6%, 0.8%. Tiap masing-masing konsentrasi chitosan ditetesi kedalam media PDA yang diberi lubang sumuran. Setelah itu diinkubasi selama 2 x 24 jam dengan suhu 370 C. Pengamatan zona hambatan kapang Aspergillus flavus dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t untuk mengetahui perbedaan nya. Hasil dari analisis data yang diperoleh untuk pengaruh chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dalam menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus tidak berbeda nyata, dimana t hitung (1,988) < t tabel 0,05 (2,819). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dalam menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus.Kata Kunci: Chitosan, daya hambat, pertumbuhan, Aspergilus flavus.1. PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangMakanan merupakan salah satu media terbaik bagi suatu mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga makanan seringkali menjadi rusak karena terkontaminasi oleh mikroorganisme, mikroorganisme mampu memecah komponen yang ada di dalam makanan menjadi senyawa yang lebih sederhana. Makanan yang dirusak oleh mikroorganisme itu akan mengalami perubahan, penguraian, nilai gizi serta nilai organoleptik (Hasruddin, 2006) Aspergillus flavus merupakan jenis mikroorganisme pembusuk yang bersifat lipolitik. Jamur ini dapat menyebabkan kerusakan pada makanan dan bahkan pada roti-rotian, sayur-sayuran, buah-buahan dan makanan lainnya. Untuk mengatasi atau mencegah makan yang sudah terkontaminasi banyak upaya yang dilakukan, seperti pengawetan. Pengawetan makanan dapat dilakukan dengan mengatur suhu, pH, dan waktu sterilisasi yang melebihi ambang batas hidup mikroorganisme tersebut. Salah satu pengawetan yang umum dilakukan oleh masyarakat luas adalah pengawetan dengan menggunakan zat-zat yang disintetis malalui proses kimiawi seperti boraks, Penggunaan boraks semakin banyak digunakan oleh masyarakat padahal boraks mengandung zat toksik yang berbahaya jika dikonsumsi secara terus menerus, bahkan akhir-akhir ini penggunaan formalin yang biasanya digunakan untuk mengawetkan jenazah banyak digunakan sebagai pengawet makanan, sehingga memunculkan keresahan bagi masyarakat konsumtif. Berbagai penelitian dilakukan untuk menemukan pengawet yang tepat serta aman dikonsumsi sebagai pengganti pengawet makanan sintetis kimia, oleh karena itu ditemukanlah chitosan sebagai pengawet yang alami dan aman dikonsumsi. Berbeda dengan formalin yang merupakan antiseptik dan pengawet yang berbahaya (Indra, dkk, 2006) Chitosan merupakan bahan pengawet alami yang tidak bersifat toksik pada tubuh, terbuat dari produk samping yaitu limbah kulit kepiting dan kulit udang, chitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat lipid dan lemak. selain itu chitosan juga memiliki sifat sebagai antimikroba, dan sebagai pengawet makanan (Anonim, 2006). Dalam penelitian ini untuk akan dibandingkan chitosan mana yang lebih efektif sebagai antimikroba sehingga dapat diketahui chitosan yang paling berkualitas, apakah chitosan yang berasal dari kulit udang ataupun kepiting karena keduanya adalah hasil produk yang disintetis dari kitin yang secara stuktur adalah sama. Selain itu pemanfaatan limbah udang dan kepiting ini juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan yang ditimbulkannya, sehinggga keseimbangan lingkungan tetap terjaga. Dengan chitosan sebagai bahan pengawet makanan maka diharapkan mampu menghambat dan membunuh pertumbuhan kapang Aspergillus flavus sebagai mikroorganisme pembusuk makanan,

Page 2: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

dengan demikian peneliti mengharapkan chitosan dapat berguna sebagai antikapang dalam menjaga kualitas makanan sehingga dapat direalisasikan kepada masyarakat dan masyarakat relatif aman dalam mengkonsusmsi suatu makanan tanpa khawatir akan dampaknya bagi kesehatan apabila digunakan chitosan sebagai pengawet dalam dosisi yang sesuai. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh chitosan yang berasal dari kepiting dan yang berasal dari kulit udang dalam menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus.1.2. PermasalahanYang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaruh chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dengan konsentrasi yang sama dapat menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus.1.3. Tujuan PenelitianTujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui perbedaan pemberian chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dalam menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus.

2. METODE PENELITIANPembuatan ChitosanChitosan yang digunakan adalah chitosan yang dibuat sendiri. Bahan utamanya yaitu kulit udang dan kulit kepiting dengan 3 tahap perlakuan yaitu Proses utama dalam pembuatan chitosan, yaitu dengan penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimiawi dengan menggunakan larutan basa yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan asam dan basa. Selanjutnya chitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa. Chitosan dibuat dengan merebus limbah kulit udang dan kulit kepiting ynag telah dibersihkan untuk menghilangkan sisa protein. Limbah tersebut direbus kurang lebih satu jam ini dengan pH di usahakan diatas 10, dengan menambahkan soda api (NaOH). Hasilnya kemudian direbus lagi selama 2 jam dengan ditambahi larutan asam klorida (HCl) agar pH turun dibawah 5. Campuran itu sekali lagi direbus selama 2 jam dengan larutan basa untuk menghilangkan unsur asetil. Pada tahap ini, kulit rajungan dan kulit sudah berubah menjadi bubur berwarna putih. Sisanya berupa cairan kental yang dipakai sebagai pengawet (Indra, 2006).Pembuatan MediaMedia PDA (Potato Dextrose Agar) diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Medan sebanyak 39 gr. Media PDA selanjutnya ditambahkan dengan 500 ml aquades kemudian dimasukkan kedalam autoklaf bersama dengan alat-alat yang akan digunakan dalam penanaman kapang dengan temperatur 1210 C selam 15 menit, didinginkan hingga suhu 400 C-500 C. Setelah itu media dituangkan ke dalam masing-masing cawan sebanyak 20 ml.Penanaman Kapang Aspergillus flavusKapang yang sudah diencerkan di tanam ke dalam media pada setiap masing-masing cawan petridis dengan metode tuang. Proses pemindahan kapang ini dilakukan didekat bunsen. Kemudian dimasukkan kedalam masing-masing cawan petri yang berisi kapang dituangkan media PDA sebanyak 20 ml kemudian digoyang-goyang agar pertumbuhan kapang merata kemudian lempengan agar tersebut dibiarkan mengering selama 5 menit.Pengamatan Zona HambatMedia PDA yang ditanam oleh kapang Aspergillus flavus dibuat lubang sebanyak 6 dengan metode sumuran. Lubang sumuran dibuat dengan menggunakan ujung pipet tetes yang steril. Masing- masing lubang ditetesi dengan larutan chitosan sebanyak 0,1 ml dengan konsentrasi perlakuan. Dibiarkan chitosan tersebut meresap kedalam media PDA. Kemudian media PDA ditutup dan disimpan kedalam inkubator pada suhu 370 C selama 2Ũ 24 jam dengan posisi terbalik supaya terhindar dari kontaminasi. Setelah 2Ũ 24 jam dilakukan pemeriksaan dan pengukuran diameter daerah hambatan yang terjadi pada permukaan media Agar tersebut dengan menggunakan jangka sorong. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, dengan 6 kali perlakuan dan 2 ulangan sampel pada chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dengan masing-masing konsentrasi sebagai berikut : 0 %, 0.2%, 0,4%, 0,6% dan 0,8% Selanjutnya dilakukan analisis dengan menghitung daya hambat chitosan kulit udang (X ) dan kulit kepiting (Y ) terhadap kapang Aspergillus flavus.

Page 3: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

HASIL DAN PEMBAHASANDari hasil pengamatan yang telah dilakukan untuk mengukur daerah hambatan pertumbuhan kapang Aspergillus flavus yang ditanam pada media PDA ditambah dengan chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dengan konsentrasi yang berbeda-beda dengan masa inkubasi 2 x 24 Jam, maka diperoleh data sebagai berikut, Diameter daerah hambatan yang terjadi pada pertumbuhan kapang Aspergillus flavus tampak berbeda-beda dari masing-masing perlakuan. Dapat dilihat dari tabel diatas, diameter daerah/zona hambatan yang terkecil untuk chitosan kulit kepiting adalah 9 mm pada konsentrasi 0,2% dan diameter daerah/zona hambatan yang terbesar adalah 17 mm pada konsentrasi 0,8%. Sedangkan pada pemberian chitosan kulit udang, diameter/zona hambatan yang terkecil adalah 8 mm untuk konsentrasi % dan diameter/zona hambatan yang terbesar adalah 14 mm untuk konsentrasi 0,8%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat penghambatan pertumbuhan kapang Aspergillus flavus untuk pemberian chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting mengalami kenaikan dari perlakuan 0,2% hingga 0,8%. Dengan demikian berarti semakin tinggi kosentrasi chitosan yang diberikan maka semakin besar daerah atau zona hambatan yang dihasilkan.

Data- data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk memperoleh nilai rata-rata, standar deviasipada chitosan udang dan chitosan kepiting sehingga didapat :a. Nilai rata-rata zona hambat Aspergillus flavus yang diberi chitosan kulit udang :X = 10,916SD = 2.39b. Nilai rata-rata zona hambat Apergillus flavus yang diberi chitosan kulit kepiting : Y = 13,083SD = 2,937Dari data diatas diperoleh analisis varians (S2) 7,134 dan standart error beda (Sy-x) 1,090. Sehingga nilai t hitung diperoleh 1,988. Hasil uji Hipotesis diperoleh t hitung (1,988) < t tabel (2,819), maka Ho yang menyatakan tidak ada perbedaan pemberian chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting

Page 4: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

dalam menghambat kapang Aspergillus flavus diterima, sehingga Ha yang menyatakan ada perbedaan pemberian chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dalam menghambat kapang Aspergillus flavus ditolak. Terhambatnya pertumbuhan kapang Aspergillus flavus disebabkan karena chitosan mempunyai kemampuan sebagai antimikroba sebab chitosan memiliki gugus asam amino yaitu dalm bentuk asetil amino (HCOCH3) dan glukosamine (C6H9NH2) yang dapat berikatan dengan bagian makromolekul yang bermuatan negatif pada permukaan sel kapang, sehingga pertumbuhan kapang akan terhambat. Adanya gugus amino menjadikan chitosan bermuatan positif sangat kuat. Muatan tersebut menyebabkan chitosan dapat menarik molekul-molekul bermuatan negatif seperti minyak, lemak dan protein (Kusumawati, 2006). Dinding sel kapang umumnya tersusun atas lapisan peptidoglikan dan lipopolisakarida (Tarigan, 1988) berarti komposisi dinding sel kapang terdiri atas lemak dan protein. Menurut Pelczar (1986) cara kerja antimikroba dalam menghambat pertumbuhan sel mikroba dapat dibedakan atas beberapa kelompok salah satunya dengan cara merusak dinding sel mikroba, dengan demikian mekanisme kerja chitosan dalam menghambat pertumbuhan kapang adalah dengan merusak dinding sel dengan cara berikatan dengan dinding sel sehingga menghambat pertumbuhan kapang. Untuk mengetahui perbedan kimiawi chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting dilakukan pengujian secara spektroskopi inframerah dan dibaca dengan garfik maka didapat hasil bahwa kedua chitosan terdapat gugus CO-CH3, NH3 +, OH terikat dan NH2 yang tidak begitu kuat dan juga unsur-unsur lain yang berikatan luar. Letak perbedaan hanya pada ikatan rangkap karbon, dimana chitosan kulit kepiting, karbon berikatan dengan nitrogen (C≡ N) sedangkan chitosan kulit udang, karbon berikatan dengan unsur karbon lainnya (C≡C) tetapi karbon pada chitosan kulit udang agak lemah sehingga kadang-kadang tidak terlihat pada grafik. Secara kimiawi perbedaan keduanya adalah pada kandungan kitinnya, kitin pada kulit udang lebih sedikit dibandinngkan dengan kulit kepiting. Kulit udang mengandung 15% - 20% , sedangkan kulit kepiting mengandung kitin 18,70% - 32,20%. Dari hasil uji test (uji-t) diketahui bahwa pemberian chitosan kulit udang dan chitosan kulit kepiting berbeda tidak nyata dalam menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus. Dimana t hitung (1,988) < t tabel0,05 (2,819),maka hipotesis nilai (Ho) diterima dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak artinya pemberian kedua chitosan ini berbeda tidak nyata secara statistik namun pada perlakuan di lapangan keduanya berbeda. Aktivitas chitosan sebagai antimikroba menjadikan chitosan dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Dengan demikian, penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet makanan akan melindungi makanan dari senyawa racun yang dihasilkan oleh kapang Aspergiilus flavus yaitu aflatoksin karena chitosan merupakan bahan polimer alami yang tidak bersifat toksik pada tubuh manusia.Untuk diameter daerah/zona hambatan yang terjadi pada pertumbuhan Aspergillus flavus dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut, yaitu :1. Kekeruhan Suspensi KapangBila kurang keruh, diameter daerah/zona hambatan lebih lebar dan bila keruh, diameter daerah/zona hambatan lebih sempit. Pada waktu pengenceran kapang berlangsung, tingkat kekeruhan harus diperhatikan. Bila warna sudah kelihatan keruh maka dapat dilakukan penanaman bakteri kedalam media. Tingkat kekeruhan suspensi yang tepat akan menghasilkan diameter daerah/zona hambatan, yang dapat dipengaruhi oleh konsentrasi chitosan yang diberikan.2. Waktu Pengeringan/Peresapan Suspensi Kapang ke Dalam Media Agar Waktu Pengeringan tidak boleh lebih dari batas waktu yang ditentukan, karena dapat mempersempit diameter zona hambatan. Setelah penanaman dilakukan, media agar harus dibiarkan mengering selama 5 menit tidak boleh kurang atau lebih sehingga peresapan suspensi kapang berlangsung baik kedalam media agar. Waktu peresapan suspensi kapang yang baik akan membentuk diameter daerah/zona hambatan yang dapat dipengaruhi oleh chitosan.3. Temperatur InkubasiUntuk memperoleh pertumbuhan kapang yang optimal, masa inkubasi dilakukan pada suhu 35 0 C – 370 C. Kurang dari 350 C menyebabkan diameter daerah/zona hambatan lebih lebar. Ini bisa terjadi pada media plate yang ditumpuk-tumpuk lebih dari dua plate pada saat inkubasi. Plate yang berada ditengah suhunya kurang dari 350 C. Inkubasi pada suhu lebih dari 370 C, kadang-kadang ada kapang yang tidak subur pertumbuhannya sehingga menyebabkan diameter daerah/zona hambatan lebih sempit.

Page 5: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

3. Waktu InkubasiWaktu inkubasi untuk kapang berbeda dengan bakteri. Pada kapang waktu inkubasi selama 2-3 hari. Hal ini dilakukan agar konidia. kapang benar-benar tumbuh dan pengamatan zona hambat lebih mudah dilakukan.4. Tebalnya Agar-AgarKetebalan agar-agar sekitar 4-6 mm, larutan sebanyak 12-15 cc. Bila kurang dari batas tersebut difusi obat lebih cepat dan bila lebih dari batas tersebut difusi obat lebih lambat. Agar-agar yang terlalu tebal atau tipis menyebabkan penanaman kapang dan peresapan larutan chitosan tidak berlangsung baik.5. Komposisi MediaUntuk menumbuhkan suatu mikroorganisme diperlukan substrat makanan dimana media harus mengandung nutrien yang cocok yaitu berupa garam-garam anorganik dan senyawa-senyawa organikyang dibutuhkan untuk perkembangbiakan. Subsrat tersebut harus sesuai dengan ketentuan karena sangat berpengaruh pada pertumbuhan kapang yang digunakan.

4. KESIMPULAN DAN SARAN4.1 KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa pemberian chitosan kulit udang dan kulit kepiting dalam menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus tidak menunjukkan beda nyata secara statistik, artinya kedua chitosan ini tidak menunjukkan perbedaan dalam menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus. Konsentrasi minimum chitosan kulit udang dan chitosan cangkankang kepiting yang efektif unutk menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus adalah 0,2 % dan konsentrasi maksimum adalah 0.8%.4.2 Sarana) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh chitosan ini yang diberikan secara bersamaan sebagai bahan pengawet makananb) Perlu dilakukan penelitan lebih lanjut mengenai pengaruh chitosan terhadap kapang-kapang lain yang sering mengontaminasi makanan

Page 6: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

STUDI PENGGUNAAN KHITOSAN SEBAGAI ANTI BAKTERI PADA IKAN TERI (Stolephorus heterolobus) ASIN KERING SELAMA PENYIMPANAN SUHU KAMAR Sri Sedjati1), Tri Winarni Agustini1), Titi Surti1)

ABSTRAKPenelitian ini mempelajari penggunaan khitosan pada proses pengawetan ikan teri (S. heterolobus) asin kering selama penyimpanan suhu kamar. Tujuannya adalah mengetahui konsentrasi khitosan yang efektif untuk proses pengolahannya. Metoda penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial . Faktor pertama adalah perlakuan konsentrasi khitosan (tiga taraf :0,0%; 0,5%; 1,0%) dan faktor kedua adalah lamapenyimpanan(lima taraf : 0; 2; 4; 6; 8 minggu). Variabel dependen yang diamati meliputitotal bakteri/TPC, kadar air dan aktifitas air). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi khitosan berpengaruh nyata (p<0,01) hanya terhadap variabel dependen total bakteri. Sedangkan perlakuan lama penyimpanan berpengaruh nyata ( p<0,01) terhadap variabel kadar air dan total bakteri. Konsentrasi khitosan 0,5% merupakan konsentrasi yang efektif untuk menurunkan total bakteri ikan teri asin kering. Kata-kata kunci: Konsentrasi Khitosan, Ikan Teri (S. heterolobus.) Asin Kering, LamaPenyimpanan

I. PENDAHULUANSumber daya ikan teri banyak terdapat di perairan Indonesia. Teri banyak ditangkap karena mempunyai artipenting sebagai bahan makanan yang dapat dimanfaatkan baik sebagai ikan segar maupun ikan kering (Nontji, 1987). Ikan teri berukuran kecil dan sangat mudah rusak/membusuk. Itu sebabnya perlu cara untuk mempertahankan daya awet tanpa harus menghilangkan kenikmatan dan unsur keamanannya. Salah satu caranyaadalah diasinkan. Cara pengawetan dengan penggaraman yang diikuti dengan pengeringan adalah merupakan usaha yang paling mudah untuk menyelamatkan ikan teri hasil tangkapan nelayan. Penggunaan garam sebagai bahan pengawet terutama ditekankan pada kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Saat ini sering beredar berita tentang penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya pada industri penanganan dan pengolahan hasil perikanan di Indonesia, seperti formalin dan insektisida. Menurut Balai POM DKI Jakarta (2005), penelitian di laboratorium menunjukkan hasil positif untuk sebagian besar produk ikan asin dari Teluk Jakarta. Contoh ikan asin yang mengandung formalin di antaranya adalah teri asin kering (2,88 ppm). Penggunaan khitosan dapat diaplikasikan pada pengolahan hasil perikanan, termasuk proses pengolahan ikan asin. Senyawa khitosan aman dan tidak berbahaya bagi manusia. Khitosan merupakan produk turunan dari polimer khitin. Bentuknya mirip dengan selulosa, hanya beda pada gugus hidroksi C-2 khitin yang digantikan dengan gugus amino (NH2) (Roberts, 1992). Di Indonesia, penelitian aplikasi khitosan sudah diujicobakan pada proses pengolahan ikan cucut asin di Muara Angke. Menurut hasil penelitian penggunaan khitosan dengan konsentrasi 1,5% pada ikan cucut asin kering dapat memperpanjang daya awetnya. Pada suhu kamar, ikan cucut asin yang diawetkan

Page 7: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

dengan formalin bertahan 3 bulan 2 minggu, dengan perlakuan khitosan dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan tanpa khitosan hanya dapat bertahan 2 bulan saja (Suseno 2006). Penelitian ini dilakukan untuk mencoba mengaplikasikan khitosan pada produk ikan teri asin kering. Tujuannya adalah mencari konsentrasi larutan khitosan yang tepat untuk membentuk lapisan (edible coating), pada produk tersebut sehingga dapat mengurangi kerusakan mikrobiologis akibat bakteri selama penyimpanan suhu kamar. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

II. MATERI DAN METODEPenelitian ini menggunakan metodeeksperimental laboratoris dengan obyekpenelitian pengolahan ikan teri (asinkering). Ikan teri yang diolah adalah jenisStolephorus heterolobus (Saanin, 1984).Ikan teri asin kering diolah dengan carapenggaraman basah, yaitu denganperendaman dalam larutan garam 10% selama 3 jam. Penjemuran dilakukanselama 2 hari dengan sinar matahari danditutup dengan kasa plastik. Pencelupandalam larutan khitosan(dengan pelarutasam asetat 1%) dilakukan setelahpenjemuran selama 1 hari ( setengahkering) dan kemudian dijemur sehari lagihingga kering. Ikan teri asin keringdikemasdalamplastikbeningPE/Polyethylene (ketebalan 0,025 mm) dandisimpan dalam suhu kamar selama 8minggu. Variabel yang diamati dalampenelitian ini meliputi variabel independen(perlakuan), yaitu konsentrasi khitosan dalam asam asetat 1% dan lamapenyimpanan. Variabel dependen meliputianalisa total bakteri / TPC, kadar air danaktifitas air.Percobaan faktorial ini memakaidesain Rancangan Acak Blok (RAB)dengan 2 kali ulangan (sebagai blok). Faktor A (konsentrasi larutan khitosan)terdiri dari tiga taraf, yaitu : 0%, 0,5%,1,0%. Faktor B (lama penyimpanan ) terdiri dari lima taraf, yaitu: 0, 2, 4, 6 dan 8minggu.

Page 8: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

Untuk melihat gambaran mengenai aktifitas khitosan sebagai anti bakteri padaikan teri asin kering yang diolah sesuai perlakuan, dilakukan analisa ANOVA duajalur dengan SPSS (Santosa, 2004;Ghozali, 2005) terhadap variabel-variabelyang diamati. III. HASIL DAN PEMBAHASANKemampuan khitosan sebagai bahanpengawet dipengaruhi oleh mutu khitosanitu sendiri. Dalam dunia perdaganganinternasional sudah ada standar mutukhitosan yang telah disepakati. Khitosanyang dipakai dalam penelitian inimempunyai karakteristik mutu sepertitertera pada Tabel 1 dan telah memenuhistandar perdagangan internasional. Kemurnian khitosan dapat dilihatdari kadar air dan kadar abu yang rendah,namun memiliki derajat deasetilasi yangtinggi. Semakin tinggi derajat deasetilasi,semakin banyak gugus amino (NH2) padarantai molekul khitosan sehingga khitosansemakin reaktif. Keunikan bahanpengawet khitosan ini adalah karenamempunyai gugus amino tersebut. Pelapisdari polisakarida ini merupakanpenghalang (barrier) yang baik, sebabpelapis jenis ini bisa membentuk matrikPDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 457Jurnal Pasir Laut, Vol.2, No.2, Januari 2007 : 54-66

yang kuat dan kompak yang berfungsisebagai pelindung. Khitosan mudah larutdalam asam organik dan memiliki muatanpositif kuat yang dapat mengikat muatannegatif dari senyawa lain, termasuk yangterdapat di dalam membran bakteri(Suseno,2006).Tabel 1. Karakteristik Khitosan Bahan Penelitian dan Standar InternasionalKarakteristik KhitosanParameterBahan Penelitian*Standar Internasional**- Ukuran partikel

Page 9: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

- Kadar air- Kadar abu- Kadar protein- Derajat deasetilasi- Bau- Warna larutan- ViscositasButiran/bubuk < 2 mm7,54%0,75%-75,42%Tidak berbauJernih (agak putih)300 cpButiran/bubuk < 2 mm< 10 %< 2%-Minimal 70 %Tidak berbauJernih200 – 799 cpsSumber : *Suseno (2006)**Protan dalam Bastaman (1989)

Hasil pengamatan mengenai analisa total bakteri / TPC, kadar air dan aktifitas air ikan teri asin kering dapatdilihat dalam Tabel 2.Tabel 2. Nilai TPC, Kadar Air dan Aktifitas Air Sampel Ikan Teri Asin KeringSampelTPC (koloni/g)Kadar Air (% bb)Aktifitas AirA1B1250ą0ab

16,74ą2,74a

0,634 ą 0,004a

A2B1105ą21de

17,76ą2,81a

0,635 ą 0,004a

A3B1135ą21cd

17,02ą2,93a

0,625 ą 0,015a

A1B290ą0de

18,39ą4,09a

0,634 ą 0,025a

Page 10: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

A2B225ą7e

18,56ą3,71a

0,647 ą 0,003a

A3B245ą7de

18,68ą3,59a

0,649 ą 0,002a

A1B375ą7de

19,39ą2,60a

0,637 ą 0,016a

A2B345ą21de

20,36ą2,72a

0,638 ą 0,013a

A3B355ą21de

19,96ą2,31a

0,639 ą 0,009 a

A1B4145ą35bcd

19,01ą1,20a

0,639 ą 0,008a

A2B4105ą21de

19,56ą0,69a

0,643 ą 0,021a

A3B470ą0de

19,73ą1,77a

0,647 ą 0,023a

A1B5330ą28a

19,91ą2,89a

0,642 ą 0,021a

A2B5160ą42bc

19,66ą3,47a

0,635 ą 0,006a

A3B5155ą35bc

20,09ą3,54a

0,644 ą 0,008a

Ket.:Data merupakan rata-rata dari 2 ulanganAngka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)A=konsentrasi larutan khitosan (1=0,0%; 2=0,5%; 3=1,0%)B=lama penyimpanan (1=0 minggu; 2=2 minggu; 3= 4 minggu; 4= 6 minggu; 5= 8 minggu)PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 5Sri Sedjati, Tri Winarni Agustini, Titi Surti, Studi Penggunaan Khitosan …58

Perubahan total bakteri (TPC), kadarair dan aktifitas air selama masa

Page 11: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

penyimpanan minggu ke-0 sampai mingguke-8 secara lebih jelas dapat dilihat padaGambar 1, 3 dan 4.0501001502002503003500246810Lama penyimpanan (minggu)TPC(koloni/g)0,0% khitosan0,5% khitosan1,0% khitosan

Gambar 1. Grafik TPC (koloni/g) Ikan Teri Asin KeringPDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 659Jurnal Pasir Laut, Vol.2, No.2, Januari 2007 : 54-66

Pada Gambar 1 terlihat perubahanjumlah total bakteri akibat perlakuankhitosan dan lama penyimpanan. Padaproses penggaraman dan pengeringan,tidak dapat mematikan semua bakteri yangada pada ikan. Bakteri pembusuk padaumumnya tidak tahan garam, namunbakteri halofilik masih dapat bertahanhidup dengan baik, begitu pula bakterigolongan xerofilik (tahan Aw rendah). Bakteri yang sering ditemukan pada ikanasinadalahjenisAlcaligenus,Pseudomonas, FlavobacteriumdanCorynebacterium (Hadiwiyoto ,1993). Bakteri yang mati selama penggaraman

Page 12: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

dan pengeringan disebabkan karenaaktivitas air yang cukup rendah sebagaiakibat dari proses pengolahan tersebut. Pemakaian khitosan pada prosespengolahan ikan teri asin kering salahsatunyaadalahsebagaibahanantimikrobial. Sebagai suatu istilahumum, bahan antimikrobial diartikansebagai bahan yang mengganggupertumbuhan dan metabolisme mikroba. Menurut Tsai et al. (2002), aktifitasantimikrobial khitosan akan meningkatdengan kenaikan derajat deasetilasinya. Khitosan lebih efektif melawan bakteridibanding terhadap fungi. Khitosandengan derajat deasetilasi tinggi (95-98%)pada konsentrasi 50 – 200 ppm efektifuntuk melawan bakteri Bacillius cereus,Escherichia coli, Listeria monocytogenes,Pseudomonas aeroginosa, Shygelladysenteriae,Staphylococcus aureus, Vibriocholerae dan V. parahaemolyticus.Untuk melihat perkembangan bakteri dibuat grafik logaritma TPC. 0,000,501,001,502,002,503,000246810Lama penyimpanan (minggu)LogTPC(kolo

Page 13: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

ni/g)0,0% khitosan0,5% khitosan1,0% khitosanGambar 2. Grafik Log TPC (koloni/g) Ikan Teri Asin KeringPDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 7Sri Sedjati, Tri Winarni Agustini, Titi Surti, Studi Penggunaan Khitosan …60

Berdasarkan Gambar 2, terlihatbahwa saat lama penyimpanan 0 sampai 2minggu terjadi fase kematian logaritmikbakteri pada produk ikan teri asin kering. Pada perlakuan konsentrasi khitosan 0%,kematian logaritmik disebabkan olehtindakan penggaraman dan pengeringansaat proses pengolahan. Akibatnya bisaterjadi plasmolisis ataupun toksisitas ionCl- pada bakteri maupun penurunan Awyang dapat menyebabkan kematianbakteri. Sedangkan pada perlakuankonsentrasi khitosan 0,5% dan 1,0%,selain karena faktor garam (NaCl) danpengeringan juga disebabkan olehsenyawa khitosan yang melapisi ikan teriasin kering. Senyawa khitosan mampumengurangi jumlah bakteri lebih banyakjika dibandingkan dengan perlakuankontrol (tanpa khitosan) pada ikan teri asinkering selama penyimpanan suhu kamar.Pemakaian khitosan salah satunyaadalah sebagai bahan anti bakteri. Apabilabahan anti bakteri diaplikasikan, bahantersebut tidak akan membunuh semua selbakteri pada saat yang sama, melainkansel-sel itu akan terbunuh dalam suatuperiode waktu dengan laju eksponensialyang konstan. Laju kematian inihakekatnya merupakan kebalikan dari polapertumbuhan eksponensial (Pelczar danChan, 1988). Jumlah bakteri yang tersisadan dapat bertahan hidup akan terusberkembang biak jika kondisi substratmendukung kehidupannya. Memasuki minggu ke-2 sampai ke-6, bakteri yang terdapat pada ikan teri asinkering mengalami fase lag dan

Page 14: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

pertumbuhan logaritmik awal. Pada saatini, bakteri yang masih dapat bertahanhidup beradaptasi dengan kondisi yang adadan pada tahap selanjutnya bakteri mamputumbuh dan berkembang biak. Bakteri yang tersisa dan dapat hidupselanjutnyaakanmeningkatperkembangbiakannya selama nutrisi yangdibutuhkan tersedia. Memasuki mingguke-6 sampai ke-8 pada akhir penelitian initerjadi fase pertumbuhan logaritmiktengah, di mana jumlah bakteri padaproduk ikan teri asin kering terlihatsemakin banyak. Cara kerja zat-zat kimia dalammenghambatataumematikanmikroorganismaituberbeda-beda,beberapa di antaranya mengubah strukturdinding sel, menghambat sintesiskomponen-komponen seluler maupunmenghambat metabolisme sel (Pelczar danChan, 1988). Mekanisme senyawakhitosan sebagai bahan anti bakteri adabeberapa kemungkinan. Sifat khitosanPDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 861Jurnal Pasir Laut, Vol.2, No.2, Januari 2007 : 54-66

sebagai bahan pengkelat bisa mengkelation-ion logam yang dibutuhkan enzimbakteri (Muzzarelli, 1977 dalam Nicholas,2003). Teori yang lain menyebutkankation –NH3+

dapat mengacaukanmetabolisme dengan cara bereaksi denganion-ion negatif yang ada di membran selbakteri (Chen et al., 1998 dalam Nicholas,2003).Hasil uji Anova menunjukkanbahwa variabel konsentrasi khitosan, lamapenyimpanan dan interaksi keduanya

Page 15: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

berpengaruh sangat nyata (p<0,01)terhadap total bakteri (TPC) ikan teri asinkering. Interaksi antara konsentrasikhitosan dan lama penyimpananberpengaruh sangat nyata (p<0,01)terhadap total bakteri ikan teri asin keringdan secara jelas dapat dilihat dari Tabel 2. Penurunan konsentrasi khitosan danpeningkatan lama penyimpanan akanmenaikkan nilai total bakteri.Berdasar hasil uji lanjut Tukey,diketahui bahwa perlakuan konsentrasikhitosan 0,0% berbeda sangat nyata(p<0,01) dengan perlakuan konsentrasikhitosan 0,5% dan 1,0%. Namun antarkonsentrasi khitosan 0,5% dan 1,0% tidakberbeda nyata (p>0,05). Berdasar hasilpenelitian ini, untuk aplikasi khitosan padaproses pengolahan ikan teri asin keringpemakaian konsentrasi 0,5% sudah bisamenekan jumlah bakteri dengan baik. Pemakaian konsentrasi khitosan yanglebih tinggi (1%) secara statistik tidaksignifikan, sehingga jika dilakukan akanmempertinggi biaya produksi pengolahanikan teri asin kering dan tidak berpengaruhterhadap kenaikan mutunya.Uji lanjut Tukey untuk perlakuanlama penyimpanan menunjukkan bahwa total bakteri pada lama penyimpanan 0minggu berbeda nyata (p<0,05) denganlama penyimpanan 2, 4, 6 dan 8 minggu.Sedangkan lama penyimpanan 2 mingguberbeda nyata dengan lama penyimpanan0,6 dan 8 minggu, namun tidak berbeda (p>0,05) dengan 4 minggu. Selama kurunwaktu 2 sampai 4 minggu pertambahanjumlah bakteri relatif kecil, sehinggasecara statistik tidak berbeda nyata. Padaminggu ke-4 sampai ke-8 jumlah bakterimeningkat dengan cepat seiringbertambahnya waktu penyimpanan sepertiterlihat pada Gambar 1.Salah satu faktor yang mendukungpertumbuhan bakteri pada ikan teri asinkering adalah kadar air. Keawetan bahanpangan erat kaitannya dengan kadar airyang dikandungnya. Kadar air menjadi

Page 16: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

salah satu faktor penyebab kerusakanbahan pangan. Air yang terkandung dalamPDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 9Sri Sedjati, Tri Winarni Agustini, Titi Surti, Studi Penggunaan Khitosan …62

bahan pangan merupakan media yang baikuntuk mendukung pertumbuhan danaktivitas bakteri perusak pangan. Rendahnya kadar air dalam bahan pangandiharapkan dapat memperpanjang masasimpannya. Perubahan kadar air ikan teriasin kering selama masa penyimpananminggu ke-0 sampai minggu ke-8 secaralebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.1214161820220246810Lama penyimpanan (minggu)Kadar air (%bb)0,0% khitosan0,5% khitosan1,0% khitosanGambar 3. Grafik Kadar Air (% bb) Ikan Teri Asin KeringHasil uji Anova menunjukkanbahwa variabel konsentrasi khitosan tidakberpengaruh nyata (p>0,05), sedangkanvariabel lama penyimpanan berpengaruhsangat nyata (p< 0,01) terhadap kadar airikan teri asin kering. Khitosan bersifathidrofobik, namun karena pemakaiankonsentrasi khitosan yang relatif kecil,maka secara statistik tidak memberikanpengaruh nyata terhadap kadar air padaikan teri asin kering. Pemakaian khitosan0,5% dan 1% tidak menghasilkan kadar

Page 17: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

air yang berbeda nyata dibandingperlakuan kontrol (0%).Berdasar hasil uji lanjut Tukey,diketahui bahwa lama penyimpanan 0minggu tidak berbeda nyata (p>0,05)dengan lama penyimpanan 2 minggu,namun berbeda sangat nyata (p< 0,01)dengan lama penyimpanan 4 minggu, 6minggu dan 8 minggu. Kadar air padapermukaan bahan dipengaruhi olehkelembaban nisbi (Relative Humidity)udara di sekitarnya. Bila kadar air bahanrendah sedangkan RH udara sekitarnyatinggi, maka akan terjadi penyerapan uapair dari udara sehingga bahan menjadibasah atau kadar airnya menjadi lebihtinggi (Doe dan Olley,1990; Winarno danPDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 1063Jurnal Pasir Laut, Vol.2, No.2, Januari 2007 : 54-66

Fardiaz, 1973). Meskipun produk ikanteri asin kering telah dikemas dalamplastik PE (Polyethylene), kenaikankadar air tidak dapat dihindari. Sepertidiketahui plastik PE bukanlah kemasanyang kedap udara, sehingga tidakmampu mencegah masuknya uap air dariudaraselamapenyimpanan. Kelembaban nisbi udara ruangpenyimpanan berkisar antara 61,5 – 67,0%, sedangkan kadar air ikan teri asinkering relatif rendah, yaitu 16,74-20,36%. Perbedaan kandungan air inimemicu penyerapan uap air dari udara.Kebutuhan mikroorganisma akan air secarakhusus dinyatakan dalam istilah Aw (wateractivity) atau aktifitas air. Nilai Awmerupakan perbandingan tekanan uap airyang ada di dalam bahan dengan tekananuap air murni pada suhu yang sama. Airmurni memiliki nilai Aw sama dengan 1,0(Winarno, 1991; Sprenger, 1991).Perubahan aktifitas air selama masapenyimpanan minggu ke-0 sampai mingguke-8 secara lebih jelas dapat dilihat pada

Page 18: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

Gambar 4.0,5680,5880,6080,6280,6480,6680246810

Lama penyimpanan (minggu)Aktifitas air0,0% khitosan0,5% khitosan1,0% khitosanGambar 4. Grafik Aktifitas Air Ikan Teri Asin KeringPenggaraman dan pengeringan bahanpangan ditujukan untuk melawankebusukanolehmikroorganisma. Pertumbuhan mikroorganisma tidakpernah terjadi tanpa adanya air. MenurutWinarnodanFardiaz(1973),mikroorganisma hanya dapat tumbuh padakisaran Aw tertentu. Sebagian besarbakteri membutuhkan nilai Aw 0,75 – 1,00untuk tunbuh. Bahan pangan yangmempunyai Aw sekitar 0,70 sudah dianggapcukup baik dan tahan selama penyimpanan. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 11Sri Sedjati, Tri Winarni Agustini, Titi Surti, Studi Penggunaan Khitosan …64

Namun yang perlu diketahui bahwa kadarair tidak identik dengan Aw, sehinggakadar air tidak bisa dijadikan pedoman danAw harus diukur. Untuk mencegahpertumbuhan mikroorganisma, Aw padaikan teri asin kering harus diaturmendekati nilai 0,70. Hasil penelitian menunjukkan bahwasemua perlakuan menghasilkan produkikan teri asin kering dengan Aw di bawah

Page 19: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

7,00, yaitu berkisar 0,625 – 0,649 ( Tabel2 ). Dengan nilai Aw sebesar itu akanmembatasi pertumbuhan mikroorganisma. Menurut Piggot dan Tucker (1990) , mikroorganisma yang masih mungkintumbuh adalah ragi osmofilik dan bakterixerofilik saja yang bisa hidup pada Awsekitar 0,65. Berdasar grafik pada Gambar4, terlihat perbedaan Aw pada perlakuanyang diujicobakan, namun berdasar ujistatistik tidak berbeda nyata. Hasil ujiAnova menunjukkan bahwa perlakuankonsentrasikhitosandanlamapenyimpanan tidak memberikan pengaruhnyata terhadap nilai Aw produk ikan teriasin kering. Produk ikan teri asin kering tidakmengalami kenaikan Aw secara signifikanselama penyimpanan, namun bukandisebabkan oleh pemakaian larutankhitosan pada proses pengolahannya. Meskipun lama penyimpanan berpengaruhsangat nyata terhadap kadar air, namun tidakberpengaruh nyata terhadap nilai Aw. Kenaikan kadar air selama penyimpanantidak menyebabkan kenaikan yang nyatadari Aw secara statistik. Seperti diketahuibahwa kenaikan kadar air tidak selalu diikutidengan kenaikan Aw. Pada pengukurankadar air, air terikat dan air bebas terukursemuanya, sedangkan pada pengukuranaktifitas air hanya air bebas saja yangterukur (Winarno dan Fardiaz, 1973). Berdasar hasil pembahasan di atas,pencelupan dalam larutan khitosan padaproses pengolahan ikan teri asin kering terbukti berfungsi sebagai anti bakteri. Mekanisme kerja senyawa khitosan tidakmenurunkan nilai Aw suatu produk, tetapimelalui keberadaan kation –NH3+

yangdapat mengacaukan metabolisme sel bakteri.IV. KESIMPULANVariabel konsentrasi khitosanberpengaruh sangat nyata (p<0,01) hanya

Page 20: Perbandingan Chitosan Kulit Udang Dan Kulit Kepiting Dalam

pada variabel total bakteri. Sedangkanvariabel lama penyimpanan berpengaruh nyata (p<0,05) pada variabel kadar airdan total bakteri ikan teri asin kering. Interaksi antara konsentrasi khitosan danlama penyimpanan hanya berpengaruhsangat nyata (p<0,01) terhadap total bakteri. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 1265Jurnal Pasir Laut, Vol.2, No.2, Januari 2007 : 54-66

Penurunan konsentrasi khitosan danpeningkatan lama penyimpanan akanmenaikkan nilai total bakteri ikan teri asinkering.Konsentrasi khitosan yang efektifuntuk menekan pertumbuhan bakterisecara signifikan pada ikan teri asin keringselama penyimpanan suhu kamar, yaitu0,5%