Perbandingan Teori Balance of Power

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas Review untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional Nama : Rista Sanjaya NPM : 1006694555 Sumber: Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History, (7th ed., New York: Pearson Longman, 2009), hlm. 60-84Perbandingan Teori Balance of PowerPada penulisan review ini, secara umum akan membahas mengenai konsep balance of power. Struktur dari penulisan adalah dimulai dari rangkuman dari pemikiran Joseph S. Nye mengenai konsep balance

Citation preview

Tugas Review untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional Nama : Rista Sanjaya NPM : 1006694555 Sumber: Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History, (7th ed., New York: Pearson Longman, 2009), hlm. 60-84

Perbandingan Teori Balance of Power

Pada penulisan review ini, secara umum akan membahas mengenai konsep balance of power. Struktur dari penulisan adalah dimulai dari rangkuman dari pemikiran Joseph S. Nye mengenai konsep balance of power, kemudian akan dilanjutkan dengan rangkuman dua bahan pembanding yaitu, pemikiran Hans J. Morgenthau dan Kenneth N. Waltz mengenai konsep balance of power. Selanjutnya, analisis perbandingan mengenai konsep balance of power akan disajikan pada penulisan berikutnya. Pada bagian akhir, review ini akan ditutup dengan kesimpulan. Selain itu, disertakan pula tabel perbandingan untuk mempermudah mempelajari analisis yang dikemukakan. Balance of power merupakan salah satu konsep yang banyak digunakan dalam Ilmu Hubungan Internasional. Akan tetapi, balance of power juga merupakan salah satu konsep yang membingungkan. Bagi beberapa ahli, seperti David Hume, balance of power dideskripsikan sebagai aturan politik konstan yang bijaksana. Di lain pihak, Richard Cobden, seorang liberalis Inggris, menjuluki balance of power sebagai chimera atau sejenis makhluk buas dalam mitologi yang tidak dapat didefinisikan. Sama dengan pendapat Wodrow Wilson yang menyatakan bahwa konsep balance of power adalah prinsip yang jahat karena mendorong negarawan untuk memperlakukan apapun pada suatu bangsa demi kepentingan politik tanpa memperhatikan masyarakatnya. Tujuan dari balance of power itu sendiri bukan untuk menjaga perdamaian tetapi untuk menjaga independensi dari aktor-aktor yang melakukan. Balance of power membantu menjaga sistem anarkhi dari negara-negara yang terpisah meskipun tidak semua negara terjaga dari rasa aman. Sebagai contoh, Polandia pada akhir abad ke-18 berada di tengah kekuatan besar seperti Prusia, Austria, dan Rusia. Kedaulatan Polandia berakhir dengan kehancurannya akibat perebutan1

kekuasaan. Oleh karena itu, balance of power tidak menjaga perdamaian dan tidak selalu menjaga independensi setiap negara, tetapi menjaga sistem anarkhi. Balance of power yang dimaknai sebagai distributions of power merujuk kepada status quo atau perimbangan kekuatan yang sedang terjadi. Jika terjadi perubahan kecil dalam status quo perimbangan kekuatan, maka akan terjadi perubahan yang signifikan dalam politik internasional. Perimbangan kekuatan dalam balance of power juga dapat mengacu pada kondisi spesial di mana power didistribusikan secara sama dan penggunaan ini menciptakan gambaran mengenai kondisi yang seimbang atau equilibrium dalam sistem internasional. Beberapa realis berargumen bahwa stabilitas terjadi ketika terdapat keseimbangan yang rata, tetapi realis lain menjelaskan bahwa stabilitas terjadi ketika terdapat preponderance of power, sehingga aktor lain tidak berani menyerangnya. Selain kedua argumen, terdapat pula teori hegemonik, yang menyebutkan bahwa stabilitas terjadi bila terdapat satu entitas yang dominan. Hal ini dapat dijelaskan ketika power yang dominan mulai menurun, maka power lain akan cenderung untuk menantang dominasi, sehingga kemungkinan perang lebih besar. Akan tetapi, kita harus lebih berhati-hati dalam pengunaan teoriteori balance of power yang menjelaskan mengenai penciptaan stabilitas karena teori-teori tersebut cenderung overpredict atau terlalu pasti dalam memprediksi konflik. Sebagai contoh, pada tahun 1895, perdebatan antara Amerika Serikat dan Inggris mengenai batas Amerika Selatan diprediksi akan terjadi perang. Terdapat penantang baru, Amerika Serikat, yang muncul terhadap eksistensi hegemoni lama yaitu Inggris yang menjadi dapat penyebab perang. Akan tetapi, perang terbukti tidak terjadi. Oleh karena itu, kita tidak boleh terlalu bertumpu pada teori yang cenderung overpredict. Balance of power juga dapat mengacu pada kebijakan yang dilakukan oleh aktor negara yang bertujuan untuk menyeimbangkan equilibrium. Balance of power memprediksi suatu negara akan membuat kebijakan untuk mencegah negara lain yang mengembangkan preponderance of power. Sebagai contoh, ketika Jerman, sebagai preponderance of power, mencoba menyerang Uni Soviet pada Perang Dunia II, Inggris segera menciptakan aliansi dengan Uni Soviet untuk mengimbangi kekuatan Jerman. Nye menjelaskan bahwa kebijakan dalam balance of power berbeda dengan politik domestik. Dalam politik domestik, seseorang akan bergabung dengan orang yang lebih kuat untuk memaksimalkan keuntungan yang akan ia peroleh. Hal ini berbeda dalam sistem internasional yang dijelaskan bahwa negara akan bergabung dengan aktor yang lebih lemah untuk mengimbangi preponderance of power yang memiliki kekuatan lebih besar. Analogi yang dapat digunakan adalah2

kita harus membantu anjing yang lebih lemah karena bila kita membantu anjing yang lebih kuat, ia dapat berbalik dan memakan kita. Akan tetapi, Nye memfokuskan pada beberapa pengecualian dalam prinsip kebijakan balance of power. Hal ini terjadi karena perilaku manusia tidak dapat sepenuhnya dipastikan. Manusia manusia memiliki pilihan dan tak dapat dipastikan sehingga aksi yang dilakukan tidak selalu dapat diprediksi. Dalam kebijakan balance of power, suatu negara tidak selalu bergabung dengan pihak yang lebih lemah dan justru bergabung dengan yang lebih kuat atau tidak berbuat apa-apa. Beberapa pengecualian dalam balance of power terjadi secara spesifik. Pengecualian pertama adalah suatu negara yang tidak mau bergabung dalam pihak manapun, seperti Finlandia pasca Perang Dunia II yang cenderung netral dalam perang dingin. Hal ini bertujuan untuk menjaga independensi negara tersebut. Pengecualian kedua adalah perbedaan persepsi mengenai kepentingan. Sebagai contoh, Amerika Serikat diprediksi akan bergabung dengan pihak Jerman dibanding Inggris dan Perancis dalam Perang Dunia I karena pihak Jerman-Austria lebih lemah dalam persaingan industri dunia. Akan tetapi, Amerika justru tidak memihak pada Jerman karena kekuatan militer Jerman lebih kuat, melihat Jerman adalah pihak agresor, dan Jerman menganggap rendah Amerika Serikat. Pengecualian ketiga adalah kedekatan dengan ancaman. Hal ini menjelaskan alasan Jepang bergabung dengan Amerika Serikat yang cenderung lebih kuat dalam perang dingin karena Uni Soviet dinilai lebih mengancam Jepang berdasarkan kedekatan geografisnya. Pengecualian keempat adalah alasan interdependensi. Pengecualian terakhir terkait dengan alasan ideologi. Contohnya, Eropa Barat berpihak pada Amerika Serikat karena adanya persamaan ideologi demokrasi-liberal. Morgenthau dalam bukunya yang berjudul Politics Among Nations juga menjelaskan konsep tentang balance of power. Morgenthau menjelaskan bahwa balance of power merupakan konsep universal. Dalam konsep universal ini dapat dikatakan bahwa balance of power tidak hanya inevitable atau pasti terjadi tetapi juga faktor esensial yang menstabilkan equilibrium percaturan negara yang berdaulat1. Terdapat dua asumsi dalam fondasi equilibrium. Asumsi pertama, elemen penyeimbang adalah hal yang penting bagi negara-negara untuk berlangsung. Asumsi kedua, tanpa adanya equilibrium di antara mereka, penguasaan terhadap negara lain, pelanggaran kepentingan dan hak, serta kehancuran dapat terjadi. Balance of power bertujuan tidak hanya untuk menjaga kestabilan tetapi juga mempreservasi sistem yang ada. Morgenthau juga menjelaskan mengenai balance of power dalam politik domestik. Konsep dari equilibrium ditemukan baik di sistemHans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, (6th ed., New York: Alfred-A-Knopf, 1985), hlm.1791

3

internasional maupun di lingkup politik domestik. Tubuh parlemen yang mengaplikasikan sistem multipartai akan berkembang seperti dalam teori balance of power. Apabila terdapat dua pihak yang tidak mampu merepresentasikan mayoritas dalam tubuh legislatif, maka akan ada voting yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga akan cenderung bergabung dengan grup yang secara potensi lebih lemah dari kedua grup, sehingga akan menciptakan evaluasi bagi grup yang lebih kuat2. Tedapat dua pola dari balance of power. Pola pertama adalah pola mengenai bentuk langsung oposisi. Bentuk langsung oposisi dalam balance of power ini dapat berupa pola yang melibatkan pihak ketiga maupun tidak. Bentuk yang melibatkan pihak ketiga, sebagai contoh negara A yang menjadi imperialistic nation, mencoba mengancam status quo negara B. Negara A dapat memaksa kebijakan imperialistiknya dengan mendominasi negara C sebagai pihak ketiga. Negara B juga mengajak negara C dengan baik-baik untuk menjaga status quo. Salah satu contohnya adalah perebutan dominasi pengaruh antara China dan Amerika Serikat pada negara-negara Asia Tenggara. Sedangkan yang bentuk balance of power yang tidak melibatkan pihak ketiga, secara sederhana dideskripsikan dengan kebijakan saling menyeimbangkan antara dua negara. Keseimbangan ini akan terus berlanjut hingga menghasilkan negara yang lebih lemah atau perang terjadi. Jadi, balance of power menciptakan precarious stability atau stabilitas yang dapat membahayakan suatu waktu. Independensi dari tiap negara tidak dapat diserahkan pada pondasi apapun kecuali kekuatan dari tiap negara itu sendiri dalam menahan negara lain yang hendak melanggar kebebasannya.Pola kedua menurut Morgenthau adalah pola kompetisi dalam balance of power. Pola kompetisi ini dapat dianalogikan dengan contoh negara A sebagai imperialistic nation dan B sebagai status quo, sedangkan C yang berada dalam dua kekuasaan besar hanya memiliki independensi semu. Ketika negara A menjadi imperialistic nation maka C akan merasa terancam. Bila B sebagai status quo menarik C dalam pihaknya maka keamanan C akan lebih terjamin. Kemudian, A akan beralih tujuan dari mendominasi C menjadi mendominasi negara lain, yaitu negara D. Keamanan C pun kembali terusik bila D jatuh ke tangan A. Jadi, balance of power belum tentu menjaga independensi negara-negara lemah. Kita beralih ke konsep balance of power menurut Kenneth N. Waltz. Menurut Waltz, balance of power merupakan sistem dari politik internasional. Sistem internasional memiliki eksplanatori dan kekuatan prediksi. Keistimewaan dalam ilmu sosial sosial temasuk Ilmu Hubungan Internasional, adalah eksplanatori dan prediksi yang didapat adalah berupa hal yang general3. Hal2 3

Ibid., hlm. 181-182 Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics (Reading MA: Addison Weasley, 1979), hlm. 69

4

ini terkait dengan perilaku dari aktor yang mempengaruhi hasil dari interaksi. Sebagai contoh, ketika teori balance of power memprediksi perang akan terjadi, maka perang akan terjadi namun teori tidak mampu menjelaskan secara detail. Meskipun tidak mampu menjelaskan secara detail, konsep ini membantu dalam menjelaskan sesuatu yang lebih besar, penting, dan membentuk pola. Satu hal yang menjadi ciri khas dari Waltz adalah konsep balance of power-nya yang cenderung deterministik. Deterministik ini berarti bahwa balance of power akan terjadi dalam sistem negara-negara baik itu diinginkan oleh negara atau pun tidak4. Asumsinya, negara adalah aktor rasional dan unit satuan aktor yang akan menggunakan kapabilitas untuk mendapatkan tujuannya. Di sisi lain, negara tidak dapat mengelak dari interaksi dan konflik kompetisi dalam lingkungan dunia internasional. Hasilnya, dari aksi negara dan interaksi yang ia dapatkan negara tersebut cenderung mengarah ke equilibrium atau balance of power. Meskipun terdapat motivasi untuk membuat posisi untuk mendominasi yang lain, aksi tersebut akan dilawan balik dengan negara lain yang memiliki motivasi sama. Selain itu, kebebasan memilih yang dimiliki oleh negara dibatasi oleh aksi yang dilakukan oleh negara lain5. Balance of power juga tidak dipengaruhi oleh negarawan, karena negarawan memiliki sedikit kebebasan dalam bermanuver. Dapat dianilisis bahwa ketiga penulis, seperti Nye, Morgenthau, dan Waltz memiliki persamaan mengenai konsep balance of power. Ketiga penulis yakin bahwa balance of power merupakan konsep dasar mengenai pengaturan power di dalam sistem antar negara. Jadi dapat saya simpulkan bahwa konsep dasar dari balance of power merupakan nilai universal yang berarti pengaturan power dalam sistem internasional atau mengenai perimbangan kekuatan dalam hubungan internasional. Menurut analisis saya, terdapat sedikit perbedaan mengenai tujuan dari balance of power dari ketiga penulis. Menurut Nye, balance of power bertujuan bukan untuk menjaga kedamaian dan tidak selalu menjaga independensi setiap negara, tetapi untuk menjaga sistem anarkhi dalam dunia internasional. Sistem anarkhi ini dijaga dalam kebijakan balance of power, agar tidak ada negara yang menjadi dominan. Berbeda dengan pendapat Nye, Morgenthau menjelaskan bahwa tujuan dari konsep balance of power adalah menciptakan equilibrium. Apabila tidak terdapat equilibrium, akan terjadi penguasaan negara, pelanggaran hak dan kepentingan negara, dan kehancuran negara lain. Morgenthau juga menjelaskan bahwa balance of power menciptakan precarious stability atau stabilitas yang sangat rentan terhadap ancaman karena perubahan balance of power bisaPaul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism (2th ed., New York: Macmillan Publishing Company,1993), hlm.52 5 Ibid.4

5

berpengaruh pada stabilitas. Sedangkan tujuan dari balance of power yang dijelaskan oleh Waltz adalah menciptakan keamanan meskipun harus mengorbankan independensi. Perbedaan antara ketiga penulis juga dapat ditemukan pada hakikat kepastian balance of power dalam sebuah negara. Penjelasan yang dikemukakan oleh Nye bertolak belakang dengan penjelasan dari Waltz, sedangkan pendapat Morgenthau berada di antara keduanya. Jadi, dapat dibuat spektrum mengenai hakikat balance of power di mana di satu sudut adalah pemikiran Nye tentang balance of power sebagai sebuah kebijakan yang tidak pasti, kemudian pemikiran moderat Morgenthau yang berada di tengah, dan di sudut lain terdapat pemikiran Waltz yang menyatakan bahwa balance of power cenderung deterministik. Pemikiran Nye tentang balance of power difokuskan pada balance of power sebagai sebuah kebijakan yang dihasilkan oleh negarawan. Jadi, balance of power merupakan sebuah konsep yang dapat terjadi pelanggaran antara prediksi balance of power dengan kebijakan yang diambil. Hal ini terkait adalah kebijakan negarawan di mana negarawan adalah seorang manusia yang perilakunya tidak dapat dipastikan. Saya menganalisis bahwa Nye cenderung berpandangan behavioralis dalam kebijakan balance of power. Bertolak belakang dengan Nye, Waltz justru berpandangan deterministik, di mana negarawan memliki pengaruh yang kecil dalam melakukan pilihan manuver dalam balance of power. Hal ini dikarenakan sistem internasional membatasi kebebasan gerak negarawan dalam bermanuver dan memaksa negarawan untuk mau tidak mau melakukan sistem balance of power. Sedangkan Morgenthau, tidak menjelaskan secara rinci mengenai kepastian dari balance of power, tetapi menjelaskan bahwa balance of power itu itu pasti terjadi. Akan tetapi, Morgenthau juga memfokuskan pada kesadaran tiap negara akan pentingnya balance of power yang berbeda dengan Waltz yang melihat balance of power cenderung seperti paksaan dari sistem internasional. Menurut analisis saya, dalam hal penggunaan istilah terdapat perbedaan antara dua penulis, yaitu Nye dan Morgenthau. Dalam penggunaan istilah yang menggantikan makna negara yang berkembang dan menantang status quo, Nye lebih banyak menggunakan istilah preponderance of power dan Morgenthau lebih banyak menggunakan istilah imperialistic nation. Penggunaan kata istilah preponderance of power oleh Nye menurut saya lebih bersifat netral dan tidak memiliki tendensi. Berbeda dengan istilah yang digunakan Morgenthau yang melihat bahwa negara penantang status quo adalah imperialistic nation yang cenderung memiliki konotasi yang lebih buruk. Imperialistic nation dipandang sebagai sebagai perusak sistem yang telah ada dan lebih bersikap mendominasi dan ekspansif dibanding dengan negara status quo yang bersikap respect seperti yang dikemukakan Morgenthau.

6

Selain itu, juga terdapat perbedaan antara Nye dan Morgenthau dalam analogi balance of power dalam politik domestik. Menurut Nye, tidak ada balance of power dalam politik domestik. Politikus akan cenderung bergabung dengan pihak yang lebih kuat demi mendapatkan kepentingannya. Di sisi lain, Morgenthau menyatakan bahwa balance of power dapat dianalogikan dengan politik domestik. Dalam politik domestik parlemen sistem multipartai, apabila terdapat dua grup yang saling bertentangan maka, pihak ketiga akan cenderung memihak pada grup yang lebih lemah untuk menciptakan fungsi kontrol bagi grup yang lebih kuat. Hal ini dapat saya analisis dari latar belakang dari tiap penulis. Nye merupakan ahli dalam Hubungan Internasional yang berpikiran realis. Negara diasumsikan sebagai aktor yang rasional atau mempertimbangkan untung rugi dalam menerapkan kebijakan. Negara memandang independensi sebagai hal yang lebih strategis dibanding dengan kepentingan atau keuntungan maksimal belaka, seperti dalam kasus politikus yang hanya mengejar kepentingan. Berbeda dengan Nye, Morgenthau mengakui adanya balance of power dalam politik. Hal ini dapat dianalisis dari latar belakang Morgenthau yang cenderung hanya melihat politik domestik multipartai di Amerika Serikat. Dalam parlemen Amerika Serikat, terdapat sistem kontrol check and balance yang terjadi di tubuh legislatif. Morgenthau belum melihat politik domestik negara lain yang bersifat partai tunggal yang tidak menerapkan check and balance. Dapat saya analisis, terdapat perbedaan antara Nye dengan Waltz dalam menanggapi prediksi dalam teori balance of power. Nye lebih berhati-hati pada penggunaan teori balance of power yang cenderung overpredict atau terlalu percaya diri dalam memastikan prediksi. Prediksi dapat benarbenar salah meskipun syarat telah terpenuhi karena terdapat beberapa pengecualian. Di lain pihak, Waltz mengungkapkan bahwa teori dalam Hubungan Internasional memiliki kemampuan untuk memprediksi secara general. Selain itu, Waltz melihat bahwa balance of power adalah sistem yang deterministik yaitu dapat diprediksi apabila syarat telah terpenuhi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa balance of power adalah konsep keseimbangan kekuatan dalam sistem internasional. Konsep balance of power bertujuan untuk menciptakan stabilitas sementara dan menjaga sistem anarkhi. Apabila tidak ada proses balance of power dalam sistem internasional maka akan muncul dominasi negara dan pelanggaran hak dan kepentingan negara lain. Konsep dasar mengenai balance of power merupakan nilai yang universal bagi sebagian besar ahli. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan dalam melihat konsep balance of power tergantung dari cara pandang seseorang, seperti Nye yang cenderung realis dan behavioralis, Morgenthau yang cenderung realis, dan Waltz yang memandang balance of power cenderung determinis. Oleh karena itu, perbedaan pemikiran dalam balance of power bukanlah hal yang buruk melainkan hal yang positif dalam menkonstruksi teori balance of power agar lebih sempurna.7

Tabel Perbandingan Konsep Balance of Power No. 1. Pembanding Tujuan dari Balance of Power 2. Hakikat Kepastian Balance of Power Pemikiran Nye Menjaga sistem anarkhi dalam hubungan internasinal Balance of Power kebijakan negarawan yang dapat menyalahi aturan karena perilaku manusia yang tidak pasti 3. Istilah negara penantang status quo 4. Balance of Power dalam politik domestik Preponderance of power yang cenderung netral Tidak ada, karena politikus cenderung bergabung dengan pihak yang lebih kuat untuk mencapai kepentingannya 5. Sikap terhadap prediksi Bersikap hati-hati agar tidak terlalu bertumpu pada teori yang overpredict. Imperaialistic nations cenderung lebih berkonotasi negatif Politik domestik seperti Balance of Power di mana pihak ketiga akan bergabung dengan partai yang lebih lemah untuk fungsi kontrol. Teori dalam ilmu sosial digunakan untuk memprediksi sesuatu meskipun tidak bisa secara detail Pemikiran Morgenthau Menciptakan stabilitas meskipun dalam bentuk precarious Pemikiran Waltz Menciptakan keamanan meskipun kebebasan berkurang

Balance of Power tidak Balance of Power dapat terelakkan dan cenderung bersifat faktor penting bagi deterministik negara-negara

8