7
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karies merupakan masalah kesehatan gigi yang banyak dialami orang dewasa dan anak. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar prevalensi nasional karies aktif adalah 43,4%. Indeks DMF-T nasional sebesar 4,85 menunjukkan rata-rata penduduk Indonesia mengalami kerusakan gigi sebanyak lima gigi (Riskesdas, 2007). Karies merupakan proses kerusakan karena demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organik. Proses terjadinya karies dipengaruhi oleh empat faktor antara lain mikroorganisme, substrat, faktor host (gigi dan saliva), serta waktu (Cameron and Widmer, 2008). Salah satu faktor etiologi karies adalah sukrosa. Jumlah konsumsi sukrosa berhubungan dengan tingkat karies gigi (Pinkham, 1999). Plak gigi berperan dalam proses terjadinya karies. Produk metabolisme bakteri plak terhadap sukrosa menghasilkan asam sehingga dapat menimbulkan demineralisasi gigi (Bagg et al, 2002). Plak merupakan lapisan lunak yang menempel pada gigi. Plak terbentuk dalam tiga tahap yaitu pembentukan pelikel gigi, kolonisasi bakteri sekunder, dan pematangan plak. Beberapa menit setelah gigi dibersihkan pelikel akan melekat pada gigi. Pelikel terbentuk dari komponen saliva, cairan crevicular, produk bakteri dan host, serta debris. Bakteri menempel pada pelikel sehingga terjadi kolonisasi awal bakteri, kemudian bakteri lainnya melekat pada tahap kolonisasi

perbedaan indeks plak pada anak yang mengonsumsi gula stevia dan gula tebu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kedokteran gigi anak

Citation preview

Page 1: perbedaan indeks plak pada anak yang mengonsumsi gula stevia dan gula tebu

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karies merupakan masalah kesehatan gigi yang banyak dialami orang

dewasa dan anak. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar prevalensi nasional karies

aktif adalah 43,4%. Indeks DMF-T nasional sebesar 4,85 menunjukkan rata-rata

penduduk Indonesia mengalami kerusakan gigi sebanyak lima gigi (Riskesdas,

2007).

Karies merupakan proses kerusakan karena demineralisasi jaringan keras

gigi yang kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organik. Proses terjadinya karies

dipengaruhi oleh empat faktor antara lain mikroorganisme, substrat, faktor host

(gigi dan saliva), serta waktu (Cameron and Widmer, 2008). Salah satu faktor

etiologi karies adalah sukrosa. Jumlah konsumsi sukrosa berhubungan dengan

tingkat karies gigi (Pinkham, 1999). Plak gigi berperan dalam proses terjadinya

karies. Produk metabolisme bakteri plak terhadap sukrosa menghasilkan asam

sehingga dapat menimbulkan demineralisasi gigi (Bagg et al, 2002).

Plak merupakan lapisan lunak yang menempel pada gigi. Plak terbentuk

dalam tiga tahap yaitu pembentukan pelikel gigi, kolonisasi bakteri sekunder, dan

pematangan plak. Beberapa menit setelah gigi dibersihkan pelikel akan melekat

pada gigi. Pelikel terbentuk dari komponen saliva, cairan crevicular, produk

bakteri dan host, serta debris. Bakteri menempel pada pelikel sehingga terjadi

kolonisasi awal bakteri, kemudian bakteri lainnya melekat pada tahap kolonisasi

Page 2: perbedaan indeks plak pada anak yang mengonsumsi gula stevia dan gula tebu

2

sekunder dan bertambahnya jumlah koloni bakteri mampu meningkatkan massa

plak (Newman, 2002). Akumulasi plak pada gigi jika dibiarkan dapat

menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis sehingga diperlukan tindakan

kontrol plak (Marsh and Bradshaw, 1995).

Tindakan kontrol plak bertujuan mencegah pembentukan dan akumulasi

plak sehingga mencegah penyakit akibat plak. Tindakan kontrol plak dilakukan

dengan cara mekanis seperti menyikat gigi, penggunaan bahan kimia seperti obat

kumur chlorhexidine (Newman, 2002). Tindakan kontrol plak sebaiknya disertai

dengan mengurangi asupan gula terutama sukrosa (Marsh and Bradshaw, 1995).

Gula tebu atau gula pasir merupakan sukrosa yang banyak digunakan dalam

kebutuhan sehari-hari. Sukrosa adalah karbohidrat disakarida yang tersusun atas

dua molekul monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa (Irawan, 2007). Konsumsi

sukrosa dapat meningkatkan pembentukan plak. Sukrosa dimetabolisme bakteri

menjadi glukosa dan fruktrosa. Streptococcus mutans mengandung dekstran-

sukrase yang dapat mengubah glukosa menjadi dekstran membentuk matriks

ekstraseluler yang dapat melekatkan bakteri Streptococcus mutans dan bakteri

lainnya pada permukaan enamel (Bagg et al, 2002; Marks, 2000).

Fruktosiltransferase menyintesis fruktosa menjadi fruktan yang dapat menjadi

cadangan makanan bakteri. Pertumbuhan bakteri memengaruhi perkembangan

plak gigi (Marsh and Martin, 2009).

Penelitian Bjanarson (1989) terhadap 275 anak usia 12-13 tahun di Islandia,

menemukan bahwa anak yang mengonsumsi sukrosa lebih banyak dalam sehari

memiliki insidensi karies yang lebih tinggi dibandingkan hanya pada waktu

Page 3: perbedaan indeks plak pada anak yang mengonsumsi gula stevia dan gula tebu

3

makan. Penelitian Hasnor et al (2006) menyatakan sukrosa berperan dalam

perkembangan plak gigi. Penggantian gula yang digunakan dengan gula non-

kariogenik dapat dilakukan untuk pencegahan pembentukan plak dan penyakit

akibat akumulasi plak. Gula non-fermentasi seperti xylitol, sorbitol, dan gula

stevia (Roberts and Wright, 2011).

Gula stevia merupakan gula yang berasal dari tanaman Stevia rebaudiana,

sebanyak 5,6% gula stevia dipasarkan di Jepang. Penelitian mengenai gula stevia

di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1984 oleh Balai Penelitian Bioteknologi

Perkebunan Indonesia. Gula stevia memiliki tingkat kemanisan hingga 300 kali

lebih manis daripada gula tebu (Ditjenbun, 2010). Gula stevia stabil pada

pemanasan hingga 200°C sehingga dapat digunakan untuk memasak. Tanaman

stevia dapat dimanfaatkan sebagai produk herbal dan obat-obatan. Gula stevia

bermanfaat sebagai antihipertensif, antihiperglikemi, antioksidan, anti-inflamasi,

dan non-kariogenik (Midmore and Rank, 2002; Thomas and Glade, 2010).

Zat pemanis gula stevia adalah steviosida dan rebaudiosida yang tidak dapat

difermentasikan oleh bakteri di dalam mulut menjadi asam sehingga tidak

menyebabkan gigi berlubang (Ditjenbun, 2010). Zat lainnya yang terkandung

dalam stevia yaitu sterol, tanin, carotenoid, flavonoid, dan terpenoid. Senyawa

tersebut bermanfaat sebagai antibakteri yang mampu menghambat pertumbuhan

bakteri seperti Streptococcus mutans (Arab et al, 2010; Mohammadi et al, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Slavutzky pada tahun 1994, menemukan

indeks plak orang yang berkumur dengan larutan sukrosa 57,82% lebih tinggi

dibandingkan orang yang berkumur dengan larutan gula stevia (Slavutzky, 2010).

Page 4: perbedaan indeks plak pada anak yang mengonsumsi gula stevia dan gula tebu

4

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membandingkan

perbedaan indeks plak pada anak yang mengonsumsi gula stevia dan gula tebu di

Yayasan Panti Sosial Asuhan Anak Cabang Sumur Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan

identifikasi masalah dalam penelitian yaitu apakah terdapat perbedaan indeks plak

pada anak yang mengonsumsi gula stevia dengan anak yang mengonsumsi gula

tebu.

1.3 Tujuan Penelitian

Maksud penelitian adalah untuk menilai indeks plak antara anak yang

mengonsumsi gula stevia dan gula tebu. Tujuan penelitian untuk mengetahui

perbedaan indeks plak antara anak yang mengonsumsi gula stevia dan gula tebu.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1) Menambah pengalaman bagi peneliti dalam melakukan penelitian

2) Memberikan informasi mengenai adanya perbedaan indeks plak antara anak

yang mengonsumsi gula stevia dengan anak yang mengonsumsi gula tebu

Page 5: perbedaan indeks plak pada anak yang mengonsumsi gula stevia dan gula tebu

5

1.5 Kerangka Pemikiran

Karies merupakan proses demineralisasi progresif pada jaringan keras gigi.

Karies dapat ditemukan pada gigi dewasa maupun anak. Karies yang tidak dirawat

dapat bertambah buruk bahkan menimbulkan rasa sakit. Proses terjadinya karies

tidak dapat dilepaskan dari adanya plak yang menempel pada gigi. Plak

merupakan lapisan lunak yang melekat pada permukaan gigi dan permukaan

lainnya di dalam mulut. Plak dapat terlihat setelah pemberian disclosing solution.

Plak gigi diklasifikasikan menjadi plak supragingiva dan plak subgingiva. Satu

gram plak terdiri atas 2 x 1011

bakteri. Tidak lama setelah gigi dibersihkan protein

saliva akan membentuk pelikel yang melekat pada gigi. Pelikel berfungsi sebagai

lapisan pelindung yang mencegah pengeringan jaringan. Bakteri dapat melekat

pada lapisan pelikel membentuk koloni dan dapat membuat bakteri lain menempel

sehingga meningkatkan pembentukan plak (Newman, 2002; Marsh and Martin,

2009).

Plak yang tidak dibersihkan dan dibiarkan begitu saja akan mengalami

kalsifikasi membentuk kalkulus. Plak dapat juga menyebabkan karies gigi,

gingivitis, dan periodontitis. Kontrol plak dilakukan untuk mencegah terjadinya

penyakit yang disebabkan akumulasi plak. Kontrol plak dapat dilakukan melalui

penggunaan benang gigi, diet, kontrol enam bulan sekali, fluoridasi, serta

menyikat gigi pagi dan malam hari. Tindakan kontrol plak sebaiknya disertai

pengurangan asupan gula seperti sukrosa (Newman, 2000; Marsh and Bradshaw,

1995).

Page 6: perbedaan indeks plak pada anak yang mengonsumsi gula stevia dan gula tebu

6

Sukrosa merupakan bahan pembentuk utama dalam gula tebu (Irawan,

2007). Sukrosa memengaruhi pembentukan plak gigi. Sukrosa dipecah bakteri

menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa diubah menjadi dekstran berperan dalam

pembentukan matriks plak yang dapat melekatkan bakteri dan meningkatkan

koloni bakteri. Fruktosa diubah menjadi levan yang dapat menjadi sumber

makanan bagi bakteri, semakin banyak konsumsi gula maka pembentukan plak

akan meningkat (Ismail et al, 2006). Mengurangi asupan gula atau mengganti gula

yang digunakan dengan gula non-kariogenik dilakukan untuk mencegah

akumulasi plak dan penyakit rongga mulut yang diakibatkan plak (Marsh and

Bradshaw, 1995; Marsh, 2009).

Gula non-kariogenik kini telah banyak digunakan dalam pembuatan kue,

permen, dan olahan makanan lainnya. Gula non-kariogenik digunakan sebagai

pencegahan terhadap karies dan menurunkan pembentukan plak. Xylitol dan gula

stevia termasuk gula non-kariogenik serta memiliki tingkat kemanisan melebihi

gula tebu atau sukrosa (Roberts and Wright, 2011).

Gula stevia merupakan gula non-kalori yang berasal dari tanaman Stevia

rebaudiana. Gula stevia 200-300 kali lebih manis dari gula tebu, stabil pada

pemanasan hingga 198°C, tidak dapat difermentasi, memiliki kemampuan sebagai

anti-plak dan anti-karies (Elkins, 1997; Goyal et al, 2010). Penelitian Das pada

tahun 1992 menemukan bahwa kandungan steviosida dan rebaudiosida A dalam

gula stevia tidak dapat difermentasikan bakteri, sehingga tidak akan menimbulkan

lubang pada gigi (Goyal et al, 2010). Kandungan lainnya dalam stevia yaitu

terpenoid, flavonoid, austroinulin, dulcoside, rebaudioxide, riboflavin, steviol, dan

Page 7: perbedaan indeks plak pada anak yang mengonsumsi gula stevia dan gula tebu

7

tiamin. Senyawa tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri tertentu

termasuk bakteri rongga mulut (Arab et al, 2010; Mohammadi et al, 2012).

Penelitian M. Mohammadi et al (2012), menemukan adanya perbedaan daya

hambat bakteri ekstrak aseton, etanol, dan methanol stevia terhadap S. mutans

yaitu aseton 28,7 mm, etanol 27 mm, methanol 21,3 mm.

Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, dapat dirumuskan hipotesis

penelitian yaitu terdapat perbedaan indeks plak antara anak yang mengonsumsi

gula stevia dan gula tebu.

1.6 Metodologi Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental semu. Teknik

pengambilan sampel menggunakan total sampling yaitu semua anak usia 6-15

tahun dari Panti Sosial Asuhan Anak Muhammadiyah Cabang Sumur Bandung

sebanyak 30 anak. Data yang diperoleh dilakukan analisis dengan uji t-dependen

untuk melihat perbedaan indeks plak anak ketika mengonsumsi tiap jenis gula dan

uji t-independen untuk melihat perbedaan indeks plak antara anak yang

mengonsumsi gula stevia dan gula tebu.

1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Panti Sosial Asuhan Anak Muhammadiyah Cabang

Sumur Bandung, pada bulan Februari - Maret 2013.