50
PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL I. PENDAHULUAN Perdarahan uterus abnormal meliputi perdarahan menstruasi yang tidak normal dan perdarahan akibat penyebab lain seperti kehamilan, penyakit sistemik, atau kanker. Diagnosis dan pengelolaan perdarahan uterus abnormal menyajikan beberapa masalah yang paling sulit dalam ginekologi. Pasien mungkin tidak dapat melokalisasi sumber perdarahan dari vagina, uretra, atau rektum. Pada wanita usia produktif, komplikasi kehamilan harus selalu dipertimbangkan, dan harus selalu ingat bahwa lebih dari 1 kesatuan dapat hadir, seperti mioma uteri dan kanker serviks. 1 Pendarahan uterus abnormal dapat ditangani dengan cepat dan tepat, bila diketahui etiologi/penyebab pasti yang dapat berupa kelainan struktur dan kelainan non struktur. Kelainan struktur yang paling sering adalah mioma uterus terutama mioma submukosum, endometriosis, polip, kanker endometrium, hiperplasia endometrium dan adneksitis. Kelainan non struktur seperti yang telah diklasifikasikan oleh Federation international obstetric dan gynecology (FIGO) dalam singkatan PALM –COEIN. 2 Federasi international obstetri dan ginekologi telah menyetujui sistem kalsifikasi baru (PALM – COEIN) pada penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal pada 1

Perdarahan Uterus Abnormal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

free

Citation preview

PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL

I. PENDAHULUANPerdarahan uterus abnormal meliputi perdarahan menstruasi yang tidak normal dan perdarahan akibat penyebab lain seperti kehamilan, penyakit sistemik, atau kanker. Diagnosis dan pengelolaan perdarahan uterus abnormal menyajikan beberapa masalah yang paling sulit dalam ginekologi. Pasien mungkin tidak dapat melokalisasi sumber perdarahan dari vagina, uretra, atau rektum. Pada wanita usia produktif, komplikasi kehamilan harus selalu dipertimbangkan, dan harus selalu ingat bahwa lebih dari 1 kesatuan dapat hadir, seperti mioma uteri dan kanker serviks.1 Pendarahan uterus abnormal dapat ditangani dengan cepat dan tepat, bila diketahui etiologi/penyebab pasti yang dapat berupa kelainan struktur dan kelainan non struktur. Kelainan struktur yang paling sering adalah mioma uterus terutama mioma submukosum, endometriosis, polip, kanker endometrium, hiperplasia endometrium dan adneksitis. Kelainan non struktur seperti yang telah diklasifikasikan oleh Federation international obstetric dan gynecology (FIGO) dalam singkatan PALM COEIN.2Federasi international obstetri dan ginekologi telah menyetujui sistem kalsifikasi baru (PALM COEIN) pada penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal pada perempuantidak hamil pada usia reproduksi. Dari Sembilan kategori pada sistem klasifikasi baru (PALM-COEIN) oleh FIGO,empat pertama didefinisikan sebagai kriteria struktural yang objektif secara visual seperti (PALM,: Polyp, Adenomyosis, Leiomyoma dan Hyperplasia Malignancy. Empat kedua tidak berhubungan dengan struktural yang abnormal (COEI : Coagulopathy, Ovulatory Dysfunction, Endometrial dan Iatrogenic), dan kategori terakhir adalah entitas bahwa Not yet Classified (N).2II. EPIDEMIOLOGIBerdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahmed di Lady Willingdon Hospital, Lahore, dari Agustus 2010 sampai Juli 2011 didapatkan sebanyak 2.109 perempuanatau sekitar 19,6% dari total 10.712 wanita yang mengunjungi klinik pasien rawat jalan ginekologi yang didiagnosis menderita perdarahan uterus abnormal. Kategorisasi PALM-COEIN dilakukan pada 991 (47%) kasus yang menunjukkan 30 (3%) menderita polip, 15 (15%) adenomiosis, 250 (25%) Leiomioma, 66 (6,6%) keganasan dan hiperplasia, 3 (0.3%) koagulopati , 236 (24%) disfungsi ovulasi, 48 (5%) endometritis, dan 53 (6%) iatrogenik. Sisanya 155 (15%) kasus yang tak terkategorikan.3

Gambar 1 : Distribusi penyebab perdarahan uterus abnormal oleh Lady Willingdon Hospital, Lahore.3

III. FISIOLOGI HAIDPada pengertian klinik, haid dinilai berdasarkan tiga hal. Pertama, siklus haid yaitu jarak antara hari pertama haid dengan hari pertama haid berikutnya. Kedua, lama haid yaitu jarak dari hari pertama haid sampai perdarahan haid berhenti, dan ketiga, jumlah darah yang keluar selama satu kali haid. Haid dikatakan normal bila didapatkan siklus haid, tidak kurang dari 21 hari, tetapi tidak melebihi 35 hari, lama haid 3-7 hari, dengan jumlah darah selama haid berlangsung tidak melebihi 80 ml (2-5 kali/hari ganti pembalut). Selama kehidupan seorang perempuan, haid dialaminya mulai dari menarke sampai menopause. Haid pertama kali yang dialami seorang perempuandisebut menarke, sedangkan haid terakhir yang dikenal bila setelah haid terakhir tersebut minimal 1 tahun tidak mengalami haid lagi disebut menopause. 4Haid normal merupakan hasil akhir suatu siklus ovulasi. Siklus ovulasi diawali dari pertumbuhan beberapa folikel antral pada awal siklus, diikuti ovulasi dari satu folikel dominan, yang terjadi pada perengahan siklus. Kurang lebih 14 hari pascaovulasi, bila tidak terjadi pembuahan akan diikuti dengan haid. Ovulasi yang terjadi teratur setiap bulan akan menghasilkan siklus haid yang teratur pula disebut siklus ovulasi (ovulatory cycle), sedangkan siklus anovulasi adalah siklus haid tanpa ovulasi sebelumnya. Prevalensi siklus anovulasi paling sering didapatkan pada perempuanusia dibawah 20 tahun dan diatas usia 40 tahun. 4Lamanya siklus haid yang normal atau yang dianggap sebagai siklus haid klasik adalah 28 hari ditambah atau dikurangi 2-3 hari. Siklus ini dapat berbeda-beda pada wanita yang normal dan sehat. 4Pada tiap siklus dikenal tiga masa utama, ialah sebagai berikut: 4a. Masa haid selama 3-7 hari. Pada waktu itu endometrium dilepas, sedangkan pengeluaran hormon-hormon ovarium paling rendah.

b. Masa proliferasi sampai hari ke 14. Pada waktu itu endometrium tumbuh kembali, disebut juga endometrium mengadakan proliferasi. Antara hari ke 12 dan 14 dapat terjadi pelepasan ovum dari ovarium yang disebut ovulasi.

c. Sesudahnya, dinamakan masa sekresi. Pada ketika itu korpus rubrum menjadi korpus luteum yang mengeluarkan progesterone. Di bawah pengaruh progesterone ini, kelenjar endometrium yang tumbuh berkeluk-keluk mulai bersekresi dan mengeluarkan getah yang mengandung glikogen dan lemak. Pada akhir masa ini stroma endometrium berubah ke arah sel-sel desidua, terutama yang berada di seputar pembuluh-pembuluh arterial. Keadaan ini memudahkan adanya nidasi.4Dinding uterus mulai dari sisi luar terdiri dari perimetrium, miometrium di tengah dan lapisan paling dalam, dan endometrium. Endometrium merupakan organ target dari sistem reproduksi. Haid merupakan hasil kerja sama yang sangat rapi dan baku dari sumbu hipotalamus-hipofisis-ovarium (sumbu H-H-O). pada awal siklus sekresi gonadotropin (FSH,LH) meningkat perlahan, dengan sekresi follicle stimulation hormone (FSH) lebih dominan dibanding luteinizing hormone (LH). Sekresi gonadotropin yang meningkat memicu beberapa perubahan di ovarium. Pada awal siklus didapatkan beberapa folikel kecil, folikel pada tahap antral yang sedang tumbuh. Pada folikel didapatkan 2 macam sel yaitu sel theka dan sel granulose yang melingkari sel telur, oosit. Pada awal fase folikuler reseptor LH hanya dijumpai pada sel theka, sedangkan reseptor FSH hanya ada di sel granulose. LH memicu sel theka untuk menghasilkan hormone androgen, selanjutnya hormone androgen memasuki sel granulose. FSH dengan bantuan enzim aromatase mengubah androgen menjadi estrogen (estradiol) di sel granulose (teori dua sel). 4Siklus haid diatur oleh keduanya antara endokrin dan parakrin. Secara endokrinologi, ada jalur feedback yang memodulasi pelepasan dari hormon gonadotropin dari hipofisis dengan steroid ovarium sebagai jalur afferen. Beberapa penelitian telah memulai untuk menguraikan rangkaian kompleks dari proses parakrin yang berlangsung dalam jaringan ovarium dan uterus untuk menentukan pengaturan lokal. 4Siklus haid terdiri dari dua siklus, yaitu siklus ovarium dan siklus endometrium.4III.1. Siklus ovarium terdiri dari beberapa fase :

III.1.a. Fase Folikular/ Preovulasi

Panjang fase folikuler mempunyai variasi yang cukup lebar. Pada umumnya berkisar antara 10-14 hari. Selama fase ini didapatkan proses steroidogenesis, folikulogenesis dan oogenesis/meiosis yang saling terkait. Selama fase folikular, kadar estrogen meningkat pada pertumbuhan yang paralel dari folikel yang dominan dan peningkatan jumlah dari sel granulosa. Sel granulosa tempat ekslusif dari reseptor FSH. Peningkatan sirkulasi FSH selama fase luteal dari siklus sebelumnya merangsang peingkatan dari reseptor FSH dan kemampuan untuk mengaromatisasi sel theka untuk derivat androstenedion menjadi estradiol. FSH menginduksi enzim aromatase dan pelebaran antrum dari folikel yang bertumbuh. Folikel dengan kelompok sangat berespon terhadap FSH seperti untuk memproduksi dan mengawali tanda dari reseptor LH. Setelah terlihat reseptor LH, sel granulosa preovulasi mulai untuk mensekresi sejumlah progesteron. Sekresi preovulasi progesteron, walaupun jumlahnya terbatas, dipercaya untuk mengirimkan feedback positif pada estrogen utama hipofisis yang menyebabkan atau membantu menambah pelepasan LH. Selama fase folikuler lambat, LH menstimulasi produksi sel theka dari androgen. Terutama androstenedion, yang kemudian dilanjutkan ke folikel dimana mereka dimetabolisme menjadi estradiol. Selama fase folikel awal, sel granulosa juga menghasilkan inhibin B, yang menghambat pelepasan FSH. Karena folikel dominan mulai berkembang, hasil dari estradiol dan inhibin meningkat, menghasilkan penurunan FSH. Penurunan ini bertanggung jawab untuk kegagalan dari folikel lain untuk mencapai preovulasi tingkat folikel the Graaf selama satu siklus. Jadi, 95 persen dari estradiol plasma diproduksi pada waktu itu disekresi oleh folikel dominan, yang dipersiapkan untuk ovulasi. 4III.1.b. Fase Ovulasi

Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat pengeluaran FSH, kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing hormon). Peningkatan kadar LH merangsang pelepasan oosit sekunder dari folikel. Folikel primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel primordial). Sebelum ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur didalam ovarium dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH sebelum terjadi ovulasi mempengaruhi folikel yang terpilih. Di dalam folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi, folikel yang kosong memulai berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum mencapai puncak aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan mensekresi baik hormon estrogen maupun progesteron. 4III.1.c. Fase Luteal/Post-ovulasi

Setelah terjadi ovulasi, korpus luteum berkembang dari tetai dominan atau folikel de Graff pada proses ini disebut sebagai lutenisasi. Ruptur dari folikel mengawali berbagai perubahan morfologi dan kimiawi mengakibatkan transformasi menjadi korpus luteum. Membran basalis pemisah dari sel granulosa luteal dan theka luteal rusak, dan hari kedua postovulasi, pembuluh darah dan kapiler menembus ke lapisan sel granulosa. Neovaskularisasi yang cepat pada granulosa avaskuler dikarenakan variasi dari faktor angiogenik meliputi faktor pertumbuhan endotel vaskuler dan produksi lain pada respon terhadap LH oleh sel theka lutein dan granulosa lutein. Selama luteinisasi, sel itu mengalami hipertrofi dan meningkat kapasitas mereka untuk mensintesis hormon. Pada wanita, masa hidup dari korpus luteum tegantung pada LH atau Human Chorionic Gonadotropin (hCG). Pada siklus normal wanita, korpus luteum dipertahankan oleh frekuensi rendah, amplitudo tinggi dari sekresi LH oleh gonadotropin pada hipofisis anterior. 4III.2. Siklus endometrium terbagi dalam beberapa fase, yaitu: 4III.2.a Fase Menstruasi

Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7 sampai 10 hari setelah ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum yang mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga suplai darah ke endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional terpisah dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai. Pada fase ini, endometrium terlepas dari dinding uterus dengan disertai pendarahan dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basale. Rata-rata fase ini berlangsung selama lima hari (rentang 3-6 hari). Pada awal fase menstruasi kadar estrogen, progesteron, LH (Lutenizing Hormon) menurun atau pada kadar terendahnya selama siklus dan kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) baru mulai meningkat. 4III.2.b. Fase Proliferasi

Fase proliferasi merupakan periode pertumbuhan cepat yang berlangsung sejak sekitar hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus haid, misalnya hari ke-10 siklus 24 hari, hari ke-15 siklus 28 hari, hari ke-18 siklus 32 hari. Permukaan endometrium secara lengkap kembali normal sekitar empat hari atau menjelang perdarahan berhenti. Dalam fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal 3,5 mm atau sekitar 8-10 kali lipat dari semula, yang akan berakhir saat ovulasi. Fase proliferasi tergantung pada stimulasi estrogen yang berasal dari folikel ovarium. 4III.2.c. Fase Sekresi

Fase sekresi berlangsung sejak hari ovulasi sampai sekitar tiga hari sebelum periode menstruasi berikutnya. Pada akhir fase sekresi, endometrium sekretorius yang matang dengan sempurna mencapai ketebalan tertentu dan halus. Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi kelenjar. 4Pasca ovarium memasuki fase luteal dan korpus luteum yang terbentuk menghasilkan steroid seks diantaranya estrogen dan progesterone. Kemudian, estrogen dan progesterone korpus luteum tersebut mempengaruhi pertumbuhan endometrium dari fase proliferasi menjadi fase sekresi. Proliferasi epitel berhenti 3 hari pascaovulasi, akibat dampak antiestrogen dari progesteron. 4Sebagian komponen jaringan endometrium tetap tumbuh tetapi dengan struktur dan tebal yang tetap, sehingga mengakibatkan kelenjar menjadi berliku dan arteri spiral terpilin. Tampak aktivitas sekresi di dalam sel kelenjar, didapatkan pergerakan vakuol dari intraselular menuju intraluminal. Aktivitas sekresi tersebut dapat diamati dengan jelas dalam kurun waktu 7 hari pascaovulasi. Pada fase sekresi, tampak kelenjar menjadi lebih berliku dan mengembung, epitel permukaan tersusun seperti gigi, dengan stroma endometrium lebih edem dan arteri spiral lebih terpilin lagi. Puncak sekresi terjadi 7 hari pascalonjakan gonadotropin bertepatan dengan saat implantasi blastosis bila terjadi kehamilan. Pada fase ini kelenjar secara aktif mengeluarkan glikoprotein dan peptide dalam kavum uteri/kavum endometrium. Di dalam sekresi endometrium juga dijumpai transudasi plasma. Imunoglobulin yang berada di peredaran darah dapat memasuki kavum uteri dalam keadaan terikat oleh protein yang dihasilkan sel epitel. 4Fase sekresi endometrium yang selaras dengan fase luteal ovarium mempunyai durasi dengan variasi sempit. Durasi/panjang fase sekresi kurang lebih tetap berkisar antara 12-14 hari. 4

Gambar2. Siklus Menstruasi.1IV. JENIS-JENIS GANGGUAN HAID

Jenis gangguan haid dapat dikategorikan sebagai berikut :4IV.1. Gangguan siklus haid (N=21-35hr): 4a. Polimenore (sering) jika haid terjadi kurang 21 hari

b. Oligomenore (jarang) jika haid terjadi lebih dari 35 hari

c. Amenore (tidak haid) jika haid tidak terjadi selama 3 bln berturut turut

IV.2. Gangguan jumlah darah haid (Normalnya darah haid = 40-80ml): 4

a. Hipermenore (banyak) jika darah haid lebih 80ml (> 5 pembalut/hari)

b. Hipomenore (sedikit) jika darah haid kurang dari 40ml (< 2 pembalut/hari)

IV.3. Gangguan lama haid (Normalnya lama haid 3 7 hari): 4

a. Menoragi (memanjang) jika lama haid lebih 7 hari

b. Brakimenore (memendek) jika lama haid kurang dari 3 hariIV.4. Gangguan haid diluar siklus normal: 4a. Metroragi

IV.5. Perdarahan bercak: 4a. Premenstrual spotting

b. Postmenstrual spottingIV.6. Perdarahan uterus disfungsional4IV.7. Gangguan lain berhubungan dengan haid : 4a. Dismenore (nyeri bila haid)

b. Sindroma prahaid

V. KLASIFIKASIV.1. Klasifikasi perdarahan uterus abnormal berdasarkan jenis pendarahan.1V.1.a. Pendarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai pendarahan haid yang banyak sehingga perlu dilakukan penanganan segera untuk mencegah kehilangan darah.1V.1.b.Pendarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk pendarahan uterus abnormal yang telah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan penanganan yang segera seperti perdarahan uterus abnormal akut.1V.1.c. Pendarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan pendarahan haid yang terjadi diantara 2 siklus haid yang teratur. Pendarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan untuk menggantikan terminologi metroragia.1

Gambar 3: Klasifikasi perdarahan uterus abnormal berdasarkan jumlah perdarahan.1V.2. Klasifikasi Perdarahan Uterus Abnormmal Berdasarkan Penyebab :

International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) tahun 2011 membagi perdarahan uterus abnormal berdasarkan penyebabnya yang disusun sesuai dengan akronim PALM-COEIN: polip, adenomiosis, leiomioma, keganasan dan hiperplasia, koagulopati, gangguan ovulasi, endometrium, iatrogenik, dan tidak diklasifikasikan.3Secara umum, komponen dari kelompok PALM merupakan kelainan struktural yang terukur secara visual, dengan menggunakan teknik-teknik pencitraan, dan atau dengan menggunakan histopatologi sementara, sedangkan kelompok COEIN merupakan kelainan non struktur yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau histopatologi.3

Gambar 4: Klasifikasi perdarahan uterus abnormal berdasarkan penyebab PALM-COEIN.3V.2.a. Polip Polip adalah pertumbuhan endometrium berlebih yang bersifat lokal mungkin tunggal atau ganda, berukuran mulai dari beberapa milimeter sampai sentimeter. Polip endometrium terdiri dari kelenjar, stroma, dan pembuluh darah endometrium.1Kategori P memungkinkan untuk pengembangan lebih jauh subklasifikasi untuk penggunaan klinis atau investigasi yang mencakup kombinasi variabel termasuk dimensi polip, lokasi, jumlah, morfologi, dan histologi.2V.2.b. AdenomiosisMerupakan invasi endometrium ke dalam lapisan miometrium, menyebabkan uterus membesar, difus, dan secara mikroskopik tampak sebagai endometrium ektopik, non neoplastik, kelenjar endometrium, dan stroma yang dikelilingi oleh jaringan miometrium yang mengalami hipertrofi dan hiperplasia.1Hubungan adenomiosis dengan terjadinya perdarahan uterus abnormal masih belum jelas. Sedangkan kriteria untuk mendiagnosis adenomiosis secara tradisional didasarkan pada evaluasi histopatologi kedalaman endometrium dalam jaringan di bawah endometrium-miometrium dari spesimen histerektomi, kriteria histopatologi bervariasi secara substansial dan persyaratan untuk mendiagnosa adenomiosis memiliki nilai terbatas dalam sistem klasifikasi klinis.2V.2.c. Leiomioma Leiomioma adalah tumor jinak fibromuskuler pada permukaan myometrium. Berdasarkan lokasinya, leiomioma dibagi menjadi: submukosa, intramural, subserosa.1Sistem klasifikasi primer hanya mencerminkan ada atau tidak adanya satu atau lebih leiomioma, sebagaimana ditentukan dengan pemeriksaan sonografi, terlepas dari jumlah, lokasi, dan ukuran.USG transvaginal umumnya memberi informasi akurat mengenai ukuran, jumlah, dan lokasi mioma. Sonohisterografi dapat memberikan gambaran pencitraan yang lebih jelas. Dalam sistem klasifikasi sekunder, dokter diwajibkan untuk membedakan mioma yang melibatkan rongga endometrium (submukosa) dan yang lain, karena lesi submukosa yang kemungkinan besar berkontribusi terhadap asal-usul perdarahan uterus abnormal.2Pengembangan sistem klasifikasi tersier adalah untuk Leiomioma subendometrial atau submukosa yang awalnya diajukan oleh Wamsteker dan kawan-kawan yang kemudian di adopsi di Eropa. Sistem PALM-COEIN menambahkan kategorisasi mioma intramural dan subserosal serta kategori yang mencakup lesi (parasitik) yang tampaknya terlepas dari rahim. Ketika myoma berbatasan atau mendistorsi baik endometrium dan serosa, hal ini dikategorikan pertama oleh klasifikasi submukosa dan subserosal, dengan keduanya yang dipisahkan oleh tanda hubung. Telah dipertimbangkan tetapi belum resmi ditetapkan untuk mengklasifikan dalam ukuran, jumlah, dan lokasi dari tumor longitudinal dalam rahim (misalnya, fundus, segmen bawah rahim, atau leher rahim).2V.2.d. Keganasan dan Hiperplasia Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan abnormal berlebihan dari kelenjar endometrium, Gambaran dari hiperplasi endometrium dapat dikategorikan sebagai: hiperplasi endometrium simpleks non atipik dan atipik, dan hiperplasia endometrium kompleks non atipik dan atipik.1Walaupun relatif jarang terjadi pada wanita usia reproduksi, hiperplasia atipikal dan keganasan adalah penyebab potensial yang penting terkait dengan perdarahan uterus abnormal. Hiperplasia endometrium diklasifikasikan secara sederhana atau kompleks dan dengan atau tanpa atipia sitologi. Tanpa menghiraukan penggunaan terminologi untuk mendeskripsikan kedua lesi, kuncinya adalah ada atau tidaknya atipia. Lesi tanpa atipia hanya menunjukkan bentuk endometrium proliferatif persisten yang berukuran besar yang mengalami regresi secara spontan, setelah kuretase, atau dengan terapi progestin, dan berhubungan dengan sedikit risiko progresivitas adenokarsinoma. Kebalikannya, penyakit endometrial yang termasuk atipia sitologi menunjukkan sikap yang berbeda seluruhnya; abnormalitas tidak sering mengalami regresi dengan spontan, namun dapat cukup resisten bahkan jika dilakukan kuretase berulang atau terapi progestasional dosis tinggi dalam waktu lama, memiliki risiko tinggi terhadap progresivitas adenokarsinoma jika tidak segera diterapi, dan akan berlanjut sebagai lesi prakanker. Lesi atipikal dibedakan dari karsinoma invasif dengan ketidak beradaannya invasi stroma. Diagnosa ini harus dipertimbangkan dalam setiap wanita di usia reproduksi dan terutama di mana mungkin ada faktor-faktor predisposisi seperti obesitas atau riwayat anovulasi kronis. Akibatnya, ketika investigasi terhadap perempuanpada usia reproduksinya dengan perdarahan uterus abnormal perlu diedentifikasi proses hiperplastik atau ganas premaligna, akan diklasifikasikan sebagai perdarahan uterus abnorma karena keganasan dan kemudian subklasifikasikan berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) atau sistem FIGO.2V.2.e. Koagulopati (Gangguan sistemik dari Hemostasis) Istilah koagulopati digunakan untuk mencakup spektrum gangguan hemostasis sistemik yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal. Bukti menunjukkan bahwa sekitar 13% dari wanita dengan perdarahan menstruasi berat memiliki gangguan sistemik biokimia terdeteksi hemostasis, paling sering penyakit Von Willebrand dimana sekitar 90% dari pasien dengan kelainan ini dapat diidentifikasi dengan riwayat penyakit yang jelas. Penyakit ini berhubungan dengan gangguan jumlah dan kualitas faktor Von Willebrand, sebuah protein yang dibutuhkan untuk adesi platelet dan pembentukan trombus pada daerah pembuluh darah yang mengalami luka. Faktor Von Willebrand juga berperan sebagai pembawa faktor VIII pada sirkulasi darah dimana dua molekul akan membentuk sebuah kompleks. Namun, tidak jelas seberapa sering kelainan ini menyebabkan atau memberikan kontribusi terhadap asal-usul perdarahan uterus abnormal, dan seberapa sering penyakit ini menimbulkan kelainan biokimia tanpa gejala atau dengan gejala minimal.1,2V.2.f. Gangguan ovulasiDisfungsi ovulasi dapat berkontribusi sebagai penyebab perdarahan uterus abnormal, umumnya gangguan ovulasi berupa kombinasi dari waktu haid yang tak terduga, variasi jumlah dan lama perdarahan, yang dalam beberapa kasus menimbulkan perdarahan haid yang berat. Dahulu termasuk dalam kriteria perdarahan uterus disfungsiona, gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang, hingga perdarahan haid banyak. Beberapa manifestasi berhubungan dengan tidak adanya produksi siklik dan teratur dari progesteron, dan kemudian pada usia reproduksi yang lanjut mungkin timbul akibat terjadinya keadaan ''luteal out-of-fase''(LOOP).2Meskipun gangguan ovulasi paling sulit diketahui etiologinya secara pasti, namun banyak kasus setelah diselusuri merupakan akibat endokrinopati (misalnya, sindroma ovarium polikistik, hipotiroidisme, hiperprolaktinemia, stres mental, obesitas, anoreksia, penurunan berat badan, atau olahraga ekstrim seperti yang terkait dengan pelatihan atletik). Dalam beberapa kasus, gangguan mungkin iatrogenik, disebabkan oleh steroid gonad atau obat yang mempengaruhi metabolisme dopamin seperti fenotiazin dan antidepresan trisiklik.2V.2.g. Endometrial.Bila perdarahan uterus abnormal terjadi dalam konteks siklus haid yang teratur, maka dapat diperkirakan jika terjadi ovulasi normal, dan tidak ditemukan penyebab lain yang jelas, mekanisme ini kemungkinan disebabkan gangguan primer di endometrium. Jika gejalanya berupa perdarahan haid yang berat, ada mungkin terjadi gangguan utama yang mengatur mekanisme hemostasis lokal endometrium itu sendiri, penurunan produksi vasokonstriktor seperti endotelin-1 dan prostaglandin F2a, dan atau lisis bekuan endometrium dipercepat karena produksi berlebihan dari aktivator plasminogen dan meningkatnya produksi lokal yang mempengaruhi vasodilatasi seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin (I2).2Mungkin ada kelainan endometrium primer yang tidak menimbulkan haid yang banyak, tetapi mungkin, misalnya, menyebabkan perdarahan haid yang tidak teratur, seperti peradangan endometrium atau infeksi, kelainan pada respon inflamasi lokal, atau penyimpangan dalam vaskulogenesis endometrium. Pada endometritis kronis, sel-sel radang melepaskan enzim proteolitik yang merusak pleksus kapiler subepitelial dan epitel permukaan, menyebabkan kerapuhan dan cenderung mengalami pemecahan dan mikroerosi. Protease juga mengganggu proses-proses perbaikan dan pembentukan pembuluh darah baru. Leukosit dan makrofag juga melepaskan platelet-activating factor dan prostaglandin, yang merupakan vasodilator poten. Pada saat ini, tidak ada tes khusus yang tersedia untuk gangguan ini, sehingga diagnosis ini harus ditentukan setelah kelainan lain pada wanita usia reproduksi dapat disingkirkan dan memiliki fungsi ovulasi normal.2V.2.h. Iatrogenik.

Pendarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan hormonal (estrogen, progestin) ataupun non hormonal (obat-obat antikoagulan) atau AKDR.1Ada beberapa mekanisme dimana intervensi medis atau alat mungkin menyebabkan atau memberikan kontribusi untuk perdarahan uterus abnormal iatrogenik. Perdarahan endometrium diluar jadwal yang terjadi selama penggunaan terapi steroid gonad disebut perdarahan ''bercak'' (breakthrough bleeding), yang merupakan komponen utama dari klasifikasi ini. Termasuk dalam kategori ini adalah wanita yang menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim yang mengandung levonorgestrel, yang sering mengalami breakthrough bleeding dalam 6 bulan pertama penggunaan.2Ketika perdarahan uterus abnormal dianggap sekunder akibat antikoagulan seperti warfarin atau heparin, atau agen sistemik yang berkontribusi terhadap gangguan ovulasi seperti yang mengganggu metabolisme dopamin, ini dikategorikan sebagai perdarahan uterus abnormal akibat koagulopati atau perdarahan uterus abnormal akibat gangguan ovulasi.2V.2.i. Not yet classifield.Terdapat sejumlah entitas yang dapat atau tidak mungkin menyebabkan perdarahan uterus abnormal pada wanita yang diidentifikasi kurang baik baik karena tidak cukup diuji, dan/atau pada keadaan yang sangat jarang terjadi. Contoh dalam kategori ini mungkin termasuk malformasi arteriovenosa dan hipertrofi miometrium. Selain itu, ada mungkin ada gangguan lainnya, yang belum teridentifikasi, yang hanya akan diketahui dengan pemeriksaan biokimia atau pengujian biologi molekular.2Secara kolektif, keadaan-keadaan diatas telah ditempatkan dalam kategori disebut N untuk tidak diklasifikasikan. Bila bukti lebih lanjut tersedia, mereka mungkin dimasukan dalam kategori terpisah, atau dapat ditempatkan ke dalam satu atau kategori yang ada dalam sistem2VI. DIAGNOSISVI.1.Diagnosis Pada Dokter layanan Primer

VI.1.a. Anamnesis

Penyebab dari perdarahan uterus abnormal dan sesuai dengan usia. Siklus haid sebelumnya serta waktu mulai terjadinya perdarahan uterus abnormal perlu diketahui dan ditanyakan pada pasien :51. Jarak waktu antara siklus menstruasi (berapa hari, teratur atau tidak)

2. Volumenya (banyak, sedikit atau bervariasi)

3. Durasi haid (normal, atau memanjang, konsisten atau bervariasi)

4. Mulainya perdarahan abnormal (menjelang waktu menstruasi, mendadak, perlahan lahan)

5. Faktor pemicu (setelah berhubungan intim, setelah melahirkan , setelah minum pil KB, setelah berat badan bertambah atau berkurang)

6. Gejala lain yang berhubungan (gejala sindrom premenstrual, dismenorea, dispareunia, galaktorea, hirsutisme)

7. Obat-obatan yang diminum (hormon, antikoagulan,dan lain-lain)

Penilaian jumlah darah haid dapat dinilai menggunakan Pictoral Bleeding Assesement Chart (PBAC) atau skor perdarahan. Data ini juga diapatkan untuk diagnosis dan menilai kemajuan pengobatan perdarahan uterus abnormal. Anamnesis juga diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding penyebab perdarahan uterus abnormal lainnya. Diagnosis banding dari perdarahan uterus abnormal dapat dilihat pada tabel berikut:5Keluhan dan gejalaMasalah

Nyeri pelvikAbortus, kehamilan ektopik

Mual, peningkatan frekuensi berkemihKehamilan

Peningkatan berat badan, mudah lelah, gangguan toleransi terhadap dinginHipotiroid

Penurunan berat badan, banyak keringat, palpitasiHipertiroid

Riwayat komsumsi obat antikoagulan dan gangguan pembekuan darahIatrogenik / Koagulopati

Riwayat hepatitis, ikterikPenyakit hati

Hirtsutisme, jerawat, akantosis nigricans, obesitasSindrom Ovarium Polikistik (SPOK)

Perdarahan pasca koitusDisplasia serviks, polip endoserviks

Galaktorea, sakit kepala, gangguan lapang pandangTumor Hipofisis

Anamnesis yang terstruktur dapat menyingkirkan kemungkinan gangguan hemostasis sitemik (koagulopati) sebagai penyebab perdarahan uterus abnormal dengan sensitifitas tercapai hingga 90%. Pertanyaan untuk menapis koagulopati :51. Perdarahan haid banyak sejak menars2. Terdapat minimal 1 (satu) keadaan dibawah ini

a. Perdarahan pasca persalinan.b. Perdarahan yang berhubungan dengan operasi.c. Perdarahan yang berhubungan dengan perawatan gigi.3. Terdapat minimal 2 (dua) keadaan dibawah ini :

a. Memar 1-2 x /bulan.b. Epistaksis 1-2 x/bulan.c. Perdarahan gusi yang sering.d. Riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan.5Cara menilai perdarahan uterus abnormal ini termasuk dalam perdarahan uterus abnormal karena gangguan ovulasi :51. Siklus haid normal dan berovulasi biasanya berkisar antara 22-35 hari, sementara perdarahan uterus abnormal karena gangguan ovulasi biasanya bersifat ireguler dan sering diselingi periode amenorea.

2. Untuk memastikan apakah pasien berevousi atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan progesterone serum fase luteal madya atau USG transvaginal bila diperlukan.5VI.2. Pemeriksaan VI.2.a. Pemeriksaan fisik umum:1. Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik.

2. Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak berhubungan dengan kehamilan.

3. Pemeriksaan indeks massa tubuh, tanda tanda hiperandrogen, pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid/hipertiroid, galaktorea (hiperprolaktinemia), gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis), purpura dan ekimosis wajib diperiksa. 6VI.2.b. Pemeriksaan Ginekologi:1. Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap smear.

2. Harus disingkirkan pula kemungkinan adanya mioma uteri, polip, hiperplasia endometrium atau keganasan.6VI.2.c.Penilaian ovulasi:1. Siklus haid yang berovulasi berkisar 22-35 hari.

2. Jenis perdarahan uterus abnormal karena gangguan ovulasi bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea.

3. Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum fase luteal madya atau USG transvaginal bila diperlukan.6VI.2.d. Penilaian endometrium:

1. Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien PUA.

2. Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada:

a. Perempuan umur > 45 tahun

b. Terdapat faktor risiko genetik

c. USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks yang merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium

d. Terdapat faktor risiko diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, nulipara

e. Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectal cancer memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat diagnosis antara 48-50 tahun

3. Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan uterus abnormal yang menetap (tidak respons terhadap pengobatan).

4. Beberapa teknik pengambilan sampel endometrium seperti D & K dan biopsi endometrium dapat dilakukan.6VI.2.e. Penilaian kavum uteri:1. Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma uteri submukosum.

2. USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan harus dilakukan pada pemeriksaan awal PUA.

3. Bila dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri submukosum disarankan untuk melakukan histeroskopi. Keuntungan dalam penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat dilakukan bersamaan.6VI.2.f. Penilaian miometrium:

1. Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis.

2. Miometrium dinilai menggunakan USG (transvaginal, transrektal dan abdominal), histeroskopi atau MRI.

3. Pemeriksaan adenomiosis menggunakan MRI lebih unggul dibandingkan USG transvaginal. 6VI.3. Penegakan diagnosis perdarahan uterus abnormal menurut klasifikasi:

1. Polip a. Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan perdarahan uterus abnormal.

b. Lesi umumnya jinak, namun sebagian kecil atipik atau ganas.

c. Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi. 62. Adenomiosis a. Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan endometrium pada hasil histopatologi.

b. Adenomiosis dimasukkan dalam sistem klasifikasi berdasarkan pemeriksaan MRI dan USG.

c. Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup untuk mendiagnosis adenomiosis.

d. Hasil USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada miometrium dan sebagian berhubungan dengan adanya hipertrofi miometrium. 63. Leiomioma a. Mioma uteri umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan penyebab tunggal perdarahan uterus abnormal.

b. Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni hubungan mioma uteri dengan endometrium dan serosa lokasi, ukuran, serta jumlah mioma uteri.

c. Berikut adalah klasifikasi mioma uteri :

1. Primer : ada atau tidaknya satu atau lebih mioma uteri;

2. Sekunder : membedakan mioma uteri yang melibatkan endometrium (mioma uteri submukosum) dengan jenis mioma uteri lainnya;

3. Tersier : klasifikasi untuk mioma uteri submukosum, intramural dan subserosum. 64. Keganasan dan hiperplasiaa. Meskipun jarang ditemukan, namun hiperplasia atipik dan keganasan merupakan penyebab penting perdarahan uterus abnormal.

b. Klasifikasi keganasan dan hiperplasia menggunakan sistem klasifikasi FIGO dan WHO. 65. Koagulopati a. Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik yang terkait dengan perdarahan uterus abnormal.

b. Tiga belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan hemostasis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit von Willebrand. 66. Gangguan ovulasia. Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab perdarahan uterus abnormal dengan manifestasi perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.

b. Dahulu termasuk dalam kriteria perdarahan uterus disfungsional.

c. Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang, hingga perdarahan haid banyak.

d. Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik (SOPK), hiperprolaktinemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan, anoreksia atau olahraga berat yang berlebihan. 67. Endometriala. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid teratur.

b. Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostasis lokal endometrium.

c. Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti endothelin-1 dan prostaglandin F2 serta peningkatan aktifitas fibrinolisis.

d. Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan yang berlanjut akibat gangguan hemostasis lokal endometrium.

e. Diagnosis perdarahan uterus abnormal endometrial ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain pada siklus haid yang berovulasi. 68. Iatrogenik a. Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis seperti penggunaan estrogen, progestin, atau AKDR.

b. Perdarahan haid di luar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen atau progestin dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau breakthrough bleeding (BTB).

c. Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam sirkulasi yang dapat disebabkan oleh sebagai berikut :

1. Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi;

2. Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin;

3. Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti koagulan (warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin) dimasukkan ke dalam klasifikasi perdarahan uterus abnormal koagulopati.69. Not yet classified a. Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit dimasukkan dalam klasifikasi.

b. Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis kronik atau malformasi arteri-vena.

c. Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian perdarahan uterus abnormal. 6VII. PENANGANANPenanganan pada pendarahan uterus abnormal adalah berbeda dan berdasarkan faktor penyebabnya.2,5VII.1. Polip:

Penanganan polip endometrium dapat dilakukan dengan

1. Reseksi secara histeroskopi2. Dilatasi dan kuretase

3. Kuret hisap

Hasilnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.5VII.2. Adenomiosis:

Gambar 5 : penatalaksanaan adenomiosis.5a. Agonis GnRH dapat memberikan bantuan sementara dari gejala jika fokus adenomiosis adalah estrogen dan progesteron-reseptor positif. Namun, gejala kambuh setelah obat dihentikan.b. Histerektomi merupakan pengobatan defenitif untuk adenomiosis.6VII.3. Leiomioma uteri:

a. Pemberian Gonadotropin - releasing hormone ( GnRH ) agonis selama 3 bulan.b. Jika dengan pemberian hormonal tidak berhasil dilakukan miomektomic. Jika pasien tidak menginginkan kehamilan, histerektomi dapat dianjurkan pada pasien terutama ketika banyak tumor besar (terutama mioma intraligamentum) ditemukan, histerektomi abdominal total diindikasikan.d. Embolisasi fibroid uterus, oklusi emboli arteri uterus adalah sebuah alternatif untuk operasi besar pada wanita premenopause tidak menginginkan kesuburan tapi yang ingin mempertahankan rahim mereka atau menghindari efek samping dari terapi medis.6

Gambar 6 : penatalaksanaan Leiomioma.5VII.4. Keganasan dan Hiperplasia:

Gambar 7. penatalaksanaan keganasan.5a. Diagnosis hiperplasia endometrium atipik dan non atipik ditegakkan berdasarkan penilaian histopatologi.b. Pada pasien yang didiagnosis hiperplasia non atipik di terapi dengan pemberian oral siklik mydroxyprogresterone asetat (Provers) dengan dosis 10 mg perhari selama 14 hari perbulan dilanjutkan dengan pemberian megastrol (megace) dosis 40 mg perhari. Atau levonogestrel- releasing intrauterine sistem (Mirena). Setelah pengobatan dilakukan, biopsi endometrial harus diulangi dalam 3 sampai 6 bulan untuk melihat resolusi dari hiperplasia.c. Hiperplasia dengan atipia paling baik diterapi secara pembedahan. Wanita yang bermaksud mempertahankan kemamPerdarahan Uterus Abnormaln reproduksi dapat diterapi dengan progestin, tetapi terapi dengan durasi yang lebih lama dan kuat (megestrol acetate 40-80 mg per hari selama 3-6 bulan) dibutuhkan dan harus dilakukan biopsi berulang untuk mengawasi respons dan mengkonfirmasikan keraguan terhadap lesi.d. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan atau pasien tidak memberikan respon terhadap pengobatan tindakan pilihan yaitu histerektomi.6VII.5. Koagulopati:

Gambar 8 : penatalaksanaan Gangguan koagulasi.5a. Banyak penelitian yang mencatat hubungan antara menorrhagia dan kelainan pembekuan menurun. Penyakit Von Willebrand adalah penyakit perdarahan abnormal menurun pada wanita yang paling umum. Penyakit ini berhubungan dengan gangguan jumlah dan kualitas faktor Von Willebrand.b. Desmopressin adalah analog vasopresin arginin sintetik yang digunakan untuk mengobati perdarahan uterus abnormal pada wanita dengan kelainan pembekuan, terutama pada penyakit Von Willebrand. Obat ini tersedia dalam dua macam sediaan yaitu intravena dan inhalasi konsentrasi tinggi (1,5 mg/ml). Terapi akan menginduksi peningkatan tajam faktor pembekuan VIII dan Von Willebrand hingga 6 jam berikutnya.6VII.6. Gangguan Ovulasi:

Gambar 9 : penatalaksanaan Gangguan ovulasi.5a. Gangguanovulasi merupakan salah satupenyebab perdarahan uterus abnormal dengan manifestasi perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.

b. Siklus ovulatoar tidak diakibatkan oleh kekurangan progestin tetapi perubahan sintesis prostaglandin atau gangguan hemostasis, sehingga tidak terlalu berespons terhadap pemberian progestin oral. c. Walaupun demikian, wanita dengan perdarahan uterus abnormal ovulatoar berespons dengan pemberian jangka panjang, yaitu norethindrone 5 mg atau medroxyprogesterone acetate 10 mg, masing-masing diberikan tiga kali per hari untuk hari ke-5 hingga ke-26 tiap siklus menstruasi, memberikan hasil efektif.6VII.7. Endometrial:a. Perdarahan uterus abnormal yangterjadipadaperempuan dengan siklus haid teratur.

b. Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan bila terdapat gejala dan tanda hipotiroid atau hipertiroid pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.

c. Asam traneksamat 3 x 1 g dan asam mefenamat 3 x 500 mg merupakan pilihan lini pertama dalam tatalaksana menoragia.

d. Lakukan observasi selama 3 siklus menstruasi.

e. Jika respon tidak adekuat nilai apakah terdapat kontraindikasi pemberian pil KB kombinasi (30 g ethinyl estradiol)f. Pil KB kombinasi mampu mengurangi jumlah pendarahan dengan menekan pertumbuhan endometrium. Dapat dimulai pada hari apa saja, selanjutnya pada hari pertama siklus menstruasi.

g. Jika pasien memiliki kontraindikasi terhadap ethinyl estradiol maka dapat diberikan preparat progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat. Kemudian diulang selama 3 siklus. Dapat ditawarkan penggunaan levonogestrel- releasing intrauterin sistem.

h. Jika setelah 3 bulan, respons pengobatan tidak adekuat, dapat dilakukan penilaian dengan ultrasonografi transvaginal untuk menilai kavum uteri.

i. Jika didapatkan polip atau mioma submukosum, segera pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan histeroskopi.

j. Jika hasil ultrasonografi transvaginal didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm, lakukan pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan hiperplasia.

k. Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan progestin, levonogestrel-releasing intrauterin sistem, GnRH atau histerektomi.

l. Jika hasil normal atau terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka dilakukan evaluasi terhadap fungsi reproduksinya.

m. Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksinya dapat dilakukan ablasi endometrium atau histerektomi. Jika pasien masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya, anjurkan pasien untuk mencatat siklus haidnya dengan baik dan memantau kadar Hb.6

Gambar 10 : penatalaksanaan gangguan endometrial.5VII.8. Iatrogenik:

Gambar 11 : penatalaksanaan perdarahan karna Pil kombinasi.5

Gambar 12 : penatalaksanaan perdarahan karna progestin.5

Gambar 13 : Penatalaksanaan perdarahan karna pemakaian AKDR.5.

VII.9. Not Yet Classified Kategori not yet classifieddibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit dimasukkan dalam klasifikasi.1VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi yang bisa terjadi adalah infertilitas akibat tidak adanya ovulasi. Anemia berat akibat perdarahan yang berlebihan dan lama. Pertumbuhan endometrium yang berlebihan akibat ketidakseimbangan hormonal merupakan faktor penyebab kanker endometrium.7IX. PROGNOSISRespon terhadap terapi sangat individual dan tidak mudah diprediksi.Keberhasilan dari terapi tergantung pada kondisi fisik pasien dan usia Beberapa wanita, khususnya usia remaja biasanya angka keberhasilan penanganan dengan hormon cukup besar (terutama dengan oral kontrasepsi).Tindakan terakhir melalui histerektomi, meskipun dapat mengatasi perdarahan uterus abnormal namun mempunyai resiko dan komplikasi yang lebih besar.7,817