127
PERHIASAN DAN KRIMINALITAS DALAM TIGA CERPEN KARYA HAMSAD RANGKUTI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh: Ghina Octaviana 11140130000008 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

PERHIASAN DAN KRIMINALITAS DALAM TIGA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48561...dari pembicaraan tentang makanan, perhiasan, pakaian, dan lain sebagainya. Novel

  • Upload
    others

  • View
    43

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PERHIASAN DAN KRIMINALITAS DALAM TIGA CERPEN

KARYA HAMSAD RANGKUTI SERTA IMPLIKASINYA

TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Ghina Octaviana

11140130000008

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019

i

ABSTRAK

Ghina Octaviana (NIM: 11140130000008). Perhiasan dan Kriminalitas

dalam Tiga Cerpen Karya Hamsad Rangkuti serta Implikasinya terhadap

Pembelajaran Sastra di Sekolah.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi perhiasan terkait situasi

kriminalitas dalam tiga cerpen karya Hamsad Rangkuti dan implikasinya terhadap

pembelajaran sastra di sekolah. Metode yang digunakan ialah deskriptif kualitatif

melalui naratologi Greimas serta teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns. Hasil

analisis cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” menunjukkan bahwa

terdapat 11 skema aktan yang memperlihatkan adanya korelasi mengenai persepsi

perhiasan melalui penyebutan nama tokoh. Perhiasan dipandang tokoh aku

sebagai sumber masalah, wanita muda memandangnya sebagai penghargaan diri,

sedangkan tokoh profesi (penodong, penjambret, dan polisi) menilai pehiasan

sebagai pembuktian otoritas pekerjaan yang sedang dijalani. Beragam persepsi

membentuk pola pikir dan perilaku tokoh sehingga perhiasan menjadi orientasi

dalam pengambilan keputusan yang justru merugikan diri sendiri maupun orang

lain, mulai dari bersikap apatis, lalai terhadap bahaya, dan melakukan segala cara

untuk mendapatkan yang diinginkan. Hal ini merupakan ironi yang ingin

disampaikan Hamsad Rangkuti melihat realitas bahwa manusia kerap bertindak

nekat tanpa pikir panjang karena terlalu diperdaya oleh benda. Analisis ini

diimplikasikan pada pembelajaran sastra di sekolah sebagai bahan ajar untuk

memahami unsur intrinsik dan nilai-nilai kehidupan. Persepsi dapat diterapkan

dalam upaya pembentukan karakter peserta didik agar bersikap adil, jujur, dan

toleran ketika menilai atau melakukan sesuatu.

Kata kunci: Persepsi, Perhiasan, Naratologi Greimas, Hamsad Rangkuti

ii

ABSTRACT

Ghina Octaviana (NIM: 11140130000008). Jewelery and Crime in Three Short

Stories by Hamsad Rangkuti and It’s Implications for Literature Learning in

School.

The research aims to describe the perception of jewelery related to criminal

situation in three short stories written by Hamsad Rangkuti and its’ implication for

literary learning subject in schools. The method used is a qualitative descriptive

through the Greimas narratology and as well as Alan Saks and Gary Johns

perception theory. The results of the analysis of the short story "Perbuatan Sadis",

"Perhiasan", and "Pispot" show that there are 11 actant schemes indicating a

correlation related to the perception of jewelery through the mentioned of the

character name within in. While jewelry is seen as the source of the main

problem, young woman views it as self-esteem, while the professional figures

(such as mugger, snatcher, and police officers) consider such thing as an

indication of their work authority. Additionally, the occurrance of various

perceptions from the stories is considered that it is able to shape the figures’

mindset and behavior. Therefore, the jewelery become an indicator in the

decision-making process leading to some detrimental effect, like being more

apatheic, tending to be negligent in some certain danger situatons, and being

likely to carry out everything recklessly to get what they desire, on either them

selves or the others. Therefore, Hamsad Rangkuti views this situation in an irony,

since it reflects the human behavior which often tend to act recklessly as a result

of the influence brought by luxury good. This analysis is aimed to give advantage

to pupils as a teaching material on the literary learning subject process at school.

Thus, they would understand about intrinsic element and life values. As a result,

this can also be applied in the effort of building learners’ character to be fair,

honest, and tolerant when they assess to make decision or doing something in

their life.

Keywords: Perception, Jewelery, Greimas Narratology, Hamsad Rangkuti

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perhiasan dan Kriminalitas

dalam Tiga Cerpen Karya Hamsad Rangkuti serta Implikasinya terhadap

Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Selawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi

Muhammad SAW yang telah memberikan andil besar terhadap kehidupan

manusia yang lebih bermartabat dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang

berlandasakan pada iman dan Islam.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

sarjana pendidikan pada program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis menyadari bahwa dalam

penyusunan skripsi ini membutuhkan bimbingan, dukungan, dan doa dari

berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis sampaikan ucapan terima

kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan;

3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan

sebagai dosen yang memperkenalkan dan menumbuhkan kecintaan

terhadap sastra;

4. Rosida Erowati, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing yang selalu

memberikan inspirasi di setiap pertemuan sehinga mendorong penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

5. Seluruh Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

iv

6. Terkhusus untuk orang tua dan kedua adik penulis yang tidak pernah

berhenti untuk memberikan doa, kasih sayang, dan senantiasa memberikan

dukungan dalam penyusunan skripsi ini;

7. Febby Alviohanita dan Siti Nuur Rokhmah, tempat terbaik untuk

menuangkan segala keluh-kesah sejak masa putih biru;

8. Sahabat-sahabat yang mengisi bangku perkuliahan menjadi

menyenangkan: Shabrina Maulida, Dwina Dian Putri, Cahaya Syifa

Farhannah, Eka Restu K.H, Luthfi Agustina, Sri Ayu K, dan Maratun

Nafisah;

9. Keluarga besar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

khususnya angkatan 2014 yang menjadi tempat diskusi yang hangat dan

menarik saat perkuliahan;

10. Mohamad Alen Aliansyah, terimakasih atas segala doa dan dukungan yang

telah diberikan selama ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh pada kesempurnaan, baik dari

segi isi, susunan kalimat, dan sistematika penulisannya. Kritik dan saran penulis

harapkan guna perbaikan selanjutnya agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang

terdahulu. Penulis juga berharap semoga skripsi dapat memberikan manfaat

terkhusus bagi penulis dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 15 Oktober 2019

Ghina Octaviana

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ............................................................................................................................................ i

ABSTRACT .......................................................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ v

DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ...................................................................................................... 5

C. Batasan Masalah ........................................................................................................... 5

D. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6

E. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 6

F. Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 6

G. Metodologi Penelitian ................................................................................................... 7

Bab II KAJIAN TEORETIS

A. Cerpen ........................................................................................................................... 9

B. Unsur Intrinsik ............................................................................................................ 10

C. Naratologi Greimas ..................................................................................................... 16

D. Persepsi ....................................................................................................................... 18

E. Pembelajaran Sastra di Sekolah .................................................................................. 22

F. Penelitian yang Relevan .............................................................................................. 23

Bab III BIOGRAFI PENGARANG DAN GAGASAN

A. Biografi ....................................................................................................................... 26

B. Karya dan Penghargaan ....................................................................................................... 28

C. Perkembangan Pemikrian ............................................................................................ 29

vi

1. Penulis Bakat Alam ............................................................................................... 29

2. Penulis Teknik ........................................................................................................ 31

D. Sinopsis ........................................................................................................................ 33

Bab IV PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik .............................................................................................. 34

1. Tema ...................................................................................................................... 31

2. Tokoh dan Penokohan ............................................................................................. 34

3. Latar ........................................................................................................................ 44

4. Plot .......................................................................................................................... 50

5. Sudut Pandang ........................................................................................................ 56

6. Gaya Bahasa ............................................................................................................ 59

7. Amanat .................................................................................................................... 63

B. Analisis Persepsi Perhiasan.......................................................................................... 65

1. Skema Aktan ............................................................................................................ 66

2. Persepsi ..................................................................................................................... 75

C. Implikasi Pembelajaran Sastra di Sekolah .................................................................. 96

Bab IV PENUTUP

A. Simpulan ..................................................................................................................... 96

B. Saran ............................................................................................................................ 97

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

LEMBAR UJI REFERENSI

TENTANG PENULIS

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 .............................................................................................................................................. 17

Tabel 1.2 .............................................................................................................................................. 75

Tabel 2.1 .............................................................................................................................................. 66

Tabel 2.2 .............................................................................................................................................. 67

Tabel 2.3 .............................................................................................................................................. 67

Tabel 2.4 ............................................................................................................................................... 68

Tabel 2.5 ............................................................................................................................................... 69

Tabel 2.6 ............................................................................................................................................... 70

Tabel 2.7 .............................................................................................................................................. 70

Tabel 2.8 .............................................................................................................................................. 72

Tabel 2.9 .............................................................................................................................................. 72

Tabel 2.10 ............................................................................................................................................ 73

Tabel 2.11 ............................................................................................................................................ 73

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia memiliki penilaian subjektif terhadap suatu benda. Tidak

ada yang mampu menggeneralisasi, meskipun berasal dari objek yang sama

tetap akan menimbulkan beragam persepsi. Semua itu disebabkan oleh latar

pemikiran yang melibatkan aspek tertentu sehingga perasaan yang ditimbulkan

ketika melihat, mendengar, atau merasakannya pun akan menjadi berlainan.

Karya sastra sebagai cermin kehidupan ikut merekam mengenai hal ini. Mulai

dari pembicaraan tentang makanan, perhiasan, pakaian, dan lain sebagainya.

Novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak memerlihatkan

bagaimana makanan membentuk perilaku obsesi kompulsif bagi Aruna selaku

tokoh utama. Makanan dianggap dapat mengurangi kecemasan, sensasi yang

ditimbulkan sulit dikendalikan seakan menghasilkan candu. Ketergantungan ini

disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: makanan menjadi fokus dalam

kehidupan, ajang pembebasan diri dari stres, dan sumber kebahagiaan.

Berbagai makanan menjadi pelarian dari segala permasalahan.1

Adapula novel Entrok karya Okky Madasari, menggambarkan keinginan

Marni untuk memiliki entrok (pakaian dalam) untuk wanita. Entrok hanya

disampaikan di sebagian penceritaan, tetapi benda tersebut merupakan titik

awal perubahan pemikiran yang berujung pada keinginan-keinginan yang lain,

seperti melanggar hukum, kodrat, dan norma. Entrok seakan dipandang sebagai

permulaan dari bentuk feminisme untuk menuntut keadilan dan kesetaraan

gender.2

Naskah drama pun ikut menceritakan bagaimana benda dijadikan alat

untuk menunjukkan sikap materialistis tokoh. Melalui tokoh Nyonya dalam

lakon Nyonya-nyonya, Wisran Hadi bercerita bahwa uang dan harta pusaka

1 Noviana Nitami, “Obsesi Tokoh Utama terhadap Makanan Novel Aruna dan Lidahnya

Karya Laksmi Pamuntjak”, Jurnal Dialektika, Volume 3, Nomor 1, Tahun 2016.

2 Ririn Setyorini, “Diskriminasi Gender dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Kajian

Feminisme”, Jurnal Desain, Volume 4, Nomor 3, Tahun 2017.

2

dipandang sangat penting hingga mampu menjaga harga diri pemiliknya.

Benda menjadi tolak ukur pertimbangan untuk mengambil keputusan tertentu

tanpa memedulikan keadaan sanak saudara yang lebih membutuhkan. Semua

ini karena terjadi hanya mengutamakan pandangan orang lain atas dirinya.3

Berdasarkan ketiga karya berbeda yang telah diungkap di atas terlihat

bahwa tokoh Aruna, Marni dan Nyonya memiliki persepsi terhadap suatu

benda secara tidak sederhana, melainkan terdapat latar belakang dengan tujuan

yang cukup kompleks. Persepsi sebagai aktivitas pikiran dalam merespons

sesuatu secara tidak sadar memberikan perubahan pola pikir dan perilaku. Hal

ini membuktikan makanan dan pakaian tidak dipandang sebagai sekedar

pemenuhan kebutuhan, melainkan mewakili keinginan tokoh terhadap tujuan

tertentu.

Pengarang yang cukup konsisten membicarakan benda-benda melalui

penceritaan adalah Hamsad Rangkuti. Bukan makanan ataupun pakaian,

melainkan perhiasan. Setidaknya secara repetitif disampaikan dalam tiga judul

cerpen berbeda, “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan, dan “Pispot”. Benang merah

ketiganya terikat oleh peristiwa pengambilan kalung milik wanita muda dan

semuanya ditulis di tahun 1982. Hamsad mendapat ide menulis cerita setelah

mendengar kisah penodongan ketika berada di oplet (alat transportasi umum).4

Melalui pembacaan beberapa berita koran Kompas di rentang tahun 1981-

1982 terlihat bahwa kejadian mengenai tindakan kejahatan dikarenakan

pemakaian perhiasan memang cukup mencuat. Salah satunya mengenai

penukaran kalung asli menjadi imitasi yang dilakukan penjambret kepada

korbannya.5 Setelah puluhan tahun mendatang khususnya di tahun 2019 masih

banyak pemberitaan mengenai perhiasan, bahkan medianya meluas. Mulai dari

twitter, instagram, dan youtube. Motifnya pun berlainan dan tidak lagi

dilakukan sebatas oleh pelaku kriminal.

3 Muhammad Bunga, Andria Catri, dan Muhammad Ismail, “Materialis dalam Naskah Drama

Nyonya-nyoya Karya Wisran Hadi: Kajian Sosiologi Sastra, Jurnal Bahasa dan Sastra UNP,

Tahun 2012.

4 Hamsad Rangkuti, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?,

(Yogyakarta: Diva Press, 2014), h.22.

5 Yos, “Dijambret, Diganti Kalung Palsu”, Kompas, Kamis, 18 September 1982, h.3

3

Terbukti dari survei Statistik Kriminal 2018 bahwa periode 2016-2017

kejahatan terkait hak atau milik dengan penggunaan kekerasan cenderung

mengalami penurunan sekitar 12% dari 12.095 kasus menjadi 10.602.6

Sedangkan di sisi yang lain orientasi terhadap kepemilikan terhadap suatu

benda mengalami peningkatan. Sikap ini tidak terlepas dari asumsi bahwa

terdapat hubungan erat antara benda tertentu dengan tingkat kebahagian dan

kepuasan seseorang, terlepas dari pengaruh positif atau negatif yang

melingkunginya.7

Peristiwa ini membuktikan bahwa perhiasan tidak lagi dianggap hanya

sebagai harta berharga, melainkan terdapat alasan tertentu ketika membentuk

pandangan terhadap objek. Sayangnya persoalan ini kurang terdengar lebih

lanjut dalam analisis sastra. Isu-isu mengenai makanan dan pakaian telah

banyak diungkap, tetapi mengenai perhiasan masih redup. Hal ini membuat

penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai persepsi perhiasan bagi

para tokoh dari cerpen berjudul “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot”

karya Hamsad Rangkuti. Terlihat dari ketiganya bahwa kalung menjadi titik

fokus pembicaraan melalui proses penodongan dan penjambretan.

Sejauh ini karya-karya Hamsad Rangkuti pernah diteliti dengan tema

pembahasan mengenai kritik sosial ataupun nilai kemanusiaan. Belum ada

yang mengaitkannya dengan topik perhiasan ataupun benda lainnya dalam

penceritaan. Padahal jika ditelaah secara mendalam terlihat bahwa beberapa

karya Hamsad memiliki kencenderungan memunculkan benda-benda sebagai

pengikat permasalahan. Hal ini menandakan bahwa persoalan mengenai benda

dalam cerita milik Hamsad merupakan sesuatu yang dapat dibicarakan secara

serius.

Kemunculan penyebutan atau panggilan tokoh secara berulang di ketiga

cerpen menjadi bukti bahwa aksi lebih dipentingkan dibandingkan pelaku.

Kesamaan topik dan tokoh yang berperan akan memerlihatkan persepsi atas

perhiasan mengalami keseragaman atau terjadi pergeseran pandangan. Asumsi

6 Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2018, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2018), h. 18.

7 Lailatul Fitriyah, “Jangan Terlalu Materialistik! Materialisme sebagai Tolak Ukur Kepuasan

Hidup, Jurnal Psikovidya, Vol 20. No. 1 April 2016.

4

ini akan dibuktikan melalui naratologi Greimas untuk menghubungkan antara

tokoh dan tindakannya sehingga garis besar cerita dari ketiga cerpen terungkap.

Teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns juga digunakan untuk

menginterpretasi tindakan yang dilakukan sehingga pembentukan persepsi

terhadap perhiasan dari masing-masing tokoh dapat dijelaskan secara utuh.

Cerpen-cerpen karya Hamsad Rangkuti di atas dapat menjadi pilihan untuk

memperkenalkan sastra di sekolah. Dalam kurikulum 2013 cerpen merupakan

salah satu materi pelajaran bahasa Indonesia di kelas XI SMA/SMA/MA

semester ganjil dengan kompetensi dasar, antara lain: (3.8) mengidentifikasi

nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kumpulan cerita pendek yang

dibaca, (4.8) mendemonstrasikan nilai kehidupan yang dipelajari dalam cerita

pendek. Cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” dapat relevan

jika diterapkan di dalam pembelajaran serta dapat menambah minat baca

perserta didik.

Keluhan-keluhan yang muncul tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra

menjadi salah satu bukti ketidakberhasilan pembelajaran sastra di sekolah. Hal

ini antara lain disebabkan karena kurangnya pengetahuan guru dalam bidang

kesastraan, keterbatasan buku dan bacaan yang tersedia, minimnya durasi atau

waktu pembelajaran tidak sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai, serta

rendahnya minat membaca peserta didik. Pernyataan ini didukung oleh riset

UNESCO bahwa minat baca masyarakat Indoensia sangat memprihatinkan

yaitu hanya 0,001% atau 1 banding 1.000 orang.8

Beberapa permasalahan tersebut berdampak pada kesulitan guru dalam

menentukan bahan bacaan yang akan diberikan kepada peserta didik. Melalui

penelitian ini dapat menjadi sarana untuk mempermudah guru dalam memilih

karya. Selain itu, diharapkan agar peserta didik lebih memahami unsur intrinsik

cerpen serta mampu menemukan nilai-nilai kehidupan yang terkandung. Ketiga

cerpen diharapkan dpaat memberikan pelajaran terkait persepsi atau membuat

penilaian terhadap benda secara bijak, serta kaitan kepemilikan benda terhadap

8 KOMINFO, “Masyarakat Indonesia: Malas Baca tapi Cerewet di Medsos”,

https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-

cerewet-di-medsos/0/sorotan_media diunduh 11 November 2019.

5

kriminalitas. Tidak hanya perhiasan, tetapi dapat direalisasikan kepada hal-hal

yang lain. Penelitian ini dapat menjadi materi pembelajaran sebagai upaya

pembentukan karakter peserta didik.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan melakukan

penelitian melalui cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya

Hamsad Rangkuti melalui naratologi A.J Greimas dan teori persepsi Alan Saks

dan Gary Johns dengan judul Perhiasan dan Kriminalitas dalam Tiga Cerpen

Karya Hamsad Rangkuti serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di

Sekolah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasakan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah

sebagai berikut:

1. Belum ada yang membandingkan cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”,

dan “Pispot” terkait benda-benda dalam karya Hamsad Rangkuti.

2. Belum ada yang membahas mengenai persepsi perhiasan terkait kriminalitas

dalam cerpen karya Hamsad Rangkuti melalui teori naratologi Greimas serta

persepsi Alan Saks dan Gary Johns.

3. Kesulitan memilih bahan bacaan dalam proses pembelajaran sastra.

4. Keterbatasan waktu untuk mengidentifikasi unsur-unsur pembangun cerita

sehingga pendidik dan peserta didik sulit menemukan nilai-nilai kehidupan

terkandung.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka peneliti akan memfokuskan

pembahasan pada analisis persepsi perhiasan terkait kriminalitas dalam cerpen

“Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad Rangkuti melalui

teori naratologi Greimas serta teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns serta

implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

6

D. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai

berikut:

1. Bagaimana persepsi perhiasan dalam cerpen “Perbuatan Sadis”,

“Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad Rangkuti?

2. Bagaimana implikasi persepsi perhiasan dalam cerpen “Perbuatan Sadis”,

“Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad Rangkuti terhadap pembelajaran

sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan persepsi perhiasan terkait kriminalitas dalam cerpen

Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad Rangkuti.

2. Mendeskripsikan implikasi tindakan tokoh dalam cerpen Perbuatan Sadis”,

“Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad Rangkuti dalam pembelajaran

sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini bersifat praktis dan teoretis, baik bagi

penulis maupun pembaca.

1. Manfaat secara teoretis diharapkan penelitian ini dapat menambah

pengetahuan mengenai teori naratologi Greimas serta teori persepsi Alan

Saks dan Gary Johns dalam menggambarkan persepsi perhiasan dalam tiga

cerpen karya Hamsad Rangkuti.

2. Manfaat secara praktis diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi

pendidik sebagai bahan masukan dalam pengembangan studi sastra serta

mampu menambah minat baca serta dalam upaya pembentukan karakter

baca bagi peserta didik.

7

G. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pada

penelitian kualitatif definisi masalah dapat direkonstruksi dari hal yang unik,

langka, menyimpang, belum pernah diteliti, atau sering diteliti di beberapa

tempat dengan waktu yang berbeda berdasarkan penilaian subjektif. 9 Mulai

dari menyelidiki keadaan, kondisi, atau lainnya dalam bentuk laporan,

memanfaatkan cara-cara penafsiran yang dibatasi oleh hakikat fakta-fakta

terhadap data ilmiah. Oleh karena menggunakan penyajian deskriptif, maka

semua kata-kata, kalimat, dan wacana menjadi penting dan saling berpengaruh.

Tujuan penelitian kualitatif dalam analisis ini adalah untuk mendeskripsikan

persepsi perhiasan terkait kriminalitas dalam cerpen “Perbuatan Sadis”,

“Perhiasan”, dan “Pispot” serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di

sekolah.

1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, data primer

dan data sekunder. Data primer bersumber dari kumpulan cerpen karya

Hamsad Rangkuti dengan tiga judul berbeda: (1) “Perbuatan Sadis” dalam

Wanita Muda di Sebuah Hotel diterbitkan Senja, 2016, (2) “Perhiasan”

dalam Cemara diterbitkan Diva Press, 2016 dan (3) “Pispot” dalam Maukah

Kau Menghapus Bekas Bibirnya dengan Bibirmu di Bibirku? diterbitkan

oleh Diva Press, 2016, sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku,

karya ilmiah, serta artikel di situs internet yang berkaitan dengan objek

penelitian.

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian jenis kepustakaan, maka tidak

merujuk pada tempat tertentu dikarenakan objek yang diteliti berupa naskah

atau teks sastra. Adapun waktu penelitian, dimulai dari Januari hingga

Oktober 2019.

9 Septiawan Santana, Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Obor, 2010),

h. viii.

8

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka melalui

pembacaan, penyimakan, dan pencatatan secara saksama terhadap sumber

data primer dan sumber data sekunder.10

Dalam teknik ini, peneliti

membaca, menelaah, memahami, mengidentifikasi, serta mencatat hal-hal

penting yang mendukung dalam penelitian terhadap sumber data. Sumber-

sumber tertulis digunakan dalam penelitian yang sesuai dengan masalah dan

tujuan pengkajian karya sastra yang diteliti. Hasil penelitian tersebut

kemudian digunakan dalam penyusunan sesuai dengan tujuan yang akan

dicapai.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Menganalisis unsur intrinsik cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan

“Pispot” karya Hamsad Rangkuti. Hal tersebut dilakukan dengan cara

membaca kembali dan mencatat bentuk-bentuk yang relevan dengan

penelitian. Selanjutnya mengelompokkan teks-teks sesuai unsur intrinsik.

Mulai dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya

bahasa, dan amanat.

b. Menganalisis cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya

Hamsad Rangkuti melalui teori naratologi A.J Greimas kemudian

dianalisis melalui teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns untuk

menemukan persepsi perhiasan terhadap pola pikir dan perilaku tokoh

dari masing-masing cerpen.

c. Mengimplikasikan ketiga cerpen dalam pembelajaran sastra di sekolah

dengan cara menghubungkan materi cerpen sesuai dengan kompetensi

dasar yang hendak dicapai.

d. Langkah terakhir yaitu membuat sebuah kesimpulan dan saran dari

keseluruhan hasil penelitian.

10 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta. 2015),

h. 225.

9

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Cerpen

Tiga kritikus sastra: H.B Jassin, Sumardjo, dan Saini mengatakan bahwa

cerpen adalah cerita yang pendek, namun tidak secara sepakat menyebutkan

minimal kata di dalamnya. Ukurannya panjang-pendek cerpen masih menjadi

persoalan, bahkan hingga kini tidak menemui titik kesepakatan. Edgar Allan

Poe, penyair dan penulis Amerika Abad-19 memandang cerpen sebagai karya

sastra yang tidak panjang, cukup dibaca sekali duduk, bertumpu pada satu

masalah dan memberi kesan tunggal.1

Keterbatasan dari segi bentuk membuat cerpen berbentuk padat. Segala

karakter, semesta, dan tindakan-tindakan diciptakan secara bersamaan dalam

lini terbatas. Hal ini menampik anggapan mengenai kedudukan cerpen yang

seolah-olah berada di bawah novel atau roman. Meski baru pada periode

kebangkitan (1965-1980) posisi cerpen mulai diterima sejajar dengan ragam

sastra lain.2 Melihat dari segi struktur, cerpen memang memiliki kesamaan

dengan novel. Keduanya dibangun dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Hal ini pun menjadikan esensinya sejalan dan tidak dapat dinilai sebatas dari

ukuran. Cerpen bukan hanya menjadi bacaan kala senggang, tetapi mampu

bersifat memberikan pengajaran atau sebagai bacaan kritis untuk kajian

tertentu.3

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa cerpen

merupakan kisahan pendek yang cukup dibaca sekali duduk dengan bertitik

berat pada satu permasalahan yang memberinya kesan tunggal. Seperti novel,

cerpen pun dibangun atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Melihat

kebermanfaatannya, cerpen tidak bisa dianggap sebelah mata dengan ragam

sastra lain.

1 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 50.

2 Maman S. Mahayana, Bermain dengan Cerpen (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2006), h. 23.

3 Satmoko Budi Santoso, Esai “Cerita Pendek, Keberjamakan, Reruntuhan Menara Gading”,

(Jakarta: Kompas, 2003), h. 2.

10

B. Unsur Intrinsik

Untuk mengkaji “Perhiasan dan Kriminalitas dalam Tiga Cerpen Karya

Hamsad Rangkuti serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”

diperlukan teori struktural sebagai kepentingan untuk mendalami unsur

pembangun teks di dalam ketiga cerpen. Unsur-unsur tersebut akan dipaparkan

sebagai berikut:

1. Tema

Secara sederhana tema dapat diartikan sebagai gagasan cerita. Aspek

yang sejajar dengan „makna‟ atau hal yang ingin disampaikan kepada

pembaca.4 Hal ini diungkap pengarang secara eksplisit sehingga diperlukan

penafsiran. Stanton membagi empat tahapan dalam upaya menemukan tema,

yaitu: melihat penceritaan yang menonjol, memperhatikan tiap detail cerita,

tidak membuat asumsi hanya berdasar perkiraan, dan harus merujuk pada

bukti di dalam cerita.5

Tema sebagai garis besar suatu permasalahan yang terdapat di dalam

sebuah cerita dapat dijadikan acuan dari penggambaran realitas zaman

kepenulisan pengarang. Hal ini disebabkan pemilihan tema tidak terlepas

dari subjektifitas pengarang dalam merespons pengalaman, pengamatan,

atau aksi-interaksinya dengan lingkungan. Mulai dari persoalan sosial-

budaya, kemanusiaan, politik, dan lain sebagainya.6

2. Tokoh dan Penokohan

Tokoh berarti pelaku cerita sedangkan penokohan pelukisan gambaran

yang jelas tentang seseorang. Ragam ini ditampilkan melalui penampilan

fisik, sifat moral dan psikologis, serta gerak-geriknya. Bentuk penokohan

yang paling sederhana adalah pemberian sebutan. Hal itu semacam

memberikan kepribadian secara tersirat.7

4 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Press, 2012), h. 36.

5 Ibid, h. 44-45.

6 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2012), h. 71.

7 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2014), h.264-265.

11

Setiap tokoh mempunyai fungsi lakuan atau mengarah pada tujuan

tertentu.8 Hal ini dilandasi oleh tokoh menempati posisi strategis sebagai

penyampai pesan, moral, atau hal yang disengaja yang ingin disampaikan

kepada pembaca. Pembedaan mengenai tokoh dapat dibedakan menjadi

sebagai berikut:

a. Apabila dilihat dari peran tokoh dalam perkembangan plot, dapat

dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama

adalah tokoh yang paling banyak dikisahkan, baik sebagai pelaku

kejadian atau yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh

yang kehadirannya jika ada kaitannya dengan tokoh utama.

b. Apabila dilihat dari fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan

menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis

adalah tokoh pengejewantahan nilai-nilai yang ideal, sedangkan tokoh

antagonis adalah tokoh tokoh penyebab terjadinya konflik yang

beroposisi dengan tokoh protagonis. 9

c. Apabila dilihat dari perwatakan tokoh, dapat dibedakan menjadi tokoh

statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak

mengalami perubahan perwatakan akibat adanya peristiwa-peristiwa

yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami

perubahan perwatakan akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi.10

3. Latar

Latar dianggap sebagai cermin pikiran dari tokoh yang bertindak

dalam cerita. Proyeksi ini berwujud tempat, waktu, dan lingkungan sosial

yang saling terikat satu sama lain.11

Jika deskripsi latar bertumpu pada

detail yang membentuk potret sosial atau menggambarkan realitas, maka

kesesuaian fakta tidak dapat dipermainkan. Hal ini agar tidak

melencengnya logika karena keterkaitan antara dunia cerita dan nyata akan

8 Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, Tentang Sastra, (Jakarta: Intermasa, 1989), h. 139.

9 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, op.cit., h. 177-178.

10 Ibid, h. 188-189.

11

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, op.cit., h. 268.

12

mengalami ingar atau terganggu.12

Kesesuaian antara persepsi dan

deskripsi latar harus memberikan kesan meyakinkan agar pembaca merasa

bahwa cerita sungguh ada dan terjadi. Latar dibedakan ke dalam tiga unsur

pokok, yaitu:

a. Latar Tempat

Latar tempat merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat berupa tempat dengan nama,

inisial, atau mungkin lokasi tertentu tanpa keterangan yang jelas.

b. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Latar waktu biasanya

dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau

dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

c. Latar Sosial-Budaya

Latar sosial-budaya berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial

masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Mulai

dari kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan

hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar

spiritual.13

4. Plot

Penyamaan definisi antara plot dan alur agaknya kurang tepat. Alur

diartikan sebagai jalan cerita, sedangkan plot lebih kompleks karena terdiri

dari rangkaian peristiwa sebab akibat atau bukan sekedar bersifat

kronologis.14

Dengan demikian, plot merupakan rangkaian peristiwa yang

tidak hanya terjalin berdasarkan urutan waktu, namun juga terjalin dan

mempunyai penekanan pada hubungan kausal untuk mencapai efek

tertentu.

12 Maman S.Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2007), h. 355.

13

Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 227-234.

14 Ibid, h. 111.

13

Menurut Aristoteles dalam A. Teeuw bahwa plot yang baik harus

memenuhi empat syarat utama: keteraturan dan susunan yang masuk akal,

ruang lingkup cukup luas sehingga cerita memungkinkan akan mengalami

perkambangan, kesatuan atau semua unsur dalam plot harus ada, dan

keterkaitan antar cerita harus jelas.15 Tasrif dalam Nurgiyantoro

membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan plot

tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Tahap penyituasian merupakan pembuka atau perkenalan dari suatu

cerita, pemberian informasi awal yang berfungsi melandasi cerita yang

dikisahkan pada tahap berikutnya.

b. Tahap pemunculan konflik merupakan penyebab terjadinya konflik dan

akan berkembang menjadi lebih pelik.

c. Tahap peningkatan konflik merupakan tahap konflik yang sudah

muncul semakin berkembang kadar intensitasnya.

d. Tahap klimaks merupakan tahapan di mana konflik yang dilalui oleh

para tokoh mencapai titik puncak permasalahan.

e. Tahap penyelesaian merupakan tahap konflik yang terjadi mulai

menemukan solusi kemudian cerita diakhiri.16

5. Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja dipilih

pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.17

Hal ini

disebabkan oleh sudut pandang akan menentukan keberadaan fakta,

bagaimana dan dari mana tokoh-tokoh dan kejadian dilihat. Masalah yang

sama apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda akan menghasilkan

makna yang berlainan.18

Sudut pandang terbagi atas impersonal, orang ketiga, dan orang

pertama. Penjelasan ketiga macam sudut pandang sebagai berikut:

15 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Bandung: Pustaka Jaya, 1984), h.120-121.

16

Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h.149-150. 17

Ibid, h. 248.

18

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2015), h. 315-316.

14

a. Sudut pandang impersonal

Pencerita berada di luar cerita dan bergerak dari antar tokoh, tempat,

dan satu episode ke episode lainnya yang dapat memberikan akses

terhadap pikiran dan perasaan tokoh secara bebas.19

b. Sudut pandang orang ketiga: “Dia”

Pencerita hadir sebagai seseorang di luar cerita yang ditampilkan

melalui penyebutan nama atau kata ganti seperti ia, dia, dan mereka.

Sudut pandang “dia-an” dapat dibedakan antara dia bersifat mahatahu

dan dia hanya sebagai pengamat.20

c. Sudut pandang orang pertama: “Aku”

Pencerita hadir sebagai narator yang ikut terlibat dalam cerita melalui

“aku-an”. Si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku

yang dialaminya. Teknik ini dapat dipergunakan untuk meluksikan

pengalaman manusia yang paling dalam dan rahasia. Sudut pandang ini,

dibedakan menjadi dua macam, yaitu aku sebagai tokoh utama yang

menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita, dan aku sebagai tokoh

tambahan yang hadir untuk membawakan cerita, sedang tokoh cerita

yang dikisahkan dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai

pengalamannya.21

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa diadopsi dari kata style atau stile, diartikan sebagai

kajian terhadap kebahasaan khususnya mengenai teks-teks kesastraan atau

aktivitas yang mengeksplorasi kreativitas penggunaan bahasa.22

Ragam

ini bertujuan untuk menimbulkan kesan, memperjelas makna, memberikan

variasi atau efek keindahan tanpa menghilangkan unsur komunikatifnya.

Cara pengarang dalam menciptakan gaya bercerita pun berlainan. Hal ini

19 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2013), h. 90.

20 Ibid, h. 97-98.

21

Ibid, h. 105-106.

22

Burhan Nurgiyantoro, Stilistika, (Yogyakarta: UGM Press, 2014), h. 74-75.

15

dilandasi oleh perbedaan aliran, angkatan, usia, sifat cerita dan lain

sebagainya.23

Klasifikasi stile dapat dibedakan menjadi dua komponen, yaitu makna

literal dan permainan stuktur. Makna literal seperti penggunaan matafora,

simile, dan personifikasi. Sedangkan permainan struktur seperti ironi dan

sarkasme.24

Berikut penjelasan lebih lanjut dari kedua jenis klasifikasi:

a. Simile

Majas yang mempergunakan kata-kata pembanding secara eksplisit atau

langsung untuk membandingkan sesuatu. Misalnya menggunakan kata-

kata tugas tertentu, seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip,

bak, dan sebagainya.

b. Metafora

Majas yang bentuk perbandingan yang bersifat tidak langsung atau

implisit. Tidak adanya kata-kata penunjuk membuat pembaca harus

membangun makna yang mungkin dikehendaki pengarang.

c. Personifikasi

Majas yang menggunakan karakteristik manusia kepada benda-benda

mati.

d. Ironi dan Sarkasme

Kedua gaya ini untuk sesuatu yang bersifat ironis, misalnya menyindir,

mengritik, mengecam, atau sesuatu yang sejenisnya dengan intensitas

yang berbeda. Jika ironi merupakan sindiran halus, maka sarkasme

adalah cemoohan atau ejekan tajam.

7. Amanat

Moral dalam sastra mencerminkan pandangan pengarang melalui model

kehidupan yang diciptakannya bahkan sebenarnya merupakan gagasan yang

mendasari cerita. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah melalui

sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh.

23 Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, (Surakarta: Sebelas Maret University Press,

1994), h. 220.

24

Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h.206.

16

C. Naratologi A.J Greimas

Naratologi berasal dari kata narratio (cerita, perkataan, kisah) dan logos

(ilmu), diartikan sebagai konsep mengenai cerita dan penceritaan. Pendekatan

ini berkembang atas dasar analogi lingustik, seperti model sintaksis.

Sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita,

begitupun dengan wacana dan teks. Konsep-konsep yang ditawarkan pun

beragam, sesuai dengan kekhasan masing-masing pakar. Salah satunya ialah

A.J Greimas.25

Algirdas Julien Greimas adalah seorang linguis dan ahli semiotika. Pada

mulanya berkarier dalam bidang leksikografi. Teorinya tehadap teks naratif,

tidak terlepas dari pemikiran Levi Strauss, Vladimir Propp, dan Souriau.

Melalui pemanfaatan fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas memberikan

perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam dengan tujuan

yang lebih umum. Greimas memunculkan istilah model aktan.26 Gerald Prince

dalam Dictionary of Narratoogy berpendapat bahwa

“Actant a fundamental role at the level of narrative deep structure”.

“The term was introduced into narratology by Greimas, following the

linguist Tesniere, who has used it to designate a type of syntact unit. By

rewoking the role typologies proposed by Souriau and Propp, Greimas

arrived at an actantial model originally consisting of six actant: subject,

object, sender, recivier, helper, and opponent”.27

Aktan adalah sekelompok pelaku yang memiliki hubungan yang sama

dari segi tujuan yang menentukan tatanan riwayat. Asumsi dasar dalam model

aktan adalah bahwa tindakan manusia mengarah pada tujuan tertentu. Hal ini

kemudian digunakan untuk menyusun hubungan antara tokoh cerita dan

tindakannya.28

Aktan sebagai penggerak tindakan, dapat berwujud bukan

tokoh melainkan konsep abstrak, tokoh tidak bernyawa, senjata pustaka, dan

hal-hal lainnya. Terdiri dari subek, objek, pengirim, penerima, penentang, dan

pendukung.

25 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, op,cit., h. 128.

26

Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2012), h. 124.

27

Gerlad Prince, Dictionary of Narratology, (United States of America: University of

Nebraska Press, 2003) h. 1.

28 Irsyad Ridho, Kajian Cerita: Dari Roman ke Horor, op,cit., h. 89.

17

Berikut merupakan skema aktan Greimas:

Tabel. 1.1

1. Subjek dan Objek

Subjek dan objek adalah aktan utama dalam cerita karena pada aktan

inilah asumsi tentang hubungan antara tokoh dan tujuannya atau asumsi

tentang tindakan bertujuan dapat yang dilihat dengan jelas.

2. Pengirim dan Penerima

Menurut Bal, istilah pengirim (aslinya destinateur dalam bahasa

Prancis) diterjemahkan sebagai power (kuasa) karena aktan ini tidak selalu

diisi oleh tokoh tententu yang konkret, tetapi seringkali berwujud abstrak

yang memberi kemungkinan maupun ketidakmungkinan pada subjek

untuk mencapai tujuannya, seperti struktur masyarakat, ketentuan takdir,

obsesi, tekad, usia, kecerdasan, keegoisan, dan sebagainya, sedangkan

penerima sebagai aktan yang menerima objek yang dicarinya.

3. Pendukung dan Penentang

Aktan penolong dan penentang terkait dengan posisi aktan subjek.

Artinya, tokoh cerita akan ditentukan aktannya (apakah penolong atau

penentang) melalui hubungannya dengan proses pencapaian tujuan subjek.

Jika tokoh mempermudah atau membantu pencapaian, maka sebagai aktan

penolong. Begitupun sebaliknya, maka akan menjadi aktan penentang.29

Tanda panah dalam skema aktan menjadi unsur penting yang

menghubungan fungsi sintaksis naratif dari masing-masing aktan.

Hubungan pertama dan utama ialah hubungan antara pelaku yang

29 Ibid.,h. 90-92.

18

memperjuangan tujuannya. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai

hubungan antar aktan yang diarahkan oleh tanda panah:

1) Tanda panah dari pengirim mengarah ke objek artinya bahwa dari

pengirim ada keinginan untuk mendapatkan, menemukan, atau,

menginginkan objek.

2) Tanda panah dari objek ke penerima artinya bahwa sesuatu yang

menjadi objek yang dicari oleh subjek yang diinginkan oleh pengirim.

3) Tanda panah dari penolong ke subjek artinya penolong memberikan

bantuan dalam rangka menunaikan tugas yang dibebankan oleh

pengirim.

4) Tanda panah dari penentang ke subjek artinya bahwa penentang

mempunyai kedudukan sebagai yang menghalangi, mengganggu,

menolak, dan merusak usaha subjek.

5) Tanda panah dari subjek ke objek artinya bahwa subjek bertugas

menemukan objek yang dibebankan dari pengirim.30

Dapat disimpulkan bahwa aktan merupakan hubungan dalam

penceritaan antara tokoh dengan tindakannya. Melalui fungsi aktan dapat

tergambarkan mengenai tujuan yang diinginkan subjek serta hal yang

mendukung ataupun menantangnya. Penggambaran ini memperlihatkan

usaha-usaha yang dilakukan tokoh memperjuangan objek sehingga

maksud dalam cerita pun dapat diungkapkan secara lebih jelas.

D. Persepsi

Quinn dalam Sarlito menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses

kombinasi antara sensasi yang diterima oleh organ atau hasil dari

interpretasinya.31

Schacter dan Daniel mengungkapkan persepsi adalah proses

menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan

memberikan reaksi kepada rangsangan panca indra atau data.32

Melalui dua

pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi diartikan sebagai aktivitas

30 Jabrohim, Pasar dalam Perspektif Greimas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 14.

31 Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 86.

32

https://explorable.com/perception. Diunduh tanggal 20 Agustus 2019.

19

pikiran yang secara aktif dalam memberikan tanggapan, pandangan, atau

respons terhadap suatu objek atau tindakan.

Alan Saks dan Gary Johns mengatakan bahwa terdapat tiga komponen dari

persepsi:

1. Subjek (The perceiver)

Perceiver diartikan sebagai seseorang yang akan membentuk persepsi

berdasarkan objek yang dilihat atau dirasakannya. Proses ini bersifat

individual karena tidak terlepas dari motivasi, keadaan emosi, dan

pengalaman dari masing-masing subjek. Ketiga aspek ini dianggap hal

yang paling penting di antara beberapa aspek lain.33

a. Motivasi

Motif dan motivasi merupakan dua kata yang berhubungan, namun

memiliki arti berbeda. Motif bersifat pasif atau suatu dorongan yang

masih ada di dalam diri manusia sebelum tahap realisasi. Sedangkan

motivasi telah ditandai dengan munculnya perubahan afektif dan reaksi

untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 34

Alan Saks dan Gary John

mendefinisikan motivasi sebagai: “the extent the which persistent effort

is directed toward a goal”.35

Dapat disimpulkan bahwa motivasi

merupakan keinginan seseorang yang direalisasikan melalui perubahan

sikap untuk mencapai tujuan.

Dorongan dapat dipengaruhi oleh keadaan dari dalam diri

(intrinsik) atau rangsangan dari luar diri (ekstrinsik). Hal ini

memunculkan siklus melingkar yaitu dengan timbulnya motivasi, dapat

perilaku berubah untuk mencapai kebutuhan. Hal ini dapat memicu

konflik jika ada ketidaksesuaian antara motivasi dan kebutuhan yang

diinginkan. Terdapat tiga macam konflik motif yaitu:

33 Jagannaath K. Dange, “Perception, Passion, and Obsession: The Three Elements of Theory

of Success”, International Journal of Advanced Education and Research, Volume 1, 2016, h.2.

34

I Wayan Chandra, dkk, Psikologi Landasan Keilmuan Praktik Keperawatan Jiwa,

(Yogyakarta: Andi, 2017), h. 77.

35

Colonel Bernd Horn, The Military Leadership Handbook, (Canada: Dundurn Press and

Canadian Defence Academy: 2009), h. 415.

20

1) Approachh-approach conflic; ketika individu menghadapi dua

motif atau lebih yang mempunyai nilai positif. Situasi ini

mengharuskannya memilih salah satunya sehingga tetap

menimbulkan konflik.

2) Avoidance-avoidance conlifct; ketika individu menghadapi dua

motif atau lebih yang mempunyai nilai negatif. Ia tidak boleh

menolak semuanya, tetapi harus memilih salah satu sehingga

memunculkan konflik atas pilihannya.

3) Approach-avoidance conflict; kemunculan konflik akibat adanya

pilihan yang mengandung nilai positif dan negatif secara

bersamaan.

Dalam menghadapi berbagai macam motif-motif tersebut, ada

kemungkinan respons yang dapat diambil oleh individu, antara lain

memilih atau menolak, kompromi, atau bersikap ragu-ragu.36

b. Emosi

Emosi dikatakan sebagai keadaan kompleks yang biasanya

berlangsung dalam durasi yang singkat disertai dengan reaksi fisiologis

maupun psikologis.37

Keadaan ini dapat ditelaah melalui regulasi emosi

atau cara individu mengatur emosi yang dimiliki, kapan mereka

merasakannya atau bagaimana mereka mengekspresikan emosinya.

Terdapat dua strategi regulasi emosi:

1) Cognitive reappraisal adalah perubahan bentuk kognitif yang

melibatkan situasi ini emosi yang potensial sehingga mengubah

pengaruh emosional atau dapat diartikan sebagai kemampuan

meredam perasaan ketika emosi baru akan muncul.

2) Expressive reappraisal adalah bentuk pengungkapan respon yang

memperlambat perilaku mengekspresikan emosi yang sedang

36 I Wayan Chandara dkk, h. 86-88.

37

Ibid, h. 90.

21

dialami. Kondisi ini mampu mengurangi intensitas emosi ketika

sudah dalam keadaan emosional.38

c. Pengalaman

Pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami,

dijalani, maupun dirasakan yang kemudian disimpan dalam memori

seseorang. Akumulasi semua pengalaman setiap orang di sepanjang

hidup masuk ke dalam proses persepsi sehingga penilaian tentang

situasi sekarang tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman yang telah

terjadi sebelumnya.39

Pengalaman dibedakan menjadi dua macam; primer dan sekuender.

Pengalaman primer merupakan pengalaman yang dirasakan secara

langsung melalui panca indra, sedangkan pengalaman sekunder

merupakan pengalaman tidak langsung atau reflektif dari pengalaman

primer.40

2. Target (The Target)

Target diartikan sebagai objek dari persepsi yang dibentuk oleh

individu. Ambiguitas atau kurangnya informasi tentang objek akan

mengarah kepada kebutuhan yang lebih besar subjek dalam membuat

interpretasi. Karaktertistik objek yang diamati dapat memberikan pengaruh

atas apa yang akan dirasakan. Gerak, suara, ukuran, dan atribut-atribut lain

dapat mempengaruhi nilai persepsi. Penampilan fisik memiliki peran

paling besar dalam persepsi.41

3. Situasi (Situation)

Situasi diartikan sebagai interaksi antara individu (preceiver) dalam

memahami target. Kondisi ini juga mempengaruhi persepsi. Beberapa

situasi memberikan isyarat kuat pada perilaku seseorang, bahkan

seseorang mungkin beranggapan bahwa perlakunya dapat

38

Shinantya dan Julia, Perbedaan Regulasi Emosi Perempuan dan Laki-laki di Perguruan

Tinggi, Jurnal Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, 2017, h. 35.

39

M. Dimyati, Psikologi Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Andi, 2018), h. 50.

40

Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 32.

41

Getnet Eshetu, Factor Affecting Intructional Leaders Perception towards Educational Media

Utilization in Classroom Teaching, (Hamburg: Anchor Academic Publishing, 2015), h.55.

22

dipertanggungjawabkan oleh situasi. Hal ini seperti faktor dari lingkungan,

waktu, dan tingkat stimulasi.42

E. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Berdasarkan ketetapan kurikulum nasional bahwa pembelajaran sastra

terselenggara secara terintegrasi dengan pembelajaran bahasa. Keduanya

merupakan hal yang saling melengkapi. Melihat kurikulum bahasa dan sastra

di Indonesia disebutkan bahwa tujuan pembelajaran sastra di sekolah tak lain

adalah untuk mengembangkan kepribadian, wawasan, serta meningkatkan

pengetahuan dan kemampuan berbahasa.43

Pada hakikatnya pengajaran sastra dimaknai sebagai proses interaksi

antara guru dan murid mengenai sastra. Terjadi pengenalan, pemahaman,

penghayatan, penikmatan hingga siswa mampu menerapkan temuannya

dalam kehidupan nyata. Ketiga komponan sastra yakni puisi, prosa, dan

drama diaplikasikan dan disintesiskan melalui kegiatan menyimak, membaca,

menulis, dan berbicara.44

Secara terinci tujuan pengajaran sastra terbagi

menjadi dua bagian yaitu jangka pendek dan jangka panjang.

1. Tujuan jangka pendek: agar siswa mengenal cipta sastra dan menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengannya serta mampu memberi

tanggapan, menanyakan, menyelesaikan tugas, mengunjungi kegiatan

sastra, dan menyatakan ketertarikan dengan memilih kegiatan sastra di

antara kegiatan lain yang disediakan.

2. Tujuan jangka panjang: terbentuknya sikap positif terhadap sastra

dengan ciri siswa mempunyai apresiasi tinggi dan menerapkannya

dalam fase kehidupannya.45

Kenyataannya hingga kini adalah pembelajaran sastra dianggap masih

tidak menuai hasil yang diharapkan. Permasalahan pengajaran sastra sejak

dahulu tidak jauh berubah. Salah satunya dibuktikan oleh rendahnya tingkat

42 Ibid, h. 56.

43

Warisman, Pengantar Pembelajaran Sastra, (Malang: UB Press, 2017), h.1.

44

Mien Rukmini, Pengajaran Apresiasi Sastra, (Tangerang: Universitas Terbuka, 2007), h

1.8-1.9.

45

Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 30.

23

apresiasi para siswa. Ketidakberhasilan tersebut disinyalir memiliki beberapa

sebab antara lain seperti kurangnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam

bidang kesastraan, terbatasnya buku bacaan yang tersedia sebagai media

pembelajaran, dan rendahnya minat baca pada karya sastra.46

Sapardi D. Damono menyarankan agar apresiasi sastra dimulai membaca

karya sastra. Apresiasi berarti penghargaan berdasarkan penghayatan; tersirat

makana hubungan langsung antara pembaca dan karya sastra sebab apresiasi

tidak tercapai tanpa hubungan seperti itu. Semua itu dapat terwujud jika guru

mampu memberikan dorongan kepada siswa untuk mau mengenal sastra.

Memberikan pengertian bahwa sastra sebagai hal menyenangkan, bukan suatu

yang pelik.47

Permasalahan yang telah terjadi seharusnya menjadi perhatian para

penyusun kurikulum bahwa bahasa bukan sekedar medium komunikasi

melainkan terjadi pengayaan dan pengalaman dalam kehidupan melalui nilai-

nilai yang dihadirkan lewat pembelajaran sastra. Hal ini akan mampu menjadi

refleksi dalam bersikap atau melakukan sesuatu. Artinya, penguasaan bahasa

harus mencakup aspek kesusastraan sehingga tidak ada lagi angapan bahwa

sastra berada di luar mata pelajaran.48

F. Penelitian Relevan

Penelitian relevan bertujuan agar mencari kebaharuan dari segi subjek dan

objek sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Selain

itu, guna kepentingan pengembangan secara sistematik penulisan yang telah

dilakukan sebelumnya. Berdasarkan penelusuruan yang dilakukan oleh peneliti

melalui media daring terkait penelitian terhadap karya Hamsad Rangkuti,

hasilnya antara lain sebagai berikut:

Penelitian pertama, skripsi yang dilakukan oleh Oji Putra Triananda,

mahasiswa Universitas Negeri Padang tahun 2019 dengan judul Masalah-

46 Warisman, Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis, (Malang: UB Press, 2016),

h. 8.

47

Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah”, Susastra 5 Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya,

Volume 3 Nomor 5, 2007, h.7-5.

48

Fuad Hasan, Sastra Masuk Sekolah, (Magelang: Indonesia Tera, 2002) h.11.

24

masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Cemara Karya Hamsad Rangkuti.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ditemukannya masalah-masalah

sosial. Mulai dari bentuk-bentuk, penyebab terjadinya, dan dampak dari

masalah sosial. Hal ini tergambar dalam karakter tokoh dalam cerita yang

mengalami kesenjangan sosial dan perilaku meyimpang dalam kehidupan

bermasyarakat.49

Penelitian kedua, skripsi dengan judul Analisis Struktural dan Nilai Moral

Kumpulan Cerpen Bibir dalam Pispot Karya Hamsad Rangkuti. Penelitian ini

dilakukan oleh Ibnu Sina Palogai, mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas

Negeri Makassar tahun 2017. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa

struktur cerpen dibangun dengan teknik penceritaan yang mengandung nilai

moral, antara lain kejujuran, nilai-nilai otentik, bertanggung jawab, dan

kerendahan hati.50

Penelitian berikutnya bersumber dari jurnal Metasastra, Vol 3, No.1, Juni

2010 terdapat artikel dengan judul “Aroma Satire dalam Sampah Bulan

Desember Karya Hamsad Rangkuti” yang dilakukan oleh Erwan Juhara. Hasil

dari penelitian ini menggambarkan ciri khas gaya Hamsad Rangkuti dalam

bercerita, meliputi rasa simpati, humor, ketragisan, ironi, kritik, kengerian

bahkan harapan dan kerinduan terhadap berbagai sentuhan kehidupannya yang

selalu bergerak terombang-ambing oleh kegelisahan.51

Pemaparan penelitian di atas dianggap relevan karena memiliki persamaan

dari segi objek yaitu cerpen “Perhiasan” terdapat dalam Cemara, “Pispot” dari

Bibir dalam Pispot, dan “Perbuatan Sadis” dalam Sampah Bulan Desember.

Sejauh ini, belum pernah ada yang mengkaji karya-karya Hamsad Rangkuti

dengan membandingkan tiga cerpen secara bersamaan. Selain itu tidak ada

yang menyinggung topik pembicaraan mengenai perhiasan melalui pendekatan

naratologi A.J Greimas dan teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns.

49

Oji Putra Triananda, Skripsi: “Masalah-masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Cemara

Karya Hamsad Rangkuti”, (Padang: Universitas Negeri Padang, 2019).

50

Ibnu Sina Palogai, Skripsi: “Analisis Struktural dan Nilai Moral Kumpulan Cerpen Bibir

dalam Pispot Karya Hamsad Rangkuti”, (Makassar: Universitas Negeri Makassar, 2017).

51 Erwan Juhara, “Aroma Satire dalam Sampah Bulan Desember Karya Hamsad Rangkuti”,

Jurnal Metasastra, Volume 3, Nomor 1, Tahun 2010.

25

Atas alasan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai

persepsi perhiasan terkait kriminalitas dalam tiga cerpen Hamsad Rangkuti

serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

26

BAB III

BIOGRAFI DAN SINOPSIS

A. Biografi

Hamsad Rangkuti lahir 7 Mei 1943 di Titikuning, Medan, Sumatra Utara.

Anak keempat dari enam bersaudara ini sebenarnya bernama Hasyim

Muhammad Rangkuti. Hamsad adalah singkatan dari namanya sendiri “Ha”

(Hasyim), nama bapaknya “m”, “sa” (Muhamad Saleh Rangkuti), dan nama

ibunya “d” (Djamilah). Menurutnya, singkatan itu ditiru dari Buya Hamka

yang juga hasil merangkai kata. Di sisi lain, ia mulanya merasa malu jika

harus menyebutkan namanya sendiri.1

Orang tua Hamsad adalah wong cilik dalam arti sesungguhnya. Tidak

mempunyai tempat berteduh, kecuali menumpang di rumah saudara secara

berpindah-pindah. Hampir sepanjang hidupnya, ayahnya bekerja sebagai

penjaga malam pusat perbelanjaan dan pemikul air di pasar. Ibunya pemungut

ulat yang menempel di daun tembakau dan penjual buah-buahan di depan

bioskop. Dari penghasilan itulah keluarganya bertahan hidup dan Hamsad

telah terbiasa membantu pekerjaan kedua orangtuanya.2

Hamsad Rangkuti mengawali pendidikan di sekolah rakyat (SR) di

Kisaran, Sumatra Utara, tahun 1950-1955. Tahun 1955-1958 bersekolah di

SMP. Setelah tamat dari ikut pamannya ke Tanjung Balai, tahun 1961-1963

Hamsad mengenyam pendidikan di SMA bagian C hingga kelas II. Dia ikut

pamannya ke Medan dan kemudian menetap di sana. Tahun 1960-1961

bekerja di Kesatuan Staf Penguasa Perang Kodam II, Bukit Barisan sebagai

pegawai sipil. Selama tiga bulan bekerja di Kejaksaan Tentera Medan Kodam

II, Bukit Barisan sebagai pegawai sipil. Tahun 1961-1964 ia bertugas di

Inspeksi Kehakiman Daerah Militer II, Bukit Barisan, sebagai pegawai sipil.

1 Efix Mulyadi, “Sastra Bibir Hamsad Rangkuti”, Kompas, Sabtu, 22 April 2000, h. 012.

2 Maruli Tobing, “Pesona: Hamsad, dari Lorong Pasar di Kisaran”, Kompas, Minggu 21

Oktober 2007, h. 012.

27

Tahun 1964 bekerja sebagai korektor surat kabar harian Patriot, Medan

dan pengasuh ruang kebudayaan Budaya bersama-sama dengan Herman Ks,

kemudian menjadi wartawan surat kabar harian Sinar Masyarakat Medan dan

pengasuh ruang kebudayaan Menara. Hamsad ditunjuk sebagai utusan

Sumatra Utara untuk menghadiri Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia

I (KKPI) di Jakarta. Dia langsung "jatuh cinta" pada Jakarta. Menurutnya,

perkenalannya dengan beberapa pengarang ternama waktu itu menumbuhkan

dorongan yang kuat untuk tinggal di sana. Ketika kembali ke Medan, Hamsad

menderita sakit karena merasa rindu terhadap Jakarta. Tahun 1965 nekat

pindah ke ibu kota.3

Masa pertama tinggal di Jakarta, Hamsad ditampung oleh Zulharman

(ketua PWI pada waktu itu). Ia dipekerjakan di PT. Peredaran Film Indonesia

(Perfini) dan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) tahun 1966-1968.

Dari Zulharman pula, Hamsad banyak mendapat bimbingan dan bacaan.

Setelah enam bulan ikut di rumah Zulharman dan merasa tidak berbuat apa-

apa, ia pindah dan tinggal di Balai Budaya. Tahun 1969 Arief Budiman

mengajaknya bergabung dengan majalah Horison. Mula-mula ia bekerja

sebagai korektor, kemudian menjadi redaktur periode 1986-2002 dan

diangkat menjadi pengurus Dewan Kesenian Jakarta.4

Hamsad Rangkuti mulai mengalami penurunan kesehatan di tahun 2009.

Salah satu penyebabnya dikarenakan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok

mengambil tanah miliknya secara paksa untuk mendirikan tempat

pembuangan sampah yang berlokasi tidak jauh dari rumah Hamsad. Ia pun

sempat melawan meski pada akhirnya pembangunan tetap dilakukan, bahkan

tanpa adanya uang pengganti. Sejak saat itulah, Hamsad sering sakit-sakitan.

3 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia, Ensiklopedia Sastra Indonesia,

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Hamsad_Rangkuti

Diunduh 10 Februari 2019.

4 Ibid, http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Hamsad_Rangkuti

28

Rumah yang menjadi sumber inspirasi dan tempat ia menulis tak lagi

terasa hangat. Sampah menerbangkan aroma busuk hingga ke rumahnya.

Lingkungan yang tidak sehat menyebabkan keluarga tersebut dijangkiti

berbagai penyakit.5 Hamsad divonis menderita gangguan jantung,

penyumbatan pembuluh darah di otak, dan gangguan stroke. Pada

pertengahan tahun 2018, tepatnya 26 Agustus 2018, Hamsad meninggal

dunia di usia 75 tahun di rumahnya, di Jalan Swadaya 8, Gang Dahlia RT 003

RW 03, Kelurahan Depok, Beji, Kota Depok.6

B. Karya dan Penghargaan

Karya-karya Hamsad telah dimuat di berbagai surat kabar dan majalah di

dalam dan luar negeri. Cerpennya termuat dalam antalogi Derabat, cerpen

pilihan Kompas 1999, Antologi Cerpen Indonesia Jilid 2. Kumpulan

cerpennya yang telah terbit adalah Lukisan Perkawinan (1982), Sampah

Bulan Desember (2000), Bibir dalam Pispot (2003) dan Cemara (1982),

Panggilan Rasul (2010), serta novel berjudul Ketika Lampu Berwarna Merah

(1988).7

"Rencong" menjadi pokok pembicaraan esai Seno Gumira Ajidarma

ketika mengulas kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh.8

“Sukri Membawa Pisau Belati" dimuat dalam majalah Jerman Orientierungen

I/1999 dengan judul "Und Sukri Zog den Dolch". "Sampah Bulan Desember"

diterjemahkan dengan judul "December Garbage" dimuat dalam New Voices

in Southeast Asia Solidarity (1991), sedangkan "Senyum Seorang Jenderal

pada 17 Agustus" dan "Umur Panjang untuk Tuan Joyokroyo" dimuat dalam

Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia, Monash

5 Sulung Lahitani, “Tergolek Tak Berdaya, Sastrawan Hamsad Rangkuti Butuh Pertolongan”,

https://m.liputan6.com/citizen6/read/3066538/tergolek-tak-bedaya-sastrawan-hamsad-rangkuti-

butuh-pertolongan, diakses 12 Maret 2019.

6 Kisar Rajaguguk, “Sebelum Meninggal Hamsad Rangkuti Idap Sejumlah Penyakit”,

https://m.mediaindonesia.com/amp/amp_detail/1809794-sebelum-meninggal-hamsad-rangkuti-

idap-sejumlah-penyakit, diakses 12 Maret 2019.

7 Ensiklopedi Sastra Indoneisa, (Titian Ilmu: Bandung, 2007), h. 294.

8 Seno Gumira Ajidarma, “Rencong” dalam kumpulan cerpen Wanita Muda di Sebuah Hotel,

(Yogyakarta: Diva Press, 2016), h. 214.

29

Asia Institute. Beberapa cerpen Hamsad juga telah disinetronkan di tahun

1997, "Lukisan Perkawinan", "Dendang", "Salam Lebaran", dan

"Permintaan" (yang berubah judulnya menjadi "Ngidam").

Tahun 2000 Hamsad mendapat Penghargaan Sastra dari Pemda DKI

Jakarta atas novelnya Klamono, diterbitkan dalam rangka menyambut 100

tahun industri perminyakan Indonesia. Bercerita tentang buruh minyak di

tempat pengeboran dan eksplorasi, hasil produksi TV Sorong, Irian Jaya.

Sayangnya jejak mengenai novel ini sulit ditemukan karena tidak diterbitkan

secara luas untuk khalayak. Penghargaan lainnya yang telah diterima adalah

Khatulistiwa Literary Award di tahun 2003. Tahun 2008 mendapatkan

penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Bahasa dan diputuskan untuk

memperoleh SEA Write Award mewakili Indonesia.9

C. Perkembangan Pemikiran

1. Penulis Berbakat Alam

Perkenalan Hamsad dengan dunia fiksi dimulai dari kebiasaannya

membaca di kantor wedana sepulang sekolah. Tak lewat buku tetapi koran-

koran. Kisaran, kota masa kecilnya tidak terdapat perpustakaan dan ia pun

tidak memiliki biaya untuk membelinya, maka sumber bacaan hanya melalui

koran yang menempel di kantor wedana. Hamsad bertemu cerpen milik

Anton Chekov, Gorky, Hemingway, dan O Henry. Akibat bacaan tersebut, ia

tidak jarang mengalami “gangguan” yang menimbulkan rasa berkeinginan

untuk menulis.

Hamsad seorang pengelamun parah. Kebiasaannya memperhatikan

keadaan di sekitar, membuatnya tergugah untuk menuangkan ide-ide ke

dalam bentuk kisah. Berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan.

Cerpen pertamanya ditulis ketika berusia 16 tahun dengan judul “Sebuah

Nyayian di Rambung Tua”. Cerita muncul saat ia menyendiri di hutan

rambung dan melihat seorang buruh penderas menyadap getah dalam

9 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Loc.cit.

30

kesunyian. Naskah tersebut secara diam-diam dikirim oleh Umaruddin Yasin

ke redaksi Indonesia Baru dan ternyata dimuat di koran.10

Perpindahan Hamsad dari Kisaran ke Medan membuat lingkungan

pergaulannya berubah. Ia mulai mendekati seniman-seniman setempat yang

suka berkumpul untuk membicarakan karya sastra dari majalah pusat seperti

Konfortasi, Indonesia, Sastra, dan Mimbar Indonesia. Kehadirannya tidak

begitu dianggap dikarenakan ia belum memiliki karya „yang berarti‟. Baru

ketika cerpen “Waspada” diterbitkan, para seniman merasa kecolongan.

Mereka akhirnnya menghiraukan keberadaan Hamsad dan mau meminjamkan

buku serta majalah kepadanya.

Melalui cerpen “Panggilan Rasul” yang lolos di Warta Dunia. Gengsi

dirinya makin tinggi, bahkan Hamsad diikutsertakan oleh rombongan

pengarang Sumatera Utara ke Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh

Indonesia (KKPI) di Jakarta. Dia langsung jatuh cinta pada ibu kota.

Berkenalan dengan beberapa pengarang ternama dan timbul dorongan kuat

untuk tinggal di Jakarta. Ketika pernah tinggal di Balai Budaya, Hamsad suka

menguping pembicaraan tokoh-tokoh kebudayaan yang sedang berdiskusi,

antara lain Trisno Sumardjo, Zaini, Oesman Efendi, Nashar, dan Anas

Ma‟ruf. 11

Menetap di Jakarta sejak umur 18 tahun, Hamsad merasa tercerabut dari

akar tradisinya, Mandailing, Tapanuli Selatan. Jakarta telah membentuk

kepengarangannya sehingga cerpen-cerpennya tidak mengisahkan tentang

lingkungan tradisional melainkan masyarakat Indonesia yang baru, yang

bersentuhan dan kelihatan oleh mata kehidupannya. Ia merasa cukup kreatif

dalam keadaan itu. Semua pengalaman, penghayatan, informasi, dan ekspresi

10 Hamsad Rangkuti, “Dari Bakat Alam ke Teknik”, dalam Pamusuk Eneste (ed.), Proses

Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1, (Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia, 2009), h. 166.

11

Hamsad Rangkuti, Imajinasi Liar dan Kebohongan (Proses Lahirnya Sebuah Cerpen)”,

dalam Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu, (Yogyakarta: Diva

Press, 2016), h. 15-16.

31

yang didapatkan kemudian mengalami proses transformasi di dalam pikiran

dan hati sehingga menghasilkan gambaran (imaji) dan realitas baru.12

Sedari awal, Hamsad mengaku sebagai penulis berbakat alam. Beraliran

realistik dan memilih kecenderungan mengangkat kejadian nyata sebagai

bahan olahan, membuatnya merasa “selalu perlu berpergian” karena bagi

pengarang “konvensional”, tidak bisa berkarya sebatas di atas meja. Dengan

kata lain, mereka membutuhkan “petualangan” yang memicu gairah

keseniannya. Hamsad memantiknya dengan cara keluyuran di tempat kumuh,

pelacuran, dan kampung-kampung yang jauh. Meski jejak petualangannya

tidak dapat berlangsung lama dikarenakan rasa tanggungjawabnya terhadap

keluarga.13

Pada satu sisi, sumber cerita dapat habis bila hanya mengandalkan

pengalaman hidupnya. Hal ini akan memungkinkannya tidak terlalu produktif

karena lebih mengutamakan kematangan deep structure, kedalaman cerita,

bukan gaya berceritanya. Nyatanya memang Hamsad kerap bercerita nyaris

dengan datar-datar saja, bersahaja, tanpa permainan gaya bahasa indah atau

puitis. Tak ada khotbah moral, tak ada teriakan kritik sosial. Cerita justru

semakin menarik ketika membawa pembaca pada sikap jujur yang makin

langka.14

2. Penulis Teknik

Workshop kepenulisan skenario oleh Lembaga Pendidikan Kesenian

Jakarta agak mengubah pemikiran Hamsad. Pola bakat alam bergeser menjadi

unsur teknik. Menurutnya mengarang adalah persoalan berpikir. Mulai dari

menimbang-nimbang komposisi, menyeleksi informasi, membangun unsur

dramatik, dan memasukkan unsur keindahan. Menentukan teknik penyuguhan

menjadi bagian utama kemudian baru menciptakan mood untuk menentukan

12 Hamsad Rangkuti, Pengantar dalam Lukisan Perkawinan, (Yogyakarta: Matahari, 2004)., h.

xi-xii.

13

Efix Mulyadi, op.cit., h. 012.

14 Agus Noor, “Kesederhanaan Cerita yang (Tetap) Mempesona” dalam Maukah Kau

Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu, op,cit., h. 33.

32

rasa cerita. Ia mulai mampu mengarang dari nol, tidak ada ide. Misteri

penciptaan akan datang saat mencipta.15

Sapardi menyebut Hamsad seorang pengamat yang cermat.

Menggunakan berbagai teknik penulisan cerita dengan baik, terutama kejutan

pada pengulangan dan penutup cerita, menimbulkan suasana mencekam

sekaligus menggelikan. Dalam ketegangan, pembaca secara diam-diam dibuat

merasakan bahwa peristiwa itu lucu, meski tetap menyiratkan amanat. Segala

kenyataan, kebenaran, dan apa yang telah terjadi sungguh-sungguh tidak

terduga, kecuali kejutan-kejutan menyegarkan yang tetap terjaga di dalam

bingkai.16

Tengok saja karyanya antara lain dalam “Pispot” dan “Rumah Jamban”.

Kedunya membicarakan tentang kotoran manusia yang menjadi pokok

permasalahan di dalam cerita. Seno Gumira Ajidrama dalam esainya yang

berjudul Tinja dalam Sastra mengatakan Hamsad piawai mengubek-ubek

materi, bahkan penyair Adri Darmadji Woko berteriak, “Hamsad gila!”17

. Hal

ini membuktikan bahwa Hamsad membiarkan dunia khayalnya liar tetapi

tetap mendasar pada realitas dengan permainan teknik yang apik.

Sosok tokoh jalinan kisahan Hamsad Rangkuti jauh dari pretensi absurd

atau sureal sehingga pembaca merasa dekat dengan setiap kejadian dalam

karangannya. Mereka tidak terkesan diperalat sang empu cerita. Dengan kata

lain, tokohnya dalam plot terlihat leluasa mengekspresikan sikapnya. Cerita

dibuat dekat dan bernilai ironi maupun sarkasme. Hal ini mencirikan bacaan

yang dihadirkan bersifat reflektif, meresepsi pembaca.18

Hamsad memang tidak suka berakrobat kata-kata dalam kisahnya.

Baginya, pengarang sejati tidak mengutamakan style karena style adalah hasil

15 Hamsad Rangkuti, “Dari Bakat Alam ke Teknik”, dalam Pamusuk Eneste (ed.), Proses

Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1, op.cit, h. 169.

16 Sapardi, “Hamsad Mendongeng”, dalam Wanita Muda di Sebuah Hotel, op.cit., h. 16-17.

17

Seno Gumira Ajidarma, “Tinja dalam Sastra”, Kompas, Minggu,13 Mei 2001, h. 018.

18

Satmoko Budi Sasonto, “Cerita Pendek, Keberjamakan, Reruntuhan Menara Gading,

Kompas, Minggu, 8 Juni 2003, h. 018.

33

pergulatan dengan hidup. Hamsad berpendapat bahwa “sastra = kebohongan”.

Meskipun banyak bagian dalam sastra berakar atau mengacu pada kenyataan,

sastra adalah fiksi alias kebohongan. Kebohongan kreatif, kebohongan indah

untuk mengajak pembaca melihat kenyataan lebih baik lagi.19

D. Sinopsis

1. Cerpen “Perbuatan Sadis”

Cerpen “Perbuatan Sadis” menceritakan tentang tokoh aku dan seorang

wanita muda yang mengalami penodongan ketika menunggu bus di halte.

Saat mengetahui kalung wanita muda ternyata sebatas imitasi, penodong

memaksa korbannya untuk menelan kalung. Mereka merasa telah ditipu

dan dipermainkan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh wanita muda

kecuali menuruti perintah penodong.

2. Cerpen “Perhiasan”

Cerpen “Perhiasan” menceritakan tentang seorang wanita muda yang

menyerahkan kalung seberat 45 gram kepada penodong yang datang

menghampiri. Hal ini dilandasi ketidaksadarannya atas apa yang

dikenakan. Kebiasaan memakai perhiasan asli dan imitasi secara

bergantian membuatnya menjadi ceroboh. Setelah beberapa saat, wanita

muda baru mengingat bahwa kalung yang diberikan adalah perhiasan asli.

3. Cerpen “Pispot”

Cerpen “Pispot” menceritakan tentang lelaki penjambret yang dibawa

ke kantor polisi karena menelan kalung hasil rampasannya. Tidak ada

pengakuan membuat polisi memaksa tersangka untuk mengeluarkan isi

perutnya dan kemudian ditampung dalam pispot. Kalung tidak ditemukan

sehingga tersangka dibebaskan dari tuduhan. Ternyata kalung itu telah tiga

kali keluar dari perut dan ditelannya secara berulang. Perbuatan ini

dilakukan oleh lelaki penjambret karena membutuhkan biaya berobat

untuk anaknya.

19 Hamsad Rangkuti, “Wacana: Akrobat Kata-kata, Kebohongan, dan F. Rahardi”, Kompas,

Minggu, 24 Agustus 2008, h. 018.

34

BAB IV

HASIL ANALISIS

A. Analisis Unsur Intrinsik

1. Tema

Tema dalam cerpen “Perbuatan Sadis” menunjukkan kompleksitas

hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam hal ini permasalahan

diperlihatkan melalui medium perhiasan khususnya kalung. Seorang

wanita muda secara sengaja memakai kalung di tempat umum, seakan

memancing orang lain untuk memerhatikan dirinya, menjadikannya ingin

bermain-main dengan bahaya tanpa memikirkan konsekuensi. Keberanian

wanita muda disebabkan apa yang digunakan adalah hanya barang tiruan.

Terlihat dalam kutipan berikut:

“Anda mengenakan kalung imitasi?” Untuk apa?” tanyaku.

“Hanya untuk fantasi saja.”1

Karakterisasi tokoh wanita muda yang senang berfantasi menjadi

landasan dari tindakan yang dilakukan, seolah ingin menertawakan nasib

buruknya dan mengejek ketidaktahuan orang lain atas kalung yang

dikenakan. Ilusi yang diciptakan memunculkan masalah yaitu datangnya

dua penodong dengan membawa pisau belati. Mengetahui benda tersebut

imitasi, mereka secara tega memaksa wanita muda untuk menelan

kalungnya. Tidak ada upaya yang bisa dilakukannya kecuali menuruti

perintah penodong. Terbukti dalam kutipan di bawah ini:

“Makan! Telan kalung imitasimu ini. Kau telah permainkan kami

dengan kepalsuan. Sekarang kau harus menelan kepalsuan ini! Ayo

telan!”2

Berdasarkan pemaparan di atas, tema dalam cerpen ini adalah

kepalsuan yang menimbulkan petaka. Kalung imitasi yang dikenakan

wanita muda menempatkan dirinya dalam situasi tindakan kejahatan

1 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis” dalam Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah,

(Yogyakarta: Senja, 2016), h. 24.

2 Ibid, h.25.

35

berupa penodongan. Tokoh aku yang tidak memiliki sangkut-paut

dengannya pun menjadi ikut terlibat. Meski begitu, wanita muda harus

menanggung risiko seorang diri, dipaksa menelan kalung dengan tanpa

perlawanan dan tanpa mendapat bantuan dari siapapun.

Sesuai dengan judulnya, cerpen “Perhiasan” juga menampilkan

masalah disebabkan oleh pemakaian perhiasan. Tema tergambar dari

perilaku wanita muda yang kerap mengenakan kalung agar mendapat

pujian dari orang di sekitarnya. Hal ini mengundang datangnya dua

penodong yang ingin merampas kalung tersebut ketika mereka berada di

halte bus. Menariknya adalah tidak ada adegan pemaksaan, wanita muda

menyerahkan secara sukarela. Sikap ini dipengaruhi anggapan bahwa

kalung yang diberikan kepada penodong hanya imitasi. Terlihat dari

kutipan berikut:

“Tidak usah ditodong begitu. Ambil kalung ini. Aku hanya

mengenakan kalung imitasi. Begitu yang ku lakukan setiap aku

berpergian. Ambilah. Kalung ini imitasi.”3

Wanita muda mempunyai dua kalung dengan berat yang sama, namun

dari jenis berbeda; asli dan imtasi seberat 45 gram, keduanya digunakan

secara bergantian. Apa yang diberikannya kepada penodong adalah kalung

asli. Ia tidak menyadarinya dan malah menduga para penodong keliru.

Nyatanya mereka seorang yang telah terlatih, mampu membedakan

berbagai perhiasan meskipun hanya sepintas melihatnya. Wanita muda

memang lupa menukar dan kalung jenis imitasi berada di dalam tas.

Terlihat dari kutipan berikut:

“Lihatlah! Saya memang lupa menukarnya! Ada dua kalung yang

sama seperti ini, yang asli dan yang palsu!” Dia mulai menangis.4

Berdasarkan pemaparan di atas, tema dalam cerpen ini adalah sikap

pamer yang berujung penyesalan. Kebiasannya memakai kalung asli dan

imitasi secara bergantian, tidak menghindarkan wanita muda dari

3 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan” dalam Cemara, (Yogyakarta: Diva Press, 2016), h.76.

4 Ibid, h.83.

36

kelalaian. Peringatan dari orang lain tidak didengarkan karena merasa

paling mengenali apa yang dimilikinya. Atas kesombongannya, wanita

muda harus kehilangan benda yang selalu dibanggakan. Tidak ada yang

dapat dilakukannya kecuali menangis dan meratapi keadaaan karena

perilakunya.

Selanjutnya tema dalam cerpen “Pispot” tergambar dari tindakan

lelaki penjambret dan hubungannya dengan tokoh lain yang terlibat

permasalahan dengan dirinya. Ia merampas dan menelan kalung milik

seorang wanita muda dikarenakan membutuhkan biaya untuk anaknya

yang sedang sakit. Hal ini mengakibatkan lelaki penjambret digiring ke

kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Polisi

memaksa tersangka mengeluarkan isi perutnya agar ditemukan kalung

sebagai barang bukti. Terlihat dari kutipan berikut:

“Kupas pepaya itu! Dan, suruh dia makan!”

“Mana yang lebih dahulu Komandan? Obat pencahar ini atau

pepaya?”

“Serentak juga tidak apa-apa! Yang penting tampung begitu dia ke

jamban.”5

Ironinya adalah untuk menyelamatkan nyawa orang lain, lelaki

penjambret hampir kehilangan nyawanya sendiri. Ia harus mengalami

beragam siksaan seperti dihakimi massa serta tekanan fisik dan verbal dari

polisi. Aksi dan reaksinya terhadap situasi memperlihatkan bahwa

pergulatan dirinya berhubungan erat dengan tokoh-tokoh lain di dalam

penceritaan. Tindakannya tidak terlepas dari latar sosial yang berasal dari

keluarga miskin sehingga sikapnya cenderung spontan dan tanpa pola

pikir. Terlihat dalam kutipan berikut:

Dia kembali menunduk. “Saya bukanlah penjambret. Tetapi, saya

telah melakukannya.” Tiga kali kalung itu keluar ke dalam pispot.

Begitu keluar aku langsung menelannya.6

5 Hamsad Rangkuti, “Pispot” dalam Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku

dengan Bibirmu?, (Yogyakarta: Diva Press, 2016), h. 55.

6 Ibid, h. 55.

37

Berdasarkan pemaparan di atas, tema cerpen ini adalah kenekatan

dalam menghadapi kemelaratan. Perekonomian yang melingkunginya

membuat lelaki lelaki penjambret bertindak berani dengan mengambil

paksa kemudian menelan kalung milik wanita muda secara berulang. Rasa

tanggungjawab sebagai kepala keluarga membuatnya terpaksa melakukan

apapun agar mendapatkan biaya. Nasibnya termasuk masih beruntung

karena karena kalung tetap dipertahankannya tanpa masuk penjara.

2. Tokoh dan Penokohan

Tokoh dikatakan pelaku yang terlibat dalam peristiwa, sedangkan cara

pengarang menampilkan tokoh disebut penokohan. Keduanya menjadi

penting dikarenakan menempati posisi yang strategis sebagai pembawa

pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Berikut tokoh

dan penokohan dalam cerpen “Perbuatan Sadis”.

a. Tokoh aku

Tokoh aku merupakan saksi sekaligus korban insiden penodongan

kalung milik seorang wanita ketika menunggu bus di halte. Tidak ada

penyebutan nama atau panggilan bagi dirinya, konsisten menggunakan

kata ganti „aku‟. Begitupun dengan ciri fisiknya, minim informasi.

Pembaca hanya mengetauhi bahwa dirinya laki-laki, entah muda atau

sudah tua. Dugaan bahwa tokoh aku berasal dari kalangan menengah

bawah dibuktikan dari dengan pemilihan bus sebagai moda transportasi.

Penggunaan latar mendukung penggambaran ciri sosialnya. Terlihat

dari kutipan berikut:

Waktu itu hari libur umum. Kota sepi. Hanya aku dan seorang

wanita muda yang menunggu datangnya kendaraan umum di halte

bus.7

Berdasarkan fungsi penampilan, tokoh aku termasuk ke dalam

tokoh protagonis. Ia seorang sopan dan pengingat yang baik, peka

memerhatikan situasi di sekitar. Terbukti dari beragam hal terekam

dalam memorinya, namun masih mampu menyebutkan segala laku dan

7 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h.23.

38

kejadian. Sebagian besar cerita yang diketahuinya berkaitan dengan

kejahatan atau kekejaman. Hal ini membentuk psikis tokoh aku sebagai

seorang yang penakut. Terlihat dari tindakannya ketika mengalami

penodongan dengan wanita muda, hanya diam dengan tidak bertindak

apapun. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Sekarang baiklah kuceritakan kepadamu bagaimana tindak

kejahatan yang menurutku tergolong sadis yang pernah terjadi di

depan mataku tanpa aku bisa berbuat apa-apa”8

Jika dilihat dari peran perkembangan plot, tokoh aku termasuk ke

dalam kategori tokoh utama. Ia menjadi pelaku yang terlibat dari awal

hingga akhir cerita dan sudut pandang penceritaan berasal darinya.

Kapasitas sebagai narator seakan menguntungkan dirinya. Hal ini

disebabkan tokoh aku dapat membuat pembelaan ketika tidak berani

melawan menghadapi penodong. Menurutnya siapa pun akan

melakukan hal yang serupa jika berada di posisi seperti dirinya.

b. Wanita muda

Wanita muda merupakan korban perampasan dan penelanan kalung

yang dilakukan oleh dua penodong dengan membawa pisau belati. Ia

termasuk tokoh utama lainnya karena terlibat konflik bersama tokoh

aku, namun dengan intensitas berbeda. Ia lebih banyak memberikan

pengaruh terhadap perkembangan plot secara keseluruhan. Sedangkan

tokoh aku hanya sebagai pengamat atau pihak yang menceritakan atas

apa yang dialami oleh wanita muda.

Tidak ada penyebutan nama baginya membuat pembaca dapat

membayangkan siapapun secara bebas. Ia hanya memiliki sebutan

“wanita muda” dan penggambaran rentang muda pun tidak diutarakan

secara terperinci. Informasi fisiknya sebatas “muda“ dan memiliki kulit

putih. Hal ini semacam generalisasi citra wanita yang senang memakai

perhiasan. Terlihat dalam kutipan berikut:

8 Ibid, h. 20.

39

“Kalung emas itu tampak dengan jelas lekat pada kulit dadanya

yang putih. Dia seolah tampak ingin menyombongkan perhiasan

itu”.9

Berdasarkan fungsi penampilan, wanita muda termasuk tokoh

protagonis. Sikapnya berani dan penuh dengan fantasi. Hal tersebut

dibuktikannya melalui pemakaian kalung imitasi di tempat umum. Ada

perasaan senang ketika meilihat orang lain tertipu atas apa yang

dikenakannya. Kalung pun implementasi dari keadaan sosial wanita

muda. Benda imitasi mengindikasikan bahwa ia berasal dari kalangan

ekonomi rendah. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Sesekali kita harus mengejek kemiskinan itu! Tidak ada bahaya

kalau kita tidak mengadakan perlawanan. Anda lihat sendiri, seolah

saya menyerahkan begitu saja kalung imitasi itu. Saya tidak

memekik. Saya di dalam hati mengetawai mereka!”10

Segala keberanian wanita muda hilang saat menghadapi pisau

belati milik penodong. Terbukti dengan tidak adanya perlawanan saat

penodong datang bahkan ketika memaksanya untuk menelan kalung.

Tangisan menjadi bukti bahwa ia tetap merupakan wanita yang lemah

dan takut dengan ancaman. Keberanian dalam dirinya termasuk ke

dalam fantasi yang diciptakannya sendiri.

c. Penodong

Dalam penceritaan terdapat dua penodong yang melakukan

perampasan dan melakukan penelanan kalung kepada wanita muda.

Keduanya tidak memiliki ciri khusus yang membedakan sehingga jati

diri mereka serupa, hanya ada bukti fisik mencirikan mereka laki-laki.

Pembentukan ciri psikis lebih dimunculkan melalui pisau belati yang

menimbulkan efek kejam dan mengerikan. Berdasarkan fungsi

penampilan tokoh, penodong termasuk tokoh antagonis. Terbukti saat

mengetahui korbannya mengenakan kalung imitasi, mereka tidak segan

untuk berbuat hal tidak manusiawi. Terlihat dari kutipan berikut:

9 Ibid, h. 23.

10

Ibid, h. 24.

40

“Makan! Telan kalung imitasimu ini. Kau telah permainkan kami

dengan kepalsuan. Sekarang kau harus menelan kepalsuan ini! Ayo

telan!”

Ujung pisau belati telah masuk ke kulit leher wanita muda itu.11

Tindakan yang dilakukan penodong mendukung penggambaran ciri

sosialnya. Kemiskinan membuat mereka harus merampas harta milik

orang lain. Berdasarkan peran tokoh dalam perkembangan plot,

penodong termasuk kategori tokoh tambahan. Kehadirannya karena

memiliki keterkaitan dengan tokoh aku dan wanita muda.

Selanjutnya cerpen kedua berjudul “Perhiasan” menampilkan tokoh dan

penokohan sebagai berikut:

a. Tokoh aku

Tokoh aku merupakan seorang yang terlibat peristiwa penodongan

ketika menunggu bus di halte. Secara fisiologis sebatas keterangan

dirinya sebatas gender. Ia orang yang senang berasumi atas apa yang

dilihatnya secara langsung. Dugaannya terkadang bersifat negatif. Hal

tersebut tidak terlepas dari latar belakang sosialnya, tergambar melalui

tuturannya bahwa ia berasal dari kalangan menengah yang lekat dengan

kejadian-kejadian buruk. Terlihat dari kutipan berikut:

Selalu banyak kejadian tampak di depan mata. Terkadang saya

sendiri jadi korban. Sebab pencopet-pencopet atau pendong-

penodong itu satu kelas dengan saya, sama-sama menumpang bus

kota.12

Dilihat dari perkembangan plot, tokoh aku termasuk tokoh utama

karena menjadi pencerita dan terlibat dalam narasi dari awal hingga

akhir. Ia saksi sekaligus korban dari peristiwa penodongan. Sebelum

insiden tersebut, ia cukup tercengang melihat kalung milik wanita muda

karena berukuran besar. Meski begitu, obrolan tetap terjadi di antara

mereka dan tanpa menyinggung perhiasan. Menandakan tokoh aku

berperilaku yang sopan dan bijak.

11 Ibid, h. 25.

12

Hamsad Rangkuti , “Perhiasan”, h. 75.

41

Ada sedikit basa-basi di antara kami. Saya tidak mau menakut-

nakuti dia dengan menceritakan pengalaman yang saya pernah lihat

beberapa waktu lalu. Tetapi, apa yang pernah saya lihat beberapa

waktu lalu itu terjadi persis sama pula pada saat sekarang ini: dua

orang lelaki datang dari dalam gang menodongkan pisau belati.13

Berdasarkan fungsi penampilan, tokoh aku bersifat protagonis.

Sikapnya tenang dan tetap mencoba meyakinkan wanita muda

mengenai keaslian kalung yang diberikan kepada penodong. Walau

kenyataannya apa yang diambil penodong memang kalung asli seberat

45 gram. Ia menghormati keadaan wanita muda dengan tidak menakut-

nakutinya.

a. Wanita muda

Wanita muda merupakan seorang istri yang selalu memakai

perhiasan asli atau imitasi di manapun ia berada. Secara sosiologis, ia

berasal dari keluarga berkecukupan. Terlihat dari penggunaan taksi

sebagai pilihannya saat menunggu kendaraan umum di halte. Didukung

oleh kepemilikan kalung 45 gram dan kebiasaannya mengadakan

kegiatan arisan di lingkungan keluarga dan tetangga. Terlihat dari

kutipan berikut:

“Malu rasanya kalau tidak mengenakan perhiasan,” dia berkata

dengan senyum kepada saya. Saya mengenakan kalung emas murni

bila perlu saja. Misalnya, kalau menghadiri arisan keluarga atau

menghadiri di lingkungan tetangga.14

Latar sosial membentuk penokohannya, senang dipuji melalui

kalung yang dikenakan. Berdasarkan kategori tokoh, wanita muda

termasuk tokoh protagonis. Sikap yang dilakukan untuk menjaga

martabat suaminya, namun ia bertindak teledor karena memberikan

kalung secara sukarela saat penodong menghampiri. Wanita muda tidak

menyadari apa yang diberikan adalah perhiasan asli. Terlihat dari

kutipan berikut:

13 Ibid,

14

Ibid, h. 78.

42

“.....Ya Allah. Saya tidak menukarnya waktu hendak pergi. Saya

tidak menukarnya.” Dia mulai menangis. Keringat mengucur

membasahi wajahnya.15

Berdasarkan perkembangan plot, wanita muda termasuk tokoh

utama. Cerita dari awal hingga akhir mengisahkan peristiwa yang

dialaminya yaitu penodongan kalung yang ia pakai serta mengenai

alasan pemakaian kalung bagi dirinya. Kadar intensitasnya pun berbeda

dibandingkan tokoh aku karena lebih banyak mengungkap apa yang

dirasa dan dipikirkan oleh wanita muda.

b. Penodong

Sejalan dengan cerpen sebelumnya, dalam cerpen “Perhiasan” juga

menampilkan dua orang penodong dengan ciri sulit dibedakan satu

sama lain. Secara fisologis, keduanya laki-laki. Dibandingkan ciri fisik,

psikis dan sosial lebih ditonjolkan di dalam penceritaan. Berdasarkan

fungsi penampilan tokoh, penodong termasuk tokoh antagonis. Mereka

mengambil kalung milik wanita muda dan melakukan ancaman melalui

senjata. Terlihat dari kutipan berikut:

Dua orang lelaki datang dari dalam gang menodongkan pisau

belati.16

Perkerjaan yang dijalani penodong mencirikan kelas sosialnya,

penuh kemelaratan. Meski begitu dilihat dari cara berbicaranya sopan

dan diplomatis, membuktikan sebagai seorang yang telah menghadapi

berbagai macam korban. Mereka mampu membedakan asli dan imitasi

dalam waktu singkat bahkan melihatnya dari kejauhan. Terlihat dari

kutipan berikut:

“Nyonya jangan mencoba ingin mengecohkan perhatian kami.

Kami tidak bisa tertipu. Kami penodong yang terlatih. Kami bisa

menandai asli ataupun palsu perhiasan yang dikenakan korban-

korban kami. Walau dari jarak sepuluh meter kami tahu kalau

Nyonya mengenakan emas murni.17

15 Ibid, h. 81.

16

Ibid, h. 75.

17

Ibid, h. 76.

43

Berdasarkan perkembangan alur, penodong termasuk dalam tokoh

tambahan.Muncul hanya dalam satu peristiwa yaitu ketika menghampiri

wanita muda untuk meminta kalung dan pergi setelah mendapatkannya.

Walaupun begitu, tindakan yang dilakukan oleh penodong sebagai

pengubah jalannya cerita.

Cerpen ketiga berjudul “Pispot” dengan tokoh dan penokohan sebagai

berikut:

a. Tokoh aku

Tokoh aku merupakan saksi penjambretan kalung milik wanita

muda. Ia memiliki panggilan „Bapak‟ dan penggilan ini menjadi satu-

satunya bukti dari ciri fisik yang menandakan bahwa seorang laki-laki.

Panggilan tersebut digunkan sebagai tanda menghormati, ciri bahwa

usianya terpaut lebih tua dibandingkan lawan bicaranya yaitu lelaki

penjambret. Berdasarkan perkembangan alur, tokoh aku termasuk ke

dalam tokoh utama karena terlibat dari awal hingga akhir peneritaan.

Selain itu didukung oleh perannya sebagai narator sehingga kisah

berasal melalui sudut pandang dirinya. Terlihat dari kutipan berikut:

“Saya lihat! Dia masukkan kalung itu dan dia telan!”

Aku menambahkan kata “kalung” pada kesaksianku. Padahal, aku

tidak melihat benda apa yang dimasukkan ke dalam mulutnya.

Sekarang sudah terlanjur!18

Berdasarkan fungsi penampilan, tokoh aku bersifat protagonis. Ia

merasa bersalah karena membuat kesaksian tanpa dasar dan iba melihat

lelaki penjambret mengalami penyiksaan. Permintaan maaf juga

menjadi bukti bahwa tokoh aku seorang yang baik. Ia pun

mengantarkan tersangka pulang bahkan memberinya uang. Terlihat dari

kutipan berikut:

Karena merasa berdosa, aku menolong lelaki itu meninggalkan

kantor polisi. Aku memapahnya naik ke atas taksi. Aku terus-

menerus meminta maaf di sepanjang perjalanan. Aku raba uang di

18 ..... “Pispot”, h. 54.

44

sakuku. Aku beri dia uang untuk menebus rasa berdosa pada diriku.

Lelaki itu berlinang air matanya.19

Dari kutipan di atas juga tersirat tokoh aku berasal dari orang

berkecukupan. Terlihat dari penggunaan taksi dan pemberian uang

sepuluh ribu. Ironinya, kesaksiannya tidak keliru dan lelaki itu memang

menelan kalung hasil rampasannya. Namun tokoh aku tidak

mendendam dan tidak mau mengungkitnya. Terlebih ketika mengetahui

alasan penjambretan dikarenakan membutuhkan biaya.

b. Lelaki penjambret

Sejak awal penceritaan tokoh ini memiliki penyebutan „lelaki

tersangka penjambretan‟ karena mengambil kemudian menelan kalung

milik wanita muda ketika berada di keramaian pasar. Lelaki penjambret

tidak memiliki ciri fisik secara spesifik, hanya kata „muda‟ yang

mengidentifikasi bahwa umurnya terpaut jauh dengan tokoh aku. Meski

begitu, ia merupakan seorang kepala keluarga karena telah memiliki

istri dan anak.

Berdasarkan fungsi penggambaran, lelaki penjambret termasuk

tokoh protagonis. Alasannya melakukan tindak kejahatan adalah untuk

membiayai anaknya yang sedang sakit. Ia memiliki kasih sayang besar

terhadap keluarga meskipun terpaksa ditunjukkan dengan cara yang

salah. Tindakannya tergolong nekat dan spontan karena telah menelan

kalung secara berulang. Terlihat dari kutipan berikut:

“Bapak adalah saksi itu! Bapak orang baik. Saya harus

mengatakannya!” Dia kembali menunduk. “Saya bukanlah

penjambret, tetapi saya telah melakukannya. Tiga kalung itu keluar

ke dalam pispot. Begitu keluar, aku langsung menelannya.”20

Secara psikis, tokoh lelaki ini termasuk seorang kuat pendirian. Ia

hanya diam dan lebih memilih mengalami siksaan sebagai upaya

mempertahankan kalung agar tetap menjadi miliknya. Hal ini dilandasi

oleh ketidakmampuannya mendapatkan uang karena berada dalam

19 Ibid, h. 61.

20

Ibid, h. 62.

45

kondisi melarat. Ciri sosialnya pun hadir melalui kotoran pada pispot.

Terlihat dari kutipan berikut:

“Belum juga. Masih sisa-sisa tempe. Ada seperti benang. Kukira ini

sumbu singkong rebus!”21

Melalui keterangan “tempe” dan “singkong rebus” mendukung

penggambaran latar sosialnya. Kedua makanan tersebut lekat oleh

kalangan bawah. Selain itu, dibuktikan dengan letak rumahnya yang

berada di dalam gang. Seperti dua cerpen sebelumnya, gang menjadi

tempat keluar masuknya pelaku kriminalitas. Lelaki penjambret terlibat

dari awal hingga akhir penceritaan. Hal tersebut membuatnya termasuk

ke dalam tokoh utama.

c. Polisi

Tokoh polisi berstatus sebagai kepala pemeriksa dan memiliki

panggilan komandan. Tidak ada pencirian fisiologis selain gender

seorang laki-laki. Aspek sosial dan psikisnya lebih ditonjolkan, jabatan

yang diduduki mendukung penokohannya menjadi orang yang keras

hati dan tidak memiliki rasa tega. Ia memaksa lelaki penjambret

mengakui perbuatannya melalui berbagai tekanan fisik dan verbal.

Terlihat dalam kutipan berikut:

Ambil obat pencahar! Pisang dan pepaya. Suruh dia mencret seperti

burung. Lalu tampung kotorannya!22

Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, polisi termasuk tokoh

antagonis. Polisi selalu merasa sebagai pihak yang tidak pernah salah.

Ketika barang bukti tidak ditemukan dan korban mencabut tunduhan,

semua pihak meminta maaf kepada penjambret kecuali polisi. Padahal

ia melakukan beragam siksaan terhadap tersangka. Terbukti dari

kutipan berikut:

Wanita muda itu minta maaf kepadanya. Aku juga minta maaf

kepadanya. Polisi juga memaafkannya. Dia bebas!23

21 Ibid, h. 60.

22

Ibid, h. 55.

23

Ibid, h. 60.

46

Sebagian besar latar tempat dalam penceritaan berada di kantor

polisi, namun jika dilihat dari perkembangan plot, polisi termasuk tokoh

tambahan karena tidak terlibat hingga akhir penceritaan atau hanya

untuk mencari kalung wanita muda. Setelah kalung tidak ditemukan,

tokoh polisi tidak lagi dimunculkan

d. Wanita muda

Wanita muda merupakan pemilik kalung yang telah dijambret oleh

seorang lelaki ketika berada di pasar. Berdasarkan penggambaran alur,

ia termasuk tokoh tambahan. Hal ini dilandasi oleh minimnya lakuan

dan tidak ada tokoh lainnya yang mencoba mendeskripsikan wanita

muda. Porsi penceritaannya relatif sangat pendek, hanya memberikan

kesaksian terkait kalung. Terlihat dari kutipan berikut:

“Berapa gram? Tanyanya ke wanita korban penjambretan itu.

“Lima belas gram!” jawab wanita itu.24

Secara tersirat dapat diasumsikan bahwa wanita muda berasal dari

keluarga menengah. Hal ini terlihat dari pemakaian kalung seberat lima

belas gram dan kepemilikan telepon oleh suaminya. Sedangkan

berdasarkan fungsi penampilan, wanita muda termasuk tokoh

protagonis. Ia mengikuti prosedur kepolisian tanpa protes. Selain itu ia

juga memiliki sikap penurut karena mematuhi perintah suaminya agar

mencabut tunduhan dan mau meminta maaf kepada lelaki penjambret.

Terbukti dalam kutipan berikut:

Tuduhan terhadap dirinya dicabut! Wanita muda itu minta maaf

kepadanya. Aku juga minta maaf kepadanya. Polisi juga

memaafkannya. Dia bebas!25

Dari kutipan di atas juga terlihat bahwa wanita muda pergi tanpa

membawa kalungnya. Meskipun telah menjadi korban malah

memimbulkan rasa bersalah di dalam dirinya. Sampai akhir

24 Ibid, h. 54.

25

Ibid, h. 60.

47

penceritaan, ia tidak mengetahui bahwa lelaki penjambret memang

telah mengambil dan menelan kalungnya secara berulang.

Berdasarkan pemaparan dari ketiga cerpen secara keseluruhan

bahwa para tokoh tidak memiliki nama secara khusus, penyebutan

panggilan hanya melalui gender ataupun profesi. Selain itu dikarenakan

hanya menceritakan satu permasalahan yaitu perkara penodongan dan

penjambretan mengakibatkan semua tokoh bersifat statis atau tidak

mengalami perubahan perwatakan secara signifikan. Hal ini tidak

terlepas dari pengarang yang hanya menampilkan satu kualitas pribadi

tertentu.

3. Latar

a. Latar Tempat

Cerpen “Perbuatan Sadis” dan “Perhiasan” memiliki kesamaan

dengan menggunakan situasi perkotaan sebagai latar tempat sebagai

laku kejadian dari peristiwa penodongan perhiasan milik seorang

wanita muda. Hal ini tampak melalui penggambaran halte bus dan

gang. Penggabungan ini dilakukan karena tidak ada signifikasi yang

membedakan dalam kedua cerpen.

1) Halte bus

Terlihat dalam kutipan berikut:

Kutipan dalam cerpen “Perbuatan Sadis”:

Waktu itu hari libur umum. Kota sepi. Hanya aku dan seorang

wanita muda yang menunggu datangnya kendaraan umum di

halte bus.26

Kutipan dalam cerpen “Perhiasan”:

Tetapi, saya lihat orang tidak mau pernah jera untuk

menggantungkan perhiasan ditubuh mereka. Seperti apa yang

saya lihat saat ini, ketika saya sedang menunggu kendaraan

umum di halte bus.27

Tempat ini menjadi latar fokus penceritaan dari awal hingga

akhir. Dari kedua cerpen, halte bus digambarkan sebagai tempat

26 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 23.

27

Hamsad Rangkuti , “Perhiasan”, h. 74.

48

yang diibaratkan seperti panggung untuk menampilkan apapun

karena dapat dilihat oleh banyak orang. Salah satunya adalah

perhiasan, tanpa memperdulikan dari jenis asli ataupun imitasi. Halte

juga menjadi tempat transisi bagi pelaku kejahatan yaitu pertemuan

penodong dari dalam gang dan bus. Sedangkan sebagai moda

transportasi massal, bus dianggap memiliki citra negatif yaitu penuh

dengan kriminalitas.

2) Gang

Tempat ini menjadi latar kemuculan dua penodong yang ingin

merampas kalung milik wanita muda. Berdasarkan logika ruang,

posisi gang berada di seberang atau berhadapan dengan halte bus

karena tokoh aku dapat melihatnya secara langsung. Pergerakan

mereka yang cepat membuat para tokoh tidak dapat membuat

perlawanan apapun. Hal tersebut menandakan letak gang tidak jauh

dari halte bus.

Kutipan dalam cerpen “Perbuatan Sadis”:

Pada saat seperti itulah datang dua orang lelaki dari dalam gang

dan langsung menodongkan dua pucuk pisau belati.28

Kutipan dalam cerpen “Perhiasan”:

Dua orang lelaki datang dari dalam gang menodongkan pisau

belati. Keduanya melompat dan masuk ke dalam gang.29

Berdasarkan penjelasan dari kedua cerpen bahwa gang menjadi

tempat keluar-masuk para penodong. Datang untuk merampas dan

kembali ke gang setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Hamsad Rangkuti selaku pengarang melambangkan gang sebagai

bentuk dari kemiskinan dan kemelaratan, oleh karena itu orang

menjadi nekat dan dendam terhadap keadaan.

28 Hamsad Rangkuti , “Perbuatan Sadis”, h. 23.

29

Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 75.

49

3) Rumah

Berbeda dengan “Pebuatan Sadis” yang menampilkan latar halte

bus dan gang, dalam cerpen “Perhiasan” memunculkan latar rumah.

Terlihat dari kutipan berikut:

Tadi malam mereka datang bertamu ke rumah kami. Aku cepat-

cepat ke kamar membuka lemari dan mengambil kalung emas

itu dari lacinya dan mengalungkan di leher berikut liontinnya.30

Sesaat setelah wanita muda memberikan kalungnya kepada

penodong, ia bercerita pada tokoh aku bahwa hanya memakai kalung

asli di tempat tertentu yang salah satunya adalah rumah. Rumah

dianggap menjadi tempat yang aman sehingga segala keaslian dapat

ditampakkan, hanya kerabat dan teman terdekat yang mampu

melihatnya.

Selanjutnya latar tempat dalam cerpen “Pispot”:

1) Pasar

Terlihat dari kutipan berikut:

Orang itu beberapa saat yang lalu melintas di antara keramaian

pasar. Seorang wanita menjerit. Aku melihat orang itu

memasukkan sesuatu ke mulutnya disaat langkahnya yang

tergesa.31

Pasar menjadi tempat awal mula permasalahan terjadi di dalam

penceritaan. Tokoh aku melihat seorang lelaki menelan suatu barang

hasil rampasannya. Tindakan ini terjadi dalam suasana yang cukup

hiruk-pikuk. Selain halte bus, latar ini juga memunculkan stigma

mengenai tempat terjadinya kejahatan.

2) Mobil Polisi

Terlihat dari kutipan berikut:

Kami naik mobil polisi itu. Aku duduk di sebelah wanita korban

penjambretan. Lelaki tersangka yang melakukan penjambretan

itu duduk di depan kami. Hidungnya masih meneteskan darah.

30 Ibid, h. 79.

31

Hamsad Rangkuti , “Pispot”, h. 52.

50

Di kiri kanannya duduk petugas pasar yang menangkapnya dan

seorang polisi.32

Lelaki tersangka dibawa ke kantor polisi menggunakan mobil

polisi sesaat setalah melakukan penjambretan bersama saksi, korban,

dan didampingi oleh petugas. Tidak adanya dialog di antara mereka

sehingga suasana sangat hening. Semua tokoh seakan dibiarkan diam

melayangkan pikirannya masing-masing. Hal ini agaknya upaya

mendukung asumsi bahwa sesuatu terkait dengan “kepolisian”

mampu membuat orang lain bungkam dan tidak dapat berkutik.

3) Kantor Polisi

Terlihat dari kutipan berikut:

Di kantor polisi dia mulai didesak untuk mengakui

perbuatannya.

“Kamu buang?”

“Tidak.”

“Kamu sembunyikan?”

“Tidak.”

“Dia tidak bisa berkata selain tidak!” Mereka mulai tidak sabar.

“Siksa!”33

Tempat ini digambarkan penuh tekanan dan pertimbangan,

segala keputusan harus ditentukan secara cepat. Lelaki penjambret

didesak polisi untuk mengakui perbuatannya agar ditemukan barang

bukti. Beragam siksaan diberikan, mulai dari verbal dan fisik bahkan

tersangka dipaksa mengeluarkan isi perutnya secara berulang meski

pada akhirnya ia tetap dibebaskan karena kalung tidak ditemukan

oleh polisi hingga akhir penceritaan.

4) Gang

Terlihat dari kutipan berikut:

Kemudian dia minta diturunkan di gang tempat tinggalnya. Aku

menolongnya sampai keluar. Aku menyalaminya.34

32 Loc,cit.

33

Ibid, h. 53.

34

Ibid, h. 61.

51

Setelah lelaki penjambret dibebaskan dari tuduhan karena tidak

ditemukan kalung, tokoh aku mengantarkannya pulang karena

merasa bersalah. Gang menjadi tujuan mereka bukan rumah. Hal ini

menandakan secara konsisten gang direpresentasikan sebagai bentuk

kemelaratan. Tidak menjadi mengherankan sehingga orang yang

tinggal di tempat tersebut dalam melakukan hal apapun untuk

bertahan hidup.

Berdasarkan pemaparan ketiga cerpen dapat disimpulkan bahwa

latar publik seperti halte, gang, dan pasar digambarkan sebagai

tempat yang selalu memunculkan pelaku kejahatan. Mulai dari

penodong dan penjambret. Hal ini menandakan bahwa mereka

merupakan orang-orang yang dendam terhadap keadaan karena

berani beraksi di keramaian. Sedangkan latar domestik seperti rumah

mendatangkan perasaan aman.

b. Latar Waktu

Latar waktu dari ketiga cerpen tidak menyiratkan keterangan secara

faktual, melainkan hanya mengacu kepada saat tertentu seperti di siang

hari dalam kondisi sepi atau keramaian. Hal ini disebabkan cerita hanya

mengisahkan kejadian singkat berupa penodongan dan penjambretan

kalung milik wanita muda.

Cerpen “Perbuatan Sadis” memunculkan waktu siang hari di halte

bus dalam keadaan kota yang sepi. Terlihat dari kutipan berikut:

“Waktu itu hari libur umum. Kota sepi. Hanya aku dan seorang

wanita muda yang menunggu datangnya kendaraan umum di halte

bus. Hari itu panas terik.”35

Cerpen “Perhiasan” juga menggambarkan waktu siang hari sebagai

latar waktu terjadi persitiwa penodongan, namun dalam kondisi yang

cukup ramai. Terlihat dalam kutipan berikut:

Wanita itu ingin naik taksi, tapi selalu penuh.

Wanita muda itu membuka leer kerah bajunya karena panas.36

35 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 23.

36

Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 75.

52

Cerpen “Pispot” tidak memberikan keterangan latar waktu atas

peristiwa dalam penceritaan. Hanya melalui bukti “hiruk-pikuk atau

dikeramaian” memungkinkan terjadi di siang atau pagi hari. Terlihat

dalam kutipan berikut:

Orang itu beberapa saat yang lalu melintas di antara keramaian

pasar.37

Berdasarkan kutipan dari ketiga cerpen di atas terlihat bahwa

Penggambaran waktu untuk mendukung lakuan tokoh terutama pelaku

kejahatan sebagai orang-orang yang nekat karena tindakan mereka

dapat terlihat secara jelas oleh orang lain. Keterangan “siang hari”

menjadi tanda bahwa waktu tersebut biasanya orang-orang sedang

melakukan aktivitas tertentu dan penodong atau penjambret berani

mengambil risiko dari perbuatannya.

c. Latar Sosial

Latar sosial dari ketiga cerpen mencerminkan citra kemiskinan

masyarakat perkotaan. Hal ini tergambar dari latar tempat yang

didukung oleh sebagian besar tindakan yang dilakukan para tokoh.

Mereka berperilaku di luar kendali untuk memenuhi kebutuhan yang

tidak sesuai dengan keadaannya, seperti penodongan dan penjambertan.

Terbukti dalam kutipan berikut:

“Makanya saya heran melihat Anda seberani itu. Kemiskinan

membuat orang nekat! Anda harus tahu itu.”

“Makanya kita sesekali harus mengejek kemiskinan itu.”38

Terlihat pula adanya kesenjangan sosial antara orang berpunya dan

kalangan bawah. Terbukti dari munculnya pemakaian kalung asli atau

imitasi oleh wanita muda hanya untuk menarik perhatian dari orang

lain. Sedangkan para kriminalis bertindak nekat sebagai upaya bertahan

hidup. Perbedaan tujuan yang hendak dicapai para tokoh mampu

menjelaskan kondisi sosial di antara mereka.

37 Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 52.

38

Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 24.

53

“Malu rasanya kalau tidak mengenakan perhiasan,” dia berkata

dengan senyum kepadaku.”39

“Anakku sedang sakit keras. Kami perlu biaya. Istriku telah putus

asa di rumah. Dokter meminta banyak.” Dia tiba-tiba mengangkat

mukanya. “Bapak adalah saksi itu! Bapak orang baik. Saya harus

mengakuinya. Saya harus mengatakannya!” Dia kembali

menunduk. “Saya bukan penjambet. Tetapi, saya telah

melakukannya.”40

4. Plot

Cerpen “Perbuatan Sadis” menggunakan plot maju atau bersifat

kronologis. Sebelum memasuki tahap penyituasian, tokoh aku selaku

narator membuka cerita melalui tindakan yang dianggap sadis. Hal ini

merupakan awal kisah dalam cerita, namun bukan awal peristiwa dalam

penceritaan. Penggambaran ini mendukung situasi atau konflik yang akan

terjadi selanjutnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

Sekarang kuceritakan kepadamu bagaimana tindak kejahatan yang

menurutku tergolong dalam perbuatan sadis yang pernah terjadi di

depan mataku tanpa aku bisa berbuat apa-apa.41

Tahap penyituasian bermula ketika tokoh aku dan wanita muda

menunggu kendaraan di halte bus dengan latar suasana sepi meski terjadi

di siang hari. Selain untuk memunculkan tokoh dan latar sebagai lanskap

kejadian, penggambaran ini mendukung informasi sebelum munculnya

permasalahan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

Waktu itu libur umum. Kota sepi. Hanya aku dan seorang wanita

muda hari yang sedang menunggu datangnya kendaraan umum di

halte bus. Hari waktu itu panas terik.42

Tahap pemunculan konflik terjadi saat kalung yang dipakai wanita

muda menyebabkan kegelisahan dalam diri tokoh aku. Hal ini merupakan

firasat buruk karena mendatangkan dua penodong dengan membawa pisau

belati. Kemunculan penodong secara cepat membuat tokoh aku dan wanita

muda tidak dapat bertindak apapun. Terbukti dari kutipan berikut:

39 Hamsad Rangkuti , “Perhiasan”, h. 78.

40

Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 62.

41

Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h.22- 23.

42

Loc.cit.

54

Dia mengenakan kalung emas yang kutaksir dua puluh gram. Aku

gelisah melihat kalung emas itu, sedang dia tenang-tenang saja.

Pada saat seperti itula datang dua orang lelaki dari dalam gang dan

langsung menodongkan dua pucuk pisau belati.43

Tahap peningkatan konflik dibuktikan dengan perubahan suasana

menjadi menegangkan karena penodong menghunuskan pisau belati ke

tokoh aku dan wanita muda untuk merampas. Tidak terjadi perlawanan

dari korban membuat kalung berpindah tangan dengan mudah. Terbukti

dari kutipan berikut:

Kalung emas itu direntapkan oleh laki-laki yang menodongkan pisau

belati ke leher si wanita dengan tangannya yang tidak memegang

pisau. Kalung itu tampak olehku putus dan menimbulkan bekas merah

wanita muda itu.44

Tahap klimaks merupakan puncak permasalahan karena keadaan

semakin tidak terkendali. Penodong yang kembali datang untuk memaksa

wanita muda menelan kalung. Hal ini dilandasi kemarahan mereka setelah

mengetahui kalung hasil rampasan sebatas imitasi. Tidak ada rasa tega

dalam diri dua penodong, bahkan memberikan air minum untuk proses

penelanan. Terlihat dari kutipan berikut:

“Makan! Telan kalung imitasimu ini. Kau telah permainkan kami

dengan kepalsuan. Sekarang kau harus menelan kepalsuanmu ini! Ayo

telan!”45

Tahap penyelesaian ditandai dengan tertelannya kalung ke tubuh

wanita muda. Penodong langsung pergi setelah kenginannya terpenuhi.

Wanita muda hanya mampu berteriak histeris setelah menelan kalung

seakan hilang kesadaran atas apa yang telah terjadi. Tokoh aku tidak

melakukan reaksi apapun selain diam seolah juga merasa bingung dan

tertekan. Terbukti dari kutipan berikut:

Sejurus kemudian, wanita muda itu pulih kesadarannya. Dia menjerit!

“Tolong! Tolong! Saya telah menelan perhiasan!” Dia histeris.46

43 Loc.cit.

44

Loc.cit.

45

Ibid, h. 25.

46

Ibid, h. 27.

55

Serupa dengan cerpen “Perbuatan Sadis”, cerpen “Perhiasan” juga

menggunakan plot maju dengan pola kalimat pertama tidak merujuk

kepada awal kejadian dalam penceritaan. Narator menggunakan narasi

tanya-jawab berkaitan dengan alasan penggunaan perhiasan. Laki-laki atau

wanita kerap memakai perhiasan di beberapa bagian tubuh dengan

beragam motivasi. Fenomena ini telah sering menyebabkan tindakan

kejahatan. Terlihat dari kutipan berikut:

Banyak motivasi orang yang menggantungkan perhiasan di tubuh

mereka

Saya sudah sering menyaksikan peristiwa yang diakibatkan orang

yang mengenakan perhiasan di bagian tubuhnya.47

Hal di atas merupakan kerangka berpikir atau latar belakang untuk

menguatkan tema yang akan disampaikan dalam penceritaan. Tahap

perkenalan bermula ketika tokoh aku yang sedang menunggu bus di halte

melihat wanita muda menggunakan kalung sangat menyolok mata. Atas

apa yang dilihatnya membuat tokoh aku berasumsi bahwa wanita muda

ingin menyombongkan diri dari kalung yang dipakainya. Terbukti dari

kutipan berikut:

Saya kira wanita muda yang juga menanti kendaraan umum itu adalah

orang yang ingin mengatakan kepada orang lain bahwa dia orang yang

berpunya.48

Tahap pemunculan konflik terjadi saat dua penodong datang untuk

merampas kalung wanita muda. Tidak terjadi pemaksaan atau aksi saling

rebut, wanita muda memberikan kalungnya secara sukarela karena merasa

apa yang dikenakan adalah sebatas benda imitasi. Penodong rupanya

seorang profesional sehingga mampu membedakan asli dan imitasi

sehingga mereka merasa sangat beruntung karena mendapatkan korban

yang penurut. Hal ini terbukti dalam kutipan berikut:

“Tidak usah ditodong begitu. Ambil kalung ini. Aku hanya

mengenakan kalung imitasi.”

47 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 74.

48

Loc,cit.

56

“Kita tidak mendapatkan kesulitan kali ini. Ayo, Mex! Kita

menemukan korban yang empuk.”49

Tahap peningkatan konflik disebabkan wanita muda mulai mengingat

bahwa ia lupa menukar kalung aslinya dengan yang berjenis imitasi.

Wanita muda bercerita kepada tokoh aku bahwa satu hari sebelumnya ia

mengadakan pertemuan dengan kolega suami di rumahnya. Acara itu

dimanfaatkannya untuk memamerkan kalung kepada tamu yang datang.

Ironinya adalah karena kelelahan membuat wanita muda tidak mengganti

yang asli dengan imitasi saat berpergian di esok harinya. Terbukti dari

kutipan berikut:

“Ya Allah! Ya Gusti!” serunya. Dia tersandar pada tiang. Saya

membantunya.

“Mengapa Nyonya? Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya terlampau lelah meladeni mereka tadi malam. Saya tertidur

tanpa membuka kalung itu, ya Allah! Saya tidak membukanya.

Sungguh!”50

Tahap klimaks digambarkan melalui ketegangan ketika kalung imitasi

terdapat di dalam tas milik wanita muda. Hal ini menandakan bahwa ia

memang lupa mengganti dan menukarnya sehingga apa yang telah

diberikannya kepada penodong berupa kalung asli seberat 45 gram. Tokoh

aku yang berada di lokasi kejadian pun mencoba menenangkan dan

menyakinkan wanita muda, namun hal itu hanya sia-sia. Terbukti dari

kutipan berikut:

Dia membuka tas tangannya dengan gemetar. Dia raba isinya. Dia

keluarkan kalung imitasi dengan liontin menirukan serangga laba-laba

itu.51

Tahap penyelesaian terlihat dari tangis wanita muda disebabkan

kalung telah berpindah tangan. Ia sangat menyesali apa yang telah

diperbuatnya. Wanita muda telah bersikap teledor dan terlalu percaya diri

sehingga memberikan kalung secara senang hati kepada penodong yang

49 Ibid, h. 76.

50

Ibid, h. 81.

51

Ibid, h. 83.

57

datang menghampiri. Munculnya konflik tidak lain disebabkan oleh

tindakan wanita muda dan harus ditanggungnya seorang diri. Terbukti dari

kutipan berikut:

“Lihatlah! Saya lupa menukarnya! Ada dua kalung yang sama sepeti

ini. Yang asli dan yang palsu!” Dia mulai menangis.52

Cerpen selanjutnya “Pispot” menggunakan plot campuran karena

penceritaan sempat beralih mundur atau tidak sesuai dengan urutan waktu.

Tahap perkenalan memberikan informasi telah terjadi penjambretan

kalung milik wanita muda oleh seorang lelaki serta tokoh aku sebagai

saksi. Semua yang terlibat dibawa ke kantor polisi untuk memberikan

keterangan. Tahap ini mulai menggambarkan tokoh, latar, dan konflik

yang terjadi. Terbukti dari kutipan berikut:

Kami naik mobil polisi itu. Aku duduk di sebelah wanita korban

penjambretan. Lelaki yang tersangka melakukan penjambretan itu

duduk di depan kami.53

Tahap pemunculan konflik dihadirkan melalui plot mundur atau

flashback sebelum tokoh aku, lelaki penjambret, dan wanita muda digiring

ke kantor polisi. Permasalahan berawal dari kesaksian tokoh aku yang

melihat seorang lelaki telah memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya

sesaat menjambret kalung milik wanita muda. Keterangan tokoh aku

membuat lelaki penjambret mendapat penghakiman massa di pasar dan

mempertanggung jawabkan perbuatannya. Terlihat dari kutipan berikut:

Aku melihat orang itu memasukkan sesuatu ke mulutnya disaat

langkahnya yang tergesa. Aku menuding lelaki itu dan petugas pasar

menangkapnya.54

Tahap peningkatan konflik terlihat ketika tidak adanya pengakuan dari

lelaki penjambret. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan kalung

yang telah diambilnya. Situasi ini membuat polisi makin geram sehingga

memberikan berbagai tekanan agar tersangka mau buka suara. Tokoh aku

52 Loc,cit.

53

..... “Pispot”, h. 52.

54

Loc,cit.

58

yang tidak yakin atas kesaksian yang diberikan pun hanya diam dan tidak

mencoba mengklarifikasi. Terbukti dari kutipan berikut:

“Benar kamu telan kalung itu?” bentak mereka.

“Tidak”, kata laki-laki itu menyembunyikan mukanya.

“Kamu buang?”

“Tidak.”

“Kamu sembunyikan?”

“Tidak.”

“Dia tidak bisa berkata selain: Tidak!” Mereka mulai tidak sabar.

“Siksa!”55

Tahap klimaks terjadi saat polisi memaksa lelaki penjambret

mengeluarkan isi perutnya agar ditemukan kalung sebagai barang

bukti. Atas bujukan tokoh aku, lelaki penjambret yang awalnya

sempat menolak akhirnya mau menuruti perintah polisi. Berbagai

ramuan diberikan dan pispot digunakan untuk menampung kotoran

lelaki penjambret, namun tidak ditemukan apapun. Hal ini disebabkan

oleh ditelannya kalung secara berulang. Terbukti dari kutipan berikut:

“Serentak juga tidak apa-apa. Yang penting tampung begitu dia

ke jamban!”

“Nanti ususnya......”

“Tidak ada urusan!” Suruh dia telan obat pencahar itu! Kemudian

pisang atau pepaya, lalu tampung!”56

Tahap penyelesaian terlihat dari dibebaskannya lelaki penjambret

karena tidak ditemukannya kalung dalam pispot. Permintaan maaf

disampaikan oleh wanita muda dan tokoh aku, bahkan tokoh aku

mengantar tersangka pulang. Perasaan bersalah membuat lelaki

penjambret mengakui perbuatannya ke tokoh aku. Terungkap bahwa

alasannya melakukan penjambretan disebabkan anaknya yang sedang

sakit sehingga membutuhkan biaya. Terbukti dalam kutipan berikut:

Anakku sedang sakit keras. Kami perlu biaya. Istriku telah putus

asa di rumah. Dokter meminta banyak.” Dia tiba-tiba mengangkat

mukanya. “Bapak adalah saksi itu! Bapak orang baik. Saya harus

mengatakannya! Dia kembali menunuduk.” Saya bukanlah

55 Ibid, h. 53.

56

Ibid, h. 55.

59

penjambret. Tetapi, saya telah melakukannya. Tiga kali kalung itu

keluar ke dalam pispot. Begitu keluar aku langsung

menelannya.”57

Berdasarkan dari ketiga cerpen plot maju digunakan dalam cerpen

“Perbuatan Sadis” dan “Perhiasan” dengan narator membuka cerita

tidak merujuk kepada kejadian pertama dalam penceritaan, sedangkan

“Pispot” menggunakan plot mundur untuk menghidupkan konflik di

awal penceritaan.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang mempersoalkan siapa yang bercerita atau dari mana

peristiwa itu dilihat. Dalam cerpen “Perbuatan Sadis”, pencerita atau

narator membuka cerita dengan pernyataan melalui deskripsi tentang

perbuatan-perbuatan yang dianggap sadis, menggunakan kata „kita‟ untuk

menyamakan persepsi dirinya dengan pembaca (memaksa menyetujui

pendapatnya). Terlihat dari kutipan berikut:

Banyak tindak kejahatan yang dinilai sadis yang pernah kita baca di

koran-koran.58

Kata “kita” bermakna pronomina persona pertama jamak, artinya yang

berbicara dengan orang lain dan termasuk yang diajak bicara. Hal ini

menjadi bukti bahwa narator bagian dari cerita, menjadi tokoh serta

terlibat langsung dalam peristiwa. Narator merupakan tokoh aku yang

tidak memiliki sebutan nama. Penggunaan persona aku menandakan

bahwa cerita menggunakan sudut pandang orang pertama. Secara

keseluruhan aku sebagai tokoh utama menjadi pusat kesadaran, pusat

cerita. Ia merupakan saksi sekaligus korban dari peristiwa penodongan.

Terlihat dari kutipan berikut:

Sekarang, baiklah kuceritakan kepadamu bagaimana tindak kejahatan

yang menurutku tergolong dalam perbuatan sadis yang pernah terjadi

di depan mataku tanpa aku bisa berbuat apa-apa.59

57 Ibid, h. 62.

58

Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 20.

59

Ibid, h. 22-23.

60

Meskipun tokoh aku memiliki kekuasaan untuk mengungkap apa yang

dirasakannya, ia lebih memilih untuk menonjolkan aksi-reaksi tokoh lain

yaitu wanita muda dan penodong. Apa yang dipikirkannya hanya

disampaikan secara terbatas. Hal ini menandakan bahwa ada jarak atau

ketidakyakinan terhadap dirinya sendiri dengan kejadian yang dialami.

Cerpen “Perhiasan” menggunakan persona aku-an melalui tokoh aku

sebagai penyampai cerita. Hal ini dibuktikan sejak awal bahwa narator

terlibat dalam penceritaan. Narator memberikan asumsi mengenai kejadian

yang telah dialami sebelumnya dalam cerita yang hendak disampaikan.

Topik terkait dengan motivasi seseorang ketika memakai perhiasan serta

dampak yang ditimbulkannya. Terlihat dari kutipan berikut:

Mengapa orang begitu suka melekatkan perhiasan di tubuh mereka?

Saya sudah sering meyaksikan peristiwa yang diakibatkan orang

mengenakan perhiasan di bagian tubuhnya.60

Narator merupakan saksi dan korban dari kejadian penodongan kalung

milik wanita muda. Secara konsisten narator lebih memilih menggunakan

kata “saya” dibandingkan kata “aku”. Hal ini pun secara konsisten

dilakukan oleh para pecerita atau tokoh lain yang terlibat dalam peristiwa.

Penggunaan panggilan ini dilakukan sebagai upaya mendukung

penggambaran wanita muda yang berasal dari latar sosial orang berpunya.

Tokoh aku seperti merasa ada jarak di antara dirinya dan wanita muda.

Cerpen “Pispot” menggunakan sudut pandang persona pertama

melalui tokoh aku sebagai tokoh utama dalam penceritaan. Dari awal

hingga akhir berjalannya cerita disampaikan melalui kacamata dirinya. Ia

merupakan saksi dari kejadian penjambretan kalung milik seorang wanita

muda. Sebagai pihak yang terlibat dalam masalah terlihat ada

keberpihakannya saat mengungkapkan cerita. Terlihat dalam kutipan

berikut:

Sebenarnya tidak ada barang bukti untuk menuduhnya sebagai pelaku

penjambretan itu. Namun, aku mempertahankan kesaksian dan ia pun

jatuh terjerumus ke tangan polisi.61

60 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 74.

61

Kutipan di atas membuktikan bahwa penggunaan aku-an membuat

cerita bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan sumber cerita hanya berasal

dari pemikiran dan perasaan satu tokoh, terlebih jika memang ada

kepentingan yang sengaja ditonjolkan oleh pengarang. Tokoh aku

merupakan pencerita yang jujur. Secara jelas mengungkap batin dirinya

atau hal apa yang sedang dipikirkan. Hal ini berbeda dengan dua cerpen

sebelumnya yang lebih menceritakan perasaan, pikiran, dan tingkah laku

tokoh lain.

Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa keseluruhan cerita

menggunakan sudut pandang orang pertama aku-an dari tokoh aku.

Kesamaan penyebutan tidak menjadikan penceritaan menjadi sama

ataupun serupa meskipun terkait permasalahan pengambilan kalung milik

wanita muda. Hal ini disebabkan ada perbedaan pengungkapan dalam

merespon aksi dan reaksinya terhadap peristiwa.

6. Gaya Bahasa

Ciri khas pengarang dalam menciptakan cerita dapat muncul melalui

penggunaan ragam bahasa yang dipilihnya. Cerpen “Perbuatan Sadis”,

“Perhiasan”, dan “Pispot” memiliki kesamaan penggunaan gaya bahasa

yang menonjol, antara lain simile, metafora, ironi, dan sarkasme. Secara

konsisten, gaya-gaya tersebut digunakan pengarang dalam ketiga cerpen.

a. Majas Simile

Bentuk pengungkapan simile dalam cerpan “Perbuatan Sadis”

antara lain menggunakan analogi cincangan mayat manusia seperti

pergedel. Hal ini merupakan tuturan tokoh aku untuk menggambarkan

perilaku kejahatan yang dianggapnya sadis. Narasi ini pun disampaikan

untuk membangun suasana tegang sebelum memasuki peristiwa

penodongan perhiasan. Terlihat dari kutipan berikut:

61 Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 53.

62

Misalnya kita pernah membaca berita tentang ditemukannya mayat

manusia yang dicincang-cincang seperti pergedel yang dikemas

dalam kardus yang diletakkan di tepi jalan raya.62

Cerpen “Pehiasan” juga membandingkan makhluk hidup dengan

benda mati untuk mendukung panggambaran keadaan, antara lain;

liontin yang dipakai wanita muda seperti laba-laba. Hal tersebut

diungkapkan oleh tokoh aku ketika melihat perhiasan yang dikenakan

wanita muda. Kalung seberat 45 gram memang menarik siapapun untuk

memperhatikannya. Hal ini diumpamakan sebagai benda yang

menyolok mata bagi yang melihatnya. Terlihat dari kutipan berikut:

Kalung itu sangat menyolok membiarkan liontin yang meniru

serangga laba-laba seolah hidup bergantung pada benang

sarangnya.63

Majas simile dalam cerpen “Pispot” disampaikan oleh polisi saat

meminta laki-laki penjambret untuk mengeluarkan isi perutnya secara

paksa. Pemilihan frasa mencret seperti burung, seakan menyamakan

penjambret dengan binatang. Hal ini memang didukung oleh berbagai

perlakuan yang diterima, siksaan secara fisik dan verbal dalam upaya

pencarian barang bukti yaitu kalung yang telah ditelan.

“Ambil obat pencahar! Pisang dan pepaya. Suruh dia mencret

seperti burung. Lalu tampung kotorannya!”64

Perbandingan yang digunakan pengarang dari ketiga cerpen selalu

melibatkan makhluk hidup dengan benda mati. Mulai dari mayat

manusia dengan perkedel, laba-laba dengan liontin, dan penjambret

dengan burung. Antara pembanding dan yang dibandingkan memiliki

sifat sangat berbeda. Hal ini digunakan untuk mengkonkretan keadaan

sebagai upaya menghidupkan pengisahan ketika memasuki konflik.

62 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 20

63

Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 75.

64

Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 54.

63

b. Majas Metafora

Sesuatu yang dibandingkan dalam cerpen “Perbuatan Sadis” dan

“Perhiasan” berupa ciri keadaan seseorang, yaitu ketika wanita muda

menjadi korban penodongan. Hal ini untuk mendukung situasi atau

keadaan yang dialami oleh tokoh. Frasa darah lenyap dapat diartikan

berhentinya kehidupan. Hal ini terlihat saat belati yang dihunuskan ke

leher wanita muda membuatnya seolah mati seketika. Terlihat dari

kutipan berikut:

Ujung belatinya ku lihat telah menyentuh kulit leher si wanita.

Darah lenyap dari air mukanya.65

Keadaan lain terlihat dari penggunan frasa korban yang empuk. Hal

ini berarti tidak adanya perlawanan dari wanita muda serta barang yang

diinginkan mudah didapatkan. Ungkapan disampaikan penodong ketika

wanita muda secara sukarela memberikan kalungnya. Situasi tersebut

menjadi aneh karena biasanya korban memekik atau mencoba

mempertahankan miliknya. Terlihat dari kutipan berikut:

Kita menemukan korban yang empuk. Sering-sering saja

hendaknya ketemu korban seperti ini.66

Penggunaan majas metafora dari kedua cerpen sebagai upaya

pengarang untuk menguatkan penggambaran keadaaan tokoh yang

cenderung menyedihkan atau mengenaskan.

c. Majas Ironi dan Sarkasme

Antara majas ironi dan sarkasme keduanya disampaikan sebagai

cara untuk menyindir ataupun mengkritik sesuatu. Dalam “Perbuatan

Sadis” tuturan disampaikan oleh wanita muda untuk mempermainkan

keadaannya yang dilingkungi kemiskinan. Kalung imitasi merupakan

medium untuk menipu orang lain. Terlihat dari kutipan berikut:

“Makanya kita sesekali harus mengejek kemiskinan itu. Kedua

orang itu terkicuh!” Wanita muda itu senyum.67

65 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 25.

66

Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 77.

67

Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 24.

64

Majas ironi di atas dijawab secara sarkasme oleh tokoh aku melalui

kalimat: Kemiskinan membuat orang nekat! Hal ini memang terbukti

saat penodong mengetahui kalung yang telah diambil hanya imitasi,

mereka memaksa wanita muda untuk menelannya. Secara tersirat

kutipan tersebut juga ditujukkan atas keberanian sikap wanita muda

yang memancing bahaya.

“Makanya saya heran meliat Anda seberani itu. Kemiskinan

membuat orang nekat! Anda harus tahu itu.”68

Bentuk sarkasme lain terdapat dalam cerpen “Perhiasan”. Wanita

muda memandang kemiskinan mampu membuat orang menjadi nekat

dan menyedihkan karena tidak ada pilihan selain keadaan tersebut.

Ungkapan ini disampaikan ketika penodong mengambil kalung milik

wanita muda. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Dan mereka tidak bisa membedakan nasi yang mereka makan

basi. Kemiskinan yang mengajar mereka begitu. Tong sampah

mereka kira piring nasi mereka!”69

Cerpen “Pispot” juga menggunakan majas sarkasme bertujuan

untuk menggambarkan perilaku para kriminal. Hal ini disampaikan

tokoh aku ketika laki-laki penjambret menolak untuk mengeluarkan

kalung dari dalam perutnya. Pelaku kejahatan dianggap tidak memiliki

arti penting sehingga lebih baik dihilangkan. Kehadiran mereka hanya

akan merugikan orang terdekat. Terlihat dalam kutipan berikut:

Mereka malu untuk muncul, karena kau maling! Tahu kau?

Nyawamu bagi mereka tidak ada artinya.70

Majas ironi dan sarkasme tampak disuarakan pengarang melalui

tokoh dalam penceritaan untuk mendukung kritik sosial mengenai

kemiskinan di dalam ketiga cerpen. Terutama terkait gambaran pelaku

kejahatan seperti penodong dan penjambret. Hal ini serupa tertawaan

68 Loc,cit.

69

Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 78.

70

Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 57.

65

bagi mereka, namun menyadarkan pembaca bahwa ketidakmampuan

membuat seseorang mampu berbuat hal buruk untuk bertahan hidup.

7. Amanat

Amanat dapat disederhanakan sebagai pesan yang ingin diberikan

pengarang kepada pembaca melalui cerita. Dari ketiga cerpen terlihat

bahwa moral diungkap dengan gaya ironi dan sarkasme. Para tokoh seakan

saling menyindir dan menertawakan dirinya sendiri. Hal inilah yang justru

memperlihatkan agar pembaca dapat menangkap melalui tuturan tersebut.

Terlihat dalam kutipan berikut:

“Makanya saya heran melihat Anda seberani itu. Kemiskinan

membuat orang nekat! Anda harus tahu itu.”71

Persoalan kemiskinan berbanding lurus dengan kejahatan dalam

ketiga cerpen menjadi bukti bahwa hidup memang penuh kesulitan serta

tidak sesuai dengan harapan. Belajar untuk mensyukuri apa yang dimiliki

merupakan pegangan dalam menjalani apapun sehingga tidak bertindak di

luar batas kemampuan terlebih jalan yang ditempuh dapat membahayakan

diri sendiri maupun orang lain.

B. Analisis Persepsi Perhiasan dalam Tiga Cerpen Karya Hamsad Rangkuti

Penelitian ini membahas mengenai persepsi perhiasan dari masing-masing

tokoh dari tiga cerpen karya Hamsad Rangkuti. Peristiwa pengambilan

perhiasan milik wanita muda oleh pelaku kriminal secara berturut-turut yang

terjadi dalam cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” menandakan

bahwa perhiasan merupakan benda yang krusial di dalam penceritaan. Terlihat

benda tersebut menjadi sumber konflik atau permasalahan yang berdampak

pada pengambilan keputusan yang berorientasi pada berhiasan. Teori Greimas

dipilih untuk memperlihatkan hubungan tokoh dengan tindakannya melalui

skema aktan. Sedangkan teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns untuk

menggambarkan penilaian terhadap perhiasan dari setiap tokoh.

71 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 24.

66

1. Skema Aktan

Sekuen atau rangkaian cerita digunakan untuk memahami hubungan

antar peristiwa untuk mempermudah pencarian aktan. Pemilihan sekuen

dilihat dari peralihan antar keadaan atau peristiwa yang mempunyai akibat.

Hasil sekuen kemudian akan dianalisis melalui skema aktan yang terdiri

dari subjek, objek, pengirim, penerima, pendukung, dan penentang.

Berikut sekuen dalam cerpen “Perbuatan Sadis”:

a. Menunggu datangnya bus antara tokoh aku dan wanita muda.

b. Pengambilan kalung secara paksa milik wanita muda oleh penodong.

c. Datangnya kembali penodong untuk menemui wanita muda dan tokoh

aku.

d. Pemaksaan penelanan kalung oleh penodong kepada wanita muda.

Berdasarkan sekuen di atas terdapat tiga tokoh yang terlibat, antara

lain tokoh aku, wanita muda, dan penodong. Ketiganya memiliki konflik

yang disebabkan oleh perhiasan. Hal ini kemudian ditempatkan melalui

aktan sehingga masing-masing objek yang diinginkan oleh subjek pun

akan terlihat.

Pengirim Objek Penerima

Kejadian-kejadian Hidup dengan aman Ketentraman

sadis tokoh aku

Pendukung Subjek Penentang

Kegelisahan Tokoh aku Kalung milik

dan rasa takut wanita muda

Skema aktan 2.1

Melalui skema 2.1 di atas terlihat bahwa kejadian-kejadian sadis

yang membuat tokoh aku ingin hidup dengan aman untuk ketentraman

dirinya. Hal ini didukung oleh perasaannya yang mudah gelisah dan takut

saat melihat sesuatu yang dianggap dapat memancing timbulnya bahaya.

Kalung milik wanita muda menjadi penentang karena membuat tokoh

aku terlibat dalam peristiwa penodongan.

67

“Sekarang baiklah kuceritakan kepadamu bagaimana tindak

kejahatan yang menurutku tergolong dalam perbuatan sadis yang

pernah terjadi di depan mataku tanpa aku bisa berbuat apa-apa.”72

Pengirim Objek Penerima

Memanipulasi Memamerkan kalung Kesenangan

keadaan diri wanita muda

Pendukung Subjek Penentang

Keberanian Wanita muda Perampasan

Berfantasi kalung oleh

penodong

Skema aktan 2.2

Melalui skema 2.2 di atas terlihat bahwa ambisi untuk memanipulasi

keadaan menjadi alasan wanita muda untuk memamerkan kalung yang

dikenakan agar mendapat kesenangan diri. Keberaniannya berfantasi

mendukung keinginannya sebab wanita muda hanya mampu memiliki

perhiasan berjenis imitasi. Apa yang dilakukan ditentang oleh hadirnya

penodong yang hendak merampas kalung bahkan memaksa wanita muda

menelannya.

Dia seolah tampak ingin menyombongkan perhiasan itu.

Memamerkan miliknya kepada orang lain.

“Anda mengenakan kalung imitasi?” Untuk apa?”

“Hanya untuk fantasi saja.”73

Pengirim Objek Penerima

Daya tarik Merampas kalung Mendapatkan

kalung wanita muda uang atau harta

Pendukung Subjek Penentang

Tidak ada Penodong O

perlawanan dari

korban

Skema aktan 2.3

Melalui skema 2.3 di atas terlihat bahwa daya tarik kalung wanita

muda menjadi alasan membuat penodong ingin merampasnya tanpa pikir

panjang agar mendapatkan harta. Tidak adanya perlawanan dari korban

72 Ibid, h. 22-23.

73

Ibid, h. 24.

68

serta latar tempat yang sepi membuat mereka mudah mendapatkannya.

Tokoh aku yang berada di lokasi pun hanya diam sehingga tidak ada

yang menghalangi perbuatan penodong.

Pada saat seperti itulah datang dua orang lelaki dari dalam gang dan

langsung menodongkan dua pucuk pisau belati. Satu diarahkan ke

leher wanita muda itu dan satu lagi diaragkan kepadaku. Kejadian itu

sangat singkat.74

Pengirim Objek Penerima

Merasa tertipu Memaksa wanita muda Membuktikan

menelan kalung kekuatan

Pendukung Subjek Penentang

Dendam kepada Penodong O

wanita muda

Skema aktan 2.4

Melalui skema 2.4 terlihat bahwa penodong selaku subjek memiliki

dua tujuan yang saling beroposisi, meskipun terkait dengan benda yang

sama yaitu perhiasan milik wanita muda. Merasa ditipu oleh kalung jenis

imitasi membuat penodong ingin wanita muda menelan kalung setelah

mengetahui hasil rampasan bukan barang berharga. Hal ini didukung

oleh perasaan dendam karena pekerjaannya merasa telah dipermainkan.

Penodong hendak membuktikan kekuatan sebagai pelaku kejahatan.

Tidak ada yang menghalangi keinginan subjek sehingga kalung memang

ditelan oleh wanita muda.

“Kau telah mempermainkan kami! Bajingan!” bentak laki-laki itu

kepada wanita muda yang ditodongnya. “Kau menghina kami! Kau

pancing kami dengan kepalsuan. Ini kalung imitasimu itu! Makan!”75

Berdasarkan dari skema aktan 2.1-2.4 terlihat bahwa kalung atau

perhiasan menjadi benda untuk merealisasikan keinginan wanita muda

dan penodong, namun dihindari oleh tokoh aku. Perhiasan mendatangkan

bahaya bagi tokoh utama (tokoh aku dan wanita muda), sedangkan

74 Ibid, h. 23.

75

Ibid, h. 25.

69

penodong sebagai tokoh tambahan justru memegang kendali penceritaan.

Peristiwa telan-menelan oleh korban membuktikan keadaan yang ironi.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa keberpihakan cerita berada di pelaku

kejahatan. Hamsad Rangkuti selaku pengarang ingin memperlihatkan sisi

lain dari seseorang yang dendam terhadap keadaan sehingga berakibat

pada perilaku nekat atau mampu melakukan apapun.

Berikut sekuen dalam cerpen “Perhiasan”:

a. Menariknya kalung milik wanita muda.

b. Datang penodong untuk menghampiri wanita muda dan tokoh aku.

c. Penyerahan kalung secara sukarela kepada penodong.

d. Menceritakan alasan penggunaan kalung oleh wanita muda.

e. Kesadaran wanita muda mengenai kalung yang diberikan kepada

penodong.

Berdasarkan sekuen di atas terdapat tiga tokoh yang terlibat di

dalam penceritaan. Terdiri dari tokoh aku, wanita muda, dan

penodong. Ketiganya memiliki tujuan yang berbeda, namun terkait

perhiasan. Hal ini kemudian akan ditempatkan melalui aktan

sehingga masing-masing objek yang diinginkan oleh subjek pun akan

terlihat.

Pengirim Objek Penerima

Pengalaman buruk Hidup secara wajar Menerima

nasib

Pendukung Subjek Penentang

Sikap waspada Tokoh aku Kalung milik

wanita muda

Skema aktan 2.5

Melalui skema 2.5 di atas terlihat bahwa pengalaman buruk terkait

pemakaian perhiasan yang pernah dialami tokoh aku membuatnya ingin

hidup secara wajar atau tidak berlebihan agar merasa cukup terhadap

nasib yang menimpanya. Hal ini didukung oleh sikap waspadanya dalam

menghadapi beragam situasi, namun apa yang hendak dicapai tokoh aku

70

ditentang oleh pemakaian kalung berukuran cukup besar dari seorang

wanita muda ketika menunggu kendaraan di halte bus.

Mengapa orang begitu suka melekatkan perhiasan di tubuh

mereka?

Saya sudah sering menyaksikan peristiwa yang diakibatkan oleh

orang mengenakan pehiasan di bagian tubuhnya. Tetapi, saya lihat

orang tidak pernah mau jera untuk menggantungkan perhiasandi

tubuh mereka.76

Pengirim Objek Penerima

Kalung bagian Memamerkan kalung Kepercayaan diri

dari jati diri dan gengsi suami

Pendukung Subjek Penentang

Senang dipuji Wanita muda Penyerahan

kalung kepada

penodong

Skema aktan 2.6

Melalui skema 2.6 terlihat bahwa anggapan kalung sebagai bagian

dari jati diri membuat wanita muda selalu ingin memamerkan kalungnya

afirmasi berupa pujian dari orang lain menumbuhkan kepercayaan diri

serta untuk menjaga gengsi suami. Apa yang dilakukannya ditentang oleh

datangnya dua penodong sehingga wanita muda memberikan kalung

kepada mereka karena merasa perhiasan yang diberikan hanya imitasi.

“Malu rasanya kalau tidak mengenakan perhiasan,” dia berkata

senyum kepada saya. Saya mengenakan kalung emas murni bila

perlu saja.”77

Pengirim Objek Penerima

Mencoloknya Merampas kalung Mendapat harta

kalung

Pendukung Subjek Penentang

Wanita muda Penodong O

menyerahkan secara

sukarela

Skema aktan 2.7

76 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 74.

77

Ibid, h. 78.

71

Melalui skema 2.7 terlihat bahwa mencoloknya kalung wanita muda

menjadi daya tarik penodong untuk merampasnya. Perhiasan seberat 45

gram merupakan harta benda yang sangat menguntungan. Penyerahan

kalung secara sukarela oleh wanita muda menjadi tanda bahwa korban

bahkan mempermudah keinginan pelaku. Tidak ada yang menghalangi

tindakan penodong membuat perhiasan berpindah tangan secara cepat.

Dua orang lelaki datang dari dalam gang menodongkan pisau belati.

Satu diarahkan kepadaku, satu lagi diarahkan ke wanita muda itu.

Sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Wanita muda itu dengan

ketenangan yang sangat menganggumkan menanggalkan kalung dari

lehernya.78

Berdasarkan skema aktan 2.5-2.7 terlihat bahwa antara wanita muda

dan penodong memiliki keinginan terkait perhiasan. Keduanya berusaha

untuk dapat memenuhi apa yang dikehendaki antara wanita muda dengan

kalung dan penodong dengan pisau belati. Intensitas permasalahan pun

tidak terjadi secara mencengkam, melainkan dengan memilukan melalui

gaya sarkasme. Sedangkan tokoh aku menempatkan perhiasan dalam

aktan penentang. Dalam penceritaan, wanita muda yang memegang

kendali karena kejadian lebih banyak mengenai dirinya.

Berikut sekuen dalam cerpen “Pispot:

a. Penjambretan kalung milik wanita muda oleh seorang lelaki.

b. Dibawanya lelaki penjambret ke kantor polisi.

c. Pencarian barang bukti oleh polisi.

d. Dibebaskannya lelaki penjambret karena tidak ditemukan bukti.

e. Pengakuan lelaki penjambret atas perbuatannya kepada tokoh aku.

Berdasarkan sekuen di atas terdapat empat tokoh yang terlibat di

dalam penceritaan. Terdiri dari tokoh aku, lelaki penjambret, polisi,

dan wanita muda. Hal ini kemudian akan ditempatkan melalui aktan

sehingga masing-masing objek yang diinginkan oleh subjek pun akan

terlihat. Terdapat pengecualian bagi wanita muda sebab perannya

hanya sebatas tokoh tambahan yang minim dialog dan informasi.

78 Ibid, h. 76.

72

Pengirim Objek Penerima

Melihat penelanan Pengakuan Terbebas dari

kalung lelaki penjambret permasalahan

Pendukung Subjek Penentang

Enggan disalahkan Tokoh aku Kebungkaman

lelaki

penjambret

Skema aktan 2.8

Melalui sktema aktan 2.8 di atas terlihat bahwa tokoh aku melihat

penjambret yang telah mengambil dan menelan hasil rampasan. Terdapat

rasa enggan disalahkan meksipun kesaksian yang diberikan tanpa dasar

kerena tidak secara jelas melihat benda apa yang ditelan oleh lelaki

penjambret. Hal ini membuat tokoh aku menginginkan pengakuan dari

tersangka agar cepat terbebas dari permasalahan yang ikut menyeretnya,

namun hal ini dihalangi oleh bungkamnya lelaki penjambret.

Sebenarnya tidak ada barang bukti untuk menuduhnya sebagai

pelaku penjambertan itu. Namun, aku mempertahankan kesaksianku

dan ia pun jatuh terjerumus ke tangan polisi.79

Pengirim Objek Penerima

Anaknya yang Kalung wanita muda Mendapatkan

sedang sakit biaya

Pendukung Subjek Penentang

Rasa nekat Lelaki penjambret Kesaksian

tokoh aku

Skema aktan 2.9

Melalui skema 2.9 terlihat bahwa anak lelaki penjambret yang

sedang sakit menjadi alasannya untuk mengambil secara paksa kemudian

menelan kalung milik wanita muda agar mendapatkan biaya pengobatan.

Lakuannya didukung rasa nekat karena menjambret ketika berada di

keramaian pasar sehingga tokoh aku melihat kejadian tersebut yang

membuat mereka harus digiring ke kantor polisi.

79 Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 53.

73

“Bapak orang yang baik. Saya harus mengatakannya! Anakku

sedang sakit keras. Kami perlu biaya. Istriku telah putus asa di

rumah. Dokter meminta banyak.”80

Pengirim Objek Penerima

Kesaksian tokoh aku Mencari kalung Integritas

institusi

Pendukung Subjek Penentang

Siksaan kepada Polisi Penelanan

lelaki penjambret kalung oleh

lelaki penjambret

Skema aktan 2.10

Melalui skema 2.10 terlihat bahwa kesaksian dari tokoh aku yang

mengaku telah melihat kalung ditelan oleh lelaki penjambret membuat

polisi berupaya untuk mencari kalung sebagai barang bukti dari kejadian

pengambilan perhiasan milik wanita muda. Polisi memberikan siksaan

kepada tersangka untuk memudahkan proses pencarian, namun hal itu

dihalangi oleh ditelannya kalung secara berulang oleh lelaki penjambret.

Sekarang kita paksa dia keluarkan kalung itu! Ambil obat pencahar!

Pisang dan pepaya. Suruh dia makan sebanyak-banyaknya.

Usahakan supaya dia mencret seperti burung. Lalu tampung

kotorannya!”

“Suruh dia minum obat pencahar! Paksa! Apa itu? Garam inggris?”

“Betul Pak.” kata bawahannya.

“Bagus dan tampung!”81

Pengirim Objek Penerima

Kebaikan tokoh aku Membuat pengakuan Kejujuran lelaki

atas perbuatannya penjambret

Pendukung Subjek Penentang

Rasa bersalah Lelaki penjambret O

Skema aktan 2.11

Melalui skema 2.11 terlihat bahwa kebaikan tokoh aku karena telah

mengantarkan pulang dan memberikan uang menjadi alasan untuk

80 Ibid, h. 62.

81

Ibid, h. 54.

74

membuat lelaki penjambret mengakui perbuatannya. Ia mengungkapkan

perasaannya secara jujur serta didukung oleh rasa bersalah yang ada di

dalam diri lelaki penjambret. Hal ini membuat tokoh aku terkejut, namun

tidak berniat untuk mengungkitnya. Perilaku keduanya membuktikan

kalung tetap dipertahankan oleh lelaki penjembret.

Dia tiba-tiba mengangkat mukanya. “Bapak adalah saksi itu! Bapak

orang baik. Saya harus mengatakannya!” Dia kembali menunduk.

“Saya bukanlah penjambret. Tetapi, saya telah melakukannya. Tiga

kali kalung itu keluar ke dalam pispot. Begitu keluar aku langsung

mnelannya.” Dia lepas jabat tangannya pelan-pelan. Dia memandang

kepadaku.82

Berdasarkan dari skema aktan 2.9-2.11 terlihat bahwa wanita muda

sebagai pemilik dari perhiasan tidak memiliki ruang dalam aktan karena

perannya hanya sebagai tokoh tambahan. Sedangkan tokoh aku, lelaki

penjambret, dan polisi memperdebatkan keberadaan kalung dan hal ini

akan memperlihatkan lakuan mereka terhadap perhiasan. Proses telan-

menelan perhiasan secara berulang oleh lelaki penjambret merupakan

tragis karena sebagai tersangka yang tidak memiliki kendali atas perilaku

kriminalnya, namun terjadi keberpihakan terhadapnya sebab kalung

dipertahankan sampai akhir penceritaan.

Dapat disimpulkan berdasarkan sekuen dan aktan dari ketiga cerpen

terdapat 11 skema yang memerlihatkan adanya korelasi dari masing-

masing tokoh terkait perhiasan. Terlihat kecenderungan bahwa wanita

muda, penodong, lelaki penjambret, dan polisi menempatkan pehiasan

dalam aktan objek meskipun dengan tujuan berlainan. Sedangkan tokoh

aku menempatkan perhiasan dalam aktan penentang atau suatu yang

dapat menghalangi tujuan. Hal ini menandakan bahwa terbentuknya

persepsi mengenai perhiasan mengalami kemiripan melalui penyebutan

tokoh, mulai dari tokoh aku, wanita muda, dan tokoh profesi (penodong,

penjambret, dan polisi) serta tidak terlepas dari peristiwa kriminalitas.

82 Ibid, h.62.

75

Tabel berikut untuk memudahkan melihat hubungan tokoh dan

perhiasan dalam penceritaan.

Tabel 1.2

Skema

aktan Subjek

Posisi Perhiasan dalam Aktan

(Kesamaan tindakan)

2.1, 2.5

2.9

Tokoh aku Penentang oleh karena itu

perhiasan dianggap sebagai

sumber permasalahan.

2.2 dan

2.6

Wanita muda Objek, ingin memamerkan kalung

karena menganggap perihasan

bagian dari penghargaan diri.

2.3, 2.8,

2.9, 2.10

2.11

Tokoh profesi

(Penodong, polisi, dan

lelaki penjambet)

Objek, perhiasan sebagai wujud

dari otoritas atau kekuatan dari

pekerjaan yang mereka jalani.

Melihat tabel di atas terdapat generalisasi persepsi terhadap

perhiasan dalam penceritaan melalui penyebutan nama tokoh. Asumsi

ini akan dibuktikan melalui analisis persepsi dari masing-masing tokoh

untuk melihat adanya kemiripan atau terjadi pergersan pandangan dari

tiap tokoh meskipun memiliki penyebutan nama yang sama.

2. Persepsi

Berdasarkan analisis aktan yang telah dilakukan di atas, persepsi

tokoh terhadap perhiasan terbagi menjadi tiga bagian: sebagai sumber

permasalahan, wujud penghargaan diri, dan bentuk otoritas atas pekerjaan.

Pembentukan persepsi dari masing-masing tokoh menggunakan teori Alan

Saks dan Gary Johns melalui aspek pengalaman, motivasi, emosi, situasi,

serta pandangan subjektifitas tokoh saat melihat perhiasan.

a. Sumber Permasalahan

Tokoh aku dari ketiga cerpen menganggap perhiasan sebagai sumber

dari berbagai masalah. Persepsi ini dimunculkan melalui rasa takut serta

tidak suka ketika melihat benda tersebut sehingga cenderung menghindar

76

atau enggan berurusan dengan hal-hal terkait perhiasan. Meskipun

ketiganya merupakan narator dan berperan sebagai saksi serta korban dari

pengambilan kalung milik wanita muda, persepsi atau pandangan tokoh

aku tetap beragam.

Tokoh aku dalam “Perbuatan Sadis”

Pengetahuan akan kejadian-kejadian sadis merupakan alasan utama

yang membuat tokoh aku memandang dunia di sekitarnya penuh dengan

kekejaman. Penilaiannya bersumber dari media massa, seperti televisi dan

koran serta cerita beberapa teman. Menariknya dari apa yang telah

diketahui, tidak ada satu permasalahan terkait perhiasan. Tokoh aku

membangun persepsi dengan ketidaktahuan karena hanya merefleksikan

informasi berdasarkan pengalaman sekundernya atau sesuatu yang tidak

dialaminya secara langsung. Terlihat dari kutipan berikut:

Pokoknya banyak perbuatan sadis yang pernah dilakukan manusia.83

Ambiguitas terhadap target (perhiasan) membuat tokoh aku

membangun interpretasi menjadi agak berlebihan. Ia beranggapan bahwa

perhiasan bagian dari kesombongan seseorang yang dapat memicu tindak

kejahatan. Stigma ini terbentuk disebabkan kalung sebagai benda yang

kerap diminati oleh siapapun. Pemakaiannya selalu menciptakan

ketertarikan dan membuat orang lain ingin memilikinya, tidak terkecuali

bagi pelaku kriminal. Mereka biasanya tidak akan segan melukai korban

untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Hal ini mengakibatkan rasa takut

serta gelisah dalam diri tokoh aku karena menghubungan pengalaman

dengan keadaan yang akan melibatkan dirinya. Terlihat dalam kutipan

berikut:

Aku gelisah melihat kalung emas itu, sedang dia tenang-tenang saja.

Dia seolah ingin menyombongkan perhiasan itu. Memamerkan

miliknya pada orang lain.84

83 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h.22.

84

Ibid, h. 24

77

Kutipan di atas membuktikan bahwa pola pikir tokoh aku penuh

dengan kegelisahan ketika melihat perhiasan. Terbukti saat bertemu wanita

muda di halte bus, kalung menjadi titik fokus pengelihatan bukan

berdasarkan rupa atau pakaiannya. Penggambaran wanita muda yang

minim informasi menandakan bahwa benda tersebut memang menjadi

perhatian utama tokoh aku, hanya dengan meliriknya timbul perasaan

gelisah dan takut. Hal ini disampaikan secara berulang, menandakan

ketakutan yang cukup mendalam. Terlihat dalam kutipan berikut:

Aku lihat wanita muda itu tenang-tenang saja. Tampaknya aku yang

lebih gelisah dibandingkan dengan dia.85

Melalui kata tampaknya pada apa yang dituturkan tokoh aku di atas

merupakan ciri “modalitas” atau sikap pembicara yang menunjukkan

adanya jarak atau gap antara apa yang dialami dengan sesuatu yang

diungkapnya.86

Situasi tersebut menjadi bukti bahwa tokoh aku tidak

menyampaikan perasaan secara terbuka, meskipun berperan menjadi

narator dalam penceritaan. Semua itu dilandasi oleh ego sebagai seorang

laki-laki yang menganggap gendernya harus selalu memiliki keberanian

serta ia tidak ingin disalahkan dari situasi yang menimpanya. Terlihat

dalam kutipan berikut:

Kau boleh menuduhku pengecut. Kau boleh menuduhku tidak satria.

Aku menerima semua tuduhan itu. Aku tidak marah kepadamu. Asal

kau tahu saja bahwa aku tidak memiliki urat kawat balung besi!87

Perhiasan pun membentuk lakuan tokoh aku dalam merespon bahaya.

Selain disebabkan oleh pengalaman traumatik masa lalu, latar sosial

memiliki andil dari perilakunya. Berasal dari kalangan bawah menjadi

indikasi bahwa tokoh aku merasa dekat dengan bermacam tindakan

kejahatan. Terlihat dari tidak adanya upaya untuk melakukan perlawanan

saat mengalami penodongan. Ia seolah enggan membuat risiko yang akan

memosisikan dirinya pada situasi merugikan. Kondisi ini menjadi keadaan

85 Loc,cit.

86

Irsyad Ridho, Kajian Cerita: Dari Roman ke Horor, (Yogyakarta: JBS, 2018), h. 142.

87

Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 23.

78

dilematis karena terjadi pertentangan motif dan kebutuhan, antara ingin

menolong wanita muda atau mempertahankan keamanan diri. Kedua

pilihan tetap akan menimbulkan akibat yang buruk bagi tokoh aku.

Motivasi yang ada di dalam diri tokoh aku yang memberikan

dorongan atas keputusan yang dipilihnya untuk tetap memilih diam agar

tetap pada situasi aman serta didukung oleh rasa takut. Motif membentuk

lakuannya saat menghadapi penodongan bersama wanita muda. Terbukti

dari pemilihan kata kerja di antara mereka saling bertolak belakang meski

dalam situasi yang sama, antara kata “memandang” dan “menonton”. Hal

ini memperlihatkan bahwa wanita muda mengharap pertolongan dari

tokoh aku, sedangkan tokoh aku menganggap adegan tersebut serupa

pertunjukan. Reaksi tokoh aku mencirikan konsistensi enggan melakukan

perlawanan meskipun terdapat kesempatan. Terlihat dalam kutipan

berikut:

Ujung pisau belati itu telah masuk ke kulit leher wanita muda itu. Dia

memandang kepadaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Wanita muda itu menangis di depanku. Aku hanya bisa

menontonnya.88

Respons pasif yang dilakukan tokoh aku selain disebabkan oleh rasa

takut, seperti dilandasi keinginan untuk memberikan pelajaran kepada

wanita muda agar berpikir sebelum melakukan sesuatu. Hal ini disebabkan

kalung yang dikenakan menempatkan mereka dalam posisi bahaya dan

telah mengganggu ketentraman diri tokoh aku. Padahal tokoh aku hanya

menghendaki kehidupan aman. Ia lebih menyarankan orang lain agar tidak

perlu melakukan sesuatu yang dapat memancing timbulnya petaka. Salah

satunya adalah dengan tidak memakai perhiasan di tempat umum.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perhiasan

membentuk ketakutan yang mendalam bagi tokoh aku. Hal ini dilandasi

oleh persepsi dirinya yang menanggap perhiasan merupakan benda yang

dapat membuatnya berada dalam situasi bahaya atau terluka. Pengalaman

88 Ibid, h. 25.

79

masa lalu menyisakan perasaan traumatik meskipun kejadian hanya

diketahui dari beragam cerita. Terbukti dari tidak ada perlawanan yang

mampu dibuat tokoh aku saat mengalami penodongan bersama wanita

muda. Ia tidak ingin terlibat agar tetap berada pada posisi yang aman.

Tokoh aku dalam “Perhiasan”

Tokoh aku berasumsi bahwa pemakaian perhiasan merupakan serupa

ajang untuk mendapatkan predikat sebagai orang yang berpunya, terlebih

jika digunakan di tempat umum. Semua berlomba mengenakannya tanpa

perduli asli atau imitasi. Perilaku seperti ini dianggap bagian yang sia-sia

karena hanya mengundang bahaya dan bukan suatu benda yang sangat

dibutuhkan dalam keseharian. Hal ini menjadi motivasi tokoh aku hidup

secara wajar tanpa perlu menutupi atau menonjolkan keadaan melalui

pemakaian perhiasan. Terlihat dari kutipan berikut:

Ada yang ingin menunjukkan kepada orang di sekitarnya bahwa dia

orang yang berada. Atau ada pula yang ingin menutupi kemiskinan

yang dimilkinya.89

Motif yang ada di dalam diri tokoh aku berkaitan dengan pengalaman

yang dialaminya secara langsung. Semua merupakan peristiwa buruk

karena tindak kejahatan yang disebabkan oleh pemakaian perhiasan. Mulai

dari penusukan di leher hingga korban dipaksa menelannya setelah pelaku

mengetahui barang rampasan sebatas imitasi. Hal ini membuat tokoh aku

menjadi antipati terhadap pemakaian perhiasan sehingga persepsi yang

muncul bersifat negatif. Meskipun begitu, lakuannya tetap memperlihatkan

sikap bijak tanpa ada perasaan trauma. Ia lebih memilih bersikap waspada

ketika harus berhadapan dengan seseorang yang mengenakan perhiasan.

Penggambaran ukuran dan bentuk kalung yang divisualisasikan secara

terperinci merupakan perhatian tokoh aku atas persepsinya bahwa semakin

besar ukuran perhiasan akan menimbulkan kejahatan yang mendatangkan

risiko. Terlihat dari kekagumannya saat melihat kalung milik wanita muda

yang dikenakan di tempat umum. Perhiasan sebagai target penilaian dari

89 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 74.

80

preceiver tidak terlepas dari latar terjadinya peristiwa, antara perhiasan dan

halte bus memiliki hubungan bahwa keduanya merupakan suatu yang lekat

di dalam pikiran tokoh aku. Ia telah menduga akan terjadi tindak kriminal

seperti penodongan atau penjambretan. Terlihat dari kutipan berikut:

Tetapi, saya lihat orang tidak pernah mau jera untuk menggantungkan

perhiasan di tubuh mereka. Seperti apa yang saya lihat saat ini, ketika

saya sedang menunggu kendaraan umum di halte bus.90

Melalui kutipan di atas juga terlihat bahwa emosi yang ditampilkan

tokoh aku merupakan ekspresi rasa heran sebab kejahatan tidak membuat

populasi pemakai perhiasan menjadi berkurang. Antara asli atau imitasi

tetap saling tumpang-tindih melekat di beberapa bagian tubuh dengan

berbagai fungsi berbeda tanpa memandang gender. Orang seakan menutup

mata dan telinga atas kemungkinan terburuk di sekeliling. Kebingungan

tokoh aku semakin bertambah ketika melihat wanita muda menyerahkan

perhiasan yang dikenakan secara sukarela kepada penodong yang datang

untuk merampas.

Perasaan kagum yang disampaikan tokoh aku mengungkap sisi lain

dari persepsinya mengenai perhiasan. Ia “seperti” telah mengetahui bahwa

apa yang diberikan wanita muda kepada penodong adalah kalung asli.

Terlihat dari pertanyaannya yang tidak tampak membutuhkan jawaban,

melainkan memberikan penekanan atas pernyatannya. Hal ini menjadi

bukti bahwa tokoh aku pun memiliki ketertarikan terhadap perhiasan sebab

mampu membedakan jenis asli atau imiasi. Situasi ini disampaikan tokoh

aku melalui tuturan secara tersirat. Terlihat dalam kutipan berikut:

Luar biasa ketenangannya. Mengagumkan.

“Saya kagum kepada Anda. Anda tenang sekali. Seolah Anda seperti

memberi uang seratus rupiah kepada pengemis.”

“Atau Nyonya keliru?”91

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perhiasan

memberikan dampak antipati dalam diri tokoh aku. Pengalaman yang telah

90 Ibid, h. 75.

91

Ibid, h. 77.

81

dialaminya memunculkan persepsi bernilai negatif. Ia tidak berniat untuk

menggunkan perhiasan meskipun memiliki ketertarikan. Hal ini dilandasi

oleh persepsinya bahwa perhiasan merupakan wujud dari kesombongan

seseorang dalam menutupi atau menampakkan latar sosial tertentu. Ia ingin

hidup secara wajar atau apa adanya dengan tidak memanipulasi keadaan

melalui pemakaian perhiasan.

Tokoh aku dalam “Pispot”

Persepsi perhiasan menurut tokoh aku dibangun dari interpretasi saat

menghadapi suatu keadaan yang dihadapi. Ia menjadi saksi dalam kejadian

penjambretan kalung milik wanita muda. Kejadian ini memperlihatkan

pandangannya yang kontradiksi; menganggap kalung milik wanita muda

lebih penting dibandingkan nyawa lelaki penjambret, namun tidak berniat

membawanya ke penjara saat mengetahui kalung ditelan secara berulang.

Hal ini menandakan situasi akan menjadi hal utama dalam proses persepsi.

Terlihat dalam kutipan berikut:

“Operasi itu bukan untuk menyelamatkan jiwamu, tetapi untuk

menyelamatkan kalung dari emas yang kau telan!”92

Apa yang dilakukan didukung oleh motivasi yang bersifat individualis

atau hanya untuk dirinya sendiri. Ia ingin cepat terbebas dari permasalahan

yang ikut menyeretnya. Situasi ini mengakibatkan kebingungan dalam diri

tokoh aku sehingga terjadi benturan antara motif dan kebutuhan, antara

mengadukan kembali ke kantor polisi atau membiarkan lelaki penjambret

sebab alasan penelanan kalung untuk biaya pengobatan, artinya motif

mempunyai nilai negatif dan positif (approach-avoidance conflic). Dalam

menghadapi situasi tersebut tokoh aku memilih untuk menolak dan

melupakan apa yang telah terjadi. Ia enggan untuk berurusan dengan hal

terkait perhiasan. Terlihat dalam kutipan berikut:

Aku suruh taksi meninggalkannya. Aku harus segera memutuskan

begitu aku berubah keputusan. Ku rasa itu tepat.93

92 Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 57-58.

93

Ibid, h. 63.

82

Keputusan lakuan dari tokoh aku pun dikarenakan kurangnya infomasi

mengenai karakteristik dan kebenaran benda yang telah ditelan oleh lelaki

penjambret sehingga target menjadi ambigu. Kesaksian dibuat tanpa dasar

pun menyebabkan perasaan bersalah, meskipun di awal penceritaan tokoh

aku enggan disalahkan. Perasaan ini membentuk regulasi emosi cogntive

reappraisal sebab mampu menahan emosi saat menghadapi kebungkaman

tersangka. Tokoh aku hanya memberikan judgement atau penghakiman

argumen tanpa mengutarakan cacian atau makian agar lelaki penjambret

buka suara.

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa tidak banyak sisi yang

mengungkap persepsi perhiasan dari tokoh aku selain situasi. Salah satu

lakuannya menjadi bukti bahwa tokoh aku enggan berurusan dengan hal

terkait perhiasan. Persepsi muncul secara kontradiksi, ia tidak mau merasa

bersalah ataupun disalahkan. Meskipun di awal penceritaan perhiasan

dianggap lebih berharga, namun keputusan yang diambil tokoh aku justru

membiarkan lelaki penjambret mengambil dan menelan kalung wanita

muda.

Dapat disimpulkan mengenai persepsi tokoh aku dari ketiga cerpen

bahwa perhiasan dianggap sebagai sumber masalah. Hal ini dilandasi oleh

beberapa alasan sehingga mempengaruhi pola pikir dan perilaku menjadi

berbeda. Secara garis besar, pengalaman primer maupun sekunder sangat

memberikan pengaruh terhadap proses persepsi dari ketiganya. Tokoh aku

dalam “Perbuatan Sadis” menilai perhiasan dapat membuat dirinya

terjebak bahaya sehigga ia bersikap apatis terhadap keadaan sekitar, dalam

“Perhiasan” tokoh aku menilai perhiasan sebagai kesombongan sehingga

menjadi antipati ketika melihat ketika orang lain mengenakannya, dan

dalam “Pispot” tokoh aku menganggap perhiasan sebagai suatu barang

berharga yang kontradiksi sehingga lakuannya pun terlihat tidak memilki

pendirian.

83

b. Penghargaan diri

Wanita muda dalam cerpen “Perbuatan Sadis” dan “Perhiasan”

memiliki kesenangan yang sama yaitu menyombongkan diri melalui

pemakaian perhiasan, asli ataupun imitasi saat berpergian ke luar rumah.

Hal ini tidak terlepas dari persepsi keduanya yang menganggap perhiasan

bukan sekedar benda yang menempel di tubuh, melainkan mampu

menumbuhkan kepercayaan diri. Perhiasan menjadi alat untuk menarik

orang lain agar memerhatian dan memberikan pujian. Cara keduanya

menghargai diri sendiri melalui perlakuan sikap orang lain. Hal ini membuat

wanita muda merasa diakui kehadirannya karena mendapatkan atensi dari

publik.

Wanita muda dalam “Perbuatan Sadis”

Keinginan wanita muda untuk bersikap sombong tidak berbanding

lurus dengan kualitas kalung yang dimiliki. Kemampuan finansial

membuatnya beralih ke perhiasan jenis imitasi. Hal tersebut seperti jalan

pintas bagi mereka yang tidak memiliki uang, namun tetap berpikir bahwa

perhiasan merupakan bagian dari kebutuhan atau gaya hidup. Kondisi ini

telah menjadi tren bahkan rahasia umum di masyarakat. Tidak ada

perasaan sungkan atau malu untuk mengakuinya. Terlihat dari kutipan

berikut:

“Jangan Bung pikirkan kejadian itu. Itu kalung imitasi! Dengan uang

lima ratus atau seribu rupiah, aku sudah bisa memilikinya lagi.

Banyak dijual kalung imitasi seperti itu.”94

Persepsi perhiasan yang tergambar dari wanita muda berasal dari

motivasinya. Terlihat dari aksi dan reaksinya dalam upaya mencapai

tujuan yang diinginkan. Alasan pemakaian kalung bagi wanita muda tidak

sekedar sebagai aksesoris untuk melengkapi penampilan, melainkan

bentuk penyangkalannya terhadap nasib. Ia memandang kalung dapat

mentransformasikan keadaan secara singkat, kemiskinan seolah mampu

94 Hamsad Rangkuti. “Perbutan Sadis”, h. 24.

84

diubah hanya melalui benda yang melekat di leher sehingga merasa dari

kalangan berpunya. Terlihat dari kutipan berikut:

“Anda mengenakan kalung imitasi untuk apa?”

“Hanya untuk fantasi saja.”95

Aksi manipulatif yang dilakukan wanita muda didukung oleh rasa

fantasi dalam alam pikirannya. Hal ini mengakibatkan timbul perasaan

senang dan menang ketika melihat orang lain di sekitar tertipu karena

mengira apa yang dipakainya perhiasan jenis asli. Kalung pun membentuk

keberanian dalam diri wanita muda. Terbukti melalui tindakannya saat

menghadapi penodong yang datang untuk merampas kalungnya, sikap

wanita muda cenderung tenang tanpa rasa rakut. Terlihat dari kutipan

berikut:

“Sesekali kita harus mengejek kemiskinan itu! Tidak ada bahaya kalau

kita tidak mengadakan perlawanan. Anda lihat sendiri, seolah saya

menyerahkan begitu saja kalung imitasi itu. Saya tidak memekik. Saya

di dalam hati mengetawai mereka!”96

Melalui kutipan di atas juga terlihat bahwa perilaku yang ditampilkan

wanita muda, tidak terlepas dari pengetahuannya atas situasi yang

mungkin akan menimpanya. Ia telah memperkirakan datangnya tindakan

kejahatan seperti penodongan, namun kurang menghiraukan dampak

terburuk atas perilakunya. Hal ini memicu terjadinya konflik karena wanita

muda mengalami penodongan yang berakibat pada peristiwa telan-

menelan. Motivasi untuk memamerkan kalung telah berganti menjadi

permasalahan pelik.

Wanita muda dihadapkan pada pilihan motif dan kebutuhan bernilai

negatif (avoidance-avoidance conflict). Tidak ada opsi lebih baik, antara

menelan kalung atau melawan penodong yang membawa belati. Keduanya

tetap membahayakan diri wanita muda. Kejadian ini merupakan suatu

ironi, sebab korban terintimidasi atas apa yang menjadi haknya. Ia harus

terluka karena benda miliknya sendiri, serta tidak mendapatkan bantuan

95 Ibid, h. 24.

96

Ibid, h. 24.

85

dari orang lain. Tokoh aku yang terlibat penodongan bersamanya hanya

diam tidak perduli. Situasi yang mendesak wanita muda mengambil

keputusan. Terlihat dari kutipan berikut:

Sejurus kemudian, wanita itu pulih kesadarannya. Dia menjerit!

“Tolong! Tolong! Saya menelan perhiasan!” Dia histeris.97

Melalui kejadian yang menimpa wanita muda membuktikan bahwa

persepsinya atas perhiasan tidak sesuai dengan interpretasi. Bukan pemilik

yang menciptakan fantasi, melainkan sebaliknya. Perhiasan telah

mempermainkan emosi wanita muda. Mulai dari perasaan senang, takut,

putus asa, bahkan histeris. Perubahan emosinya tampak secara fisiologis.

Hal ini menandakan tidak ada kepura-puraan dan memang dirasakannya.

Terlihat dari kutipan berikut:

“Darah lenyap dari air mukanya. Dia pucat bagaikan kapas.”98

Apa yang dilakukan wanita muda merupakan indikasi dari rasa tidak

percaya diri terutama terkait keadaan ekonomi karena berada di dalam

kemiskinan. Hal ini menyebabkan digunakannya benda untuk menyatakan

keberadaan diri agar mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang

lain. Pemilihan perhiasan sebagai medium untuk mengutarakan apa yang

diinginkan disebabkan benda tersebut dapat dilihat secara mudah oleh

siapapun. Selain itu perhiasan dianggap harta yang patut dibanggakan

karena mampu meningkatkan strata sosial seseorang.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi

perhiasan bagi wanita muda merupakan benda yang mampu membuat

peralihan keadaannya dalam waktu singkat. Ia membuktikan bahwa

kalangan sepertinya masih mempunyai hak untuk bersenang-senang dan

menampakkan diri, meskipun berada dalam kemiskinan. Apa yang

dilakukan wanita muda merupakan perasaan rendah diri serta bentuk

protesnya terhadap keadaan. Nahasnya benda tersebut terlalu memainkan

fantasi pemiliknya sehingga mengabaikan dampak buruk atas tindakannya.

97 Ibid, h. 27.

98

Ibid, h. 23.

86

Wanita muda dalam “Perhiasan”

Kalung seberat 45 gram dengan liontin berbentuk laba-laba

diinterpretasikan wanita muda sebagai mata-mata yang mampu membuat

orang lain tertarik agar melontarkan pujian terhadapnya. Penampilan fisik

dari objek berperan paling besar dalam persepsi yang diciptakan oleh

wanita muda. Hal ini membuktikan bahwa besar-kecilnya ukuran dari

perhiasan dapat memberikan pengaruh terhadap perasaan pemakainya.

Selain pola pikir, gerak-gerik dari wanita muda merupakan implementasi

dari persepsinya mengenai perhiasan. Terlihat dari kutipan berikut:

Saya senang dan muka saya merah ketika seorang dari mereka

mengomentarinya. Saya sebentar-sebentar datang menambah

minuman mereka dan kalung itu sengaja saya keluarkan dari balik

baju saya.99

Pengalaman atas aksinya memamerkan kalung mendapatkan reaksi

dari orang lain, seperti melihat ke arahnya atau menyatakan kata-kata

kekaguman. Akumulasi dari berbagai tanggapan serta asumsi khalayak

menjadi penilaian wanita muda bahwa perhiasan telah menjadi bagian dari

jati dirinya. Perhiasan serupa pakaian yang melekat di tubuh. Terbukti

dengan pemakaian kalung harus dipastikan selalu menggelantung di leher

wanita muda. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Malu rasanya kalau tidak mengenakan perhiasan,” dia berkata

dengan senyum kepada saya. .100

Tindakan dari wanita muda memperlihatkan motif lakuannya sangat

dipengaruhi dorongan di luar dirinya. Selain haus akan pujian, disebabkan

upayanya untuk menjaga gengsi suami. Alasan tersebut direalisasikan

melalui kepemilikan kalung asli dan imtasi dengan model dan ukuran

sama. Keduanya dipakai bergantian menyesuaikan tempat di mana akan

diadakannya interaksi. Hal ini menjadi bukti bahwa persepsi perhiasan

menurut wanita muda tidak terlepas dari keterlibatan dirinya dalam situasi

tertentu.

99 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h.79.

100

Ibid, h, 78.

87

Antara ruang publik dan domestik menimbulkan perbedaan persepsi

mengenai perhiasan. Hal ini mengakibatkan pengambilan keputusan

pemakaian perhiasan menurut wanita muda menjadi berlainan. Perhiasan

asli hanya dipakai untuk acara-acara terdekat seperti di rumah ataupun di

tempat kerabat. Sedangkan imitasi digunakan ketika perpergian seperti di

halte bus. Penggambaran situasi juga diinterpretasikan sebagai bentuk dari

kelas sosial tertentu. Terlihat dalam kutipan berikut:

Itulah sebabnya kalau saya berpergian mengenakan yang imitasi.

Yang asli saya pakai untuk mata-mata tetangga dan mata-mata

keluarga saya, juga berfungsi untuk menjaga gengsi suami.101

Apa yang dilakukan wanita muda menandakan perhiasan pun

membentuk emosi yang ada dalam di dirinya. Kondisi ini membuat

kepercayaan dan kenyamanan sekaligus mengakibatkan bahaya yang

kurang disadari wanita muda. Hal ini berdampak pada ambiguitas objek

karena lebih mengutamakan penilaian berdasarkan perasaan dibanding

pengetahuan dari karakteristik perhiasan. Terbukti diserahkan kalung

dengan sukarela kepada penodong meskipun telah sering memakai asli dan

imitasi secara bergantian.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi

perhiasan menurut wanita muda tidak terlepas dari objek dan dorongan

dari luar dirinya. Antara kalung asli dan imitasi digunakan secara

bergantian menyesuaikan situasi. Ada perasaan “malu” ketika tidak

mengenakan perhiasan. Hal ini menandakan perhiasan serupa pakaian

karena membentuk kepercayaan dan jati diri wanita muda serta mampu

menjaga gengsi suaminya. Ia pun senang mendapat pujian karena merasa

dihargai melalui benda yang dikenakan.

Dapat disimpulkan dari kedua cerpen di atas bahwa persepsi wanita

muda sangat dilandasi oleh motivasinya sehingga kurang memerdulikan

dampak yang mungkin terjadi atas perbuatan yang dilakukan. Mereka

menjadi lalai sehingga berakibat pada nasib buruk yang menimpa; antara

101 Ibid, h. 78-79.

88

dipaksa menelan dan kehilangan barang berharga. Keduanya berasal dari

latar sosial yang berbeda, namun memiliki persepsi sejalan. Perhiasan

dianggap sebagai bentuk peghargaan diri melalui atensi publik atau orang

di sekitar yang memberikan afirmasi berupa pujian ataupun kata-kata yang

meninggikan hati mereka.

c. Bentuk Otoritas Pekerjaan

Penyebutan nama tokoh melalui pekerjaan yang dijalani secara

general terdapat di dalam ketiga cerpen, antara lain penodong, polisi, dan

penjambret. Hal ini membentuk persepsi perhiasan yang dianggap sebagai

pembuktian dari pekerjaan. Mulai dari bukti kekuatan yang diperlihatkan

melalui tindak kekerasan, otoritas sebagai bagian dari integritas, serta

otoritas sebagai kepala keluarga yang dimanifestasikan melalui pekerjaan

yang dipilih.

Penodong dalam “Perbutan Sadis” dan “Perhiasan”

Penodong atau seseorang yang merampas barang milik orang lain

secara istilah tidak dapat dikatakan sebagai suatu profesi, namun di dalam

penceritaan sifat “profesionalitas” muncul mendukung karakterisasi tokoh.

Hal ini akan berdampak pada persepsi penodong ketika melihat perhiasan.

Persinggungan mereka terhadap perhiasan dalam keseharian menjadikan

target mudah dikenali. Hal dibuktikan dengan kemampuan membedakan

kalung asli dan imitasi milik wanita muda secara singkat. Terlihat dalam

kutipan berikut:

“Kami penodong terlatih. Kami bisa menandai asli ataupun palsu

pehiasan yang dikenakan korban-korban kami. Walau jarak sepuluh

meter kami tahu kalau Nyonya mengenakan emas murni.”102

Persepsi yang terbentuk tidak terlepas dari motivasi bersifat intrinsik

atau berasal dari dalam diri penodong. Mereka menginginkan kalung milik

wanita muda karena dianggap sebagai benda yang patut dimiliki

bagaimana pun caranya. Hal ini terlihat dari aksi-reaksi penodong,

menggunakan pisau belati untuk mencapai tujuan. Pisau merupakan suatu

102 Ibid, h. 76.

89

bentuk ancaman sehingga memberikan tekanan mental kepada korban

tanpa penodong harus banyak bicara. Hal ini menjadi penilaian bagi

mereka bahwa terbiasa dengan mudah mendapat apa yang diinginkan.

Perhiasan diinterpretasikan penodong sebagai pengalaman serta

motivasi dalam melakukan pekerjaan. Terbukti terjadi emosi expressive

reappraisal karena perhiasan mampu membuat penodong marah,

membentak, bahkan melontarkan kata-kata kasar, namun dengan intensitas

yang berbeda saat mengetahui mereka hanya mendapatkan perhiasan

dengan imitasi. Berbeda dengan tuturan ketika menghadapi korban yang

menggunakan perhiasan asli, sikapnya cenderung sopan dan diplomatis.

Hal ini disebabkan perhiasan merupakan wujud “profesionalitas” mereka.

Antara perhiasan asli dan imitasi terjadi kontradiksi.

Perhiasan imitasi milik wanita muda dianggap menghina pekerjaan

penodong yang terbiasa bersentuhan dengan beragam perhiasan. Terlebih

lokasi kejadian merupakan “rumah” bagi mereka yaitu halte bus. Tindakan

yang dilakukan menandakan bahwa pengalaman mereka sebelumnya tidak

pernah menemui korban seperti wanita muda. Emosionalitas penodong

sampai ke puncak ketika memaksa wanita muda menelan kalung. Terlihat

dari kutipan berikut:

“Kau menghina kami! Kau pancing kami dengan kepalsuan. Ini

kalung imitasimu itu! Makan!”103

Penghilangan kalung melalui pemaksaan penelanan oleh penodong

kepada wanita muda menjadi bukti bahwa perhiasan mampu

menghilangkan rasa kemanusiaan bahkan memberikan air minum untuk

memudahkan proses penelanan. Apa yang mereka lakukan sebagai

peringatan kepada siapapun agar tidak mencoba mengecohkan

pekerjaannya melalui perhiasan jenis imitasi. Penodong tidak akan segan

untuk bertindak nekat tanpa memperdulikan keadaaan korbannya.

Lakuannya pun memerlihatkan bahwa penodong sangat merasa dihina

103 Ibid, h.25.

90

sehingga menimbulkan dendam dan harus menuntaskan apa yang

diinginkan.

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa antara kalung asli dan

imitasi memiliki persesi kontradiksi bagi penodong. Semua ini tak terlepas

dari nilai yang terkandung di dalam perhiasan sebagai upaya untuk

mendapat uang atau penghasilan dari pekerjaan yang dijalani. Kalung asli

dimaknai benda berharga yang harus dimiliki bagaimana pun caranya,

sedangkan imitasi dianggap bentuk penghinaan karena mempermainkan

profesionalitas mereka sebagai penodong.

Polisi dalam “Pispot”:

Persepsi pehiasan dimunculkan melalui motivasi polisi saat berupaya

mencari barang bukti atas kejadian penjambretan. Dorongan datang secara

dua arah: dalam diri dan mendapatkan pengaruh rangsangan dari luar. Hal

ini berkaitan dengan integritas pekerjaan yang sedang dijalani sekaligus

otoritasnya sebagai seorang polisi. Terdapat rasa tanggungjawab karena

dianggap pihak yang mampu menyelesaikan masalah serta merasa gengsi

karena perlu melakukan pembuktian dari kinerja mereka yaitu menemukan

kalung milik wanita muda.

Kebungkaman lelaki penjambret membuat polisi melakukan beragam

cara agar mencapai tujuan yang diinginkan. Terlihat perubahan sikap dan

reaksi dari polisi. Pengalaman dijadikan acuan bahwa kekerasan mungkin

akan mendatangkan hasil atau membuat tersangka buka suara. Hal ini

dianggap “lumrah” atau telah menjadi rahasia umum. Mulai dari siksaan

secara fisik dan verbal diberikan sehingga penilaian atas perhiasan tidak

terlepas dari situasi yang terjadi di masa lalu. Keberhasilan pencarian

kalung lebih diutamakan dibandingkan keadaan tersangka. Terlihat dalam

kutipan berikut:

“Semua keterangan cukup meyakinkan! Sekarang kita paksa dia

keluarkan kalung itu! Ambil obat pencahar! Pisang dan pepaya. Suruh

dia makan sebanyak-banyaknya. Usahakan dia mencret seperti

burung. Lalu tampung kotorannya!104

104 .... “Pispot”, h.54.

91

Polisi memosisikan diri lelaki penjambret sebagai suatu objek, bukan

seperti manusia sehingga apa yang mereka lakukan kepada tersangka akan

menguatkan nilai persepsi dari perhiasan. Hal ini pun didukung oleh emosi

yang ditunjukkan ketika memberikan siksaan, meskipun regulasi emosinya

dapat diredam oleh tokoh aku. Polisi tidak lagi memaksa lelaki penjambret

untuk menelan berbagai ramuan, tetapi tersangka mulai mengeluarkan isi

perut dengan sukarela. Terlihat dari kutipan berikut:

Aku mulai tidak kuat melihat penyiksaan itu. Aku minta kepada

komandan pemeriksa untuk membolehkan aku membujuk lelaki itu

menelan obat pencahar, pisang, dan pepaya.105

Apa yang dilakukan oleh polisi juga tidak terlepas dari ambiguitas

atau kurangnya informasi mengenai kalung milik wanita muda. Kesaksian

tokoh aku yang hanya sepihak serta diamnya lelaki penjambret. Selain itu

didukung dengan situasi tempat terjadinya peristiwa yaitu kantor polisi.

Situasi membuat polisi kehilangan tega ataupun tidak merasa bersalah. Hal

ini disebabkan merasa perilakunya dapat dipertanggung jawabkan karena

bagian dari menjalankan tugas.

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa persepsi perhiasan bagi

polisi ialah bagian dari kekuatan dan pembuktian dari pekerjaan sebagai

apartur negara. Persepsinya membuat polisi bertindak memberikan siksaan

kepada lelaki penjambret tanpa memerdulikan keadaan dirinya dan hanya

hanya mengutamakan menemukan barang bukti yaitu kalung milik wanita

muda. Meskipun sampai akhir penceritaan, kalung tidak ditemukan karena

ditelan secara berulang.

Lelaki penjambret dalam “Pispot:

Lelaki penjambret bukan seseorang yang di kesehariannya mengambil

barang milik orang lain. Penyebutan itu didapatkan setelah merampas

kalung wanita muda untuk pertama kalinya. Meskipun begitu, apa yang ia

lakukan memerlihatkan sikap yang sama seperti penodong dan polisi yaitu

105 Ibid, h. 56.

92

melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan dalam

hal ini juga terkait perhiasan.

Proses persepsi lelaki penjambret terhadap perhiasan melibatkan motif

dari luar diri, antara lain anaknya yang sedang sakit dan istrinya putus ada

terhadap keadaan. Rangsangan tersebut berdampak reaksi memerlakukan

target secara berlebihan. Ia menjambret kemudian menelan kalung secara

berulang. Hal ini dilakukan karena menganggap perhiasan memiliki harga

jual tinggi sehingga dapat digunakan untuk biaya pengobatan. Terlihat dari

kutipan berikut:

“Anakku sedang sakit keras. Kami perlu biaya. Istriku telah putus asa

di rumah. Dokter meminta banyak.” Dia kembali menunduk. “Saya

bukanlah penjambret. Tetapi, saya telah melakukannya. Tiga kali

kalung itu keluar ke dalam pispot. Begitu keluar aku langsung

menelannya.”106

Melalui kutipan di atas terlihat bahwa persepsi pada perhiasan terjadi

benturan antara motif dan kebutuhan (avoidance-approach conflic), antara

mengakui perbuatan di hadapan polisi atau memilih bungkam agar dapat

menyelamatkan anaknya. Situasi mengharuskan lelaki penjambret memilih

di antara salah satunya, meskipun tetap akan menimbulkan konflik. Hal ini

dibuktikan dengan diamnya lelaki penjambret sehingga mendapat berbagai

siksaan untuk mempertahankan kalung. Ia memilih untuk mempertahankan

perhiasan yang telah dirampas.

Lakuannya pun dilandasi pengalaman dalam menilai target sehingga

bersifat spontan dan tanpa perencanaan. Ia tidak memiliki pengetahuan

membedakan perhiasan asli atau imitasi oleh karena itu melakukan segala

cara untuk mempertahankan kalung agar tetap berada di tangannya. Hal ini

membuktikan bahwa persepsi perhiasan merupakan otoritas dari pekerjaan

yang telah dipilih lelaki penjambret dengan latar pemikiran perannya

sebagai kepala keluarga yang harus bertanggung jawab kepada istri dan

anaknya.

106 Ibid, h. 62.

93

Situasi juga membentuk persepsinya, terlihat dari regulasi emosi yang

ditunjukkan lelaki penjambret. Ia mampu meredam atau dapat mengatur

emosinya ketika mendapat tekanan di kantor polisi. Hal ini merupakan

cognitive reappraisal dibuktikan dengan tidak melakukan perlawanan atas

berbagai tekanan yang diberikan kepadanya. Alasan lain disebabkan lelaki

penjambret tidak memiliki akses untuk mengungkap batin dirinya secara

mendalam. Terlihat dari kutipan berikut:

Dia raih gelas berisi larutan garam inggris dari atas meja. Dia reguk

seperti orang minum kopi. Kemudian dia lahap pepaya dan pisang.

Seorang petugas membuka pintu kaca.

“Sudah ingin ke jamban?” katanya.

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa persepsi perhiasan bagi

lelaki penjambret merupakan bukti dari pekerjaan yang telah dipilihnya.

Meskipun baru pertama kali melakukan penjambretan, usaha yang

dilakukan menunjukkan otoritasnya. Hal ini tidak terlepas dari keadaan

anaknya yang sedang sakit dan isitri yang telah putus asa. Persepsinya

membentuk lakuan lelaki penjambret menjadi nekat karena hampir

membahayakan diri sendiri untuk mempertahankan kalung yang telah

dirampas. Benda tersebut ditelannya secara berulang dan rela mendapat

siksaan di kantor polisi.

Dapat disimpulkan dari ketiga tokoh profesi (penodong, penjambret,

dan polisi) memiliki persepsi bahwa perhiasan merupakan bentuk dari

otoritas pekerjaan yang dijalani. Hal ini dilandasi oleh target (perhiasan)

dinilai sebagai barang berharga dan harus mendapatkannya dengan cara

apapun bahkan melakukan kekerasan yang merugikan diri sendiri maupun

orang lain. Terlihat bahwa proses persepsi dari ketiga tokoh sangat

mengutamakan nilai dari target sehingga menunjukkan emosionalitas yang

secara berlebihan.

Berdasarkan pemaparan dari ketiga cerpen bahwa persepsi perhiasan

berkaitan erat dengan penyebutan tokoh dalam penceritaan. 1) Tokoh aku

memiliki pandangan bahwa perhiasan sebagai sumber permasalahan yang

membuat diri mereka berada dalam posisi tidak aman atau terancam. 2)

94

Wanita muda menganggap perhiasan bagian dari penghargaan diri karena

mampu memberikan kepercayaan dalam diri karena mendapatkan validasi

dari orang lain melalui atensi yang diberikan. 3) Tokoh profesi (penodong,

polisi, dan lelaki penjambret) berpendapat bahwa perhiasan pembuktian

dari otoritas terhadap pekerjaan.

Beragam persepsi yang muncul mampu membentuk pola pikir dan

perilaku tokoh sehingga perhiasan menjadi orientasi dalam pengambilan

keputusan yang justru merugikan diri sendiri dan orang lain. Mulai dari

bersikap apatis, lalai terhadap bahaya, dan melakukan segala cara untuk

mendapatkan yang diinginkan. Kondisi ini menjadi ironi yang ingin

disampaikan Hamsad Rangkuti selaku pengarang melihat realitas bahwa

manusia kerap betindak nekat tanpa pikir panjang karena terlalu diperdaya

oleh benda. Terlihat dari ketiga cerpen bahwa penceritaan diakhiri dengan

hilangnya perhiasan dan didukung oleh peristiwa telan-menelan dari

korban ataupun tersangka.

B. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah

Sastra dianggap bias dari kehidupan. Nilai-nilai yang terkandung dipelajari

oleh peserta didik dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.

Keduanya terintegrasikan melalui aspek menulis, berbicara, membaca, dan

menyimak. Tolak ukur keberhasilan bukan lagi sekedar menyelesaikan bacaan

ataupun menjawab pertanyaan, tetapi dilihat dari kemampuan apresiasi pada

tingkat penerapannya dalam keseharian. Kebermanfaatan sastra menjadi lebih

terbukti.

Guru sebagai mediator dan eksekutor diharapkan mampu menciptakan

ruang belajar yang menarik. Hal ini dapat dimulai dari pemilihan bacaan yang

akan diberikan kepada peserta didik. Penelitian ini menjadi bahan alternatif

pembelajaran sastra di sekolah. Analisis persepsi perhiasan dalam ketiga

cerpen karya Hamsad Rangkuti berjudul “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan

“Pispot” digunakan dan diimplikasikan pada tingkat menengah atas kelas XI

semester ganjil dengan strandar kompetensi mengidentifikasi serta

95

mendemonstrasikan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kumpulan

cerita pendek yang dibaca.

Kemudahan alur cerita serta tidak ada kerumitan dalam gaya bahasa dari

cerpen karya Hamsad Rangkuti dapat menjadi referensi untuk menumbuhkan

minat peserta didik akan pembelajaran sastra. Mereka diminta membaca secara

intensif sebagai upaya proses menganalisis unsur intrinsik. Kegiatan membaca

cerita dengan judul berbeda dalam satu waktu merupakan upaya untuk melatih

daya pikir kritis melalui pencarian persamaan dan perbedaaan yang melingkupi

penceritaan berdasarkan argumen yang mendasar.

Metode diskusi dapat dimanfaatkan sebagai sarana tukar informasi dan

pemikiran sehingga peserta didik melihat beragam gagasan secara terbuka.

Kegiatan membandingkan menandakan mereka tidak sekedar menyebutkan

unsur intrinsik, tetapi mencoba untuk menemukan alasan di balik tindakan para

tokoh. Hasil temuan kemudian dikaitkan dengan nilai-nilai dalam kehidupan.

Perilaku tokoh dari ketiga cerpen merupakan gambaran yang masing-masing

dapat dipetik hikmahnya.

Ketiga cerpen menceritakan mengenai pengambilan kalung milik seorang

wanita yang mengakibatkan munculnya berbagai persepsi mengenai perhiasan.

Persepsi membentuk pola pikir dan perilaku tokoh menjadi berlebihan bahkan

merugikan diri sendiri maupun orang lain. Hal ini dapat diterapkan sebagai

upaya pembentukan karakter peserta didik agar bersikap jujur, adil, dan

toleransi dalam mengambil keputusan tertentu serta tidak berorientasi terhadap

satu sisi melainkan menguji pendapat dan fakta yang ada. Peserta didik

diberikan pemahaman mengenai proses penilaian yang tidak berat sebelah atau

hanya berdasarkan subjektifitasnya.

Selain itu peserta didik diajar untuk memiliki kepribadian melalui regulasi

atau pengaturan emosi yang baik. Hal ini berarti mereka akan didik untuk

berpikir sebelum bertindak. Menimbang baik-buruknya keputusan tertentu,

tidak hanya untuk diri sendiri tetapi untuk kebaikan bersama. Hal ini terlihat

dari masing-masing tokoh dalam penceritaan yang bersikap cenderung spontan

96

hanya untuk mewujudkan keinginannya yang bersifat semu, seperti mendapat

perhatian ataupun menginginkan validasi dari orang sekitar.

Krisis penghargaan diri yang dialami oleh wanita muda dalam “Perbuatan

Sadis” dan “Perhiasan” dapat menjadi cermin bagi peserta didik agar tidak

menempatkan diri melalui benda. Kondisi ini memberikan pelajaran bahwa

lebih menumbuhkan kepercayaan diri melalui kemampuan atau bakat yang

dimiliki, bukan bergantug pada kepemilikan benda mahal seperti gadget atau

benda lainnya. Cerpen Hamsad Rangkuti dapat menjadi refleksi dalam

menjalani kehidupan dalam bermasyarakat.

Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian mengenai analisis persepsi

perhiasan dalam tiga cerpen karya Hamsad Rangkuti memiliki implikasi

terhadap pembelajaran sastra di kelas XI dengan kompetensi dasar yaitu

menganalisis isi dan nilai-nilai yang terkandung dalam kumpulan cerita pendek

yang telah dibaca. Pemahaman unsur intrinsik dapat meningkatkan

kemampuan peserta didik untuk memahami kandungan cerita sehingga dapat

direalisasikan dalam kehidupan sebagai upaya pembentukan karakter peserta

didik.

97

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tiga cerpen karya

Hamsad Rangkuti dengan judul “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot”

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi perhiasan dalam tiga

cerpen karya Hamsad Rangkuti: terdapat 11 skema aktan yang

menunjukkan korelasi terkait persepsi perhiasan melalui penyebutan nama

tokoh. 1) Tokoh aku memiliki pandangan bahwa perhiasan sebagai sumber

permasalahan yang membuat diri mereka berada dalam posisi tidak aman

atau terancam. 2) Wanita muda menganggap perhiasan bagian dari

penghargaan diri karena mampu memberikan kepercayaan dalam diri

melalui atensi dari publik. 3) Penodong, polisi, dan lelaki penjambret

memandang perhiasan sebagai pembuktian dari otoritas terhadap pekerjaan

sehingga apapun diupayakan untuk mendapatkan yang diinginkan.

Persepsi yang terbentuk dari ketiga cerpen memiliki dampak atas pola

pikir dan perilaku para tokoh yang bersifat merugikan diri sendiri ataupun

orang lain. Hal ini menandakan bahwa perhiasan menjadi tolak ukur atau

orientasi dari pengambilan keputusan tertentu. Kondisi ini menjadi ironi

yang ingin disampaikan Hamsad Rangkuti selaku pengarang melihat

realitas bahwa manusia kerap betindak nekat tanpa karena terlalu

diperdaya oleh benda.

2. Implikasi yang dapat diterapkan dari analisis persepsi perhiasan dalam tiga

cerpen karya Hamsad Rangkuti terhadap pembelajaran sastra di sekolah,

yaitu mengidentifikasi dan mendemonstrasikan nilai-nilai kehidupan yang

dipelajari dari ketiga cerpen. Metode diskusi digunakan untuk sarana tukar

informasi melalui argumen yang mendasar dan menghormati perbedaan

pendapat antar peserta didik. Kegiatan membandingkan menandakan

mereka tidak sekedar menyebutkan unsur intrinsik, tetapi mencoba untuk

98

menemukan alasan di balik tindakan para tokoh. Hal ini berkaitan dengan

pembentukan persepsi pola pikir dan perilaku tokoh menjadi berlebihan

bahkan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kondisi tersebut dapat

diterapkan sebagai upaya pembentukan karakter peserta didik agar

bersikap jujur, adil, dan toleransi dalam mengambil keputusan tertentu

serta tidak berorientasi terhadap benda melainkan menguji pendapat dan

fakta yang ada.

B. Saran

Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian, maka peneliti memberikan

beberapa saran sebagai berikut:

1. Melalui penelitian persepsi perhiasan dalam tiga cerpen karya Hamsad

Rangkuti, peserta didik dapat memahami kaitan antar-peristiwa sehingga

memudahkan peserta didik dalam memahami makna kesuluruhan dalam

cerita. Hal tersebut memberikan berbagai macam pelajaran sehingga

peserta didik dapat mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.

2. Adanya peneitian ini, baik tenaga pendidik atau peneliti yang lain dapat

menggunakan cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya

Hamsad Rangkuti sebagai referensi kegiatan pembelajaran di sekolah atau

sebagai objek penelitian lebih lanjut. Aspek intrinsik dan nilai-nilai yang

terdapat dalam cerpen dapat diteliti dan dipelajari lebih baik sehingga

dapat berguna bagi banyak orang di dunia sastra maupun pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. “Tinja dalam Sastra”. Kompas. 2001.

I Bernd Horn, Colonel. The Military Leadership Handbook. Canada: Dundurn

Press and Canadian Defence Academy. 2009.

Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

2018.

Bunga, Muhammad; Andria Catri, dan Muhammad Ismail,.“Materialis dalam

Naskah Drama Nyonya-nyoya Karya Wisran Hadi: Kajian Sosiologi Sastra,

Jurnal Bahasa dan Sastra UNP. 2012.

Chandra, I Wayan, dkk. Psikologi Landasan Keilmuan Praktik Keperawatan

Jiwa, Yogyakarta: Andi. 2017.

Damono, Sapardi Djoko.“Sastra di Sekolah”, Susastra 5 Jurnal Ilmu Sastra dan

Budaya. Volume 3 Nomor 5. 2007.

Dange Jagannaath K. “Perception, Passion, and Obsession: The Three Elements

of Theory of Success”, International Journal of Advanced Education and

Research, Volume 1. 2016.

Dimyati, M. Psikologi Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi. 2018.

Ensiklopedi Sastra Indoneisa. Titian Ilmu: Bandung. 2007.

Eshetu, Getnet. Factor Affecting Intructional Leaders Perception towards

Educational Media Utilization in Classroom Teaching. Hamburg: Anchor

Academic Publishing. 2015.

Fitriyah, Lailatul. “Jangan Terlalu Materialistik! Materialisme sebagai Tolak Ukur

Kepuasan Hidup, Jurnal Psikovidya, Vol 20. No. 1 April 2016.

Hasan, Fuad. Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesia Tera. 2002.

Hon, Colonel Bernd. The Military Leadership Handbook. Canada: Dundurn Press

and Canadian Defence Academy: 2009.

Ismawati. Esti. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Ombak. 2013.

Jabrohim. Pasar dalam Perspektif Greimas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.

Juhara, Erwan. “Aroma Satire dalam Sampah Bulan Desember Karya Hamsad

Rangkuti”. Jurnal Metasastra. Volume 3. Nomor 1. Tahun 2010.

Luxemburg, Bal, dan Weststeijn. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa. 1989.

Mahayana, Maman S. Bermain dengan Cerpen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama. 2006.

Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 2007.

Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia. 2013.

Mulyadi, Efix. “Sastra Bibir Hamsad Rangkuti”. Kompas. Sabtu, 22 April 2000.

Nitami, Noviana. “Obsesi Tokoh Utama terhadap Makanan Novel Aruna dan

Lidahnya Karya Laksmi Pamuntjak”, Jurnal Dialektika. Volume 3. Nomor

1. Tahun 2016.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. 2012.

. Stilistika. Yogyakarta: UGM Press. 2014.

Palogai, Ibnu Sina. Skripsi: “Analisis Struktural dan Nilai Moral Kumpulan

Cerpen Bibir dalam Pispot Karya Hamsad Rangkuti”. Makassar: Universitas

Negeri Makassar. 2017.

Prince, Gerlad. Dictionary of Narratology. United States of America: University

of Nebraska Press. 2003.

Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012.

Rangkuti, Hamsad. Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan

Bibirmu?. Yogyakarta: Diva Press. 2014.

.“Dari Bakat Alam ke Teknik” dalam Pamusuk Eneste.

Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia. 2009.

. Lukisan Perkawinan. Yogyakarta: Matahari. 2004.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 2015.

Ridho, Irsyad. Kajian Cerita: dari Roman ke Horor. Yogyakarta: JBS. 2018.

Rukmini, Mien. Pengajaran Apresiasi Sastra. Tangerang: Universitas Terbuka.

2007.

Santana, Septiawan. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:

Obor. 2010.

Santoso, Satmoko Budi. Esai “Cerita Pendek, Keberjamakan, Reruntuhan Menara

Gading”. Jakarta: Kompas. 2003.

Sarwono, W. Sarlito. Pengantar Psikologi Umum. 2002. Jakarta: Rajawali Press.

Setyorini, Ririn. “Diskriminasi Gender dalam Novel Entrok Karya Okky

Madasari: Kajian Feminisme”. Junral Desain, Volume 4. Nomor 3. Tahun

2017.

Shinantya dan Julia. Perbedaan Regulasi Emosi Perempuan dan Laki-laki di

Perguruan Tinggi, Jurnal Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas

Indonesia. 2017.

Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Press. 2012.

Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002

Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta. 2015.

Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2012.

Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya. 1984.

Tobing, Maruli. “Pesona: Hamsad, dari Lorong Pasar di Kisaran”. Kompas. 2007.

Triananda, Oji Putra. Skripsi: “Masalah-masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen

Cemara Karya Hamsad Rangkuti”. Padang: Universitas Negeri Padang, 2019.

Waluyo, Herman J.Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University

Press. 1994.

Warisman. Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis. Malang: UB Press.

2016.

Warisman. Pengantar Pembelajaran Sastra. Malang: UB Press, 2017.

Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama. 2014.

Yos. “Dijambret, Diganti Kalung Palsu”. Kompas. 1982.

Media Daring

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia, Ensiklopedia Sastra Indonesia,

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Hamsad_Rangkuti. Diakses 15

Februari 2019

https://explorable.com/perception. Diakses 15 Agustus 2019.

Lahitani, Sulung. “Tergolek Tak Berdaya, Sastrawan Hamsad Rangkuti Butuh

Pertolongan”, https://m.liputan6.com/citizen6/read/3066538/tergolek-tak-bedaya-

sastrawan-hamsad-rangkuti-butuh-pertolongan. Diakses 12 Maret 2019

Rajaguguk, Kisar. “Sebelum Meninggal Hamsad Rangkuti Idap Sejumlah

Penyakit”,https://m.mediaindonesia.com/amp/amp_detail/1809794-sebelum-

meninggal-hamsad-rangkuti-idap-sejumlah-penyakit. Diakses 12 Maret 2019

KOMINFO, “Masyarakat Indonesia: Malas Baca tapi Cerewet di Medsos”,

https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-

baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media diunduh 11 November 2019.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Sekolah : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester : IX/I (Ganjil)

Materi Pokok : Cerita Pendek

Alokasi Waktu : 2 x 45 menit

A. Kompetensi Inti

1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.

2. Menghargai dan menghayati perliaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli

(toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara

efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan

keberadaannya.

3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan

rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya

terkait fenomena dan kejadian tampak mata.

4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan,

mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak

(menulis, membaca, menghitung, menggambar, mengarang) sesuai dengan

yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut

pandang/teori.

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK)

Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi

3.8 Mengidentifikasi nilai-nilai

kehidupan yang terkandung

dalam kumpulan cerita pendek

yang dibaca

3.8.1 Menentukan unsur intrinsik,

ekstrinsik, serta menerapkan

nilai-nilai dalam cerpen ke

dalam kehidupan sehari-hari

4.8 Mendemostrasikan salah satu

nilai kehidupan yang dipelajari

dalam cerita pendek

4.8.1 Mempresentasikan dan

memperbaiki hasil kerja

dalam diskusi kelas

C. Tujuan Pembelajaran

1. Mengidentifikasi isi cerpen

2. Menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik

3. Menelaah dan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam

cerpen

D. Materi

1. Cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad

Rangkuti.

2. Unsur intrinsik dan ekstrinisk

3. Nilai-nilai kehidupan yang relevan dengan ketiga cerpen.

E. Pendekatan, Model, dan Metode

Pendekatan : Saintifik

Model : Active learning

Metode : Diskusi, presentasi, tanya-jawab, dan penugasan

F. Media Pembelajaran

Lcd proyektor, laptop, whiteboard, dan koran.

G. Sumber Belajar

1. Buku bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK kelas XI edisi revisi 2017

2. Cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad

Rangkuti

3. Video eksplainer

H. Kegiatan Pembelajaran

Tahap Langkah-langkah Pembelajaran

Alokasi

Waktu

Kegiatan

Awal

1. Guru memberikan salam dan berdoa bersama

peserta didik.

2. Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai

sikap disiplin.

3. Mengondisikan peserta didik dengan suasana

belajar yang menyenangkan agar peserta

didik siap mengikuti pembelajaran.

4. Apersepsi dilakuan dengan cara

mendiskusikan kompetensi yang sudah

dipelajari dan secara proaktif tentang

keterkaitan antar materi

5. Peserta didik menyimak kompetensi dan

tujuan serta mengontruksi manfaat dalam

kehidupan sehari-hari.

6. Peserta didik menerima informasi tentang

hal-hal yang akan dipelajari, metode dan

media, langkah serta penilaian pembelajaran.

10

menit

Kegiatan

Inti

Mengamati

1. Guru memberikan tiga potongan cerpen

berbeda dan berita di koran.

2. Peserta didik mencoba mengidentifikasi

isi teks keterkaitan antara cerita (cerpen)

dan kejadian nyata (koran)

3. Peserta didik membaca ketiga cerpen

70

menit

secara intensif.

Menanya

1. Guru memberikan pertanyaan bersifat

literal, interpretatif, intregratif, kritis, dan

kreatif.

2. Peserta didik bertanya jawab secara

proaktif dengan argumen mendasar

Menalar atau mengumpulkan informasi

1. Peserta didik duduk secara berkelompok

(heterogen 3-4 orang).

2. Peserta didik berdiskusi mengenai unsur

intrinsik, ekstrinisk, dan

menghubungkannya dengan nilai-nilai

kehidupan dalam cerpen.

Mengasosiasi

1. Peserta didik menganalisis unsur

pembangun teks dan menghubungkannya

dengan nilai-nilai kehidupan yang

mereka alami atau ketauhi.

2. Masing-masing kelompok mencatat hasil

diskusi

Mengomunikasikan atau menyajikan

1. Peserta didik duduk secara berkelompok

mempresentasikan hasil kerjanya (4C)

2. Peserta didik bergantian

mempresentasikan hasil kerjanya di

depan kelas menggunakan bahasa yang

santun dan benar.

3. Peserta didik yang lain memberikan

penilaian dan komentar atas penampilan

temannya.

4. Hasil penilaian dijumlahkan dan

diumumkan untuk ditentukan kelompok

yang terbaik.

5. Guru memberikan apresiasi kepada

seluruh peserta didik.

Kegiatan

Penutup

Kegiatan guru bersama peserta didik

1. Membuat rangkuman atau kesimpulan

pelajaran.

2. Melakukan refleksi terhadap kegiatan

yang telah dilaksanakan.

3. Memberikan umpan balik terhadap

proses dan hasil pembelajaran.

Kegiatan guru

1. Melakukan penilaian.

2. Memberikan tugas kepada peserta didik.

3. Menyampaikan rencana pembelajaran

yang akan dilakukan selanjutnya.

Menutup kegiatan belajar-mengajar.

20

menit

Pengayaan Bagi peserta didik yang sudah mencapai nilai ketuntasan

diberikan pembelajaan pengayaan sebagai berikut:

a. Peserta didik yang mencapai nilai standar diberikan

materi masih dalam cakupan KD dengan pendalaman

sebagai pengetahuan tambahan.

b. Peserta didik yang telah mencapai nilai diberikan materi

melebihi cakupan KD dengan pendalaman sebagai

pengetahuan tambahan.

Remedial a. Tahapan pembelajaran remedial dilaksanakan melalui

remedial teaching (klasikal), atau tutor sebaya, atau tugas

lain dan diakhiri dengan tes.

I. Penilaian

1. Jenis/Teknik Penilaian

a. Kompetensi sikap : Observasi/Pengamatan

b. Kompetensi pengetahuan : Tes Tertulis

c. Kompetensi keterampilan : Unjuk Kerja/Praktik/Portofolio

2. Instrumen Penilaian

a. Penilaian Sikap

Lembar Penilaian Sikap - Observasi pada Kegiatan Diskusi

Mata Pelajaran : …………..

Kelas/Semester : …………..

Topik/Subtopik : …………..

Indikator : Peserta didik menunjukkan perilaku kerja sama,

santun, toleran, responsif dan proaktif serta bijaksana

sebagai wujud kemampuan memecahkan masalah

dan membuat keputusan.

No Nama

Siswa

Kerja

sama

Rasa

Ingin

Tahu

Santun Komunikatif Keterangan

1

2

Kolom Aspek perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria

berikut.

4 = sangat baik

3 = baik

2 = cukup

1 = kurang

Pedoman Penilaian:

Skala penilaian dibuat dari rentang 1-4.

Skor penilaian: Skor pero ehan

Skor maksima

Penilaian Sikap – Jurnal

Nama Peserta Didik : …………...........................................……..

Kelas : …………...........................................……..

Aspek yang diamati : …………...........................................……..

No Hari/tanggal Kejadian Keterangan /

Tindak Lanjut

1.

2.

….

Nilai jurnal menggunakan skala Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup (C), dan

Kurang (K)

b. Penilaian Pengetahuan

No Indikator

Pencapaian

Teknik

Penilaian

Bentuk

Penilaian Instruman

1.

Mengidentifikasi

nilai-nilai

kehidupan yang

terkandung dalam

kumpulan cerita

pendek yang dibaca

Tulis Uraian

Menemukan nilai-

nilai kehidupan

dalam tiga cerpen

karya Hamsad

Rangkuti.

2.

Mendemostrasikan

salah satu nilai

kehidupan yang

dipelajari dalam

cerita pendek

Lisan Presentasi

Menyampaikan

hasil temuan

melalui diskusi

perkelompok

c. Penilaian Keterampilan

Skor Kriteria Total

Skor

P

enam

pil

an

27-30 Sangat baik-sempurna: ekspresi tepat, intonasi

tepat, tertata dengan baik, cara penyampaian

lancar, jelas dan menarik, terlihat sangat

bersemangat

22-26 Cukup-baik: ekspresi cukup, intonasi cukup, cara

penyampaian cukup lancar, cukup jelas dan cukup

menarik, terlihat bersemangat

17-21 Sedang-cukup: ekspresi cukup, intonasi cukup,

cara penyampaian cukup lancar, cukup jelas dan

cukup menarik, terlihat cukup bersemangat

13- 16 Sangat kurang-kurang: ekspresi kurang, intonasi

tidak tepat, cara penyampaian tidak lancar, tidak

jelas dan tidak menarik, terlihat tidak bersemangat

0-10 Sangat kurang-kurang: ada lebih dari satu

penyusunan yang salah, terdapat banyak kesalahan

berpikir, belum memahami ciri dan kaidah

kebahasaan teks eksplanasi dengan baik

Nilai akhir:

Jakarta, 18 Juli 2019

Mengetahui,

Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia

Ghina Octaviana

NIP/NIK 11140130000008

TENTANG PENULIS

Ghina Octaviana lahir di Tangerang, 17 Oktober

1996 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis

menempuh pendidikan formal di TK Tunas Harapan

(2001-2002), SDI Al-Khasyi’un (2002-2008), MTsN 3

Jakarta (2008-2011), MAN 4 Jakarta (2011-2014),

kemudian melanjutkan pendidikan S1 di Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta melalui

jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Sejak di bangku sekolah, penulis memiliki ketertarikan terhadap kesenian.

Hal ini direalisasikan penulis melalui organisasi yang dipilih yaitu COLSTRA

(Kolaborasi Seni Tradisional dan Modern) serta POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah),

namun ketika menempuh pendidikan strata satu, penulis menemukan kecintaan

lain yaitu membaca sastra dan mengajar. Kedua kegiatan tersebut memberikan

pelajaran kepada penulis bahwa hidup adalah persoalan menikmati proses. Kata

Pak Pram, “Di langit ada sorga, di bumi ada Hanchou, dan kami menambahkan: di

hati ada kepercayaan.”