Upload
others
View
43
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERHIASAN DAN KRIMINALITAS DALAM TIGA CERPEN
KARYA HAMSAD RANGKUTI SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Ghina Octaviana
11140130000008
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
i
ABSTRAK
Ghina Octaviana (NIM: 11140130000008). Perhiasan dan Kriminalitas
dalam Tiga Cerpen Karya Hamsad Rangkuti serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di Sekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi perhiasan terkait situasi
kriminalitas dalam tiga cerpen karya Hamsad Rangkuti dan implikasinya terhadap
pembelajaran sastra di sekolah. Metode yang digunakan ialah deskriptif kualitatif
melalui naratologi Greimas serta teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns. Hasil
analisis cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” menunjukkan bahwa
terdapat 11 skema aktan yang memperlihatkan adanya korelasi mengenai persepsi
perhiasan melalui penyebutan nama tokoh. Perhiasan dipandang tokoh aku
sebagai sumber masalah, wanita muda memandangnya sebagai penghargaan diri,
sedangkan tokoh profesi (penodong, penjambret, dan polisi) menilai pehiasan
sebagai pembuktian otoritas pekerjaan yang sedang dijalani. Beragam persepsi
membentuk pola pikir dan perilaku tokoh sehingga perhiasan menjadi orientasi
dalam pengambilan keputusan yang justru merugikan diri sendiri maupun orang
lain, mulai dari bersikap apatis, lalai terhadap bahaya, dan melakukan segala cara
untuk mendapatkan yang diinginkan. Hal ini merupakan ironi yang ingin
disampaikan Hamsad Rangkuti melihat realitas bahwa manusia kerap bertindak
nekat tanpa pikir panjang karena terlalu diperdaya oleh benda. Analisis ini
diimplikasikan pada pembelajaran sastra di sekolah sebagai bahan ajar untuk
memahami unsur intrinsik dan nilai-nilai kehidupan. Persepsi dapat diterapkan
dalam upaya pembentukan karakter peserta didik agar bersikap adil, jujur, dan
toleran ketika menilai atau melakukan sesuatu.
Kata kunci: Persepsi, Perhiasan, Naratologi Greimas, Hamsad Rangkuti
ii
ABSTRACT
Ghina Octaviana (NIM: 11140130000008). Jewelery and Crime in Three Short
Stories by Hamsad Rangkuti and It’s Implications for Literature Learning in
School.
The research aims to describe the perception of jewelery related to criminal
situation in three short stories written by Hamsad Rangkuti and its’ implication for
literary learning subject in schools. The method used is a qualitative descriptive
through the Greimas narratology and as well as Alan Saks and Gary Johns
perception theory. The results of the analysis of the short story "Perbuatan Sadis",
"Perhiasan", and "Pispot" show that there are 11 actant schemes indicating a
correlation related to the perception of jewelery through the mentioned of the
character name within in. While jewelry is seen as the source of the main
problem, young woman views it as self-esteem, while the professional figures
(such as mugger, snatcher, and police officers) consider such thing as an
indication of their work authority. Additionally, the occurrance of various
perceptions from the stories is considered that it is able to shape the figures’
mindset and behavior. Therefore, the jewelery become an indicator in the
decision-making process leading to some detrimental effect, like being more
apatheic, tending to be negligent in some certain danger situatons, and being
likely to carry out everything recklessly to get what they desire, on either them
selves or the others. Therefore, Hamsad Rangkuti views this situation in an irony,
since it reflects the human behavior which often tend to act recklessly as a result
of the influence brought by luxury good. This analysis is aimed to give advantage
to pupils as a teaching material on the literary learning subject process at school.
Thus, they would understand about intrinsic element and life values. As a result,
this can also be applied in the effort of building learners’ character to be fair,
honest, and tolerant when they assess to make decision or doing something in
their life.
Keywords: Perception, Jewelery, Greimas Narratology, Hamsad Rangkuti
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perhiasan dan Kriminalitas
dalam Tiga Cerpen Karya Hamsad Rangkuti serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Selawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan andil besar terhadap kehidupan
manusia yang lebih bermartabat dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang
berlandasakan pada iman dan Islam.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana pendidikan pada program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan skripsi ini membutuhkan bimbingan, dukungan, dan doa dari
berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis sampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan;
3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan
sebagai dosen yang memperkenalkan dan menumbuhkan kecintaan
terhadap sastra;
4. Rosida Erowati, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing yang selalu
memberikan inspirasi di setiap pertemuan sehinga mendorong penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik;
5. Seluruh Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
iv
6. Terkhusus untuk orang tua dan kedua adik penulis yang tidak pernah
berhenti untuk memberikan doa, kasih sayang, dan senantiasa memberikan
dukungan dalam penyusunan skripsi ini;
7. Febby Alviohanita dan Siti Nuur Rokhmah, tempat terbaik untuk
menuangkan segala keluh-kesah sejak masa putih biru;
8. Sahabat-sahabat yang mengisi bangku perkuliahan menjadi
menyenangkan: Shabrina Maulida, Dwina Dian Putri, Cahaya Syifa
Farhannah, Eka Restu K.H, Luthfi Agustina, Sri Ayu K, dan Maratun
Nafisah;
9. Keluarga besar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
khususnya angkatan 2014 yang menjadi tempat diskusi yang hangat dan
menarik saat perkuliahan;
10. Mohamad Alen Aliansyah, terimakasih atas segala doa dan dukungan yang
telah diberikan selama ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh pada kesempurnaan, baik dari
segi isi, susunan kalimat, dan sistematika penulisannya. Kritik dan saran penulis
harapkan guna perbaikan selanjutnya agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang
terdahulu. Penulis juga berharap semoga skripsi dapat memberikan manfaat
terkhusus bagi penulis dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, 15 Oktober 2019
Ghina Octaviana
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ............................................................................................................................................ i
ABSTRACT .......................................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................................................... 5
C. Batasan Masalah ........................................................................................................... 5
D. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 6
G. Metodologi Penelitian ................................................................................................... 7
Bab II KAJIAN TEORETIS
A. Cerpen ........................................................................................................................... 9
B. Unsur Intrinsik ............................................................................................................ 10
C. Naratologi Greimas ..................................................................................................... 16
D. Persepsi ....................................................................................................................... 18
E. Pembelajaran Sastra di Sekolah .................................................................................. 22
F. Penelitian yang Relevan .............................................................................................. 23
Bab III BIOGRAFI PENGARANG DAN GAGASAN
A. Biografi ....................................................................................................................... 26
B. Karya dan Penghargaan ....................................................................................................... 28
C. Perkembangan Pemikrian ............................................................................................ 29
vi
1. Penulis Bakat Alam ............................................................................................... 29
2. Penulis Teknik ........................................................................................................ 31
D. Sinopsis ........................................................................................................................ 33
Bab IV PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik .............................................................................................. 34
1. Tema ...................................................................................................................... 31
2. Tokoh dan Penokohan ............................................................................................. 34
3. Latar ........................................................................................................................ 44
4. Plot .......................................................................................................................... 50
5. Sudut Pandang ........................................................................................................ 56
6. Gaya Bahasa ............................................................................................................ 59
7. Amanat .................................................................................................................... 63
B. Analisis Persepsi Perhiasan.......................................................................................... 65
1. Skema Aktan ............................................................................................................ 66
2. Persepsi ..................................................................................................................... 75
C. Implikasi Pembelajaran Sastra di Sekolah .................................................................. 96
Bab IV PENUTUP
A. Simpulan ..................................................................................................................... 96
B. Saran ............................................................................................................................ 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
TENTANG PENULIS
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 .............................................................................................................................................. 17
Tabel 1.2 .............................................................................................................................................. 75
Tabel 2.1 .............................................................................................................................................. 66
Tabel 2.2 .............................................................................................................................................. 67
Tabel 2.3 .............................................................................................................................................. 67
Tabel 2.4 ............................................................................................................................................... 68
Tabel 2.5 ............................................................................................................................................... 69
Tabel 2.6 ............................................................................................................................................... 70
Tabel 2.7 .............................................................................................................................................. 70
Tabel 2.8 .............................................................................................................................................. 72
Tabel 2.9 .............................................................................................................................................. 72
Tabel 2.10 ............................................................................................................................................ 73
Tabel 2.11 ............................................................................................................................................ 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia memiliki penilaian subjektif terhadap suatu benda. Tidak
ada yang mampu menggeneralisasi, meskipun berasal dari objek yang sama
tetap akan menimbulkan beragam persepsi. Semua itu disebabkan oleh latar
pemikiran yang melibatkan aspek tertentu sehingga perasaan yang ditimbulkan
ketika melihat, mendengar, atau merasakannya pun akan menjadi berlainan.
Karya sastra sebagai cermin kehidupan ikut merekam mengenai hal ini. Mulai
dari pembicaraan tentang makanan, perhiasan, pakaian, dan lain sebagainya.
Novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak memerlihatkan
bagaimana makanan membentuk perilaku obsesi kompulsif bagi Aruna selaku
tokoh utama. Makanan dianggap dapat mengurangi kecemasan, sensasi yang
ditimbulkan sulit dikendalikan seakan menghasilkan candu. Ketergantungan ini
disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: makanan menjadi fokus dalam
kehidupan, ajang pembebasan diri dari stres, dan sumber kebahagiaan.
Berbagai makanan menjadi pelarian dari segala permasalahan.1
Adapula novel Entrok karya Okky Madasari, menggambarkan keinginan
Marni untuk memiliki entrok (pakaian dalam) untuk wanita. Entrok hanya
disampaikan di sebagian penceritaan, tetapi benda tersebut merupakan titik
awal perubahan pemikiran yang berujung pada keinginan-keinginan yang lain,
seperti melanggar hukum, kodrat, dan norma. Entrok seakan dipandang sebagai
permulaan dari bentuk feminisme untuk menuntut keadilan dan kesetaraan
gender.2
Naskah drama pun ikut menceritakan bagaimana benda dijadikan alat
untuk menunjukkan sikap materialistis tokoh. Melalui tokoh Nyonya dalam
lakon Nyonya-nyonya, Wisran Hadi bercerita bahwa uang dan harta pusaka
1 Noviana Nitami, “Obsesi Tokoh Utama terhadap Makanan Novel Aruna dan Lidahnya
Karya Laksmi Pamuntjak”, Jurnal Dialektika, Volume 3, Nomor 1, Tahun 2016.
2 Ririn Setyorini, “Diskriminasi Gender dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Kajian
Feminisme”, Jurnal Desain, Volume 4, Nomor 3, Tahun 2017.
2
dipandang sangat penting hingga mampu menjaga harga diri pemiliknya.
Benda menjadi tolak ukur pertimbangan untuk mengambil keputusan tertentu
tanpa memedulikan keadaan sanak saudara yang lebih membutuhkan. Semua
ini karena terjadi hanya mengutamakan pandangan orang lain atas dirinya.3
Berdasarkan ketiga karya berbeda yang telah diungkap di atas terlihat
bahwa tokoh Aruna, Marni dan Nyonya memiliki persepsi terhadap suatu
benda secara tidak sederhana, melainkan terdapat latar belakang dengan tujuan
yang cukup kompleks. Persepsi sebagai aktivitas pikiran dalam merespons
sesuatu secara tidak sadar memberikan perubahan pola pikir dan perilaku. Hal
ini membuktikan makanan dan pakaian tidak dipandang sebagai sekedar
pemenuhan kebutuhan, melainkan mewakili keinginan tokoh terhadap tujuan
tertentu.
Pengarang yang cukup konsisten membicarakan benda-benda melalui
penceritaan adalah Hamsad Rangkuti. Bukan makanan ataupun pakaian,
melainkan perhiasan. Setidaknya secara repetitif disampaikan dalam tiga judul
cerpen berbeda, “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan, dan “Pispot”. Benang merah
ketiganya terikat oleh peristiwa pengambilan kalung milik wanita muda dan
semuanya ditulis di tahun 1982. Hamsad mendapat ide menulis cerita setelah
mendengar kisah penodongan ketika berada di oplet (alat transportasi umum).4
Melalui pembacaan beberapa berita koran Kompas di rentang tahun 1981-
1982 terlihat bahwa kejadian mengenai tindakan kejahatan dikarenakan
pemakaian perhiasan memang cukup mencuat. Salah satunya mengenai
penukaran kalung asli menjadi imitasi yang dilakukan penjambret kepada
korbannya.5 Setelah puluhan tahun mendatang khususnya di tahun 2019 masih
banyak pemberitaan mengenai perhiasan, bahkan medianya meluas. Mulai dari
twitter, instagram, dan youtube. Motifnya pun berlainan dan tidak lagi
dilakukan sebatas oleh pelaku kriminal.
3 Muhammad Bunga, Andria Catri, dan Muhammad Ismail, “Materialis dalam Naskah Drama
Nyonya-nyoya Karya Wisran Hadi: Kajian Sosiologi Sastra, Jurnal Bahasa dan Sastra UNP,
Tahun 2012.
4 Hamsad Rangkuti, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?,
(Yogyakarta: Diva Press, 2014), h.22.
5 Yos, “Dijambret, Diganti Kalung Palsu”, Kompas, Kamis, 18 September 1982, h.3
3
Terbukti dari survei Statistik Kriminal 2018 bahwa periode 2016-2017
kejahatan terkait hak atau milik dengan penggunaan kekerasan cenderung
mengalami penurunan sekitar 12% dari 12.095 kasus menjadi 10.602.6
Sedangkan di sisi yang lain orientasi terhadap kepemilikan terhadap suatu
benda mengalami peningkatan. Sikap ini tidak terlepas dari asumsi bahwa
terdapat hubungan erat antara benda tertentu dengan tingkat kebahagian dan
kepuasan seseorang, terlepas dari pengaruh positif atau negatif yang
melingkunginya.7
Peristiwa ini membuktikan bahwa perhiasan tidak lagi dianggap hanya
sebagai harta berharga, melainkan terdapat alasan tertentu ketika membentuk
pandangan terhadap objek. Sayangnya persoalan ini kurang terdengar lebih
lanjut dalam analisis sastra. Isu-isu mengenai makanan dan pakaian telah
banyak diungkap, tetapi mengenai perhiasan masih redup. Hal ini membuat
penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai persepsi perhiasan bagi
para tokoh dari cerpen berjudul “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot”
karya Hamsad Rangkuti. Terlihat dari ketiganya bahwa kalung menjadi titik
fokus pembicaraan melalui proses penodongan dan penjambretan.
Sejauh ini karya-karya Hamsad Rangkuti pernah diteliti dengan tema
pembahasan mengenai kritik sosial ataupun nilai kemanusiaan. Belum ada
yang mengaitkannya dengan topik perhiasan ataupun benda lainnya dalam
penceritaan. Padahal jika ditelaah secara mendalam terlihat bahwa beberapa
karya Hamsad memiliki kencenderungan memunculkan benda-benda sebagai
pengikat permasalahan. Hal ini menandakan bahwa persoalan mengenai benda
dalam cerita milik Hamsad merupakan sesuatu yang dapat dibicarakan secara
serius.
Kemunculan penyebutan atau panggilan tokoh secara berulang di ketiga
cerpen menjadi bukti bahwa aksi lebih dipentingkan dibandingkan pelaku.
Kesamaan topik dan tokoh yang berperan akan memerlihatkan persepsi atas
perhiasan mengalami keseragaman atau terjadi pergeseran pandangan. Asumsi
6 Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2018, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2018), h. 18.
7 Lailatul Fitriyah, “Jangan Terlalu Materialistik! Materialisme sebagai Tolak Ukur Kepuasan
Hidup, Jurnal Psikovidya, Vol 20. No. 1 April 2016.
4
ini akan dibuktikan melalui naratologi Greimas untuk menghubungkan antara
tokoh dan tindakannya sehingga garis besar cerita dari ketiga cerpen terungkap.
Teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns juga digunakan untuk
menginterpretasi tindakan yang dilakukan sehingga pembentukan persepsi
terhadap perhiasan dari masing-masing tokoh dapat dijelaskan secara utuh.
Cerpen-cerpen karya Hamsad Rangkuti di atas dapat menjadi pilihan untuk
memperkenalkan sastra di sekolah. Dalam kurikulum 2013 cerpen merupakan
salah satu materi pelajaran bahasa Indonesia di kelas XI SMA/SMA/MA
semester ganjil dengan kompetensi dasar, antara lain: (3.8) mengidentifikasi
nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kumpulan cerita pendek yang
dibaca, (4.8) mendemonstrasikan nilai kehidupan yang dipelajari dalam cerita
pendek. Cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” dapat relevan
jika diterapkan di dalam pembelajaran serta dapat menambah minat baca
perserta didik.
Keluhan-keluhan yang muncul tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra
menjadi salah satu bukti ketidakberhasilan pembelajaran sastra di sekolah. Hal
ini antara lain disebabkan karena kurangnya pengetahuan guru dalam bidang
kesastraan, keterbatasan buku dan bacaan yang tersedia, minimnya durasi atau
waktu pembelajaran tidak sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai, serta
rendahnya minat membaca peserta didik. Pernyataan ini didukung oleh riset
UNESCO bahwa minat baca masyarakat Indoensia sangat memprihatinkan
yaitu hanya 0,001% atau 1 banding 1.000 orang.8
Beberapa permasalahan tersebut berdampak pada kesulitan guru dalam
menentukan bahan bacaan yang akan diberikan kepada peserta didik. Melalui
penelitian ini dapat menjadi sarana untuk mempermudah guru dalam memilih
karya. Selain itu, diharapkan agar peserta didik lebih memahami unsur intrinsik
cerpen serta mampu menemukan nilai-nilai kehidupan yang terkandung. Ketiga
cerpen diharapkan dpaat memberikan pelajaran terkait persepsi atau membuat
penilaian terhadap benda secara bijak, serta kaitan kepemilikan benda terhadap
8 KOMINFO, “Masyarakat Indonesia: Malas Baca tapi Cerewet di Medsos”,
https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-
cerewet-di-medsos/0/sorotan_media diunduh 11 November 2019.
5
kriminalitas. Tidak hanya perhiasan, tetapi dapat direalisasikan kepada hal-hal
yang lain. Penelitian ini dapat menjadi materi pembelajaran sebagai upaya
pembentukan karakter peserta didik.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan melakukan
penelitian melalui cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya
Hamsad Rangkuti melalui naratologi A.J Greimas dan teori persepsi Alan Saks
dan Gary Johns dengan judul Perhiasan dan Kriminalitas dalam Tiga Cerpen
Karya Hamsad Rangkuti serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di
Sekolah.
B. Identifikasi Masalah
Berdasakan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah
sebagai berikut:
1. Belum ada yang membandingkan cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”,
dan “Pispot” terkait benda-benda dalam karya Hamsad Rangkuti.
2. Belum ada yang membahas mengenai persepsi perhiasan terkait kriminalitas
dalam cerpen karya Hamsad Rangkuti melalui teori naratologi Greimas serta
persepsi Alan Saks dan Gary Johns.
3. Kesulitan memilih bahan bacaan dalam proses pembelajaran sastra.
4. Keterbatasan waktu untuk mengidentifikasi unsur-unsur pembangun cerita
sehingga pendidik dan peserta didik sulit menemukan nilai-nilai kehidupan
terkandung.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka peneliti akan memfokuskan
pembahasan pada analisis persepsi perhiasan terkait kriminalitas dalam cerpen
“Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad Rangkuti melalui
teori naratologi Greimas serta teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns serta
implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
6
D. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bagaimana persepsi perhiasan dalam cerpen “Perbuatan Sadis”,
“Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad Rangkuti?
2. Bagaimana implikasi persepsi perhiasan dalam cerpen “Perbuatan Sadis”,
“Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad Rangkuti terhadap pembelajaran
sastra di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan persepsi perhiasan terkait kriminalitas dalam cerpen
Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad Rangkuti.
2. Mendeskripsikan implikasi tindakan tokoh dalam cerpen Perbuatan Sadis”,
“Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad Rangkuti dalam pembelajaran
sastra di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini bersifat praktis dan teoretis, baik bagi
penulis maupun pembaca.
1. Manfaat secara teoretis diharapkan penelitian ini dapat menambah
pengetahuan mengenai teori naratologi Greimas serta teori persepsi Alan
Saks dan Gary Johns dalam menggambarkan persepsi perhiasan dalam tiga
cerpen karya Hamsad Rangkuti.
2. Manfaat secara praktis diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pendidik sebagai bahan masukan dalam pengembangan studi sastra serta
mampu menambah minat baca serta dalam upaya pembentukan karakter
baca bagi peserta didik.
7
G. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pada
penelitian kualitatif definisi masalah dapat direkonstruksi dari hal yang unik,
langka, menyimpang, belum pernah diteliti, atau sering diteliti di beberapa
tempat dengan waktu yang berbeda berdasarkan penilaian subjektif. 9 Mulai
dari menyelidiki keadaan, kondisi, atau lainnya dalam bentuk laporan,
memanfaatkan cara-cara penafsiran yang dibatasi oleh hakikat fakta-fakta
terhadap data ilmiah. Oleh karena menggunakan penyajian deskriptif, maka
semua kata-kata, kalimat, dan wacana menjadi penting dan saling berpengaruh.
Tujuan penelitian kualitatif dalam analisis ini adalah untuk mendeskripsikan
persepsi perhiasan terkait kriminalitas dalam cerpen “Perbuatan Sadis”,
“Perhiasan”, dan “Pispot” serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di
sekolah.
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, data primer
dan data sekunder. Data primer bersumber dari kumpulan cerpen karya
Hamsad Rangkuti dengan tiga judul berbeda: (1) “Perbuatan Sadis” dalam
Wanita Muda di Sebuah Hotel diterbitkan Senja, 2016, (2) “Perhiasan”
dalam Cemara diterbitkan Diva Press, 2016 dan (3) “Pispot” dalam Maukah
Kau Menghapus Bekas Bibirnya dengan Bibirmu di Bibirku? diterbitkan
oleh Diva Press, 2016, sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku,
karya ilmiah, serta artikel di situs internet yang berkaitan dengan objek
penelitian.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian jenis kepustakaan, maka tidak
merujuk pada tempat tertentu dikarenakan objek yang diteliti berupa naskah
atau teks sastra. Adapun waktu penelitian, dimulai dari Januari hingga
Oktober 2019.
9 Septiawan Santana, Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Obor, 2010),
h. viii.
8
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka melalui
pembacaan, penyimakan, dan pencatatan secara saksama terhadap sumber
data primer dan sumber data sekunder.10
Dalam teknik ini, peneliti
membaca, menelaah, memahami, mengidentifikasi, serta mencatat hal-hal
penting yang mendukung dalam penelitian terhadap sumber data. Sumber-
sumber tertulis digunakan dalam penelitian yang sesuai dengan masalah dan
tujuan pengkajian karya sastra yang diteliti. Hasil penelitian tersebut
kemudian digunakan dalam penyusunan sesuai dengan tujuan yang akan
dicapai.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis unsur intrinsik cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan
“Pispot” karya Hamsad Rangkuti. Hal tersebut dilakukan dengan cara
membaca kembali dan mencatat bentuk-bentuk yang relevan dengan
penelitian. Selanjutnya mengelompokkan teks-teks sesuai unsur intrinsik.
Mulai dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya
bahasa, dan amanat.
b. Menganalisis cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya
Hamsad Rangkuti melalui teori naratologi A.J Greimas kemudian
dianalisis melalui teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns untuk
menemukan persepsi perhiasan terhadap pola pikir dan perilaku tokoh
dari masing-masing cerpen.
c. Mengimplikasikan ketiga cerpen dalam pembelajaran sastra di sekolah
dengan cara menghubungkan materi cerpen sesuai dengan kompetensi
dasar yang hendak dicapai.
d. Langkah terakhir yaitu membuat sebuah kesimpulan dan saran dari
keseluruhan hasil penelitian.
10 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta. 2015),
h. 225.
9
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Cerpen
Tiga kritikus sastra: H.B Jassin, Sumardjo, dan Saini mengatakan bahwa
cerpen adalah cerita yang pendek, namun tidak secara sepakat menyebutkan
minimal kata di dalamnya. Ukurannya panjang-pendek cerpen masih menjadi
persoalan, bahkan hingga kini tidak menemui titik kesepakatan. Edgar Allan
Poe, penyair dan penulis Amerika Abad-19 memandang cerpen sebagai karya
sastra yang tidak panjang, cukup dibaca sekali duduk, bertumpu pada satu
masalah dan memberi kesan tunggal.1
Keterbatasan dari segi bentuk membuat cerpen berbentuk padat. Segala
karakter, semesta, dan tindakan-tindakan diciptakan secara bersamaan dalam
lini terbatas. Hal ini menampik anggapan mengenai kedudukan cerpen yang
seolah-olah berada di bawah novel atau roman. Meski baru pada periode
kebangkitan (1965-1980) posisi cerpen mulai diterima sejajar dengan ragam
sastra lain.2 Melihat dari segi struktur, cerpen memang memiliki kesamaan
dengan novel. Keduanya dibangun dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Hal ini pun menjadikan esensinya sejalan dan tidak dapat dinilai sebatas dari
ukuran. Cerpen bukan hanya menjadi bacaan kala senggang, tetapi mampu
bersifat memberikan pengajaran atau sebagai bacaan kritis untuk kajian
tertentu.3
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa cerpen
merupakan kisahan pendek yang cukup dibaca sekali duduk dengan bertitik
berat pada satu permasalahan yang memberinya kesan tunggal. Seperti novel,
cerpen pun dibangun atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Melihat
kebermanfaatannya, cerpen tidak bisa dianggap sebelah mata dengan ragam
sastra lain.
1 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 50.
2 Maman S. Mahayana, Bermain dengan Cerpen (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2006), h. 23.
3 Satmoko Budi Santoso, Esai “Cerita Pendek, Keberjamakan, Reruntuhan Menara Gading”,
(Jakarta: Kompas, 2003), h. 2.
10
B. Unsur Intrinsik
Untuk mengkaji “Perhiasan dan Kriminalitas dalam Tiga Cerpen Karya
Hamsad Rangkuti serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”
diperlukan teori struktural sebagai kepentingan untuk mendalami unsur
pembangun teks di dalam ketiga cerpen. Unsur-unsur tersebut akan dipaparkan
sebagai berikut:
1. Tema
Secara sederhana tema dapat diartikan sebagai gagasan cerita. Aspek
yang sejajar dengan „makna‟ atau hal yang ingin disampaikan kepada
pembaca.4 Hal ini diungkap pengarang secara eksplisit sehingga diperlukan
penafsiran. Stanton membagi empat tahapan dalam upaya menemukan tema,
yaitu: melihat penceritaan yang menonjol, memperhatikan tiap detail cerita,
tidak membuat asumsi hanya berdasar perkiraan, dan harus merujuk pada
bukti di dalam cerita.5
Tema sebagai garis besar suatu permasalahan yang terdapat di dalam
sebuah cerita dapat dijadikan acuan dari penggambaran realitas zaman
kepenulisan pengarang. Hal ini disebabkan pemilihan tema tidak terlepas
dari subjektifitas pengarang dalam merespons pengalaman, pengamatan,
atau aksi-interaksinya dengan lingkungan. Mulai dari persoalan sosial-
budaya, kemanusiaan, politik, dan lain sebagainya.6
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh berarti pelaku cerita sedangkan penokohan pelukisan gambaran
yang jelas tentang seseorang. Ragam ini ditampilkan melalui penampilan
fisik, sifat moral dan psikologis, serta gerak-geriknya. Bentuk penokohan
yang paling sederhana adalah pemberian sebutan. Hal itu semacam
memberikan kepribadian secara tersirat.7
4 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Press, 2012), h. 36.
5 Ibid, h. 44-45.
6 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2012), h. 71.
7 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2014), h.264-265.
11
Setiap tokoh mempunyai fungsi lakuan atau mengarah pada tujuan
tertentu.8 Hal ini dilandasi oleh tokoh menempati posisi strategis sebagai
penyampai pesan, moral, atau hal yang disengaja yang ingin disampaikan
kepada pembaca. Pembedaan mengenai tokoh dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut:
a. Apabila dilihat dari peran tokoh dalam perkembangan plot, dapat
dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
adalah tokoh yang paling banyak dikisahkan, baik sebagai pelaku
kejadian atau yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh
yang kehadirannya jika ada kaitannya dengan tokoh utama.
b. Apabila dilihat dari fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan
menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis
adalah tokoh pengejewantahan nilai-nilai yang ideal, sedangkan tokoh
antagonis adalah tokoh tokoh penyebab terjadinya konflik yang
beroposisi dengan tokoh protagonis. 9
c. Apabila dilihat dari perwatakan tokoh, dapat dibedakan menjadi tokoh
statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak
mengalami perubahan perwatakan akibat adanya peristiwa-peristiwa
yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami
perubahan perwatakan akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi.10
3. Latar
Latar dianggap sebagai cermin pikiran dari tokoh yang bertindak
dalam cerita. Proyeksi ini berwujud tempat, waktu, dan lingkungan sosial
yang saling terikat satu sama lain.11
Jika deskripsi latar bertumpu pada
detail yang membentuk potret sosial atau menggambarkan realitas, maka
kesesuaian fakta tidak dapat dipermainkan. Hal ini agar tidak
melencengnya logika karena keterkaitan antara dunia cerita dan nyata akan
8 Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, Tentang Sastra, (Jakarta: Intermasa, 1989), h. 139.
9 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, op.cit., h. 177-178.
10 Ibid, h. 188-189.
11
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, op.cit., h. 268.
12
mengalami ingar atau terganggu.12
Kesesuaian antara persepsi dan
deskripsi latar harus memberikan kesan meyakinkan agar pembaca merasa
bahwa cerita sungguh ada dan terjadi. Latar dibedakan ke dalam tiga unsur
pokok, yaitu:
a. Latar Tempat
Latar tempat merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat berupa tempat dengan nama,
inisial, atau mungkin lokasi tertentu tanpa keterangan yang jelas.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Latar waktu biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau
dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
c. Latar Sosial-Budaya
Latar sosial-budaya berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Mulai
dari kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar
spiritual.13
4. Plot
Penyamaan definisi antara plot dan alur agaknya kurang tepat. Alur
diartikan sebagai jalan cerita, sedangkan plot lebih kompleks karena terdiri
dari rangkaian peristiwa sebab akibat atau bukan sekedar bersifat
kronologis.14
Dengan demikian, plot merupakan rangkaian peristiwa yang
tidak hanya terjalin berdasarkan urutan waktu, namun juga terjalin dan
mempunyai penekanan pada hubungan kausal untuk mencapai efek
tertentu.
12 Maman S.Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007), h. 355.
13
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 227-234.
14 Ibid, h. 111.
13
Menurut Aristoteles dalam A. Teeuw bahwa plot yang baik harus
memenuhi empat syarat utama: keteraturan dan susunan yang masuk akal,
ruang lingkup cukup luas sehingga cerita memungkinkan akan mengalami
perkambangan, kesatuan atau semua unsur dalam plot harus ada, dan
keterkaitan antar cerita harus jelas.15 Tasrif dalam Nurgiyantoro
membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan plot
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Tahap penyituasian merupakan pembuka atau perkenalan dari suatu
cerita, pemberian informasi awal yang berfungsi melandasi cerita yang
dikisahkan pada tahap berikutnya.
b. Tahap pemunculan konflik merupakan penyebab terjadinya konflik dan
akan berkembang menjadi lebih pelik.
c. Tahap peningkatan konflik merupakan tahap konflik yang sudah
muncul semakin berkembang kadar intensitasnya.
d. Tahap klimaks merupakan tahapan di mana konflik yang dilalui oleh
para tokoh mencapai titik puncak permasalahan.
e. Tahap penyelesaian merupakan tahap konflik yang terjadi mulai
menemukan solusi kemudian cerita diakhiri.16
5. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja dipilih
pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.17
Hal ini
disebabkan oleh sudut pandang akan menentukan keberadaan fakta,
bagaimana dan dari mana tokoh-tokoh dan kejadian dilihat. Masalah yang
sama apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda akan menghasilkan
makna yang berlainan.18
Sudut pandang terbagi atas impersonal, orang ketiga, dan orang
pertama. Penjelasan ketiga macam sudut pandang sebagai berikut:
15 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Bandung: Pustaka Jaya, 1984), h.120-121.
16
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h.149-150. 17
Ibid, h. 248.
18
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), h. 315-316.
14
a. Sudut pandang impersonal
Pencerita berada di luar cerita dan bergerak dari antar tokoh, tempat,
dan satu episode ke episode lainnya yang dapat memberikan akses
terhadap pikiran dan perasaan tokoh secara bebas.19
b. Sudut pandang orang ketiga: “Dia”
Pencerita hadir sebagai seseorang di luar cerita yang ditampilkan
melalui penyebutan nama atau kata ganti seperti ia, dia, dan mereka.
Sudut pandang “dia-an” dapat dibedakan antara dia bersifat mahatahu
dan dia hanya sebagai pengamat.20
c. Sudut pandang orang pertama: “Aku”
Pencerita hadir sebagai narator yang ikut terlibat dalam cerita melalui
“aku-an”. Si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku
yang dialaminya. Teknik ini dapat dipergunakan untuk meluksikan
pengalaman manusia yang paling dalam dan rahasia. Sudut pandang ini,
dibedakan menjadi dua macam, yaitu aku sebagai tokoh utama yang
menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita, dan aku sebagai tokoh
tambahan yang hadir untuk membawakan cerita, sedang tokoh cerita
yang dikisahkan dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai
pengalamannya.21
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa diadopsi dari kata style atau stile, diartikan sebagai
kajian terhadap kebahasaan khususnya mengenai teks-teks kesastraan atau
aktivitas yang mengeksplorasi kreativitas penggunaan bahasa.22
Ragam
ini bertujuan untuk menimbulkan kesan, memperjelas makna, memberikan
variasi atau efek keindahan tanpa menghilangkan unsur komunikatifnya.
Cara pengarang dalam menciptakan gaya bercerita pun berlainan. Hal ini
19 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2013), h. 90.
20 Ibid, h. 97-98.
21
Ibid, h. 105-106.
22
Burhan Nurgiyantoro, Stilistika, (Yogyakarta: UGM Press, 2014), h. 74-75.
15
dilandasi oleh perbedaan aliran, angkatan, usia, sifat cerita dan lain
sebagainya.23
Klasifikasi stile dapat dibedakan menjadi dua komponen, yaitu makna
literal dan permainan stuktur. Makna literal seperti penggunaan matafora,
simile, dan personifikasi. Sedangkan permainan struktur seperti ironi dan
sarkasme.24
Berikut penjelasan lebih lanjut dari kedua jenis klasifikasi:
a. Simile
Majas yang mempergunakan kata-kata pembanding secara eksplisit atau
langsung untuk membandingkan sesuatu. Misalnya menggunakan kata-
kata tugas tertentu, seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip,
bak, dan sebagainya.
b. Metafora
Majas yang bentuk perbandingan yang bersifat tidak langsung atau
implisit. Tidak adanya kata-kata penunjuk membuat pembaca harus
membangun makna yang mungkin dikehendaki pengarang.
c. Personifikasi
Majas yang menggunakan karakteristik manusia kepada benda-benda
mati.
d. Ironi dan Sarkasme
Kedua gaya ini untuk sesuatu yang bersifat ironis, misalnya menyindir,
mengritik, mengecam, atau sesuatu yang sejenisnya dengan intensitas
yang berbeda. Jika ironi merupakan sindiran halus, maka sarkasme
adalah cemoohan atau ejekan tajam.
7. Amanat
Moral dalam sastra mencerminkan pandangan pengarang melalui model
kehidupan yang diciptakannya bahkan sebenarnya merupakan gagasan yang
mendasari cerita. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah melalui
sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh.
23 Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, (Surakarta: Sebelas Maret University Press,
1994), h. 220.
24
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h.206.
16
C. Naratologi A.J Greimas
Naratologi berasal dari kata narratio (cerita, perkataan, kisah) dan logos
(ilmu), diartikan sebagai konsep mengenai cerita dan penceritaan. Pendekatan
ini berkembang atas dasar analogi lingustik, seperti model sintaksis.
Sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita,
begitupun dengan wacana dan teks. Konsep-konsep yang ditawarkan pun
beragam, sesuai dengan kekhasan masing-masing pakar. Salah satunya ialah
A.J Greimas.25
Algirdas Julien Greimas adalah seorang linguis dan ahli semiotika. Pada
mulanya berkarier dalam bidang leksikografi. Teorinya tehadap teks naratif,
tidak terlepas dari pemikiran Levi Strauss, Vladimir Propp, dan Souriau.
Melalui pemanfaatan fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas memberikan
perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam dengan tujuan
yang lebih umum. Greimas memunculkan istilah model aktan.26 Gerald Prince
dalam Dictionary of Narratoogy berpendapat bahwa
“Actant a fundamental role at the level of narrative deep structure”.
“The term was introduced into narratology by Greimas, following the
linguist Tesniere, who has used it to designate a type of syntact unit. By
rewoking the role typologies proposed by Souriau and Propp, Greimas
arrived at an actantial model originally consisting of six actant: subject,
object, sender, recivier, helper, and opponent”.27
Aktan adalah sekelompok pelaku yang memiliki hubungan yang sama
dari segi tujuan yang menentukan tatanan riwayat. Asumsi dasar dalam model
aktan adalah bahwa tindakan manusia mengarah pada tujuan tertentu. Hal ini
kemudian digunakan untuk menyusun hubungan antara tokoh cerita dan
tindakannya.28
Aktan sebagai penggerak tindakan, dapat berwujud bukan
tokoh melainkan konsep abstrak, tokoh tidak bernyawa, senjata pustaka, dan
hal-hal lainnya. Terdiri dari subek, objek, pengirim, penerima, penentang, dan
pendukung.
25 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, op,cit., h. 128.
26
Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2012), h. 124.
27
Gerlad Prince, Dictionary of Narratology, (United States of America: University of
Nebraska Press, 2003) h. 1.
28 Irsyad Ridho, Kajian Cerita: Dari Roman ke Horor, op,cit., h. 89.
17
Berikut merupakan skema aktan Greimas:
Tabel. 1.1
1. Subjek dan Objek
Subjek dan objek adalah aktan utama dalam cerita karena pada aktan
inilah asumsi tentang hubungan antara tokoh dan tujuannya atau asumsi
tentang tindakan bertujuan dapat yang dilihat dengan jelas.
2. Pengirim dan Penerima
Menurut Bal, istilah pengirim (aslinya destinateur dalam bahasa
Prancis) diterjemahkan sebagai power (kuasa) karena aktan ini tidak selalu
diisi oleh tokoh tententu yang konkret, tetapi seringkali berwujud abstrak
yang memberi kemungkinan maupun ketidakmungkinan pada subjek
untuk mencapai tujuannya, seperti struktur masyarakat, ketentuan takdir,
obsesi, tekad, usia, kecerdasan, keegoisan, dan sebagainya, sedangkan
penerima sebagai aktan yang menerima objek yang dicarinya.
3. Pendukung dan Penentang
Aktan penolong dan penentang terkait dengan posisi aktan subjek.
Artinya, tokoh cerita akan ditentukan aktannya (apakah penolong atau
penentang) melalui hubungannya dengan proses pencapaian tujuan subjek.
Jika tokoh mempermudah atau membantu pencapaian, maka sebagai aktan
penolong. Begitupun sebaliknya, maka akan menjadi aktan penentang.29
Tanda panah dalam skema aktan menjadi unsur penting yang
menghubungan fungsi sintaksis naratif dari masing-masing aktan.
Hubungan pertama dan utama ialah hubungan antara pelaku yang
29 Ibid.,h. 90-92.
18
memperjuangan tujuannya. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai
hubungan antar aktan yang diarahkan oleh tanda panah:
1) Tanda panah dari pengirim mengarah ke objek artinya bahwa dari
pengirim ada keinginan untuk mendapatkan, menemukan, atau,
menginginkan objek.
2) Tanda panah dari objek ke penerima artinya bahwa sesuatu yang
menjadi objek yang dicari oleh subjek yang diinginkan oleh pengirim.
3) Tanda panah dari penolong ke subjek artinya penolong memberikan
bantuan dalam rangka menunaikan tugas yang dibebankan oleh
pengirim.
4) Tanda panah dari penentang ke subjek artinya bahwa penentang
mempunyai kedudukan sebagai yang menghalangi, mengganggu,
menolak, dan merusak usaha subjek.
5) Tanda panah dari subjek ke objek artinya bahwa subjek bertugas
menemukan objek yang dibebankan dari pengirim.30
Dapat disimpulkan bahwa aktan merupakan hubungan dalam
penceritaan antara tokoh dengan tindakannya. Melalui fungsi aktan dapat
tergambarkan mengenai tujuan yang diinginkan subjek serta hal yang
mendukung ataupun menantangnya. Penggambaran ini memperlihatkan
usaha-usaha yang dilakukan tokoh memperjuangan objek sehingga
maksud dalam cerita pun dapat diungkapkan secara lebih jelas.
D. Persepsi
Quinn dalam Sarlito menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses
kombinasi antara sensasi yang diterima oleh organ atau hasil dari
interpretasinya.31
Schacter dan Daniel mengungkapkan persepsi adalah proses
menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan
memberikan reaksi kepada rangsangan panca indra atau data.32
Melalui dua
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi diartikan sebagai aktivitas
30 Jabrohim, Pasar dalam Perspektif Greimas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 14.
31 Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 86.
32
https://explorable.com/perception. Diunduh tanggal 20 Agustus 2019.
19
pikiran yang secara aktif dalam memberikan tanggapan, pandangan, atau
respons terhadap suatu objek atau tindakan.
Alan Saks dan Gary Johns mengatakan bahwa terdapat tiga komponen dari
persepsi:
1. Subjek (The perceiver)
Perceiver diartikan sebagai seseorang yang akan membentuk persepsi
berdasarkan objek yang dilihat atau dirasakannya. Proses ini bersifat
individual karena tidak terlepas dari motivasi, keadaan emosi, dan
pengalaman dari masing-masing subjek. Ketiga aspek ini dianggap hal
yang paling penting di antara beberapa aspek lain.33
a. Motivasi
Motif dan motivasi merupakan dua kata yang berhubungan, namun
memiliki arti berbeda. Motif bersifat pasif atau suatu dorongan yang
masih ada di dalam diri manusia sebelum tahap realisasi. Sedangkan
motivasi telah ditandai dengan munculnya perubahan afektif dan reaksi
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 34
Alan Saks dan Gary John
mendefinisikan motivasi sebagai: “the extent the which persistent effort
is directed toward a goal”.35
Dapat disimpulkan bahwa motivasi
merupakan keinginan seseorang yang direalisasikan melalui perubahan
sikap untuk mencapai tujuan.
Dorongan dapat dipengaruhi oleh keadaan dari dalam diri
(intrinsik) atau rangsangan dari luar diri (ekstrinsik). Hal ini
memunculkan siklus melingkar yaitu dengan timbulnya motivasi, dapat
perilaku berubah untuk mencapai kebutuhan. Hal ini dapat memicu
konflik jika ada ketidaksesuaian antara motivasi dan kebutuhan yang
diinginkan. Terdapat tiga macam konflik motif yaitu:
33 Jagannaath K. Dange, “Perception, Passion, and Obsession: The Three Elements of Theory
of Success”, International Journal of Advanced Education and Research, Volume 1, 2016, h.2.
34
I Wayan Chandra, dkk, Psikologi Landasan Keilmuan Praktik Keperawatan Jiwa,
(Yogyakarta: Andi, 2017), h. 77.
35
Colonel Bernd Horn, The Military Leadership Handbook, (Canada: Dundurn Press and
Canadian Defence Academy: 2009), h. 415.
20
1) Approachh-approach conflic; ketika individu menghadapi dua
motif atau lebih yang mempunyai nilai positif. Situasi ini
mengharuskannya memilih salah satunya sehingga tetap
menimbulkan konflik.
2) Avoidance-avoidance conlifct; ketika individu menghadapi dua
motif atau lebih yang mempunyai nilai negatif. Ia tidak boleh
menolak semuanya, tetapi harus memilih salah satu sehingga
memunculkan konflik atas pilihannya.
3) Approach-avoidance conflict; kemunculan konflik akibat adanya
pilihan yang mengandung nilai positif dan negatif secara
bersamaan.
Dalam menghadapi berbagai macam motif-motif tersebut, ada
kemungkinan respons yang dapat diambil oleh individu, antara lain
memilih atau menolak, kompromi, atau bersikap ragu-ragu.36
b. Emosi
Emosi dikatakan sebagai keadaan kompleks yang biasanya
berlangsung dalam durasi yang singkat disertai dengan reaksi fisiologis
maupun psikologis.37
Keadaan ini dapat ditelaah melalui regulasi emosi
atau cara individu mengatur emosi yang dimiliki, kapan mereka
merasakannya atau bagaimana mereka mengekspresikan emosinya.
Terdapat dua strategi regulasi emosi:
1) Cognitive reappraisal adalah perubahan bentuk kognitif yang
melibatkan situasi ini emosi yang potensial sehingga mengubah
pengaruh emosional atau dapat diartikan sebagai kemampuan
meredam perasaan ketika emosi baru akan muncul.
2) Expressive reappraisal adalah bentuk pengungkapan respon yang
memperlambat perilaku mengekspresikan emosi yang sedang
36 I Wayan Chandara dkk, h. 86-88.
37
Ibid, h. 90.
21
dialami. Kondisi ini mampu mengurangi intensitas emosi ketika
sudah dalam keadaan emosional.38
c. Pengalaman
Pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami,
dijalani, maupun dirasakan yang kemudian disimpan dalam memori
seseorang. Akumulasi semua pengalaman setiap orang di sepanjang
hidup masuk ke dalam proses persepsi sehingga penilaian tentang
situasi sekarang tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman yang telah
terjadi sebelumnya.39
Pengalaman dibedakan menjadi dua macam; primer dan sekuender.
Pengalaman primer merupakan pengalaman yang dirasakan secara
langsung melalui panca indra, sedangkan pengalaman sekunder
merupakan pengalaman tidak langsung atau reflektif dari pengalaman
primer.40
2. Target (The Target)
Target diartikan sebagai objek dari persepsi yang dibentuk oleh
individu. Ambiguitas atau kurangnya informasi tentang objek akan
mengarah kepada kebutuhan yang lebih besar subjek dalam membuat
interpretasi. Karaktertistik objek yang diamati dapat memberikan pengaruh
atas apa yang akan dirasakan. Gerak, suara, ukuran, dan atribut-atribut lain
dapat mempengaruhi nilai persepsi. Penampilan fisik memiliki peran
paling besar dalam persepsi.41
3. Situasi (Situation)
Situasi diartikan sebagai interaksi antara individu (preceiver) dalam
memahami target. Kondisi ini juga mempengaruhi persepsi. Beberapa
situasi memberikan isyarat kuat pada perilaku seseorang, bahkan
seseorang mungkin beranggapan bahwa perlakunya dapat
38
Shinantya dan Julia, Perbedaan Regulasi Emosi Perempuan dan Laki-laki di Perguruan
Tinggi, Jurnal Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, 2017, h. 35.
39
M. Dimyati, Psikologi Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Andi, 2018), h. 50.
40
Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 32.
41
Getnet Eshetu, Factor Affecting Intructional Leaders Perception towards Educational Media
Utilization in Classroom Teaching, (Hamburg: Anchor Academic Publishing, 2015), h.55.
22
dipertanggungjawabkan oleh situasi. Hal ini seperti faktor dari lingkungan,
waktu, dan tingkat stimulasi.42
E. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Berdasarkan ketetapan kurikulum nasional bahwa pembelajaran sastra
terselenggara secara terintegrasi dengan pembelajaran bahasa. Keduanya
merupakan hal yang saling melengkapi. Melihat kurikulum bahasa dan sastra
di Indonesia disebutkan bahwa tujuan pembelajaran sastra di sekolah tak lain
adalah untuk mengembangkan kepribadian, wawasan, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa.43
Pada hakikatnya pengajaran sastra dimaknai sebagai proses interaksi
antara guru dan murid mengenai sastra. Terjadi pengenalan, pemahaman,
penghayatan, penikmatan hingga siswa mampu menerapkan temuannya
dalam kehidupan nyata. Ketiga komponan sastra yakni puisi, prosa, dan
drama diaplikasikan dan disintesiskan melalui kegiatan menyimak, membaca,
menulis, dan berbicara.44
Secara terinci tujuan pengajaran sastra terbagi
menjadi dua bagian yaitu jangka pendek dan jangka panjang.
1. Tujuan jangka pendek: agar siswa mengenal cipta sastra dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengannya serta mampu memberi
tanggapan, menanyakan, menyelesaikan tugas, mengunjungi kegiatan
sastra, dan menyatakan ketertarikan dengan memilih kegiatan sastra di
antara kegiatan lain yang disediakan.
2. Tujuan jangka panjang: terbentuknya sikap positif terhadap sastra
dengan ciri siswa mempunyai apresiasi tinggi dan menerapkannya
dalam fase kehidupannya.45
Kenyataannya hingga kini adalah pembelajaran sastra dianggap masih
tidak menuai hasil yang diharapkan. Permasalahan pengajaran sastra sejak
dahulu tidak jauh berubah. Salah satunya dibuktikan oleh rendahnya tingkat
42 Ibid, h. 56.
43
Warisman, Pengantar Pembelajaran Sastra, (Malang: UB Press, 2017), h.1.
44
Mien Rukmini, Pengajaran Apresiasi Sastra, (Tangerang: Universitas Terbuka, 2007), h
1.8-1.9.
45
Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 30.
23
apresiasi para siswa. Ketidakberhasilan tersebut disinyalir memiliki beberapa
sebab antara lain seperti kurangnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam
bidang kesastraan, terbatasnya buku bacaan yang tersedia sebagai media
pembelajaran, dan rendahnya minat baca pada karya sastra.46
Sapardi D. Damono menyarankan agar apresiasi sastra dimulai membaca
karya sastra. Apresiasi berarti penghargaan berdasarkan penghayatan; tersirat
makana hubungan langsung antara pembaca dan karya sastra sebab apresiasi
tidak tercapai tanpa hubungan seperti itu. Semua itu dapat terwujud jika guru
mampu memberikan dorongan kepada siswa untuk mau mengenal sastra.
Memberikan pengertian bahwa sastra sebagai hal menyenangkan, bukan suatu
yang pelik.47
Permasalahan yang telah terjadi seharusnya menjadi perhatian para
penyusun kurikulum bahwa bahasa bukan sekedar medium komunikasi
melainkan terjadi pengayaan dan pengalaman dalam kehidupan melalui nilai-
nilai yang dihadirkan lewat pembelajaran sastra. Hal ini akan mampu menjadi
refleksi dalam bersikap atau melakukan sesuatu. Artinya, penguasaan bahasa
harus mencakup aspek kesusastraan sehingga tidak ada lagi angapan bahwa
sastra berada di luar mata pelajaran.48
F. Penelitian Relevan
Penelitian relevan bertujuan agar mencari kebaharuan dari segi subjek dan
objek sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Selain
itu, guna kepentingan pengembangan secara sistematik penulisan yang telah
dilakukan sebelumnya. Berdasarkan penelusuruan yang dilakukan oleh peneliti
melalui media daring terkait penelitian terhadap karya Hamsad Rangkuti,
hasilnya antara lain sebagai berikut:
Penelitian pertama, skripsi yang dilakukan oleh Oji Putra Triananda,
mahasiswa Universitas Negeri Padang tahun 2019 dengan judul Masalah-
46 Warisman, Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis, (Malang: UB Press, 2016),
h. 8.
47
Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah”, Susastra 5 Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya,
Volume 3 Nomor 5, 2007, h.7-5.
48
Fuad Hasan, Sastra Masuk Sekolah, (Magelang: Indonesia Tera, 2002) h.11.
24
masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Cemara Karya Hamsad Rangkuti.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ditemukannya masalah-masalah
sosial. Mulai dari bentuk-bentuk, penyebab terjadinya, dan dampak dari
masalah sosial. Hal ini tergambar dalam karakter tokoh dalam cerita yang
mengalami kesenjangan sosial dan perilaku meyimpang dalam kehidupan
bermasyarakat.49
Penelitian kedua, skripsi dengan judul Analisis Struktural dan Nilai Moral
Kumpulan Cerpen Bibir dalam Pispot Karya Hamsad Rangkuti. Penelitian ini
dilakukan oleh Ibnu Sina Palogai, mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas
Negeri Makassar tahun 2017. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
struktur cerpen dibangun dengan teknik penceritaan yang mengandung nilai
moral, antara lain kejujuran, nilai-nilai otentik, bertanggung jawab, dan
kerendahan hati.50
Penelitian berikutnya bersumber dari jurnal Metasastra, Vol 3, No.1, Juni
2010 terdapat artikel dengan judul “Aroma Satire dalam Sampah Bulan
Desember Karya Hamsad Rangkuti” yang dilakukan oleh Erwan Juhara. Hasil
dari penelitian ini menggambarkan ciri khas gaya Hamsad Rangkuti dalam
bercerita, meliputi rasa simpati, humor, ketragisan, ironi, kritik, kengerian
bahkan harapan dan kerinduan terhadap berbagai sentuhan kehidupannya yang
selalu bergerak terombang-ambing oleh kegelisahan.51
Pemaparan penelitian di atas dianggap relevan karena memiliki persamaan
dari segi objek yaitu cerpen “Perhiasan” terdapat dalam Cemara, “Pispot” dari
Bibir dalam Pispot, dan “Perbuatan Sadis” dalam Sampah Bulan Desember.
Sejauh ini, belum pernah ada yang mengkaji karya-karya Hamsad Rangkuti
dengan membandingkan tiga cerpen secara bersamaan. Selain itu tidak ada
yang menyinggung topik pembicaraan mengenai perhiasan melalui pendekatan
naratologi A.J Greimas dan teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns.
49
Oji Putra Triananda, Skripsi: “Masalah-masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Cemara
Karya Hamsad Rangkuti”, (Padang: Universitas Negeri Padang, 2019).
50
Ibnu Sina Palogai, Skripsi: “Analisis Struktural dan Nilai Moral Kumpulan Cerpen Bibir
dalam Pispot Karya Hamsad Rangkuti”, (Makassar: Universitas Negeri Makassar, 2017).
51 Erwan Juhara, “Aroma Satire dalam Sampah Bulan Desember Karya Hamsad Rangkuti”,
Jurnal Metasastra, Volume 3, Nomor 1, Tahun 2010.
25
Atas alasan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai
persepsi perhiasan terkait kriminalitas dalam tiga cerpen Hamsad Rangkuti
serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
26
BAB III
BIOGRAFI DAN SINOPSIS
A. Biografi
Hamsad Rangkuti lahir 7 Mei 1943 di Titikuning, Medan, Sumatra Utara.
Anak keempat dari enam bersaudara ini sebenarnya bernama Hasyim
Muhammad Rangkuti. Hamsad adalah singkatan dari namanya sendiri “Ha”
(Hasyim), nama bapaknya “m”, “sa” (Muhamad Saleh Rangkuti), dan nama
ibunya “d” (Djamilah). Menurutnya, singkatan itu ditiru dari Buya Hamka
yang juga hasil merangkai kata. Di sisi lain, ia mulanya merasa malu jika
harus menyebutkan namanya sendiri.1
Orang tua Hamsad adalah wong cilik dalam arti sesungguhnya. Tidak
mempunyai tempat berteduh, kecuali menumpang di rumah saudara secara
berpindah-pindah. Hampir sepanjang hidupnya, ayahnya bekerja sebagai
penjaga malam pusat perbelanjaan dan pemikul air di pasar. Ibunya pemungut
ulat yang menempel di daun tembakau dan penjual buah-buahan di depan
bioskop. Dari penghasilan itulah keluarganya bertahan hidup dan Hamsad
telah terbiasa membantu pekerjaan kedua orangtuanya.2
Hamsad Rangkuti mengawali pendidikan di sekolah rakyat (SR) di
Kisaran, Sumatra Utara, tahun 1950-1955. Tahun 1955-1958 bersekolah di
SMP. Setelah tamat dari ikut pamannya ke Tanjung Balai, tahun 1961-1963
Hamsad mengenyam pendidikan di SMA bagian C hingga kelas II. Dia ikut
pamannya ke Medan dan kemudian menetap di sana. Tahun 1960-1961
bekerja di Kesatuan Staf Penguasa Perang Kodam II, Bukit Barisan sebagai
pegawai sipil. Selama tiga bulan bekerja di Kejaksaan Tentera Medan Kodam
II, Bukit Barisan sebagai pegawai sipil. Tahun 1961-1964 ia bertugas di
Inspeksi Kehakiman Daerah Militer II, Bukit Barisan, sebagai pegawai sipil.
1 Efix Mulyadi, “Sastra Bibir Hamsad Rangkuti”, Kompas, Sabtu, 22 April 2000, h. 012.
2 Maruli Tobing, “Pesona: Hamsad, dari Lorong Pasar di Kisaran”, Kompas, Minggu 21
Oktober 2007, h. 012.
27
Tahun 1964 bekerja sebagai korektor surat kabar harian Patriot, Medan
dan pengasuh ruang kebudayaan Budaya bersama-sama dengan Herman Ks,
kemudian menjadi wartawan surat kabar harian Sinar Masyarakat Medan dan
pengasuh ruang kebudayaan Menara. Hamsad ditunjuk sebagai utusan
Sumatra Utara untuk menghadiri Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia
I (KKPI) di Jakarta. Dia langsung "jatuh cinta" pada Jakarta. Menurutnya,
perkenalannya dengan beberapa pengarang ternama waktu itu menumbuhkan
dorongan yang kuat untuk tinggal di sana. Ketika kembali ke Medan, Hamsad
menderita sakit karena merasa rindu terhadap Jakarta. Tahun 1965 nekat
pindah ke ibu kota.3
Masa pertama tinggal di Jakarta, Hamsad ditampung oleh Zulharman
(ketua PWI pada waktu itu). Ia dipekerjakan di PT. Peredaran Film Indonesia
(Perfini) dan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) tahun 1966-1968.
Dari Zulharman pula, Hamsad banyak mendapat bimbingan dan bacaan.
Setelah enam bulan ikut di rumah Zulharman dan merasa tidak berbuat apa-
apa, ia pindah dan tinggal di Balai Budaya. Tahun 1969 Arief Budiman
mengajaknya bergabung dengan majalah Horison. Mula-mula ia bekerja
sebagai korektor, kemudian menjadi redaktur periode 1986-2002 dan
diangkat menjadi pengurus Dewan Kesenian Jakarta.4
Hamsad Rangkuti mulai mengalami penurunan kesehatan di tahun 2009.
Salah satu penyebabnya dikarenakan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok
mengambil tanah miliknya secara paksa untuk mendirikan tempat
pembuangan sampah yang berlokasi tidak jauh dari rumah Hamsad. Ia pun
sempat melawan meski pada akhirnya pembangunan tetap dilakukan, bahkan
tanpa adanya uang pengganti. Sejak saat itulah, Hamsad sering sakit-sakitan.
3 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Ensiklopedia Sastra Indonesia,
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Hamsad_Rangkuti
Diunduh 10 Februari 2019.
4 Ibid, http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Hamsad_Rangkuti
28
Rumah yang menjadi sumber inspirasi dan tempat ia menulis tak lagi
terasa hangat. Sampah menerbangkan aroma busuk hingga ke rumahnya.
Lingkungan yang tidak sehat menyebabkan keluarga tersebut dijangkiti
berbagai penyakit.5 Hamsad divonis menderita gangguan jantung,
penyumbatan pembuluh darah di otak, dan gangguan stroke. Pada
pertengahan tahun 2018, tepatnya 26 Agustus 2018, Hamsad meninggal
dunia di usia 75 tahun di rumahnya, di Jalan Swadaya 8, Gang Dahlia RT 003
RW 03, Kelurahan Depok, Beji, Kota Depok.6
B. Karya dan Penghargaan
Karya-karya Hamsad telah dimuat di berbagai surat kabar dan majalah di
dalam dan luar negeri. Cerpennya termuat dalam antalogi Derabat, cerpen
pilihan Kompas 1999, Antologi Cerpen Indonesia Jilid 2. Kumpulan
cerpennya yang telah terbit adalah Lukisan Perkawinan (1982), Sampah
Bulan Desember (2000), Bibir dalam Pispot (2003) dan Cemara (1982),
Panggilan Rasul (2010), serta novel berjudul Ketika Lampu Berwarna Merah
(1988).7
"Rencong" menjadi pokok pembicaraan esai Seno Gumira Ajidarma
ketika mengulas kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh.8
“Sukri Membawa Pisau Belati" dimuat dalam majalah Jerman Orientierungen
I/1999 dengan judul "Und Sukri Zog den Dolch". "Sampah Bulan Desember"
diterjemahkan dengan judul "December Garbage" dimuat dalam New Voices
in Southeast Asia Solidarity (1991), sedangkan "Senyum Seorang Jenderal
pada 17 Agustus" dan "Umur Panjang untuk Tuan Joyokroyo" dimuat dalam
Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia, Monash
5 Sulung Lahitani, “Tergolek Tak Berdaya, Sastrawan Hamsad Rangkuti Butuh Pertolongan”,
https://m.liputan6.com/citizen6/read/3066538/tergolek-tak-bedaya-sastrawan-hamsad-rangkuti-
butuh-pertolongan, diakses 12 Maret 2019.
6 Kisar Rajaguguk, “Sebelum Meninggal Hamsad Rangkuti Idap Sejumlah Penyakit”,
https://m.mediaindonesia.com/amp/amp_detail/1809794-sebelum-meninggal-hamsad-rangkuti-
idap-sejumlah-penyakit, diakses 12 Maret 2019.
7 Ensiklopedi Sastra Indoneisa, (Titian Ilmu: Bandung, 2007), h. 294.
8 Seno Gumira Ajidarma, “Rencong” dalam kumpulan cerpen Wanita Muda di Sebuah Hotel,
(Yogyakarta: Diva Press, 2016), h. 214.
29
Asia Institute. Beberapa cerpen Hamsad juga telah disinetronkan di tahun
1997, "Lukisan Perkawinan", "Dendang", "Salam Lebaran", dan
"Permintaan" (yang berubah judulnya menjadi "Ngidam").
Tahun 2000 Hamsad mendapat Penghargaan Sastra dari Pemda DKI
Jakarta atas novelnya Klamono, diterbitkan dalam rangka menyambut 100
tahun industri perminyakan Indonesia. Bercerita tentang buruh minyak di
tempat pengeboran dan eksplorasi, hasil produksi TV Sorong, Irian Jaya.
Sayangnya jejak mengenai novel ini sulit ditemukan karena tidak diterbitkan
secara luas untuk khalayak. Penghargaan lainnya yang telah diterima adalah
Khatulistiwa Literary Award di tahun 2003. Tahun 2008 mendapatkan
penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Bahasa dan diputuskan untuk
memperoleh SEA Write Award mewakili Indonesia.9
C. Perkembangan Pemikiran
1. Penulis Berbakat Alam
Perkenalan Hamsad dengan dunia fiksi dimulai dari kebiasaannya
membaca di kantor wedana sepulang sekolah. Tak lewat buku tetapi koran-
koran. Kisaran, kota masa kecilnya tidak terdapat perpustakaan dan ia pun
tidak memiliki biaya untuk membelinya, maka sumber bacaan hanya melalui
koran yang menempel di kantor wedana. Hamsad bertemu cerpen milik
Anton Chekov, Gorky, Hemingway, dan O Henry. Akibat bacaan tersebut, ia
tidak jarang mengalami “gangguan” yang menimbulkan rasa berkeinginan
untuk menulis.
Hamsad seorang pengelamun parah. Kebiasaannya memperhatikan
keadaan di sekitar, membuatnya tergugah untuk menuangkan ide-ide ke
dalam bentuk kisah. Berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan.
Cerpen pertamanya ditulis ketika berusia 16 tahun dengan judul “Sebuah
Nyayian di Rambung Tua”. Cerita muncul saat ia menyendiri di hutan
rambung dan melihat seorang buruh penderas menyadap getah dalam
9 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Loc.cit.
30
kesunyian. Naskah tersebut secara diam-diam dikirim oleh Umaruddin Yasin
ke redaksi Indonesia Baru dan ternyata dimuat di koran.10
Perpindahan Hamsad dari Kisaran ke Medan membuat lingkungan
pergaulannya berubah. Ia mulai mendekati seniman-seniman setempat yang
suka berkumpul untuk membicarakan karya sastra dari majalah pusat seperti
Konfortasi, Indonesia, Sastra, dan Mimbar Indonesia. Kehadirannya tidak
begitu dianggap dikarenakan ia belum memiliki karya „yang berarti‟. Baru
ketika cerpen “Waspada” diterbitkan, para seniman merasa kecolongan.
Mereka akhirnnya menghiraukan keberadaan Hamsad dan mau meminjamkan
buku serta majalah kepadanya.
Melalui cerpen “Panggilan Rasul” yang lolos di Warta Dunia. Gengsi
dirinya makin tinggi, bahkan Hamsad diikutsertakan oleh rombongan
pengarang Sumatera Utara ke Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh
Indonesia (KKPI) di Jakarta. Dia langsung jatuh cinta pada ibu kota.
Berkenalan dengan beberapa pengarang ternama dan timbul dorongan kuat
untuk tinggal di Jakarta. Ketika pernah tinggal di Balai Budaya, Hamsad suka
menguping pembicaraan tokoh-tokoh kebudayaan yang sedang berdiskusi,
antara lain Trisno Sumardjo, Zaini, Oesman Efendi, Nashar, dan Anas
Ma‟ruf. 11
Menetap di Jakarta sejak umur 18 tahun, Hamsad merasa tercerabut dari
akar tradisinya, Mandailing, Tapanuli Selatan. Jakarta telah membentuk
kepengarangannya sehingga cerpen-cerpennya tidak mengisahkan tentang
lingkungan tradisional melainkan masyarakat Indonesia yang baru, yang
bersentuhan dan kelihatan oleh mata kehidupannya. Ia merasa cukup kreatif
dalam keadaan itu. Semua pengalaman, penghayatan, informasi, dan ekspresi
10 Hamsad Rangkuti, “Dari Bakat Alam ke Teknik”, dalam Pamusuk Eneste (ed.), Proses
Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1, (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009), h. 166.
11
Hamsad Rangkuti, Imajinasi Liar dan Kebohongan (Proses Lahirnya Sebuah Cerpen)”,
dalam Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu, (Yogyakarta: Diva
Press, 2016), h. 15-16.
31
yang didapatkan kemudian mengalami proses transformasi di dalam pikiran
dan hati sehingga menghasilkan gambaran (imaji) dan realitas baru.12
Sedari awal, Hamsad mengaku sebagai penulis berbakat alam. Beraliran
realistik dan memilih kecenderungan mengangkat kejadian nyata sebagai
bahan olahan, membuatnya merasa “selalu perlu berpergian” karena bagi
pengarang “konvensional”, tidak bisa berkarya sebatas di atas meja. Dengan
kata lain, mereka membutuhkan “petualangan” yang memicu gairah
keseniannya. Hamsad memantiknya dengan cara keluyuran di tempat kumuh,
pelacuran, dan kampung-kampung yang jauh. Meski jejak petualangannya
tidak dapat berlangsung lama dikarenakan rasa tanggungjawabnya terhadap
keluarga.13
Pada satu sisi, sumber cerita dapat habis bila hanya mengandalkan
pengalaman hidupnya. Hal ini akan memungkinkannya tidak terlalu produktif
karena lebih mengutamakan kematangan deep structure, kedalaman cerita,
bukan gaya berceritanya. Nyatanya memang Hamsad kerap bercerita nyaris
dengan datar-datar saja, bersahaja, tanpa permainan gaya bahasa indah atau
puitis. Tak ada khotbah moral, tak ada teriakan kritik sosial. Cerita justru
semakin menarik ketika membawa pembaca pada sikap jujur yang makin
langka.14
2. Penulis Teknik
Workshop kepenulisan skenario oleh Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta agak mengubah pemikiran Hamsad. Pola bakat alam bergeser menjadi
unsur teknik. Menurutnya mengarang adalah persoalan berpikir. Mulai dari
menimbang-nimbang komposisi, menyeleksi informasi, membangun unsur
dramatik, dan memasukkan unsur keindahan. Menentukan teknik penyuguhan
menjadi bagian utama kemudian baru menciptakan mood untuk menentukan
12 Hamsad Rangkuti, Pengantar dalam Lukisan Perkawinan, (Yogyakarta: Matahari, 2004)., h.
xi-xii.
13
Efix Mulyadi, op.cit., h. 012.
14 Agus Noor, “Kesederhanaan Cerita yang (Tetap) Mempesona” dalam Maukah Kau
Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu, op,cit., h. 33.
32
rasa cerita. Ia mulai mampu mengarang dari nol, tidak ada ide. Misteri
penciptaan akan datang saat mencipta.15
Sapardi menyebut Hamsad seorang pengamat yang cermat.
Menggunakan berbagai teknik penulisan cerita dengan baik, terutama kejutan
pada pengulangan dan penutup cerita, menimbulkan suasana mencekam
sekaligus menggelikan. Dalam ketegangan, pembaca secara diam-diam dibuat
merasakan bahwa peristiwa itu lucu, meski tetap menyiratkan amanat. Segala
kenyataan, kebenaran, dan apa yang telah terjadi sungguh-sungguh tidak
terduga, kecuali kejutan-kejutan menyegarkan yang tetap terjaga di dalam
bingkai.16
Tengok saja karyanya antara lain dalam “Pispot” dan “Rumah Jamban”.
Kedunya membicarakan tentang kotoran manusia yang menjadi pokok
permasalahan di dalam cerita. Seno Gumira Ajidrama dalam esainya yang
berjudul Tinja dalam Sastra mengatakan Hamsad piawai mengubek-ubek
materi, bahkan penyair Adri Darmadji Woko berteriak, “Hamsad gila!”17
. Hal
ini membuktikan bahwa Hamsad membiarkan dunia khayalnya liar tetapi
tetap mendasar pada realitas dengan permainan teknik yang apik.
Sosok tokoh jalinan kisahan Hamsad Rangkuti jauh dari pretensi absurd
atau sureal sehingga pembaca merasa dekat dengan setiap kejadian dalam
karangannya. Mereka tidak terkesan diperalat sang empu cerita. Dengan kata
lain, tokohnya dalam plot terlihat leluasa mengekspresikan sikapnya. Cerita
dibuat dekat dan bernilai ironi maupun sarkasme. Hal ini mencirikan bacaan
yang dihadirkan bersifat reflektif, meresepsi pembaca.18
Hamsad memang tidak suka berakrobat kata-kata dalam kisahnya.
Baginya, pengarang sejati tidak mengutamakan style karena style adalah hasil
15 Hamsad Rangkuti, “Dari Bakat Alam ke Teknik”, dalam Pamusuk Eneste (ed.), Proses
Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1, op.cit, h. 169.
16 Sapardi, “Hamsad Mendongeng”, dalam Wanita Muda di Sebuah Hotel, op.cit., h. 16-17.
17
Seno Gumira Ajidarma, “Tinja dalam Sastra”, Kompas, Minggu,13 Mei 2001, h. 018.
18
Satmoko Budi Sasonto, “Cerita Pendek, Keberjamakan, Reruntuhan Menara Gading,
Kompas, Minggu, 8 Juni 2003, h. 018.
33
pergulatan dengan hidup. Hamsad berpendapat bahwa “sastra = kebohongan”.
Meskipun banyak bagian dalam sastra berakar atau mengacu pada kenyataan,
sastra adalah fiksi alias kebohongan. Kebohongan kreatif, kebohongan indah
untuk mengajak pembaca melihat kenyataan lebih baik lagi.19
D. Sinopsis
1. Cerpen “Perbuatan Sadis”
Cerpen “Perbuatan Sadis” menceritakan tentang tokoh aku dan seorang
wanita muda yang mengalami penodongan ketika menunggu bus di halte.
Saat mengetahui kalung wanita muda ternyata sebatas imitasi, penodong
memaksa korbannya untuk menelan kalung. Mereka merasa telah ditipu
dan dipermainkan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh wanita muda
kecuali menuruti perintah penodong.
2. Cerpen “Perhiasan”
Cerpen “Perhiasan” menceritakan tentang seorang wanita muda yang
menyerahkan kalung seberat 45 gram kepada penodong yang datang
menghampiri. Hal ini dilandasi ketidaksadarannya atas apa yang
dikenakan. Kebiasaan memakai perhiasan asli dan imitasi secara
bergantian membuatnya menjadi ceroboh. Setelah beberapa saat, wanita
muda baru mengingat bahwa kalung yang diberikan adalah perhiasan asli.
3. Cerpen “Pispot”
Cerpen “Pispot” menceritakan tentang lelaki penjambret yang dibawa
ke kantor polisi karena menelan kalung hasil rampasannya. Tidak ada
pengakuan membuat polisi memaksa tersangka untuk mengeluarkan isi
perutnya dan kemudian ditampung dalam pispot. Kalung tidak ditemukan
sehingga tersangka dibebaskan dari tuduhan. Ternyata kalung itu telah tiga
kali keluar dari perut dan ditelannya secara berulang. Perbuatan ini
dilakukan oleh lelaki penjambret karena membutuhkan biaya berobat
untuk anaknya.
19 Hamsad Rangkuti, “Wacana: Akrobat Kata-kata, Kebohongan, dan F. Rahardi”, Kompas,
Minggu, 24 Agustus 2008, h. 018.
34
BAB IV
HASIL ANALISIS
A. Analisis Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema dalam cerpen “Perbuatan Sadis” menunjukkan kompleksitas
hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam hal ini permasalahan
diperlihatkan melalui medium perhiasan khususnya kalung. Seorang
wanita muda secara sengaja memakai kalung di tempat umum, seakan
memancing orang lain untuk memerhatikan dirinya, menjadikannya ingin
bermain-main dengan bahaya tanpa memikirkan konsekuensi. Keberanian
wanita muda disebabkan apa yang digunakan adalah hanya barang tiruan.
Terlihat dalam kutipan berikut:
“Anda mengenakan kalung imitasi?” Untuk apa?” tanyaku.
“Hanya untuk fantasi saja.”1
Karakterisasi tokoh wanita muda yang senang berfantasi menjadi
landasan dari tindakan yang dilakukan, seolah ingin menertawakan nasib
buruknya dan mengejek ketidaktahuan orang lain atas kalung yang
dikenakan. Ilusi yang diciptakan memunculkan masalah yaitu datangnya
dua penodong dengan membawa pisau belati. Mengetahui benda tersebut
imitasi, mereka secara tega memaksa wanita muda untuk menelan
kalungnya. Tidak ada upaya yang bisa dilakukannya kecuali menuruti
perintah penodong. Terbukti dalam kutipan di bawah ini:
“Makan! Telan kalung imitasimu ini. Kau telah permainkan kami
dengan kepalsuan. Sekarang kau harus menelan kepalsuan ini! Ayo
telan!”2
Berdasarkan pemaparan di atas, tema dalam cerpen ini adalah
kepalsuan yang menimbulkan petaka. Kalung imitasi yang dikenakan
wanita muda menempatkan dirinya dalam situasi tindakan kejahatan
1 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis” dalam Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah,
(Yogyakarta: Senja, 2016), h. 24.
2 Ibid, h.25.
35
berupa penodongan. Tokoh aku yang tidak memiliki sangkut-paut
dengannya pun menjadi ikut terlibat. Meski begitu, wanita muda harus
menanggung risiko seorang diri, dipaksa menelan kalung dengan tanpa
perlawanan dan tanpa mendapat bantuan dari siapapun.
Sesuai dengan judulnya, cerpen “Perhiasan” juga menampilkan
masalah disebabkan oleh pemakaian perhiasan. Tema tergambar dari
perilaku wanita muda yang kerap mengenakan kalung agar mendapat
pujian dari orang di sekitarnya. Hal ini mengundang datangnya dua
penodong yang ingin merampas kalung tersebut ketika mereka berada di
halte bus. Menariknya adalah tidak ada adegan pemaksaan, wanita muda
menyerahkan secara sukarela. Sikap ini dipengaruhi anggapan bahwa
kalung yang diberikan kepada penodong hanya imitasi. Terlihat dari
kutipan berikut:
“Tidak usah ditodong begitu. Ambil kalung ini. Aku hanya
mengenakan kalung imitasi. Begitu yang ku lakukan setiap aku
berpergian. Ambilah. Kalung ini imitasi.”3
Wanita muda mempunyai dua kalung dengan berat yang sama, namun
dari jenis berbeda; asli dan imtasi seberat 45 gram, keduanya digunakan
secara bergantian. Apa yang diberikannya kepada penodong adalah kalung
asli. Ia tidak menyadarinya dan malah menduga para penodong keliru.
Nyatanya mereka seorang yang telah terlatih, mampu membedakan
berbagai perhiasan meskipun hanya sepintas melihatnya. Wanita muda
memang lupa menukar dan kalung jenis imitasi berada di dalam tas.
Terlihat dari kutipan berikut:
“Lihatlah! Saya memang lupa menukarnya! Ada dua kalung yang
sama seperti ini, yang asli dan yang palsu!” Dia mulai menangis.4
Berdasarkan pemaparan di atas, tema dalam cerpen ini adalah sikap
pamer yang berujung penyesalan. Kebiasannya memakai kalung asli dan
imitasi secara bergantian, tidak menghindarkan wanita muda dari
3 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan” dalam Cemara, (Yogyakarta: Diva Press, 2016), h.76.
4 Ibid, h.83.
36
kelalaian. Peringatan dari orang lain tidak didengarkan karena merasa
paling mengenali apa yang dimilikinya. Atas kesombongannya, wanita
muda harus kehilangan benda yang selalu dibanggakan. Tidak ada yang
dapat dilakukannya kecuali menangis dan meratapi keadaaan karena
perilakunya.
Selanjutnya tema dalam cerpen “Pispot” tergambar dari tindakan
lelaki penjambret dan hubungannya dengan tokoh lain yang terlibat
permasalahan dengan dirinya. Ia merampas dan menelan kalung milik
seorang wanita muda dikarenakan membutuhkan biaya untuk anaknya
yang sedang sakit. Hal ini mengakibatkan lelaki penjambret digiring ke
kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Polisi
memaksa tersangka mengeluarkan isi perutnya agar ditemukan kalung
sebagai barang bukti. Terlihat dari kutipan berikut:
“Kupas pepaya itu! Dan, suruh dia makan!”
“Mana yang lebih dahulu Komandan? Obat pencahar ini atau
pepaya?”
“Serentak juga tidak apa-apa! Yang penting tampung begitu dia ke
jamban.”5
Ironinya adalah untuk menyelamatkan nyawa orang lain, lelaki
penjambret hampir kehilangan nyawanya sendiri. Ia harus mengalami
beragam siksaan seperti dihakimi massa serta tekanan fisik dan verbal dari
polisi. Aksi dan reaksinya terhadap situasi memperlihatkan bahwa
pergulatan dirinya berhubungan erat dengan tokoh-tokoh lain di dalam
penceritaan. Tindakannya tidak terlepas dari latar sosial yang berasal dari
keluarga miskin sehingga sikapnya cenderung spontan dan tanpa pola
pikir. Terlihat dalam kutipan berikut:
Dia kembali menunduk. “Saya bukanlah penjambret. Tetapi, saya
telah melakukannya.” Tiga kali kalung itu keluar ke dalam pispot.
Begitu keluar aku langsung menelannya.6
5 Hamsad Rangkuti, “Pispot” dalam Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku
dengan Bibirmu?, (Yogyakarta: Diva Press, 2016), h. 55.
6 Ibid, h. 55.
37
Berdasarkan pemaparan di atas, tema cerpen ini adalah kenekatan
dalam menghadapi kemelaratan. Perekonomian yang melingkunginya
membuat lelaki lelaki penjambret bertindak berani dengan mengambil
paksa kemudian menelan kalung milik wanita muda secara berulang. Rasa
tanggungjawab sebagai kepala keluarga membuatnya terpaksa melakukan
apapun agar mendapatkan biaya. Nasibnya termasuk masih beruntung
karena karena kalung tetap dipertahankannya tanpa masuk penjara.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dikatakan pelaku yang terlibat dalam peristiwa, sedangkan cara
pengarang menampilkan tokoh disebut penokohan. Keduanya menjadi
penting dikarenakan menempati posisi yang strategis sebagai pembawa
pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Berikut tokoh
dan penokohan dalam cerpen “Perbuatan Sadis”.
a. Tokoh aku
Tokoh aku merupakan saksi sekaligus korban insiden penodongan
kalung milik seorang wanita ketika menunggu bus di halte. Tidak ada
penyebutan nama atau panggilan bagi dirinya, konsisten menggunakan
kata ganti „aku‟. Begitupun dengan ciri fisiknya, minim informasi.
Pembaca hanya mengetauhi bahwa dirinya laki-laki, entah muda atau
sudah tua. Dugaan bahwa tokoh aku berasal dari kalangan menengah
bawah dibuktikan dari dengan pemilihan bus sebagai moda transportasi.
Penggunaan latar mendukung penggambaran ciri sosialnya. Terlihat
dari kutipan berikut:
Waktu itu hari libur umum. Kota sepi. Hanya aku dan seorang
wanita muda yang menunggu datangnya kendaraan umum di halte
bus.7
Berdasarkan fungsi penampilan, tokoh aku termasuk ke dalam
tokoh protagonis. Ia seorang sopan dan pengingat yang baik, peka
memerhatikan situasi di sekitar. Terbukti dari beragam hal terekam
dalam memorinya, namun masih mampu menyebutkan segala laku dan
7 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h.23.
38
kejadian. Sebagian besar cerita yang diketahuinya berkaitan dengan
kejahatan atau kekejaman. Hal ini membentuk psikis tokoh aku sebagai
seorang yang penakut. Terlihat dari tindakannya ketika mengalami
penodongan dengan wanita muda, hanya diam dengan tidak bertindak
apapun. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Sekarang baiklah kuceritakan kepadamu bagaimana tindak
kejahatan yang menurutku tergolong sadis yang pernah terjadi di
depan mataku tanpa aku bisa berbuat apa-apa”8
Jika dilihat dari peran perkembangan plot, tokoh aku termasuk ke
dalam kategori tokoh utama. Ia menjadi pelaku yang terlibat dari awal
hingga akhir cerita dan sudut pandang penceritaan berasal darinya.
Kapasitas sebagai narator seakan menguntungkan dirinya. Hal ini
disebabkan tokoh aku dapat membuat pembelaan ketika tidak berani
melawan menghadapi penodong. Menurutnya siapa pun akan
melakukan hal yang serupa jika berada di posisi seperti dirinya.
b. Wanita muda
Wanita muda merupakan korban perampasan dan penelanan kalung
yang dilakukan oleh dua penodong dengan membawa pisau belati. Ia
termasuk tokoh utama lainnya karena terlibat konflik bersama tokoh
aku, namun dengan intensitas berbeda. Ia lebih banyak memberikan
pengaruh terhadap perkembangan plot secara keseluruhan. Sedangkan
tokoh aku hanya sebagai pengamat atau pihak yang menceritakan atas
apa yang dialami oleh wanita muda.
Tidak ada penyebutan nama baginya membuat pembaca dapat
membayangkan siapapun secara bebas. Ia hanya memiliki sebutan
“wanita muda” dan penggambaran rentang muda pun tidak diutarakan
secara terperinci. Informasi fisiknya sebatas “muda“ dan memiliki kulit
putih. Hal ini semacam generalisasi citra wanita yang senang memakai
perhiasan. Terlihat dalam kutipan berikut:
8 Ibid, h. 20.
39
“Kalung emas itu tampak dengan jelas lekat pada kulit dadanya
yang putih. Dia seolah tampak ingin menyombongkan perhiasan
itu”.9
Berdasarkan fungsi penampilan, wanita muda termasuk tokoh
protagonis. Sikapnya berani dan penuh dengan fantasi. Hal tersebut
dibuktikannya melalui pemakaian kalung imitasi di tempat umum. Ada
perasaan senang ketika meilihat orang lain tertipu atas apa yang
dikenakannya. Kalung pun implementasi dari keadaan sosial wanita
muda. Benda imitasi mengindikasikan bahwa ia berasal dari kalangan
ekonomi rendah. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Sesekali kita harus mengejek kemiskinan itu! Tidak ada bahaya
kalau kita tidak mengadakan perlawanan. Anda lihat sendiri, seolah
saya menyerahkan begitu saja kalung imitasi itu. Saya tidak
memekik. Saya di dalam hati mengetawai mereka!”10
Segala keberanian wanita muda hilang saat menghadapi pisau
belati milik penodong. Terbukti dengan tidak adanya perlawanan saat
penodong datang bahkan ketika memaksanya untuk menelan kalung.
Tangisan menjadi bukti bahwa ia tetap merupakan wanita yang lemah
dan takut dengan ancaman. Keberanian dalam dirinya termasuk ke
dalam fantasi yang diciptakannya sendiri.
c. Penodong
Dalam penceritaan terdapat dua penodong yang melakukan
perampasan dan melakukan penelanan kalung kepada wanita muda.
Keduanya tidak memiliki ciri khusus yang membedakan sehingga jati
diri mereka serupa, hanya ada bukti fisik mencirikan mereka laki-laki.
Pembentukan ciri psikis lebih dimunculkan melalui pisau belati yang
menimbulkan efek kejam dan mengerikan. Berdasarkan fungsi
penampilan tokoh, penodong termasuk tokoh antagonis. Terbukti saat
mengetahui korbannya mengenakan kalung imitasi, mereka tidak segan
untuk berbuat hal tidak manusiawi. Terlihat dari kutipan berikut:
9 Ibid, h. 23.
10
Ibid, h. 24.
40
“Makan! Telan kalung imitasimu ini. Kau telah permainkan kami
dengan kepalsuan. Sekarang kau harus menelan kepalsuan ini! Ayo
telan!”
Ujung pisau belati telah masuk ke kulit leher wanita muda itu.11
Tindakan yang dilakukan penodong mendukung penggambaran ciri
sosialnya. Kemiskinan membuat mereka harus merampas harta milik
orang lain. Berdasarkan peran tokoh dalam perkembangan plot,
penodong termasuk kategori tokoh tambahan. Kehadirannya karena
memiliki keterkaitan dengan tokoh aku dan wanita muda.
Selanjutnya cerpen kedua berjudul “Perhiasan” menampilkan tokoh dan
penokohan sebagai berikut:
a. Tokoh aku
Tokoh aku merupakan seorang yang terlibat peristiwa penodongan
ketika menunggu bus di halte. Secara fisiologis sebatas keterangan
dirinya sebatas gender. Ia orang yang senang berasumi atas apa yang
dilihatnya secara langsung. Dugaannya terkadang bersifat negatif. Hal
tersebut tidak terlepas dari latar belakang sosialnya, tergambar melalui
tuturannya bahwa ia berasal dari kalangan menengah yang lekat dengan
kejadian-kejadian buruk. Terlihat dari kutipan berikut:
Selalu banyak kejadian tampak di depan mata. Terkadang saya
sendiri jadi korban. Sebab pencopet-pencopet atau pendong-
penodong itu satu kelas dengan saya, sama-sama menumpang bus
kota.12
Dilihat dari perkembangan plot, tokoh aku termasuk tokoh utama
karena menjadi pencerita dan terlibat dalam narasi dari awal hingga
akhir. Ia saksi sekaligus korban dari peristiwa penodongan. Sebelum
insiden tersebut, ia cukup tercengang melihat kalung milik wanita muda
karena berukuran besar. Meski begitu, obrolan tetap terjadi di antara
mereka dan tanpa menyinggung perhiasan. Menandakan tokoh aku
berperilaku yang sopan dan bijak.
11 Ibid, h. 25.
12
Hamsad Rangkuti , “Perhiasan”, h. 75.
41
Ada sedikit basa-basi di antara kami. Saya tidak mau menakut-
nakuti dia dengan menceritakan pengalaman yang saya pernah lihat
beberapa waktu lalu. Tetapi, apa yang pernah saya lihat beberapa
waktu lalu itu terjadi persis sama pula pada saat sekarang ini: dua
orang lelaki datang dari dalam gang menodongkan pisau belati.13
Berdasarkan fungsi penampilan, tokoh aku bersifat protagonis.
Sikapnya tenang dan tetap mencoba meyakinkan wanita muda
mengenai keaslian kalung yang diberikan kepada penodong. Walau
kenyataannya apa yang diambil penodong memang kalung asli seberat
45 gram. Ia menghormati keadaan wanita muda dengan tidak menakut-
nakutinya.
a. Wanita muda
Wanita muda merupakan seorang istri yang selalu memakai
perhiasan asli atau imitasi di manapun ia berada. Secara sosiologis, ia
berasal dari keluarga berkecukupan. Terlihat dari penggunaan taksi
sebagai pilihannya saat menunggu kendaraan umum di halte. Didukung
oleh kepemilikan kalung 45 gram dan kebiasaannya mengadakan
kegiatan arisan di lingkungan keluarga dan tetangga. Terlihat dari
kutipan berikut:
“Malu rasanya kalau tidak mengenakan perhiasan,” dia berkata
dengan senyum kepada saya. Saya mengenakan kalung emas murni
bila perlu saja. Misalnya, kalau menghadiri arisan keluarga atau
menghadiri di lingkungan tetangga.14
Latar sosial membentuk penokohannya, senang dipuji melalui
kalung yang dikenakan. Berdasarkan kategori tokoh, wanita muda
termasuk tokoh protagonis. Sikap yang dilakukan untuk menjaga
martabat suaminya, namun ia bertindak teledor karena memberikan
kalung secara sukarela saat penodong menghampiri. Wanita muda tidak
menyadari apa yang diberikan adalah perhiasan asli. Terlihat dari
kutipan berikut:
13 Ibid,
14
Ibid, h. 78.
42
“.....Ya Allah. Saya tidak menukarnya waktu hendak pergi. Saya
tidak menukarnya.” Dia mulai menangis. Keringat mengucur
membasahi wajahnya.15
Berdasarkan perkembangan plot, wanita muda termasuk tokoh
utama. Cerita dari awal hingga akhir mengisahkan peristiwa yang
dialaminya yaitu penodongan kalung yang ia pakai serta mengenai
alasan pemakaian kalung bagi dirinya. Kadar intensitasnya pun berbeda
dibandingkan tokoh aku karena lebih banyak mengungkap apa yang
dirasa dan dipikirkan oleh wanita muda.
b. Penodong
Sejalan dengan cerpen sebelumnya, dalam cerpen “Perhiasan” juga
menampilkan dua orang penodong dengan ciri sulit dibedakan satu
sama lain. Secara fisologis, keduanya laki-laki. Dibandingkan ciri fisik,
psikis dan sosial lebih ditonjolkan di dalam penceritaan. Berdasarkan
fungsi penampilan tokoh, penodong termasuk tokoh antagonis. Mereka
mengambil kalung milik wanita muda dan melakukan ancaman melalui
senjata. Terlihat dari kutipan berikut:
Dua orang lelaki datang dari dalam gang menodongkan pisau
belati.16
Perkerjaan yang dijalani penodong mencirikan kelas sosialnya,
penuh kemelaratan. Meski begitu dilihat dari cara berbicaranya sopan
dan diplomatis, membuktikan sebagai seorang yang telah menghadapi
berbagai macam korban. Mereka mampu membedakan asli dan imitasi
dalam waktu singkat bahkan melihatnya dari kejauhan. Terlihat dari
kutipan berikut:
“Nyonya jangan mencoba ingin mengecohkan perhatian kami.
Kami tidak bisa tertipu. Kami penodong yang terlatih. Kami bisa
menandai asli ataupun palsu perhiasan yang dikenakan korban-
korban kami. Walau dari jarak sepuluh meter kami tahu kalau
Nyonya mengenakan emas murni.17
15 Ibid, h. 81.
16
Ibid, h. 75.
17
Ibid, h. 76.
43
Berdasarkan perkembangan alur, penodong termasuk dalam tokoh
tambahan.Muncul hanya dalam satu peristiwa yaitu ketika menghampiri
wanita muda untuk meminta kalung dan pergi setelah mendapatkannya.
Walaupun begitu, tindakan yang dilakukan oleh penodong sebagai
pengubah jalannya cerita.
Cerpen ketiga berjudul “Pispot” dengan tokoh dan penokohan sebagai
berikut:
a. Tokoh aku
Tokoh aku merupakan saksi penjambretan kalung milik wanita
muda. Ia memiliki panggilan „Bapak‟ dan penggilan ini menjadi satu-
satunya bukti dari ciri fisik yang menandakan bahwa seorang laki-laki.
Panggilan tersebut digunkan sebagai tanda menghormati, ciri bahwa
usianya terpaut lebih tua dibandingkan lawan bicaranya yaitu lelaki
penjambret. Berdasarkan perkembangan alur, tokoh aku termasuk ke
dalam tokoh utama karena terlibat dari awal hingga akhir peneritaan.
Selain itu didukung oleh perannya sebagai narator sehingga kisah
berasal melalui sudut pandang dirinya. Terlihat dari kutipan berikut:
“Saya lihat! Dia masukkan kalung itu dan dia telan!”
Aku menambahkan kata “kalung” pada kesaksianku. Padahal, aku
tidak melihat benda apa yang dimasukkan ke dalam mulutnya.
Sekarang sudah terlanjur!18
Berdasarkan fungsi penampilan, tokoh aku bersifat protagonis. Ia
merasa bersalah karena membuat kesaksian tanpa dasar dan iba melihat
lelaki penjambret mengalami penyiksaan. Permintaan maaf juga
menjadi bukti bahwa tokoh aku seorang yang baik. Ia pun
mengantarkan tersangka pulang bahkan memberinya uang. Terlihat dari
kutipan berikut:
Karena merasa berdosa, aku menolong lelaki itu meninggalkan
kantor polisi. Aku memapahnya naik ke atas taksi. Aku terus-
menerus meminta maaf di sepanjang perjalanan. Aku raba uang di
18 ..... “Pispot”, h. 54.
44
sakuku. Aku beri dia uang untuk menebus rasa berdosa pada diriku.
Lelaki itu berlinang air matanya.19
Dari kutipan di atas juga tersirat tokoh aku berasal dari orang
berkecukupan. Terlihat dari penggunaan taksi dan pemberian uang
sepuluh ribu. Ironinya, kesaksiannya tidak keliru dan lelaki itu memang
menelan kalung hasil rampasannya. Namun tokoh aku tidak
mendendam dan tidak mau mengungkitnya. Terlebih ketika mengetahui
alasan penjambretan dikarenakan membutuhkan biaya.
b. Lelaki penjambret
Sejak awal penceritaan tokoh ini memiliki penyebutan „lelaki
tersangka penjambretan‟ karena mengambil kemudian menelan kalung
milik wanita muda ketika berada di keramaian pasar. Lelaki penjambret
tidak memiliki ciri fisik secara spesifik, hanya kata „muda‟ yang
mengidentifikasi bahwa umurnya terpaut jauh dengan tokoh aku. Meski
begitu, ia merupakan seorang kepala keluarga karena telah memiliki
istri dan anak.
Berdasarkan fungsi penggambaran, lelaki penjambret termasuk
tokoh protagonis. Alasannya melakukan tindak kejahatan adalah untuk
membiayai anaknya yang sedang sakit. Ia memiliki kasih sayang besar
terhadap keluarga meskipun terpaksa ditunjukkan dengan cara yang
salah. Tindakannya tergolong nekat dan spontan karena telah menelan
kalung secara berulang. Terlihat dari kutipan berikut:
“Bapak adalah saksi itu! Bapak orang baik. Saya harus
mengatakannya!” Dia kembali menunduk. “Saya bukanlah
penjambret, tetapi saya telah melakukannya. Tiga kalung itu keluar
ke dalam pispot. Begitu keluar, aku langsung menelannya.”20
Secara psikis, tokoh lelaki ini termasuk seorang kuat pendirian. Ia
hanya diam dan lebih memilih mengalami siksaan sebagai upaya
mempertahankan kalung agar tetap menjadi miliknya. Hal ini dilandasi
oleh ketidakmampuannya mendapatkan uang karena berada dalam
19 Ibid, h. 61.
20
Ibid, h. 62.
45
kondisi melarat. Ciri sosialnya pun hadir melalui kotoran pada pispot.
Terlihat dari kutipan berikut:
“Belum juga. Masih sisa-sisa tempe. Ada seperti benang. Kukira ini
sumbu singkong rebus!”21
Melalui keterangan “tempe” dan “singkong rebus” mendukung
penggambaran latar sosialnya. Kedua makanan tersebut lekat oleh
kalangan bawah. Selain itu, dibuktikan dengan letak rumahnya yang
berada di dalam gang. Seperti dua cerpen sebelumnya, gang menjadi
tempat keluar masuknya pelaku kriminalitas. Lelaki penjambret terlibat
dari awal hingga akhir penceritaan. Hal tersebut membuatnya termasuk
ke dalam tokoh utama.
c. Polisi
Tokoh polisi berstatus sebagai kepala pemeriksa dan memiliki
panggilan komandan. Tidak ada pencirian fisiologis selain gender
seorang laki-laki. Aspek sosial dan psikisnya lebih ditonjolkan, jabatan
yang diduduki mendukung penokohannya menjadi orang yang keras
hati dan tidak memiliki rasa tega. Ia memaksa lelaki penjambret
mengakui perbuatannya melalui berbagai tekanan fisik dan verbal.
Terlihat dalam kutipan berikut:
Ambil obat pencahar! Pisang dan pepaya. Suruh dia mencret seperti
burung. Lalu tampung kotorannya!22
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, polisi termasuk tokoh
antagonis. Polisi selalu merasa sebagai pihak yang tidak pernah salah.
Ketika barang bukti tidak ditemukan dan korban mencabut tunduhan,
semua pihak meminta maaf kepada penjambret kecuali polisi. Padahal
ia melakukan beragam siksaan terhadap tersangka. Terbukti dari
kutipan berikut:
Wanita muda itu minta maaf kepadanya. Aku juga minta maaf
kepadanya. Polisi juga memaafkannya. Dia bebas!23
21 Ibid, h. 60.
22
Ibid, h. 55.
23
Ibid, h. 60.
46
Sebagian besar latar tempat dalam penceritaan berada di kantor
polisi, namun jika dilihat dari perkembangan plot, polisi termasuk tokoh
tambahan karena tidak terlibat hingga akhir penceritaan atau hanya
untuk mencari kalung wanita muda. Setelah kalung tidak ditemukan,
tokoh polisi tidak lagi dimunculkan
d. Wanita muda
Wanita muda merupakan pemilik kalung yang telah dijambret oleh
seorang lelaki ketika berada di pasar. Berdasarkan penggambaran alur,
ia termasuk tokoh tambahan. Hal ini dilandasi oleh minimnya lakuan
dan tidak ada tokoh lainnya yang mencoba mendeskripsikan wanita
muda. Porsi penceritaannya relatif sangat pendek, hanya memberikan
kesaksian terkait kalung. Terlihat dari kutipan berikut:
“Berapa gram? Tanyanya ke wanita korban penjambretan itu.
“Lima belas gram!” jawab wanita itu.24
Secara tersirat dapat diasumsikan bahwa wanita muda berasal dari
keluarga menengah. Hal ini terlihat dari pemakaian kalung seberat lima
belas gram dan kepemilikan telepon oleh suaminya. Sedangkan
berdasarkan fungsi penampilan, wanita muda termasuk tokoh
protagonis. Ia mengikuti prosedur kepolisian tanpa protes. Selain itu ia
juga memiliki sikap penurut karena mematuhi perintah suaminya agar
mencabut tunduhan dan mau meminta maaf kepada lelaki penjambret.
Terbukti dalam kutipan berikut:
Tuduhan terhadap dirinya dicabut! Wanita muda itu minta maaf
kepadanya. Aku juga minta maaf kepadanya. Polisi juga
memaafkannya. Dia bebas!25
Dari kutipan di atas juga terlihat bahwa wanita muda pergi tanpa
membawa kalungnya. Meskipun telah menjadi korban malah
memimbulkan rasa bersalah di dalam dirinya. Sampai akhir
24 Ibid, h. 54.
25
Ibid, h. 60.
47
penceritaan, ia tidak mengetahui bahwa lelaki penjambret memang
telah mengambil dan menelan kalungnya secara berulang.
Berdasarkan pemaparan dari ketiga cerpen secara keseluruhan
bahwa para tokoh tidak memiliki nama secara khusus, penyebutan
panggilan hanya melalui gender ataupun profesi. Selain itu dikarenakan
hanya menceritakan satu permasalahan yaitu perkara penodongan dan
penjambretan mengakibatkan semua tokoh bersifat statis atau tidak
mengalami perubahan perwatakan secara signifikan. Hal ini tidak
terlepas dari pengarang yang hanya menampilkan satu kualitas pribadi
tertentu.
3. Latar
a. Latar Tempat
Cerpen “Perbuatan Sadis” dan “Perhiasan” memiliki kesamaan
dengan menggunakan situasi perkotaan sebagai latar tempat sebagai
laku kejadian dari peristiwa penodongan perhiasan milik seorang
wanita muda. Hal ini tampak melalui penggambaran halte bus dan
gang. Penggabungan ini dilakukan karena tidak ada signifikasi yang
membedakan dalam kedua cerpen.
1) Halte bus
Terlihat dalam kutipan berikut:
Kutipan dalam cerpen “Perbuatan Sadis”:
Waktu itu hari libur umum. Kota sepi. Hanya aku dan seorang
wanita muda yang menunggu datangnya kendaraan umum di
halte bus.26
Kutipan dalam cerpen “Perhiasan”:
Tetapi, saya lihat orang tidak mau pernah jera untuk
menggantungkan perhiasan ditubuh mereka. Seperti apa yang
saya lihat saat ini, ketika saya sedang menunggu kendaraan
umum di halte bus.27
Tempat ini menjadi latar fokus penceritaan dari awal hingga
akhir. Dari kedua cerpen, halte bus digambarkan sebagai tempat
26 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 23.
27
Hamsad Rangkuti , “Perhiasan”, h. 74.
48
yang diibaratkan seperti panggung untuk menampilkan apapun
karena dapat dilihat oleh banyak orang. Salah satunya adalah
perhiasan, tanpa memperdulikan dari jenis asli ataupun imitasi. Halte
juga menjadi tempat transisi bagi pelaku kejahatan yaitu pertemuan
penodong dari dalam gang dan bus. Sedangkan sebagai moda
transportasi massal, bus dianggap memiliki citra negatif yaitu penuh
dengan kriminalitas.
2) Gang
Tempat ini menjadi latar kemuculan dua penodong yang ingin
merampas kalung milik wanita muda. Berdasarkan logika ruang,
posisi gang berada di seberang atau berhadapan dengan halte bus
karena tokoh aku dapat melihatnya secara langsung. Pergerakan
mereka yang cepat membuat para tokoh tidak dapat membuat
perlawanan apapun. Hal tersebut menandakan letak gang tidak jauh
dari halte bus.
Kutipan dalam cerpen “Perbuatan Sadis”:
Pada saat seperti itulah datang dua orang lelaki dari dalam gang
dan langsung menodongkan dua pucuk pisau belati.28
Kutipan dalam cerpen “Perhiasan”:
Dua orang lelaki datang dari dalam gang menodongkan pisau
belati. Keduanya melompat dan masuk ke dalam gang.29
Berdasarkan penjelasan dari kedua cerpen bahwa gang menjadi
tempat keluar-masuk para penodong. Datang untuk merampas dan
kembali ke gang setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Hamsad Rangkuti selaku pengarang melambangkan gang sebagai
bentuk dari kemiskinan dan kemelaratan, oleh karena itu orang
menjadi nekat dan dendam terhadap keadaan.
28 Hamsad Rangkuti , “Perbuatan Sadis”, h. 23.
29
Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 75.
49
3) Rumah
Berbeda dengan “Pebuatan Sadis” yang menampilkan latar halte
bus dan gang, dalam cerpen “Perhiasan” memunculkan latar rumah.
Terlihat dari kutipan berikut:
Tadi malam mereka datang bertamu ke rumah kami. Aku cepat-
cepat ke kamar membuka lemari dan mengambil kalung emas
itu dari lacinya dan mengalungkan di leher berikut liontinnya.30
Sesaat setelah wanita muda memberikan kalungnya kepada
penodong, ia bercerita pada tokoh aku bahwa hanya memakai kalung
asli di tempat tertentu yang salah satunya adalah rumah. Rumah
dianggap menjadi tempat yang aman sehingga segala keaslian dapat
ditampakkan, hanya kerabat dan teman terdekat yang mampu
melihatnya.
Selanjutnya latar tempat dalam cerpen “Pispot”:
1) Pasar
Terlihat dari kutipan berikut:
Orang itu beberapa saat yang lalu melintas di antara keramaian
pasar. Seorang wanita menjerit. Aku melihat orang itu
memasukkan sesuatu ke mulutnya disaat langkahnya yang
tergesa.31
Pasar menjadi tempat awal mula permasalahan terjadi di dalam
penceritaan. Tokoh aku melihat seorang lelaki menelan suatu barang
hasil rampasannya. Tindakan ini terjadi dalam suasana yang cukup
hiruk-pikuk. Selain halte bus, latar ini juga memunculkan stigma
mengenai tempat terjadinya kejahatan.
2) Mobil Polisi
Terlihat dari kutipan berikut:
Kami naik mobil polisi itu. Aku duduk di sebelah wanita korban
penjambretan. Lelaki tersangka yang melakukan penjambretan
itu duduk di depan kami. Hidungnya masih meneteskan darah.
30 Ibid, h. 79.
31
Hamsad Rangkuti , “Pispot”, h. 52.
50
Di kiri kanannya duduk petugas pasar yang menangkapnya dan
seorang polisi.32
Lelaki tersangka dibawa ke kantor polisi menggunakan mobil
polisi sesaat setalah melakukan penjambretan bersama saksi, korban,
dan didampingi oleh petugas. Tidak adanya dialog di antara mereka
sehingga suasana sangat hening. Semua tokoh seakan dibiarkan diam
melayangkan pikirannya masing-masing. Hal ini agaknya upaya
mendukung asumsi bahwa sesuatu terkait dengan “kepolisian”
mampu membuat orang lain bungkam dan tidak dapat berkutik.
3) Kantor Polisi
Terlihat dari kutipan berikut:
Di kantor polisi dia mulai didesak untuk mengakui
perbuatannya.
“Kamu buang?”
“Tidak.”
“Kamu sembunyikan?”
“Tidak.”
“Dia tidak bisa berkata selain tidak!” Mereka mulai tidak sabar.
“Siksa!”33
Tempat ini digambarkan penuh tekanan dan pertimbangan,
segala keputusan harus ditentukan secara cepat. Lelaki penjambret
didesak polisi untuk mengakui perbuatannya agar ditemukan barang
bukti. Beragam siksaan diberikan, mulai dari verbal dan fisik bahkan
tersangka dipaksa mengeluarkan isi perutnya secara berulang meski
pada akhirnya ia tetap dibebaskan karena kalung tidak ditemukan
oleh polisi hingga akhir penceritaan.
4) Gang
Terlihat dari kutipan berikut:
Kemudian dia minta diturunkan di gang tempat tinggalnya. Aku
menolongnya sampai keluar. Aku menyalaminya.34
32 Loc,cit.
33
Ibid, h. 53.
34
Ibid, h. 61.
51
Setelah lelaki penjambret dibebaskan dari tuduhan karena tidak
ditemukan kalung, tokoh aku mengantarkannya pulang karena
merasa bersalah. Gang menjadi tujuan mereka bukan rumah. Hal ini
menandakan secara konsisten gang direpresentasikan sebagai bentuk
kemelaratan. Tidak menjadi mengherankan sehingga orang yang
tinggal di tempat tersebut dalam melakukan hal apapun untuk
bertahan hidup.
Berdasarkan pemaparan ketiga cerpen dapat disimpulkan bahwa
latar publik seperti halte, gang, dan pasar digambarkan sebagai
tempat yang selalu memunculkan pelaku kejahatan. Mulai dari
penodong dan penjambret. Hal ini menandakan bahwa mereka
merupakan orang-orang yang dendam terhadap keadaan karena
berani beraksi di keramaian. Sedangkan latar domestik seperti rumah
mendatangkan perasaan aman.
b. Latar Waktu
Latar waktu dari ketiga cerpen tidak menyiratkan keterangan secara
faktual, melainkan hanya mengacu kepada saat tertentu seperti di siang
hari dalam kondisi sepi atau keramaian. Hal ini disebabkan cerita hanya
mengisahkan kejadian singkat berupa penodongan dan penjambretan
kalung milik wanita muda.
Cerpen “Perbuatan Sadis” memunculkan waktu siang hari di halte
bus dalam keadaan kota yang sepi. Terlihat dari kutipan berikut:
“Waktu itu hari libur umum. Kota sepi. Hanya aku dan seorang
wanita muda yang menunggu datangnya kendaraan umum di halte
bus. Hari itu panas terik.”35
Cerpen “Perhiasan” juga menggambarkan waktu siang hari sebagai
latar waktu terjadi persitiwa penodongan, namun dalam kondisi yang
cukup ramai. Terlihat dalam kutipan berikut:
Wanita itu ingin naik taksi, tapi selalu penuh.
Wanita muda itu membuka leer kerah bajunya karena panas.36
35 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 23.
36
Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 75.
52
Cerpen “Pispot” tidak memberikan keterangan latar waktu atas
peristiwa dalam penceritaan. Hanya melalui bukti “hiruk-pikuk atau
dikeramaian” memungkinkan terjadi di siang atau pagi hari. Terlihat
dalam kutipan berikut:
Orang itu beberapa saat yang lalu melintas di antara keramaian
pasar.37
Berdasarkan kutipan dari ketiga cerpen di atas terlihat bahwa
Penggambaran waktu untuk mendukung lakuan tokoh terutama pelaku
kejahatan sebagai orang-orang yang nekat karena tindakan mereka
dapat terlihat secara jelas oleh orang lain. Keterangan “siang hari”
menjadi tanda bahwa waktu tersebut biasanya orang-orang sedang
melakukan aktivitas tertentu dan penodong atau penjambret berani
mengambil risiko dari perbuatannya.
c. Latar Sosial
Latar sosial dari ketiga cerpen mencerminkan citra kemiskinan
masyarakat perkotaan. Hal ini tergambar dari latar tempat yang
didukung oleh sebagian besar tindakan yang dilakukan para tokoh.
Mereka berperilaku di luar kendali untuk memenuhi kebutuhan yang
tidak sesuai dengan keadaannya, seperti penodongan dan penjambertan.
Terbukti dalam kutipan berikut:
“Makanya saya heran melihat Anda seberani itu. Kemiskinan
membuat orang nekat! Anda harus tahu itu.”
“Makanya kita sesekali harus mengejek kemiskinan itu.”38
Terlihat pula adanya kesenjangan sosial antara orang berpunya dan
kalangan bawah. Terbukti dari munculnya pemakaian kalung asli atau
imitasi oleh wanita muda hanya untuk menarik perhatian dari orang
lain. Sedangkan para kriminalis bertindak nekat sebagai upaya bertahan
hidup. Perbedaan tujuan yang hendak dicapai para tokoh mampu
menjelaskan kondisi sosial di antara mereka.
37 Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 52.
38
Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 24.
53
“Malu rasanya kalau tidak mengenakan perhiasan,” dia berkata
dengan senyum kepadaku.”39
“Anakku sedang sakit keras. Kami perlu biaya. Istriku telah putus
asa di rumah. Dokter meminta banyak.” Dia tiba-tiba mengangkat
mukanya. “Bapak adalah saksi itu! Bapak orang baik. Saya harus
mengakuinya. Saya harus mengatakannya!” Dia kembali
menunduk. “Saya bukan penjambet. Tetapi, saya telah
melakukannya.”40
4. Plot
Cerpen “Perbuatan Sadis” menggunakan plot maju atau bersifat
kronologis. Sebelum memasuki tahap penyituasian, tokoh aku selaku
narator membuka cerita melalui tindakan yang dianggap sadis. Hal ini
merupakan awal kisah dalam cerita, namun bukan awal peristiwa dalam
penceritaan. Penggambaran ini mendukung situasi atau konflik yang akan
terjadi selanjutnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Sekarang kuceritakan kepadamu bagaimana tindak kejahatan yang
menurutku tergolong dalam perbuatan sadis yang pernah terjadi di
depan mataku tanpa aku bisa berbuat apa-apa.41
Tahap penyituasian bermula ketika tokoh aku dan wanita muda
menunggu kendaraan di halte bus dengan latar suasana sepi meski terjadi
di siang hari. Selain untuk memunculkan tokoh dan latar sebagai lanskap
kejadian, penggambaran ini mendukung informasi sebelum munculnya
permasalahan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Waktu itu libur umum. Kota sepi. Hanya aku dan seorang wanita
muda hari yang sedang menunggu datangnya kendaraan umum di
halte bus. Hari waktu itu panas terik.42
Tahap pemunculan konflik terjadi saat kalung yang dipakai wanita
muda menyebabkan kegelisahan dalam diri tokoh aku. Hal ini merupakan
firasat buruk karena mendatangkan dua penodong dengan membawa pisau
belati. Kemunculan penodong secara cepat membuat tokoh aku dan wanita
muda tidak dapat bertindak apapun. Terbukti dari kutipan berikut:
39 Hamsad Rangkuti , “Perhiasan”, h. 78.
40
Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 62.
41
Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h.22- 23.
42
Loc.cit.
54
Dia mengenakan kalung emas yang kutaksir dua puluh gram. Aku
gelisah melihat kalung emas itu, sedang dia tenang-tenang saja.
Pada saat seperti itula datang dua orang lelaki dari dalam gang dan
langsung menodongkan dua pucuk pisau belati.43
Tahap peningkatan konflik dibuktikan dengan perubahan suasana
menjadi menegangkan karena penodong menghunuskan pisau belati ke
tokoh aku dan wanita muda untuk merampas. Tidak terjadi perlawanan
dari korban membuat kalung berpindah tangan dengan mudah. Terbukti
dari kutipan berikut:
Kalung emas itu direntapkan oleh laki-laki yang menodongkan pisau
belati ke leher si wanita dengan tangannya yang tidak memegang
pisau. Kalung itu tampak olehku putus dan menimbulkan bekas merah
wanita muda itu.44
Tahap klimaks merupakan puncak permasalahan karena keadaan
semakin tidak terkendali. Penodong yang kembali datang untuk memaksa
wanita muda menelan kalung. Hal ini dilandasi kemarahan mereka setelah
mengetahui kalung hasil rampasan sebatas imitasi. Tidak ada rasa tega
dalam diri dua penodong, bahkan memberikan air minum untuk proses
penelanan. Terlihat dari kutipan berikut:
“Makan! Telan kalung imitasimu ini. Kau telah permainkan kami
dengan kepalsuan. Sekarang kau harus menelan kepalsuanmu ini! Ayo
telan!”45
Tahap penyelesaian ditandai dengan tertelannya kalung ke tubuh
wanita muda. Penodong langsung pergi setelah kenginannya terpenuhi.
Wanita muda hanya mampu berteriak histeris setelah menelan kalung
seakan hilang kesadaran atas apa yang telah terjadi. Tokoh aku tidak
melakukan reaksi apapun selain diam seolah juga merasa bingung dan
tertekan. Terbukti dari kutipan berikut:
Sejurus kemudian, wanita muda itu pulih kesadarannya. Dia menjerit!
“Tolong! Tolong! Saya telah menelan perhiasan!” Dia histeris.46
43 Loc.cit.
44
Loc.cit.
45
Ibid, h. 25.
46
Ibid, h. 27.
55
Serupa dengan cerpen “Perbuatan Sadis”, cerpen “Perhiasan” juga
menggunakan plot maju dengan pola kalimat pertama tidak merujuk
kepada awal kejadian dalam penceritaan. Narator menggunakan narasi
tanya-jawab berkaitan dengan alasan penggunaan perhiasan. Laki-laki atau
wanita kerap memakai perhiasan di beberapa bagian tubuh dengan
beragam motivasi. Fenomena ini telah sering menyebabkan tindakan
kejahatan. Terlihat dari kutipan berikut:
Banyak motivasi orang yang menggantungkan perhiasan di tubuh
mereka
Saya sudah sering menyaksikan peristiwa yang diakibatkan orang
yang mengenakan perhiasan di bagian tubuhnya.47
Hal di atas merupakan kerangka berpikir atau latar belakang untuk
menguatkan tema yang akan disampaikan dalam penceritaan. Tahap
perkenalan bermula ketika tokoh aku yang sedang menunggu bus di halte
melihat wanita muda menggunakan kalung sangat menyolok mata. Atas
apa yang dilihatnya membuat tokoh aku berasumsi bahwa wanita muda
ingin menyombongkan diri dari kalung yang dipakainya. Terbukti dari
kutipan berikut:
Saya kira wanita muda yang juga menanti kendaraan umum itu adalah
orang yang ingin mengatakan kepada orang lain bahwa dia orang yang
berpunya.48
Tahap pemunculan konflik terjadi saat dua penodong datang untuk
merampas kalung wanita muda. Tidak terjadi pemaksaan atau aksi saling
rebut, wanita muda memberikan kalungnya secara sukarela karena merasa
apa yang dikenakan adalah sebatas benda imitasi. Penodong rupanya
seorang profesional sehingga mampu membedakan asli dan imitasi
sehingga mereka merasa sangat beruntung karena mendapatkan korban
yang penurut. Hal ini terbukti dalam kutipan berikut:
“Tidak usah ditodong begitu. Ambil kalung ini. Aku hanya
mengenakan kalung imitasi.”
47 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 74.
48
Loc,cit.
56
“Kita tidak mendapatkan kesulitan kali ini. Ayo, Mex! Kita
menemukan korban yang empuk.”49
Tahap peningkatan konflik disebabkan wanita muda mulai mengingat
bahwa ia lupa menukar kalung aslinya dengan yang berjenis imitasi.
Wanita muda bercerita kepada tokoh aku bahwa satu hari sebelumnya ia
mengadakan pertemuan dengan kolega suami di rumahnya. Acara itu
dimanfaatkannya untuk memamerkan kalung kepada tamu yang datang.
Ironinya adalah karena kelelahan membuat wanita muda tidak mengganti
yang asli dengan imitasi saat berpergian di esok harinya. Terbukti dari
kutipan berikut:
“Ya Allah! Ya Gusti!” serunya. Dia tersandar pada tiang. Saya
membantunya.
“Mengapa Nyonya? Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya terlampau lelah meladeni mereka tadi malam. Saya tertidur
tanpa membuka kalung itu, ya Allah! Saya tidak membukanya.
Sungguh!”50
Tahap klimaks digambarkan melalui ketegangan ketika kalung imitasi
terdapat di dalam tas milik wanita muda. Hal ini menandakan bahwa ia
memang lupa mengganti dan menukarnya sehingga apa yang telah
diberikannya kepada penodong berupa kalung asli seberat 45 gram. Tokoh
aku yang berada di lokasi kejadian pun mencoba menenangkan dan
menyakinkan wanita muda, namun hal itu hanya sia-sia. Terbukti dari
kutipan berikut:
Dia membuka tas tangannya dengan gemetar. Dia raba isinya. Dia
keluarkan kalung imitasi dengan liontin menirukan serangga laba-laba
itu.51
Tahap penyelesaian terlihat dari tangis wanita muda disebabkan
kalung telah berpindah tangan. Ia sangat menyesali apa yang telah
diperbuatnya. Wanita muda telah bersikap teledor dan terlalu percaya diri
sehingga memberikan kalung secara senang hati kepada penodong yang
49 Ibid, h. 76.
50
Ibid, h. 81.
51
Ibid, h. 83.
57
datang menghampiri. Munculnya konflik tidak lain disebabkan oleh
tindakan wanita muda dan harus ditanggungnya seorang diri. Terbukti dari
kutipan berikut:
“Lihatlah! Saya lupa menukarnya! Ada dua kalung yang sama sepeti
ini. Yang asli dan yang palsu!” Dia mulai menangis.52
Cerpen selanjutnya “Pispot” menggunakan plot campuran karena
penceritaan sempat beralih mundur atau tidak sesuai dengan urutan waktu.
Tahap perkenalan memberikan informasi telah terjadi penjambretan
kalung milik wanita muda oleh seorang lelaki serta tokoh aku sebagai
saksi. Semua yang terlibat dibawa ke kantor polisi untuk memberikan
keterangan. Tahap ini mulai menggambarkan tokoh, latar, dan konflik
yang terjadi. Terbukti dari kutipan berikut:
Kami naik mobil polisi itu. Aku duduk di sebelah wanita korban
penjambretan. Lelaki yang tersangka melakukan penjambretan itu
duduk di depan kami.53
Tahap pemunculan konflik dihadirkan melalui plot mundur atau
flashback sebelum tokoh aku, lelaki penjambret, dan wanita muda digiring
ke kantor polisi. Permasalahan berawal dari kesaksian tokoh aku yang
melihat seorang lelaki telah memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya
sesaat menjambret kalung milik wanita muda. Keterangan tokoh aku
membuat lelaki penjambret mendapat penghakiman massa di pasar dan
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Terlihat dari kutipan berikut:
Aku melihat orang itu memasukkan sesuatu ke mulutnya disaat
langkahnya yang tergesa. Aku menuding lelaki itu dan petugas pasar
menangkapnya.54
Tahap peningkatan konflik terlihat ketika tidak adanya pengakuan dari
lelaki penjambret. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan kalung
yang telah diambilnya. Situasi ini membuat polisi makin geram sehingga
memberikan berbagai tekanan agar tersangka mau buka suara. Tokoh aku
52 Loc,cit.
53
..... “Pispot”, h. 52.
54
Loc,cit.
58
yang tidak yakin atas kesaksian yang diberikan pun hanya diam dan tidak
mencoba mengklarifikasi. Terbukti dari kutipan berikut:
“Benar kamu telan kalung itu?” bentak mereka.
“Tidak”, kata laki-laki itu menyembunyikan mukanya.
“Kamu buang?”
“Tidak.”
“Kamu sembunyikan?”
“Tidak.”
“Dia tidak bisa berkata selain: Tidak!” Mereka mulai tidak sabar.
“Siksa!”55
Tahap klimaks terjadi saat polisi memaksa lelaki penjambret
mengeluarkan isi perutnya agar ditemukan kalung sebagai barang
bukti. Atas bujukan tokoh aku, lelaki penjambret yang awalnya
sempat menolak akhirnya mau menuruti perintah polisi. Berbagai
ramuan diberikan dan pispot digunakan untuk menampung kotoran
lelaki penjambret, namun tidak ditemukan apapun. Hal ini disebabkan
oleh ditelannya kalung secara berulang. Terbukti dari kutipan berikut:
“Serentak juga tidak apa-apa. Yang penting tampung begitu dia
ke jamban!”
“Nanti ususnya......”
“Tidak ada urusan!” Suruh dia telan obat pencahar itu! Kemudian
pisang atau pepaya, lalu tampung!”56
Tahap penyelesaian terlihat dari dibebaskannya lelaki penjambret
karena tidak ditemukannya kalung dalam pispot. Permintaan maaf
disampaikan oleh wanita muda dan tokoh aku, bahkan tokoh aku
mengantar tersangka pulang. Perasaan bersalah membuat lelaki
penjambret mengakui perbuatannya ke tokoh aku. Terungkap bahwa
alasannya melakukan penjambretan disebabkan anaknya yang sedang
sakit sehingga membutuhkan biaya. Terbukti dalam kutipan berikut:
Anakku sedang sakit keras. Kami perlu biaya. Istriku telah putus
asa di rumah. Dokter meminta banyak.” Dia tiba-tiba mengangkat
mukanya. “Bapak adalah saksi itu! Bapak orang baik. Saya harus
mengatakannya! Dia kembali menunuduk.” Saya bukanlah
55 Ibid, h. 53.
56
Ibid, h. 55.
59
penjambret. Tetapi, saya telah melakukannya. Tiga kali kalung itu
keluar ke dalam pispot. Begitu keluar aku langsung
menelannya.”57
Berdasarkan dari ketiga cerpen plot maju digunakan dalam cerpen
“Perbuatan Sadis” dan “Perhiasan” dengan narator membuka cerita
tidak merujuk kepada kejadian pertama dalam penceritaan, sedangkan
“Pispot” menggunakan plot mundur untuk menghidupkan konflik di
awal penceritaan.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang mempersoalkan siapa yang bercerita atau dari mana
peristiwa itu dilihat. Dalam cerpen “Perbuatan Sadis”, pencerita atau
narator membuka cerita dengan pernyataan melalui deskripsi tentang
perbuatan-perbuatan yang dianggap sadis, menggunakan kata „kita‟ untuk
menyamakan persepsi dirinya dengan pembaca (memaksa menyetujui
pendapatnya). Terlihat dari kutipan berikut:
Banyak tindak kejahatan yang dinilai sadis yang pernah kita baca di
koran-koran.58
Kata “kita” bermakna pronomina persona pertama jamak, artinya yang
berbicara dengan orang lain dan termasuk yang diajak bicara. Hal ini
menjadi bukti bahwa narator bagian dari cerita, menjadi tokoh serta
terlibat langsung dalam peristiwa. Narator merupakan tokoh aku yang
tidak memiliki sebutan nama. Penggunaan persona aku menandakan
bahwa cerita menggunakan sudut pandang orang pertama. Secara
keseluruhan aku sebagai tokoh utama menjadi pusat kesadaran, pusat
cerita. Ia merupakan saksi sekaligus korban dari peristiwa penodongan.
Terlihat dari kutipan berikut:
Sekarang, baiklah kuceritakan kepadamu bagaimana tindak kejahatan
yang menurutku tergolong dalam perbuatan sadis yang pernah terjadi
di depan mataku tanpa aku bisa berbuat apa-apa.59
57 Ibid, h. 62.
58
Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 20.
59
Ibid, h. 22-23.
60
Meskipun tokoh aku memiliki kekuasaan untuk mengungkap apa yang
dirasakannya, ia lebih memilih untuk menonjolkan aksi-reaksi tokoh lain
yaitu wanita muda dan penodong. Apa yang dipikirkannya hanya
disampaikan secara terbatas. Hal ini menandakan bahwa ada jarak atau
ketidakyakinan terhadap dirinya sendiri dengan kejadian yang dialami.
Cerpen “Perhiasan” menggunakan persona aku-an melalui tokoh aku
sebagai penyampai cerita. Hal ini dibuktikan sejak awal bahwa narator
terlibat dalam penceritaan. Narator memberikan asumsi mengenai kejadian
yang telah dialami sebelumnya dalam cerita yang hendak disampaikan.
Topik terkait dengan motivasi seseorang ketika memakai perhiasan serta
dampak yang ditimbulkannya. Terlihat dari kutipan berikut:
Mengapa orang begitu suka melekatkan perhiasan di tubuh mereka?
Saya sudah sering meyaksikan peristiwa yang diakibatkan orang
mengenakan perhiasan di bagian tubuhnya.60
Narator merupakan saksi dan korban dari kejadian penodongan kalung
milik wanita muda. Secara konsisten narator lebih memilih menggunakan
kata “saya” dibandingkan kata “aku”. Hal ini pun secara konsisten
dilakukan oleh para pecerita atau tokoh lain yang terlibat dalam peristiwa.
Penggunaan panggilan ini dilakukan sebagai upaya mendukung
penggambaran wanita muda yang berasal dari latar sosial orang berpunya.
Tokoh aku seperti merasa ada jarak di antara dirinya dan wanita muda.
Cerpen “Pispot” menggunakan sudut pandang persona pertama
melalui tokoh aku sebagai tokoh utama dalam penceritaan. Dari awal
hingga akhir berjalannya cerita disampaikan melalui kacamata dirinya. Ia
merupakan saksi dari kejadian penjambretan kalung milik seorang wanita
muda. Sebagai pihak yang terlibat dalam masalah terlihat ada
keberpihakannya saat mengungkapkan cerita. Terlihat dalam kutipan
berikut:
Sebenarnya tidak ada barang bukti untuk menuduhnya sebagai pelaku
penjambretan itu. Namun, aku mempertahankan kesaksian dan ia pun
jatuh terjerumus ke tangan polisi.61
60 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 74.
61
Kutipan di atas membuktikan bahwa penggunaan aku-an membuat
cerita bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan sumber cerita hanya berasal
dari pemikiran dan perasaan satu tokoh, terlebih jika memang ada
kepentingan yang sengaja ditonjolkan oleh pengarang. Tokoh aku
merupakan pencerita yang jujur. Secara jelas mengungkap batin dirinya
atau hal apa yang sedang dipikirkan. Hal ini berbeda dengan dua cerpen
sebelumnya yang lebih menceritakan perasaan, pikiran, dan tingkah laku
tokoh lain.
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa keseluruhan cerita
menggunakan sudut pandang orang pertama aku-an dari tokoh aku.
Kesamaan penyebutan tidak menjadikan penceritaan menjadi sama
ataupun serupa meskipun terkait permasalahan pengambilan kalung milik
wanita muda. Hal ini disebabkan ada perbedaan pengungkapan dalam
merespon aksi dan reaksinya terhadap peristiwa.
6. Gaya Bahasa
Ciri khas pengarang dalam menciptakan cerita dapat muncul melalui
penggunaan ragam bahasa yang dipilihnya. Cerpen “Perbuatan Sadis”,
“Perhiasan”, dan “Pispot” memiliki kesamaan penggunaan gaya bahasa
yang menonjol, antara lain simile, metafora, ironi, dan sarkasme. Secara
konsisten, gaya-gaya tersebut digunakan pengarang dalam ketiga cerpen.
a. Majas Simile
Bentuk pengungkapan simile dalam cerpan “Perbuatan Sadis”
antara lain menggunakan analogi cincangan mayat manusia seperti
pergedel. Hal ini merupakan tuturan tokoh aku untuk menggambarkan
perilaku kejahatan yang dianggapnya sadis. Narasi ini pun disampaikan
untuk membangun suasana tegang sebelum memasuki peristiwa
penodongan perhiasan. Terlihat dari kutipan berikut:
61 Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 53.
62
Misalnya kita pernah membaca berita tentang ditemukannya mayat
manusia yang dicincang-cincang seperti pergedel yang dikemas
dalam kardus yang diletakkan di tepi jalan raya.62
Cerpen “Pehiasan” juga membandingkan makhluk hidup dengan
benda mati untuk mendukung panggambaran keadaan, antara lain;
liontin yang dipakai wanita muda seperti laba-laba. Hal tersebut
diungkapkan oleh tokoh aku ketika melihat perhiasan yang dikenakan
wanita muda. Kalung seberat 45 gram memang menarik siapapun untuk
memperhatikannya. Hal ini diumpamakan sebagai benda yang
menyolok mata bagi yang melihatnya. Terlihat dari kutipan berikut:
Kalung itu sangat menyolok membiarkan liontin yang meniru
serangga laba-laba seolah hidup bergantung pada benang
sarangnya.63
Majas simile dalam cerpen “Pispot” disampaikan oleh polisi saat
meminta laki-laki penjambret untuk mengeluarkan isi perutnya secara
paksa. Pemilihan frasa mencret seperti burung, seakan menyamakan
penjambret dengan binatang. Hal ini memang didukung oleh berbagai
perlakuan yang diterima, siksaan secara fisik dan verbal dalam upaya
pencarian barang bukti yaitu kalung yang telah ditelan.
“Ambil obat pencahar! Pisang dan pepaya. Suruh dia mencret
seperti burung. Lalu tampung kotorannya!”64
Perbandingan yang digunakan pengarang dari ketiga cerpen selalu
melibatkan makhluk hidup dengan benda mati. Mulai dari mayat
manusia dengan perkedel, laba-laba dengan liontin, dan penjambret
dengan burung. Antara pembanding dan yang dibandingkan memiliki
sifat sangat berbeda. Hal ini digunakan untuk mengkonkretan keadaan
sebagai upaya menghidupkan pengisahan ketika memasuki konflik.
62 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 20
63
Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 75.
64
Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 54.
63
b. Majas Metafora
Sesuatu yang dibandingkan dalam cerpen “Perbuatan Sadis” dan
“Perhiasan” berupa ciri keadaan seseorang, yaitu ketika wanita muda
menjadi korban penodongan. Hal ini untuk mendukung situasi atau
keadaan yang dialami oleh tokoh. Frasa darah lenyap dapat diartikan
berhentinya kehidupan. Hal ini terlihat saat belati yang dihunuskan ke
leher wanita muda membuatnya seolah mati seketika. Terlihat dari
kutipan berikut:
Ujung belatinya ku lihat telah menyentuh kulit leher si wanita.
Darah lenyap dari air mukanya.65
Keadaan lain terlihat dari penggunan frasa korban yang empuk. Hal
ini berarti tidak adanya perlawanan dari wanita muda serta barang yang
diinginkan mudah didapatkan. Ungkapan disampaikan penodong ketika
wanita muda secara sukarela memberikan kalungnya. Situasi tersebut
menjadi aneh karena biasanya korban memekik atau mencoba
mempertahankan miliknya. Terlihat dari kutipan berikut:
Kita menemukan korban yang empuk. Sering-sering saja
hendaknya ketemu korban seperti ini.66
Penggunaan majas metafora dari kedua cerpen sebagai upaya
pengarang untuk menguatkan penggambaran keadaaan tokoh yang
cenderung menyedihkan atau mengenaskan.
c. Majas Ironi dan Sarkasme
Antara majas ironi dan sarkasme keduanya disampaikan sebagai
cara untuk menyindir ataupun mengkritik sesuatu. Dalam “Perbuatan
Sadis” tuturan disampaikan oleh wanita muda untuk mempermainkan
keadaannya yang dilingkungi kemiskinan. Kalung imitasi merupakan
medium untuk menipu orang lain. Terlihat dari kutipan berikut:
“Makanya kita sesekali harus mengejek kemiskinan itu. Kedua
orang itu terkicuh!” Wanita muda itu senyum.67
65 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 25.
66
Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 77.
67
Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 24.
64
Majas ironi di atas dijawab secara sarkasme oleh tokoh aku melalui
kalimat: Kemiskinan membuat orang nekat! Hal ini memang terbukti
saat penodong mengetahui kalung yang telah diambil hanya imitasi,
mereka memaksa wanita muda untuk menelannya. Secara tersirat
kutipan tersebut juga ditujukkan atas keberanian sikap wanita muda
yang memancing bahaya.
“Makanya saya heran meliat Anda seberani itu. Kemiskinan
membuat orang nekat! Anda harus tahu itu.”68
Bentuk sarkasme lain terdapat dalam cerpen “Perhiasan”. Wanita
muda memandang kemiskinan mampu membuat orang menjadi nekat
dan menyedihkan karena tidak ada pilihan selain keadaan tersebut.
Ungkapan ini disampaikan ketika penodong mengambil kalung milik
wanita muda. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Dan mereka tidak bisa membedakan nasi yang mereka makan
basi. Kemiskinan yang mengajar mereka begitu. Tong sampah
mereka kira piring nasi mereka!”69
Cerpen “Pispot” juga menggunakan majas sarkasme bertujuan
untuk menggambarkan perilaku para kriminal. Hal ini disampaikan
tokoh aku ketika laki-laki penjambret menolak untuk mengeluarkan
kalung dari dalam perutnya. Pelaku kejahatan dianggap tidak memiliki
arti penting sehingga lebih baik dihilangkan. Kehadiran mereka hanya
akan merugikan orang terdekat. Terlihat dalam kutipan berikut:
Mereka malu untuk muncul, karena kau maling! Tahu kau?
Nyawamu bagi mereka tidak ada artinya.70
Majas ironi dan sarkasme tampak disuarakan pengarang melalui
tokoh dalam penceritaan untuk mendukung kritik sosial mengenai
kemiskinan di dalam ketiga cerpen. Terutama terkait gambaran pelaku
kejahatan seperti penodong dan penjambret. Hal ini serupa tertawaan
68 Loc,cit.
69
Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 78.
70
Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 57.
65
bagi mereka, namun menyadarkan pembaca bahwa ketidakmampuan
membuat seseorang mampu berbuat hal buruk untuk bertahan hidup.
7. Amanat
Amanat dapat disederhanakan sebagai pesan yang ingin diberikan
pengarang kepada pembaca melalui cerita. Dari ketiga cerpen terlihat
bahwa moral diungkap dengan gaya ironi dan sarkasme. Para tokoh seakan
saling menyindir dan menertawakan dirinya sendiri. Hal inilah yang justru
memperlihatkan agar pembaca dapat menangkap melalui tuturan tersebut.
Terlihat dalam kutipan berikut:
“Makanya saya heran melihat Anda seberani itu. Kemiskinan
membuat orang nekat! Anda harus tahu itu.”71
Persoalan kemiskinan berbanding lurus dengan kejahatan dalam
ketiga cerpen menjadi bukti bahwa hidup memang penuh kesulitan serta
tidak sesuai dengan harapan. Belajar untuk mensyukuri apa yang dimiliki
merupakan pegangan dalam menjalani apapun sehingga tidak bertindak di
luar batas kemampuan terlebih jalan yang ditempuh dapat membahayakan
diri sendiri maupun orang lain.
B. Analisis Persepsi Perhiasan dalam Tiga Cerpen Karya Hamsad Rangkuti
Penelitian ini membahas mengenai persepsi perhiasan dari masing-masing
tokoh dari tiga cerpen karya Hamsad Rangkuti. Peristiwa pengambilan
perhiasan milik wanita muda oleh pelaku kriminal secara berturut-turut yang
terjadi dalam cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” menandakan
bahwa perhiasan merupakan benda yang krusial di dalam penceritaan. Terlihat
benda tersebut menjadi sumber konflik atau permasalahan yang berdampak
pada pengambilan keputusan yang berorientasi pada berhiasan. Teori Greimas
dipilih untuk memperlihatkan hubungan tokoh dengan tindakannya melalui
skema aktan. Sedangkan teori persepsi Alan Saks dan Gary Johns untuk
menggambarkan penilaian terhadap perhiasan dari setiap tokoh.
71 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 24.
66
1. Skema Aktan
Sekuen atau rangkaian cerita digunakan untuk memahami hubungan
antar peristiwa untuk mempermudah pencarian aktan. Pemilihan sekuen
dilihat dari peralihan antar keadaan atau peristiwa yang mempunyai akibat.
Hasil sekuen kemudian akan dianalisis melalui skema aktan yang terdiri
dari subjek, objek, pengirim, penerima, pendukung, dan penentang.
Berikut sekuen dalam cerpen “Perbuatan Sadis”:
a. Menunggu datangnya bus antara tokoh aku dan wanita muda.
b. Pengambilan kalung secara paksa milik wanita muda oleh penodong.
c. Datangnya kembali penodong untuk menemui wanita muda dan tokoh
aku.
d. Pemaksaan penelanan kalung oleh penodong kepada wanita muda.
Berdasarkan sekuen di atas terdapat tiga tokoh yang terlibat, antara
lain tokoh aku, wanita muda, dan penodong. Ketiganya memiliki konflik
yang disebabkan oleh perhiasan. Hal ini kemudian ditempatkan melalui
aktan sehingga masing-masing objek yang diinginkan oleh subjek pun
akan terlihat.
Pengirim Objek Penerima
Kejadian-kejadian Hidup dengan aman Ketentraman
sadis tokoh aku
Pendukung Subjek Penentang
Kegelisahan Tokoh aku Kalung milik
dan rasa takut wanita muda
Skema aktan 2.1
Melalui skema 2.1 di atas terlihat bahwa kejadian-kejadian sadis
yang membuat tokoh aku ingin hidup dengan aman untuk ketentraman
dirinya. Hal ini didukung oleh perasaannya yang mudah gelisah dan takut
saat melihat sesuatu yang dianggap dapat memancing timbulnya bahaya.
Kalung milik wanita muda menjadi penentang karena membuat tokoh
aku terlibat dalam peristiwa penodongan.
67
“Sekarang baiklah kuceritakan kepadamu bagaimana tindak
kejahatan yang menurutku tergolong dalam perbuatan sadis yang
pernah terjadi di depan mataku tanpa aku bisa berbuat apa-apa.”72
Pengirim Objek Penerima
Memanipulasi Memamerkan kalung Kesenangan
keadaan diri wanita muda
Pendukung Subjek Penentang
Keberanian Wanita muda Perampasan
Berfantasi kalung oleh
penodong
Skema aktan 2.2
Melalui skema 2.2 di atas terlihat bahwa ambisi untuk memanipulasi
keadaan menjadi alasan wanita muda untuk memamerkan kalung yang
dikenakan agar mendapat kesenangan diri. Keberaniannya berfantasi
mendukung keinginannya sebab wanita muda hanya mampu memiliki
perhiasan berjenis imitasi. Apa yang dilakukan ditentang oleh hadirnya
penodong yang hendak merampas kalung bahkan memaksa wanita muda
menelannya.
Dia seolah tampak ingin menyombongkan perhiasan itu.
Memamerkan miliknya kepada orang lain.
“Anda mengenakan kalung imitasi?” Untuk apa?”
“Hanya untuk fantasi saja.”73
Pengirim Objek Penerima
Daya tarik Merampas kalung Mendapatkan
kalung wanita muda uang atau harta
Pendukung Subjek Penentang
Tidak ada Penodong O
perlawanan dari
korban
Skema aktan 2.3
Melalui skema 2.3 di atas terlihat bahwa daya tarik kalung wanita
muda menjadi alasan membuat penodong ingin merampasnya tanpa pikir
panjang agar mendapatkan harta. Tidak adanya perlawanan dari korban
72 Ibid, h. 22-23.
73
Ibid, h. 24.
68
serta latar tempat yang sepi membuat mereka mudah mendapatkannya.
Tokoh aku yang berada di lokasi pun hanya diam sehingga tidak ada
yang menghalangi perbuatan penodong.
Pada saat seperti itulah datang dua orang lelaki dari dalam gang dan
langsung menodongkan dua pucuk pisau belati. Satu diarahkan ke
leher wanita muda itu dan satu lagi diaragkan kepadaku. Kejadian itu
sangat singkat.74
Pengirim Objek Penerima
Merasa tertipu Memaksa wanita muda Membuktikan
menelan kalung kekuatan
Pendukung Subjek Penentang
Dendam kepada Penodong O
wanita muda
Skema aktan 2.4
Melalui skema 2.4 terlihat bahwa penodong selaku subjek memiliki
dua tujuan yang saling beroposisi, meskipun terkait dengan benda yang
sama yaitu perhiasan milik wanita muda. Merasa ditipu oleh kalung jenis
imitasi membuat penodong ingin wanita muda menelan kalung setelah
mengetahui hasil rampasan bukan barang berharga. Hal ini didukung
oleh perasaan dendam karena pekerjaannya merasa telah dipermainkan.
Penodong hendak membuktikan kekuatan sebagai pelaku kejahatan.
Tidak ada yang menghalangi keinginan subjek sehingga kalung memang
ditelan oleh wanita muda.
“Kau telah mempermainkan kami! Bajingan!” bentak laki-laki itu
kepada wanita muda yang ditodongnya. “Kau menghina kami! Kau
pancing kami dengan kepalsuan. Ini kalung imitasimu itu! Makan!”75
Berdasarkan dari skema aktan 2.1-2.4 terlihat bahwa kalung atau
perhiasan menjadi benda untuk merealisasikan keinginan wanita muda
dan penodong, namun dihindari oleh tokoh aku. Perhiasan mendatangkan
bahaya bagi tokoh utama (tokoh aku dan wanita muda), sedangkan
74 Ibid, h. 23.
75
Ibid, h. 25.
69
penodong sebagai tokoh tambahan justru memegang kendali penceritaan.
Peristiwa telan-menelan oleh korban membuktikan keadaan yang ironi.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa keberpihakan cerita berada di pelaku
kejahatan. Hamsad Rangkuti selaku pengarang ingin memperlihatkan sisi
lain dari seseorang yang dendam terhadap keadaan sehingga berakibat
pada perilaku nekat atau mampu melakukan apapun.
Berikut sekuen dalam cerpen “Perhiasan”:
a. Menariknya kalung milik wanita muda.
b. Datang penodong untuk menghampiri wanita muda dan tokoh aku.
c. Penyerahan kalung secara sukarela kepada penodong.
d. Menceritakan alasan penggunaan kalung oleh wanita muda.
e. Kesadaran wanita muda mengenai kalung yang diberikan kepada
penodong.
Berdasarkan sekuen di atas terdapat tiga tokoh yang terlibat di
dalam penceritaan. Terdiri dari tokoh aku, wanita muda, dan
penodong. Ketiganya memiliki tujuan yang berbeda, namun terkait
perhiasan. Hal ini kemudian akan ditempatkan melalui aktan
sehingga masing-masing objek yang diinginkan oleh subjek pun akan
terlihat.
Pengirim Objek Penerima
Pengalaman buruk Hidup secara wajar Menerima
nasib
Pendukung Subjek Penentang
Sikap waspada Tokoh aku Kalung milik
wanita muda
Skema aktan 2.5
Melalui skema 2.5 di atas terlihat bahwa pengalaman buruk terkait
pemakaian perhiasan yang pernah dialami tokoh aku membuatnya ingin
hidup secara wajar atau tidak berlebihan agar merasa cukup terhadap
nasib yang menimpanya. Hal ini didukung oleh sikap waspadanya dalam
menghadapi beragam situasi, namun apa yang hendak dicapai tokoh aku
70
ditentang oleh pemakaian kalung berukuran cukup besar dari seorang
wanita muda ketika menunggu kendaraan di halte bus.
Mengapa orang begitu suka melekatkan perhiasan di tubuh
mereka?
Saya sudah sering menyaksikan peristiwa yang diakibatkan oleh
orang mengenakan pehiasan di bagian tubuhnya. Tetapi, saya lihat
orang tidak pernah mau jera untuk menggantungkan perhiasandi
tubuh mereka.76
Pengirim Objek Penerima
Kalung bagian Memamerkan kalung Kepercayaan diri
dari jati diri dan gengsi suami
Pendukung Subjek Penentang
Senang dipuji Wanita muda Penyerahan
kalung kepada
penodong
Skema aktan 2.6
Melalui skema 2.6 terlihat bahwa anggapan kalung sebagai bagian
dari jati diri membuat wanita muda selalu ingin memamerkan kalungnya
afirmasi berupa pujian dari orang lain menumbuhkan kepercayaan diri
serta untuk menjaga gengsi suami. Apa yang dilakukannya ditentang oleh
datangnya dua penodong sehingga wanita muda memberikan kalung
kepada mereka karena merasa perhiasan yang diberikan hanya imitasi.
“Malu rasanya kalau tidak mengenakan perhiasan,” dia berkata
senyum kepada saya. Saya mengenakan kalung emas murni bila
perlu saja.”77
Pengirim Objek Penerima
Mencoloknya Merampas kalung Mendapat harta
kalung
Pendukung Subjek Penentang
Wanita muda Penodong O
menyerahkan secara
sukarela
Skema aktan 2.7
76 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 74.
77
Ibid, h. 78.
71
Melalui skema 2.7 terlihat bahwa mencoloknya kalung wanita muda
menjadi daya tarik penodong untuk merampasnya. Perhiasan seberat 45
gram merupakan harta benda yang sangat menguntungan. Penyerahan
kalung secara sukarela oleh wanita muda menjadi tanda bahwa korban
bahkan mempermudah keinginan pelaku. Tidak ada yang menghalangi
tindakan penodong membuat perhiasan berpindah tangan secara cepat.
Dua orang lelaki datang dari dalam gang menodongkan pisau belati.
Satu diarahkan kepadaku, satu lagi diarahkan ke wanita muda itu.
Sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Wanita muda itu dengan
ketenangan yang sangat menganggumkan menanggalkan kalung dari
lehernya.78
Berdasarkan skema aktan 2.5-2.7 terlihat bahwa antara wanita muda
dan penodong memiliki keinginan terkait perhiasan. Keduanya berusaha
untuk dapat memenuhi apa yang dikehendaki antara wanita muda dengan
kalung dan penodong dengan pisau belati. Intensitas permasalahan pun
tidak terjadi secara mencengkam, melainkan dengan memilukan melalui
gaya sarkasme. Sedangkan tokoh aku menempatkan perhiasan dalam
aktan penentang. Dalam penceritaan, wanita muda yang memegang
kendali karena kejadian lebih banyak mengenai dirinya.
Berikut sekuen dalam cerpen “Pispot:
a. Penjambretan kalung milik wanita muda oleh seorang lelaki.
b. Dibawanya lelaki penjambret ke kantor polisi.
c. Pencarian barang bukti oleh polisi.
d. Dibebaskannya lelaki penjambret karena tidak ditemukan bukti.
e. Pengakuan lelaki penjambret atas perbuatannya kepada tokoh aku.
Berdasarkan sekuen di atas terdapat empat tokoh yang terlibat di
dalam penceritaan. Terdiri dari tokoh aku, lelaki penjambret, polisi,
dan wanita muda. Hal ini kemudian akan ditempatkan melalui aktan
sehingga masing-masing objek yang diinginkan oleh subjek pun akan
terlihat. Terdapat pengecualian bagi wanita muda sebab perannya
hanya sebatas tokoh tambahan yang minim dialog dan informasi.
78 Ibid, h. 76.
72
Pengirim Objek Penerima
Melihat penelanan Pengakuan Terbebas dari
kalung lelaki penjambret permasalahan
Pendukung Subjek Penentang
Enggan disalahkan Tokoh aku Kebungkaman
lelaki
penjambret
Skema aktan 2.8
Melalui sktema aktan 2.8 di atas terlihat bahwa tokoh aku melihat
penjambret yang telah mengambil dan menelan hasil rampasan. Terdapat
rasa enggan disalahkan meksipun kesaksian yang diberikan tanpa dasar
kerena tidak secara jelas melihat benda apa yang ditelan oleh lelaki
penjambret. Hal ini membuat tokoh aku menginginkan pengakuan dari
tersangka agar cepat terbebas dari permasalahan yang ikut menyeretnya,
namun hal ini dihalangi oleh bungkamnya lelaki penjambret.
Sebenarnya tidak ada barang bukti untuk menuduhnya sebagai
pelaku penjambertan itu. Namun, aku mempertahankan kesaksianku
dan ia pun jatuh terjerumus ke tangan polisi.79
Pengirim Objek Penerima
Anaknya yang Kalung wanita muda Mendapatkan
sedang sakit biaya
Pendukung Subjek Penentang
Rasa nekat Lelaki penjambret Kesaksian
tokoh aku
Skema aktan 2.9
Melalui skema 2.9 terlihat bahwa anak lelaki penjambret yang
sedang sakit menjadi alasannya untuk mengambil secara paksa kemudian
menelan kalung milik wanita muda agar mendapatkan biaya pengobatan.
Lakuannya didukung rasa nekat karena menjambret ketika berada di
keramaian pasar sehingga tokoh aku melihat kejadian tersebut yang
membuat mereka harus digiring ke kantor polisi.
79 Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 53.
73
“Bapak orang yang baik. Saya harus mengatakannya! Anakku
sedang sakit keras. Kami perlu biaya. Istriku telah putus asa di
rumah. Dokter meminta banyak.”80
Pengirim Objek Penerima
Kesaksian tokoh aku Mencari kalung Integritas
institusi
Pendukung Subjek Penentang
Siksaan kepada Polisi Penelanan
lelaki penjambret kalung oleh
lelaki penjambret
Skema aktan 2.10
Melalui skema 2.10 terlihat bahwa kesaksian dari tokoh aku yang
mengaku telah melihat kalung ditelan oleh lelaki penjambret membuat
polisi berupaya untuk mencari kalung sebagai barang bukti dari kejadian
pengambilan perhiasan milik wanita muda. Polisi memberikan siksaan
kepada tersangka untuk memudahkan proses pencarian, namun hal itu
dihalangi oleh ditelannya kalung secara berulang oleh lelaki penjambret.
Sekarang kita paksa dia keluarkan kalung itu! Ambil obat pencahar!
Pisang dan pepaya. Suruh dia makan sebanyak-banyaknya.
Usahakan supaya dia mencret seperti burung. Lalu tampung
kotorannya!”
“Suruh dia minum obat pencahar! Paksa! Apa itu? Garam inggris?”
“Betul Pak.” kata bawahannya.
“Bagus dan tampung!”81
Pengirim Objek Penerima
Kebaikan tokoh aku Membuat pengakuan Kejujuran lelaki
atas perbuatannya penjambret
Pendukung Subjek Penentang
Rasa bersalah Lelaki penjambret O
Skema aktan 2.11
Melalui skema 2.11 terlihat bahwa kebaikan tokoh aku karena telah
mengantarkan pulang dan memberikan uang menjadi alasan untuk
80 Ibid, h. 62.
81
Ibid, h. 54.
74
membuat lelaki penjambret mengakui perbuatannya. Ia mengungkapkan
perasaannya secara jujur serta didukung oleh rasa bersalah yang ada di
dalam diri lelaki penjambret. Hal ini membuat tokoh aku terkejut, namun
tidak berniat untuk mengungkitnya. Perilaku keduanya membuktikan
kalung tetap dipertahankan oleh lelaki penjembret.
Dia tiba-tiba mengangkat mukanya. “Bapak adalah saksi itu! Bapak
orang baik. Saya harus mengatakannya!” Dia kembali menunduk.
“Saya bukanlah penjambret. Tetapi, saya telah melakukannya. Tiga
kali kalung itu keluar ke dalam pispot. Begitu keluar aku langsung
mnelannya.” Dia lepas jabat tangannya pelan-pelan. Dia memandang
kepadaku.82
Berdasarkan dari skema aktan 2.9-2.11 terlihat bahwa wanita muda
sebagai pemilik dari perhiasan tidak memiliki ruang dalam aktan karena
perannya hanya sebagai tokoh tambahan. Sedangkan tokoh aku, lelaki
penjambret, dan polisi memperdebatkan keberadaan kalung dan hal ini
akan memperlihatkan lakuan mereka terhadap perhiasan. Proses telan-
menelan perhiasan secara berulang oleh lelaki penjambret merupakan
tragis karena sebagai tersangka yang tidak memiliki kendali atas perilaku
kriminalnya, namun terjadi keberpihakan terhadapnya sebab kalung
dipertahankan sampai akhir penceritaan.
Dapat disimpulkan berdasarkan sekuen dan aktan dari ketiga cerpen
terdapat 11 skema yang memerlihatkan adanya korelasi dari masing-
masing tokoh terkait perhiasan. Terlihat kecenderungan bahwa wanita
muda, penodong, lelaki penjambret, dan polisi menempatkan pehiasan
dalam aktan objek meskipun dengan tujuan berlainan. Sedangkan tokoh
aku menempatkan perhiasan dalam aktan penentang atau suatu yang
dapat menghalangi tujuan. Hal ini menandakan bahwa terbentuknya
persepsi mengenai perhiasan mengalami kemiripan melalui penyebutan
tokoh, mulai dari tokoh aku, wanita muda, dan tokoh profesi (penodong,
penjambret, dan polisi) serta tidak terlepas dari peristiwa kriminalitas.
82 Ibid, h.62.
75
Tabel berikut untuk memudahkan melihat hubungan tokoh dan
perhiasan dalam penceritaan.
Tabel 1.2
Skema
aktan Subjek
Posisi Perhiasan dalam Aktan
(Kesamaan tindakan)
2.1, 2.5
2.9
Tokoh aku Penentang oleh karena itu
perhiasan dianggap sebagai
sumber permasalahan.
2.2 dan
2.6
Wanita muda Objek, ingin memamerkan kalung
karena menganggap perihasan
bagian dari penghargaan diri.
2.3, 2.8,
2.9, 2.10
2.11
Tokoh profesi
(Penodong, polisi, dan
lelaki penjambet)
Objek, perhiasan sebagai wujud
dari otoritas atau kekuatan dari
pekerjaan yang mereka jalani.
Melihat tabel di atas terdapat generalisasi persepsi terhadap
perhiasan dalam penceritaan melalui penyebutan nama tokoh. Asumsi
ini akan dibuktikan melalui analisis persepsi dari masing-masing tokoh
untuk melihat adanya kemiripan atau terjadi pergersan pandangan dari
tiap tokoh meskipun memiliki penyebutan nama yang sama.
2. Persepsi
Berdasarkan analisis aktan yang telah dilakukan di atas, persepsi
tokoh terhadap perhiasan terbagi menjadi tiga bagian: sebagai sumber
permasalahan, wujud penghargaan diri, dan bentuk otoritas atas pekerjaan.
Pembentukan persepsi dari masing-masing tokoh menggunakan teori Alan
Saks dan Gary Johns melalui aspek pengalaman, motivasi, emosi, situasi,
serta pandangan subjektifitas tokoh saat melihat perhiasan.
a. Sumber Permasalahan
Tokoh aku dari ketiga cerpen menganggap perhiasan sebagai sumber
dari berbagai masalah. Persepsi ini dimunculkan melalui rasa takut serta
tidak suka ketika melihat benda tersebut sehingga cenderung menghindar
76
atau enggan berurusan dengan hal-hal terkait perhiasan. Meskipun
ketiganya merupakan narator dan berperan sebagai saksi serta korban dari
pengambilan kalung milik wanita muda, persepsi atau pandangan tokoh
aku tetap beragam.
Tokoh aku dalam “Perbuatan Sadis”
Pengetahuan akan kejadian-kejadian sadis merupakan alasan utama
yang membuat tokoh aku memandang dunia di sekitarnya penuh dengan
kekejaman. Penilaiannya bersumber dari media massa, seperti televisi dan
koran serta cerita beberapa teman. Menariknya dari apa yang telah
diketahui, tidak ada satu permasalahan terkait perhiasan. Tokoh aku
membangun persepsi dengan ketidaktahuan karena hanya merefleksikan
informasi berdasarkan pengalaman sekundernya atau sesuatu yang tidak
dialaminya secara langsung. Terlihat dari kutipan berikut:
Pokoknya banyak perbuatan sadis yang pernah dilakukan manusia.83
Ambiguitas terhadap target (perhiasan) membuat tokoh aku
membangun interpretasi menjadi agak berlebihan. Ia beranggapan bahwa
perhiasan bagian dari kesombongan seseorang yang dapat memicu tindak
kejahatan. Stigma ini terbentuk disebabkan kalung sebagai benda yang
kerap diminati oleh siapapun. Pemakaiannya selalu menciptakan
ketertarikan dan membuat orang lain ingin memilikinya, tidak terkecuali
bagi pelaku kriminal. Mereka biasanya tidak akan segan melukai korban
untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Hal ini mengakibatkan rasa takut
serta gelisah dalam diri tokoh aku karena menghubungan pengalaman
dengan keadaan yang akan melibatkan dirinya. Terlihat dalam kutipan
berikut:
Aku gelisah melihat kalung emas itu, sedang dia tenang-tenang saja.
Dia seolah ingin menyombongkan perhiasan itu. Memamerkan
miliknya pada orang lain.84
83 Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h.22.
84
Ibid, h. 24
77
Kutipan di atas membuktikan bahwa pola pikir tokoh aku penuh
dengan kegelisahan ketika melihat perhiasan. Terbukti saat bertemu wanita
muda di halte bus, kalung menjadi titik fokus pengelihatan bukan
berdasarkan rupa atau pakaiannya. Penggambaran wanita muda yang
minim informasi menandakan bahwa benda tersebut memang menjadi
perhatian utama tokoh aku, hanya dengan meliriknya timbul perasaan
gelisah dan takut. Hal ini disampaikan secara berulang, menandakan
ketakutan yang cukup mendalam. Terlihat dalam kutipan berikut:
Aku lihat wanita muda itu tenang-tenang saja. Tampaknya aku yang
lebih gelisah dibandingkan dengan dia.85
Melalui kata tampaknya pada apa yang dituturkan tokoh aku di atas
merupakan ciri “modalitas” atau sikap pembicara yang menunjukkan
adanya jarak atau gap antara apa yang dialami dengan sesuatu yang
diungkapnya.86
Situasi tersebut menjadi bukti bahwa tokoh aku tidak
menyampaikan perasaan secara terbuka, meskipun berperan menjadi
narator dalam penceritaan. Semua itu dilandasi oleh ego sebagai seorang
laki-laki yang menganggap gendernya harus selalu memiliki keberanian
serta ia tidak ingin disalahkan dari situasi yang menimpanya. Terlihat
dalam kutipan berikut:
Kau boleh menuduhku pengecut. Kau boleh menuduhku tidak satria.
Aku menerima semua tuduhan itu. Aku tidak marah kepadamu. Asal
kau tahu saja bahwa aku tidak memiliki urat kawat balung besi!87
Perhiasan pun membentuk lakuan tokoh aku dalam merespon bahaya.
Selain disebabkan oleh pengalaman traumatik masa lalu, latar sosial
memiliki andil dari perilakunya. Berasal dari kalangan bawah menjadi
indikasi bahwa tokoh aku merasa dekat dengan bermacam tindakan
kejahatan. Terlihat dari tidak adanya upaya untuk melakukan perlawanan
saat mengalami penodongan. Ia seolah enggan membuat risiko yang akan
memosisikan dirinya pada situasi merugikan. Kondisi ini menjadi keadaan
85 Loc,cit.
86
Irsyad Ridho, Kajian Cerita: Dari Roman ke Horor, (Yogyakarta: JBS, 2018), h. 142.
87
Hamsad Rangkuti, “Perbuatan Sadis”, h. 23.
78
dilematis karena terjadi pertentangan motif dan kebutuhan, antara ingin
menolong wanita muda atau mempertahankan keamanan diri. Kedua
pilihan tetap akan menimbulkan akibat yang buruk bagi tokoh aku.
Motivasi yang ada di dalam diri tokoh aku yang memberikan
dorongan atas keputusan yang dipilihnya untuk tetap memilih diam agar
tetap pada situasi aman serta didukung oleh rasa takut. Motif membentuk
lakuannya saat menghadapi penodongan bersama wanita muda. Terbukti
dari pemilihan kata kerja di antara mereka saling bertolak belakang meski
dalam situasi yang sama, antara kata “memandang” dan “menonton”. Hal
ini memperlihatkan bahwa wanita muda mengharap pertolongan dari
tokoh aku, sedangkan tokoh aku menganggap adegan tersebut serupa
pertunjukan. Reaksi tokoh aku mencirikan konsistensi enggan melakukan
perlawanan meskipun terdapat kesempatan. Terlihat dalam kutipan
berikut:
Ujung pisau belati itu telah masuk ke kulit leher wanita muda itu. Dia
memandang kepadaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Wanita muda itu menangis di depanku. Aku hanya bisa
menontonnya.88
Respons pasif yang dilakukan tokoh aku selain disebabkan oleh rasa
takut, seperti dilandasi keinginan untuk memberikan pelajaran kepada
wanita muda agar berpikir sebelum melakukan sesuatu. Hal ini disebabkan
kalung yang dikenakan menempatkan mereka dalam posisi bahaya dan
telah mengganggu ketentraman diri tokoh aku. Padahal tokoh aku hanya
menghendaki kehidupan aman. Ia lebih menyarankan orang lain agar tidak
perlu melakukan sesuatu yang dapat memancing timbulnya petaka. Salah
satunya adalah dengan tidak memakai perhiasan di tempat umum.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perhiasan
membentuk ketakutan yang mendalam bagi tokoh aku. Hal ini dilandasi
oleh persepsi dirinya yang menanggap perhiasan merupakan benda yang
dapat membuatnya berada dalam situasi bahaya atau terluka. Pengalaman
88 Ibid, h. 25.
79
masa lalu menyisakan perasaan traumatik meskipun kejadian hanya
diketahui dari beragam cerita. Terbukti dari tidak ada perlawanan yang
mampu dibuat tokoh aku saat mengalami penodongan bersama wanita
muda. Ia tidak ingin terlibat agar tetap berada pada posisi yang aman.
Tokoh aku dalam “Perhiasan”
Tokoh aku berasumsi bahwa pemakaian perhiasan merupakan serupa
ajang untuk mendapatkan predikat sebagai orang yang berpunya, terlebih
jika digunakan di tempat umum. Semua berlomba mengenakannya tanpa
perduli asli atau imitasi. Perilaku seperti ini dianggap bagian yang sia-sia
karena hanya mengundang bahaya dan bukan suatu benda yang sangat
dibutuhkan dalam keseharian. Hal ini menjadi motivasi tokoh aku hidup
secara wajar tanpa perlu menutupi atau menonjolkan keadaan melalui
pemakaian perhiasan. Terlihat dari kutipan berikut:
Ada yang ingin menunjukkan kepada orang di sekitarnya bahwa dia
orang yang berada. Atau ada pula yang ingin menutupi kemiskinan
yang dimilkinya.89
Motif yang ada di dalam diri tokoh aku berkaitan dengan pengalaman
yang dialaminya secara langsung. Semua merupakan peristiwa buruk
karena tindak kejahatan yang disebabkan oleh pemakaian perhiasan. Mulai
dari penusukan di leher hingga korban dipaksa menelannya setelah pelaku
mengetahui barang rampasan sebatas imitasi. Hal ini membuat tokoh aku
menjadi antipati terhadap pemakaian perhiasan sehingga persepsi yang
muncul bersifat negatif. Meskipun begitu, lakuannya tetap memperlihatkan
sikap bijak tanpa ada perasaan trauma. Ia lebih memilih bersikap waspada
ketika harus berhadapan dengan seseorang yang mengenakan perhiasan.
Penggambaran ukuran dan bentuk kalung yang divisualisasikan secara
terperinci merupakan perhatian tokoh aku atas persepsinya bahwa semakin
besar ukuran perhiasan akan menimbulkan kejahatan yang mendatangkan
risiko. Terlihat dari kekagumannya saat melihat kalung milik wanita muda
yang dikenakan di tempat umum. Perhiasan sebagai target penilaian dari
89 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h. 74.
80
preceiver tidak terlepas dari latar terjadinya peristiwa, antara perhiasan dan
halte bus memiliki hubungan bahwa keduanya merupakan suatu yang lekat
di dalam pikiran tokoh aku. Ia telah menduga akan terjadi tindak kriminal
seperti penodongan atau penjambretan. Terlihat dari kutipan berikut:
Tetapi, saya lihat orang tidak pernah mau jera untuk menggantungkan
perhiasan di tubuh mereka. Seperti apa yang saya lihat saat ini, ketika
saya sedang menunggu kendaraan umum di halte bus.90
Melalui kutipan di atas juga terlihat bahwa emosi yang ditampilkan
tokoh aku merupakan ekspresi rasa heran sebab kejahatan tidak membuat
populasi pemakai perhiasan menjadi berkurang. Antara asli atau imitasi
tetap saling tumpang-tindih melekat di beberapa bagian tubuh dengan
berbagai fungsi berbeda tanpa memandang gender. Orang seakan menutup
mata dan telinga atas kemungkinan terburuk di sekeliling. Kebingungan
tokoh aku semakin bertambah ketika melihat wanita muda menyerahkan
perhiasan yang dikenakan secara sukarela kepada penodong yang datang
untuk merampas.
Perasaan kagum yang disampaikan tokoh aku mengungkap sisi lain
dari persepsinya mengenai perhiasan. Ia “seperti” telah mengetahui bahwa
apa yang diberikan wanita muda kepada penodong adalah kalung asli.
Terlihat dari pertanyaannya yang tidak tampak membutuhkan jawaban,
melainkan memberikan penekanan atas pernyatannya. Hal ini menjadi
bukti bahwa tokoh aku pun memiliki ketertarikan terhadap perhiasan sebab
mampu membedakan jenis asli atau imiasi. Situasi ini disampaikan tokoh
aku melalui tuturan secara tersirat. Terlihat dalam kutipan berikut:
Luar biasa ketenangannya. Mengagumkan.
“Saya kagum kepada Anda. Anda tenang sekali. Seolah Anda seperti
memberi uang seratus rupiah kepada pengemis.”
“Atau Nyonya keliru?”91
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perhiasan
memberikan dampak antipati dalam diri tokoh aku. Pengalaman yang telah
90 Ibid, h. 75.
91
Ibid, h. 77.
81
dialaminya memunculkan persepsi bernilai negatif. Ia tidak berniat untuk
menggunkan perhiasan meskipun memiliki ketertarikan. Hal ini dilandasi
oleh persepsinya bahwa perhiasan merupakan wujud dari kesombongan
seseorang dalam menutupi atau menampakkan latar sosial tertentu. Ia ingin
hidup secara wajar atau apa adanya dengan tidak memanipulasi keadaan
melalui pemakaian perhiasan.
Tokoh aku dalam “Pispot”
Persepsi perhiasan menurut tokoh aku dibangun dari interpretasi saat
menghadapi suatu keadaan yang dihadapi. Ia menjadi saksi dalam kejadian
penjambretan kalung milik wanita muda. Kejadian ini memperlihatkan
pandangannya yang kontradiksi; menganggap kalung milik wanita muda
lebih penting dibandingkan nyawa lelaki penjambret, namun tidak berniat
membawanya ke penjara saat mengetahui kalung ditelan secara berulang.
Hal ini menandakan situasi akan menjadi hal utama dalam proses persepsi.
Terlihat dalam kutipan berikut:
“Operasi itu bukan untuk menyelamatkan jiwamu, tetapi untuk
menyelamatkan kalung dari emas yang kau telan!”92
Apa yang dilakukan didukung oleh motivasi yang bersifat individualis
atau hanya untuk dirinya sendiri. Ia ingin cepat terbebas dari permasalahan
yang ikut menyeretnya. Situasi ini mengakibatkan kebingungan dalam diri
tokoh aku sehingga terjadi benturan antara motif dan kebutuhan, antara
mengadukan kembali ke kantor polisi atau membiarkan lelaki penjambret
sebab alasan penelanan kalung untuk biaya pengobatan, artinya motif
mempunyai nilai negatif dan positif (approach-avoidance conflic). Dalam
menghadapi situasi tersebut tokoh aku memilih untuk menolak dan
melupakan apa yang telah terjadi. Ia enggan untuk berurusan dengan hal
terkait perhiasan. Terlihat dalam kutipan berikut:
Aku suruh taksi meninggalkannya. Aku harus segera memutuskan
begitu aku berubah keputusan. Ku rasa itu tepat.93
92 Hamsad Rangkuti, “Pispot”, h. 57-58.
93
Ibid, h. 63.
82
Keputusan lakuan dari tokoh aku pun dikarenakan kurangnya infomasi
mengenai karakteristik dan kebenaran benda yang telah ditelan oleh lelaki
penjambret sehingga target menjadi ambigu. Kesaksian dibuat tanpa dasar
pun menyebabkan perasaan bersalah, meskipun di awal penceritaan tokoh
aku enggan disalahkan. Perasaan ini membentuk regulasi emosi cogntive
reappraisal sebab mampu menahan emosi saat menghadapi kebungkaman
tersangka. Tokoh aku hanya memberikan judgement atau penghakiman
argumen tanpa mengutarakan cacian atau makian agar lelaki penjambret
buka suara.
Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa tidak banyak sisi yang
mengungkap persepsi perhiasan dari tokoh aku selain situasi. Salah satu
lakuannya menjadi bukti bahwa tokoh aku enggan berurusan dengan hal
terkait perhiasan. Persepsi muncul secara kontradiksi, ia tidak mau merasa
bersalah ataupun disalahkan. Meskipun di awal penceritaan perhiasan
dianggap lebih berharga, namun keputusan yang diambil tokoh aku justru
membiarkan lelaki penjambret mengambil dan menelan kalung wanita
muda.
Dapat disimpulkan mengenai persepsi tokoh aku dari ketiga cerpen
bahwa perhiasan dianggap sebagai sumber masalah. Hal ini dilandasi oleh
beberapa alasan sehingga mempengaruhi pola pikir dan perilaku menjadi
berbeda. Secara garis besar, pengalaman primer maupun sekunder sangat
memberikan pengaruh terhadap proses persepsi dari ketiganya. Tokoh aku
dalam “Perbuatan Sadis” menilai perhiasan dapat membuat dirinya
terjebak bahaya sehigga ia bersikap apatis terhadap keadaan sekitar, dalam
“Perhiasan” tokoh aku menilai perhiasan sebagai kesombongan sehingga
menjadi antipati ketika melihat ketika orang lain mengenakannya, dan
dalam “Pispot” tokoh aku menganggap perhiasan sebagai suatu barang
berharga yang kontradiksi sehingga lakuannya pun terlihat tidak memilki
pendirian.
83
b. Penghargaan diri
Wanita muda dalam cerpen “Perbuatan Sadis” dan “Perhiasan”
memiliki kesenangan yang sama yaitu menyombongkan diri melalui
pemakaian perhiasan, asli ataupun imitasi saat berpergian ke luar rumah.
Hal ini tidak terlepas dari persepsi keduanya yang menganggap perhiasan
bukan sekedar benda yang menempel di tubuh, melainkan mampu
menumbuhkan kepercayaan diri. Perhiasan menjadi alat untuk menarik
orang lain agar memerhatian dan memberikan pujian. Cara keduanya
menghargai diri sendiri melalui perlakuan sikap orang lain. Hal ini membuat
wanita muda merasa diakui kehadirannya karena mendapatkan atensi dari
publik.
Wanita muda dalam “Perbuatan Sadis”
Keinginan wanita muda untuk bersikap sombong tidak berbanding
lurus dengan kualitas kalung yang dimiliki. Kemampuan finansial
membuatnya beralih ke perhiasan jenis imitasi. Hal tersebut seperti jalan
pintas bagi mereka yang tidak memiliki uang, namun tetap berpikir bahwa
perhiasan merupakan bagian dari kebutuhan atau gaya hidup. Kondisi ini
telah menjadi tren bahkan rahasia umum di masyarakat. Tidak ada
perasaan sungkan atau malu untuk mengakuinya. Terlihat dari kutipan
berikut:
“Jangan Bung pikirkan kejadian itu. Itu kalung imitasi! Dengan uang
lima ratus atau seribu rupiah, aku sudah bisa memilikinya lagi.
Banyak dijual kalung imitasi seperti itu.”94
Persepsi perhiasan yang tergambar dari wanita muda berasal dari
motivasinya. Terlihat dari aksi dan reaksinya dalam upaya mencapai
tujuan yang diinginkan. Alasan pemakaian kalung bagi wanita muda tidak
sekedar sebagai aksesoris untuk melengkapi penampilan, melainkan
bentuk penyangkalannya terhadap nasib. Ia memandang kalung dapat
mentransformasikan keadaan secara singkat, kemiskinan seolah mampu
94 Hamsad Rangkuti. “Perbutan Sadis”, h. 24.
84
diubah hanya melalui benda yang melekat di leher sehingga merasa dari
kalangan berpunya. Terlihat dari kutipan berikut:
“Anda mengenakan kalung imitasi untuk apa?”
“Hanya untuk fantasi saja.”95
Aksi manipulatif yang dilakukan wanita muda didukung oleh rasa
fantasi dalam alam pikirannya. Hal ini mengakibatkan timbul perasaan
senang dan menang ketika melihat orang lain di sekitar tertipu karena
mengira apa yang dipakainya perhiasan jenis asli. Kalung pun membentuk
keberanian dalam diri wanita muda. Terbukti melalui tindakannya saat
menghadapi penodong yang datang untuk merampas kalungnya, sikap
wanita muda cenderung tenang tanpa rasa rakut. Terlihat dari kutipan
berikut:
“Sesekali kita harus mengejek kemiskinan itu! Tidak ada bahaya kalau
kita tidak mengadakan perlawanan. Anda lihat sendiri, seolah saya
menyerahkan begitu saja kalung imitasi itu. Saya tidak memekik. Saya
di dalam hati mengetawai mereka!”96
Melalui kutipan di atas juga terlihat bahwa perilaku yang ditampilkan
wanita muda, tidak terlepas dari pengetahuannya atas situasi yang
mungkin akan menimpanya. Ia telah memperkirakan datangnya tindakan
kejahatan seperti penodongan, namun kurang menghiraukan dampak
terburuk atas perilakunya. Hal ini memicu terjadinya konflik karena wanita
muda mengalami penodongan yang berakibat pada peristiwa telan-
menelan. Motivasi untuk memamerkan kalung telah berganti menjadi
permasalahan pelik.
Wanita muda dihadapkan pada pilihan motif dan kebutuhan bernilai
negatif (avoidance-avoidance conflict). Tidak ada opsi lebih baik, antara
menelan kalung atau melawan penodong yang membawa belati. Keduanya
tetap membahayakan diri wanita muda. Kejadian ini merupakan suatu
ironi, sebab korban terintimidasi atas apa yang menjadi haknya. Ia harus
terluka karena benda miliknya sendiri, serta tidak mendapatkan bantuan
95 Ibid, h. 24.
96
Ibid, h. 24.
85
dari orang lain. Tokoh aku yang terlibat penodongan bersamanya hanya
diam tidak perduli. Situasi yang mendesak wanita muda mengambil
keputusan. Terlihat dari kutipan berikut:
Sejurus kemudian, wanita itu pulih kesadarannya. Dia menjerit!
“Tolong! Tolong! Saya menelan perhiasan!” Dia histeris.97
Melalui kejadian yang menimpa wanita muda membuktikan bahwa
persepsinya atas perhiasan tidak sesuai dengan interpretasi. Bukan pemilik
yang menciptakan fantasi, melainkan sebaliknya. Perhiasan telah
mempermainkan emosi wanita muda. Mulai dari perasaan senang, takut,
putus asa, bahkan histeris. Perubahan emosinya tampak secara fisiologis.
Hal ini menandakan tidak ada kepura-puraan dan memang dirasakannya.
Terlihat dari kutipan berikut:
“Darah lenyap dari air mukanya. Dia pucat bagaikan kapas.”98
Apa yang dilakukan wanita muda merupakan indikasi dari rasa tidak
percaya diri terutama terkait keadaan ekonomi karena berada di dalam
kemiskinan. Hal ini menyebabkan digunakannya benda untuk menyatakan
keberadaan diri agar mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang
lain. Pemilihan perhiasan sebagai medium untuk mengutarakan apa yang
diinginkan disebabkan benda tersebut dapat dilihat secara mudah oleh
siapapun. Selain itu perhiasan dianggap harta yang patut dibanggakan
karena mampu meningkatkan strata sosial seseorang.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi
perhiasan bagi wanita muda merupakan benda yang mampu membuat
peralihan keadaannya dalam waktu singkat. Ia membuktikan bahwa
kalangan sepertinya masih mempunyai hak untuk bersenang-senang dan
menampakkan diri, meskipun berada dalam kemiskinan. Apa yang
dilakukan wanita muda merupakan perasaan rendah diri serta bentuk
protesnya terhadap keadaan. Nahasnya benda tersebut terlalu memainkan
fantasi pemiliknya sehingga mengabaikan dampak buruk atas tindakannya.
97 Ibid, h. 27.
98
Ibid, h. 23.
86
Wanita muda dalam “Perhiasan”
Kalung seberat 45 gram dengan liontin berbentuk laba-laba
diinterpretasikan wanita muda sebagai mata-mata yang mampu membuat
orang lain tertarik agar melontarkan pujian terhadapnya. Penampilan fisik
dari objek berperan paling besar dalam persepsi yang diciptakan oleh
wanita muda. Hal ini membuktikan bahwa besar-kecilnya ukuran dari
perhiasan dapat memberikan pengaruh terhadap perasaan pemakainya.
Selain pola pikir, gerak-gerik dari wanita muda merupakan implementasi
dari persepsinya mengenai perhiasan. Terlihat dari kutipan berikut:
Saya senang dan muka saya merah ketika seorang dari mereka
mengomentarinya. Saya sebentar-sebentar datang menambah
minuman mereka dan kalung itu sengaja saya keluarkan dari balik
baju saya.99
Pengalaman atas aksinya memamerkan kalung mendapatkan reaksi
dari orang lain, seperti melihat ke arahnya atau menyatakan kata-kata
kekaguman. Akumulasi dari berbagai tanggapan serta asumsi khalayak
menjadi penilaian wanita muda bahwa perhiasan telah menjadi bagian dari
jati dirinya. Perhiasan serupa pakaian yang melekat di tubuh. Terbukti
dengan pemakaian kalung harus dipastikan selalu menggelantung di leher
wanita muda. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Malu rasanya kalau tidak mengenakan perhiasan,” dia berkata
dengan senyum kepada saya. .100
Tindakan dari wanita muda memperlihatkan motif lakuannya sangat
dipengaruhi dorongan di luar dirinya. Selain haus akan pujian, disebabkan
upayanya untuk menjaga gengsi suami. Alasan tersebut direalisasikan
melalui kepemilikan kalung asli dan imtasi dengan model dan ukuran
sama. Keduanya dipakai bergantian menyesuaikan tempat di mana akan
diadakannya interaksi. Hal ini menjadi bukti bahwa persepsi perhiasan
menurut wanita muda tidak terlepas dari keterlibatan dirinya dalam situasi
tertentu.
99 Hamsad Rangkuti, “Perhiasan”, h.79.
100
Ibid, h, 78.
87
Antara ruang publik dan domestik menimbulkan perbedaan persepsi
mengenai perhiasan. Hal ini mengakibatkan pengambilan keputusan
pemakaian perhiasan menurut wanita muda menjadi berlainan. Perhiasan
asli hanya dipakai untuk acara-acara terdekat seperti di rumah ataupun di
tempat kerabat. Sedangkan imitasi digunakan ketika perpergian seperti di
halte bus. Penggambaran situasi juga diinterpretasikan sebagai bentuk dari
kelas sosial tertentu. Terlihat dalam kutipan berikut:
Itulah sebabnya kalau saya berpergian mengenakan yang imitasi.
Yang asli saya pakai untuk mata-mata tetangga dan mata-mata
keluarga saya, juga berfungsi untuk menjaga gengsi suami.101
Apa yang dilakukan wanita muda menandakan perhiasan pun
membentuk emosi yang ada dalam di dirinya. Kondisi ini membuat
kepercayaan dan kenyamanan sekaligus mengakibatkan bahaya yang
kurang disadari wanita muda. Hal ini berdampak pada ambiguitas objek
karena lebih mengutamakan penilaian berdasarkan perasaan dibanding
pengetahuan dari karakteristik perhiasan. Terbukti diserahkan kalung
dengan sukarela kepada penodong meskipun telah sering memakai asli dan
imitasi secara bergantian.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi
perhiasan menurut wanita muda tidak terlepas dari objek dan dorongan
dari luar dirinya. Antara kalung asli dan imitasi digunakan secara
bergantian menyesuaikan situasi. Ada perasaan “malu” ketika tidak
mengenakan perhiasan. Hal ini menandakan perhiasan serupa pakaian
karena membentuk kepercayaan dan jati diri wanita muda serta mampu
menjaga gengsi suaminya. Ia pun senang mendapat pujian karena merasa
dihargai melalui benda yang dikenakan.
Dapat disimpulkan dari kedua cerpen di atas bahwa persepsi wanita
muda sangat dilandasi oleh motivasinya sehingga kurang memerdulikan
dampak yang mungkin terjadi atas perbuatan yang dilakukan. Mereka
menjadi lalai sehingga berakibat pada nasib buruk yang menimpa; antara
101 Ibid, h. 78-79.
88
dipaksa menelan dan kehilangan barang berharga. Keduanya berasal dari
latar sosial yang berbeda, namun memiliki persepsi sejalan. Perhiasan
dianggap sebagai bentuk peghargaan diri melalui atensi publik atau orang
di sekitar yang memberikan afirmasi berupa pujian ataupun kata-kata yang
meninggikan hati mereka.
c. Bentuk Otoritas Pekerjaan
Penyebutan nama tokoh melalui pekerjaan yang dijalani secara
general terdapat di dalam ketiga cerpen, antara lain penodong, polisi, dan
penjambret. Hal ini membentuk persepsi perhiasan yang dianggap sebagai
pembuktian dari pekerjaan. Mulai dari bukti kekuatan yang diperlihatkan
melalui tindak kekerasan, otoritas sebagai bagian dari integritas, serta
otoritas sebagai kepala keluarga yang dimanifestasikan melalui pekerjaan
yang dipilih.
Penodong dalam “Perbutan Sadis” dan “Perhiasan”
Penodong atau seseorang yang merampas barang milik orang lain
secara istilah tidak dapat dikatakan sebagai suatu profesi, namun di dalam
penceritaan sifat “profesionalitas” muncul mendukung karakterisasi tokoh.
Hal ini akan berdampak pada persepsi penodong ketika melihat perhiasan.
Persinggungan mereka terhadap perhiasan dalam keseharian menjadikan
target mudah dikenali. Hal dibuktikan dengan kemampuan membedakan
kalung asli dan imitasi milik wanita muda secara singkat. Terlihat dalam
kutipan berikut:
“Kami penodong terlatih. Kami bisa menandai asli ataupun palsu
pehiasan yang dikenakan korban-korban kami. Walau jarak sepuluh
meter kami tahu kalau Nyonya mengenakan emas murni.”102
Persepsi yang terbentuk tidak terlepas dari motivasi bersifat intrinsik
atau berasal dari dalam diri penodong. Mereka menginginkan kalung milik
wanita muda karena dianggap sebagai benda yang patut dimiliki
bagaimana pun caranya. Hal ini terlihat dari aksi-reaksi penodong,
menggunakan pisau belati untuk mencapai tujuan. Pisau merupakan suatu
102 Ibid, h. 76.
89
bentuk ancaman sehingga memberikan tekanan mental kepada korban
tanpa penodong harus banyak bicara. Hal ini menjadi penilaian bagi
mereka bahwa terbiasa dengan mudah mendapat apa yang diinginkan.
Perhiasan diinterpretasikan penodong sebagai pengalaman serta
motivasi dalam melakukan pekerjaan. Terbukti terjadi emosi expressive
reappraisal karena perhiasan mampu membuat penodong marah,
membentak, bahkan melontarkan kata-kata kasar, namun dengan intensitas
yang berbeda saat mengetahui mereka hanya mendapatkan perhiasan
dengan imitasi. Berbeda dengan tuturan ketika menghadapi korban yang
menggunakan perhiasan asli, sikapnya cenderung sopan dan diplomatis.
Hal ini disebabkan perhiasan merupakan wujud “profesionalitas” mereka.
Antara perhiasan asli dan imitasi terjadi kontradiksi.
Perhiasan imitasi milik wanita muda dianggap menghina pekerjaan
penodong yang terbiasa bersentuhan dengan beragam perhiasan. Terlebih
lokasi kejadian merupakan “rumah” bagi mereka yaitu halte bus. Tindakan
yang dilakukan menandakan bahwa pengalaman mereka sebelumnya tidak
pernah menemui korban seperti wanita muda. Emosionalitas penodong
sampai ke puncak ketika memaksa wanita muda menelan kalung. Terlihat
dari kutipan berikut:
“Kau menghina kami! Kau pancing kami dengan kepalsuan. Ini
kalung imitasimu itu! Makan!”103
Penghilangan kalung melalui pemaksaan penelanan oleh penodong
kepada wanita muda menjadi bukti bahwa perhiasan mampu
menghilangkan rasa kemanusiaan bahkan memberikan air minum untuk
memudahkan proses penelanan. Apa yang mereka lakukan sebagai
peringatan kepada siapapun agar tidak mencoba mengecohkan
pekerjaannya melalui perhiasan jenis imitasi. Penodong tidak akan segan
untuk bertindak nekat tanpa memperdulikan keadaaan korbannya.
Lakuannya pun memerlihatkan bahwa penodong sangat merasa dihina
103 Ibid, h.25.
90
sehingga menimbulkan dendam dan harus menuntaskan apa yang
diinginkan.
Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa antara kalung asli dan
imitasi memiliki persesi kontradiksi bagi penodong. Semua ini tak terlepas
dari nilai yang terkandung di dalam perhiasan sebagai upaya untuk
mendapat uang atau penghasilan dari pekerjaan yang dijalani. Kalung asli
dimaknai benda berharga yang harus dimiliki bagaimana pun caranya,
sedangkan imitasi dianggap bentuk penghinaan karena mempermainkan
profesionalitas mereka sebagai penodong.
Polisi dalam “Pispot”:
Persepsi pehiasan dimunculkan melalui motivasi polisi saat berupaya
mencari barang bukti atas kejadian penjambretan. Dorongan datang secara
dua arah: dalam diri dan mendapatkan pengaruh rangsangan dari luar. Hal
ini berkaitan dengan integritas pekerjaan yang sedang dijalani sekaligus
otoritasnya sebagai seorang polisi. Terdapat rasa tanggungjawab karena
dianggap pihak yang mampu menyelesaikan masalah serta merasa gengsi
karena perlu melakukan pembuktian dari kinerja mereka yaitu menemukan
kalung milik wanita muda.
Kebungkaman lelaki penjambret membuat polisi melakukan beragam
cara agar mencapai tujuan yang diinginkan. Terlihat perubahan sikap dan
reaksi dari polisi. Pengalaman dijadikan acuan bahwa kekerasan mungkin
akan mendatangkan hasil atau membuat tersangka buka suara. Hal ini
dianggap “lumrah” atau telah menjadi rahasia umum. Mulai dari siksaan
secara fisik dan verbal diberikan sehingga penilaian atas perhiasan tidak
terlepas dari situasi yang terjadi di masa lalu. Keberhasilan pencarian
kalung lebih diutamakan dibandingkan keadaan tersangka. Terlihat dalam
kutipan berikut:
“Semua keterangan cukup meyakinkan! Sekarang kita paksa dia
keluarkan kalung itu! Ambil obat pencahar! Pisang dan pepaya. Suruh
dia makan sebanyak-banyaknya. Usahakan dia mencret seperti
burung. Lalu tampung kotorannya!104
104 .... “Pispot”, h.54.
91
Polisi memosisikan diri lelaki penjambret sebagai suatu objek, bukan
seperti manusia sehingga apa yang mereka lakukan kepada tersangka akan
menguatkan nilai persepsi dari perhiasan. Hal ini pun didukung oleh emosi
yang ditunjukkan ketika memberikan siksaan, meskipun regulasi emosinya
dapat diredam oleh tokoh aku. Polisi tidak lagi memaksa lelaki penjambret
untuk menelan berbagai ramuan, tetapi tersangka mulai mengeluarkan isi
perut dengan sukarela. Terlihat dari kutipan berikut:
Aku mulai tidak kuat melihat penyiksaan itu. Aku minta kepada
komandan pemeriksa untuk membolehkan aku membujuk lelaki itu
menelan obat pencahar, pisang, dan pepaya.105
Apa yang dilakukan oleh polisi juga tidak terlepas dari ambiguitas
atau kurangnya informasi mengenai kalung milik wanita muda. Kesaksian
tokoh aku yang hanya sepihak serta diamnya lelaki penjambret. Selain itu
didukung dengan situasi tempat terjadinya peristiwa yaitu kantor polisi.
Situasi membuat polisi kehilangan tega ataupun tidak merasa bersalah. Hal
ini disebabkan merasa perilakunya dapat dipertanggung jawabkan karena
bagian dari menjalankan tugas.
Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa persepsi perhiasan bagi
polisi ialah bagian dari kekuatan dan pembuktian dari pekerjaan sebagai
apartur negara. Persepsinya membuat polisi bertindak memberikan siksaan
kepada lelaki penjambret tanpa memerdulikan keadaan dirinya dan hanya
hanya mengutamakan menemukan barang bukti yaitu kalung milik wanita
muda. Meskipun sampai akhir penceritaan, kalung tidak ditemukan karena
ditelan secara berulang.
Lelaki penjambret dalam “Pispot:
Lelaki penjambret bukan seseorang yang di kesehariannya mengambil
barang milik orang lain. Penyebutan itu didapatkan setelah merampas
kalung wanita muda untuk pertama kalinya. Meskipun begitu, apa yang ia
lakukan memerlihatkan sikap yang sama seperti penodong dan polisi yaitu
105 Ibid, h. 56.
92
melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan dalam
hal ini juga terkait perhiasan.
Proses persepsi lelaki penjambret terhadap perhiasan melibatkan motif
dari luar diri, antara lain anaknya yang sedang sakit dan istrinya putus ada
terhadap keadaan. Rangsangan tersebut berdampak reaksi memerlakukan
target secara berlebihan. Ia menjambret kemudian menelan kalung secara
berulang. Hal ini dilakukan karena menganggap perhiasan memiliki harga
jual tinggi sehingga dapat digunakan untuk biaya pengobatan. Terlihat dari
kutipan berikut:
“Anakku sedang sakit keras. Kami perlu biaya. Istriku telah putus asa
di rumah. Dokter meminta banyak.” Dia kembali menunduk. “Saya
bukanlah penjambret. Tetapi, saya telah melakukannya. Tiga kali
kalung itu keluar ke dalam pispot. Begitu keluar aku langsung
menelannya.”106
Melalui kutipan di atas terlihat bahwa persepsi pada perhiasan terjadi
benturan antara motif dan kebutuhan (avoidance-approach conflic), antara
mengakui perbuatan di hadapan polisi atau memilih bungkam agar dapat
menyelamatkan anaknya. Situasi mengharuskan lelaki penjambret memilih
di antara salah satunya, meskipun tetap akan menimbulkan konflik. Hal ini
dibuktikan dengan diamnya lelaki penjambret sehingga mendapat berbagai
siksaan untuk mempertahankan kalung. Ia memilih untuk mempertahankan
perhiasan yang telah dirampas.
Lakuannya pun dilandasi pengalaman dalam menilai target sehingga
bersifat spontan dan tanpa perencanaan. Ia tidak memiliki pengetahuan
membedakan perhiasan asli atau imitasi oleh karena itu melakukan segala
cara untuk mempertahankan kalung agar tetap berada di tangannya. Hal ini
membuktikan bahwa persepsi perhiasan merupakan otoritas dari pekerjaan
yang telah dipilih lelaki penjambret dengan latar pemikiran perannya
sebagai kepala keluarga yang harus bertanggung jawab kepada istri dan
anaknya.
106 Ibid, h. 62.
93
Situasi juga membentuk persepsinya, terlihat dari regulasi emosi yang
ditunjukkan lelaki penjambret. Ia mampu meredam atau dapat mengatur
emosinya ketika mendapat tekanan di kantor polisi. Hal ini merupakan
cognitive reappraisal dibuktikan dengan tidak melakukan perlawanan atas
berbagai tekanan yang diberikan kepadanya. Alasan lain disebabkan lelaki
penjambret tidak memiliki akses untuk mengungkap batin dirinya secara
mendalam. Terlihat dari kutipan berikut:
Dia raih gelas berisi larutan garam inggris dari atas meja. Dia reguk
seperti orang minum kopi. Kemudian dia lahap pepaya dan pisang.
Seorang petugas membuka pintu kaca.
“Sudah ingin ke jamban?” katanya.
Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa persepsi perhiasan bagi
lelaki penjambret merupakan bukti dari pekerjaan yang telah dipilihnya.
Meskipun baru pertama kali melakukan penjambretan, usaha yang
dilakukan menunjukkan otoritasnya. Hal ini tidak terlepas dari keadaan
anaknya yang sedang sakit dan isitri yang telah putus asa. Persepsinya
membentuk lakuan lelaki penjambret menjadi nekat karena hampir
membahayakan diri sendiri untuk mempertahankan kalung yang telah
dirampas. Benda tersebut ditelannya secara berulang dan rela mendapat
siksaan di kantor polisi.
Dapat disimpulkan dari ketiga tokoh profesi (penodong, penjambret,
dan polisi) memiliki persepsi bahwa perhiasan merupakan bentuk dari
otoritas pekerjaan yang dijalani. Hal ini dilandasi oleh target (perhiasan)
dinilai sebagai barang berharga dan harus mendapatkannya dengan cara
apapun bahkan melakukan kekerasan yang merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Terlihat bahwa proses persepsi dari ketiga tokoh sangat
mengutamakan nilai dari target sehingga menunjukkan emosionalitas yang
secara berlebihan.
Berdasarkan pemaparan dari ketiga cerpen bahwa persepsi perhiasan
berkaitan erat dengan penyebutan tokoh dalam penceritaan. 1) Tokoh aku
memiliki pandangan bahwa perhiasan sebagai sumber permasalahan yang
membuat diri mereka berada dalam posisi tidak aman atau terancam. 2)
94
Wanita muda menganggap perhiasan bagian dari penghargaan diri karena
mampu memberikan kepercayaan dalam diri karena mendapatkan validasi
dari orang lain melalui atensi yang diberikan. 3) Tokoh profesi (penodong,
polisi, dan lelaki penjambret) berpendapat bahwa perhiasan pembuktian
dari otoritas terhadap pekerjaan.
Beragam persepsi yang muncul mampu membentuk pola pikir dan
perilaku tokoh sehingga perhiasan menjadi orientasi dalam pengambilan
keputusan yang justru merugikan diri sendiri dan orang lain. Mulai dari
bersikap apatis, lalai terhadap bahaya, dan melakukan segala cara untuk
mendapatkan yang diinginkan. Kondisi ini menjadi ironi yang ingin
disampaikan Hamsad Rangkuti selaku pengarang melihat realitas bahwa
manusia kerap betindak nekat tanpa pikir panjang karena terlalu diperdaya
oleh benda. Terlihat dari ketiga cerpen bahwa penceritaan diakhiri dengan
hilangnya perhiasan dan didukung oleh peristiwa telan-menelan dari
korban ataupun tersangka.
B. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Sastra dianggap bias dari kehidupan. Nilai-nilai yang terkandung dipelajari
oleh peserta didik dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.
Keduanya terintegrasikan melalui aspek menulis, berbicara, membaca, dan
menyimak. Tolak ukur keberhasilan bukan lagi sekedar menyelesaikan bacaan
ataupun menjawab pertanyaan, tetapi dilihat dari kemampuan apresiasi pada
tingkat penerapannya dalam keseharian. Kebermanfaatan sastra menjadi lebih
terbukti.
Guru sebagai mediator dan eksekutor diharapkan mampu menciptakan
ruang belajar yang menarik. Hal ini dapat dimulai dari pemilihan bacaan yang
akan diberikan kepada peserta didik. Penelitian ini menjadi bahan alternatif
pembelajaran sastra di sekolah. Analisis persepsi perhiasan dalam ketiga
cerpen karya Hamsad Rangkuti berjudul “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan
“Pispot” digunakan dan diimplikasikan pada tingkat menengah atas kelas XI
semester ganjil dengan strandar kompetensi mengidentifikasi serta
95
mendemonstrasikan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kumpulan
cerita pendek yang dibaca.
Kemudahan alur cerita serta tidak ada kerumitan dalam gaya bahasa dari
cerpen karya Hamsad Rangkuti dapat menjadi referensi untuk menumbuhkan
minat peserta didik akan pembelajaran sastra. Mereka diminta membaca secara
intensif sebagai upaya proses menganalisis unsur intrinsik. Kegiatan membaca
cerita dengan judul berbeda dalam satu waktu merupakan upaya untuk melatih
daya pikir kritis melalui pencarian persamaan dan perbedaaan yang melingkupi
penceritaan berdasarkan argumen yang mendasar.
Metode diskusi dapat dimanfaatkan sebagai sarana tukar informasi dan
pemikiran sehingga peserta didik melihat beragam gagasan secara terbuka.
Kegiatan membandingkan menandakan mereka tidak sekedar menyebutkan
unsur intrinsik, tetapi mencoba untuk menemukan alasan di balik tindakan para
tokoh. Hasil temuan kemudian dikaitkan dengan nilai-nilai dalam kehidupan.
Perilaku tokoh dari ketiga cerpen merupakan gambaran yang masing-masing
dapat dipetik hikmahnya.
Ketiga cerpen menceritakan mengenai pengambilan kalung milik seorang
wanita yang mengakibatkan munculnya berbagai persepsi mengenai perhiasan.
Persepsi membentuk pola pikir dan perilaku tokoh menjadi berlebihan bahkan
merugikan diri sendiri maupun orang lain. Hal ini dapat diterapkan sebagai
upaya pembentukan karakter peserta didik agar bersikap jujur, adil, dan
toleransi dalam mengambil keputusan tertentu serta tidak berorientasi terhadap
satu sisi melainkan menguji pendapat dan fakta yang ada. Peserta didik
diberikan pemahaman mengenai proses penilaian yang tidak berat sebelah atau
hanya berdasarkan subjektifitasnya.
Selain itu peserta didik diajar untuk memiliki kepribadian melalui regulasi
atau pengaturan emosi yang baik. Hal ini berarti mereka akan didik untuk
berpikir sebelum bertindak. Menimbang baik-buruknya keputusan tertentu,
tidak hanya untuk diri sendiri tetapi untuk kebaikan bersama. Hal ini terlihat
dari masing-masing tokoh dalam penceritaan yang bersikap cenderung spontan
96
hanya untuk mewujudkan keinginannya yang bersifat semu, seperti mendapat
perhatian ataupun menginginkan validasi dari orang sekitar.
Krisis penghargaan diri yang dialami oleh wanita muda dalam “Perbuatan
Sadis” dan “Perhiasan” dapat menjadi cermin bagi peserta didik agar tidak
menempatkan diri melalui benda. Kondisi ini memberikan pelajaran bahwa
lebih menumbuhkan kepercayaan diri melalui kemampuan atau bakat yang
dimiliki, bukan bergantug pada kepemilikan benda mahal seperti gadget atau
benda lainnya. Cerpen Hamsad Rangkuti dapat menjadi refleksi dalam
menjalani kehidupan dalam bermasyarakat.
Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian mengenai analisis persepsi
perhiasan dalam tiga cerpen karya Hamsad Rangkuti memiliki implikasi
terhadap pembelajaran sastra di kelas XI dengan kompetensi dasar yaitu
menganalisis isi dan nilai-nilai yang terkandung dalam kumpulan cerita pendek
yang telah dibaca. Pemahaman unsur intrinsik dapat meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk memahami kandungan cerita sehingga dapat
direalisasikan dalam kehidupan sebagai upaya pembentukan karakter peserta
didik.
97
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tiga cerpen karya
Hamsad Rangkuti dengan judul “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot”
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi perhiasan dalam tiga
cerpen karya Hamsad Rangkuti: terdapat 11 skema aktan yang
menunjukkan korelasi terkait persepsi perhiasan melalui penyebutan nama
tokoh. 1) Tokoh aku memiliki pandangan bahwa perhiasan sebagai sumber
permasalahan yang membuat diri mereka berada dalam posisi tidak aman
atau terancam. 2) Wanita muda menganggap perhiasan bagian dari
penghargaan diri karena mampu memberikan kepercayaan dalam diri
melalui atensi dari publik. 3) Penodong, polisi, dan lelaki penjambret
memandang perhiasan sebagai pembuktian dari otoritas terhadap pekerjaan
sehingga apapun diupayakan untuk mendapatkan yang diinginkan.
Persepsi yang terbentuk dari ketiga cerpen memiliki dampak atas pola
pikir dan perilaku para tokoh yang bersifat merugikan diri sendiri ataupun
orang lain. Hal ini menandakan bahwa perhiasan menjadi tolak ukur atau
orientasi dari pengambilan keputusan tertentu. Kondisi ini menjadi ironi
yang ingin disampaikan Hamsad Rangkuti selaku pengarang melihat
realitas bahwa manusia kerap betindak nekat tanpa karena terlalu
diperdaya oleh benda.
2. Implikasi yang dapat diterapkan dari analisis persepsi perhiasan dalam tiga
cerpen karya Hamsad Rangkuti terhadap pembelajaran sastra di sekolah,
yaitu mengidentifikasi dan mendemonstrasikan nilai-nilai kehidupan yang
dipelajari dari ketiga cerpen. Metode diskusi digunakan untuk sarana tukar
informasi melalui argumen yang mendasar dan menghormati perbedaan
pendapat antar peserta didik. Kegiatan membandingkan menandakan
mereka tidak sekedar menyebutkan unsur intrinsik, tetapi mencoba untuk
98
menemukan alasan di balik tindakan para tokoh. Hal ini berkaitan dengan
pembentukan persepsi pola pikir dan perilaku tokoh menjadi berlebihan
bahkan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kondisi tersebut dapat
diterapkan sebagai upaya pembentukan karakter peserta didik agar
bersikap jujur, adil, dan toleransi dalam mengambil keputusan tertentu
serta tidak berorientasi terhadap benda melainkan menguji pendapat dan
fakta yang ada.
B. Saran
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian, maka peneliti memberikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Melalui penelitian persepsi perhiasan dalam tiga cerpen karya Hamsad
Rangkuti, peserta didik dapat memahami kaitan antar-peristiwa sehingga
memudahkan peserta didik dalam memahami makna kesuluruhan dalam
cerita. Hal tersebut memberikan berbagai macam pelajaran sehingga
peserta didik dapat mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
2. Adanya peneitian ini, baik tenaga pendidik atau peneliti yang lain dapat
menggunakan cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya
Hamsad Rangkuti sebagai referensi kegiatan pembelajaran di sekolah atau
sebagai objek penelitian lebih lanjut. Aspek intrinsik dan nilai-nilai yang
terdapat dalam cerpen dapat diteliti dan dipelajari lebih baik sehingga
dapat berguna bagi banyak orang di dunia sastra maupun pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. “Tinja dalam Sastra”. Kompas. 2001.
I Bernd Horn, Colonel. The Military Leadership Handbook. Canada: Dundurn
Press and Canadian Defence Academy. 2009.
Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
2018.
Bunga, Muhammad; Andria Catri, dan Muhammad Ismail,.“Materialis dalam
Naskah Drama Nyonya-nyoya Karya Wisran Hadi: Kajian Sosiologi Sastra,
Jurnal Bahasa dan Sastra UNP. 2012.
Chandra, I Wayan, dkk. Psikologi Landasan Keilmuan Praktik Keperawatan
Jiwa, Yogyakarta: Andi. 2017.
Damono, Sapardi Djoko.“Sastra di Sekolah”, Susastra 5 Jurnal Ilmu Sastra dan
Budaya. Volume 3 Nomor 5. 2007.
Dange Jagannaath K. “Perception, Passion, and Obsession: The Three Elements
of Theory of Success”, International Journal of Advanced Education and
Research, Volume 1. 2016.
Dimyati, M. Psikologi Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi. 2018.
Ensiklopedi Sastra Indoneisa. Titian Ilmu: Bandung. 2007.
Eshetu, Getnet. Factor Affecting Intructional Leaders Perception towards
Educational Media Utilization in Classroom Teaching. Hamburg: Anchor
Academic Publishing. 2015.
Fitriyah, Lailatul. “Jangan Terlalu Materialistik! Materialisme sebagai Tolak Ukur
Kepuasan Hidup, Jurnal Psikovidya, Vol 20. No. 1 April 2016.
Hasan, Fuad. Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesia Tera. 2002.
Hon, Colonel Bernd. The Military Leadership Handbook. Canada: Dundurn Press
and Canadian Defence Academy: 2009.
Ismawati. Esti. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Ombak. 2013.
Jabrohim. Pasar dalam Perspektif Greimas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Juhara, Erwan. “Aroma Satire dalam Sampah Bulan Desember Karya Hamsad
Rangkuti”. Jurnal Metasastra. Volume 3. Nomor 1. Tahun 2010.
Luxemburg, Bal, dan Weststeijn. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa. 1989.
Mahayana, Maman S. Bermain dengan Cerpen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. 2006.
Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2007.
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2013.
Mulyadi, Efix. “Sastra Bibir Hamsad Rangkuti”. Kompas. Sabtu, 22 April 2000.
Nitami, Noviana. “Obsesi Tokoh Utama terhadap Makanan Novel Aruna dan
Lidahnya Karya Laksmi Pamuntjak”, Jurnal Dialektika. Volume 3. Nomor
1. Tahun 2016.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2012.
. Stilistika. Yogyakarta: UGM Press. 2014.
Palogai, Ibnu Sina. Skripsi: “Analisis Struktural dan Nilai Moral Kumpulan
Cerpen Bibir dalam Pispot Karya Hamsad Rangkuti”. Makassar: Universitas
Negeri Makassar. 2017.
Prince, Gerlad. Dictionary of Narratology. United States of America: University
of Nebraska Press. 2003.
Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012.
Rangkuti, Hamsad. Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan
Bibirmu?. Yogyakarta: Diva Press. 2014.
.“Dari Bakat Alam ke Teknik” dalam Pamusuk Eneste.
Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. 2009.
. Lukisan Perkawinan. Yogyakarta: Matahari. 2004.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2015.
Ridho, Irsyad. Kajian Cerita: dari Roman ke Horor. Yogyakarta: JBS. 2018.
Rukmini, Mien. Pengajaran Apresiasi Sastra. Tangerang: Universitas Terbuka.
2007.
Santana, Septiawan. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Obor. 2010.
Santoso, Satmoko Budi. Esai “Cerita Pendek, Keberjamakan, Reruntuhan Menara
Gading”. Jakarta: Kompas. 2003.
Sarwono, W. Sarlito. Pengantar Psikologi Umum. 2002. Jakarta: Rajawali Press.
Setyorini, Ririn. “Diskriminasi Gender dalam Novel Entrok Karya Okky
Madasari: Kajian Feminisme”. Junral Desain, Volume 4. Nomor 3. Tahun
2017.
Shinantya dan Julia. Perbedaan Regulasi Emosi Perempuan dan Laki-laki di
Perguruan Tinggi, Jurnal Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas
Indonesia. 2017.
Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Press. 2012.
Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002
Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta. 2015.
Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2012.
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya. 1984.
Tobing, Maruli. “Pesona: Hamsad, dari Lorong Pasar di Kisaran”. Kompas. 2007.
Triananda, Oji Putra. Skripsi: “Masalah-masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen
Cemara Karya Hamsad Rangkuti”. Padang: Universitas Negeri Padang, 2019.
Waluyo, Herman J.Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University
Press. 1994.
Warisman. Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis. Malang: UB Press.
2016.
Warisman. Pengantar Pembelajaran Sastra. Malang: UB Press, 2017.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. 2014.
Yos. “Dijambret, Diganti Kalung Palsu”. Kompas. 1982.
Media Daring
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Ensiklopedia Sastra Indonesia,
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Hamsad_Rangkuti. Diakses 15
Februari 2019
https://explorable.com/perception. Diakses 15 Agustus 2019.
Lahitani, Sulung. “Tergolek Tak Berdaya, Sastrawan Hamsad Rangkuti Butuh
Pertolongan”, https://m.liputan6.com/citizen6/read/3066538/tergolek-tak-bedaya-
sastrawan-hamsad-rangkuti-butuh-pertolongan. Diakses 12 Maret 2019
Rajaguguk, Kisar. “Sebelum Meninggal Hamsad Rangkuti Idap Sejumlah
Penyakit”,https://m.mediaindonesia.com/amp/amp_detail/1809794-sebelum-
meninggal-hamsad-rangkuti-idap-sejumlah-penyakit. Diakses 12 Maret 2019
KOMINFO, “Masyarakat Indonesia: Malas Baca tapi Cerewet di Medsos”,
https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-
baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media diunduh 11 November 2019.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Sekolah : SMA
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : IX/I (Ganjil)
Materi Pokok : Cerita Pendek
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
A. Kompetensi Inti
1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
2. Menghargai dan menghayati perliaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli
(toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan
keberadaannya.
3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan
rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya
terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan,
mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca, menghitung, menggambar, mengarang) sesuai dengan
yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori.
B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK)
Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi
3.8 Mengidentifikasi nilai-nilai
kehidupan yang terkandung
dalam kumpulan cerita pendek
yang dibaca
3.8.1 Menentukan unsur intrinsik,
ekstrinsik, serta menerapkan
nilai-nilai dalam cerpen ke
dalam kehidupan sehari-hari
4.8 Mendemostrasikan salah satu
nilai kehidupan yang dipelajari
dalam cerita pendek
4.8.1 Mempresentasikan dan
memperbaiki hasil kerja
dalam diskusi kelas
C. Tujuan Pembelajaran
1. Mengidentifikasi isi cerpen
2. Menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik
3. Menelaah dan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam
cerpen
D. Materi
1. Cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad
Rangkuti.
2. Unsur intrinsik dan ekstrinisk
3. Nilai-nilai kehidupan yang relevan dengan ketiga cerpen.
E. Pendekatan, Model, dan Metode
Pendekatan : Saintifik
Model : Active learning
Metode : Diskusi, presentasi, tanya-jawab, dan penugasan
F. Media Pembelajaran
Lcd proyektor, laptop, whiteboard, dan koran.
G. Sumber Belajar
1. Buku bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK kelas XI edisi revisi 2017
2. Cerpen “Perbuatan Sadis”, “Perhiasan”, dan “Pispot” karya Hamsad
Rangkuti
3. Video eksplainer
H. Kegiatan Pembelajaran
Tahap Langkah-langkah Pembelajaran
Alokasi
Waktu
Kegiatan
Awal
1. Guru memberikan salam dan berdoa bersama
peserta didik.
2. Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai
sikap disiplin.
3. Mengondisikan peserta didik dengan suasana
belajar yang menyenangkan agar peserta
didik siap mengikuti pembelajaran.
4. Apersepsi dilakuan dengan cara
mendiskusikan kompetensi yang sudah
dipelajari dan secara proaktif tentang
keterkaitan antar materi
5. Peserta didik menyimak kompetensi dan
tujuan serta mengontruksi manfaat dalam
kehidupan sehari-hari.
6. Peserta didik menerima informasi tentang
hal-hal yang akan dipelajari, metode dan
media, langkah serta penilaian pembelajaran.
10
menit
Kegiatan
Inti
Mengamati
1. Guru memberikan tiga potongan cerpen
berbeda dan berita di koran.
2. Peserta didik mencoba mengidentifikasi
isi teks keterkaitan antara cerita (cerpen)
dan kejadian nyata (koran)
3. Peserta didik membaca ketiga cerpen
70
menit
secara intensif.
Menanya
1. Guru memberikan pertanyaan bersifat
literal, interpretatif, intregratif, kritis, dan
kreatif.
2. Peserta didik bertanya jawab secara
proaktif dengan argumen mendasar
Menalar atau mengumpulkan informasi
1. Peserta didik duduk secara berkelompok
(heterogen 3-4 orang).
2. Peserta didik berdiskusi mengenai unsur
intrinsik, ekstrinisk, dan
menghubungkannya dengan nilai-nilai
kehidupan dalam cerpen.
Mengasosiasi
1. Peserta didik menganalisis unsur
pembangun teks dan menghubungkannya
dengan nilai-nilai kehidupan yang
mereka alami atau ketauhi.
2. Masing-masing kelompok mencatat hasil
diskusi
Mengomunikasikan atau menyajikan
1. Peserta didik duduk secara berkelompok
mempresentasikan hasil kerjanya (4C)
2. Peserta didik bergantian
mempresentasikan hasil kerjanya di
depan kelas menggunakan bahasa yang
santun dan benar.
3. Peserta didik yang lain memberikan
penilaian dan komentar atas penampilan
temannya.
4. Hasil penilaian dijumlahkan dan
diumumkan untuk ditentukan kelompok
yang terbaik.
5. Guru memberikan apresiasi kepada
seluruh peserta didik.
Kegiatan
Penutup
Kegiatan guru bersama peserta didik
1. Membuat rangkuman atau kesimpulan
pelajaran.
2. Melakukan refleksi terhadap kegiatan
yang telah dilaksanakan.
3. Memberikan umpan balik terhadap
proses dan hasil pembelajaran.
Kegiatan guru
1. Melakukan penilaian.
2. Memberikan tugas kepada peserta didik.
3. Menyampaikan rencana pembelajaran
yang akan dilakukan selanjutnya.
Menutup kegiatan belajar-mengajar.
20
menit
Pengayaan Bagi peserta didik yang sudah mencapai nilai ketuntasan
diberikan pembelajaan pengayaan sebagai berikut:
a. Peserta didik yang mencapai nilai standar diberikan
materi masih dalam cakupan KD dengan pendalaman
sebagai pengetahuan tambahan.
b. Peserta didik yang telah mencapai nilai diberikan materi
melebihi cakupan KD dengan pendalaman sebagai
pengetahuan tambahan.
Remedial a. Tahapan pembelajaran remedial dilaksanakan melalui
remedial teaching (klasikal), atau tutor sebaya, atau tugas
lain dan diakhiri dengan tes.
I. Penilaian
1. Jenis/Teknik Penilaian
a. Kompetensi sikap : Observasi/Pengamatan
b. Kompetensi pengetahuan : Tes Tertulis
c. Kompetensi keterampilan : Unjuk Kerja/Praktik/Portofolio
2. Instrumen Penilaian
a. Penilaian Sikap
Lembar Penilaian Sikap - Observasi pada Kegiatan Diskusi
Mata Pelajaran : …………..
Kelas/Semester : …………..
Topik/Subtopik : …………..
Indikator : Peserta didik menunjukkan perilaku kerja sama,
santun, toleran, responsif dan proaktif serta bijaksana
sebagai wujud kemampuan memecahkan masalah
dan membuat keputusan.
No Nama
Siswa
Kerja
sama
Rasa
Ingin
Tahu
Santun Komunikatif Keterangan
1
2
Kolom Aspek perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria
berikut.
4 = sangat baik
3 = baik
2 = cukup
1 = kurang
Pedoman Penilaian:
Skala penilaian dibuat dari rentang 1-4.
Skor penilaian: Skor pero ehan
Skor maksima
Penilaian Sikap – Jurnal
Nama Peserta Didik : …………...........................................……..
Kelas : …………...........................................……..
Aspek yang diamati : …………...........................................……..
No Hari/tanggal Kejadian Keterangan /
Tindak Lanjut
1.
2.
….
Nilai jurnal menggunakan skala Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup (C), dan
Kurang (K)
b. Penilaian Pengetahuan
No Indikator
Pencapaian
Teknik
Penilaian
Bentuk
Penilaian Instruman
1.
Mengidentifikasi
nilai-nilai
kehidupan yang
terkandung dalam
kumpulan cerita
pendek yang dibaca
Tulis Uraian
Menemukan nilai-
nilai kehidupan
dalam tiga cerpen
karya Hamsad
Rangkuti.
2.
Mendemostrasikan
salah satu nilai
kehidupan yang
dipelajari dalam
cerita pendek
Lisan Presentasi
Menyampaikan
hasil temuan
melalui diskusi
perkelompok
c. Penilaian Keterampilan
Skor Kriteria Total
Skor
P
enam
pil
an
27-30 Sangat baik-sempurna: ekspresi tepat, intonasi
tepat, tertata dengan baik, cara penyampaian
lancar, jelas dan menarik, terlihat sangat
bersemangat
22-26 Cukup-baik: ekspresi cukup, intonasi cukup, cara
penyampaian cukup lancar, cukup jelas dan cukup
menarik, terlihat bersemangat
17-21 Sedang-cukup: ekspresi cukup, intonasi cukup,
cara penyampaian cukup lancar, cukup jelas dan
cukup menarik, terlihat cukup bersemangat
13- 16 Sangat kurang-kurang: ekspresi kurang, intonasi
tidak tepat, cara penyampaian tidak lancar, tidak
jelas dan tidak menarik, terlihat tidak bersemangat
0-10 Sangat kurang-kurang: ada lebih dari satu
penyusunan yang salah, terdapat banyak kesalahan
berpikir, belum memahami ciri dan kaidah
kebahasaan teks eksplanasi dengan baik
Nilai akhir:
Jakarta, 18 Juli 2019
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia
Ghina Octaviana
NIP/NIK 11140130000008
TENTANG PENULIS
Ghina Octaviana lahir di Tangerang, 17 Oktober
1996 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis
menempuh pendidikan formal di TK Tunas Harapan
(2001-2002), SDI Al-Khasyi’un (2002-2008), MTsN 3
Jakarta (2008-2011), MAN 4 Jakarta (2011-2014),
kemudian melanjutkan pendidikan S1 di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta melalui
jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sejak di bangku sekolah, penulis memiliki ketertarikan terhadap kesenian.
Hal ini direalisasikan penulis melalui organisasi yang dipilih yaitu COLSTRA
(Kolaborasi Seni Tradisional dan Modern) serta POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah),
namun ketika menempuh pendidikan strata satu, penulis menemukan kecintaan
lain yaitu membaca sastra dan mengajar. Kedua kegiatan tersebut memberikan
pelajaran kepada penulis bahwa hidup adalah persoalan menikmati proses. Kata
Pak Pram, “Di langit ada sorga, di bumi ada Hanchou, dan kami menambahkan: di
hati ada kepercayaan.”