Upload
others
View
82
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DOKTER INTERNSIP DALAM
PELAYANAN KESEHATAN DI WAHANA INTERNSIP
(RUMAH SAKIT DAN PUSKESMAS)
WILAYAH LAMPUNG
(Tesis)
Oleh
ROZI KODARUSMAN WARGANEGARA
NPM. 1622011035
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
i
ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DOKTER INTERNSIP DALAM
PELAYANAN KESEHATAN DI WAHANA INTERNSIP
(RUMAH SAKIT DAN PUSKESMAS)
WILAYAH LAMPUNG
Oleh
ROZI KODARUSMAN WARGANEGARA
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) merupakan proses pemantapan mutu profesi
dokter dan dokter gigi untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama
pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri dalam rangka pemahiran dan
penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik. Permasalahan penelitian ini
adalah bagaimanakah kewenangan klinis bagi dokter peserta PIDI, perlindungan
hukum bagi dokter peserta PIDI dan pertanggungjawaban hukum dokter peserta PIDI
dalam hal terjadi sengketa medis (gugatan perdata atau tuntutan pidana). Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber
terdiri dari pihak IDI Wilayah Lampung, Persi Wilayah Lampung, KIDI Provinsi
Lampung, Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Dokter Pendamping PIDI Rumah Sakit
dan Puskesmas dan Koordinator Dokter PIDI. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa kewenangan klinis bagi dokter peserta PIDI belum
diatur atau dibatasi secara definitif dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39
Tahun 2017, sehingga terdapat perbedaan dalam pelaksanaan kewenangan klinis oleh
dokter pada rumah sakit/puskesmas yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan
arahan dari Komite Medik Rumah Sakit masing-masing, yang secara umum meliputi
pelaksanaan tindakan medis dan pelayanan kesehatan. Bentuk perlindungan hukum
bagi dokter peserta PIDI adalah perlindungan preventif atau pencegahan dalam rangka
melindungi dokter peserta Program Internsip sebagai subyek hukum sebelum terjadinya
pelanggaran, yaitu dengan pemberlakukan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Bentuk pertanggungjawaban hukum dokter peserta PIDI
dalam hal terjadi sengketa medis (gugatan perdata atau tuntutan pidana) merupakan
bentuk liability dalam arti dokter dokter peserta PIDI menanggung segala sesuatu
kerugian yang terjadi akibat perbuatannya sepanjang terjadi kesalahan, kelalaian atau
perbuatan melawan hukum yang dapat dibuktikan secara hukum dan terbukti bahwa
dokter peserta Program Internsip melakukan tindakan kedokteran dan pelayanan medis
yang tidak sesuai dengan standar kompetensi, standar operasional prosedur dan standar
profesi dokter. Saran dalam penelitian ini agar dilakukan revisi/perbaikan dilakukan
revisi/perbaikan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dengan memasukkan pasal-pasal yang secara jelas mengatur kewenangan
klinis bagi dokter internsip dan dokter peserta PIDI agar secara konsisten mengacu
kepada standar profesi dan standar prosedur operasional.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Dokter, Wahana Intersip
ii
ABSTRACT
LEGAL PROTECTION OF INTERNSIP DOCTORS IN HEALTH SERVICES
IN INTERNSIP MODE (HOSPITAL AND PUBLIC HEALTH CENTER)
OF LAMPUNG REGION
By
ROZI KODARUSMAN WARGANEGARA
The Indonesian Doctors Internship Program (PIDI) is a process of strengthening the
professional quality of doctors and dentists to apply competencies obtained during
education, in an integrated, comprehensive, independent manner in order to make the
results of learning and alignment between practice and practice harmonious. The
problem of this research is how is the clinical authority for PIDI participant doctors,
legal protection for PIDI participating doctors and the legal responsibility of PIDI
participant doctors in the event of a medical dispute (civil claim or criminal claim).
The research approach used is normative juridical and empirical juridical. The
resource persons consisted of IDI Lampung Region, Persi Lampung Region, KIDI of
Lampung Province, Health Office of Lampung Province, PIDI Hospital and Public
Health Center Companion Doctor and PIDI Doctor Coordinator. Data collection is
done by literature study and field studies. Data analysis was carried out qualitatively.
The results of this study indicate that clinical authority for PIDI participant doctors has
not been definitively regulated or limited in the Minister of Health Regulation No. 39 of
2017, so there is a difference in the implementation of clinical authority by doctors in
one hospital / health center according to the direction of the Committee Medical
Hospital each, which generally includes the implementation of medical actions and
health services. The form of legal protection for PIDI participant doctors is preventive
or preventive protection in the context of protecting internship program doctors as
legal subjects prior to the occurrence of violations, namely by the enactment of Law
Number 29 of 2004 concerning Medical Practice. The form of PIDI participant's legal
responsibility in the event of a medical dispute (civil claim or criminal claim) is a form
of liability in the sense that the physician who participates in the PIDI bears all losses
incurred as long as an error, negligence or illegal action can be proven legally and it
is evident that doctors participating in the Internsip Program take medical actions and
medical services that are not in accordance with competency standards, standard
operating procedures and professional standards of doctors. Suggestions in this study
are to make revisions / improvements to be made revisions / improvements in Law No.
29 of 2004 concerning Medical Practice by including articles that clearly regulate
clinical authority for doctors internsip and doctors of PIDI participants to consistently
refer to professional standards and standard operating procedures. Keywords: Legal Protection, Doctors, Intersip Mode
iii
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DOKTER INTERNSIP DALAM
PELAYANAN KESEHATAN DI WAHANA INTERNSIP
(RUMAH SAKIT DAN PUSKESMAS)
WILAYAH LAMPUNG
Oleh
ROZI KODARUSMAN WARGANEGARA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
MAGISTER HUKUM
Pada
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 17 Mei 1993, sebagai anak
pertama dari tiga bersaudara. Putra dari pasangan Bapak Damanhuri Warganegara,
S.H., M.H., dan Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H.
Pendidikan formal yang penulis tempuh adalah Sekolah Dasar Al Kautsar Bandar
Lampung selesai pada Tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2
Bandar Lampung selesai pada Tahun 2008, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 9
Bandar Lampung selesai pada Tahun 2011. Selanjutnya penulis melanjutkan studi
Program S1 Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung selesai
pada Tahun 2015 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter pada Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung selesai pada Tahun 2017. Pada Tahun 2016
menempuh Program S2 Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
viii
MOTO
“Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan,
dan apabila telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
(QS, Alam Nasyrah: 6-7)
“We will either find a way, or make one”
(Hannibal)
ix
PERSEMBAHAN
Tesis ini penulis persembahkan kepada:
Kedua orang tua tercinta
Papi Hi. Damanhuri Warganegara, S.H., M.H.
dan Mami Dr. Hj. Erna Dewi, S.H., M.H.
Atas segenap cinta dan kasih sayang, serta pengorbanan dan dukungan
yang telah diberikan demi keberhasilan penulis
Mertua penulis:
Bapak Hi. Karto dan Mama Hj. Zaurah
Atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis
Istri penulis: dr. Yusi Farida
Anak penulis: Asyraaf Dezka Rafaeyza Warganegara
Yang telah menjadi bagian dalam hidupmu dan menjadi motivasi
bagiku untuk menjadi pribadi yang lebih baik
Adek Siska dan Adek Tata
Ayuk Karlena, Kak Heri, Kak Iwan dan Kak Epri
Terima kasih atas doa dan motivasi bagi penulis
untuk mencapai kesuksesan
Almamaterku
Universitas Lampung
x
SAN WACANA
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, sebab hanya
atas kehendak-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tesis berjudul: “Perlindungan
Hukum Terhadap Dokter Internsip dalam Pelayanan Kesehatan di Wahana
Internsip (Rumah Sakit Dan Puskesmas) Wilayah Lampung”, sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa proses penyusunan sampai terselesaikannya Tesis ini,
mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin,M.P. selaku Rektor Universitas Lampung.
2. Bapak Prof. Drs. Mustofa, M.A., Ph.D., selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Lampung.
3. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H.,M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
4. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.
5. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S., selaku Pembimbing I, yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan Tesis ini.
xi
6. Bapak Dr. dr. Asep Sukohar, S.Ked., M.Kes., selaku Pembimbing II, yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan Tesis ini.
7. Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H., selaku Penguji Utama, atas masukan dan saran
yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis ini.
8. Bapak Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.H., selaku Penguji, atas masukan dan saran yang
diberikan dalam proses perbaikan Tesis ini.
9. Bapak Prof. Dr. Muhammad Akib S.H.,M.Hum. , selaku Penguji, atas masukan dan
saran yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis ini.
10. Para narasumber dari IDI Wilayah Lampung, Persi Wilayah Lampung, KIDI
Provinsi Lampung, Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Pendamping PIDI Rumah
Sakit, Pendamping PIDI Puskesmas dan dokter PIDI Provinsi Lampung, atas
bantuan dan kerjasamanya dalam penelitian ini.
11. Seluruh dosen berserta staf dan karyawan Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung telah memberikan ilmu dan memberikan
bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
12. Seluruh rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian
penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Bandar Lampung, 17 Januari 2019
Penulis,
Rozi Kodarusman Warganegara
xii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................ i
ABSTRACT ........................................................................................................ ii
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iv
MENGESAHKAN ............................................................................................ v
SURAT PERNYATAAN ................................................................................. vi
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vii
MOTTO ............................................................................................................. viii
PERSEMBAHAN ............................................................................................ ix
SANWACANA .................................................................................................. x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Permasalah an dan Ruang Lingkup .................................................. 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 9
D. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 10
E. Metode Penelitian ............................................................................ 21
II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 26
A. Perlindungan Hukum ........................................................................ 26
B. Tanggung Jawab Hukum .................................................................. 33
C. Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) ..................................... 39
D. Pelayanan Kesehatan ........................................................................ 50
E. Rumah Sakit dan Puskesma Sebagai Wahana Pelaksanaan
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) ..................................... 58
III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 65
A. Kewenangan Klinis Bagi Dokter Peserta Program Internsip
Dokter Indonesia ............................................................................... 65
B. Perlindungan Hukum Bagi Dokter Peserta Program Internsip
Dokter Indonesia ............................................................................... 79
xiii
C. Pertanggungjawaban Hukum Dokter Peserta Program Internsip
Dokter Indonesia ............................................................................... 88
IV PENUTUP ............................................................................................. 110
A. Kesimpulan ....................................................................................... 110
B. Saran ................................................................................................. 111
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dokter adalah pihak yang mempunyai keahlian di bidang kedokteran dan di
bidang kesehatan, sedangkan pasien adalah orang sakit yang membutuhkan
bantuan dokter untuk membantu penyembuhan penyakit yang diteritanya.1
Menurut Gutur Payasan dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin
sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya
memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut hukum dalam
pelayanan kesehatan.2 Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dokter adalah dokter, dokter layanan
primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam
maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.
Program internsip dokter telah dilaksanakan sejak berpuluh-puluh tahun lalu di
negara lain, namun merupakan program yang baru di Indonesia, yang berlaku
untuk dokter baru yang menggunakan program pendidikan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) selama pendidikan.3 Seperti halnya di negara-negara lain
1 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.
27. 2 Endang Kusuma Astuti, Perjanjian Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di
Rumah Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 17. 3 Erwin G. Kristanto, Clinical Privilige dan Tanggung Jawab Dokter Internsip di Rumah
Sakit. E-Journal Universitas Samratulangi, Makasar, 2012, hlm. 5.
2
seperti India, Nepal, Australia, New Zealand dan hampir seluruh negara di Benua
Eropa dan Amerika, di Indonesia untuk menjadi seorang dokter yang profesional
juga harus melalui beberapa tahapan pendidikan kedokteran.4 India salah satu
negara yang menjalankan program internsip sebagai program transisi dari
mahasiswa untuk menjadi dokter mandiri di bawah bimbingan dari dokter senior
dan dokter ahli yang pada pelaksanaanya diharapkan mendapatkan praktik medis
dan keterampilan sehingga pada akhirnya mampu melaksanakan praktik dokter
secara mandiri.5 Pada dasarnya proses pendidikan kedokteran di Indonesia saat ini
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana hanya pendidikan akademik dan
pendidikan profesilah yang menentukan seseorang mahasiswa kedokteran
dikatakan mampu atau tidak untuk menjadi seorang dokter melainkan saat ini
harus melalui tahapan Uji Kompetensi Program Profesi Dokter (UKMPPD) dan
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI).
Untuk menjadi seorang dokter di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, seorang mahasiswa kedokteran
harus melewati beberapa jenjang pendidikan berupa pendidikan akademik,
pendidikan profesi dan program internsip. Berdasarkan Pasal 1 angka 2
Pendidikan akademik adalah pendidikan tinggi program sarjana dan/atau program
pascasarjana kedokterandan kedokteran gigi yang diarahkan terutama pada
penguasaan ilmu kedokteran dan ilmu kedokteran gigi. Pasal 1 angka 3
Pendidikan profesi adalah pendidikan kedokteran yang dilaksanakan melalui
proses belajar mengajar dalam bentuk pembelajaran klinik dan pembelajaran
4 Fahana Norman et all, Evaluation of Internship Assesment in Medical Colleges of
Bangladesh. Bangladesh Journal of Medical Education V0l-09. Issue-01. 2017, hlm.1.
5 Maenal Kulkarni, Medical Internship Training Challange And Possible Solutions,
Journal of Education in Health Sciences, Vol. 4. 2017, hlm. 5-6.
3
komunitas yang menggunakan berbagai bentuk dan tingkat pelayanan kesehatan
nyata yang memenuhi persyaratan sebagai tempat praktik kedokteran.
Internsip menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun
2017 tentang Penyelenggaraan Program Internsip Dokter dan Dokter Gigi
Indonesia adalah proses pemantapan mutu profesi dokter dan dokter gigi untuk
menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi,
komprehensif, mandiri, serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga,
dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik
di lapangan. Program internsip dokter merupakan program magang terintegritas
sebagai proses transisi dari seorang mahasiswa kedokteran menuju seseorang
profesional yang nantinya akan melakukan praktik dokter secara mandiri.
Program internsip adalah program magang terintegrasi, komprehensif, dan
mandiri yang diwajibkan bagi seluruh lulusan fakultas kedokteran di Indonesia
dan lulusan fakultas kedokteran luar negeri yang telah melakukan program
adaptasi yang bertujuan untuk pemahiran, pemandirian dan penyelarasan antara
hasil pendidikan dan praktik di lapangan sehingga ke depannya dokter yang telah
melaksanakan program internsip lebih kompeten.
Program ini diselenggarakan secara nasional bersama oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kementerian
kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi rumah sakit
pendidikan, organisasi profesi, dan konsil kedokteran Indonesia sebagaimana
dimaksud Pasal 2 Permenkes Nomor 39 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Program Internsip Dokter dan Dokter Gigi Indonesia.
4
Program Internsip dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
ditetapkan sebagai wahana internsip selama 12 bulan dengan 8 bulan dilaksanakan
di Rumah Sakit dan 4 bulan di Puskesmas. Dalam program ini seorang dokter
internsip akan melakukan praktik kedokteran di bawah pendamping yaitu dokter
yang lebih senior. Dokter yang mengikuti program internsip juga diwajibkan
memenuhi standar pendidikan formal secara akademis dan yuridis, artinya seorang
dokter diwajibkan telah lulus pendidikan formal kedokteran dan telah memiliki
standar kemampuan awal untuk bisa melakukan tugas pelayanan medis. Dalam
perkembangan selanjutnya, standar awal saja ternyata tidak cukup bagi dokter,
karena harus ditambah dan dilengkapi dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang terjadi setiap saat. Dalam pelayanannya seorang dokter
internsip yang bertugas pada suatu wahana dituntut memiliki, melaksanakan tugas
sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), Standar Profesi
Dokter dan Standar Pelayanan atau Standar Prosedur Operasional (SPO) yang ada
di wahana tempatnya mengabdi agar terhindar dari kesalahan (Schuld) dan juga
terhindar dari kriminalisasi terhadap dokter yang marak terjadi belakangan ini.6
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) merupakan standar minimal
kompetensi lulusan dokter dalam melaksanakan tugas, di mana SKDI adalah
perangkat penyetara mutu kemampuan seorang dokter sesuai dengan
kemampuannya berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dimiliki.7 Maksud
standar profesi menurut Permenkes Nomor 2052 Tahun 2011 tentang Izin Praktik
Kedokteran adalah batasan kemampuan minimal berupa knowledge, skill dan
6 Mudakir Iskandar Syah, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, Permata Aksara,
Jakarta, 2011, hlm. 5. 7 Konsil Kedokteran Indonesia, Standar Kompetensi Dokter Indonesia, Jakarta. 2012,
hlm. 12.
5
profesional attitude yang harus dikuasai oleh seorang dokter untuk dapat
melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat.8 Standar Prosedur
Operasional SPO sering disebut juga SOP (Standard Operating Procedure) adalah
suatu perangkat instruksi/langkah-langkahyang dibakukan untuk menyelesaikan
suatu proses kerja rutin tertentu yang memberikan langkah yang benar dan terbaik
berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan gungsi
pelayanan yang dibuat fasilitas kesehatan berdasarkan standar profesi.9
Peserta dalam program internsip diwajibkan memilih salah satu wahana internsip
yang tersedia dalam satu periode di seluruh wilayah Indonesia. Belakangan ini
program internsip banyak menimbulkan berbagai polemik terkait dengan jaminan
perlindungan hukum dan keselamatan, baik keselamatan jiwa maupun raga peserta
internsip. Tujuan pelaksanaan program internsip adalah untuk pemahiran,
kemandirian dan penyelarasan sehingga peserta internsip dituntut untuk
melakukan kontak dengan pasien secara langsung. Hubungan dokter dengan
pasien selayaknya mengedepankan prinsip-prinsip umum etika kedokteran yaitu
menghormati otonomi (respect for autonomy), kemanfaatan (beneficence), tidak
melakukan kesalahan (non-maleficence), dan keadilan (justice). Pelaksanaan
berbagai prinsip tersebut dilakukan agar terhindar dari sengketa medis sehingga
dalam pelaksanaannya dirasa perlu perlindungan hukum yang komprehensif
kepada peserta program internsip dokter di Indonesia.10
8 Desriza Ratman, Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktek Kedokteran dan Malprektek
Medik, Keni Media, Bandung, 2014, hlm. 8. 9 Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Panduan Penyusunan Dokumeni Akreditasi,Jakarta,
Depkes RI, 2012, hlm. 14. 10
M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, EGC,
Jakarta, 2016, hlm. 4.
6
Dokter peserta Program Internsip Dokter Indonesia pada dasarnya mendapatkan
perlindungan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu seorang dokter mempunyai hak
untuk memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Kenyataannya di
lapangan belum ada pengaturan secara jelas mengenai kewenangan klinis dokter
peserta Program Internsip di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Program Internsip Dokter dan Dokter Gigi
Indonesia, sehingga terdapat perbedaan dalam pelaksanaan kewenangan klinis
oleh dokter pada rumah sakit/puskesmas yang satu dengan yang lainnya sesuai
dengan arahan dari Komite Medik Rumah Sakit masing-masing.
Dokter peserta Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) pada pelaksanaan
tugasnya dituntut melakukan pelayanan di wahana tempatnya mengabdi, setiap
peserta dituntut untuk menjalankan hubungan dokter-pasien sehingga terjadi suatu
peristiwa perikatan hukum (verbintenis) secara perdata.11
Sehubungan dengan hal
tersebut maka risiko adanya permasalahan hukum (baik berupa gugatan secara
perdata maupun tuntutan secara pidana) yang dihadapi oleh dokter peserta PIDI
cukup besar. Hal ini terjadi pada beberapa kasus di antaranya kasus pemukulan
dokter internsip di RSUD Lebong Bengkulu,12
RSUD Sampang Madura13
dan
RSUD Badung Bali. 14
11
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm.
41. 12
http://hukum.rmol.co/read/2017/10/04/309739/buntut-ketua-dprd-tampar-dokter,-17-
dokter-internship-ditarik-dari-rsud-lebong-Diakses Rabu 4 Juli 2018. 13
https://lapor.go.id/pengaduan/1885835/penganiayaan-dokter-internship-rsud-sampang-
madura. html. Diakses Rabu 4 Juli 2018. 14
https://www.change.org/p/kecam-ketua-forum-perbekel-se-badung-pemukul-dokter-di-
bali. Diakses Kamis 4 Juli 2018.
7
Maraknya sengketa medis yang melibatkan profesi dokter seolah membuat para
dokter dianggap tidak bertanggungjawab dan tidak teliti dalam menjalankan
profesinya sehingga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap profesi
dokter saat ini dan membuat seolah-olah dokter saat ini tidak kompeten dalam
menjalankan profesinya. Sengketa medis yang dihadapi dokter dalam
melaksanakan praktik kedokteran dan pelayanan kesehatan pada umumnya adalah
gugatan secara perdata dan tuntutan secara pidana terhadap dokter tersebut.15
Pola hubungan paternalistik antara dokter dengan pasien yang tadinya sangat
melekat di Indonesia perlahan mulai menghilang, dahulu dokter dianggap akan
berupaya semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien, seperti seorang
bapak yang baik yang akan berbuat apa saja untuk kepentingan anaknya. Pasien
diharapkan akan bertindak patuh dan percaya bahwa dokter akan bertindak seperti
bapak yang baik. Namun dewasa ini pola tersebut berangsur-angsur berubah
menjadi hubungan partner di mana dokter tidak lagi mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi dibanding pasien. Kini pasien memiliki kedudukan yang sejajar
dengan dokter yang mengobatinya sehingga dokter dapat dijadikan suatu subjek
hukum dalam suatu pelayanan kesehatan atau suatu transaksi terapeutik. 16
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis melakukan penelitian dengan
judul: Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Internsip dalam Pelayanan
Kesehatan di Wahana Internsip (Rumah Sakit dan Puskesmas).
15
Michael Daniel Mangkey, Perlindungan Hukum Terhadap Dokter dalam Memberikan
Pelayanan Medis, Portal Garuda Journal Vol. II No. 8/Sep-Nov/2014. 16
Helmi Arni Yulianto, Hukum Pidana Malpraktik Medik Tinjauan dan Perspektif
Medikolegal, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2010, hlm. 1-2.
8
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengangkat permasalahan
sebagai berikut:
a. Bagaimana kewenangan klinis bagi dokter peserta Program Internsip Dokter
Indonesia?
b. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi dokter peserta Program Internsip
Dokter Indonesia?
c. Bagaimanakah pertanggungjawaban hukum dokter peserta Program Internsip
Dokter Indonesia dalam hal terjadi sengketa medis (gugatan perdata atau
tuntutan pidana)?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Agar tidak menjadi kerancuan dalam pembahasan sehingga memungkinkan
penyimpangan dari judul, maka peneliti membatasi ruang lingkup dalam
penelitian ini terbatas pada hukum kesehatan baik aspek pidana, perdata, dan
administrasi khususnya yang meliputi:
a. Kewenangan klinis bagi dokter peserta Progran Internsip Dokter di Indonesia
b. Bentuk perlindungan hukum bagi dokter peserta Program Internsip Dokter
Indonesia.
c. Bentuk pertanggungjawaban hukum dokter peserta Program Internsip Dokter
Indonesia dalam hal terjadi sengketa medis (gugatan secara perdata maupun
tuntutan secara pidana terhadap dokter peserta Program Internsip Dokter
Indonesia).
9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis kewenangan klinis bagi
dokter peserta Progran Internsip Dokter di Indonesia
b. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis bentuk perlindungan hukum
bagi dokter peserta Program Internsip Dokter Indonesia.
c. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis bentuk pertanggungjawaban
hukum dokter peserta Program Internsip Dokter Indonesia dalam hal terjadi
sengketa medis (gugatan perdata atau tuntutan pidana).
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam rangka pengembangan hukum kesehatan tentang perlindungan hukum
bagi dokter peserta Program Internsip Dokter Indonesia.
b. Kegunaan Praktis
1) Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada organisasi
profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI), Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI), Asosiasi Pendidikan
Kedokteran Indonesia (AIPKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI), praktisi hukum kesehatan dan pihak lain yang ingin
mengetahui lebih dalam mengenai permasalahan dalam penelitian ini.
2) Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada
Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Lampung.
10
D. Kerangka Pemikiran
1. Alur Pikir
Gambar 1. Alur Pikir Penelitian
a) Undang-Undang dasar 1945 hasil Amandemen
b) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
c) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
d) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
e) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
f) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
g) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Program Internsip Dokter dan Dokter Gigi Indonesia
Program Internsip Dokter Indonesia
Batasan kewenangan
klinis bagi dokter
peserta Program
Internsip Dokter di
Indonesia
Bentuk perlindungan
hukum bagi dokter
peserta Program
Internsip Dokter
Indonesia
Bentuk
pertanggungjawaban
hukum dokter peserta
Program Internsip Dokter
Indonesia dalam hal terjadi
sengketa medis
Teori
Kewenangan
Teori
Perlindungan Hukum
Teori
Pertanggungjawaban
Hukum
Pembahasan
dan Simpulan
11
2. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan
atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya
penelitian hukum. Berdasarkan pernyataan di atas maka teori yang digunakan
untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Teori Kewenangan
Kewanangan berasal dari kata dasar wewenang, yang diartikan sebagai hal
berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.
kewenangan adalah kekuasaan formal. Kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.
Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa kewenangan adalah kekuasaan
terhadap segolongan orang atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan
(atau bidang urusan) tertentu. 17
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang
digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah
“bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika
dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah
“bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah
“bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum
privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya
digunakan dalam konsep hukum publik. 18
17
Prajudi Admosudirjo, Teori Kewenangan, Rineka Cipta Jakarta, 2001, hlm. 6. 18
Ibid, hlm. 7.
12
Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam
lapangan hukum publik, namun sesungguhnya terdapat perbedaan di antara
keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan
yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif
dari kekuasaan eksekutif atau administratif.19
Berdasarkan beberapa pengertian diketahui bahwa kewenangan merupakan
kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis
kewenangan adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang
yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.
Kewenangan sebagai kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, dan
wewenang sebagai spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek
hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang
untuk melakukan sesuatu dalam kewenangan itu. Kewenangan yang dimiliki
institusi pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata, mengadakan pengaturan
atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh
dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat.20
Kewenangan ditinjau dari sumbernya terdiri dari:
a. Kewenangan Atribusi
Kewenangan atribusi adalah kewenangan yang melekat pada suatu jabatan
yang berasal dari undang-undang. Atribusi merupakan kewenangan yang
19
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 25. 20
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cet.II, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm.
54.
13
diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara
oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang
tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya.
b. Kewenangan Delegasi
Kewenangan delegasi adalah pemindahan/pengalihan kewenangan yang ada.
Atau dengan kata lain pemindahan kewenangan atribusi kepada pejabat di
bawahnya dengan dibarengi pemindahan tanggung jawab. Delegasi sebagai
kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ
(institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang
telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan atas namanya.
c. Kewenangan Mandat
Kewenangan mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau
pengalihan kewenangan, yang ada hanya janji-janji kerja interen antara
pimpinan dan bawahan. Pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan
kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil
suatu tindakan atas namanya.21
Ciri-ciri kewenangan berkaitan dengan asas delegasi, yang merupakan asas paling
penting dalam pelaksanaan kewenangan dalam organisasi, terdapat empat
kegiatan delegasi kewenangan. Kegiatan ini artinya ialah proses di mana para
pimpinan mengalokasikan kewenangan kepada bawahan dengan delegasi yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Pendelegasi menetapkan dan memberikan tujuan dan tugas kepada
bawahannya dalam suatu organisasi.
21
Prajudi Admosudirjo, Op.Cit., hlm. 11.
14
b. Pendelegasi melimpahkan kewenangan yang di perlukan untuk mencapai
tujuan atau tugas.
c. Penerimaan delegasi, baik implisit atau eksplisit, menimbulkan kewajiban atau
tanggung jawab.
d. Pendelegasi pertanggung jawaban bawahan untuk hasil-hasil yang dicapai. 22
Kewenangan tidak hanya diartikan sebagai kekuasaan, oleh karena itu, dalam
menjalankan hak berdasarkan hukum publik selalu terikat kewajiban berdasarkan
hukum publik tidak tertulis atau asas umum pemerintahan yang baik.
Kewenangan dalam hal ini dibedakan menjadi:
a. Pemberian kewenangan: pemberian hak kepada, dan pembebanan kewajiban
terhadap badan (atribusi/mandat)
b. Pelaksanaan kewenangan: menjalankan hak dan kewajiban publik yang berarti
mempersiapkan dan mengambil keputusan
c. Akibat Hukum dari pelaksanaan kewenangan: seluruh hak dan/atau kewajiban
yang terletak rakyat/burger, kelompok rakyat dan badan.23
Macam-macam kewenangan berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua:
1. Wewenang personal, bersumber pada intelegensi, pengalaman, nilai atau
norma, dan kesanggupan untuk memimpin.
2. Wewenang ofisial, merupakan wewenang resmi yang di terima dari wewenang
yang berada di atasnya.24
22
Muammar Himawan, Pokok-Pokok Organisasi Modern, Bina Ilmu, Jakarta, 2004, hlm.
51. 23
Prajudi Admosudirjo, Op.Cit., hlm. 87. 24
Ibid, hlm.88.
15
Secara organisasional kewenangan adalah kemampuan yuridis yang didasarkan
pada hukum publik. Kewenangan berkaitan dengan hak dan kewajiban, yaitu agar
kewenangan tidak semata-mata diartikan sebagai hak berdasarkan hukum privat,
tetapi juga kewajiban sebagai hukum publik. Kewenangan adalah fungsi untuk
menjalankan kegiatan dalam organisasi, sebagai hak untuk memerintah orang lain
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tujuan dapat tercapai.
Pengorganisasian merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai
dengan tujuan organisasi, sumber daya-sumber daya yang dimilikinya dan
lingkungan yang melingkupinya. Kewenangan adalah hak menggunakan
wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang
berlaku, dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan
hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan
merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau institusi.
b. Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto
Raharjo awal mula dari munculnya ini bersumber dari teori hukum alam atau
aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan
Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa
hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara
hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang
bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal
dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.25
25
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.53.
16
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan
itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan
perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga
prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum
kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.26
Menurut Phillipus M. Hadjon, perlindungan hukum sebagai tindakan pemerintah
yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah
bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bwedasarkan diskresi, dan
perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa,
termasuk penangananya di lembaga peradilan.27
Hukum harus memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan
status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan
hukum. Aparat penegak hukum wajib menegakkan hukum dan dengan
berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan
memberikan perlindungan pada tiap hubungan hukum atau segala aspek dalam
kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum.
26
Ibid, hlm.55. 27
Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, hlm.29.
17
c. Teori Pertanggungjawaban Hukum
Secara teoritis pertanggungjawaban hukum dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
tanggung jawab dalam arti accountability, responsibility, dan liability. Tanggung
jawab accountbility dalam arti hukum biasanya berkaitan dengan keuangan.
Tanggung jawab dalam arti responsibility maksudnya "wajib menanggung segala
sesuatunya", kalau terjadi sesuatu dapat disalahkan, dituntut, dan diancam oleh
hukuman pidana oleh penegak hukum didepan pengadilan, menerima beban
akibat tindakan sendiri atau orang lain. Tanggung jawab dalam arti liability berarti
menanggung segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya atau
perbuatan orang lain yang bertindak untuk dan atas nama.28
Seiring dengan perkembangan kemajuan di bidang ilmu (hukum) konsep
tanggung jawab dalam arti liability ini makin dirasa perlu untuk membuat
kualifikasi yang jelas atas pembagian tersebut agar tidak terjadi perbedaan yang
sedemikian rupa sehingga hal ini akan berdampak pada tataran pengaplikasiannya
nanti. Adapun pembedaan dapat dilihat, sebagai berikut: Pertama, tanggung jawab
hukum berdasarkan kesalahan (based on fault liability) hal ini dalam KUHPerdata
terdapat dalam Pasal 1365 Ayat (5), yang dikenal dengan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) berlaku umum terhadap siapapun. Kedua, tanggung
jawab praduga bersalah (presumption of liability) yaitu perusahaan demi hukum
harus membayar yang diakibatkan olehnya, kecuali perusahaan tersebut dapat
membuktikan tidak bersalah. Ketiga, tanggung jawab hukum tanpa bersalah
(liabilty without fault) yaitu perusahaan bertanggung jawab mutlak terhadap
28
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 87.
18
kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, tanpa memerlukan pembuktian lebih
dahulu29
Dalam penelitian ini tanggung jawab dokter internsip dibatasi pada
tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan menurut KUHPerdata.
Tanggung jawab berkaitan dengan kewajiban, dalam konsep keperdataan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hubungan hukum yang melahirkan
hak dan kewajiban. Hak adalah sesuatu yang diperoleh dari pihak lain dengan
kewenangan menuntut jika tidak dipenuhi oleh pihak lainnya itu. Kewajiban
adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh pihak yang satu kepada pihak yang
lain dengan pembebanan sanksi jika lalai atau dilalaikan. Hak dianggap suatu
kebolehan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukannya, jika hak
sebenarnya merupakan wewenang yang diberikan oleh hukum kepada subjek
hukum lainnya (hak mutlak) dan dapat pula berlaku pada subjek hukum tertentu
(hak relatif). Hak-hak dibatasi oleh kewajiban. Kewajiban merupakan tugas yang
yang dibebankan oleh hukum kepada subjek hukum dan yang paling utama adalah
kewajiban untuk tidak menyalah gunakan hak.30
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa hak dan kewajiban
adalah sesuatu yang diperoleh dari pihak lain dengan kewenangan menuntut jika
tidak dipenuhi pihak lain dan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan
pihak yang satu pada pihak lain dengan pembebanan sanksi jika lalai atau
dilalaikan. Wewenang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum yang dapat
berlaku pada tiap subjek hukum lain dan pada subjek hukum tertentu.
29
Ibid, hlm. 115. 30
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.
224.
19
3. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam pelaksanaa penelitian.31
Konseptual dalam penelitian ini adalah:
a. Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana
mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan
mengobati penyakit dan diakukan menurut hukum dalam pelayanan
kesehatan.32
b. Dokter Intrensip menurut Pasal 1 angka 1 Permenkes Nomor 39 tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Program Internsip Dokter dan Dokter Gigi Indonesia
adalah dokter peserta program pemantapan mutu profesi dokter dan dokter
gigi untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara
terintegrasi, komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan
kedokteran keluarga, dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil
pendidikan dengan praktik di lapangan.
c. Wahana Internsip menurut Pasal 6 Ayat (2) Permenkes Nomor 39 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Program Interensip Dokter dan Dokter Gigi
Indonesia meliputi rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat serta
jejaringnya yang ditetapkan oleh Menteri
d. Komite Internsip Dokter Indonesia yang selanjutnya disingkat KIDI menurut
Pasal 1 angka 4 Permenks Nomor 39 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Program Interensip Dokter dan Dokter Gigi Indonesia adalah komite yang
membantu Mentreri dalam rangka penyelenggaraan program Internsip Dokter.
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, hlm.
72. 32
Endang Kusuma Astuti, Op.Cit, hlm.17.
20
e. Perlindungan hukum adalah upaya untuk memberikan pengayoman terhadap
hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di
berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan
perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga
prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan
belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan
sosial. 33
f. Tanggung jawab hukum adalah suatu akibat keharusan bagi seseorang tentang
perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu
perbuatan.34
g. Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan adalah upaya yang
dilakukan oleh suatu organisasi baik secara sendiri atau bersama-sama untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan perseorangan, kelompok dan atau masyarakat.35
h. Transaksi Terapeutik menurut Veronica Komalawati adalah hubungan hukum
antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara profesional,
didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu
di bidang kedokteran.36
33
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm.55. 34
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.
26. 35
Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja Karya,
Bandung, 2007, hlm. 5. 36
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 1.
21
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris:
a. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara
menelaah kaidah-kaidah atau norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan
dengan masalah yang akan dibahas.37
Dengan kata lain penelitian ini
menggunakan jenis pendekatan hukum normatif, yaitu pendekatan hukum
yang dilakukan dengan menelaah norma-norma tertulis sehingga merupakan
data sekunder, yang bersumber dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder serta bahan hukum tersier. Pendekatan ini dilakukan untuk
mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-teori
dan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.
b. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara
mengadakan penelitian dengan mengumpulkan data primer yang diperoleh
secara langsung dari objek penelitian melalui wawancara dengan responden
dan narasumber yang berhubungan dengan penelitian.38
37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Edisi Revisi, UI Press, Jakarta, 2007,
hlm. 56. 38
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm.
10.
22
2. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dilihat dari sudut sumbernya dibedakan antara data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.39
Dalam
mendapatkan data dan jawaban pada penulisan tesis ini, serta sesuai dengan
pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber. Data
primer ini merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yaitu yang
berkaitan dengan penelitian ini. Data primer pada penelitian ini diperoleh
dengan cara wawancara.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara mempelajari,
membaca, mengutip, literatur atau perundang-undangan yang berkaitan
dengan pokok permasalahn dari penelitian ini. Data sekunder ini meliputi 3
(tiga) bahan hukum antara lain:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan hukum
tetap dan mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari:
a) Undang-Undang Dasar 1945
b) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
c) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
d) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
e) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran
39
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 11.
23
f) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
g) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Program Internsip Dokter dan Dokter Gigi Indonesia
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur dan
karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan pada penelitian.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti website, kamus dan ensiklopedi.
3. Narasumber
Narasumber adalah pihak-pihak yang dapat menjadi sumber informasi dalam
suatu penelitian dan memiliki pengetahuan serta informasi yang dibutuhkan sesuai
dengan permasalahan yang dibahas. Adapun narasumber penelitian ini adalah
pihak-pihak yang memiliki peranan dalam pelaksanaan Program Internsip Dokter
Indonesia (PIDI) khususnya di wilayah Lampung yang terdiri dari:
a. Wakil Ketua IDI Wilayah Lampung : 1 orang
b. Ketua Persi Wilayah Lampung : 1 orang
c. Humas Dinas Kesehatan Provinsi Lampung : 1 orang
d. Sekretaris Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI)
Provinsi Lampung : 1 orang
e. Dokter Pendamping PIDI Rumah Sakit : 1 orang
f. Dokter Pendamping PIDI Puskesmas : 1 orang
g. Koordinator dokter PIDI Provinsi Lampung : 1 orang+
Jumlah : 7 orang
24
4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
a. Prosedur Pengumpulan data
Prosedur pengumpulan data pada penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara:
1) Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis
dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,
mencatat, mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan,
buku-buku, media masa dan bahan hukum tertulis lainnya yang ada
hubungannya dengan penelitian yang penulis lakukan.
2) Studi Lapangan (Field Reaserch)
Studi lapangan merupakan pengumpulan data yang dilakukan untuk
memperoleh data primer dengan menggunakan metode wawancara terbuka
kepada responden, materi-materi yang akan dipertanyakan telah dipersiapkan
terlebih dahulu oleh penulis sebagai pedoman, metode ini digunakan agar
responden bebas memberikan jawaban-jawaban dalam bentuk uraian.
b. Prosedur Pengolahan data
Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun wawancara
selanjutnya di olah dengan tahapan sebagai berikut:
1) Seleksi Data (Editing)
Mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, benar dan
sesuai dengan masalah.
2) Klasifikasi data (classification)
Penempatan dapat mengelompokkan data yang melalui proses
pemeriksaan serta penggolongan data.
25
3) Sistematisasi data (systematizing)
Menyusun data yang telah diperiksa secara sistimatis sesuai dengan
urutannya sehingga pembahasan lebih mudah dipahami.40
5. Analisis Data
Analisis pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu dengan cara
melakukan penafsiran hukum untuk menganalisis data yang telah diperoleh
dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan serta menguraikan data, baik
data primer maupun sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian. Penarikan
kesimpulan dilakukan secara induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat
khusus kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.
40
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm. 126.
26
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Hukum
Pengertian perlindungan hukum adalah upaya memberikan pengayoman kepada
hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan
kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya
hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa
aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari
pihak manapun.41
Perlindungan hukum sebagai perlindungan akan harkat dan martabat, serta
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum
berdasarkan ketentuan hukum atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang
akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen,
hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.42
Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini
hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum,
terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh
41
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 55. 42
Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 25.
27
manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban
untuk melakukan suatu tindakan hukum.43
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai
manusia.44
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-
kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya
ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.45
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi
subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah
sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-
undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta
memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan kewajiban.
43
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1987, hlm. 102. 44
Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004, hlm. 3. 45
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta;
magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003, hlm. 14.
28
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah
terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.46
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua macam,
yaitu:
a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan
untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah
terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi
tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena
dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong
untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada
diskresi. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan
hukum preventif.
b. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan
Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip
perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber
dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang
46
Ibid, hlm. 20.
29
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan
kepada pembatasan pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan
pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap
tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan
dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.47
Pengertian perlindungan menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan
bahwa perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang
wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur
serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum
harus ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dalam
hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya
masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita
hukum (Rechtidee) dalam negara hukum (Rechtsstaat), bukan negara kekuasaan
(Machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia,
Penegakan hukum harus memperhatikan 4 (empat) unsur:
47
Philipus M. Hadjon, Op Cit, hlm. 30.
30
a. Kepastian hukum (Rechtssicherkeit)
b. Kemanfaat hukum (Zeweckmassigkeit)
c. Keadilan hukum (Gerechtigkeit)
d. Jaminan hukum (Doelmatigkeit).48
Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat
dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum dan isi
hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara.
Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan
baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi
penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya
menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum
dan keadilan hukum.49
Hukum berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan
hukum dapat berlangsung normal, damai, dan tertib. Hukum yang telah dilanggar
harus ditegakkan melalui penegakan hukum. Adapun penegakan hukum
menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan
adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan
tertib, aman dan damai. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan
Penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia maka pelaksanaan hukum harus
memberi manfaat, kegunaan bagi masyarakat jangan sampai hukum dilaksanakan
48
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 43. 49
Ibid, hlm. 44.
31
menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Masyarakat yang mendapatkan
perlakuan yang baik dan benar akan mewujudkan keadaan yang tata tentrem
raharja. Hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam
kenyataan yang senyatanya, dengan perlindungan hukum yang kokoh akan
terwujud tujuan hukum secara umum: ketertiban, keamanan, ketentraman,
kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan.
Aturan hukum baik berupa undang-undang maupun hukum tidak tertulis, dengan
demikian, berisi aturan-aturan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi
individu bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan
itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan semacam itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum. Dengan demikian, kepastian hukum mengandung
dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat
individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan
dua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal dalam undang-undang, melainkan
juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu
dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.50
50
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 157-
158.
32
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti
tidak menimbulkan keragua-raguan (multi tafsir) dan logis dalam arti ia menjadi
suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian
aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma.
Peran pemerintah dan pengadilan dalam menjaga kepastian hukum sangat penting.
Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan yang tidak diatur oleh
undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang. Apabila hal itu terjadi,
pengadilan harus menyatakan bahwa peraturan demikian batal demi hukum,
artinya dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang terjadi karena adanya
peraturan itu harus dipulihkan seperti sediakala. Apabila pemerintah tetap tidak
mau mencabut aturan yang telah dinyatakan batal itu, hal itu akan berubah
menjadi masalah politik antara pemerintah dan pembentuk undang-undang. Yang
lebih parah lagi apabila lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-
undang tidak mempersoalkan keengganan pemerintah mencabut aturan yang
dinyatakan batal oleh pengadilan tersebut. Sudah barang tentu hal semacam itu
tidak memberikan kepastian hukum dan akibatnya hukum tidak mempunyai daya
prediktibilitas.51
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum
adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia
serta pengakuan terhadahak asasi manusia di bidang hukum. Prinsip perlindungan
51
Ibid, hlm. 159-160.
33
hukum bagi rakyat Indonesia bersumber pada Pancasila dan konsep Negara
Hukum, kedua sumber tersebut mengutamakan pengakuan serta penghormatan
terhadap harkat dan martabat manusia. Sarana perlindungan hukum ada dua
bentuk, yaitu sarana perlindungan hukum preventif dan represif.
B. Tanggung Jawab Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah
kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah
suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan
kepadanya.52
Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas
konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika
atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.53
Selanjutnya menurut Titik
Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang
menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain
sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk
memberi pertanggungjawabannya.54
Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam,
yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan pertanggungjawaban
atas dasar kesalahan (lilability without based on fault) dan pertanggungjawaban
tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang dikenal dengan
52
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 287. 53
Soekidjo Notoatmojo, Op.Cit, hlm. 87. 54
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2010, hlm. 48.
34
tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick liabiliy).55
Prinsip dasar
pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang
harus bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan karena merugikan orang
lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen
penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung
bertanggung jawab sebagai risiko usahanya.
Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan
melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu:
a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan
sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan
sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa
yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.
b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena
kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan
(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah
bercampur baur (interminglend).
c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa
mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya baik
secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya
tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.56
55
Ibid, hlm. 49. 56
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010, hlm.
503.
35
Beberapa prinsip dalam tanggung jawab adalah sebagai berikut:
1. Prinsip bertanggung jawab berdasarkan kelalaian.
Tanggung jawab berdasarkan kesalahan adalah suatu prinsip tanggung jawab
yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditentukan oleh
perilaku produsen. Sifat subjektivitas muncul pada kategori bahwa seseorang
yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada pihak lain.
Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya
kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak pihak lain untuk
mengajukan tuntutan kerugian. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian
produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian diajukan dengan bukti-
bukti, yaitu:
a. Pihak tergugat merupakan orang yang benar-benar mempunyai kewajiban
untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian
konsumen.
b. Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas
produknya sesuai dengan standar yang aman untuk dikonsumsi atau
digunakan.
c. Konsumen penderita kerugian. Kelalaian produsen merupakan faktor yang
mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat
antara kelalaian dan kerugian konsumen). Dalam prinsip tanggung jawab
berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat
responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen57
57
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 52.
36
2. Tanggung jawab atas kelalaian dengan persyaratan hubungan kontrak.
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu
tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan
kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena gugatan baru dapat
diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur kesalahan atau
kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Teori
tanggung jawab produk berdasarkan kelalaian tidak memberikan perlindungan
yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua
kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen, yaitu, pertama,
tuntutan adanya hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat
dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa
kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui. 58
3. Kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap syarat hubungan kontrak.
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah
prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk
beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan
kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti
kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memihak kepada kepentingan
konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami
kerugian atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki
kepentingan hukum dengan produsen.
58
Ibid, hlm. 53-54.
37
4. Kelalaian tanpa persyaratan hubungan kontrak.
Setelah prinsip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa
pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam
perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap
berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetap
berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan hubungan kontrak.
5. Prinsip praduga lalai dan bertanggung jawab dengan pembuktian terbalik
Tahap perkembangan terakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan
kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip tanggung jawab
berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna, adanya keringanan bagi
konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan kelalaian, namun
prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini
merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab mutlak.
Tanggung jawab berkaitan dengan kewajiban, dalam konsep keperdataan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hubungan hukum yang melahirkan
hak dan kewajiban. Hak adalah sesuatu yang diperoleh dari pihak lain dengan
kewenangan menuntut jika tidak dipenuhi oleh pihak lainnya itu. Kewajiban
adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh pihak yang satu kepada pihak yang
lain dengan pembebanan sanksi jika lalai atau dilalaikan. Hak dianggap suatu
kebolehan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukannya, jika hak
sebenarnya merupakan wewenang yang diberikan oleh hukum kepada subjek
hukum lainnya (hak mutlak) dan dapat pula berlaku pada subjek hukum tertentu
(hak relatif). Hak-hak dibatasi oleh kewajiban. Kewajiban merupakan tugas yang
38
yang dibebankan oleh hukum kepada subjek hukum dan yang paling utama adalah
kewajiban untuk tidak menyalah gunakan hak.59
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa hak dan kewajiban
adalah sesuatu yang diperoleh dari pihak lain dengan kewenangan menuntut jika
tidak dipenuhi pihak lain dan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan
pihak yang satu pada pihak lain dengan pembebanan sanksi jika lalai atau
dilalaikan. Wewenang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum yang dapat
berlaku pada tiap subjek hukum lain dan pada subjek hukum tertentu.
Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial dalam
suatu masyarakat, yaitu bahwa hukum akan melayani anggota-anggota
masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber-
sumber daya, serta melindungi kepentingan anggota masyarakat itu sendiri oleh
karenanya hukum menjadi semakin penting peranannya sebagai sarana untuk
mewujudkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Kesadaran yang
menyebabkan bahwa hukum merupakan instrumen penting untuk mewujudkan
tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan
aktif digunakan untuk mengatur masyarakat, melalui penggunaan peraturan
hukum yang dibuat dengan sengaja.
Sehubungan dengan uraian mengenai pertanggungjawaban hukum tersebut maka
dokter internsip mengemban amanat sebagai tenaga kesehatan sehingga
mengemban tanggung jawab hukum sebagai tenaga kesehatan pula. Setiap
59
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.
224.
39
tindakan keprofesian oleh peserta program yang dijalankan memiliki tanggung
jawab hukumnya. Sanksi pelanggaran hukum mengacu pada peraturan dan
yurisprudensi hukum mengenai tenaga kesehatan. Sanksi pidana, perdata, serta
administrasi dapat ditetapkan sesuai dengan peraturan menteri kesehatan dan
konsil kedokteran Indonesia tentang dokter internsip. Selama proses hukum
dokter internsip akan ditunda program internsipnya sampai diperoleh putusan
yang berkekuatan hukum tetap.
C. Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI)
1. Profesi Dokter
Sejak permulaan sejarah peradaban umat manusia, sudah dikenal hubungan
kepercayaan (duciary relationship) antara dua insan yaitu sang pengobat dan
penderita yang melahirkan konsep profesi. Manusia penderita atau pasien yang
sangat memerlukan pertolongan fisik, mental, sosial dan spiritual mempercayakan
bulat-bulat dirinya, khususnya kelangsungan kehidupan, penderitaan,
ketergantungan dan kerahasiaannya kepada sang pengobat. Kepercayaan bulat
yang teramat besar ini sebagai inti jaminan proses hubungan pengobat-pasien
tersebut memunculkan tanggung jawab sang pengobat sebagai profesi.
Universalitas tanggung jawab profesi pengobat yang kemudian di era modern
dikenal sebagai dokter adalah tetap abadi, sepanjang masa.60
Organisasi profesi merupakan organisasi yang anggotanya adalah para praktisi
yang menetapkan diri mereka sebagai profesi dan bergabung bersama untuk
60 Kode Etik Kedokteran (KODEKI), 2012, hlm. 1.
40
melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang tidak dapat mereka laksanakan dalam
kapasitas mereka seagai individu. organisasi profesi sebagai organisasi dari
praktisi yang menilai/mempertimbangkan seseorang atau yang lain mempunyai
kompetensi profesional dan mempunyai ikatan bersama untuk menyelenggarakan
fungsi sosial yang mana tidak dapat dilaksanakan secara terpisah sebagai individu
Organisasi profesi mempunyai dua perhatian utama yaitu kebutuhan hukum untuk
melindungi masyarakat dari perawat yang tidak dipersiapkan dengan baik dan
kurangnya standar dalam keperawatan. Organisasi profesi menyediakan
kendaraan untuk perawat dalam menghadapi tantangan yang ada saat ini dan akan
datang serta bekerja kearah positif terhadap perubahan-perubahan profesi sesuai
dengan perubahan sosial.61
Organisasi profesi umumnya bertujuan melindungi kepentingan publik maupun
profesional pada bidang tersebut dan dapat memelihara atau menerapkan suatu
standar pelatihan dan etika pada profesi mereka untuk melindungi kepentingan
publik organisasi yang anggotanya adalah orang-orang yang mempunyai profesi
yang sama. Adapun ciri-ciri organisasi profesi adalah sebagai berikut:
1) Umumnya untuk satu profesi hanya terdapat satu organisasi profesi yang para
anggotanya berasal dari satu profesi, dalam arti telah menyelesaikan
pendidikan dengan dasar ilmu yang sama.
2) Misi utama organisasi profesi adalah untuk merumuskan kode etik dan
kompetensi profesi serta memperjuangkan otonomi profesi.
61
E.Y.Kanter, Etika Profesi Hukum (Sebuah Pendekatan Sosio Religius), Storia Grafika,
Jakarta, 2001. hlm. 25.
41
3) Kegiatan pokok organisasi profesi adalah menetapkan serta merumuskan
standar pelayanan profesi, standar pendidikan dan pelatihan profesi serta
menetapkan kebijakan profesi.62
Peran organisasi profesi adalah sebagai berikut:
1) Pembina, pengembang dan pengawas terhadap mutu pendidikan profesi.
2) Pembina, pengembang dan pengawas terhadap pelayanan profesi.
3) Pembina serta pengembang ilmu pengetahuan dan tehknologi profesi.
4) Pembina, pengembang dan pengawas kehidupan profesi63
Organisasi profesi dapat melakukan penilaian terhadap kemampuan anggotanya
secara profesional dalam menjalankan fungsinya, di mana fungsi tersebut tidak
dapat dijalankan dalam kapasitas sebagai individu. Selain itu dapat pula
mengendalikan pelayanan dari keanggotaannya untuk meyakinkan bahwa
masyarakat menerima pelayanan yang aman dan berkualitas.
Keberadaan organisasi profesi di bidang kesehatan diatur dalam Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan:
(1) Tenaga kesehatan harus membentuk Organisasi Profesi sebagai wadah
untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga Kesehatan.
(2) Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu)
Organisasi Profesi.
(3) Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
mengatur:
62
Ibid, hlm. 26. 63
Ibid, hlm. 26.
42
(1) Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan
Tenaga Kesehatan, setiap Organisasi Profesi dapat membentuk Kolegium
masing-masing Tenaga Kesehatan.
(2) Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) merupakan badan otonom di dalam Organisasi Profesi.
(3) Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) bertanggung jawab kepada Organisasi Profesi.
Dokter bahkan dikenal sebagai pelopor profesi luhur tertua dalam sejarah karena
dimensi tanggung jawabnya di bidang kemanusiaan yang membuahkan ahlak
peradaban budaya sejagat. Budaya ini diyakini akan abadi sepanjang sejarah
manusia sebagai mahluk sosial karena moralitas luhur kedokteran sebagai sisi
deontologik dan tipe ideal manusia penolong kemanusiaan senantiasa
meneguhkan semata-mata kewajiban atau tanggung jawab dan tidak segera atau
bahkan selamanya tidak akan mengedepankan hak-hak profesi ketika
melaksanakan pengabdian profesinya.64
Profesi dokter merupakan profesi yang tertua dan dikenal sebagai profesi yang
mulia karena ia berhadapan dengan hal yang paling berharga dalam hidup
seseorang yaitu masalah kesehatan, kehidupan dan kematian yang hakikatnya
berdasarkan panggilan jiwa (calling) untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan
berlandaskan moralitas yang kental dengan prinsip-prinsip kejujuran, simpati,
empati, keikhlasan, kepedulian kepada sesama dalam rasa kemanusiaan. Dengan
demikian dalam mengobati orang sakit (alturism) seorang dokter harus memiliki
Intellectual Question (IQ), Emotional Question (EQ), dan Spiritual Question (SQ)
yang tingi dan berimbang. Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran, profesi dokter atau dokter gigi adalah
64
Ibid, hlm.27.
43
suatu pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang
diperoleh melalui pendidikan berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani
masyarakat.65
Dokter sebagai salah satu pekerjaan profesi (profesio) yang berarti pengakuan
merupakan pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan latihan tertentu, memiliki
kedudukan yang tinggi dalam masyarakat dalam makna lain profesi adalah suatu
tugas atau kegiatan fungsional dari suatu kelompok tertentu yang “diakui” atau
“direkognisi” dalam melayani masyarakat.66,67
Dokter sebagai pekerjaan profesi sekurang-kurangnya memiliki ciri sebagai
berikut:
a. Mengikuti pendidikan sesuai standar nasional, artinya yang termasuk dalam
profesi yang bersangkutan harus telah menyelesaikan pendidikan profesi
tersebut. Orang yang berprofesi dokter, dengan sendirinya harus telah lulus
pendidikan profesi dokter (bukan hanya sarjana kedokteran).
b. Pekerjaannya berdasarkan etika profesi. Artinya, dalam menjalankan tugas atau
profesinya seseorang harusberlandaskan atau mengacu pada etika profesi yang
telah dirumuskan oleh organisasi profesinya.
c. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan materi. Dalam
menjalankan tugasnya seorang profesional tidak didasarkan pada keuntungan
materi semata tetapi harus mengutamakan terlebih dahulu panggilan
kemanusiaan. Seorang dokter dalam menolong pasien, yang didahulukan
65 Chrisdiono M. Achadiat, Pernik-Pernik Hukum Kesehatan Melindungi Pasien dan
Dokter, Widya Medika, Jakarta, 1996, hlm. 65 66
Soekidjo Notoatmodjo, Op.Cit, hlm. 36. 67
Ibid. hlm. 37.
44
adalah menyelamaykan pasien bukan berpikir siapa yang membayar jasanya
nanti.
d. Pekerjaan legal (melalui perizinan). Untuk menjalankan tugas atau praktik,
profesi ini dituntut perizinan secara hukum, atau izin praktik.
e. Anggota-anggotanya belajar sepanjang hayat (long life learning). Seorang
anggota profesi memiliki kewajiban untuk selalu meningkatkan kemampuan
dan memperbaharui ilmu melalui belajar terus-menerus.
f. Anggota-anggotanya bergabung dalam suatu organisasi profesi, atau lulus dari
pendidikan profesi diwajibkan untuk menjadi anggotao organisasi profesi yang
bersangkutan. Seorang yang sudah lulus pendidikan profesi dokter harus
menjadi anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
2. Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI)
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia
khususnya di bidang. Undang-Undang Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran dan perkembangan global dalam etika praktik
kedokteran mensyaratkan bahwa pasien tidak boleh dijadikan objek praktik
mahasiswa kedokteran. Hal ini dilakukan untuk menghormati hak-hak asasi
pasien. Adanya perubahan mendasar dalam pengendalian praktik kedokteran
berdampak pada proses pendidikan dokter, khususnya masa pendidikan klinik
selama masa kepaniteraan klinik. Selama masa kepaniteraan klinik, mahasiswa
tidak lagi menangani pasien secara mandiri tanpa supervisi yang ketat. Tanggung
45
jawab mutu pelayanan dan legal aspek selama kepaniteraan klinik berada pada
pembimbingnya.
Tuntutan global dunia kedokteran menghantarkan Indonesia untuk ikut
memajukan kinerja lulusan Pendidikan Kedokteran. Guna mencapai kesetaraan
global dengan negara lain dengan adanya Surat Tanda Registrasi (STR)/bukti
pelaksanaan program Internsip dipersyaratkan untuk dapat melanjutkan
pendidikan atau bekerja di Luar Negeri. Berdasarkan hasil studi orientasi proyek
World Medical Education (WFME), setiap negara di dunia melaksanakan
program Internship bagi setiap Dokter yang baru lulus. Indonesia adalah Negara
terakhir di ASEAN yang melaksanakan Internship.
Di beberapa negara Eropa program internship berlangsung selama 2 sd 3 tahun
setelah lulus pendidikan dokter. Di Indonesia secara resmi program ini telah
dibahas dan disepakati oleh Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Kementerian Pendidikan
Nasional sejak tahun 2008.Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI)
dilaksanakan selama 1 (satu) tahun, yaitu 8 (delapan) bulan di Rumah Sakit dan 4
(empat) bulan di Puskesmas.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran untuk memberikan kompentensi kepada dokter maka dilaksanakan
pendidikan dan pelatihan kedokteran sesuai dengan standar pendidikan profesi
kedokteran. Semua lulusan Fakultas Kedokteran atau Program Studi Pendidikan
Dokter yang menggunakan kurikulum berbasis kompetensi mengikuti program ini
untuk memperoleh sertifikat kompetensi sebagai Dokter Layanan Primer.
46
Legal penyelenggaraan program internsip dokter di Indonesia adalah Peraturan
Menteri kesehatan Republik Indonesia No.299/Menkes/Per/II/2010 tentang
Penyelengaraan Program Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip.Konsil
Kedokteran Indonesia telah menerbitkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 1/KKI/Per/2010 tentang Registasi Dokter Program Internsip. Komite
Internsip Dokter Indonesia sebagai Pelaksana Program Internsip Dokter telah
diangkat dan ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 138/Menkes/SK/I/2011 tentang Komite Internsip Dokter
Indonesia. Pada Tahun 2013, legal aspek pelaksanaan PIDI diperkuat dengan
ditetapkannya Undang-Undang No.20 tentang Pendidikan Kedokteran.
3. Pelaksanaan Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI)
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) adalah tahapan pelatihan keprofesian
pra-registrasi untuk mengasah dan memberi pengalaman dokter baru di sarana
pelayanan kesehatan yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI).68
Program Internsip Pelaksanaan
Progam Internsip Dokter untuk pertama kali dilaksanakan di Sumatera Barat pada
bulan Maret 2010. Pelaksanaan ditandai dengan Soft Launching Internsip oleh
Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Menteri Pendidikan
Nasional di Padang pada tanggal 22 Februari 2010. Peserta pertama adalah dokter
lulusan Fakultas Kedokteran Universits Andalas.69
68
Erwin G. Kristanto, Op.Cit. hlm. 65. 69
https://id.scribd.com/document/325926001/Program-Internsip-Dokter-Indonesia,diakses
Minggu 27 Mei 2018.
47
Kegiatan yang dilakukan peserta internsip dokter Indonesia yaitu:
1. Melakukan layanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga pada
pasien secara profesional yang meliputi kasus medik dan bedah, kedaruratan
dan kejiwaan baik pada anak, dewasa dan usia lanjut, pada keluarga maupun
pada masyarakat secara holistik, terpadu dan paripurna
2. Melakukan konsultasi dan rujukan
3. Melakukan kegiatan ilmiah medik dan non medik yang terkait dengan
pendekatan kedokteran dan keluarga.70
Sebelum menjalankan program internsip, dokter internsip wajib mengurus STR
internsip secara kolektif ke Konsil Kedokteran Indonesia. Peserta program
internsip juga wajib mengurus Surat Izin Praktik (SIP) Internsip yang diterbitkan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kelalaian pemenuhan syarat ini menjadi
tanggung jawab hukum dokter internsip dan sarana pelayanan kesehatan di mana
dokter internsip tersebut melakukan praktik kedokterannya.
Calon peserta program internsip akan memperoleh pembekalan selama tiga oleh
KIDI provinsi dan melakukan pendandatanganan kontrak internsip. Calon peserta
juga akan memperoleh jadwal kegiatan internsip selama 12 bulan, berupa kegiatan
di ruang rawat inap, poliklinik, UGD rumah sakit dan puskesmas.71
Dalam mengelola upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat,
peserta program didampingi oleh seorang dokter pendamping. Kegiatan dokter
70
http://bppsdmk.kemkes.go.id/web/filesa/peraturan/16.pdf, diakses Minggu 27 Mei
2018. 71
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Pedoman Peserta Internsip Dokter Indonesia. Buku 2, Jakarta, 2009,
hlm. 22.
48
internsip setiap tiga bulan dilaporkan dan dilakukan evaluasi dalam bentuk buku
log (log book) yang ditanda tangani oleh dokter pendamping. Pada akhir masa
internsip, dokter pendamping melakukan evaluasi pencapaian program internsip.
Peserta yang telah mencapai tujuan program akan memperoleh surat rekomendasi
dari dokter pendamping dan pimpinan wahana yang digunakan untuk mengurus
Surat Laporan Pelaksanaan Internsip (SLPI) yang akan diterbitkan oleh KIDI
provinsi. SLPI inilah yang akan digunakan sebagai rekomendasi penerbitan STSR
oleh KIDI Pusat.72
Hak-hak Dokter Internsip adalah sebagai berikut:
a. Mendapatkan STR internship
b. Mendapatkan SIP internship (biaya ditanggung oleh pemerintah)
c. Mendapatkan Bantuan Biaya Hidup
d. Mendapatkan Kesempatan untuk Menerapkan kompetensinya secara mandiri
dan komprehensif
e. Mendapatkan pendampingan
f. Diperlakukan dengan layak sebagaimana hak dan martabat seorang dokter73
Kewajiban dokter internsip adalah sebagai berikut:
a. Melakukan layanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga pada
pasien secara profesional yang meliputi kasus medik dan bedah, kedaruratan
dan kejiwaan baik pada anak, dewasa dan usia lanjut, pada keluarga maupun
pada masyarakat secara holistik, terpadu dan paripurna.
b. Melakukan konsultasi dan rujukan
72
Ibid, hlm. 25.
73
Ibid, hlm. 26.
49
c. Melakukan kegiatan ilmiah medik dan non medik yang terkait dengan
pendekatan kedokteran dan keluarga
d. Bekerja 40 jam seminggu, selama 1 (satu) tahun
e. Mematuhi peraturan yang berlaku di wahana.
f. Melakukan layanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga pada
pasien secara profesional yang meliputi kasus medik dan bedah, kedaruratan
dan kejiwaan baik pada anak, dewasa dan usia lanjut, pada keluarga maupun
pada masyarakat secara holistik, terpadu dan paripura. 74
Pimpinan rumah sakit tempat dokter internsip bekerja, berwenang menetapkan
kewenangan klinis (clinical privilige) dokter internsip melalui penugasan klinis
(clinical appointment) dengan mengingat kebutuhan program keprofesian dokter
tersebut. Penugasan klinis ini harus ditelaah oleh komite medis mengingat risiko
yang dapat timbul dari tindakan keprofesian yang dilakukan oleh dokter internsip.
Dokter internsip yang bekerja di rumah sakit berbeda mungkin memperoleh
kewenangan dan penugasan klinis yang berbedaa. Penugasan klinis merupakan
peraturan internal rumah sakit yang harus dipatuhi dan ditaati oleh setiap dokter
internsip.
Sarana pelayanan kesehatan akan terpapar pada risiko tanggung gugat perdata
yang lebih besar bila tidak mencermati pengaturan internal terkait dengan dokter
internsip. Penugasan klinis dokter internsip dengan tepat di rumah sakit
diperlukan untuk mengurangi risiko terhadap rumah sakit dan tenaga kesehatan
lain yang terkait dalam pelayanan kesehatan pasien.
74
Ibid, hlm. 27.
50
Risiko tanggung renteng gugatan perdata akan amat membebani dokter internsip
dan rumah sakit bila dikeluarkan penugasan klinis yang keliru oleh pimpinan
rumah sakit. Rumah sakit perlu mencermati bahwa medical staff bylaws bersifat
tailor made sehingga materi dan substansi tidak mungkin disamakan antara satu
rumah sakit dan rumah sakit lainnya. Komite medik seyogyanya membuat bylaws
terkait pelaksanaan keprofesian dokter internsip agar dokter internsip serta rumah
sakit terhindar dari masalah etik dan hukum ke depannya.
D. Pelayanan Kesehatan
1. Pengertian Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan (health care service) merupakan hak setiap orang yang
dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945 untuk melakukan upaya peningkatkan
derajat kesehatan baik perseorangan, maupun kelompok atau masyarakat secara
keseluruhan.75
Defenisi Pelayanan kesehatan menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Tahun 2009 (Depkes RI) yang tertuang dalam Undang-
Undang Kesehatan tentang kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan
sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan, perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat.
Berdasarkan Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Kesehatan diketahui bahwa
pelayanan kesehatan secara umum terdiri dari dua bentuk pelayanan kesehatan
yaitu sebagai berikut:
75
Veronika komalawati. Op,Cit, hlm. 77.
51
a. Pelayanan kesehatan perseorangan (medical service)
Pelayanan kesehatan ini banyak diselenggarakan oleh perorangan secara
mandiri (self care), dan keluarga (family care) atau kelompok anggota
masyarakat yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan
kesehatan perseorangan dan keluarga. Upaya pelayanan perseorangan tersebut
dilaksanakan pada institusi pelayanan kesehatan yang disebut rumah sakit,
klinik bersalin, praktik mandiri.
b. Pelayanan kesehatan masyarakat (public health service)
Pelayanan kesehatan masyarakat diselenggarakan oleh kelompok dan
masyarakat yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang mengacu pada tindakan promotif dan preventif. Upaya pelayanan
masyarakat tersebut dilaksanakan pada pusat-pusat kesehatan masyarakat
tertentu seperti puskesmas.
Kegiatan pelayanan kesehatan secara paripurna diatur dalam Pasal 52 Ayat (2)
Undang-Undang Kesehatan:
a. Pelayanan kesehatan promotif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosi kesehatan.
b. Pelayanan kesehatan preventif, suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu
masalah kesehatan/penyakit.
c. Pelayanan kesehatan kuratif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, pengendalian kecacatan
agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
d. Pelayanan kesehatan rehabilitatif, kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat, semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
52
Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di puskesmas, klinik, dan rumah sakit
diatur secara umum dalam Undang-Undang Kesehatan, dalam Pasal 54 Ayat (1)
Undang-Undang Kesehatan berbunyi bahwa penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata
dan nondiskriminatif. Dalam hal ini setiap orang atau pasien dapat memperoleh
kegiatan pelayanan kesehatan secara profesional, aman, bermutu, anti
diskriminasi dan efektif serta lebih mendahulukan pertolongan keselamatan
nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.
2. Dasar Hukum Pelayanan Kesehatan
Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, maka
semakin berkembang juga aturan dan peranan hukum dalam mendukung
peningkatan pelayanan kesehatan, alasan ini menjadi faktor pendorong pemerintah
dan institusi penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menerapkan dasar dan
peranan hukum dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang berorientasi
terhadap perlindungan dan kepastian hukum pasien.76
Dasar hukum pemberian pelayanan kesehatan secara umum diatur dalam Pasal 53
Undang-Undang Kesehatan, yaitu:
1. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan
penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan
masyarakat.
3. Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding
kepentingan lainnya.
76
Amril Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997, hlm. 56.
53
Kemudian dalam Pasal 54 Undang-Undang Kesehatan juga mengatur pemberian
pelayanan kesehatan, yaitu:
1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung
jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
3. Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
Pelayanan kesehatan itu sebenarnya juga merupakan perbuatan hukum, yang
mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan
dalam hal ini rumah sakit terhadap penerima pelayanan kesehatan, yang meliputi
kegiatan atau aktivitas profesional di bidang pelayanan preventif dan kuratif untuk
kepentingan pasien. Secara khusus dalam Pasal 29 Ayat (1) huruf (b) Undang-
Undang Rumah Sakit, rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
Peraturan atau dasar hukum dalam setiap tindakan pelayanan kesehatan di rumah
sakit wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-
Undang Kesehatan sebagai dasar dan ketentuan umum dan ketentuan Pasal 29
Ayat (1) huruf (b) UU Rumah Sakit dalam melakukan pelayanan kesehatan.
Dalam penyelenggaraan kesehatan di rumah sakit mencakup segala aspeknya
yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.
Melalui ketentuan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Rumah Sakit
dalam hal ini pemerintah dan institusi penyelenggara pelayanan kesehatan yakni
rumah sakit, memiliki tanggung jawab agar tujuan pembangunan di bidang
54
kesehatan mencapai hasil yang optimal, yaitu melalui pemanfaatan tenaga
kesehatan, sarana dan prasarana, baik dalam jumlah maupun mutunya, baik
melalui mekanisme akreditasi maupun penyusunan standar, harus berorientasi
pada ketentuan hukum yang melindungi pasien, sehingga memerlukan perangkat
hukum kesehatan yang dinamis yang dapat memberikan kepastian dan
perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan, dan memberi dasar bagi
pelayanan kesehatan.
3. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan
Hubungan hukum antara pasien dengan penyelenggara kesehatan dan pihak
pelayanan kesehatan (dalam hal ini rumah sakit, dokter, perawat, bidan) dalam
melakukan hubungan pelayanan kesehatan. Pertama adalah hubungan medis yang
diatur oleh kaedah-kaedah medis, dan kedua adalah hubungan hukum yang diatur
oleh kaedah-kaedah hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Hubungan hukum yang terjadi dalam pelayanan medis ialah berdasarkan
perjanjian yang bertujuan untuk melakukan pelayanan dan pengobatan pasien
demi kesembuhan pasien.77
Hubungan Hukum dalam pelayanan kesehatan melibatkan hubungan hukum
antara Dokter dan Pasien. Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang
terkait dalam hukum kedokteran. Keduanya membentuk baik hubungan medik
maupun hubungan hukum. Dalam melaksanakan hubungan antara dokter dan
pasien, pelaksanaan hubungan keduanya selalu diatur dengan peraturan-peraturan
77
Hermien Hadiati Koeswadji . Hukum Kedokteran Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998,
hlm. 101.
55
tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya. Hubungan tanpa
peraturan akan menyebabkan ketidakharmonisan dan kesimpangsiuran.78
Pada perkembangannya, hubungan hukum antara dokter dan pasien ada dua
macam, yaitu:
1. Hubungan karena kontrak (perjanjian terapeutik)
Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang lahir karena adanya peristiwa
hukum yaitu berupa perjanjian pengobatan/perjanjian terapeutik (therapeutic
contract). Pertemuan antara dokter dan pasien, umumnya tidak didahului
pembicaraan pembukaan seperti, “bersediakah saudara mengobati penyakit
saya?, berapa pembayarannya?”. Tetapi, sekalipun tidak ada pembicaraan
pembukaan seperti itu, dapat dikatakan bahwa telah ada sepakat untuk
mengadakan hubungan dokter-pasien (doctor-patien relationship) apabila
seorang dokter dihubungi ataudipanggil oleh seseorang yang membutuhkan
pengobatan/perawatan dan dokter menerima penunjukan dirinya dengan
perbuatan yang nyata seperti melakukan tindakan untuk diagnosis.
Sebagai contoh di mana tidak dapat dikatakan ada sepakat untuk mengadakan
hubungan dokter-pasien, yaitu ketika sedang berada di kereta api, seseorang
secara kebetulan mengetahui bahwa orang yang duduk di sampingnya adalah
seorang dokter dan dalam melakukan percakapan sepintas lalu meminta nasihat
pengobatan untuk meredakan sakit kepala. Dokter itu menyebut nama obat
tertentu yang dapat digunakan, kemudian yang bersangkutan memperoleh obat
itu atas inisiatifnya sendiri dan menggunakannya, di mana pada mulanya
78
Muhammad Mulyohadi Ali, dkk, Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien, Konsil
Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 9.
56
memang terasa manfaatnya tetapi kemudian menderita akibat-akibat yang tidak
baik. Berbeda halnya dalam kasus di mana seorang dokter yang kebetulan
berada dekat tempat kecelakaan jalan raya dan memberikan pertolongan
pertama terhadap korban yang mengalami cedera berat. Di sini dokter telah
sadar secara sadar berfungsi sebagai seorang dokter.
Sedangkan bagi korban kecelakaan itu dilakukan dengan ukuran: apakah yang
pada umumnya akan dilakukan olehnya apabila ia tidak berada dalam keadaan
tidak sadar atau tidak berdaya dan ini tidak lain daripada menghubungi atau
memanggil dokter. Dengan demikian, pertolongan seorang dokter terhadap
seorang yang tidak sadar atau tidak berdaya dalam kasus sedemikian membuat
kedua belah pihak terikat pada hak dan kewajiban menurut perjanjian
pengobatan/perjanjian terapeutik (therapeutic contract).79
Pelayanan kesehatan di rumah sakit bertolak dari hubungan dasar dalam bentuk
transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik sebagai suatu transaksi mengikat
antara pihak pemberi pelayanan dengan pasien sebagai penerima pelayanan
dalam perikatan transaksi terapeutik tersebut. Untuk menilai sahnya perjanjian
hubungan hukum pelayanan kesehatan diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
bahwa unsur-unsur syarat perjanjian dalam transaksi terapeutik meliputi:
a. Adanya sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Adanya kecakapan antara pihak membuat perikatan.
c. Suatu hal tertentu yang diperbolehkan.
d. Karena suatu sebab yang halal.
79
Donald Albert Rumokoy, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm.
133-134.
57
Pelaksanaan dan pengaplikasian perjanjian itu sendiri harus dilaksanakan
dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 dan Pasal 1339
KUHPerdata dan perikatan tersebut berdasarkan perikatan usaha yang
berdasarkan prinsip kehatihatian. Perikatan antara pemberi pelayanan
kesehatan dengan pasien dapat dibedakan dalam dua bentuk perjanjian yaitu:
1. Perjanjian perawatan, di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan
pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan serta tenaga
perawatan melakukan tindakan penyembuhan.
2. Perjanjian pelayanan medis, di mana terdapat kesepakatan antara rumah
sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara
maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis.
3. Hubungan karena undang-undang (Zaakwarneming) 80
Apabila pasien dalam keadaan tidak sadar sehingga dokter tidak mungkin
memberikan informasi, maka dokter dapat bertindak atau melakukan upaya
medis tanpa seizin pasien sebagai tindakan berdasarkan perwakilan sukarela
atau menurut ketentuan Pasal 1354 KUHPerdata disebut zaakwarneming. Pada
Pasal 1354 KUHPerdata, pengertian zaakwarneming adalah mengambil alih
tanggung jawab dari seseorang sampai yang bersangkutan sanggup lagi untuk
mengurus dirinya sendiri. Pada keadaan demikian, perikatan yang timbul tidak
berdasarkan persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menuntut
hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan
sebaik-baiknya setelah pasien sadar kembali, dokter berkewajiban memberikan
80
Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di
Rumah Sakit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.94.
58
informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukan dan mengenai segala
kemungkinan yang timbul dari tindakan tersebut.81
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Pemenkes 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, “Dalam keadaan gawat darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak memerlukan
persetujuan tindakan kedokteran”. Informed consent dalam tindakan
kegawatdaruratan merupakan hal yang cukup krusial dalam hukum kesehatan.
Beberapa kasus gugatan dalam hukum kesehatan dilatarbelakangi oleh masalah
informed consent dalam tindakan kegawatdaruratan.82
E. Rumah Sakit dan Puskesmas Sebagai Wahana Pelaksanaan Program
Internsip Dokter Indonesia (PIDI)
Berdasarkan amanat peraturan perundang-undangan pada dasarnya Program
Internsip Dokter Indonesia dilaksanakan di wahana pelayanan kedokteran atau
kesehatan primer baik pemerintah ataupun swasta yang telah memenuhi syarat
sebagai wahana internsip. Adapun yang dapat menjadi wahana internsip adalah:
1. Rumah Sakit
2. Puskesmas atau Balksemas dengan atau tanpa perawatan
3. Klinik Layanan Primer lainnya83
Program Internsip dokter dilaksanakan di wahana Internsip. Wahana Internsip
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi rumah sakit dan pusat kesehatan
81
Ibid, hlm. 95. 82
Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Nuhamedika, 2004, hlm.
80. 83
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Op.Cit, hlm. 28.
59
masyarakat serta jejaringnya yang ditetapkan oleh Menteri terhadap wahana
Internsip sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dilakukan penilaian,
monitoring dan evaluasi.
Pengelola wahana internsip tersebut harus menunjukan komitmen dalam
melaksanakan Internsip. Wahana yang digunakan harus memenuhi syarat agar
peserta program dapat mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan. Syarat
tersebut adalah memiliki:
1. Layanan kedokteran dan kesehatan kepada masyarakat yang dilakukan setiap
hari kerja, layanan kedokteran kedaruratan medik, layanan kesehatan
masyarakat.
2. Layanan dengan jumlah pasien paling sedikit 20 orang atau kasus dalam
sehari dengan jenis yang bervariasi, serta ada pada sebaran usia dan sebaran
jenis kelamin yang cukup merata.
3. Sarana laboratorium klinik sederhana dan sarana farmasi yang memadai.
4. Dokter yang bersedia menjadi pendamping. 84
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya.
Rumah sakit adalah institusi yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat
dasar, spesialistik dan subspesialistik. Rumah sakit mempunyai misi memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tugasnya adalah melaksanakan
upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan
84
Ibid, hlm. 29.
60
upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu
dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan.85
Dasar hukum rumah sakit adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit. Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat. Beberapa tugas sekaligus fungsi dari rumah sakit, yaitu:
1) Melaksanakan pelayanan medis pelayanan penunjang medis
2) Melaksanakan pelayanan medis tambahan pelayanan penunjang medis
tambahan
3) Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman
4) Melaksanakan pelayanan medis khusus
5) Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan
6) Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi
7) Melaksanakan pelayanan kedokteran sosial
8) Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan
9) Melaksanakan pelayanan rawat jalan atau rawat darurat dan rawat tinggal
(observasi)
10) Melaksanakan pelayanan rawat inap
11) Melaksanakan pelayanan administratif
12) Melaksanakan pendidikan para medis
13) Membantu pendidikan tenaga medis umum
14) Membantu pendidikan tenaga medis spesialis
15) Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan
16) Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi86
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
diketahui bahwa Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan
didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan,
persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan
pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
85
Adikoesoemo, S., Manajemen Rumah Sakit. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hlm.
23. 86
Ibid, hlm. 24.
61
Tugas dan fungsi ini berhubungan dengan kelas dan tipe rumah sakit yang di
Indonesia terdiri dari rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, kelas A, B, C,
D. berbentuk badan dan sebagai unit pelaksana teknis daerah. perubahan kelas
rumah sakit dapat saja terjadii sehubungan dengan turunnya kinerja rumah sakit
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Indonesia melalui Keputusan Direktorat
Jenderala Pelayanan Medik.
Jenis-jenis rumah sakit adalah sebagai berikut:
1. Rumah Sakit Umum
Melayani hampir seluruh penyakit umum, dan biasanya memiliki institusi
perawatan darurat yang siaga 24 jam (ruang gawat darurat) untuk mengatasi
bahaya dalam waktu secepatnya dan memberikan pertolongan pertama.
Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah ditemui di suatu
negara, dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan intensif
ataupun jangka panjang. Rumah sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas
bedah, ruang bersalin, laboratorium, dan sebagainya. Tetapi kelengkapan
fasilitas ini bisa saja bervariasi sesuai kemampuan penyelenggaranya.Rumah
sakit yang sangat besar sering disebut Medical Center (pusat kesehatan),
biasanya melayani seluruh pengobatan modern. Sebagian besar rumah sakit di
Indonesia juga membuka pelayanan kesehatan tanpa menginap (rawat jalan)
bagi masyarakat umum (klinik). Biasanya terdapat beberapa klinik/poliklinik
di dalam suatu rumah sakit.
2. Rumah sakit terspesialisasi
Jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit manula, atau
rumah sakit yang melayani kepentingan khusus seperti psychiatric
62
(psychiatric hospital), penyakit pernapasan, dan lain-lain. Rumah sakit bisa
terdiri atas gabungan atau pun hanya satu bangunan.
3. Rumah sakit penelitian/pendidikan
Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit umum yang terkait
dengan kegiatan penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran pada suatu
universitas/lembaga pendidikan tinggi. Biasanya rumah sakit ini dipakai untuk
pelatihan dokter-dokter muda, uji coba berbagai macam obat baru atau teknik
pengobatan baru. Rumah sakit ini diselenggarakan oleh pihak
universitas/perguruan tinggi sebagai wujud pengabdian masyararakat/Tri
Dharma perguruan tinggi.
4. Rumah sakit lembaga/perusahaan
Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk melayani
pasien-pasien yang merupakan anggota lembaga tersebut/karyawan
perusahaan tersebut. Alasan pendirian bisa karena penyakit yang berkaitan
dengan kegiatan lembaga tersebut (misalnya rumah sakit militer, lapangan
udara), bentuk jaminan sosial/pengobatan gratis bagi karyawan, atau karena
letak/lokasi perusahaan yang terpencil/jauh dari rumah sakit umum. Biasanya
rumah sakit lembaga/perusahaan di Indonesia juga menerima pasien umum
dan menyediakan ruang gawat darurat untuk masyarakat umum. 87
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
menyatakan bahwa Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna.
87
Ibid, hlm. 26.
63
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
menyatakan bahwa untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, Rumah Sakit mempunyai fungsi:
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit;
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan teknologi bidang kesehatan
dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika
ilmu pengetahuan bidang kesehatan;
Rumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian
dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung
penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks.
Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuannya masing-masing
berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang
berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka
pemberian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya
permasalahan dalam Rumah Sakit. Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi
sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi
dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan
tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) berdasarkan Pasal 1 angka 2 Permenkes
Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan
64
upayakesehatan perseorangan tingkat pertama dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya yang juga berfungsi sebagai wahana
pendidikan tenaga kesehatan di mana untuk pelaksanaannya diatur dengan
ketentuan perundang-undangan (Pasal 8 angka 1 dan 2 Permenkes Nomor 75
Tahun 2014).
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 44 Tahun 2009 menyebutkan Pelayanan Kesehatan
Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif,
kuratif,dan rehabilitatif. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yanglebih mengutamakan
kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. Pelayanan kesehatan preventif adalah
suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Pelayanan
kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan
yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat
penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas
penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Pelayanan kesehatan rehabilitatif
adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas
penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota
masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuannya.
110
IV. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Kewenangan klinis bagi dokter peserta Program Internsip Dokter Indonesia
belum diatur atau dibatasi secara jelas dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 39 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Program Internsip Dokter
dan Dokter Gigi Indonesia, sehingga terdapat perbedaan dalam pelaksanaan
kewenangan klinis oleh dokter pada rumah sakit/puskesmas yang satu dengan
yang lainnya sesuai dengan arahan dari Komite Medik Rumah Sakit masing-
masing, yang secara umum meliputi pelaksanaan tindakan medis dan
pelayanan kesehatan.
2. Bentuk perlindungan hukum bagi dokter peserta Program Internsip Dokter
Indonesia adalah perlindungan preventif atau pencegahan dalam rangka
melindungi dokter peserta Program Internsip sebagai subyek hukum sebelum
terjadinya pelanggaran, yaitu dengan pemberlakukan Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, khususnya pada Pasal 50
menyatakan bahwa seorang dokter mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional.
111
3. Bentuk pertanggungjawaban hukum dokter peserta Program Internsip Dokter
Indonesia dalam hal terjadi sengketa medis (gugatan perdata atau tuntutan
pidana) merupakan bentuk liability dalam arti dokter peserta Program
Internsip berarti menanggung segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat
perbuatannya sepanjang terjadi kesalahan, kelalaian atau perbuatan melawan
hukum yang dapat dibuktikan secara hukum dan terbukti bahwa dokter peserta
Program Internsip melakukan tindakan kedokteran dan pelayanan medis yang
tidak sesuai dengan standar kompetensi, standar operasional prosedur dan
standar profesi dokter.
B. Saran
Beberapa saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hendaknya dilakukan revisi/perbaikan dalam Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dengan memasukkan pasal-pasal
yang secara jelas mengatur kewenangan klinis bagi dokter peserta Program
Internsip Dokter Indonesia sehingga dapat meminimalisasi terjadinya
kesalahan dalam tindakan kedokteran atau pelayanan medis oleh dokter
peserta Program Internsip di rumah sakit/puskesmas.
2. Dokter peserta Program Internsip Dokter Indonesia agar secara konsisten
mengacu kepada standar profesi dan standar prosedur operasional serta arahan
dari Komite Medik Rumah Sakit dalam rangka pencegahan terjadinya masalah
hukum di kemudian hari dan agar perlindungan hukum terhadap Dokter
peserta Program Internsip semakin optimal.
112
3. Program Internsip Dokter Indonesia agar selalu melakukan perekaman medis
dan menggunakan formuliri persetujuan tindakan kedokteran (informed
consent) atas tindakan-tindakan yang diperlukan. Hal ini penting dilaksanakan
sebagai alat bukti hukum yang kuat ketika terdapat gugatan perdata/tuntutan
pidana terhadap dokter peserta Program Internsip.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Adikoesoemo, S. 2003. Manajemen Rumah Sakit. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Admosudirjo, Prajudi. 2001. Teori Kewenangan, Rineka Cipta, Jakarta.
Achadiat, Chrisdiono M. 1996. Pernik-Pernik Hukum Kesehatan Melindungi
Pasien dan Dokter, Widya Medika, Jakarta.
Ali, Muhammad Mulyohadi dkk, 2006. Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-
Pasien, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta.
Amri, Amril. 1997. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta.
Astuti, Endang Kusuma. 2009. Perjanjian Terapeutik dalam Upaya Pelayanan
Medis di Rumah Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, 2009. Pedoman Peserta Internsip Dokter
Indonesia. Buku 2, Jakarta.
Budiarto, Agus. 2002. Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri
Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Chazawi, Adami. 2007. Malpraktik Kedokteran, Bayumedia Publishing, Malang.
Hadjon, Phillipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya.
Hanafiah, M. Yusuf dan Amri Amir. 2016. Etika Kedokteran & Hukum
Kesehatan, EGC, Jakarta.
Hamzah, Andi. 2005. Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Himawan, Muammar. 2004. Pokok-Pokok Organisasi Modern, Bina Ilmu,
Jakarta.
Isfandyarie, Anny. 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter,
Prestasi Pustaka, Jakarta.
Ishaq. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Iskandarsyah, Mudakir. 2011. Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, Permata
Aksara, Jakarta.
Kansil, CST. 1987. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.
Kanter, E.Y. 2001. Etika Profesi Hukum (Sebuah Pendekatan Sosio Religius),
Storia Grafika, Jakarta.
Koeswadji, Hermien Hadiati. 1998. Hukum Kedokteran Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2012. Panduan Penyusunan Dokumeni
Akreditasi, Depkes RI, Jakarta.
Komalawati, Veronica. 1999. Peranan Informed Consent dalam Transaksi
Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Konsil Kedokteran Indonesia, 2012, Standar Kompetensi Dokter Indonesia,
Jakarta.
Kode Etik Kedokteran (KODEKI), 2012. Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta.
Miru, Ahmadi. 2011. Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Muchsin, 2003. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia,
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2001. Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
---------. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
---------. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Ratman, Desriza. 2014. Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktek Kedokteran dan
Malprektek Medik, Keni Media, Bandung.
Raharjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ridwan HR, 2003. Hukum Administrasi Negara, Cet.II, UII Press, Yogyakarta.
Rumokoy, Donald Albert. 2014. Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.
Setiardja, A. Gunawan. 1990. Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum). 2004. Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
---------. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Edisi Revisi, UI Press, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Herkutanto. 2007. Pengantar Hukum Kesehatan,
Remadja Karya, Bandung.
Sunggono, Bambang. 1990. Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Supriadi, Wila Chandrawila. 2001. Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung.
Triwulan, Titik dan Shinta Febrian. 2010. Perlindungan Hukum bagi Pasien,
Prestasi Pustaka, Jakarta.
Triwibowo, Cecep. 2004. Etika dan Hukum Kesehatan, Nuhamedika, Yogyakarta.
Yulianto, Helmi Arni. 2010. Hukum Pidana Malpraktik Medik Tinjauan dan
Perspektif Medikolegal, Penerbit Andi, Yogyakarta.
B. JURNAL
Kristanto, Erwin G. 2012. Clinical Privilige dan Tanggung Jawab Dokter
Internsip di Rumah Sakit. E-Journal Universitas Samratulangi. Makasar
Kulkarni, Maenal. 2017. Medical Internship Training Challange And Possible
Solutions, Journal of Education in Health Sciences, Vol. 4.
Mangkey, Michael Daniel. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Dokter dalam
Memberikan Pelayanan Medis, Portal Garuda Journal Vol. II No. 8/Sep-
Nov.
Norman, Fahana et all, 2017. Evaluation of Internship Assesment in Medical
Colleges of Bangladesh. Bangladesh Journal of Medical Education V0l-
09. Issue-01
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Program Internsip Dokter dan Dokter Gigi Indonesia
D. INTERNET
http://bppsdmk.kemkes.go.id/web/filesa/peraturan/16.pdf.
http://hukum.rmol.co/read/2017/10/04/309739/buntut-ketua-dprd-tampar-dokter,-
17-dokter-internship-ditarik-dari-rsud-lebong.
https://id.scribd.com/document/325926001/Program-Internsip-Dokter-Indonesia
https://lapor.go.id/pengaduan/1885835/penganiayaan-dokter-internship-rsud-
sampang-madura. html.
https://www.change.org/p/kecam-ketua-forum-perbekel-se-badung-pemukul-
dokter-di-bali.