103
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK (Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: SAFROWI NIM: 106045101516 KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK

(Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SAFROWI NIM: 106045101516

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1431 H/2010 M

Page 2: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI

KEDOKTERAN TERKAITT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK telah diujikan dalam

Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 2 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi

Jinayah Siyasah.

Jakarta, 2 September 2010

Dekan

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (……………......) NIP. 197210101997032088

Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (……………......) NIP. 197102151997032002

Pembimbing : Prof. Dr. H.M. Abduh Malik (……………......) NIP. 150094391

Penguji I : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (……………......) NIP. 195505051982031012

Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag (……………......) NIP. 197102151997032002

Page 3: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK

(Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam)

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

SAFROWI 106045101516

Dibawah Bimbingan

Prof. Dr. H. M. Abduh Malik NIP. 150094391

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/ 2010 M

Page 4: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta,

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 1 September 2010

Safrowi

Page 5: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa terlimpahkan

kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya.

Dalam penulisan skripsi ini, sudah tentu penulis banyak memperoleh bantuan

dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang

tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan

ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Sri Hidayati, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. HM. Abduh Malik, selaku Dosen Pembimbing skripsi.

5. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

memberikan pengalaman karir kepada penulis.

i

Page 6: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

6. Kepala dan Seluruh Staff/ Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum

maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan bantuan buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan

Skripsi ini.

7. Orang tua: Abah kayan dan Umy Maleha yang sampai detik ini selalu

memberikan pelajaran hidup yang paling berharga bagi penulis yang tidak bisa

diungkapkan lewat kata-kata.

8. Kakak (Iyu) Rokayah, Hozaimah, Muhdalifah; Adik Novi & Ma’ruf…terima

kasih atas dukungan moril, terlebih materiil yang tak terhingga kepada penulis.

Mamas Witono & Sutikno, terutama untuk terkasih, motivator, dan inspirasiku:

Zaidan Fathur Rahman, Zihan Azkiyah, dan Najwa Kholisatussholiha, ini semua

kupersembahkan untuk kalian.

9. Sahabat berbagi dikala suka dan duka, diwaktu siang maupun malam Annisa

Luthfiah yang tak lekang oleh waktu (walau kau bukan milikku lagi)

10. Sahabat PMII, Komisariat PMII, DPP PPM, BEM FSH, BEMJ FSH besrta

jajarannya, KKN ‘Online’ 2009, teman angkatan 2006, 2007, 2008, 2009 FSH;

Muamalat, SAS, SJS, PMH, dan Ilmu Hukum, untuk Milki Barokah dan Abdul

Khoir, yang telah memberikan sedikit petunjuk dalam penyelesaian skripsi ini,

makasih!

11. Terima kasih untuk keluarga besar PI ‘Power’ Annisa Tri Hapsari, Mahpudin,

dan Faris SA, yang sudah menyelesaikan studinya, untuk Wismoyo, Rangga, Isa,

ii

Page 7: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

Fitroh, Chandra, Nuruzzaman, Wahyuni, Bunga, Attin, Muchsin, Fandi, Amir,

Eril, Husein, Buldan, Haris Sumirat, Aris, Kholid, Agus, Yuswandi, Ibro,

Rahman, Guruh, Rifqi, Rahmatul Hidayat, kebersamaan kita selama ini

memberikan banyak pelajaran berharga. Tetap semangat dalam menggapai cita-

cita kalian. Maaf! saya pamit duluan.

12. Untuk semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan semuanya yang selama ini

membantu mulai dari awal penulis mengemban pendidikan sampai sekarang yang

telah banyak memberikan pelajaran berharga dalam hidup ini, pengalaman serta

kasih sayang semua yang tak terhingga. Teima kasih!

Akhir kata, penulis sangat menyadari, apa yang penulis telah capai masih jauh

dari sempurna, karena tanggapan, saran, dan kritik membangun sangat diharapkan.

Tidak lupa untuk Bangsa dan Negara tercinta. AMIN!

Jakarta, 2 September 2010

Safrowi

iii

Page 8: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 9

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11

D. Tinjauan Pustaka......................................................................... 11

E. Metode Penelitian ....................................................................... 12

F. Sistematika Penulisan ................................................................. 14

BAB II TANGGUNG JAWAB PROFESI KEDOKTERAN

A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis ...................................... 15

B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan .... 18

C. Tanggungjawab Profesi Kedokteraan Menurut Syariat Islam .... 32

BAB III PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK

KEDOKTERAN DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT

A. Tinjauan Tentang Malpraktek..................................................... 46

B. Faktor Penyebab Dugaan sengketa Medik (Malpraktek)............ 55

C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik ..................... 61

iv

Page 9: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

v

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI

KEDOKTERAN TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK

MEDIK

A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum

Pidana Positif .............................................................................. 66

B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum

Pidana Islam................................................................................ 77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 89

B. Saran ........................................................................................... 91

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 92

Page 10: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 9

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 10

D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 11

E. Metode Penelitian ....................................................................... 12

F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13

BAB II TANGGUNG JAWAB PROFESI KEDOKTERAN

A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis ...................................... 15

B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan

1. Tanggungjawab Manajemen Rumah Sakit ........................... 18

2. Tanggungjawab Dokter......................................................... 22

a. Tanggungjawab Etik Profesi ........................................... 23

b. Tanggungjawab Hukum ................................................. 24

C. Tanggungjawab Profesi Kedokteraan Menurut Syariat Islam .... 32

BAB III PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK

KEDOKTERAN DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT

A. Tinjauan Tentang Malpraktek..................................................... 44

1. Pengertian.............................................................................. 44

iv

Page 11: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

v

2. Bentuk Malpraktek................................................................ 47

3. Tindakan medis yang bersifat Malpraktek............................ 49

4. Pertanggung Jawaban hukum yang bersifat Malpraktek ...... 51

B. Faktor Penyebab Dugaan sengketa Medik (Malpraktek)............ 52

C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik ..................... 58

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI

KEDOKTERAN TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK

MEDIK

A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum

Pidana Positif ................................................................ ............. 63

1. Konsep Perlindungan Hukum .............................................. 63

2. Dasar Perlindungan Hukum Dokter Dalam Tindakan Medik 68

B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum

Pidana Islam .................................................................. ............. 74

1. Pelanggaran Disipilin Etika Kedokteran .............................. 74

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 86

B. Saran............................................................................................ 88

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 89

Page 12: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap masyarakat, di negeri manapun juga menghendaki agar

mempunyai derajat kesehatan yang baik. Derajat kesehatan yang baik dapat

tercapai, jika setiap anggota masyarakat dengan perasaan bebas mengunjungi

dokter, mengemukakan dengan hati terbuka segala keluhan tentang penderitaan

tentang jasmani, maupun rohani agar mendapatkan pengobatan yang sesuai.1

Secara humanistik, dokter sebagai manusia biasa tentunya tidak lepas dari

kelalaian dan kealpaan2. Perasaan takut atau khawatir itu yang dapat menjadi

salah satu sebab penting, bahwa dalam masyarakat terdapat banyak orang sakit

yaitu karena mereka segan berobat.3 Kelalaian yang terjadi pada saat melakukan

tugas profesinya inilah yang dapat mengakibatkan malpraktek medis.4 Sementara

dalam masyarakat terdapat pula orang yang beritikad kurang baik, yang sengaja

menarik dokter untuk berperkara.5

1Oemar Seno Adji, Prof, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana

Dokter, (Jakarta; Erlangga, 1991), h. 223. 2M. Iqbal Mochtar, Dokter Juga Manusia, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2009) 3Ibid., h, 224 4Nusye KI. Jayanti, SH, S.Hum, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran

(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009). 5Anny Isfandyarie dan Fahrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter

(Jakarta; Prestasi Pustaka, 2006), h. 5

1

Page 13: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

2

Dokter dalam melakukan profesinya selalu dituntut untuk berusaha sebaik

mungkin dalam merawat pasiennya dan setiap tindakan yang ia lakukan harus

sesuai dengan standar profesi kedokteran. Dokter sebagai subyek hukum

mempunyai tanggung jawab hukum atas setiap perbuatan yang ia lakukan jika

perbuatan tersebut ternyata menimbulkan kerugian terhadap pasien, maka dokter

tidak dapat berdalih bahwa tindakan tersebut bukan tanggung jawabnya.6

Malpraktek dalam prakteknya terkadang dikaburkan dengan apa yang

disebut dengan resiko medik. Sehingga tidak jarang seorang dokter yang telah

bekerja dengan sangat profesional yaitu telah sesuai dengan standar profesi

medik, standar pelayanan medis, serta Standar Operating Procedure (SOP) masih

dituntut dengan tuduhan telah melakukan malpraktek.

Praktek kedokteran sebagai salah satu aktifitas yang melibatkan manusia,

kita juga mengenal adanya kesalahan yang dilakukan dokter. Mudah dimengerti

karena dokter yang melakukan praktek kedokteran, bukan saja ia adalah manusia

dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tetapi yang terpenting lagi adalah

karena praktek kedokteran merupakan kegiatan suatu yang komplek. Praktek

kedokteran betapa pun berhati-hatinya dilaksanakan selalu berhadangan dengan

kemungkinan terjadinya resiko, yang salah satu diantaranya berupa kesalahan

atau kelalaian yang dimaksud.7

6Rosa Elita dan Yusuf Shofie, Malpraktek; Penyelesaiian Sengketa, dan Perlindungan

Konsumen, (Jakarta; Unika Atma Jaya, 2007) 7Azrul Azwar, Kesehatan Kini dan Esok, (Jakarta; Ikatan Dokter Indonesia, 1990), cet. ke- I,

h. 20

Page 14: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

3

Oleh karena itu, mau tak mau kalangan kesehatan harus lebih memahami

aspek-aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, sehingga dalam menjalankan

profesi kepada masyarakat menjadi lebih yakin diri.8 Dimana dalam era

globalisasi yang terjadi saat ini profesi kesehatan merupakan salah satu profesi

yang banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdiannya

kepada masyarakat yang sangat komplek. Etika profesi yang semula mampu

menjaga citra tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya

kelihatannya makin memudar sehingga perlu didukung oleh peraturan perundang-

undangan yang lebih mengikat bagi tenaga kesehatan dan lebih memperdayakan

pasien dan keluarganya sebagai pengguna pelayanan kesehatan.9

Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan merupakan

suatu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap

pelayanan kesehatan dan pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap

masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya. Berkurangnya

kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya tuntutan yang diajukan

masyarakat dewasa ini seringkali di identikan dengan kegagalan upaya

penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Sebaliknya, apabila tindakan yang

dilakukan berhasil dianggap berlebihan, padahal dokter dengan ilmu

peengetahuan dan teknologi yang dimilkinya hanya unuk penyembuhan, dan

8Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, (Jakarta; Widya Medika, 1997), cet. ke-I. h.

VII 9Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam transaksi Terapeutik, h. 5

Page 15: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

4

kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan

dalam tindakan.10

Namun hasrat memberikan pertolongan kepada sesama tidaklah semulus

dengan apa yang dicita-citakan oleh para pengembang profesi kesehatan saat ini.

Ancaman pidana menghantui harapan mulia tersebut, sehingga beberapa

diantaranya lebih memilih untuk tidak melanjutkan pengabdian sebagai seorang

dokter.11

Sorotan masyarakat terhadap profesi kedokteran merupakan salah satu

tanda bahwa saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan

pengabdian profesi tersebut. Pada umumnya ketidakpuasan pasien atau

keluarganya terkait masalah sengketa pasien tindakan medik, yaitu dugaan adanya

malpraktik medik seperti:12

1. Perbuatan tercela (actus rheus)

2. Perbuatan dengan sikap batin yang buruk (mens rhea) yang terdiri atas:

a. perbuatan sengaja (intenstional) berupa aborsi tanpa indikasi medik (Pasal

349 KUHP jo Pasal 347 dan Pasal 348 KUHP), Euthanasia (Pasal 344

KUHP), Membocorkan rahasia kedokteran (Pasal 332 KUHP), Tidak

menolong orang yang membutuhkan (Pasal 332 KUHP), Surat keterangan

10 Ibid, h. 6 11 Anny Isfandyarie dan Fahrizal A, Tanggung jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. V 12 “Dugaan Malpraktek Kedokteran dan Alternatif Penyelesaian,” Harian Sains, edisi; 03 Juni

2009

Page 16: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

5

dokter yang tidak benar (Pasal 378 KUHP), Memberi keterangan yang

tidak benar di depan pengadilan.

b. kecerobohan (recklessness) berupa tindakan medik yang tidak sesuai

prosedur (lege artis) dan tanpa informed consent (persetujuan).

3. Kelalaian yang berupa tindakan meninggalkan alat bedah dalam perut pasien.

Kelalaian yang menyebabkan cacat atau kematian (Pasal 359 KUHP).

Perbuatan dokter dianggap sebagai tindak pidana bila dapat dibuktikan

bahwa dokter tersebut mempunyai niat jahat. Namun perbuatan jahat tanpa

dilandasi niat jahat belum tentu bisa dianggap tindak pidana. Akibat dari

perbuatan, perbuatan tersebut yang dilakukan, tanggung jawabnya bersifat

individual.

Deretan ancaman pidana yang dapat dikenakan bagi profesi ini makin hari

makin bertambah yang tersebut berupa Undang-undang, yaitu KUHP, UU. No.

23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU. No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran. Didalam Undang-undang tersebut ada beberapa pasal yang berisi

ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbbuatan yang dapat

dipidana, yang dapat diancamkan dalam pelaksanaan praktek kedokteran.

Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia

melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating

Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan

dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam

KUHP.

Page 17: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

6

Perlindungan hukum terhadap profesi dokter yang diduga melakukan

tindakan malpraktek medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor

29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran,

MKDKI menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran etik, disiplin

dan pidana. Untuk pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode Etik

Kedokteran (MKEK), pelanggaran disiplin dilimpahkan kepada Konsil

Kedokteran Indonesia (KKI), dan pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak

pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan kepada pihak kepolisian atau kepada

pengadilan negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada pihak kepolisian maka

pada tingkat penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan tindakan

malpraktek medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum.13 Di mana yang

tercantum dalam etika kedokteran ini hak untuk membela diri yaitu: dalam hal

menghadapi keluhan pasien yang tidak pernah puas terhadapnya, atau dokter

bermasalah, maka dokter mempunyai hak untuk membela diri dalam lembaga

dimana ia berkerja (Rumah Sakit) dalam perkumpulan dimana ia menjadi anggota

(IDI, misalnya), atau pengadilan jika telah diajukan gugatan terhadapnya.

13 M. Jusuf Hanafiyah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999)

Page 18: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

7

Hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan, memelihara, dan melindungi

kemaslahatan manusia. Dalam kaidah Ushuliyyat disebutkan, bahwa hukum

senantiasa berkembang dan berubah seiring perkembangan dan perubahan

IPTEK. Islam sangat menghargai jiwa lebih-lebih jiwa manusia. Cukup banyak

ayat Al-qur’an maupun Hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan

memelihara jiwa manusia (hifd al-nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi

manusia tetapi ia adalah anugerah dari Allah SWT.14

Kajian tentang hukum Islam yang menyangkut isu-isu kedokteran yang

bersentuhan langsung dengan manusia adalah sangat penting dan dapat menjadi

bagian penting dalam substansi hukum Islam. Muhammad Tahir Azhari

menyatakan bahwa masalah-masalah kontemporer, seperti hukum kedokteran,

lingkungan, dan lain-lain melalui ijtihad dapat substansi hukum Islam,15

Hukum Islam mengkategorikan tindak pidana malpraktek medik ini dalam

jarimah al-khata’ atau tindak pidana karena kesalahan. Jarimah al-khata’ adalah

tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak mempunyai maksud

untuk berbuat maksiat tetapi karena kesalahannya baik dalam kesalahan perbuatan

maupun dalam persangkaan perilaku jarimah tesebut.

Terdapat tiga unsur dalam Jarimah al-khata’:

1. Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian;

14Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer,

(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002), cet. ke- III, h. 69 15Mastuhu dan M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar

Disiplin Ilmu, (Bandung; Penerbit Nuansa, 1998), cet I, h. 136

Page 19: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

8

2. Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan;

3. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan matinya

korban.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dari segi hukum Pidana Islam

ditempuh dengan dua cara;16 (1). Menetapkan Hukuman berdasarkan Nash, dan

(2). Menyerahkan penetapannya kepada penguasa (Ulul Amri). Oleh karena itu

seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak melenyapkan tanpa kehendak

dan aturan Allah sendiri.

Dalam hal ini ajaran Islam memberikan petunjuk bahwa tidak ada yang

sia-sia dari sebuah usaha, bahkan Allah menilai usaha seseorang daripada hasil.

Kewajiban berusaha dengan terus memberikan pengobatan kepada si pasien

mendapatkan legitimasi yang jelas dalam Islam, dimana telah diriwayatkan dalam

sebuah Hadits:

رواه أحمد من إبن (تَدَاوَوْ فَإِنَّ االلهَ لَمْ يَنْزِلُ دَاءًا إِلاَّ اَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً )مسعود

Artinya:

“Wahai kaum Muslimin, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit tanpa menciptakan obatnya” (HR. Ahmad dari Ibn Mas’ud)

Dalam praktek apa saja, termasuk dalam bidang kedokteran, Nabi sangat

menekan sifat profesionalisme. Untuk menjadi profesional maka mesti

mempelajarinya dengan baik sebelum mempraktekannya, misalnya Nabi

16AW. Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, 2004)h. 6

Page 20: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

9

melarang berobat kepada yang bukan ‘ahlinya’, bahkan mengancam ‘siapa yang

mengobati padahal ia tidak mempunyai ilmuunya, jika terjadi kesalahan maka ia

mesti bertanggungjawab terhadap resiko yang diderita pasien’.17

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia

melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating

Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan

dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam

KUHP.18 Dimana dalam pembatasan masalah yang akan dibahas yaitu bagaimana

ketentuan-ketentuan pidana yang diatur menurut KUHP, dan menurut tinjauan

hukum Islam khususnya. Dimana yang dimaksud dengan ketentuan pidana yaitu

hukum pidana yang berlaku di Indonesia yaitu ketentuan-ketentuan pidana

didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara umum, dan UU.

No. 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran khususnya, serta dalam ketentuan

undang-undang Bidang kesehatan

Adapun perumusannya dalam masalah ini ialah:

1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan Hukum dalam ketentuan hukum

positif dan hukum Islam?

17Hadits tersbut adalah: َضَامِنمَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمُ مِنْهُ طِبُّهُ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُو 18Muljanto, S.H, Asas-asas Hukum Pidana ,(Bandung; Pustaka Setia, 2000)

Page 21: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

10

2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam

upaya pelayanan medis?

3. Apakah yang menyebabkan terjadinya sengketa medik atau dugaan

malpraktek di lingkungan Rumah Sakit?

Beralih kepada pembatasan dan perumusan masalah diatas, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsep perlindungan hukum terhadap dokter yang terkait

dugaan malpraktek medik ini?

2. Bagaimana mekanisme dan tahapan yang akan dilakukan terkait dengan

adanya dugaan malpraktek terhadap profesi kedokteran, yang mengacu pada

Undang-undang Kesehatan dan Undang-undang Praktek Kedokteran?

Berdasarkan dari ketentuan permasalahan diatas, maka penulis membatasi

ruang lingkup pembahasan skripsi ini hanya pada masalah perlindungan hukum

saja terhadap dokter, dan sanksi yang diatur dalam ketentuan-ketentuan menurut

KUHP, Undang-undang, dan hukum Islam.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk menemukan penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien

di Rumah Sakit

2. Untuk menemukan seberapa jauh pertanggungjawaban dokter terhadap pasien

dalam upaya pelayanan medis di Rumah Sakit

Page 22: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

11

3. Untuk memahami secara spesifik ketentuan sanksi pidana dalam bidang

medik.

Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi

masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan

keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para

dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.19

D. Tinjauan Pustaka

Dari beberapa penelitian yang terdapat di Fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, belum terdapat penelitian tentang Perlindungan

Hukum bagi profesi dokter, akan tetapi ada beberapa penelitian (skripsi) yang

sekiranya senada dengan penelitian ini yaitu tentang “Upaya Perlindungan

Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Malpraktek Menurut Hukum Positif

Dan Hukum Islam20” tetapi dari hasil penelitiannya hanya membahas tentang

perlindungan hukum terhadap korban tindak malpraktek saja menurut perspektif

Hukum Positif dan Hukum Islam, dan tanggung jawab dokter yang melakukan

malpraktek medik

Kemudian diantara bahan-bahan pustaka yang menjadi rujukan dalam

penelitian ini ialah UU. No. 29 tahun 2004, tentang Praktek Kedokteran. Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Buku yang berjudul; “Penyelesaian

19“Malpraktek” Suara Pembaharuan, Jumat, 14 September 2007. 20Abdul Azis, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2006)

Page 23: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

12

Hukum Malpraktek Kedokteran” yang membicarakan tentang sebab musabab

terjadinya kasus malpraktek kedokteran (medikal malpractice), pada lingkungan

profesi kesehatan di Rumah Sakit serta sejauh mana tanggung jawab hukum

Rumah Sakit terhadap dokter yang mengalami kasus tersebut. Disamping dalam

kajian Islam terdapat pula buku-buku yang menjaddi literatur dalam penelitian ini,

yang secara spesifik membicarakan segala macam tindak pidana (jarimah)

klasifikasi, dan sanksi dalam pandangan hukum Islam (fiqh jinayah.)

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan Deskriftif Analisis yaitu

menggambarkan dan memaparkan secara sistematis apa yang akan menjadi objek

penelitian.21

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah Penelittian Hukum

Normatif Doktriner, yaitu penelitian hukum yang berupa norma-norma, objek

kajiannya adalah bahan-bahan dasar hukum primer yang terdiri dari perundang-

undangan catatan-catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan (hukum

normatif) dan putusan hakim.22

Adapun sumber data yang digunakan adalah sumber data primer, yaitu

diperoleh secara langung dari masalah-masalah yang akan diteliti dan data yang

21 Jhonny Ibrahim, SH, M.Hum, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

(Bandung; Bayu Media, 2006), Cet. ke-II 22Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 141

Page 24: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

13

diperoleh dari hasil kajian hukum terhadap perundang-undangan, diamana dalam

masalah ini perundang-undangan merupakan bahan utama yang dijadikan acuan

dalam rangka membatasi masalah yang dihadapi.23

Sedangkan data skunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian

kepustakaan yang member penjelasan mengenai sumber data primer, dengan

mempelajari berbagai buku-buku atau jurnal, artikel majalah atau koran yang

dijadikan rujukan dalam penelitian ini, literatur, peraturan perundang-undangan,

dokumen-dokumen resmi dan seterusnya.

Teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini mengacu pada buku

pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2008.24

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian karya ini, tidak jauh berbeda dengan

penelitian-penelitian yang lainnya, dimana ada beberapa bab dan sub bab, yaitu

sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari: Latar belakang, Pembatasan dan

Perumusan Masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

23Soerjono Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; UI Press, 1986), cet. ke-3 24Buku Pedoman, Penulisan Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2008

Page 25: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

14

BAB II: Tanggung Jawab, dimana dalam bab ini meliputi: makna Tanggung

Jawab secara Yuridis, diamana dalam hal ini akan dijelaskan

bagaimana tanggungjawab menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Jenis-Jenis Tanggung Jawab dalam lingkungan profesi Rumah Sakit,

yaitu: Tanggung Jawab Rumah Sakit, Dokter, dan Perawat. Kemudian

dalam sub bab ini akan dijelaskan tanggungjawab menurut syariat

Islam.

BAB III: Penyebab Terjadinya Dugaan Malpraktek Kedokteran di Rumah Sakit.

Yang terdiri dari tiga sub bab. Pertama, pengertian dan tinjauan

tentang malpraktek. Kedua, faktor penyebab terjadinya malpraktek.

Kemudian yang ketiga, pembuktian kesalahan malpraktek.

BAB IV: Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Profesi Kedokteran terkait

Dugaan Malpraktek Medik, Dimana hal ini terkait dengan Hukum

Pidana positif dan Hukum Islam.

BAB V: Penutup, meliputi: Kesimpulan dan Saran

Page 26: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

BAB II

TANGGUNGJAWAB PROFESI KEDOKTERAN

A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis

Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran. Peraturan ini bertujuan agar

dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan

meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada

masyarakat, dokter dan dokter gigi.1 Pada bagian awal, Undang-Undang No.

29 Tahun 2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik

kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi

kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijazah dokter yang telah

dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil

Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas

Kesehatan Kota atau Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan

sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan

melaksanakan ketentuan etika profesi.2

Istilah dan pengertian tanggungjawab bukan tumbuh secara tiba-tiba, akan

tetapi muncul dari mata rantai pengalaman krisis dunia akibat peperangan dan

1Penjelasan Undang-undang RI. No. 29 Tahun 2004, Tentang Praktek Kedokteran 2Budi Sampurna, S.Pf, “Praktik Kedokteran Yang Baik Mencegah Malpraktik Kedokteran”,

Majalah Farmacia, Edisi: Maret 2006, h. 74

15

Page 27: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

16

kesepakatan masyarakat bangsa-bangsa yang beradab di dunia untuk mengangkat

martabat manusia.3

Pengertian tanggungjawab, memang terkadang seringkali terasa sulit untuk

menerangkannya dengan tepat. Adakalanya tanggungjawab dikaitkan dengan

keharusan untuk berbuat sesuatu, atau kadang-kadang dihubungkan dengan

kesedihan untuk menerima konsekuensi dari suatu perbuatan, banyaknya bentuk

tanggunjawab ini menyebabkan terasa sulit untuk merumuskannya dalam bentuk

kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti, tetapi kalau kita amati lebih

jauh, pengertian tanggungjawab selalu berkisar pada kesadaran untuk melakukan,

kesediaan untuk melakukan dan kemampuan untuk melakukan4

Dalam norma hukum yang berlaku di Indonesia, makna tanggungjawab

merupakan istilah yang menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah:

“Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh

dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagianya)”

Kemudian dalam istilah lain disebutkan, tanggungjawab mengandung arti:

keadaan cakap terhadap beban kewajiban atas segala suatu akibat perbuatan, yang

mana dari pengertian tanggungjawab tersebut harus memiliki unsur:

1. Kecakapan

2. Beban kewajiban

3. Perbuatan

3Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan, Bahan Kuliah Pascasarjana UGM, Magisrer Hukum

Kesehatan, 2007 4Alex Sobur, Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga, , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987). h. 245

Page 28: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

17

Dari penjelasan diatas, disimpulkan bahwa, unsur kewajiban mengandung

makna yang harus dilakukan, dan tidak boleh tidak dilakukan, jadi sifatnya harus

ada atau keharusan. Sedangkan unsur perbuatan mengandung segala sesuatu yang

dilakukan, dengan demikian tanggungjawab adalah keadaan cakap menurut

hukum baik orang atau badan hukum, serta mampu menanggung kewajiban atas

segala sesuat yang dilakukan.5

Dalam pengertian hukum, tanggungjawab berarti keterikatan. Tiap

manusia, mulai dari saat ia dilahirkan sampai saat ia meninggal dunia mempunyai

hak dan kewajiban dan disebut sebagai subjek hukum. Demikian juga dokter,

dalam melakukan suatu tindakan harus bertanggungjawab sebagai subjek hukum

pengemban hak dan kewajiban.6

Tindakan atau perbuatan dokter sebagai subjek hukum dalam pergaulan

masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan

dengan profesi dan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi. Begitu

pula tanggung jawab hukum seorang dokter, dan dapat pula merupakan

tanggungjawab hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya.7

5 Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pustaka

Yustisia, 2009), cet, ke-I. h. 22 6 Anny Isfandyarie, Tanggungjawab Hukum dan Snaksi Bagi Dokter,(Jakarta: Prestasi

Pustaka, 2006), cet. Ke-I, h. 2 7Ibid., h. 2-3

Page 29: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

18

Keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam

menjalankan profesinya merupakan tanggungjawaab yang harus dipenuhi dokter

yang pada dasarnya meliputi 2 (dua) pertanggungjawaban, yaitu:

1. Bidang administrasi, yang mana hal ini terdapat dalam pasal 29, pasal 30 dan

pasal 36 jo. 37, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran.

2. Ketentuan pidana, dimana perumusan pasal-pasal mengenai tanggungjawab

praktek kedokteran tercantum dalam pasal 75 s/d 80, UU. No. 29 Tahun

2004.8

B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan.

1. Tanggungjawab Manajemen Rumah Sakit

Rumah Sakit merupakan suatu organisasi yang sangat unik, karena

berbaur antara padat teknologi, padat karya, dan padat moral, sehingga

pengelolaan Rumah Sakit menjadi disiplin ilmu tersendiri yang

mengedepankan dua hal sekaligus, yaitu teknologi dan perilaku manusia

dalam organisasi.9

Difenisi Rumah Sakit menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 983

Tahun 1992, Rumah Sakit adalah:

8Tidak mengikatnya beberapa ketentuan pidana dalam UU. No. 29 tahun 2004, berdasarkan

putusan MK, pada hari selasa 19 Juni 2007 yang dimohonkan oleh Anny Isfandyarie, SH, dkk. 9 Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pustaka

Yustisia, 2009), cet, ke-I. h. 24

Page 30: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

19

”Sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan serta

dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan tenaga kesehatan dan

penelitian”.

Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan

penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna

tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam

meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.

Dalam keterangan lain, difinisi Rumah Sakit dijelaskan dalam Undang-

undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dalam konsiderannya

dijelaskan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi

masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan

ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi

masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu

dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-

tingginya.

Dalam keterangan pasal 1, UU. No. 44 Tahun 2009 dalam pasal ini yang

dimaksud dengan Rumah Sakit adalah:

“Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat

jalan, dan gawat darurat”.

Rumah Sakit diseenggarakan berdasarkan Pancasila, dan didasarkan

kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas. Sesuai dengan UU. No. 44/

2009, pasal 2, yang berbunyi:

Page 31: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

20

“Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada

nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak

dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta

mempunyai fungsi sosial”

Berdasarkan uraian diatas, maka guna meningkatkan pelayanan kesehatan

yang efisien dan efektif diperlukan suatu mutu pelayanan kesehatan, ada beberapa

poin yang terkait dengan penjelasan pasal diatas, diantaranya:10

1. Nilai kemanusiaan yaitu penyelenggaraan manajemen Rumah Sakit dilakukan

dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak

membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras.

2. Etika dan Profesionalitas, bahwa propfesionalitas dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang memiliki etika profesi, sikap profesional, serta mematuhi etika

Rumah Sakit.

3. Nilai Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka memprtahankan

dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

4. Nilai keadilan adalah penyelenggaraan Rumah Sakit mampu memberikan

pelayanan yang adil dan merata, kepada setiap orang dengan biaya yang

terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu.

5. Persamaan hak dan Anti Diskriminasi dikatakan bahwa pelayanan Rumah

Sakit membedakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dari

semua lapisan.

10Penjelasan atas Pasal 2, UU. No. 44 Tahun 2009

Page 32: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

21

6. Nilai Pemerataan adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit harus

menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

7. Nilai Perlindungan adalah penyelenggaraan Rumah Sakit tidak hanya

memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan

peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan

keselamatan pasien.

8. Keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit selalu

mengupayakan peningkatan keselamatan pasien melalui upaya majamenen

risiko klinik.

9. Fungsi Sosial adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap

Rumah Sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari Rumah Sakit dalam

membantu pasien khususnya yang kurang/ tidak mampu untuk memenuhi

kebutuhan akan pelayanan kesehatan.

Manajemen Rumah Sakit harus mengedepankan nilai-nilai yang terdapat

pada penjelasan pasal diatas, bahwasanya, UU. 44/ 2009 Tentang Rumah Sakit,

Bagian Ke-7 mengenai Tanggung Jawab, Pasal 46 menyebutkan bahwa: ’’Rumah

sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang

ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit’’.

Dengan demikian sesungguhnya dalam pelayanan kesehatan wajib

menghormati dan memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya dengan tidak

dipengaruhi oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, suku, dan ras (SARA).

Page 33: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

22

2. Tanggungjawab Dokter

Praktek kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat diakukan oleh siapa

saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran

tertentu yang berkompetensi dan memenuhi standar tertentu dan mendapatkan

izin dari instutusi yang berwenang, serta bekerja sesuai dengan standar

profesionaisme yang ditetapkan oleh organisasi profesi.11

Dari segi hukum, kelalaian atau kesalahan akan selalu berkaitan dengan

sifat melawan hukum, suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggunjawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat

menginsafi makna yang sebenarnya dilakukan olehnya, dapat menginsafi

perbuatannya itu dapat dipandang patut dalam pergaulan masayarakat dan mampu

menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatannya tersebut.12

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab

seorang dokter adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan tugas fungsi sesuai dengan keilmuan melalui pendidikan yang

berjenjang;

2. Sesuai dengan kompetensi yang memenuhi standar tertentu;

3. Mendapat izin dari institusi yang berwenang;

4. Bekerja sesuai dengan standar profesi.

11Nusye, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, h. 31 12Safitri Hariyani, Sengketa Medik: Alternatif penyelesaian Perselisihan antara Dokter

dengan Pasien, (Jakarta: Disdit Media, 2005), h. 41

Page 34: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

23

Hal tersebut diatas juga tercantum dalam pasal 1 ayat (11) UU. No. 29

Tahun 2004, yang berbunyi: ”Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah

suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan

suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh oleh pendidikan yang berjenjang, dan

kode etik yang besifat melayani masyarakat”.

Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang

yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan

keterampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran yang diberikan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Dalam pertanggungjawaban tindakan dan perbuatan profesi kedokteran

sebagai subjek hukum dalam prakteknya dapat ditinjau dari dua aspek, ialah

sebagai berikut:

a. Tanggungjawab Kode Etik Profesi

Kode etik kedokteran menyangkut dua hal yang harus diperhatikan

oleh para pengemban profesi kedokteran, yaitu:

1) Etik jabatan kedokteran (medical ethics), yaitu menyangkut masalah yang

berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawatnya, Perawatnya,

masyarakat, dan pemerintah.

2) Etik asuhan kedokteran (ethics medical care), merupakan etika kedokteran

untuk pedoman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mengenai sikap

tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi

tanggungjawabnya.

Page 35: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

24

Pelanggaran kode etik tidak menimbulkan sanksi formil bagi pelakunya,

sehingga terhadap kasus pelanggaran umumnya hanya dilakukan tindakan koreksi

berupa teguran dan bimbingan. Secara maksimal hanyalah memberikan saran

kepada lembaga terkait untuk melakukan tindakan administratif, sebagai tindakan

langkah pencegahan terhadap kemungkinan penanggulangan pelanggaran yang

sama kemudian hari atau pencegahan akan kemungkinan semakin besarnya

intensitas pelanggaran tersebut.

Akan tetapi disinilah letak perbedaan antara etika dan hukum. Sanksi

etika ditetapkan oleh kelompok profesi yang menetapkan kode etik tersebut,

sedangkan sanksi hukum ditetapkan melalui wewenang pemerintah. Hukum lebih

tegas menunjukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan, sedangkan

etika lebih mengendalkan itikad baik dan kesadaran moral para pelakunya.

b. Tanggungjawab Hukum

Tanggungjawab hukum dokter adalah suatu ’keterikatan’ dokter terhadap

ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya.13 Keterikatan dokter

terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya merupakan

tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi dokter pada dasarnya meliputi

pertanggungjawaban, yaitu:14

13Legality, Jurnal Ilmiah Hukum, T.Tp.tt, h. 150 14Anny, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Op. Cit, h. 5

Page 36: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

25

1) Tanggung Jawab Perdata

Pada mulanya, tanggung jawab seorang dokter apabila melakukan

kesalahan dalam menjalankan profesinya hanya terbatas pada tanggung jawab

yang timbul sebagai akibat adanya hubungan kontrak yang terjadi antara

kedua belah pihak, yaitu antara dokter dengan pasiennya. Dengan demikian,

tanggung jawab yang timbul hanya terbatas pada lingkup bidang hukum

perdata (misalnya, pertanggung jawaban yang timbul karena wanprestasi atau

perbuatan melawan hukum).

Atas dasar tersebut, maka tanggung jawab dokter tersebut baru timbul

apabila seorang pasien mengajukan gugatan kepada dokter untuk membayar

ganti rugi atas dasar perbuatan yang merugikan pasien.15

a) Melakukan wanprestasi (pasal 1239 KUHPerdata)

b) Melakukan perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUHPerdata)

c) Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal 1366

KUHPerdata)

d) Melakukan pekerjaan sebagai penanggung jawab (pasal 1367

KUHPerdata).16

Dari uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa seorang dokter

melakukan malpraktek dan pasien mengalami suatu cidera, dapat

menimbulkan tanggung jawab perdata bagi seorang dokter, dengan dasar

15Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, (Jakarta: Bima Aksara, T.Tt), h. 5 16Ibid, h. 42

Page 37: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

26

gugatan melakukan wanprestasi, perbuatan melawan hukum, kelalaian

sehingga mengakibatkan kerugian, dan melalaikan pekerjaan sebagai

penanggung jawab, yang sanksinya lazim berupa ganti kerugian (materi)

kepada pasien (korban).

2) Tanggung Jawab Pidana

Dari dasar hukum pidana maka masalah malpraktek lebih ditekankan

pada masalah consent atau persetujuannya. Suatu tindakan medis yang invasif

khususnya, haruslah didasarkan pada persetujuan pasien. Tanpa adanya

persetujuan pasien maka dokter yang melakukan tindakan medis tersebut

dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana penganiayaan, terlebih

lagi dalam tindakannya itu juga dilakukan pembiusan.

Sebenarnya secara yuridis-formil seorang dokter melakukan tindakan

invasif, misalnya pembedahan, telah dapat dipersalahkan melakukan tindak

pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP, namun

pasal 351 ini, tidak dapat diberlakukan terhadap dokter yang melakukan

tindakan medis bila dipenuhi syarat:

a) Adanya indikasi medis;

b) Adanya persetujan pasien;

c) Sesuai dengan standar profesi medik.17

Tanggung jawab pidana yang perlu dibuktikan dengan adanya

kesalahan profesional biasanya dihubungkan dengan adanya masalah:

17Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan , 1993), cet. Ke-2, h. 94

Page 38: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

27

a) Kelalaian (negligence), dan

b) Persetujuan dari pasien yang bersangkutan.18

Berkaitan dengan adanya kesalahan profesional yang berupa kelalaian

(neligence), harus dilihat dengan adanya kelalaian tersebut berakibat

pertanggung jawaban pidana, terutama pertanggung jawaban pidana akibat

dari pelanggaran Informed consent.

Istilah kelalaian dalam hukum pidana identik dengan kealpaan. Untuk

mengetahui lebih lanjut tentang kelalaian atau kealpaan dalam konteks

malpraktek, kita harus melihat pada hukum pidana umum.

Menurut hukum pidana, kelalaian atau kealpaan dibedakan menjadi:

a) Kealpaan ringan (culpa levissma), dan

b) Kealpaan berat (culpa lata).

KUHP tidak menyebutkan apa arti dari kelalaian, tetapi memperoleh

gambaran tentang itu, Jonkers menyebutkan unsur kelalaian dalam arti pidana

ialah:

a) Bertentangan dengan hukum

b) Akibat sebenarnya dapat dibayangkan

c) Akibat sebenarny adapat dihindarkan

d) Perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya.19

18Nanik Marianti, Op. cit., h. 8 19J. Guwandi, Kelalaian Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, h. 51

Page 39: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

28

Dari uraian tentang unsur kelalaian yang dikemukakan oleh Jonkers

tersebut jika diterapkan dengan adanya pertanggung jawaban pidana terutama

tentang malpraktek:

a) Tidak adanya persetujuan tindakan medik terhadap pasien yang dimintakan

oleh dokter, jelas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

b) Akibat sebenarnya dapat dibayangkan, artinya bahwa tanpa adanya

persetujuan tersebut seharusnya dokter dapat membayangkan akibatnya

(mislnya: pasien merasa dirugikan atas tindakan dokter tersebut)

c) Akibat sebenarnya dapat dihindarkan, artinya sebenarnya dokter dapat

meminta persetujan terlebih dahulu kepada pasien. Hal tersebut untuk

menghindari sesuatu yang merugikan pasien.

d) Perbuatan dapat dipersalahkan kepadanya, artinya bahwa dengan adanya

pelanggaran kentuan informed consent maka perbuatan dokter tersebut dapat

dipersalahkan dan dimintai pertanggung jawaban.

Arrest Hoge Raad, tanggal 3 februari 1913 merumuskan definisi kelalaian

sebagai suatu sifat yang kurang hati-hati, kurang waspada atau kelalaian berat.20

Van Hamel menyatakan bahwa kelalaian atau kealpaan itu mengandung

dua syarat, yaitu:

a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum

b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

20Ibid., h. 52

Page 40: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

29

Dalam praktek menentukan kelalaian atau kealpaan, dan harus dituduhkan

dan dibuktikan oleh jaksa adalah syarat kedua (tidak mengadakan penghati-hati

sebagaimana yang diharuskan oleh hukum). Sesungguhnya kalau syarat kedua ini

sudah ada maka pada umumnya syarat pertama juga sudah ada. Barang siapa

dalam melakukan suatu perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang

seperlunya, maka dia juga tidak menduga-duga akan terjadinya akibat yang

tertentu itu karena kelakuannya.

Alasan ini dipahami, karena syarat yang kedua objek penilaiannya

terletak pada apa yang dilakukan atau tingkah laku terdakwa itu sendiri

(hubungan lahir). Sedangkan syarat pertama lebih menitik beratkan pada

hubungan batin terdakwa dengan akibat yang timbul karena perbuatannya,

sesuatu hal yang sukar untuk dibuktikan oleh jaksa. Hubungan batin diperlukan

untuk dapat mempertanggungjawabkan terhadap akibat yang dilarang.

c) Tanggung Jawab Administrasi

Mengenai tanggung jawab dokter dalam segi hukum administrasi dalam

kaitannya dengan pelaksanaan informed consent maka dengan tegas telah

dinyatakan dalam pasal 13 Permenkes Nomor 585 tahun 1989 yaitu:

”Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik atanpa adanya persetujuan

dari pasien tau keluarganya dapat dimintakan sanksi aministratif berupa

pencabutan surat izin praktek”.21

Selain ketentuan dalam pasal 13 permenkes tersebut, diperkuat lagi

dengan ketentuan pasal 11 UU. No 6 tahun 1963 yaitu:

21Nanik Marianti, Op, cit., h. 8

Page 41: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

30

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan

perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan

tindakan adaministratif dalam hal sebagai berikut:

a) Melalaikan kewajiban

b) Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh

seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupu

mengingat sumpah sebgai tenaga kesehatan.

c) Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d) Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-undang.22

Apabila ketentuan diatas dikaitkan dengan malpraktek karena

pelanggaran informed consent, maka menteri kesehatan dapat mengambil

tindakan administratif tersebut setelah mendengar Majelis Kehormatan Etik

Kedoktean (MKEK).

Diantara beberapa penjelasan tentang tanggungjawab dokter, maka

tidak akan lepas dari penjelasan tentang hak-hak tenaga kesehatan khususnya

dokter, antara lain:23

1) Meakukan praktek kedokteran setelah memperoleh Surat Izin Dokter

(SID) dan Surat Izin Praktek (SIP).

2) Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien atau

keluarganya tentang penyakitnya,

22Husen Kerbala, Op, cit., h 95

23Ibid, h. 52-54

Page 42: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

31

3) Bekerja sesuai dengan standar profesi.

4) Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika,

hukum, agama, dan, hati nurani.

5) Menolak pasien yanga bukan bidang spesialisnya, kecuali dalam keadaan

gawat darurat, atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya

6) Menerima imbalan jasa

7) Hak membela diri

Jadi sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah dilakukan secara

benar dan patut menurut standar profesi, standar prosedur operasional, maka

meskipun tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan, tidak melahirkan

malpraktek kedokteran dari sudut hukum, namun apabila setelah perlakuan medis

terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan (tanpa penyembuhan)

atau bisa jadi lebih parah sifat penyakitnya karena perlakuan medis dokter yang

menyalahi standar profesi, maka dokter dianggap melakukan malpraktek

kedokteran. Tentu dengan beberapa syarat, yakni, tidak sembuh atau lebih parah

penyakitnya setelah perlakuan medis dari sudut standar profesi, standar prosedur,

dan prinsip-prinsip umum kedokteran.

Dua keadaan itu benar-benar sebagai akibat langsung (causal verband)

dari sebuah perlakuan medis oleh dokter. Jika dua syarat ini ada, berarti dokter

telah termasuk melakukan malpraktek kedokteran sehingga pasien berhak

menuntut penggantian kerugian atas kesalahan perlakuan medis dokter tersebut.

Apabila perlakuannya parah sampai memenuhi kreteria pidana, seperti kematian

Page 43: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

32

atau luka (pasal 359 atau 360 KUHP) maka pertanggungjawaban pidana yang

wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata) saja, akan tetapi boleh

jadi pemidanaan.24

C. Tanggung Jawab Profesi Kedokteran Menurut Syariat Islam

Kedokteran atau sejenis kedokteran dalam bahasa Arab disebut al-Thibb.

Ungkapan ini sudah dikenal sejak zaman Nabi, dapat dijumpai dalam sejumlah

teks Hadits. Secara praktis al-Thibb berarti pengobatan fisik (al-jism) dan jiwa

(al-nafs). Arti kata al-Thibb adalah keahlian atau kepakaran dalam berbagai

bidang, maka dalam setiap pakar atau orang yang ahli dalam pekerjaan atau

sesuatu disebut Thabib. Dari sinilah maka pakar, praktisi, atau ahli kedokteran

disebut al-Thibb atau al-Thabb, jamaknya attibba’ (untuk jumlah banyak),

attibbat (untuk jumlah sedikit).25

Secara terminologis, Ibn Rusyd (w. 595 H.) mendefinisikan ‘ilm al-Thibb

sebagai ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan badan manusia dari segi

sehat atau tidaknya.26 Ibn Sina27 (980-1036 M.) mendefinisikan sebagai

24Adami Chazawi, SH, Malpraktek Kedokteran; Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum,

(Malang: Bayumedia Publising, 2007), cet. Ke-I, h. 46 25Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), h. 553-554 26Muhammad al-Mukhtar, Ahkam al-Jirahat al-Thibbiyyat wa al-Atsar al-Mutarattibat

‘alaiha, dalam Respon Ulama Indonesia Terhadap Isu-isu Kedokteran dan Kesehatan Modern, (Thaif: Maktabat al-Shiddiq, 1993), h. 30

27Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Husain bin ‘Abd Allah bin Hasan bin ‘Ali bin Sina.

Dalam literatur Barat Ibn Sina dikenal dengan Avicenna berasal dari lidah Bahasa Latin. Lahir pada bulan Safar 370 H/ Agustus 910 M. Ia wafat pada bulan Ramadhan 426 H/ 1037 M, dalam usia 58 tahun,. Lihat Zainal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avisenna); Sarjana dan Filosof Besar Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 23-54

Page 44: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

33

pengetahuan tentang keadaan tubuh manusia yang menyangkut kesehatan dan

gangguannya, tujuannya adalah untuk menjaga kesehatan dan memulihkannya

kembali kesehatannya seperti sedia kala.28

Dalam perspektif Islam mengenai masalah tanggungjawab terdapat

beberapa hadits Nabi SAW, yang berkenaan dengan tanggungjawwab profesi

terutama profesi Kedokteran diantaranya:29

آلكم: يقول م.ص االله رسول سمعت يقول عمر بن االله عبد أن رعيته عن مسؤول و راع الإمام رعيته عن مسؤول وآلكم راع رعية والمرآة رعيته عن مسؤول وهو أهله في راع الرجال و دهسي مال في راع والخادم رعيتها عن مسؤلة و زوجها بيته في مسؤول و أبيه مال في راع الرجال و: قال رعيته عن مسؤول و

)البخاري رواه (رعيته عن مسؤول و راع آلكم و رعبته عن

Artinya:

“Abdullah bin Umar r.a. mengabarkan, bahwa Rasulallah SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya, Imam itu pemimpin dalam keluarganya, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangga, dan bertanggungjawab tentang kepemimpinannya. Khadam (pembantu) itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Kata Abdullah, agaknya Nabi SAW juga bersabda: “Laki-laki itu pemimpin bagi harta-harta ayahnya, dan bertanggunggjawab terhadap kepemimpinannya. Kamu seluruh adalah pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya”. (H.R. Bukhari)

28Ibn Sina, al-Qanun fi al-Thibb, (Beirut: Daar al-Fikr, T.tt.), h. 3 29Zainuddin Hamidy. Dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, Jilid: I, h. 264

Page 45: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

34

Dalam sunan Ibn Majah, dikatakan bahwa orang yang tidak memiliki ilmu

kedokteran atau tidak berpengalaman atau dokter yang dangkal ilmunya, maka ia

bertanggungjawab atas kesalahannya, sebab ia menganggap tubuh seorang dengan

kebodohannya. Sebagaimana dalam riwayat:

م .قال رسول االله ص: عن عمرو بن شعيب من أبيه عن جده قالرواه ابن (من تطبب ولم يعلم منه طبيب قبل ذلك فهو ضامن

)ماجه

Artinya:

“Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah)

Menurut al-Khattibi,30 berkenaan dengan masalah tanggungjawab profesi

kedokteran yang mengatakan:

قال الخطابي لا أعلم خلافة في المعالج إذا تعدي فتلف المريض إذا تولد آان ضامنا والمتعاطي على علما و عملا لا يعرفه متعد ف

من فعله التلف ضمن الدية و سقط عنه القود لأنه لا يستبد بذلك ته لدون إذن المريض وجناية الطبيب على القول عامة على عاق

Artinya:

“Aku tidak melihat adanya perselisihan pendapat tentang dikenainya tanggungjawab bagi seorang yang melakukan pengobatan kemudian menimbulkan korban. Bagi orang yang menguasai teori maupun praktek namun begitu berpengalaman (ia melakukan terapi tanpa menimbulkan korban) maka ia dikenai tanggungjawab berupa membayar diyat dan ia terlepas dari hukum qisash, lantaran praktek pengobatannya itu bukan atas inisiatif sendiri,

30Ibn Hajar al-Kanany al-Astqalany, Subul al-Salam, (Bandung: Dakhlan, T.Th), juz. III, h.

250

Page 46: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

35

melainkan dasar persetujuan si pasien. Menurut kebanyakan ahli ilmu, tanggungjawab dokter (berupa diyat) dibebankan kepada keluarganya.”

Anjuran belajar ilmu kedokteran secara khusus, juga tercakup dalam

perintah Nabi تداووا (berobatlah).31 Juga dalam Hadits yang artinya: “Setiap

penyakit ada obatnya”. Untuk mengetahui obat suatu penyakit jelas perlu dicari

tahu dan dipelajari, dan untuk itu perlu belajar imu kedokteran yang atau

sejenisnya. Juga tersirat dalam Hadits, ketika Nabi ditanya tentang manfaat ilmu

kedokteran, dijawabnya oleh Nabi: “Allah yang menciptakan penyakit dan

obatnya”.32

Dalam konteks bahasa Indonesia,33 istilah tabib dan dokter dibedakan.

Tabib di fahami sebagai orang yang pekerjaannya mengobati orang sakit secara

trdisional, sedangkan dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran yang ahli

dalam hal penyakit dan pengobatannya.

Dalam konteks literatur Islam tentang pengertian dari profesi

kedokteran, dijelaskan bahwa kata dokter (الطبيب), merupakan bentuk kata tansitif

31Misalnya Hadits: رواه احمد عن (واو ا الدواء فتدان االله عز وجل حيث خلق الداء خلق

)انس “Berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, mengetahui orang yang mempunyai pengetahuan tentang itu, dan orang yang tidak mempunyai pengetahuan tidak menggetahuinya.” (HR. Ahmad dari Ibn Mas’ud). Dengan redaksi berbeda namun maksud sama, lihat pula Ahmad Ibn_Hanbal, op. cit., j. I, h. 377, 413, 443, 446, j. IV, h. 270.

32Misanya Hadits: عن جابررواه البخارى و مسلم و ابن حبان والحاآم (لكل داء داواء(

Ahmad, op. cit., j. III, h. 156

33Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 240

Page 47: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

36

الطبيب في الأصل هو الحادق بالأمور و العارف بها و به سمي الطبيب الذي يعالج المريض

Artinya:

“Asal kata dokter bermakna: orang yang cakap, atau ahli dalam bidang segala permasalahan, dan mengetahui tentang segala sesuatu, dan dikatakan dokter ialah orang yang ahli dalam mengobati orang sakit”

Sedangkan menurut Luwis Ma’luf, menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan dokter adalah:

صاحب علم الطبيب أو آل ماهر حادق بعلمه Artinya:

”Dokter adalah sesorang yang memiliki keahlian dibidang medis (pengobatan), dapat juga diartikan orang yang mahir dan cakap dalam pekerjaannya”

Yusuf Syeikh Muhammad al-Baqaiy, memberikan definisi dari dokter

sebagai berikut:35

الطبيب هو الماهر الحادق بعلمه

“Dokter ialah orang yang mahir (ahli) dan cakap dalam pekerjaannya”

1. Pertanggungjawaban Etika

34Ibn al-Manzhur, Lisan al-‘Arabi, (Kairo: Daar al-Hadits, 1423 H/ 2003 M.), Juz IV, h. 556 35Yusuf Syeikh Muhammad al-Baqaiy, al-Qomush al-Muhith, (Beirut: Daar al-Fikr, 1415 H/

1995 M), h. 101

Page 48: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

37

Etika pengobatan dalam literatur Islam dikenal dengan Adab. Adab yang

dalam literatur Hadits dan literatur awal pasca-Islam berarti: cara yang layak,

etika yang baik, dan tata cara yang benar. Banyak karya mengenai etika

pengobatan. Buku-buku tersebut mencoba menanamkan nilai moral yang baik dan

praktis disertai dengan etika profesional dalam bidang masing-masing. Amal yang

praktis dan akhlak yang terpuji ditekankan dalam semua profesi. Kendati al-

Ghazali mengatakan bahwa kesalehan bukan menjadi syarat untuk menjadi ahli

hukum seperti ini, menurutnya, merupakan pekerjaan intelektual, kesalehan dan

akhlak terpuji membantu dalam penerimaan secara umum pendapat ahli hukum

tersebut, sedangkan akhlak akan mengurangi nilainya.36

Kesalehan dan keikhlasan seorang dokter dikenakan dikalangan

pengobatan Yunani, yang dianggap sebagai penjaga tubuh dan jiwa. Dalam hal

ini, etika dalam literatur Islam menjadi sangat penting, yaitu:

1) Menyangkut tanggungjawab etis seorang dokter terhadap pasien yang

memiliki dua dimensi dalam Islam, antara lain:

a) Hubungan antara dokter dengan pasien; keramahan, kesabaran, perhatian

serta keyakinan profesional yang diperlihatkan kepada pasien;

b) Keyakinan kuat bahwa jika dokter itu bukan orang baik dan etis, maka

pengobatan tidak akan berjalan efektif dengan mengabaikan pertimbangan

bahwa dokter yang tidak etis tentu saja akan bereputasi buruk sehingga

tidak akan berhasil.

36Rahman, Etika Pengobatan Islam, h. 127

Page 49: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

38

2) Dalam etika Islam, kesehatan merupakan unsur kesehatan yang utuh, artinya

jika orang tidak bermoral baik, positif, dan seimbang, ia juga tidak bisa

merawat kesehatan dengan secara utuh. Jadi persefektif ini, baik kesehatan

moral maupun kesahatan fisik, menjadi perhatian medis secara langsung.37

2. Pertanggungjawaban Secara Disiplin

Pengertian disiplin kedokteran Islam adalah sejumlah aturan yang harus

diaplikasikan oleh sang dokter bila dalam penerapan keilmuanya harus patuh

terhadap sistem keilmuan kedokteran yang sudah diatur.38

Dalam pelaksanaannya para dokter harus bisa menjalankan tugasnya

dengan kompetensi, penuh rasa profesional, dan harus mengedepankan ajaran

akhlak dalam perilaku kepada pasien yang membutuhkan bantuan pengobatannya.

Pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter akan mendapatkan sanksi yang

harus diterima oleh dokter mulai dikenakan denda hingga dicabut izin praktek

oleh sejumlah ahli kedokteran yang memang ditunjuk untuk menilai perilaku dari

para dokter yang melaksanakan tugasnya.

3. Pertanggungjawaban Secara Hukum

37Ibid., h. 133 38Op. cit, h. 140

Page 50: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

39

Pengertian pertanggungjawaban sendiri dalam hukum Islam ialah:

pembebasan seorang bersama hasil perbuatan yang telah dikerjakannya dengan

kemauan sendiri dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari

perbuatannya itu.39

Adapun pertanggungjawaban dalam fikih jinayah dilandasi atas tiga

prinsip, yaitu:40

1) Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan yang

diwajibkan;

2) Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri dengan kata lain bahwa

pelaku memiliki pelihan yang bebas untuk melakukan atau meninggalkan

perbuatan tersebut;

3) Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan yang ia lakukan.

Dengan adanya syarat-syarat tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa

yang bisa terbebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang

berakal fikiran dewasa dan berkemauan sendiri.

Pada diri orang dewasa melekat kewajiban untuk melaksanakan yang

diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, orang ini disebut orang yang

mempunyai Ahliyat al-Ada’. Ahliyat al-Ada’ ini berpatokan pada akal sehat,

artinya hanya manusia yang berakal sehat yang terkena beban tuntutan (taklif)

39Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), cet. Ke-IV,

h. 154 40Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 242

Page 51: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

40

ثة عن الصبى حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ رفع القلم من ثلا 42وعن المجنون حتى يفيق

Artinya:

“Ali r.a. meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: tiga perkara yang dihapuskan dari dirinya, yaitu: anak kecil sampai ia bermimpi, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sadar”43

Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana Islam tidak dibebani atas

orang yang tidak berakal-fikiran, karena orang tersebut bukanlah orang yang

mengetahui dan tidak bisa menentukan pilihan. Demikian pula orang yang belum

dewasa, tidak bisa dikatakan pengetahuan dan pilihannya sudah sempurna.

Bagaimanapun berat tanggungjawab dokter, ia tetap harus melasanakan

tugasnya dengan baik, sebab ia akan dituntut pertanggungjawabannya kelak.

Adanya tanggungjawab pada masing-masing individu merupakan isyarat nash

terhadap adanya kewajiban untuk menunaikan tugas dengan baik demi

kemaslahatan manusia sendiri.

41Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, h. 155 42Syeikh Imam Abi Ishak Ibrohim, al-Muhadzid Fiq al-Imam As-Syafi’I, (Daar al-Fikr, Juz

II), h. 267

43Aridhatul al-Ahwadzi Bisyarhi, Shahih Tirmidzi. (Daar al-Wahyu al-Muhammadi, 1989), Bab: Hudud., h. 195

Page 52: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

41

⌧ ⌧

)36: 17/الإسرأ ( Artinya:

“Janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S. al-Isra’. 17: 36)

Kemudian, jika semua itu dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu

kedokteran atau tidak memiliki pengalaman di bidangnya, maka ia bertanggung

jawab terhadap kesalahannya, sebab ia telah dianggap melakukan kesalahan.

Dalam sebuah riwayat Hadits:44

م .قال رسول االله ص: عن عمرو بن شعيب من أبيه عن جده قالرواه ابن (من تطبب ولم يعلم منه طبيب قبل ذلك فهو ضامن

)ماجهArtinya:

“Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah)

Ja’far Khadim45 menjelaskan, bahwa apabila dokter yang mahir dan

mendapatkan izin serta melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi membuat

kesalahan, sehingga merubah organ sehat dan merusaknya, maka dokter wajib

44Abu Daud (Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar al-Fikr,

1994), juz IV, h. 198 45Jalal al-Din “Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qowa’id

wa al-Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyat, (Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987), h. 233

Page 53: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

42

memikul tanggungjawab atas kesalahannya tersebut. Apabila yang rusak melebihi

bagian dari organ, maka ganti rugi akan ditanggung oleh ‘Aqilah (keluarga atau

ahli warisnya), namun apabila tidak ada, maka baitulmal atau tidak ada baitulmal,

menimbulkan dua pendapat: (1) dokter wajib membayar dengan hartanya sendiri

atau (2) dengan gugurnya diyat.

Pandangan Setiawan Budi Utomo, dalam hal praktek kedokteran Islam,

ulama fikih berbeda pendapat, apakah dokter dituntut kesalahannya atau tidak.

Dan ia mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam al-Thib al-Nabawi,

membedakan lima macam dokter dalam melaksanakan tugasnya terdapat

beberapa resiko hukum.46

Pertama, dokter yang memang ahli dan melaksanakan tugasnya

profesinya sesuai dengan ilmu kedokteran, jika dalam pengobatan yang diizinkan

pasien terjadi kecelakaan, seperti cacat atau mati, maka jamhur ulama

berpendapat dokter tersebut tidak dituntut hukum pidana, namu bagi Abu

Hanafiyah, dokter tersebut wajib membayar diyat.

Kedua, dokter ahli yang mengobati dengan izin pasiennya dan sesuai

dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya, namun dalam pelaksanaannya dokter

tersebut tidak memenuhi kesepakatan mereka berdua. Bagi mayoritas ulama fikih,

dokter tidak wajib membayar diyat, namun dikalangan ulama Mazhab Hambali

menyatakan harus menanggung diyat karena masuk dalam kategori jinayah

46al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, h. 109-111, Lihat Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual:

Jawaban Tuntas Maasalah Kontemporer, (Depok: Gema Insani Press, 2003), h. 51

Page 54: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

43

khata’. Sementara Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat pada

baitulmal.

Ketiga, dokter ahli yang dalam melaksanakan pekerjaan dan pengobatan

terhadap pasien yang melakukan pengobatan ijtihadnya sendiri, tetapi ia keliru

dalam melakukan ijtihadnya sehingga menyebabkan korban luka atau meninggal.

Dalam hal ini ganti rugi dibayar oleh baitulmal untuk keluarga korban. Namun

bagi Imam Ahmad bin Hambal yang membayar ganti rugi keluarga dari dokter itu

sendiri.

Keempat, dokter yang melakukan pengobatan tanpa izin, baik dari pasien

itu sendiri ataupun walinya, bila dalam bekerja dokter melakukan kesalahan,

maka ulama mazhab Hambali menyatakan dokter itu wajib menanggung rugi.

sementara pendapat lain bahwa dokter tidak harus bertanggungjawab atas

kerugian tersebut, karena dalam praktek tersebut dokter berusaha berbuat baik

sesuai kemampuan yang dimilkinya.

Kelima, orang yang tidak mempunyai ilmu kedokteran tetapi melakukan

praktek yang mengakibatkan pasien itu cacat atau meninggal. Dalam hal ini, jika

sebelumnya pasien itu tau bahwa ia bukanlah seorang dokter maka pasien atau

walinya tidak berhak menerima ganti rugi, akan tetapi jikalau pasien tidak

mengetahui bahwa ia bukan dokter maka dokter tersebut wajib memberikan ganti

rugi kepada pasiennya.

Page 55: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

BAB III

PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN

DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT

A. Tinjauan Tentang Malpraktek

1. Pengertian Malpraktek

Malpraktek dalam bahasa asing (Inggris), disebut dengan

”Malpractice”, sedangkan menurut Drs. Peter Salim, dalam The

Contemporary English Indonesia Dictonary: perbuatan atau tindakan yang

salah, malpraktek juga berarti ’praktek yang buruk’ (badpractice) yang

menunjukan pada setiap tindakan yang keliru.

Menurut Hermein Hadiati Koeswadji,1 memberikan definisi tentang

malpraktik yaitu: suatu bentuk profesional yang dapat menimbulkan luka-luka

pada pasien akibat langsung dari suatu perbuatan atau kelalaian dokter.

Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk

menterapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan

pelayanan pengobatan atau perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya

diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di wilayah

yang sama.2

1Y.A. Triana Ohoiwatun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, (Malang: Bayu Media, 2007),

h. 48 2J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, (Jakarta: FKUI, 1991), h. 22

44

Page 56: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

45

Sedangkan menurut Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, dalam Kamus

Inggris Indonesianya, ’malpraktek’ berarti cara perbuatan yang salah. Adapun

ruang lingkupnya mencakup kurangnya kemampuan untuk melaksanakan

kewajiban-kewajiban profesional atau didasarkan kepada kepercayaan.3

Dalam bahasa Belanda, malpraktek disebut dengan istilah ”kunstfout”

(seni salah), merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan dengan sengaja

akan tetapi disini ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli

dalam dunia medis dan tindakan mana yang mengakibatkan sesuatu hal yang fatal

(misalnya: mati, cacat karena lalai; lihat pasal 359, 360, 361 KUHP)

J. Guwandi, dalam pengertiannya merumuskan malpraktek yaitu:

1) Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

2) Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban.

3) Melanggar atau sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan

perundang-undangan.4

Beberapa pengertian tentang malpraktek tersebut diatas, kiranya dapat

diperjelas dengan pengertian malpraktek, yaitu: dalam arti umum, malpraktek

adalah praktek jahat atau buruk, yang tidak memenuhi standar yang ditentukan

oleh profesi. Dilihat dari sudut pasien yang telah dirugikan itu, meliputi

kesalahan, pemberian diasgnosa, selama operasi, dan sesudah perawatan.5

3Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, (Jakarta: Bina Aksara, T,Tt), h. 37 4J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, (Jakarta: FKUI, 1991), h. 18 5Ninik Marianti, op. cit., h. 38

Page 57: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

46

Dengan demikian malpraktek mempunyai pengertian luas, yang dapat

dijabarkan sebagai berikut:

1. Dalam arti umum: suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk,

yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi.

2. Dalam arti khusus (dilihat dari segi pasien) malpraktek dapat terjadi dalam:

a) Menentukan diagnosis, misalnya; diagnosisnya penyakit maag, tapi

ternyata pasien sakit liver yang berbahaya.

b) Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya melakukan opearsi pada

bagian mata yang kanan, akan tetapi yang dilakukan pada mata bagian

yang kiri.

c) Selama menjalankan perawatan, dan

d) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan.

Dengan demikian malpraktek dapat terjadi tidak saja selama waktu

menjalankan operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis

sampai sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien.

Dengan tidak mengurangi pengertian tentang malpraktek yang lain, maka

sebagai perbandingan terhadap beberapa pengertian tentang malpraktek, perlu

penulis kemukakan juga rumusan tentang kesalahan melakukan profesi seperti

yang terdapat dalam pasal 11 Undang-undang Nomor 6 tahun 1963 tentang

Tenaga Kesehatan, yang berbunyi sebagai berikut: “Dengan tidak mengurangi

ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan yang

Page 58: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

47

lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan

administratif dalam hal sebagai berikut:

a) Melalaikan kewajiban

b) Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang

tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat

sumpah sebagai tenaga kesehatan.

c) Mengabaikan sesuatau yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d) Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau bedasarkan Undang-undang.6

Ketentuan mengenai malpraktek pada pasal 11 UU. No. 6 Tahun 1963

tersebut hampir sama dengan pengertian malpraktek yang dikemukakan oleh J.

Guwandi. Selain itu pengertian tentang malpraktek diatas dirasa telah cukup untuk

mengetahui apa itu malpraktek.

2. Bentuk Malpraktek

Sesuai dengan beberapa kategori bidang hukum, maka malpraktek

menurut DR. Soerjono Soekanto, SH. MA dan Dr. Karyono Muhammad, dapat

dikategorikan dalam beberapa bidang hukum:

1) Malpraktek dalam bidang hukum pidana antara lain:

a) Membuat surat keterangan palsu (pasal 263 dan 267 KUHP);

b) Menipu penderita atau pasien (pasal 378 KUHP);

6Ibid, h. 40

Page 59: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

48

c) Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka

(melanggar pasal 351, 359, 360, dan 361 KUHP);

d) Melakukan pelanggaran kesopanan (pasal 290 ayat 1, 294 ayat 2, 285, dan

286 KUHP);

e) Melakukan pengguguran tanpa adanya indikasi medis (pasal 299, 348,

349, dan 350 KUHP);

f) Membocorkan rahasia kedoktran yang diadukan oleh penderita (pasal 322

KUHP);

g) Kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong (pasal 322 KUHP);

h) Tidak memberikan pertolonggan kepada orang yang berada dalam

keadaan bahaya maut (pasal 351 KUHP);

i) Memberikan atau menjual obat palsu (pasal 386 KUHP);

j) Euthanasia (pasal 344 KUHP).

2) Malpraktek dalam bidang hukum perdata, antara lain dalam hal:

a) Melakukan Wanprestasi (pasal 1239 KUHPer);

b) Melakukan perbuatan yang melanggar hukum (pasal 1365 KUHPer);

c) Melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPer);

d) Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (pasal 1367 ayat 3

KUHPer).

3) Malpraktek dalam bidang hukum administrasi, antara lain:

a) Melakukan praktek tanpa izin (PP. No. 36 tahun 1966)

Page 60: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

49

b) Melanggar wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak dikenakan pada

pasal 322 atau 112 KUHP (pasal 4 PP. No. 10 tahun 1966).7

Dari berbagai jenis malpraktek yang terbagi menjadi 3 bidang hukum

tersebut menunjukan bahwa malpraktek tidak hanya terjadi pada bidang hukum

tertentu saja (misalnya hukum pidana saja), akan tetapi juga dapat terjadi di semua

bidang hukum. Hal tersebut menunjukan perlu adanya peraturan di setiap bidang

hukum yang mengatur tentang malpraktek agar setiap pelanggaran atau terjadi

malpraktek pasien tidak perlu khawatir tidak ada landasan hukum untuk menjerat

kasusnya.

3. Tindakan Medis Yang Bersifat Malpraktek

Untuk dapat menilai dan membuktikan suatu perbuatan (tindakan medis)

termasuk kategori malpraktek atau tidak, biasanya dipakai empat kreteria, antara

lain:

1) Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (a duty of due

care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh pelaksana

kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang diharapkan (persyaratan).

Misalnya seorang dokter spesialis mempunyai tanggung jawab memberikan

standar perawatan yang lebih tinggi dari dokter umum, sesuai dengan

kedudukan status profesionalnya.

7Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, h. 41

Page 61: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

50

2) Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty). Untuk

membuktikan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran terhadap standar

perawatan yang diberikan kepada seorang pasien maka diiperlukan kesaksian

ahli dari seorang dokter yang mengerti.

3) Apakah kelalaian itu merupakan benar-benar merupakan penyebab cedera

(causattion). Dalam hal ini harus dibuktikan bahwa ada tidaknya unsur

kelalaian yang dilakukan oleh dokter sehingga akibat dari kelalaian tersebut

telah mengakibatkan luka, cedera, bahkan menyebabkan kematian pasien

4) Adanya ganti rugi (damage). Bila dapat dibuktikan bahwa kelalaian penyebab

cedera, maka pasien berhak memeperoleh ganti rugi yang terdiri dari

pengganti biaya pengobatan, kehilangan pendapatan, kesakitan fisik, tekanan

jiwa dan frustasi.8

Dari keempat kreteria tersebut, dapat diambil garis besar mengenai

kreteria tindakan medik yang bersifat malpraktek yaitu:

1) Tindakan medik yang diberikan tidak layak dan tidak sesuai dengan standar

perawatan yang diberikan.

2) Tindakan medik yang bersifat malpraktek harus terdapat pelanggaran

kewajiban yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.

3) Tindakan tersebut terdapat kelalaian yang mengakibatkan cedera, lika,

ataupun kematian.

8Ibid., h. 54

Page 62: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

51

4) Tindakan medis yang bersifat malpraktek, didalamnya harus ada ganti rugi

jika terjadi malpraktek.

4. Pertanggung Jawaban Hukum Yang Bersifat Malpraktek

Seorang dokter hendaknya dalam melakukan tindakan medis harus sesuai

dengan standar profesi yang telah ada agar tindakan tersebut tidak merugikan

pasien, bahkan tindakan medik tanpa prosedur yang menimbulkan luka atau cacat

bahkan kematian seorang pasien tentu digolongkan ke dalam malpraktek medis

dan atas tindakannya tersebut seorang dokter dapat dituntut ke pengadilan.

Seperti yang telah diuraikan bahwa tindakan medis yang dapat

digolongkan menjadi malpraktek adalah diantaranya tindakan itu terdapat unsur:

1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban.

3. Melanggar sesuatu ketentuan menurut apa atau berdasarkan peraturan

perundang-undangan.9

Sehingga jika seorang dokter melakukan semua unsur diatas maka jelas

bahwa tindakannya tersebut tergolong malpraktek. Sebagai akibatnya dokter yang

melakukan perbuatan tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban hukum atas

perbuatan yang merugikan pasien tersebut.

Adanya pertanggung jawaban hukum tersebut adalah sebagai akibat dari

dilakukannya sesuatu perbuatan yang disebut malpraktek. Malpraktek merupakan

9J. Guwandi, op.,cit, h. 18

Page 63: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

52

perbuatan yang merugikan dilihat dari segi pasien yang menjadi korban, apapun

akibat yang timbul tindakan medik yang dilakukan dokter, jika atas tindakan itu

tidak sesuai dengan standar profesi ataupun melakukan tindakan medik yang

bukan merupakan kompetensinya, maka dokter tersebut dapat dikatakan

melakukan malpraktek medis.

B. Faktor Penyebab Dugaan Sengketa Medik

Ilmu kedokteran dalam kenyataannya telah mengalami kemajuan yang

pesat dan pengobatan terhadap suatu penyakit yang dahulu dianggap “kutukan

keturunan” sekarang sudah banyak yang dapat disembuhkan sesuai dengan

perkembangan ilmu kedokteran. Namun pada masa sekarang dapat dirasakan

bahwa kegiatan para dokter untuk menyembuhkan pasien dengan suatu

pengobatan itu sering terhambat oleh sikap pasien atau keluarganya yang akan

menjadi kebiasaan untuk menuntut secara umum terhadap dokter atau rumah sakit

jika hasil pengobatannya dianggap kurang berhasil, apalagi kegagalan pengobatan

itu jika dinilai merupakan kesalahan dokter.10

Sedangkan profesi kedokteran yang mana didalam Undang-undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Prakktek Kedokteran, diartikan sebagai suatu

pekerjaan kedokteran yang dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan suatu

keilmuan dan kompetensi. Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana profesi

10Yahyanto, SH. Tanggung Jawab Dokter dari Kesalahan Profesi Kedokteran, Materi Kuliah

Fakultas Hukum 19 Nopember Kolaka.

Page 64: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

53

kedokteran tidak lain adalah tindakan (medik) yang salah atau kekeliruan yang

dilakukan oleh profesi kedokteran yang buruk dan berakibat buruk atas perbuatan

tersebut.11

Akan tetapi kebanyakan para pakar menggunkan beberapa istilah lain

dalam tindak pidana profesi kedokteran, yaitu ’Medical Malpractice’ yang dalam

bahasa Indonesia disebut juga dengan ’kelalaian medik’.12

Malpraktek merupakan suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk

bersifat stigmatis, menyalahkan. Praktek buruk dari seseorang yang memegang

suatu profesi dalam arti umum. Tidak hanya medis saja sehingga ditujukan

terhadap profesi lainnya. Jika ditujukan terhadap profesi medis seharusnya juga

disebut sebagai ”malpraktek medis”. Namun entah mengapa, dimana-mana

terutama mulai di luar negeri, istilah malpraktek ini selalu yang pertama-tama

diasosiasikan terhadap profesi kedokteran.13

Pada dasarnya, kelalaian merupakan salah satu sifat alami manusia yang

tidak dapat dikenakan sanksi atasnya, tetapi atas kelalaiannya tersebut

menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum, terutama apabila sampai

mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, Hukum positif dalam hal ini berupa

hukum pidana, etik profesi, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

11Lihat Beben Mishbah, Tindak Pidana Profesi Kedokteran Menurut Hukum Islam dan

Positif, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2008) 12Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik, (Jakarta:

Srikandi, 2006), h. 86 13J. Guwandi, SH, Hukum Medik (Medical law), (Jakarta: FKUI, 2004), cet. Ke-I, h. 20

Page 65: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

54

Praktek Kedokteran, maupun Hukum Kesehatan ataupun Hukum Islam

sependapat bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah delik yang harus

dipertanggungjawabkan, karena mengingat begitu dahsyatnya dampak yang

ditimbulkan kasus malpraktek medik.

Seringkali terjadi gugat menggugat antara pasien dan dokter, karena para

pihak kurang memahami hak dan kewajiban masing-masing. Gugat-menggugat

bukanlah penyelesaian yang diharapkan, kalau para pihak sadar akan hak dan

kewajibannya, maka akan timbul saling pengertian antara para pihak gugat

menggugat tidak akan muncul lagi.14

Maka, apa yang dinamakan malpraktek dalam kalangan kedokteran,

yang meliputi ‘medical negligence’, yang berakibat kerusakan fisik, mental, dan

financial, dan yang disusul dengan 3 unsur: (1). Kesalahan, (2). Kelalaian dan (3).

Kerugian bagi para pasien, dalam bidang hukum dapat disalurkan melalui

pertanggungan jawab pidana, perdata maupun sanksi administratif yang dapat

dihadapkan kepada seorang dokter.15

Pada dasarnya ada tiga hal yang menyebabkan malpraktek terjadi, yakni:

1) Dokter melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.

2) Menyalahi standar,

3) Melanggar standar prosedur operasional.

14DR. Wila C. Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), cet. Ke- I, h. vii 15Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Dokter,

(Jakarta: Erlangga, 1991), h. 63

Page 66: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

55

Hal itu yang menjadi penyebab malpraktek yang dilakukan oleh dokter

terhadap pasiennya.16

Sedangkan perbuatan melawan hukum menurut Husein Karbala,17

meliputi: Kesengajaan, kelalaian, atau kurang hati-hati. Rachmat Setiawan18

memberikan pengertian perbuatan melanggar hukum dengan menyetujui pendapat

M.A. Mugni Djojodirdjo, yang intinya: ”bahwa pada istilah melawan, melekat

kedua sifat aktif dan pasif yang menimbulkan kerugian pada orang lain”. Jika

didasarkan pada kerugian yang diderita oleh pasien atas perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh dokter, maka yang harus dibuktikan adalah:

1) Bertentangan dengan kewajiban profesinya

2) Melanggar hak pasien yang timbul dari kewajiban profesinya

3) Berrtentangan dengan keasusilaan

4) Bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.

Hal-hal yang telah diuraikan diatas adalah salah satu indikator untuk

menyatakan bahwa seorang dokter atau perawat telah melakukan malpraktek atau

tidak dalam menjalankan profesinya tersebut, disini artinya hukum tidak hanya

melindungi hak-hak pasien, akan tetapi hak-hak dokter.

16Rasyid, Malpraktek Dokter Tidak Ikut Prosedur, Artikel ‘Harian Medan”, edisi: Rabu, 10

Maret 2010 17Husein Karbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1993) 18Rahcmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, (Jakarta: Banacipta,

1991)

Page 67: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

56

Hubungan hukum dokter-pasien memuat hak-hak dan kewajiban hukum

para pihak secara umum yang berlaku bagi dokter dan pasien, walaupun tidak

dibuat secara formal tertulis. Pelaksanaan kewajiaban dokter selalu dibayangi

adanya resiko, baik bagi pasien maupun dokter. Bagi pasien pelayanan dokter

dapat membawa kerugian kesehatan atau nyawa, sedangkan bagi dokter berupa

sanksi mulai dari yang ringan sampai yang berat (administrasi, pidana, dan

perdata). Bagi dokter, kewajiban perlakuan medis secara umum artinya harus

sesuai dengan standar umum kedokteran, walaupun pasien tidak mengerti isi

standar prosedur tersebut.

Pelanggaran terhadap standar profesi dan standar prosedur tersebut yang

menjadi salah satu penyebab terjadinya malpraktek kedokteran di lingkungan

Rumah Sakit.19

Syarat tesebut merupakan perlakuan medis yang pada dasarnya adalah

perlakuan medis yang menyimpang dari standar profesi kedokteran, standar

prosedur operasional atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai

sebab, antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien, dan

lain-lain.

Syarat akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan

tubuh manusia, yakni luka-luka, atau nyawa yang menjadi unsur tindak pidana

tetentu.

19Adzami Chazawi, Ibid., h. 48

Page 68: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

57

Dari beberapa keterangan diatas, maka dapat diasumsikan bahwa,

malpraktek medik adalah ’kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan

tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam

mengobati pasien atau orang terluka menurut ukuran dilingkungannya yang

sama’, kemudian yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah sikap kurang

hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang

seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dengan stuasi tersebut.

Kelalaian juga diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah

standar pelayanan medik.20

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika

kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan

orang itu dapat menerimanya. Hal ini berdasarkan prinsip hukum ’De minimis

nocurat lex’, yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.

Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan

merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat.

Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak

dijumpai, misalnya: melakukan pembedahan dengan maksud untuk membunuh

pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada

pasiennya tanpa adanya indikasi medik, hal ini tidak perlu dilakukan.

20M. Jusuf Hanafiyah, Malpraktek Medik, (Jakarta: EGC, 1999), h. 87

Page 69: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

58

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:

1) Dokter kurang menguasai Iptek kedokteran yang sudah berlaku umum

dikalangan profesi kedokteran,

2) Memberikan pelayanan medik dibawah standar profesi,

3) Melakukan kelalaian berat, atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati

4) Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.

Hal tersebut diatas sangat bertentangan dengan amanat Undang-undang

Nasional tentang Kesehatan, selain itu juga bertentangan dengan amanat Undang-

undang Internasional. Hal lain sebagai salah satu penyebab banyaknya sengketa

medik yang berakibat pada dugaan malpraktek kedokteran adalah faktor

kebijakan manajemen Rumah Sakit, kebijakan-kebijakan rumah sakit seringkali

dapat menjadi pemicu dari banyaknya kasus sengketan medik.

C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik

Dalam pembuktian kesalahan, salah satu tujuannya adalah untuk

menentukan kebenaran yang meyakinkan akan dakwaan atau tuntutan itu. Dalam

pembuktian itu dibutuhkan proses unuk mencari dan menentukan kebenaran

(kebenaran materiil) yang dalam peradilan disebut sebagai kegiatan pembuktian.

Sedangkan kegiatan pembuktian tersebut untuk memperoleh kebenaran hukum

mengenai ada tidaknya kesalahan dalam malpraktek medik.

Kebenaran dalam perkara pidana, merupakan kebenaran yang disusun dan

didapatkan dari jejak, kesan, dan ceminan dari keadaan dan atau benda yang

Page 70: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

59

didasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadan masa lalu yang

diduga menjadi perbutan pidana.

Pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk

menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diproleh melalui

ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta yang terang

dalam hubungannya dengan perkara pidana.

Peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai kekhususan dengan

ciri-ciri sebagai berikut:

1) Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti di bidang pidana, antara

lain apakah kelakuan dan hal-ihwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi

penganiayaan atau tidak;

2) Berkaitan dengan kenyataan yang didapat menjadi perkara pidana, antara lain;

apakah ada korban yang diabaikan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh

manusia dan bukan alam;

3) Diselenggarakan melalui peraturan hukum secara pidana, antara lain

ditentukan oleh yang berwenang memeriksa fakta yang harus dilakukan oleh

polisi, jaksa, hakim dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan.

Sifat khusus dari peranan pembuktian yang demikian itu membawa

pertumbuhan hukum pembuktian untuk mendapatkan rumus-rumus yang menjadi

alat ukur dalam menyelengarakan pekerjaan pembuktian. Rumus yang menjadi

alat ukur yang sudah dikenal dalam hukum pembuktian terdiri atas:

Page 71: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

60

1. Pada dasarnya pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan

pengadilan untuk memeperoleh fakta-fakta yang benar atau disebut

”bewijsgronden”

2. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan hakim untuk mendapatkan gambaran

tentang terjdinya perbuatan pidana yang sudah lampau atau yang disebut

”bewijsmiddelen”

3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di

sidang pengadilan atau disebut ”bewijsveoring”

4. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti dalam rangkaian

penilaian terbuktinya suatu dakwaan atau disebut ”bewijskracht”

5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh Undang-undang untuk membuktikan

tentang dakwaan di muka persidangan atau disebut ”bewijslaft”, dan

6. Bukti minimum yang diperukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan

hakim atau disebut sebagai ”bewijs minimum”.21

Menurut pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata

(KUHAP), alat-alat bukti terdiri atas:

1) Keterangan saksi

2) Keterangan ahli

3) Surat

4) Petunjuk

21Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1986), cet. Pertama, h. 39

Page 72: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

61

5) Keterangan terdakwa.22

Dalam menilai kekuatan pembuktian, alat-alat bukti yang ada dikenal

beberapa sisitem atau teori pembuktiaan, diantaranya:

1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif.

Sistem pembuktiaan ini hanya berdasarkan pada alat pembuktian yang

disebut Undang-undang secara positif. Artinya jikatelah terbukti suatu

perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undng-undang, maka

keyakinan hakim tidak diperlukan lagi.

Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut

di Indonesia, karena katanya, ”bagaimana hakim dapat menetapkan

kebenaran selain menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran

itu”, lagipula keyakinan hakim jujur dan berpengalaman mungkin sekali

sesuai dengan keyakinan masyarakat.23

2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan haikm semata.

Sistem ini bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut

Undang-undangsecara positif. Karena pembuktian ini hanya berdasarkan pada

keyakinan hakim semata. Sistem ini tidak diterapkan karena memberikan

kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit untuk diawasi.

Disamping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan

pembelaan.

22Ibid., h. 40 23Bambang Poernomo, Op. Cit., h. 43

Page 73: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

62

3) Sistem teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis.

Sistem ini terbagi menjadi dua jurusan, yaitu sistem pembuktian

berdasarkan Undang-undang secara negatif. Keduanya punya persamaan yaitu

berdasarkan keyakinan hakim, artinya tidak mungkin dipidana tanpa adanya

keyakinan hakim bahwa ia bersalah.

Perbedaannya adalah sistem yang pertama pada keyakinan hakim tapi

tidak didasarkan Undang-undang. Sedangkan sistem yang kedua yaitu sistem

pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, didasarkan pada aturan

pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi juga diikuti oleh

keyakinan hakim.

KUHP menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara

negatif. Hal tersebut dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP, yang berbunyi:

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh suatu tindak pidana

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.24

Jadi pembuktian dalam kasus malpraktek dipakai sistem pembuktian

berdasarkan undang-undang secara negatif, sebab dalam menjatuhkan suatu

hukuman pidana terhadap dokter karena adanya pelanggaran medik,

membutuhkan pembuktian yang akurat. Pembuktian tersebuut dilakukan untuk

membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dokter dalam menjalankan

penanganan medik terutama masalah malpraktek yang dapat merugikan pasien.

24Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 232

Page 74: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI KEDOKTERAN

TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK

Dalam Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam

A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Positif

1. Konsep Perlindungan Hukum

Hukum merupakan salah satu sarana untuk mengatur, mentertibkan,

dan menyelesaikan berbagai permasalahan ditengah-tengah masyarakat

disamping sarana dan pranata sosialnya. Hermein Herdiati Koeswadji1

memandang fungsi hukum dari tiga hal pokok, yaitu: berfungsi menjaga

keamanan masyarakat, berfungsi menjalankan (menerapkan) ketertiban

peraturan perundang-undangan serta berfungsi menyelesaikan sengketa. Oleh

karena itu berfungsinya hukum banyak tergantung dan dipengaruhi oleh

system sosial budaya lainnya, yaitu ekonomi, sosial, budaya, kebiasaan (adat),

pengetahuan dan pendidikan, agama, lingkungan, politik dan sebagainya.

Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu ‘perlindungan’

dan ‘hukum’. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata perlindungan berasal dari

kata ‘lindung’2 yang berarti “berada dibalik sesuatu” dan hukum adalah

1Hermein Herdiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, (Jakarta: Airlangga University Press, 1984) 2Daryanto, SS, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997), h. 405

63

Page 75: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

64

peraturan yang dibuat dan disepakati baik seacara tertulis maupun tidak

tertulis atau yang biasa disebut peraturan atau undang-undang yang mengikat

perilaku setiap masyarakat tertentu. 3

Nilai-nilai tesebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi

manusia dalam wujudnya sebagai mahluk individu dan mahluk sosial dalam

wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi

mencapai kesejahteraan bersama.4

Upaya pelayanan kesehatan yang bersifat penyembuhan dan

pemulihan kesehatan pasien, pemerintah mendirikan atau menyelenggarakan

rumah sakit-rumah sakit pemerintah dan mengattur, membimbing, membantu,

dan mengawasi rumah sakit yang didirikan dan diselenggarakan oleh badan

swasta.

Dalam proses pemenuhan pelayanan kesehatan oleh pasien atau

keluarganya dari para pihak medis (dokter dan perawat) yang berada di

Rumah Sakit, tidak jarang para pasien menemukan hal-hal yang kurang

menyenangkan atau memuaskan akibat perlakuan yang tidak wajar yang

dilakukan oleh dokter atau para medis yang ada. Apalagi komunikasi antara si

pasien atau keluarganya dengan pihak rumah sakit khususnya dokter atau para

medis seperti perawat, yang didalam praktiknya masih kurang dapat perhatian,

3Daryanto, Op. cit. h. 271 4Noyy, Administrasi Negara Mengenai Tinjauan Umum Perlindungan Hukum, Lihat, http//one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/ tinjauan-umum-perlindungan-hukum.

Page 76: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

65

bahkan tidak terjalin secara baik. Ditinjau dari sumpah jabatan atau profesinya

tidak sedikit telahh terjadi pelanggaran kode etik.5

Yang lebih bahaya lagi dalam memberikan pelayanan kesehatan

dimaksud, terdapat unsur kelalaian yang akibatnya merugikan pasien,

kelalaian semacam itu dalam hukum kesehatan dapat dikategorikan dengan

perbuatan malprkatek. Terhadap malpraktek yang dimaksud tentu dari aspek

hukum, seorang pasien dan atau keluarganya berhak mendapatkan

perlindungan, apakah dari segi keperdataan maupun dari segi kepentingan

publik yang bernuansa pidana atau kedua-duanya.6

Pengaturan masalah malpraktek ini disamping antisipatif agar dokter

dan para medis lainnya harus berhati-hati dalam meberikan pelayanan juga

melindungi hak-hak pasien sebagai subjek hukum di dalam sebuah Negara

yang hukum yang demokratis.

Disamping kewajibannya tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat

memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan

tugasnya sesuai dengan profesinya, hal ini diatur di dalam pasal 53 ayat (1).

Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya disimak adalah isi pasal 55 UU. No.

23 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa: setiap orang berhak atas ganti

rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan”.

5Juanda, SH, Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Kaitannya Dengan Malpraktek,

(Bengkulu: T,Tt, 2001)

6Kadir Sanusi, Segi-segi Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Kaitannya Hubungan Dokter , Pasien, Desertasi, Pascasarjana Unair Surabaya, 1995

Page 77: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

66

Pernyataan tersebut diperjelas lagi di dalam penjelasan pasal 56 yang

menyatakan bahwa:

“pemberian hak atas ganti kerugian merupakan upaya untuk memberikan

perlindungan bagi setiap orang atas sautu yang timbul, baik fisik, maupun non

fisik karena kesalahan atau kelalaian”.

Perlindungan hukum disini sangat penting karena akibat kelalaian atau

kesalahan mungkin dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen.

Dalam upaya kearah yang demikian sebenarnya pemerintah dalam undang-

undangnya telah mengatur hal-hal perlindungan hukum terhadap pasien maupun

juga perlindungan terhadap tenaga kesehatan, namun nampaknya dalam tataran

pelaksanaan masih banyak yang belum memahami undang-undang tersebut, hal

ini terlihat dengan adanya kesalahan prosedur atau kelalaian-kelalaian lainya yang

mengakibatkan kematian atau berupa cacat seumur hidup yang diderita oleh

pasien.

Ditinjau dari aspek hubungan fungsional, masalah malpraktek adalah

masalah yang timbul dari hubungan fungsional antara pasien dan dokter atau

tenaga medis, yang disebabkan adanya kelalaian dari pihak dokter atau tenaga

medis yang mengakibatkan korban dari pihak pasien. Perbuatan kelalaian seperti

ini penting diatur dalam rangka menjamin keselamatan dan ketenagaan dari pihak

pasien, namun demikian, perlu diingat secar prinsipil atau azas, hukum tidak

diperuntukan untuk bertindak diskriminatif oleh karenanya dalam menjalankan

Page 78: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

67

profesi dan tugas, para dokter dan tenaga medis juga harus mendapatkan

perlindungan.

Dimana dalam pasal 53 ayat (1) UU. No. 23 Tahun 1992, merumuskan:

“Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam

melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”

Perlunya perlindungan hukum bagi profesi kedokteran dan para medis

lainnya tersebut agar dalam melaksanakan tugas dan profesinya tersebut mereka

merasa nyaman dan tidak dihantui oleh sanksi hukum serta adanya kepastian

hukum. Sebab, tanpa regulasi yang adil dan seimbang dalam rangka menjalankan

tugas yang sesungguhnya mulia tersebut dikhawatirkan akan muncul rasa

ketakutan dari pihak dokter untuk menggambil tindakan yang sangat penting

dalam kehidupan kemanusiaan.

Dasar Hukum

a. UU. No. 44 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Pasal 27, yang berbunyi:

“Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan

hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”

Pasal 29, yang berbunyi:

“Dalam hal tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dalam

menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih

dahulu melalui mediasi”

Page 79: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

68

b. UU. No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran

Pasal 1, poin 14, yang berbunyi:

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indomesia adalah lembaga yang

berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter

dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran

gigi, dan menetapkan sanksi

Dengan demikian, bunyi pasal tersebut sebagai salah satu bukti bahwa

peradilan profesi adalah sebagai penentu ada tidaknya kesalahan yang dilakukan

oleh tenaga kerja profesi kesehatan, sekali lagi bukan kepada pengadilan umum

sebagai penentu kesalahan yang dilakukan oleh tenaga profesi kesehatan.7

2. Dasar Perlindungan Hukum Dokter Dalam Tindakan Medik

Dalam melakukan penanganan tindakan medis, dimana dokter terlebih

dahulu memberikan informasi yang jelas kepada pasien mengenai penyakitnya

disertai dengan resiko-resiko yang dapat timbul dari tindakan medis tersebut. Hal

ini sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/ MEN.KES/ PER/ IX/

1989 tentang persetujuan tindakan medik.

Peraturan tersebut mengharuskan dokter dalam melakukan tindakan medis

untuk meminta persetujuan pasien terlebih dahulu atau yang lebih dikenal dengan

istilah informed consent. Persetujuan ini dapat berbentuk lisan maupun tertulis

karena tidak ada peraturan yang baku yang mengatur tentang bentuk persetujuan

7Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pusaka

Yustisia, 2009), cet. Ke-I, h. 79

Page 80: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

69

ini, yang lebih ditekankan lagi adalah bentuk persetujuannya terhadap tindakan

medik yang mengandung resiko yang tinggi atau besar dan invasif (tindakan

medik yang langsung dapat mempengaruhi jaringan tubuh).

Pasien diberikan informasi atau keterangan yang mencakup hal yang

berkaitan dengan penyakitnya, serta keuntungan dan kerugian atas tindakan

medik yang akan dilakukan terhadap dirinya tersebut. Pemberian informasi oleh

dokter kepada pasien seputar tindakan medik yang akan dilakukan terhadap

dirinya tidak terlepas dari bentuk penghormatan dokter terhadap hak kemandirian

dan hak otonom pasien. Pasien sama seperti manusia biasa yang mempunyai hak

untuk berfikir dan menentukan sendiri terhadap badan pribadinya. Misalnya

seorang pasien mempunyai hak atas kesehatan pribadinyadan menentukan sendiri

jenis pengobatan yang terbaik untuk menyembuhkna penyakitnya.

Pelaksanaan informed consent tersebut juga beroengaruh positif bagi

dokter dalam menghadapi tuntutan malpraktek atas penanganan medik yang

dilakukannya, dan dapat berguna untuk membuktikan bahwa sudah ada kesediaan

pasien untuk dilakuan suatu tindakan medik. Bahkan tujuan dari tindakan medik

tersebut tidak lain adalah hanya untuk menylamatkan nyawa pasien.

Dalam hubungannya dengan tuntunan malpraktek, apakah informed

consent dapat menjadi dasar pembelaan bagi dokter, mengingat resiko serta akibat

buruk yang timbul akibat tindakan dokter tersebut, sedangkan resiko yang akan

terjadi menimpa pasien sudah disetujui dalam informed consent.

Page 81: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

70

Banu Hermawan, SH. Mengetakan bahwa dokter dapat menggunakan

Informed consent sebagai dasar pembelaan jika kelak dituntut oleh pasien, karena

di dalan Informed consent itu terdapat persetujuan pasien secara rela atau

memberikan wewenang kepada dokter untuk melakukan tindakan medis terhadap

dirirnya. Sedangkan Informed consent yang dibuat di Rumah sakit dalam bentuk

tertulis hanya formalits karena pada prinsipnya Informed consent yidak hanya

tertulis tetapi yang terpenting adalah persetujuan.8

Adanya persetujuan diartikan sebagai izin yang diberikan oleh pasien

kepada dokter untuk melakukan tindakan medis terhadap dirinya, sedangkan

resiko yang mungkin terjadi dokter harus tetap berusaha sesuai standar profesi

agar resiko yang mungkin terjadi tidak mengganggu kesehatan pasien9

Kemudian A.Y.G. Wibisono juga mengatakan bahwa ketika ada klaim

yang mengatakan bahwa seorang dokter telah melakukan malpraktek, akan tetapi

belum ada pembuktian yang memperkuat adanya suatu tindakan tersebut, beliau

menyimpulkan bahwa itu bukan suatu tindakan malpraktek akan tetapi itu masih

dugaan yang mana kebenarannya harus dibuktian melalui Konsil Kedokteran

Indonesia (KKI) atau melalui Peradilan Profesi (MKDKI), yang mana dalam

penyelesaian sengketa ini terlebih dahulu melalui peradilan profesi dengan dasar

hukum:

8Banu Hermawan SH, dalam Tinjauan Yuridis Terhadap Informed Consent dalam Melakukan Penanganan Medis, (Yogyakarta: FHUII, 2007), h. 112 9A.Y.G. Wibisono, M. Kes, Klinik Praktek Dokter, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Agustus 2010

Page 82: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

71

a. Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahin 1992, pasal 54 ayat (2) yang

berbunyi:

Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang

dimaksud ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan

b. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, pasal 1

poin 14 yang berbunyi:

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang

berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh

dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan

kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi

Bunyi dasar pasal tersebut sebagai salah satu bukti bahwa peradilan

profesi adalah sebagai penentu ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh

tenaga kerja profesi kesehatan, sekali lagi bukan kepada pengadilan umum

sebagai penentu sebagai acuan penentu kesalahan yang dilakukan oleh tenaga

profesi kesehatan. Ini sebagai bukti bahwa hukum kesehatan adalah hukum yang

berkareteristik Lex Specialis.

Tenaga profesi kesehatan harus mengembangkan dan mengetahui wajib

hukum profesi kesehatan dalam setiap tindakannya supaya terhindar dari perkara

sengketa medik, terutama standar operasional prosedur atau standar keilmuan

yang dimiliki,10 itu dapat dijadikan ukuran bahwa apa yang telah dilakukan oleh

dokter sudah sesuai dengan standar kompetensi kedoktran yang berlaku, oleh

10 A.Y.G. Wibisono, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Agustus 2010

Page 83: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

72

sebab itu dokter dapat terhindar dari adanya dugaan melakukan tindakan

malpraktek medik, dimana salah satu dari wajib hukum tersebut adalah Informed

consent, yang mana bertujuan untuk:

1) Perlindungan Pasien dalam segala tindakan medik;

2) Perlindungan terhadap tenaga kesehatan akan terjadinya akibat yang tidak

terduga serta dianggap merugikan pihak lain.

Namun tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk kesalahan yang berupa

kesengajaan, tergantung pada sikap batin dan keadaan yang menyertai perbuatan.

Dimana di dalam KUHP terdapat hal-hal yang dapat meniadakan pidana seperti:

1) Sakit jiwa/ gila (pasal 41);

2) Ada unsur daya paksa (pasal 44);

3) Pembelaan diri terpaksa (pasal 49);

4) Peraturan perundang-undangan (pasal 50);

5) Perintah jabatan (pasal 51).

Unsur-unsur yang dapat meniadakan pidana seperti diatas juga dapat

diberlakukan terhadap dokter, tetapi alangkah baiknya dikethui bahwa dalam

yurisprudensi dan kepustakaan hukum kedokteran juga terdapat dasar peniadaan

kesalahan yang khusus berlaku dibidang kedokteran.

Seperti kita ketahui bahwa dalam pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa,

alat bukti yang sah yang dipakai dalam hukum pidana adalah keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa

Page 84: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

73

Sedangkan dalam pasal 187 KUHAP diuraikan secara jelas bahwa surat

dibuat atas sumpah jabatan yang dikuatkan dengan sumpah. Butir C pasal itu

menyebutkan yang dimaksud dengan surat antara lain adalah surat keterangan

dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai suatu hal

atau suatu keadaan yang diminta secara resmi padanya. Dari penjelasan diatas

dapat ditarik kesimpulan bahwa formulir Informed consent dapat dijadikan alat

bukti yang sah untuk dapat membuktikan bahwa pasien telah bersedia atau setuju

untuk diadakan tindakan medis. Sehingga resiko yang timbul sudah menjadi

resiko pasien dan dokter tidak dapat dipersalahkan.

Selain sebagai alat bukti surat, Informed consent juga dapat menjadi alat

bukti petunjuk, hal tersebut diatur dalam pasal 186 KUHAP ayat (2), yang

menyebutkan bahwa petunjuk dapat diperoleh dari keterangan surat dan

keterangan terdakwa, hal ini juga berarti Informed consent dapat dijadikan alat

bukti untuk menunjukan bukti bahwa pasien telah setuju dan informasi sudah

diberikan kepadanya sehingga dokter tidak dapat dipersalahkan.

Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan

bahwa dengan adanya salah satu wajib hukum kedokteran (informed consent)

dapat dijadikan suatu pembelaan bagi dokter. Persetujuan pasien atas tindakan

dokter. Namun yang melindungi dokter terhadap tuntutan pelanggaran, maka

persetujuan tersebut hendaknya dapat dibuat dalam bentuk tertulis yang di tanda-

tangani oleh yang berhak memeberikan persetujan (form Informed consent), maka

persetujuan berbentuk tulisan dapat digunakan sebagai alat bukti sah dalam

pengadilan.

Page 85: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

74

Hanya terhadap resiko yang menyatu, persetujuan dapat dijadikan sebagai

alat dasar pembelaan bagi dokter, sedangkan terhadap resiko atau akibat buruk

yang terjadi, apabila dokter tersebut lalai, maka dokter harus tetap bertanggung

jawab.

B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Islam

1. Pelanggaran Disiplin Etika Kedokteran

Mengingat etika dan disiplin merupakan norma perilaku profesi yang

perlu dibebankan pada dirinya sendiri, maka penyelesaian dilakukan secara

internal dikalangan organisasi profesi kedokteran dan majelis disiplin yang

bersangkutan yang dilakukan tanpa adanya intervensi penegak hukum.

Kelalaian berupa praktek kedokteran yang tidak sesuai dengan standar

masuk ke dalam ranah pelanggaran etika profesi tapi juaga masuk ke dalam

ranah pelanggaran disiplin profesi. Pelanggaran disiplin misalnya kelalaian

atau kesalahan melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian serius

pada pasien, kurang berdedikasi terhadap pasien yang meminta pertolongan,

atau ketidakmampuan menjalankan profesi. Makanya bagi kalangan profesi

kedoktera, penyelesaian sengketa pelayanan kesehatan lebih baik melalui

badan profesi bukan kepada peradilan umum, karena dianggap lebih

berdampak positif pada pelayanan kesehatan.

Dalam hal pengaturan para dokter dan praktek profesi kedokteran pada

mas kejayaan Islam dimulai sebelum masa pemerintahan Khalifah al-

Page 86: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

75

Muqtadir dari dinasti Abbasiyah disebut departemen Hisbah (berasal dari kata

Arab hisab, yang berarti mempertimbangkan, menguji, atau menilai), yang

bertugas memperhatikan ‘moralitas publik’ menguji timbangan atau alat ukur,

menguji kualitas komoditas, kecurangan profesional dan sebagainya. Dengan

demikian funsi pengawasan yang dijalankan oleh Departemen hisbah di

seluruh kota besar, di Arab, ujian semacam ini dilakukan di Bagdad, Kairo,

dan Damaskus. Menurut seorang sejarawan Arab, Jurji Zaidan, ada jabatan

dokter kepala dalam struktur pemerintahan Arab (mungkin terdapat dalam

Departemen Hisbah), yang mengontrol pendidikan dan praktek pengobatan,

dan untuk system penilaian diserahkan kepada para Muhtasib (dewan penilai)

agar dokter mendapat predikat nilai profesionalitas.11

Bila dilihat Departemen Hisbah ini sangatlah kompleks kewenangan

yang dimilikinya mulai dari standarisasi pendidikan, pengujian hingga

melakukan pengawasan terhadap praktik kedokteran.

Adanya departemen hisbah ini sebagai bukti ternyata pemahaman

tentang aturan praktek di bidang kedokteran dalam Islam lebih awal

menciptakan situasi yang sangat kondusif bahwa penyelesaian hanya kalangan

organisasi profesi agar dampak perilaku dokter lebih positif bagi masyarakat

(self organitation determination).

11Fajrul Rahman, Etika Pengobatan Islam: Penjajahan Seorang Neomodernis, (Bandung: Mizan, 1999), h. 116-117

Page 87: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

76

Adapun sistem atau tata cara penegakan hukum atau tata cara pemeriksaan

bagi para dokter yang terduga melakukan pelanggaran professional masih sangat

sederhana, yaitu:

1. Pencabutan izin praktek (bagi para dokter)

2. Kewajiaban mengikuti pendidikan atau pelatiah di institusi pendidikan

(madrasah) kedokteran

3. Diserahkan pada sisitem hukum melalui pengadilan (hakim), bila dianggap

melakukan pelanggaran hukum yang berlaku.12

Namun ada sebab hapusnya pertanggung jawaban pidana walaupun pada

dasarnya perbutan jarimah itu dilarang. Tetapi ada diantaranya yang

diperbolehkan dikarenakan adanya:

1. Pembelaan yang sah

2. Pendidikan

3. Pengobatan

4. Olahraga

5. Hilangnya jaminan

6. Menggunankan wewenang negara.

Salah satu sebab hapusnya pertanggung jawaban pidana menurut hukum

Islam adalah adanya sebab pengobatan. Seorang dokter tidak dituntut karena

pekerjaannya dalam lapangan pengobatan. Akan tetapi karena pekerjaan lapangan

pengobatan lebih mirip pemakaian hak daripada melakukan kewajiban, maka

12Ibid., h. 118

Page 88: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

77

timbul persoalan mengenai apakan pekerjaan dokter dapat dimintai pertanggung

jawaban jika merugikan pasien.

Sebagaimana firman Allah SWT:

)80: 26/الشعراء( Artinya:

“Dan apabila Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku” (QS. Assyu’ara. 26: 80)

Para Ulama sependapat bahwa akibat yang merugikan si sakit atau pasien

tidak dapat dimintakan pertanggung jwaban kepada dokter yang mengobatinya.

Akan tetapi para Ulama berbeda pendapat mengenai alasannya. Imam Abu

Hanifah, mengajukan dua alasan:

1. Kebutuhan masyarakat;

2. Mendapatkan izin dari pasien atau walinya.

Dengan adanya alasan yang kedua ini dapat dijadikan alasan tentang

penerapan persetujuan dari pasien untuk dilakukannya pengobatan. Dengan

adanya kebutuhan masyarakat ini, dokter harus bebas melakukan pekerjaannya,

dan dari keizinan itu ada ia merasa bebas dari kekhawatiran untuk dituntut.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa kebebasan dokter ini diperoleh karena

izin dari pasien atau walinya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa

kebebasan tersebut diperoleh dari pasien, walinya, dan penguasa.

Bebasnya dokter dari tuntutan ini kalau ia mempunyai syarat-syarat:

1. Ia harus benar-benar dokter.

Page 89: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

78

2. Perbuatan tersebut dimaksudkan mengobati dengan niat yang baik.

3. Perbuatan itu dilakukan menurut aturan pengobatan.

4. Disetujui oleh pasien atau walinya.13

Seorang dokter yang melakukan malpraktek dan mengakibatkan kematian

pasiennyadapat dikatakan telah melakukan pembunuhan. Pembunuhan merupakan

perbuatan yang dilarang oleh ’syara’, kecuali ada yang membenarkan oleh hukum

syara’.

Dokter yang tidak mentaati perintah wajib dan melanggar standar prosedur

profesional, tidak ditentukaan oleh syara’ oleh al-Qur’an dan Hadits tentang

hukumnya. Hukumnya diserahkan pada masyarakat muslim dengan hukuman-

hukuman ta’zir. Cara menghukuminya terserah penguasa apakah dibuat suatu

undang-undang atau diserahkan kepada hakim berdasarkan kepada peristiwa

hukum yang pernah terjadi atau dengan jalan ijtihad.

Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara rinci kepada beberapa

bagian, yaitu:

1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan;

2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan;

3. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan

kerusakan akhlak;

4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta;

5. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu; 13Marsum. Jinayat.,Op.cit., h. 172

Page 90: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

79

6. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum.14

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, berkaitan dengan terjadinya

malparaktek karena adanya pelanggaran prosedur operasional atau standar

profesional terdapat beberapa akibat yang dapat menjadi alasan untuk adanya

pertanggung jawabn dokter. Malpraktek karena adanya pelanggaran medis

tersebut dapat dikategorikan sebagai jarimah ta’zir yang berkaitan dengan:

1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan.

Adanya pelanggaran terutama pelanggaran prosedur operasional atau sttandar

profesional yang dilakukan dokter yang mana akbiat dari perbuatan dokter

tersebut pasien akhirnya cacat atau meninggal dunia, sehingga perbuatan

dokter tersebut dapat dikategorikan sebagai pembunuhan.

Pembunuhan diancam dengan hukuman mati. Apabila hukuman mati (qishas)

dimaafkan maka hukumannya diganti dengan diyat. Apabila hukuman diyat

juga dimaafkan, maka Ulil amri atau penguasa berhak menjatuhkan hukuman

ta’zir apabila hal tersebut dipandang lebih manfaat.

2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan.

Selain dianggap sebagai pembunuhan tidak adanya persetujuan tersebut juga

dapat dianggap melakukan pelukaan. Menurut Imam Malik, hukuman yang

dapat dianggap melakukan pelukaan, karena qishas merupakan hak adami

14Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-I, h. 256

Page 91: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

80

(manusia), sedangkan ta’zir sebagai imbalan atas hak masyarakat.15

Disamping itu, ta’zir dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan apabila

qishasnya dimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab yang

dibenarkan oleh syara’.

3. Jarimah yang berkaitan dengan kemaslahatan individu

Jarimah yang termsuk dalam kelompok ini antara lain seperti berbohong

(tidak memberikan keterangan yang benar), melanggar hak privacy orang lain

(misalnya tidak memeberikan informasi sebelum melakukan tindakan medik).

4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum

Jarimah yang termasuk kedalam kelompok ini berkaitan dengan pelanggaran

prosedur operasional yaitu tindakan atau perbuatan lalai dalam menjalankan

tugas atau kewajiban. Seorang dokter dituntu kehati-hatian dan dituntut untuk

melaksanakan kewajibannya untuk selalu menerapkan konsep informed

consent dalam setiap tindakan medis. Dengan adanya kelalaian tersebut dapat

memperngaruhi kinerja dan tanggung jawab selaku aparat masyarakat bidang

kesehatan.

Pada diri orang dewasa melekat kewajiban untuk melaksanakan yang

diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, orang ini disebut orang yang

mempunyai Ahliyat al-Ada’ . Ahliyat al-Ada’ ini berpatokan pada akal sehat,

artinya hanya manusia yang berakal sehat yang terkena beban tuntutan (taklif)

melaksanakan kewajiban. Oleh sebab itu tidak ada pertanggungjawaban pidana

15AW. Muslich., Ibid., h. 257

Page 92: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

81

terhadap anak-anak, orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang

kemauannya, orang yang dipaksa dan terpaksa.16

Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana Islam tidak dibebani atas

orang yang tidak berakal-fikiran, karena orang tersebut bukanlah orang yang

mengetahui dan tidak bisa menentukan pilihan. Demikian pula orang yang belum

dewasa, tidak bisa dikatakan pengetahuan dan pilihannya sudah sempurna.

Bagaimanapun berat tanggungjawab dokter, ia tetap harus melasanakan

tugasnya dengan baik, sebab ia akan dituntut pertanggung jawabannya kelak.

Adanya tanggungjawab pada masing-masing individu merupakan isyarat nash

terhadap adanya kewajiban untuk menunaikan tugas dengan baik demi

kemaslahatan manusia sendiri.

Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

⌧ ⌧

)36: 17/الإسرأ ( Artinya:

“Janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S. al-Isra’. 17: 36)

Bagi Abd al-Qadir Audah,17 bedasarkan ijma’ fuqaha akan bebasnya

tanggungjawab seorang dokter dari kesalahannya yang diperbuatnya harus

memenuhi syarat-syarat berikut:

16Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, h. 155

Page 93: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

82

1. Pelaku adalah bidangnya;

2. Hendaknya perbuatan itu ditunjukan untuk pengobatan dengan niat yang baik;

3. Dikerjakan sesuai dengan asas-asas ilmu kedokteran;

4. Atas persetujuan pasien atau keluarganya, dan atau pemerintah.

Kemudian, jika semua itu dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu

kedokteran atau tidak memiliki pengalaman di bidangnya, maka ia bertanggung

jawab terhadap kesalahannya, sebab ia telah dianggap melakukan kesalahan.

Dalam sebuah riwayat Hadits Nabi:18

م . صقال رسول االله: عن عمرو بن شعيب من أبيه عن جده قالرواه ابن (من تطبب ولم يعلم منه طبيب قبل ذلك فهو ضامن

)ماجهArtinya:

“Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah)

Adapun urusan hukumnya kewajiban memikul tanggungjawab (resiko)

bagi dokter yang bodoh atas tindakan itu, apabila dokter ini mempraktekkan ilmu

pengobatan tanpa benar-benar berpengalaman, maka ia telah merusak jiwa

dengan kebodohannya atau melakukan tindakan yang tidak bertanggungjawab

menurut apa yang tidak diketahui olehnya. Dengan demikian, maka ia telah

melakukan tindankan berbahaya dengan pengobatannya itu. Lalu ia wajib

memikul tanggungjawab atas perbuatannya.

17Abd al-Qodir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy, Juz I, h. 532 18Abu Daud (Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar al-Fikr,

1994), juz IV, h. 198

Page 94: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

83

Ja’far Khadim19 menjelaskan, bahwa, apabila dokter yang mahir dan

mendapatkan izin serta melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi membuat

kesalahan, sehingga merubah organ sehat dan merusaknya, maka dokter tersebut

wajib memikul tanggungjawab atas kesalahannya tersebut. Apabila yang rusak

melebihi bagian dari organ, maka ganti rugi akan ditanggung oleh ‘Aqilah

(keluarga atau ahli warisnya), namun apabila tidak ada, maka baitulmal atau tidak

ada baitulmal, menimbulkan dua pendapat: (1). dokter wajib membayar dengan

hartanya sendiri atau (2). Dengan gugurnya diyat.

Pandangan Setiawan Budi Utomo, dalam hal praktek kedokteran Islam,

ulama fikih berbeda pendapat, apakah dokter dituntut kesalahannya atau tidak.

Dan ia mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam al-Thib al-Nabawi,

membedakan lima macam dokter dalam melaksanakan tugasnya terdapat

beberapa resiko hukum.20

1) Dokter yang memang ahli dan melaksanakan tugasnya profesinya sesuai

dengan ilmu kedokteran, jika dalam pengobatan yang diizinkan pasien terjadi

kecelakaan, seperti cacat atau mati, maka jamhur ulama berpendapat dokter

tersebut tidak dituntut hukum pidana, namu bagi Abu Hanafiyah, dokter

tersebut wajib membayar diyat.

19Jalal al-Din “Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qowa’id

wa al-Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyat, (Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987), h. 233 20al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, h. 109-111, Lihat Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual:

Jawaban Tuntas Maasalah Kontemporer, (Depok: Gema Insani Press, 2003), h. 51

Page 95: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

84

2) Dokter ahli yang mengobati dengan izin pasiennya dan sesuai dengan ilmu

kedokteran yang dimilikinya, namun dalam pelaksanaannya dokter tersebut

tidak memenuhi kesepakatan mereka berdua. Bagi mayoritas ulama fikih,

dokter tidak wajib membayar diyat, namun dikalangan ulama Mazhab

Hambali menyatakan harus menanggung diyat karena masuk dalam kategori

jinayah khata’. Sementara Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat

pada baitulmal.

3) Dokter ahli yang dalam melaksanakan pekerjaan dan pengobatan terhadap

pasien yang melakukan pengobatan ijtihadnya sendiri, tetapi ia keliru dalam

melakukan ijtihadnya sehingga menyebabkan korban luka atau meninggal.

Dalam hal ini ganti rugi dibayar oleh baitulmal untuk keluarga korban.

Namun bagi Imam Ahmad bin Hambal yang membayar ganti rugi keluarga

dari dokter itu sendiri.

4) Dokter yang melakukan pengobatan tanpa izin, baik dari pasien itu sendiri

ataupun walinya, bila dalam bekerja dokter melakukan kesalahan, maka ulama

mazhab Hambali menyatakan dokter itu wajib menanggung rugi. sementara

pendapat lain bahwa dokter tidak harus bertanggungjawab atas kerugian

tersebut, karena dalam praktek tersebut dokter berusaha berbuat baik sesuai

kemampuan yang dimilkinya.

5) Orang yang tidak mempunyai ilmu kedokteran tetpi melakukan praktek yang

mengakibatkan pasien itu cacat atau meninggal. Dalam hal ini, jika

sebelumnya pasien itu tau bahwa ia bukanlah seorang dokter maka pasien atau

Page 96: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

85

walinya tidak berhak menerima ganti rugi, akan tetapi jikalau pasien tidak

mengetahui bahwa ia bukan dokter maka dokter tersebut wajib memberikan

ganti rugi kepada pasiennya.

Page 97: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis uraikan bab demi bab, maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Konsep perlindungan hukum terhadap profesi kedokteran dalam kaitannya

dengan dugaan malpraktek, baik menurut hukum positif dimana disini lebih

mengacu kepada hukum kesehatan, dan kajian hukum Islam hampir sama

penerapannya, yaitu tenaga kesehatan mendapatkan perlindungan hukum

terkait dengan adanya dugaan malpraktek sepanjang ia melaksanakan tugas

sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta

dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan

pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP.

2. Kemudian mengenai perlindungan hukum dalam kajian pidana Islam telah

dipaparkan bahwa seorang dokter akan mendapatkan perlindunga hukum

selama ia memang ahli dan melaksanakan tugasnya profesinya sesuai dengan

ilmu kedokteran, kemudian jika dalam pengobatan yang diizinkan pasien

terjadi kecelakaan, maka jamhur ulama berpendapat dokter tersebut tidak

dituntut hukum pidana, namu bagi Abu Hanafiyah, dokter tersebut wajib

membayar diyat. Namun ada sedikit perbedaan dikalangan para ulama

mengenai pertanggung jawaban hukum terhadap dokter yang melakukan

86

Page 98: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

87

praktek yang berakibat fatal, dengan demikian apabila seorang dokter

melakukan suatu tindakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki,akan

tetapi tidak memenuhi kesepakatan dengan pasien, maka para ulama fikih

berpendapat tidak dituntut hukum pidana, lain hal nya dengan Madzhab

Hambali menyatakan harus menanggung diyat karena termasuk perbuatan

jarimah, Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat kepada baitulmal.

Lalu dokter ahli yang dalam melaksanakan pengobatan terhadap pasien

dengan ijtihadnya sendiri, maka ganti rugi dibayar oleh baitulmal kepada

keluarga korban, namun bagi Imam ibn Hambal yang membayar keluarga dari

dokter itu sendiri.

3. Adapun pertanggung jawaban dokter terhadap pasien merupakan suatu

kewajiban yang harus dilaksanakan dalam hal pelayanan kesehatan yang

mengacu pada ketentuan perundang-undangan, mencakup tanggung jawab

etik, hukum, hingga administrasi, mulai dari awal pasien berobat hingga

sampai pasien tersebut sembuh, yang mana dalam melaksanakan tugas profesi

sesuai dengan standar keilmuan yang dimiliki, standar kompetensi yang

diperoleh melalui pendidikan berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani

masyarakat.

4. Penyebab terjadinya dugaan malpraktek, secar garis besar hanya mengacu

pada tindakan medik yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur,

adanya kesenjangan antara hasil dengan kenyataan, melakukan tindakan

Page 99: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

88

medis yang bertentangan dengan hak-hak pasien, dan adanya niat melawan

hukum.

B. Saran-saran

Dari kesimpulan diatas, maka ada beberapa saran yang perlu sampaikan:

1. Bahwa perlu disosialisasikan hukum kesehatan kepada seluruh lapisan

masyarakat agar mereka dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban masing-

masing.

2. Bahwa perlu ditingkatkan peran aktif penegak hukum dalam menegakan

hukum kesehatan khususnya yang berkaitan dengan dugaan malpraktek.

3. Bahwa perlindungan hukum harus dilakukan secara proporsional dan

seimbang bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya agar terbangunnya

suasana dan kondisi yang kondusif dalam rangka mereka menjalankan tugas

dan profesinya.

4. Bahwa sikap keterbukaan, objektif, dan proporsional dari pihak Rumah sakit

sangat diharapkan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan terhadap

masyarakat khususnya dalam penanganan kasus yang diduga malpraktek.

5. Bahwa hemat penulis apabila kasus-kasus tentang dugaan malparaktek ini

sepanjang masih bisa diselesaikan dengan jalan kekeluargaan, maka itu akan

lebih baik, disamping harus diselesaikan melalui jalur hukum.

Page 100: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

DAFTAR PUSTAKA

al-Baqaiy, Yusuf Syeikh Muhammad. al-Qomus al-Muhith. Beirut: Daar al-Fikr, 1415 H/ 1995.

al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, Depok: Gema Insani Press, 2003.

Amir, Amri. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997.

Audah, Abd al-Qodir, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy, Juz I, h. 532

Azwar, Azrul. Kesehatan Kini dan Esok. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 1990.

Bisyarhi, Aridhatul al-Ahwadzi. Shahih Tirmidzi. Daar al-Wahyu al-Muhammadi, 1989

Budi Utomo, Setiawan. Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Depok: Gema Insani Press, 2003.

Chazawi, Adami, Malpraktek Kedokteran: Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum, Malang: Bayumedia Publising, 2007, cet. Ke-I,

Daryanto. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo, 1997.

Daud, Abu (Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud. Beirut: Daar al-Fikr. juz IV, 1994.

Djazuli, Ahmad. Fiqh Jinayah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Dugaan Malpraktek Kedokteran dan Alternatif Penyelesaian, Harian Sains, edisi: 03 Juni 2009

Elita, Rosa dan Shofie, Yusuf. Malpraktek: Penyelesaiian Sengketa, dan Perlindungan Konsumen. Jakarta: Unika Atma Jaya, 2007.

Guwandi, J. Dokter dan Rumah Sakit. Jakarta: FKUI, 1991.

Guwandi, J. Hukum Medik (Medical law). Jakarta: FKUI, 2004. cet. Ke-I.

Hamidy, Zainuddin. Dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, Jilid: I.

Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985

89

Page 101: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

90

Hanafi, Ahmad. Azas-azas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Hanafiyah, M. Jusuf, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC, 1999

Hanafiyah, M. Jusuf. Malpraktek Medik. Jakarta: EGC, 1999.

Hariyani, Safitri. Sengketa Medik: Alternatif penyelesaian Perselisihan antara Dokter dengan Pasien. Jakarta: Disdit Media, 2005.

Hermawan, Banu ”Tinjauan Yuridis Terhadap Informed Consent dalam Melakukan Penanganan Medis. Skipsi S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007

Ibn al-Manzhur. Lisan al-‘Arabi. Kairo: Daar al-Hadits Juzz IV, 1423 H/ 2003 M.

Ibn Hajar al-Kanany al-Astqalany, Subul al-Salam. Bandung: Dakhlan, T.Th

Ibn Manzhur. Lisan al-Arab. Beirut: Daar al-Fikr, 1994.

Ibn Sina. al-Qanun fi al-Thibb. Beirut: Daar al-Fikr, T.tt.

Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung: Bayu Media, 2006, Cet. ke-2

Isfandyarie, Anny dan Afandi, Fahrizal. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.

Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qowa’id wa al-Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyat. Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987.

Jayanti, Nusye. Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran.Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009. cet, ke-I.

Juanda. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Kaitannya Dengan Malpraktek. Bengkulu: T,Tp, 2001.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Karbala, Husein. Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Page 102: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

91

Koeswadji, Hermein Herdiati. Hukum dan Masalah Medik. Jakarta: Airlangga University Press, 1984.

Malpraktek. Suara Pembaharuan, Jumat, 14 September 2007

Marianti, Ninik. Malpraktek Kedokteran. Jakarta: Bima Aksara, T.Tt.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Media Group, 2008.

Mastuhu dan Ridwan, M. Deden. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu. Bandung: Penerbit Nuansa, 1998.

Mishbah, Beben. “Tindak Pidana Profesi Kedokteran Menurut Hukum Islam dan Positif” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2008.

Mochtar, M. Iqbal. Dokter Juga Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Muljanto, S.H, Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Noyy, Administrasi Negara Mengenai Tinjauan Umum Perlindungan Hukum, Lihat, http//one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/tinjauan-umum-perlindungan- hukum.

Ohoiwatun, Y.A. Triana. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Malang: Bayu Media, 2007.

Poernomo, Bambang. Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1986.

Rahman, Fajrul. Etika Pengobatan Islam: Penjajahan Seorang Neomodernis. Bandung: Mizan, 1999.

Rasyid, “Malpraktek Dokter Tidak Ikut Prosedur” Harian Medan, 10 Maret 2010.

Sampurna, Budi. “Praktik Kedokteran Yang Baik Mencegah Malpraktik Kedokteran” Majalah Farmacia, Edisi: Maret 2006, h. 74

Sanusi, Kadir. “Segi-segi Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Kaitannya Hubungan Dokter, Pasien” Desertasi, Pascasarjana Unair Surabaya, 1995.

Seno Adji, Oemar. Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana Dokter. Jakarta: Erlangga, 1991.

Page 103: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER

92

Seokanto,Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.

Setiawan, Rahcmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Jakarta: Banacipta, 1991.

Sobur, Alex. Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.

Soewono, Hendrojono. Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik. Jakarta: Srikandi, 2006.

Supriadi, Willa C. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju, 2001. cet. Ke- I.

Tahido Yanggo, Chuzaimah dan Anshory, Hafidz. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002.

Wawancara Pribadi dengan A.Y.G. Wibisono. Tangerang, 21 Agustus 2010

Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran

Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1981 Tentang KUHAP