Upload
dinhminh
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENCEGAHAN MONOPOLI BISNIS SMS
(KASUS KARTELISASI BISNIS SMS)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
RIDWAN ARDY PRASTYA
NIM : 1111048000059
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
i
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENCEGAHAN MONOPOLI BISNIS SMS
(KASUS KARTELISASI BISNIS SMS)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
RIDWAN ARDY PRASTYA
1111048000059
Pembimbing
Prof. Dr. H. Atho Mudzar, MPSD
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436H/2015M
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan dengan ini menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar strata 1 (S1) di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan saya dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil
jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Unversitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 23 Februari 2014
Ridwan Ardy Prastya
iv
ABSTRAK
Ridwan Ardy Prastya, NIM 1111048000059, “PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN
PENCEGAHAN MONOPOLI BISNIS SMS (KASUS KARTELISASI BISNIS SMS)”,
Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief
Hidayatullah Jakarta, 1436H/2015M, x + 86 halaman+halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan
untuk mengetahui tentang Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Anti Monopoli dalam
kasus kartelisasi bisnis sms (short message services). Latar belakang penelitian ini adalah
berkaitan dengan hak-hak konsumen yang dirugikan dalam kasus kartelisasi bisnis sms yang
dilakukan oleh 6 operator seluler di Indonesia pada tahun 2004 sampai 2008 yang diberitakan
merugikan konsumen mencapai 2 Triliun Rupiah. Penelitian ini bersifat library research,
mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode analisis yang digunakan
adalah yuridis normative dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
historis. Ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa Undang-
Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang Anti Monopoli
Nomor 5 Tahun 1999 bisa diterapkan secara maksimal dalam penyelesaian kasus kartelisasi
bisnis sms (short message service) tahun 2004-2008. Pasal-pasal dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan Anti Monopoli bisa diterapkan secara ketat. Disarankan agar KPPU
dan BPSK lebih bersinergi dalam memberantas perilaku usaha yang hanya memikirkan
keuntungan semata tanpa memperdulikan nasib para konsumen. Bahwa Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Anti Monopoli bisa diterapkan secara maksimal
dalam kasus kartelisasi bisnis sms (short message service) yang dilakukan sejak tahun 2004-
2008.
Kata Kunci : Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum Anti Monopoli,
Kartelisasi SMS
Pembimbing : Prof. Dr. H. Atho Mudzar, MPSD
Daftar Pustaka : Tahun 1972 s.d. Tahun 2014
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah dan nikmat dari-
Nyalah skripsi Penulis “Perlindungan Konsumen dan Pencegahan Monopoli Bisnis SMS (Kasus
Kartelisasi Bisnis SMS)” dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian ini merupakan salah satu
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga tetap selalu tercurahkan
pada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir
zaman.
Tidak mudah bagi penulis untuk membuat karya seperti ini dikarenakan berbagai
keterbatasan yang dimiliki, namun hal ini penulis jadikan sebagai motivasi rangkaian
pengalaman hidup yang berharga. Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan
yang Penulis dapatkan dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini ingin
penulis sampaikan setulus hati ucapan terimakasih kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MH, MA, Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arif
Furqon SH, MH, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang sudah memberikan arahan berupa saran dan masukan terhadap kelancaran proses
penyusunan skripsi ini.
vi
3. Prof. Dr. H. Atho Mudzar, MSPD, selaku dosen Pembimbing yang telah bersedia
menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan arahan serta
masukan dan bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini
4. Kedua Orang Tua yang sangat dicintai dan disayangi Penulis, Bapak Riyadi dan Ibu Any
Suharti yang merupakan kedua orangtua yang selalu mendoakan, mencintai, memberi
dukungan baik moril maupun materiil kepada Penulis serta menjadi motivasi Penulis
sekaligus menjadi inspirasi dalam kehidupan penulis.
5. Kedua Adik yang sangat dicintai, disayangi dan dikasihi Penulis, Raka iknan Alqursani
dan Nayya Safana Salsabila karena telah menjadi insprirasi Penulis untuk bisa
dibanggakan dan Keluarga Besar Penulis yang selalu mendoakan agar karya ini cepat
terselaikan.
6. Kepada Hellen Anita Pratiwi yang bisa menjadi sahabat, teman, adik karena telah
mendoakan dan memberi semangat kepada Penulis sehingga karya ini bisa cepat
terselesaikan dan alasan Penulis ingin cepat-cepat lulus.
7. Kawan-kawan seperjuangan SkripSWEET, Ade Putra Indrawan, Gary Ichsan Putro, Dwi
Puji Apriyantok, Nanda Narendra Putra, Ahmad Bustomy, Azhar Nur Fajar Alam, Rizky
Arisandi, M. Rizki Firdaus, Rezha Haryo Mahendra Putra, Marwan Alkatiri, Fadhilah
Haidar. Dan juga para sahabat SMA Vina Refriana Nur Wulan Sari dan Zen Fadli yang
semuanya telah memberi dukungan kepada Penulis agar karya ini cepat terselesaikan.
8. Kawan-kawan seangkatan Ilmu Hukum 2011 yang selalu kompak dalam mengerjakan
dan menyelesaikan Skripsi dan juga kepada AMPUH (Angkatan Muda Peduli Hukum),
BLC (Bussines Law Community), HMPS Ilmu Hukum angkatan 2013 yang membantu
keaktifan dalam berorganisasi Penulis.
vii
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak
dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, semoga Allah SWT memberikan berkah
dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amiin).
Akhir kata, penulis berharap kepada semua pihak untuk memberikan masukan yang
bermanfaat untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menjadi referensi untuk
adik-adik kelas dan bermanfaat untuk setiap pembaca.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jakarta, 23 Februari 2015
Ridwan Ardy Prastya
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI …………………………… ii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………….. iii
ABSTRAK ……………………………………………………........... iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………… v
DAFTAR ISI ………………………………………………………… viii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………… 1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah ……………………………. 7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ……………………………. 8
D. Kajian Terdahulu …………………………………………... 9
E. Kerangka Konseptual ……………………………………… 10
F. Metode Penelitian …………………………………………. 12
G. Sistematika Penulisan ……………………………………... 15
BAB II TEORI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENCEGAHAN MONOPOLI
A. Teori Perlndungan Konsumen Dan Pencegahan Monopoli Dalam Pendapat Para Ahli
…………………………………………………….………… 17
B. Sistem Perlindungan Konsumen Dan Anti Monopoli Dalam Hukum International
…………………………………………...………………….. 23
C. Teori Perlindungan Konsumen Dan Antimonopoli Dalam Islam ….. 28
BAB III HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ANTI MONOPOLI DI
INDONESIA
ix
A. Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
…………………………………………………………… 36
B. Hukum Anti Monopoli Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
………………………………………………………………… 44
C. Deskripsi Kasus Kartel Sms Terkait Dengan Perlindungan Konsumen
………………………………………………………………... 48
D. Deskripsi Kasus Kartel Sms Terkait Dengan Anti Monopoli Dan Penyelesaian
Sengketa Yang Telah Dilakukan
………………………………………………………………… 53
BAB IV PENERAPAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR 8
TAHUN 1999 DAN UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI NOMOR 5 TAHUN 1999
DALAM KASUS KARTEL SMS
A. Analisis Pasal Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999
Terkait Masalah Kartel SMS (Short Message Service) …… 62
B. Analisis Kasus Kartel SMS (Short Message Service) Terkait Undang-Undang
Perlindungan Konsumen …………………………………. 66
C. Analisis Pasal Dalam Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 Terkait
Masalah Kartel SMS ………..…………………………….. 72
D. Analisis Kasus Kartel Sms Terkait Undang-Undang Anti Monopoli
…………………………………………………………………. 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………… 80
x
B. Saran ………………………………………………………….. 81
C. Daftar Pustaka ………………………………………………. 83
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tingginya permintaan masyarakat terhadap kebutuhan telekomunikasi
khususnya yang murah menyebabkan pelaku usaha berlomba-lomba untuk
memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan animo masyarakat
menggunakan layanan short message services (sms). Dalam masyarakat
biasanya ada anggapan bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan dengan
etika dan moralitas. Berdasarkan pandangan yang keliru ini para pelaku
usaha akan menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan
sebanyak-banyaknya.1
Salah satu bentuk perilaku bisnis yang hanya mementingkan
keuntungan semata tanpa memperdulikan hak-hak masyarakat sebagai
konsumen adalah masalah penetapan harga (price fixing) short message
services (sms) yang dilakukan oleh 6 operator telepon seluler di Indonesia.
Diberitakan bahwa para pelakunya antara lain PT. Excelcomindo
Pratama,Tbk, PT. Telekomunikasi Selular, Tbk, PT. Telekomunikasi
Indonesia, Tbk, PT. Bakrie Telecom, Tbk, PT. Mobile-8 Telecom, Tbk, PT.
Smart Telecom, Tbk yang telah merugikan masyarakat sebagai konsumen
dengan total jumlah kerugian mencapai Rp. 2.827.700.000.000 (Putusan
Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007).
1www.yudicare.wordpress.com diunduh pada 9 Oktober 2014
2
Ke enam operator ini berdasarkan Putusan KPPU Nomor 26/KPPU-
L/2007 dikenakan sanksi berupa denda sejumlah Rp 52 milyar kepada
Negara karena terbukti melakukan kegiatan kartel dalam bentuk perjanjian
penetapan harga yang telah merugikan konsumen. Kartel merupakan
kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat karena kartel adalah bentuk
kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk
mengawasi produksi, penjualan dan harga untuk melakukan monopoli
terhadap komoditas atau industri tertentu.2 Melalui kegiatan kartel ini para
anggota kartel dapat menetapkan harga atau syarat-syarat perdagangan
lainnya untuk mengekang suatu persaingan usaha sehingga hal ini dapat
menguntungkan para anggota kartel yang bersangkutan. Berdasarkan
dengan praktek kartel ini di pasar telekomunikasi Indonesia maka sudah
sangat jelas para konsumen yang telah dirugikan. Lalu bentuk kegiatan
kartel ini pun juga tidak dibenarkan berdasarkan “pasal 11 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli yang berbunyi pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan
pemasaran suatu barang dan jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”
Dampak dari adanya kartel short message services (sms) adalah
kerugian konsumen secara materiil dan immaterial. Dalam ketentuan umum
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 1 butir 2 dijelaskan bahwa
2 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli (Menyongsong Era Persaingan Sehat),(Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h. 63
3
yang dimaksud dengan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah
pihak yang paling dirugikan jika dunia bisnis dikuasai kartel, meskipun
sulit dibuktikan secara hukum tetapi kartel diyakini sudah terjadi dalam
beberapa sector di Indonesia. Di satu sisi kartel memang sulit dibuktikan
namun disisi lain konsumen juga berada dalam posisi lemah dengan
hubungan bisnis para pelaku usaha yang hanya mementingkan profit
semata.3
Dalam hal terjadi pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain,
maka secara garis besar pihak-pihak yang terlibat dapat dikelompokan
dalam dua kelompok :
Pertama, kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa yang
pada umumnya pihak ini berlaku sebagai: 4
1. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa
(investor)
2. Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen)
3. Penyalur barang atau jasa
3www.hukumonline.com diunduh pada 9 Oktober 2014
4 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia,(Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 2011), h. 33
4
Kedua, kelompok penerima barang atau jasa yang pada umumnya
pihak ini berlaku sebagai :
1. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan
tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain atau
mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan
komersial)
2. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah
tangganya (untuk tujuan komersial)
Dalam kasus kartelisasi bisnis sms (short message services) di
Indonesia juga sudah sangat jelas bahwa hak-hak konsumen dilanggar sesuai
dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yang intinya bahwa konsumen berhak
mendapatkan perlakuan yang jujur dan tidak ada diksriminasi.5 Apabila
diperhatikan kondisi konsumen di Indonesia dewasa ini, maka terlihat bahwa
posisi konsumen masih sangat lemah dibandingkan dengan posisi produsen,
sehingga perlu adanya pemberdayaan konsumen agar posisinya tidak selalu
pada pihak yang dirugikan. Pemberdayaan konsumen dapat dilakukan
melalui penerapan hukum perlindungan konsumen yang memadai. Hukum
perlindungan konsumen ini menjadi relevan pada tiga tahap transaksi
konsumen, yaitu ada prapembelian, disaat pembelian, dan purna pembelian.
5 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, RajaGrafindoPersada, 2004),
h. 38
5
Pemberdayaan konsumen ini harus diakui bukan pekerjaan yang mudah,
namun harus tetap diusahakan agar kondisinya tidak semakin buruk bahkan
tetap diusahakan agar berimbang dengan posisi produsen yang selama ini
jauh lebih unggul daripada konsumen. Mengingat kedua belah pihak saling
membutuhkan maka sebenarnya konsumen memiliki potensi untuk
menempati posisi yang seimbang dengan produsen karena kemajuan usaha
produsen bergantung dengan konsumen pula.6
Dalam setiap terbitnya suatu undang-undang yang dibuat, pembentuk
undang-undang biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip7 sebagai dasar
terbitnya undang-undang tersebut. Asas hukum merupakan fondasi suatu
undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bila asas
dikesampingkan maka runtuhlah undang-undang itu dan segenap peraturan
pelasaknaannya. Menurut Sajipto Rahardjo yang dikutip oleh Teuku
Muhammad Radhie, asas hukum bukan peraturan hukum namun tidak adanya
hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada
didalamnya. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen di Indonesia
bukanlah sebagai suatu system. Dari segi kerangka landasan hukum,
sebenarnya tanpa Undang-Undang Perlindungan Konsumen norma-norma
perlindungan konsumen sudah ada hanya saja tersebar dalam berbagai
6 Ibid, h. 41
7 Wojowasito, KamusBahasa Indonesia (dengan ejaan yang disempurnakan menurut
pedoman Lembaga Bahasa Nasional), (Bandung, Shinta Dharma, 1972), h. 17 dan 227
6
instrumen hukum-hukum pokok, tetapi tidak pada hukum-hukum sektoral.8
Perlindungan konsumen sebelum adanya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tersebar di berbagai cabang hukum seperti hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana dan hukum yang tercampur aduk ke cabang hukum
lainnya, sehingga jika ada masalah-masalah yang terkait dengan perlindungan
konsumen perlu dilakukan penafsiran yang hanya memiliki sampiran dari
suatu peraturan. Sehingga sebelum berlakunya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, perlindungan konsumen di Indonesia tidak dapat dipandang
sebagai suatu system perlindungan konsumen.
Pokok-pokok pengaturan perlindungan konsumen menurut Purba yang
dikutip oleh Yusuf Shofie adalah sebagai berikut.9 :
1. Kesederajatan antara konsumen dan pengusaha
2. Konsumen mempunyai hak
3. Pengusaha mempunyai kewajiban
4. Pengaturan mengenai perlindungan konsumen menyumbang pada
pembangunan nasional
5. Pengaturan tidak merupakan syarat
6. Perlindungan konsumen dalam iklim hubungan bisnis yang sehat
7. Keterbukaan dalam promosi produk
8. Pemerintah berperan aktif
9. Peran serta masyarakat
10. Implementasi asas kesadaran hukum
11. Perlindungan konsumen memerlukan penerobosan konsep-konsep hukum
tradisional
12. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap
8 Teuku Muhammad Radhie, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan,
(Yogyakarta, Fakultas Hukum UII, 1997), h. 210-211
9 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2002),h. 25-27
7
B. Rumusan dan Batasan Masalah
1. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, permasalahan pokok yang akan
diteliti ialah tentang bagaimana penerapan system perlindungan konsumen
dan pencegahan monopoli sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli telah diterapkan
dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian sengketa yang telah
dilakukan. Rumusan tersebut dapat dirinci menjadi dua pertanyaan pokok
sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan system perlindungan konsumen sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah diterapkan
dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian yang telah
dilakukan?
2. Bagaimana penerapan system pencegahan monopoli sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah diterapkan
dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian yang telah
dilakukan?
2. Batasan Masalah
Penelitian ini memfokuskan pada kasus perlindungan konsumen
yang dirugikan dan dirampas hak-hak nya oleh para operator seluler sejak
8
tahun 2004 sampai 2008 yang melakukan kegiatan usaha tidak sehat yaitu
melakukan kegiatan kartel sms (short message services) dan juga
memfokuskan tentang pencegahan monopoli dalam kasus kartelisasi bisnis
sms (short message services). Penelitian ini menitikberatkan tentang
perlindungan konsumen terhadap kegiatan kartelisasi sms (short message
services) dan mengenai pencegahan monopoli bisnis sms (short message
services).
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan system perlindungan
konsumen sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 telah diterapkan dalam kasus kartel sms dan bagaimana
penyelesaian yang telah dilakukan.
b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan system pencegahan
monopoli sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 telah diterapkan dalam kasus kartel sms dan bagaimana
penyelesaian yang telah dilakukan.
2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:
a. Manfaat Teoritis
9
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan tentang bagaimana penerapan dari Perlindungan
Konsumen, bahwa sebagai konsumen saat ini sudah dilindungi
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan usaha nya agar tidak melakukan
kegiatan usaha tidak sehat karena telah ada Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 yang mengatur tentang kegiatan usaha para pelaku
usaha.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan
bagi para pelaku usaha khususnya di Indonesia agar tidak lagi
terjadi kegiatan usaha yang dilarang karena bisa menyebabkan
kerugian bagi pihak-pihak lain terutama konsumen.
D. Review (Kajian) Terdahulu
Ada dua penelitian skripsi terkait masalah ini. Pertama, penelitian
Annisa Dita Muliasari, mahasiswi Universitas Indonesia, yang membahas
kasus ini pada tahun 2009 dengan judul “Analisis Yuridis Perlindungan
Konsumen Terkait Masalah Kartel short message services (sms)”. Annisa
Dita Muliasari berkesimpulan bahwa konsumen dalam kasus kartelisasi
sms dirugikan akibat kegiatan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh
beberapa operator seluler. Kedua, penelitian skripsi Risma Qumilaila,
mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul “Perlindungan
10
Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Pada Makanan
(Studi Komparasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen)”.
Risma Qumilaila berkesimpulan bahwa Undang-Undang
Perlindungan Konsumen harus diterapkan dalam kasus yang merugikan
konsumen dan perlindungan konsumen dalam studi komparasi hukum
Islam. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Annisa Dita Muliasari
karena ini hanya membahas perlindungan hukum dari Undang-Undang
Perlindungan Konsumen terkait masalah kartel sms, sedangkan penulis
akan membahas pula penerapan dari Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dan penarapan Undang-Undang Anti Monopoli dan perspektif
hukum Islam dalam kasus kartelisasi bisnis sms, sehingga dapat dipahami
pula posisi hukum pihak-pihak yang terkait dalam kasus kartelisasi bisnis
sms dan akibat hukum dari kasus kartelisasi bisnis sms. Adapun perspektif
Islam dalam penelitian ini hanya untuk menunjukan konteks, bukan
sebagai obyek utama kajian sebagaimana dilakukan oleh Risma Qumilaila
yang melakukan komparasi hukum Islam dengan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
E. Kerangka Konseptual
Untuk menghindari perbedaan pemahaman mengenai istilah-istilah
yang digunakan dalam penelitian ini, diberikan batasan konseptual untuk
istilah-istilah berikut ini :
11
1. Konsumen, konsumen ialah setiap orang pemakai barang atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan sendiri, keluarga
dan orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.10
2. Produsen, produsen ialah pelaku usaha yang menawarkan barang
atau jasa hasil buatannya sendiri kepada konsumen untuk
diperdagangkan dan meraih penghasilan untuk dirinya sendiri.
3. Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen ialah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan konsumen.11
4. Kartel, kartel ialah kegiatan usaha yang dilarang karena merupakan
suatu kerja sama dari produsen produk tertentu yang bertujuan untuk
mengawasi produksi, penjualan dan harga, dan untuk melakukan
monopoli terhadap komoditas atau industry tertentu.12
5. Asas no privity non liability, ialah pihak ketiga (konsumen) yang
tidak bisa menggugat kepada pihak pertama (produsen) karena tidak
mempunyai hubungan kontrak walaupun telah dirugikan.13
10
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, RajaGrafindoPersada, 2004),
h. 5
11 Ibid, h. 1
12 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999), h. 63
13 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 2011), h. 42
12
6. Investor, ialah penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang
atau jasa.14
7. Penetapan harga, ialah pelaku-pelaku usaha yang melakukan
kegiatan usaha bekerja sama guna melakukan penetapan harga di
pasaran untuk meraih keuntungan.15
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitiaan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan
bersifat penelitian kepustakaan dengan cara meneliti bahan pustaka
dan bahan sekunder yang mencakup penelitian asas-asas hukum
khususnya yang terkait dengan hukum perlindungan konsumen,
peraturan perundang-undangan, buku-buku bacaan terkait dengan
judul penelitian, makalah-makalah, dan dokument-dokument lainnya.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan
yaitu :
a. Undang-Undang Dasar 1945
b.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dan semua peraturan
pelaksanaannya
14 Ibid, h. 33
15
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999), h. 54
13
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dan semua peraturan pelaksanaannya
3. Data dan Sumber Data
Berdasarkan sumbernya maka penulisan ini disusun berdasarkan :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam penelitian
hukum normatif, yang berupa peraturan Perundang-Undangan.
Bahan hukum primer itu ialah Undang-undang Nomor 8 tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik
terkait dengan penelitian berupa, buku-buku terkait, artikel dalam
majalah/media elektronik, laporan penelitian/ jurnal hukum,
makalah yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan
kuliah.16
c. Bahan Non Hukum
16
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2003), h. 13-14
14
Bahan non hukum dalam penelitian ini yaitu wawancara yang
dilakukan kepada narasumber yang kompeten di bidang hukum
perlindungan konsumen.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat yuridis
normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research)
yakni upaya untuk memperoleh data atau upaya mencari dari
penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan,
artikel, dan jurnal hukum yang relevan dengan penelitian agar dapat
dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan
suatu masalah.17
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis
kualitatif adalah data yang diedit dan dipilih menurut kategori
masing-masing dan kemudian dihubungkan satu sama lain atau
ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian.
6. Metode Penulisan
17
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Bumi Intitama Sejahtera,
2009), h. 56
15
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini di bagi menjadi enam bab, dimana pada
setiap bab akan di bahas secara rinci sebagai bagian dari keseluruhan
penelitian ini. Sistematika uraian skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I, Pendahuluan. Bab ini berisi pengantar untuk memahami garis
besar dari seluruh pembahasan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar
belakang penulisan, pokok permasalahan, metode penelitian serta
sistematika dalam penulisan penelitian ini.
Bab II, Teori Perlindungan Konsumen Dan Pencegahan Monopoli. Bab
ini berisi tinjauan umum mengenai teori terkait tetang hukum
perlindungan konsumen dan pencegahan monopoli di Indonesia dan
teori perspektif Islam terkait dalam perlindungan konsumen dan anti
monopoli.
Bab III, Hukum Perlindungan Konsumen Dan Anti Monopoli Di
Indonesia. Bab ini berisi tinjauan umum tentang hukum perlindungan
konsumen dan hukum anti monopoli di Indonesia.
16
Bab IV, Penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 Dan Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun
1999 Dalam Kasus Kartel SMS. Bab ini berisi deskripsi dan analisa
mengenai penerapan undang-undang perlindungan konsumen dan anti
monopoli dalam kasus kartel sms dan pasal yang terkait.
Bab V, Penutup. Bab ini berisi Kesimpulan dan Saran.
17
BAB II
TEORI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENCEGAHAN MONOPOLI
A. Teori Perlndungan Konsumen dan Pencegahan Monopoli Dalam Pendapat
Para Ahli
Hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur tentang
perlindungan konsumen dalam bertransaksi bisnis dengan produsen agar tidak
dirugikan sebagai pihak yang lemah. Nasution berpendapat bahwa hukum
perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen, yang
memuat asas-asas yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang
melindungi konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-
asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan
penggunaan produk (barang atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam
kehidupan bermasyarakat.1 John F. Kennedy mengatakan yang dikutip oleh
Yusuf Shofie, “Consumers, by definition, includes us all” (konsumen adalah
kita semua).2 Hondius (pakar masalah konsumen di Belanda), ingin
membedakan antara konsumen dengan konsumen pemakai terakhir. Dengan
menyimpulkan bahwa para ahli hukum sepakat mengartikan konsumen sebagai
1 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,
2000), h. 37.
2 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK: Teori dan Pencegahan
Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.13
18
pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van
goerderen en diensten).3
Berkaitan dengan teori perlindungan konsumen adalah gagasan tentang
keadilan (justice and fairness). Di dalam realitas hukum, sekurang-kurangnya
beberapa norma, berurusan dengan jatah minimum dari setiap warga
masyarakat, harus „adil‟ dan harus dilaksanakan „secara adil‟. Tujuan hukum itu
adalah untuk mewujudkan keadilan, banyak definisi atau ungkapan beraneka
ragam mengenai makna tentang keadilan. Ada yang mengaitkan keadilan
dengan peraturan politik negara, ada juga yang memandang keadilan dalam
wujud kemauan yang sifatnya terus-menerus dan untuk memberikan apa yang
menjadi hak bagi setiap orang.4 Sajipto Rahardjo (1985:54), menuliskan seperti
yang dikutip oleh Jimly Asshidiqqie bahwa sekalipun hukum itu langsung
dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang praktis, yaitu tentang
bagaimana sumber-sumber daya itu hendak dibagi-bagikan dalam masyarakat,
tetapi tidak bisa terlepas dari pemikiran-pemikiran yang lebih abstrak yang
menjadi landasannya, yaitu pertanyaan tata aturan yang adil adalah tata aturan
yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun tidak dapat
dihindarkan adanya fakta bahwa keinginan seseorang atas kebahagiaan dapat
bertentangan dengan keinginan orang lain. Sehingga keadilan adalah
3 Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), h. 2.
4 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan,(Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2009), h. 217-223.
19
pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat tertentu. Keadilan yang
paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang. Kriteria
keadilan seperti halnya kriteria kebenaran, tidak tergantung pada frekuensi
dibuatnya pembenaran tersebut. Karena manusia terbagi menjadi banyak
bangsa, kelas, agama, profesi, dan sebagainya yang berbeda-beda, sehingga
terdapat banyak ide keadilan yang berbeda-beda pula. Terlalu banyak untuk
menyebut salah satunya sebagai keadilan.5 Keadilan adalah sesuatu diluar rasio
karena itu bagaimanapun pentingnya bagi tindakan manusia, tetap bukan subyek
pengetahuan. Bagi pengetahuan rasional yang ada dalam masyarakat yang ada
hanyalah kepentingan dan konflik kepentingan.
Secara umum, tanggung jawab produk merupakan aspek yang sangat
penting dari hukum perlindungan konsumen. Dalam banyak system hukum,
pemerintahan semakin teribat dalam berbagai upaya perlindungan konsumen.
Kecenderungan ini sebagaian dapat tercermin dalam globalisasi perekonomian
dunia, karena semakin banyak transaksi konsumen yang dilakukan dengan
badan usaha yang tidak dikenal secara pribadi oleh konsumen, dan banyak dari
badan usaha ini mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sangat besar dan
luas jauh melebihi yang dimiliki oleh konsumen. 6
5 Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta, Konstitusi Press), h. 17-
20.
6 John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, (Jakarta, Elips II, 2002), h..64
20
Berdasarkan “pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999 pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan
sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan
perlindungan konsumen.7 Meskipun demikian bukan berarti juga kepentingan
pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, karena untuk menghindari pula
praktek kegiatan usaha tidak sehat yang sering dilakukan oleh para pelaku
usaha, juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Anti Monopoli. Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,
“konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan”. Di dalam perpustakaan
ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir
adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan
konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai
bagian dari proses produksi suatu produksi lainnya. Oleh karena itu, pengertian
7 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada,
2004), h. 1
21
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen
akhir.8
Adapun teori mengenai pencegahan monopoli sesungguhnya banyak
istilah yang digunakan untuk bidang hukum ini selain istilah hukum persaingan
usaha, yaitu hukum anti monopoli. Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum
persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan persaingan usaha.9
Menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Antimonopoli Nomor 5 Tahun
1999 persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
Dalam system perekonomian nasional berdasarkan asas demokrasi
ekonomi, praktek monopoli dan persaingan usaha harus diatur sedemikian rupa
agar tidak menjadi sarana praktek monopoli. Lalu mekanisme hukum untuk
mengaturnya ialah para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya
hendaklah bersaing secara sehat dengan berpedoman kepada undang-undang
yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.10
8 Elsi Kartika, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005),
h. 120
9 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Pernada Media Group, 2008), h. 1
10
Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat Di Indonesia, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), h. 34-35
22
Tujuan dari dibentuknya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Anti
Monopoli ini seperti yang tertera dalam “pasal 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 ialah untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat”. Adapun yang patut untuk diperhatikan dalam persaingan
usaha ini adalah unsur penting yang wajib diperhatikan bagi penentuan
kebijakan yang ideal dalam pengaturan persaingan di Indonesia adalah
kepentingan publik dan efisiensi ekonomis.11
Terkait masalah anti monopoli ini adalah persoalan kartel. Kartel ialah
pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya dengan
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan
pemasaran suatu barang dan jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Terjadinya partek kartel
dilatarbelakangi oleh persaingan yang cukup sengit dipasar. Untuk menghindari
persaingan fatal ini, anggota kartel setuju menentukan harga bersama, mengatur
produksi bahkan menentukan secara bersama-sama potongan harga, promosi
dan syarat-syarat penjualan. Kartel juga bisa melindungi perusahaan yang tidak
efisien, yang bisa hancur bila tidak masuk kartel. Dengan kata lain kartel dapat
menjadi pelindung bagi pelaku usaha yang lemah. Kartel merupakan suatu
hambatan persaingan yang paling merugikan konsumen, karena kartel dapat
11
Johny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha, (Malang, Bayumedia Publishing, 2007), h. 217
23
mengubah struktur pasar menjadi bersifat monopolistic. Kaitannya dalam
kegiatan kartel yang dilarang ini maka akan dikenakan sanksi oleh KPPU.12
B. Sistem Perlindungan Konsumen dan Anti Monopoli Dalam Hukum
International
Sebagaimana kita ketahui bahwa tantangan bangsa Indonesia dalam
pembangunan jangka panjang adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat
untuk mewujudkan masyarakat maju, adil, makmur dan mandiri. Untuk
mencapai tujuan tersebut kita dihadapkan pada kemajuan ekonomi perdagangan
yang semakin terbuka diantara bangsa-bangsa dan untuk itu dibutuhkan daya
saing yang kuat. Dalam adanya perdagangan yang semakin terbuka dibutuhkan
penyeimbang didalamnya agar bisa berjalan dengan beriringan tanpa
mengambil hak atau melanggar hak satu sama lain. Perlindungan Konsumen
merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi
semua bangsa didunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan
konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi ruang satu sama lain
mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha
dan pemerintah.13
Dikalangan kriminolog studi kritis mengenai pelaku-pelaku usaha atau
peranan korporasi sudah dimulai setidaknya sejak tahun 1939 melalui pidato
12
Ibid, h. 57-65.
13
Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung, Mandar Maju, 2000), h. 6
24
bersejarah Edwin H. Sutherland di depan the American Sociological
Association. Beliau mengemukakan konsep white colar crime (WCC) yang
didefenisikan sebagai “a crime commmited by a person of spectability and high
social status in the course of his occupation”. Penelitian Sutherland yang
menggunakan catatan-catatan jawatan-jawatan pengaturan (regulatory
agencies), pengadilan-pengadilan dan komisi-komisi menemukan bahwa 70
korporasi industry dan perdagangan yang ditelitinya masing-masing setidaknya
melakukan satu pelanggaran hukum dan membuat kebijakan-kebijakan yang
melanggar hukum seperti, periklanan yang menyesatkan (false advertising),
penyalahgunaan paten (patent abuse), pelanggaran persaingan dagang
(wartime trade violations), penetapan harga (price fixing), penipuan (fraud),
dan penjualan barang-barang cacat (sale of faulty goods). Pada satu sisi
peranan korporasi atau pelaku usaha memang menggerakan roda
perekonomian di suatu negara, bahkan melintasi batas-batas negara sedangkan
pada sisi lainnya juga menimbulkan distorsi-distorsi dan ketidak adilan bagi
masyarakat.
Seiring karakter pengawasan yang unik dari sesuatu yang baru,
pengembangan institusi sangat membutuhkan berbagai pengalaman (best
practices) dari berbagai lembaga persaingan usaha sejenis di dunia
Internasional, misalnya Jepang dengan Jepan fair Commision, Amerika dengan
Fair Trade Commision dan Australia dengan Australian Consumer and
Competition. Di tingkat ASEAN, hingga saat ini hanya terdapat 3 (tiga) Negara
25
selain Indonesia yang memiliki Hukum Persaingan Usaha yaitu Singapura
(Competition Commision of Singapura) Thailand (Departement of Internal
Trade Ministry of Commerce) dan Vietnam (Vietnam Competition
Administration).14
Salah satu resolusi yang pernah dicetuskan oleh perserikatan
bangsa-bangsa adalah tentang perlindungan konsumen terakhir, masalah ini
dimuat dalam resolusi No.39/248 Tahun 1985. Di dalam Guidelines for
consumer pontection (bagian tiga prinsip-prinsip umum) dinyatakan hal-hal apa
saja yang dimaksud dengan kepentingan konsumen (legitimate needs) itu :
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya
2. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen
3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan
mereka kemampuan melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan
kebutuhan pribadi.15
Kepentingan-kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian, yang
secara tegas telah dikemukakan pada tahun 1962 oleh Presiden Amerika Serikat
John F. Kennedy yang menyampaikan pesan di depan Kongres tentang
14
Deswin Nur & Tim Direktorat Kebijakan Persaingan, KPPU dan Pengembangan Kebijakan
Persaingan di Asia, (KOMPETISI, Media Berkala Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008), h. 16.
15 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia.( Jakarta, Grasindo, 2004).h. 97
26
pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat.16
Peristiwa berikutnya
yang merupakan perhatian atas kepentingan konsumen, secara tegas telah
ditetapkan dalam putusan Sidang Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
pada sidang ke-106 tanggal 9 April 1985. Resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-
Bangsa) tentang Perlindungan Konsumen (Resolusi 39/248) telah menegaskan
enam kepentingan konsumen, yaitu sebagai berikut.17
1. Perlindungan Konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
2. Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen.
3. Tersedianya informasi yang mencukupi sehingga memungkinkan
dilakukannya pilihan sesuai kehendak.
4. Pendidikan konsumen.
5. Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.
6. Kebebasan membentuk organisasi konsumen dan diberinya kesempatan
kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.
Pada masa kini, kecenderungan untuk memperluas ruang lingkup
Hukum Perlindungan Konsumen telah dilakukan oleh The Economic Law
16
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahan (Bandung,
Alumni, 1981) h. 47
17
Az. Nasution ,“Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum dan
Pembangunan, Fakultas Hukum UI, No. 6 tahun ke XVI, Desember 1986. h. 57
27
Procurement System Project (ELIPS), yang mengemukakan sembilan materi
rumusan hukum perlindungan konsumen, yakni :18
1. Ketidaksetaraan dalam kekuatan tawar-menawar
2. Kebebasan berkontrak versus keadilan dalam berkontrak
3. Persyaratan untuk memberikan informasi kepada konsumen, yang meliputi
hukum pengumuman yang umum dan hukum tentang keuangan
4. Peraturan tentang perilaku atau tindakan penjual, yang meliputi petunjuk
arahan yang salah dan kelicikan dalam perdagangan
5. Peraturan tentang mutu produk, yang meliputi garansi dan keamanan produk
6. Akses terhadap kredit (pelaporan, kredit, nondiskriminasi)
7. Batas-batas hak mengakhiri masa jaminan
8. Peraturan tentang harga
9. Pembetulan
Hak-hak konsumen juga merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi
Manusia yang dicanangkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tanggal 10
Desember 1948, yang pengaturannya dan pasal nya masing-masing diatur dalam
18
Ibid, hal. 11
28
Organisasi Konsumen Sedunia.19
Oleh karena itu hak-hak konsumen merupakan
hal yang sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan atau
merupakan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.
Gerakan perlindungan konsumen internasional juga telah memiliki wadah
yang cukup berwibawa, yang disebut Internasional Organization of Consumers
Unions (IOCU). Setiap tanggal 15 Maret organisasi ini menjadikan sebagai hari
Hak Konsumen sedunia.20
C. Teori Perlindungan Konsumen Dan Antimonopoli Dalam Islam
Dalam hukum positif seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999, konsumen diberikan hak untuk memilih barang atau jasa yang
mereka inginkan dan berhak mendapat informasi yang jelas dan benar mengenai
barang atau jasa tersebut agar tidak kecewa. Dalam permasalahan tersebut
hukum Islam memberikan khiyar bagi pembeli, menurut Wahbah Az-Zuaili
defenisi khiyar adalah seorang pelaku akad memiliki hak pilih antara
melanjutkan akad atau tidak melanjutkannya dengan memfasakhnya atau pelaku
akad memilih salah satu dari dua barang dagangan. Dengan adanya hak khiyar
tersebut dimaksudkan agar suatu ketika terjadi masalah dengan akad atau obyek
19
C. Tantri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, (Jakarta, yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation), h. 19-21
20 Imelda Martinelli, “Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen”, Era Hukum , No.
11/Th 3/1997, hal.66.
29
maka persoalan dapat diselesaikan dengan mengacu pada hak-hak khiyar yang
sudah ada dan menjamin agar akad yang diadakan benar-benar terjadi atas
kerelaan penuh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun pengertian khiyar
menurut Sulaiman Rasyid ialah boleh memilih antara dua, meneruskan akad
jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli). Diadakan
khiyar dalam Islam agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan
kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di
kemudian hari karena merasa tertipu.21
Manusia adalah makhluk tuhan yang mempunyai dua sifat individu dan
sosial. Secara individu mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan dan lain-
lain. Secara sosial manusia memerlukan bantuan orang lain untuk mencukupi
segala kebutuhannya salah satu bentuk dari hubungan sosial itu adalah jual
beli.22
Dalam Islam, jual beli merupakan suatu hal yang diperbolehkan sesuai
dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 275 :
ش رن ٱن ي ٱنشط ب قو ٱنزي تخبط إنب ك ٱنشبا نب قي أكه ب ٱنبع يثم ٱنز ا إ ى قبن ك بأ
حشو ٱنش ٱنبع أحم ٱنه ۥ يعظةٱنشبا جبء با ف ۥ إنى ٱنه أيش ۥ يب صهف ى فه ۦ فٲت ي سب
ب خهذ ى ف نئك أصحب ٱنبس ي عبد فأ
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
21
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2014), h. 286.
22
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai
Pustaka, 1989), h. 366.
30
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.”
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, defenisi jual beli adalah proses tukar
menukar barang dengan barang. Kata bay’ yang artinya jual beli termasuk kata
bermakna ganda yang berseberangan, seperti hal nya kata syiraa’. Secara
terminologi, jual beli menurut ulama Hanafiyah adalah tukar-menukar maal
(barang atau harta) dengan maal yang dilakukan dengan cara tertentu atau tukar-
menukar barang yang bernilai dengan semacamnya dengan cara yang sah dan
khusus, yakni ijab-qabul atau mu‟aathaa (tanpa ijab qabul). Dengan demikian,
jual beli satu dirham dengan satu dirham tidak termasuk jual beli, karena tidak
sah. Begitu pula jual beli seperti bangkai, debu, dan darah tidak sah, karena
termasuk jual beli barang yang tidak disenangi.23
Menurut Sulaiman Rasyid jual beli adalah menukar suatu barang dengan
barang lain dengan cara tertentu (akad). Mengenai jual beli yang tidak diizinkan
oleh agama, ada beberapa point yang patut diperhatikan yaitu, menyakiti si
23
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Depok, Gema Insani, 2007) h. 25.
31
penjual, pembeli atau orang lain, menyempitkan gerakan pasaran, dan merusak
ketentraman umum.24
Dalam jual beli dalam Islam memiliki beberapa etika, diantaranya sebagai
berikut:
1. Tidak boleh berlebihan dalam mengambil keuntungan, penipuan
dalam jual beli yang berlebihan di dunia dilarang dalam semua agama
karena hal itu termasuk penipuan yang diharamkan dalam semua
agama. Ulama Malikiah menentukan batas penipuan yang berlebihan
itu adalah pertiga keatas, karena jumlah itulah batas maksimal yang
dibolehkan dalam wasiat dan selainnya. Dengan demikian keuntungan
yang baik dan berkah adalah keuntungan sepertiga keatas.
2. Berinteraksi yang jujur, dengan menggambarkan barang dagangan
dengan sebetulnya tanpa ada unsur kebohongan ketika menjelaskan
macam, jenis, sumber, dan biayanya.
3. Bersikap toleran dalam berinteraksi, penjual bersikap mudah dalam
menentukan harga dengan cara menguranginya, begitu pula pembeli
tidak terlalu keras dalam menentukan syarat-syarat penjual dan
memberikan harga lebih.25
24
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2014) h. 278-286. 25
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Depok, Gema Insani, 2011) h. 27-28.
32
Dalam jual beli terdapat dua subyek yaitu penjual yang kedudukannya
sebagai pelaku usaha dan pembeli sebagai konsumen. Penjual sebagai pelaku
usaha berusaha menghasilkan berbagai jenis produk diantaranya adalah
makanan agar dapat dikonsumsi oleh konsumen. Dalam proses produksinya,
sering kali para pelaku usaha atau produsen tidak jujur dan melakukan
kecurangan-kecurangan atau penipuan kepada konsumen. Diantara kecurangan-
kecurangan dan penipuan tersebut adalah direnggutnya hak-hak konsumen
dalam kasus kartel sms yang merugikan konsumen mencapai triliunan rupiah
yang dilakukan oleh para operator-operator seluler. Berkaitan dengan hukum
perlindungan konsumen dan anti monopoli dalam perspektif Islam mengenai
kasus kartelisasi bisnis sms (short message sercives) para operator seluler telah
melanggar para konsumen tentang etika jual beli. Point pertama, tidak boleh
berlebihan mengambil keuntungan, hal ini telah dilanggar oleh para operator
seluler dalam melakukan kegiatan penetapan harga (price fixing) tarif sms
dengan mengambil keuntungan berlebih dalam kartelisasi sehingga merugikan
konsumen. Point kedua berinteraksi yang jujur, konsumen mempunyai hak
mendapatkan informasi yang jujur dari produsen atau pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usaha nya namun dalam kasus kartelisasi bisnis sms, para
pelaku usaha yang tergabung dalam kegiatan kartel tidak menggambarkan atau
menjelaskan secara jujur mengenai biaya tarif sms sehingga menimbulkan
kerugian yang besar untuk konsumen.
33
Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas
sangat merugikan kepentingan masyarakat konsumen. Pada umumnya para
pelaku usaha berlindung dibalik standard contract atau perjanjian baku yang
telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pelaku usaha dan
konsumen.26
Dalam Islam tidak ada larangan jual beli, akan tetapi Islam
melarang setiap tindakan curang, penipuan para pelaku usaha terhadap
konsumen. Larangan ini disebutkan dalam surah Hud ayat 85 :
نب تبخ بٲنقضط زا ٱن بل ك قو أفا ٱن نب تعثا ف ٱنأسض يفضذ ى بء ضا ٱنبس أش
Artinya : Dan Syu´aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan
timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-
hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan
membuat kerusakan.”
Selain telah dilarang dalam al-Quran larangan atas tindakan curang atau
penipuan oleh pelaku usaha sebagai penjual atau dari pihak yang berlaku curang
terhadap konsumen, misalnya menyembunyikan cacat, hal ini juga dilarang
dalam hadis nabi SAW.27
Berdasarkan dalil dari al-Quran dan hadis tersebut
menunjukan bahwa dalam Islam pun ada perlindungan konsumen, walaupun
tidak secara defisit.
26
Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Gramedia, 2001), h.
1-3.
27
Abi Bakar Ahmad Ibn al Husein, Al-Sunan Al-Sagir, (Beirut, Dal Al-Fikri, 1:463, hadis
nomor 2017) Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Uqbah bin amir al-Juhni.
34
Mustaq Ahmad menekankan bahwa dalam pespektif Islam, landasan yang
mendorong perilaku seseorang pelaku bisnis hendaknya jangan didasarkan
karena adanya rasa takut pada sebuah pemerintahan, tidak juga karena hasrat
untuk menumpuk dan menimbun kekayaan. Perilaku bisnis mereka hendaknya
dipondasikan atas rasa takut pada Allah SWT dalam usaha mencari dan
menggapai ridho-Nya. Sehingga bisnis hendaknya melampaui sesuatu yang
bersifat legal. Seseorang bukan hanya semata mengharapkan rasa keadilan,
bahkan lebih jauh dari itu ia menginginkan yang melampaui hal tersebut dalam
rangka memenuhi kebajikan dan keluruhan budi. Sebagaimana juga tuntutan
bagi seorang muslim yang bertakwa, dia bukan hanya menghindari semua hal
yang dilarang, bahkan lebih dari itu ia hendaknya menghindari “wilayah
kelabu” (syubhaf), apabila dia melakukan tindakan itu ia merasa tidak
mendapatkan ketenangan bathin. Singkatnya perilaku seseorang hendaknya
diwarnai oleh sebuah kesopanan tindakan dan niat yang jujur sesuai dengan
kadar dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia.28
Dalam melakukan perjanjian yang sah dalam jual beli sudah diatur dalam
Islam. Dalam kajian Fiqh Muamalat masalah akad menempati posisi sentral
karena merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperoleh
maksud dan tujuan, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu
secara sah. Tidak jarang karena kesalahan dalam memilih akad atau kurang
28 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2001) h. 7.
35
terpenuhinya syarat dan rukun akad, transaksi yang dilakukan seseorang bisa
dinilai tidak sah (batal). Secara terminologi, akad memiliki arti umum (al-ma‟na
al-am) dan khusus (al-ma‟na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah
segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik yang muncul
dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang,
thalak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan pada kehendak dua pihak
dalam melakukannya seperti jual beli, sewa menyewa, dan gadai atau jaminan.
Adapun arti khusus akad adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul
sesuai dengan kehendak syari‟ah (Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan
akibat hukum pada obyek akad.29
Oleh karena itu, pengetahuan mengenai akad
penting dalam menjalankan praktek jual beli antara produsen dan konsumen.
29 Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), h. 59-60.
36
BAB III
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ANTI MONOPOLI DI
INDONESIA
A. Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999
Semula dalam tata hukum Indonesia, istilah Hukum Perlindungan
Konsumen belum begitu dikenal. Keadaan agak berubah setelah hadirnya
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 pada tanggal 20
April 1999. Konsumen yang dimaksudkan dalam bagian ini adalah setiap
pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah
tangga, dan tidak untuk memproduksi barang atau jasa lain atau
memperdagangkannya kembali.1 Dalam pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa konsumen
adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan. Melemahnya etika bisnis di kalangan
profesional mengindikasikan perlunya penerapan kaidah hukum dalam kasus-
kasus yang membawa kerugian sebagian atau kerugian yang meluas di kalangan
para korban (konsumen). Peran regulasi sendiri semacam kode etik belum
1 Yusuf Shofie, Perlndungan Konsumen dan instrument-instrumen hukumnya, (Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti, 2003), h. 269.
37
mampu membina para anggota profesinya agar berperilaku yang pantas di
dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya. Meskipun demikian, dalam
pembaruan hukum perlindungan konsumen, pihak produsen yang merupakan
pihak yang diuntungkan oleh ketiadaan atau tidak memadainya aturan hukum
perlindungan konsumen perlu pula mendapat perlindungan-perlindungan
tertentu agar tetap terjadi keseimbangan dalam perlindungan hukum.
Tujuan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan
perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan
martabat dan kesadaran konsumen atau secara tidak langsung mendorong
pelaku usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya agar dilakukan
dengan penuh rasa tanggung jawab. Pengaturan perlindungan konsumen
dilakukan dengan :
1. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur
keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum.
2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh
pelaku usaha.
3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.
4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang
menipu dan menyesatkan.
5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan perlindungan
konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.
38
Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen” meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang
Perlindungan Konsumen namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak
ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional
banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. Kesewenang-wenangan akan
mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya
memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif
ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-
Undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan
perlindungan konsumen, baik dalam hukum privat (perdata) maupun bidang
hukum public (hukum pidana dan hukum administrasi negara).
Asas dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
menurut pasal 2 berbunyi “Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat,
keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian
hukum”. Penjelasan dari bunyi pasal ini, perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
39
2. Asas kadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen
berdasarkan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 berbunyi. “perlindungan
konsumen bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan konsumen
untuk melindungi diri, mengangkat harkat konsumen dengan menghindarkan
dari ekses negative pemakaian barang atau jasa, meningkatkan pemberdayaan
konsumen, menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dalam
40
berusaha dan meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang atau jasa”. Pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen ini merupakan isi pembangunan nasional, karena
tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang
harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan
konsumen.
Berkaitan dengan perbuatan yang dilarang untuk pelaku usaha, seperti
diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan tujuan
perlindungan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang
membawa akibat negative dari pemakaian barang atau jasa harus dihindarkan
dari aktifitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan
akibat negative pemakaian barang atau jasa tersebut, undang-undang
menentukan berbagai larangan, termasuk kegiatan kartel. Tentu untuk mengatur
hal ini dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tercantum dalam pasal
8 ayat (1), (2), (3), (4), yang dimana pelaku usaha dalam melakukan kegiatan
usaha nya dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat dan juga harus
memberikan informasi yang lengkap dan benar terkait barang yang
diperdagangkan. Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal, yaitu
larangan memproduksi barang atau jasa dan larangan memperdagangkan barang
atau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan yang dimaksudkan hakikatnya
antara lain mengupayakan agar barang atau jasa yang beredar di masyarakat
41
merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan
informasi pengusaha baik melalui label, dan lain sebagainya.2
Dalam hal pembinaan dan pengawasan konsumen dalam melakukan
transaksi usaha dengan produsen peran Pemerintah juga ikut andil dalam
pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan
dalam pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ayat (1) yang
berbunyi, “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.
Keterlibatan pemerintah dalam pasal ini didasarkan pada kepentingan yang
diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kehadiran
negara untuk mensejahtrerakan rakyatnya. Berdasarkan penjelasan pasal
tersebut maka adanya tanggung jawab Pemerintah atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen tidak lain dimaksudkan untuk
memberdayakan konsumen memperoleh haknya. Tugas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjadi tanggung jawab
pemerintah dan dilaksanakan oleh Menteri terkait sebagaimana ditentukan
dalam pasal 29 tersebut, selanjutnya telah dijabarkan dalam Peraturan
2 Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan
Konsumen di Indonesia, (Bandung, Mandar Maju, 2000), h. 18
42
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 yang intinya menciptakan iklim usaha yang
sehat antara pelaku usaha dan konsumen.
Dalam kaitannya dengan badan apakah yang menaungi konsumen dalam
hal melindungi konsumen adalah adanya Badan Perlindungan Konsumen
Nasional. Dibentuknya badan ini untuk melindungi konsumen termaktub dalam
pasal yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, berdasarkan
pasal 31 yang berbunyi, “Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan
konsumen dibentuk badan Perlindungan Konsumen Nasional”. Berangkat dari
ketentuan pasal ini, dapat diketahui bahwa Badan Perlindungan Konsumen
Nasional diadakan untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen di
Indonesia. Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibentuk sebagai upaya
untuk mengembangkan perlindungan konsumen yang sudah diatur dalam pasal
lain. Pengaturan tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional
memperlihatkan bentuk kesungguhan pembuat undang-undang memberikan
perlindungan kepada konsumen yang selama ini lebih banyak hanya dijadikan
sebagai objek produksi barang atau jasa oleh pelaku usaha yang tidak jarang
melakukan kegiatan usaha terlarang seperti kartel. Dan untuk menjalankan tugas
dan fungsinya Badan Perlindungan Konsumen Nasional telah diatur dalam pasal
36 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, upaya
perlindungan terhadap konsumen kurang dirasakan oleh masyarakat karena
43
disamping tersebarnya ketentuan perlindungan konsumen dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, pelaksanaan dari peraturan perundang-
undangan tersebut memang belum dirasakan oleh masyarakat sebagai
perlindungan terhadap konsumen. Walaupun telah lahir Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang sudah lama dinanti-nantikan, namun masih
belum mencapai perkembangan sebagaimana di negara maju. Sebagai contoh,
ganti kerugian yang dapat diberikan kepada konsumen yang mengalami
kerugian hanya meliputi kerugian yang langsung dialami oleh konsumen karena
mengkonsumsi suatu produk (hanya kerugian karena rusaknya produk) dan
tidak meliputi akibat (kerugian harta benda) yang ditimbulkannya, lebih-lebih
pada keuntungan yang tidak diperoleh (kehilangan keuntungan yang
diharapkan) akibat pennggunaan produk.3 Peran lembaga konsumen dalam
suatu negara sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap
konsumen. Begitu pentingnya peran lembaga konsumen ini, pada kongres
konsumen sedunia di Santiago, sempat mengemuka tentang peran lembaga
konsumen dalam memfasilitasi konsumen memperoleh keadilan.
Di Indonesia peran lembaga konsumen dalam memfasilitasi konsumen
guna memperoleh keadilan ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) pada 11 Mei 1973 yang bertujuan untuk
3 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 2011), h. 68-69
44
membantu konsumen Indonesia agar tidak dirugikan dalam mengonsumsi
barang dan jasa. Kehadirannya merupakan langkah maju dalam menegakan
keadilan bagi konsumen. Keberadaan lembaga-lembaga yang memberikan
perlindungan konsumen semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang secara tegas menyatakan akan dibentuknya
Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang bertugas guna memberikan saran
dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan
di bidang perlindungan konsumen dan juga melakukan penelitian terhadap
barang dan jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.
Diharapkan dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang mendorong dibentuknya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat bisa menempatkan posisi konsumen pada posisi yang seharusnya
yaitu menjadi seimbang bahkan lebih kuat dari produsen agar terciptanya
keseimbangan dalam hukum dan ekonomi nasional.4
B. Hukum Anti Monopoli Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para
pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komperehensif
mengatur persaingan sehat. Keinginan itu muncul karena banyaknya praktek-
praktek perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering
memberikan perlindungan maupun privileges kepada para pelaku bisnis
4 Ibid, h. 94-101
45
tertentu, sebagai bagian dari praktek-praktek kolusi, korupsi, kroni, dan
nepotisme. Pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada tahun 1999 saat
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan. Kelahiran undang-undang ini
ditunjang dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan kegiatan monopoli
di segala sector.5 Dampak positif dari lahirnya undang-undang ini adalah
terciptanya pasar yang tidak terdistorsi, sehingga menciptakan peluang usaha
yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa para
pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan dan memasarkan produk
(barang dan jasa) mereka. Jika hal ini tidak dilakukan, para konsumen akan
beralih kepada produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti secara tidak
langsung undang-undang ini akan memberikan keuntungan bagi konsumen
dalam produk yang lebih berkualitas, harga yang bersaing, dan pelayanan yang
lebih baik. Undang-undang ini juga mengikat pemerintah untuk tidak
mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat memberikan kemudahan dan
fasilitas istimewa kepada para pelaku usaha tertentu yang bersifat monopolistik.
Diharapkan undang-undang ini akan mampu mengikat pemerintah untuk lebih
objektif dan profesional dalam mengatur dunia usaha di Indonesia dan dapat
5 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2004), h. 8.
46
meningkatkan kepercayaan masyarakat Internasional terhadap Indonesia
sehingga mereka tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.6
Dalam suatu struktur pasar yang kompetitif, pelaku usaha yang berusaha
di dalam pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatan bagi pelaku
usaha untuk masuk kedalam pasar, membuat setiap pelaku usaha yang ada di
dalam pasar tidak akan mampu untuk menyetir harga sesuai dengan
keinginannya, mereka hanya menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasar
dan akan berusaha untuk berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai
suatu tingkat yang efisien dalam berproduksi. Namun sebaliknya dalam pasar
yang berstruktur oligopoli, dalam pasar ini hanya terdapat beberapa pelaku
usaha saja kemungkinan pelaku usaha bekerjasama untuk menentukan harga
produk dan jumlah produksi dari masing-masing pelaku usaha menjadi lebih
besar. Oleh karena itu biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang
pada pasar yang berstruktur oligopoli, karena lebih mudah untuk bersatu dan
mengusai sebagian pangsa pasar.7
Praktek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara
pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah
produksi mereka. Mereka berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar
dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap,
6 Ibid, h. 9.
7 Herbert Hovenkamp, Federal Anti Trust Policy, The Law of Competition and It’s Practice,
(2nd
ed, Katalis and GTZ, 1995), h. 144
47
maka akan berakibat pada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi dan
sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka berlimpah, sudah barang tentu
akan berdampak pada penurunan harga produk mereka di pasar. Maka dari itu
pada praktek kartel ini, para pelaku usaha mencoba membentuk suatu kerjasama
horizontal (pools) untuk menentukan harga dan jumlah produksi barang atau
jasa.8
Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah
mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan
efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan
efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya. Berkaitan dengan ini
maka keberadaan undang-undang ini yang berasaskan demokrasi ekonomi
dengan memerhatikan keseimbangan antara kepentingan usaha dan kepentingan
umum tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam
mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia. Dengan
menyimak secara seksama tujuan diatas kita dapat mengatakan bahwa pada
dasarnya tujuan dari Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999
adalah menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli,
mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan memberikan sanksi terhadap
para pelanggarnya. Sehingga secara prinsipnya tujuan dari Undang-Undang
Anti Monopoli untuk menciptakan efisiensi dan keadilan terutama disuatu pasar
8 Theodore P. Kovaleff, ed. The Anti Trust Impulse, (vol. 1, Katalis and GTZ, 1994), h. 78-80
48
tertentu dengan cara menghilangkan distorsi pasar antara lain mencegah
penguasaan pangsa pasar yang besar oleh seorang atau beberapa orang pelaku
pasar, mencegah timbulnya hambatan terhadap peluang pelaku pasar pendatang
baru, dan menghambat atau mencegah perkembangan pelaku pasar yang
menjadi pesaingnya. Jadi jelaslah, bahwa eksistensi dan orientasi dari Undang-
Undang Anti Monopoli adalah menciptakan persaingan usaha yang sehat
dengan cara mencegah monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, serta
untuk mencipakan ekonomi pasar yang efektif dan efisiensi demi peningkatan
kesejahteraan rakyat.9
C. Deskripsi Kasus Kartel SMS Terkait Dengan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan
bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan
perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adanya
perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang
lemah. Lebih-lebih jika produk yang dihasilkan oleh produsen merupakan jenis
produk yang terbatas, produsen dapat menyalahgunakan posisinya yang
monopolistis tersebut. Hal itu tentu saja akan merugikan konsumen.
Krisis finansial Asia menyebabkan ekonomi Indonesia melemah pada
akhir masa Orde Baru. Era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah
9 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2009), h. 13-15.
49
melambungkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai “selebritis” baru
di Indonesia. Soeharto jatuh dikarenakan ia lebih memilih untuk memelihara
KKN.10
Penguasa orde baru sering memberikan perlindungan ataupun privilege
kepada pihak-pihak tertentu. Pemerintah orde baru saat itu menganut konsep
bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk menjadi
lokomotif pembangunan. Menurut pandangan pemerintah Orde Baru
perusahaan-perusahaan tersebut hanya mungkin menjadi besar untuk kemudian
menjalankan fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila perusahaan-
perusahaan itu diberikan perlakuan khusus.
Perilaku dari pelaku-pelaku bisnis di Indonesia, yaitu para konglomerat
yang memperoleh perlakuan istimewa, ternyata tidak mau berbuat positif untuk
memperbaiki kondisi ekonomi nasional yang sangat parah saat itu. Kondisi
semacam itu mengharuskan pemerintah mencari bantuan luar negeri. Banyak
hal dari persyaratan utang luar negeri itu mengandung hikmah, yaitu lahirnya
peraturan perundang-undangan yang sudah di dambakan oleh masyarakat pada
masa reformasi. Undang-Undang tersebut diantaranya adalah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
10
Kompasiana, Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Adalah Budaya (online),
http://politik.kompasiana.com (diunduh pada 15 Oktober 2014)
50
Usaha Tidak Sehat dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Sedangkan upaya penegakan hak konsumen yang dilakukan oleh pemerintah
yaitu adalah dengan dibentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
Setidaknya ada sejumlah Putusan KPPU dimana substansi perkara dalam
putusan KPPU tersebut memiliki dua dimensi, yaitu dimensi persaingan usaha
dan perlindungan konsumen. Diantara putusan-putusan tersebut ialah Putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007 tentang
Kartel SMS. Dalam asas Undang-Undang Persaingan Usaha disebutkan bahwa,
“Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum.” Tujuan pembentukan Undang-Undang
Persaingan juga adalah untuk “menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat”. Selain asas dan tujuan, ada Pasal-Pasal dalam Undang-
Undang Persaingan Usaha yang selain memperhatikan kepentingan pelaku
usaha juga memperhatikan kepentingan umum termasuk konsumen. Secara
teoritis hukum persaingan usaha akan menguntungkan konsumen di satu pihak
dan mengembangkan iklim usaha yang lebih baik bagi pelaku usaha di pihak
lainnya. Dalam perspektif konsumen dengan adanya larangan monopoli maka
konsumen memperoleh dua keuntungan yaitu pertama kemudahan untuk
memilih alternatif barang atau jasa yang di tawarkan dan kedua adalah harga
51
barang atau jasa akan cenderung lebih murah dengan kompetisi diantara pelaku
usaha.11
Putusan KPPU Perkara No.26/KPPU-L/2007 ini bermula dari KPPU yang
menerima laporan tentang adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat yang dilakukan oleh PT Excelcomindo Pratama, Tbk. (Terlapor I), PT
Telekomunikasi Selular (Terlapor II), PT Indosat, Tbk. (Terlapor III), PT
Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (Terlapor IV), PT Hutchison CP
Telecommunications (Terlapor V), PT Bakrie Telecom, Tbk. (Terlapor VI), PT
Mobile-8 Telecom, Tbk. (Terlapor VII), PT Smart Telecom (Terlapor VIII), dan
PT Natrindo Telepon Seluler (Terlapor IX). Tim Pemeriksa menemukan adanya
beberapa Perjanjian Kerja Sama (PKS) Interkoneksi yang memuat klausul
mengenai penetapan tarif SMS. Terdapat dua jenis klausul mengenai penetapan
tarif SMS yang dimuat dalam PKS Interkoneksi, yaitu tarif SMS operator
pencari akses tidak boleh lebih rendah Rp 250 dan tidak boleh lebih rendah dari
tarif retail penyedia akses. Perjanjian seperti ini adalah pelanggaran yang
dilakukan oleh para operator jasa telekomunikasi pada periode tahun 2004
sampai dengan 1 April 2008. Dengan menggunakan selisih antara pendapatan
pada harga kartel dengan pendapatan pada harga kompetitif SMS off-net dari
11
Mardiharto Tjokrowasito, Kebijakan Persaingan Pada Industri Jasa Penerbangan Dilihat
Dari Perspektif Perlindungan Konsumen (Online), http://www.bappenas.go.id/getfile
server/node/2940/, (diunduh pada 15 Oktober 2014)
52
keenam operator, maka diperoleh nilai kerugian konsumen sebesar Rp
2.827.700.000.000 (dua trilyun delapan ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus
juta rupiah).
Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah banyaknya praktik persaingan
usaha yang tidak sehat di berbagai industri dengan mengadakan kesepakatan
atau perjanjian dengan pelaku usaha yang lain dengan berbagai pola.12
Konsumen yang dimaksud dalam Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007 adalah pengguna atau pelanggan dan pemakai
layanan yang dilakukan oleh 6 (enam) operator, yaitu XL, Indosat, Telkomsel,
Telkom, Bakrie, dan Mobile-8 dalam kurun waktu tahun 2004 hingga tahun
2008. Dengan adanya kartel SMS oleh beberapa operator, konsumen dirugikan
karena harus membayar lebih mahal dari harga kompetitif. Dari adanya Kartel
SMS, kerugian yang dialami konsumen dapat berupa (i) hilangnya kesempatan
konsumen untuk memperoleh harga SMS yang lebih rendah, (ii) hilangnya
kesempatan konsumen untuk menggunakan layanan SMS yang lebih banyak
pada harga yang sama, (iii) kerugian intangible (hak-hak tidak berwujud)
konsumen lainnya, (iv) serta terbatasnya alternatif pilihan konsumen, selama
kurun waktu 2004 sampai dengan April 2008. Dalam Putusan mengenai Kartel
SMS ini, ada beberapa kepentingan konsumen yang baik secara langsung
12
Wahyu Retno Dwi Sari, Kartel: Upaya Damai untuk Meredam Konfrontasi dalam
Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 1, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta,
2009, h.192
53
maupun tidak langsung diperhatikan oleh KPPU dan terlihat langsung pada
Putusan yang diputuskan oleh KPPU, yaitu konsumen di kemudian hari dapat
memperoleh harga SMS yang lebih rendah dari sebelumnya, konsumen dapat
menggunakan layanan SMS yang lebih banyak pada harga yang sama dan
pilihan operator dengan jasa yang dibutuhkan kemampuan harga yang sesuai
dengan kemampuan konsumen jadi lebih banyak.13
D. Deskripsi Kasus Kartel SMS Terkait Dengan Anti Monopoli Dan
Penyelesaian Sengketa Yang Telah Dilakukan
Memperhatikan kondisi perkembangan perekonomian negara Indonesia
maka ada upaya untuk menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia
usaha dapat tumbuh berkembang serta demi terhindarnya pemusatan kekuatan
ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu. Kebijakan persaingan
merupakan hal yang cukup baru diterapkan secara serius di Indonesia, setelah
terjadinya krisis ekonomi yang menghadang Indonesia pada tahun 1998.
Perubahan tersebut dilakukan melalui pengesahan UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai penggeraknya. Hukum
Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat,
dengan mencegah dan memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang anti
persaingan. Persaingan merupakan sesuatu yang baik bagi masyarakat maupun
13
Ibid, h. 193
54
bagi perkembangan perekonomian suatu bangsa karena berbagai alasan. Salah
satu di antaranya adalah dapat mendorong turunnya harga suatu barang atau
jasa, sehingga menguntungkan konsumen. Di samping itu, persaingan juga
dapat mendorong efisiensi produksi dan alokasi serta mendorong para pelaku
usaha berlomba melakukan inovasi baik dalam infrastruktur maupun produknya
agar dapat memenangkan persaingan atau setidak-tidaknya tetap bertahan di
pasar. Sebaliknya di sisi lain, persaingan juga akan memberikan keuntungan
yang semakin berkurang bagi produsen, karena mereka bersaing menurunkan
harga untuk meningkatkan pangsa pasarnya. Hal yang paling mengkhawatirkan
bagi pelaku usaha adalah apabila seluruh pelaku usaha menurunkan harganya,
sehingga mereka mengalami penurunan keuntungan secara keseluruhan. Agar
para pelaku usaha tetap mempertahankan keuntungan, maka mereka berusaha
untuk mengadakan kesepakatan dengan cara membentuk suatu kartel. Praktek
Kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha agar
dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka agar saat
permintaan meningkat maka harga jual akan meningkat tinggi.14
Kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk
mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi
dan harga suatu barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan diatas tingkat
14
Theodore P. Kovaleff, ed, The Anti Trust Impulse, (vol. 1, Katalis and GTZ, 1994), h. 78-
80.
55
keuntungan yang wajar. Kartel akan memaksa konsumen membayar lebih
mahal atas suatu produk, baik itu barang mewah maupun barang-barang yang
biasa diperlukan masyarakat seperti obat-obatan dan vitamin. Kartel akan
merugikan perekonomian, karena para pelaku usaha anggota kartel akan setuju
untuk melakukan kegiatan yang berdampak pada pengendalian harga, seperti
pembatasan jumlah produksi, yang akan menyebabkan in-efisiensi alokasi.
Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi dalam produksi ketika mereka
melindungi pabrik yang tidak efisien, sehingga menaikkan biaya rata-rata
produksi suatu barang atau jasa dalam suatu industri. Menurut pendapat lainnya
Kartel (dalam bahasa Inggris disebut “cartel”) adalah suatu kerja sama dari
produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi,
penjualan harga dan melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri
tertentu.15
Kartel menggunakan berbagai cara untuk mengkoordinasikan
kegiatan mereka, seperti melalui pengaturan produksi, penetapan harga secara
horizontal, kolusi tender, pembagian wilayah, pembagian konsumen secara non-
teritorial, dan pembagian pangsa pasar. Akan tetapi perlu kita sadari bahwa
kartel yang efektif tidaklah mudah untuk dicapai. Bagaimanapun terdapat
kecenderungan para pelaku usaha akan selalu berusaha memaksimalkan
keuntungan perusahaannya masing-masing.
15
Black, Henry Campbel, Black LawDictionary, (USA, 6 thn Ed West Publishing Co. St
Paul-Minn, 1990), h.270.
56
Praktek kartel pada umumnya dapat berjalan sukses apabila pelaku usaha
yang terlibat di dalam perjanjian kartel tersebut mayoritas berasal dari pelaku
usaha yang berkecimpung di dalam pasar tersebut. Apabila hanya sebagian kecil
saja pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian kartel, biasanya perjanjian
kartel akan tidak efektif dalam mempengaruhi pasokan produksi dalam pasar,
karena kekurangan pasokan di dalam pasar akan ditutupi oleh pasukan dari
pelaku usaha yang tidak terlibat dalam perjanjian kartel tersebut.16
Dalam
kaitannnya ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang berwenang
untuk mengadili dan memeriksa kasus kartel SMS terkait dengan Anti
Monopoli telah selesai melakukan pemeriksaan dan telah menetapkan putusan
terhadap perkara No. 26/KPPU-L/2007 yaitu dugaan pelanggaran terhadap
Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999). Dugaan pelanggaran tersebut
adalah penetapan harga SMS off-net (short message services antar operator)
yang dilakukan oleh para operator penyelenggara jasa telekomunikasi pada
periode 2004 sampai dengan 1 April 2008.
Persoalan kartel SMS tersebut menjadi menarik untuk dibahas karena
dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, bentuk pelarangan yang tertera dalam pasal 11
tentang Rule of Reason dinilai tidak tegas. Prinsip Rule of Reason adalah
16
Andi Fahmi Lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan konteks, (Jakarta, RDV
Creative Media,2009), h. 107.
57
melihat seberapa jauh hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengekangan
persaingan pasar dengan kata lain apabila tidak mengakibatkan adanya indikasi
kerugian bagi pasar dan pelaku pasar maka tindakan tersebut tidak dilarang.17
Dengan hal inilah yang menimbulkan permasalahan yang baru, karena dengan
adanya perjanjian penetapan harga dari anggota yang ada di dalam perjanjian
kartel sms ini menimbulkan dampak yang buruk bagi konsumen yang dirugikan
dengan adanya perjanjian penetapan harga dalam praktek kartel ini. Artinya
tidak ada langkah preventif dalam hal ini terhadap tindakan pelaku usaha yang
sejak awal telah dimungkinkan akan memunculkan kemungkinan kerugian bagi
konsumen.
Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang
mendominasi pasar. Keadaan demikian dapat mendorong mereka untuk
mengambil tindakan bersama dengan tujuan untuk memperkuat kekuatan
mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk
membatasi tingkat produksi maupun harga melalui kesepakatan bersama di
antara mereka. Kesemuanya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
persaingan yang merugikan mereka sendiri. Jika berpegang pada teori
monopoli, suatu kelompok industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan
mendapat keuntungan yang maksimal bila mereka secara bersama. Dalam
praktiknya, kedudukan oligopolis ini diwujudkan melalui apa yang disebut
17
Munir Fuady, Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2001), h.13
58
asosiasi-asosiasi. Melalui asosiasi ini mereka dapat mengadakan kesepakatan
bersama mengenai tingkat produksi, tingkat harga, wilayah pemasaran dan
sebagainya, yang kemudian melahirkan kartel, yang dapat pula mengakibatkan
terciptanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.18
Satu hal
yang menonjol dalam perjanjian kartel adalah ketiadaan itikat baik para pendiri
kartel terhadap pihak ketiga yang dalam hal ini adalah konsumen. Hal ini
terbukti bahwa akibat dari adanya kartel tersebut, keenam operator mendapat
keuntungan dari penentuan harga SMS yang berakibat konsumen dirugikan
senilai Rp 2,87 triliun dan merenggut hak konsumen yang tertera dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pemain baru dalam bisnis
Telekomunikasi mau tidak mau juga harus mengikuti perjanjian kartel tersebut
karena mereka mempunyai posisi tawar yang lemah terhadap harga pasar yang
telah dipengaruhi oleh perjanjian kartel sebelumnya. Namun ada catatan jika
para pelaku usaha melakukan perjanjian kartel untuk menguntungkan
masyarakat maka perjanjian kartel tersebut tidak masuk ke dalam perjanjian
yang dilarang karena tidak merugikan pihak ketiga yaitu konsumen atau pun
masyarakat. Kartel dianggap sebagai dosa terberat pelaku usaha yang tidak saja
merugikan konsumen tetapi juga menciderai alokasi efisiensi sumber daya
nasional. Selanjutnya ditegaskan bahwa kartel pada dasarnya adalah perjanjian
18
Agus Sardjono, Pentingnya Sistem Persaingan Usaha Yang Sehat dalam
UpayaMemperbaiki Sistem Perekonomian: (Jakarta,Newsletter No 34 Tahun IX, Yayasan Pusat
Pengkajian Hukum, 1998), h.26-27.
59
satu pelaku usaha dengan pelaku usaha persaingan untuk menghilangkan
persaingan diantara keduanya.19
Berkaitan dengan kartel tarif SMS, KPPU melakukan pemeriksaan
terhadap sejumlah operator seluler di Indonesia yang juga melakukan penetapan
harga SMS off-net (short message services) antara operator pada periode 2004
sampai 1 April 2008. Operator yang diduga melakukan pelanggaran tersebut
adalah PT. Exelcomindo Pratama Tbk, PT. Telekomunikasi Seluler, PT. Indosat
Tbk, PT. Telkom Tbk, PT.Huchison CP Telecomunication, PT. Bakrie
Telecom, PT. Mobile 8 Telecom Tbk, PT. Smart Telekom dan PT. Natrindo
Telepon Seluler.20
Undang-Undang Anti Monopoli sebagaimana hukum
persaingan usaha yang lain mengisyaratkan perlu dibentuknya suatu
competition authory atau disebut juga badan yang mengawasi dan memutuskan
perkara mengenai kegiatan usaha khususnya kegiatan usaha terlarang yang ada
di Indonesia.
Ditegaskan dalam Pasal 30, 35 dan 36 UU No. 5 Tahun 1999, bahwa
KPPU memiliki tugas dan kewenangan atributif untuk mengawasi perilaku
pelaku usaha dengan menggunakan tolak ukur pasal-pasal substantif tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU bertugas
menganalisis perilaku pelaku usaha dengan terindikasi perilaku tersebut
19
Farid Nasution dan Retno Wiranti, Kartel dan Problematikanya, (KOMPETISI, Media
Berkala Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008), h. 4.
20 Ibid, h. 6.
60
memenuhi unsur pasal atau tidak. Oleh karena itu fokus pemeriksaan KPPU
dalam hukum acara adalah mengumpulkan bukti dan membuktikan bahwa
terdapat beberapa tindakan korporasi yang sistematis dan melanggar UU No. 5
Tahun 1999 termasuk di dalamnya larangan Pasal 5 yaitu ”penetapan harga
yang harus dibayar konsumen atau pelanggan diantara pelaku usaha yang saling
bersaing. Konsisten dengan unsur pasal ini, KPPU melalui putusan perkara
Nomor 26/KPPU-L/2007 setelah melakukan pemeriksaan telah membuktikan
dan memutuskan terjadinya pelanggaran Pasal 5 berupa ”perjanjian atau
penetapan harga SMS off-net (kartel SMS) diantara enam pelaku usaha
terlapor”. Rumusan pasal kesepakatan harga (kartel harga) yang dilarang Pasal
5 UU No. 5 Tahun 1999 memang bersifat per se illegal sehingga KPPU cukup
membuktikan bahwa perjanjian atau kesepakatan itu eksis. KPPU telah selesai
melakukan pemeriksaan dan telah menetapkan putusan perkara
Nomor26/KPPU-L/2007 yaitu dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5 UU No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Dugaan pelanggaran tersebut adalah “penetapan harga tarif SMS off net
yang dilakukan oleh para operator penyelenggara jasa telekomunikasi pada
periode 2004 sampai dengan 1 April 2008.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, hasil pemeriksaan Majelis Komisi
kemudian berpandangan terdapat kerugian konsumen yang dihitung
berdasarkan selisih penerimaan harga kartel dengan penerimaan harga
kompetitif SMS off net setidak-tidaknya sebesar Rp. 2.827 triliun. Dari analisis
61
hasil putusan di atas, bahwa 6 (enam) operator seluler terbukti mempermainkan
harga short message services (SMS) kepada para pelanggan dengan harga yang
di atas rata-rata. Sehingga mereka didenda mencapai puluhan milyar rupiah oleh
KPPU. Sidang majelis KPPU yang digelar di Jakarta hari Selasa memutuskan 6
(enam) operator seluler ”bersalah” karena terlibat dalam ”kartel SMS”.
62
BAB IV
PENERAPAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR
8 TAHUN 1999 DAN UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI NOMOR 5
TAHUN 1999 DALAM KASUS KARTEL SMS
A. Analisis Pasal Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8
Tahun 1999 Terkait Masalah Kartel SMS
Ada dua pasal yang dilanggar dalam kasus kartel sms yang dilakukan oleh
ke enam operator telepon seluler dalam kegiatan usaha yang terlarang ini, dalam
kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen. Kedua pasal yang terlanggar
para pelaku usaha yang melakukan kegiatan kartel pada kasus ini yaitu pasal 4
dan penerapan pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal
4 ini disebutkan tentang hak dan kewajiban konsumen yang tidak dikehendaki
dan direnggut oleh para pelaku usaha yang dalam menjalankan bisnis nya hanya
mementingkan keuntungan diri sebanyak-banyak nya. Adapun bunyi pasal 4 itu
adalah, “ hak konsumen, adalah :
1. Hak atas kenyamanan, dan keselamatan, dalam mengomsumsi barang atau
jasa.
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang
digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
63
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensansi, ganti rugi atau penggantian, apabila
barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.1
Penjabaran dari pasal tersebut yang terkait dengan hak-hak konsumen
yang diklasifikasikan ke dalam kasus kartel ini, setidak nya sebelum ada
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini kedudukan antara pelaku usaha
dan konsumen tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah,
sehingga menjadi objek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pasal 4 poin g yang
bunyinya “hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif” maka oleh itu pelaku usaha operator seluler dalam
menjalankan perjanjian kartel dan penetapan harga tidak menjalani nya atau
melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam menjalankan
kegiatan usahanya. Sehingga dalam hubungan antara pelaku usaha dan
konsumen hak-hak konsumen tidak boleh dilanggar oleh para pelaku usaha,
termasuk hak untuk diperlakukan atau dilayani secara jelas dan benar dan tidak
ada diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan dan
lainnya. Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak
1 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004), h.
38.
64
konsumen yang disebutkan diatas harus dipenuhi baik oleh pemerintah maupun
oleh produsen, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi
kerugian konsumen dari berbagai aspek.2
Pasal selanjutnya yang dilanggar dalam kasus kartel ini adalah pasal 19,
yaitu mengenai perihal tanggung jawab pelaku usaha. Pasal 19 ayat 1 berbunyi
“pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Ganti rugi dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang atau jasa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan bunyi pasal 19 ayat 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Untuk pemberian ganti kerugian kepada konsumen
yang hak nya terlanggar bisa diberikan secara sekaligus pula pengembalian
uang nya ataupun barang nya. Dengan berlakunya pasal ini dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen maka keenam operator seluler yang
melakukan kegiatan usaha tidak sehat seperti kartel ini wajib memberikan ganti
kerugian kepada konsumen karena sudah terbukti merugikan konsumen sebesar
2 triliun rupiah. Walaupun KPPU dalam amar putusannya memberi sanksi
denda sebesar 52 milyar kepada negara karena telah melakukan tindak kartel
tetapi ganti kerugian kepada konsumen juga harus diberikan. Dalam kasus
kartel sms ini ada indikasi bahwa keenam operator seluler yang melakukan
2 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, RajaGrafindo Persada,2004), h.
47.
65
kegiatan kartel ini belum memberikan ganti kerugian kepada konsumen, sesuai
dengan bunyi pasa 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Secara umum,
tuntutan atas ganti kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat
penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa,
dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan yang secara
garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu ganti kerugian berdasarkan
wanprestasi dan tuntutan kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum.3
Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat
tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang
didasarkan atas wanprestasi dan akibat melawan hukum. Apabila tuntutan ganti
kerugian didasarkan wanprestasi maka terlebih dahulu tergugat dengan
penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan
demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan
tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi. Ganti kerugian
yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya
kewajiban utama atau kewajiban tambahan, yang berupa kewajiban atas prestasi
utama atau kewajiban jaminan atau garansi dalam perjanjian.4 Adapun tuntutan
ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu
didahului dengan perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga
3 Ibid, h. 126-12
4 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan,(Bandung, Mandar Maju, 1994), h. 11.
66
tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan
walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan
konsumen. Dengan demikian pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.5
B. Analisis Kasus Kartel SMS Terkait Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
Secara harfiah arti kata consumer adalah setiap orang yang menggunakan
barang. Tujuan dari penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan
termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus
bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau
konsumen.6 Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun
1999 hanya berjarak tiga puluh enam hari dengan lahirnya Undang-Undang No.
5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli, sekalipun demikian Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua
undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau yang telah diatur khusus dalam
undang-undang.7
5 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004),
h.129.
6 John. Echols, Kamus Inggris-Indonesia,(Jakarta, Gramedia Jakarta, 1986), h. 124.
7 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Diadit Media, 2002), h.29.
67
Setiap orang pada waktu tertentu dan dalam posisi tunggal atau sendiri
maupun berkelompok dengan orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi
konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang umum
seperti ini pada beberapa sisi menunjukan adanya berbagai kelemahan pada
konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang sama.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang terasa sangat penting, lebih-lebih
untuk menyongsong era perdagangan bebas. Konsumen yang keberadaannya
sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan
produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa
dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang
sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara diupayakan, sehingga mungkin
menimbulkan berbagai dampak yang salah satunya dampak dari kegiatan kartel
ini.8 Ke enam operator dalam kasus ini dalam menjalankan kegiatan kartel dan
juga dalam perjanjian penetapan harga mempunyai dampak yang merugikan
konsumen. Adapun dalam kegiatan kartel ini yang di langgar oleh para pelaku
usaha ataupun produsen adalah terlanggarnya hak dari konsumen yang
tercantum dalam pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan dalam
putusan KPPU disertakan wajib membayar ganti rugi kepada konsumen seperti
yang tertera dalam pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
8 Erman Rajaguguk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung, Mandar Maju, 2000), h. 33-
34
68
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus
pula membicarakan tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8
tahun 1999. Konsumen sebagai pengggerak dalam perekonomian kerap sekali
berada dalam posisi yang lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan
pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Berdasarkan penjelasan
umum atas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa faktor
utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat
kesadaran konsumen masih sangat rendah yang selanjutnya diketahui terutama
disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal ini,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen diharapkan menjadi landasan hukum
yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen masyarakat
untuk melakukan pemberdayaan konsumen, melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen. Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara
integrative dan komprehensif dapat dilindungi.
Asas yang terkandung dalam Perlindungan Konsumen terdapat 5 asas
utama yaitu :
1. Asas Manfaat, mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
69
2. Asas Keadilan, partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal
dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan, memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun
spriritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum, baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya
dalam kasus kartelisasi bisnis sms yang dilakukan oleh enam operator seluler
sekiranya belum berjalan sesuai harapan. Sejak tahun 2004-2008 kasus
kartelisasi ini bisa berjalan dengan lancar sebelum diketahui oleh KPPU dan
diputuskan bahwa keenam operator ini bersalah karena telah melakukan
kegiatan usaha tidak sehat yang mengakibatkan konsumen mengalami kerugian
mencapai 2 triliiun rupiah. Sehingga sampai saat ini diberitakan bahwa pelaku
usaha yang melakukan tindak kartel bisnis sms belum membayar ganti rugi
kepada konsumen yang dirugikan.
70
Dalam pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 dijelaskan
salah satu upaya untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen sebagaimana
yang dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen adalah melalui pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan perlindungan konsumen. Pembinaan perlindungan konsumen
diselenggarakan oleh Pemerintah dalam upaya untuk menjamin diperolehnya
hak konsumen dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing.
Sedangkan pengawasan perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh
pemerintah, masyarakat dan LPKSM (Lembaga Pengawas Konsumen dan
Swadaya Masyarakat), mengingat banyak ragam dan jenis barang dan jasa yang
beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia. Pembinaan terhadap pelaku
usaha dan pengawasan terhadap barang dan jasa yang beredar di pasar tidak
semata-mata ditunjuk untuk melindungi kepentingan konsumen tetapi sekaligus
bermanfaat bagi pelaku usaha dalam upaya meningkatkan daya saing barang
dan jasa di pasar global.9
Di samping itu, diharapkan pula tumbuhnya hubungan usaha yang sehat
antara pelaku usaha dengan konsumen, yang pada gilirannya dapat menciptakan
iklim usaha yang kondusif. Semoga dengan bersinerginya peran lembaga KPPU
dan BPSK yang masing-masing telah mempunyai pengaturannya dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Anti Monopoli
9 www.hukumonline.com diunduh pada 14 Maret 2015
71
saat ini, para pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan bisa
menaati peraturan-peraturan yang ada dalam sistem hukum di Indonesia agar
tidak ada lagi pihak-pihak yang dirugikan terutama konsumen dalam kegiatan
perdagangan.
72
C. Analisis Pasal Dalam Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999
Terkait Masalah Kartel SMS
Mengenai pasal-pasal yang telah dilanggar oleh keenam operator dalam
kasus kartel sms, KPPU sebagai lembaga yang berwenang untuk mengawasi
dan menentukan kegiatan persaingan usaha di Indonesia dalam putusannya No.
26/KPPU-L/2007 telah memutuskan dugaan pelanggaran pasal 5 dan pasal 11
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilanggar dalam kasus
kartel sms ini merupakan pasal yang membahas mengenai penetapan harga,
yaitu berbunyi :
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
2. Ketentuan sebagaimana dalam ayat 1 tidak berlaku bagi suatu perjanjian
yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau suatu perjanjian yang
didasarkan undang-undang yang berlaku.
Pada pasal 5 ayat 1 menentukan larangan menyeluruh perjanjian harga,
melarang kartel harga yang telah lama dikenal. Termasuk dalam pasal ini
perjanjian penetapan harga (price fixing) atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayar konsumen atau pelanggan, yang dilakukan sesama pelaku usaha
untuk menghasilkan produk barang dan jasa yang sama dengan menetapkan
harga yang harus dibayar oleh konsumen.10
Paradigma yang digunakan dalam
10
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), h. 27.
73
pasal ini adalah perjanjian antar produsen atau antar para pelaku usaha,
produsen menetapkan harga yang harus dibayar oleh pembeli untuk barang dan
jasa yang diperdagangkan di pasar bersangkutan yang sama dari segi factual dan
geografis. Dilihat secara historis, perjanjian harga sebagai hambatan persaingan
telah dikenal sejak jaman dahulu di bumi Eropa, termasuk pemahamannya
mengenai pengaruh buruk perjanjian harga yang menimbulkan harga
melambung tinggi dan harga tersebut bukan harga pasar. Larangan yang termuat
dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 hanya berlaku untuk
pelaku usaha. Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya. Tentu saja pesaingnya tersebut harus merupakan pelaku usaha juga.
Secara eksplisit pesaing hanya pihak yang melakukan kegiatan ekonomi, jadi
bukan pihak pembeli atau konsumen karena pembeli hanya memenuhi
kepentingannya sendiri. 11
Perjanjian penetapan harga (price fixing) merupakan salah satu strategi
yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertujuan untuk menghasilkan laba
yang setinggi-tingginya. Dengan adanya penetapan harga yang dilakukan
diantara para pelaku usaha, maka akan meniadakan persaingan dari segi harga
bagi produk yang mereka jual atau pasarkan, yang kemudian dapat
mengakibatkan surplus konsumen, sesuatu yang seharusnya dinikmati oleh
11
Knud Hensen, et.al, Undang-Undang No. 5Tahun 1999 : Undang-Undang Antimonopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Law Concenring Probhition of monopolistic practices and unfair
business competition), (Jakarta:Katalis dan GTZ), h. 206.
74
pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual. Kekuatan
untuk mengatur harga, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kekuatan
menguasai pasar dan menentukan harga yang boleh jadi tidak masuk akal. 12
Adapun pasal 11 sebagai pasal yang dilanggar dalam kasus kartel sms ini
merupakan pasal mengenai kartel yang berbunyi : “pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Semua perjanjian seperti ini meniadakan kesempatan pihak lawan dalam
pasar untuk memilih secara bebas diantara penawaran para anggota kartel.
Memang dalam kegiatan kordinasi produksi serta pemasaran sering mempunyai
manfaat pro persaingan, sehingga pada konteks kebijakan persaingan usaha
sering terjadi ambivalen dan kegiatan koordinasi pemasaran yang murni selalu
merupakan hambatan persaingan usaha yang serius. Pasal 11 mensyaratkan
terdapatnya perjanjian antara para pelaku usaha yang saling bersaing. Dengan
demikian penerapan ketentuan tergantung pada tiga kriteria, yaitu para pihak
harus pelaku usaha, saling bersaing, dan membuat perjanjian.13
Kartel biasanya terjadi dikarenakan persaingan yang cukup sengit di pasar.
Untuk menghindari persaingan ini anggota kartel setuju menentukan harga
dengan membuat perjanjian penetapan harga (price fixing) secara bersama,
12
Philip Arseda, Anti Trust Analysis Problems Text Cases, (Litile Brown and Company,
1981), h. 315
13
Ibid, h. 206
75
mengatur produksi bahkan menentukan secara bersama-sama potongan harga,
promosi dan syarat-syarat perjanjian lain.14
D. Analisis Kasus Kartel SMS Terkait Undang-Undang Anti Monopoli
Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi
perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan
ketika berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi. Oleh karena itu, untuk
memahami apa dan bagaimana hukum persaingan usaha berjalan dan dapat
mencapai tujuan utamanya, maka diperlukan pemahaman mengenai konsep
dasar ekonomi yang dapat menjelaskan rasionalitas munculnya perilaku-
perilaku perusahaan di pasar. Persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan
yang dimiliki setiap individu dalam rangka bertindak untuk melakukan transaksi
perdagangan di pasar. Persaingan usaha diyakini sebagai mekanisme untuk
dapat mewujudkan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Bila persaingan
dipelihara secara konsisten, akan tercipta kemanfaatan bagi masyarakat
konsumen, yaitu berupa pilihan produk yang bervariatif dengan harga pasar
serta dengan kualitas tinggi.15
Sebaliknya, bila persaingan dibelenggu oleh
peraturan-peraturan atau dihambat oleh perilaku-perilaku usaha tidak sehat dari
perilaku pasar yang hanya memikirkan keuntungan diri semata, maka akan
14
Ahmad Kaylani, Ada Kartel di Tanjung Priok, (Kompetisi Media berkala KPPU, 2008), h.
11.
15 Irna Nurhayati, Kajian Hukum Persaingan Usaha : Kartel Antara Teori dan Praktik,(Jurnal
Hukum Bisnis, Vol. 30-No2, 2011), h. 6.
76
muncul dampak kerugian pada konsumen sebagai imbas dari kegiatan usaha
tidak sehat. Hukum persaingan usaha atau hukum anti monopoli diperlukan
tidak hanya dalam rangka menjamin kebebasan untuk bertindak seluas mungkin
bagi pelaku usaha, tetapi juga menentukan garis pembatas antara pelaksanaan
kebebasan pelaku usaha tersebut dengan penyalahgunaan kebebasaannya itu
(freedom paradox). Maka dari itu hukum anti monopoli membangun kerangka
kerja dalam upaya mengatur keseimbangan kepentingan diantara para pelaku
usaha, juga keseimbangan kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan
masyarakat atau konsumen. Agar hukum anti monopoli dapat terjaga
keharmonisan kepentingan diantara pelaku usaha dengan masyarakat, maka
hukum anti monopoli harus dapat menjaga efektivitas dari persaingan usaha.
Hal ini patut diperhatikan karena seringkali kebijakan persaingan usaha justru
mengancam persaingan dengan aturan-aturan yang membelenggu dan
menghambat persaingan. Ancaman persaingan usaha lainnya selain kebijakan,
juga datang dari para pelaku usaha sendiri yang secara sengaja melakukan
berbagai strategi bisnis yang menghambat persaingan.16
Tidak dapat disangkal bahwa cara yang ampuh untuk mengendalikan
persaingan bisnis adalah dengan cara mengaturnya dalam suatu Undang-
Undang Anti Monopoli yang sudah ada di Indonesia yaitu Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999. Pelaksanaan hukum antimonopoli ini bertujuan untuk
mencegah adannya pemborosan yang menyebabkan pasar tidak menjadi
16
Ibid, h. 8
77
efisien.17
Ketidakefisienan ini dibidang ekonomi khususnya disebabkan karena
terjadi persaingan usaha yang tidak sehat, sehingga dapat menyebabkan dampak
yang buruk bagi konsumen sebagai pihak yang paling dirugikan.
Untuk mencegah terjadinya monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 mencegah para pelaku usaha untuk
membuat perjanjian tertentu dengan pelaku usaha lainnya. Larangan tersebut
merupakan larangan terhadap keabsahan obyek perjanjian. Dengan demikian
berarti setiap perjanjian yang dibuat dengan obyek perjanjian berupa hal-hal
yang dilarang oleh Undang-Undang adalah batal demi hukum, dan karenanya
tidak dapat dilaksanakan oleh para pelaku usaha yang menjadi subyek
perjanjian tersebut.18
Terkait dengan hal ini, perjanjian kartel sms yang
dilakukan oleh enam operator pada periode 2004 sampai 2008 melanggar pasal
5 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan tentunya melanggar
pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 mengenai kartel. Dengan adanya
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Anti Monopoli bukanlah
semata-mata memenuhi tuntutan dari berbagai pihak seperti dikemukakan
terdahulu, tetapi juga yang lebih utama adalah sebagai landasan hukum dalam
upaya menciptakan iklim berusaha yang sehat dan kompetitif, sehingga perilaku
17
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti, 1999), h.30.
18
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, (Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2002), h. 23-24
78
pelaku usaha yang anti persaingan dapat dicegah bahkan dikenakan sanksi
secara jelas dan tegas. Tujuan dari undang-undang ini pun agar terciptanya
iklim usaha yang sehat, kondusif, dan kompetitif sehingga tidak akan terjadi
kegiatan usaha tidak sehat.19
Berkaitan dengan ini dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010
dijelaskan bahwa praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh
satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi atau
pemasaran atas barang atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Maka hal ini
kaitannya dengan kasus kartelisasi bisnis sms yang dilakukan oleh keenam
operator seluler juga telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2010.
Dijelaskan pula bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan
antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi atas barang atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha. Dalam kasus kartelisasi bisnis sms keenam operator ini
melakukan kegiatan usaha tidak sehat dengan cara membuat perjanjian
penetapan harga dan membuat kegiatan kartel agar dapat mempengaruhi harga
atas barang atau jasa di pasar yang dikuasai oleh mereka. Peran KPPU dalam
19
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), h. 56.
79
kasus ini sangat penting, karena lembaga ini yang bisa mengawasi transaksi
para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha nya dan dapat
memutuskan apabila ditemukan pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha
tidak sehat atau terlarang. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010
juga sudah dijelaskan yakni mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
terhadap kasus kartelisasi bisnis sms yang dilakukan oleh sejumlah operator
belum berjalan sesuai harapan, disebabkan bahwa pelaku usaha yang
melakukan tindakan kartelisasi bisnis sms belum membayar ganti kerugian
kepada konsumen yang dirugikan. Meskipun konsumen menjadi pihak yang
lemah dalam kegiatan usaha, tetapi keberadaan konsumen dinilai tetap
penting untuk menggerakan roda perekonomian. Diharapkan pula agar
pelaku usaha dan konsumen mempunyai hubungan yang sehat, sehingga
dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif.
2. Penerapan Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999 terhadap
kasus kartelisasi bisnis sms yang dilakukan oleh sejumlah operator
melanggar pasal 5 yakni terkait perjanjian penetapan harga dan pasal 11
yakni terkait kegiatan kartelisasi. Ke enam operator seluler yang melakukan
tindak kartelisasi bisnis sms telah diputuskan bersalah dan dikenakan sanksi
berupa denda kepada Negara sebesar lima puluh dua milyar rupiah oleh
KPPU dalam putusannya No. 26/KPPU-L/2007. Dalam kegiatan usaha yang
81
dilakukan oleh para pelaku usaha untuk mencegah hal-hal yang dapat
merugikan orang lain peran dan wewenang KPPU diharapkan sebagai alat
pengontrol agar para pelaku usaha tidak melakukan kegiatan usaha yang
dilarang sesuai dengan Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun
1999.
3. Hukum perlindungan konsumen dan hukum persaingan usaha anti monopoli
merupakan dua hal yang saling berhubungan dan saling mendukung. Harga
murah, kualitas tinggi dan pelayanan yang baik merupakan tiga hal yang
fundamental bagi konsumen dan persaingan merupakan cara yang terbaik
untuk menjaminnya. Peran lembaga BPSK dan KPPU juga harus bisa
bersinergi dalam menangani masalah-masalah yang melibatkan antara
konsumen dan pelaku usaha. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen harus sejalan atau saling mendukung dengan Undang-Undang
Anti Monopoli agar tercipta keharmonisan system dalam bidang ekonomi
nasional.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini ada beberapa hal yang ingin disarankan
penulis, diantaranya adalah :
1. Pemberlakuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun
1999 ditujukan untuk melindungi konsumen terhadap produsen. Sebelum
lahirnya undang-undang ini dalam kegiatan usaha pihak konsumen merupakan
pihak yang lemah. Dalam kegiatan usaha saat ini pihak konsumen harus lah
82
menjadi konsumen yang cerdas karena saat ini pihak konsumen telah
dilindungi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan dibawah undang-
undang perlindungan konsumen pula dibentuk instansi Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen. Jika konsumen dirugikan oleh para pelaku usaha atau
produsen bisa langsung melapor ke instansi tersebut untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada terutama untuk melindungi para konsumen.
2. Disamping itu pelaku usaha atau produsen dalam menjalankan kegiatan usaha
nya juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Anti Monopoli. Agar para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
usahanya bisa dibatasi dan tidak berbuat sewenang-wenangnya hanya demi
mementingkan keuntungan semata. Diharapkan agar para pelaku usaha juga
memperhatikan hak-hak para konsumen dalam kegiatan usaha agar tercipta
keseimbangan dan kenyamanan dalam ekonomi nasional. Untuk mengawasi
dan memutuskan para pelaku usaha dalam berkegiatan usaha telah dibentuk
KPPU agar para pelaku usaha tidak melanggar undang-undang dalam
berkegiatan usaha.
3. Peran BPSK dan KPPU perlu bersinergi dalam memberantas kegiatan usaha
tidak sehat atau yang dilarang dan juga agar konsumen tidak mengambil
kesempatan atau berbuat curang dalam hal ini yang dikarenakan telah
dilindungi dalam UUPK, karena perlindungan konsumen dan juga persaingan
usaha anti monopoli merupakan dua hal yang saling berhubungan dan
berkaitan.
83
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2001.
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2009.
Arsedo, Philip, Anti Trust Analysis Problems Text Cases, Litile Brown and Company,
1981.
Asshidiqie, Jimly, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press.
Echols, John, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta, Gramedia Jakarta, 1986.
Fahmi, Andi., Lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,Jakarta,
RDV Creative Media, 2009.
Fuady, Munir, Hukum Anti Monopoli (Menyongsong Era Persaingan
Sehat),Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
Head, W., John, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta, Elips II, 2002.
Henry, Black., Campbell, Black LawDictionary, USA, 6 thn Ed West Publishing Co.
St Paul-Minn, 1990.
Hensen, Knud, Undang-Undang No. 5Tahun 1999 : Undang-Undang Antimonopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Law Concering Probhition of
monopolistic practices and unfair business competition), Jakarta:Katalis dan
GTZ.
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta,
Kencana Pernada Media Group, 2008.
Homby, A., S, Oxford Learner’s Dictionary of Current English, Oxford, Oxford
University Press, 1987.
Ibrahim, Johny, Hukum Persaingan Usaha, Malang, Bayumedia Publishing, 2007.
Kartika, Elsi, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
2005.
84
Kartte, Wolfgang, Law Concerning Prohibition Of Monopolistic Practices And
Unfair Business Competition, Federal Republic of Germany, Deutche
Geselleschaft fur Techische, 2001.
Lathif, Azharudin, Fiqh Muamalat, Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005.
Miru, Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, RajaGrafindoPersada,
2004.
Miru, Ahmadi, Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 2011.
Muhammad, Teuku., Radhie, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif
Kebijakan, Yogyakarta, Fakultas Hukum UII, 1997.
Nasution, AZ, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media, 2000.
Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan tentang
Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 2000.
Patrik, Purwahid, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Bandung, Mandar Maju, 1994.
Rajaguguk, Erman, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000.
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2014.
Sardjono, Agus, Pentingnya Sistem Persaingan Usaha Yang Sehat dalam Upaya
Memperbaiki Sistem Perekonomian, Jakarta,Newsletter No 34 Tahun IX,
Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 1998.
Shofie, Yusuf, PelakuUsaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 2002.
Sofie, Yusuf, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK: Teori dan
Pencegahan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo, 2000.
Sinamo, Nomensen, Penelitian Hukum, Jakarta, Bumi Intitama Sejahtera, 2009.
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2003.
85
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002
Syawali, Husni, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000.
Tantri, C, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, Jakarta, yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation.
Taufik, Muhammad, Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat Di Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010.
Theodore, P., Kovaleff, The Anti Trust Impulse, vol. 1, 1994.
Usman, Rachmadi, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2004.
Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2002.
Wojowasito, KamusBahasa Indonesia (dengan ejaan yang disempurnakan menurut
pedoman Lembaga Bahasa Nasional), Bandung, Shinta Dharma, 1972.
Zuhaili, Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Depok, Gema Insani, 2011.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen pasal 1 butir 2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 TentangAnti Monopoli
Pasal 11
Peraturan Pemerintah :
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 Tentang Penggabungan Atau Peleburan
Badan Usaha Dan Pengambilan Saham Perusahaan Yang Dapat
Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
Jurnal Ilmiah :
86
Agus Sardjono, Pentingnya Sistem Persaingan Usaha Yang Sehat dalam
UpayaMemperbaiki Sistem Perekonomian: Jakarta,Newsletter No 34 Tahun
IX, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 1998
Az. Nasution ,“Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum dan
Pembangunan, Fakultas Hukum UI, No. 6 tahun ke XVI, Desember 1986.
Deswin Nur & Tim Direktorat Kebijakan Persaingan, KPPU dan Pengembangan
Kebijakan Persaingan di Asia, KOMPETISI, Media Berkala Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, 2008.
Internet :
www.yudicare.wordpress.com diunduh pada 9 Oktober 2014
www.hukumonline.com diunduh pada 9 Oktober 2014
Kompasiana, Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Adalah Budaya (online),
http://politik.kompasiana.com diunduh pada 15 April 2014