32
PERSEPSI PADA STRUKTUR ORGANISASI, KEPUASAN KERJA, DAN KOMITMEN PERAWAT PADA RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA NAOMI VEMBRIATI

PERSEPSI PADA STRUKTUR ORGANISASI, KEPUASAN … · terkait dengan penerapan struktur organisasi, yaitu kurangnya otoritas yang dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai bagian dari bentuk

  • Upload
    donhu

  • View
    227

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

PERSEPSI PADA STRUKTUR ORGANISASI,

KEPUASAN KERJA, DAN KOMITMEN PERAWAT

PADA RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA

NAOMI VEMBRIATI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Globalisasi yang terjadi dalam satu dekade terakhir ini memiliki dampak yang begitu

luas dalam kehidupan umat manusia. Shiraev dan Levy (2004) mengungkapkan bahwa

globalisasi yang terjadi pada abad ke-21 membawa pengaruh dalam bidang politik-ekonomi,

seperti berkembangnya paham demokrasi dan terciptanya sistem pasar bebas. Bidang

budaya-psikologis pun tak luput dari pengaruh globalisasi, yaitu diakuinya kebebasan dalam

menentukan pilihan, adanya sikap toleransi, dan keterbukaan akan pengalaman-pengalaman

baru. Selain itu, globalisasi juga membawa dampak dalam kehidupan sosial manusia,

termasuk dalam kehidupan berorganisasi.

Globalisasi oleh Cummings dan Worley (1997) dipandang sebagai salah satu

penyebab adanya perubahan dalam organisasi. Globalisasi mengubah pasar dan lingkungan

tempat organisasi beraktivitas serta cara organisasi menjalankan aktivitasnya tersebut.

Cummings dan Worley juga menyatakan bahwa bersamaan dengan adanya perkembangan

teknologi informasi, globalisasi akan mendorong munculnya inovasi dalam sistem manajerial

organisasi, yaitu terciptanya tren dalam bentuk organisasi yang akan banyak digunakan pada

abad 21 dan dipandang lebih efektif dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat.

Bentuk organisasi yang mendominasi pada abad 19 dan 20, yang mengutamakan

produksi massal dan bentuk organisasi yang besar, akan segera menghilang. Kiechel

(Cascio, 1998) menyebutkan beberapa perubahan yang akan terjadi pada organisasi di abad

21, yaitu: (a) perusahaan menjadi lebih kecil dan mempekerjakan lebih sedikit orang, (b)

perubahan pada hirarki, dari bentuk vertikal menjadi bentuk jaringan atau terdiri atas spesialis,

(c) teknisi, mulai dari tenaga perbaikan komputer sampai dengan terapis radiasi, akan

berubah dari posisi sebagai operator manufaktur menjadi karyawan yang elit, (d) kompensasi

2

diberikan bukan lagi berdasar pada posisi yang dijabat atau lamanya masa kerja, namun

lebih diserahkan pada mekanisme pasar untuk menilai kemampuannya, (e) perubahan

paradigma dalam menjalankan bisnis, dari sekedar menghasilkan suatu produk menjadi

penyediaan jasa atau pelayanan, dan (f) adanya redefinisi kata “bekerja”, yaitu memudarnya

pengertian “pekerjaan” sebagai setumpuk tugas-tugas yang pasti, mengarah pada definisi

pekerjaan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas yang kontinyu demi memenuhi tuntutan

konsumen yang terus berkembang.

Sebagaimana perang mendominasi kancah geopolitik dunia pada abad 20, maka

ekonomi akan memegang kontrol kehidupan manusia pada abad 21 (Cascio, 1998).

Kompetisi antarnegara menjadi suatu hal yang normal dan tak terelakkan seiring

memudarnya batas-batas kenegaraan dalam era global. Nelan (Cascio, 1998) menyatakan

bahwa kompetisi ini akan ditunjukkan dengan adanya usaha meraih dominasi di bidang

ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan yang tinggi, investasi, embargo perdagangan, serta

import dan eksport.

Seiring meluasnya dampak globalisasi dalam kehidupan kita dewasa ini, kompetisi

datang tak hanya dari organisasi lain yang bertaraf nasional, namun juga organisasi bertaraf

internasional. Untuk itu, organisasi dituntut untuk mampu menunjukkan kinerja yang tinggi

baik dalam hal proses kerja, produk yang dihasilkan, maupun layanan yang diberikan.

Peningkatan kinerja dalam suatu organisasi bukanlah satu hal yang mudah untuk dilakukan.

Wood, dkk (1994) menyatakan ada tiga hal yang dapat digunakan organisasi dalam

meningkatkan kinerja organisasinya, yaitu atribut individu (individual attributes), dukungan

organisasi (organisational support), dan motivasi kerja (work effort).

Atribut individu dalam hal ini adalah berbagai karakteristik individu, seperti

karakteristik demografis atau biografis (jenis kelamin, usia, etnis), karakteristik kompetensi

(bakat dan kemampuan), karakteristik kepribadian, nilai-nilai yang dianutnya, serta sikap dan

persepsi dari individu. Sedangkan yang disebut sebagai dukungan organisasi adalah

3

berbagai usaha untuk meminimalkan adanya hambatan-hambatan situasional dalam

mewujudkan kinerja organisasi yang tinggi. Beberapa hambatan yang disebutkan Wood, dkk.

terkait dengan penerapan struktur organisasi, yaitu kurangnya otoritas yang dalam

pelaksanaan pekerjaan sebagai bagian dari bentuk sentralisasi dimana terdapat hirarki

otoritas dalam organisasi. Selain itu, disebutkan pula bahwa prosedur yang tidak fleksibel

akan menjadi hambatan bagi organisasi. Hal ini menunjukkan pengaruh tingkat formalisasi

dalam organisasi terhadap kinerjanya.

Motivasi kerja menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dalam komitmen organisasi,

dimana terdapat identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, kemauan untuk bekerja

keras demi organisasi yang disebut juga sebagai motivasi kerja, dan yang terakhir adalah

kemauan untuk mempertahankan keanggotannya dalam organisasi tersebut (loyalitas).

Komitmen menjadi kunci penting dalam mewujudkan kinerja organisasi yang tinggi.

Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi pada organisasinya akan memberikan usaha

yang maksimal demi mencapai tujuan organisasi dimana ia tergabung. Dengan kata lain,

karyawan dengan komitmen yang tinggi akan menunjukkan kinerja individu yang maksimal.

Pada gilirannya, bila semua karyawan memiliki komitmen yang tinggi, akan terwujud kinerja

organisasi yang membuat organisasi tersebut dapat bertahan di tengah iklim kompetisi

dewasa ini.

Arti penting komitmen karyawan ini juga diungkapkan oleh Mowday, dkk. (Meyer,

2004) yang menyebutkan bahwa komitmen dapat digunakan sebagai prediktor yang baik bagi

turnover pada karyawan, yaitu keputusan untuk berhenti atau keluar dari organisasi secara

sukarela. Keluarnya karyawan ini menjadi hal yang patut untuk mendapatkan perhatian

khusus dari pihak manajer organisasi karena besarnya kerugian yang diakibatkannya.

Pinkovitz, dkk. (www.uwex.edu) menyatakan terdapat 5 biaya utama yang harus dikeluarkan

organisasi bagi tiap karyawannya yang memutuskan untuk berhenti atau keluar. Biaya

perpisahan adalah biaya yang pertama harus ditanggung organisasi, yaitu segala biaya yang

4

harus ditanggung organisasi selama proses pemutusan hubungan kerja, seperti biaya

administrasi dan pesangon. Kedua, biaya lowongan, yaitu biaya yang harus diberikan pada

pekerja yang bekerja lembur untuk menggantikan tenaga karyawan yang berhenti demi

memenuhi target yang telah ditetapkan. Biaya yang ketiga, biaya penggantian, meliputi biaya

iklan untuk menarik perhatian pelamar, biaya wawancara dan tes, biaya transportasi, biaya

administrasi, biaya pemeriksaan kesehatan, serta biaya pengumpulan dan penyebaran

informasi. Keempat, biaya pelatihan yang harus dikeluarkan organisasi, baik dalam pelatihan

formal maupun pelatihan non-formal. Terakhir adalah biaya yang disebut sebagai biaya

perbedaan kinerja, yaitu biaya yang muncul akibat adanya perbedaan tingkat produktivitas

antara karyawan yang berhenti dengan karyawan penggantinya.

Biaya-biaya yang disebutkan di atas adalah biaya nyata yang harus dikeluarkan oleh

organisasi jika ada karyawannya yang memutuskan untuk berhenti secara sukarela. Di luar

biaya-biaya tersebut, masih terdapat biaya yang menjadi tanggungan organisasi yang

sifatnya tidak dapat dilihat secara langsung, seperti timbulnya stres dan ketegangan yang

diakibatkan adanya karyawan yang memutuskan untuk berhenti, menurunnya semangat

juang karyawan yang masih tinggal, menurunnya produktivitas yang diakibatkan hilangnya

sinergi kerja kelompok pekerja, serta peningkatan beban kerja yang tak tergantikan oleh

karyawan lain yang timbul sealama lowongan dibuka. Tingginya tingkat kerugian yang harus

ditanggung dari adanya turnover ini mendorong organisasi untuk terus berusaha

meminimalkan kemungkinan munculnya keinginan karyawan untuk berhenti atau keluar dari

organisasi tersebut.

Komitmen organisasi ini terutama dipengaruhi oleh 4 faktor. Pertama, adalah

karakteristik individu, seperti usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, dan

kebutuhan akan prestasi,atau yang dikenal sebagai need of achievement (N-ach). Kedua,

karakteristik pekerjaan, seperti stres kerja, tantangan dalam pekerjaan, umpan balik,

identifikasi tugas, kejelasan peran, serta perkembangan diri, karir, dan tanggung jawab.

5

Ketiga, karakteristik organisasi, yaitu struktur organisasi (sentralisasi, formalitas, dan

kompleksitas), gaya kepemimpinan dalam organisasi, dan dukungan sosial yang diciptakan

dalam organisasi. Terakhir, sifat dan kualitas pengalaman kerja.

Penjelasan atas hubungan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi

memunculkan perdebatan dalam menentukan manakah diantara keduanya yang muncul

terlebih dahulu dan kemudian memicu munculnya variabel yang lain. Beberapa penelitian

seperti Price dan Mueler; Bateman dan Strasser; serta Vandenburg dan Lance (Chen, 2004)

menemukan bahwa kepuasan secara umum terhadap pekerjaan muncul dengan didahului

oleh adanya komitmen dalam diri karyawan pada organisasinya. Sedangkan komitmen

tersebut muncul dari adanya kepuasan pada aspek-aspek dalam pekerjaan, seperti sifat-sifat

pekerjaannya, atasan, teman kerja, kebijakan atas kompensasi serta kesempatan promosi

yang ada.

Sebaliknya, penelitian lain menemukan bukti bahwa kepuasan atas kebijakan

organisasi, kompensasi, kondisi kerja, dan promosi berkorelasi positif secara signifikan

dengan komitmen terhadap organisasi (Feinstein dan Vondrassek, 2000). Mereka juga

menyebutkan penelitian yang dilakukan oleh Yousef pada tahun 2000 yang menemukan

bahwa perilaku pemimpin dipengaruhi oleh komitmen, dimana komitmen organisasi

dipengaruhi oleh kepuasan kerja dan kinerja.

Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa kepuasan kerja akan memicu

munculnya komitmen pada diri karyawan terhadap organisasi. Pemikiran ini didasarkan pada

pendapat Mowday, dkk. (Miner, 1992) bahwa komitmen organisasi merupakan suatu konsep

yang lebih luas daripada kepuasan kerja. Komitmen organisasi adalah suatu bentuk respon

umum yang berupa kecintaan terhadap organisasi secara keseluruhan, sedangkan kepuasan

kerja merupakan respon yang lebih khusus terhadap suatu pekerjaan atau jabatan tertentu

dan aspek-aspek yang terkait dengannya. Selain itu, komitmen organisasi sifatnya lebih

konsisten dan permanen dalam diri seseorang karena kejadian-kejadian sehari-hari dalam

6

organisasi tidak akan membawa dampak serius terhadap tingkat komitmen karyawan

terhadap organisasi yang diikutinya. Berbeda dengan kepuasan kerja yang dapat berubah

sesuai pengalaman sehari-hari yang dihadapi karyawan dalam organisasi.

Kepuasan kerja ini sendiri menurut Okpara (2004) dipengaruhi oleh karakteristik

pekerjaan yang ada dan juga tingkat keterlibatan karyawan terhadap proses pengambilan

keputusan dalam organisasi. Goh (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa atribut

yang menempel pada suatu organisasi pembelajaran (learning organization), yaitu rendahnya

tingkat formalisasi, akan meningkatkan kepuasan kerja.

Dari berbagai macam organisasi yang ada, peneliti memilih rumah sakit sebagai suatu

organisasi atau lembaga usaha tempat penelitian diadakan. Bila dibandingkan dengan

lembaga usaha yang lain, rumah sakit memiliki beberapa sifat khusus, antara lain jenis jasa

yang diberikan merupakan jasa di bidang kesehatan; keluhuran profesi pemberi jasa yang

bekerja di dalamnya, dimana segenap jajaran rumah sakit pada prinsipnya merupakan

pelayan bagi para konsumennya; sifat konsumen yang dilayani, yang membutuhkan

penanganan yang bukan hanya cepat namun terutama pula tepat; serta muatan tanggung

jawab moral, kemanusiaan, dan sosial yang diembannya. Rumah sakit memiliki tugas

membantu masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat,

menyelamatkan nyawa seseorang melalui tindakan medis, dan juga tak jarang dituntut

memberikan pelayanan tanpa memungut biaya dari pasien sebagai konsumennya. Dalam era

globalisasi yang kompetitif ini, rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan

secara profesional dengan harga yang terjangkau. Hal ini pula yang mendasari adanya

pergeseran orientasi pengembangan rumah sakit, dari suatu lembaga sosial dengan sifat

kemanusiaan yang menonjol menuju lembaga usaha yang berorientasi bisnis dan mencari

keuntungan.

Dalam memberikan pelayanan kepada pasien sebagai konsumen utama, rumah sakit

mengandalkan tenaga perawat, baik dalam memberikan pelayanan medis yang sifatnya

7

ringan dan darurat maupun pelayanan non-medis, seperti memandikan da menyuapi pasien

selama ia dirawat di rumah sakit. Pelayanan yang diberikan perawat juga tidak mengenal

waktu. Mereka dituntut untuk siaga 24 jam dalam memberikan pelayanan bagi pasien. Tak

jarang perawat dihadapkan pada situasi dimana ia harus melayani pasien, atau keluarga

pasien, yang memiliki banyak permintaan dan tuntutan, adanya gangguan/ interupsi terus-

menerus dalam bekerja, keterbatasan waktu yang dimiliki untuk mempersiapkan pekerjaan,

serta adanya tanggung jawab dalam pekerjaan tanpa disertai kekuasaan dalam mengambil

keputusan (Demerouti, dkk. , 2000).

Selain menghadapi situasi yang memicu stres tersebut, perawat juga dituntut untuk

memiliki kemampuan berhubungan dan berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya

maupun dengan tim kesehatan lainnya, mapu mengkaji kondisi kesehatan pasien – melalui

wawancara, pemeriksaan fisik, maupun interpretasi hasil pemeriksaan penunjang, mampu

menetapkan diagnosis keperawatan dan memberikan tindakan yang dibutuhkan pasien, serta

mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan dan menyesuaikan kembali

perencanaan yang telah dibuat (Nurachmach dalam Fatdina, 2005).

Berdasar uraian di atas, muncul beberapa pertanyaan yang akan berusaha dijawab

oleh penelitian ini, yaitu:

1. Apakah persepsi perawat pada struktur organisasi yang meliputi tingkat formalisasi,

sentralisasi, dan kompleksitas akan mempengaruhi tingkat kepuasan kerja dan komitmen

perawat terhadap rumah sakit tempat ia bekerja?

2. Apakah tingkat kepuasan kerja akan dapat mempengaruhi tingkat komitmen perawat

terhadap rumah sakit tempat ia bekerja?

3. Apakah persepsi perawar pada struktur organisasi akan dapat mempengaruhi komitmen

pada rumah sakit secara langsung tanpa mediasi kepuasan kerja?

Maka penelitian ini diberi judul “Persepsi pada struktur organisasi, kepuasan kerja,

dan komitmen perawat pada Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.”

8

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) meneliti hubungan antara persepsi perawat pada

struktur organisasi dengan kepuasan kerja, (2) meneliti hubungan antara kepuasan kerja

dengan komitmen pada organisasi, dan (3) meneliti hubungan antara persepsi perawat pada

sruktur organisasi dengan komitmen pada organisasi.

C. Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu menambah khasanah dan

wacana dalam dinamika munculnya kemoitmen karyawan terhadap organisasi, terutama

terkait dengan persepsi yang mereka miliki atas struktur organisasi serta kepuasan kerja

yang mereka rasakan selama bergabung dalam organisasi tersebut.

Sedangkan manfaat secara praktis dari temuan penelitian ini adalah mampu

memberikan alternatif dalam melakukan pertimbangan bagi organisasi yang memberikan

pelayanan bagi masyarakat, khususnya rumah sakit dalam usahanya untuk meningkatkan

komitmen karyawan dengan menitikberatkan pada perubahan struktur organisasi serta

intervensi pada kepuasan kerja sehingga diharapkan dapat meningkatkan performansi kerja

organisasinya serta dapat bertahan dalam iklim persaingan yang ketat sekarang ini. Hal ini

terkait pula dengan pendapat Dr. Sjahrir, seorang pengamat ekonomi dalam situs

www.kompas.com pada tahun 2002 bahwa kebanyakan rumah sakit di Indonesia belum siap

menghadapi persaingan di era globalisasi.

D. Keaslian Penelitian

Berbagai penelitian yang telah dilakukan meliputi berbagai faktor yang diprediksi

mempengaruhi tingkat komitmen anggota terhadap organisasinya, seperti gaya

kepemimpinan (Purwanto, 2000; Chen, 2004), efikasi-diri, masa kerja, dan hirarki status upah

9

(Kharis, 2001), persepsi terhadap dukungan organisasi (Eisenberger, dkk., 1990), dan

kepuasan kerja (Feinstein & Vondrasek, 2000; Okpara, 2004).

Sedangkan dari sudut pandang struktur organisasi, penelitian yang dilakukan terkait

dengan pengaruhnya terhadap kepuasan kerja (Goh, 2001) dan persepsi terhadap keadilan

prosedural dalam organisasi (Schminke, dkk., 2000).

Peneliti belum menemukan adanya penelitian yang mengungkap hubungan persepsi

karyawan terhadap struktur organisasi dengan komitmen karyawan kepada organisasi,

dengan memperhitungkan aspek kepuasan kerja sebagai mediasi dari hubungan tersebut.

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Komitmen Organisasi

1. Pengertian Komitmen Organisasi

Meyer dan Allen (Kharis, 2001) menyebutkan bahwa secara umum, komitmen

organisasi adalah suatu kondisi psikologis yang ditandai dengan adanya hubungan antara

karyawan dengan organisasinya dan adanya implikasi untuk memutuskan apakah ia akan

terus menjadi anggota organisasi tersebut ataukah akan berhenti.

Miner dalam bukunya (1992) menggunakan definisi yang dikemukakan oleh

Mowday, dkk bahwa komitmen organisasi adalah suatu kekuatan relatif dari indentifikasi

terhadap dan keterlibatan dalam organisasi tertentu.

Irving, dkk. (1997) mengungkapkan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu

wujud kebutuhan bawahan untuk tetap bergabung dengan organisasi kerja karena

didasarkan pada keinginan.

Mustika (2000) menggunakan rangkuman definisi yang diungkapkan Mowday, dkk

dimana komitmen organisasi dibedakan menjadi dua macam, komitmen sebagai perilaku

dan komitmen sebagai suatu sikap. Komitmen sebagai suatu perilaku dimiliki oleh individu

yang mempunyai keterikatan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dijalaninya dalam

organisasi dan perasaan telah berkorban banyak bagi organisasi sehingga sulit atau tidak

mau meninggalkan organisasi tersebut. Komitmen sebagai suatu sikap didefinisikan

sebagai suatu kekuatan relatif yang dimiliki masing-masing individu dalam

mengidentifikasi nilai-nilai yang dimilikinya dengan nilai-nilai dan tujuan yang ada pada

organisasi sehingga individu tersebut terus berkeinginan untuk mempertahankan

keanggotaannya dalam organisasi.

11

Sedangkan Steers dan Porter (Purwanto, 2000) mendefinisikan komitmen sebagai

suatu sikap merupakan usaha individu untuk mengidentifikasikan diri pada organisasi

beserta tujuannya, serta keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi agar dapat

mencapai tujuan yang tidak dapat dicapainya sendirian.

Miner juga mengungkapakan bahwa konsep komitmen sebagai suatu sikap ini

sifatnya lebih luas daripada kepuasan kerja karena berlaku secara utuh atau keseluruhan,

bukan hanya terhadap pekerjaan tertentu saja, dan lebih stabil bila dibandingkan dengan

kepuasan kerja karena sifatnya lebih permanen dan kejadian-kejadian sehari-hari dalam

organisasi tidak akan mengubah komitmen karyawan terhadap organisasinya secara

signifikan.

Berbagai pengertian tersebut menggiring peneliti untuk mengambil kesimpulan yang

menjadi definisi konseptual bagi penelitian ini, yaitu komitmen organisasi dipandang

sebagai suatu sikap individu terhadap hubungan yang terjalin antara dirinya dengan

organisasinya sebagai hasil dari proses identifikasi atas nilai dan tujuan dari organisasi,

disertai dengan kemauan untuk terlibat dengan kegiatan organisasi dan keinginan yang

kuat untuk tetap dapat menjadi bagian dari organisasi tersebut.

Dari definisi di atas, tampak bahwa peneliti lebih memfokuskan pembahasan atas

komitmen organisasi yang bersifat afektif, dibanding komitmen organisasi normatif

maupun kalkulatif. Pemilihan ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya yang menyatakan bahwa di antara ketiga tipe komitmen tersebut, komitmen

afektifkah yang memiliki hubungan positif paling kuat dengan kinerja, organization

citizenship behavior (OCB), dan tingkat kehadiran karyawan (Keller, 1997; Meyer, dkk.,

2004). Oleh karena itu, komitmen organisasi afektif dipandang sebagai prediktor terbaik

dan sangat berguna dalam usaha peningkatan kinerja karyawan dan organisasi secara

umum, bila dibandingkan dengan komitmen normatif atau komitmen kalkulatif.

12

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

Secara umum, komitmen organisasi dipengaruhi oleh empat kelompok faktor yang

diungkapkan oleh Mowday (Purwanto, 2000; Kharis, 2001), yaitu:

a. Karakteristik personal yang meliputi usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan,

tingkat efikasi diri dan kebutuhan akan prestasi. Dari segi usia, karyawan yang lebih

tua akan cenderung lebih berkomitmen. Kharis (2001) mengungkapkan bahwa tingkat

efikasi diri dan masa kerja dalam organisasi memiliki hubungan positif dengan

komitmen organisasi.

b. Karakteristik pekerjaan, seperti stres kerja, tantangan dalam pekerjaan, umpan balik,

identifikasi tugas, kejelasan peran, dan perkembangan diri, karir, dan tanggung jawab.

Steers dan Porter dalam penelitiannya pada tahun 1983 menemukan bahwa

karakteristik perkerjaan tersebut, selain stres kerja berkorelasi positif dengan komitmen

organisasi.

c. Karakteristik organisasi, yaitu struktur organisasi (sentralisasi, formalitas, dan

kompleksitas), gaya kepemimpinan dalam organisasi, dan dukungan sosial yang

diciptakan dalam organisasi. Purwanto (2000) dan Chen (2004) menyebutkan bahwa

gaya kepemimpinan transformasional dan transakasional secara bersama-sama akan

meningkatkan komitmen organisasi. Cordery (Niehoff, dkk., 2001) mengungkapkan job

enrichment berkorelasi positif dengan komitmen organisasi.

d. Sifat dan kualitas pengalaman kerja yaitu pemenuhan kebutuhan dasar dan harapan

karyawan, yang termasuk di dalamnya adalah merasakan kepuasan kerja. Beberapa

penelitian menunjukkan hasil dimana karyawan yang dengan tingkat kepuasan kerja

yang tinggi akan menunjukkan komitmen yang tinggi juga terhadap organisasinya

(Feinstein & Vondrasek, 2000; Okpara, 2004).

13

3. Aspek-aspek dalam Komitmen Organisasi

Berbagai penelitian (Purwanto, 2000; Mustika, 2000; Kharis, 2001) menggunakan

aspek-aspek komitmen organisasi yang diungkapkan oleh Mowday, yaitu:

a. Menunjukkan adanya keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan yang

hendak dicapai organisasi

b. Punya keinginan untuk bisa memberikan yang terbaik bagi organisasi dalam bekerja

c. Memperlihatkan keinginan kuat untuk pertahankan keanggotaan dalam organisasi

Aspek-aspek ini dalam laporan penelitian LaMastro disebut sebagai karakteristik dari

komitmen afektif, yaitu komitmen yang muncul dalam diri karyawan terhadap organisasi

karena karyawan memiliki ketertarikan secara emosional terhadap organisasi. Tipe

komitmen yang lain adalah komitmen normatif, yaitu komitmen yang muncul karena

karyawan merasa memiliki kewajiban utnuk tetap tinggal dalam organisasi, dan komitmen

kalkulatif (continuance) yang muncul berdasarkan perhitungan untung-rugi seandainya

karyawan meninggalkan organisasi. Ketiga tipe komitmen ini secara luas dipergunakan

dalam berbagai penelitian (Meyer & Allen, 1991; Dunham, 1994; Keller, 1997; Irving,

1997; Meyer, 2004).

B. Kepuasan Kerja

Norris & Niebuhr mendefinisikan kepuasan kerja sebagai respon afektif terhadap

lingkungan kerja (Reed, dkk., 1994). Selain itu, Okpara (2004) mengungkapkan beberapa

pengertian tentang kepuasan kerja. Salah satunya adalah milik Locke, dimana kepuasan kerja

merupakan suatu emosi menyenangkan atau positif yang dihasilkan daari penilaian terhadap

pekerjaan yang dimliki dengan pengalaman yang diadapat keryawan selama bekerja.

Kepuasan kerja menurut penelitian yang dilakukan oleh Okpara (2004) dipengaruhi oleh

karakteristik pekerjaan dan juga tingkat keterlibatan karyawan terhadap proses pengambilan

14

keputusan dalam organisasi. Kepuasan kerja yang rendah dipengaruhi oleh karakteristik kerja

yang tidak menantang, membosankan, simpel, dan monoton, serta tidak dilibatkannya

karyawan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting dalam manajemen

organisasi. Goh (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa atribut yang menempel pada

suatu organisasi pembelajaran (learning organization), yaitu rendahnya tingkat formalisasi,

akan meningkatkan kepuasan kerja.

Dipboye, dkk. (1994) menyatakan kepuasan kerja dipengaruhi oleh karakteristik

personal dan perilaku yang terkait dengan pekerjaan. Dari segi karakteristik personal ada

faktor usia dan kepribadian yang mempengaruhi kepuasan kerja seorang karyawan. Semakin

tua aeorang karyawan, maka ia akan menunjukkan kecenderungan untuk lebih puas bila

dibandingkan dengan karyawan yang lebih muda. Hal ini mungkin terjadi karena adanya

perhitungan yang dilakukan oleh karyawan tersebut atas alternatif pekerjaan lain yang

tersedia baginya. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan adanya tingkat

kepuasan kerja yang lebih tinggi pada karyawan dengan n-Ach yang tinggi. Selain itu, sifat

tidak sabar dan mudah tersinggung memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan kerja

karyawan. Selain itu, Aamodt (2004) mengungkapkan 4 kepribadian yang menentukan

kepuasan kerja, yaitu stabilitas emosional, locus of control internal, efikasi-diri, dan

penghargaan-diri.

Kepuasan kerja oleh banyak ahli dibagi menjadi 2 aspek secara umum, yaitu kepuasan

intrinsik dan kepuasan ekstrinsik. Kepuasan yang pertama merupakan suatu perasaan positif

dalam diri karyawan yang muncul terhadap pekerjaan yang dilakukannya, seperti tantangan

dalam pekerjaan, aktivitas yang dilakukan, wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki.

Sedangkan kepuasan ekstrinsik lebih mengacu pada kondisi atau situasi yang ada selama

karyawan bekerja, seperti hubungan dengan teman kerja, pengawasan, kompensasi,

kebijakan perusahaan, dan pengembangan karir.

15

C. Persepsi terhadap Struktur Organisasi

Organisasi didefinisikan sebagai suatu kesatuan sosial yang terkoordinir dengan

batasan-batasan yang jelas dalam membedakan individu mana yang menjadi anggota dan

mana yang bukan, serta berfungsi mencapai suatu tujuan yang tidak dapat diraih sendirian

(Robbin, 1990).

Struktur organisasi merupakan suatu mekanisme tentang alokasi tugas dalam

organisasi, termasuk juga rantai tanggung jawab, serta koordinasi pola interaksi formal yang

harus ditaati oleh anggota organisasi. Struktur ini memiliki 3 unsur, yaitu

a. Kompleksitas yang merupakan tingkat perbedaan dalam organisasi yang tampak pada

tingkat spesialisasi, jumlah level hirarkis, serta penyebaran geografis dari unit-unit yang

ada dalam organisasi.

b. Formalisasi menggambarkan tingkat organisasi dalam mengandalkan aturan dan prosedur

yang berlaku dalam organisasi untuk mengarahkan dan mengendalikan perilaku karyawan

organisasi.

c. Sentralisasi menunjukkan dimana kekuasaan unutk mengambil keputusan berada, apakah

pada tingkat top-manajer ataukah disebarkan secara merata ke tingkat karyawan yang

lebih rendah.

Teori klasik tentang organisasi mengidentifikasi adanya 2 tipe organisasi secara umum,

yaitu organisasi mekanistik yang menggunakan manajemen ilmiah dan mengutamakan

adanya efisiensi dalam setiap kegiatan organisasi. Organisasi ini memiliki karakteristik tingkat

formalisasi, sentralisasi, dan kompleksitas yang tinggi. Sedangkan yang kedua adalah

organisasi yang organik yang memandang organisasi serupa dengan makhluk hidup yang

bertumbuh dan selalu berusaha untuk bertahan hidup. Karakteristik struktur dari organisasi ini

adalah tingkat formalisasi yang rendah dan jalur komunikasi yang terbuka ke segala arah

dalam organisasi.

16

D. Organisasi yang Bergerak dalam Bidang Pelayanan Masyarakat (Public Services)

Fitzsimmons dan Fitzsimmons (2004) mengelompokkan organisasi-organisasi yang

bergerak dalam hal pelayanan publik ke dalam 4 kelompok yang dikenal dengan Matriks

Proses Pelayanan. Pelayanan dibagi berdasarkan dua dimensi yang akan memperngaruhi

karakter dari proses penyampaian pelayanan. Dimensi horisontal mengukur tingkat interaksi

dan penyesuaian terhadap selera konsumen (customization) yaitu sejauh mana konsumen

mampu mempengaruhi secara personal wujud pelayanan yang diberikan. Sedangkan

dimensi vertikal mengukur tingkat intensitas tenaga kerja, yaitu perbandingan antara biaya

tenaga kerja dengan biaya modal.

Tabel 1 The Service Process Matrix

De

gre

e o

f la

bo

r in

ten

sit

y

Degree of interaction and customization

Low High

Low

Service factory:

Airlines

Trucking

Hotels

Resorts and recreation

Service shop:

Hospitals

Auto repair

Other repair services

High

Mass service:

Retailing

Wholesaling

Schools

Retail aspects of commercial banking

Professional service:

Phyicians

Lawyers

Accountants

Architecs

Sumber: Fitzsimmons, J. A. dan Fitzsimmons, M. J. 2004

Kelompok yang pertama adalah service factory, yaitu kelompok dengan tingkat

interakasi dengan dan penyesuaian terhadap konsumen rendah serta membutuhkan banyak

modal (intensitas rendah). Termasuk dalam kelompok ini adalah perusahaan penerbangan,

perusahaan truk, perhotelan, dan tempat-tempat wisata. Kedua adalah kelompok service

shop yang memiliki tingkat interaksi dan penyesuaian yang tinggi serta memiliki tuntutan atas

17

modal yang besar. Contoh dari organisasi yang termasuk dalam kelompok ini adalah rumah

sakit, bengkel, dan berbagai pelayanan perbaikan lainnya.

Kelompok yang ketiga memiliki tingkat interaksi dan penyesuaian yang rendah begitu

pula tuntutan atas modal. Kelompok ini disebut sebagai mass service dengan contoh

sekolah-sekolah, bank komersial, serta perusahaan grosir maupun eceran. Kelompok yang

terakhir, professional service memiliki karakteristik interaksi dan penyesuaian terhadap

konsumen yang tinggi namun tidak menuntut modal yang besar, seperti akuntan, pengacara,

arsitek, dan dokter atau tabib.

Tantangan yang dihadapi oleh organisasi pelayanan ini ditentukan oleh karakteristik

dimensi yang dimilikinya. Pada kelompok dengan interaksi dan penyesuaian yang rendah

akan menghadapi tantangan dalam hal pemasaran, membuat layanan tetap “hangat”

mengingat standardisasi sangat penting dalam pelaksanaan pelayanan, perhatian pada

lingkungan fisik, serta mengelola hirarki cenderung kaku dengan kebutuhan prosedur

operasional yang standard (Standard Operational Procedure/ SOP). Sedangkan interkasi dan

penyesuaian terhadap konsumen akan memunculkan tantangan bagi organisasi untuk

berjuang menghadapi kenaikan harga dan pengeluaran, mempertahankan kualitas, bereaksi

terhadap intervensi konsumen dalam proses, mengelola hirarki yang datar dengan hubungan

atasan-bawahan yang longgar, serta memperoleh loyalitas dari para karyawannya.

Bagi organisasi yang berada dalam kelompok dengan rasio modal yang besar akan

dihadapkan pada tuntutan keputusan modal, perkembangan teknologi, mengelola permintaan

untuk menghindari puncak kesibukan (peaks) dan membuat jadwal pemberian pelayanan.

Sedangkan organisasi dengan rasio modal yang rendah akan menghadapi tantangan saat

mempekerjakan seseorang, mengadakan pelatihan, menentukan metode pengembangan

dan pengontrolan, kesejahteraan karyawan, membuat jadwal bagi tenaga kerja, melakukan

kontrol terhadap lokasi geografis yang sangat luas, memulai adanya unit-unit baru, serta

mengelola pertumbuhan organisasi.

18

Terkait dengan topik komitmen organisasi, peneliti akan memfokuskan penelitian ini

pada kelompok service shop, khususnya rumah sakit. Selain membutuhkan tingkat loyalitas

yang tinggi dari karyawan serta adanya hirarki organisasi rumah sakit yang sifatnya datar,

rumah sakit juga dihadapkan pada tantangan perkembangan teknologi yang sangat cepet

seiring dengan mudahnya perpindahan barang antarnegara dalam era globalisasi ini.

Pemilihan rumah sakit sebagai organisasi tempat penelitian dilakukan didukung pula

oleh pernyataan Jamalul Insan, seorang penilik kesehatan dalam tulisannya yang dimuat

dalam situs surat kabar harian nasional, www.kompas.com pada tahun 2005, bahwa

dibanding lembaga usaha yang lain, rumah sakit memiliki kekhasan yaitu pada sejarah

kehadiran dan perkembangannya, perannya dalam masyarakat, jenis jasa yang diberikan,

keluhuran profesi pemberi jasa yang bekerja di dalamnya, sifat konsumen yang dilayani,

serta muatan tanggung jawab moral, kemanusiaan, dan sosial yang diembannya.

E. Hubungan antara Persepsi terhadap Struktur Organisasi, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasi

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi komitmen seorang karyawan terhadap

organisasinya, peneliti tertarik pada dua faktor umum, yaitu karakteristik organisasi serta sifat

dan kualitas pengalaman kerja.

Karakteristik organisasi meliputi berbagai atribut yang ada pada suatu organisasi,

seperti struktur, desain, dan budaya atau iklim organisasi, serta gaya kepemimpinan yang

diterapkan. Dalam hal budaya organisasi, Eisenberger (1990) menemukan adanya korelasi

yang positif antara dukungan dari organisasi yang dipersepsi karyawan dengan tingkat

komitmennya terhadap organisasi. Sedangkan gaya kepemimpinan diteliti oleh Purwanto

(2000) dan Chen (2004) dengan menunjukkan adanya pengaruh penerapan suatu gaya

kepemimpinan terhadap komitmen organisasi. Budaya organisasi sebagaiman dijelaskan oleh

Smither, dkk. (1996) merupakan kepercayaan dan nilai yang dimiliki bersama yang diteruskan

19

oleh organisasi pada setiap anggota barunya tentang cara berperilaku yang diterima, peran,

dan norma. Hal ini berkaitan erat dengan struktur organisasi yang diterapkan dalam organisasi

karena menggambarkan posisi dan peran yang harus dijalankan setiap anggota organisasi.

Oleh karena itu, peneliti berasumsi bahwa bila budaya organisasi, seperti pemberian

dukungan bagi anggota, dapat mempengaruhi tingkat komitmen karyawan terhadap

organisasi, maka begitu pula dengan persepsi karyawan terhadap struktur yang dianut oleh

organisasi.

Persepsi karyawan terhadap struktur organisasi, khususnya tingkat formalisasi telah

diteliti pengaruhnya terhadap kepuasan kerja oleh Goh pada tahun 2001. Penelitian ini

menghasilkan kesimpulan bahwa tingkat formalisasi memiliki hubungan negatif dengan tingkat

kepuasan kerja. Peneliti pun berasumsi bahwa kedua unsur struktur organisasi yang lain,

yaitu sentralisasi dan kompleksitas, juga memiliki hubungan yang negatif pula dengan tingkat

kepuasan kerja. Sedangkan tingkat kepuasan kerja itu sendiri juga memiliki korelasi positif

yang kuat terhadap tingkat komitmen organisasi (Feinstein & Vondrasek, 2000; Okpara, 2004).

Berdasarkan hubungan yang ada, diasumsikan bahwa persepsi karyawan terhadap struktur

organisasi memiliki pengaruh secara tidak langsung pada tingkat komitmen karyawan pada

organisasi yang diikutinya melalui hubungan kepuasan kerja.

Kepuasan kerja telah banyak dikupas dalam penelitian di berbagai negara (Okpara,

2004). Dalam penelitian ini, kepuasan kerja akan ditempatkan sebagai variabel yang

dipengaruhi oleh persepsi terhadap struktur organisasi sekaligus sebagai variabel yang

mempengaruhi komitmen organisasi.

20

F. Hipotesis Penelitian

Peneliti mengajukan tiga hipotesis yang akan dicoba untuk dibuktikan oleh penelitian ini,

yaitu:

1. Adanya hubungan persepsi perawat pada struktur organisasi dan kepuasan kerja

dengan komitmen pada rumah sakit,

2. Adanya hubungan positif antara persepsi perawat pada struktur organisasi dengan

kepuasan kerja,

3. Adanya hubungan positif persepsi perawat pada struktur organisasi dengan komitmen

pada rumah sakit,

4. Adanya hubungan positif antara kepuasan kerja dengan komitmen pada rumah sakit,

5. Kepuasan kerja memediasi hubungan antara persepsi perawat pada struktur

organisasi dengan komitmen pada rumah sakit.

BAB III

METODOLOGI

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel Bebas : Persepsi pada struktur organisasi

Variabel Mediator : Kepuasan kerja

Variabel Tergantung : Komitmen organisasi

B. Definisi Operasional

1. Persepsi pada Struktur Organisasi

Dalam penelitian ini persepsi perawat pada struktur organisasi didefinisikan secara

operasional sebagai proses kognisi perawat dalam menilai, mengevaluasi, dan

menafsirkan struktur yang berlaku dalam organisasi yang meliputi tiga unsur, yaitu:

a. Formalisasi yang didefinisikan sebagai adanya peraturan dan prosedur tertulis dalam

organisasi dan tingkat kepatuhan organisasi dalam melaksanakannya.

b. Sentralisasi yang dilihat dari dua aspek, yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan

serta adanya hirarki otoritas dalam organisasi.

c. Kompleksitas dalam penelitian ini dilihat dari ukuran organisasi.

Pengukuran terhadap persepsi perawat pada struktur organisasi dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan adaptasi dari kuesioner yang digunakan oleh Schminke,

dkk. (2000), yang dikembangkan dari konsep sentralisasi Hage dan Aiken (1969) dan

konsep formalisasi milik Pugh, dkk. (1968). Skor yang tinggi pada angket sentralisasi

menunjukkan tingkat sentralisasi yang rendah. Sedangkan pada angket formalisasi, skor

yang tinggi menunjukkan tingginya pula tingkat formalisasi.

22

Pengukuran tingkat kompleksitas akan dilakukan dengan mengukur besarnya

organisasi, yaitu dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat jumlah perawat tetap yang

bekerja di rumah sakti ini. Data ini diperoleh dari pihak pengelola rumah sakit.

2. Kepuasan kerja

Definisi operasional dari kepuasan kerja yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

suatu sikap positif yang muncul sebagai hasil dari penilaian perawat secara keseluruhan

terhadap rumah sakit dimana ia bekerja, baik mengenai pekerjaan itu sendiri maupun

tentang pengalaman yang didapat perawat selama bekerja di rumah sakit tersebut.

Pengukuran terhadap kepuasan kerja dilakukan dengan menggunakan skala adaptasi dari

Minnesota Satisfaction Questionnaire yang dikembangkan oleh Weiss, Dawis, England,

dan Lofquise (1967). Semakin tinggi nilai yang diperoleh berarti semakin tinggi pula tingkat

kepuasan kerja yang dirasakan oleh perawat, dan semakin rendah nilai yang diperoleh

menunjukkan semakin rendah pula tingkat kepuasan kerjanya.

3. Komitmen pada Organisasi

Definisi operasional dari komitmen pada organisasi dalam penelitian ini mengacu

pada pengertian komitmen organisasi yang sifatnya afektif, yaitu suatu kekuatan relatif

yang dimiliki perawat terhadap rumah sakit tempat ia bekerja. Berdasar pada definisi ini,

perawat yang memiliki komitmen akan menunjukkan:

a. Adanya keyakinan dan penerimaan penuh terhadap nilai-nilai dan tujuan rumah sakit

(identifikasi)

b. Adanya dorongan untuk berusaha maksimal demi kepentingan rumah sakit (motivasi)

c. Adanya keinginan yang kuat untuk menjadi bagian dari rumah sakit dan

mempertahankan keanggotaannya tersebut (loyalitas)

Pengukuran atas tingkat komitmen pada organisasi dilakukan dengan menggunakan

angket yang disusun oleh peneliti berdasar pada teori yang dikemukakan oleh Steers dan

Porter (1993). Nilai yang tinggi pada angket ini menunjukkan tingginya tingkat komitmen

23

perawat pada rumah sakit tempat ia bekerja, dan semakin rendah nilainya maka semakin

rendah pula tingkat komitmen yang dimilikinya.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah para perawat Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.

Perawat yang dipilih adalah perawat yang telah bekerja pada rumah sakit tersebut minimal

enam bulan karena diasumsikan telah memiliki pengalaman kerja lapangan yang cukup untuk

memahami proses-proses terkait dengan tugas sehari-hari dan telah mampu mempersepsi

tingkat komitmen pada rumah sakit tempat ia bekerja. Selain itu, masa enam bulan

diperkirakan cukup lama untuk memahami dan melakukan penilaian terhadap struktur

organisasi yang diterapkan dalam rumah sakit yang bersangkutan.

D. Alat Ukur

1. Persepsi terhadap Struktur Organisasi

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari konsep yang

dikemukakan oleh Robbin (1990) dimana struktur organisasi memiliki tiga unsur, yaitu:

a. Formalisasi diukur dengan melihat banyaknya aturan dan prosedur yang dibuat secara

tertulis dalam organisasi dan tingkat ketaatan organisasi dalam menjalankannya.

b. Sentralisasi yang dilihat dari dua aspek, yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan

— keikutsertaan karyawan dalam proses pengambilan keputusan — serta adanya

hirarki otoritas dalam organisasi — yang dilihat dari kemampuan karyawan untuk dapat

mengambil keputusan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan atasannya.

c. Kompleksitas dalam penelitian ini dilihat dari ukuran organisasi yang diukur dengan

menghitung jumlah perawat tetap yang bekerja di rumah sakit.

24

Pengukuran terhadap persepsi karyawan pada struktur organisasi dalam penelitian

ini dilakukan dengan menggunakan adaptasi dari angket yang dikembangkan oleh Hage

dan Aiken (1969) dan Pugh, dkk. (1968). Skala terdiri atas 14 aitem dengan 5 poin

(5=sangat sesuai; 1=sangat tidak sesuai). Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek

menunjukkan bahwa organisasi tersebut dipersepsi sebagai organisasi yang formal,

sentralistis, dan kompleks oleh karyawannya.

Sedangkan pengukuran tingkat kompleksitas organisasi akan dilakukan dengan

melihat ukuran organisasi

2. Kepuasan Kerja

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja adalah skala yang

merupakan adaptasi dari Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Skala ini

dikembangkan oleh Weiss, Dawis, England, dan Lofquise pada tahun 1967, terdiri atas

100 item yang mengungkap 20 aspek kepuasan kerja. Namun dengan alasan kepraktisan,

banyak peneliti memilih untuk menggunakan MSQ bentuk pendek yang terdiri atas 20 item

yang mengungkap kepuasan kerja secara umum, meliputi kepuasan intrinsik, kepuasan

ekstrinsik, kondisi kerja, dan teman kerja. Dipboye, dkk. (1994) menyatakan bahwa MSQ

bentuk pendek ini memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi.

Peneliti menggunakan MSQ model pendek yang terdiri atas 20 item dengan pilihan

lima pilihan jawaban yang menunjukkan tingkat kepuasan yang dirasakan subjek terhadap

aspek-aspek dari pekerjaan yang disebutkan sebagai item-item skala. Jawaban bergerak

dari sangat puas, puas, ragu-ragu, tidak puas, dan sangat tidak puas. Pada item favorable

jawaban sangat puas akan mendapat skor maksimal 5, dan jawaban sangat tidak puas

akan mendapat skor minimal 1. Sedangkan untuk item-item unfavorable, jawaban sangat

puas akan mendapatkan skor minimal dan jawaban sangat tidak puas akan mendapat

skor maksimal. Skor total yang tinggi akan menunjukkan tingginya tingkat kepuasan kerja

25

yang dirasakan subjek, sebaliknya, skor total yang rendah menunjukkan rendahnya tingkat

kepuasan kerja yang dirasakannya.

3. Komitmen Organisasi

Skala yang digunakan untuk mengukur komitmen organisasi dikembangkan dari

definisi komitmen yang disampaikan oleh Steers & Porter (1983), yaitu komitmen afektif

yang memiliki 3 aspek:

a. Adanya keyakinan dan penerimaan penuh terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi

(identifikasi)

b. Adanya dorongan untuk berusaha maksimal demi kepentingan organisasi (motivasi)

c. Adanya keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi dan mempertahankan

keanggotaannya tersebut (loyalitas).

Tabel 2 Blue Print Skala Komitmen Organisasi

Aspek / Indikator

Distribusi Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

Identifikasi 5 5 10

Motivasi 4 6 10

Loyalitas 6 4 10

Jumlah: 15 15 30

Skor total keseluruhan akan menunjukkan tingkat komitmen seorang karyawan

terhadap organisasinya. Semakin tinggi skor yang diperoleh, semakin tinggi pula tingkat

komitmen yang dimiliki karyawan tersebut.

E. Rancangan Analisis Data

Untuk memunculkan mediasi, ada beberapa syarat yang diajukan oleh Baron dan

Kenny (Sheffield, dkk., 2005), yaitu:

1. Variabel bebas harus secara signifikan mempengaruhi variabel mediator

2. Variabel bebas harus mempengaruhi variabel tergantung

26

3. Variabel mediator harus mempengaruhi variabel tergantung

4. Pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung haruslah menjadi lebih rendah

saat variabel mediator masuk dalam perhitungan.

Oleh karena itu, untuk melihat peran mediasi dari tingkat kepuasan kerja dalam

hubungan antara persepsi pada struktur organisasi dilakukan analisa dalam 4 tahap, yaitu:

1. Pengujian pengaruh langsung dari persepsi pada struktur organisasi sebagai varibael

bebas terhadap variabel mediator, tingkat kepuasan kerja dengan melakukan uji

signifikansi kemudian adanya hubungan dibuktikan dengan teknik analisis korelasi parsial

serta melihat besarnya pengaruh ini digunakan koefisien determinasi.

2. Pengujian pengaruh langsung persepsi pada struktur organisasi terhadap variabel

tergantung, komitmen pada organisasi dengan melakukan uji signifikansi atas hubungan

yang ada, kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis korelasi parsial untuk melihat

hubungan yang ada dan koefisien determinasi yang menunjukkan besarnya pengaruh

dari variabel bebas terhadap variabel tergantung.

3. Pengujian pengaruh tingkat kepuasan kerja sebagai varibel mediator terhadap komitmen

pada organisasi sebagai varibel tergantung dengan menguji tingkat signifikansi hubungan

dan dilanjutkan dengan analisis korelasi parsial untuk menentukan hubungan yang ada

serta mencari koefisien determinasi yang dapat menunjukkan besarnya pengaruh variabel

mediator terhadap variabel bebas.

4. Melakukan analisis regresi stepwise untuk dapat membuktikan ada atau tidaknya

penurunan pengaruh persepsi pada struktur organisasi sebagai variabel bebas terhadap

komitmen karyawan pada organisasi saat tingkat kepuasan kerja sebagai variabel

mediator disertakan dalam perhitungan.

27

DAFTAR PUSTAKA

Aamodt, M.G. 2004. Applied Industrial/Organizational Psychology. 4th ed. California: Thomson Learning, Inc.

Cable, D.M., & DeRue, D.S. 2002. Convergent and Discriminant Validity of Subjective Fit Perceptions. Journal of Applied Psychology, 87(5), 875-884.

Cascio, W.F. 1998. Applied Psychology in Human Resource Management. 5th ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Chen, Li Yueh. 2004. Examining the Effect of Organization Culture and Leadership Behaviors on Organizational Commitment, Job Satisfaction, and Job Performance at Small and Middle-sized Firms in Taiwan. The Journal of American Academy of Business, September, 432-438.

Cummings, T.G.& Worley, C.G. 1993. Organization Development and Change, 6th ed. Ohio: South-Western College Publishing

Demerouti, E., Bakker, AB., Nachreiner, F. & Schaufeli, WB. 2000. A Mdel of Burnout and Life Satisfaction Among Nurses. Journal of Advanced Nursing. 32 (2), 454-464

Dipboye, R.L., Smith, C.S., & Howell, W.C. 1994. Understanding Industrial & Organizational Psychology: An Integrated Approach. Florida: Harcourt Brace & Company.

Eisenberger, R., Faloso, P., & LaMastro, V.D. 1990. Perceived Organizational Support and Employee Diligence, Commitment, and Innovation. Journal of Applied Psychology, 75, 51-59.

Fatdina. 2005. Peranan Sifat-sifat dalam Core-Self Evaluation Terhadap Kepuasan Kerja Pada Perawat. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Feinstein, A.H. & Vondrasek, D. 2000. A Study of Relationship Between Job Satisfaction and Organizational Commitment among Restaurant Employees. Laporan Penelitian. (tidak diterbitkan) Las Vegas: Departement of Food and Beverage Management William F. Harrah College of Hotel Administration University of Nevada.

Fitzsimmons, J. A. dan Fitzsimmons, M. J. 2004. Service Management: Operations, Strategy, and Informational Management. 4th ed. New York: McGraw-Hill Co, Inc.

28

Goh, Swee C. 2001. The Learning Organization: An Empirical Test of A Normative Framework. International Journal of Organization Theory & Behavior, 4, 329-355.

Irving, P., Coleman, D., & Cooper, C. 1997. Further Assessments of A Three-Component Model of Occupational Commitment: generalizability and differences across occupations. Journal of Applied Psychology, 82(3), 444-452.

Keller, T.B. 1997. Job Involvement and Organizational Commitment as Longitudinal Predictors of a Job Performance: A study of scientists and engineers. Journal of Applied Psychlogy, 82, 539-545.

Kharis, Abdul. 2001. Komitmen Organisasional Ditinjau dari Efikasi-diri, Masa Kerja, dan Hirarki Status Upah. Tesis. (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Mustika, Mawar. 2000. Komitmen Organisasi Ditinjau dari persepsi Bawahan terhadap Kepemimpinan Atasan di SMK Negeri 4 Palembang. Skripsi. (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Meyer, J.P., Allen, N.J., & Smith, C.A. 2004. Employee Commitment and Satisfaction. Journal of Applied Psychology, 89, 991-1007.

Miner, J.B. 1992. Industrial-Organizational Psychology. Singapore: McGraw-Hill, Inc.

Niehoff, B.P., Moorman, R.H., Blakely, G., & Fuller, J. 2001. The Influence of Empowerment and Job Enrichment on Employee Loyalty in a Downsizing Environment. Group & Organization Mangement, 26, 93-113.

Okpara, J.O. 2004. Job Satisfaction and organizational Commitment: Are there differences between American and Nigerian Managers Employed in the US MNCs in Nigeria? Presentasi pada 2004 X International Conference Montreux. (tidak diterbitkan) Switzerland.

Purwanto, Budi. 2000. Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional dengan Komitmen terhadap Organisasi. Tesis. (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Reed, S.A., Kratchman, S.H., & Strawser, R.H. 1994. Job Satisfaction, Organizational Commitment, and Turnover Intentions of United States Accountants: The Impact of Locus of Control and Gender. Accounting, Auditing, & Accountability Journal, 7, 31-58.

29

Robbin, S.P. 1990. Organization Theory: Structure, design, and application (3rd ed.) New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Schminke, M., Ambrose, M.L., & Cropanzano, R.S. 2000. The Effect of Organizational Sructure on Perceptions of Procedural Fairness. Journal of Applied Psychology, 85, 294-304.

Sheffield, J.K., Tse, K.H., & Sofronoff, K. 2005. A Comparison of Body-Image Dissatisfaction and Eating Disturbance among Australian and Hongkong Women. European Eating Disorders Review. 13. 112-124

Shiraev, E.B. and Levy, D.A. (2004). Cross-cultural psychology: critical thinking and contemporary applications. Boston, MA: Pearson Education Inc.

Smither, R.D., Houston, J.M., & McIntire, S.A. 1996. Organisation Development, Strategies for Changing Environments. New York: HarperCollins College Publishers, Inc.

Wood, J., Wallace, J., Zeffane R., Schermerhorn, J.R., Hunt, J.G., Osborn, R.N. 1994. Organisational Behavior: An Asia-Pacific Perspective. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Gambar 1

Bagan Kerangka Berpikir

KOMITMEN

ORGANISASI

IDENTIFIKASI

MOTIVASI/ JOB INVOLVEMENT

LOYALITAS

IINTRINSIK (MOTIVATOR) - Aktivitas kerja - Wewenang - Tanggung jawab

EKSTRINSIK (HYGIENE) - Hubungan dengan taman kerja - Hubungan dengan pengawas (supervisor) - Kompensasi - Kebijakan organisasi - Pengembangan karir

KEPUASAN KERJA

STRUKTUR

ORGANISASI

SENTRALISASI - partisipasi dalam

pengambilan keputusan

- hirarki otoritas

FORMALISASI KOMPLEKSITAS

KETERANGAN: Hubungan aspek

Hubungan yang akan diteliti

31

STRUKTUR ORGANISASI

Kompleksitas Formalisasi

Sentralisasi

KEPUASAN KERJA

Intrinsik/ Motivators

Ekstrinsik / Hygiene Factor

KOMITMEN ORGANISASI

Identifikasi Motivasi

Loyalitas

DUKUNGAN ORGANISASI