Upload
evalubis
View
832
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
Pertumbuhan Janin Terhambat
Secara fisiologis, pertumbuhan janin manusia ditandai oleh urutan pola dari
pertumbuhan jaringan dan organ, diferensiasi, serta maturasi yang ditentukan oleh
ketersediaan substrat (maternal), transfer substrat melalui plasenta, dan juga potensial genetik
pertumbuhan.1
Walaupun banyak faktor telah dikemukakan berperan dalam proses pertumbuhan
janin, mekanisme selular dan molecular proses tersebut belum dapat dimengerti dengan baik.
Pada awal kehidupan janin, penentu utama dari pertumbuhan adalah materi genetik (genome)
janin. Namun pada bulan-bulan akhir kehamilan, pengaruh faktor lingkungan, nutrisi, dan
hormonal menjadi sangat penting.1
Definisi
Pertumbuhan janin terhambat adalah kondisi dimana janin tidak dapat mencapai
ukuran potensialnya sesuai dengan potensi genetiknya. Keadaan ini berbeda dengan istilah
kecil untul masa kehamilan (small for gestational age, SGA). SGA didefinisikan sebagai
pertumbuhan pada atau kurang dari persentil 10 untuk berat badan janin sesuai masa
kehamilan. Namun tidak semua janin dengan SGA terhambat pertumbuhannya secara
patologis. Hampir 70% dari janin dengan SGA, berukuran kecil secara konstitusional
berdasarkan potensi genetik, dan dalam keadaan normal. Walaupun begitu, janin tersebut
dapat dianggap kecil secara konstitusional hanya setelah semua proses patologis dapat
disingkirkan. Oleh karena itu janin dengan berat badan dibawah persentil 10 harus tetap
dicurigai akan kemungkinan PJT. Beberapa definisi yang digunakan diantaranya adalah janin
dengan berat badan dibawah persentil 10 disertai lingkar abdomen dibawah persentil 2.5,
namun beberapa peneliti lebih menggunakan standar dibawah persentil 3.1,2,3
Gambar 1. Grafik Persentil Berat Badan Janin terhadap Usia Kehamilan
Epidemiologi
Pertumbuhan janin terhambat merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas janin
terbesar kedua, dibawah prematuritas. Kejadian asfiksia pada kelahiran, aspirasi mekonium,
hipoglikemia, dan hipertermia pada neonatus meningkat pada janin dengan PJT. Hal ini
berlaku pada bayi yang lahir preterm maupun aterm.1
Pertumbuhan dan perkembangan postnatal dari janin dengan PJT nantinya ditentukan
oleh penyebab terjadinya restriksi pertumbuhan, nutrisi pada saat neonatus, dan lingkungan.
Janin dengan PJT akibat kelainan kongenital, infeksi intrauteri, dan kelainan kromosomal
umumnya akan berukuran kecil seumur hidupnya. Namun pada janin dengan PJT akibat
insufisiensi plasenta, anak tersebut akan tumbuh mengejar potensial genetiknya.
Perkembangan neurologis dari janin yang mengalami PJT dipengaruhi oleh lingkungan pre-
dan postnatal. Bayi yang lahir di dalam keluarga yang memiliki status sosioekonomi yang
lebih tinggi menunjukkan masalah perkembangan yang lebih sedikit dibandingan dengan bayi
yang di lahirkan di dalam keluarga yang status sosioekonominya rendah.1
Insidensi dari PJT diestimasikan mencapai 5% dari populasi obstetrik secara umum.
Walaupun demikian, insidensi sangat dipengaruhi oleh populasi tertentu dan referensi kurva
standar pertumbuhan.2,3
Faktor Risiko
Ibu kecil secara konstitusional
Wanita yang kecil umumnya memiliki bayi yang kecil pula. Jika seorang wanita
memulai kehamilan dengan berat kurang dari 50 kg, risiko melahirkan bayi SGA meningkat
setidaknya dua kali (Simpdon dkk, 1975). Ditambah lagi, pengaruh intergenerasi dari berat
badan lahir diturunkan melalui jalur ibu (Emanuel dkk, 1992).1
Sampai saat ini, apakah fenomena ibu yang kecil melahirkan bayi yang kecil
merupakan genetik atau pengaruh dari asuhan masih belum jelas. Brooks dan penulis lainnya
(1995) menganalisa 62 kelahiran dari hasil donasi ovum untuk memeriksa pengaruh relatif
dari donor versus resipien terhadap berat badan lahir. Mereka menyimpulkan bahwa
lingkungan yang disediakan oleh ibu resepien lebih penting daripada kontribusi genetik
terhadap berat badan lahir.1
Kurangnya nutrisi ibu
Pada wanita dengan indeks masa tubuh (IMT) yang rata-rata atau rendah, kenaikan
berat badan yang kecil selama kehamilan bisa diasosiasikan dengan PJT (Simpson dkk,
1975). Kurangnya kenaikan berat badan pada trimester kedua khususnya berkorelasi dengan
penurunan berat badan lahir (Abrams dan Selvin, 1995).1
Pembatasan kenaikan berat badan setelah usia kehamilan setengah trimester kedua
akhir tidak dianjurkan. Pembatasan kalori hanya berpengaruh minimal pada pertumbuhan
janin namun meningkatkan mortalitas janin secara signifikan.1
Rendahnya status sosial
Pengaruh rendahnya status sosial terhadap berat badan lahir berhubungan dengan efek
yang diasosiasikan dengan faktor-faktor gaya hidup seperti merokok atau ketergantungan
obat, dan nutrisi yang kurang. Dejin-Karlson dkk (2000) meneliti secara kohort wanita-
wanita Swedia dan menemukan rendahnya status sosial berhubungan dengan meningkatnya
risiko bayi dengan PJT.1
Infeksi janin
Infeksi virus, bakteri, protozoa, dan spiroseta telah dihubungkan dengan 5% kasus
PJT (Klein dan Remington, 1995). Infeksi yang paling dikenal sebagai penyebab PJT adalah
infeksi yang disebabkan oleh rubela dan sitomegalovirus (Lin dan Evans, 1984; Stagno dkk,
1977). Mekanisme yang mempengaruhi pertumbuhan janin tampaknya berbeda pada kedua
jenis infeksi virus ini. Sitomegalovirus dihubungkan dengan sitolisis langsung dan hilangnya
sel-sel fungsional. Infeksi rubella menyebabkan insufisiensi vascular dengan merusak endotel
pembuluh-pembuluh darah kecil. Rubela juga menurunkan pembelahan sel (Pollack dan
Divon, 1992). Infeksi-infeksi lain yang dihubungkan dengan PJT adalah hepatitis A dan B,
listeriosis, tuberkulosis, sifilis, toksoplasmosis, dan malaria kongenital.1
Malformasi kongenital
Pada studi lebih dari 13000 bayi dengan anomali struktural mayor, 22% menderita
PJT (Khoury dkk, 1988). Umumnya, makin berat malformasi, makin besar kemungkinan
janin mengalami SGA. Hal ini khususnya bisa dibuktikan pada janin dengan abnormalitas
kromosom atau yang memiliki malformasi kardiovaskular serius.1
Aneuploidi kromosom
Plasenta dari janin dengan trisomi autosomal memiliki jumlah arteri kecil pada
cabang tersier vili yang sedikit dibanding normal (Rochelson dkk, 1990). Bergantung pada
kromosom mana yang berlebih, aneuploidi kromosom dapat dihubungkan dengan PJT.1
Penyakit tulang dan tulang rawan
Berbagai sindrom yang diturunkan seperti osteogenesis imperfect dan bermacam-
macam kondrodistrofi lain dihubungkan dengan PJT.1
Teratogen
Semua teratogen dapat mempengaruhi pertumbuhan janin.1
Penyakit vaskular
Khususnya bila disertai dengan preeklamsia superimposed, penyakit vascular kronis
umumnya mengebabkan PJT. Preeklamsia dapat menyebabkan gagal tumbuh dan merupakan
indicator beratnya PJT, khususnya ketika onset terjadi sebelum 37 minggu (Gainer, 2005;
Odegard, 2000; Xiong, 1999, dkk).1
Penyakit ginjal
Insufisiensi ginjal kronis sering diasosiasikan dengan hipertensi dan penyakit
vaskular. Nefropati kronis umumnya disertai dengan PJT (Cunningham dkk, 1990; Stettler
dan Cunningham, 1992).1
Hipoksia kronis
Ketika dipaparkan dengan lingkungan hipoksia kronis, beberapa janin memiliki berat
badan lahir yang menurun secara signifikan.1
Anemia
Pada kebanyakan kasus, anemia ibu tidak menyebabkan PJT. Pengecualian meliputi
penyakit sickle cell dan beberapa anemia lain yang diturunkan.1
Abnormalitas plasenta dan tali pusat
Sejumlah abnormalitas plasenta bisa menyebabkaan PJT. Abnormalitas tersebut
mencakup infark ekstensif, korioangioma, insersi tali pusat marginal atau velamentous,
plasenta sirkumvalata, atau plasenta previa. Kegagalan tumbuh pada kasus ini seringkali
dianggap karena insufisiensi uteroplasenta. Beberapa wanita dengan PJT yang tidak ddapat
dijelaskan sebabnya dan memiliki plasenta yang tampak normal memiliki penurunan aliran
darah uteroplasenta dibandingkan dengan janin yang tumbuh normal (Kotini dkk, 2003;
Lunell dan Nylund, 1992; Papageorghiou dkk, 2001).1
Janin multipel
Kehamilan dengan janin dua atau lebih lebih besar kemungkinan untuk mengalami
PJT pada satu atau lebih janin dibandingkan dengan bayi tunggal normal.1
Sindrom antifosfolipid
Dua kelas antibody antifosfolipid-antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus-
diasosiasikan dengan PJT (Lockwood dan Rand, 1994). Kehamilan pada wanita dengan
antibody ini seringkali buruk dan bisa melibatkan preeklamsia awitan awal dan kematian
janin (Levine dkk, 2002; Lockwood, 2002). Mekanisme patofisiologi tampaknya disebabkan
oleh agregasi trombosit ibu dan thrombosis plasenta.1
Kehamilan ekstrauterin
Jika plasenta berimplantasi di luar uterus, janin biasanya tumbuh terhambat. Beberapa
malformasi uterus juga dihubungkan dengan PJT.1
Tabel 1. Faktor Risiko Pertumbuhan Janin Terhambat
Placental insufficiency
Unexplained elevated maternal alpha-
fetoprotein level
Idiopathic
Preeclampsia
Chronic maternal disease
Cardiovascular disease
Diabetes
Hypertension
Abnormal placentation
Abruptio placentae
Placenta previa
Infarction
Circumvallate placenta
Placenta accretia
Hemangioma
Genetic disorders
Family history
Trisomy 13, 18 and 21
Triploidy
Turner's syndrome (some cases)
Malformations
Immunologic
Antiphospholipid syndrome
Infections
Cytomegalovirus
Rubella
Herpes
Toxoplasmosis
Metabolic
Phenylketonuria
Poor maternal nutrition
Substance abuse (smoking, alcohol,
drugs)
Multiple gestation
Low socioeconomic status
Klasifikasi
Pertumbuhan Janin Terhambat umumnya diklasifikasikan menjadi simetris ataupun
asimetris berdasarkan rasio lingkar kepala terhadap lingkar abdomen (HC/AC) dari hasil
pengukuran melalui USG. PJT yang dikategorikan sebagai simetris berukuran kecil secara
proporsional, sedangkan asimetris menggambarkan bahwa secara disproporsional, lingkar
abdomen janin lebih kecil dibandingkan dengan lingkar kepalanya.1
Adanya gangguan pada proses pertumbuhan yang timbul sejak awal kehamilan
(pajanan kimia, infeksi virusm atau aneuploidi) akan mengakibatkan baik penurunan jumlah
sel-sel maupun penurunan ukurannya. Hasilnya, akan terjadi reduksi dari lingkar kepala dan
juga lingkar abdomen secara proporsional, yang disebut sebagai restriksi pertumbuhan
simetris. 1
Pada sisi lain, gangguan pada akhir kehamilan, seperti adanya insufisiensi plasenta
yang disebabkan oleh hipertensi secara teoritis hanya mempengaruhi ukuran sel tertentu.
Insufisiensi plasenta akan menyebabkan berkurangnya transfer glukosa dan penyimpanannya
di hepar, oleh karena itu, lingkar abdomen janin yang menggambarkan ukuran hepar akan
berkurang dan mengakibatkan restriksi pertumbuhan asimetris.1
Walaupun generalisasi mengenai patofisiologi potensial PJT simetris versus PJT
asimetris menarik dari segi konseptual, ada bukti yang menunjukkan pola pertumbuhan janin
lebih kompleks dari itu. Nicolaides dan penulis lain (1991) menemukan bahwa janin dengan
aneuploidi umumnya memiliki ukuran kepala yang secara disproporsional besar dan secara
asimetris PJT. Kebanyakan bayi prematur dengan PJT karena preeklamsia dan insufisiensi
uteroplasenta lain menunjukkan tampilan PJT simetris (Salafia dan penulis lain, 1995).1
Diagnosis
Penting sekali dalam mengidentifikasi PJT untuk memastikan sedini mungkin usia
kehamilan, evaluasi kenaikan berat badan ibu, dan pengukuran tinggi fundus secara teratur
selama kehamilan. Dengan cara tersebut, banyak kasus PJT yang dapat terjangkau sejak awal.
Pada wanita dengan risiko tinggi, seperti wanita dengan riwayat kehamilan dengan PJT,
maka USG serial sangat dianjurkan. Walaupun begitu, diagnosa pasti dari PJT umumnya
tidak dapat dibuat hingga saat persalinan.1
a. Usia Kehamilan
Penentuan usia kehamilan yang akurat, sangat penting dalam mendiagnosa PJT.
Umumnya untuk menentukan usia kehamilan digunakan data hari pertama haid terakhir pada
wanita dengan siklus yang regular atau pengukuran dengan pemeriksaan USG.2,3
b. Pengukuran Tinggi Fundus
Pengukuran tinggi fundus yang dilakukan secara baik, merupakan cara yang
sederhana, aman, tidak mahal, dan cukup akurat digunakan sebagai metode deteksi dini bayi
dengan SGA, walaupun kemungkinan hanya dapat mengidentifikasi sekitar 40% dari semua
kejadian. Pada usia kehamilan 18-30 minggu, dikatakan bahwa tinggi fundus pada sentimeter
dapat disamakan dengan usia kehamilan dalam minggu, Apabila terdapat perbedaan 2-3 cm
dari taksiran, maka harus dicurigai terdapat gangguan pada pertumbuhan janin.1
c. Pemeriksaan Ultrasonografi
Pemeriksaan biometri janin dengan USG merupakan gold standard untuk mengukur
pertumbuhan janin, Umumnya pemeriksaan ini dilakukan pada trimester pertama untuk
menentukan usia kehamilan, dan pada minggu ke 32-34 untuk mengevaluasi pertumbuhan
janin.1
Dasar pengukuran yang digunakan umumnya adalah diameter biparietal, lingkar
kepala, lingkar abdomen, dan panjang femur. Indikator yang paling sensitif untuk
menentukan PJT simetris maupun asimetris adalah lingkar abdomen, yang memiliki
sensitifitas hingga 95%, jika hasil pengukuran dibawah persentil 2.5%.1
Indikator penting lainnya dari pemeriksaan USG adalah pengukuran estimasi jumlah
cairan amnion. Penurunan volume dari cairan amnion sangat dekat hubungannya dengan PJT.
Morbiditas yang signifikan ditemukan pada kehamilan dengan indeks cairan amnion dibawah
5 cm.1
d. Doppler Velocimetry
Digunakan untuk mengidentifikasi keadaan abnormal dari aliran darah pada arteri
umbilikalis, dikarakteristikkan oleh tidak adanya atau terbaliknya arah aliran end diastolic
yang berasosiasi dengan pertumbuhan janin.1
Tatalaksana
Ketika dicurigai terjadi keterlambatan pertumbuhan janin, harus dilakukan usaha-
usaha untuk menegakkan diagnosis, menilai kondisi janin, dan kemungkinan kelainan lain.1
manajemen janin dengan hambatan perkembangan memiliki penyesuaian individu.2 Tujuan
dari managemen PJT adalah melahirkan bayi dalam kondisi fisiologis terbaik dan risiko
minimal terhadap ibu karena tidak ada terapi yang efektif.3 Terlambat tumbuh mendekati
kelahiran lebih mudah diatasi namun sering kali terlewatkan. Miller, dkk (208) menyatakan,
meskipun hambatan pertumbuhan sebelum usia 34 minggu dikenali, tetap saja bukan hal
yang mudah untuk diterapi. Kordosentesis memberikan kariotyping yang cepat untuk
mendeteksi aneuploid letal, yang dapat mempermudah penatalaksanaan. Sebuah riset oleh
thornton, dkk (2004) menunjukkan bahwa pemilihan antara menunda kelahiran atau segera
melahirkan bayi preterm tidak mengurangi angka mortalitas dan morbiditas bayi secara
signifikan, meskipun data menunjukkan bayi yang ditunda kelahirannya menunjukkan angka
kematian dan kecacatan yang lebih rendah.
a. Petumbuhan janin terhambat mendekati aterm
Persalinan segera merupakan pilihan terbaik untuk janin yang mendekati atau yang
cukup usia kehamilan. Pada kenyataannya klinisi merekomendasikan persalinan pada usia ≥
34 minggu jika terdapat oligohidramnion. Dengan menilai denyut jantung janin, dapat
dilakukan partus pervaginam. Beberapa janin tidak dapat mentolerir persalinan pervaginam,
dan oleh karena itu dipilih section cesarean.
b. Pertumbuhan janin terhambat preterm
Ketika pertumbuhan janin terhambat didiagnosis pada janin yang secara anatomis
normal dan berusia mendekati 34 minggu, cairan amnion dan kondisi janin normal, cukup
diperlukan observasi. Selama pertumbuhan janin terus berlangsung, dan kondisi kesehatan
janin normal, kehamilan dapat diteruskan sampai maturitas janin tercapai. Pada beberapa
kasus dapat dilakukan amniosintesis untuk menilai maturitas paru – paru. Meskipun adanya
oligohidramnion berkaitan dengan kegagalan perkembangan janin, volume cairan amnion
normal tidak mencegah hambatan pertumbuhan janin.
Ketika gangguan pertumbuhan janin terjadi saat masih jauh dari usia aterm, tidak ada
terapi khusus yang dapat memperbaiki kondisi ini. Meskipun tidak terbukti mempercepat
perkembangan janin, istirahat total meningkatkan aliran darah uterus.1,2 Dan kini banyak
klinisi yang menyarankan program istirahat yang dimodifikasi. Suplemen nutrisi, terapi
oksigen, obat antihipetensi, heparin dan aspirin telah terbukti tidak efektif. (ACOG, 2000)
Persalinan preterm diindikasikan pada bayi dengan hambatan perkembangan yang
menunjukkan abnormalitas tes fungsi janin dan disarankan bila bayi tidak tumbuh.2
Pada kebanyakan kasus yang terdiagnosa mendekati aterm, tidak ada etiologi khusus
atau terapi spesifik yang dapat mengatasi. Keputusan manajemen sepenuhnya tergantung dari
penilaian klinisi mengenai resiko kematian janin bila meneruskan kehamilan dan resiko
persalinan preterm.1
Beberapa pemeriksaan seperti nonstress test, profil biofisik, dan velosimetri arteri
umbilikalis tidak dapat mencegah risiko defek neurologis jangka panjang. Profil biofisik
merupakan penilaian kesehatan janin dengan kombinasi dari nonstress test dengan 4
parameter USG (volume cairan amnion, pergerakan pernapasan, pergerakan tubuh dan tonus
otot).2 Namun data mengenai berat lahir dan usia kehamilan memberikan gambaran outcome
selama 2 tahun pada bayi dengan hambatan perkembangan.1
Gambar 2. Algoritma manajemen PJT
Beberapa protokol telah digunakan untuk monitoring antenatal pada bayi PJT dengan
pemeriksaan utama yaitu nonstress test setiap minggu. Modalitas tambahan dapat berupa
perkiraan volume cairan amnion, profil biofisik, dan atau Doppler. Salah satu protokol yaitu
protokol Kramer dan Weiner. Protokol ini bergantung pada penggunaan Doppler karena
temuan abnormalitas Doppler berat dapat mendahului abnormalitas frekuensi denyut jantung
beberapa minggu.3
Persalinan
Perkembangan janin terhambat paling sering disebabkan oleh insufisiensi akibat
kegegalan perfusi maternal, ablasi plasenta, atau keduanya. Jika terdapat kondisi demikian,
akan diperberat dengan persalinan. Tidak kalah pentingnya, berkurangnya cairan amnion
meningkatkan kemungkinan terjadinya kompresi plasenta selama persalinan. Oleh karena itu,
wanita yang dicurigai memiliki janin dengan keterlambatan perkembangan memerlukan
monitoring intrapartum lebih ketat.1
Risiko mengalami hipoksia atau aspirasi mekonium juga meningkat. Janin yang
mengalami hambatan perkembangan berat memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan
metabolik seperti hipoglikemia, polisitemia, dan hiperviskositas. Bayi dengan berat lahir
rendah memiliki risiko lebih tinggi mengalami diabilitas motorik dan neurologic. Persalinan
harus dilakukan di rumah sakit yang mampu menangani berbagai morbiditas berkaitan
dengan hamabatan perkembangan janin seperti asfiksia, aspirasi mekonium, sepsis,
hipoglikemia dan malformasi.2
Hasil akhir
Bayi dengan hambatan perkembangan intrauterin memiliki kecepatan pertumbuhan
yang normal ketika bayi, anak- anak dan remaja, meskipun penelitian menunjukkan 1/3 dari
mereka tidak dapat mencapai tinggi normal.2 Bayi dengan berat lahir rendah memiliki
hubungan dengan perkembangan diabetes melitus tipe 2 ketika dewasa. Smith, dkk (2001)
menemukan bahwa komplikasi kehamilan yang menghasilkan bayi dengan berat lahir rendah
meningkatkan resiko kejadian serangan jantung pada ibu.1
Pencegahan
Pencegahan hambatan perkembangan pada janin telah menjadi target penelitian yang
potensial. Telah dilakukan percobaan dengan merubah rasio tromboksan-prostasiklin dengan
memberikan aspirin dengan atau tanpa dipiridamol pada wanita dengan bayi PJT. Meskipun
begitu sampai kini belum terbukti penggunaan aspirin dapat mencegah terjadinya PJT.3
Infeksi Intrauterin
Definisi Umum
Infeksi intrauterin (IIU) adalah infeksi yang terjadi di dalam rahim pada kehamilan.
Infeksi bakteri dalam rahim dapat terjadi di antara jaringan maternal dan jaringan janin (di
dalam ruang koriodesidual), di dalam membrane janin (korioamnionitis), di plasenta, di
dalam cairan amnion (amnionitis), di tali pusat (funisitis), atau di janin itu sendiri. Infeksi
intrauterine di dalam literature terutama dikaitkan dengan infeksi intraamnion (IIA).
Berdasarkan ada atau tidaknya tanda dan gejala klinis dan hasil dari uji diagnostik, IIU dapat
dibagi menjadi subgrup infeksi klinis atau subklinis, dan/atau korioamnionitis histologik
(yang dapat bersifat noninfeksi).4,5
Gambar 3. Lokasi
potensial infeksi bakteri di
dalam uterus
Sumber: Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine infections and preterm
delivery. N Engl J Med. 2000; 342:1500-1507.
Epidemiologi
Insiden IIU yang dilaporkan umumnya bervariasi namun semuanya menunjukkan
adanya penurunan kejadian seiring tuanya usia kehamilan. Variasi dari insiden diakibatkan
oleh beberapa faktor, diantaranya diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan beberapa
faktor risiko populasi dan perbedaan kriteria diagnostik yang dipakai (klinik versus
histologik).4
Prevalensi IIU paling tinggi pada kelahiran prematur. Salah satu studi menunjukkan
insiden IIU pada wanita dengan ketuban pecah dini (KPD) pada usia kehamilan di bawah 27
minggu, 28 sampai 36 minggu, dan kehamilan aterm adalah berturut-turut 41%, 15%, dan
2%. IIU dijumpai pada sepertiga kasus kelahiran prematur dengan selaput ketuban utuh dan
40% kasus ketuban pecah dini prematur yang datang dengan kontraksi.1,4
Etiologi
Pada wanita yang menjalani persalinan prematur spontan dengan ketuban yang utuh,
bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi intrauterin adalah Ureaplasma urealyticum,
Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis, peptostreptokokus, dan spesies bakterioides. Itu
semua adalah organism vagina yang virulensinya relatif rendah. Bakteri yang paling sering
diasosiasikan dengan korioamnionitis dan infeksi janin setelah ketuban pecah adalah
Neisseria gonorrhea dan Chlamydia trachomatis sedangkan streptokokus grup B dan
Escherechia coli hanya ditemukan kadang-kadang.1,6
Faktor Risiko
Semua faktor yang meningkatkan risiko pajanan berkepanjangan ketuban janin
dan/atau rongga uterus terhadap mikroba dari vagina akan meningkatkan risiko IAI. Faktor-
faktor ini meliputi nuliparitas (karena nuliparitas akan meningkatkan lama waktu persalinan),
persalinan prematur, ketuban pecah dini, pemeriksaan vagina dengan jari, kateter intrauterin,
dan infeksi urogenital (terutama infeksi vagina atau serviks, termasuk infeksi menular seksual
(IMS). Terdapat bukti bahwa mekonium di dalam cairan amnion juga meningkatkan risiko
infeksi ibu dan/atau korioamnionitis, mungkin dengan cara menekan respon imun ibu atau
dengan mengganggu komposisi cairan ketuban dengan cara menurunkan pertahanannya
terhadap mikroba.6
Terdapat faktor risiko tambahan seperti penyakit kronis ibu, status nutrisi ibu, dan
stres emosional, semua hal tersebut bisa meningkatkan kerentanan wanita terhadap infeksi
dengan cara mempengaruhi fungsi sistem imun. Hubungan pasti antara faktor-faktor risiko
tersebut, imunitas ibu, dan IAI, merupakan hal yang kompleks dan masih diteliti. Ketika
membicarakan faktor risiko, penting untuk diingat bahwa persalinan prematur dan ketuban
pecah dini prematur tidak hanya dapat menjadi faktor risiko, namun juga dapat menjadi
penyebab infeksi intrauterin.6
Patofisiologi dan Patogenesis
Rute paling sering yang menyebabkan infeksi intrauterin adalah bakteri dari traktus
genitalia bawah. Rute ini terjadi paling sering jika ada ketuban pecah, namun juga bisa terjadi
pada ketuban yang intak. Infeksi intraamnion biasanya disebabkan oleh banyak bakteri
(polimikroba) dan mayoritas kasus disebabkan oleh kombinasi organisme aerob dan anaerob.
Patogen yang paling sering diisolasi dari cairan ketuban pasien dengan IIA adalah bakteri
yang merupakan flora vagina, termasuk Ureaplasma urealyticum, Gardnerella vaginalis,
Bacterioides bividus, streptokokus grup A, B, dan D, termasuk infeksi hematohen atau
transplasenta, infeksi retrograde dari pelvis, dan infeksi transuterin yang disebabkan oleh
prosedur medis, seperti amniosentesis, pengambilan sampel dari vili korion, namun rute-rute
tersebut jarang menjadi rute IIU.6
Ketika bakteri-bakteri tersebut berkolonisasi di dalam rongga uterus, bakteri tidak
hanya dapat menginfeksi namun juga dapat melepaskan endotoksin, yang, dalam jumlah yang
cukup, dipercaya menginisiasi respon inflamasi ibu dan janin yang bisa menghasilkan
ketuban pecah dini (KPD), persalinan prematur, dan kerusakan neurologik pada janin. Secara
singkat, respon inflamasi ini dipercaya berlanjut sebagai berikut: endotoksin bakteri memicu
pelepasan sitokin-sitokin pada jaringan ibu dan janin yang menyebabkan pelepasan sitokin-
sitokin lain, migrasi leukosit, dan pelepasan prostagrandin dari miometrium dan ketuban.
Pelepasan prostaglandin ini, yang dapat menyebabkan ketuban pecah dan/atau inisiasi
kontraksi uterus, dipercaya merupakan mekanisme (atau salah satu mekanisme) IIA yang
merupakan penyebab langsung persalinan premature. Pada wanita dengan kultur ketuban
positif, ditemukan interleukin-6 dalam konsentrasi yang besar. Penemuan ini bisa
menjelaskan mengapa wanita dengan kultur cairan ketuban yang negative namun memiliki
konsentrasi sitokin yang tinggi di dalam cairan ketuban resisten terhadap obat-obatan
tokolisis. Rupanya, wanita-wanita ini sering memiliki infeksi pada korioamnion, lokasi
dimana kultur tidak mungkin untuk dilakukan sebelum persalinan. Gambar 4 menyediakan
penjelasan hubungan antara IIA, persalinan prematur, ketuban pecah dini prematur, dan
komplikasi ibu dan janin, termasuk palsi serebral.
Gambar 4. Patogenesis infeksi intrauterin
Sumber: Fahey JO. Clinical management of intra-amniotic infection and chorioamnionitis: a
review of literature. J Midwifery Womens Health. 2008;53(3):227-235.
Tanda dan Gejala Klinis
Diagnosis IAI umumnya dibuat berdasarkan gejala klinis, khususnya pada ibu yang
demam tanpa ada sebab yang jelas. Gejala lainnya termasuk takikardia ibu dan janin, nyeri
pada uterus, cairan amnion yang purulen atau berbau tidak sedap.6
Daftar Pustaka
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap L, Wenstrom KD. Williams
obstetrics. Ed 22. New York: McGraw-Hill. 2007.
2. Peleg, David., Kennedy, CM., Hunter, SK. Intrauterine growth restriction: identification
and management. Diunduh dari: http://www.aafp.org/afp/980800ap/peleg.html (29 Maret
2011)
3. Rose, Michael. Fetal growth restriction. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com
/article/261226-overview (29 Maret 2011)
4. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine infections and preterm delivery. N
Engl J Med. 2000; 342:1500-1507.
5. Tita ATN, Ramin SM. Intraamniotic infections (chorioamnionitis). UpToDate 18.2. Last
literature review version January 28, 2010.
6. Sumber: Fahey JO. Clinical management of intra-amniotic infection and
chorioamnionitis: a review of literature. J Midwifery Womens Health. 2008;53(3):227-
235.