18
1 PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA ALAM SUMATERA UTARA Tuban Wiyoso, Ayi Sudrajat, Hendri Irwandi dan Manat Panggabean Stasiun Klimatologi Sampali I. PENDAHULUAN Iklim adalah kondisi cuaca rata-rata pada suatu daerah, sedangkan cuaca adalah proses fisika atmosfer, yang unsur-unsurnya terdiri dari hujan, awan, suhu, kelembaban, angin, tekanan udara dan penguapan. Perubahan iklim menunjuk adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung maupun tak langsung oleh kegiatan manusia maupun secara natural, yang merubah komposisi atmosfer secara global dan juga variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu. Fakta-fakta saat ini menunjukkan temperatur global meningkat 0.74°C selama abad 20, jumlah CO2 di atmosfer meningkat, meningkatnya presipitasi tapi penyebarannya tidak merata, kenaikan permukaan laut, pengurangan penutupan salju, gletser mencair, benua arktik menghangat dan sebagainya. Kondisi iklim bumi sangat ditentukan oleh kondisi atmosfer bumi karena peristiwa cuaca terjadi di atmosfer. Atmosfer adalah adalah lapisan gas yang melingkupi sebuah planet , termasuk bumi , dari permukaan planet tersebut sampai jauh di luar angkasa. Di bumi, atmosfer terdapat dari ketinggian 0 km di atas permukaan tanah, sampai dengan sekitar 560 km dari atas permukaan bumi. Atmosfer bumi terdiri atas lapisan troposfer, stratosfer, mesosfer dan termosfer serta eksosfer. Sedangkan peristiwa cuaca terdapat pada lapisan troposfer. Sebagai ilustrasi bisa dilihat pada gambar 1. Gambar 1. Lapisan atmosfer bumi (troposfer, stratosfer, mesosfer dan termosfer serta eksosfer.

Perubahan Iklim Dan Bencanaalam

  • Upload
    griffin

  • View
    40

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

o

Citation preview

  • 1

    PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA ALAM SUMATERA UTARA

    Tuban Wiyoso, Ayi Sudrajat, Hendri Irwandi dan Manat Panggabean Stasiun Klimatologi Sampali

    I. PENDAHULUAN

    Iklim adalah kondisi cuaca rata-rata pada suatu daerah, sedangkan cuaca adalah proses fisika atmosfer, yang unsur-unsurnya terdiri dari hujan, awan, suhu, kelembaban, angin, tekanan udara dan penguapan. Perubahan iklim menunjuk adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung maupun tak langsung oleh kegiatan manusia maupun secara natural, yang merubah komposisi atmosfer secara global dan juga variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu.

    Fakta-fakta saat ini menunjukkan temperatur global meningkat 0.74C selama abad 20, jumlah CO2 di atmosfer meningkat, meningkatnya presipitasi tapi penyebarannya tidak merata, kenaikan permukaan laut, pengurangan penutupan salju, gletser mencair, benua arktik menghangat dan sebagainya. Kondisi iklim bumi sangat ditentukan oleh kondisi atmosfer bumi karena peristiwa cuaca terjadi di atmosfer. Atmosfer adalah adalah lapisan gas yang melingkupi sebuah planet, termasuk bumi, dari permukaan planet tersebut sampai jauh di luar angkasa. Di bumi, atmosfer terdapat dari ketinggian 0 km di atas permukaan tanah, sampai dengan sekitar 560 km dari atas permukaan bumi. Atmosfer bumi terdiri atas lapisan troposfer, stratosfer, mesosfer dan termosfer serta eksosfer. Sedangkan peristiwa cuaca terdapat pada lapisan troposfer. Sebagai ilustrasi bisa dilihat pada gambar 1.

    Gambar 1. Lapisan atmosfer bumi (troposfer, stratosfer, mesosfer dan termosfer serta eksosfer.

  • 2

    Adapun komposisi gas pada atmosfer bisa dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

    Tabel 1. Komposisi gas pada atmosfer bumi.

    Bencana alam adalah suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan sebagai akibat alam, ulah manusia atau kedua-duanya yang menimbulkan korban penderitaan manusia kerugian harta benda, kerusakan lingkungan dan kerusakan sarana dan prasarana. Bencana alam contohnya gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, angin kencang, tanah longsor dan lain-lain.

    Dalam tulisan akan dibahas data-data terkait dengan perubahan iklim dan bencana alam. Data bersumber dari lembaga-lembaga dunia yang terkait dengan perubahan iklim serta data hasil pengamatan dan analisa BMKG Sumatera Utara ditambah dari instansi terkait. Data yang disajikan adalah data hasil pengamatan maupun data simulasi atau model. Dengan tujuan mengetahui dampak perubahan iklim terhadap bencana alam sehingga antisipasi ke depan, pembangunan harus tetap memperhitungkan dampak perubanan iklim dan peluang terjadinya bencana alam.

    Nitrogen ( N2 ) 78.084 Uap Air ( H2O ) 0.04Oxygen ( O2 ) 20.948 Ozone ( O3 ) 0.12x10-4Argon ( Ar ) 0.934 Sulfur Dioxide ( SO2 ) * 0.001x10-4

    Carbon Dioxide ( CO2 ) 18.18x10-4 Nitrogen Dioxide ( NO2 ) * 0.001x10-4Neon ( Ne ) 18.18x10-4 Ammonia ( NH3 ) * 0.004x10-4

    Helium ( He ) 5.24x10-4 Nitric Oxide ( NO ) * 0.0005x10-4Krypto ( Kr ) 1.24x10-4 Hydrogen Sulfide ( H2S ) * 0.0005x10-4Xenon ( Xe ) 0.089x10-4 HNO3 sangat kecil

    Hydrogen ( H2 ) 0.5x10-4Methane ( CH4 ) 1.5x10-4

    Nitrogen Oxide ( N2O ) * 0.27x10-4Carbon Monoxide ( CO ) * 0.19x10-4

    KOMPOSISI GAS DI ATMOSFER (Sumber: USA Standard Atmosphere, 1976)

    Catatan : * Harga konsentrasi di permukaan Bumi

    GAS PERMANENT PERSEN (%) GAS TIDAK PERMANENT PERSEN (%)

  • 3

    II. PEMANASAN GLOBAL/PERUBAHAN IKLIM.

    2.1. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca.

    Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa pembangunan adalah suatu upaya perubahan yang dilandaskan pada suatu pilihan pandangan tertentu yang tidak bebas dari pengalaman (sejarah), realitas keadaan yang sedang dihadapi, serta kepentingan pihak-pihak yang membuat keputusan pembangunan. Karena banyaknya kepentingan maka terkadang dampaknya kurang diperhitungkan. Aktivitas manusia dalam pembangunan sering menggunakan energi yang bersumber dari fosil, maupun energi lain yang menghasilkan gas emisi yang dapat mempengaruhi komposisi atmosfer. Gas rumah kaca terdiri dari CO2, CH4, NO2, H2O dan lain-lain. Salah satu gas tersebut adalah CO2. Gambar 2 menunjukkan peningkatan konsentrasi CO2 di beberapa tempat. CO2 adalah gas rumah kaca dimana mempunyai sifat seperti rumah kaca yaitu akan melangsungkan gelombang pendek dari matahari namun memantulkan atau menyerap gelombang panas dari radiasi bumi. Sebagai ilustrasi bisa dilihat pada gambar 3.

    Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa CO2 telah meningkat cukup tajam dari tahun ke tahun

    Gambar 2. Pengukuran CO2 Atmosfer di Mauna LOA

    Gambar 3. Proses terjadinya efek rum ah kaca.

  • 4

    Sumber-sumber gas rumah kaca bisa secara alami maupun karena hasil aktivitas manusia, namun peningkatan gas rumah kaca ini umumnya akibat aktivitas manusia. Pada tabel 2 menunjukkan sumber-sumber gas rumah kaca, baik di Indonesia maupun Dunia.

    Tabel 2. Gas rumah kaca di Indonesia dan Dunia (ALGAS,1997 dan UNEP, 1989)

    Indonesia Dunia

    Sektor Persentase dari Total Emisi GRK (%)

    Kehutanan & Tata Guna Lahan 14

    Energi dan Transport 49

    Pertanian 13

    Proses Industri 24

    Total 100,0

    Di Indonesia sektor kehutanan dan tataguna lahan, tranportasi dan industri merupakan sektor yang cukup besar dalam menyumbang emisi gas rumah kaca. Untuk dunia yang terbesar adalah dari sektor energi transpotasi dan industri.

    Sedangkan gambar 4 menunjukkan negara-negara penghasil gas rumah kaca, urutan pertama adalah Amerika Serikat, menyusul Uni Sovyet, China, Brazil, India, Jepang, sedangkan Indonesia berada pada urutan ke 7. Sedangkan Jerman, Inggris, Meksiko, Kanada masih di bawah Indonesia.

    Sektor Emisi GRK Ekuivalen CO2 (Gg)

    Persentase dari Total Emisi GRK (%)

    Kehutanan & Tata Guna Lahan

    315.290,19 42,5

    Energi dan Transport 303.829,95 40,9

    Pertanian 99.515,24 13,4

    Proses Industri 17.900,50 2,4

    Limbah 6.039,39 0,8

    Total 742.575,26 100,0

  • 5

    Gambar 4. Negara negara penghasil emisi gas rumah kaca

    2.2. Pemanasan global

    Ada beberapa skenario pemanasan global dikaitkan dengan perkembangan sosial ekonomi serta tingkat efisiensi pemanfaatan energi. Seperti terlihat dalam gambar 5 yang bersumber dari IPCC (Intergovermental Panel of Climate Change) yang disebut SRES. Dimana ada 6 skenario, dari kesemua skenario tersebut menunjukkan bahwa dalam 100 tahun mendatang suhu bumi akan meningkat 0.5 hingga 4 C. Pada dasarnya semakin efisien dan semakin rendah pemanfaat energi maka akan semakin baik kondisi suhu bumi atau laju peningkatan bisa diperlambat. Dan hampir semua simulasi maupun model AOGCM Projection temperatur dalam 100 tahun mendatang menunjukkan suhu bumi akan meningkat antara antara 0.5 sampai 7 C. Hal ini bisa dilihat pada gambar 6.

  • 6

    Gambar 5. Skenario dari SRES Proyeksi peningkatan temperatur hingga 2100

    Gambar 6. Proyeksi AOGCM Untuk peningkatan suhu permukaan hingga 2090

  • 7

    2.3. Perubahan Iklim

    Pemanasan global menunjukkan telah terjadi perubahan iklim, berikut akan dibahas unsur iklim lainnya yang diduga juga berubah. Presipitasi juga berubah sebagian ada yang meningkat dan adapula yang mengalami penurunan. Di Australia, Asia dan Europa umumnya meningkat sedangkan di Afrika dan Amerika Selatan banyak yang mengalami penurunan. Peningkatan permukaan laut bisa mencapai 100-700 mm. Di Indonesia peningkatan mencapai 500-600 mm. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 7 dan 8.

    Gambar 7. Trend curah hujan tahunan di seluruh dunia.

    Gambar 8. Pola peningkatan permukaan laut 2090 (mm)

    100 700

  • 8

    III. KONDISI IKLIM SUMATERA UTARA

    3.1. Suhu Udara

    Setelah membahas data-data perubahan iklim secara global selanjutnya akan disajikan data dan fakta di Sumatera Utara. Hasil pengamatan suhu udara di Sampali yang mewakili panatai timur Sumatera Utara dan Sibolga yang mewakili pantai barat Sumatera Utara menunjukkan bahwa kecenderungan suhu terus meningkat kurang lebih 0.5 C dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Hal ini seiring dengan peningkatan suhu global yang juga meningkat. Kondisi ini bisa lebih jelas terlihat pada gambar 9.

    Gambar 9. Trend peningkatan suhu udara di Sampali dan Sibolga

  • 9

    3.2. Curah Hujan

    3.2.1. Rata-rata Curah hujan Disamping suhu udara, curah hujan juga menunjukkan adanya kecenderungan

    meningkat, disini disajikan tiga grafik yaitu Polonia, Sampali dan Sibolga untuk perbandingan rata-rata 30 tahun dan 5 tahun terakhir. Pada curah hujan 5 tahun terakhir cenderung meningkat pada bulan-bulan Juli hingga Desember kondisi ini sejalan dengan pergerakan matahari dari Utara ke Selatan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 10.

    Gambar 10. Curah hujan rata-rata 30 th dan 5 th terakhir Sampali, Polonia dan Sibolga

    CURAHA HUJAN RATA-RATA 30 DAN 5 TAHUN TERAKHIR SAMPALI

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    350

    J F M A M J J A S O N DB ULA N

    CHRATA-RATA 30 TH CHRATA-RATA 5 TH TERAKHIR

    RATA-RATA CURAH HUJAN 30 DAN 5 TAHUN TERAKHIR POLONIA

    050

    100150200250300350400450

    J F M A M J J A S O N D

    BULAN

    MM

    CHRATA-RATA 30TH CHRATA-RATA5TH TERAKHIR

    RATA-RATA CURAH HUJAN 30 DAN 5 TAHUN TERAKHIR SIBOLGA

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    600

    J F M A M J J A S O N D

    BULAN

    MM

    CHRATA-RATA 30 TAHUN CH RATA-RATA 5 TH TERAKHIR

  • 10

    3.2.2. Trend Curah hujan harian Maximum

    Dari data Stasiun Klimatologi Sampali sebagai sample stasiun berada di wilayah dataran rendah (pesisir timur sumut), menujukkan kecenderungan peningkatan intensitas hujan harian maximum baik pada bulan Pebruari (kemarau) maupun pada bulan Oktober (musim hujan), sehingga kondisi demikian juga potensi banjirpun cenderung meningkat.

    Gambar 11. Trend Curah hujan harian maximum februari dan Oktober Sampali 1966-2008.

  • 11

    3.2.3. Permulaan musim hujan dan Kemarau

    Dari hasil analisis permulaan musim kemarau dan musim hujan diperoleh hasil sebagai berikut :

    Analisis Permulaan Musim di Stasiun Klimatologi Sampali

    Ket. Warna Merah = musim kemarau Warna Hijau = musim hujan

    Dari gambar di atas terlihat bahwa di Stasiun Klimatologi Sampali ada perubahan pola awal musim hujan dan kemarau yang terjadi antara Normalnya dengan keadaan lima tahun terakhir, terlihat bahwa adanya pergeseran musim hujan yang terjadi pada lima tahun terakhir menjadi lebih awal dari normalnya. Normalnya musim hujan mulai pada dekade 2 bulan Agustus menjadi bulan Juni dekade 1. Kemudian adanya musim hujan yang lebih panjang pada lima tahun terakhir (22 dekade) dari normalnya (19 dekade)

    Analisis Permulaan Musim di Stasiun Meteo Maritim Belawan

    Ket. Warna Merah = musim kemarau Warna Hijau = musim hujan

    Dari gambar di atas terlihat bahwa di Stasiun Meteo Maritim Belawan ada perubahan pola awal musim hujan dan kemarau yang terjadi antara Normalnya dengan keadaan lima tahun terakhir, terlihat bahwa adanya pergeseran musim hujan yang terjadi pada lima tahun terakhir menjadi lebih awal dari normalnya, normalnya musim hujan mulai pada bulan Agustus bergeser menjadi bulan Mei. Kemudian adanya musim hujan yang lebih panjang pada lima tahun terakhir (24 dekade) dari normalnya (20 dekade).

    Jan Feb Mar Apr May Jun DecAug Sep Oct NovJul

    Jan Feb Mar Apr May Jun DecAug Sep Oct NovJul

  • 12

    3.2.4. DrySpell

    Dry spell merupakan istilah kondsi tidak terjadi hujan secara berturut-turut, Dry spell ringan bila suatu lokasi tidak terjadi hujan berturut-turutselama 7-10 hari, Dryspell sedang bila tidak terjadi hujan berturut-turut 8-15 hari, dry spell ekstrim bila tidak terjadi hujan berturut turut > 15 hari. Dari sampel Stasiun Klimatoligi Sampali menunjukkan bahwa frekuensi dry spell baik ringan, sedang atau ekstrim menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun.

    Ploting data dry spell di Sampali 1966-2008

    Gambar 12. Ploting dryspell Staklim Sampali tahun 1966-2008.

  • 13

    3.3. Penyebaran Iklim

    Gambar. 13 Peta tipe iklim dan DAS Sumatera Utara

    Berdasarkan Oldeman di Sumatera Utara terbagi menjadi 5 tipe yaitu tipe A, B1, D1, C1, dan E2. Adapun pembagian tipe Oldeman berdasarkan kondisi curah hujan rata-rata bulanan, disebut bulan basah jika curah hujan > 200 mm dan bulan kering bila curah hujan kerang dari 100 mm serta bulan lembab bila curah hujan antara 100 < CH< 200 mm. Lebih lanjut bisa dilihat pada tabel berikut ini.

    Tabel 3. Tipe Iklim Oldeman Sumatera Utara

    No Type Bulan Basah Bulan Kering 1 2 3 4 5

    A B1 C1 D1 E2

    9 7-9 5-6 3-4

  • 14

    IV. PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA ALAM SUMATERA UTARA

    Beberapa jenis bencana alam yang disebabkan oleh iklim/cuaca baik langsung maupun tak langsung antara lain banjir, kekeringan, tanah longsor, angin kencang, penyebaran penyakit dan lain-lain.

    4.1. Banjir.

    Tabel 4. Beberapa catatan banjir besar di Sumatera Utara 1994-2007

    No Bencana Lokasi/tanggal

    1 Banjir Bandang/ longsor

    Sembahe, 22 Nopember 1994

    2 Banjir / Longsor

    Saipar Dolok Hole, Mei 1995

    3 Banjir Nias, 31 Juli 2001 dan 2 Januari 2003

    4 Banjir Medan,Asahan, D serdang 28 Des 2001

    5 Banjir Medan 13 Januari 2002

    6 Banjir Bandang/ Longsor

    Bahorok 2 Nopember 2003

    7 Banjir Bandang

    Langkat 23/24 Desember 2006

    8 Banjir Bandang/ longsor

    Madina 24 Desember 2006

    9 Banjir Madina 22 Juli 2007

    Beberapa fakta menunjukkan bahwa kejadian banjir besar di wilayah Sumatera Utara terjadi pada saat hujan lebat, dan sebelumnya juga telah terjadi hujan, intensitas hujan harian pada saat banjir mencapai 100 mm/hari. Sebagai contoh adalah kejadian banjir 2001/2002, menunjukkan bahwa kejadian banjir terjadi pada saat curah hujan diatas 100 mm, analisis neraca air lengkap terlihat pada gambar berikut.

  • 15

    Gambar 14. Analisis neraca air harian Wilayah D1 Deli Serdang tahun Des 2001/ Jan 2002.

    Gambar 15. Peta rawan banjir, longsor dan kekeringan di Sumatera Utara

    4.2. Longsor

    Beberapa faktor yang mempengaruhi longsor, antara lain kondisi batuan, kemiringan lereng, vegetasi penutup lahan serta curah hujan. Di antara faktor tersebut yang menjadi pemicu utama adalah curah hujan. Beberapa wilayah di Sumatera Utara mempunyai tingkat kerawanan longsor yang tinggi, sehingga dengan dipicu hujan yang terus menerus pada musim hujan dapat mengakibatkan longsor. Dengan adanya kecenderungan peningkatan curah hujan maka kewaspadaan terhadap bahaya longsor perlu ditingkatkan.

    PETA RAWAN BANJIR DAN LONGSOR DAN KEBAKARAN HUTAN/ LAHAN DI SUMATERA UTARA BMGBMG

    Banjir longsor Dan Kekeringan

    -100

    -50

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27

    %/mm

    tanggal

    JAN02HL

    Chujan Gwater DST ST

  • 16

    4.3. Kekeringan

    Dengan meningkatnya suhu udara rata-rata maka kewaspadaan terhadap kekeringan agar tetap terus ditingkatkan, meskipun tingkat dryspell semakin menurun. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa kekeringan yang mengakibatkan puso masih sering terjadi, disamping itu kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahun terjadi. Berikut contoh kejadian kekeringan yang mengakibatkan puso ataupun kebakaran hutan dan lahan.

    Gambar 16. Kekeringan di Sumut tahun 2004 (sumber : Diperta Sumut) dan Hotspot (sumber NOAA).

    4.4. Kepekaan Vektor penyakit

    Pemanasan global juga berdampak pada perkembangan serangga khususnya nyamuk sebagai vektor penyakit seperti malaria dan demam berdarah. Menurut WHO ada banyak penyakit yang peka terhadap pemanasan global seperti tertera pada tabel 3.

    Tabel 5. Kepekaan penyakit terhadap pemanasan Global (WHO Task Group Report 1990 (WHO/PEP/90/10/1990) dalam Ridad Agus, 2005

    Jenis Penyakit Derajat kepekaan

    Malaria Schistosomiasis Filariasis Onchocerciasis Leismaniasis Dracunculiasis Penyakit tidur Afrika DBD dengue Demam kuning

    3 2 1 1 1 0 1 2 1 1

    Keterangan: Terkena: Puso

    (1422)(435)

    (1397)

    (21)

    (105)(425)

    (209)

    (130)

    0

    (40)

    kilometers50

    100

    Serdang BedagaiLangkat

    D a i r i

    Pak-pak barat

    Kota Pd. Sidimpuan

    Tapanuli Selatan

    Toba Samosir

    Asahan

    Deli Serdang

    Kota Medan

    Kota Teb.Tinggi

    Humbang Hasundutan

    0N

    1N

    2N

    3N

    96E

    4N

    101E

    100E

    99E

    98E

    97E

    Labuhan Batu

    K a r o

    Nias Selatan

    N i a s

    Tapanuli Utara

    Samosir

    Mandailing Natal

    Kota Binjai

    Simalungun

    Tapanuli Tengah

    Kota Sibolga

  • 17

    Ensefalitis Japan Ensefalitis St. Louis Arbovirus lain

    1 1

    Keterangan : Score 3 = sangat terpengaruh 0 = tidak terpengaruh

    4.5. Kualiatas air hujan

    Di samping itu pengamatan kualitas air hujan di Sumatera Utara juga menunjukkan kecenderungan asam atau nilai PH sudah di bawah 5.5. Hal ini perlu diwaspadai bahwa aktivitas industri, transportasi dan rumah tangga yang menggunakan bahan bakar fosil sudah perlu dievaluasi agar hujan asam yang berbahaya tidak terjadi di Sumatera Utara gambar 12 menunjukkan grafik PH rata-rata tahunan di Sampali

    Gambar 17. PH dan curah hujan tahunan Sampali

    V. KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1. Kesimpulan Pembangunan merupakan aktivitas manusia, yang berdampak juga pada

    komposisi/ konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, akibatnya terjadi pemanasan global atau suhu bumi meningkat.

    Akibat pemanasan ini juga berdampak pada unsur iklim lainnya, seperti curah hujan dan suhu. Di Sumatera Utara curah hujan dan suhu udara cenderung meningkat.

    Peningkatan suhu bumi, curah hujan dan perubahan unsur iklim lainnya, bila berinteraksi dengan faktor lingkungan lainnya yang juga berubah dapat mengakibatkan bencana alam, seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, kesehatan dan lain-lain.

    44.24.44.64.8

    55.25.4

    1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003050010001500200025003000

    PH Curah HUjan

  • 18

    5.2. Saran Untuk mengurangi laju pemanasan global maka kegiatan reboisasi agar terus

    dilaksanakan dan budaya menanam pohon agar tetap disosialisasikan pada masyarakat.

    Sosialisasi peningkatan pemahaman masyarakat tentang perubahan iklim dan antisipasinya.

    Dalam perencanaan pembangunan agar tetap mempertimbangkan faktor-faktor iklim/cuaca.

    Peningkatan kualitas dan kuantitas jaringan pemantau iklim/cuaca.

    DAFTAR PUSTAKA

    Bruce J. P., and R.H. Clark, 1977. Introduction to Hydrometeorology. Pergamon Press. Oxford, New York, Toronto, Sydney, Paris, Frankfurt.

    Gunawan T., 1992. Penginderaan Jauh Terapan Untuk Hidrology. Fakultas Geografi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

    Hutapea S G dan Tuban W, 2007. Potensi Curah Hujan Sumatera Utara. Seminar Nasional Sistem Pertanian Hemat Air. Faperta USU. Medan

    Thornthwaite C. W. dan J.R. Mather, 1957. Instructions and Tables for Computing Potential Evapotranspiration and The Water Balance. Drexel Institut of Technologi. Publication In Climatologi. Vol. X : 3. New Jersey.

    Tuban W, Tarigan H dan Esty S, 2002. Curah Hujan Berpotensi Banjir. Seminar sehari. Pemprovsu. Medan

    Van Dam J. C., W.R. Raaff dan A. Volker, 1992. Climatology. PUSPICS. UGM. Yogyakarta.