Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS:
STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN
YOGYAKARTA
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
YH. Bintang Nusantara
046322003
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2009
i
PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS:
STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN
YOGYAKARTA
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
YH. Bintang Nusantara
046322003
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2009
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : YH. Bintang Nusantara Nomor Mahasiswa : 046322003 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS: STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN YOGYAKARTA. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 21 April 2009 Yang menyatakan (YH. Bintang Nusantara)
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan penulis haturkan atas limpahan kasihNya.
PenyertaanNya telah memungkinkan penulis menyelesaikan tesis ini. KehadiranNya
sungguh nyata dalam setiap orang yang membantu penulis menyelesaikan tesis ini.
Oleh karena itu penulis bermaksud menghaturkan tesis dengan judul “Peziarahan
Sebagai Ruang Bagi Yang Kudus: Studi Tentang Pembentukan Peziarahan Candi
Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Yogyakarta” sebagai persembahan hidup
kepadaNya.
Penulis sungguh bersyukur atas studi tentang pembentukan CHKTY
Ganjuran yang penulis lakukan. Dari studi inilah penulis mengenal lebih banyak
tentang keluarga Schmutzer sebagai sosok utama dibalik munculnya peziarahan
CHKTY Ganjuran. Mereka telah memberikan sebagian besar hidupnya sebagai
persembahan bagi Hati Kudus Tuhan Yesus. Oleh karena itu dengan menelusuri
pembentukan peziarahan CHKTY Ganjuran, penulis berharap apa yang telah penulis
hasilkan sebagai apresiasi penulis terhadap seluruh cara hidupnya.
Bagi penulis, fenomena peziarahan CHKTY memang sungguh menarik untuk
dikaji. Inisiatif keluarga Schmutzer untuk mendirikan suatu ruang tempat mereka
berdevosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus ternyata telah “melahirkan” sebuah
peziarahan yang saat sekarang sangat ramai dikunjungi para peziarah. Peziarahan
CHKTY Ganjuran sekarang ini juga terus-menerus memperlihatkan pergulatannya
untuk menjadi ruang bagi Yang Kudus. Kajian tentang pembentukan peziarahan
CHKTY Ganjuran yang penulis lakukan ini kiranya dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam pergulatan dan kerja besar yang telah berlangsung itu.
vi
Terselesaikannya tesis ini tidak lepas dari dorongan, bimbingan, perhatian
dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan limpah terimakasih kepada:
1. Dr. G. Budi Subanar SJ. selaku dosen pembimbing dan penguji yang dengan
keikhlasan di tengah kesibukannya berkenan untuk memberi arahan dan
pandangan yang memungkinkan keberlangsungan penulis dalam studi dan
penyelesaian tesis.
2. Dr. St. Sunardi selaku Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, yang
memperkembangkan penulis dengan wawasannya yang mendalam dan telah
berkenan pula menjadi penguji tesis ini.
3. Prof. Dr. A. Supratiknya yang telah berkenan menjadi dosen penguji untuk
membantu penulis dalam mempertanggungjawabkan tesis ini.
4. Prof. Dr. A. Sudiarja SJ yang telah berkenan membimbing penulis dengan
memberikan kerangka berpikir dan gagasan-gagasan yang mengarahkan penulis
dalam penyusunan keseluruhan penulisan tesis.
5. Seluruh staf dosen Program Magister Ilmu Religi dan Budaya khususnya Dr.
Budiawan yang telah berkenan menjadi moderator pelaksanaan ujian tesis ini.
6. Mbak Henki selaku staf sekretariat yang dengan caranya memperkembangkan
penulis selama perjalanan studi dan penyusunan tesis.
7. Staf pimpinan dan para dosen Program Studi Ilmu Pendidikan dengan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma yang memberi kepercayaan kepada penulis untuk
menjalani studi dan terus-menerus mendorong penyelesaiannya.
vii
8. Pengelola Peziarahan CHKTY Ganjuran bersama para peziarah yang telah
menjadi sumber informasi bagi penulis untuk keseluruhan penulisan tesis ini.
9. Secara khusus kepada Rita Setyaningsih, istri tercinta yang dengan penuh kasih
dan kelembutan memberi dorongan yang tiada habisnya dalam pasang surut
perjalanan studi dan penulisan tesis ini bersama dengan buah hati kami Lintang
dan Gabriel, yang telah menjadi pendukung paling istimewa bagi penulis.
10. Bapak Ibu di Kutoarjo, Bapak Ibu di Malang dan semua keluarga di Jogja,
Kutoarjo, Purworejo, Malang, Tangerang dan dimana pun berada, yang
senantiasa berdoa dan memberi dukungan dengan cara masing-masing selama
penulis menjalani studi dan menyusun tesis ini.
11. Teman-teman seangkatan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu, yang telah berperan dalam proses studi maupun penulisan tesis ini.
Penulis juga menyadari bahwa apa yang tersaji dalam tesis ini tak lepas dari
kekurangan dan kekuranglengkapan, maka penulis sungguh berterimakasih atas
berbagai masukan, kritik maupun saran demi penyempurnaan tesis ini. Semoga
berbagai masukan, kritik dan pemikiran baru yang penulis terima akan semakin
menyempurnakan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada seluruh pembaca demi upaya meningkatkan cara hidup kita di
hadapan Yang Kudus khususnya melalui praktek ziarah yang kita jalani.
Yogyakarta, 20 Januari 2009
Penulis
YH. Bintang Nusantara
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................ iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
ABSTRAK .................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG.................................................................. 1 .
B. RUMUSAN PERMASALAHAN ............................................ 8
C. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 8
D. TUJUAN PENULISAN ............................................................ 19
E. MANFAAT PENULISAN ........................................................ 20
F. METODE PENULISAN ........................................................... 21
G. SISTEMATIKA PENULISAN ................................................. 22
BAB II ZIARAH MANUSIA DAN PENGUDUSAN RUANG
BAGI YANG KUDUS........................................................... 24
A. ZIARAH DALAM HIDUP MANUSIA ..................................... 24
1. Manusia Sebagai Peziarah ............. ..................................... 24
2. Kebiasaan Berziarah dalam Hidup Manusia ...................... 27
3. Kebiasaan Berziarah dalam Gereja ..................................... 29
4. Peranan Sosio Religius Ziarah ............................................ 33
5. Obyek Ziarah ...................................................................... 38
B. YANG KUDUS DALAM HIDUP MANUSIA ........................ 41
1. Gambaran Manusia Religius tentang Yang Kudus ............. 41
2. Kehadiran Yang Kudus dalam Hidup Manusia ................. 42
C. UPAYA-UPAYA PENGUDUSAN RUANG DAN WAKTU
BAGI YANG KUDUS ............................................................ 46
ix
1. Perlakuan yang Berbeda Terhadap Ruang dan Waktu ......... 46
2. Upaya-Upaya Pengudusan Ruang dan Waktu bagi
Yang Kudus ......................................................................... 48
BAB III PERTUMBUHAN DAN PEMBENTUKAN CANDI HATI
KUDUS TUHAN YESUS SEBAGAI PEZIARAHAN .............. 53
A. PERISTIWA-PERISTIWA PENTING YANG MEMBENTUK
CANDI HKTY GANJURAN SEBAGAI PEZIARAHAN ......... 54
1. Pembangunan Gereja Ganjuran ........................................... 54
2. Pembangunan Candi ............................................................ 56
3. Pemberkatan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus
sebagai Monumen Perutusan .............................................. 59
4. Gerakan Romo Utomo dengan Spiritualitas Hati Kudus
Tuhan Yesus ........................................................................ 60
5. Pembangunan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus
sebagai Kompleks Peziarahan ............................................ 64
6. Munculnya Air Perwitasari ................................................. 67
B. BERBAGAI UNSUR YANG MEMBENTUK PEZIARAHAN
CHKTY GANJURAN ............................................................. 69
1. Adanya Candi Hati Kudus Tuhan Yesus ........................... 69
2. Ritual Ziarah yang Inkulturatif .......................................... 71
3. Air Perwitasari: Tuhan Yang Menyembuhkan .................... 76
4. Adanya Legitimasi dari Otoritas Gereja .................................. 78
5. Kisah-kisah yang Tercipta dan Pengakuan Diri ....................... 80
BAB IV PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS:
RUANG BAGI YANG KUDUS ......................................... 85
A. PENGUDUSAN YANG TERJADI ............................................... 86
1. Kehadiran Yang Kudus. ........................................................ 86
2. Ritual Agama yang Inkulturatif ............................................ 91
3. Peranan Legitimasi dari Gereja ............................................ 96
x
B. CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS: DARI DEVOSI
KELUARGA KE DEVOSI UMAT .............................................. .. 102
1. Devosi Keluarga yang Mengumat ........................................ 102
2. Konstruksi yang Berkelanjutan ............................................ 105
C. TANTANGAN KE DEPAN: TERUS MENJADI RUANG
BAGI YANG KUDUS ................................................................. 108
1. Terus Menjadi Ruang Perjumpaan dengan Yang Kudus ........ 108
2. Menempatkan Ritual Ziarah pada Tempatnya ...................... 110
BAB V PENUTUP ........................................................................... 113
A. KESIMPULAN ............................................................ 113
B. SARAN ........................................................................ 117
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 120
xi
ABSTRAK
Judul tesis ini adalah “Peziarahan Sebagai Pengudusan Ruang Bagi Yang
Kudus: Studi Tentang Proses Pembentukan Peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Yogyakarta”. Tesis ini merupakan usaha untuk menelusuri dan mengkaji secara mendalam proses pembentukan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus (CHKTY) Ganjuran sebagai sebuah peziarahan. Kajian ini tak lepas dari adanya upaya yang terus berlangsung pada saat ini untuk membentuk dan mengembangkan CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah. CHKTY seperti halnya tempat ziarah yang lain seolah-olah “diusahakan”, sehingga menjadi tempat ziarah yang menarik. Oleh karena itu permasalahan tesis ini berpusat pada pertanyaan utama yaitu bagaimana proses terbentuknya CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah?
CHKTY Ganjuran yang dibangun mulai tahun 1927 dan selesai tahun 1930 sesudah pembangunan gereja tahun 1924 diyakini telah menjadi tempat di mana iman kepada Yang Kudus diekspresikan sedemikian rupa, sehingga menjadi wahana tumbuh dan berkembangnya hidup beriman umat Katolik dalam lingkup daerah Ganjuran dan sekitarnya. Bahkan karena perannya dalam “memekarkan” iman Katolik, maka CHKTY Ganjuran dijadikan sebagai monumen perutusan dan diakui sebagai tempat ziarah. Berdasarkan pemikiran Mircea Eliade tentang Yang Kudus dan pembentukan ruang bagi Yang Kudus, maka CHKTY Ganjuran telah mengalami proses menjadi ruang bagi Yang Kudus.
Dari penelitian diperoleh penegasan bahwa, terbentuknya CHKTY Ganjuran sebagai ruang bagi Yang Kudus tak lepas dari inisiatif keluarga Schmutzer untuk “menciptakan” ruang bagi Hati Kudus Tuhan Yesus dalam bentuk sebuah candi. Kehadiran Yang Kudus dalam ruang yang disebut peziarahan CHKTY Ganjuran sangat diyakini oleh pengelola maupun para peziarah. Keyakinan ini didukung oleh pengalaman mereka sendiri atau pun kesaksian dari peziarah yang lain. Peristiwa yang “meneguhkan” keyakinan akan kehadiran Yang Kudus di CHKTY Ganjuran adalah “munculnya” Tirta Perwitasari dari bawah candi. Air yang mempunyai daya menyembuhkan ini diyakini menjadi tanda kehadiran Yang Kudus. Berbagai kisah pun bermunculan sehubungan pengalaman akan Yang Kudus. Kisah “besar” dan kisah “kecil” yang tercipta berperanan menjadi unsur yang membentuk identitas ruang yang disebut sebagai peziarahan CHKTY Ganjuran. CHKTY Ganjuran pun menciptakan “legendanya” sendiri.
Hal yang tidak kalah penting yang menentukan keberadaan CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan adalah adanya ritual ziarah yang inkulturatif. Bahkan ritual ini telah menjadi primadona untuk “memikat” para peziarah maupun wisatawan untuk datang ke CHKTY Ganjuran. Perhatian pada budaya setempat, yaitu budaya Jawa dipandang merupakan keunikan atau ciri khas CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan. Oleh karena itu ada tantangan besar untuk tetap mempertahankannya tanpa mengabaikan fungsinya untuk membantu peziarah mengungkapkan, memperdalam dan meperkembangkan relasinya dengan Yang Kudus. Diharapkan CHKTY Ganjuran dapat terus menjadi oase bagi umat dan masyarakat untuk hidup dalam keterarahan pada Yang Kudus, dan meneruskan pengalaman perjumpaan dengan Yang Kudus dalam hidup dengan sesamanya.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ziarah merupakan gerakan umat manusia yang bersifat universal. Kebiasaan
berziarah dilakukan manusia di sepanjang jaman dan tempat. Tradisi ziarah adalah
milik semua umat manusia, tanpa membedakan bangsa, suku, ras dan agama.1
Berziarah dilakukan manusia dengan berkunjung ke tempat tertentu yang dianggap
suci atau keramat. Bagi orang beragama, tempat yang menjadi tujuan ziarah diyakini
sebagai tempat kehadiran Yang Ilahi. Oleh karena itu menurut Brenda Shoshanna,
PHD., dalam bukunya Zen, Wisdom, di banyak agama besar, ada perintah untuk
melakukan ziarah, yaitu untuk meninggalkan tempat tinggal, sahabat, aktivitas,
keadaan diri seseorang yang biasa, dan melakukan perjalanan menuju antah
berantah.2 Perjalanan ziarah ini dilakukan entah secara perorangan atau secara
kelompok. Inti dari perjalanan ziarah bagi orang beriman adalah “mencari” dan
menemukan Yang Ilahi.
Pada masa sekarang ini, di tengah deru modernisasi yang melanda hampir
semua sektor kehidupan termasuk dalam hidup keagamaan, ziarah sebagai kekayaan
spiritual tetap dipertahankan dan bahkan ditumbuhsuburkan.3 Dalam hidup
keagamaan umat Katolik di Indonesia, tradisi ziarah juga tumbuh subur. Hal ini
tampak dari ramainya tempat-tempat ziarah umat Katolik pada bulan Mei dan
1 M.Budi Sardjono. Ziarah Dari Sendangsono Sampai Puhsarang Kediri. Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusatama. 2002, 3. Lihat juga C. Groenen, OFM. 1988. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta: Kanisius, 187.
2 Brenda Shoshanna, PHD. Zen, Wisdom terj. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 187. 3 Lihat M.Budi Sardjono. 2002, 3.
2
Oktober. Umat Katolik entah secara perorangan atau secara kelompok mengunjungi
berbagai tempat ziarah yang ada pada bulan-bulan tersebut.
Mengapa umat mendatangi tempat-tempat ziarah? Budi Sardjono
berpandangan bahwa alasan-alasan umat berkunjung ke suatu tempat ziarah
sangatlah beragam. Alasan-alasan itu antara lain, di tempat ziarah orang lebih mantap
dalam hal berdoa dibandingkan di tempat yang biasa. Permohonan serta doa yang
didoakan di tempat ziarah juga diyakini akan terkabul. Di tempat ziarah, umat
mengalami kehadiran Yang Ilahi. Pengalaman akan Yang Ilahi ini disebut oleh
umat/peziarah sebagai mukjijat, yaitu dengan terjadinya kesembuhan dari sakit,
mendapat keturunan, ataupun rumah tangganya utuh kembali.4 Dengan kata lain di
tempat ziarah yang dikunjungi, umat berpandangan bahwa mereka dapat berdoa
secara khusuk untuk mendapatkan sesuatu, entah yang amat spiritual, seperti
pengalaman dengan Yang Ilahi, atau yang material seperti kesembuhan, keberhasilan
dalam usaha dan karya, jodoh, dan sebagainya.
Sekarang ini ternyata bukan hanya ziarah yang marak tetapi juga munculnya
upaya untuk membangun atau mengembangkan tempat-tempat ziarah. Di mana-
mana “tempat ziarah” seolah-olah “diusahakan”, tentunya atas dasar pertimbangan
bahwa berguna sebagai saluran devosi rakyat.5 Pembangunan tempat-tempat ziarah
ini pun “dibarengi” usaha promosional untuk menunjukkan kekhasan yang ada di
tempat tersebut. Usaha promosional ini dimaksudkan agar tempat ziarah yang ada
menjadi “laku”, sehingga peziarah atau pun pengunjung yang datang ke tempat
tersebut akan bertambah banyak.
4 M.Budi Sardjono. Ibid., 4. Dan lihat Andreas Wasono yang memperoleh ketentraman dengan
datang berziarah seperti dikisahkan Albertus Handriyo Widi Ismanto. “Setelah Disentuh Tyas Dalem”, dalam Majalah Utusan No. 06 Tahun ke-52, Juni 2002, 30-31.
5 Lihat C. Groenen, OFM. 1988. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta: Kanisius, 190.
3
Tempat ziarah pada akhirnya diperlakukan sebagai obyek untuk menarik
kunjungan para peziarah maupun wisatawan yang hendak menikmati tempat
tersebut. Akibatnya pertumbuhan tempat-tempat ziarah kemudian diikuti dengan
munculnya berbagai kegiatan lain yang terkait dengan usaha untuk beroleh
keuntungan termasuk penjualan berbagai kebutuhan untuk “melayani” para peziarah
maupun wisatawan saat pelaksanaan ritual ziarah ataupun juga pasca ziarah
berlangsung. Yang terjadi selanjutnya apa yang lantas dikenal sebagai “profanisasi”
tempat-tempat ziarah. Tempat ziarah tak ubahnya tumbuh sebagai tempat untuk
berdoa menuju surga, namun sekaligus juga tempat untuk mencari harta ataupun
pemenuhan hidup harian. Dengan demikian keberadaan suatu tempat ziarah
senantiasa tak pernah lepas dari aneka kepentingan.6
Sekarang ini tampak kecenderungan seperti halnya pariwisata, maka ziarah
juga direkayasa sehingga menjadi kebutuhan. Ziarah menjadi agenda yang
“diciptakan” untuk menjadi kebutuhan bagi orang beragama. Artinya, siapapun yang
menganggap diri sebagai orang beriman dan beragama sudah semestinya
menjalankan laku ziarah seperti telah diagendakan dalam tradisi agamanya. Bagi
umat Katolik di Indonesia, kecenderungan ini tampak dari adanya agenda umat untuk
berziarah ke tempat-tempat ziarah Maria pada bulan tertentu, yaitu Mei dan Oktober.
Pengelolaan tempat ziarah pun dilakukan sedemikian rupa sehingga membuat para
peziarah merasa “harus” datang berziarah di tempat tersebut.
6 Menurut Dr. B.S. Mardiatmadja SJ ziarah yang mengandung langkah menentukan, mengandung
panggilan untuk mengambil keputusan karena pentingnya hubungan Allah bagi saya sering dinodai oleh sejumlah hal-hal remeh seperti belanja atau turisme. Kadang belanja atau tamasya dipakai sebagai pancingan agar orang mau berziarah. Dengan begitu derajat ziarah diturunkan. Oleh karena itu bila tak ada relasi batin antara peziarah dengan pribadi yang dikunjungi sebenarnya makna ziarah tidak terjadi sama sekali. Lihat Dr. B.S. Mardiatmdja SJ, “Makna Ziarah di Tahun Yubelium”, dalam Hidup, No. 40 Tahun LIV, 1 Oktober 2000, 13-14.
4
Seperti halnya tempat pariwisata senantiasa memilih dan berupaya untuk
mengidentifikasikan produknya sebagai sesuatu yang eksotis, sehingga melalui
eksotisme yang ada menggiring orang ke dalam suatu bentuk penjelajahan,
petualangan dan penemuan baru dengan mengunjunginya, maka demikian juga
tempat ziarah ditawarkan sedemikian rupa sehingga memikat para peziarah untuk
datang.7 Tempat ziarah dengan berbagai cara ditawarkan sebagai tempat yang eksotis
pula. Eksotisme tempat ziarah ditampilkan dengan menunjukkan bahwa tempat
tersebut sungguh masih “asli” dan membuat para peziarah yang datang beroleh
kepuasan. Oleh karena itu yang terjadi kemudian adalah berbagai usaha (pengelola)
yang berlomba-lomba menunjukkan tempat ziarahnya sebagai tempat yang eksotis.
Eksotisme sebuah tempat ziarah ditunjukkan bukan hanya melalui pencitraan sisi
fisik tetapi juga berbagai pendukung lainnya yang dimaksudkan untuk
memperlihatkan kekudusan tempat tersebut: entah dengan menunjukkan banyaknya
mukjijat, kesaksian peziarah yang datang atau lainnya. Artinya ada upaya untuk
“merekayasa” tempat ziarah, sehingga mengundang minat peziarah untuk datang.
Bahkan setiap tempat ziarah berupaya untuk menciptakan “legenda kudusnya”
masing-masing yang memperlihatkan apa yang khas dalam peziarahan tersebut.
Sehubungan dengan muncul serta tumbuh dan berkembangnya tempat ziarah,
maka fenomena peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran (Candi HKTY)
menjadi hal yang sangat menarik. Tempat ziarah yang dibangun mulai tahun 1927
dan selesai tahun 1930 sesudah pembangunan gereja tahun 1924 ini sekarang sangat
ramai dikunjungi. Tempat ziarah ini dalam aneka kesempatan juga terus
memperkenalkan keberadaannya pada para peziarah. Saat ritual ziarah dilaksanakan
7 Dr. James J. Spillane, S.J. 1994. Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius, 15.
5
ataupun saat promosional yang lain selalu dilakukan semacam upaya untuk
menyampaikan kisah-kisah berkenaan dengan munculnya peziarahan ini. Kisah-
kisah yang disampaikan nampaknya hendak menunjukkan apa saja yang
memperlihatkan "kekuatan” CHKTY sebagai peziarahan. Disadari betul adanya
kebutuhan untuk memperkenalkan latar belakang munculnya CHKTY sebagai
tempat ziarah beserta kekhasannya kepada para peziarah atau bagi para pengelola
peziarahan itu sendiri.
Dari pengamatan awal dan dialog dengan pengelola peziarahan menjadi jelas
bahwa tahun 1988 ada gerakan untuk menghidupkan “lagi” dan mengembangkan
CHKTY sebagai tempat ziarah.8 Salah satu hal yang sangat kuat dilakukan adalah
menggali kembali “semangat awal” yang mendorong adanya CHKTY. Adapun
semangat awal ini diyakini terdapat dibalik berbagai peristiwa yang mengiringi
perjalanan pertumbuhan dan perkembangan CHKTY. Apa sajakah peristiwa-
peristiwa penting yang dikisahkan untuk memperkenalkan keberadaan CHKTY
Ganjuran sebagai tempat ziarah? Mengapakah peristiwa-peristiwa tersebut dipandang
penting? Bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut secara perlahan menciptakan
“legenda” tentang CHKTY sebagai peziarahan? Benarkah sejak awal mula CHKTY
sebagai tempat ziarah? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi pertanyaan
sentral untuk tesis ini.
Kajian secara mendalam terhadap proses pembentukan peziarahan Candi Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ini diharapkan akan dapat membantu para peziarah
dalam menjalani laku ziarah. Kajian ini diharapkan juga membantu para pengelola
8 Pengelola peziarahan menyatakan tahun 1988 yang menandai gerakan menghidupkan “lagi” lingkup
CHKTY sebagai peziarahan dengan menunjukkan apa yang dinyatakan dalam buku Panduan Prosesi 2004. Lihat Panitia Prosesi Dewan Paroki Ganjuran. 2004. Panduan Prosesi 2004. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran, 55.
6
peziarahan dalam mengembangkan CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah di masa
sekarang dan yang akan datang. Bagi para peziarah kajian ini semakin perlu untuk
memberikan pemahaman akan latar belakang tempat ziarah yang dikunjunginya,
sebab banyak peziarah tidak mengetahuinya. Dengan mengetahui latar belakang
tempat ziarah yang dikunjungi, sadar akan sejarahnya, serta mau belajar dari sejarah
berdirinya tempat-tempat ziarah itu, maka para peziarah bisa belajar untuk
menangkap apa kehendak Yang Ilahi dalam hidupnya pada masa kini dan masa yang
akan datang seperti halnya pengenalan akan kehendak Yang Ilahi yang telah
dilakukan oleh para tokoh “pendiri” dan “pengembang” tempat ziarah tersebut.
Tempat-tempat ziarah bagi umat beragama pada umumnya memang menjadi
tempat di mana iman kepada Yang Ilahi diekspresikan sedemikian rupa, sehingga
menjadi wahana tumbuh dan berkembangnya hidup beriman umat. Dengan kata lain
tempat ziarah itu menjadi tonggak-tonggak mekarnya iman kepada Yang Ilahi.9 Hal
inilah yang juga terjadi berkenaan dengan peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan
Yesus, Ganjuran. Peziarahan CHKTY Ganjuran juga telah menjadi tonggak bagi
mekarnya iman akan Yang Ilahi dalam lingkup daerah Ganjuran dan sekitarnya.
Bahkan karena perannya dalam “memekarkan” iman Katolik, maka CHKTY
Ganjuran dijadikan sebagai monumen perutusan murid Kristus.10
9 Lihat M.Budi Sardjono. 2002, 5. 10 Tentang monumen ini menurut George Aditjondro merupakan kecenderungan Gereja Katolik yang
ingin menancapkan image eksistensi (dominasi) dimana Gereja berada melalui aneka simbol: patung, salib, bangunan gereja yang megah, tempat ziarah. Semuanya menurut George sebagai semacam monumen. Hal ini dinyatakan George dalam tulisannya Death Squad, The Antropology of State Terror ketika menyoroti realitas kekerasan di Timor Leste hal. 158-188. Apakah sebenarnya candi sebagai monumen? Supraktino Rahardjo dalam bukunya Peradaban Jawa menegaskan hal ini. Menurut perspektif Hindu dan Jawa, melalui candi para raja ingin menunjukkan keberadaannya pada waktu berkuasa dan bagaimana kejayaannya pada jaman pemerintahannya. Maka ada candi yang sungguh besar dan megah sebagai lambang bahwa pernah ada masa keemasan raja tertentu pada jaman candi dibuat. Lihat Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu., 243.
7
Menurut Rm. G. Utomo Pr candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
sebenarnya merupakan “monumen keluarga” yang dibuat oleh keluarga Schmutzer
untuk mengungkapkan syukur kepada Allah atas keberhasilan pabrik gula yang
dimilikinya dalam mengatasi krisis ekonomi tahun 1920an. Schmutzer membangun
CHKTY sebagai persembahan syukur atas apa yang diperolehnya kepada Hati Kudus
Tuhan Yesus. Namun dalam perkembangannya ternyata CHKTY telah berkembang
menjadi tempat ziarah seperti sekarang ini.
Bagaimanakah ekspresi pribadi Schmutzer dan keluarganya lantas menjadi
ekspresi umat? Bagaimanakah tempat untuk devosi11 pribadi Schmutzer dan
keluarganya lantas menjadi tempat untuk devosi umat? Bagaimana lingkup CHKTY
Ganjuran menjadi peziarahan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pertanyaan lebih
lanjut untuk ditelusuri sejalan dengan kesadaran akan pentingnya pengenalan secara
mendalam akan latar belakang tumbuh dan berkembangnya peziarahan CHKTY
Ganjuran. Bagaimakah pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat ditelusuri jawabannya?
Pemikiran Mircea Eliade tentang Yang Kudus, ruang kudus beserta
bagaimana manusia melakukan pengudusan terhadap alam dan berbagai pemikiran
lain yang relevan, kiranya kita dapat menjadi acuan kita untuk pengkajian. Eliade
secara mendalam telah menunjukkan bagaimana pengudusan suatu obyek (termasuk
ruang atau tempat) dapat terjadi baik melalui hierofani, tanda manifestasi dari Yang
Kudus, tanda yang diusahakan maupun upacara.12 Dengan memanfaatkan berbagai
sumber pengetahuan yang ada termasuk yang secara khusus telah mengkaji tentang
11 Sehubungan dengan devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus ini, Tom Jacobs seorang teolog dalam
Gereja Katolik di Indonesia memaparkan pemikirannya di majalah Utusan, dengan menyatakan bahwa devosi adalah bentuk kebaktian tertentu. Kebaktian ini ditujukan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Tekanan devosi hendaknya pujian dan syukur bukan pertama-tama pada permohonan. Lihat Tom Jacob. “Devosi Kepada Hati Kudus Tuhan Yesus: Pujian atau Permohonan”. dalam Utusan. No. 06. Tahun ke- 52. Juni 2002, 8-10.
12 P.S. Hary Susanto. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius, 49-53.
8
CHKTY Ganjuran, maka kita akan memperoleh masukan yang semakin kaya dan
semakin mendalam untuk dapat menjadi landasan dalam mencermati proses
pembentukan CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan. Berbagai pemikiran yang ada
juga dapat sungguh menjadi dasar untuk pengkajian kita.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Berpangkal dari latar belakang di atas maka permasalahan dalam tesis ini
berpusat pada pertanyaan utama yaitu bagaimana proses terbentuknya CHKTY
Ganjuran sebagai tempat ziarah? Peristiwa-peristiwa penting mana yang sebenarnya
dipandang sebagai jejak-jejak menentukan keberadaan CHKTY Ganjuran sebagai
tempat ziarah? Bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut secara perlahan menciptakan
“legenda” tentang peziarahan CHKTY Ganjuran?
C. TINJAUAN PUSTAKA
Manusia dalam sejarahnya di dunia adalah peziarah (“homo viator”). Ia
senantiasa hidup dalam perjalanan. Menurut Yohanes Paulus II, pada jaman sekarang
ini, perjalanan hidup manusia,
di satu pihak agaknya berjalan ke arah tujuan-tujuan positif berbagai ragam: integrasi seluas dunia dalam sistem-sistem global, sekaligus perasaan yang tajam terhadap pluralisme dan sikap hormat terhadap pelbagai jati diri historis dan nasional, kemajuan ilmiah dan teknis, dialog antar umat beragama, pelbagai komunikasi yang agak mengabur dalam keramaian seluruh dunia melalui instrumen-instrumen, yang semakin efektif dan langsung. Akan tetapi di lain pihak, pada setiap salah satu jalan-jalan itu, rintangan-rintangan silih berganti tampil dalam bentuk-bentuk dan cara-cara yang baru: berhala-berhala ekonomi, penindasan, penyalahgunaan posisi politik orang, arogansi ilmiah, fanatisme religius.13
13 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999. Ziarah dalam
Yubileum Agung, terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 30.
9
Manusia terus-menerus hidup dalam pergolakan untuk mengatasi apa saja yang
ditemukan dalam perjalanan hidupnya. Di tengah pergolakan hidup yang terus
menerus berlangsung itu ia tidak jarang mengalami keletihan, ketidakpastian dan
bahkan frustasi. Sekalipun telah menguasai alam semesta melalui akal budinya,
namun manusia seringkali menemukan fenomena-fenomena yang di luar
kemampuannya untuk mengatasi atau pun menemukan jawabannya. Hendropuspito
menyebutnya sebagai kekurangan esksistensial. Menurut dia, kekurangan ini
memang dapat membuat hidup ini suatu frustasi yang mendalam atau bahkan
penderitaan lahir dan batin.14 Hal ini juga dikemukakan Geertz dengan
mengatakannya bahwa apa yang dialami manusia tersebut sebagai kecemasan paling
mengerikan bagi manusia. Menurut Geertz,
Manusia dapat menyesuaikan dirinya entah bagaimana pada apa saja yang dapat dikuasai imajinasinya; tetapi ia tidak bisa berhadapan dengan Khaos. Karena fungsi khas dan modalnya yang paling tinggi adalah konsep, ketakutan terbesarnya adalah menemui apa yang tidak dapat diuraikannya…Oleh karena itu modal-modal kita yang paling penting adalah simbol-simbol tentang orientasi umum kita di dalam alam, di atas bumi, dalam masyarakat, dan dalam apa yang sedang kita kerjakan.15 Manusia menyadari bahwa upayanya untuk menanggapi fenomena-fenomena
hidup yang dialami tidak dapat hanya dengan melihat dalam dunia empiris saja.
Manusia menyadari adanya keterbatasan dirinya untuk mengatasi semua hal
berdasarkan akal budi semata. Manusia memandang perlunya dunia yang lain, yaitu
yang supra empiris, dunia transenden, yang tidak terjangkau oleh pengalaman
empiris manusia, menjadi medan yang “dimasukinya”. Di sinilah letak agama yang
diyakini manusia dapat memberikan jawaban atas persoalan eksistensial yang tidak
dapat dijangkaunya. Melalui agama, manusia kemudian mengandalkan dan
14 D. Hendropuspito. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 31-32. 15 Clifford Geertz. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 16-17.
10
menggunakan kekuatan supra empiris yang tertinggi. Inilah yang dikemukakan oleh
Peter L. Berger dengan ungkapan agama sebagai usaha manusia untuk membentuk
suatu kosmos keramat. Agama adalah kosmisasi dalam suatu cara keramat (sakral).16
Bagi Berger kosmos yang ditegakkan oleh agama bukan hanya mengatasi (trancend)
manusia, melainkan juga meliputi manusia. Berger melihat bahwa kosmos yang
keramat itu dihadapi oleh manusia sebagai suatu realitas yang sangat berkuasa yang
bukan dari dirinya sendiri dan telah menempatkan kehidupan manusia dalam suatu
tatanan yang bermakna.17 Dengan demikian agama ialah suatu sikap terhadap dunia,
sikap mana menunjuk kepada suatu lingkungan yang lebih luas daripada lingkungan
dunia ini yang bersifat ruang dan waktu; lingkungan yang lebih luas itu adalah dunia
rohani.18
Agama menyangkut cara pandang tentang dunia dan sekaligus cara bertindak.
Simbol-simbol keagamaan akan mendorong pemeluknya untuk mengambil disposisi
tertentu termasuk juga pilihan tindakan yang diambil dari disposisi yang telah
ditentukannya. Berdasarkan pemikiran Peter L. Berger dengan cara ini dalam kaitan
dengan usaha manusia untuk kosmisasi realitas, maka agama menghantar manusia
dalam suatu tatanan hidup yang bermakna. Agama menciptakan semacam kosmos
keramat yang di dalamnya masyarakat religius hidup terlindungi dalam keteraturan
puncak. Dalam kosmos keramat ini manusia dibebaskan dari rasa cemas karena
kekacauan anomik (tanpa nomos), yakni tanpa hukum dan peraturan yang
menyatukan mereka.19
16 Peter L. Berger. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. terj. Jakarta: LP3ES, 32-33. 17 Ibid. 18 Ibid. 19 Nico Syukur Dister, OFM., Dr. 1988. Pengalaman dan Motivasi Beragama. Yogyakarta: Kanisius, 17.
11
Mengingat bahwa manusia selalu mengungkapkan imannya dalam rupa-rupa
bentuk religius, maka agama mempunyai segi batiniah maupun lahiriah. Manusia
beragama itu memperkembangkan hubungannya dengan kekuatan yang transenden
(Yang Ilahi) dalam bentuk sistem pemikiran, yaitu mitos, ajaran agama maupun
dogma; dalam sistem kelakuan sosial melalui upacara keagamaan, ritus dan juga
melalui sistem kelembagaan berupa organisasi-organisasi keagamaan.20 Oleh karena
itu dalam membangun disposisi bagi kehidupannya, maka manusia beragama
memandang penting kedudukan upacara atau ritual keagamaan.
Ritual keagamaan dilaksanakan untuk penghadiran kembali pengalaman
keagamaan dalam bentuk kultis. Hal ini dinyatakan oleh Mariasusai Dhavamony
dengan menyatakan bahwa agama merupakan tindakan simbolis: ritual. Menurut
Mariasusai, ritual dapat dikatakan sebagai agama dalam tindakan. Simbol-simbol
yang digunakan dalam ritual mengungkapkan perasaan, perilaku serta membentuk
disposisi pribadi dalam diri manusia yang menjalankannya.21 Penghadiran kembali
pengalaman yang terjadi melalui ungkapan simbolik ini mengekspresikan
pengalaman manusia dengan Yang Ilahi. Akibatnya, seturut pemikiran Mircea
Eliade, maka ritual membuat suatu perubahan ontologis pada manusia dan
mentransformasikan manusia kepada situasi keberadaan baru, yaitu penempatan ke
dalam lingkup yang kudus.22 Manusia pun pada akhirnya mengalami perubahan
fundamental yang eksistensial dalam hal cara beradanya, yakni cara berada yang
dikuduskan. Dengan kata lain agama melalui ritualnya menghantar manusia
mengatasi kelemahan eksistensial ketika dia berhadapan dengan berbagai persoalan
eksistensial dalam hidupnya yang tidak mampu dijawabnya hanya dengan 20 Nico Syukur Dister, OFM., Dr. 1988. ibid.. 21 Mariasusai Dhavamony, “Fenomenologi Agama. terj. Yogyakarta: Kanisius, 167. 22 Ibid., 183.
12
mengandalkan apa yang empiris saja. Agama menjadi usaha manusia untuk
mengatasi kelemahan eksistensinya. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama
sebagai,
“(1) sebuah sistem simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis”.23
Pemahaman apapun terhadap agama, tampaknya tidak ada yang
menyangsikan, bahwa dalam apa yang disebut agama tersedia apa yang ingin diraih
manusia. Agama tumbuh dari kemauan manusia untuk hidup atau dari kemauan
untuk mengatasi persoalan eksistensial kehidupannya khususnya akan makna
terdalam dari hidupnya. Motivasi untuk kelakuan beragama ini oleh Nico Syukur
Dister dikelompokkannya dalam empat bagian, yaitu beragama untuk sarana
mengatasi frustasi, beragama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib
masyarakat, beragama untuk memuaskan intelek yang ingin tahu dan beragama
untuk mengatasi ketakutan.24 Agama merupakan bagian dari kesadaran manusia
akan adanya sesuatu yang lebih ideal dan memberi arti serta makna kepada
kehidupannya.
Bagi A. Sudiarja secara fenomenologis, agama muncul dari pengalaman
manusia akan “daya” (power). Manusia kagum menyaksikan dunia dan
lingkungannya yang dipenuhi oleh “daya-daya”: daya hidup, daya alam, daya-daya
yang tidak kelihatan, tetapi mempunyai pengaruh yang dapat dirasakan. Manusia
23 Clifford Geertz. 1992, 5. 24 Nico Syukur Dister, OFM dengan sangat lengkap memaparkan secara rinci motivasi beragama
dalam bukunya Pengalaman dan Motivasi Beragama, mulai halaman 71-115.
13
juga dapat terkena atau memiliki “daya-daya” ini dan menjadi “berdaya”.25 Seperti
halnya yang dinyatakan oleh Mariasusai, maka menurut Sudiarja dengan ritus,
manusia memang mencoba mengungkapkan sikapnya yang benar di hadapan yang
suci, yang berdaya itu.26
Manusia mempunyai sikap tertentu baik terhadap kehidupan ini maupun di
hadapan yang suci. Namun ada perbedaan antara manusia religius dan manusia non
religius dalam memandang kehidupan dan bagaimana “menjalaninya”. Dengan
mendalam Mircea Eliade mengemukakan pemikirannya bagaimana manusia
(religius) dalam bersikap terhadap kehidupan ini, terhadap dunia, terhadap manusia
sendiri dan terhadap apa yang dianggapnya kudus. “Agama”, menurut Mircea Eliade,
tidak harus berarti kepercayaan kepada Tuhan, dewa-dewa atau roh-roh, tetapi
mengacu pada pengalaman akan yang kudus dan, sebagai konsekuensinya,
berhubungan erat dengan konsep ada, makna, dan kebenaran. 27
Manusia religius senantiasa menempatkan kehidupannya tak lepas dari relasi
dengan Yang Kudus. Yang Kudus menjadi pusat kehidupannya. Realitas yang paling
utama ialah Yang Kudus. Manusia religius mempunyai kerinduan yang dalam, untuk
tinggal di dalam suatu dunia yang kudus atau berada sedekat mungkin dengan obyek-
obyek yang dikuduskan.28 Hal ini berbeda dengan manusia yang non religius yang
lebih mengutamakan rasio dalam menanggapi realitas hidupnya sehari-hari. Manusia
non religius selalu melihat dan menghadapi persoalan kehidupannya secara rasional
dengan mengandalkan kemampuan otaknya. Oleh karena itu berhadapan dengan
25 A. Sudiarja. 2006., 43. 26 Ibid., 46. 27 Hary Susanto. 2006. “Memeluk Agama, Menemukan Kebebasan: Mircea Eliade tentang Manusia
Arkhais”. dalam Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Franz Magnis Suseno. Yogyakarta: Kanisius., 306.
28 Hary Susanto. 1987, 44.
14
pandangan tentang Yang Kudus, yang supranatural, mereka tetap membutuhkan
bukti-bukti rasional. Hary Susanto menyatakan bahwa kehidupan religius menuntut
kesadaran akan pertentangan antara Yang Kudus dan yang profan. Alam tidak pernah
merupakan alam secara murni. Bagi mereka yang mempunyai pengalaman religius
seluruh alam sanggup untuk menyatakan dirinya sebagai sakralitas kosmis.29
Dalam bukunya The Sacred and The Profane, Eliade menyatakan lebih lanjut
bagaimana manusia religius dalam memandang dunia dan kehidupannya. Bagi
manusia religius, dunia dimengerti sebagai daerah yang mereka diami saja.30 Dunia
yang macam ini disebutnya sebagai kosmos, artinya dunia yang teratur. Sedangkan
daerah asing yang tidak didiami disebutnya sebagai daerah yang masih kacau atau
tidak teratur atau khaos. Melalui proses “penyucian”, maka menurut manusia religius
dapat dilakukan adanya peralihan daerah atau wilayah yang semula sebagai daerah
khaos menjadi kosmos. Eliade menyebut proses “penyucian” ini dengan istilah
kosmogoni, yaitu mengulang kembali penciptaan awal. Dengan cara ini tempat
tinggal yang telah dipilih manusia religius untuk mendiaminya menjadi tempat yang
telah “dikuduskan” dan sekarang mengambil bagian dalam kekudusan Yang
Kudus.31 Oleh karena itu, manusia religius tidak memperlakukan semua tempat atau
ruang secara sama. Perbedaan perlakuan ini tak lepas dari adanya keyakinan bahwa
tingkat kekudusan suatu ruang berbeda dari ruang yang lain justru karena ada atau
tidaknya kehadiran dari Yang Kudus. Apabila Yang Kudus memanifestasikan diri di
suatu tempat atau ruang tertentu, maka ruang tersebut menjadi kudus.32
29 Ibid. 30 Mircea Eliade. 1959. The Sacred and The Profane terj. Willard R. Trask. New York: Harcourt,
Brace and World Inc., 29-30. 31 Ibid., 31-32, 34, 45-51. 32 Ibid., 20-21.
15
Bagi manusia religius, seluruh kosmos terbuka kepada Yang Kudus. Oleh
karena itu manusia religius meyakini bahwa obyek apa saja dapat menjadi hierofani
atau penampakan Yang Kudus baginya. Dari pemikiran Eliade menurut Hary
Susanto kekudusan suatu tempat memang tidak selalu ditunjukkan oleh adanya
hierofani, yaitu peristiwa yang menunjukkan manifestasi dari Yang Kudus, tetapi
sering hanya dengan suatu tanda.
Pengudusan, entah melalui peristiwa hierofani entah lewat tanda-tanda ataupun metode-metode tertentu, itu berlaku untuk semua obyek dan mahluk di dunia. …Lewat tanda-tanda istimewa, suatu obyek, binatang atau manusia tertentu menjadi kudus. Dan apabila hierofani serta tanda-tanda istimewa yang menguduskan itu tidak ada, maka semua obyek, binatang atau manusia bisa dikuduskan dengan berbagai bentuk upacara pengudusan.33
Dengan demikian upacara (ritus) pengudusan harus dipandang sebagai sarana bagi
manusia religius untuk menguduskan apa saja yang terkait dengan kehidupannya
termasuk dirinya. Dengan ritus ia melakukan proses penyucian atau pembaharuan
dunia dan dirinya sendiri menuju keadaan yang baru seperti pada awal dirinya
diciptakan.34
Pelaksanaan upacara atau ritus ini juga dilaksanakan didasarkan adanya
kesadaran bahwa realitas dunia yang sekarang tidak lagi menunjukkan apa yang
sejalan dengan realitas dunia pada awal mula. Dengan kata lain dunia sekarang
bukan sebagai dunia yang teratur atau kosmos. Oleh karena itu dunia ini perlu
diperbaharui kembali agar dunia bisa memulihkan kembali kekudusan aslinya, yaitu
kekudusan yang diperoleh dari tangan Sang Pencipta.35 Pengudusan melalui ritus ini
memungkinkan terjadinya kembali kedekatan hubungan manusia religius dengan
33 Hary Susanto. 1987, 49-53. Dari pengamatan Hary Susanto, secara rinci Eliade menunjukkan
bagaimana dunia mengambil bagian dalam kekudusan Yang Kudus. Oleh karena itu, air, tanah, langit dan lain-lain disebut kudus.
34 Mircea Eliade. The Sacred and The Profane, 78. 35 Hary Susanto. 1987, 56-61.
16
Yang Kudus. Ritus menghantar manusia religius untuk merasakan kehadiran dan
tinggal bersama dengan Yang Kudus.
Eliade berpandangan, bahwa upaya manusia untuk mendekati Yang Kudus
hanya dapat dilakukan melalui bantuan simbol. Oleh karena itu simbol bagi manusia
religius, selalu bersifat religius karena menunjuk pada sesuatu yang nyata yang
mewahyukan realitas kudus yang selanjutnya diharapkan menghasilkan suatu
kesatuan erat yang kekal antara manusia dengan Yang Kudus.36 Simbol-simbol
keagamaan ini dipandang bisa menghadirkan realitas yang transenden tetapi tidak
menggantikannya. Hal ini terjadi karena, manusia yang terdiri dari jiwa dan raga
serta bergulat dalam kehidupan sehari-hari, membutuhkan hal-hal yang konkret yang
dapat diraba, yang langsung berkaitan dengan hidup real.37
Tempat ziarah dengan segala aktifitas yang ada dalamnya diharapkan juga
menghantar pertemuan manusia/peziarah dengan Yang Kudus. Keberadaan tempat
ziarah beserta upacara dengan berbagai lambang yang ada hendaknya juga dalam
rangka membantu para peziarah untuk semakin dekat dan tinggal bersama Yang
Kudus. Tempat-tempat ziarah yang ada haruslah menjadi “Kemah Pertemuan” antara
manusia dengan Yang Kudus.38 Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa manusia
sebagai mahluk religius membutuhkan simbol-simbol ataupun perantara untuk
semakin dapat menjalin relasi dengan yang transenden. Peziarahan dan aktivitas
ritual ziarah yang terjadi di dalamnya dapat dipandang menjadi ungkapan ke arah itu.
36 Ibid., 61. 37 Basir G Karimanto, OMI dan F. Sihol Siagian “Mengasih Maria Menagih Sejuta Doa. dalam Hidup
No. 19 Tahun LV 13 Mei, 12. 38 Yohanes Paulus II dalam Ziarah dalam Yubileum Agung mengemukakan pandangan tentang Kemah
Pertemuan ini berdasarkan apa yang terjadi akan penampakan (kehadiran Allah) seperti dikisahkan dalam Kitab Suci.
17
Manusia sebagai mahluk religius dengan berbagai cara memang senantiasa
ingin mengetahui asal, penyelenggara dan tujuan hidupnya. Kebiasaan berziarah
yang dilakukan manusia juga merupakan salah satu upaya untuk mengalami
perjumpaan dengan penyelenggara hidupnya.39 Praktek ziarah dengan demikian
sebenarnya tidak datang dari kepercayaan Kristiani tetapi datang dari dorongan
religiositas wajar dan alamiah dari kebutuhan dasar manusia. Dengan datang ke
tempat ziarah tertentu, maka manusia religius tidak semata-mata menghormati
tempat itu, tetapi menghormati kehadiran Yang Kudus yang diyakini terlibat dalam
kehidupan manusia di tempat tersebut. Keyakinan para peziarah bahwa tempat
tersebut menjadi tempat di mana Yang Kudus hadir menjadi alasan utama sehingga
selanjutnya tempat tersebut dikuduskan dan diberi label tempat ziarah atau
peziarahan.40
Label sebagai tempat ziarah atau peziarahan telah diberikan pula pada
CHKTY Ganjuran. Banyak kajian yang telah dilakukan untuk mencoba mengenal
berbagai hal berkenaan dengan peziarahan ini. Esti Elihami merupakan salah satu
yang telah menelusuri keberadaan CHKTY dalam kajiannya tentang inkulturasi
sebagai landasan tumbuh dan berkembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran
Yogyakarta. Dia menyatakan bahwa, keluarga Schmutzer membimbing umat melalui
karya-karya nyata mereka dan devosi (penghormatan khusus) mereka terhadap Hati
Kudus Yesus yang mereka sebarluaskan kepada penduduk.41 Menurut Esti,
religiositas dari keluarga Schmutzer inilah yang tampak pada gereja dan candi Hati
39 C. Groenen, OFM. 1988, 192. 40 Basir G Karimanto, Hidup, 12 41 Esti Elihami, Lucia.1995. Sejarah Berdirinya Paroki Hati kudus Yesus Ganjuran: Inkulturasi
sebagai landasan tumbuh dan kembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma FKIP, 56.
18
Kudus Yesus yang mereka bangun.42 Keluarga Scmutzer membangun gereja dan
candi sebagai tempat beribadat bagi Tuhan dan sekaligus menjadi ajakan bagi umat
untuk beribadat juga kepadaNya.
Selain Esti Elihami, ada kajian lain yang telah dilakukan, yaitu oleh
Sumandiyo Hadi yang meneliti ritual agama khususnya perayaan ekaristi di
peziarahan CHKTY Ganjuran. Ia memaparkan hasil penelitian studi kasusnya
mengenai pembentukan simbol ekspresif (seni) di dalam ritual agama yang disebut
perayaan ekaristi dalam bukunya Seni dalam Ritual Agama.43 Dalam bukunya,
Sumandiyo Hadi mengemukakan, peristiwa upacara atau perayaan Liturgi Ekaristi
ini dianggap sebagai salah satu obyek wisata ziarah. Ritual agama yang setiap
tahunnya diselenggarakan di lingkup CHKTY Ganjuran telah makin berkembang dan
menjadi perhatian bukan hanya umat peziarah, melainkan masyarakat setempat
bahkan wisatawan. 44
Dewan Paroki Ganjuran pada tahun 2004 dalam rangka perayaan syukur 80
tahun keberadaan Paroki Ganjuran juga telah menelusuri keberadaan CHKTY
Ganjuran dalam kaitan dengan sejarah keselamatan di Gereja Ganjuran serta peran
khas spiritualitas hidup keluarga Schmutzer. Berbagai peristiwa yang terkait dengan
CHKTY dalam “buku ulang tahun” ini telah dipaparkan pula.45 Demikian pula
Panduan Prosesi yang dibuat untuk Prosesi Agung pada tahun yang sama juga
memuat tentang fenomena peziarahan CHKTY Ganjuran. Secara eksplisit dalam
buku panduan ini dinyatakan bahwa Gereja dan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus
42 Ibid. 43 Sumandiyo Hadi, Y. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku Pustaka. ix., 3. 44 Ibid., 299-311. 45 Dewan Paroki Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. 2004. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran: Rahmat Yang Menjadi Berkat. ed. Chris Subagya. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran, 8. 20-61.
19
Ganjuran menjadi tempat ziarah yang dikunjungi, bahkan terkesan “didominasi” para
devosan dari berbagai daerah.46
CHKTY Ganjuran yang telah mendapat label sebagai tempat ziarah saat
sekarang keberadaanya senantiasa dikaitkan dengan berbagai peristiwa yang
menunjukkan adanya kehadiran Yang Kudus. Dari peristiwa-peristiwa inilah
CHKTY seperti halnya tempat–tempat ziarah yang lain lantas mempunyai kisahnya
sendiri yang mengungkapkan pengalaman religius umat di sekitarnya atau pun para
peziarah yang berziarah ke tempat tersebut sekalipun mereka datang dari daerah lain.
Kajian mengenai berbagai peristiwa yang melatarbelakangi adanya suatu peziarahan
beserta unsur-unsur pokok yang membentuk suatu peziarahan kiranya dapat menjadi
“kelanjutan” berbagi pemikiran yang sudah ada tentang peziarahan khususnya
peziarahan CHKTY Ganjuran.
D. TUJUAN PENULISAN
Setiap peziarahan memang mempunyai “legendanya” masing-masing. Namun
demikian selalu ada unsur-unsur pokok yang menunjukkan suatu tempat disebut
sebagai peziarahan. Tesis ini berupaya untuk melihat pertumbuhan dan proses
pembentukan candi HKTY sebagai tempat ziarah sekaligus menunjukkan apa saja
unsur-unsur pokok yang membentuk suatu peziarahan.
Kajian secara mendalam dalam tesis ini diharapkan dapat:
1. menyajikan gagasan dasar tentang ziarah dalam hidup manusia beserta usaha-
usaha yang dilakukan manusia untuk pengudusan ruang bagi Yang Kudus
yang tercermin dari munculnya peziarahan.
46 Panitia Prosesi Dewan Paroki Gereja Ganjuran. 2004, 80.
20
2. mendeskripsikan peristiwa-peristiwa penting dan unsur-unsur pokok yang
mengkonstruksi “legenda” tentang CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan.
3. menyajikan analisa terhadap perkembangan peziarahan CHKTY, yaitu dari
devosi keluarga ke devosi umat beserta tantangan-tantangan yang dihadapi.
E. MANFAAT PENULISAN
Penulisan ini hendak memberikan sumbangan yang bersifat deskriptif tentang
Candi HKTY Ganjuran khususnya berkenaan dengan proses pembentukannya.
Dengan penulisan ini diharapkan secara lengkap dapat diperoleh pemahaman yang
mendalam tentang munculnya CHKTY sebagai peziarahan. Pemahaman yang
mendalam ini selanjutnya diharapkan dapat memberikan sumbangan kritis tentang
pentingnya menempatkan praktek ziarah yang dapat menghantar peziarah sampai
pada pemaknaan yang mendalam pula, sehingga pelaksanaan ritual ziarah sungguh
berorientasi pada upaya membantu peziarah agar tidak jatuh pada kesalehan semata.
Para peziarah dapat “menimba” dari tokoh pendiri dan pengembang tentang
apa yang menjadi kehendak Yang Ilahi dalam hidupnya pada masa kini dan masa
yang akan datang. Dengan demikian CHKTY dapat terus dikembangkan sebagai
tempat di mana iman kepada Yang Ilahi diekspresikan sedemikian rupa, sehingga
menjadi wahana tumbuh dan berkembangnya hidup beriman umat. Pada akhirnya
temuan deskriptif proses pembentukan peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus,
Ganjuran dapat memberi sumbangan kritis pula dalam kaitan dengan bagaimana
kebijakan mengenai pengelolaan tempat ziarah perlu terus-menerus berpijak pada
upaya menanggapi umat dan masyarakat sesuai kondisi jaman.
21
F. METODE PENULISAN
Penulisan deskriptif yang hendak menjelaskan dan menggambarkan tentang
proses pembentukan peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran ini
dilakukan dengan mengandalkan studi pustaka maupun studi lapangan. Dalam studi
lapangan, usaha mengkaji secara mendalam fenomena peziarahan Candi Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran, dilakukan dengan pengamatan, observasi, maupun
wawancara. Pengamatan dan observasi terhadap fenomena peziarahan Candi Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dilakukan bukan hanya terbatas pada sisi fisik,
melainkan juga aktivitas yang terjadi dalam lingkup peziarahan termasuk aktivitas
ziarah yang sedang berlangsung. Sedangkan wawancara dilakukan untuk lebih jauh
mengetahui obyek yang dikaji beserta keseluruhan kaitannya.
Wawancara dilakukan baik secara tidak terstruktur maupun terstruktur
dengan bantuan pertanyaan yang membantu peroleh data. Dua model wawancara ini
dilakukan kepada informan yang dipilih dengan mempertimbangkan relevansinya
dengan tujuan penulisan. Dengan teknik sampling bertujuan ini, maka sampel yang
dipilih merupakan orang-orang yang dipandang dapat menjadi sumber informasi.
Dalam penulisan ini, wawancara dilakukan kepada tokoh sentral yang ada termasuk
para pengelola kompleks peziarahan, dan juga para peziarah di peziarahan CHKTY
Ganjuran. Fokus wawancara adalah untuk menemukan pandangan mereka akan latar
belakang keberadaan peziarahan Candi hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran dan
pemahaman akan unsur-unsur yang berperanan membentuk suatu tempat disebut
sebagai tempat ziarah termasuk dalam hal ini pandangan mereka sendiri tentang
peziarahan CHKTY Ganjuran.
22
Pada akhirnya untuk mendukung seluruh kajian, dalam penulisan ini juga
dilakukan studi pustaka. Berbagai buku pustaka yang secara khusus memperlihatkan
pergulatan pemikiran tentang peziarahan dan pengudusan ruang bagi Yang Kudus
dalam hidup manusia dimanfaatkan untuk penulisan ini. Dengan studi pustaka ini
pula diharapkan semakin lengkap paradigma penulis dalam melihat dan
mendeskripsikan atau bahkan menganalisis dengan teknik analisis interaktif terhadap
fenomena peziarahan CHKTY. Dari berbagai sumber yang ada diharapkan upaya
pendalaman wacana tentang peziarahan dapat pula dilakukan sehingga semakin
dimungkinkan pendeskripsian bagaimana proses pembentukan CHKTY Ganjuran
sebagai peziarahan telah dilakukan selama ini termasuk tinjauan kritisnya.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan tentang proses pembentukan peziarahan CHKTY Ganjuran ini
dibagi ke dalam 5 bab. Bab pertama akan memaparkan pendahuluan yang meliputi
latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan serta sistematika isi penulisan.
Selanjutnya fokus bab kedua adalah tinjauan tentang ziarah manusia dan
pengudusan ruang bagi Yang Kudus. Dalam tinjauan ini akan dipaparkan
pemahaman mengenai diri manusia sebagai peziarah, peranan ziarah dan kebiasaan
berziarah dalam hidup manusia. Dalam bab kedua ini pula juga dipaparkan secara
mendalam tentang pandangan manusia tentang Yang Kudus dan bagaimana manusia
mengupayakan pengudusan ruang bagi Yang Kudus.
Bab ketiga memaparkan tentang proses pertumbuhan dan pembentukan
CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan yang didasarkan pada penelitian lapangan dan
23
juga pengolahannya. Tekanan utama dalam pemaparan adalah memperlihatkan apa
saja peristiwa dan unsur-unsur yang membentuk CHKTY Ganjuran sebagai
peziarahan. Dengan kata lain bab tiga ini menunjukkan latar belakang adanya
peziarahan CHKTY Ganjuran hingga menjadi peziarahan seperti saat sekarang.
Bab keempat dalam penulisan ini diuraikan secara khusus berpangkal dari
bab dua dan tiga. Dengan mengambil judul analisa, maka pada bab ini akan
dilakukan tinjauan analitis terhadap proses pembentukan CHKTY Ganjuran sebagai
peziarahan dengan mendasarkan diri pada perspektif Mircea Eliade. Analisis
berpusat pada upaya menemukan pemahaman yang mendalam berbagai unsur yang
membentuk suatu peziarahan. Disamping itu juga akan dipaparkan kemungkinan-
kemungkinan menumbuhkembangkan peziarahan CHKTY sesuai dengan tantangan
hidup manusia pada masa sekarang ini.
Akhirnya dalam bab lima akan disampaikan beberapa kesimpulan dan saran
berdasarkan keseluruhan bab sebelumnya. Dengan pemaparan kesimpulan
diharapkan menjadi nampak hal-hal pokok sebagai benang merah keseluruhan
gagasan yang telah dipaparkan. Sedangkan saran menjadi penting untuk
menindaklanjuti berbagai pemikiran yang ada untuk adanya pergulatan ke arah
pemikiran baru atau pun realisasinya dalam tindakan bagi pengembangan peziarahan
Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran.
24
BAB II
ZIARAH MANUSIA DAN PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS
Bab II ini memaparkan dua fokus perhatian yaitu kebiasaan berziarah dalam
kehidupan manusia dan “tindakan” manusia dalam menguduskan ruang bagi Yang
Kudus. Tinjauan keduanya membantu kita memahami kenyataan adanya usaha yang
terus-menerus dari manusia untuk senantiasa memaknai hidupnya teristimewa
melalui “perjumpaannya” dengan Yang Kudus. Terbentuknya tempat ziarah sebagai
ruang bagi Yang Kudus melalui berbagai upaya pengudusan merupakan usaha
manusia beriman untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu mengalami dan
berelasi dengan Yang Kudus.
A. ZIARAH DALAM HIDUP MANUSIA
1. Manusia Sebagai Peziarah
Ada banyak sebutan terhadap diri manusia. Salah satu sebutan itu
menyatakan diri manusia sebagai peziarah (“homo viator”).1 Ia adalah seorang
peziarah dalam dunia ini. Bagi manusia, dunia ini seolah-olah adalah tanah asing.
Sebagai peziarah di tanah asing, maka manusia dituntun oleh “panggilan” hidupnya
sendiri untuk mencari tahu makna hidup yang sesungguhnya dan di mana tempat dia
didalamnya. Dunia tempat manusia tinggal di dalamnya menuntut manusia untuk
lebih dalam memasuki misteri akan diri yang sebenarnya. Hanya dengan menemukan
makna hidup dan keberadaan dirinya di dunia ini, maka manusia mempunyai
kepastian dalam menjalani kehidupannya. 1 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. Ziarah dalam Yubileum
Agung, terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1999, 30.
25
Pencarian makna hidup ini diupayakan terus-menerus oleh manusia dengan
melakukan tinjauan reflektif atas hidup yang dijalani. Tinjauan reflektif sangat perlu
dalam dunia sekarang ini, sebab menurut A. Sudiarja para penganut religius hidup di
dunia yang ambigu. Kalau mereka salah melangkah bisa terpeleset jatuh dan terseret
arus sekuler, tetapi kalau berhenti dan tidak memberi makna, maka sia-sialah seluruh
arti kehidupan iman mereka.2
Dunia yang kita diami saat ini memang menuntut manusia untuk terus-
menerus berperan dan memberi makna. Kesadaran akan keberadaan diri dalam dunia
ini membantu manusia untuk terus eksis. Sayang sekali kesadaran ini seringkali
belum menjadi milik tiap orang, sehingga hidupnya pun dijalani tanpa arah. Bahkan
sebagai peziarah di dunia ini manusia bisa menjadi salah arah. Disamping itu sebagai
peziarah ia pun dapat memilih untuk bertahan dalam “wilayah” yang membuat
dirinya mengalami rasa aman yang tidak hendak ia tinggalkan. Pada akhirnya iapun
tinggal dalam kebiasaan yang menumbuhkan rasa aman, stabil, dan menutup mata
terhadap keingintahuannya akan makna dan misteri hidupnya yang lebih mendalam.
Dalam peziarahan hidup manusia, rasa aman yang membuat hidup menjadi
“mandeg” seringkali dibangun oleh hidup keagamaan yang dijalani sebatas pada
ibadat. Hidup beragama lebih dipahami sebagai ruang kesalehan privat/individual.
Yang utama dalam hidup keagamaan adalah menjalankan ritual. Pelaksanaan ibadat
kemudian dijalani tanpa ruh. Ibadat lebih melulu sebagai rutinitas, akibatnya ibadat
tidak punya pengaruh dalam kehidupan sehari-hari yang semestinya menjadi puncak
ritual.3 Disamping itu hidup yang “mandeg” dapat pula terjadi karena manusia lebih
2 A. Sudiarja. 2006. Agama di Zaman yang Berubah. Yogyakarta: Kanisius, 1. 3 A.M. Hardjana menyebutnya sebagai beragama yang tidak otentik, sehingga ibadat lebih dijalankan
sebagai formalitas. Lihat A.M. Hardjana. 1993. Penghayatan Agama Yang Otentik & Tidak Otentik. Yogyakarta: Kanisius, 64-69 dan 71-82.
26
memilih menjalani hidupnya dengan mengutamakan hal-hal yang duniawi dan
mengabaikan sisi religiusnya. Manusia sepenuhnya lebih terlibat dalam perkara
“kemanusiaan” dengan menyisihkan aspek religiusnya sama sekali.
Sebagai peziarah, manusia menjalani kehidupannya dalam tarik menarik
antara melaksanakan praktek-praktek dan kepercayaan religius dengan tindakan
konkret bagi kemanusiaan. Atau dengan kata lain dalam istilah Eliade, hidup
manusia senantiasa dalam pengaruh Yang Kudus. Seperti halnya alam merupakan
manifestasi dari Yang Kudus, maka manusia hendaknya juga bertingkah laku
sebagai “sakramen” akan manifestasi Yang Kudus.4 Dengan kata lain, peziarahan
hidup manusia bukan hanya sebagai peziarahan yang ditandai oleh orientasi pada
kesalehan pribadi, melainkan kesalehan sosial.
Orang beragama memang memiliki dua proses, yaitu pertama internalisasi
nilai keberagamaan dan yang kedua adalah mengekspresikan (eksternalisasi)
keberagamaan dalam berbagai bentuknya. Oleh karena itu hidup keagamaan harus
ditandai keseimbangan akan keduanya. Melalui sisi internalisasi nilai keberagamaan
(ritual) ia meningkatkan spiritualitasnya. Selanjutnya dalam hidup konkret sehari-
hari dalam tindakan sosial ia menghidupi spiritualitas tersebut. Dengan kata lain
manusia bergerak dari suatu pengalaman rohani yang sifatnya amat personal dan
berkaitan dengan dunia spiritual menuju implementasinya dalam kehidupan nyata
dengan menanggapi berbagai persoalan sosial dalam hidup bersama dengan
sesamanya. Dengan cara ini setiap pribadi menjadi agen tindakan kemanusiaan. Ia
bertindak menjadi aktor perubahan di mana dia hidup seturut dengan sistem nilai
yang diyakini dalam agamanya.
4 P.S. Hary Susanto. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius, 44.
27
Bagi manusia religius ziarah hidupnya seharusnya mempunyai tujuan yang
transenden, yaitu sebuah peziarahan untuk mencari dan menuju Yang Kudus. Oleh
karena itu sebagai seorang peziarah manusia religius tidak bisa mengabaikan akan
pentingnya praktek-praktek dan kepercayaan religius dalam perjalanan hidupnya di
dunia ini. Ia dapat belajar dari manusia arkhais yang menurut Eliade tidak menjalani
kehidupannya dengan pemisahan antara yang sakral dan profan. Bagi mereka, tidak
ada aktivitas dalam dunia ini yang semata-mata aktivitas profan seperti halnya alam
tidak pernah bersifat natural murni, melainkan sekaligus natural dan supranatural.5
Seperti halnya manusia arkhais menjalani peziarahan hidupnya dengan sepenuhnya
menempatkan Yang Kudus sebagai pusat kehidupan, maka demikian pula hendaknya
manusia dalam setiap jaman.
2. Kebiasaan Berziarah dalam Hidup Manusia
Kebiasaan untuk berziarah yang telah dilakukan manusia dari jaman ke
jaman harus pula dipandang sebagai upaya manusia untuk terus hidup dalam
keterarahan pada Yang Kudus. Dengan demikian pilihan untuk menjalani kehidupan
dengan tanpa arah, bertahan dalam rasa aman dan penolakan keingintahuan dari
dalam diri sebenarnya bertentangan dengan kodrat diri manusia yang senantiasa haus
akan cakrawala-cakrawala baru, lapar akan keadilan dan damai, mencari kebenaran,
mendambakan cinta kasih, dan terbuka bagi Nan Mutlak dan Tak Terbatas.6
Kebiasaan untuk berziarah merupakan upaya untuk menghentikan kecenderungan
manusia untuk melekat pada kebiasaan yang ada, rasa aman, stabilitas, dan keinginan
yang keliru untuk bertahan dalam ketidaktahuan yang menjauhkan manusia dari 5 Ibid., 44-45. 6 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999. Ziarah dalam Yubileum
Agung, terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 30.
28
keterarahan pada Yang Kudus. Berziarah dapat menjadi perjalanan untuk
memutuskan kemelekatan, menghancurkan kebiasaan, membuka mata, dan mencari
tahu arah dan makna hidup sesungguhnya.
Kebiasaan berziarah menjadi wujud dari tindakan melepas, dan sekaligus
sebagai suatu perjalanan untuk mencari Tuhan, Sang Khalik, Yang Kekal.7 Di
tengah pergolakan hidup yang ditandai dengan perubahan terus-menerus yang telah
membuat manusia mengalami keletihan, kemandegan ataupun kehampaan akan
makna kiranya manusia membutuhkan kesempatan untuk berdialog dengan dirinya,
sesama dan Yang Kudus. Kebiasaan berziarah justru menjadi kesempatan bagi
manusia untuk beristirahat, menikmati ruang kebebasannya untuk kembali
menemukan hidupnya, tujuannya dan mengalami kehadiranNya.
Dalam agama rakyat kebiasaan berziarah dijalani dengan berkunjung ke
tempat keramat. Entah secara perorangan entah secara kelompok orang beriman
mengunjungi tempat tertentu, yang dianggap “suci/keramat”.8 Kunjungan ke tempat
keramat, apakah itu makam atau tempat lainnya dilakukan bukan hanya dalam arti
rekreatif, tetapi religius. Dalam agama-agama besar, kebiasaan berziarah juga
dijalankan. Bahkan di banyak agama besar, ada perintah untuk melakukan ziarah,
untuk meninggalkan tempat tinggal, sahabat, aktivitas, keadaan diri seseorang yang
biasa, dan melakukan perjalanan menuju antah-berantah.9 Orang beriman berziarah
untuk berkirim doa, mengadakan pembersihan diri atau pun memupuk imannya
kepada Yang Kudus. Dengan demikian kebiasaan berziarah merupakan kebiasaan
yang universal dalam hidup manusia dan mendapat tempat yang penting dalam hidup
keagamaan, sehingga menjadi praktek keagamaan yang “wajib” dilaksanakan. 7 Brenda Shoshanna, PHD. Zen, Wisdom terj. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 187-188. 8 C. Groenen, OFM. 1988. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta, Kanisius, 190. 9 Brenda Shoshanna, PHD. Zen, Wisdom, 187.
29
3. Kebiasaan Berziarah dalam Gereja
Dalam lingkup Gereja Katolik, kegiatan ziarah menjadi tanda bagi Gereja
dalam menghayati hidup sebagai peziarahan menuju persatuan dengan Bapa.10
Kebiasaan berziarah dijalani sebagai usaha mencari kedekatan dengan yang ilahi,
yang dilakukan dengan keihklasan menyingkiri kebisingan hal-ihkwal duniawi dan
menghormati tempat-tempat yang kudus. Menurut Dr. B.S. Mardiatmadja SJ, ketika
umat berziarah artinya umat melakukan perjalanan menuju kepada seseorang atau
suatu tempat yang dianggap menentukan tujuan akhir hidup si peziarah”.11 Jadi ada
beberapa unsur pokok dalam ziarah, yaitu perjalanan, kepada seseorang, tujuan akhir
hidup dan si peziarah. Oleh karena itu ziarah menampilkan beberapa langkah yang
ditempuh oleh para peziarah, yaitu pertama saat bertolak yang menampakkan
keputusan para peziarah untuk terus maju ke arah tujuan. Yang kedua di tengah
perjalanan yang menghantarkan peziarah kepada solidaritas dengan sesama, dan
persiapan mereka untuk menjumpai Tuhan. Yang ketiga, di tempat ziarah, kehadiran
mereka di tempat ziarah mengajak mereka ambil bagian dalam ritual ziarah yang
membantu pengolahan diri mereka, akhirnya perjalanan pulang mengingatkan para
peziarah akan misi mereka di dunia, dengan hidup dalam komunitas dan dunianya.12
Kebiasaan berziarah baru mulai berkembang dalam Gereja Katolik setelah
para martir menjadi sasaran devosi,13 yaitu sekitar tahun 200. Selama abad IV-VI
kebiasaan berziarah ke makam para martir dan relikwi mereka (yang dibawa ke 10 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999, 36. 11 B.S. Mardiatmadja SJ, “Makna Ziarah di Tahun Yubelium”, dalam Hidup, No. 40 Tahun LIV, 1
Oktober 2000, hal 13. 12 Lihat Ibid. 13 Gerald O’Collins SJ mengemukakan istilah devosi berasal dari bahasa Latin devotio dari kata kerja
devovere. yang berarti suatu sikap hati yang mengarahkan untuk mencintai, menghormati, dan menjunjung tinggi seseorang atau suatu benda yang menjadi obyek sembahan. Sedangkan A. Heuken menekankan devosi sebagai suatu sikap dan kebaktian khusus. Lihat Gerald O’Collins SJ. 1996. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 38. dan A. Heuken. 1995. Ensiklopedi Gereja I. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 230.
30
mana-mana ) di seluruh kawasan Timur dan Barat menjadi populer sekali.14 Dengan
demikian kebiasaan berziarah tidaklah muncul dari tradisi Gereja, melainkan telah
hidup, tumbuh dan berkembang sebagai ekspresi religiositas manusia. Kebiasaan
berziarah muncul karena adanya kebutuhan dari dalam diri manusia untuk
mengekspresikan relasinya dengan Yang Kudus secara lahiriah. Ekspresi lahiriah ini
didorong adanya keyakinan akan Yang Kudus yang terus berkarya dalam hidup
manusia termasuk dalam diri para peziarah. Oleh karena itu dalam tradisi Gereja
Katolik kebiasaan berziarah tak dilepaskan dari penghormatan khusus pada pribadi
manusia yang telah memperlihatkan begitu besarnya karya Allah yang telah bekerja
dalam diri mereka. Artinya kebiasaan berziarah dilaksanakan bukan sebagai jalan
bagi upaya pengudusan diri manusia oleh dirinya sendiri, melainkan justru sebagai
praktek hidup beriman untuk merasakan ataupun mengalami karya Allah yang juga
hadir dalam peziarahan yang dikunjungi.
Setelah Maria ibu Yesus tampil dan menonjol sebagai sasaran devosi rakyat,
maka dia pun menjadi sasaran devosi yang disalurkan melalui ziarah. Jumlah tempat
di mana Maria secara khusus dihormati terus tambah banyak. Tempat itu menjadi
tempat ziarah oleh karena ada keyakinan bahwa Maria pernah nampak di situ,
“berkarya” dan mengabulkan doa atau patungnya ditemukan di situ.15 Kebiasaan
untuk berziarah di peziarahan Maria bertumbuh subur dan menjadi kebiasaan yang
paling populer di kalangan umat. Umat beriman berziarah ke peziarahan Maria yang
diyakini sebagai tempat suci, yaitu tempat di mana orang atas dasar imannya dapat
mengalami karya Yang Kudus yang mengikutsertakan ibu Maria.
14 C. Groenen, OFM. 1988, 189. 15 Ibid., 190.
31
Dalam abad 17 berkembang devosi untuk Hati Kudus Tuhan Yesus. Devosi
kepada Hati Kudus Tuhan Yesus menurut Tom Jacobs SJ adalah sarana untuk
mengembangkan hubungan pribadi dengan Yesus. Devosi kepada Hati Kudus Yesus
merupakan ungkapan silih dan sekaligus ungkapan iman akan kasih Kristus yang
mempersatukan manusia dalam perjalanan menuju Bapa. Maka, tekanan devosi lebih
pada pujian syukur untuk mengagungkan cinta abadi Allah pada manusia.16 Hal ini
dilakukan dengan menyambut komuni sesering mungkin, adanya adorasi pada Jumat
pertama tiap bulan, dan juga perayaan khusus untuk Hati Kudus Tuhan Yesus.17
Dengan devosi ini, maka umat beriman dibantu untuk mengungkapkan
imannya secara wajar dan memuaskan, sebab devosi muncul secara spontan dari
hidup iman umat. Sebagai bentuk kebaktian, devosi dilaksanakan oleh umat baik
melalui doa-doa maupun ritual tertentu. Berbeda dengan kebiasaan berziarah di
peziarahan Maria, maka devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus diyakini sebagai
kebaktian pada pribadi Yesus sendiri. Umat beriman dengan devosi kepada Hati
Kudus Tuhan Yesus hendak mengungkapkan syukur dan permohonan atas karya
Yang Kudus yang dinyatakan dalam Hati Yesus.18
Devosi kepada Hati Kudus Yesus merupakan kebaktian umat beriman kepada
Kasih. Melalui HatiNya, Allah dalam Yesus Kristus mencintai manusia secara
total.19 Oleh karena itu seperti halnya kebiasaan berziarah ke peziarahan Maria,
berziarah ke tempat ziarah Hati Kudus Tuhan Yesus dilaksanakan juga sebagai
ungkapan iman akan karya Yang Kudus yang nampak dalam diri Yesus. Peziarah
16 Tom Jacobs. 1984. Hati Penyelamat dalam Hidup 28, 26-27. 17 O’Donnell, Timothy Terrance. 1990. Santa Margareta Maria dan Devosi kepada HatiKudus Yesus.
Terj. CB. Kusmaryanto, SCY. Palembang: Propinsi SCY Indonesia, 20. 18 Lihat Tom Jacob. Devosi Kepada Hati Kudus Tuhan Yesus: Pujian atau Permohonan. Dalam
Utusan. No. 06. Tahun ke- 52. Juni 2002, 8-10. 19 O’Donnell, Timothy Terrance. 1990. Ajaran Pimpinan Gereja mengenai Devosi kepada HatiKudus
Yesus. Terj. CB. Kusmaryanto, SCY. Palembang: Propinsi SCY Indonesia, 17.
32
yang melaksanakan kebiasaan berziarah untuk menghormati Hati Kudus Tuhan
Yesus dapat menimba sikap hati Yesus yang menyerahkan seluruh diriNya kepada
kehendak Yang Kudus (Allah Bapa) sebagai perwujudan kasihNya kepada manusia.
Tindakan yang sama “seharusnya” dilakukan oleh umat beriman dengan
menyerahkan seluruh hidup pada kehendak Yang Kudus melalui kasih kepada
sesama.
Dengan demikian, kebiasaan berziarah dalam tradisi Gereja Katolik
berkembang dari adanya kebiasaan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang
berkaitan dengan iman Kristiani. Tujuan dari kebiasaan berziarah dalam Gereja
Katolik tidak lain adalah merenungkan karya keselamatan Tuhan dalam hidup
manusia (termasuk peziarah) sekaligus penghayatan persatuan dengan Tuhan sendiri.
Kegiatan ziarah sendiri menjadi tanda bagi umat untuk menghayati hidup sebagai
peziarahan menuju persatuan dengan Yang Kudus. Sebab sebenarnyalah dalam iman,
semua orang hidup adalah berziarah menuju rumah abadi yang melampaui hidup di
dunia ini.
Kebiasaan berziarah menjadi kebiasaan untuk mengungkapkan iman kepada
Yang Kudus yang sejak semula sudah mengundang manusia untuk datang
kepadaNya. Oleh karena itu kebiasaan berziarah mengejawantahkan ibadat manusia
pada Yang Kudus. Dalam prakteknya kebiasaan ini menuntut pelaksanaan secara
setia serta disertai citarasa religius yang intensif.20 Apabila kebiasaan ini
dilaksanakan dengan setia, maka akan menjadi bagian dari proses pembudayaan diri
dari manusia yang menjalaninya.
20 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999, 36.
33
4. Peranan Sosio Religius Ziarah
Ziarah adalah suatu interaksi dan proses intersubyektif.21 Ziarah adalah
perjalanan bersama antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam ziarah hubungan
dengan sesama serta dengan Yang Kudus hendak diperdalam. Oleh karena itu ziarah
mengandung proses relasi yang mengundang komitmen berkesinambungan. Ziarah
tidak mulai ketika peziarah berangkat ke suatu tempat. Ziarah juga tak berakhir bila
peziarah telah sampai di suatu tempat ziarah tertentu dan selesai menjalankan ritual
yang ada.22 Ziarah menuntut adanya tindak lanjut pasca aktivitas ziarah berakhir,
yaitu memulai tahap ziarah baru dalam hidup yang terwujud dalam pelaksanaan lebih
lanjut komitmen-komitmen. Sayang sekali interaksi dan proses intersubyektif
seringkali tidak terpenuhi dalam aktivitas ziarah. Ziarah kerap kali dinodai oleh
iming-iming yang bersifat rekreatif.23 Tak jarang minat orang berziarah malah
dibangkitkan dengan godaan untuk memenuhi tawaran rekreatif tersebut. Akibatnya
dalam pelaksanaan ziarah tidak ada pergulatan internal dalam diri si peziarah dan
juga perjumpaan dialogal dengan sesama peziarah lainnya. Oleh karena itu menjadi
tantangan besar bagi peziarah untuk menjalani laku ziarah yang sungguh
mengembangkan relasi dengan sesama dan dengan Yang Kudus.
Menurut Victor Turner ziarah justru dapat membawa kita ke pengalaman
liminal dan hidup dalam komunitas. Liminalitas berarti tahap atau periode waktu
dimana subyek mengalami keadaan yang ambigu, yaitu “tidak di sana dan tidak di
sini”. Liminal sering diartikan sebagai peralihan. Di dalam liminalitas individu
21 B.S. Mardiatmadja, SJ. 2000. Hidup, 13-14. 22 Lihat Henny Alit, “Gua Maria Sendang Pawitra, Surya Indah di Gunung Lawu” dalam Hidup, No.
10 Tahun ke-57, 8 Maret 2003, 23. 23 Menurut Dr. B.S. Mardiatmadja SJ ziarah memang sering dinodai oleh sejumlah hal-hal remeh.
Kadang belanja atau tamasya dipakai sebagai pancingan agar orang mau berziarah. Dengan begitu derajat ziarah diturunkan. Lihat B.S. Mardiatmdja SJ, 2000. Hidup, 13-14.
34
mengalami pengalaman dasar sebagai manusia, sehingga kesadaran eksistensinya
meningkat. Selain itu liminalitas juga menjadi tahap refleksi formatif, artinya dalam
tahap ini individu sebagai subyek ritual merefleksikan ajaran-ajaran dan adat istiadat
masyarakat. Liminalitas dalam ziarah menjadi tahap dimana peziarah berada pada
keadaan masa sekarang dan masa mendatang. Peziarah menghadapi dirinya secara
utuh dalam keadaan yang tidak dipengaruhi keadaan normal sehari-hari.
Tahap liminal dalam ziarah menunjukan bahwa peziarah dimasukkan dalam
suatu keadaan yang lain dengan dunia sehari-hari, karena dia mengalami suatu masa
‘penggodokan’. Ia mengalami peralihan dari dunia sehari-hari ke dalam dunia sakral.
Pengalaman liminal bagi mereka menjadi tahap refleksi dan formatif karena tahap ini
memberikan kesempatan bagi subjek ritual untuk melakukan penyadaran dan
perenungan diri. Oleh karena itu dalam masa liminal mereka sebagai subjek ritual
juga mendapat waktu khusus untuk mempelajari dan merenungkan hidupnya masa
sekarang dan masa mendatang. Para peziarah diajak oleh pemimpin upacara untuk
melihat kembali ajaran-ajaran iman dan kebiasaan-kebiasaan hidup beriman yang
telah dijalani. Peziarah juga memperoleh masukan-masukan entah berkaitan dengan
adat kebiasaan masyarakat secara umum atau sebagai umat dengan norma-norma
moral dan kewajiban-kewajiban orang-orang yang sudah dewasa dalam iman.
Pengalaman liminal dalam ziarah menjadi tahap pembentukan diri si peziarah
sebagai manusia beriman. Dalam masa liminal ini ia mengalami suatu pendasaran
hidup. Macam-macam aktivitas dalam ziarah menjadi pengalaman yang menghantar
dirinya pada penerangan hidup. Penerangan atau pembaharuan yang diperoleh dari
macam-macam aktivitas dalam ziarah inilah yang selanjutnya diaktualisasikan dalam
masyarakat ketika si peziarah kembali ke dalam masyarakat atau umat dalam hidup
35
sehari-hari.24 Misteri-misteri iman yang semakin dipahami, dialami atau dihayati
harus menjadi dasar bagi dirinya untuk hidup dengan nilai-nilai baru. Justru dalam
pengalaman doa pribadi dan doa bersama, keheningan dan pujian ketika dalam
peziarahan itulah ia sebagai orang beriman semakin memperdalam dan
memperkembangkan imannya. Ia mengalami apa yang disebut Victor Turner dengan
‘reflektif-formatif’. Dalam tahap liminal ketika dalam peziarahan ia mengalami
senantiasa diperhadapkan dengan dirinya yang harus diolah.
“Tahap liminal bagi subjek ritual merupakan pengalaman mendasar karena ia mengalami sesuatu yang asasi. Asasi karena ia menimba nilai-nilai yang asasi dalam kehidupan masyarakat yang menjadi tempat hidupnya. Dalam tahap liminal ini juga akhirnya terbentuk komunitas yaitu hubungan antara individu yang tidak terpilah-pilah ke dalam peran-peran dan kedudukan-kedudukan; masing-masing individu merasa dirinya sama dengan yang lainnya, memiliki rasa persahabatan dan persaudaraan mendalam serta saling berhadapan dalam suatu hubungan yang oleh Martin Buber disebut sebagai I and Thou (Aku dan Engkau).”25
Victor Turner menemukan bahwa ziarah merupakan model komunitas yang
representatif. Dalam ziarah ada kualitas komunitas. Gambaran hidup komunitas yang
berbeda dengan hidup dalam struktur sebagaimana nampak dalam sistem-sistem
hubungan sosial yang stabil, terstruktur dapat kita temukan dalam ziarah.
Pengalaman berziarah menjadi pengalaman yang mengubah para peziarah.
Perubahan ini bukan terutama dengan peristiwa-peristiwa ajaib tetapi melalui
pengalaman dasariah sebagai manusia. Dalam peziarahan, orang sungguh mengalami
tiadanya perbedaan entah dalam hal status atau lainnya. Dalam ziarah kebersamaan
tumbuh secara spontan bukan karena adanya struktur atau kewajiban yang
mengharuskannya. Seperti dikatakan Victor Turner, orang dapat makan dan minum
24 Wartaya Winangun. 1990. Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas menurut Victor
Turner. Yogyakarta: Kanisius, 40-43. 25 Ibid.,40-43.
36
dari “wadah” yang sama.26 Di hadapan yang Kudus, maka peziarah menyadari diri
sebagai sesama bagi yang lain.
Ciri suatu komunitas, yakni persaudaraan dialami dalam ziarah dan dituntut
untuk senantiasa menjiwai kehidupan sehari-hari pasca ziarah. Kehidupan sehari-hari
hendaknya ditandai oleh ikatan kasih yang mendalam, dalam hubungan yang sehati
dan sejiwa seperti halnya telah dialami dalam ziarah. Tindakan jemaat (peziarah)
untuk saling mengasihi akan tampak dalam kesediannya untuk berbagi. Dalam ziarah
hal ini semua menjadi begitu kelihatan. Orang lain diterima dan diperlakukan sebagai
sesama, atau dirinya yang lain. Ziarah tampak dianggap oleh peziarah yang sadar
sebagai kesempatan-kesempatan di mana komunitas dialami maupun sebagai
perjalanan menuju sumber suci komunitas yang dilihat sebagai sumber penyembuhan
dan pembaharu.27 Melalui ziarah orang beriman meyakini bahwa dia menjalani
praktek devosional dalam rupa ekspresi iman dengan berkunjung ke tempat yang
suci, yaitu tempat di mana Yang Kudus diyakini telah hadir dan berkarya sekaligus
menimba sumber hidup dari sana untuk hidup sehari-hari dengan sesamanya.
Keterarahan manusia pada Yang Kudus ini memperlihatkan apa yang khas
dalam aktivitas ziarah, yaitu peranan sosio religiusnya. Ziarah merupakan wujud dari
tindakan manusia untuk melepaskan apa yang melekat dalam dirinya dalam rangka
mencari Tuhan, Sang Khalik, Yang Kekal.28
Ziarah mempunyai peranan sosio-religius yang amat penting karena peziarahan menjadi tempat suci dan kramat yang mempersatukan seluruh umat beriman yang datang. Ziarah memupuk dan menyadarkan kembali persaudaraan di antara umat beriman yang datang maupun juga persaudaraan lebih luas dengan seluruh umat manusia sebagai sesama peziarah menuju Yang Kudus.29
26 Ibid. 27 Wartaya Winangun, 1990, 56 28 Brenda Shoshanna, PHD. Zen, Wisdom, 187. 29 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999, 188.
37
Dalam peziarahan ada kesadaran akan kebersamaan. Kebersamaan itu tentu saja
bukan sekadar suatu kerumunan orang yang tanpa bentuk atau “ikatan”.
Kebersamaan adalah kebersamaan sebagai sesama pencari Yang Kudus meski
dengan segala perbedaannya. Bahkan justru perbedaan itulah yang memungkinkan
kebersamaan menjadi lebih indah karena bisa saling membantu, saling melengkapi
dalam jalan terjal kehidupan. Keunikan, kelemahan dan kelebihan yang satu akan
memberi sumbangan pada yang lain, yang juga unik dan punya kelemahan dan
kelebihan.30
Ziarah pun menghilangkan semua perbedaan sosial. Semua orang yang ikut
serta dalam ziarah menjadi setingkat dan seharga. Pria dan wanita, orang berkuasa
dan yang tidak berkuasa, kaya dan miskin, tua dan muda, semua sama-sama ikut
serta dalam ziarah dan upacara-upacara yang bersangkutan.31 Ziarah dengan
demikian mempunyai implikasi sosial. Dalam ziarah, dengan kesadaran akan
kebesaran Yang Kudus, kekecilan diri sebagai manusia dan juga kebersamaan antar
pribadi manusia, maka akan mengembangkan sikap positif dalam perjumpaan antar
manusia yang satu dengan manusia yang lain, atau pun juga antar umat bergama
yang satu dengan umat beragama lain.
Kesadaran akan orang lain sebagai sesama peziarah mengingatkan saya
bahwa keterbatasan saya membuat saya bisa saling membantu untuk saling
melengkapi dalam konteks peziarahan bersama mencari Yang Kudus. Perjumpaan
antar sesama peziarah yang mempunyai komitmen inilah yang selanjutnya
diharapkan merasuki struktur masyarakat untuk terjadinya kehidupan “baru” dalam
masyarakat dengan nilai-nilai hidup pribadi dan bersama yang telah dibaharui pula. 30 Al. Andang L. Binawan. 2003. “Lebaran dan Peziarahan Bersama”. dalam Kompas. 27 Nopember
2003. 31 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999, 188.
38
Oleh karena itu ziarah memang mempunyai tempat yang penting dalam kehidupan
manusia. Ziarah dilakukan untuk menimba sumber kehidupan baik dalam kehidupan
pribadi maupun sosial, baik dalam relasi dengan sesama maupun Yang Kudus.
5. Obyek Ziarah
Obyek ziarah menjadi jawaban bagi si peziarah untuk menemukan, maupun
menggali sumber kehidupan yang dicari melalui ziarah yang dijalani. Obyek ziarah
berupa tempat, benda atau suatu peristiwa yang menjadi pusat perhatian para
peziarah ataupun alasan aktivitas ziarah mereka lakukan. Dalam tradisi Katolik
obyek ziarah selalu merujuk pada “sesuatu” yang penting dalam perjalanan hidup
beriman umat.
Apabila suatu tempat menjadi tempat ziarah, maka tempat tersebut
merupakan tempat-tempat yang menunjuk kepada kenangan akan Tuhan, atau juga
yang menampakkan saat-saat penting dalam sejarah Gereja.32 Tempat-tempat ziarah
yang menunjuk pada kenangan akan Tuhan menjadi tempat ziarah karena diyakini
bahwa di tempat tersebut Tuhan pernah (dan masih terus) hadir. Oleh karena itu
dengan hadir berkunjung ke peziarahan tersebut, para peziarah hendak merasakan
dan mengalami (kembali) kehadiran Tuhan sesuai situasinya sekarang.
Dalam perjalanan sejarah Gereja Katolik kemudian munculah tempat-tempat
ziarah yang dikaitkan dengan penghormatan pada orang kudus yang dipandang
memperlihatkan kehadiran Tuhan. Tempat-tempat suci yang menghormati orang-
orang kudus kemudian menjadi tempat devosi umat. Dengan berziarah ke tempat
suci tersebut, maka para peziarah hendak menghormati orang kudus yang
32 Ibid., 8.
39
mengingatkan mereka akan Tuhan yang hadir dalam hidup manusia, namun
sekaligus juga menghidupkan kembali keteladanan mereka yang telah menjalani
hidup menurut kehendakNya.33 Demikian halnya, benda-benda dan peristiwa yang
terkait dengan kenangan akan Tuhan yang hadir di tempat yang diyakini tempat suci
tersebut kemudian juga diperlakukan sebagai obyek ziarah. Obyek ziarah inilah yang
kemudian menjadi obyek atau sasaran khusus devosi. Ada pun obyek ziarah yang
kita kenal antara lain: makam kramat, pohon kramat, patung/gambar ajaib,
peninggalan salah satu “penampakan” dari “yang kudus” yang masih ada,
peninggalan (relikwi) orang kudus dan ritual agama.34
Seperti halnya tempat dan benda menjadi obyek ziarah karena terkait dengan
kenangan akan Tuhan, demikian halnya ritual agama. Ritual agama bahkan menjadi
obyek ziarah yang “paling melibatkan” para peziarah untuk menjalankan devosi
mereka. Sebagai obyek ziarah yang melibatkan, maka ritual ziarah yang semula
hanya diikuti secara terbatas oleh umat yang terkait langsung dengan peziarahan
tersebut, sekarang terbuka bagi siapapun yang menjalankan laku ziarah ke tempat
tersebut sekalipun bukan umat. Inilah yang memperlihatkan fungsi sosial ritual
ziarah sebagai obyek ziarah. Fungsi sosio religius yang tampak dalam ritual ziarah
ini mau menekankan adanya unsur kebersamaan atau kesetiakawanan dalam ber-
ritual bersama di tempat peziarahan. Para peziarah yang mengikuti ritual ziarah di
peziarahan yang dikunjunginya menempatkan diri sebagai sesama peziarah di
hadapan Tuhan. Mereka secara bersama-sama berkumpul untuk berdevosi dengan
ungkapan syukur dan permohonan kepada Tuhan.
33 Ibid. 34 C. Groenen, OFM. 1988,187.
40
Ritual ziarah dengan kata lain bukanlah pertama-tama sebagai aktivitas
perorangan, melainkan perayaan bersama para peziarah sebagai “umat Tuhan”.
Dalam pelaksanaan ziarah ekspresi kebersamaan ini dikuatkan dengan adanya
berbagai simbol yang digunakan dalam keseluruhan ritual ziarah. Simbol-simbol ini
diharapkan membantu para peziarah mengembangkan kesadaran religiusitas mereka.
Dengan kata lain keberadaan simbol-simbol dalam ritual ziarah bukan pertama-tama
sebagai benda-benda yang “biasa”, melainkan benda-benda “yang dikuduskan”.
Sebagai benda-benda kudus, maka simbol-simbol yang digunakan dalam
ritual ziarah pada akhirnya juga menjadi obyek ziarah. Sering terjadi para peziarah
lebih tertarik pada simbol-simbol ritual yang digunakan dibandingkan dengan obyek
yang lain dalam peziarahan tersebut. Oleh karena itu pentinglah pengertian yang
tepat bahwa semua obyek ziarah, baik itu tempat, benda yang ada, peristiwa yang
terjadi maupun ritual ziarah beserta simbol-simbol yang ada sebagai sarana untuk
devosi umat. Selain itu ritual ziarah yang penuh dengan simbolisme itu tidak hanya
merupakan alat efektif untuk menghimpun umat sebagai komunitas, tetapi juga
memantapkan solidaritas dan koherensi kelompok atau sifat kebersamaan.35 Menurut
Paus Yohanes Paulus II, akhirnya di tempat ziarah itu langit dan bumi, yang ilahi dan
ciptaannya (makam, pohon, patung, relikwi) melebur menjadi satu. Melalui tempat
suci/kramat itu Yang ilahi merasuki hidup sehari-hari dengan segala keperluan dan
kesusahannya yang kecil-kecil.36 Obyek-obyek ziarah menjadi saluran devosi umat
(peziarah) yang memperlihatkan kesatuan simbolis dari ekspresi manusia dalam
perjumpaanya dengan Yang Kudus.
35 Sumandiyo, Hadi. Y. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku Pustaka, 7. 36 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999, 188.
41
B. YANG KUDUS DALAM HIDUP MANUSIA
1. Gambaran Manusia Religius tentang Yang Kudus
Kepercayaan kepada Yang Kudus sangat sentral dalam hidup manusia
religius. Yang Kudus dipercayai sebagai asal, penyelenggara dan tujuan hidupnya.
Sekalipun kepercayaan ini diungkapkan dengan manifestasi yang berbeda-beda,
namun manusia religius seturut pandangan dalam agama dan kepercayaannya
senantiasa memberi tempat akan keberadaan Yang Kudus. Yang Kudus di satu pihak
mengatasi kehidupan mereka, dan di pihak lain senantiasa terlibat secara konkret
dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu hidup manusia religius tak lepas dari
relasinya dengan Yang Kudus.
Manusia religius menyadari dan meyakini bahwa Yang Kudus “menuntut”
ketaatan dirinya dalam menjalani kehidupan di alam semesta ini baik untuk hidup
pribadi maupun bersama orang lain. Rudolf Otto, dalam bukunya The Idea of the
Holy, mengemukakan istilah mysterium tremendum untuk menggambarkan
bagaimana pengalaman perjumpaan manusia berhadapan denganYang Kudus.37 Dia
lebih lanjut juga mengemukakan bahwa Yang Kudus menimbulkan rasa kagum atau
takut, tetapi juga tertarik dan terpikat. Pengalaman akan Yang Kudus baginya adalah
mysterium tremendum et fascinans. Baginya Yang Kudus disebut sebagai ‘Misteri’;
‘tak dapat diterangkan’, ‘Yang lain sama sekali’, ‘Yang melebihi’.38 Di hadapan
Yang Kudus manusia mempunyai perasaan bahwa dia tidak berarti, suatu perasaan
dari mahluk yang menempatkan dirinya tidak lebih dari sebuah ciptaan. Manusia
religius menyadari adanya ketergantungan semata-mata dirinya pada Yang Kudus
yang diyakini telah menciptakannya. 37 Lihat Rudolf Otto. 1939. The Idea of the Holy.,26-27 dan Mariasusai Dhavamony. 1995.
Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 103-105. 38 Lihat. Rudolf Otto. Ibid., 45-49 dan Mariasusai Dhavamony. Ibid., 103-105.
42
Dengan demikian gambaran manusia tentang Yang Kudus tak lepas dari
pandangan manusia tentang dirinya sendiri. Bagi manusia yang memberi tempat akan
adanya dimensi religius dalam dirinya, maka Yang Kudus telah mendapat tempat
tersendiri dalam keseluruhan pergulatan hidupnya. Pandangan manusia religius akan
Yang Kudus yang diakui dan dialaminya sebagai kekuatan dan kekuasaan di luar
dirinya yang mengatasi segala-galanya di bumi ini, termasuk dirinya sendiri telah
menegaskan hal itu. Pandangan ini tidak berlaku bagi manusia yang tidak memberi
tempat akan adanya dimensi religius dalam dirinya. Dengan kata lain, manusia non
religius berbeda dengan manusia religius dalam memahami dan mengemukakan
gambarannya mengenai Yang Kudus. Hary Susanto juga menegaskan bahwa bagi
manusia religius, Yang Kudus menjadi pusat kehidupan mereka. Yang Kudus
menurut Hary Susanto adalah,
yang sungguh-sungguh nyata, penuh kekuatan, sumber semua kehidupan dan energi. Yang Kudus adalah “Yang Maha Lain”, yang transenden, suatu realitas yang bukan milik dunia ini walaupun dimanifestasikan di dalam dan melalui dunia. Yang Kudus juga ambivalen secara esensial; mempesonakan dan menakutkan sekapenyebab kehidupan dan kematian sekaligus, berguna tetapi membahayakan, dapat didekati sekaligus tak terhampiri.39
2. Kehadiran Yang Kudus dalam Hidup Manusia
Mariasusai Davamony menyatakan bahwa yang kudus adalah sesuatu yang
dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai.40 Dalam pengertian ini, maka yang
kudus tidak hanya terkait dengan obyek yang bersifat keagamaan. Tempat-tempat,
tindakan, gagasan dan kebiasaan-kebiasaan termasuk di dalamnya. Mariasusai
Davamony menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam pengertian lebih sempit yang
kudus adalah sesuatu yang dilindungi khususnya oleh agama terhadap pelanggaran,
39 P.S. Hary Susanto. 1987. 45. 40 Mariasusai Dhavamony. Fenomenologi Agama, 87.
43
pengacauan atau pencemaran. Hal ini kebalikan dengan yang profan. Yang profan
adalah sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan, bersifat sementara, pendek kata
yang ada di luar yang religius.41
Bertolak dari pengertian Mariasusai, maka kehadiran Yang Kudus dalam
hidup manusia sebenarnya akan “tampak” bukan hanya dalam yang religius,
melainkan juga yang profan. Kehadiran Yang Kudus dalam yang religius tidak
terbatas pada tempat-tempat, tindakan-tindakan, gagasan-gagasan atau pun
kebiasaan-kebiasaan hidup manusia. Yang Kudus juga hadir dalam peristiwa-
peristiwa yang dialami manusia. Ketika tempat-tempat, tindakan-tindakan, gagasan-
gagasan, kebiasaan-kebiasaan dan peristiwa-peristiwa hidup manusia diyakini oleh
umat beragama ada kehadiran Yang Kudus di dalamnya, maka keseluruhan tempat,
tindakan, gagasan, kebiasaan dan peristiwa tersebut akan diyakini pula sebagai
kudus. Dengan demikian kekudusan tempat-tempat, tindakan-tindakan, gagasan-
gagasan, kebiasaan-kebiasaan dan peristiwa-peristiwa tersebut terjadi karena adanya
kehadiran Yang Kudus di dalamnya. Namun hal ini tidak meniadakan kehadiran
Yang Kudus di dalam tempat-tempat, tindakan-tindakan, gagasan-gagasan,
kebiasaan-kebiasaan dan peristiwa-peristiwa hidup manusia yang tidak secara khusus
oleh agama diyakini sebagai tempat-tempat, tindakan-tindakan, gagasan-gagasan,
kebiasaan-kebiasaan dan peristiwa-peristiwa ‘kudus’.
Menurut Mircea Eliade “pemisahan” antara tempat-tempat, tindakan-
tindakan, gagasan-gagasan, kebiasaan-kebiasaan dan peristiwa-peristiwa hidup
manusia antara yang kudus atau yang profan tidaklah terjadi dalam kehidupan
manusia arkhais.
41 Ibid., 103-105.
44
Tingkah laku orang arkhais bersifat eksistensial, artinya praktek-praktek dan kepercayaan religius mereka selalu berpusat pada masalah-masalah fundamental kehidupan manusia. Mereka tidak mengenal aktifitas profan. Bagi mereka tidak ada aktifitas yang melulu merupakan kecakapan profan. Alam tidak pernah bersifat natural secara murni, tetapi sekaligus natural dan supra-natural. Bersifat supra-natural karena alam merupakan manifestasi kekuatan-kekuatan Yang Kudus dan figur realitas-realitas transendental.42
Yang Kudus hadir dalam seluruh kehidupan manusia. Alam semesta, dunia nyata-
nyata memperlihatkan atau menjadi tanda kehadiran Yang Kudus. Alam semesta
menjadi tanda kehadiran Yang Kudus karena mengambil bagian dalam kekudusan
Yang Kudus yang adalah Penciptanya. Eliade menguraikan unsur-unsur alam yang
menjadi tanda kehadiran Yang Kudus satu persatu. Dia menyebutkan unsur-unsur
alam yang dimaksud adalah air, bumi, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, bebatuan
dan juga langit termasuk bulan dan matahari juga dinyatakannya.
Menurut Eliade masing-masing unsur alam menunjukkan bagaimana
keberadaannya bagi kehidupan. Air dianggap kudus karena melambangkan
keberadaan manusia dan sekaligus menjadi sumber kehidupannya. Air
melambangkan kematian dan kelahiran kembali hidup manusia.43 Bumi menjadi
tanda kehadiran Yang Kudus, karena bumi merupakan asal dari semua mahluk hidup
dan menjadi sumber dari berbagai kekuatan kudus dan dianggap ibu manusia.44
Demikian pula pepohonan dan tumbuh-tumbuhan memperlihatkan adanya
perkembangan kehidupan yang terus berubah menuju kekekalan.45
Kehadiran Yang Kudus dalam hidup manusia terjadi juga di wilayah-wilayah
atau tempat yang dijadikan tempat tinggal bagi manusia. Manusia religius menurut
Eliade membedakan antara kosmos, yaitu wilayah atau tempat yang sudah 42 P.S. Hary Susanto. 1987.Ibid., 43. 43 Mircea Eliade. 1959. The Sacred and The Profane, 129-136. 44 Ibid., 138-147. 45 Ibid., 147-151.
45
‘disucikan’ dengan khaos atau wilayah yang masih tidak teratur atau kacau.46 Yang
Kudus hadir tempat-tempat yang sudah disucikan. Tempat-tempat yang dijadikan
tempat tinggal adalah tempat-tempat yang sudah disucikan. Namun demikian ada
pula tempat-tempat yang secara khusus dipersembahkan pada Yang Kudus. Tempat-
tempat tersebut kemudian disebut sebagai tempat suci. Di tempat-tempat suci
manusia religius bertingkah laku secara berbeda dari pada kalau ia berada di tempat-
tempat profan.47 Oleh karena itu manusia religius berbeda dengan manusia non
religius dalam memahami keberadaan suatu tempat atau ruang.
Bagi manusia religius, semua ruang tidaklah sama. Suatu ruang dibedakan
dengan ruang-ruang yang lain justru karena kekudusannya.48 Artinya ada perbedaan
‘kualitatif’ antara suatu ruang yang satu dengan ruang yang lain berpangkal dari ada
atau tidaknya ‘kehadiran ‘ Yang Kudus. Pandangan ini berbeda dengan manusia non
religius. Manusia non religius melihat bahwa pengalaman hidup manusia melulu
‘profan’. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara suatu ruang yag satu dengan
ruang yang lain termasuk dengan alasan kualitatif yang disebut sebagai ‘kehadiran’
Yang Kudus. Semua ruang sama antara yang satu dengan yang lainnya dan bersifat
netral.49
Perbedaan antara manusia religius dan non religius dalam meyakini kehadiran
Yang Kudus dalam hidup manusia menurut Hary Susanto menumbuhkan satu
pertanyaan pokok, yaitu apakah di dunia ini terdapat manusia-manusia yang melulu
hanya menerima eksistensi profan saja dan bebas dari semua pengandaian religius
46 Ibid., 29-32. 47 Mariasusai Dhavamony. Fenomenologi Agama, 106. 48 Mircea Eliade. The Sacred and The Profane, 20-21. 49 Ibid., 22-24.
46
dan yang sama sekali menolak kekudusan alam?50 Sebenarnya Yang Kudus hadir
dalam diri semua manusia entah disadari, diyakini atau pun tidak. Yang Kudus juga
hadir dalam pengalaman hidup manusia entah yang berkaitan dengan alam ataupun
relasi dengan manusia lainnya. Hal ini juga berlaku sehubungan dengan keberadaan
suatu ruang.
Disadari dan diyakini atau tidak, Yang Kudus juga hadir dalam ruang mana
pun. Permasalahan yang dihadapi saat sekarang ini adalah apakah ada signifikansi
antara pemahaman, kesadaran dan pengakuan akan adanya kehadiran Yang Kudus
dalam hidup manusia dengan kenyataan konkret hidup sehari-hari yang dijalani oleh
manusia? Pertanyaan ini menjadi penting untuk menghantar pribadi manusia tidak
mengabaikan dimensi religius dalam dirinya, sehingga ia tetap hidup selayaknya
sebagai manusia (religius) yang nampak religiusitasnya bukan hanya dalam sebagian
hidupnya, melainkan dalam keseluruhannya. Seperti halnya dia melakukan
pengudusan ruang dan waktu untuk dipersembahkan bagi Yang Kudus, demikian
pula hendaknya dia mengusahakan ‘pengudusan’ dirinya melalui aneka aktivitas
hidupnya, sehingga Yang Kudus bukan hanya hadir dalam tempat tinggalnya,
melainkan dalam hidup dan dirinya.
C. UPAYA-UPAYA PENGUDUSAN RUANG DAN WAKTU BAGI YANG
KUDUS 1. Perlakuan yang Berbeda Terhadap Ruang dan Waktu
Hary Susanto berpandangan bahwa sebenarnya pengalaman manusia modern
mengenai ruang menegaskan adanya perlakuan yang berbeda antara ruang yang satu
50 P.S. Hary Susanto. 1987, 52-53.
47
dengan ruang yang lain sekalipun tidak dimaksudkan dalam kaitan dengan Yang
Kudus. Menurut Hary Susanto,
Pengalaman manusia modern mengenai ruang profan tetap memiliki nilai yang sedikit banyak juga mempunyai kekhususan yang tidak homogen begitu saja seperti halnya dalam pengalaman religius mengenai ruang kudus. Ada tempat-tempat istimewa yang secara kualitatif berbeda dengan yang lain, misalnya saja tempat kelahiran seseorang, tempat terjadinya peristiwa cinta pertama, atau tempat-tempat tertentu di daerah asing yang dia kunjungi untuk pertama kalinya, dsb. Bahkan bagi manusia yang dianggap sangat tidak religiuspun, semua tempat tersebut tetap merupakan suatu hal yang istimewa, yang mempunyai makna tersendiri, merupakan tempat suci kehidupan pribadinya. Di situ ia mengalami suatu realitas yang lain dari kenyataan yang biasa dijumpai dalam hidupnya sehari-hari.51
Dari pandangan tersebut menjadi jelas bahwa manusia mempunyai kecenderungan
untuk melakukan pengkhususan akan berbagai hal yang berkaitan dengan hidupnya
untuk membuat hidupnya makin bernilai atau bermakna. Pengkhususan ini juga
terjadi terhadap ruang dan waktu yang dipersembahkannya bagi Yang Kudus. Bagi
Yang Kudus, manusia mengkhususkan ruang dan waktu dengan melakukan
pengudusan. Oleh karena itu ketika suatu ruang atau waktu sudah dikhususkan bagi
Yang Kudus ruang tersebut akan menjadi ruang yang suci. Demikian pula halnya,
waktu yang sudah dikhususkan bagi Yang Kudus akan menjadi waktu kudus.
Pengudusan yang dilakukan manusia membuat ruang dan waktu yang ada
mendapat makna lebih secara kualitatif, bukan hanya karena dipersembahan untuk
menghormati yang ilahi, namun karena di ruang dan dalam waktu yang suci itulah
Yang Kudus menyatakan diri dan masuk dalam persekutuan dan hubungan dengan
manusia. Dengan adanya komunikasi antara Yang Kudus dan manusia, maka
menjadi mungkinlah bagi manusia untuk berpindah dari satu bentuk keberadaan yang
satu ke keberadaan yang lain, yaitu dari (profan) ke yang suci atau sakral. Menurut
51 P.S. Hary Susanto. 1987, 52-53.
48
Eliade, tempat, wilayah atau ruang yang termasuk khaos memang dapat dijadikan
daerah yang teratur atau kosmos melalui berbagai upaya pengudusan.52
2. Upaya-Upaya Pengudusan Ruang dan Waktu Bagi Yang Kudus
Pengudusan suatu tempat, wilayah atau ruang dapat terjadi melalui ada atau
tidaknya peristiwa hierofani. Hierofani adalah segala bentuk manifestasi dari “yang
suci” dalam “obyek” apapun sepanjang sejarah. 53 Obyek yang menjadi wujud
kehadiran Yang Kudus dapat berupa batu, pohon, atau pun manusia. Suatu obyek
yang merupakan perwujudan kehadiran Yang Kudus tidak lagi menjadi obyek yang
biasa. Hierofani membuat suatu obyek sebagai suatu realitas memiliki tatanan yang
sangat berbeda dengan tatanan dunia, yang menjadi bagian dari dunia profan. Oleh
karena itu ketika manusia religius melakukan pemujaan terhadap “obyek” yang telah
menjadi kehadiran Yang Kudus, maka ia bukanlah menyembah “obyek” tersebut
sebagaimana adanya, melainkan menyembah Yang Kudus yang hadir di dalamnya.
Dengan kehadiran Yang Kudus setiap benda, tempat, wilayah, ruang dan waktu akan
menjadi sesuatu yang lain, meskipun secara lahiriah tetap sama. Melalui peristiwa
hierofani yang diyakini sebagai‘cara’ Yang Kudus hadir, maka suatu tempat, wilayah
atau ruang yang menjadi tempat kehadiranNya disebut kudus atau suci.
Tempat-tempat suci biasanya ditemukan dalam semua agama-agama di dunia.
Beberapa tempat dipersembahkan bagi Tuhan dan oleh karena itu dipisahkan dari
kegiatan-kegiatan biasa dan profan.54 Tempat-tempat ziarah kiranya merupakan
tempat suci yang dipersembahkan bagi Yang Kudus. Terbentuknya tempat ziarah
52 Mircea Eliade. The Sacred and The Profane, 31-32. 53 Lihat Mircea Eliade. (ed.). 1986 The Encyclopedia of Religion, Volume VI. New York: Macmillan
Publishing Company, 313. 54 Mariasusai Dhavamony. Fenomenologi Agama, 106.
49
sebagai tempat suci bagi Yang Kudus seringkali terjadi juga karena adanya peristiwa
hierofani. Oleh karena itu di tempat ziarah seperti halnya di tempat-tempat yang suci
yang lain, manusia religius akan bertingkah laku secara berbeda dari pada kalau ia
berada di tempat-tempat profan.
Pengudusan suatu tempat, wilayah atau ruang menjadi tempat yang suci yang
disebut sebagai peziarahan akan membuat tempat tersebut diistimewakan dan
“dipisahkan” dari tempat-tempat yang lain. Tempat ziarah dipandang sebagai tempat
suci karena menjadi tempat keilahian, tempat dimana Yang Ilahi tinggal. Dengan
demikian kehadiran Yang Ilahi dalam tempat yang pada akhirnya disebut sebagai
peziarahan menjadi unsur yang menentukan untuk “identifikasi” suatu tempat dapat
disebut sebagai tempat ziarah atau tidak.
Selain melalui peristiwa hierofani, pengudusan sering pula harena adanya
suatu tanda yang “menunjukkan” kehadiran Yang Kudus di tempat, wilayah atau
ruang tersebut.55 Adanya tanda kehadiran Yang Kudus diyakini juga sebagai
petunjuk bahwa tempat, wilayah atau ruang dimana tanda tersebut berada disebut
kudus. Dengan tanda yang ada, maka manusia religius mempunyai suatu kepastian
atau pun penegasan bahwa tempat, wilayah atau ruang dimana tanda itu berada dapat
dijadikan sebagai tempat tinggal atau pun tempat untuk melakukan pemujaan kepada
Yang Kudus. Keberadaan suatu tempat ziarah tak lepas juga dari ada atau tidaknya
tanda yang menunjukkan kehadiran Yang Kudus di tempat tersebut. Peziarahan yang
menjadi tempat pemujaan pada Yang Kudus sangat ditentukan keberadaannya oleh
tanda kehadiran Yang Kudus yang terjadi di tempat tersebut. Adanya tanda yang
menunjukkan kehadiran Yang Kudus “menegaskan” kekudusan tempat tersebut dan
55 P.S. Hary Susanto. 1987, 50-51.
50
sekaligus “kelayakan” untuk disebut sebagai tempat ziarah, yaitu tempat dimana
manusia dapat mencari, menemukan dan berelasi dengan Yang Kudus.
Hary Susanto menegaskan lebih lanjut, bahwa apabila hierofani serta tanda-
tanda istimewa yang menguduskan itu tidak ada, pengudusan ruang dapat dilakukan
melalui upacara pengudusan.56 Dengan upacara pengudusan, maka suatu ruang
mengalami “penciptaan kembali”, sehingga menjadi ruang kudus atau yang
dikuduskan. Dalam upacara pengudusan, maka inisiatif perjumpaan manusia dengan
Yang Kudus lebih tampak sebagai inisiatif dari manusia. Suatu ruang dapat menjadi
kudus melalui upacara pengudusan karena dalam upacara pengudusan manusia
religius melakukan tindakan religius. Artinya, tindakan manusia dalam upacara
pengudusan itu mempunyai sifat religius karena keterarahannya pada Yang Kudus.
Menurut Hary Susanto,
Demikian juga halnya dengan tindakan religius; setiap tindakan religius, hanya oleh karena fakta sederhana bahwa tindakan itu bersifat religius, diberi status atau makna simbolis sebab tindakan itu menunjuk kepada mahluk atau nilai-nilai supra natural. …Jadi simbol mengubah suatu benda atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada benda atau tindakan yang nampak bagi pengalaman profan. 57
Melalui tindakan religius dalam upacara pengudusan, maka suatu ruang akan
menjadi tempat yang berbeda dari sebelumnya, yaitu menjadi ruang kudus. Ruang
tersebut tidak lagi sebagai ruang profan melain tempat yang suci karena sudah
“dikuduskan”.
Keberadaan tempat ziarah dapat pula muncul karena adanya upacara
pengudusan, sehingga tempat yang semula biasa saja menjadi tempat yang kudus
atau suci. Pengudusan suatu tempat untuk menjadi peziarahan melalui upacara
pengudusan berarti merupakan tindakan penciptaan kembali. Dengan demikian 56 Ibid., 62. 57 Ibid.
51
tempat tersebut mempunyai “identitas” yang baru. Namun demikian hal ini terjadi
tak lepas dari ada atau tidaknya “otoritas” dibalik upacara pengudusan yang terjadi.
Berger sangat menekankan pentingnya legitimasi yang memberikan penegasan akan
kebenaran suatu fenomena.
Menurut Berger, pandangan individual tentang fenomena yang ada
membutuhkan penegasan akan kebenaran yang dipahami, sebab setiap nomos
menghadapi individu sebagai suatu realitas bermakna yang memahami dirinya dan
semua pengalamannya. Dalam pandangan Berger, agama sebagai institusi religius
dapat memberikan penegasan akan makna fenomena yang ada. 58 Dengan pandangan
dari agama, maka individu-individu dapat menginternalisasikan makna-makna yang
ada. Legitimasi dari agama bisa menjadi pembenaran akan makna atau tindakan
yang telah dijalani setiap individu ataupun juga tindakan kolektif dari individu-
individu sebab agama merepresentasikan kekuatan keramat atau keilahian (dari
Yang Kudus). Lebih lanjut Berger berpandangan, legitimasi religius memberikan
semacam stabilitas dan kontinuitas kepada formasi-formasi tatanan sosial yang
secara intrinsik adalah rawan. Dengan legitimasi religius, maka terjadi transformasi
produk manusia menjadi faktisitas supramanusiawi dan nonmanusiawi. Dunia yang
dibangun manusia menjadi suatu nomos ilahi, atau sekurang-kurangnya suatu realitas
yang mendapat maknanya dari luar lingkup manusia.59
Keberadaan suatu peziarahan kiranya juga sangat ditentukan oleh legitimasi
religius ini. Pengudusan suatu tempat, wilayah atau ruang untuk menjadi tempat yang
suci sangat membutuhkan adanya legitimasi religius. Hal ini terjadi menurut
Schroeder, karena seluruh legitimasi kekuatan agama ditemukan dari sumber-sumber
58 Peter L. Berger. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. terj. Jakarta: LP3ES, 65. 59 Ibid., 108.
52
yang skaral dan transendental, yaitu dari Tuhan atau Dewa. 60 Institusi agama
mempunyai “otoritas” pengudusan tidak dari dirinya sendiri, melainkan dari Yang
Kudus. Personifikasi otoritas dari agama ini tampil dalam diri para ulama atau elite
agama. Melalui mereka diperoleh legitimasi sehubungan dengan hal-hal yang terkait
dengan agama yang bersangkutan. Dalam Gereja Katolik, otoritas ini dipegang oleh
hirarki. Dengan demikian entah melalui tokoh agama atau institusi agama sendiri,
maka legitimasi akan memberikan kepastian status wilayah, tempat atau ruang untuk
disebut sebagai tempat ziarah atau bukan. Dengan legitimasi ini pula tempat, wilayah
atau ruang sebagai realitas yang telah dikuduskan dan mempunyai kepastian status
itu juga akan mempunyai “identitas” baru baik dari dirinya sendiri maupun sebutan
dari luar dirinya, yaitu sebagai peziarahan.
60 Ralp Schroeder. 2002. Max Weber tentang Hegemoni Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius, VIII.
53
BAB III
PERTUMBUHAN DAN PEMBENTUKAN
CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS SEBAGAI PEZIARAHAN
Bab III ini memaparkan secara deskriptif apa yang telah diperoleh penulis
tentang proses pembentukan peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus (CHKTY),
Ganjuran. Observasi, pengamatan, maupun wawancara yang dilakukan oleh penulis
telah memungkinan perolehan informasi yang sangat kaya tentang fenomena
peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.
Dengan metodologi penelitian kualitatif interpretatif, maka dalam penelitian
ini apa yang dilihat, dialami, dipikirkan ataupun dirasakan dan dilakukan subyek
penelitian telah menjadi fokus untuk diteliti. Interpretasi dan pemaknaan subyek
mengenai fenomena peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran khususnya
berkenaan dengan proses pembentukannya menjadi hal yang sentral. Dengan
metodologi ini pula telah diperoleh data deskriptif dari subyek penelitian yang
diamati.
Dari subyek penelitian, maupun dari berbagai sumber lainnya di peroleh
penegasan bahwa ada banyak peristiwa yang terjadi yang melatarbelakangi proses
pertumbuhan dan pembentukan CHKTY sebagai peziarahan. Dengan teknik analisis
interaktif, maka bab III ini menyajikan data tentang proses pertumbuhan dan
pembentukan peziarahan CHKTY sesuai dengan satuan uraian yang telah dibuat dan
sekaligus sebagai penyimpulan akhir. Dengan demikian diharapkan dalam bab III ini
berbagai informasi yang memperlihatkan bagaimana peziarahan CHKTY Ganjuran
pada akhirnya terbentuk seperti sekarang dapat tersaji dengan baik.
54
A. PERISTIWA-PERISTIWA PENTING YANG MEMBENTUK CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN SEBAGAI PEZIARAHAN
1. Pembangunan Gereja Ganjuran
Peristiwa penting yang menjadi latar belakang munculnya peziarahan Candi
Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran oleh para responden, langsung dikaitkan dengan
peran keluarga Schmutzer. Keluarga Schmutzer adalah pemilik Pabrik Gula
Gondang Lipuro. Di bawah kepemilikan Schmutzer bersaudara, pabrik gula Gondang
Lipuro dapat berkembang dengan pesat. Pabrik gula Gondang Lipuro bahkan mampu
bertahan sekalipun ada krisis ekonomi pada waktu itu.
Inisiatif Julius Schmutzer untuk membangun saluran irigasi dari sungai
Progo ke daerah Kretek di Bantul dengan persetujuan Sri Sultan Hamengkubuwono
VIII pada waktu itu dipandang menjadi salah satu faktor yang mendukung
kemampuan pabrik Gondang Lipuro menghadapi krisis. Irigasi yang ada telah
memungkinkan para petani memperoleh sumber air yang cukup untuk mengairi
tanah pertanian mereka yang dipakai untuk penanaman tebu maupun untuk tanaman
padi, sehingga hasil pertanian pun menjadi semakin berlipat.
Bagi keluarga Schmutzer, keuntungan pabrik bukanlah melulu menjadi hak
mereka, melainkan juga hak para buruh. Mereka membagi keuntungan pabrik untuk
menyejahterakan para buruh. Keluarga Schmutzer mengelola pabrik dengan
menerapkan ajaran sosial Gereja, yaitu Ensiklik Rerum Novarum yang dikeluarkan
tahun 1891 oleh Paus Leo XIII. Apa yang ada dalam Ensiklik Rerum Novarum
diterjemahkan oleh Keluarga Schmutzer dalam pengelolaan Pabrik Gula Gondang
Lipuro, yaitu antara lain dalam hal cara mengorganisir para pekerja. Keluarga
Schmutzer membentuk serikat pekerja bagi para pekerja pabriknya. Serikat Pekerja
55
ini mempunyai kekuatan untuk menentukan besarnya upah bagi para pekerja,
sehingga kesejahteraan pekerja terjamin.1 “Sistem pengelolaan” pabrik yang macam
ini telah menjadi faktor yang ikut menentukan ketahanan pabrik dari krisis sekaligus
menjadi kekuatan dari dalam untuk terus berkembang.
Gabungan antara penggunaan teknologi yang sempurna, kondisi kerja yang
menguntungkan, manajemen yang baik dan penggunaan bibit tebu unggul membuat
Pabrik Gula Gondang Lipuro menjadi pabrik gula terbaik di jamannya.2 Keluarga
Schmutzer memandang perkembangan yang terjadi dan keuntungan berlimpah yang
diperoleh oleh pabrik gula Gondang Lipuro sebagai anugerah dari Tuhan melalui
mereka. Sebagai ungkapan syukur atas berkat Tuhan melalui pabriknya, maka
keluarga Schmutzer berkeinginan membangun sebuah gereja. Gereja yang dibangun
hendak dipergunakan bagi keperluan ibadat keluarga Schmutzer sendiri dan para
pekerja pabrik.
Pada tahun 1924 gedung gereja selesai dibangun. Rm. Van Driessche SJ yang
sudah berkarya di Ganjuran untuk memperhatikan pengembangan iman sebelum
pembangunan gereja menjadi pastor pertama yang bertugas di gereja tersebut. Ibadat
umat khususnya Perayaan Ekaristi pun beralih tempat dari kediaman keluarga
Schmutzer ke gereja yang baru. Keluarga Schmutzer dan umat awal di Ganjuran pun
menjadikan gereja yang baru sebagai tempat yang mereka khususkan bagi Tuhan. Di
gedung gereja ini ditahtakan Sakramen Maha Kudus yang menjadi lambang
kehadiran Tuhan di tengah umatNya.
1 Lihat G. Budi Subanar, SJ. 2003. Soegija, Si Anak Betlehem van Java. Yogyakarta: Kanisius. 108. 2 Esti Elihami, Lucia.1995. Sejarah Berdirinya Paroki Hati kudus Yesus Ganjuran: Inkulturasi
sebagai landasan tumbuh dan kembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma FKIP, 31.
56
Keluarga Schmutzer dan umat Ganjuran menyebut gereja yang menjadi
tempat ibadat untuk mengekspresikan hubungan mereka dengan Tuhan sebagai
monumen berkat Kristus. Gedung gereja ini dikenal sebagai Gereja Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran. Di samping gedung gereja inilah terdapat Candi Hati Kudus
Tuhan Yesus.
2. Pembangunan Candi
Candi Hati Kudus Tuhan Yesus memang berada di sebelah bangunan gereja.
Setelah mendirikan gereja, keluarga Schmutzer berkeinginan mendirikan bangunan
yang dapat menjadi tempat khusus bagi mereka untuk berdevosi kepada Hati Kudus
Tuhan Yesus. Mereka ingin menjadikan bangunan itu sebagai monumen keluarga,
yaitu sebagai monumen syukur atas berhasilnya usaha pabrik gula Gondang Lipuro
yang bagi mereka menjadi tanda sangat jelas akan penyertaan dan belas kasih Hati
Kudus Tuhan Yesus. Mereka berharap dengan keberadaan bangunan yang hendak
dibuat, dapat senantiasa mengenang penyertaan dan belas kasih Hati Kudus Tuhan
Yesus yang terus menerus mereka alami. Keluarga Schmutzer memilih monumen
yang mereka inginkan dalam bentuk sebuah candi.
Peletakan batu pertama pembangunan candi dilakukan pada tanggal 26
Desember 1927 oleh Mgr. van Velsen SJ yang menjadi Uskup Batavia pada waktu
itu. Candi dibangun persis berhadapan dengan tempat tinggal keluarga Schmutzer.
Menurut para responden, bangunan dalam bentuk candi dipilih karena candi bagi
orang Jawa terkait dengan hidup religius. Candi dalam khasanah Jawa dikaitkan
dengan peribadatan. Bangunan candi memiliki fungsi sebagai sarana penunjang
57
dalam peribadatan atau kegiatan ritual. Candi menjadi tempat dimana orang
melakukan pemujaan kepada Yang Ilahi.
Menurut para responden, dibangunnya candi dimaksudkan oleh keluarga
Schmutzer juga dalam perspektif yang sama, yaitu ada untuk menunjang pelaksanaan
peribadatan. Oleh karena itu arca yang ada di dalam candi juga hendak menjadi
sarana ritual yang digunakan untuk melambangkan kehadiran ‘Yang Ilahi’ dalam
peribadatan. Maksud keluarga Schmutzer ini sangat jelas dari apa yang tampak
dalam wujud fisik candi termasuk dengan keberadaan arca di dalamnya. Di dalam
candi ditempatkan sebuah arca yang menjadi simbol penjelmaan Tuhan (Yang
Kudus) yang hadir di tengah manusia. Arca yang diletakkan adalah arca Yesus
Kristus yang sedang duduk di tahta, berpakaian raja dalam busana Jawa dan
tanganNya menunjuk pada hatiNya Yang Maha Kudus. Arca candi ini
menyimbolkan kuasa dan kasih Hati Kudus Tuhan Yesus bagi seluruh umat manusia.
Oleh karena itu candi yang dibangun disebut sebagai Candi Hati Kudus Tuhan Yesus
(CHKTY).
Dalam pandangan keluarga Schmutzer, candi HKTY dibangun untuk
menghormati Tuhan sendiri. Candi HKTY menjadi lambang persatuan dengan
Tuhan, tempat umat berjumpa dan berhubungan secara dekat dengan Tuhan sebagai
“raja” mereka. Dengan membangun candi, Julius Schmutzer selaku pemilik
perkebunan tebu ingin mengingatkan peranan Kristus dalam kehidupan keluarga
mereka dan juga para karyawan pabrik serta masyarakat secara lebih luas. Oleh
karena itu CHKTY dipandang oleh para responden mempunyai perbedaan dengan
candi-candi lainnya. CHKTY dibangun untuk menghormati Tuhan. Hal ini berbeda
dengan candi-candi pada umumnya yang dibangun sebagai monumen untuk
58
menghormati manusia yang dipandang telah berjasa atau menjadi pahlawan. CHKTY
diharapkan mampu menarik segenap orang untuk berbakti kepada Kristus, sehingga
Kristus selalu meraja di dalam dirinya dengan Hati Kudus-Nya.
Pembangunan candi HKTY berlangsung dengan lancar karena bahan-bahan
yang dibutuhkan sudah dipersiapkan sebelumnya. Bersamaan dengan pembangunan
candi, keluarga Schmutzer juga memberikan perhatian terhadap pendidikan anak-
anak dengan membangun sekolah-sekolah. Ada 12 sekolah yang dibangun di daerah
sekitar pabrik gula Gondang Lipuro.3 Keluarga Schmutzer juga membangun balai
kesehatan (poliklinik) untuk menunjang kesehatan masyarakat. Poliklinik ini
selanjutnya menjadi rumah sakit yang sekarang dikenal sebagai RS Elisabeth di
Ganjuran dan Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta.
Pembangunan candi, pendirian sekolah dan poliklinik memperlihatkan secara
jelas bagaimana spiritualitas hidup keluarga Schmutzer. Mereka menjalani kehidupan
dengan spiritualitas hidup yang dibangun dari devosi terhadap Hati Kudus Tuhan
Yesus. Keluarga Schmutzer berdevosi terhadap Hati Kudus Tuhan Yesus tidak hanya
dalam doa, melainkan meneruskannya dalam tindakan konkret dengan berbuat kasih
bagi sesamanya. Keluarga Schmutzer dengan sepenuh hati menjalankan karya
kerasulan mereka dalam berbagai bidang kehidupan, yaitu sosial ekonomi, sosial
politik, sosial budaya maupun keagamaan.4
3 Secara lengkap 12 sekolah untuk rakyat yang dibangun atas inisiatif keluarga Scmutzer dapat dilihat
dalam Dewan Paroki Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. 2004. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran: Rahmat yang Menjadi Berkat. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran, 14, 29. 33. Tentang sekolah ini juga pernah dikemukakan oleh Esti Elihami dalam skripsinya dengan menegaskan bahwa 12 sekolah yang didirikan diibaratkan sebagai kedua belas rasul Yesus. Lihat Lucia Esti Elihami.1995. Sejarah Berdirinya Paroki Hati kudus Yesus Ganjuran: Inkulturasi sebagai landasan tumbuh dan kembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma FKIP, 51.
4 Lihat Esti Elihami, Lucia.1995. Sejarah Berdirinya Paroki Hati kudus Yesus Ganjuran: Inkulturasi sebagai landasan tumbuh dan kembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta. 32-33, 36.
59
3. Pemberkatan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus sebagai Monumen Perutusan
Sekalipun bahan-bahan untuk membuat candi, yaitu batu “kali” yang diambil
dari lereng gunung Merapi, sudah dipersiapkan, namun pembangunan candi tetap
memakan waktu selama lebih dari 2 tahun. Baru pada tahun 1930, Mgr. Van Velsen
SJ selaku pimpinan Gereja pada waktu itu (Uskup Batavia) memberkati Candi Hati
Kudus Tuhan Yesus. Pemberkatan dilaksanakan pada tanggal 11 Februari, bertepatan
dengan tanggal penampakan Bunda Maria di Lourdes. Upacara pemberkatan candi
HKTY dihadiri oleh para imam, seluruh pimpinan religius, orang-orang Katolik dari
berbagai pelosok tanah Jawa.5
Melalui pemberkatan itu candi HKTY Ganjuran resmi menjadi monumen
perutusan jemaat, artinya candi tidak lagi hanya sebagai monumen keluarga
Schmutzer, melainkan untuk kepentingan lebih luas. Kedudukan Candi HKTY yang
baru diberkati disejajarkan dengan Gua Maria di Sendangsono. Keduanya merupakan
tempat yang hendak dipergunakan untuk melakukan devosi. Gua Maria di Sendang
Sono menjadi tempat khusus berdevosi pada Maria Ibu Yesus, sedangkan Candi
HKTY Ganjuran untuk berdevosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Gua Maria di
Sendang Sono diakui sebagai monumen kelahiran murid Kristus, yaitu melalui
peristiwa pembaptisan umat Katolik pertama di Jawa pada tahun 1904, oleh Rm. Van
Lith SJ, maka CHKTY Ganjuran merupakan monumen perutusan murid Kristus
dengan keberadaannya untuk dipersembahkan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus.
Pemberkatan candi HKTY untuk menjadi monumen perutusan telah sejalan
dengan apa yang dinyatakan Mgr van Velsen SJ pada waktu peletakan batu pertama
pembangunan candi. Beliau meminta agar candi dijadikan sebagai monumen Gereja
5 Dewan Paroki Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. 2004. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran: Rahmat yang Menjadi Berkat. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran, 33.
60
Katolik secara “nasional”, sehingga dihadapan Kristus Raja seluruh umat dan
masyarakat di tanah Jawa dimohonkan perlindunganNya. Dengan bangga para
responden juga mengemukakan bahwa, Gereja Ganjuran boleh dikata sebagai
monumen berkat Kristus Raja yang setia mendampingi umatNya dengan belas kasih
hatiNya Yang Mahakudus. Sedangkan candi HKTY menjadi monumen perutusan
atas berkat yang sudah diterima.
Penghormatan dan bakti kepada Hati Kudus Tuhan Yesus tidak berhenti
melalui doa dihadapan Hati Kudus Tuhan Yesus, melainkan dalam kehidupan sehari-
hari. Candi sebagai monumen perutusan mengenangkan berkat Tuhan yang telah
diterima keluarga Schmutzer dan diharapkan juga berkat dalam diri orang-orang
yang berdoa di hadapan Hati Kudus Tuhan Yesus. Mereka diajak untuk mensyukuri
berkat yang telah mereka terima sekaligus menjadi pembawa berkat bagi orang-
orang lain.
4. Gerakan Romo Utomo dengan Spiritualitas Hati Kudus Tuhan Yesus
Bagi keluarga Schmutzer maupun umat di Ganjuran, menurut para responden,
keberadaan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus sangat besar artinya. Setiap sore
keluarga Schmutzer selalu berbincang-bincang di depan rumah mereka sambil
menatap candi yang persis ada di depan rumah. Mereka sangat menyakralkan candi
tersebut. Mereka selalu berdoa dan memohon kepada Tuhan dengan perantaraan Hati
Kudus Tuhan Yesus. Demikian halnya bagi umat di Ganjuran, CHKTY menjadi
tempat menyepi dari keramaian dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurut
kesaksian Romo L. Ryckeversel SJ, sikap hormat ini telah terbangun sejak awal
keberadaan candi, yaitu pada waktu upacara peletakan batu pertama. Dalam upacara
61
telah dilakukan prosesi menuju stupa candi serta penghormatan oleh seluruh yang
hadir.6
Prosesi yang merupakan penghormatan khusus kepada Hati Kudus Tuhan
Yesus secara rutin dilaksanakan sejak Romo Soegijapranata Pr. berkarya di
Ganjuran, yaitu tahun 1942. Prosesi ini bahkan kemudian ditradisikan dengan
pelaksanaannya pada waktu Jumat I setiap bulan. Namun demikian menurut para
responden, Clash II tahun 1948 telah membawa pengaruh besar. Clash II telah
membuat pabrik gula Gondang Lipuro hancur lebur karena dibumihanguskan, namun
gereja dan candi tetap kokoh berdiri.7 Sekalipun demikian menurut para responden,
dalam waktu-waktu berikutnya ada kesan bahwa CHKTY yang masih kokoh berdiri
belum (tidak) terawat, sehingga kondisinya kotor, gelap dan di sekitarnya penuh
dengan rerumputan bahkan semak belukar. Candi menjadi semakin kotor ketika pada
kesempatan bersembahyang di waktu malam hari, umat memakai lampu dari minyak
tanah.
Bagian atas candi Hati Kudus Tuhan Yesus dengan arca di dalamnya
senantiasa dikunci. Bagian atas hanya dibuka jika Jumat I untuk memberi
kesempatan umat yang akan bersembahyang. Sejak Romo Soegijapranata berkarya di
Ganjuran dan Gereja Ganjuran menjadi paroki, spiritualitas Hati Kudus Tuhan Yesus
mulai digali. Prosesi sebagai penghormatan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus sudah
dilaksanakan dan mulai ditradisikan.8 Selanjutnya sekitar tahun 1970-an oleh Rm.
Jonckbloed mulai diadakan tuguran dan tirakatan setiap malam jumat. Pada akhir
6 Dewan Paroki Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. 2004. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran: Rahmat yang Menjadi Berkat. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran, 20-23. 7 Ibid., 35. 8 Ibid., 38.
62
tahun 1980-an spiritualitas Hati Kudus Tuhan Yesus digali kembali oleh Romo G.
Utomo.
Romo G. Utomo yang mulai berkarya di Ganjuran pada tahun 1988 berupaya
untuk “menghidupkan” Candi HKTY. Beliau mengajak umat untuk menggali
kembali semangat Hati Kudus Tuhan Yesus. Beliau meyakini sepenuhnya bahwa
semangat Hati Kudus Tuhan Yesus adalah spiritualitas hidup keluarga Schmutzer.
Semangat Hati Kudus Tuhan Yesus inilah yang melandasi keseluruhan hidup
keluarga Scmutzer. Dengan semangat belas kasih dari Hati Kudus Tuhan Yesus,
maka Josef dan Julius Schmutzer yang menjadi pemilik pabrik gula Gondang Lipuro
telah mengelola pabrik dengan cara yang berbeda pada jamannya. Keluarga
Schmutzer mengelola pabrik gula Gondang Lipuro berdasarkan ajaran Gereja pada
waktu itu, yaitu Rerum Novarum yang banyak mengupas tentang hubungan kaum
buruh dengan majikan. Kaum buruh yang bekerja di pabrik Gondang Lipuro sungguh
dihargai. Kaum buruh sangat diperhatikan kesejahteraannya. Menurut Romo G.
Utomo keluarga Schmutzer telah sungguh mengelola pabrik dan menjalani hidup
sehari-hari dengan semangat Hati Kudus Tuhan Yesus.
Penghayatan semangat hidup berdasarkan Hati Kudus Tuhan Yesus, menurut
para responden semakin tampak dari kepedulian keluarga Schmutzer terhadap
kondisi masyarakat sekitar dimana mereka hidup. Masyarakat yang pada waktu itu
hidup dalam penderitaan karena kemiskinan, penyakit dan penindasan sungguh
diperhatikannya. Perhatian ini dilakukan oleh keluarga Schmutzer antara lain melalui
tindakan konkret dengan cara memberikan bantuan makanan secara langsung.
Disamping itu hal yang paling mengesankan adalah solusi yang disampaikannya
untuk memecahkan sumber kemiskinan, yaitu melalui pembuatan saluran irigasi
63
untuk mengatasi kekeringan yang telah mengakibatkan masyarakat tidak beroleh
hasil panen.
Rm. G. Utomo Pr. mengajak umat Ganjuran untuk menggali lagi spiritualitas
Hati Kudus Tuhan Yesus seperti telah dihidupi keluarga Schmutzer. Hal ini semakin
dikokohkan melalui penegasan bahwa spiritualitas Hati Kudus Tuhan Yesus telah
menjadi spiritualitas Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran. Oleh karena itu dalam
berbagai kesempatan umat mulai diajak untuk mengerti, memahami dan
melaksanakan devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Umat diajak untuk
menghidupi dan mengamalkan semangat Hati Kudus Tuhan Yesus dalam kehidupan
sehari-hari seperti telah dijalani keluarga Schmutzer. Romo G. Utomo Pr. mengajak
umat menghayati semangat Hati Kudus Tuhan Yesus dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai budaya tradisional yang sudah mengakar dalam kehidupan mereka. Hal
ini dilakukan oleh beliau dengan senantiasa menggunakan tradisi Jawa dalam setiap
aktivitas keagamaan di lingkup candi Hati Kudus Tuhan Yesus.
Menurut para responden, upaya untuk menghayati spiritualitas Hati Kudus
Tuhan Yesus berlanjut dalam pengelolaan candi. Candi yang oleh keluarga
Schmutzer dibangun sebagai “kelanjutan” gereja untuk devosi kepada Hati Kudus
Tuhan Yesus dipandang harus mendapat perhatian yang lebih memadai. Menurut
Romo G. Utomo Pr. perhatian yang selama ini terhadap keberadaan candi belum
sesuai dengan apa yang seharusnya. Keberadaan yang dimaksudkan Romo G.
Utomo Pr. baik dalam hal fisik maupun pengelolaan dalam keseluruhannya. Selama
ini candi justru dipisahkan secara fisik dengan gereja dengan adanya pagar pembatas
dan bangunan lainnya. Pembatasan yang terjadi membuat perhatian terhadap candi
64
menjadi berkurang. Oleh karena itu Romo G. Utomo Pr. mengajak untuk
“menghidupkan” kembali candi melalui penataan lingkungan fisiknya.
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ada termasuk prosesi untuk menghormati
Hati Kudus Tuhan Yesus juga ikut ditata. Dalam perkembangannya, prosesi
semakin mendapat perhatian dan menjadi hal yang sentral dalam ritual keagamaan
di CHKTY Ganjuran. Prosesi dan kegiatan untuk menghayati spiritualitas Hati
Kudus Tuhan Yesus dilaksanakan di candi Hati Kudus Tuhan Yesus dengan
menggunakan simbol-simbol dalam tradisi Jawa. Ternyata ritual yang dilaksanakan
tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya tradisional (Jawa) kemudian justru membuat
CHKTY Ganjuran semakin dikenal baik oleh umat Katolik yang berada di dalam
maupun di luar Paroki Ganjuran. Bahkan perhatian pada budaya tradisional, yaitu
budaya Jawa lantas dipandang sebagai keunikan Candi HKTY Ganjuran.
5. Pembangunan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus sebagai Kompleks
Peziarahan
Tahun 1990an, terjadi peristiwa yang menentukan pertumbuhan dan
pembentukan CHKTY sebagai peziarahan. Menurut para responden, hal ini terjadi
karena adanya upaya dari Romo Utomo Pr. untuk “menghidupkan” lagi CHKTY
dengan cara baru, yaitu mengajak umat belajar menjadi berkat melalui gerakan yang
disebut sebagai kerasulan doa. Disamping kerasulan doa, Romo G. Utomo Pr juga
mengangkat kembali slogan atau sapaan yang sudah dimunculkan sejak tahun 1955
oleh Romo A. Sontobudaja Sj dan Romo A. Sandiwanbrata Pr, yaitu “Berkah
Dalem”.9 Sapaan ini terus dipakai sampai sekarang.
9 Ibid.
65
Romo G. Utomo Pr menggulirkan gagasan kerasulan doa ini bersama Romo
E.M. Supranowo dengan maksud untuk menjadikan Gereja Ganjuran sebagai Gereja
Pendoa. Tahun 1997 gagasan ini direalisasikan melalui pembuatan brosur-brosur
penawaran doa bagi siapapun yang membutuhkan layanan doa. Ternyata layanan
doa yang ditawarkan melalui brosur-brosur tersebut mendapat tanggapan yang amat
menggembirakan. Dari berbagai daerah banyak orang yang mengajukan
permohonan untuk didoakan di candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.
Permohonan doa dengan berbagai macam intensi yang ingin didoakan
ternyata terus berdatangan. Dari brosur penawaran yang mendapat tanggapan
semakin bertambah dan terus-menerus inilah kemudian candi Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran menjadi semakin dikenal. Bahkan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran kemudian dikenal sebagai tempat ziarah. Hal ini terjadi karena para
pemohon doa ternyata tidak hanya berkirim surat, melainkan mereka langsung
datang ke Ganjuran ikut berdoa bersama umat di candi Hati Kudus Tuhan Yesus.
Apa yang terjadi pada tahun 1997, yaitu banyaknya tanggapan terhadap
tawaran layanan doa menjadi momen yang menentukan pertumbuhan dan
pembentukan CHKTY sebagai peziarahan. Pada tahun 1997 menurut para responden,
rombongan peziarah mulai berdatangan ke CHKTY Ganjuran. Mereka merasa belum
“mantap” apabila belum datang sendiri ke Ganjuran. Oleh karena itu pada
kesempatan-kesempatan tertentu para peziarah mulai ikut berdoa bersama umat
Gereja Ganjuran, khususnya pada Misa Jumat I dan Misa Prosesi.
Ketika rombongan peziarah semakin banyak yang datang ke candi HKTY,
maka semakin tampak adanya berbagai kekurangan yang ditemukan. Ada banyak
fasilitas pendukung yang belum tersedia di lingkup CHKTY Ganjuran. Tuntutan
66
konkret menanggapi kebutuhan para peziarah membuat para pengelola CHKTY
membangun berbagai infrastruktur yang dibutuhkan. CHKTY kemudian ditata
layaknya sebagai tempat yang nyaman dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan para peziarah. Dengan demikian lambat laun kompleks Candi Hati
Kudus Tuhan Yesus mulai tertata sebagai suatu peziarahan dengan sarana prasarana
yang memadai.
Salah satu infrastruktur yang dibuat dalam lingkup CHKTY sebagai
peziarahan adalah panel-panel Jalan Salib. Pembuatan panel-panel jalan salib
dilakukan bukan hanya karena kebutuhan para peziarah, melainkan karena adanya
keinginan dari keluarga Schmutzer sendiri. Panel-panel jalan salib dibuat untuk
memenuhi keinginan keluarga Schmutzer pada awal pendirian candi, yaitu agar di
sekeliling candi dibuat panel-panel jalan salib. Dengan panel-panel tersebut
“identitas” CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan semakin diperkuat.
Pembuatan panel-panel jalan salib diteruskan dengan pembangunan sarana
dan prasarana. Penyediaan tempat-tempat untuk para peziarah berdoa maupun
beristirat ikut pula dilakukan seperti halnya pembuatan pendopo. Bal-hal yang
menyangkut keindahan kompleks CHKTY sebagai peziarahan juga tak luput dari
perhatian, yaitu melalui pembuatan taman, pemasangan konblok dan lain-lainnya.
Bahkan untuk membantu para peziarah dalam menjalankan laku ziarah, maka di
komleks yang dibangun itu disediakan pula warung dan toko yang menyediakan
sarana untuk berdoa, makanan, cendera mata atau souvenir.
Pembangunan kompleks peziarahan dilakukan dengan memanfaatkan dana
dari umat ataupun para donatur. Dana untuk pembangunan dapat terkumpul
khususnya melalui apa yang dikenal sebagai stipendium. Para peziarah yang datang
67
berziarah atau pun orang-orang yang doaanya minta didoakan memberikan sejumlah
dana sesuai dengan kerelaan mereka. Dana yang masuk kemudian dikelola oleh
pengelola peziarahan yaitu Dewan Paroki Ganjuran untuk dipergunakan bagi
pemeliharaan candi serta meningkatkan pelayanan bagi para peziarah. Pembangunan
kompleks peziarahan candi HKTY selanjutnya dikenal dengan ungkapan
membangun mandala Hati Kudus Tuhan Yesus. Pembangunan ini menurut
responden menegaskan upaya kompleks CHKTY Ganjuran untuk membentuk diri
sebagai peziarahan. Hal ini dilakukan dengan semakin menunjukkan kesatuan antara
gereja dengan candi, penyediaan sarana dan prasarana yang semakin memadai untuk
menjadi tempat berziarah serta sosialisasi pengertian tentang istilah mandala
khususnya makna spiritualnya.
Istilah mandala dimaksudkan sebagai lingkup, wilayah kekuasaan yang
bernuansa religius. Nuansa religius ini tercipta ketika para peziarah hidup
berdasarkan spiritualitas Hati Kudus Tuhan Yesus. Oleh karena itu, secara spiritual
kompleks peziarahan candi HKTY hendak menjadi mandal Hati Kudus Tuhan
Yesus. Sebagai mandala HKTY, maka diharapkan keseluruhan lingkup peziarahan
CHKTY dikuasai dan dilingkupi Hati Kudus Tuhan Yesus. Candi Hati Kudus Tuhan
Yesus menjadi tempat dimana Kristus meraja dengan Hati-Nya Yang Maha Kudus.
6. Munculnya Air Perwitasari
Munculnya Air Perwitasari disebut sebagai peristiwa yang
“memproklamirkan” Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran sebagai peziarahan.
Sekalipun candi sudah diresmikan sejak tahun 1930, namun perhatian terhadap
keberadaannya tidaklah sebanyak setelah ditemukannya sumber air di bawah dan di
68
sekitar candi. Candi menjadi “besar” dan terkenal salah satunya justru karena adanya
“Tirta Perwitasari” yang ditemukan pada bulan Mei 1998. Sejak saat itulah air yang
bisa digunakan untuk menyembuhkan bermacam penyakit ini membuat CHKTY
menjadi semakin ramai dikunjungi para peziarah.
Air Perwitasari yang bisa menyembuhkan ditemukan “tanpa sengaja” ketika
ada upaya mencari sebab atas sakitnya para romo di Ganjuran. Kamar pastoran
kemudian diteliti karena adanya dugaan bahwa di bawahnya ada sungai di bawah
tanah. Dari penelitian barulah diketahui kalau di kompleks candi dan juga di bawah
pastoran memang terdapat sebuah sumber air yang sangat besar. Bahkan menurut
bisikan, sumber air di bawah candi bisa digunakan untuk menyembuhkan orang.
Menurut para responden, pengalaman sembuh dari sakit melalui air dari candi
pertama kali dialami oleh bapak Perwita. Oleh karena itu air yang ditemukan itu
lantas dinamai sebagai “Tirta Perwitasari” untuk mengabadikan nama Bapak.
Perwita. Setelah dilakukan peneltian lebih lanjut, ternyata air dari candi HKTY
memang mengandung mineral yang dapat menyehatkan tubuh. Air di CHKTY
mempunyai kandungan mineral yang tinggi yang membuat air tersebut bisa langsung
dipergunakan sebagai air minum. Keyakinan bahwa air itu bisa menyembuhkan
semakin dikokohkan bertolak dari penafsiran terhadap waktu yang menunjukkan
peristiwa penemuan air tersebut, yaitu pada Jumat Pertama, bertepatan dengan waktu
untuk devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus dan sekaligus pembukaan bulan
rosario pada bulan Mei 1998.
Setelah peristiwa bapak Perwita yang mengalami kesembuhan dari air
ternyata semakin banyak orang mengalami peristiwa yang sama. Diyakini bahwa air
yang ada di candi HKTY memang bisa menyembuhkan. Namun demikian
69
kesembuhan dapat terjadi apabila para peziarah mempunyai doa yang khusyuk.
Kesembuhan terjadi didukung oleh doa yang khusuk dan kepercayaan kepada Tuhan.
Oleh karena itu untuk memberi kemudahan dalam mengambil air candi, pengelola
peziarahan CHKTY lantas memasang kran air di sekitar candi, agar air terus
mengalir sehingga dapat dengan mudah diambil untuk dipergunakan oleh para
peziarah. Sayang sekali air yang ada dengan kemudahan untuk mengambilnya justru
sering disalahgunakan, yaitu dengan memperjualbelikannya. Air dijual dengan harga
tertentu dengan jumlah yang relatif besar (bergalon-galon).
Dalam pelaksanaan ziarah, umat biasanya menerima percikan air dari candi.
Percikan dilakukan sebagai lambang pemberian berkat dari Tuhan bagi umat yang
hadir. Berkat yang diterima melalui pemberian percikan air candi adalah berkat
kehidupan. Para peziarah yang menerima percikan air candi berarti menerima berkat
untuk menjalani kehidupannya setiap hari. Dengan keberadaan Tirta Perwitasari,
maka peziarahan CHKTY menjadi semakin dikenal dan semakin ramai dikunjungi.
Umat Ganjuran juga semakin merasa memiliki keberadaan peziarahan CHKTY.
Yang pasti, kondisi candi sekarang terawat, sehingga keadaannya bersih dan penuh
dengan penerangan. Hal ini berbeda dengan yang dulu, gelap, pengap dan tidak ada
penerangan apapun untuk menyambut para peziarah kapan pun mereka datang.
B. BERBAGAI UNSUR YANG MEMBENTUK PEZIARAHAN CANDI HATI
KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN 1. Adanya Candi Hati Kudus Tuhan Yesus
Dalam kesatuan dengan gereja, menurut para responden, keberadaan candi
dipandang sebagai unsur yang membentuk peziarahan CHKTY Ganjuran.
70
Keberadaan candi menjadi hal yang menarik para peziarah untuk datang ke
peziarahan candi HKTY Ganjuran. Candi Hati Kudus Tuhan Yesus memperlihatkan
apa yang oleh peziarah dengan istilah unik. Bentuk obyek ziarah yang tidak biasa,
yaitu bangunan candi dianggap menjadi sesuatu yang baru. Apalagi di dalam candi
juga terdapat arca yang mempunyai bentuk khas pula, yaitu arca seorang raja dengan
pakaian raja Hindu Jawa lengkap dengan mahkotanya. Disamping itu juga ada
tulisan dalam candi yang menegaskan siapa yang ditampilkan dalam arca tersebut,
yaitu Yesus Kristus yang dinyatakan dengan bahasa Jawa sebagai “Sampeyan Dalem
Gusti Yesus Pangeraning Para Bangsa”. Candi yang selalu dihubungkan dengan
agama Hindu atau Budha ternyata di Ganjuran terkait dengan agama Katolik. Candi
yang dibangun oleh keluarga Schmutzer ini menjadi “candi Katolik”.
Sebagai obyek ziarah hal ini berbeda dengan peziarahan lain yang pada
umumnya berupa gua dan diperuntukkan untuk devosi kepada Maria ibu Yesus.
Candi Hati Kudus Tuhan Yesus dibangun untuk devosi kepada Hati Kudus Tuhan
Yesus. Oleh karena itu keberadaan candi HKTY sebagai “candi Katolik” merupakan
hal yang “dengan sendirinya” menarik. Adanya candi HKTY menurut para
responden, mengundang para peziarah untuk datang, sekalipun pada mulanya
bangunan candi bukanlah sebagai obyek ziarah. Candi dengan arca Hati Kudus
Tuhan Yesus di dalamnya sebenarnya merupakan monumen keluarga Schmutzer.
Oleh karena itu candi sengaja dibuat oleh keluarga Schmutzer berhadapan dengan
tempat tinggal mereka. Sebagai monumen keluarga, maka candi HKTY dijadikan
oleh keluarga Schmutzer untuk berdevosi pada Hati Kudus Tuhan Yesus.
Sekarang ini, keberadaaan bangunan candi di peziarahan CHKTY sangatlah
sentral. Menurut responden, bangunan candi dengan arca di dalamnya dipandang
71
sebagai unsur pokok yang menentukan keberadaan keseluruhan komplek CHKTY
sebagai tempat ziarah. Keseluruhan tempat di mana candi HKTY berada pada saat
sekarang dipandang sebagai lingkup atau kompleks peziarahan. Oleh pengelola
peziarahan, lingkup ini disebut dengan istilah mandala, yang artinya lingkup, wilayah
kekuasaan yang bernuansa religius. Mandala Hati Kudus Tuhan Yesus dipahami
meliputi bukan hanya candi, melainkan termasuk kompleks gereja beserta sarana dan
prasarana yang ada.
Wawancara dengan responden menegaskan bahwa candi yang pada mulanya
tidak banyak menjadi perhatian, sekarang ini semakin ramai dikunjungi para
peziarah. Candi HKTY tidak lagi hanya sebatas sebagai monumen keluarga dari
keluarga Schmutzer, melainkan sebagai tempat untuk berziarah. Namun demikian
bangunan candi menjadi dikenal dan diakui keberadaannya sebagai tempat ziarah tak
lepas dari keberadaan unsur lainnya, yaitu ritual ziarah yang inkulturatif dan adanya
“Tirta Perwita Sari”.
2. Ritual Ziarah yang Inkulturatif
Adanya candi HKTY memang bukanlah satu-satunya yang mengundang para
peziarah untuk datang berziarah. Para responden mengemukakan bahwa upacara-
upacara yang sering diadakan di peziarahan CHKTY merupakan hal yang menarik
pula bagi para peziarah untuk datang di peziarahan CHKTY. Menurut mereka, apa
yang dilaksanakan di peziarahan CHKTY Ganjuran, yaitu ritual agama Katolik yang
“dikemas” dengan mengindahkan dan menggunakan unsur-unsur dalam budaya Jawa
merupakan hal yang mengesankan. Sekalipun seringkali tidak mengerti apa yang
72
dilihat, apa yang didengarkan dan apa yang diucapkan, namun bagi para peziarah,
suasana “sakral” yang tercipta sangat mendukung pelaksanaan ziarah mereka.
Ritual agama Katolik yang bersifat inkulturatif yang dilaksanakan di
peziarahan CHKTY Ganjuran pada saat sekarang ini, menurut responden telah
menjadi menarik bukan hanya bagi para peziarah yang datang untuk berziarah tetapi
juga mereka yang datang lebih untuk “menonton”. Upaya mengemas ritual agama
yang inkulturatif ini dilaksanakan dengan tetap mendasarkan keseluruhan ritual yang
ada dengan “penggabungan” antara agama Katolik dengan tradisi Jawa. Berbagai
unsur yang ada dalam kebudayaan Jawa “diambil” menjadi bagian dalam upacara
yang ada. Menurut responden, “penggabungan” ini telah dilaksanakan sejak dulu
oleh keluarga Schmutzer khususnya dalam berbagai upacara yang terkait dengan
pabrik.
Keluarga Schmutzer telah senantiasa memberi perhatian terhadap berbagai
upacara yang lekat dengan budaya Jawa dengan mengadakan upacara-upacara yang
dikenal dengan istilah slamatan. Adapun slamatan yang diadakan di pabrik Gondang
Lipuro adalah slamatan untuk memulai musim tanam, musim panen, dan musim
giling tebu. Dalam pelaksanaan slamatan tersebut, keluarga Schmutzer menggunakan
berbagai simbol dari tradisi Jawa, namun sekaligus ”mengusung” makna berdasarkan
agama Katolik. Keluarga Schmutzer mencoba memperkenalkan kepada penduduk
Ganjuran tentang iman Katolik dalam bahasa dan lambang yang dekat dengan
mereka, yaitu tradisi Jawa.
Di antara berbagai ritual yang dilaksanakan di peziarahan CHKTY Ganjuran
pada saat sekarang ini, maka prosesi10 mendapat porsi utama. Menurut responden,
10 Panitia Prosesi Dewan Paroki Ganjuran. 2004. Panduan Prosesi 2004. Yogyakarta: Dewan Paroki
Ganjuran, 69-79.
73
prosesi untuk menghormati Hati Kudus Tuhan Yesus menjadi peristiwa ritual agama
yang paling besar. Bagi umat Gereja Ganjuran prosesi menjadi perayaan Syukur
Agung. Dalam kesempatan prosesi ini, umat yang hadir akan membawa berbagai
persembahan untuk dipersembahkan pada Hati Kudus Tuhan Yesus. Persembahkan
umat berupa hasil bumi, makanan, uang dan lainnya. Persembahan umat secara
simbolis memuncak dalam bentuk gunungan. Umat mempersembahkan itu semua
sebagai ungkapan syukur atas berkat Tuhan yang telah mereka terima. Dengan
mempersembahkan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus hal terbaik yang mereka miliki,
maka umat juga akan menerima berkah “yang lebih” dari Hati Kudus Tuhan Yesus.
Berkah ini bukan hanya untuk hidup umat sendiri, melainkan untuk hidup bersama
dengan dan bagi sesamanya.
Setiap tahun keseluruhan ritual prosesi inilah yang sangat menarik bagi para
peziarah. Seluruh petugas yang memakai pakaian dalam busana Jawa, iringan
gamelan dan suasana hening yang terjadi saat perarakan Hati Kudus Tuhan Yesus
menjadi peristiwa yang mengesankan. Menurut pengelola peziarahan CHKTY
Ganjuran, sikap syukur, kesadaran akan adanya berkat Tuhan yang telah diterima dan
kenyataan bahwa hidup manusia sebagai peziarahan merupakan nilai-nilai yang
terkandung dalam ritual agama yang bersifat inkulturatif yang dilaksanakan di
peziarahan CHKTY. Oleh karena itu bagi mereka sebagai pengelola, ritual agama
yang sekarang ini dilaksanakan hendak terus mereka pertahankan bahkan
“dikembangkan”, yaitu melalui penggunaan bahasa Indonesia untuk bagian-bagian
tertentu. Penggunaan bahasa Indonesia dimaksudkan untuk membantu para peziarah
yang datang dari berbagai daerah agar dapat mengikuti dan memahami makna
upacara yang mereka ikuti.
74
Saat sekarang ritual agama yang setiap tahunnya diselenggarakan di
peziarahan CHKTY Ganjuran itu memang semakin mendapat perhatian. Masyarakat
setempat ikut pula mengambil bagian ketika ritual prosesi dilaksanakan. Para
peziarah dari berbagai daerah terus pula berdatangan untuk ikut serta di dalamnya.
Bahkan menurut responden, prosesi agung yang setiap tahun dilaksanakan tersebut
dianggap sebagai salah satu obyek wisata ziarah yang khas. Dengan adanya ritaul
agama yang inkulturatif itulah peziarahan CHKTY Ganjuran mempunyai nuansa
atau cirikhas tersendiri bila dibandingkan dengan peziarahan lainnya. Ritual agama
yang inkulturatif yang ada merupakan unsur “konstitutif” keberadaan CHKTY
sebagai peziarahan.
Prosesi di peziarahan CHKTY Ganjuran telah menjadi kalender tetap dan
diselenggarakan tiap minggu terakhir dalam bulan Juni. Peristiwa tahunan ini makin
lama makin banyak diminati karena merupakan peristiwa yang di dalamnya
mempunyai banyak keunikan khususnya terkait dengan adanya proses inkulturasi.
Menurut para responden, prosesi yang dilaksanakan di peziarahan CHKTY Ganjuran
yang bersifat inkulturatif ini mirip dengan pelaksanaan upacara perarakan “labuhan”
yang diselenggarakan oleh warga masyarakat setempat, yaitu di Parangtritis, Bantul.
Warga setiap tahun juga mengadakan prosesi yang dikenal sebagai sedekah laut.
Oleh karena itu bagi warga setempat di mana peziarahan CHKTY ada, yaitu di
Ganjuran, pemaknaan akan upacara prosesi lebih mudah mereka tangkap justru
karena ada kesejajarannya dengan sedekah laut yang dilaksanakan sebagai ungkapan
syukur dan mohon berkat pada “Tuhan”.
Setiap diadakan prosesi tahunan itu, pengelola peziarahan selalu membentuk
panitia untuk membantu kelancaran keseluruhan penyelenggaraan ritual. Dengan
75
panitia yang dibentuk, maka perayaan agung yang memakan waktu hampir tiga
setengah jam dengan detil-detil yang ada dapat terlaksana dengan baik berkat adanya
buku panduan yang disusun oleh panitia.11 Yang menarik bagi para responden,
dalam pelaksanaan ritual yang inkulturatif ini kehadiran para peziarah baik umat
setempat maupun dari berbagai daerah lainnya termasuk mereka yang datang untuk
berwisata tampak sama-sama menempatkan diri sesuai dengan kedudukan mereka.
Oleh karena itu ketika ritual sedang berlangsung, ada yang berdoa dengan khusuk,
namun sejalan dengan itu adapula yang hanya menyaksikan seluruh peristiwa untuk
kemudian mendokumentasikan.
Menurut pengelola peziarahan upaya untuk memadukan ritual agama sebagai
pengalaman keimanan dengan unsur seni yang terkait dengan budaya Jawa
merupakan hal yang perlu terus dilakukan. Melalui ritual agama yang inkulturatif
diharapkan para peziarah dapat berjumpa dengan Tuhannya sesuai dengan akar
budaya dimana dia hidup. Hal inilah yang tidak bisa dikesampingkan sehubungan
dengan keberadaan ritual ziarah di lingkup peziarahan CHKTY Ganjuran. Namun
demikian kedekatan dengan Tuhan melalui ritual ziarah hanya dapat dilakukan
apabila peziarah berpartisipasi dalam ritual tersebut sesuai dengan syarat yang sudah
ditentukan. Oleh karena itu dalam setiap pelaksanaan ritual di peziarahan CHKTY
ada yang disebut sebagai panduan termasuk panduan untuk ritual prosesi. Panduan
yang ada menjadi pegangan bagi umat, peziarah maupun para petugas. Dalam buku
panduan secara terinci diuraikan makna dari berbagai simbol yang digunakan dalam
upacara, sehingga membantu para peziarah untuk lebih mudah memahami dan
menghayati. Partisipasi aktif dengan pemahaman akan makna ini menjadi hal sangat
11 Ibid., 5-50.
76
mendukung keseluruhan pelaksanaan ritual ziarah yang sedang berlangsung baik
bagi umat peziarah maupun panitia (atau pengelola).
3. Air Perwitasari: Tuhan Yang Menyembuhkan
Seluruh perayaan syukur yang dilaksanakan di peziarahan CHKTY yang
disebut prosesi selalu diakhiri dengan pengutusan. Sebelum penutup atau perayaan
selesai, seluruh umat (dan peziarah) yang hadir memperoleh berkat Tuhan. Berkat itu
disimbolkan dengan percikan air yang diambil dari mata air candi. Seluruh umat dan
para peziarah biasanya berusaha untuk memperoleh air yang direcikkan pada mereka.
Mereka berpandangan bahwa air yang direcikkan itu sungguh air yang “terberkati”.
Air itu dikenal sebagai Tirta Perwitasari.
Keberadaan air Perwitasari diyakini mempunyai daya menyembukan. Para
responden berpandangan bahwa keberadaan air Perwitasari di lingkup candi Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ikut menentukan keberadaan CHKTY sebagai tempat
ziarah. Menurut kesaksian mereka, sebelum Tirta Perwitasari ditemukan, maka umat
dan peziarah yang datang ke peziarahan CHKTY masih sedikit. Penemuan Tirta
Perwitasari dipandang sebagai titik balik dalam pertumbuhan dan pembentukan
CHKTY sebagai peziarahan. Setelah ditemukannya air yang mempunyai daya
menyembuhkan ini, dari berbagai daerah kemudian semakin banyak para peziarah
yang berdatangan. Air dari sumber air CHKTY diyakini sebagai air suci. Oleh karena
itu bagi para peziarah yang minum atau pun memperoleh percikan dari air suci ini
akan beroleh berkat dan daya yang menghidupkan, menyegarkan dan menyucikan.
Demikian halnya keberadaan Tirta Perwitasari menurut responden menunjukkan
“kesakralan” CHKTY sebagai peziarahan.
77
Sekalipun demikian menurut para responden, dalam kotbahnya Romo
senantiasa mengingatkan agar para peziarah datang bukan pertama-tama untuk
mendapatkan air tersebut, melainkan berkat dari Tuhan. Artinya air adalah sarana
bukan sebagai tujuan. Yang mempunyai daya menyembuhkan bukan airnya,
melainkan Tuhan yang hadir melalui air tersebut. Dengan memberikan anugerah
Tirta Perwitasari yang mempunyai daya menyembuhkan dan menghidupkan, maka
sebenarnya hal itu menjadi tanda yang mengingatkan para peziarah bahwa Tuhan
selalu memberi kehidupan pada manusia.
Menurut para responden, peristiwa kesembuhan bapak Perwita setelah minum
dari air candi dipandang sebagai “mukjijat” yang paling jelas akan Diri Tuhan yang
memberi kesembuhan dan kehidupan. Para peziarah pada umumnya berharap bahwa
diri mereka (khususnya yang sakit) dapat mengalami mukjijat penyembuhan pula.
Sedangkan yang lain berharap melalui air yang terberkati dapat membuat mereka
menjalani kehidupam sehari-hari dengan mantap.
Menurut para responden, banyak sekali orang yang telah mengalami
kesembuhan melalui air Perwitasari. Bagi mereka yang mengalami kesembuhan
berpandangan bahwa kesembuhan yang terjadi bukan semata-mata karena air candi
yang mereka minum atau direcikkan pada mereka, melainkan juga karena mereka
senantiasa berdoa dengan khusuk dan penuh kepercayaan kepada Tuhan.
Kesembuhan terjadi karena adanya berkat Hati Kudus Tuhan Yesus yang bekerja
melalui air Perwitasari. Keberadaan air Perwitasari menjadi sarana bagi Tuhan dalam
bekerja bagi manusia (peziarah).
78
4. Adanya Legitimasi dari Otoritas Gereja
Tumbuh dan berkembangnya lingkup CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan
yang dikenal saat sekarang ini, menurut responden tak bisa dilepaskan dari
kebijakan-kebijakan Gereja. Dalam wawancara, para responden mengemukakan
bahwa peran para romo dan keuskupan sangatlah besar. Apa yang terjadi di tengah
umat Ganjuran tak lepas dari perhatian para romo dan keuskupan. Hal yang sama
juga berlaku berkenaan dengan kebijakan terhadap candi Hati Kudus Tuhan Yesus.
Peletakan batu pertama pembangunan candi dan pemberkatan candi setelah
selesai dibangun dilakukan oleh Mgr. van Velsen SJ yang menjadi Uskup Batavia
pada waktu itu. Demikian halnya, ketika air Perwitasari diketemukan, maka para
romo di Ganjuran langsung mengadakan pertemuan untuk memberikan pengertian
akan penggunaan air tersebut. Hal ini menurut para responden memperlihatkan
peran penting Gereja terhadap apa yang sedang terjadi di tengah hidup umat. Apa
yang dilakukan Mgr. van Velsen SJ dan para romo Ganjuran, menurut responden
menegaskan bahwa apa yang terkait dengan peziarahan candi HKTY Ganjuran
harus mengikuti petunjuk dari Gereja (hirarki). Para romo ataupun keuskupanlah
yang menentukan sehubungan dengan apa yang ada dalam peziarahan CHKTY
Ganjuran. Pengertian dan pemahaman atas air Perwitasari juga tumbuh dan
berkembang seturut pemikiran dari para romo dan keuskupan.
Namun demikian, menurut para responden, peran para romo dan keuskupan
paling tampak melalui Dewan Paroki. Dewan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran dipandang yang berperan untuk menerjemahkan berbagai kebijakan
Gereja terkait dengan CHKTY. Salah satu kebijakan yang begitu berpengaruh bagi
tumbuh dan berkembangnya CHKTY sebagai peziarahan adalah gerakan untuk
79
menjadikan Gereja Ganjuran sebagai Gereja Pendoa. Kerasulan doa yang diadakan
telah “memperkenalkan” secara lebih luas keberadaan CHKTY dan sekaligus telah
menghantar untuk menjadi sebuah peziarahan melalui kedatangan para peziarah
yang menanggapi gerakan kerasulan doa tersebut.
Dewan Paroki sebagai pengelola kemudian mengadakan penataan terhadap
keseluruhan lingkup CHKTY sehingga menjadi kompleks peziarahan seperti
sekarang. Kebijakan untuk mencari dana dari para peziarah atau devosan dan dari
sumber-sumber lain beserta penggunaannya merupakan unsur-unsur penting pula
yang menegaskan keberadaan CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan yang khas.
Dalam hal penggunaan dana, menurut responden, hal yang menarik adalah adanya
alokasi untuk dana sosial. Para responden berpandangan bahwa alokasi dana ini
meneruskan apa yang telah dilakukan oleh keluarga Schmutzer yang senang berbagi
apa yang mereka miliki melalui tindakan karitatif. Dana sosial yang terkumpul tidak
digunakan secara terbatas hanya untuk pemeliharaan tempat ziarah dan pelayanan
kepada para peziarah, melainkan karya sosial lebih luas.
Selanjutnya hal yang menegaskan keberadaan CHKTY Ganjuran adalah
peristiwa penetapan CHKTY sebagai salah satu tempat ziarah bagi umat Katolik
Keuskupan Agung Semarang untuk mendapatkan indulgensi. Penetapan yang terjadi
tahun 2000 ini bagi para responden sungguh sebagai penegasan akan “pengakuan”
yang sah keberadaan CHKTY sebagai peziarahan. Oleh karena itu pula pada tahun
yang sama ada gerakan untuk membaharui pengelolaan peziarahan sehingga
semakin tertata secara lebih terstruktur.
Pembaharuan bukan hanya dalam tata organisasi, melainkan juga didukung
pemenuhan berbagai sarana dan prasarana untuk memberikan pelayanan terbaik
80
bagi para peziarah. Menurut para responden selama tahun 2000 terjadi kesibukan
yang luar biasa di lingkup CHKTY Ganjuran dengan kehadiran para peziarah
sekaligus dibarengi dengan berbagai penataan internal. Keadaan ini menurut
responden menegaskan bahwa sekalipun otoritas Gereja memegang peranan penting
akan keberadaan dan perkembangan peziarahan CHKTY Ganjuran, namun peran
seluruh umat Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran pun tidak bisa diabaikan.
Partisipasi dari berbagai pihaklah yang menumbuhkan dan membentuk CHKTY
Ganjuran sebagai peziarahan yang dikenal seperti sekarang.
5. Kisah-kisah yang Tercipta dan Pengakuan Diri
Salah satu unsur lain yang dikemukakan para responden sehingga membuat
CHKTY diyakini sebagai tempat ziarah adalah adanya begitu banyak pengalaman
religius yang dialami oleh para peziarah. Pengalaman-pengalaman dari para peziarah
ini telah “menciptakan” beragam kisah tentang CHKTY sebagai peziarahan. Ada
peziarah yang mengisahkan dirinya mengalami kesembuhan dari kelumpuhannya.
Peziarah yang lain mengalami mukjijat dalam kehidupan keluarganya yang semula
“berantakan” menjadi baik atau rukun setelah bersama-sama berziarah di peziarahan
CHKTY Ganjuran.
Salah satu responden menceritakan pula kisah lentera di CHKTY Ganjuran.
Sebelum ada lampu yang menerangi kompleks peziarahan CHKTY, maka yang ada
hanyalah lentera untuk penerangan. Lentera itu di pasang di arca Hati Kudus Tuhan
Yesus di dalam candi. Lentera yang berisi minyak tersebut pernah diambil seseorang
untuk dipakai sebagai obat bagi keluarganya yang sedang sakit. Orang yang
mengambil itu memberi kesaksian bahwa minyak dari lentera yang telah dibawanya
81
telah menyembuhkan saudaranya. Kesaksian orang ini, menurut responden kemudian
membuat banyak orang ingin mengalami/melakukan hal yang sama, yaitu
menggunakan minyak dari lentera dalam candi sebagai obat untuk menyembuhkan.
Demikian halnya para peziarah yang lain menceritakan terkabulnya doanya
setelah didoakan dalam kesempatan ritual prosesi di CHKTY atau pun juga ketika
dirinya datang berziarah di peziarahan CHKTY. Ada pula yang mengalami
kesembuhan seperti halnya bapak Perwita setelah dirinya minum dari air Perwitasari
yang memancar dari bawah candi HKTY. Dengan kekuatan doa dan berkat air candi,
dirinya dan orang lain yang meminum air tersebut mengalami kesembuhan.
Berbagai kisah yang ada menguatkan “identitas” CHKTY Ganjuran sebagai
peziarahan dan dari berbagai pengalaman yang terjadi menurut para responden telah
pula memberikan peneguhan pada umat dan masyarakat Ganjuran bahwa CHKTY
memang merupakan peziarahan. Pengakuan ini bukan hanya oleh umat, melainkan
masyarakat. Para responden menegaskan hal ini dengan mengemukakan bahwa yang
datang berziarah ke peziarahan CHKTY Ganjuran bukan hanya umat Katolik tetapi
umat dan masyarakat dari berbagai agama. Hanya saja para responden berkeyakinan
bahwa bagaimana pun juga kepercayaan kepada Tuhan tetap sebagai hal yang utama.
Artinya menurut mereka, adanya lentera, adanya air Perwitasari dan berbagai sarana
yang lain yang ada dan dipakai dalam peziarahan CHKTY tetap harus ditempatkan
sebagai sarana menuju Tuhan dan bukan sebagai tujuan.
Responden begitu menekankan pandangan ini karena melihat pada masa
sekarang banyak peziarah yang berziarah bukan untuk tujuan yang lebih spiritual,
melainkan material. Bahkan dari pengamatan responden, ada yang datang semata-
mata memang untuk berwisata, sekedar melihat apa dan bagaimana peziarahan
82
CHKTY Ganjuran. Kehadiran dalam peziarahan CHKTY Ganjuran dimaknai sebatas
untuk pemenuhan kebutuhan yang material tersebut. Hal yang sama juga dirasakan
oleh responden dengan keberadaan unsur-unsur pendukung yang hendak membantu
para peziarah agar dapat berziarah dengan nyaman. Keberadaan warung-warung
makanan, toko benda-benda suci untuk ziarah, penjualan souvenir menurut
responden bisa “merusak” kesucian ruang dimana CHKTY berada sebagai
peziarahan atau pun suasana ketika ritual ziarah sedang berlangsung.
Dari apa yang terjadi saat sekarang ini menurut responden, CHKTY sebagai
peziarahan memang masih harus terus ditata. Responden menambahkan, gempa yang
terjadi 27 Mei 2006 yang telah memporakporandakan kompleks peziarahan CHKTY
Ganjuran khususnya bangunan gereja meneguhkan kemendesakan penataan kembali
peziarahan CHKTY. Sekarang ini lingkungan peziarahan pun menjadi berubah
dengan adanya “bangunan” sementara di depan candi untuk perayaan ekaristi
mingguan bagi umat Gereja Ganjuran. Namun demikian penataan kompleks
peziarahan CHKTY Ganjuran untuk situasi sekarang tampaknya menurut responden
dipusatkan dulu untuk renovasi gereja. Yang jelas, pasca gempa memang
menunjukkan adanya penurunan peziarah yang ke peziarahan CHKTY Ganjuran.
Namun akhir-akhir ini situasinya menurut responden telah membaik.
Situasi peziarahan setelah gempa dan situasi yang sekarang mengundang
pertanyaan bagaimanakah peziarahan tetap bisa eksis? Menurut pandangan
responden, peziarahan CHKTY Ganjuran bisa eksis bukan semata-mata melalui
peran Dewan Paroki Ganjuran dan para romonya, melainkan (sambil menunjuk buku
panduan prosesi) karena kuasa Hati Kudus Tuhan Yesus. Pengakuan diri sebagai
peziarahan bagi para pengelola peziarahan CHKTY Ganjuran memang tak bisa
83
dilepaskan dari pengakuan akan karya Yang Kudus sehubungan dengan keberadaan
CHKTY. Sekalipun begitu besar peran keluarga Schmutzer, para pengelola, donatur
atau juga umat, namun CHKTY dapat tumbuh dan berkembang sebagai peziarahan
karena adanya karya Allah. Menurut responden, Allah telah bekerja dalam diri
orang-orang yang mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap peziarahan
CHKTY Ganjuran. Hal inilah yang menurut responden membuat peziarahan
CHKTY Ganjuran dapat bertahan dalam segala situasi.
Responden juga mengakui bahwa terbentuknya peziarahan CHKTY tak lepas
dari peran para pengelola peziarahan khususnya melalui para romo yang berkarya di
Paroki Ganjuran dan dewan parokinya. Mereka berperan “menciptakan” kisah-kisah
sehubungan keberadaan CHKTY. Kisah-kisah ini disampaikan melalui brosur, buku
panduan prosesi dan media lainnya. Berbagai kisah tentang gereja dan CHKTY
Ganjuran sebagaimana disampaikan melalui brosur, buku panduan prosesi, buku doa
dan media yang lain telah membentuk pemahaman umat, peziarah dan masyarakat
tentang identitas CHKTY sebagai peziarahan. Gambaran konseptual tentang
peziarahan CHKTY Ganjuran tercipta dalam diri umat, peziarah, masyarakat melalui
sumber informasi yang dibuat oleh pengelola peziarahan.
Dengan demikian, ada kisah-kisah individual yang dibuat oleh para peziarah,
umat dan masyarakat seturut pengalaman mereka masing-masing dan ada kisah
“kolektif” yang telah dirumuskan oleh pengelola peziarahan. Kedua kisah tersebut
saling melengkapi untuk membentuk gambaran tentang CHKTY sebagai peziarahan.
Keduanya menjadi kekuatan yang meneguhkan keberadaan CHKTY Ganjuran
sebagai peziarahan. Masing-masing tidak dapat saling meniadakan. Yang jelas,
menurut responden, adanya informasi dari pengelola peziarahan telah sangat
84
membantu untuk mengenal lebih dalam bagaimana peziarahan CHKTY Ganjuran.
Informasi juga membuat umat, peziarah dan masyarakat mampu memaknai secara
lebih “tepat” berbagai hal yang terkait dengan peziarahan CHKTY khususnya
simbol-simbol yang dipakai dalam ritual ziarah. Sebaliknya adanya kesaksian, kisah,
masukan sebagai kritik dan saran (ada kotak khusus yang disediakan oleh pengelola
peziarahan) dari umat, peziarah dan masyarakat telah membantu pengelola
peziarahan untuk melakukan penataan terus menerus peziarahan CHKTY. Melalui
kisah-kisah yang tercipta dan pengakuan diri, maka CHKTY semakin diteguhkan
keberadaannya sekaligus ditantang untuk secara jujur menunjukkan kepantasannya
sebagai sebuah peziarahan. Peziarahan CHKTY menurut responden diharapkan terus
menjadi sebuah peziarahan yang ramai dikunjungi bukan hanya karena kelengkapan
sarana dan prasarananya, namun karena mampu membantu peziarah untuk mencapai
tujuan peziarahannya. Apabila ini terpenuhi, maka akan muncul kisah-kisah lebih
lanjut yang semakin menguatkan atau meneguhkan identitas CHKTY Ganjuran
sebagai peziarahan.
85
BAB IV
PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN:
RUANG BAGI YANG KUDUS
Terbentuknya suatu peziarahan sebagai ruang bagi Yang Kudus tidak terjadi
dengan sendirinya. Peziarahan terbentuk bukan sebagai sesuatu yang “given”,
melainkan bentukan. Ada berbagai peristiwa dan berbagai unsur yang berperanan
menentukan dalam proses pertumbuhan dan pembentukan suatu peziarahan. Dalam
penelitian tentang terbentuknya peziarahan CHKTY Ganjuran hal ini sangat jelas
dapat kita temukan. Dalam paparan hasil penelitian tentang proses pertumbuhan dan
pembentukan peziarahan CHKTY Ganjuran ditemukan bahwa peziarahan CHKTY
Ganjuran terjadi tidak dengan sendirinya. CHKTY Ganjuran menjadi sebuah
peziarahan yang dikenal pada masa sekarang ini tak lepas dari berbagai peristiwa dan
unsur-unsur yang mendukungnya.
Bab IV dalam tesis ini hendak menyajikan analisa atas terbentuknya
peziarahan CHKTY Ganjuran sebagai ruang bagi Yang Kudus. Analisa berpusat
pada upaya untuk melihat dan menemukan bagaimana pengudusan ruang telah
terjadi di lingkup CHKTY Ganjuran. Oleh karena itu pemikiran-pemikiran yang ada
dalam Bab II yang telah mengupas tentang ziarah manusia dan pengudusan ruang
bagi Yang Kudus menjadi pegangan dan pendasaran dalam melakukan analisa.
Selanjutnya secara khusus dalam bab ini hendak pula dipaparkan tantangan-
tantangan yang ada pada masa sekarang dan akan datang sehubungan upaya untuk
tetap “mempertahankan” dan mengembangkan CHKTY Ganjuran sebagai
peziarahan.
86
A. PENGUDUSAN YANG TERJADI
1. Kehadiran Yang Kudus
Apa yang membuat suatu tempat menjadi suci? Mariasusai Dhavamony,
mengemukakan tempat suci adalah tempat keilahian, kekudusan. Tempat suci
berbeda dari tempat profan, karena inilah tempat tinggal yang ilahi.1 Pengudusan
suatu tempat, wilayah atau ruang yang “biasa” menjadi ruang suci terjadi karena
Yang Kudus hadir di dalamnya. Kehadiran Yang Kudus membuat suatu ruang dapat
disebut sebagai kudus atau suci. Demikian halnya keberadaan wilayah, tempat atau
ruang yang dikenal sebagai peziarahan CHKTY Ganjuran bisa disebut sebagai
tempat yang kudus karena adanya keyakinan kehadiran Yang Kudus di dalamnya.
Dari hasil penelitian, kehadiran Yang Kudus yang menguduskan wilayah atau
ruang yang sekarang disebut peziarahan CHKTY Ganjuran terjadi melalui berbagai
tanda. Menurut hasil penelitian, tanda yang paling “jelas” menunjukkan adanya
kehadiran Yang Kudus yang menyucikan itu adalah munculnya air Perwitasari.
Ditemukannya sumber air yang sangat deras yang ada di bawah candi diyakini
sebagai tanda yang menunjukkan bahwa Yang Kudus berkenan atas peziarahan
CHKTY Ganjuran.
Tirta Perwitasari sebagai tanda kehadiran Yang Kudus menjadi semakin
menguat didukung oleh “khasiat” air tersebut yang bisa menyembuhkan. Hal ini
sejalan dengan pemikiran Mircea Eliade yang mengemukakan bagaimana air
melambangkan keberadaan manusia dan sekaligus menjadi sumber kehidupannya.2
Unsur-unsur alam termasuk air sungguh merupakan manifestasi kehadiran Yang
Kudus.
1 Mariasusai Dhavamony. 1995. Fenomenologi Agama, 110. 2 Mircea Eliade. 1959. The Sacred and The Profane, 129-136.
87
Melalui air Perwitasari, para peziarah merasakan adanya “daya-daya” sebagai
energi yang berfungsi secara luar biasa, di luar perhitungan dan kemampuan
manusia.3 Bagi para peziarah sebagai manusia religius meyakini bahwa “daya-daya”
menyembuhkan dari air Perwitasari bersumber dari Yang Kudus sebagai Yang Maha
Daya. Pengudusan ruang dimana CHKTY Ganjuran berada diyakini terjadi melalui
keberadaan Tirta Perwitasari yang mempunyai daya menyembuhkan. Keyakinan ini
semakin tumbuh dalam diri para pengelola peziarahan maupun para peziarah
didukung adanya berbagai kesaksian orang-orang yang mengalami daya penyembuh
dari air tersebut.
Sekarang ini keberadaan air Perwitasari di peziarahan CHKTY Ganjuran
dipandang sebagai salah satu obyek ziarah yang mengundang para peziarah untuk
datang berziarah. Keberadaan air Perwitasari di peziarahan CHKTY Ganjuran saat
sekarang justru menjadi pusat perhatian para peziarah ataupun alasan aktivitas ziarah
mereka lakukan. Namun catatan kritis yang perlu diperhatikan adalah bahwa
keberadaan Tirta Perwitasari sebagai obyek ziarah haruslah tetap dalam “koridor”
untuk menghantar para peziarah dalam keterarahan pada tujuan transenden
peziarahannya, yaitu untuk mencari dan menuju Yang Kudus. Artinya laku ziarah
yang dilaksanakan bukan sekedar pada pemenuhan kebutuhan yang material,
melainkan kebutuhan yang “transendental”. Hal inilah yang perlu diwaspadai
berkenaan dengan keberadaan Tirta Perwitasari di peziarahan CHKTY Ganjuran,
sebab ada kecenderungan pemenuhan kebutuhan yang material lebih didahulukan
(atau bahkan sering menjadi satu-satunya tujuan berziarah) daripada yang spiritual.
Tirta Perwitasari yang telah menjadi tanda kehadiran Yang Kudus haruslah menjadi
3 Lihat A. Sudiarja. 2006. Agama di Zaman yang Berubah. Yogyakarta: Kanisius, 44-45.
88
sarana bagi para peziarah untuk mengalami kehadiran Yang Kudus. Dengan
pengalaman akan Yang Kudus inilah para peziarah diharapkan menuju pada
pengudusan dirinya.
Paus Yohanes Paulus II menandaskan bahwa tempat-tempat ziarah dalam
tradisi Katolik memang selalu merujuk pada “sesuatu” yang penting dalam
perjalanan hidup beriman umat. Artinya, apabila suatu tempat menjadi tempat ziarah,
maka tempat tersebut merupakan tempat-tempat yang menunjuk kepada kenangan
akan Tuhan.4 Tempat-tempat ziarah yang menunjuk pada kenangan akan Tuhan
menjadi tempat ziarah karena diyakini bahwa di tempat tersebut Tuhan pernah (dan
masih terus) hadir. Demikian halnya dengan keberadaan peziarahan CHKTY
Ganjuran yang terus diyakini sebagai tempat kehadiran Yang Kudus seperti halnya
melalui “mukjijat” Tirta Perwitasari. Peziarahan CHKTY Ganjuran sungguh telah
menjadi ruang bagi Yang Kudus karena Yang Kudus berkenan hadir di dalamnya.
Namun demikian sebenarnya keberadaan peziarahan CHKTY Ganjuran
sebagai ruang bagi Yang Kudus tak bisa dilepaskan dari maksud awal
keberadaannya. Dari hasil penelitian kita mengetahui bahwa sejak awal keluarga
Schmutzer memang berniat untuk mengkhususkan suatu tempat bagi Yang Kudus.
Setelah mendirikan gereja, ia berkeinginan membangun monumen untuk berdevosi
kepada Hati Kudus Tuhan Yesus dalam bentuk sebuah candi. Candi dipilih karena
fungsinya sebagai tempat ibadat.5 Selain itu candi menjadi simbol keabadian dan
kebesaran. Bangunan batu yang tidak lapuk oleh waktu dan cuaca melambangkan
4 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999, 8. 5 Supraktino Rahardjo dalam bukunya Peradaban Jawa menegaskan bahwa candi dalam khasanah
Jawa memang senantiasa dikaitkan dengan peribadatan. Ada candi yang berfungsi untuk tempat menyimpan arca dewa atau simbolnya dan ada yang lebih berfungsi untuk menampung jemaat ketika peribadatan berlangsung. Yang jelas, bangunan candi memiliki fungsi sebagai sarana penunjang dalam peribadatan atau kegiatan ritual. Lihat Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal. 243
89
penyertaan Tuhan kepada umat-Nya yang bersifat kekal abadi. Kesetiaan Tuhan
tidak dibatasi oleh waktu dan situasi (cuaca) apa pun. Di dalam simbol keabadian
inilah raja-raja jaman dulu dimakamkan, dan pemujaan kepada Yang Maha Esa
dilakukan.6
Pemilihan candi sebagai monumen untuk devosi Hati Kudus Tuhan Yesus
sebenarnya merupakan reinterpretasi fungsi sebuah candi. Apabila sebuah candi
dimengerti mempunyai fungsi untuk tempat pemujaan, maka keberadaan CHKTY
juga mempunyai maksud dan fungsi yang sama. Pengudusan ruang bagi Yang
Kudus yang kita kenal sekarang ini sebagai peziarahan CHKTY Ganjuran terjadi
karena intensi keluarga Schmutzer untuk mengkhususkan suatu ruang, wilayah atau
tempat bagi Yang Kudus. Sekalipun keluarga Schmutzer tidak berkehendak
membuat suatu tempat untuk menjadi peziarahan, namun niatnya untuk
mengkhususkan suatu tempat bagi Yang Kudus telah menjadi jalan pengudusan
CHKTY sebagai ruang bagi Yang Kudus.
Pengkhususan suatu ruang bagi Yang Kudus dalam bentuk candi berdasarkan
hasil penelitian merupakan kelanjutan dari tindakan religius keluarga Schmutzer
yang bersyukur kepada Yang Kudus (Hati Kudus Tuhan Yesus) atas anugerah yang
mereka diterima melalui pabrik gula Gondang Lipuro yang mereka miliki.
Perwujudan syukur yang mereka lakukan adalah dengan mendirikan sebuah tempat
untuk beribadat bagi mereka sendiri dan para pekerja pabrik. Mereka mendirikan
sebuah gereja yang sekarang dikenal sebagai Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus.
Sebagai tempat beribadat yang secara sadar dikhususkan bagi Yang Kudus, maka
6 Dewan Paroki Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. 2004. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran: Rahmat Yang Menjadi Berkat. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran. 75.
90
gereja seperti halnya candi secara kualitatif berbeda dengan bangunan dan ruang
yang lainnya.
Dari pemikiran Hary Susanto dengan berpijak pada Mircea Eliade, apa yang
dilakukan keluarga Schmutzer telah membuat ruang dimana CHKTY Ganjuran itu
berada secara kualitatif berbeda dengan ruang atau wilayah lainnya.7 Ruang dimana
gereja dan CHKTY berada telah dikhususkan bagi Yang Kudus, sehingga dengan
demikian dapat disebut sebagai ruang kudus. Hal itu semakin nyata melalui
fungsinya yang terus menerus mendapat perhatian, yaitu untuk tempat ibadat atau
pemujaan kepada Yang Kudus. Oleh karena itu peziarahan CHKTY mendapat
“pengakuan” akan keberadaannya sebagai peziarahan bukan hanya karena dibuat
sebagai persembahan untuk menghormati Yang Kudus, yaitu Hati Kudus Tuhan
Yesus, namun karena diyakini menjadi obyek dari kekuatan Yang Kudus sendiri
yang telah dikaruniakanNya bagi hidup manusia untuk berelasi denganNya.
Yang Kudus sebagai yang sungguh-sungguh nyata, penuh kekuatan, sumber
semua energi, Yang Maha Lain, yang transenden tetaplah sebagai suatu realitas yang
bukan milik dunia sekalipun dimanifestasikan di dalam dan melalui dunia.8 Manusia
memang membutuhkan perlambangan untuk menangkap, memahami dan
berkomunikasi, bahkan “mengalami” kehadiran Yang Kudus, yang di luar jangkauan
diri manusia yang serba terbatas. Menurut hasil penelitian, keberadaan arca Kristus
Raja di dalam CHKTY merupakan perlambangan kehadiran Yang Kudus. 9 Arca
7 P.S. Hary Susanto. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius, 53. 8 P.S. Hary Susanto. 1987. Ibid., 45. 9 Lihat Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu. hal. 270. Menurut
Supratikno Rahardjo, keberadaan candi dengan arca di dalamnya dapat menjadi media perjumpaan antara peziarah dengan Yang Ilahi seperti halnya “arca dipandang sebagai media yang dapat ‘hidup’ ketika esensi kedewataan masuk ke dalamnya melalui suatu upacara tertentu”
91
Kristus Raja yang ada dalam candi yang disebut “Sampeyan Dalem Maha Prabu
Yesus Kristus Pangeraning Para Bangsa”, merupakan simbol suci.
Seperti halnya simbol suci yang lainnya yang ada dalam Gereja, maka arca
Kristus Raja hendak mengajak umat (peziarah) untuk berkomunikasi denganNya.
Hal ini telah pula disampaikan oleh keluarga Schmutzer yang berharap bahwa
keberadaan CHKTY dengan arca Kristus Raja dapat mengundang umat untuk
menyadari keberadaannya sebagai manusia dihadapan Yang Kudus. Keberadaan arca
HKTY yang melambangkan kehadiran Yang Kudus diyakini telah memungkinkan
manusia berkomunikasi denganNya. Oleh karena itu ruang dimana arca itu berada
mendapat arti baru dari ruang biasa menjadi ruang kudus. Sebagai ruang bagi Yang
Kudus, CHKTY Ganjuran telah menjadi tempat bagi keluarga Schmutzer untuk
berdoa, berdevosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Kegiatan doa, bersembahyang
atau pun devosi kemudian dilaksanakan pula oleh umat termasuk puncaknya dalam
setiap tahun melalui ritual inkulturatif untuk menghormati Hati Kudus Tuhan Yesus
yang disebut sebagai prosesi.
2. Ritual Agama yang Inkulturatif
Pengudusan suatu ruang “biasa” menjadi ruang kudus dapat pula terjadi
karena tindakan religius manusia. Manusia religius menyucikan tempat yang baru
dengan suatu upacara.10 Dengan upacara pengudusan, maka suatu ruang mengalami
“penciptaan kembali”, sehingga dari ruang “biasa” menjadi ruang kudus atau yang
dikuduskan. Hasil penelitian memperlihatkan pengudusan ruang yang sekarang
10 P.S. Hary Susanto. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius. 46.
92
menjadi peziarahan CHKTY Ganjuran juga terjadi melalui upacara.11 Bahkan
upacara ini menjadi unsur yang sentral bagi terbentuknya CHKTY Ganjuran sebagai
peziarahan maupun bagi keberadaan selanjutnya.
Peletakan batu pertama pembangunan candi yang dilaksanakan pada tanggal
26 Desember 1927 oleh Mgr. van Velsen SJ yang menjadi Uskup Batavia pada
waktu itu menjadi titik awal tindakan manusia untuk menguduskan tempat, wilayah
atau ruang yang hendak dibangun candi itu sebagai ruang kudus. Peletakan batu
pertama pembangunan candi mengandaikan adanya tindakan pemilihan yang telah
dilakukan, yaitu menentukan suatu tempat untuk menjadi ruang bagi Yang Kudus.
Bagi manusia religius, tindakannya untuk memilih suatu tempat, mengaturnya dan
kemudian mendiaminya merupakan tindakan yang mengandaikan suatu pilihan
eksistensial, pilihan atas dunia tertentu yang menuntut kesediaan untuk
“menciptakannya”.12 Dengan tindakan pemilihan ini, maka sejak awal ia mempunyai
kesadaran bahwa tempat yang dipilih akan menjadi “pusat” keberadaannya, menjadi
dunianya yang baru.
Tindakan manusia untuk “menciptakan kembali” ruang yang telah dipilih
untuk dibangun sebuah candi dilaksanakan melalui pemberkatan. Setelah peletakan
batu pertama yang disertai pemberkatan patung kecil Hati Kudus Tuhan Yesus yang
ditanam di dalam candi, maka pada tahun 1930, Mgr. Van Velsen, SJ selaku
pimpinan Gereja pada waktu itu (Uskup Batavia) memberkati Candi Hati Kudus
11 Lihat Dewan Paroki Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. 2004. Gereja Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran: Rahmat Yang Menjadi Berkat. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran. Halaman 20-23 mengisahkan bagaimana ritual yang inkulturatif telah dilaksanakan untuk upacara pemberkatan candi. Hal yang sama ditegaskan oleh Esti Elihami dengan menyatakan bahwa Schmutzer dengan bukunya Europanisme of Catholicisme berusaha menggali kebudayaan Jawa beserta maknanya. Lihat Esti Elihami, Lucia.1995. Sejarah Berdirinya Paroki Hati kudus Yesus Ganjuran: Inkulturasi sebagai landasan tumbuh dan kembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma FKIP. 57-58.
12 P.S. Hary Susanto. 1987. Ibid., 48.
93
Tuhan Yesus. Pemberkatan yang dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 1930 dalam
ritual agama yang inkulturatif merupakan tindakan pengudusan terhadap CHKTY
beserta seluruh ruang lingkup di mana candi itu berada. Melalui pemberkatan itu
candi HKTY Ganjuran telah menjadi kosmos, yaitu daerah yang teratur dan
berbentuk karena sudah “dikonsekrasikan”.
Melalui upacara pengudusan, maka ruang lingkup dimana CHKTY berada
telah menjadi tempat yang berbeda dari sebelumnya, yaitu menjadi ruang kudus.
Seluruh ruang lingkup dimana CHKTY berada tidak lagi sebagai ruang profan
melainkan tempat yang suci karena sudah “dikuduskan” (diberkati). Dengan
demikian tempat tersebut mempunyai “identitas” yang baru. Dengan pemberkatan,
CHKTY menjadi pusat “dunia” baru, yaitu dengan “identitasnya” untuk menjadi
monumen perutusan jemaat. Candi HKTY mempunyai kedudukan baru sebagai
ruang bagi Yang Kudus yang tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga Schmutzer
yang telah melakukan pemilihan atas ruang yang hendak dikuduskan, melainkan
sebagai monumen Gereja Katolik secara nasional.
Ruang yang sudah dikuduskan yang sekarang dikenal sebagai peziarahan
CHKTY Ganjuran ini merupakan altar bagi Yang Kudus. Apabila mendirikan candi
dipandang seperti halnya mendirikan sebuah altar, maka dengan mendirikan candi
HKTY hendak diupayakan terjalinnya hubungan manusia dengan Yang Kudus.
Pendirian CHKTY sebagai sebuah altar bagi Yang Kudus berarti tindakan untuk
menghadirkan Yang Kudus di tengah-tengah manusia (umat, peziarah). Keluarga
Schmutzer berharap pembangunan CHKTY dapat membuat orang-orang senantiasa
datang menghadap Hati Kudus Tuhan Yesus dan melakukan “pemujaan” kepadaNya.
94
Upacara pengudusan untuk “penciptaan kembali” ruang yang sekarang
menjadi CHKTY dilaksanakan dalam ritual agama yang inkulturatif. Keseluruhan
upacara pengudusan dengan sangat jelas menunjukkan adanya peran sangat menonjol
dari budaya Jawa. Pada masa sekarang upacara ini terus-menerus dilaksanakan di
peziarahan CHKTY Ganjuran.13 Menurut Hary Susanto, setiap tahun dunia ini
memang perlu diperbaharui kembali agar dunia bisa memulihkan kembali kekudusan
aslinya, yaitu kekudusan yang diperoleh dari tangan Sang Pencipta.14 Melalui
upacara pengudusan, CHKTY Ganjuran telah menguduskan seluruh kosmos dan juga
menguduskan kehidupan kosmis, karena menjadi tempat kudus dan imago mundi.
Oleh karena itu upacara pengudusan di peziarahan CHKTY Ganjuran bukan hanya
menjadi unsur yang sentral bagi terbentuknya CHKTY, melainkan juga alasan
keberadaan CHKTY di masa kini dan perannya sebagai “pusat dunia”.
Aktivitas ziarah di peziarahan CHKTY Ganjuran yang paling menonjol saat
sekarang justru berbagai upacara untuk merayakan dan memuji kehadiran Yang
Kudus dalam kehidupan umat (peziarah). Adapun puncak upacara seperti dapat kita
ketahui melalui hasil penelitian terlaksana dalam ritual agama yang disebut prosesi.
Prosesi yang dilaksanakan di peziarahan CHKTY merupakan simbol peziarahan
manusia menuju Yang Kudus. Melalui prosesi para peziarah hendak melihat dan
mengarahkan kembali perjalanan hidupnya di tengah dunia agar senantiasa dalam
keterarahan pada Yang Kudus.
Sekarang ini prosesi dilaksanakan dengan mengemasnya sedemikian rupa
sehingga menjadi ritual agama yang bersifat inkulturatif. Kemasan ritual prosesi
13 Ritual yang inkulturatif terlaksana dalam Misa Prosesi seperti dapat dilihat dalam Dewan Paroki
Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. 2004. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran: Rahmat Yang Menjadi Berkat. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran. 77-86.
14 Lihat P.S. Hary Susanto. 1987. Ibid., 56-57.
95
yang inkulturatif ini menjadi daya tarik luar biasa bagi para peziarah yang datang
untuk berziarah atau pun wisatawan yang datang lebih untuk “menonton”. Dari
penelitian ditunjukkan bahwa sekalipun ada perbedaan antara peziarah dan
wisatawan yang datang, namun masing-masing menempatkan diri sesuai dengan
kedudukannya, sehingga proses ritual ziarah dapat berlangsung sebagaimana
mestinya.
Pelaksanaan ritual ziarah yang inkulturatif tersebut saat sekarang memang
telah menjadi ajang keramaian tersendiri di peziarahan CHKTY Ganjuran.
Sumandiyo Hadi menyebutnya sebagai ajang keramaian desa.15 Di dalam ritual,
yang hadir bukan hanya umat Ganjuran, para peziarah setempat, melainkan para
peziarah dan wisatawan dari berbagai daerah, masyarakat setempat bahkan termasuk
mereka yang bukan beragama Katolik. Ritual agama di peziarahan CHKTY
Ganjuran telah menjadi obyek ziarah. Seperti halnya keberadaan Tirta Perwitasari
telah menggerakkan orang-orang untuk berziarah di peziarahan CHKTY Ganjuran,
maka demikian pula halnya dengan adanya ritual ziarah yang dikemas dengan nuansa
Jawa. Banyak para peziarah yang datang untuk berziarah karena ingin mengambil
bagian dalam pelaksanaan ritual ziarah tersebut. Namun, ada pula yang tergerak
untuk datang karena tertarik pada kemasan ritual ziarah yang didasarkan pada
kebudayaan Jawa. Bagi mereka, ritual ziarah menjadi obyek untuk wisata ziarah
yang ingin mereka nikmati.
Sehubungan dengan kenyataan ini, maka ritual ziarah yang inkulturatif yang
menjadi upaya pengudusan ruang yang disebut peziarahan CHKTY Ganjuran
haruslah tetap “dijaga” dari kecenderungannya untuk lebih menjadi sekedar obyek
15 Sumandiyo, Hadi. Y. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku Pustaka, 6-7.
96
wisata dan bukan obyek ziarah. Pelaksanaan ritual ziarah hendak mengupayakan
untuk memungkinkan para peziarah mengalami kebersamaan atau kesetiakawanan
dalam beritual bersama di tempat peziarahan. Selain itu ritual ziarah yang penuh
dengan simbolisme dari budaya Jawa itu diharapkan tidak hanya merupakan alat
efektif untuk menghimpun umat sebagai komunitas, tetapi juga memantapkan
solidaritas dan koherensi kelompok atau sifat kebersamaan. Hal inilah yang sangat
ditekankan oleh Victor Turner sehubungan dengan “fungsi” ziarah dan kiranya dapat
tercipta melalui dan di dalam peziarahan CHKTY Ganjuran.
Di dalam ritual ziarah diharapkan para peziarah memanfaatkan ziarah yang
dijalani sebagai kesempatan di mana komunitas dialami maupun sebagai perjalanan
menuju sumber suci komunitas yang dilihat sebagai sumber penyembuhan dan
pembaharu.16 Hal yang sama telah diitandaskan dalam Konstitusi Liturgi artikel 26
yang menyatakan, semua umat yang hadir dalam upacara menyadari ataupun
merasakan suatu “belonging” atau keikutsertaan, kebersamaan, sekaligus kesempatan
mengadakan kontak sosial yang biasanya cukup langka, menyegarkan atau
memperbaharui rasa solidaritas kelompok. 17
3. Peranan Legitimasi dari Gereja
Pengudusan suatu tempat, wilayah atau ruang untuk menjadi ruang kudus
yang terjadi baik karena adanya tanda kehadiran Yang Kudus maupun melalui
upacara pengudusan kiranya masih menuntut unsur ketiga untuk dapat “secara
legitim” disebut sebagai peziarahan. Unsur ketiga yang dimaksudkan adalah
legitimasi. Peter L. Berger mengemukakan bahwa legitimasi memberikan penegasan
16 Winangun, 1990, 56 17 Konsili Vatikan II. 1993. “Konstitusi tentang Liturgi Suci” dalam Dokumen Konsili Vatikan II. terj.
R. Hardawiryana. Jakarta: Obor.
97
akan kebenaran suatu fenomena.18 Dalam kaitan dengan peziarahan CHKTY
Ganjuran hal ini berarti bahwa pengudusan yang telah terjadi baik melalui tanda
kehadiran Yang Kudus maupun upacara pengudusan masih harus didukung oleh
“otoritas” dibalik keseluruhan proses pengudusan melalui pemberian legitimasi.
Dengan legitimasi yang diberikan oleh “otoritas pemberi makna”, maka keberadaan
CHKTY akan mempunyai kepastian kebenarannya sebagai peziarahan. Disamping
itu, legitimasi menurut pandangan Berger juga akan memberikan kepastian makna
dan sekaligus dapat memberikan pengertian-pengertian pada individu tentang makna
dari fenomena yang ada.19
Legitimasi yang diberikan oleh Gereja akan keberadaan peziarahan CHKTY
Ganjuran kiranya dapat dipahami dalam perspektif yang sama. Sebagai institusi
religius, maka Gereja mempunyai kekuatan untuk melegitimasi yang didasarkan
pada yang sakral dan transendental, yaitu dari Tuhan.20 Dengan demikian Gereja
mempunyai otoritas tidak dari dirinya sendiri, melainkan dari Yang Kudus. Dengan
otoritas dari Yang Kudus inilah Gereja memberikan legitimasi akan keberadaan
CHKTY sebagai peziarahan melalui serangkaian tindakan dan kebijakannya.
Adapun tindakan dan kebijakan Gereja menjadi tampak melalui personifikasi hirarki
Gereja.
Dari hasil penelitian, legitimasi yang terjadi berkenaan dengan CHKTY
Ganjuran sebagai peziarahan terjadi antara lain melalui sosok Mgr. van Velsen SJ
selaku Uskup Batavia yang melakukan peletakan batu pertama pembangunan candi
18 Peter L. Berger. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, 38. 19 Peter L. Berger. 1991. Ibid. 20 Ralp Schroeder. 2002. Max Weber tentang Hegemoni Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius, VIII.
98
maupun pemberkatan setelah candi selesai dibangun.21 Peletakan batu pertama oleh
Mgr. van Velsen secara simbolis menjadi menjadi personifikasi otoritas Gereja yang
memberi pengakuan dan sekaligus memberikan landasan akan keberadaan CHKTY
untuk menjadi ruang bagi Yang Kudus. Demikian halnya melalui pemberkatan,
secara simbolis pula terjadi pengakuan lebih lanjut akan keberadaan candi yang telah
selesai dibangun sebagai ruang bagi Yang Kudus. Bahkan pengakuan ini
dieksplisitkan dengan ungkapan kata-kata (verbal) bahwa CHKTY menjadi
monumen perutusan jemaat. Artinya keberadaan candi telah direstui oleh Gereja
sebagai pemegang otoritas yang menentukan keberadaan suatu tempat untuk disebut
sebagai ruang bagi Yang Kudus. Selanjutnya dengan pemberkatan oleh Mgr. van
Velsen, SJ sebagai personifikasi dari otoritas Gereja, maka keberadaan candi telah
sah dalam lingkup Gereja pada waktu itu.
Demikian halnya tindakan Romo Sugijapranata pada tahun 1942 yang
menjabat Pastor Paroki Ganjuran pada waktu itu untuk melaksanakan ritual prosesi
sebagai penghormatan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus di CHKTY menjadi momen
legitimasi pula. Bahkan Romo Sugijapranata sudah memulai menggali spiritualitas
Hati Kudus Tuhan Yesus. Tindakan yang sama terhadap keberadaan candi menurut
hasil penelitian telah dilakukan oleh Romo Jonckbloed sekitar tahun 1970-an yang
mengadakan tuguran dan tirakatan setiap malam jumat di CHKTY Ganjuran.
Demikian halnya Romo G. Utomo yang mulai berkarya di Ganjuran pada tahun 1988
berupaya untuk “menghidupkan” Candi HKTY dengan menggali kembali
spiritualitas Hati Kudus Tuhan Yesus. Keseluruhan tindakan-tindakan tersebut
sungguh menjadi momen legitimasi keberadaan CHKTY.
21 Lihat Dewan Paroki Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. 2004. Gereja Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran: Rahmat Yang Menjadi Berkat. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran. 20-23.
99
Selanjutnya pada tahun 2000 Mgr. Ignatius Suharyo menunjuk CHKTY
Ganjuran menjadi tempat ziarah yang “dapat memberi” indulgensi. Mgr Ignatius
Suharyo sebagai “pemegang” otoritas pada masa kini dengan tindakannya tersebut
telah memperkuat identitas CHKTY Ganjuran, yaitu sebagai suatu tempat ziarah.
Kebijakan ini menumbuhkan semangat baru yang luar biasa besar bagi umat/peziarah
untuk datang berziarah. Dengan penunjukan CHKTY Ganjuran untuk tempat
indulgensi, maka para peziarah mempunyai kepastian akan fungsi candi sebagai
tempat ziarah yang dapat menghantar mereka untuk mengalami “pengudusan” diri
melalui indulgensi ataupun melakukan pemujaan pada Yang Kudus atau bahkan
mengalami kehadiranNya. Dengan demikian legitimasi dari hirarki sebagai
personifikasi dari Gereja sebagai institusi religius telah menjadi kekuatan yang
memberikan kepastian akan keberadaan CHKTY sebagai peziarahan maupun segala
aktivitas ziarah yang terjadi di dalamnya. Dengan legitimasi dari Gereja sebagai
institusi religius, maka sekarang ini pengelola peziarahan maupun umat sebagai
peziarah terbantu pula untuk menemukan pembenaran akan makna yang mereka
pahami atau pun tindakan yang telah mereka jalani.
Hal ini tampak dari tindakan para romo di Paroki Ganjuran bersama Dewan
Paroki Ganjuran sebagai pengelola peziarahan. Dewan Paroki bersama para romo
terus berusaha meneruskan pengakuan akan keberadaan candi dengan
mengaktualkan fungsinya sebagai monumen perutusan jemaat melalui pengadaan
ritual agama yang disebut sebagai prosesi maupun beragam aktivitas lainnya.
Disamping itu para romo dan Dewan Paroki juga tak henti-hentinya memberikan
pengertian dan pemahaman “yang benar” akan keberadaan dan segala aktivitas di
peziarahan CHKTY Ganjuran.
100
Dengan demikian dari hasil penelitian telah kita ketahui bahwa kepastian
kebenaran akan keberadaan CHKTY Ganjuran yang telah mengalami pengudusan
untuk menjadi ruang bagi Yang Kudus memang melibatkan banyak aktor.
Pembentukan peziarahan Ganjuran sebagai peziarahan adalah tindakan aktif kreatif
pemimpin Gereja beserta umatnya. Usaha pembentukan dan pengembangan
peziarahan CHKTY Ganjuran merupakan tindakan aktif dan kreatif dari umat dan
para pemimpin Gereja Paroki Ganjuran beserta mereka semua yang mempunyai
kepedulian terhadapnya termasuk keluarga Schmutzer. Tindakan aktif kreatif itu
muncul dari kesadaran mereka sebagai subyek dengan mempertimbangkan posisinya
masing-masing, antara lain posisi sebagai pemimpin Gereja, pengurus dewan paroki,
dan sebagai umat. Dari kesadaran yang tumbuh bersama ini, maka jelas bahwa
peziarahan menjadi lebih mudah untuk pengelolaannya serta menjadi lebih
“fungsional”, karena sejalan dengan kondisi riil dan kebutuhan umat atau
masyarakat.
Hanya saja, menurut A. Sudiarja ada dilema yang harus dipahami berkenaan
dengan kepentingan otoritas.22 Dengan sistematisasi ajaran agama, maka
berkembanglah tahapan baru dalam hidup keagamaan. Agama menjadi kegiatan yang
lebih dari sekadar praktis-pragmatis, atau reaktif terhadap daya-daya alamiah belaka,
karena sekarang melibatkan juga pikiran manusia. Kenyataan ini membuat
berkurangnya spontanitas dalam ungkapan religius manusia. Yang terjadi justru
adanya keharusan untuk menyesuaikan dengan peraturan-peraturan keagamaan yang
sudah dirumuskan. Kesesuaian terhadap aturan yang ada merupakan hal yang utama
dalam mengungkapkan hubungan dengan Yang Kudus khususnya melalui praktek
22 A. Sudiarja. 2006. Agama di Zaman yang Berubah. Yogyakarta: Kanisius, 58.
101
ibadat. Oleh karena itu menurut A. Sudiarja dari sini muncul kepentingan tokoh atau
otoritas yang berwewenang mengatur dan menetapkan kesamaan-kesamaan yang
diperlukan untuk keseluruhan ungkapan iman dan aturan keagamaan.23 Dalam
tataran inilah, otoritas pemegang kebenaran akan memberikan kata akhir mengenai
mana yang benar, dan mana yang salah.
Dengan kata lain ada bahaya, legitimasi dapat pula menjadi landasan untuk
membuat situasi hidup individu dan sosial umat sebagai situasi yang dapat diterima
dan tidak perlu diubah.24 Sebab apa yang dirumuskan dan tampak dalam pengertian
kolektif akan mempengaruhi individu dalam kehidupan konkretnya. Artinya apabila
ada pemaknaan yang sudah diberikan oleh institusi yang mewakili kekuatan kolektif
pemberi makna, maka individu bisa memahami bahwa makna itu sudah bersifat final.
Padahal menurut Berger, legitimasi seharusnya memungkinkan individu menemukan
pengintegrasian pengalaman-pengalaman nomos dalam dirinya ke dalam nomos
yang ditegakkan secara sosial. Sebab apa yang ada dalam pengertian kolektif telah
ada padanannya dalam kesadaran individual.25 Jadi legitimasi sekali lagi seharusnya
lebih berperanan memberi kepastian makna dan bukan untuk menghapuskan
pemaknaan masing-masing individu. Oleh karena itu berkenaan dengan peziarahan
CHKTY Ganjuran hal ini mengingatkan pentingnya pemaknaan oleh umat/peziarah
tetap mempunyai ruang, sehingga dengan cara demikian umat/peziarah mengambil
bagian dalam mengkonstruksi makna tentang keberadaan CHKTY Ganjuran sebagai
peziarahan dengan keseluruhan aktivitasnya. Sebab bagaimanapun juga tumbuh dan
berkembangnya peziarahan CHKTY tak lepas dari mereka semua sebagai aktor
pemberi makna. 23 A. Sudiarja. 2006. Ibid. 24 Peter L. Berger. 1991. Ibid., 38-41. 25 Peter L. Berger. 1991. Ibid., 38-40.
102
B. CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS: DARI DEVOSI KELUARGA SCHMUTZER KE DEVOSI UMAT
1. Devosi Keluarga yang Mengumat
Hanya “usaha” yang disengaja sama sekali tidak terjamin berhasil. Devosi
rakyat bersifat spontan.26 Ungkapan ini dengan sangat tepat menggambarkan
bagaimana perjalanan peziarahan CHKTY Ganjuran sebagai tempat untuk devosi
keluarga Schmutzer menjadi tempat untuk devosi umat. Pertumbuhan dan
pembentukan CHKTY Ganjuran sebagai ruang bagi Yang Kudus yang sekarang
dikenal sebagai peziarahan tak lepas dari ketegangan itu: antara sifat spontan devosi
dan tindakan yang sadar dan sengaja untuk “mencipta” sesuatu.
Saat sekarang peziarahan CHKTY Ganjuran memang dikenal karena adanya
devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Kegiatan devosional yang bernuansa Jawa
sepanjang tahun terus dilaksanakan. Devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus
dilaksanakan dalam perayaan ekaristi pada malam Jumat Pertama, ibadat malam
Jumat Kliwon, perayaan ekaristi pada hari Minggu Kelima, dan puncaknya pada
prosesi agung di bulan Juni. Devosi di peziarahan CHKTY Ganjuran yang
dilaksanakan sekarang tak bisa dilepaskan dari devosi keluarga Schmutzer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan CHKTY beserta praktek
devosi yang ada di dalamnya justru muncul bertolak dari inisiatif keluarga Schmutzer
yang berkehendak untuk mendirikan monumen syukur atas berkat Tuhan yang telah
mereka terima. Setelah mendirikan gereja, maka inisiatif itu terlaksana dengan
dibangunnya sebuah candi pada tahun 1927 dan diberkati tahun 1930 oleh Mgr. van
Velsen. Candi didirikan untuk menjadi tempat khusus bagi mereka berdevosi pada
26 C. Groenen, OFM. 1988. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta, Kanisius, 190.
103
Hati Kudus Tuhan Yesus. Mereka menjadikan candi sebagai monumen keluarga,
yaitu sebagai monumen syukur atas penyertaan dan belas kasih Hati Kudus Tuhan
Yesus. Oleh karena itu di candi itulah selanjutnya keluarga Schmutzer mengenang
penyertaan dan belas kasih Hati Kudus Tuhan Yesus dengan menjalankan praktek
devosi.
Dari penelitian menjadi jelas pula bahwa pemberkatan candi oleh Mgr. van
Velsen telah “memproklamirkan” CHKTY bukan hanya sebagai monumen keluarga,
melainkan sebagai monumen perutusan jemaat. Artinya ada titik temu antara harapan
keluarga Schmutzer terhadap keberadaan candi dengan Gereja melalui Mgr. van
Velsen, SJ, yaitu agar candi menjadi tempat yang dipersembahkan kepada Hati
Kudus Tuhan Yesus. Seperti halnya Sendangsono menjadi tempat devosi kepada
Bunda Maria, maka demikian halnya CHKTY hendaknya menjadi tempat devosi
kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Tindakan sadar dan sengaja keluarga Schmutzer
dalam mendirikan tempat berdevosi mendapat legitimasi dari Gereja melalui Mgr.
van Velsen selaku uskup Batavia waktu itu.
Namun demikian keberadaan candi sebagai tempat untuk berdevosi umat
tidak terjadi hanya dari inisiatif keluarga Schmutzer yang telah mendapat legitimasi
dari Gereja. Tumbuhnya “benih” kebiasaan untuk berdevosi ini justru muncul secara
spontan dalam peristiwa peletakan batu pertama pembangunan candi. Dikisahkan
oleh L. van Ryckeversel, SJ, bahwa ketika upacara peletakan batu pertama sedang
berlangsung terjadi suasana yang sangat mengharukan.
“Ketika jemaat yang ada di situ, yang terdiri atas orang Jawa dan Belanda, Katolik dan Non Katolik, imam dan awam, tengah mengelilingi stupa, tiba-tiba muncullah seorang nenek pincang. Ia maju ke depan, berjalan pincang
104
dengan kurk di lengannya meniti tiga tingkat stupa. Dari situ ia turun ke peringi, berlutut lalu menyembah tiga kali.“27 Peristiwa ini memperlihatkan adanya “religiusitas asli” masyarakat Ganjuran
yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Masyarakat Jawa di Ganjuran sudah
mempunyai kebiasaan religius dalam menghormati Yang Kudus. Religiusitas asli ini
pula yang telah menjadi unsur menentukan tumbuh berkembangnya peziarahan
CHKTY Ganjuran dari tempat devosi keluarga menjadi tempat devosi yang
mengumat. Penghormatan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus seperti dilaksanakan
oleh Mbah Soinangun, saat sekarang juga dilakukan oleh para peziarah yang datang
ke peziarahan CHKTY Ganjuran.
“Pertumbuhan” CHKTY menjadi tempat devosi yang mengumat tampak pula
dengan sangat jelas dalam peristiwa yang sama seperti disampaikan L. van
Ryckeversel SJ. Menurut L. van Ryckeversel SJ, peristiwa peletakan batu pertama
pembangunan candi, tepat pada waktu hari jadi perkebunan tebu milik keluarga
Schmutzer, yaitu tanggal 26 Desember. Pesta ulang tahun ke 65 pabrik tebu Gondang
Lipuro berlangsung sangat meriah baik jasmani maupun rohani. Diiringi alunan
gamelan, sesudah misa kudus yang dipersembahkan Mgr. van Velsen, SJ di gereja
selesai, umat yang ratusan jumlahnya melakukan prosesi menuju stupa.28
Peristiwa ini menegaskan bahwa kebiasaan religius yang telah bertumbuh di
lingkup pabrik Gondang Lipuro dengan berbagai upacara slamatan yang mereka
laksanakan sehubungan dengan musim tanam “diperjumpakan” oleh kebiasaan
dalam tradisi Katolik untuk merayakan misa kudus sebagai ungkapan syukur atas
anugerah Allah. Kebiasaan religius yang telah ada di dalam masyarakat Ganjuran
27 Dewan Paroki Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. 2004. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran: Rahmat yang Menjadi Berkat. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran, 23. 28 Ibid. 22.
105
untuk bersyukur dan mohon berkat pada Yang Kudus dalam aktivitas hidup yang
mereka jalani tidak dihapuskan, melainkan dimaknai secara baru berdasarkan iman
Katolik. Oleh karena itu praktek devosi saat sekarang ini yang berpuncak pada
prosesi kiranya juga muncul dan berkembang tak lepas dari apa yang sudah hidup
dalam devosi masyarakat Ganjuran. Hal inilah yang kemudian ditumbuhsuburkan
oleh Romo G. Utomo ketika mengajak umat untuk secara sadar menghidupkan
kebiasaan berdevosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Romo G. Utomo
“memadukan” kebudayaan Jawa dengan iman Katolik dalam ritual ziarah di
peziarahan CHKTY Ganjuran. Kemudian secara sistematis dengan membaharui
pengelolaan candi, pengadaan sarana dan prasarana serta berbagai upaya kreatif
lainnya, peziarahan CHKTY Ganjuran pun diperkembangkan sebagai tempat untuk
devosi umat. Dalam berbagai kesempatan baik yang sudah ditentukan oleh pihak
pengelola peziarahan maupun waktu yang dipilih sendiri, maka umat datang ke
peziarahan CHKTY Ganjuran untuk berdoa, memuji, memohon dan mengikuti ritual
ziarah yang ada. CHKTY Ganjuran pun sebagai tempat ziarah pada saat sekarang
menjadi tempat yang semakin ramai dikunjungi oleh peziarah baik secara pribadi
maupun kelompok.
2. Konstruksi yang Berkelanjutan
Sampai sekarang peziarahan CHKTY Ganjuran memang terus dikembangkan
menjadi tempat ziarah “yang layak”. Proses pembentukan CHKTY sebagai
peziarahan belum berakhir dan bahkan terus berkelanjutan. Kesadaran untuk
melakukan konstruksi yang berkelanjutan ini saat sekarang dirasakan semakin
dibutuhkan. Oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun
106
wacana tentang CHKTY sebagai peziarahan. Dalam penelitian dapat kita ketahui
bahwa upaya membangun wacana ini dilakukan dengan cara antara lain pembuatan
brosur, selebaran (Suara Candi), buku panduan prosesi, buku doa dan lain-lainnya.29
Dari brosur yang ada maupun juga buku panduan diperlihatkan bagaimana
keberadaan CHKTY sebagai peziarahan. “Keseluruhan” hal sejauh mungkin
ditampilkan, sehingga memungkinkan banyak orang memperoleh informasi “yang
benar” tentang peziarahan CHKTY Ganjuran.
Setiap tempat ziarah memang biasanya mempunyai “legendanya” sendiri,
yang mesti menjelaskan asal usul tempat itu.30 Legenda ini diciptakan untuk
menumbuhkan maupun memperluas wacana tentang tempat ziarah tersebut. Oleh
karena itu apabila kita membaca informasi tentang suatu tempat ziarah akan muncul
kesan bahwa tempat itu seolah-olah “diusahakan” dengan pertimbangan bahwa
berguna sebagai saluran devosi. Legenda yang dibuat sejauh mungkin menonjolkan
apa yang khas dari peziarahan tersebut. Hal yang sama tampak pula sebagai
pergulatan dari peziarahan CHKTY Ganjuran dalam menampilkan identitasnya
sebagai tempat ziarah. Brosur, buku panduan prosesi, teks-teks misa novena maupun
berbagai media informasi yang lain telah menjadi sarana bagi pembentukan wacana
tentang peziarahan CHKTY Ganjuran dengan berbagai kekhasannya.
Selain wacana yang diperkembangkan oleh para pengelola peziarahan, ada
pula wacana yang lain yang bertumbuh dan berkembang melalui para peziarah.
Kesaksian para peziarah dalam mengikuti ritual ziarah di peziarahan CHKTY
Ganjuran telah menciptakan wacana tersendiri yang ikut menentukan identitas
29 Suara Candi sebagai selebaran kecil diterbitkan oleh Bidang Pelayanan Peziarahan. Lihat juga Chris
Subagya. 2002. “Menimba Berkat Hati Kudus Tuhan Yesus di Ganjuran”. dalam Utusan No. 06. Tahun ke- 52. Juni 2002, 6-7.
30 C. Groenen, OFM. 1988. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta, Kanisius, 190.
107
CHKTY sebagai peziarahan. Begitu banyak peziarah yang tertarik untuk datang
berziarah di peziarahan CHKTY karena mendengar kesaksian para peziarah yang
sudah pernah datang lebih dulu. Kesaksian bahwa banyak permohonan dan doa yang
terkabul saat didoakan di tempat peziarahan CHTY Ganjuran ternyata juga jadi
“perangsang” yang ampuh bagi umat untuk datang berziarah. Demikian halnya
berbagai kesaksian yang disampaikan saat ritual ziarah semakin mengokohkan
“kebenaran” CHKTY sebagai peziarahan.
Hal yang sama terus diupayakan secara berkelanjutan oleh Dewan Paroki dan
para romo paroki Ganjuran untuk menyampaikan wacana “yang benar” tentang
peziarahan CHKTY Ganjuran. Mereka sebagai pemegang otoritas kiranya
mempunyai kekuasaan yang lebih untuk menguasai, menjinakkan dan mengontrol
keberadaan wacana tentang CHKTY. Hal ini berarti, apa saja yang disampaikan oleh
mereka sebagai “otoritas kebenaran” sehubungan dengan peziarahan Ganjuran ada
kemungkinan lantas dikanonisasikan atau menjadi pembenaran atau klaim
keseluruhan kebenaran akan wacana tentang CHKTY sebagai tempat ziarah yang
khas. Oleh karena itu konstruksi wacana tentang CHKTY tak bisa mengesampingkan
pentingnya tradisi dan praksis. Adanya berbagai upacara ritual, waktu-waktu ritual
khusus yang tertata rapi justru menegaskan bahwa upaya konstruksi wacana tentang
peziarahan CHKTY Ganjuran juga terjadi melalui tindakan, dan tradisi, yang
kesemuanya telah menjalani semacam kanonisasi.
Raymundus, mengingatkan bahwa perumusan identitas suatu kelompok
sosial mengandaikan adanya proses historis pembentukan dan pemeliharaannya.
Proses panjang yang mengandung ingatan kolektif itu berhubungan erat dengan
wilayah (teritori), nenek moyang (etnis, leluhur, silsilah) agama, bahasa, budaya dan
108
kadang-kadang juga dengan makanan dan ikatan-ikatan sosial lainnya. 31 Perumusan
identitas peziarahan Candi HKTY juga mengalami proses yang panjang. Ada ingatan
kolektif yang terus dimunculkan ataupun dimaknai yaitu khususnya berkenaan
dengan keluarga Schmutzer. Merekalah yang mendirikan candi. Oleh karena itu
identitas peziarahan Candi HKTY selalu dikaitkan dengan awal mula keberadaannya.
Pengelola peziarahan selalu memunculkan apa yang menjadi maksud ‘awal’ dari
keberadaan candi untuk diperbandingkan dengan apa yang terjadi sekarang ini.
Dengan cara ini sekalipun konstruksi yang berkelanjutan tentang peziarahan CHKTY
Ganjuran terus dilakukan, namun tidak bisa menghilangkan maksud awal
keberadaannya, yaitu sebagai monumen syukur keluarga yang telah menjadi
monumen perutusan jemaat.
C. TANTANGAN KE DEPAN: TERUS MENJADI RUANG BAGI YANG
KUDUS
1. Terus Menjadi Ruang Perjumpaan dengan Yang Kudus
Bagaimana dalam situasi sekarang peziarahan CHKTY Ganjuran tetap bisa
bertahan dan juga berfaedah untuk kehidupan manusia? Pertanyaan ini menjadi
tantangan terbesar untuk melihat kembali keberadaan suatu peziarahan termasuk
peziarahan CHKTY Ganjuran di masa sekarang. Peziarahan sebagai ruang bagi Yang
Kudus kiranya harus tetap memungkinkan manusia (para peziarah) menemukan dan
“berjumpa” dengan Yang Kudus. Disamping itu seperti halnya disampaikan Victor
Turner, aktivitas ziarah di dalam suatu peziarahan hendaknya juga menghantar
31 Raymundus Sudhiarsa, SVD. Iman dan Budaya dalam Agenda Misi Gereja dalam Dialog Antara
Iman dan Budaya. Jakarta: Komisi Teologi Konferensi Waligereja Indonesia.128.
109
subyek ziarah mengalami kebaharuan hidup dalam komunitas.32 Dengan cara
demikian, peziarah sebagai individu mengalami kebaharuan dalam menempatkan
dirinya di hadapan Yang Kudus dan dalam hidup dengan sesamanya.
Menurut Paus Yohanes Paulus II, keberadaan peziarahan di masa kini justru
sangat dibutuhkan, sebab di tengah pergolakan perubahan yang terus menerus umat
manusia juga mengalami keletihan dan menginginkan tempat, barangkali untuk
beribadat, supaya mereka menikmati istirahat, ruang kebebasan yang memungkinkan
dialog dengan dirinya, dengan sesama dan dengan Allah.33 Peziarahan di masa
sekarang ditantang untuk menjadi ruang perjumpaan manusia dirinya, sesamanya dan
dengan Yang Kudus.
Apa yang terjadi di peziarahan CHKTY Ganjuran saat sekarang ini
menegaskan adanya tantangan tersebut. Pembangunan peziarahan CHKTY sebagai
kompleks ziarah yang “nyaman” memunculkan tantangan untuk tetap tidak
meniadakan nuansa religiusnya. Hal ini terjadi karena adanya penataan kompleks
peziarahan dengan pembuatan sarana dan prasarana pendukung termasuk pengadaan
warung-warung yang menjual berbagai kebutuhan bagi peziarah dapat
mempengaruhi aktivitas peziarah. Sarana ziarah yang disediakan ternyata seringkali
justru menjadi tujuan. Hal yang sama dapat terjadi juga dalam pelaksanaan ritual
ziarah. Upaya peziarahan CHKTY untuk mempertahankan ritual ziarah yang
inkulturatif sebagai perjumpaan antara iman Katolik dan budaya Jawa tidaklah
langsung menjamin bagi para peziarah untuk menjalani laku ziarah dengan khidmat
dan membantu menghayati imannya. Ritual ziarah yang terlalu menekankan
keindahan dan kemeriahannya akan menjadi estetisme. Peziarah lebih tertarik pada 32 Wartaya Winangun. 1990. Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas menurut Victor
Turner. Yogyakarta: Kanisius, 40-43. 33 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999, 30-31.
110
keindahan ritual ziarah daripada maksudnya yang utama, yaitu memuji dan
memuliakan Yang Kudus.
Kemasan ritual ziarah dituntut untuk tetap membantu peziarah beribadat
kepada Yang Kudus. Hal ini sekali lagi tidaklah mudah dan sungguh menjadi
tantangan besar bagi sebuah peziarahan termasuk peziarahan CHKTY Ganjuran.
Namun demikian, apa yang berkembang dewasa ini tentang kearifan tradisional,
yaitu pengetahuan yang ada dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik kiranya
justru menjadi tantangan bagi setiap peziarahan untuk menggalinya sesuai dengan
“konteks” di mana peziarahan itu berada. Peziarahan CHKTY Ganjuran yang dikenal
dengan nuansa Jawa kiranya juga ditantang untuk semakin masuk dalam budaya
Jawa untuk menemukan berbagai konsep dan nilai yang mampu membantu para
peziarah mempunyai cara pandang yang baru terhadap “dunianya” yang didasarkan
pada horison spiritual. Peziarahan diharapkan tetap mampu menjadi ruang bagi para
peziarah untuk mengembangkan spiritualitasnya yang bersumber dari relasinya
dengan Yang Kudus.
2. Menempatkan Ritual Ziarah pada Tempatnya
Ritual ziarah yang diselenggarakan di peziarahan CHKTY Ganjuran semakin
berkembang dan mendapat perhatian besar tidak hanya oleh umat dan masyarakat
setempat, melainkan banyak dihadiri oleh umat dari berbagai daerah. Bahkan ada
pula yang hadir sebagai wisatawan. Ada berbagai macam hal yang menjadi alasan
kehadiran umat dan masyarakat. Salah satu alasan yang menonjol adalah karena
adanya upacara atau ritual ziarah yang menarik dan telah mengalami proses
inkulturasi. Ritual ziarah dipandang menarik karena kuatnya unsur seni yang berlatar
111
belakang budaya Jawa yang ditampilkan. Oleh karena itu upacara yang semula lebih
banyak dihadiri umat, sekarang ini juga dihadiri oleh para wisatawan.
Keberagaman orang yang datang dalam ritual ziarah di peziarahan CHKTY
Ganjuran menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola peziarahan. Mereka ditantang
untuk tetap menempatkan ritual ziarah sebagaimana mestinya, yaitu membantu para
peziarah mencapai tujuan ziarah yang dijalani. Kunjungan ke tempat ziarah bagi
subyek ziarah dilakukan bukan untuk kepentingan rekreatif, tetapi religius. Oleh
karena itu ritual ziarah sekalipun dikemas dengan menarik perlu tetap dapat
membantu peziarah mengalami refleksi formatif sebagai orang beriman. Sebagai
subjek ritual, para peziarah perlu dihantar sampai pada upaya melihat kembali
ajaran-ajaran iman dan kebiasaan-kebiasaan hidup beriman yang telah dijalaninya,
sehingga pasca ziarah mereka mampu hidup baru sebagai orang beriman.
Untuk membantu peziarah mencapai tujuannya, pengelola peziarahan
CHKTY Ganjuran selalu membuat panduan untuk peziarah.34 Bahkan panduan ini
seringkali dibuat dengan sangat lengkap. Dalam panduan ini dengan rinci
disampaikan perihal ritual ziarah yang akan berlangsung. Hal-hal tersebut antara lain,
urutan upacara, para petugas, simbol-simbol yang digunakan beserta maknanya.
Dengan panduan yang ada, maka masing-masing pihak, baik itu petugas, peziarah,
dan wisatawan yang hadir pada waktu ritual ziarah sedang berlangsung bisa
menempatkan diri sebagaimana mestinya.
Namun demikian keberadaan panduan yang ada masih menuntut pengelola
peziarahan untuk mengemas ritual ziarah sedemikian rupa sehingga tidak hanya
membantu para peziarah mencapai tujuannya, melainkan juga terselenggara secara
34 Lihat Panitia Prosesi Dewan Paroki Gereja. 2004. Panduan Prosesi 2004. Yogyakarta: Dewan
Paroki Ganjuran. 1-80.
112
menarik. Tuntutan untuk mengemas ritual ziarah secara menarik kiranya juga
menjadi tantangan bagi pengelola peziarahan CHKTY Ganjuran di masa sekarang.
Tuntutan ini tidaklah mudah untuk dipenuhi, karena harus menyatupadukan esensi
agama dengan unsur seni. Apabila pilihan membuat ritual ziarah yang menarik lebih
menonjolkan unsur seninya, maka yang terjadi adalah adanya pertunjukan ritual
ziarah. Bila hal ini yang dipilih, maka peziarahan bisa jatuh pada kecenderungan
untuk komoditifikasi agama, yaitu “menjual” ritual ziarah sebagai “dagangan” untuk
ditawarkan kepada para wisatawan, sehingga semakin banyak di antara mereka yang
hadir untuk “membeli” dengan cara menonton atau menikmatinya. Dengan kata lain
menempatkan ritual ziarah sebagaimana mestinya berarti mengambil pilihan untuk
tetap mengutamakan esensi agama dalam ritual ziarah yang hendak diselenggarakan
tanpa mengabaikan unsur seninya.
Peziarahan CHKTY Ganjuran kiranya terus-menerus dihadapkan pada
tantangan tersebut. Peziarahan CHKTY Ganjuran dituntut untuk senantiasa
menempatkan ritual ziarah pada tempatnya, yaitu untuk kepentingan ziarah bukan
wisata. Aktivitas ziarah bukan semata-mata untuk pertunjukan ritual agama pada
para peziarah, melainkan ajakan untuk mengungkapkan dan memperdalam hubungan
dengan Yang Kudus. Dengan demikian ritual ziarah bukanlah sekedar obyek (wisata)
ziarah melainkan yang terutama adalah sarana untuk memperkembangkan
religiusitas. Dengan mengambilbagian dalam ritual ziarah di peziarahan CHKTY
Ganjuran, para peziarah diharapkan dapat memperdalam spiritualitas hidupnya
khususnya spriritualitas Hati Kudus Tuhan Yesus.
113
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Studi tentang pembentukan peziarahan CHKTY Ganjuran ini memunculkan
banyak gagasan penting. Kesimpulan berikut ini hendak mencoba menunjukkan
gagasan-gagasan yang dimaksud. Salah satu gagasan penting yang patut ditekankan
kembali adalah bahwa manusia sebagai peziarah di dunia ini tak henti-hentinya untuk
mencari dan menemukan Yang Kudus. Di tengah kehidupannya muncul saat-saat
dimana dia mengalami keletihan dan menginginkan tempat untuk menikmati
istirahat, ruang kebebasan yang memungkinkan dialog dengan dirinya, dengan
sesama dan dengan Yang Kudus. Tempat ziarah muncul dari kebutuhan dasar
manusia sebagai manusia religius untuk menemukan tujuan dan makna hidupnya,
serta menemukan peran Yang Kudus di dalamnya.
Di tempat ziarah manusia entah secara perorangan atau kelompok
melakukan ziarah dengan meninggalkan tempat tinggal, sahabat, aktivitas, keadaan
diri yang biasa, untuk merenungkan hidupnya, mengadakan pembersihan diri,
berkirim doa, atau pun memupuk imannya kepada Yang Kudus. Terbentuknya suatu
peziarahan menjadi tanggapan atas kebutuhan manusia akan ruang yang bisa menjadi
oase dalam perjalanan hidupnya. Tempat ziarah bagi manusia religius menjadi ruang
yang dipersembahkan bagi Yang Kudus, sehingga melalui aktivitas ziarah manusia
dapat mengalami kehadiranNya serta membangun relasi yang semakin mendalam
denganNya.
114
Ada banyak unsur yang saling terkait yang berperanan membentuk suatu
peziarahan. Terbentuknya peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran juga
tak lepas dari keberadaan unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur yang menentukan
keberadaan suatu peziarahan khususnya peziarahan CHKTY Ganjuran adalah adanya
candi Hati Kudus Tuhan Yesus sebagai obyek ziarah yang menjadi tanda kehadiran
Yang Kudus, adanya ritual ziarah yang dikenal sebagai ritual yang inkulturatif,
adanya legitimasi dari otoritas Gereja dan adanya pengakuan diri para peziarah dan
pengelola peziarahan.
Peziarahan ada karena manusia hendak mengkhususkan suatu ruang bagi
Yang Kudus. Oleh karena itu manusia meyakini bahwa suatu peziarahan terbentuk
(dan pantas) menjadi ruang Yang Kudus apabila Yang Kudus berkenan hadir di
dalamnya. Dalam peziarahan CHKTY Ganjuran diyakini bahwa Yang Kudus telah
hadir di dalam ruang yang disebut Candi Hati Kudus Tuhan Yesus melalui berbagai
tanda khususnya air Perwitasari. Munculnya air Perwitasari yang dapat
menyembuhkan merupakan tanda bahwa Yang Kudus yang mempunyai kuasa
menyembuhkan dan menghidupkan telah hadir melalui air Perwitasari tersebut.
Kehadiran Yang Kudus melalui keberadaan air Perwitasari diyakini menjadi tanda
kelihatan bahwa seluruh tempat atau wilayah dimana CHKTY berada adalah ruang
kudus, sehingga dapat menjadi tempat bagi manusia untuk berjumpa dan mengalami
kehadiran Yang Kudus melalui aktivitas ziarah..
CHKTY Ganjuran menjadi ruang bagi Yang Kudus dimana peziarah dapat
mengalami dan berjumpa dengan Yang Kudus karena adanya upacara pengudusan.
Upacara tersebut dikenal dengan istilah pemberkatan. Melalui upacara pemberkatan
candi yang dilakukan Mgr. van Velsen SJ, maka manusia melakukan tindakan
115
religius untuk menguduskan suatu tempat, wilayah atau ruang bagi Yang Kudus.
Dengan upacara pengudusan (pemberkatan) manusia telah “menyucikan” suatu
ruang di mana candi Hati Kudus Tuhan Yesus berada menjadi ruang bagi Yang
Kudus. Oleh karena itu ruang yang sudah disucikan itu “beralih identitasnya” dari
ruang biasa (profan) menjadi ruang kudus. Upacara untuk pengudusan ini masih
terus dilaksanakan sampai sekarang. Keberadaan upacara yang ada di lingkup
CHKTY Ganjuran yang dikenal sebagai ritual ziarah menjadi unsur yang
menentukan pula keberadaan CHKTY sebagai suatu peziarahan. Upacara atau ritual
yang dilaksanakan itulah yang sekarang ini menjadi obyek ziarah yang mengundang
para peziarah untuk datang mengikutinya.
Terbentuknya CHKTY Ganjuran menjadi sebuah peziarahan seperti sekarang
ini tak lepas dari unsur lainnya, yaitu adanya legitimasi dari otoritas pemegang
kebenaran dan pemberi makna. CHKTY Ganjuran menjadi tempat ziarah dalam
lingkup Gereja Katolik karena adanya legitimasi yang telah diberikan oleh Gereja
Katolik. Gereja sebagai institusi religius memberikan legitimasi melalui Mgr. van
Velsen SJ yang melakukan pemberkatan candi, maupun melalui Mgr. I. Suharyo
yang menyatakan bahwa CHKTY menjadi tempat ziarah untuk “penerimaan”
indulgensi. Gereja memberikan legitimasi karena Gerejalah yang mempunyai otoritas
terkait dengan keberadaan CHKTY untuk menjadi ruang bagi Yang Kudus menurut
agama Katolik. Sebagai institusi religius, maka kuasa Gereja bukan dari diri Gereja
sendiri, melainkan dari “Realitas Purna”, yaitu Yang Maha Kuasa, oleh karena itu
legitimasi Gereja terhadap keberadaan ruang yang disebut peziarahan CHKTY
Ganjuran adalah legitimasi religius.
116
Kehadiran Yang Kudus dalam ruang yang disebut peziarahan CHKTY
Ganjuran sangat diyakini oleh pengelola maupun para peziarah. Keyakinan ini
didukung oleh pengalaman mereka sendiri atau pun kesaksian dari peziarah yang lain
yang mereka percaya. Berbagai kisah yang tercipta sehubungan dengan pengalaman
akan peziarahan CHKTY berperanan pula menjadi unsur yang ikut membentuk
identitas ruang yang disebut sebagai peziarahan CHKTY Ganjuran.
Sebagai sebuah peziarahan, maka peziarahan CHKTY Ganjuran juga
menciptakan “legendanya” sendiri. Kisah besar tentang CHKTY Ganjuran sebagai
peziarahan meperlihatkan adanya berbagai kisah “kecil” yang kesemuanya
berperanan ikut menentukan/membentuk identitas CHKTY sebagai peziarahan.
Dalam studi tentang pembentukan peziarahan CHKTY yang telah dilakukan, hal ini
pun patut mendapat perhatian. Berbagai kisah “kecil” memang kait mengkait
membentuk kisah “besar” tentang fenomena yang disebut sebagai peziarahan
CHKTY Ganjuran. Kisah-kisah “kecil” tersebut adalah tentang peristiwa
pembangunan gereja, pembangunan candi dengan pemberkatannya, usaha pengelola
peziarahan diantaranya Romo G. Utomo Pr, penemuan air Perwitasari dan ritual
ziarah yang khas. Disamping itu ada begitu banyak kisah “yang lebih kecil” lagi dari
para peziarah, umat dan masyarakat atas pengalaman konkret mereka berkenaan
dengan peziarahan CHKTY Ganjuran. Kesemuanya mengambil bagian dalam
membentuk ruang yang sekarang dikenal sebagai Peziarahan CHKTY Ganjuran.
Akhirnya dari studi juga ditemukan bahwa proses pembentukan CHKTY
Ganjuran sebagi peziarahan masih terus berlanjut. Dari studi diketahui bahwa
keberadaan CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan untuk devosi umat pada masa
sekarang “meneruskan” devosi keluarga Schmutzer. Artinya, peziarahan CHKTY
117
Ganjuran berkembang dari tempat untuk devosi keluarga menjadi tempat untuk
devosi umat. Hal ini terjadi karena adanya perpaduan usaha sadar dan sengaja
pengelola peziarahan (bersama umat, peziarah dan berbagai pihak lainnya) dengan
unsur spontan dalam kehidupan umat dan masyarakat Ganjuran dengan tradisi
Jawanya serta adanya campur tangan Yang Kudus sendiri. Oleh karena itu
“pengembangan” peziarahan CHKTY Ganjuran tidak dapat melepaskan ketiganya.
Peziarahan CHKTY Ganjuran terus ditantang untuk mengembangkan
peziarahan yang menghargai dan memberi tempat yang semestinya pada
kebudayaan setempat (Jawa). Tantangan ini tidak mudah dalam aktualisasinya
melalui ritual ziarah yang inkulturatif, karena harus “memadukan” esensi agama
dengan unsur budaya Jawa dalam kemasan yang menarik. Oleh karena itu peziarahan
CHKTY Ganjuran dari waktu ke waktu ditantang untuk menempatkan ritual ziarah
pada tempat yang semestinya. Ada harapan agar ritual ziarah dalam nuansa Jawa
yang menjadi kekhasan di peziarahan CHKTY Ganjuran tidak jatuh sebagai sekedar
“tontonan” dalam rangka wisata ziarah. Pada akhirnya sesuai dengan “awal mula”
keberadaannya, peziarahan CHKTY Ganjuran ditantang pula untuk terus menjadi
ruang bagi Yang Kudus, khususnya untuk berdevosi kepada Hati Kudus Tuhan
Yesus, sehingga membantu peziarah untuk menimba spiritualitas hidup berdasarkan
Hati Kudus Tuhan Yesus.
B. SARAN
Terbentuknya peziarahan CHKTY Ganjuran tidak terjadi begitu saja. Begitu
banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Namun demikian, keberadaan peziarahan
CHKTY Ganjuran amat ditentukan oleh institusi Gereja. Dalam proses pembentukan
118
peziarahan CHKTY sangat jelas peran yang telah diambil oleh Gereja sejak awal.
Sekalipun inisiatif pembangunan candi muncul dari keluarga Schmutzer, namun
secara positif Gereja menanggapi dan menindaklanjuti. Apa yang telah terjadi dalam
awal pertumbuhan peziarahan CHKTY Ganjuran serta waktu-waktu selanjutnya
kiranya dapat menjadi pilihan peran institusi Gereja saat sekarang khususnya yang
diaktualisasikan melalui pengelola peziarahan. Gereja perlu terus-menerus terbuka
akan adanya aspirasi dari umat, peziarah dan masyarakat demi pertumbuhan dan
perkembangan CHKTY. Melalui penyediaan berbagai wadah yang ada, maka Gereja
dapat menampung aspirasi umat, peziarah dan masyarakat demi perkembangan lebih
lanjut dari peziarahan CHKTY.
Sebaliknya bagi umat, peziarah kiranya perlu menyadari perannya selama ini
sebagai aktor yang ikut mengambil bagian dalam pertumbuhan dan perkembangan
peziarahan CHKTY Ganjuran. Kesadaran akan peran diri umat, peziarah dengan
belajar dari keluarga Schmutzer kiranya akan memungkinkan tumbuhnya rasa
memiliki terhadap keberadaan peziarahan CHKTY. Dengan demikian umat, peziarah
pun termotiwasi untuk terus-menerus berperanan. Hanya dengan cara dialog terus-
menerus antara umat, peziarah dengan institusi Gereja (pengelola peziarahan), maka
peziarahan CHKTY akan tetap bertahan dalam pergulatan jaman.
Hal lain yang tak kalah penting adalah perlunya perhatian lebih khusus
berkenaan dengan ungkapan-ungkapan religius dalam ritual ziarah yang
diselenggarakan di peziarahan CHKTY Ganjuran. Ritual ziarah di peziarahan
CHKTY selama ini dikemas dengan nuansa Jawa. Kebudayaan Jawa dijadikan
wahana untuk mengungkapkan dan mengembangkan iman umat (peziarah). Kemasan
ritual ziarah dalam nuansa Jawa ini perlu terus-menerus dikaji pelaksanaannya
119
khususnya untuk melihat sejauhmana efektivitasnya dalam membantu
pengembangan iman umat. Hal ini menjadi semakin mendesak karena kemasan ritual
ziarah dalam nuansa Jawa ini saat sekarang semakin menarik minat dan perhatian
wisatawan untuk menjadi obyek wisata ziarah.
Sekarang ini semakin kuat kecenderungan memperlakukan ritual ziarah yang
inkulturatif semata-mata sebagai obyek wisata ziarah, sehingga diharapkan
memenuhi selera wisatawan: dikemas dengan menarik, singkat dan padat. Oleh
karena itu pengelola peziarahan CHKTY Ganjuran bersama umat perlu membangun
komitmen untuk mengemas ritual ziarah yang ada dengan orientasi pada peziarah
bukan pada wisatawan. Ritual ziarah dilaksanakan untuk melayani umat, peziarah
dan bukan semata-mata demi kepentingan selera dunia pariwisata untuk
“diperdagangkan”. Untuk itu kerjasama pengelola peziarahan dengan berbagai pihak
bisa menjadi perhatian lebih lanjut dalam pengelolaan CHKTY Ganjuran sebagai
peziarahan yang khas, yaitu sebagai monumen perutusan jemaat.
120
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Dari Densin Guba dan
Penerapannya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Andang L. Binawan, Al. 2003. “Lebaran dan Peziarahan Bersama”. dalam Kompas.
27 Nopember 2003
Basir. G Karimanto, OMI dan F. Sihol Siagian “Mengasih Maria Menagih Sejuta
Doa”. dalam Hidup No. 19 Tahun LV 13 Mei 2001.
Berger. Peter. L.1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. (terj.) Jakarta:
LP3ES.
Budi Sardjono. M. Ziarah Dari Sendangsono Sampai Puhsarang Kediri. 2002.
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Budi Subanar. G. SJ. 2003. Soegija, Si Anak Betlehem van Java. Yogyakarta:
Kanisius.
Dewan Paroki Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. 2004. Gereja Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran: Rahmat yang Menjadi Berkat; HUT 80 Tahun. Chris
Subagya, (ed).Yogyakarta: Dewan Paroki Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. (terj.). Yogyakarta: Kanisius.
Eliade, Mircea. 1959. The Sacred and The Profane. terj. Willard R. Trask. New
York: Harcourt, Brace and World Inc.
Eliade, Mircea. (ed.). 1986 The Encyclopedia of Religion, Volume VI. New York:
Macmillan Publishing Company.
121
Esti Elihami, Lucia.1995. Sejarah Berdirinya Paroki Hati kudus Yesus Ganjuran:
Inkulturasi sebagai landasan tumbuh dan kembangnya Paroki Hati Kudus
Yesus Ganjuran Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma FKIP.
Geertz, Clifford. 2000. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Groenen, C. OFM. 1988. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta, Kanisius.
Hardjana. A.M.1993. Penghayatan Agama Yang Otentik & Tidak Otentik.
Yogyakarta: Kanisius.
Handriyo Widi Ismanto, Albertus.2002. “Setelah Disentuh Tyas Dalem di Ganjuran”.
dalam Majalah Utusan No. 06 Tahun ke-52, Juni 2002.
Hary Susanto, P.S. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta:
Kanisius.
.2006. “Memeluk Agama, Menemukan Kebebasan: Mircea Eliade tentang
Manusia Arkhais”. dalam Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Franz Magnis
Suseno. Yogyakarta: Kanisius.
Hendropuspito, D. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Henny Alit. 2003. “Gua Maria Sendang Pawitra, Surya Indah di Gunung Lawu.”
dalam Hidup, No. 10 Tahun ke-57, 8 Maret 2003.
Heuken, A. 1995. Ensiklopedi Gereja I. Jakarta: Cipta Loka Caraka
Jacobs, Tom. 2002. “Devosi Kepada Hati Kudus Tuhan Yesus: Pujian atau
Permohonan”. dalam Utusan. No. 06. Tahun ke- 52. Juni 2002.
Konsili Vatikan II. 1993. Dokumen Konsili Vatikan II. terj. R. Hardawiryana.
Jakarta: Obor.
Mardiatmadja, B.S., SJ. 2000. “Makna Ziarah di Tahun Yubelium”, dalam Hidup,
No. 40 Tahun LIV, 1 Oktober 2000, hal 13-14.
122
Moleong, Lexy, J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
O’Collins, Gerald, SJ. 1996. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius.
O’Donnell, Timothy Terrance. 1990. Ajaran Pimpinan Gereja mengenai Devosi
kepada HatiKudus Yesus. Terj. CB. Kusmaryanto, SCY. Palembang: Propinsi
SCY Indonesia.
. 1990. Santa Margareta Maria dan Devosi kepada HatiKudus Yesus. Terj.
CB. Kusmaryanto, SCY. Palembang: Propinsi SCY Indonesia.
Otto, Rudolf. 1939. The Idea of the Holy. London.
Panitia Prosesi Dewan Paroki Ganjuran. 2004. Panduan Prosesi 2004. Yogyakarta:
Dewan Paroki Ganjuran.
Schmutzer, Dr. J.J. Ten Berge S.J dan W. Maas dalam Europanisme of Katholicisme,
De Gemeenschap, Uitgevers- Utrech, Leuven, tanpa tahun.
Schroeder, Ralp. 2002. Max Weber tentang Hegemoni Kepercayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Shoshanna, Brenda. PHD. Zen, Wisdom terj. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer
Spillane, James J. S.J. 1994. Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Subagya, Chris. 2002. “Menimba Berkat Hati Kudus Tuhan Yesus di Ganjuran”.
dalam Utusan No. 06. Tahun ke- 52. Juni 2002.
Sudhiarsa, Raymundus. SVD. Iman dan Budaya dalam Agenda Misi Gereja dalam
Dialog Antara Iman dan Budaya. Jakarta: Komisi Teologi Konferensi
Waligereja Indonesia.
123
Sudiarja. A. 2006. Agama di Zaman yang Berubah. Yogyakarta: Kanisius.
Sumandiyo Hadi, Y. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku Pustaka.
Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999. Ziarah
dalam Yubileum Agung, terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI.
Wartaya Winangun, Y. W. 1990. Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan
Komunitas menurut Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius.