Upload
dea-hambarani
View
827
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
SEMANTIK
Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang Linguistik (gengogaku) yang mengkaji
tentang makna. Semantik memegang peranan penting, karena bahasa yang digunakan dalam
komunikasi bertujuan untukl menyampaikan suatu makna. Ferdinand de Saussure menyatakan
bahwa sesungguhnya studi Linguistik tanpa disertai dengan studi semantik adalah tidak ada
artinya, sebab Linguistik dengan semantik tidak dapat dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang.
1. Pengertian
1.1 Pengertian Semantik
Kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani sema
(kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambing”. Kata kerjanya adalah semaino
yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Kemudian yang dimaksud
dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda
linguistik (signe linguistique) seperti dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure
yaitu terdiri dari dua komponen:
1) Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi
bahasa,
2) Komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu
Kedua komponen itu adalah merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang
dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut
referen atau hal yang ditunjuk. Selain itu, beberapa ahli lain juga memberikan
beberapa definisi mengenai semantik, antara lain:
J.W.M Verhaar
Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori makna atau
teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
Lehrer
Mengemukakan bahwa Semantik adalah studi tentang makna, menyinggung
aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan
psikologi, filsafat dan antropologi.
1
Charles Morris
Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan tanda-tanda
dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut”.
Abdul Chaer
semantik adalah ilmu tentang makna atau tentang arti. Yaitu salah satu dari 3
(tiga) tataran analisis bahasa (fonologi, gramatikal dan semantik).
1.2 Hakikat Makna
Menurut Ferdinand de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa
terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian (yang mengartikan) yang
wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie ( yang diartikan) yang
wujudnya berupa pengertian atau konsep. Berdasarkan teori yang dikembangkan
oleh Ferdinand de Saussure tersebut, makna itu adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’
yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Ada juga teori yang
menyatakan bahwa makna itu tidak lain daripada sesuatu atau referen yang diacu
oleh kata itu.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata, makna kata itu
seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep
dasarnya dan juga dari acuannya. Misalnya, kata buaya dalam kalimat “Dasar
buaya ibunya sendiri ditipunya” sudah terlepas dari konsep asal atau acuannya.
Oleh karena itu, banyak pakar mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan
makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Para
pakar itu juga menyatakan bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan apabila
kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya.
Satu hal lagi yang harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa itu
bersifat arbitrer, maka hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbitrer.
Kita tidak dapat menjelaskan, mengapa benda cair yang selalu kita gunakan untuk
keperluan mandi, minum, masak, dan sebagainya disebut air, bukan ria, atau rai,
atau juga sebutan lainnya. Begitu juga dengan kata-kata lainnya, kita tidak bisa
menjelaskan hubungan kata-kata itu dengan makna yang dimilikinya.
2
2. Ruang Lingkup
2.1 Batasan dan Ruang Lingkup Semantik
Objek kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna
(go no imi kankei) antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam
suatu ideom (ku no imi), dan makna kalimat (bun no imi).
Makna kata satu persatu (
ご
語のこ こ
個々のい み
意味)
Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena
komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa
Jepang, baru akan berjalan dengan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh
pembicara dalam komunikasi tersebut, makna atau maksudnya sama dengan
yang digunakan oleh lawan bicaranya. Akan tetapi, baik dalam kamus
(terutama kamus bahasa Jepang-Indonesia) maupun dalam buku pelajaran
bahasa Jepang, tidak setiap kata maknanya dimuat secara keseluruhan. Bagi
pembelajar bahasa Jepang, jika berkomunikasi dengan penutur asli, terjadi
kesalahan berbahasa dikarenakan informasi makna yang diperoleh pembelajar
tersebut masih kurang lengkap. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
keterampilan berbahasa khususnya bahasa Jepang, perlu dilakukan penelitian
yang mendiskripsikan makna kata satu persatu secara menyeluruh.
Hubungan antarmakna kata dengan kata yang lainnya (relasi makna)
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan
bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa di sini dapat
berupa kata, frase, maupun kalimat, dan relasi makna dapat menyatakan
kesamaan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna. Relasi
makna perlu diteliti, karena hasilnya dapat dijadikan bahan untuk menyusun
kelompok kata (goi) berdasarkan kategori tertentu. Misalnya, pada verba 話す
(berbicara), 言う (berkata),しゃべる (ngomong) dapat dikelompokkan ke
dalam kotoba o hassuru (bertutur). Dalam relasi makna ini biasanya juga
dibahasa mengenai masalah-masalah yang disebut sinonim, antonim,
polisemi, homonim, hiponim, ambiguiti, dan redundansi.
3
a. Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya
kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran
lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar, antara kata
hamil dan frase duduk perut, dan antara kalimat Dika menendang bola
dengan bola ditendang dika. Dalam bahasa Jepang, sinonim disebut
dengan ruigigo yaitu apabila dua buah kata atau lebih yang mempunyai
salah satu imitokuchou yang sama. Seperti pada kata agaru (上がる )
dan noboru (のぼる) yang memiliki kemiripan makna yaitu naik, maka
kedua kata tersebut dapat dikatakan bersinonim.
b. Antonim
Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan
ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau
kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya, kata buruk
berantonim dengan kata baik, kata mati berantonim dengan kata hidup,
dan kata membeli berantonim dengan kata menjual. Dalam bahasa
Jepang istilah antonym ini dikenal juga dengan han-gi kankei.
Keantoniman dua buah kata dapat juga dilihat dari imitokuchounya, jika
salah satu maknanya dianggap berlawanan, maka hubungan kata
tersebut bersifat antonim. Seperti pada kata otoko ( 男 ) yang berarti
laki-laki dengan kata onna (女)yang berarti perempuan.
c. Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu
mempunyai makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala yang
setidaknya mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau
pemimpin, (3) sesuatu yang berada di sebelah atas, (4) sesuatu yang
berbentuk bulat, (5) sesuatu atau bagian yang sangat penting.
d. Homonim
4
Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang
bentuknya “kebetulan” sama, maknanya tentu saja berbeda, karena
masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan.
Umpamanya, antara kata pacar yang bermakna inai dan kata pacar yang
bermakna kekasih, antara kata bisa yang berarti racun ular dan kata bisa
yang berarti sanggup, dan juga antara kata mengurus yang berarti
mengatur dan kata mengurus yang berarti menjadi kurus.
e. Hiponim
Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk
ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
Umpamanya, antara kata merpati dan kata burung. Di sini kita lihat
makna kata merpati tercakup dalam makna kata burung. Kita dapat
mengatakan merpati adalah burung, tetapi burung bukan hanya merpati,
bisa juga perkutut, balam, dan cendrawasih. Dalam bahasa Jepang hal
ini dikenal dengan isitilah jouge-kankei (hubungan antara hiponim dan
hipernim), hubungan ini merupakan hubungan antara dua kata misalnya
A dan B, bisa dikatakan bahwa “A termasuk ke dalam (bagian) B”
Misalnya antara kata どうぶつ
動物 (binatang) dan kata いぬ
犬(anjing), maka kata
動物 merupakan hipernim sedangkan kata 犬 merupakan hiponim.
f. Ambiguiti dan ketaksaan
Ambiguiti adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna
akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang
berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa
tulis unsur suprasegmental tidak dapat digambarkan dengan akurat.
Misalnya, “buku sejarah baru” dapat ditafsirkan maknanya menjadi (1)
buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu memuat sejarah zaman baru.
g. Redundasi
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-
lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.
Umpamanya, kalimat “bola itu ditendang oleh Dika” tidak akan
5
berbeda maknanya bila dikatakan “Bola itu ditendang Dika”. Jadi,
tanpa penggunaan preposisi “oleh” inilah yang dianggap redundansi,
berlebih-lebihan dalam menggunakan kata-kata.
Makna frase
Ungkapan 本を読む(membaca buku), くつを買う(membeli sepatu),
dan はらがたつ (perut berdiri/marah) merupakan suatu frase. Frase “hon o
yomu dan “kutsu o kau” dapat dipahami cukup dengan mengetahui makna
kata hon, kutsu, kau dan o. Jadi, frase itu dapat dipahami secara leksikalnya.
Tetapi, untuk frase “hara ga tatsu” meskipun seseorang mengetahui makna
setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut,
jika tidak mengetahui makna frase secara idiomatikalnya. Lain halnya dengan
frase “ashi o arau”, ada dua makna, yaitu secara leksikal, yakni “mencuci
kaki”, dan juga secara idiomatikal yakni “berhenti berbuat jahat”. Jadi, dalam
bahasa Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase
yang bermakna secara ideomatikalnya saja, dan ada juga frase yang bermakna
kedua-duanya.
Makna kalimat
Makna kalimat bisa juga dijadikan sebagai objek kajian semantik,
karena suatu kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya.
Misalnya, kalimat “watashi wa yamada san ni megane o ageru” (saya
memberi kacamata pada yamada) dengan kalimat “watashi wa yamada san ni
tokei o ageru” (saya memberi jam pada Yamada), jika dilihat dari strukturnya
kalimat itu sama yaitu “A wa B ni C o ageru”, tetapi maknanya berbeda. Hal
ini disebabkan makna kata megane dan tokei berbeda. Oleh karena itu, makna
kalimat ditentukan oleh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.
2.2 Jenis Makna
Makna leksikal dan makna gramatikal
Makna Leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan jishoteki-imi (辞
書的意味) atau goiteki-imi (語彙的意味). Makna leksikal adalah makna kata
yang sebenarnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra
6
dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna
asli suatu kata. Misalnya, kata neko dan kata gakkkou memiliki makna
leksikal “kucing dan sekolah”.
Makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut bunpouteki-imi (文法
的 意 味 ) yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya. Dalam
bahasa Jepang, joshi (partikel) dan jodoushi (kopula) tidak memiliki makna
leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru jelas maknanya jika
digunakan dalam kalimat. Partikel に secara leksikal tidak jelas maknanya,
tetapi baru jelas kalau digunakan dalam kalimat seperti :バンドンにすんで
いる(tinggal di Bandung).
Makna denotatif dan makna konotatif
Makna denotatif dalam bahasa jepang disebut meijiteki-imi (明示的意
味). Makna denotatif adalah makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa
seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan analisis
komponen makna. Makna konotatif disebut anjiteki-imi (暗示的意味), yaitu
makna yang ditimbulkan karena perasaan atau pemikiran pembicara dan
lawan bicaranya. Misalnya, pada kata chichi (父 ) dan oyaji (親父 ) kedua-
duanya memiliki makna yang sama, yaitu “ayah”. Makna denotatif dari kedua
kata tersebut sama, karena merujuk pada referent yang sama, tetapi nilai rasa
berbeda. Kata chichi digunakan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata
oyaji terkesan lebih dekat dan lebih akrab.
Makna dasar dan makna perluasan
Makna dasar disebut dengan kihon-gi (基本儀) merupakan makna asli
yang dimiliki oleh suatu kata. Makna asli yang dimaksud, yaitu makna bahasa
yang digunakan pada masa sekarang ini. Hal ini perlu dipertegaskan karena
berbeda dengan gen-gi (makna asal), mengingat dalam bahasa jepang modern
banyak sekali makna asal suatu kata yang sudah berubah dan tidak digunakan
lagi. Makna dasar terkadang disebut juga sebagai makna pusat (core) atau
makna protipe, meskipun tidak sama persis. Makna perluasan ten-gi (転義)
7
merupakan makna yang muncul sebagai hasil perluasan dari makna dasar,
diantaranya akibat penggunaan secara kiasan. Hal ini dikemukakan oleh para
penganut aliran linguistik kognitif. Aliran linguistik kognitif dalam
mendeskripsikan hubungan antarmakna dalam suatu polisemi, banyak
menggunakan gaya bahasa.
Makna referensial dan non-referensial
Sebuah kata disebut bermakna referensial kalau ada referensnya, atau
acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-
kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata.
Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dank arena adalah termasuk kata-kata
yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai
referens.
Makna konseptual dan makna asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata
terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata “kuda” memiliki makna
konseptual “sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai” dan kata
“rumah” memiliki makna konseptual “bangunan tmpat tinggal manusia”. Jadi,
makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna
denotatif, dan makna referensial.Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki
sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang
berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang
suci atau kesucian, kata merah berasosiasi dengan “berani” atau juga paham
komunis dan kata buaya berasosiasi dengan “jahat” atau juga kejahatan”.
Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambing atau perlambang
yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain,
yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada
konsep asal kata tersebut. Jadi, kata melati yang bermakna konseptual sejenis
bunga keci-kecil berwarna putih berbau harum” digunakan untuk menyatakan
perlambang “kesucian’, kata merah yang bermakna konseptual ‘sejenis warna
terang menyolok” digunakan untuk perlambang “keberanian” atau di dunia
politik untuk melambangkan “paham atau golongan komunis”, dan kata buaya
8
yang bermakna koseptual “sejenis bintang reptil buas” yang memakan
binatang apa saja termasuk bangkai” digunakan untuk melambangkan
“kejahatan atau penjahat”.
Makna kata dan makna istilah
Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna
leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam
penggunaaanya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada
di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna
kata jatuhsebelum kata itu berada di dalam konteksnya. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas.
Berbeda dengan kata, maka yang disebut dengan istilah mempunyai makna
yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks
kalimat.
Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks,
sedangkan kata tidak bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah
hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Seperti pada
kata tangan dan lengan dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang
berbeda. Demikian juga dengan kata kuping dan telinga. Dalam bahasa umum
kedua kata itu merupakan dua kata yang bersinonim, dan oleh karena itu
sering dipertukarkan. Tetapi sebagai istilah dalam bidang kedokteran
keduanya memiliki makna yang tidak sama. Dalam perkembangan bahasa
memang ada sejumlah istilah, yang karena sering digunakan, lalu menjadi
kosakata umum. Artinya, istilah itu tidak hanya digunakan di dalam bidang
keilmuannya, tetapi juga telah digunakan secara umum, di luar bidangnya.
Makna idiom dan peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan
dari makna unsure-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.
Umpamanya, secara gramatikal bentuk “menjual rumah” bermakna yang
menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya, tetapi dalam
bahasa Indonesia bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu,
melainkan bermakna “tertawa keras-keras”. Jadi, makna seperti yang dimiliki
9
bentuk menjual gigi itulah yang disebut makna idiomatikal. Contoh lain dari
idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna bekerja keras, meja
hijau dengan mkana “pengadilan”, dan sudah beratap seng dengan makna
“sudah tua”.
Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan secara
leksikal maupun gramatikal, maka yang disebut peribahasa memiliki makna
yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena
adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanyasebagai peribahasa.
Umpamanya, peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang bermakna dua
orang yang tidak pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang
yang namanya anjing dan kucing jika bertemu memang selalu berkelahi, tidak
pernah damai.
2.3 Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata tidak akan berubah, tetapi secara
diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya dalam masa yang relatif
singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah, tetapi dalam waktu
yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Ada
kemungkinan ini bukan berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam
sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja, yang disebabkan
oleh berbagai faktor, antara lain; perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi,
perkembangan sosial budaya, perkembangan pemakaian kata, pertukaran
tangkapan indra dan adanya asosiasi. Perubahan makna kata atau satuan ujaran itu
ada beberapa macam, yaitu:
a. Perubahan yang meluas
Perubahan yang meluas artinya, kalau tadinya sebuah kata
bermakna A, maka kemudian menjadi bermakna B. Umpamanya, kata
baju pada mulanya hanya bermakna pakaian sebelah atas dari pinggang
sampai ke bahu, seperti pada ungkapan baju batik, baju sport, baju
lengan panjang. Tetapi dalam kalimat “Murid-murid itu memakai baju
10
seragam”, yang dimaksud bukan hanya baju, tetapi juga celana, sepatu,
dasi, dan topi.
b. Perubahan yang menyempit
Perubahan makna yang menyempit artinya, kalau tadinya
sebuah kata atau satuan ujaran itu memiliki makna yang sangat umum
tetapi kini maknanya menjadi khusus atau sangat khusus. Umpamanya,
kata sarjana tadinya bermakna ‘orang cerdik pandai’, tetapi kini hanya
bermakna ‘lulusan perguruan tinggi’ saja.
c. Perubahan makna secara total
Perubahan makna secara total artinya, makna yang dimiliki
sekarang sudah jauh berbeda dengan makna aslinya. Umpamanya, kata
ceramah dulu bermakna cerewet, banyak cakap, sekarang bermakna
‘uraian mengenai suatu hal di muka orang banyak’.
11
SIMPULAN
Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang Linguistik (gengogaku) yang
mengkaji tentang makna. Semantik memegang peranan penting, karena bahasa yang
digunakan dalam komunikasi bertujuan untuk menyampaikan suatu makna. Objek kajian
semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antar satu
kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu ideom (ku no imi), dan makna
kalimat (bun no imi).
Dikarenakan semantik merupakan kajian tentang makna, maka di dalamnya juga
terdapat jenis-jenis makna dan juga perubahan makna. Makna dalam semantik terdiri dari
makna leksikal dan gramatikal, makna denotatif dan konotatif, makna dasar dan
perluasan, makna referensial dan non-referensial, makna konseptual dan asosiatif, makna
kata dan istilah kemudian makna idiom dan peribahasa. Kemudian perubahan makna
dalam semantik bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; perkembangan dalam
bidang ilmu dan teknologi, perkembangan sosial budaya, perkembangan pemakaian kata,
pertukaran tangkapan indra dan adanya asosiasi.
12
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta
http://id.shvoong.com/humanities/linguistics/2094851-pengertian-semantik/diunduh pada tanggal 27 Maret 2011, 15:07 WIB
http://sastrawancyber.blogspot.com/2010/04/pengertian-semantik-menurut-beberapa.html diunduh pada tanggal 27 Maret 2011, 15:15 WIB
Pateda, Mansoer. 1994. Linguistik: Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa
Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang: nihongo gaku no kiso. Bandung: Humaniora
13