Upload
truongthuy
View
246
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POTENSI SERAPAN KARBON
DI HUTAN RAKYAT DESA DLINGO
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
WIEKE HERNINGTYAS
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
POTENSI SERAPAN KARBON
DI HUTAN RAKYAT DESA DLINGO
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Wieke Herningtyas
E14080074
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
RINGKASAN
WIEKE HERNINGTYAS. Potensi Serapan Karbon di Hutan Rakyat Desa Dlingo Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh: SRI RAHAJU dan YULIUS HERO
Hutan rakyat merupakan model pengelolaan hutan skala kecil yang
dibangun oleh masyarakat di lahan hak milik yang ditujukan untuk menghasilkan kayu. Selain secara ekonomis bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, keberadaan hutan rakyat juga dapat berpotensi dalam perdagangan karbon, untuk itu diperlukan penelitian untuk mengetahui kelayakan hutan rakyat dalam partisipasi perdagangan karbon.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh potensi tegakan hutan rakyat jati, potensi serapan karbon, dan mengetahui keuntungan pengelolaan hutan rakyat dengan mekanisme perdagangan karbon. Penelitian ini dilakukan di hutan rakyat Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling di tiga dusun, yaitu: Pakis II, Pokoh II dan Dlingo II. Jumlah responden masing-masing kelompok tani diambil dengan intensitas sampling (IS) sebesar 10% dari jumlah anggota kelompok tani.
Besarnya potensi tegakan hutan rakyat jati umur 9 tahun di Desa Dlingo sebesar 71,89 m3/ha. Potensi serapan karbon jati diperoleh sebesar 29,11 tonC/ha sehingga estimasi serapan karbon dioksida di lokasi penelitian sebesar 106,83 tonCO2/ha. Skema perdagangan karbon yang digunakan skema perdagangan karbon sukarela Plan Vivo. Biaya perdagangan karbon ini yaitu penjumlahan biaya transaksi dengan biaya dalam pembangunan hutan rakyat dan biaya pemeliharaan. Keuntungan dari karbon diperoleh dari pendapatan karbon dikurangi dengan biaya perdagangan karbon.
Adanya kegiatan skema perdagangan karbon di hutan rakyat akan mendapatkan tambahan keuntungan berturut-turut sebesar Rp 45.891.500/ha (harga karbon 10 USD/tonCO2); Rp 76.283.400/ha (harga karbon 15 USD/tonCO2) dan Rp 106.675.400/ha (harga karbon 20 USD/tonCO2) dalam 15 tahun. Skema perdagangan karbon di hutan rakyat dengan skema perdagangan sukarela Plan Vivo lebih menguntungkan apabila dibandingkan dengan skema perdagangan karbon CDM. Kata Kunci: hutan rakyat, jati, perdagangan karbon, plan vivo, serapan karbon
SUMMARY
WIEKE HERNINGTYAS. Potency of Carbon Absorption in the Community Forest in Desa Dlingo Daerah Istimewa Yogyakarta. Supervised by: SRI RAHAJU and YULIUS HERO
The community forest is a model in small forest management scale that built
by the community on the land property rights are aimed in producing wood. Besides economically aims to improve income and social welfare, the existence of the forest community also has potentially in carbon trading, so it necessary research to know the feasibility of the community forest in carbon trading participation.
This research aimed to calculate potency volume of teak plantation community forest, potency of carbon absorption, and determine the profit from management of community forest with carbon trading mechanism. This research was located in community forest in Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sampling method used purposive sampling and samples are Dusun Pakis II, Dusun Pokoh II and Dusun Dlingo II. The number of respondents in each group of farmers with sampling intensity (IS) 10% of the total membership of the farmers group.
The potency of teak plantation community forest in Desa Dlingo by age 9 years obtained that volume potency of standing stock is 71,89 m3/ha. The carbon absorption potential of teak is 29,11 tonC/ha and the estimation of carbon dioxide absorption is 106,83 tonCO2/ha. The carbon trade scheme used voluntary carbon trading scheme Plan Vivo. The cost of carbon trading taken the sum of the transaction cost with the development of the forest cost and the maintenance of plants cost. The profit of carbon obtained from the revenue reduced by the costs in carbon trading.
The carbon trading scheme in the community forest will get an additional profit are Rp 45.891.500/ha (10 USD/tonCO2); Rp 76.283.400/ha (15 USD/tonCO2) and Rp 106.675.400/ha (20 USD/tonCO2) for 15 years. This profit has not been added to the profit of wood is Rp 672.400.600/ha. Carbon trading in community forest using voluntary carbon trading scheme Plan Vivo will profitable than CDM scheme.
Keywords: community forest, teak, carbon arbsorption, carbon trading, plan vivo
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Serapan
Karbon di Hutan Rakyat Desa Dlingo Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar-
benar hasil karya sendiri dengan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Wieke Herningtyas
NRP E14080074
Judul penelitian : Potensi Serapan Karbon di Hutan Rakyat Desa Dlingo
Daerah Istimewa Yogyakarta
Nama : Wieke Herningtyas
NIM : E14080074
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Dra. Sri Rahaju, MSi Dr.Ir. Yulius Hero, MSc
NIP. 19611217 199003 2 003 NIP.19650707 199003 1 002
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor,
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS
NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bantul, 7 Desember 1989 sebagai anak pertama dari
dua bersaudara dari pasangan Bapak Herman Kemis dan Ibu Sudarminingsih.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis dimulai dari SD Negeri Bantul
Timur dan diselesaikan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis
melanjutkan ke SMP Negeri 1 Bantul dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan
selanjutnya penulis melanjutkan di SMA Negeri 8 Yogyakarta dan diselesaikan
pada tahun 2008. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor
melalui Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan IPB.
Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di
Sancang Barat dan Kamojang. Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan
Gunung Walat (HPGW) dan KPH Cianjur. Penulis melaksanakan Praktek Kerja
Lapang (PKL) di PT. Finnantara Intiga, Sintang, Kalimantan Barat. Selama
perkuliahan penulis mengikuti kegiatan International Forestry Student
Association (IFSA) pada tahun 2009 sampai dengan 2011. Penulis juga pernah
bergabung pada kelompok studi Perencanaan di Forest Management Student Club
(FMSC).
Untuk memperoleh gelar Sarjana Fakultas Kehutanan IPB, penulis
menyelesaikan skripsi dengan judul Potensi Serapan Karbon di Hutan Rakyat
Desa Dlingo Daerah Istimewa Yogyakarta dibawah bimbingan Ibu Dra. Sri
Rahaju, MSi dan Bapak Dr.Ir. Yulius Hero, MSc.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya serta berkat ridho-Nya sehingga skripsi ini berhasil
diselesaikan dengan judul Potensi Serapan Karbon di Hutan Rakyat Desa Dlingo
Daerah Istimewa Yogyakarta. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua, Ibu Sudarminingsih dan Bapak Herman Kemis serta
Adik Helda Shantyabudi atas segala doa, nasehat dan dukungan sehingga
penulis dapat menyelesaikan studinya.
2. Ibu Dra. Sri Rahaju, MSi dan Bapak Dr.Ir.Yulius Hero, MSc selaku
dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing
dan memberikan arahan serta pengetahuan kepada penulis selama
penulisan skripsi.
3. Bapak Dr.Ir. I Nyoman Jaya Wistara, MS selaku dosen penguji
4. Teman-teman MNH 45 dan teman-teman 45 penghuni Pondok Mona atas
kebersamaannya selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi berbagai pihak.Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran
sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi.
Bogor, Januari 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................ i
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................... 2
1.3 Manfaat .................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Hutan Rakyat ......................................................................................... 3
2.2 Jati ......................................................................................................... 5
2.3 Biomassa dan Karbon ............................................................................ 5
2.4 Perdagangan Karbon ............................................................................. 6
2.5 Biaya dan Pendapatan Skema Pasar Karbon Sukarela .......................... 12
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 13
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 13
3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 13
3.3 Metode Pengumpulan Data ................................................................... 13
3.3.1 Jenis Data ........................................................................................ 13
3.3.2 Metode Pengambilan Data .............................................................. 13
3.3.3 Pengolahan dan Analisis Data ........................................................ 14
3.3.4 Perhitungan Biomassa dan Potensi Karbon .................................... 15
3.3.5 Biaya dan Pendapatan Perdagangan Karbon .................................. 16
3.3.6 Perhitungan Keuntungan Perdagangan Karbon .............................. 17
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ................................ 18
4.1 Kondisi Geografis .................................................................................. 18
4.1.1 Letak dan Luas ................................................................................ 18
4.1.2 Jenis Tanah dan Topografi .............................................................. 19
4.1.3 Iklim dan Curah Hujan ................................................................... 19
ii
4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk ...................................................... 19
4.2.1 Pola Penggunaan Lahan ................................................................. 19
4.2.2 Penduduk ....................................................................................... 20
4.2.3 Struktur Penduduk Berdasarkan Struktur Umur ............................ 20
4.2.4 Mata Pencaharian ........................................................................... 20
4.2.5 Sarana dan Prasarana ..................................................................... 20
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 22
5.1 Kegiatan GNRHL di Desa Dlingo ........................................................ 22
5.2 Kondisi Hutan Rakyat........................................................................... 23
5.2.1 Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hutan Rakyat .............................. 23
5.2.2 Sistem Pemilik dan Penggunaan Hutan Rakyat ............................. 23
5.2.3 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ................................................. 24
5.3 Deskripsi Tegakan Hutan Rakyat ......................................................... 29
5.4 Potensi Volume Tegakan ...................................................................... 30
5.5 Potensi Karbon ..................................................................................... 31
5.6 Biaya kegiatan Perdagangan Karbon ................................................... 36
5.6.1 Pasar Wajib (Compliant Market) ................................................... 36
5.6.2 Pasar Sukarela (Voluntary Market)................................................ 40
5.7 Pendapatan dari Kegiatan Perdagangan Karbon Sukarela ................... 45
5.8 Peluang Hutan Rakyat dalam Skema Perdagangan Karbon Sukarela . 47
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... 51
6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 51
6.2 Saran ..................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 53
iii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1 Pola penggunaan lahan ............................................................................ 19
2 Mata pencaharian ..................................................................................... 20
3 Luas GNRHL masing-masing dusun di Desa Dlingo .............................. 22
4 Biaya pembuatan hutan rakyat ................................................................. 27
5 Penggunaan waktu dan biaya petani untuk pemeliharaan tanaman ......... 28
6 Kondisi tegakan hutan rakyat ................................................................... 29
7 Potensi volume tegakan berdasarkan kelas diameter .............................. 30
8 Persamaan pendugaan kandungan karbon ............................................... 33
9 Potensi stok karbon tegakan hutan rakyat ................................................ 35
10 Perkiraan potensi karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat 35
11 Komponen dan besarnya biaya persiapan skema CDM ......................... 38
12 Komponen dan besarnya biaya pelaksanaan kegiatan CDM .................. 39
13 Biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo ...................................... 41
14 Perkiraan biaya transaksi proyek Plan Vivo ........................................... 42
15 Pendapatan dari kredit karbon selama proyek perdagangan karbon ........ 46
16 Pendapatan, biaya dan keuntungan dari perdagangan karbon ................ 46
17 Distribusi keuntungan perdagangan karbon ............................................. 47
18 Distribusi pemerintah keuntungan perdagangan karbon .......................... 47
iv
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1 Siklus proyek Plan Vivo ........................................................................ 12
2. Peta tata guna lahan dan sumberdaya alam Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul ..................................................................... 19
v
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1 Perhitungan data potensi volume............................................................... 57
2 Perhitungan potensi karbon persamaan C= 𝜌 x V x 0,47 ......................... 58
3 Perhitungan potensi karbon persamaan C= 0,052 𝜌 D2,62 x 0,47 .............. 59
4 Perhitungan potensi karbon persamaan C= 0,1986 D2,13 .......................... 60
5 Perhitungan potensi karbon persamaan C= 0,2759 D2,2227x 0,47 .............. 61
6 Perhitungan riap diameter dan tinggi ........................................................ 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu perubahan iklim merupakan salah satu isu lingkungan yang sedang
banyak dibicarakan. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia dan Cerindonesia
(2011) menyebutkan bahwa perubahan iklim adalah variasi rata-rata kondisi iklim
di suatu tempat pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka
waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Isu perubahan iklim merupakan
isu global yang mendorong negara-negara di dunia melakukan perundingan-
perundingan terkait masalah perubahan iklim. Hasil dari Conference of Parties
(COP ke-3) adalah Protokol Kyoto yang menegaskan bahwa negara-negara Annex
1 (pada umumnya negara maju/industri) yang dianggap bertanggung jawab
terhadap perubahan iklim akan mengurangi emisi dari enam gas rumah kaca yaitu:
karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitroksida (N2O), sulfurheksafluorida
(SF6), perflurokarbon (PFC), dan hidrofluorokarbon (HFC) secara kolektif
sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 untuk diterapkan pada
periode 2008─2012 (Uliyah dan Cahyadi 2011).
Peranan hutan dalam mencegah dan mengurangi emisi karbon dapat dilihat
dari berbagai kemungkinan, yaitu: 1) Penggunaan energi dari biomassa kayu dan
sisa-sisa industri kayu menggantikan bahan bakar fosil; 2) Penggantian bahan-
bahan bangunan yang diproduksi dengan bahan bakar fosil dengan produk kayu;
3) Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca; 4) Mempertahankan
penutupan hutan dan potensinya; 5) Pengaturan kegiatan manajemen hutan untuk
menyerap tambahan CO2 di atmosfir; 6) Penangkapan dan penyimpanan karbon
dalam pool karbon hutan dan penggunaan kayu dalam jangka panjang; dan 7)
Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk
kegiatan kehutanan yang mengurangi emisi industri dan penghasil polutan lainnya
(Thomson 2008 diacu dalam Butarbutar 2009).
Indonesia sebagai negara yang memiliki sumberdaya hutan yang luas dan
sangat potensial untuk perdagangan karbon sebagai sumber pendanaan untuk
menjaga dan meningkatkan kualitas hutan. Uliyah dan Cahyadi (2011)
2
menyebutkan bahwa tantangan yang ditemui dalam perdagangan karbon adalah,
menjadikan hutan dapat tetap berperan sebagai sumber perekonomian,
menyumbang pada perbaikan hidup masyarakat sekitar hutan, terjaga
kelestariannya, dan menyumbang pada penurunan emisi gas rumah kaca.
Hutan rakyat merupakan model pengelolaan hutan skala kecil yang
dibangun oleh masyarakat di lahan hak milik yang ditujukan untuk menghasilkan
kayu. Selain secara ekonomis bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat, keberadaan hutan rakyat juga dapat berpotensi dalam
perdagangan karbon, oleh karena itu perlu penelitian untuk mengetahui kelayakan
hutan rakyat dalam partisipasi perdagangan karbon.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh potensi tegakan jati di hutan rakyat Desa Dlingo.
2. Memperoleh potensi serapan karbon tegakan jati di hutan rakyat Desa
Dlingo.
3. Mengetahui keuntungan pengelolaan hutan rakyat dalam mekanisme
perdagangan karbon.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran untuk
pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan rakyat untuk perdagangan
karbon di lokasi penelitian.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat
Hutan rakyat atau hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah (UU No. 41 Tahun 1999). Definisi ini diberikan untuk
membedakannya dari hutan negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup
tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau
aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000).
Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi yang besar baik dilihat dari
segi populasi pohon. Perkiraan potensi hutan rakyat mencapai luasan 1.568.415
hektar dengan potensi keseluruhan 39.416.557 m3 atau 7 juta m3 per tahun
(Puslitbang 2006). Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada
tahun 2003, sekitar 50% dari luas hutan rakyat di Indonesia berada di pulau Jawa.
Hal ini disebabkan karena hutan rakyat telah lama dikenal dan dipraktikkan oleh
masyarakat secara tradisional dan turun-temurun. Meskipun luas hutan rakyat di
pulau Jawa relatif lebih sempit dibandingkan dengan hutan rakyat di luar pulau
Jawa, namun luasan di pulau Jawa berkisar 0,25─1 hektar per kepala keluarga.
Hampir setiap kepala keluarga di pulau Jawa mempunyai hutan rakyat karena
lokasi penanaman hutan rakyat di Jawa dilakukan di lahan-lahan pekarangan,
kebun, talun, tegalan, dan lain-lain (Hindra 2006).
Pola penanaman dalam hutan rakyat yang biasa digunakan adalah pola
campuran dengan Multi Purpose Tree Species (MPTS) seperti tanaman buah-
buahan ataupun tanaman semusim (palawija) yang dimaksudkan untuk
penanaman jangka pendek memenuhi kebutuhan hidup petani sambil menunggu
tanaman kayunya dapat dipanen dengan jangka panjang. Hutan rakyat dengan
pola campuran dengan MPTS biasanya dengan komposisi tanaman kayu-kayuan
(70%) dan tanaman MPTS (30%). Komposisi ini diharapkan dapat memberikan
kesinambungan dan kelestarian hasil (Hindra 2006).
Prabowo (1998) kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat meliputi
pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil.
Attar (1998) pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat bertitik tolak dari tiga sub
4
sistem yang saling berkaitan yaitu meliputi sub sistem produksi, sub sistem
pengolahan hasil dan sub sistem pemasaran.
Pembangunan hutan rakyat dilakukan melalui empat sumber pembiayaan,
yaitu program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), subsidi
pemerintah melalui program Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR), Dana Alokasi
Khusus Dana Reboisasi (DAK DR), dan swadaya. Sumber pembiayaan dua
diantaranya yang terbesar adalah hutan rakyat dengan swadaya seluas 966.722 ha
dan dengan dana GNRHL seluas 409.899 ha (Puslitbang 2006).
Sukadaryati (2006) menyebutkan bahwa GNRHL yang sudah dicanangkan
sejak tahun 2003 menargetkan dapat menghijaukan lahan seluas 3 juta hektar
dalam kurun waktu 5 tahun. Penanaman GNRHL dilakukan tidak hanya di hutan
negara tetapi juga di hutan rakyat, termasuk hutan rakyat di Desa Dlingo.
Hasil sensus BPS tahun 2003 menunjukkan pohon yang banyak ditanam di
hutan rakyat adalah jati, yaitu sebanyak 79,7 juta batang. Pohon jati ini banyak
ditanam di pulau Jawa, yaitu sebanyak 50,1 juta batang. Walaupun pohon jati
dipanen dengan jangka waktu panjang, namun karena harga jual kayunya yang
tinggi sehingga banyak diminati oleh masyarakat untuk ditanam (Sukadaryati
2006).
2.2 Jati
Jati (Tectona grandis L.f.) terkenal sebagai kayu komersil bermutu tinggi,
termasuk dalam famili Verbenaceae. Jati tumbuh dan menyebar alami di negara-
negara India, Birma, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia,
jati terdapat di beberapa daerah seperti Jawa, Muna, Buton, Maluku, dan Nusa
Tenggara. Pohon jati cocok tumbuh di daerah musim kering agak panjang berkisar
3─6 bulan pertahun (Irwanto 2006).
Secara alami pohon jati dapat tumbuh pada lahan-lahan dengan ketinggian
mencapai 1.000 mdpl atau lebih, beriklim kering maupun basah (curah hujan
1.250-3.000 mm/th), dan pada tanah berjenis regusol-grumosol. Pohon jati
umumnya tumbuh pada daerah-daerah yang memiliki tanah bertekstur sedang
dengan pH netral hingga asam (Pramono et al. 2010)
5
Kayu jati banyak digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan.
Beberapa kalangan masyarakat merasa bangga apabila tiang dan papan bangunan
rumah serta perabotannya terbuat dari jati. Berbagai konstruksi pun terbuat dari
jati seperti bantalan rel kereta api, tiang jembatan, balok dan gelagar rumah, serta
kusen pintu dan jendela. Pada industri kayu lapis, jati digunakan sebagai finir
muka karena memiliki serat gambar yang indah. Pada industri perkapalan, kayu
jati sangat cocok dipakai untuk papan kapal yang beroperasi di daerah tropis
(Irwanto 2006).
2.3 Biomassa dan Karbon
Brown (1997) diacu dalam Antoko (2011) mendefinisikan biomassa sebagai
jumlah total bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton
per unit area. Biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian
tumbuhan hidup yang dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha)
(Whitten et al. 1984 diacu dalam Antoko 2011).
Menurut Hairiah dan Rahayu (2007) pada ekosistem daratan, karbon
tersimpan dalam tiga komponen pokok, sebagai berikut:
1. Biomassa: massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon,
tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.
2. Nekromasa: massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di
lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di permukaan
tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang belum
terlapuk.
3. Bahan organik tanah: sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang
telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah
menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.
Hairiah dan Rahayu (2007) berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga
komponen karbon tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu karbon
di atas permukaan tanah berupa biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah,
nekromasa, serasah dan karbon di dalam tanah berupa biomassa akar dan bahan
organik tanah.
6
Menurut Sutaryo (2009) untuk menghitung biomassa terdapat empat cara
utama, yaitu: 1). Sampling dengan pemanenan (Destructive sampling) secara in
situ, 2). Sampling tanpa pemanenan (Non destructive sampling) dengan data
pendataan hutan secara in situ, 3). Pendugaan dengan penginderaan jauh, dan 4).
Pembuatan model.
Metode sampling tanpa pemanenan merupakan cara sampling dengan
melakukan pengukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain
dilakukan dengan mengukur tinggi atau diameter pohon dan menggunakan
persamaan alometrik untuk mengekstrapolasi biomassa. Alometrik didefinisikan
sebagai suatu studi dari suatu hubungan antara pertumbuhan dan ukuran salah satu
dari bagian organisme dengan pertumbuhan atau ukuran dari keseluruhan
organisme. Penetapan persamaan alometrik yang akan dipakai dalam pendugaan
biomassa merupakan tahapan penting dalam proses pendugaan biomassa. Setiap
persamaan alometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis
tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Pemakaian suatu persamaan yang
dikembangkan di suatu lokasi tertentu, belum tentu cocok apabila diterapkan di
daerah lain (Sutaryo 2009).
2.4 Perdagangan Karbon
Uliyah dan Cahyadi (2011) untuk mencapai target yang ditetapkan, Protokol
Kyoto dilengkapi dengan mekanisme perdagangan emisi (emission trading),
penerapan bersama (joint implementation) dan mekanisme pembangunan bersih
(clean development mechanism).
Mekanisme CDM proyek-proyek berupa kegiatan aforestasi dan reforestasi,
selain itu juga memiliki persyaratan untuk kelayakan lahan proyek. Kegiatan
aforestasi merupakan kegiatan konversi lahan yang sudah tidak berhutan menjadi
berhutan yang selama 50 tahun yang lalu atau lebih bukan merupakan hutan.
Aforestasi dilakukan melalui kegiatan penanaman dan/atau permudaan alam yang
dikelola manusia. Reforestasi adalah konversi lahan yang sudah tidak berhutan
menjadi hutan yang dikelola melalui penanaman atau permudaan alam terhadap
lahan yang dulunya berhutan tetapi telah dikonversi menjadi tidak berhutan.
Kegiatan reforestasi hanya terbatas untuk lahan yang tidak berhutan sejak tanggal
7
31 Desember 1989. Periode kredit tidak boleh melampaui masa berlaku
operasional proyek, dan telah dimulai sejak tanggal pendaftaran yaitu tanggal 1
Januari 2000 dan sebelum 31 Desember 2005 (Cifor 2005).
Terbatasnya kegiatan di sektor kehutanan yang dapat didanai dari proyek
CDM serta rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi, membuat beberapa negara
berkembang mengusulkan mekanisme baru yang lebih berpihak kepada layanan
jasa lingkungan berupa sumberdaya hutan yang telah mereka hasilkan. Saat ini
telah disepakati mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and
Degradation) sebagai mekanisme baru dalam mencegah emisi dari terjadinya
deforestasi dan degradasi hutan. Namun, negosiasi dari REDD baru akan
ditetapkan setelah tahun 2012 yaitu pada saat periode komitmen pertama Protokol
Kyoto berakhir (IFCA 2008 diacu dalam Antoko 2011).
Menurut Permenhut Nomor: P.30/Menhut-II/2009 pasal 22 ayat 1, sebelum
ada keputusan internasional mengenai mekanisme REDD di tingkat internasional,
kegiatan REDD dilaksanakan melalui demonstration activity, peningkatan
kapasitas dan transfer teknologi, serta dan/atau perdagangan karbon sukarela.
Sekarang ini sudah berkembang mekanisme perdagangan karbon sukarela
(Voluntary Carbon Market) melalui pasar CCX (the Chicago Climate Exchange)
dan OTC (Over the Counter). Voluntary carbon market (VCM) diartikan sebagai
kegiatan-kegiatan yang secara umum dilakukan untuk mengurangi gas rumah
kaca melalui mekanisme yang tidak terikat dan berada di luar aturan yang
ditetapkan dalam Protokol Kyoto (Estrada et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011).
Sekarang ini pasar karbon sukarela dalam negeri belum terbentuk,
pengembang proyek dapat memasarkan pada pasar karbon sukarela di
internasional. Pasar karbon sukarela semakin disukai dalam perdagangan karbon
karena memiliki fleksibilitas terhadap jenis proyek dan dapat diikutsertakan
dibandingkan skema lain yang sudah ada, antara lain: fokus proyek kepada
keuntungan sosial dan lingkungan, proyek kehutanan dalam bentuk yang lebih
luas dan biaya transaksi yang relatif lebih murah dibandingkan skema lainnya
(Estrada et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011).
Lampiran II Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 terdapat empat standar
pengembangan proyek dan pemasaran karbon dalam perdagangan karbon sukarela
8
yaitu Standar CCB, Standar Carbon Fix, Sistem dan standar Plan Vivo, dan
Voluntary Carbon Standard (AFOLU). Namun hanya sistem dan standar Plan
Vivo yang tidak ada ketentuan mengenai batasan waktu pendaftaran dan
pendaftaran dapat dilakukan secara online.
Tujuan dari Plan Vivo adalah untuk mensuplai kredit karbon dari
masyarakat desa di negara-negara berkembang yang mempromosikan
pembangunan berkelanjutan. Tipe proyek dapat berupa penghijauan/reboisasi,
agroforestri termasuk juga hutan rakyat. Plan Vivo mendukung kredit karbon
dengan tipe ex-ante (pembayaran di awal proyek). Tanggal dimulainya proyek
Plan Vivo tidak ada batasan, tidak seperti skema perdagangan karbon yang ada
dalam Protokol Kyoto. Jangka waktu verifikasi direkomendasikan 3-5 tahun dan
jangka waktu sertifikasi 3-18 bulan (Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009).
Berikut ini merupakan review persyaratan-persyaratan yang diperlukan
sebuah proyek dapat mengikuti skema VCM dengan standar Plan Vivo (Plan Vivo
2008; Kollmuss et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011) sebagai berikut:
1. Plan Vivo diperuntukkan bagi proyek-proyek LULUCF (Land Use, Land Use
Change and Forestry) skala kecil, hutan adat, hutan rakyat, hutan negara
dimana masyarakat memiliki hak untuk mengelola, dan fokus kepada promosi
pengembangan berkelanjutan serta perbaikan terhadap kehidupan masyarakat
sekitar dan ekosistemnya.
2. Plan Vivo hanya mendukung kredit karbon dengan tipe ex-ante credits
(pembayaran di awal proyek) yang disebut dengan Plan Vivo Certificates.
3. Proyek Plan Vivo berlokasi di negara berkembang dimana tipe proyek yang di
dukung adalah restorasi hutan, agroforestri, hutan tanaman skala kecil, kebun
buah, kayu bakar, pengelolaan dan perlindungan hutan, konservasi tanah dan
perbaikan pertanian.
4. Proyek Plan Vivo tidak memiliki batasan minimum dan maksimum mengenai
ukuran karbon, namun demikian pada saat ini ukuran karbon yang
diperdagangkan antara 10.000-100.000 tonCO2/tahun.
5. Periode proyek antara 5─15 tahun dan akan berbeda antara proyek yang satu
dengan proyek yang lain.
9
6. Untuk menghindari kebocoran karbon (leakage) pada level proyek maka perlu
dipastikan bahwa petani (producers) memiliki cukup lahan untuk bertani dan
menanam pohon.
7. Petani (producers) yang menjual karbon melalui Plan Vivo harus menyetujui
kontrak penjualan jangka panjang (long-term sale agreements) melalui
koordinator proyek masing-masing negara. Selain itu petani juga harus
memiliki kontrak jangka panjang terhadap kepemilikan lahan yang mereka
ikutkan dalam proyek Plan Vivo.
8. Untuk menghindari double-counting terhadap karbon yang diperjualbelikan
maka setiap sertifikat yang dikeluarkan oleh Plan Vivo Foundation memiliki
nomor seri unik yang dapat dilacak.
Peserta dari proyek adalah produsen dan masyarakat skala kecil di negara
berkembang. Mereka membuat perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan
dengan mengkombinasikan penggunaan lahan yang dilakukan dengan tambahan
aktivitas persyaratan dari proyek, yaitu: aforestasi/reforestasi, agroforestri,
restorasi hutan dan menghindari deforestasi. Penggunaan lahan berkelanjutan
didefinisikan dengan perencanaan penggunaan lahan yang konsisten dengan
persyaratan mata pencaharian, perlindungan tanah, daerah aliran sungai (DAS)
dan keanekaragaman hayati (Plan Vivo 2008).
Tahapan dari kegiatan proyek menurut Standar Plan Vivo 2008, sebagai
berikut:
1. Koordinator proyek mengidentifikasi kelompok target dari proyek yaitu
masyarakat atau kelompok petani yang bersedia untuk terlibat dan
membutuhkan proyek tersebut.
2. Produsen memperoleh pelatihan dan pengarahan dari teknis proyek untuk
mengidentifikasi aktivitas proyek yang mereka inginkan dan memulai untuk
merencanakan kegiatan.
3. Masing-masing produsen atau kelompok produsen menyusun rencana Plan
Vivo dan dievaluasi oleh koordinator proyek terkait dengan kesesuaian lahan
dan kecocokan dengan standar, modifikasi jika diperlukan dan terdaftar jika
telah sesuai.
10
4. Plan Vivo adalah sebuah rencana jangka panjang dari manajemen lahan yang
disusun oleh produsen. Plan Vivo menggabungkan kegiatan penyerapan atau
pengurangan emisi yang di danai dari penjualan Voluntary (or Verified)
Emission Reductions (VERs) dalam bentuk sertifikat Plan Vivo.
5. Setelah Plan Vivo terdaftar, kredit karbon dari kegiatan penyerapan atau
pengurangan emisi dapat dihitung dengan spesifikasi teknis proyek.
6. Produsen membuat persetujuan penjualan dengan koordinator proyek untuk
kredit karbon. Persetujuan penjualan menempatkan kewajiban jangka panjang
atas produsen untuk mengelola lahan menurut Plan Vivo mereka, dan
menetapkan kapan monitoring akan dilaksanakan dan pembayaran dilakukan.
7. Monitoring pencapaian dilaksanakan oleh teknis proyek yang juga pemberian
saran dan dukungan untuk produsen. Jika target pencapaian telah tercapai,
pembayaran akan dilakukan.
8. Pada akhir setiap Monitoring dan jadwal pembayaran proyek mengirimkan
laporan tahunan ke Plan Vivo Foundation, untuk memastikan bahwa proyek
berlanjut untuk operasi yang efektif dan secara transparan.
Tahapan dari kegiatan proyek Plan Vivo dapat diuraikan dari siklus proyek
Plan Vivo yang dapat digambarkan pada Gambar 1.
11
Gambar 1 Siklus proyek Plan Vivo.
Tahapan dari konsep proyek dari menghasilkan dan menjual sertifikat Plan
Vivo dan menjadi terverifikasi secara independen (Plan Vivo 2008) sebagai
berikut:
1. Project Idea Note (PIN), evaluasi dan registrasi dari konsep proyek. PIN
mendefinisikan aspek utama dari proyek yang meliputi kelompok sasaran,
kegiatan, areal proyek, tujuan dan sasaran proyek.
2. Project design: mengembangkan spesifikasi teknis dan Project Design
Document (PDD). Spesifikasi teknis merupakan metodotologi proyek yang
spesifik untuk aktivitas penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan di
proyek Plan Vivo. PDD merupakan kompilasi dari semua kunci informasi pada
struktur pemerintahan proyek yaitu desain teknis dan proses internal.
3. Validasi dan registrasi proyek mengikuti pilot sale dan siklus tahunan pertama.
Validasi melibatkan kunjungan lapangan dari expert viewer yang dipilih oleh
Plan Vivo Foundation, mengkonfirmasi proyek mengimplementasikan sistem
sesuai dengan standar Plan Vivo. Mengikuti suksesnya peninjauan dari hasil
validasi dan persetujuan dari spesifikasi teknis dan PDD, proyek akan masuk
ke Plan Vivo Project Register. Setelah terdaftar, proyek dapat masuk ke
kontrak penjualan untuk sertifikat Plan Vivo.
Identifikasi Kelompok Target
Identifikasi Aktivitas Perggunaan Lahan
Pelatihan dan Perencanaan
Evaluasi dan Pendaftaran Plan Vivo
Persetujuan Penjualan dan Penjualan Karbon
Monitoring
Pembayaran
Pelaporan Tahunan
12
4. Penjualan karbon, laporan tahunan dan penerbitan sertifikat. Laporan tahunan
memungkinan Plan Vivo Foundation untuk mengawasi proyek. Persetujuan
dari laporan tahunan memicu untuk penerbitan sertifikat Plan Vivo.
5. Verifikasi pihak ketiga (Third party verification)
Verifikasi dilakukan oleh independen, organisasi pihak ketiga yang disebut
verifier. Verifikasi dapat menguatkan nilai dari sertifikat Plan Vivo dan
memastikan proyek telah sesuai dengan standar.
2.5 Biaya dan Pendapatan Skema Pasar Karbon Sukarela
Biaya dalam skema perdagangan karbon Plan Vivo hingga memperoleh
sertifikat Plan Vivo meliputi proses peninjauan Project Idea Note (PIN) dan
validasi. Validasi terdiri dari beberapa proses yaitu: peninjauan Project Design
Document (PDD), kunjungan lapangan, peninjauan spesifikasi teknis, peninjauan
hasil validasi dan pendaftaran proyek (Plan Vivo 2012).
Hasil analisis Antoko (2011) pada penelitian di hutan rakyat kemenyan yang
ada di Tapanuli Utara menunjukkan bahwa dengan mengikuti skema karbon Plan
Vivo layak secara finansial. Pada model Kemenyan-Tanaman Campuran dengan
mengikuti skema karbon dengan harga karbon sebesar 6 USD/tonCO2, tingkat
suku bunga sebesar 2,54%/tahun dan biaya transaksi sebesar 40% mampu
memberikan peningkatan pendapatan bersih sebesar 195,50% dengan nilai NPV
sebesar Rp 40,09 juta/ha. Peningkatan pendapatan bersih terbesar, yaitu:
1.092,41% yang diperoleh pada saat harga karbon sebesar 10 USD/tonCO2,
tingkat suku bunga 7%/tahun dan biaya transaksi sebesar 40%. Pada model
Kemenyan-Karet dengan harga karbon sebesar 6 USD/tonCO2, tingkat suku
bunga sebesar 2,54%/tahun dan biaya transaksi 40% mampu memberikan
peningkatan pendapatan bersih sebesar 211,20% dan nilai NPV sebesar
1.191,40% diperoleh pada saat harga karbon sebesar 10 USD/tonCO2, tingkat
suku bunga 7%/tahun dan biaya transaksi sebesar 40%.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di hutan rakyat Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo,
Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Juli
sampai Agustus 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan, yaitu: pita ukur, haga hypsometer, tally sheet,
perangkat keras (hardware) berupa seperangkat komputer dan alat tulis. Perangkat
lunak (software) berupa program komputer untuk mengolah data yaitu Microsoft
Excel. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tegakan hutan rakyat jati
yang dimiliki masyarakat di lokasi penelitian.
3.3 Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa data primer yang
berupa data tegakan jati dan data sekunder yang meliputi:
1. Keadaan umum lokasi penelitian yang meliputi keadaan fisik lingkungan dan
keadaan sosial ekonomi masyarakat.
2. Keadaan fisik berupa tanah, topografi, serta jumlah penduduk secara
keseluruhan.
3. Potensi ekonomi rumah tangga: status kepemilikan lahan, luas lahan yang
dimiliki, luas hutan rakyat.
4. Pendapatan rumah tangga: sumber-sumber pendapatan dari hutan rakyat dan
non hutan rakyat.
3.3.2 Metode Pengambilan Data
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling,
memilih dengan sengaja atau menentukan terlebih dahulu daerah yang
diasumsikan sesuai dengan kasus yang akan diteliti. Pemilihan sampel langsung
menunjuk tiga dusun yang ada di Desa Dlingo, yaitu: Pakis II, Pokoh II dan
14
Dlingo II. Jumlah responden masing-masing kelompok tani diambil dengan
intensitas sampling (IS) sebesar 10% dari jumlah anggota kelompok tani.
Data potensi tegakan dan potensi biomassa diukur dengan membuat petak
ukur contoh atau plot. Plot yang digunakan adalah plot persegi panjang berukuran
20 m x 50 m (luas plot ukur 0,1 ha). Pengukuran dan pencatatan, meliputi:
diameter setinggi dada (DBh), tinggi total pohon (Tt), jumlah pohon dalam plot,
dan luas lahan.
Data pengelolaan tegakan diperoleh dari kegiatan wawancara. Wawancara
bersifat semi terstruktur dengan bantuan daftar kuesioner. Data biaya
pembangunan hutan rakyat merupakan data sekunder yang diperoleh dari Dinas
setempat. Data sekunder dilakukan melalui pengutipan dan pencatatan data dari
kantor desa dan instansi terkait. Selain itu juga melalui studi pustaka dengan cara
mengamati, mempelajari atau mengutip laporan yang ada hubungannya dengan
penelitian.
3.3.3 Pengolahan dan Analisis Data
Perhitungan kerapatan pohon dan volume tegakan dilakukan dengan
tahapan kerja sebagai berikut:
1. Kerapatan pohon diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pohon di dalam
plot. Kemudian untuk mendapatkan kerapatan setiap hektarnya dibagi dengan
luas plot tersebut.
2. Volume pohon diperoleh dengan memasukkan diameter dan tinggi pohon ke
dalam persamaan volume, yaitu:
V= 0,25 x 𝜋 x D² x Tt x f
Keterangan: V = Volume (m3) 𝜋 = Konstanta (3,14) D = Diameter pohon setinggi dada (m) Tt = Tinggi total (m) f = Angka bentuk jati 0,759 (Novendra 2008)
Diameter dan tinggi pohon yang disubstitusikan ke dalam persamaan adalah
diameter dan tinggi pohon rata-rata dari hasil sampling.
3. Untuk perhitungan potensi volume total tegakan hutan rakyat jati dengan
mengalikan volume pohon rata-rata per hektar dengan luasan total hutan rakyat
jati di Desa Dlingo.
15
3.3.4 Perhitungan Biomassa dan Potensi Karbon
Penghitungan biomassa persamaan alometrik yang sesuai dengan
karakteristik lokasi pengukuran, meliputi: zona iklim, tipe hutan, dan jika
memungkinkan nama jenis atau kelompok jenis (SNI 7724:2011).
Salah satu rumus yang banyak digunakan adalah persamaan umum, rumus
tersebut sebagai berikut:
B= BJ x V
Keterangan: B = Biomassa (ton) V = Volume (m3) BJ = Berat jenis kayu jati 0,67 (APHI dan Cerindonesia 2011)
Persamaan kedua yang digunakan yaitu Ketterings et al. (2001). Rumus
tersebut sebagai berikut:
B= 0,11 𝜌 D2,62
Keterangan: B = Biomassa pohon (kg/pohon) D = Diameter pohon setinggi dada (cm) 𝜌 = BJ kayu jati 0,67 (APHI dan Cerindonesia 2011)
Menurut SNI 7724:2011, penghitungan karbon dari biomassa menggunakan
rumus sebagai berikut:
Cb = B x % C organik
Keterangan: Cb = Kandungan karbon dari biomassa (kg) B = Total biomassa (kg) %C organik = Nilai persentase kandungan karbon, sebesar 0,47
Sebagai perbandingan dalam metode pendugaan karbon, data diameter dan
tinggi pohon rata-rata dari hasil sampling disubstitusikan ke dalam persamaan
alometrik yang telah diperoleh dari penelitian di hutan rakyat jenis jati di Desa
Dengok, Kecamatan Playen, Gunungkidul. Persamaan ini diperoleh dari destruktif
15 pohon jati dan diperoleh nilai ragam 0,9524 (Saleh 2008) sebagai berikut:
Ctot= 0,1986 D2,13
Keterangan: Ctot = Kandungan karbon (kg/pohon) D = Diameter setinggi dada (cm)
16
Selain itu data diameter dan tinggi pohon rata-rata hasil dari sampling
disubstitusikan ke dalam persamaan yang telah diperoleh dari penelitian pohon
jati di Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan dengan
destruktif 24 pohon jati oleh Hendri (2001) diacu dalam Tiryana et al. (2011).
Persamaan alometriknya sebagai berikut:
Y= 0,2759 D2,2227
Keterangan : Y = Kandungan biomassa (kg/pohon) D = Diameter setinggi dada (cm)
Sesuai Project Idea Note (PIN) Plan Vivo, penyangga resiko (Risk Buffer)
yaitu 10%. Akan tetapi penjualan hanya 70% dari karbon stok ex ante kredit,
karena akan mempertahankan 20% untuk pengukuran biomassa dari Permanen
Sample Plot (PSP) yang akan menunjukan jumlah sebenarnya dari stok karbon
yang diperkirakan. Setelah pengukuran biomassa dilakukan dan dapat
menunjukan stok karbon yang tepat, kemudian 20% dari kredit yang ditahan
tersebut dapat dikeluarkan (Stilma 2012).
3.3.5 Biaya dan Pendapatan Perdagangan Karbon
Komponen biaya yang harus dikeluarkan jika petani akan mengikuti skema
perdagangan karbon merupakan total biaya yang harus dikeluarkan untuk
mengusahakan hutan rakyat seperti biaya operasional dan biaya tetap ditambah
biaya untuk mengikuti skema karbon.
Menurut penelitian Antoko (2011) biaya transaksi dalam Plan Vivo antara
lain: biaya registrasi dan validasi (sekali selama proyek), biaya monitoring
(dilakukan setiap tahun selama proyek), biaya verifikasi (dilakukan setiap 5 tahun
selama proyek berlangsung), dan biaya pengembangan dari proyek. Total
keseluruhan biaya transaksi tersebut tidak lebih dari 40% total perolehan
pendapatan dari penjualan sertifikat penurunan emisi Voluntary (or Verified)
Emission Reductions (VERs).
Perhitungan nilai ekonomi karbon dilakukan dengan menghitung nilai NPV
dan menggunakan pendekatan Voluntary (or Verified) Emission Reductions
(VERs) yang disebut dengan Plan Vivo certificates dengan jangka waktu 5─15
tahun. Plan Vivo certificates merupakan voluntary carbon (sertifikat layanan
lingkungan) yang mempresentasikan penyimpanan jangka panjang sebesar satu
17
tonCO2, ditambah dengan penambahan keuntungan bagi masyarakat dan
ekosistem. Sertifikat ini diperdagangkan dan mengikuti aturan yang dikeluarkan
oleh sebuah pasar karbon sukarela Plan Vivo. Komponen pendapatan diperoleh
dari total hasil penjualan karbon sukarela ditambah dengan hasil penjualan hasil
hutan rakyat (Antoko 2011).
Harga karbon yang digunakan dibuat skenario dengan harga jual karbon,
yaitu: 10 USD/tonCO2, 15 USD/tonCO2 dan 20USD/tonCO2. Harga karbon ini
pada dasarnya sangat tergantung kepada kesepakatan antara penjual dan pembeli
jasa.
3.3.6 Perhitungan Keuntungan Perdagangan Karbon
Keuntungan hutan rakyat dalam skema perdagangan karbon sukarela ini
diketahui dari pendapatan total, yaitu pendapatan kayu dan jasa karbon dikurangi
dengan total biaya. Total biaya yaitu biaya pembangunan hutan rakyat, biaya
pemeliharaan dan biaya skema karbon sukarela. Secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut:
𝜋 = R - C
Keterangan : 𝜋 = Keuntungan (Rp) R = Pendapatan (Rp) C = Biaya (Rp)
18
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Geografis
4.1.1 Letak dan Luas
Secara administratif, pemerintahan Desa Dlingo termasuk dalam wilayah
Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Desa Dlingo berbatasan dengan Desa Temuwuh Dlingo di bagian utara, Desa
Banyusoca Gunungkidul di bagian selatan, Desa Bleberan Gunungkidul di bagian
timur dan Desa Muntuk Dlingo di bagian barat. Jarak Desa Dlingo kurang lebih
25 km dari ibukota Kabupaten Bantul atau 0,5 km dari ibukota Kecamatan
Dlingo. Desa Dlingo memiliki luas 856,75 ha yang terbagi dalam 10 pedusunan
yaitu Dusun Dlingo I, Dlingo II, Pokoh I, Pokoh II, Koripan I, Koripan II,
Kebosungu I, Kebosungu II, Pakis I dan Pakis II (Desa Dlingo 2012).
4.1.2 Jenis Tanah dan Topografi
Wilayah Desa Dlingo memiliki kondisi tanah berupa perbukitan atau
pegunungan karst dengan jenis tanah mediteran yang memiliki lapisan tanah tipis,
berbatu dan kurang subur. Desa Dlingo terletak di dataran tinggi dengan
ketinggian 200─285 mdpl. Wilayah bagian timur yang membentang dari utara ke
selatan lebih tinggi dari wilayah bagian barat dengan topografi berombak sampai
berbukit sebesar 100% dari wilayahnya dengan kemiringan 25─40%. Pedusunan
yang wilayahnya lebih rendah yang berada pada wilayah bagian timur dan selatan
adalah Pokoh I, Pokoh II dan Kebosungu II, sedangkan Pedusunan di bagian barat
dan utara yaitu Dlingo II, Pakis II sedangkan di bagian utara adalah Koripan I dan
Koripan II.
Desa Dlingo dilalui oleh sungai besar yaitu Sungai Oya yang mengalir dari
utara ke selatan mengelilingi bagian timur dan selatan dari wilayah Desa Dlingo
sekaligus menjadi batas wilayah antara Desa Dlingo dengan wilayah Kabupaten
Gunungkidul.
19
4.1.3 Iklim dan Curah Hujan
Desa Dlingo memiliki tipe iklim C menurut Schmidt dan Ferguson dengan
curah hujan 1500─2000 mm/tahun. Suhu di Desa Dlingo berkisar antara 23─33
°C dengan kelembaban sedang.
4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk
4.2.1 Pola Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Desa Dlingo terbagi dalam berbagai penggunaan lahan
yan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pola penggunaan lahan Jenis penggunaan Luas (ha) Persentase (%)
Sawah/pertanian 69,1 6,8 Ladang/tegalan 196,4 19,4 Pemukiman 321,0 31,7 Hutan rakyat 395,0 38,9 Lain-lain 32,2 3,2
Jumlah 1013,7 100,0
Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk hutan rakyat paling
luas yaitu 395 ha atau 38% dari luas Desa Dlingo. Berikut ini Gambar 2
merupakan peta tata guna lahan dan sumberdaya alam dari Desa Dlingo.
Gambar 2 Peta tata guna lahan dan sumberdaya alam Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
20
4.2.2 Penduduk
Berdasarkan monografi Desa Dlingo pada tahun 2012 jumlah penduduk
Desa Dlingo sebanyak 5.590 jiwa yang mencakup 1.772 kepala keluarga, terdiri
dari 2.767 jiwa laki-laki (49,5%) dan 2.823 jiwa perempuan (50,5%). Jumlah
penduduk tertinggi di Dusun Pakis II sebesar 751 jiwa dan terendah di Dusun
Dlingo II yaitu sebesar 336 jiwa. Mayoritas penduduk Desa Dlingo beragama
islam yaitu sebesar 5.580 jiwa dan 10 jiwa memeluk agama kristen/katolik.
4.2.3 Struktur Penduduk Berdasarkan Struktur Umur
Berdasarkan struktur umur, jumlah penduduk Desa Dlingo usia 0-14 tahun
sebesar 1.179 orang, umur 15-24 tahun sebesar 893 orang, sedang usia 25-49
tahun sebesar 2.179 orang dan usia lanjut atau lebih dari 50 tahun berjumlah 1.339
orang sehingga jumlah total penduduk Desa Dlingo adalah 5.590 jiwa.
4.2.4 Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama penduduk Desa Dlingo adalah bertani. Selain
bertani, mereka juga bekerja di pertukangan atau buruh bangunan. Mata
pencaharian penduduk Desa Dlingo dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Mata pencaharian Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)
Karyawan PNS 112 5,6 Abri/Polri 16 0,8 Swasta 272 13,5 Pedagang 240 11,9 Tani 729 36,2 Buruh tani 244 12,1 Pensiunan 59 2,9 Tukang 212 10,5 Peternak 30 1,5 Pengrajin 84 4,2 Jasa 15 0,8
Jumlah 2.013 100,0 Sumber: Desa Dlingo 2012
4.2.5 Sarana dan Prasarana
Prasarana utama yang ada di Desa Dlingo antara lain sarana jalan terdiri dari
jalan propinsi 2 km, jalan kabupaten 16 km dan jalan desa 27 km dan jembatan
beton sebanyak 4 buah. Sarana yang ada di Desa Dlingo terdiri dari sarana
pendidikan, peribadatan, kesehatan, perekonomian, pemerintahan dan pelayanan
umum.
21
Sarana pendidikan yang ada di Desa Dlingo terdiri dari 4 jenjang yaitu
Paud, TK, SD, SMP dan SMA. Pendidikan Paud ada 10 buah dan menyebar di
setiap dusun. Pendidikan TK ada 4 buah, pendidikan SD ada 5 buah, pendidikan
SMP ada 2 buah dan pendidikan SMA hanya 1 buah.
Fasilitas peribadatan Desa Dlingo terdiri dari masjid dan langgar, sedangkan
fasilitas peribadatan agama lain selain Islam tidak terdapat di Desa Dlingo karena
bisa dikatakan bahwa hampir semua penduduk Desa Dlingo beragama Islam
sehingga untuk penduduk non muslim peribadatan dilakukan di wilayah lain.
Adapun jumlah masjid dan langgar yang ada di Desa Dlingo yaitu ada 1 masjid
dan 38 langgar.
Sarana kesehatan yang ada di Desa Dlingo terdiri dari puskesmas dan
posyandu. Adapun jumlah puskesmas dan posyandu yang ada di Desa Dlingo
yaitu ada 1 buah puskesmas di Desa Koripan I dan 12 posyandu yang tersebar
disetiap dusun.
Sarana perekonomian terdiri dari pasar, toko, warung dan pertokoan.
Adapun jumlah pasar tradisional yaitu ada 1 buah yang berada di Dusun Koripan
I, toko berjumlah 2 buah dan tersebar di Koripan I dan Dlingo I. Warung/kios
menyebar disetiap dusun dengan jumlah total 84 warung di Desa Dlingo.
Sarana pemerintahan dan pelayanan umum yang ada di Desa Dlingo adalah
kantor desa, balai pertemuan, kantor dinas, bank/perbankan, gardu jaga, bengkel
kerja, kantor KUA, kantor parpol dan kantor koramil.
22
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kegiatan GNRHL di Desa Dlingo
Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL)
dilakukan pada tahun 2003─2004 dan di Desa Dlingo sendiri dilakukan pada
tahun 2003. Proyek ini merupakan proyek nasional dibawah Kementrian
Kehutanan dan untuk implementasi di lapangan, proyek GNRHL yang ada di
Kabupaten Bantul dibawahi oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dipertahut)
Kabupaten Bantul. Menurut Dipertahut Kabupaten Bantul, proyek GNRHL telah
berhasil melakukan penanaman di lahan milik rakyat di Kabupaten Bantul seluas
2.450 ha dan salah satunya adalah di hutan rakyat Desa Dlingo. Luas hutan rakyat
hasil dari GNRHL di Desa Dlingo yaitu 325 ha. Rincian mengenai luasan
GNRHL masing-masing dusun dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Luas GNRHL masing-masing dusun di Desa Dlingo No Nama Dusun Luas GNRHL (ha) 1. Pokoh I 56,75 2. Pokoh II 55,25 3. Kebosungu I 62,75 4. Kebosungu II 61,25 5. Koripan II 39,00 6. Pakis I 25,00 7. Pakis II dan Dlingo II 25,00
Total 325,00
Dipertahut menyediakan bibit, pupuk, dan alat-alat untuk pengolahan dan
perawatan tanaman seperti: cangkul, linggis, dan alat semprot secara gratis per
kelompok tani. Pembagian dilakukan setelah pengajuan proposal oleh kelompok
tani dan hanya dibagikan pada awal tahun sebelum dilakukan penanaman. Selain
itu untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat, petani diberikan upah berdasarkan
satuan hari orang kerja (HOK) sebesar Rp 15.000/orang/hari.
Menurut Hidra (2007) komposisi jenis antara tanaman kayu-kayuan dengan
jenis MPTS ditentukan dengan proporsi 70% tanaman kayu kayuan dan 30% jenis
MPTS. Jenis tanaman hutan rakyat terdiri dari jati, mangga, dan rambutan dengan
jarak tanam 5m x 10m. Namun kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan
rancangan, jarak tanam, dan jenis tanaman bervariasi sesuai dengan keinginan
23
pemiliknya dan tidak ditemukan kondisi hutan rakyat yang sesuai dengan
rancangan. Disebabkan pola penanaman GNRHL menurut Dipertahut adalah pola
penanaman pengkayaan yang sebelumnya sudah terdapat tanaman, maka tanaman
baru sebagai tanaman pembatas maksimal 200 batang/ha.
5.2 Kondisi Hutan Rakyat
Untuk mengetahui kegiatan dari pengelolaan hutan rakyat di Desa Dlingo,
dilakukan wawancara semi terstruktur menggunakan kuesioner dengan 35
responden pemilik hutan rakyat dari 3 dusun, yaitu: Pakis II, Pokoh II, dan Dlingo
II. Lokasi GNRHL berada pada tanah yang miring dan tidak subur sehingga
sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu dibuat terasering atau piringan dari
batu yang disusun. Penanaman harus dilakukan pada saat awal musim penghujan
karena jika musim kemarau tanah sangat kering.
5.2.1 Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hutan Rakyat
Penduduk Desa Dlingo mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Dari
35 responden merupakan petani hutan rakyat, baik sebagai mata pencaharian
pokok maupun hanya sampingan.
Petani Desa Dlingo selain mengelola hutan rakyat juga mengelola tanaman
pertanian. Namun, bertani tanaman pertanian lebih diprioritaskan pengelolaannya
karena memiliki hasil dengan jangka waktu yang lebih pendek tidak seperti hasil
dari hutan rakyat. Selain itu, mereka juga memiliki pekerjaan sampingan karena
hasil dari pertanian saja tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Pada umumnya,
pekerjaan sampingan yang dilakukan yaitu sebagai pedagang, pengrajin mebel,
dan sebagai tukang bangunan.
5.2.2 Sistem Pemilik dan Penggunaan Hutan Rakyat
Status kepemilikan lahan merupakan lahan milik petani dengan telah
memiliki pengakuan dari masyarakat dan kelurahan, namun sebagian masih ada
yang belum memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah. Berdasarkan
wawancara dengan responden, luasan hutan rakyat yang dimiliki berbeda-beda.
Umumnya letak hutan rakyat GNRHL berbentuk blok dan dimiliki oleh beberapa
petani dengan batas lahan berupa patok dari badan pertanahan dan berupa susunan
batu terasering.
24
Tujuan utama responden membudidayakan hutan rakyat berbeda-beda,
sebagian besar responden beralasan untuk keperluan sendiri dan digunakan
sebagai bahan baku mebel dan sebagian juga digunakan untuk investasi tambahan
di masa depan. Harga kayu jati yang tinggi diharapkan dapat memberikan
tambahan penghasilan untuk keperluan masa depan, seperti keperluan tambahan
biaya pendidikan, atau kegiatan lainnya yang membutuhkan modal besar.
Sebelum dilakukan penanaman dari proyek GNRHL, lahan hutan rakyat
tersebut berupa lahan kritis, tegalan, dan pekarangan. Pola penanaman GNRHL
menurut Dipertahut yaitu dengan pola penanaman pengkayaan dengan
sebelumnya sudah terdapat tanaman sehingga diperlukan penambahan tanaman
dengan proyek GNRHL ini agar tanaman lebih produktif. Setelah penanaman
GNRHL dilakukan, lahan hutan rakyat masyarakat ini ditumbuhi pohon jati
dengan bentuk hutan rakyat yang berbeda-beda. Bentuk hutan rakyat jati di Desa
Dlingo terdiri dari sistem monokultur jati, sistem campuran dengan tanaman kayu
keras lainnya seperti mahoni, sonokeling, dan bentuk tumpangsari. Tumpangsari
dilakukan dengan menggunakan jenis tanaman pertanian yaitu ketela, umbi-
umbian dan tanaman pisang. Pemilihan tanaman keras campuran berdasarkan
pertimbangan agar tidak mudah terserang penyakit dan variasi jenis di lahan
miliknya, sedangkan pemilihan jenis tanaman pertanian berdasarkan
pertimbangan kebutuhan untuk mendapatkan hasil panen jangka pendek untuk
kebutuhan sehari-hari.
5.2.3 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat
Prabowo (1998) kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat meliputi
pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran hasil.
Kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat secara lebih rinci sebagai berikut:
1. Pengadaan Benih
GNRHL pengadaan dalam bentuk bibit bukan benih. Bibit diperoleh secara
gratis dari Dipertahut melalui kelompok tani yang ditunjuk.
2. Penanaman
Penanaman GNRHL dilakukan secara gotong royong oleh kelompok tani
menanam secara bergiliran di lahan milik mereka. Para petani tersebut
mendapatkan upah berdasarkan HOK sebesar Rp 15.000/hari dari Dipertahut.
25
Daerah Desa Dlingo merupakan daerah yang memiliki tanah yang mudah
kekeringan ketika musim kemarau, sedangkan tanaman jati sangat peka
terhadap kekeringan pada awal masa tanam, sehingga penanaman dilakukan
pada awal musim penghujan agar bibit yang ditanam mendapatkan air yang
cukup. Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu dibuat lubang tanam dengan
jarak tanam 5m x 10m sesuai anjuran Dinas setempat, namun jarak tanam
berbeda-beda tergantung dari kondisi lahan yang kosong di lapangan.
Selanjutnya dilakukan pemupukan dengan pupuk organik sebesar 2,5
kg/pohon yang diperoleh secara gratis dari proyek GNRHL.
3. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh petani diantaranya adalah
penyulaman, pemupukan, dan penyemprotan. Semua kegiatan tersebut hanya
dilakukan pada tahun pertama hingga tahun kedua, sedangkan untuk tahun-
tahun selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada petani dalam
pengelolaannya. Namun sekarang ini kegiatan perawatan sudah tidak ada.
Pemupukan dilakukan pada saat penanaman dengan pupuk organik sebesar
2,5 kg/pohon dan pupuk anorganik urea diberikan dua kali yaitu pada akhir
musim penghujan pada tahun pertama dan kedua dengan masing masing
sebesar 3 tablet/pohon. Penyulaman dilakukan pada tahun kedua setelah
penanaman, sedangkan untuk kegiatan penjarangan yang seharusnya
dilakukan pada tahun kelima tidak dilakukan.
4. Pemanenan
Menurut petani, umumnya jati dipanen setelah berumur 25 tahun, namun jika
ada kebutuhan mendesak dapat dipanen sebelum umur 25 tahun. Pemanenan
yang biasa dilakukan dikenal dengan istilah sistem tebang butuh, yaitu
kegiatan penebangan karena kepentingan ekonomi yang mendesak, seperti
kebutuhan anak sekolah, hutang-piutang dan lain-lain. Pembelian kayu
dilakukan ketika pohon masih berdiri, pihak pembeli atau tengkulak yang
datang langsung ke areal hutan rakyat setelah adanya kesepakatan harga
dengan petani. Penjualan seperti ini petani tidak menanggung biaya
penebangan, biaya pemasaran dan risiko kerusakan kayu yang terjadi akibat
proses penebangan. Namun, biasanya petani mendapatkan harga tawar yang
26
rendah karena kurangnya informasi tentang harga kayu dan harga dikuasai
oleh tengkulak. Harga kayu jati juga bervariasi hanya berdasarkan perkiraan
diameter, tidak ada patokan harga untuk per meter kayunya sehingga harga
hanya berdasarkan tawar menawar antara penjual dan pembeli.
5. Pemasaran hasil
Pembeli kayu biasanya menggunakan kayunya untuk dibuat dalam bentuk
kerajinan mebel. Sejauh ini tidak dilakukan pemasaran kayu log keluar dari
desa, namun untuk pemasaran mebel sudah dipasarkan hingga keluar
kabupaten, bahkan sampai ke luar jawa seperti Bali. Pengrajin mebel di Desa
Dlingo cukup banyak, dalam satu dusun saja hampir setengah dari KK
memiliki usaha mebel baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk
dipasarkan.
Pengelolaan hutan rakyat di Desa Dlingo didukung oleh keberadaan
kelompok tani dan penyuluh kehutanan dari Dipertahut. Kelompok tani dan
penyuluh berfungsi sebagai wadah bagi para petani pengelola hutan rakyat untuk
meningkatkan pengetahuan dan informasi anggota kelompok tani tentang cara
mengelola hutan rakyat dengan benar. Selain itu, mereka juga dapat saling belajar
dan berbagi pengalaman.
Pembangunan hutan rakyat ini, petani tidak mengeluarkan biaya sedikitpun,
bahkan petani malah mendapat upah dari proyek pembuatan hutan rakyat GNRHL
yaitu sebesar Rp 15.000/orang/hari. Tabel 4 menyajikan informasi mengenai
biaya pembangunan hutan rakyat Desa Dlingo dengan luasan 325 ha yang
dikeluarkan oleh pemerintah melalui Dipertahut.
27
Tabel 4 Biaya pembuatan hutan rakyat No. Jenis pekerjaan Biaya bahan/peralatan Biaya tenaga Total biaya
(rupiah) Volume Satuan (rupiah)
Biaya (rupiah)
Volume Satuan (rupiah)
Biaya (rupiah)
1. Persiapan a. pemancangan patok batas/ajir b. pembuatan papan nama c. pembuatan gubuk kerja d. pengadaan bahan, peralatan
325 ha 7 unit 7 unit 7 unit
17.600 500.000
5.450.000 1.600.000
5.720.000 3.500.000
38.150.000 11.200.000
35 HOK 350 HOK
15.000 15.000
525.000 3.150.000
5.720.000 4.025.000
41.300.000 11.200.000
2. Pelaksanaan a. pembuatan dan pemasangan ajir b. pembuatan piringan dan lubang tanam c. langsir bibit d. penanaman e. pemupukan
1. anorganik 2. organik
10205 kg 178,75 ton
9.000 500.000
91.845.000 89.375.000
468 HOK
2860 HOK 351 HOK
1430 HOK
15.000 15.000 15.000 15.000
7.020.000
42.900.000 5.265.000
21.450.000
7.020.000
42.900.000 5.265.000
21.450.000
91.845.000 89.375.000
3. Pemeliharaan a. pemeliharaan tanaman b. pemupukan
351 HOK 715 HOK
15.000 15.000
5.265.000
10.725.000
5.265.000
10.725.000 4. Angkutan bibit, pengamanan dan
pemeliharaan bibit 7 paket 1.100.000 7.700.000 7.700.000
5. Pengawasan/supervisi 7 paket 600.000 4.200.000 4.200.000 Total 347.990.000
28
Tabel 4 biaya pembangunan hutan rakyat di Desa Dlingo dengan luasan 325
ha yaitu sebesar Rp 347.990.000 atau Rp 1.070.700/ha. Biaya pengelolaan hutan
rakyat terdiri dari dua biaya utama yaitu: biaya pembangunan hutan rakyat dan
biaya pemanenan hutan rakyat, akan tetapi petani tidak mengeluarkan biaya untuk
pemanenan kayu. Biaya pengelolaan hutan rakyat terdiri dari biaya persiapan,
pelaksanaan, pemeliharaan, angkutan bibit, pengamanan dan pemeliharaan bibit
dan pengawasan/supervisi. Biaya ini tidak mempertimbangkan biaya pembelian
bibit karena tidak ada anggaran biaya dari Dipertahut untuk pembelian bibit.
Walaupun tanaman dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa ada perlakuan
pemeliharaan, namun petani masih menggunakan waktunya untuk mengunjungi
tegakan jati miliknya. Tabel 5 merupakan perkiraan rata-rata penggunaan waktu
dan biaya yang telah dikorbankan petani untuk pemeliharaan tanaman.
Tabel 5 Penggunaan waktu dan biaya petani untuk pemeliharaan tanaman Tahun
Rata-rata
(jam/ minggu) Rata-rata
(jam/tahun) Biaya per jam
(rupiah) Biaya per tahun
(rupiah) 2003 3 144 1.875 270.000 2004 2 96 1.875 180.000 2005 1 48 1.875 90.000 2006 1 48 2.200 105.600 2007 1 48 2.550 122.400 2008 1 48 2.875 138.000 2009 1 48 3.200 153.600 2010 1 48 3.550 170.400 2011 1 48 3.875 186.000 2012 1 48 3.750 180.000 2013 1 48 3.750 180.000 2014 1 48 3.750 180.000 2015 1 48 3.750 180.000 2016 1 48 3.750 180.000 2017 1 48 3.750 180.000 2018 1 48 3.750 180.000 2019 1 48 3.750 180.000 2020 1 48 3.750 180.000 2021 1 48 3.750 180.000 2022 1 48 3.750 180.000 2023 1 48 3.750 180.000 2024 1 48 3.750 180.000 2025 1 48 3.750 180.000 2026 1 48 3.750 180.000 2027 1 48 3.750 180.000
total 28 1.344
4.296.000
Petani melakukan pemeliharaan dengan mengunjungi tegakannya setiap
seminggu sekali. Namun pada tahun pertama, waktu yang dihabiskan petani
dalam seminggu sekitar 3 jam, tahun kedua sekitar 2 jam dan tahun selanjutnya
29
hanya 1 jam. Biaya per jam yaitu perkiraan biaya sebesar Upah minimum
Regional (UMR) pada tahun tersebut. Perkiraan biaya pemeliharaan yaitu sebesar
Rp 4.296.000/petani atau sebesar Rp 171.850/petani/tahun. Jumlah petani di Desa
Dlingo ini ada 729 orang dan luasan total hutan rakyat sebesar 325 ha, maka rata-
rata kepemilikan lahan seluas 0,45 ha/petani sehingga biaya pemeliharaan sebesar
Rp 9.546.700 /ha atau Rp 381.900/ha/tahun.
5.3 Deskripsi Tegakan Hutan Rakyat
Pendugaan potensi tegakan hutan rakyat data primer yang diperlukan yaitu
data diameter dan tinggi pohon. Data diameter dan tinggi dilakukan dengan
sampling 35 responden lahan hutan rakyat yang ada di Dusun Pakis II, Pokoh II
dan Dlingo II. Pemilihan lokasi berdasarkan lokasi penanaman GNRHL yang
dilakukan dusun tersebut. Pengukuran dilakukan secara sampling karena
pertimbangan keterbatasan tenaga, kondisi tegakan dominan seumur dan luasan
hutan rakyat hasil GNRHL mencapai 325 ha.
Pengukuran diameter dan tinggi total (TT) dilakukan pada semua pohon
yang ada di dalam plot yang berukuran 0,1 ha yang akan mewakili setiap lahan
responden. Tabel 6 menjelaskan kondisi tegakan hutan rakyat berdasarkan hasil
pengukuran sampling.
Tabel 6 Kondisi tegakan hutan rakyat Kelas diameter
(cm) Jumlah pohon Kerapatan
(N/ha) Persentase
(%) Rata-rata TT
(m) D < 5 611 175 19 3,92 5 ≤ D < 10 1317 376 41 8,14 10 ≤ D < 15 890 254 27 11,29 15 ≤ D < 20 287 82 9 13,14 20 ≤ D < 25 93 27 3 13,82 D ≥ 25 23 7 1 14,01
Total 3221 921 100
Jumlah pohon hasil sampling sebanyak 35 lahan responden atau 3,5 ha ada
3.221 pohon. Dari hasil perhitungan, diperoleh diameter rata-rata dan tinggi rata-
rata hutan rakyat di Desa Dlingo hasil dari sampling berturut-turut adalah 9,45 cm
dan 8,87 m. Kondisi tegakan hutan rakyat didominasi oleh tegakan yang
berdiameter 5 ≤ D < 10 dengan persentase sebesar 41%.
30
Kondisi tegakan walaupun memiliki umur tanam yang sama, namun
memiliki diameter yang berbeda-beda. Kondisi tegakan yang berada pada lokasi
tepi jalan atau tepi lahan cenderung memiliki pohon-pohon yang berdiameter
besar. Hal itu disebabkan pohon-pohon yang berada di tepi mendapatkan sinar
matahari yang cukup dan ada sebagian dari lahan mendapatkan perlakuan
perawatan dari pemiliknya. Namun, dari 35 responden hanya 2 responden saja
yang melakukan perawatan pada lahan hutan rakyatnya. Perawatan itu antara lain
pemberian pupuk organik dari kotoran sapi dan pembersihan gulma.
Hasil dari sampling menunjukkan pertumbuhan pohon-pohon pada tegakan
hutan rakyat hasil GNRHL Desa Dlingo memiliki pertumbuhan yang normal.
Menurut penelitian Ginoga et al. (2005), pertumbuhan jati di KPH Saradan Jawa
Timur pada umur 9 tahun berdiameter 9,73 cm sehingga tidak berbeda jauh
dengan hasil dari penelitian ini sebesar 9,45 cm.
5.4 Potensi Volume Tegakan
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus volume pohon jati dengan
faktor angka bentuk jati 0,759 (Novendra 2008), diperoleh hasil volume terbesar
yaitu pada diameter tegakan antara 10 cm sampai 15 cm dengan nilai terbesar
91,29 m3. Tabel 7 menunjukkan potensi volume tegakan hutan rakyat.
Tabel 7 Potensi volume tegakan berdasarkan kelas diameter Kelas diameter
(cm) Jumlah pohon Kerapatan
(N/ha) Volume
(m3) Volume (m3/ha)
D < 5 611 175 2,14 0,61 5 ≤ D < 10 1317 376 39,28 11,22 10 ≤ D < 15 890 254 91,29 26,08 15 ≤ D < 20 287 82 67,12 19,18 20 ≤ D < 25 93 27 37,33 10,67 D ≥ 25 23 7 14,45 4,13
Total 3221 921 251,61 71,89
Volume tegakan kayu jati di desa Dlingo saat ini yaitu sebesar 71,89 m3/ha.
Pendapatan yang diperoleh pada umur jati saat ini (9 tahun) dengan mengalikan
volume saat ini dengan harga kayu jati apabila harga di pasaran saat ini Rp
1.400.000/m3 adalah Rp 100.646.000/ha. Potensi volume akhir daur diperkirakan
sebesar 1.540 m3/ha. Nilai ini diperoleh dengan menghitung MAI (Mean Annual
Increment) yaitu dengan cara membagi diameter saat ini terhadap umur tanam.
31
Selanjutnya riap tahunan diameter pohon dikalikan dengan daur yaitu 25 tahun
sehingga diperoleh diameter pohon pada umur 25 tahun. Tinggi pohon pada akhir
daur dihitung dengan cara yang sama dengan perhitungan riap diameter.
Pendapatan yang diperoleh jika kayu dijual pada akhir daur dengan asumsi daur
tebang 25 tahun sebesar Rp 2.156.000.000/ha dengan asumsi harga per m3 pohon
jati adalah tetap. Keuntungan yang diperoleh yaitu dengan mengurangi
pendapatan dari penjualan tegakan jati di akhir daur dengan biaya pembangunan
tegakan hutan rakyat dan biaya pemeliharaan. Biaya pembangunan hutan rakyat
adalah Rp 347.990.000 atau Rp 1.070.700/ha dan biaya pemeliharaan Rp
9.546.700/ha, sehingga keuntungan yang diperoleh dari hutan rakyat sampai akhir
daur panen sebesar Rp 2.145.382.600/ha.
Perkiraan potensi volume umur 25 tahun dengan perhitungan tersebut
menghasilkan nilai yang sangat besar, sementara tegakan yang tidak dilakukan
penjarangan seharusnya memiliki pertumbuhan riap yang kecil karena persaingan
antar pohon yang sangat ketat. Sehingga perhitungan potensi volume akhir daur
dilakukan dengan menggunakan tabel tegakan jati bonita II dan diperoleh potensi
volume sebesar 209,32 m3/ha. Pendapatan jika pada umur 25 tahun dilakukan
penebangan yaitu sebesar Rp 683.018.000/ha. Keuntungan setelah pendapatan
dikurangi biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp 1.070.700/ha dan
pemeliharaan Rp 9.546.700/ha yaitu sebesar Rp 672.400.600/ha.
5.5 Potensi Karbon
Metode pendugaan karbon tegakan dilakukan dengan empat persamaan.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat perbedaan hasil dari masing-masing
persamaan yang digunakan. Masing-masing persamaan dapat dibandingkan dari
hasil pendugaan karbon dan dapat diketahui faktor-faktor penyebab perbedaan
hasil pendugaan karbon dari persamaan-persamaan tersebut sehingga dapat
ditentukan persamaan terbaik untuk pendugaan karbon hutan rakyat jati di Desa
Dlingo ini.
Metode pertama yaitu persamaan umum dengan mensubstitusikan
diameter dan tinggi total tegakan ke dalam rumus volume pohon dan
memperhitungan faktor angka bentuk pohon jati sebesar 0,759 (Novendra 2008)
32
sehingga diperoleh nilai volume tegakan diperoleh sebesar 23.364,25 m3 atau
71,89 m3/ha. Pendugaan biomassa pohon diperoleh dengan cara mengalikan
volume dengan berat jenis kayu jati yaitu sebesar 0,67 (APHI dan Cerindonesia
2011) sehingga diperoleh kandungan biomassa sebesar 15.654,05 ton atau 48,17
ton/ha dan menurut SNI 7724:2011 sebesar 0,47 dari biomassa merupakan
kandungan karbon sebesar 7.357,189 tonC atau 22,64 tonC/ha. Pada persamaan
pertama pengukuran tinggi di lapangan cenderung mengakibatkan penyimpangan
yang tinggi karena kesalahan dari pengukur dalam mengukur tinggi dengan
hagahypsometer.
Metode kedua merupakan persamaan umum yang sering digunakan adalah
rumus Ketterings et al. (2001). Persamaan ini dilakukan dengan cara
mensubstitusikan diameter total tegakan dan memperhitungkan berat jenis kayu
jati yaitu sebesar 0,67 (APHI dan Cerindonesia 2011) sehingga diperoleh nilai
biomassa sebesar 12.869,211 ton atau 39,59 ton/ha. Menurut SNI 7724:2011,
sebesar 0,47 dari biomassa merupakan kandungan karbon yaitu sebesar 6.048,53
tonC atau 18,61 tonC/ha.
Persamaan pertama dan persamaan kedua merupakan persamaan umum
yang mudah diaplikasikan, bisa meminimalkan kesalahan pengukuran, serta
cukup sederhana. Kelemahannya adalah kurang bisa mengakomodasi jumlah
karbon selain biomassa atas pohon seperti jumlah karbon pada akar, daun dan
tanah (Ginoga et al. 2005). Selain itu, kedua persamaan ini menggunakan
pendekatan berat jenis yang memungkinkan peluang penyimpangan pada
pemilihan berat jenis yang digunakan. Berat jenis jati berkisar antara 0,62 sampai
dengan 0,75 (Purnamasari 2008), sedangkan berat jenis yang digunakan yaitu
berat jenis rata-rata sebesar 0,67.
Penetapan persamaan alometrik yang akan dipakai dalam pendugaan
biomassa merupakan tahapan penting dalam proses pendugaan biomassa. Setiap
persamaan alometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis
tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Pemakaian suatu persamaan yang
dikembangkan belum tentu cocok apabila diterapkan di daerah lain (Sutaryo
2008).
33
Metode ketiga dan keempat merupakan metode persamaan biomassa
diperoleh dari hasil penelitian destruktif pohon jati di dua tempat, yaitu: Desa
Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul dan Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa
Tengah. Persamaan alometrik C= 0,1986 D2,13 menggunakan sampel 15 pohon jati
dengan kelas diameter 5-14 cm, 15-24 cm, dan 25 cm keatas, sedangkan
persamaan C= 0,2759 D2,2227 x 0,47 merupakan persamaan hasil destruktif pohon
jati di KPH Cepu, Jawa tengah menggunakan 24 pohon jati dengan tingkatan
umur 2, 11, 22, 41, 45, 53, 70, dan 88 tahun. Kedua persamaan ini dipilih karena
pertimbangan peluang kesalahan yang tinggi terhadap tinggi tegakan yang diambil
di lapangan. Persamaan ketiga dipilih dengan alasan lokasi yang berdekatan
dengan lokasi penelitian untuk Desa Dengok Kecamatan Playen Gunungkidul
sehingga memungkinkan untuk kemiripan kondisi tanah, cuaca, ketinggian lokasi
karena berada di lereng pegunungan seperti di hutan rakyat Desa Dlingo.
Persamaan alometrik hasil destruktif di KPH Cepu, Jawa Tengah dipilih
untuk perbandingan terhadap perlakuan silvikultur antara tegakan jati di hutan
rakyat yang kurang mendapat perlakuan silvikultur dengan tegakan jati di KPH
Cepu yang mendapat perlakuan silvikultur secara intensif. Tabel 8 menyajikan
hasil dari pendugaan karbon dari keempat persamaan tersebut.
Tabel 8 Persamaan pendugaan kandungan karbon No. Metode persamaan Lokasi persamaan
diperoleh Potensi karbon (ton/ha)
Nilai ragam
Sumber penyimpangan
1 C= 𝜌 x V x 0,47
Persamaan umum 22,64 0,864 Pengukuran tinggi dan faktor berat jenis
2 C= 0,052 𝜌 D2,62 x 0,47 Ketterings et al. (2001)
Muara Bungo, Bungo Tebu, Jambi
18,61 0,810 Faktor berat jenis
3 C= 0,1986 D2,13
(Saleh 2008) Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul
29,11 0,895 Perbedaan lokasi
4 C= 0,2759 D2,2227 x 0,47 (Hendri 2001) diacu dalam Tiryana et al. (2011)
Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa Tengah
24, 50 0,879 Perbedaan lokasi
Persamaan alometrik pendugaan karbon di Desa Dengok, Kecamatan Playen
Gunungkidul sebesar 9.460,75 tonC atau 29,11 tonC/ha dianggap yang terbaik
karena berdasarkan pertimbangan kemiripan kondisi geografis karena lokasi
34
berdekatan dan sama-sama berada pada daerah pegunungan. Lokasi Kecamatan
Dlingo sebelah timur berbatasan langsung dengan kecamatan Playen. Menurut
AHPI dan Cerindonesia (2011), metode alometrik digunakan tergantung pada
jenis atau curah hujan, untuk itu digunakan rumus sesuai dengan jenis atau curah
hujan pada lokasi.
Lokasi Desa Dlingo memiliki curah hujan 1500─2000 mm/tahun,
sedangkan Desa Dengok Kecamatan Playen Gunungkidul 2000─2100 mm/tahun.
Kedua tempat ini sama-sama berlokasi di daerah pegunungan karst yang
berdekatan dengan ketinggian untuk Desa Dlingo yaitu 200─295 mdpl sedangkan
untuk Desa Dengok yaitu 200─300 mdpl. Dari hubungan diameter dan karbon,
persamaan ini diperoleh nilai ragam terbesar dibandingkan persamaan lainnya
sebesar 0,895. Dari pertimbangan ini persamaan alometrik ketiga dipilih sebagai
yang terbaik.
Hasil perhitungan dengan persamaan alometrik keempat yaitu alometrik dari
pendugaan destruktif di perum perhutani, KPH Cepu, Jawa Tengah menunjukkan
nilai yang lebih kecil daripada persamaan ketiga yaitu sebesar 7.962,5 ton atau
24,50 ton/ha. Seharusnya nilai dengan persamaan keempat lebih besar daripada
persamaan ketiga, karena perlakuan silvikultur tanaman di Perhutani lebih intensif
dibandingkan dengan perlakuan tanaman di hutan rakyat yang kurang bahkan
tanaman dibiarkan tumbuh tanpa ada pemeliharaan lanjutan hingga akhir daur.
Menurut Malsheimer et al. (2009) diacu dalam Butarbutar (2009) hutan yang
dikelola akan menyerap karbon lebih banyak daripada hutan yang tidak dikelola
Menurut Pramono et al. (2010) untuk mendapatkan tegakan jati yang
menghasilkan kayu berkualitas tinggi, dipilih lahan yang memiliki kandungan
kapur dan lempung-liat cukup tinggi, memiliki perbedaan musim kemarau dan
musim penghujan yang nyata, berada pada ketinggian kurang dari 700 m dpl.
Kondisi tanah di Desa Dlingo memiliki kandungan kapur yang tinggi yang dapat
memacu pertumbuhan pada jati walaupun tidak dilakukan pemeliharaan.
Tabel 9 menyajikan informasi mengenai hasil pendugaan karbon dengan
persamaan terbaik yaitu persamaan alometrik pendugaan karbon di Desa Dengok,
Kecamatan Playen Gunungkidul dengan satu variabel yaitu diameter.
35
Tabel 9 Potensi stok karbon tegakan hutan rakyat Kelas
diameter (cm) Kerapatan (N/ha) Potensi karbon
per ha (tonC/ha) Serapan karbondioksida
per ha (tonCO2/ha) D < 5 175 0,51 1,87 5 ≤ D < 10 376 5,66 20,77 10 ≤ D < 15 254 10,51 38,57 15 ≤ D < 20 82 6,98 25,61 20 ≤ D < 25 27 3,76 13,79 D ≥ 25 7 1,78 6,53
Total 921 29,11 106,83
Berdasarkan hasil pendugaan karbon dengan persamaan alometrik hasil
destruktif 15 pohon jati di hutan rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen,
Gunungkidul diperoleh potensi karbon terbesar yaitu pada kelas diameter antara 5
cm sampai dengan 10 cm sebesar 10,51 tonC/ha. Hal itu dikarenakan kelas
diameter antara 5 cm hingga 10 cm memiliki kerapatan terbesar dibandingkan
dengan kelas diameter lainnya. Total potensi karbon hutan rakyat dalam satu desa
yang memiliki luasan 325 ha sebesar 9.460,75 tonC atau 29,11 tonC/ha. Estimasi
serapan karbondioksida (CO2) dilakukan dengan persamaan yaitu: CO2 = 3,67 C
(Rochmayanto et al. 2010). Potensi serapan karbondioksida diperoleh sebesar
34.720,95 tonCO2 atau 106,83 tonCO2/ha. Tabel 10 merupakan perkiraan potensi
karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat hutan rakyat Desa Dlingo
jika di skemakan ke perdagangan karbon.
Tabel 10 Perkiraan potensi karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat Tahun proyek TonC/tahun TonCO2/tahun Jumlah sertifikat
1 2.380,979 8.738,19 8.738 2 2.666,038 9.784,36 9.784 3 2.954,657 10.843,59 10.843 4 3.246,562 11.914,88 11.914 5 3.541,523 12.997,39 12.997 6 3.839,342 14.090,39 14.090 7 4.139,847 15.193,24 15.193 8 4.442,884 16.305,38 16.305 9 4.748,321 17.426,34 17.426 10 5.056,036 18.555,65 18.555 11 5.365,923 19.692,94 19.692 12 5.677,885 20.837,84 20.837 13 5.991,831 21.990,02 21.990 14 6.307,683 23.149,20 23.149 15 6.625,366 24.315,09 24.315
Hasil serapan karbon yang diperoleh hutan rakyat Desa Dlingo tergolong
kecil. Hal itu disebabkan tanaman yang seumur cenderung menghasilkan serapan
karbon yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman dengan kelas umur yang
36
bervariasi. Hutan dengan semua kelas umur dengan berbagai tipe mempunyai
kapasitas penyerapan yang lebih besar dan penyimpanan karbon dalam jumlah
besar juga, tetapi hutan campuran semua umur umumnya mempunyai kapasitas
penyerapan karbon yang lebih besar dan penyimpanan juga karena leaf area (luas
permukaan daun) yang lebih besar (Butarbutar 2009).
5.6 Biaya Kegiatan Perdagangan Karbon
Pendanaan untuk perdagangan karbon lewat pasar terbuka terdiri dari dua
pasar, yaitu pasar wajib dan pasar sukarela. Tujuan dari perdagangan karbon ini
diutamakan untuk menghasilkan sertifikat penurunan emisi. Sertifikat penurunan
emisi yang dihasilkan dari pasar wajib CDM yaitu CER (certified emission
reduction) sedangkan melalui pasar sukarela yaitu VER (verified emission
Reduction). VER tidak dapat digunakan oleh negara pihak pembeli sebagai bagian
dari pencapaian target penurunan emisi yang ditetapkan Protokol Kyoto,
sedangkan CER dapat digunakan (APHI dan Cerindonesia 2011).
5.6.1 Pasar Wajib (Compliant Market)
Pasar karbon wajib contohnya yaitu clean development mechanism (CDM)
atau mekanisme pembangunan bersih (MPB) yang periode komitmen dari tahun
2008 dan akan berakhir di tahun 2012 ini. Selain itu juga ada mekanisme
penurunan emisi baru yaitu REDD (reducing emission deforestation and
degradation). REDD belum ada mekanisme compliant yang jelas mengenai
perdagangan dan pendanaannya karena baru akan dibahas setelah periode
komitmen CDM berakhir. Namun, sekarang ini sudah banyak proyek percontohan
REDD yang ada di Indonesia dan selama ini proyek yang berlangsung lebih
kepada skema voluntary yang pihak investor atau pembeli yang berminat akan
mendanai pelaksanaan demonstration activities REDD (APHI dan Cerindonesia
2011).
Menurut Ginoga et al. (2011), biaya transaksi dapat diartikan sebagai
seluruh ongkos yang timbul karena pertukaran (bisnis) dengan pihak lain.Biaya
transaksi meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan baik sebelum proyek dimulai,
maupun setelah proyek berjalan. Jika penelitian ini diskemakan proyek
perdagangan karbon MPB, maka dapat diestimasikan besarnya biaya transaksi
37
yaitu sebesar Rp 3.308, 49 juta atau Rp 10,18 juta/ha. Biaya ini belum ditambah
dengan biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp 1.070.700/ha dan
pemeliharaan Rp 9.546.700/ha sehingga total biaya apabila hutan rakyat ini
mengikuti skema CDM sebesar Rp 20.797.400/ha. Perkiraan biaya transaksi
apabila penelitian ini diskemakan pada perdagangan karbon MPB dapat dilihat
pada Tabel 11 dan Tabel 12.
38
Tabel 11 Komponen dan besarnya biaya persiapan (mendapatkan Sertifikat penurunan emisi) skema CDM No. Kegiatan Pelaksanaan Waktu Biaya ( juta rupiah) Keterangan
biaya Cianjur
(17,5 ha) NTB
(150 ha) Penelitian (325 ha)
1 Surat kelayakan lahan untuk CDM Bupati/camat 1 hari-6 bulan 0 2,5 5,4 tetap 2 Penyusunan dokumen Rancangan
proyek (PDD) Pemilik proyek 1 minggu-1
bulan 14,0 35,0 180,0 tetap
3 Surat keterangan Menhut Menhut Maks. 3 minggu 0 3,0 6,5 tetap 4 Penyerahan PDD kepada komnas CDM Pemilik proyek melalui
pos 0,3 0,02 0,3 tetap
5 Persetujuan oleh komnas CDM Komnas CDM, sekretariat, tim teknis
0 2,0 4,33 tetap
6 Baseline-additonality Pemilik proyek 0 30,0 65,0 tetap 7 Monitoring dan evaluasi Tim independen 24,4 128,0 277,33 tetap 8 Sertifikasi, termasuk verifikasi dan
validasi Lembaga akreditasi nasional
6 bulan 400,0 400,0 400,0 tetap
9 Kerjasama dengan mahasiswa 0 20,4 44,2 variabel
10 Biaya pengurusan amdal Akreditor berdasarkan keputusan gubernur
6 bulan-1 tahun 7,5 200,0 433,33 tetap
Total 446,2 820,92 1.416,39
39
Tabel 12 Komponen dan besarnya biaya pelaksanaan kegiatan CDM No. Tahap Kegiatan Institusi Biaya ( juta rupiah) Keterangan
biaya Cianjur (17,5 ha)
NTB (150 ha)
Penelitian (325 ha)
1 Persiapan Desain pelaksanaan proyek Dirjen rehabilitasi lahan dan hutan 4,28 15,0 32,50 tetap Pelatihan teknik petani HR Dinas kehutanan 24,45 0 24,45 tetap 2 Manajemen
proyek Infrastruktur dan peralatan Pelaksana 14,14 344,1 745,55 variabel
3 Administrasi dan konsultasi ke pusat
Pelaksana 20,10 200,4 434,20 tetap
4 Monitoring Inventarisasi serapan karbon dan pengawasan area
Pelaksana 0 174,5 378,10 variabel
5 Evaluasi Koordinasi, monitoring dan evaluasi
Dinas kehutanan/universitas 0 128,0 277,30 variabel
Total 62,97 862,0 1.892,10
40
Menurut Ginoga (2007) biaya dalam skema CDM terdiri dari biaya
persiapan dan biaya pelaksanaan CDM. Biaya persiapan terdiri dari sepuluh
kegiatan yaitu surat kelayakan lahan untuk CDM, penyusunan dokumen
rancangan proyek (PDD), surat keterangan menhut, penyerahan PDD kepada
komnas CDM, baseline-additionality, monitoring dan evaluasi, sertifikasi
termasuk verifikasi dan validasi, kerjasama dengan mahasiswa dan biaya
pengurusan amdal. Adapun biaya pelaksanaan kegiatan CDM terdiri dari biaya
persiapan, manajemen proyek, monitoring dan evaluasi.
Perkiraan biaya ini dilakukan dengan membandingkan luasan dengan biaya
menurut penelitian Ginoga et al. (2008), sedangkan untuk biaya penyusunan
dokumen rancangan proyek mengacu pada biaya CDM skala kecil menurut APHI
dan Cerindonesia (2011) sebesar 20.000 USD atau Rp 180 juta.
5.6.2 Pasar Sukarela (Voluntary Market)
Biaya transaksi proyek Plan Vivo merupakan biaya yang dikeluarkan dari
tahapan konsep, desain proyek, registrasi dan hingga biaya setelah proyek aktif.
Pada penelitian ini, perkiraan biaya untuk biaya upah dan registrasi mengacu pada
perkiraan biaya yang ada di website Plan Vivo. Biaya tersebut merupakan biaya
resmi yang dikeluarkan pengembang proyek untuk dibayarkan ke Plan Vivo
Foundation, sedangkan biaya lainnya berdasarkan perkiraan pengeluaran dengan
acuan proyek MPB sebelumnya.
Perkiraan biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo disajikan pada
Tabel 13. Perkiraan biaya transaksi proyek Plan Vivo hingga proyek telah aktif
disajikan pada Tabel 14.
41
Tabel 13 Biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo Proses Deskripsi Biaya
(juta rupiah) Keterangan biaya
Review Project Idea Note (PIN) Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo Foundation
6,75 tetap
Validasi: Review Project Design Document Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo
Foundation 4,5 tetap
Kunjungan lapangan
Kunjungan ke lokasi proyek oleh Expert Reviewer untuk menilai kapasitas dari koordinator proyek dan mengecek implementasi dari sistem.
72,0
estimasi berkisar atara 5.000-10.000 USD, tergantung tarif dari Expert Reviewer. Biasanya untuk luasan <100 ha menggunakan expert reviewer.
Review spesifikasi teknis
Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo Foundation dan Technical Advisory Panel
3,6 tetap 200/ spec, asumsi untuk 2 tech spec
Review hasil validasi dan registrasi proyek
Review dan finalisasi dari registrasi proyek oleh Plan Vivo Foundation
4,5 tetap
Total 91,35
42
Tabel 14 Perkiraan biaya transaksi proyek Plan Vivo Tahapan Proses Pelaksana Biaya
(juta rupiah) Keterangan
biaya Tahapan konsep Project Idea note Koordinator proyek 32,50 tetap Evaluasi pin dan registrasi Plan Vivo Foundation 6,75 tetap Desain proyek spesifikasi teknis
baseline +additionality AMDAL monitoring
project desain document (PDD)
Koordinator proyek dan mitra (lembaga penelitian, dukungan teknis eksternal) Koordinator proyek
65,00
433,33 150,00 67,50
tetap tetap
Kunjungan lapangan Kunjungan ke lokasi proyek oleh Expert Reviewer 72,00 variabel Persetujuan spesifikasi teknis
Persetujuan PDD
PlanVivo Foundation dan Technical Advisory Panel PlanVivo Foundation
3,60
4,50
tetap tetap
Persetujuan dari Host Country Koordinator proyek 4,33 tetap Kerjasama dengan konsultan eksternal dan
institusi-institusi lokal/riset Survei biomass Studi baseline Workshop dan training produsen Survei keanekaragaman hayati
Koordinator proyek dan mitra (lembaga penelitian, dukungan teknis eksternal)
44,20 variabel
Registrasi Validasi Laporan validasi dan registrasi
Plan Vivo Foundation dan expert viewer yang dipilih Plan Vivo Foundation Plan Vivo Foundation
3,60
4,50
tetap tetap
Proyek aktif Laporan tahunan Koordinator proyek 4,50 tetap Pendaftaran sertifikat Koordinator proyek 663,7356 variabel Penerbitan sertifikat Plan Vivo Foundation 110,6226 variabel Verifikasi pihak ketiga Third party verifier yang disetujui 66,70 tetap
Total 1.737,3682
43
Perkiraan biaya transaksi ini disesuaikan dengan urutan tahapan proyek Plan
Vivo dari awal tahapan konsep hingga proyek telah aktif. Perkiraan biaya untuk
evaluasi PIN dan registrasi, kunjungan lapangan, persetujuan spesifikasi teknis,
persetujuan PDD, dan laporan validasi serta registrasi diperoleh dari biaya
menurut Plan Vivo yang telah tercantum di website resmi Plan Vivo. Biaya-biaya
tersebut merupakan biaya yang telah tercantum pada Tabel 12 dan dikategorikan
dalam biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo. Keseluruhan biaya tersebut
sebesar 10.550 USD atau Rp 94.950.000.
Perkiraan biaya dari website Plan Vivo hanya mempertimbangkan biaya
yang dikeluarkan untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation saja dan tidak
mempertimbangkan biaya lain yang dikeluarkan diluar biaya untuk Plan Vivo
Foundation. Perkiraan biaya untuk baseline dan additionality, amdal, kerjasama
dengan konsultan eksternal dan institusi-institusi lokal/riset diperoleh biaya dari
acuan biaya skema CDM yang berada pada Tabel10 dan Tabel 11. Biaya project
desain document (PDD) mengacu pada biaya skema perdagangan karbon sukarela
Voluntary Gold Standard (APHI dan Cerindonesia 2011) sebesar 7.500 USD atau
Rp 67,5 juta, sedangkan biaya laporan tahunan besarnya diperkirakan sama
dengan laporan validasi dan registrasi.
Skema Plan Vivo menurut Antoko (2011), biaya transaksi meliputi biaya
registrasi dan validasi (dikeluarkan sekali untuk satu proyek karbon), biaya
monitoring (dikeluarkan setiap tahun selama jangka waktu proyek karbon dan
verifikasi (dikeluarkan setiap lima tahun selama jangka waktu proyek karbon).
Biaya transaksi menurut Antoko (2011) ini hanya biaya yang dikeluarkan
pengembang proyek untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation. Biaya tersebut
tidak mempertimbangkan biaya lain diluar pembayaran resmi ke Plan Vivo
Foundation seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Biaya monitoring mengacu pada penelitian Ghofir (2011) yaitu sebesar Rp
10.000.000 sehingga dalam satu periode komitmen biaya sebesar Rp 150.000.000.
Biaya verifikasi diasumsikan sama seperti biaya verifikasi skema perdagangan
karbon sukarela voluntary gold standard yaitu 2.500 USD atau Rp 22.500.000
(APHI dan Cerindonesia 2011). Verifikasi dilakukan setiap jangka waktu lima
tahun sehingga pengeluaran untuk verifikasi sebesar Rp 66.700.000.
44
Biaya untuk upah penerbitan dan pendaftaran sertifikat berbeda-beda setiap
tahunnya bergantung dari jumlah sertifikat. Upah sertifikat diperoleh dengan
mengalikan jumlah sertifikat dengan upah per sertifikat yaitu sebesar 0,3 USD per
sertifikat. Upah pendaftaran diperoleh dengan mengalikan jumlah sertifikat
dengan upah per sertifikat yaitu 0,05 USD per sertifikat. Jumlah sertifikat
mencerminkan jumlah tonCO2 setiap tahunnya, atau satu sertifikat setara dengan
satu tonCO2. Upah penerbitan dan pendaftaran sertifikat berturut-turut sebesar Rp
663.735.600 dan Rp 110.622.600.
Terlihat perbedaan biaya yang sangat besar antara perkiraan biaya yang
dikeluarkan oleh Plan Vivo Foundation sebesar Rp 91,35 juta atau Rp 0,281
juta/ha dan perkiraan biaya pada penelitian ini sebesar Rp 1.737,3682 juta atau
Rp 5.345.800/ha. Namun perkiraan biaya transaksi ini tidak sepenuhnya sesuai
dengan aplikasi di lapangan. Tidak menutup kemungkinan biaya transaksi dari
setiap proyek berbeda-beda dan dipengaruhi oleh besar dan luasnya proyek.
Namun, Plan Vivo memastikan bahwa biaya transaksi yang dikeluarkan dari
proyek tidak akan lebih dari 40% dari total nilai proyek karbon.
Komponen biaya operasional hutan rakyat juga berpengaruh terhadap
besarnya pengeluaran proyek. Biaya operasional terdiri dari biaya pembangunan
hutan, biaya pemeliharaan dan biaya pemanenan hutan rakyat. Dalam pemanenan
kayu, petani tidak mengeluarkan biaya pemanenan sehingga pengeluaran hanya
dilakukan pada kegiatan pembangunan hutan rakyat yaitu dari proyek GNRHL
dan biaya pemeliharaan. Total biaya dalam skema perdagangan karbon yaitu
sebesar Rp 14.892.500/ha yang merupakan penjumlahan biaya transaksi
perdagangan karbon sebesar Rp 5.345.800/ha ditambah biaya pembangunan hutan
rakyat sebesar Rp 347.990.000 atau Rp 1.070.700/ha dan biaya pemeliharaan
sebesar Rp 9.546.700/ha.
5.7 Pendapatan dari Kegiatan Perdagangan Karbon Sukarela
Pendapatan yang diperoleh dari perdagangan karbon sukarela standar Plan
Vivo yaitu pendapatan yang diperoleh dari kredit karbon dengan tipe ex-ante
credit atau pembayaran di awal proyek dalam bentuk sertifikat Plan Vivo. Untuk
menghindari perhitungan ganda terhadap karbon yang diperjualbelikan, maka
45
setiap sertifikat yang dikeluarkan oleh Plan Vivo memiliki nomor seri unik yang
dapat dilacak kepada setiap proyek dan produsen. Besar kecilnya pendapatan dari
kredit karbon tergantung dari besaran atau luasan proyek dan jangka waktu kredit
karbon yang disepakati antara peserta proyek dengan Plan Vivo Foundation
(Kollmus et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011).
Kredit karbon untuk proyek Plan Vivo yang sudah ada bervariasi tergantung
dari kontrak penjualan proyek yang telah disepakati. Kredit karbon yang
digunakan dalam penelitian ini dengan periode komitmen 15 tahun, sedangkan
periode pengkreditan yang digunakan yaitu setiap tahun.
Proyek karbon yang diperjualbelikan tidak ada batasan mengenai minimum
dan maksimum dari ukuran karbon sehingga tidak ada batasan minimal mengenai
luasan dari proyek. Namun, ukuran karbon yang diperdagangkan antara
10.000─100.000 tonCO2/tahun (Kollmuss et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011).
Keseluruhan karbon yang ada dari lahan proyek yang diperoleh dari hasil
perhitungan, tidak sepenuhnya dapat dijual. Sesuai Project Idea Note (PIN) Plan
Vivo, penyangga risiko (Risk Buffer) yaitu 10%. Akan tetapi, penjualan hanya
70% dari karbon stok ex ante kredit karena akan mempertahankan 20% untuk
pengukuran biomassa dari Permanen Sample Plot (PSP) yang akan menunjukan
jumlah sebenarnya dari stok karbon yang diperkirakan. Setelah pengukuran
biomassa dilakukan dan dapat menunjukan stok karbon yang tepat, kemudian
20% dari kredit yang ditahan tersebut dapat dikeluarkan (Stilma 2012).
Skenario harga karbon yang digunakan dibuat skenario dengan harga jual,
yaitu:10 USD/tonCO2, 15 USD/tonCO2, 20 USD/tonCO2. Pendapatan dari
perdagangan karbon skema perdagangan sukarela standar Plan Vivo dapat dilihat
dari Tabel 15.
46
Tabel 15 Pendapatan dari kredit karbon selama proyek perdagangan karbon Tahun proyek
Pendapatan (rupiah)/ha 10 USD/tonCO2 15 USD/tonCO2 20 USD/tonCO2
1 1.693.828 2.540.742 3.387.655 2 2.438.474 3.657.711 4.876.948 3 2.702.409 4.053.614 5.404.818 4 2.969.335 4.454.003 5.938.671 5 3.239.252 4.858.878 6.478.505 6 3.511.662 5.267.492 7.023.323 7 3.786.563 5.679.845 7.573.126 8 4.063.708 6.095.562 8.127.415 9 4.343.095 6.514.643 8.686.191 10 4.624.477 6.936.715 9.248.954 11 4.907.852 7.361.778 9.815.705 12 5.193.222 7.789.832 10.386.443 13 5.480.585 8.220.877 10.961.169 14 5.769.443 8.654.165 11.538.886 15 6.060.046 9.090.069 12.120.092
Total 60.783.951 91.175.926 121.567.902
Tabel 16 menyajikan pendapatan, biaya dan keuntungan dari hutan rakyat
yang diskemakan mengikuti perdagangan karbon sukarela standar Plan Vivo.
Tabel 16 Pendapatan, biaya dan keuntungan dari perdagangan karbon Karbon (rupiah)
10 USD/tonCO2 15 USD/tonCO2 20 USD/tonCO2 Pendapatan/ha 60.784.000 91.175.900 121.567.900 Biaya/ha 14.892.500 14.892.500 14.892.500 Keuntungan/ha 45.891.500 76.283.400 106.675.400
Tabel 16 menunjukkan bahwa keuntungan mengikuti skema perdagangan
karbon dengan harga karbon 10 USD, 15 USD dan 20 USD mengalami
keuntungan berturut-turut sebesar Rp 45.891.500/ha; Rp 76.283.400/ha dan Rp
106.675.400/ha dalam 15 tahun atau Rp 3.059.400/ha/tahun; Rp
5.085.600/ha/tahun dan Rp 7.111.700/ha/tahun. Keuntungan ini kecil disebabkan
harga penjualan kredit karbon sendiri kecil dan biaya transaksi dalam
perdagangan karbon yang mahal. Selain itu, keuntungan ini belum ditambah
dengan keuntungan dari kayu yaitu sebesar Rp 672.400.600/ha.
Keuntungan karbon dibagi antara pemerintah, masyarakat dan pengembang
(koordinator) proyek. Masing masing distribusi tersebut, yaitu: 10% pemerintah,
70% masyarakat dan 20% pengembang (Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009).
47
Tabel 17 Distribusi keuntungan perdagangan karbon Harga karbon
(tonCO2) Pendapatan (Rupiah)
Pemerintah 10% Petani 70% Pengembang 20% 10 USD 4.589.200 32.124.100 9.178.300 15 USD 7.628.300 53.398.400 15.256.700 20 USD 10.667.500 74.672.800 21.335.100
Proyek GNRHL yang berasal dari pemerintah, maka skema dari
perdagangan karbon ini sebagai koordinator proyek yaitu pemerintah, sehingga
pendapatan pemerintah sebesar 30% berasal dari distribusi untuk pemerintah
sendiri sebesar 10% dan distribusi untuk pengembang proyek sebesar 20%.
Menurut Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 untuk bagian pemerintah itu sendiri
dibagi secara proporsional, yaitu: pemerintah pusat 40%, pemerintah provinsi
20% dan pemerintah kabupaten 40%.
Tabel 18 Distribusi pemerintah keuntungan perdagangan karbon Harga karbon
(tonCO2) Pendapatan pemerintah (Rupiah)
Pusat 40% Provinsi 20% Kabupaten 40% 10 USD 1.835.700 917.840 1.835.700 15 USD 3.051.300 1.525.660 3.051.300 20 USD 4.267.000 2.133.500 4.267.000
Pendapatan ini tidak menutup kemungkinan akan bertambah karena
menurut Plan Vivo (2008); Kollmuss et al. (2008) diacu dalam Antoko (2011)
untuk menghindari kebocoran karbon (leakage) pada level proyek maka perlu
dipastikan bahwa petani (producers) memiliki cukup lahan untuk bertani dan
menanam pohon. Selain itu, koordinator proyek juga dapat menambahkan
kelompok target atau produsen yaitu petani sehingga dengan penambahan jumlah
produsen dan penambahan dengan penanaman akan menambah jumlah ton karbon
yang dihasilkan setiap tahunnya. Metode dalam pengukuran karbon juga sangat
berpengaruh untuk besar kecilnya serapan karbon, seperti tergantung dari
persamaan alometrik yang dipilih.
5.8 Peluang Hutan Rakyat dalam Skema Perdagangan Karbon Sukarela
Menurut Permenhut Nomor: P.20/Menhut-II/2012, penyelenggaraan karbon
hutan dapat dilaksanakan pada hutan negara dan hutan rakyat. Hutan rakyat
berpotensi untuk memperoleh pendapatan dari perdagangan karbon baik secara
compliant market maupun voluntary market.
48
Compliant market yang ada di Indonesia yaitu CDM dan mekanisme
penurunan emisi REDD yang pengaturannya baru akan dibahas setelah periode
komitmen CDM berakhir di tahun 2012. Dari perkiraan biaya baik CDM maupun
REDD, terlihat bahwa kedua skema mandatory ini mengeluarkan biaya sangat
besar. Selain itu, kegiatan dan tahapan untuk proyek skema ini sangat ketat dan
rumit tidak seperti perdagangan karbon sukarela yang pengaturannya bergantung
oleh masing-masing standar.
Perdagangan karbon sukarela dikembangkan bukan untuk mencapai target
penurunan emisi gas rumah kaca negara maju yang disepakati dalam protokol
kyoto, tetapi merupakan target penurunan emisi yang dibuat oleh organisasi diluar
aturan pemerintah secara sukarela. Selain itu, voluntary market memiliki proses
validasi dan verifikasi tersendiri dan tidak ada kewajiban untuk mendapatkan
approval dari host party atau negara tempat pelaksanaan proyek (APHI dan
Cerindonesia 2011).
Salah satu standar skema perdagangan karbon sukarela adalah standar Plan
Vivo. Plan Vivo merupakan proyek skala kecil di hutan adat, hutan rakyat
maupun hutan negara yang masyarakat memiliki hak untuk mengelola dan fokus
kepada promosi pengembangan berkelanjutan serta perbaikan terhadap kehidupan
masyarakat sekitar dan ekosistemnya. Peserta dari proyek Plan Vivo yaitu
produsen dan masyarakat skala kecil di negara berkembang (Plan Vivo 2008).
Luasan hutan rakyat yang ada di Indonesia sesuai dengan standar Plan Vivo
karena tidak ada ketentuan minimal dari ukuran transaksi karbon. Proyek Plan
Vivo yang saat ini telah berjalan untuk lahan yang terkecil yaitu proyek Plan Vivo
Emiti Nibwo Buora, Tanzania seluas 130 ha dan Limay Community carbon
project, Nicaragua seluas 155 ha, sedangkan lahan hutan rakyat jati dalam
penelitian ini yaitu seluas 325 ha.
Persyaratan dan ketentuan yang harus diperhatikan dalam perdagangan
karbon sukarela skema Plan Vivo antara lain yaitu pelaku proyek, status lahan dan
persyaratan proyek. Semakin sesuai lahan dengan standar Plan Vivo maka
semakin berpeluang lahan tersebut untuk diterima mengikuti proyek Plan Vivo.
Selain itu dengan semakin memenuhinya persyaratan yang ada di standar, maka
akan semakin mahal juga nilai jual dari harga karbon di lahan tersebut.
49
Pelaku proyek Plan Vivo terdiri dari dua pelaku utama yaitu koordinator
proyek dan produsen. Pelaku proyek merupakan organisasi non pemerintah atau
lembaga pendanaan independen atau not for profit companies (NFPCs) yang
dibangun sengaja untuk proyek Plan Vivo, sedangkan produsen merupakan petani
yang menjadi pemilik dan pengelola hutan rakyat (Plan Vivo 2008). Petani di
Desa Dlingo telah memiliki kelompok formal berupa kelompok tani sehingga
dengan adanya kelompok tani ini strukturnya lebih terorganisir.
Status hutan rakyat di Desa Dlingo merupakan lahan milik masyarakat yang
dapat dibuktikan dengan adanya sertifikat hak milik yang dapat menjadi jaminan
tidak terjadi permasalahan lahan atau sengketa lahan dengan pihak lain.
Persyaratan proyek menurut Plan Vivo yaitu dapat berupa aforestasi/reforestasi,
agroforestri, restorasi hutan, atau pencegahan degradasi hutan. Hutan rakyat di
Desa Dlingo ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kegiatan pencegahan dari
degradasi hutan.
Perdagangan karbon dapat berpeluang untuk menambah pendapatan dari
pengusahaan hutan rakyat. Namun, saat ini dengan biaya transaksi yang mahal
dan harga karbon yang terlalu kecil belum dapat dijadikan sebagai alternatif untuk
memperoleh tambahan pendapatan hutan rakyat. Harga karbon tidak sebanding
dengan upaya yang telah dilakukan untuk memelihara hutan rakyat yang
membutuhkan jangka waktu yang panjang dan biaya transaksi yang sangat mahal.
Hasil skema perdagangan karbon sukarela Plan Vivo ini walaupun menurut
Plan Vivo Foundation sendiri besarnya biaya transaksi tidak lebih dari 40%,
namun hasil yang didapatkan biaya transaksi sangat besar. Plan Vivo Foundation
hanya memperhitungkan biaya resmi yang dikeluarkan untuk dibayarkan ke Plan
Vivo Foundation sendiri dan tidak mempertimbangkan biaya lainnya, walaupun
dari segi ketentuan dan persyaratan telah terpenuhi, namun prosedur untuk
mendapatkan sertifikat VER sangat kompleks dan menyulitkan bagi petani
maupun pengembang proyek. Minimnya informasi dan keuntungan yang rendah
dari hasil demontration activity yang telah ada, membuat skema tentang
perdagangan karbon ini kurang diminati oleh petani maupun pengembang proyek.
Minimnya pengetahuan dan informasi dari perdagangan karbon serta dari
segi pendidikan yang masih rendah, kapasitas untuk perdagangan karbon di hutan
50
rakyat masih kurang. Selain itu, sebagian besar masyarakat bermatapencaharian
sebagai petani sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengelola hutan rakyat
masih kurang. Hal itu menyebabkan petani lebih memilih mengelola tanaman
pertanian yang dapat menghasilkan pendapatan dalam jangka waktu pendek.
51
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Potensi volume tegakan hutan rakyat jati hasil GNRHL di Desa Dlingo
berumur 9 tahun dan memiliki luas 325 ha volume sebesar 23.364,25 m3 atau
71,89 m3/ha. Dari hasil pendugaan potensi serapan karbon saat ini dengan
menggunakan persamaan yang terbaik yaitu C= 0,1986 D2,13. Potensi serapan
karbon diperoleh serapan karbon jati diperoleh sebesar 9.460,75 tonC atau 29,11
tonC/ha sehingga estimasi serapan karbondioksida sebesar 34.719,75 tonCO2 atau
106,83 tonCO2/ha. Adanya kegiatan skema perdagangan karbon di hutan rakyat
akan mendapatkan tambahan keuntungan berturut-turut sebesar Rp 45.891.500/ha
(harga karbon 10 USD/tonCO2); Rp 76.283.400/ha (harga karbon 15
USD/tonCO2) dan Rp 106.675.400/ha (harga karbon 20 USD/tonCO2) dalam 15
tahun atau Rp 3.059.400/ha/tahun (harga karbon 10 USD/tonCO2); Rp
5.085.600/ha/tahun (harga karbon 15 USD/tonCO2) dan Rp 7.111.700/ha/tahun
(harga karbon 20 USD/tonCO2). Keuntungan ini kecil disebabkan harga penjualan
kredit karbon sendiri kecil dan biaya transaksi dalam perdagangan karbon yang
mahal. Hutan rakyat Desa Dlingo ini dapat didaftarkan untuk skema perdagangan
karbon Plan Vivo.
52
6.2 Saran
Dalam pemeliharaan tegakan, petani Desa Dlingo masih kurang bahkan
pemeliharaan hanya dilakukan pada awal tanam atau tahun pertama dan untuk
selanjutnya hingga akhir daur tidak dilakukan pemeliharaan, untuk itu alangkah
lebih baiknya jika petani lebih memperhatikan pemeliharaan tegakannya agar
pertumbuhan jati bisa lebih optimal dan dapat menghasilkan potensi kayu yang
tinggi.
Walaupun skema Plan Vivo merupakan mekanisme perdagangan karbon
melalui pasar sukarela yaitu VER (Verified Emission Reduction) dimana VER
tidak dapat digunakan oleh negara pihak pembeli sebagai bagian dari pencapaian
target penurunan emisi yang ditetapkan dalam Protokol Kyoto, tetapi merupakan
target penurunan emisi yang dibuat oleh organisasi diluar aturan pemerintah
secara sukarela. Namun, saat ini untuk biaya transaksi masih tergolong mahal dan
tidak sebanding dengan harga kredit karbon. Untuk itu, alangkah lebih baiknya
jika biaya transaksi dapat diperkecil dan untuk penawaran harga kredit karbon
dapat lebih tinggi. Selain itu, prosedur dan proses dalam skema karbon lebih
dipermudah sehinggga pengembang proyek lebih tertarik untuk proyek
perdagangan karbon.
53
DAFTAR PUSTAKA
Antoko BS. 2011. Nilai Insentif Karbon Hutan Rakyat Kemenyan Berbasis Voluntary Carbon Market di Kabupaten Tapanuli Utara [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
[APHI] Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia dan Cerindonesia. 2011. Peluang
dan Mekanisme Perdagangan Karbon Hutan. Jakarta: APHI. Attar M. 1998. Hutan Rakyat: Kontribusi Terhadap Pendapatan Rumah Tangga
Petani dan Perannya dalam Perekonomian Desa, hlm. 41-47. Dalam Suharjito (penyunting). Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM) Fakultas Kehutanan IPB.
Butarbutar T. 2009. Inovasi Manajemen Kehutanan Untuk Solusi Perubahan
Iklim di Indonesia. http://www.puslitsosekhut.web.id [27 April 2012] [CIFOR] Center for International Research. 2005. Carbon Brief Siklus Proyek
Karbon Hutan dalam Mekanisme Pembangunan Bersih. Bogor: CIFOR. Desa Dlingo. 2012. Monografi Desa. Kelurahan Desa Dlingo: Yogyakarta Ghofir A. 2011. Pendugaan Serapan Karbon Tegakan Hutan Rakyat Sengon
(Paraserianthes falcataria), Studi Kasus di Desa Bandarjo, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Ginoga K, Djaenudin D, Ekowati E. 2011. Penilaian Kelayakan Ekonomi
Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation (REDD+). http://www.puslitsosekhut.web.id [2 Agustus 2012]
Ginoga K, Wulan YC, Djaenudin D. 2005. Karbon dan Peranannya Dalam
Meningkatkan Kelayakan Usaha Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis) di KPH Saradan, Jawa Timur. http://www.puslitsosekhut.web.id [2 Agustus 2012]
Hairiah K, Rahayu K. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan di
Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor: ICRAF. Hindra B. 2006. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat. Di dalam: Kontribusi
Hutan Rakyat dalam Kesinambungan Industri Kehutanan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006; Bogor, 21 September 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. hlm 14-20.
Irwanto. 2006. Usaha Pengembangan Jati (Tectona Grandis L.f).
http://saveforest.webs.com [ 27 April 2012].
54
Ketterings QM, Coe R, Noordwijk M van, Ambagau Y, Palm CA. 2001. Reducing Uncertainty in the Use of Allometric Biomass Equations for Predicting Above-Ground Tree Biomass in Mixed Secondary Forests. http://www.worldagroforestry.org [27 April 2012]
Novendra IY. 2008. Karakteristik Biometrik Pohon Jati (Tectona grandis L.f.)
Studi Kasus di Bagian Hutan Bancar KPH Jatirogo Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
[Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P.20/Menhut-II/2012 tentang
Penyelenggaraan Karbon Hutan. http://www.dephut.go.id [27 April 2012]. [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata
Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). http://www.dephut.go.id [27 April 2012].
[Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata
Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan atau Penyimpanan Karbon pada hutan Produksi dan Hutan Lindung. http://www.dephut.go.id [27 April 2012].
Plan Vivo. 2008. The Plan Vivo Standards 2008. http://www.planvivo.org [12
Juni 2012]. Plan Vivo. 2012. Cost and Resource Needs. http://www.planvivo.org [12 Juni
2012]. Prabowo SA. 1998. Hutan Rakyat: Sistem Pengelolaan dan Manfaat Ekonomis,
hlm. 16-22. Dalam Suharjito (penyunting). Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM) Fakultas Kehutanan IPB.
Pramono AA, Fauzi MA, Widyani N, Heriansyah I, Roshetko JM. 2010.
Pengelolaan Hutan Jati Rakyat: Panduan Lapangan untuk Petani. Bogor: CIFOR.
Purnamasari. 2008. Variasi Genetika Jati Jawa Berdasarkan Metode Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD) [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
[Puslitbang] Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. 2006. Rumusan
Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Di dalam: Kontribusi Hutan Rakyat dalam Kesinambungan Industri Kehutanan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006; Bogor, 21 September 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. hlm ix-x.
Rochmayanto Y, Darusman D, Rusolono T, Elias. 2010. Perubahan Stok Karbon
dan Nilai Ekonominya pada Konversi Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan
55
Tanaman Industri Pulp. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XVI, (1): 18-26.
Sholeh A. 2008. Kajian Potensi Cadangan Karbon pada Pengusahaan Hutan
Rakyat (Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
[SNI] Standard Nasional Indonesia 7724:2011 Pengukuran dan Perhitungan
Cadangan Karbon-Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan. http://www.dephut.go.id [27 April 2012].
Stilma A. 2012. Plan Vivo Interim Issuance Report 2011 ArBolivia.
http://www.planvivo.org [12 Juni 2012]. Suharjito D. 2000. Apa yang dimaksud Hutan Rakyat?, hlm. 1-3. Dalam Suharjito
(penyunting). Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM) Fakultas Kehutanan IPB.
Sukardaryati. 2006. Potensi Hutan Rakyat di Indonesia dan Permasalahannya. Di
dalam: Kontribusi Hutan Rakyat dalam Kesinambungan Industri Kehutanan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006; Bogor, 21 September 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. hlm 40-46.
Sutaryo D. 2009. Perhitungan Biomassa. Bogor: Wetlands International Indonesia
Programe. Tiryana T, Tatsuhara S, Shiraishi N. 2011. Empirical Model for Estimating the
Stand Biomass of Teak Plantations in Java, Indonesia. http://ci.nii.ac.jp [24 November 2012].
Uliyah L, Cahyadi F. 2011. Question and Answer tentang Keadilan Iklim.
http://www.satudunia.net [27 April 2012]. Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. http://
www.dephut.go.id. [27 April 2012].
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1 Perhitungan data potensi volume
No Keliling (cm) Tinggi (m) Diameter (m) Volume (m3) 1 9 2 0.0287 0.0010 2 12 2 0.0382 0.0017 3 23 10 0.0732 0.0320 4 22 8 0.0701 0.0234 5 29 10 0.0924 0.0508 6 48 12 0.1529 0.1671 7 19 5 0.0605 0.0109 8 33 12 0.1051 0.0790 9 17 5 0.0541 0.0087
10 41 13 0.1306 0.1321 11 35 13 0.1115 0.0962 12 22 8 0.0701 0.0234 13 12 2 0.0382 0.0017 14 57 13 0.1815 0.2552 15 51 13 0.1624 0.2043 16 12 3 0.0382 0.0026 17 69 14 0.2197 0.4028 18 11 2 0.0350 0.0015 19 9 2 0.0287 0.0010 20 12 3 0.0382 0.0026 21 9 2 0.0287 0.0010 22 11 2 0.0350 0.0015 23 21 8 0.0669 0.0213 24 9 2 0.0287 0.0010 25 23 8 0.0732 0.0256 26 25 8 0.0796 0.0302 27 41 12 0.1306 0.1219 28 30 12 0.0955 0.0653 29 26 10 0.0828 0.0409 30 30 12 0.0955 0.0653 31 29 10 0.0924 0.0508 32 26 10 0.0828 0.0409 33 39 12 0.1242 0.1103 34 57 12 0.1815 0.2356 35 40 12 0.1274 0.1160 36 27 10 0.0860 0.0441
... ... ... ... ... 3221 31 5 0.0987 0.02904
total 251.6077084 rata-rata per ha
71.88791668
kerapatan per ha
920.2857143
58
Lampiran 2 Perhitungan potensi karbon persamaan C= 𝜌 x V x 0,47
No Volume (cm3) Biomassa (ton) Karbon (ton) 1 0.0010 0.0007 0.00031 2 0.0017 0.0012 0.00055 3 0.0320 0.0214 0.01007 4 0.0234 0.0157 0.00737 5 0.0508 0.0341 0.01600 6 0.1671 0.1119 0.05261 7 0.0109 0.0073 0.00343 8 0.0790 0.0529 0.02487 9 0.0087 0.0059 0.00275
10 0.1321 0.0885 0.04158 11 0.0962 0.0645 0.03030 12 0.0234 0.0157 0.00737 13 0.0017 0.0012 0.00055 14 0.2552 0.1710 0.08037 15 0.2043 0.1369 0.06434 16 0.0026 0.0017 0.00082 17 0.4028 0.2699 0.12684 18 0.0015 0.0010 0.00046 19 0.0010 0.0007 0.00031 20 0.0026 0.0017 0.00082 21 0.0010 0.0007 0.00031 22 0.0015 0.0010 0.00046 23 0.0213 0.0143 0.00671 24 0.0010 0.0007 0.00031 25 0.0256 0.0171 0.00805 26 0.0302 0.0202 0.00951 27 0.1219 0.0817 0.03839 28 0.0653 0.0437 0.02055 29 0.0409 0.0274 0.01286 30 0.0653 0.0437 0.02055 31 0.0508 0.0341 0.01600 32 0.0409 0.0274 0.01286 33 0.1103 0.0739 0.03473 34 0.2356 0.1579 0.07419 35 0.1160 0.0777 0.03654 36 0.0441 0.0295 0.01387
... ... ... ... 3221 0.0290 0.0195 0.00914
Total sampling 79.23127 Rata-rata per ha 22.63750 Total 1 desa 7357.18911
59
Lampiran 3 Perhitungan potensi karbon persamaan C= 0,052 𝜌 D2,62 x 0,47
No Diameter (m) Biomassa (kg) Karbon (kg) Karbon (ton) 1 0.0287 1.1631 0.5467 0.00055 2 0.0382 2.4715 1.1616 0.00116 3 0.0732 13.5906 6.3876 0.00639 4 0.0701 12.0965 5.6853 0.00569 5 0.0924 24.9456 11.7244 0.01172 6 0.1529 93.4037 43.8997 0.04390 7 0.0605 8.2385 3.8721 0.00387 8 0.1051 34.9960 16.4481 0.01645 9 0.0541 6.1558 2.8932 0.00289
10 0.1306 61.8024 29.0471 0.02905 11 0.1115 40.8291 19.1897 0.01919 12 0.0701 12.0965 5.6853 0.00569 13 0.0382 2.4715 1.1616 0.00116 14 0.1815 146.5224 68.8655 0.06887 15 0.1624 109.4827 51.4569 0.05146 16 0.0382 2.4715 1.1616 0.00116 17 0.2197 241.7110 113.6042 0.11360 18 0.0350 1.9677 0.9248 0.00092 19 0.0287 1.1631 0.5467 0.00055 20 0.0382 2.4715 1.1616 0.00116 21 0.0287 1.1631 0.5467 0.00055 22 0.0350 1.9677 0.9248 0.00092 23 0.0669 10.7084 5.0330 0.00503 24 0.0287 1.1631 0.5467 0.00055 25 0.0732 13.5906 6.3876 0.00639 26 0.0796 16.9089 7.9472 0.00795 27 0.1306 61.8024 29.0471 0.02905 28 0.0955 27.2627 12.8135 0.01281 29 0.0828 18.7388 8.8072 0.00881 30 0.0955 27.2627 12.8135 0.01281 31 0.0924 24.9456 11.7244 0.01172 32 0.0828 18.7388 8.8072 0.00881 33 0.1242 54.2127 25.4800 0.02548 34 0.1815 146.5224 68.8655 0.06887 35 0.1274 57.9307 27.2274 0.02723 36 0.0860 20.6864 9.7226 0.00972
... ... ... ... ... 3221 0.0987 29.7084 13.9630 0.01396 Total sampling 65.13801 Rata-rata per ha 18.61086 Total 1 desa 6048.52950
60
Lampiran 4 perhitungan potensi karbon persamaan C= 0,1986 D2,13
No Diameter (m) Karbon (ton) 1 0.0287 0.00187 2 0.0382 0.00345 3 0.0732 0.01380 4 0.0701 0.01256 5 0.0924 0.02262 6 0.1529 0.06616 7 0.0605 0.00919 8 0.1051 0.02978 9 0.0541 0.00725
10 0.1306 0.04729 11 0.1115 0.03376 12 0.0701 0.01256 13 0.0382 0.00345 14 0.1815 0.09540 15 0.1624 0.07527 16 0.0382 0.00345 17 0.2197 0.14331 18 0.0350 0.00287 19 0.0287 0.00187 20 0.0382 0.00345 21 0.0287 0.00187 22 0.0350 0.00287 23 0.0669 0.01137 24 0.0287 0.00187 25 0.0732 0.01380 26 0.0796 0.01649 27 0.1306 0.04729 28 0.0955 0.02431 29 0.0828 0.01792 30 0.0955 0.02431 31 0.0924 0.02262 32 0.0828 0.01792 33 0.1242 0.04251 34 0.1815 0.09540 35 0.1274 0.04486 36 0.0860 0.01942 37 0.1401 0.05496 ... ... ...
3221 0.0987 0.02607 Total sampling 101.91544
Rata-rata per ha 29.11870 Total 1 desa 9463.57676
61
Lampiran 5 Perhitungan potensi karbon persamaan C= 0,2759 D2,2227x 0,47
No Diameter (m) Biomassa (ton) Karbon (ton) 1 0.0287 0.00288 0.00135 2 0.0382 0.00546 0.00257 3 0.0732 0.02326 0.01093 4 0.0701 0.02107 0.00990 5 0.0924 0.03898 0.01832 6 0.1529 0.11973 0.05627 7 0.0605 0.01520 0.00714 8 0.1051 0.05198 0.02443 9 0.0541 0.01187 0.00558
10 0.1306 0.08429 0.03961 11 0.1115 0.05926 0.02785 12 0.0701 0.02107 0.00990 13 0.0382 0.00546 0.00257 14 0.1815 0.17556 0.08251 15 0.1624 0.13704 0.06441 16 0.0382 0.00546 0.00257 17 0.2197 0.26866 0.12627 18 0.0350 0.00450 0.00212 19 0.0287 0.00288 0.00135 20 0.0382 0.00546 0.00257 21 0.0287 0.00288 0.00135 22 0.0350 0.00450 0.00212 23 0.0669 0.01900 0.00893 24 0.0287 0.00288 0.00135 25 0.0732 0.02326 0.01093 26 0.0796 0.02801 0.01316 27 0.1306 0.08429 0.03961 28 0.0955 0.04204 0.01976 29 0.0828 0.03057 0.01437 30 0.0955 0.04204 0.01976 31 0.0924 0.03898 0.01832 32 0.0828 0.03057 0.01437 33 0.1242 0.07540 0.03544 34 0.1815 0.17556 0.08251 35 0.1274 0.07978 0.03750 36 0.0860 0.03325 0.01563 37 0.1401 0.09864 0.04636 ... ... ... ...
3221 0.0987 0.04522 0.02125 Total sampling 182.50920 85.77933 Rata-rata per ha 52.14549 24.50838 Total 1 desa 16947.28324 7965.22312
62
Lampiran 6 Perhitungan riap diameter dan tinggi No Diameter (m) MAI Diameter (m) MAI Tinggi (m) MAI Tinggi (m)
1 0.0287 0.0032 2 0.2222 2 0.0382 0.0042 2 0.2222 3 0.0732 0.0081 10 1.1111 4 0.0701 0.0078 8 0.8889 5 0.0924 0.0103 10 1.1111 6 0.1529 0.0170 12 1.3333 7 0.0605 0.0067 5 0.5556 8 0.1051 0.0117 12 1.3333 9 0.0541 0.0060 5 0.5556
10 0.1306 0.0145 13 1.4444 11 0.1115 0.0124 13 1.4444 12 0.0701 0.0078 8 0.8889 13 0.0382 0.0042 2 0.2222 14 0.1815 0.0202 13 1.4444 15 0.1624 0.0180 13 1.4444 16 0.0382 0.0042 3 0.3333 17 0.2197 0.0244 14 1.5556 18 0.0350 0.0039 2 0.2222 19 0.0287 0.0032 2 0.2222 20 0.0382 0.0042 3 0.3333 21 0.0287 0.0032 2 0.2222 22 0.0350 0.0039 2 0.2222 23 0.0669 0.0074 8 0.8889 24 0.0287 0.0032 2 0.2222 25 0.0732 0.0081 8 0.8889 26 0.0796 0.0088 8 0.8889 27 0.1306 0.0145 12 1.3333 28 0.0955 0.0106 12 1.3333 29 0.0828 0.0092 10 1.1111 30 0.0955 0.0106 12 1.3333 31 0.0924 0.0103 10 1.1111 32 0.0828 0.0092 10 1.1111 33 0.1242 0.0138 12 1.3333 34 0.1815 0.0202 12 1.3333 35 0.1274 0.0142 12 1.3333 36 0.0860 0.0096 10 1.1111 37 0.1401 0.0156 13 1.4444 38 0.1783 0.0198 13 1.4444 39 0.0318 0.0035 2 0.2222 40 0.0605 0.0067 5 0.5556
... ... ... ... ... 3221 0.0987 0.0110 5 0.5556