12
1 POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT DALAM CITYBOOKS Mursidah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Sejak 2010 Citybooks menampilkan potret-potret unik kota dunia di situs web www.Citybooks.eu. Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca sebagai teks web dan e-book atau didengarkan sebagai buku audio dalam bentuk podcast dan MP3. Kota juga tampil dalam 24 foto dan video pendek. Lewat perjalanan virtual kita bisa berpetualang dan ‘berdialog’ dengan kota dan masyarakatnya. Hingga 2016 ada 24 kota dunia diangkat ke dalam Citybooks, yang dapat dijangkau oleh publik internasional. Multimedia merupakan sarana paling efisien untuk menjangkau khalayak luas. Dua kota besar di Indonesia Semarang dan Jakarta -- yang turut ambil bagian dalam Citybooks dibahas dalam penelitian ini. Penelitian dibatasi pada karya cerpen dan puisi, dengan pendekatan sosiologi sastra. Karya sastra dilihat sebagai gambaran kenyataan sosial dari sebuah masyarakat.Walaupun kenyataan imajiner tidak dapat diidentikkan sebagai fakta, namun karya sastra merupakan refleksi estetis si penulis terhadap kenyataan hidup dan dapat merupakan sebuah “refleksi realitas” yang lebih besar dan universal. Fokus penelitian adalah bagaimana teks-teks sastra dalam Citybooks “memotret” realitas sosial kota Semarang dan Jakarta. Latar belakang budaya, perspektif, dan ketertarikan yang berbeda dari penulis lokal dan Internasional, menghasilkan “potret-potret” unik dari Semarang dan Jakarta. Citybooks dibuat atas inisiatif deBuren ,lembaga bersama Belanda dan Flandria (Belgia), yang juga bekerja sama dengan lembaga mitra di kota yang akan diangkat. DeBuren berperan sebagai patron yang mendanai, menerbitkan dan mendistribusikan potret-potret kota dalam Citybooks. Dalam penelitian ini juga dibahas sejauh mana peran deBuren dalam penerbitan Citybooks, dan sejauh mana pengaruh sang patron ke dalam produk buku kota Semarang dan Jakarta. . Kata kunci: Citybooks, sosiologi sastra, refleksi realitas, deBuren, patron. Pendahuluan Citybooks.eu adalah sebuah situs dalam ranah maya yang memuat cerita kota-kota dunia. Melalui jaringan internet Citybooks memungkinkan kita mengunjungi kota-kota tanpa harus ke luar rumah. Buku kota diterbitkan oleh deBuren, lembaga kerjasama Flandria (Belgia) dan Belanda yang bergerak dalam hal budaya dan sastra. Buku kota bisa diakses lewat situs web www.Citybooks.eu. Sejak awal berdirinya Citybooks(2010)hingga 2016 sudah ada 24 kota

POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

1

POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT

DALAM CITYBOOKS

Mursidah

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Sejak 2010 Citybooks menampilkan potret-potret unik kota dunia di situs web

www.Citybooks.eu. Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca sebagai

teks web dan e-book atau didengarkan sebagai buku audio dalam bentuk podcast dan MP3. Kota

juga tampil dalam 24 foto dan video pendek. Lewat perjalanan virtual kita bisa berpetualang dan

‘berdialog’ dengan kota dan masyarakatnya. Hingga 2016 ada 24 kota dunia diangkat ke dalam

Citybooks, yang dapat dijangkau oleh publik internasional. Multimedia merupakan sarana paling

efisien untuk menjangkau khalayak luas.

Dua kota besar di Indonesia – Semarang dan Jakarta -- yang turut ambil bagian dalam

Citybooks dibahas dalam penelitian ini. Penelitian dibatasi pada karya cerpen dan puisi, dengan

pendekatan sosiologi sastra. Karya sastra dilihat sebagai gambaran kenyataan sosial dari sebuah

masyarakat.Walaupun kenyataan imajiner tidak dapat diidentikkan sebagai fakta, namun karya

sastra merupakan refleksi estetis si penulis terhadap kenyataan hidup dan dapat merupakan

sebuah “refleksi realitas” yang lebih besar dan universal.

Fokus penelitian adalah bagaimana teks-teks sastra dalam Citybooks “memotret” realitas

sosial kota Semarang dan Jakarta. Latar belakang budaya, perspektif, dan ketertarikan yang

berbeda dari penulis lokal dan Internasional, menghasilkan “potret-potret” unik dari Semarang

dan Jakarta.

Citybooks dibuat atas inisiatif deBuren ,lembaga bersama Belanda dan Flandria (Belgia),

yang juga bekerja sama dengan lembaga mitra di kota yang akan diangkat. DeBuren berperan

sebagai patron yang mendanai, menerbitkan dan mendistribusikan potret-potret kota dalam

Citybooks. Dalam penelitian ini juga dibahas sejauh mana peran deBuren dalam penerbitan

Citybooks, dan sejauh mana pengaruh sang patron ke dalam produk buku kota Semarang dan

Jakarta.

.

Kata kunci: Citybooks, sosiologi sastra, refleksi realitas, deBuren, patron.

Pendahuluan

Citybooks.eu adalah sebuah situs dalam ranah maya yang memuat cerita kota-kota dunia.

Melalui jaringan internet Citybooks memungkinkan kita mengunjungi kota-kota tanpa harus ke

luar rumah. Buku kota diterbitkan oleh deBuren, lembaga kerjasama Flandria (Belgia) dan

Belanda yang bergerak dalam hal budaya dan sastra. Buku kota bisa diakses lewat situs web

www.Citybooks.eu. Sejak awal berdirinya Citybooks(2010)hingga 2016 sudah ada 24 kota

Page 2: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

2

dunia diangkat dan dipublikasikan oleh deBuren. Sebuah kota ditampilkan melalui karya sastra,

fotografi , dan video. Lima penulis, seorang fotografer, dan seorang sineas videoterlibat dalam

menampilkan sebuah kota. Dua penulis internasional dan tiga penulis lokal menuliscerita pendek

atau serangkaian puisi tentang kota tersebut. Kota juga ditampilkan dalam 24 fotodan 24 film

kota satu menit. Semua karya dapat diunduh secara gratis.

Cerita pendek dan puisi dalam Citybooks dapat dibaca sebagai teks web dan e-book, juga

bisa didengarkan sebagai buku audio dalam bentuk podcast dan MP3. Setiap buku kota tersedia

dalam bahasa Belanda, Perancis, Inggris, dan dalam bahasa lokal dari kota yang diangkat.

Internet memungkinkan kita ‘melintas’ batas geografi tanpa berpindah tempat. Akses tersebut

dimanfaatkan Citybooks untuk mempermudah interaksi antara penulis, karyanya dan publik yang

lebih luas.

Citybooks sudah mengangkat kota-kota dari Afrika, Jerman, Belanda, Belgia, Polandia,

Macedonia, Albania, Spanyol, Portugis, Georgia, Armenia, Rumania, Indonesia dan Italia. Dua

kota dari Indonesia yang diangkat dalam Citybooks adalah Semarang (2013) dan Jakarta (2015).

(www.Citybooks.eu)

Foto Laman Citybooks Semarang dan Jakarta

Edisi khusus dan terbatas Citybooks Semarang (2013) dan Jakarta (2015) dalam bentuk cetak.

Page 3: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

3

Penelitian ini membahasCitybooks edisi kota Semarang dan Jakarta dengan pendekatan

sosiologi sastra. Korpus penelitian dibatasi pada gambaran kota dalam bentuk karya sastra, yaitu

cerita pendek dan puisi. Karya foto dan video tidak akan diteliti. Teks-teks akan dikaji dalam

kaitannya dengan aspek-aspek sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan

sosiologi umum dilakukan untuk melihat sosial sastra dan masyarakat sebagai dokumen sosial,

sebagai potret kenyataan (Wellek dan Warren 1989:110).

Sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan

aspek-aspek kemasyarakatan yang beragam, antara lain pengarang, teks sastra, pembaca, institusi

dan lembaga yang terkait dengan karya sastra. Karena itulah karya sastra perlu dipelajari dalam

konteks yang luas. Karya sastra bukanlah sebuah fenomena produk kreatifitas yang tersendiri,

karenakarya tersebut lahir melalui proses yang panjang dan kompleks.

Sebagai sebuah hasil kreatifitas yang unik dari pengarangnya, karya sastra merupakan

sebuah dunia yang menampilkan kembali hasil ‘rekaman’ si pengarang, melalui proses

pengolahan terhadap pengalaman, kesan, kegelisahan, dan lain sebagainya dari dunia yang

dihadapi. Melalui kerangka imaji karya pengarang lahir, sebagai bentuk refleksi estetisnya.

Refleksi estetis seorang pengarang mengandung “refleksi realitas” yang dapat bersifat individual,

namun seringkali bersifat lebih besar dan universal.

Rene Wellek dan Austin Warren mengklasifkasikan hubungan antara sastra dan

masyarakat secara deskriptif (bukan normatif) sebagai berikut:

1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang terkait adalah

dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi

pengarang.

2. Isi karya sastra, tujuan, hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang

berkaitan dengan masalah sosial.

3. Masalah pembaca dan dampak karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau

tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial. (Wellek & Warren,

1989: 111).

Penelitian ini membatasi diri padakajian karya sastra dalam Citybooks Semarangdan

Jakarta. Karya foto dan video tidak akan dibahas dalam penelitian ini. Pertama-tama penelitian

akan difokuskanpada aspekkeduadari klasifikasi di atas. Cerpen dan puisi dalam kedua buku

kota itu dianalisis, untuk melihat bagaimana realitas sosial kedua kotaditampilkan dalam “potret-

Page 4: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

4

potret” Citybooks. Sejauh manapermasalahan sosial dalam teks mencerminkan realitas yang ada.

Di samping itu peneliti juga akan mengkaji aspek institusi sastra yang terkait dengan penerbitan

buku kota ini, yang oleh Wellek & Warren masuk ke dalam kategori pertama. Institusi yang

dimaksud adalah deBuren, lembaga bersamaBelanda dan Flandria (Belgia) yang terutama

bergerak mempromosikan karya sastra Belanda. Citybooks didirikan deBuren sejak 2010,

sebelumnya lembaga ini mempromosikan karya sastra Belanda dalam bentuk radio buku. Untuk

proyek Citybooks, deBuren ‘memesan karya’, mendanai, dan mempublikasikan buku kota dalam

situs webnya. Dalam hal teknis institusi ini juga bekerja sama dengan mitra internasional di kota

yang akan diangkat ke dalam Citybooks.

Laurenson (1972) dalam Pengantar Sosiologi Sastra mengungkapkan bahwa aspek

patronase penting dalam sosiologi sastra, karena lembaga patron membentuk hubungan tukar-

menukar yang tidak sama. Sang patron memberi si pengarang suatu keuntungan protektif dan

material tertentu yang memungkinkan karya sastranya diproduksi dan didistribusikan. (Faruk,

1994: 55). Bentuk-bentuk patronase pada masa kini, misalnya penulis yang menulis untuk

televise, fotografer yang dipekerjakan oleh surat kabar, dan bagi sastrawan bisa juga berbentuk

perlindungan dan dana dari pemerintah atau yayasan swasta yang bekerja sama dengan lembaga

sastra atau seni tertentu yang bekerja sama dengan penguasa lokal. (Faruk, 1994: 57). Institusi

deBuren dalam hal penerbitan buku kota berperan sebagai patron bagi para sastrawan dan

seniman yang ambil bagian di dalam terbitannya. Dalam penelitian ini juga akan dikajiperan

deBuren dalam penerbitan Citybooks, sejauh mana pengaruh sang patron berimplikasi ke dalam

produk buku kota Semarang dan Jakarta.

Ada lima teks pada setiap edisi Citybooks yang diteliti, sehingga ada sepuluh teks untuk

kedua buku kota (Semarang dan Jakarta). Penulis internasional yang terlibat -- seperti telah

disebutkan sebelumnya-- berjumlah dua orang pada masing-masing kota. Mereka adalah penulis

dari Belanda dari Belgia (bagian Flandria). Tentu saja mereka menuliskaryanya dalam bahasa

Belanda. Namun Citybooks memfasilitasi penerjemahan semua karya, sehingga bisa dinikmati

dalam empat bahasa. Berikut adalah daftar penulis dan karya mereka. Untuk kepentingan

penulisan makalah ini, selanjutnya judul karya akan diacu dalam bahasa Indonesianya. Untuk

edisi kota Semarang dan Jakarta, bekerja sama dengan mitra setempat, diterbitkan juga edisi

buku cetak dalam jumlah terbatas, untuk kepentingan peluncuran buku kedua kota tersebut.

Untuk memudahkan analisis teks dan pengacuan pada teks, peneliti menggunakan buku cetak.

Page 5: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

5

Semarang (2013)

1 Meisje van vroeger

Terjemahan: Daun lontar dan kebenaran

Bouke Billiet

2 Anak Emas Candra Dewi Dian Puspitasari

3 Negen brieven aan Maria M.

Terjemahan: Sembilan surat kepada Maria M.

Gustaaf Peek

4 Kisah-kisah kecil Semarang – Puisi Triyanto Triwikromo

5 Lee Hwa Tubagus P. Svarajati

Jakarta (2015)

1 Pertemuan Akidah Gauzillah

2 Engelen in Jakarta

Terjemahan: Malaikat di Jakarta

Annelies Verbeke

3 Yang tertinggal di Batavia, 1920 Sihar Ramses Simatupang

4 Wat doe ik hier?

Terjemahan: Sedang apa aku di sini?

Ruth San A Jong

5 Akhir yang terakhir Veronica B. Vonny

Potret Semarang dan Jakarta dalam Citybooks.

Tentunya sulit membuat sebuah edisi kota yang mewakili gambar kota tersebut secara

menyeluruh. Semarang dan Jakarta adalah dua kota besar yang secara geografis begitu luas,

dengan beragam aspek yangkompleks dan mencakup banyak sisi kehidupan.

Empat cerpen dan satu rangkaian puisi yang diangkat dalam buku kota

Semarangmemiliki benang merah yang sama, yaitu berkaitan dengan etnis Cina/ Tionghoa di

kota tersebut.

Laksamana Cheng Ho/ Zheng He sebagai penjelajah samudra di awal abad ke-15 yang menjadi

tokoh besar di Semarang, muncul dalam dua cerpen. Surat ke-5 dari “Sembilan surat kepada

Maria.M” karya Gustaaf Peek, bercerita tentang tokoh tersebut yang dianggap sebagai pahlawan

di semarang. Sajak kedua “Kisah-kisah kecil Semarang-Puisi” karyaTriyanto Triwikromo,

mengekspresikan jejak-jejak Cheng Ho. Kedatangan penjelajah Tiongkok ini dalam realita

memang penting dalam sejarah Semarang. Tujuh ekspedisi besar Cheng Ho mengarungi

samuderamenuju wilayah-wilayah di Asia, Afrika dan beberapa kepulauan di Nusantara, dan

kemudian laksamana ini singgah lama di Semarang memberi catatan penting bagi kota tersebut.

Cerpen “Lee Hwa” karya Tubagus P. Svarajati mengangkat kisah keluarga Tionghoa, Lee

Hwa(ibu dari Pho Seng Jap, nama aseli penulis Tubagus P. Svarajati). Lee Hwa (lahir tahun 1930

Page 6: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

6

dan berusia 82 tahun) merepresentasikan sejarah orang Cina di Semarang. Lee Hwa tidak

mengetahui persis dari mana kedua orangtuanya berasal, tapi dengan runtun dia mampu

menceritakan perjalanan hidupnya. Ia menggambarkan situasi pemukiman di Pecinan saat ia

kecil dulu – kampong sempit dengan gang-gang kecil, pemukiman orang Belanda (yang kini

merupakan situs Kota Lama), perjuangan orangtuanya mengatasi kesulitan ekonomi keluarga,

dan pada akhirnya bersyukur dengan keberhasilan usaha kopi orangtuanya, Goan Lian-Hian

Nio. Sejarah berdirinya Pecinan, gejolak saat pendudukan Jepang, dan masa setelah Republik

Indonesia berdiri, yang dituturkan dalam cerpen ini menjadi ringkasan sejarah keluarga Tionghoa

ini. Tema tentang perjalanan hidup manusia (jodoh, kelahiran, dan kematian) dipercayai oleh

etnis Cina sebagai takdir, begitu juga keberadaan etnis Tionghoa yang beranak-pinak di

Semarang.

Satu (dari lima) cerita “Daun lontar dan kebenaran” karya Bouke Billiet,mengangkat

periode pemerintahan Soeharto yang melarang hal-hal berbau Cina. Di bagian cerita Bouke

Billiet yang lain juga diangkat peran ‘gula’ dalam sejarah Semarang:

Sebenarnya menurutku tidak perlu gula, tapi karena perasaan simpati etnis-historis aku selalu

menambahkan satu sendok kecil gula pada makanan dan minumanku: (…) Gulalah yang

membangun kota ini. Kewirausahaan orang Tionghoa, dan gula. (Billiet, 2013: 33)

Cerpen “Anak Emas” karya Candra D.D. Puspitasari tidak mengisahkan tentang orang

Tionghoa, tetapi ada penyebutan daerah Pecinan, nama kantor dagang Cina dan nama

perusahaan Cina NV Kwee Kian Gwan.

Emilie termenung sejenak, dilihatnya aliran Kali Semarang yang berseberangan dengan

Westerwalstraat. Di atas permukaan sungai terdapat perahu-perahu yang didayung ke

daerah Pecinan. (…)

Di sebelah tenggara jembatan, berjajar beberapa bangunan bergaya Belanda, salah

satunya kantor dagang milik Oei Tiong Ham, Si Raja Gula, konglomerat asal Semarang

yang kekayaannya mencapai 200 juta gulden. (Puspitasari, 2013: 67)

Kelima teks Citybooks Semarang secara umum menampilkan potret masyarakat Cina yang

berperan penting dalam sejarah perekonomian di Semarang, terutama dalam hal perdagangan.

Kota Jakarta ditampilkan dalam empat cerpen dan satu rangkaian puisi naratif berbentuk

surat. Kelima teks memperlihatkan Jakarta sebagai kota urban yang hiruk pikuk. Dalam

“Malaikat di Jakarta” karya Annelies Verbeke, tokoh Aku/Annelies melihat, mendengar, dan ikut

merasakan sulitnya pergulatan hidup tokoh Soni dan tokoh-tokoh lain (kelas ekonomi bawah).

Page 7: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

7

Tidak hanya kepadatan lalu lintas, hiruk pikuk kota, namun juga persoalanhidup tokoh-tokoh

urban yang rumit terpotret dalam buku kota Jakarta.

Dalam cerpen “Pertemuan” karya Akidah Gauzillah para pengemis, pengamen anak-

anak, pedagang kaki lima menjadi dekor dalam latar tempat(depan museum Fatahillah), sebagai

potret kaum urban yang berjuang hidup. Pergulatan masyarakat kelas bawah ini oleh si penulis

diparalelkan dengan kerja rodi di masa kolonialisme.Cerpen “Sedang apa aku di sini?” karya

Ruth San A Jongmenampikan hiruk pikuk kota Jakarta dari sudut pandang tokoh Hendri, lelaki

tua dari Suriname (71 tahun) yang memaksakan diri datang ke Jakarta untuk memenuhi

kerinduannya menengokSemarang, tanah air nenek moyangnya. Namun bekal yang tidak cukup

mamaksanya hanya tinggal di Jakarta. Perasaan terasing, pusing berada di ‘dunia’ yang hektik,

keadaan fisik yang tidak memungkinkannya berada di keramaian, keriuhan lalu lintas dan

tempat-tempat yang begitu jauh untuk dikunjungi. Meskipun secara fisik ia tidak jauh

berbedadari orang-orang yang ditemuinya, tapi ia sulit berkomunikasi (kendala bahasa). Dunia

yang dalam angannya begitu dekat, ternyata asing.

Dalam cerpen“Yang tertinggal di Batavia, 1920” karya Sihar Ramses Simatupang

ditampilkan potret batin tokoh yang menyimpan banyak kegalauan, karena identitas perkawinan

campuran orang tuanya, dan keberadaan sang ayah yang menghilang. Sedangkancerpen “Akhir

yang terakhir” karya Veronica B. Vonny mengisahkan tentang misteri pembunuhan yang

dikaitkan dengan cerita masa lalu, tergambar struktur cerita yang hiruk pikuk dan tidak gamblang

mewarnai cerita.

Warisan budaya kolonial

Citybooks edisi Semarang dan Jakarta menampilkan wajah kedua kota yang tidak lepas dari

bingkai masa lalu, terutama sejah kolonial. Warisan budaya kolonial Belanda muncul di hampir

setiap cerita dan puisi: kota tua, gedung-gedung peninggalan masa kolonial, sejarah dan kisah

masa lalu. Sejarah, terutama sejarah kolonial, hampir di semua teks menginspirasi penulis dalam

karyanya.

Dalam buku kota Semarang, masalah penulisan sejarah/ arsip diangkat oleh Bouke Billiet

dalam “Daun lontar dan kebenaran”. Tokoh Aku memetakan masalah dengan mengajukan

pertanyaan retoris di setiap awal dari kelima ceritanya: “Kau tahu masalahnya apa?” Di setiap

bagian tokoh Aku berganti profesi dan berkonfrontasi dengan masalah.Masalah arsip menjadi

Page 8: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

8

amat fundamental. Sumber tertulis arsip prakolonial (daun lontar) yang hilang (tak bertahan lama

atau dijual atau lenyap), arsip kolonial pun demikian (Gedung Pakpak tahun 1945 di Semarang,

yang menyimpan arsip kota kolonial terbakar). Kota tua Semarang yang nyaris punah:

‘Kehancuran telah mencapai titik kritis. Atap-atap rusak, air sekarang masuk dari atas dan dari

bawah. Antara sekarang dan tujuh tahun lagi sebagian besar warisan ini tidak lagi bisa

direnovasi.’ (Bouke Billiet, 2015: 37). Begitu juga pada karya-karya yang lain kota tua (baik di

Semarang dan di Jakarta) dan gedung-gedung peninggalan kolonial Belanda digambarkan dalam

keadaan yang memprihatinkan.Janji-janji pemerintah dan orang-orang yang berkepentingan

untuk merenovasi gedung-gedung itu selalu terkalahkan oleh kepentingan kapitalisme, atau

prioritas yang lain.

Warisan budaya dalam bentuk kisah masa lalu hadir di “Anak Emas” karya Candra D.D.

Puspitasari: relasi antara majikan (orang Belanda) dan bawahan/ karyawan (orang Indonesia)

berlatar Semarang, 1935. Pola hubungan kolonial masih sama, dikotomi majikan,berkuasa,

pintar, berpendidikan tinggi, berfisik ideal (tokoh Emilie) versus bawahan, bersikap merendah,

tidak berpendidikan (tokoh Sandiman, sopir Emilie). Emilie yang terpikat pada Sandiman

berupaya menaikkan ‘kelas sosial’ Sandiman dengan menjadi guru bagi Sandiman: mengajar

membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, dan berbagai ilmu. Pada akhirnya Sandiman

menjadi administratur, mendapat kepercayaan (dari ayah Emilie), dan menikah dengan Emilie.

Dalam buku kota Jakarta yang menarik adalah dua cerita, “Pertemuan” (Akidah

Gauzillah) dan “Akhir yang terakhir” (Veronica B. Vonny) mengangkat cerita yang berkaitan

dengan kisah masa lalu yang sama, yaitu kematian Pieter Erberveld yang dijatuhi hukuman mati

dengan cara yang begitu sadis oleh gubernur Jan Pieterszoon Coen.

Sedangkan “Yang tertinggal di Batavia, 1920” karya Sihar Ramses Simatupang

terinspirasi oleh pameran lukisan di Erasmushuis. Sebuah cerita fiksi tentang rahasia seorang

publik yang hadir di pameran tersebut dengan sang pelukis dan kisah dalam lukisan tersebut. Di

balik rahasianya ada kisah hubungan laki-laki Belanda dan wanita Indonesia di masa lalu. Kisah

cinta, perjuangan sia-sia dari sepasang kekasih, merupakan “warisan” yang menarik ketiga

penulis lokal Jakarta untuk dilahirkan kembali dalam cerita yang baru. Peneliti tidak melihat

pandangan kritis dalam cerita yang diangkat dari masa lalu. Kisah cinta yang merupakan tema

universaldan merupakan kisah manusia lintas masa menjadi bingkai potret Jakarta. Ini

merupakan posisi ‘aman’ yang dipakai para penulis untuk tidak menyentuh masa kolonialisme

Page 9: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

9

yang perlu dilihat kembali secara kritis. Misalnya, J.P Coen sebagai gubernur Batavia yang

kejam, terutama terhadap kaum pribumi yang berani menentang kebijakan VOC, tidak

disebutkan dalam kisah.

Potret kekinian: perjuangan masyarakat ekonomi lemah

Potret kekinian kota Semarang dilihat “Daun lontar dan Kebenaran” adalah sisa-sisa janji dan

harapan yang tidak pernah terpenuhi, utamanya dalam pemeliharaan warisan budaya. Potret

sabung ayam di kota tua menampilkan kehidupan masyarakat kecil yang terpisah jauh dari kisah

masa lalu. Gedung-gedung tanpa makna buat mereka.

Kita tak mungkin tertarik pada zaman dulu tanpa menjadi melankolis. Kalau aku berjalan

di kota yang sudah tiada, rasa sedih menimpaku. Lalu aku sangat menyayangkan, bahwa

kita semua terkunci dalam hidup kita sendiri, dipenjarakan di tempat tertentu dan di

waktu tertentu. Maksudku: ada begitu banyak dunia tapi aku tidak hidup di sana. Orang

yang membaca, bepergian atau memandang sekeliling dengan cara tertentu, melihat

banyak dunia lain dan itu sudah tentu merupakan pemerkayaan, tapi juga setiap kali

merupakan konfrontasi dengan ketidakmampuan sendiri.(Billiet, 2015: 35)

Potret perjuangan masyarakat ekonomi lemah digambarkan oleh Gustaaf Peek dalam

“Sembilan surat kepadaMaria M.” ketika ia mengunjungi pasar Pecinan. Ditampilkan seorang

perempuan yang berjuang mencari nafkah sebagai penggendong. Bagian lain dari teksnya

mengangkatshopping mall, antara lain disoroti hubungan antar majikan dan bawahan dalam

kehidupan modern:

Kalangan atas sekarang menyuruh penjaga anak mereka memakai seragam perawat.

Mereka menggendong dan menenangkan anak-anak kecil beberapa langkah di belakang

orang tua mereka. (Peek: 133)

Dalam cerpen “Malaikat di Jakarta” (Annelies Verbeke), Annelies/ tokoh Aku mendengar

perjuangan tokoh Soni (pemandu), yang sejak berusia enam tahuntinggal di sebuah stasiun tanpa

orang tua. Lika liku kehidupannya yang berat, tapi di sisi lain ia menolong banyak orang. Soni

juga membawa Annelies ke tempat-tempat warga yang terkena musibah kebanjiran, juga ke

pasar burung, ke tempat-tempat lain (museum, café, Pecinan, beragam pasar). Annelies juga

mendengar kisah kehidupan yang sulit dari tokoh lainnya. Sebagian besar tokoh yang

ditampilkan dalam cerpennya adalah masyarakat ekonomi lemah yang berjuang demi

kelangsungan hidupnya.

Page 10: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

10

Skandal percintaan masa lalu dikaitkan dengan kekinian dalam “Pertemuan” karya

Akidah Gauzillah dan “Akhir yang terakhir” karya Veronica B. Vonny, yaitu kisah asmara Sara

Specx (anak angkat J.P. Coen) dan Pieter Erberveld. Cerpen pertama dihubungkan dengan

skandal artis Mulan dengan Dani (berkaitan dengan Maia). Potret kehidupan masyarakat urban

yang dekat dengan cerita gosip para selebriti menginspirasi penulis. Cerita skandal masyarakat

kelas atas menjadi ‘barang komoditi’ dan menjadi konsumsi masyarakat ekonomi lemah. Latar

pengamen anak-anak yang menyanyikan lagu “Di setiap ada kamu mengapa jantungku berdetak

(…)” juga merupakan ironi dari perjuangan masyarakat ekonomi lemah. Anak-anak yang

seharusnya bersekolah, tapi mencari nafkah. Mereka juga menyanyikan lagu dewasa, bercanda,

tertawa gembira. Mungkin ini cara mereka merelatifkan sulitnya kehidupan yang mereka harus

jalani.

“Energi pagi selaras matahari yang baru saja terbit menghampirinya duluan, disusul

pandangan anak-anak kecil berpakaian kumal yang mungkin bersiap pergi mengamen

entah di mana saja. Kehidupan menjadi sistematika langsung manusia untuk kerja rodi

demi secuil survival dan kesempatan eksistensi. Kolonialisme itu barangkali hanya

sekedar berganti corak warna dan utopia kemerdekaan selamanya hiburan untaian-

untaian idealism yang selalu bertepuk sebelah tangan.” (Gauzillah, 2016: 55)

Peran deBuren sebagai patron

Lembaga deBuren yang mendanai penerbitan Citybooks dan yang melakukan seleksi atas

penulis-penulis yang akan dilibatkan dalam edisi sebuah kota, berperan penting dalam sistem

patronase. Lembaga tersebut merupakan patron yang membentuk hubungan tukar-menukar.

Karya-karya sastra tentang kota ini bisa diproduksi, diwadahi, diterbitkan, dan didistribusikan

oleh deBuren. Sebagai patron lembaga itu berfungsi sebagai mediator antara sastrawan dan

publiknya. DeBuren memungkinkan pendanaan bagi kerja para sastrawan yang terlibat, berbagai

urusan administrasi, akomodasi yang diperlukan penulis internasional menetap di suatu kota,

penerbitan, dan distribusi. Sang patron membuat regulasi dan aturan menyangkut batasan tulisan,

mungkin tema umum, deadline pengumpulan naskah, dan sebagainya. Batasan naskah terkait

dengan faktor kapital dan keberlangsungan lembaga itu. DeBuren mendanai penerjemahan karya

ke dalam bahasa Internasional (Inggris, Perancis, Belanda), agar karya-karya sastra tersebut

menjangkau khalayak dunia.

Page 11: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

11

Interfensi deBuren sebagai patron tidak terjadi secara langsung ke dalam produk

sastrawan. Dari wawancara tertulis peneliti kepada deBuren, lembaga tersebut menyeleksi

penulis dengan bantuan mitra lokal, dan memberikan kerangka teknis (jumlah 4000 kata untuk

cerpen dan 300 larik untuk puisi dan deadline), juga aspek penting bagi sebuah edisi citybooks.

DeBuren meminta“Warisan budaya” menjadi aspek penting dari cerita kota Semarang dan

Jakarta.

Dari penelitian terhadap teks, terlihat bahwa para penulis memang berupaya

menggunakan warisan budaya sebagaisumber inspirasi tulisan mereka. Kota tua, gedung-gedung

bersejarah kolonial menjadi latar tempat dari hampir seluruh teks. Masa lalu dihidupkan dalam

kekinian. Namun, kerangka asmara dan cinta digunakan sebagaikerangka cerita banyak penulis.

Penulis Belanda dan Flandria (Belgia) mendapat kesempatan dua minggu untuk mengeksplorasi

kota. Kehidupan sosial yang berbeda justru menarik perhatian mereka untuk diangkat dalam

cerita. Peneliti melihat penulis lokal sudah tidak berjarak lagi dengan permasalahn sosial sehari-

hari. Mereka tidak ‘melihat’ apa yang penulis luar ‘lihat’. Hal ini membuat potret kota menjadi

unik.

Hubungan patron dengan seniman yang mendapat proyek tampaknya menimbulkan

‘keengganan’ atau rasa ‘sungkan’ dari penulis lokal untuk menulis karya yang kritis terhadap

masa kolonial. Sikap etis secara tidak langsung membatasi penulis untuk bebas menulis tentang

kota dan masa lalunya.

Kesimpulan

Dua edisi Citybooks yang mengangkat kota Semarang dan Jakarta memperlihatkan potret-potret

kota dan masyarakatnya yang berbeda. Kedua kota dalam Citybooks tak bisa lepas dari

kerangka masa lalu. Masa lalu memberi identitas pada kekinian setiap kota. Kota semarang

dengan peran kelompok etnis Tionghoa dalam sejarah perkembangan kota. Kota Jakarta yang

begitu luas dan yang sejak dulu sudah merupakan kota urban, diwarnai dengan hiruk pikuknya.

Kelompok masyarakat urban kelas ekonomi lemah berjuang mencari nafkah, melampaui

kewajaran, namun mereka tetap tampil gembira dalam keberadaannya. Kesengsaraan hidup

diekspresikan dengan cara yang ringan, penuh canda dan tawa oleh para tokoh. Kesengsaraan

tidak membuat hidup para tokoh menjadi ‘pahit’, mereka tetap berjiwa pahlawan. DeBuren

Page 12: POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/9-Makalah... · Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca

12

sebagai parton yang memungkinkan terbitnya buku kota ini membuka akses bagi jaringan sastra

Internsional yang tidak dibatasi pada buku cetak, tempat terbit, jumlah eksemplar buku, hal-hal

yang menjadi media karya sastra. Lewat situs web yang bisa diakses dari segala penjuru dunia,

Citybooks membuka sekat-sekat sastra. Karya sastra menjangkau pulik yang begitu luas dengan

cara yang cepat. Di masa yang akan datang karya sastra akan semakin terlepas dari material

kertas, terutama terkait dengan aspek lingkungan hidup. Citybooks bisa menginspirasi kita untuk

membuat situs-situs web lainnya yang menstimulasi, mendukung penerbitan dan distribusi

karya-karya sastra agar bisa dinikmati khalayak luas, dari berbagai penjuru dunia.

Daftar Pustaka

Primer:

Billiet, Bouke. (2013). “Meisje van vroeger”/”Daun Lontar dan Kebenaran” dalam Semarang.

Brussel: Citybooks.

Gauzillah, Akidah. (2015). “Pertemuan.” Jakarta. Brussel: Citybooks.

Jong, Ruth San A. (2015). “Wat doe ik hier?”/”Sedang apa aku di sini?”. Jakarta. Brussel:

Citybooks.

Puspitasari, Candra Dewi Dian .(2013). “Anak Emas” dalam Semarang.Brussel: Citybooks.

Peek, Gustaaf .(2013). “Negen brieven aan Maria M.”/ “Sembilan Surat Kepada Maria M.”,

dalam Semarang.Brussel: Citybooks.

Simatupang, Sihar Ramses. (2015). “Yang tertinggal di Batavia, 1920”, Jakarta. Brussel:

Citybooks.

Svarajati, Tubagus P. (2013). “Lee Hwa.” Semarang.Brussel: Citybooks.

Triwikromo, Triyanto. (2013). “Kisah-kisah kecil Semarang-Puisi.”Semarang.Brussel:

Citybooks.

Verbeke, Annelies. (2015). “Engelen in Jakarta.”/”Malaikat di Jakarta”. Jakarta.Brussel:

Citybooks.

Vonny, Veronica B. (2015). “Akhir yang terakhir”, Jakarta.Brussel: Citybooks

Sekunder:

Damono, Sapardi Djoko.(1978). Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:

Depdikbud.

Faruk.(1994).Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Luxemburg, Jan Van. (1984).Pengantar Ilmu Sastra, diindonesiakan oleh Dick Hartoko.

Jakarta: Gramedia

Wellek, Renne dan Austin Warren. (1989).Teori Kesusastraan, diindonesiakan oleh Melani

Budianta. Jakarta: Gramedia.

www.citybooks.eu