23
INDONESIA AP K RED BADAN PENGELOLA REPUBLIK INDONESIA D ASOSIASI AHLI PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIA BADAN PENGELOLA REED+ KEMENTERIAN KEHUTANAN JAKARTA KERJASAMA Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI Jakarta, 18-19 November 2014 PROSIDING PROSIDING ISBN 978-602-73376-0-2 KEMENTERIAN KEHUTANAN

PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

INDONESIAAP K RED

BADAN PENGELOLA

REPUBLIK INDONESIAD

ASOSIASI AHLI PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIABADAN PENGELOLA REED+KEMENTERIAN KEHUTANAN

JAKARTA

KERJASAMA

Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI

Jakarta, 18-19 November 2014

PROSIDINGPROSIDINGISBN 978-602-73376-0-2

KEMENTERIANKEHUTANAN

Page 2: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI

Jakarta, 18-19 November 2014

PROSIDINGISBN 978-602-73376-0-2

Editor:Prof. Dr. Ir. Deddy Hadriyanto, M. AgrProf. Dr. Ir. Hermansah, MS, M.ScProf. Dr. Ir. Agus Kastanya, MSDr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.ScDr. Ir. Markum, M.ScIr. Agus Susatya, M.Sc, Ph.DDr. Ishak Yassir, S.Hut, M. ScDr. Ir. Sabaruddin, M.Sc

Penyusun :Yayan Hadiyan S.Hut, M.ScMuhammad Farid, S.Hut, M. ScKestri AriyantiSumardi S.Hut, M.Sc

Alamat:Jl. Argo No. 1, Bulaksumur Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Telp. (0274) 512102, 901420 Email : [email protected]

Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK)

Page 3: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

i

Prosiding Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI Jakarta, 18-19 November 2014

KERJASAMA ASOSIASI AHLI PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIA

BADAN PENGELOLA REED+ KEMENTERIAN KEHUTANAN

JAKARTA

INDONESIA

Page 4: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

ii

Prosiding Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari,

18-19 November 2014, Jakarta Indonesia

@Tahun 2015 Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia)

Editor:

Prof. Dr. Ir. Deddy Hadriyanto, M. Agr

Prof. Dr. Ir. Hermansah, MS, M.Sc

Prof. Dr. Ir. Agus Kastanya, MS

Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc

Dr. Ir. Markum, M.Sc

Ir. Agus Susatya, M.Sc, Ph.D

Dr. Ishak Yassir, S.Hut, M. Sc

Dr. Ir. Sabaruddin, M.Sc

Penyusun :

Yayan Hadiyan S.Hut, M.Sc

Muhammad Farid, S.Hut, M. Sc

Kestri Ariyanti

Sumardi S.Hut, M.Sc

Design dan Tata letak:

Edy Wibowo

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak,

microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau

keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut :

Sitasi:

Hadriyanto, D. et all (EDS). 2015. Mitigasi Dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola

Hutan Dan Lahan Lestari, 8-9 November 2014. Jakarta Indonesia

Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia. Yogyakarta.

ISBN 978-602-73376-0-2

Diterbitkan oleh:

Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia Jl. Argo No. 1, Bulaksumur Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta

Telp. (0274) 512102, 901420 Email : [email protected]

Page 5: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

iii

KATA PENGANTAR

Hutan sebagai common property adalah sumberdaya bersama yang memiliki fungsi penting

baik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Pengelolaan hutan yang selama ini diterapkan masih belum

sepenuhnya bersifat berkelanjutan dan diikuti dengan terjadinya degradasi fungsi, baik secara

ekonomi maupun ekologi. Fungsi hutan menjadi bagian yang sangat penting dalam perubahaan

iklim, karena level carbon dan gas rumah kaca di atmosphir sangat bergantung pada kesetimbangan

pengikatan dan emisi karbon di ekosistim hutan. Urgensi dari pengurangan emisi untuk menjaga

kesetabilan konsentrasi GRK di atmosfer telah mendorong berbagai pemikiran penanganannya,

baik terkait upaya mitigasi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Berbagai kebijakan

pemerintah terkait penanggulangan perubahan iklim telah dilahirkan untuk mendorong penanganan

yang terintegrasi berbagai sektor. Salah satunya adalah REDD+ (Pengurangan Emisi dari

Deforestasi, Degradasi Hutan, Peran Konservasi, Peningkatan Serapan Karbon dan Pembangunan

Kehutanan yang Berkelanjutan), yang menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya

menurunkan emisi karbon sektor kehutanan sebagai mandat COP ke 13 di Bali.

Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia) merupakan

kumpulan mereka yang perhatian dan turut berpartisipasipasi untuk menghimpun, membina,

mengembangkan, dan mengamalkan IPTEK di bidang perubahan iklim dan kehutanan serta

memberikan masukan ilmiah kepada pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia baik di

tingkat nasional dan internasional terkait dengan kebijakan perubahan iklim dan kehutanan.

Asosiasi ini juga merupakan jejaring dari beberapa perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga

diklat serta lembaga swadaya masyarakat di 7 region di Indonesia : region Sumatera, Jawa, Bali

Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Memandang pentingnya persoalan mitigasi, adaptasi dan tata kelola hutan dan lahan, dalam

konteks penanganan perubahan iklim di Indonesia, Apik berkejasama dengan BP-REDD+ telah

melaksanakan Seminar Nasional dengan tema “Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju

Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari ”.

Seminar tersebut telah mejadi sasrana berbagi informasi status perkembangan kebijakan

perubahan iklim Internasional dan Nasional, berbagi informasi status penelitian adaptasi dan

mitigasi penanganan perubahan iklim dan kehutanan di Indonesia, dan telah merumuskan masukan

terkait kebijakan, strategi dan rencana aksi penanganan perubahan iklim ke depan, khususnya

menyongsong implementasi REDD+ di Indonesia.

Pada kesempatan ini, diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian

Kehutanan dan Bp REDD+ yang telah membantu baik operasional maupun pendaaan atas

penyelenggaraan Seminar Nasional tersebut.

Yogyakarta, Agustus 2015

Ketua Umum,

ttd.

Dr. Sastyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc

Page 6: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

iv

Page 7: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................... v

ADAPTASI....................................................................................................... 1

1 ADAPTASI SPESIES TANAMAN PADA KONDISI EKSTRIM BESERTA

ADAPTASI PENDEKATAN PENANAMANNYA UNTUK ANTISIPASI

PERUBAHAN IKLIM ........................................................................................... 3

2 MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN MERESPON DAMPAK PERUBAHAN

IKLIM: GENDER PERSPEKTIF ................................................................................... 17

3 ADAPTASI JENIS-JENIS POHON PIONIR PADA HUTAN RAWA GAMBUT

YANG TERDEGRADASI BERAT DI OGAN KOMERING ILIR, SUMATERA

SELATAN .................................................................................................................... 29

4 BIODIVERSITAS DAN PERAN MASYARAKAT ADAT DALAM PERUBAHAN

IKLIM DI REGION PAPUA ......................................................................................... 39

5 WHAT DID DRIVE EXTREME DROUGHT EVENTS IN 2014? ................................... 55

6 STRATEGI ADAPTASI DAN MITIGASI DALAM MENGHADAPI BENCANA

PESISIR AKIBAT PERUBAHAN IKLIM ..................................................................... 61

7 ARBORETUM DESA : AKSI LOKAL KONSERVASI JENIS TANAMAN

HUTAN MENDUKUNG PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM ................................ 71

8 STATEGI USAHA PERTANIAN PETANI KARET DALAM MENGHADAPI

PERUBAHAN IKLIM DI NAGARI MUARO SUNGAI LOLO KEC. MAPAT

TUNGGUL SELATAN KAB. PASAMAN - SUMBAR .................................................. 81

9 MENGGALI DAN MENEGAKKAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT

ARFAK UNTUK MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM 1 ............................................ 87

10 KEKUATAN KEARIFAN LOKAL DALAM RESTORASI EKOSISTEM TAMAN

NASIONAL GUNUNG MERAPI .................................................................................. 93

MITIGASI .................................................................................................... 101

11 ALIRAN KARBON DAN ENERGi PADA BERBAGAI TUTUPAN LAHAN

SULAWESI TENGAH ................................................................................................ 103

12 ESTIMASI POTENSI CADANGAN DAN SERAPAN KARBON DI PROVINSI

BENGKULU DENGAN MENGGUNAKAN DATA MODIS ........................................ 109

13 STUDI POTENSI BIOMASSA ATAS DAN BAWAH PERMUKAAN TANAH

PADA PSP KPHP UNIT IV DAN KPHL UNIT XIV UNTUK MENDUKUNG

SISTEM MRV STOK KARBON HUTAN DI MALUKU .............................................. 131

14 PERHITUNGAN STOK KARBON PADA DAERAH KAPUR DAN KARST DI

PAPUA BARAT: STRATEGI UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN REDD+ .............. 143

15 UPAYA PENURUNAN EMISI CO2 SEKTOR KEHUTANAN DI PROPINSI NUSA

TENGGARA BARAT ................................................................................................. 151

16 PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN

TROPIS DATARAN RENDAH ................................................................................... 161

Page 8: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

vi

17 POTENSI SERAPAN KARBON PADA BERBAGAI JENIS TEGAKAN HASIL

REHABILITASI HUTAN POLA HUTAN KEMASYARAKATAN: STUDI KASUS

HKM KAB. REJANG LEBONG BENGKULU ............................................................. 169

18 PERUBAHAN POPULASI DAN BIOMASA TEGAKAN DALAM KAITANNYA

DENGAN AKUMULASI CARBON DI KAWASAN HUTAN HUJAN TROPIS

ULU GADUT PADANG SUMATRA BARAT ............................................................. 175

19 REVIEW : VARIASI KANDUNGAN BIOMASA PADA BERBAGAI EKOSISTIM

DI SUMATRA ............................................................................................................ 185

20 ANALISIS PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SEBAGAI UPAYA MITIGASI

PERUBAHAN IKLIM DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

DI SUMATRA UTARA ............................................................................................... 199

21 THE IMPACTs OF FOREST CONCESSIONS ON DEFORESTATION IN

INDONESIA ............................................................................................................... 209

22 PENAKSIRAN BESARNYA STOK KARBON DAN PENURUNAN EMISI

MELALUI PENERAPAN METODE REDUCED IMPACT LOGGING CARBON

(RIL-C) ....................................................................................................................... 221

23 ESTIMASI EMISI LANGSUNG NITRUS OKSIDA (N2O) ASAL APLIKASI

PUPUK NITROGEN AN-ORGANIK PADA PERKEBUNAN SAWIT DI LAHAN

GAMBUT ................................................................................................................... 231

24 MODEL ALOMETRIK PENDUGAAN BIOMASSA DAN KARBON TEGAKAN

HUTAN JENIS KERUING (Dipterocarpus sp) PADA HUTAN ALAM PRODUKSI

DI KALIMANTAN TENGAH ..................................................................................... 237

25 KUANTIFIKASI MASSA KARBON PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI

LANGKAT, SUMATERA UTARA .............................................................................. 245

26 ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) BERDASARKAN

TINGKAT KEBUTUHAN OKSIGEN, ABSORBSI KARBON DIOKSIDA DAN

PENGENDALI IKLIM MIKRO DI WILAYAH PERKOTAAN ..................................... 251

27 PENELITIAN PENDAHULUAN TENTANG KONDISI UDARA DI BALI

SEBAGAI INDIKASI PERUBAHAN IKLIM ............................................................... 265

28 EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI

GORONTALO ............................................................................................................ 269

29 POTENSI KARBON HUTAN NAGARI SIMANCUANG PROVINSI SUMATERA

BARAT SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG SISTEM MRV ........................................ 275

30 ESTIMASI NILAI TEGAKAN DI RTHKP KOTA BANJAR BARU .............................. 287

31 ADAPTASI DAN MITIGASI PEMANASAN GLOBAL MELALUI HUTAN JATI

RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA ..................................................... 311

32 MODEL PENGHITUNGAN CADANGAN KARBON HUTAN RAKYAT

BERSERTIFIKAT SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU ................................... 319

33 PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT MELALUI

PROGRAM KULIAH KERJA NYATA MAHASISWA (KUKERTA) ........................... 337

34 KAJIAN KEGIATAN REDD+ DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN IKLIM ............... 343

35 PENGEMBANGAN PARAMETER FRAKSI KARBON YANG HILANG ..................... 359

Page 9: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

vii

TATA KELOLA .......................................................................................... 366

36 TANTANGAN PELIBATAN MASYARAKAT DALAM MENGELOLA

KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) DI BENGKULU

UTARA ...................................................................................................................... 367

37 TATA KELOLA KPHP LAKITAN, MANDIRI DENGAN KEMITRAAN

MASYARAKAT ........................................................................................................ 377

38 PERANAN BALAI DIKLAT KEHUTANAN DALAM MITIGASI PERUBAHAN

IKLIM ........................................................................................................................ 387

39 PENGARUH BIOREMEDIASI DAN FITOREMEDIASI MERKURI (Hg)

TERHADAP PENINGKATAN UNSUR HARA TANAH PADA LAHAN PASCA

TAMBANG EMAS ..................................................................................................... 395

Page 10: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

185

19 REVIEW : VARIASI KANDUNGAN BIOMASA PADA BERBAGAI

EKOSISTIM DI SUMATRA

A review: the variation of biomass content in various ecosystems in sumatra

Agus Susatya1)

dan Asep Sukmana2)

1)Jurusan Kehutanan UNIB 2BPK Aek Nauli, Sumatra Utara

ABSTRACT

Sumatra has been known to have various ecosystem regimes. Laumonier (1992) classified Sumatra island into 38

main floristic sectors based on geomorphology, temperature, rain fall, and plant diversity. These various floristic

sectors will play important roles in dealing to climate change adaptation and mitigation schemes. Therefore, the

review of the information on the biomass /carbon balance and the method to estimate biomass on various

ecosystems is a pivot step to carry out many program related to adaptation and mitigation. Data accessed from

various sources showed that above ground biomass on lowland, lower mountain, upper mountain, peat, mangrove

forests, and agroforesty is 131-360 ton/ha, 175-1279 ton/ha, 165-867 ton/ha, 94-348 ton/ha, 3-78 ton/ha, and 10-

216 ton/ha. The use of remote sensing methods seemly provides overestimated values of carbon reserves. The

method to estimate biomass mainly used allometric models developed by Brown (1997), Ketterings et al., (2001),

and default values from IPCC 2003. For mixed forest, only three allometric models developed based on local

ecosystem are available. There is a significant gap between the available allometric models and the need to

estimate biomass across various floristic sectors. Futhermore studies on the carbon sequestration on degraded and

deforested ecosystems should also be carried out in the near future.

Keywords: biomass, carbon, ecosystem, floristic sector, allometric,

ABSTRAK

Sumatra memiliki keragaman ekosistim yang tinggi. Laumonier (1992) membagi menjadi 38 sektor floristik

utama berdasarkan geomorphologi, suhu, curah hujan, dan flora. Terkait dengan adaptasi dan mitigasi

perubahan iklim, maka sangat penting untuk mengetahui kandungan biomasa dan metode pendugaan

biomasa di Sumatra. Dari berbagai artikel, didapatkan bahwa kandungan biomasa atas tanah untuk hutan

dataran rendah berkisar 131-360 ton/ha, hutan pegunungan bawah berkisar antara 175-1279 ton/ha,

pegunungan bagian atas berkisar antara 165-867 ton/ha, gambut berkisar 94-348 ton/ha, mangrove berkisar

3-78 ton/ha, dan agroforestry antara 10-216 ton/ha. Metode yang digunakan menggunakan model alometrik

dari Brown (1997), Ketterings et. al. (2001) dan nilai default IPCC 2003. Untuk hutan daratan (mixed forest),

hanya ada tiga kelompok model alometrik yang dibangun berdasarkan ekosistim di Sumatra. Ada

kesenjangan yang besar antara alometrik yang tersedia dengan kebutuhan pendugaan nilai biomasa di

berbagai ekosistem yang ada di Sumatra. Untuk masa depan, perlu dibangun model alometrik setempat yang

sesuai dengan ekosistimnya.

Kata kunci : biomasa, karbon, ekosistem, sektor floristik, alimetrik.

1. PENDAHULUAN

Kajian komprehensif klasifikasi ekologi di Sumatra dilakukan oleh Laumonier

(1992) dengan membagi Sumatra menjadi enam sektor utama floristik. Sektor utama

florsitic I mencakup daerah kawasan pesisir timur laut yang meliputi Riau, Jambi, dan

Sumatra Selatan. Sektor II meliputiSibolgadan bagian barat dan utara NAD. Sektor III

meliputi Asahan, Langkat, (Sumatra Utara) dan Langsa (NAD). Sektor IV adalah bagian

ujung tenggara Sumatra yang mencakup Lampung, Sektor V adalah sektor floristik

Sumatra Barat, sedangkan sektor VI adalah sektor floristik Bengkulu barat daya. Lebih

jauh Laumonier membagi lagi sektor utama menjadi 38 sektor eco-floristic dengan

menambahkan variasi elevasi (WWF Indonesia, 2010). Sektor floristic ini mencerminkan

keragaman ekosistim yang mempunyai struktur dan fungsi yang sangat berbeda satu

Page 11: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

186

dengan yang lain. Terkait dengan masalah adaptasi, mitigasi perubahan iklim, terutama

REDD+, tentunya sangatlah penting untuk bisa mengetahui besaran biomasa atau karbon

yang tersimpan di dalam masing-masing ekosistim, dan juga bisa mengetahui bagaimana

kemampuan dari ekosistim yang ada dalam menyerap karbon (sequestration). Di dalam

konteks ini, maka keberadaan nilai pendugaan karbon atau biomasa dan metode pendugaan

biomasa menjadi penting sebagai bagian scientific evidences yang dapat digunakan untuk

membangun kebijakan mitigasi yang lebih baik. Tulisan ini berusaha untuk menyajikan

apa yang telah dilakukan oleh berbagai pihak terkait dengan pendugaan biomasa dan

model alometriknya di Sumatra. Data dan informasi dikumpulkan dari berbagai artikel

yang bisa diakses melalui internet, maupun data yang tersedia dari penulis.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Wetland Internasional secara makro dengan menggunakan default biomasa IPCC

2003 (350 ton/ha) memperkirakan bahwa hutan daratan Sumatra seluas 12.8 juta ha

mempunyai cadangan karbon sebesar 2.1 gigaton/ha. Sedangkan hutan gambut yang

mempunyai luas 7.2 juta ha, mengandung karbon sebesar 21 giga ton/ha. Secara terperinci,

cadangan karbon di atas ditampilkan di dalam 8 Propinsi yang ada di Sumatra, namun

tidak dalam per satuan ekosistim yang ada (WWF Indonesia, 2010). Miettinen dan Liew

(2009) dengan menggunakan nilai default IPCC 2003/2006 untuk hutan daratan dan nilai

besaran dari Komiyama (2005) untuk hutan mangrove (302 ton/ha) menampilkan perkiraan

berdasarkan ecosystem secara global di Sumatra. Mereka memperkirakan hutan mangrove,

gambut, dataran rendah (<750 m dpl), Pegunungan bagian bawah (lower montane, 750-

1500 m dpl), Pegunungan bagian atas (upper montane, >1500 m dpl), mosaik pegunungan,

dan mosaik dataran rendah masing masing-masing mempunyai kandungan biomasa di atas

permukaan tanah sebesar 105, 668, 1928, 1222, 70, 139, dan 137 ton/ha (Tabel 1).

Penelitian yang dilakukan berbagai pihak memperlihatkan bahwa variasi yang

sangat besar dari satu sektor utama floristic ke sektor florsitic lainnya (Grafik 1, dan 2).

Grafik 1 memperlihatkan bahwa estimasi kandungan biomasa yang lebih terperinci di

berbagai tipe ekosistim dan sektor floristic utama di Sumatra. Grafik 1 juga

memperlihatkan bahwa nilai dugaan biomasa ternyata jauh lebih kecil dibandingan dengan

hasil pendugaan oleh Mittenen dan Liew (2009). Untuk ekosistim yang masuk dalam

kategori hutan dataran rendah estimasi biomas berkisar dari 210-200 ton/ha untuk Aceh

(sektor floristic utama II), 320-400 ton/ha (Jambi, I), 131 ton/ha (Siberut), 141 ton/ha

(Bengkulu, V), 195 ton/ha (lampung,V), dan 178 ton/ha (Lampung, IV) (Grafik 1). Nilai-

nilai di atas jauh di bawah nilai dari Miettenen dan Liew (2009) sebesar 1928 ton/ha.

Untuk hutan pegunungan bawah, perkiraan biomasa berkisar antara 150 ton ha (NAD, II)

sampai dengan 1279 ton/ha (Batang Gadis, SUMUT, IV) (Grafik 1), sedangkan nilai dari

Miettenen dan Liew (2009) sebesar 1222 ton/ha. Variasi hasil estimasi cadangan biomass

mencerminkan beragamannya, iklim, jenis tanah, umur, struktur dan komposisi, tingkat

pengaruh manusia, dan metode pendugaan biomasa. Dari berbagai ekosistim, ternyata

formasi hutan pantai boleh dikatakan terlupakan. Formasi ini paling sedikit mendapatkan

perhatian, karena kawasannya tidak begitu luas, dan paling dahulu dikonversi menjadi

peruntukan lain. Formasi ini sebetulnya punya fungsi strategis terkait dengan mitigasi

perubahan iklim dan bencana. Hutan pantai lebih banyak ditemukan di pantai bagian barat

Sumatra, sedangkan kandungan biomassanya sebetulnya relatif lebih tinggi dibandingkan

formasi hutan dataran rendah. Data dari Suwarno (2012) memperlihatkan bahwa berat

biomasanya mencapai 283.42 ton/ha, dan nilai ini lebih tinggi dari hutan dataran rendah di

Lampung (Hairah et al.,. 2006, Prasetyo et al., 2012)(Tabel 1).

Page 12: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

187

Untuk tipe ekosistim hutan lahan basah (gambut dan mangrove), perbandingan

hasil penelitian Mittenen dan Liew (2009) dengan yang lainnya menunjukkan perbedaan

yang besar. Hasil perkiraan Mittenen dan Liew untuk hutan rawa dan manrove masing-

masing adalah 668 ton/ha dan 105 ton/ha, sedangkan untuk hutan gambut di Jambi berkisar

antara 212 – 348 ton/ha (Krisnawati dan Imanuddin 2011), sedangkan di Sumatra Selatan

berkisar antara 223-254 ton/ha biomasa (Merang Project, 2014)(Grafik 1).

Pola berbanding antar lokasi di Sumatra dan perbandingan dengan nilai Miettenen

dan Liew (2009) untuk hutan mangrove mempunyai pola yang sama dengan formasi hutan

gambut. Tidak seperti hutan daratan, di hutan mangrove pendugaannya harus mengikuti

spesies, karena ekosistim hutan mangrove mempunyai zonasi, yang biasanya didominasi

oleh satu jenis saja. Hasil estimasi biomasa dari mangrove mempunyai nilai yang jauh

lebih kecil (7-78 ton/ha) dari nilai dari Miettenen dan Liew (105 ton/ha. Telaah lebih

terperinci dengan membanding di berbagai lokasi memperlihatkan bahwa nilai dugaan

berat biomasa tidak begitu beda jauh baik Mangrove di Siberut (Bismark et al., 2008),

Bengkulu (Afrianto, 2014) , Riau (Khaijiran et al., 2013), dan Sumatra Utara (Onrizal dan

Mansor (2010) (Grafik 2). Perbedaan di atas menunjukkan bahwa metode penggunaan citra

satelit oleh Miettenen dan Liew (2009) memberikan hasil dugaan yang lebih tinggi (over

estimated). Yang sangat menarik dari data di atas adalah bahwa jenis-jenis Rhizophora dan

Bruguiera mempunyai nilai yang kurang dari 25 ton/ha di semua lokasi (Grafik 2). Hasil

pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kedua jenis ini sering menjadi korban

penebangan, sebaliknya jenis Sonneratia alba kurang disukai untuk ditebang, sehingga

nilai biomasanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan keduanya. Temuan dari Onrizal

dan Mansor (2010) lebih lanjut memperlihatkan pengelolaan mangrove oleh masyarakat

jauh lebih baik dibandingkan oleh instansi terkait dalam konteks kandungan biomasanya.

Nilai dugaan biomasa di agroforestry juga sangat beragam tergantung komposisi

dan struktur vegetasi yang ada, intensitas pengelolaan, dan umur. Secara umum dapat

disimpulkan bahwa agroforestry berbasis karet dengan umur lebih dari 15 thn mempunyai

nilai biomasa berkisar 165-216 ton/ha (Grafik 2). Nilai ini sesungguhnya sama dengan

nilai biomasa di ekosistim hutan alam (Alfaidzin. 2013). Sedangkan agroforestry yang

berbasis kopi mempunyai nilai kurang dari 30 ton/ha (Prasetyo et al., 2012), dan jauh lebih

kecil dari nilai biomasa agroforestry yang berbasis karet. Sistim agroforestry di atas

merupakan sebagian dari sistim agroforesty di Sumatra yang sangat beragram, dimana

struktur dan komposisinya tergantung kepada lokasi dan latar belakang sosial dan budaya.

Sebagai contoh, di Sungai Penuh, Jambi agroforestry dibangun berbasis Kayu Manis,

sedangkan secara tradisional di Bengkulu sistim agroforestry mencakup ladang, rimbo

mudo, rimbo tua, dan hutan. Pada dasarnya sistim agroforestry di Sumatra yang ada

merupakan hasil evolusi lanjut dari sistim perladangan berpindah. Oleh karena itu, nilai

dugaan biomasa agroforestry di suatu tempat, tidak serta merta dapat digunakan untuk

pendugaan biomasa di sistim yang sama di tempat lainnya.

Dari artikel yang terkumpul, ternyata analisis tentang berapa besar penambahan

biomas (biomass increament), yang juga mencerminkan berapa banyak karbon di atmosfer

yang dapat diikat oleh ekosistim hutan tidak banyak dijumpai. Walaupun menggunakan

method berbeda, nilai kemampuan daya serap bersih ekosistim di berbagai tempat di

Sumatra tidak jauh berbeda. Krisnawati dan Imanuddin (2011) di hutan gambut

mendapatkan bahwa penambahan biomass diperkirakan sebesar 7.09 ton/ha/thn.

Sedangkan di hutan dataran rendah Bengkulu, Susatya (2011), dan Yuliarti (2012)

mendapatkan bahwa nilai daya serap karbon masing-masing sebesar 2.46 ton/ha/thn dan

2.0-10.0 ton/ha/thn. Krisnawati dan Imanuddin (2011), Susatya (2011), dan Yuliarti (2012)

Page 13: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

188

masing masing dalam perhitungannya menggunakan persamaan yang dibangun oleh

Brown (1997), Kato et al., (1978), dan menggunakan MODIS.

Metode perhitungan biomass ternyata sangat beragam, dari yang menggunakan

model-model yang dibangun oleh Yamakura et al.,(1986), Brown (1997), Brown et al,

(1998), Kettering et al.,(2001), Arifin (2001), Komiyama (2005) atau nilai default dari

IPCC 2003/2006 (Tabel 1). Metode yang dikembangkan oleh Brown (1997) dan Brown

dkk (1998) secara luas digunakan untuk menduga berat biomasa. Metode Brown dibangun

berdasarkan data yang sebagian besar dikumpulkan dari hutan di Amerika latin dan tengah.

Adapun model moist forest dari Asia Tenggara berasal dari data dari Hutan Semenanjung

Malaysia, Sarawak, Kambojo dan Kalimantan Timur. Adapun formasi hutannya adalah

hutan pengunungan bawah (hill forest), lowland mixed dipterocarp-dense stocking, dan

mixed Dipterocarp dense dan medium dense stocking forests. Sedangkan IPCC 2003 dan

2006 (IPCC, 2003, 2006) nilai defaultnya dalam berbagai regim curah hujan didapatkan

dari data yang sebagian besar berasal dari hasil inventarisasi hutan Amerika Selatan.

Disamping model dari Brown, model allometric yang luas dipakai di Sumatra

adalah model yang dibangun oleh Kettering et al.,(2001). Model ini yang boleh jadi adalah

yang pertama dibangun berdasarkan ekosistim hutan daratan di Jambi. Namun penggunaan

model ini perlu hati-hati, karena model alometriknya dibangun berdasarkan hutan sekunder

dataran rendah, yang didominasi tanaman karet, tumbuhan pioner seperti Mallotus sp.

Croton sp. dan Macaranga, dan tanaman buah-buahan, Artocarpus, Parkia, dan

Pittecelobium (Kattering et al.,.2001). Tentunya penggunaan model ini untuk formasi

hutan lain bisa memberikan nilai lebih rendah dari nilai sebenarnya

Metode pendugaan karbon dengan alometrik yang dibangun sendiri berdasarkan

data dari ekosistim di Sumatra sangatlah sedikit. Dari artikel yang terkumpul model

alometrik yang dibuat tersendiri hanya ada untuk Eucalytus grandis di Sumatra Utara

(Onrizal dan Mansor, 2010). Lebih lanjut, Bismark et al.,(2008) menggunakan metode

konvensional dengan memanfaatkan hasil perkalian volume dan berat jenis kayu untuk

menduga berat biomass. Krisnawati et al.,(2012) telah menggumpulkan model alometrik di

Seluruh Indonesia. Dari total 370 model alometrik di Indonesia, 78 (21%) diantaranya

berasal dari Sumatra. Lebih lanjut dari 78 model, hanya 3 kategori model yang berasal dari

hutan campuran (mixed) yaitu dari hutan dataran rendah Jambi dan Mentawai, Sumatra

Barat, serta satu model yang berasal dari hutan gambut Sumatra Selatan. Sisanya,

kebanyakan model dari Sumatra dibangun berdasarkan satu jenis pohon saja seperti Acacia

mangium, Pinus merkusii, dan Hevea brasiliensis(Tabel 2). Tentunya data di atas

memperlihatkan bahwa masih ada kesenjangan yang besar antara model alometrik yang

tersedia dengan beragamnya ekosistim yang ada. Kesenjangan ini diperparah jika kita

memasukkan model alometrik yang digunakan di lahan agroforestry.

Dari artikel yang terkumpul ada dua hal yang menarik. Pertama adalah hampir

semua model yang ada dibangun berdasarkan diameter lebih besar dari 5 cm, sehingga

pohon dengan diameter < 5 cm diabaikan. Ditinjau dari berat biomasa, pohon dengan

diameter kecil akan mempunyai berat yang kecil pula, akan tetapi dari segi laju penyerapan

karbon, secara teoritis pohon dengan diameter yang kecil jauh lebih besar dibandingkan

dengan pohon yang lebih tua. Lebih lanjut, Brown (1997) menyatakan bahwa pohon

dengan diameter kurang dari 10 cm mempunyai kontribusi sebesar 30 % dari total biomas.

Alometrik yang dibangun dengan variable bebas (X) berupa diameter, boleh jadi tidak

tepat untuk pohon dengan diameter yang kecil. Hal ini disebabkan karena pohon yang kecil

Page 14: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

189

akan cenderung tumbuh meninggi dahulu daripada menambah diameter, sehingga model

yang berbasis diameter bisa tidak cocok.

Kedua adalah kenyataan dari artikel yang ada dan monograph alometrik

(Krisnawati et al., 2012), ternyata belum banyak yang mencoba untuk menduga dinamika

biomasa (karbon) di ekosistim yang sedang mengalami rehabilitasi (recovery). Banyak

data yang tersedia tentang emisi karbon ke atmosfer akibat degradasi dan deforestasi suatu

ekosistim, tetapi tidak banyak data yang tersedia berapa besar ekosistim yang sama juga

menyerap karbon udara dalam proses recovery. Secara teoritis, ekosistim yang terdegradasi

dan terdeforestasi mempunyai cadangan karbon yang menyusut, tetapi laju pengikatan

karbon relatif akan naik.

3. KESIMPULAN

Hasil review memperlihatkan variasi kandungann biomasa atas tanah pada berbagai

ekosistim. Hasil perbandingan antara nilai pendugaan per propinsi dengan pendugaan

dengan skala regional (Miettenen dan Liew, 2009) pada berbagai ekosistim

memperlihatkan nilai yang jauh berbeda, dimana nilai pendugaan dengan citra satelit

cenderung lebih besar. Metode pendugaan yang digunakan kebanyakan menggunakan

model alometrik Brown (1997) dan Katterings et al (2001) atau nilai default IPCC

2003/2006. Terkiat dengan itu, perlu kehati-hatian dalam penggunaan model, karena model

tersebut dibangun dari ekosistim yang mungkin berbeda. Perlu disusun model allometrik

berdasarkan sektor floristic utama. Hal ini disebabkanada kesenjangan yang lebar antara

model yang tersedia dengan kebutuhan pendugaan kandungan biomasa di berbagai sektor

floristik tersebut. Lebih lanjut, perlu juga dibangun alometrik pada pohon dengan diameter

kecil, dan juga pendugaan kemampuan ekosistim di dalam mengikat karbon kembali

(sequestration).

ACKNOWLEDGMENT

Terima kasih Ibu Nur Masripatin dan Jajarannya di BP REDD+, Pengurus APIKI

Nasional, dan untuk pak Asep Sukmana, BPK Aek Nauli, dan Mak Baroroh (UM Sumatra

Barat) atas sharing data dan pengalaman.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, E., Jaya, S.I.N., Saleh, M.B., dan B. Kuncahyo.2013. Biomass estimation using ALOS

PALSAR for identification of lowland forest transition ecosystem in Jambi. JMHT vol

XIX (2):145-155. DOI: 10.7226/JTFM 19.2.145

Afrianto, H. 2014. Estimasi stok karbon pada hutan mangrove di kawasan TWA Pantai Panjang

dan Pulau Baai Bengkulu. Skripsi S1. Jurusan Kehutanan, UNIB

Alfaizin. 2013. Studi komposisi, struktur, biomasa, cadangan karbon, pada berbagai umur

agroforestry berbasis karet di kecamatan Tebo Tengah, Kab. Tebo Jambi. Tesis S2 P.I.

Kehutanan. UGM

http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&

typ= html&buku_id=66330&obyek_id=4

Arifin, J. 2001.Estimasi cadangan karbon pada berbagai sistim penggunaan lahan di Kec.

Ngantang, Malang. Skripsi Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian UNIBRAW.

.Aththorick, A.T., Setiadi, D., Purwanto, Y. and E. Guhardja. 2012. Vegetation stand structure and

above ground biomass, after sifting cultication practices of Karo people in Leuser

Ecosystem, North Sumatra. Biodiversitas 13 (2):92-97

Page 15: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

190

Bismark, M. Subiandono, E., dan N.M. Heriyanto. 2008. Keragaman dan potensi jenis serta

kandungan karbon hutan mangrove di Sungai Subelen, Siberut. Sumatra. Jurnal

Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 5 no:3:297-306.

Bismark, M, Heriyanto N.M. dan S. Iskandar. 2008. Biomass dan Kandungan Karbon pada hutan

Produksi di Cagar Biosfer Pulau Siberut. Sumatra Barat . Jurnal Penelitian Hutan dan

Konservasi Alam Vol 5 no:5:397-407

Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests: A primer. FAO,

Roma.

Brown, S., A. J. R. Gillespie, and A. E. Lugo, 1998. Biomass estimation methods for tropical

forests with applications to forest inventory data. Forest Science 35:881-902.

Cifor. 2009. Defining baseline for REDD Ulu Masen, Aceh. Bogor.

http://www2.cifor.org/carbofor/publications/REDDworkshop/07.REDDUluMasen.pdf/8

Nov 2014

Gunawan, H. 2012. Peatswamp forests and carbon sorage in Riau Biosphere Reserve. With initial

results from reforestation experiments. Prosiding Semirata BKS-PTN B. MIFA. 2012.

Universitas Negeri Medan. Pg 493-495

Hairah, K., Rahayu, S., dan Berlian. 2006. Layanan lingkungan agroforestry berbasis kopi

cadangan karbon dalam biomasa pohon dan bahan organik tanah (Studi kasus dari

Sumber jaya, Lampung Barat. Agrivita.28:296-309.

IPCC 2003, 2003. IPCC. Good practice guidance for Land use, land use change and Forestry.

EditedJim Penman, Michael Gytarsky, Taka Hiraishi, Thelma Krug, Dina Kruger,Riitta

Pipatti, Leandro Buendia, Kyoko Miwa, Todd Ngara, Kiyoto Tanabe and Fabian Wagner.

Published: IGES, Japan.

IPCC 2006, 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the

National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K.,

Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.

Kato, R., Ogawa, H., and Y. Takadi. 1978. Plant biomass and growth increament studies in Pasoh

Forest. Mal. Nat. J. 30 (2): 211-224.

Ketterings, Q.M., Coe, R., Van Noordwijk, M., Ambagau, Y., and C.A. Palm. 2001. Reducing

uncertainity in the use of allometric biomass equations of Predicting above-ground tree

biomass in mixed secondary forest. Forest ecology and Management 146: 199-209.

Khairijan, Fatonah, S, dan A.P. Rianti. 2013. Profil diomass dan kerapatan tegakan hutan mangrove

di Marina Station, Kecamatan Dumai Barat. Prosiding Semirata FMIPA UNILA 2013

Komiyama, A. 2005. Common allometric equations for estimating tree weight of mangroves.

Journal of tropical ecology 4: 471-477

Krisnawati, H and Imanuddin, R..2011. Carbon stock estimation of above ground pools based on

forest inventory (permanent sample plot) data. A case study in peatswamp forest in

Jambi. Workshop on tropical wetland ecosystem of Iindonesia. Science needs to address

climate change adaptation and mitigation. Bali 2011

Krisnawati, H., Adinegoro, W.C., dan R. Imanuddin .2012. Allometric models for estimating tree

biomass at various forest ecosystem types in Indonesia. Research and Development

Center for Conservation and Rehabilitation. Forest Research and Development Agency.

FORDA

Laumonier, Y. 1992. Sumatra, lingkungan dan pembangunan: yang lalu, sekarang, dan yang akan

datang.BIOTROP special publication No:46. Bogor: SEAMEO-BIOTROP

Page 16: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

191

Lestari, P. 1998. Nutrient stocks in four stages of low land rain forest at Pasir Mayang, Jambi

Central Sumatra. Biotropia 11:22-41

Merang REDD Pilot Project.2014. http://redd-atabase.iges.or.jp/redd/download /project?id=59.

15September 2014

Miettinen, J., and S.C. Liew.2009. Estimation biomass distribution in Peninsular Malaysia and in

the islands of Sumatra, Java, Borneo based on multi-resolution remote sensing landcover

analysis. Mit. Adapt. Strategy Glob. Change 14:357-373. DOI 10.1007/s11027-004.9169-

6

Onrizal, Hartono R, Basuki

, R.B., dan C. Kusmana, 2009. Simpanan karbon biomasa hutan tanaman

Eucalyptus grandis di Sumatra Utara. http://onrizal.wordpress.com/2009/03/10/simpanan-

karbon-biomassa-hutan-tanaman-eucalyptus-grandis-di-sumetera-utara/

Onrizal, Mansor, M. 2010. Carbon reserve at mangrove forest in North Sumatra. A paper presented

at ATBC International symposium 19-23 July 2010. Bali

Prasetyo, A., Hikmat, A., dan B. Prasetyo.2012. Pendugaan perubahan cadangan karbon di

Tambling Wildlife Nature Conservation, TNBBS. Media Konservasi Vol 16 (2012): 87-

91.

Sukmana, A. 2011.Potensi Simpanan karbon pada hutan dataran tinggi di zona rimba Taman

nasional Batang Gadis. Tesis S2. Program studi ilmu Kehutanan. UGM.

Susatya, A. 2011. Carbon pools and spacial variations of carbon sequestration capability of Taba

Penanjung Protection Forest, Bengkulu. 309-317. Proceeding International Seminar on

Natural resources, climate change, and food security in developing countries. ISNAR

C2FS. Surabaya

Suwarno, B. 2012. Potensi karbon hutan Pantai Ujung Lancang (Laguna). Tesis S2. Program studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. UNIB

Tresnawan, H. dan U. Rosalina. 2002. Pendugaan biomass di atas tanah di ekosistim hutan primer

dan hutan bekas tebangan. Studi Kassus hutan dusun Aro, Jambi. Jurnal Managemen

Hutan Tropika VII no:1:15-29

WWF Indonesia. 2010. Sumatra’s forests, their wildlife and climate in windows in time: 1985,

1990, 2000, and 2009. WWF Indonesia Jakarta

Yamakura, T, Hagihara, A, Sukarjo, S, and H. Ogawa. 1986. Above ground biomass of tropical

rain forest stand in Indonesian borneo. Vegetation 68:71-82

Yuliarti, E. 2012. Estimasi, Potensi, Cadangan, dan Serapan Karbon di Propinsi Bengkulu dengan

menggunakan data MODIS. Tesis Pascasrjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan UNIB.

Page 17: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

192

a. b. Hutan dataran rendah

c. Hutan dataran tinggi bagian bawah

c. Hutan dataran tinggi

d. Hutan gambut

Page 18: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

193

Gambar 1: Nilai estimasi biomasa di atas tanah (ton/ha) di berbagai ekosistim. Angka romawi di dalam kurung merujuk

sektor floristik utama berdasarkan Laumonier (1992). Sumber data lihat tabel 1.

a.

Mangrove

Hutan Sekunder

b. Agroforestry

Gambar 2: Nilai estimasi biomasa di atas tanah (ton/ha) di berbagai ekosistim. Angka romawi di dalam kurung merujuk

sektor floristik utama berdasarkan Laumonier (1992). Sumber data lihat tabel 1.

Page 19: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

194

Tabel1: Estimasi berat biomasa (ton/ha), metode pendugaan, dan sumber pustakanya.

No Propinsi Ekosistim Biomasa (ton/ha)

Metode Pustaka

1 NAD intact forest (0-500 m dpl) 210,00 Default IPCC Cifor (2009)

Ulu Masen Disturbed forest (0-500 m dpl) 180,00 Landsat ETM &7

Intact forest (500-1000 m dpl) 200,00

Disturbed forest (500-1000 m dpl) 150,00

Intact forest (1000-1500 m dpl) 190,00

Disturbed forest (1000-1500 m dpl) 140,00

Intact forest (> 1500 m dpl) 180,00

Disturbed forest (>1500 m dpl) 130,00

2 SUMATRA UTARA

Mangrove (community forest) 78.39 Komiyama (2005) Onrizal dan Mansor (2010)

Mangrove (conservation forest) 22,39

Leuser, Karo Submantane (800-1400 m dpl)

5 thn 16.00 Brown (1997) Aththorik et al., (2012)

10 thn 121.00 Brown (1997)

20 thn 97.00 Brown (1997)

30 thn 291.00 Brown (1997)

Hutan Primer 663.00 Brown (1997)

Toba Platau Ecalyptus grandis (1600-1700 mpl 129.52 allometric model Onrizal dkk (2009)

Page 20: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

195

Batang Gadis Dataran Tinggi

600-900 m dpl 1279.00 Kettering et al (2001) Sukmana (2011)

900-1200 m dpl 799.00 Kettering et al (2001)

1200-1500 m dpl 986.00 Kettering et al (2001)

> 1500 m dpl 1128.00 Kettering et al (2001)

3 JAMBI

Pasir Mayang lowland (70-100m dpl) 320-400.00 Yamakura et al (1986) Lestari (1998)

Batang hari-Muara Jambu Lowland

Secondary forest 260.15 Kettering et al (2001) Achmad dkk (2013)

Rubber agroforesty 205.29

Batang hari-tanjung Jabung lowland

hutan primer 348.02 Brown (1997) Tresnawan dan Rosalina (2002)

hutan bekas tebangan (4 thn) 221.39 Brown (1997)

hutan bekas tebangan (2 thn) 189.26 Brown (1997)

Batang Hari Peat Swamp forest 212.30-230.32 Brown (1997) Krisnawati dkk (2012)

Tebo Agroforesty karet tua (50 thn) 216.75

Alfaidzin (2013)

agroforestry karet sedang (35-50 thn) 189.24

Agroforestry karet muda (15-35 thn) 165.14

Page 21: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

196

RIAU

Peat Swamp forest

Mixed 94.25 Brown et al., (1998) Gunawan (2012)

logged over 71.50 Brown et al.,(1998)

Disurbed 26.75 Brown et al.,(1998)

Mangrove

Rhizophora apiculata 24.67 Komiyama (2005) Khairijan et al., (2013)

SUMATRA BARAT

Siberut Mangrove

volume x berat jenis Bismark et al., (2008)

R. apiculata 24.78 volume x berat jenis

R. mucronata 17.14 volume x berat jenis

B. Gymnorhiza 7.11 volume x berat jenis

Lowland

Hutan primer 131.92 Brown et al., (1998) Bismark et al., (2008)

Hutan habis pembalakan (4thn) 97.55 Brown et al., (1998)

Hutan habis tebangan (1 thn) 70.39 Brown et al. (1998)

BENGKULU Mangrove

Bengkulu Soneratia alba 78.54 Komiyama (2005) Afrianto (2014)

Bengkulu Rhizophora apiculata 15.07

Bengkulu Bruguiera 2.54

Kaur Hutan Pantai 283.42 kato et. al (1978) Suwarno (2012)

Bengkulu Tengah Hutan primer (lowland)(420 m dpl) 148.50 kato et. al (1978) Susatya (2011)

Page 22: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

197

SUMATRA SELATAN PSF

Dense forest 254.00 Brown (1997) Merang Project (2014)

Medium dense forest 223.00 Brown (1997)

Forest regrowth 70.00 Brown (1997)

Secondary forest 108.00 Brown (1997)

LAMPUNG lowland

Lampung Barat Hutan 195.00 Kattering et. al (2001) Hairah et al.(2006)

Agroforestry multistrata 18-20.00 kattering et.al (2001)

Agroforestry monokultur 10.00 Arifin (2001)

Lowland

Tambling hhutan primer 178.44 kattering et.al (2001) Prasetyo et. al, (2012)

hutan sekunder 81.65 kattering et.al (2001)

semak belukar 10.29 kattering et.al (2001)

agroforestry kopi tua 63.69 Arifin (2001)

agroforestry kopi muda 27.42 Arifin (2001)

agroforestry coklat 14.04 Arifin (2001)

SUMATRA Mangrove 105.00 IPCC 2006 Miettinen and Liew (2009).

Peatswamp forest 668.00 citra satelit

Lowland 1928

Lower montane 1222.00

Upper montana 70.00

Mountain mosaic 139.00

Lowland mosaic 137.00

Page 23: PPROSIDINGROSIDING Seminar Nasional

Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

198

Tabel 2: Jumlah model allometrik di Sumatra (sumber: Krisnawati dkk. 2012)

No Propinsi Ekosistim Jenis Jml model Referensi

1 Jambi DLF mixed 6 3

2 Sumsel PSF Mixed 2 2

PF Schima wallichii 1 1

PF Acacia crassicarpa 1 1

PF Acacia mangium 31 2

3 Riau PF Acacia mangium 1 1

Mangrove Bruguiera sexangular 8 1

Bruguiera sp 1 1

Rhizophora apiculata 8 1

Rhizophora mucronata 7 1

4 Sumatra Barat Mentawai mixed dataran rendah 1 1

5 Sumut PF Eucalyptus grandis 9 1

PF Pinus merkusii 1 1

6 Bengkulu PF Hevea brasiliensis 1 1

Total Sumatra 78 (21%) 19 (17%)

Total Indonesia 370 112

Catatan. DLF (dry land forest), PSF (Peat swamp forest), PF (Production forest). Referensi adalah jumlah penelitian yang

telah dilakukan